Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 15

Entah dari mana tiba-tiba saja Prabu Guru Darmasiksa sudah muncul di tepian danau.

“Naiklah ke darat, kalian telah menuntaskan sebuah laku”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Mendengar perintah dari Prabu Guru Darmasiksa, terlihat kedua anak muda itu langsung naik ke darat.

“Mari kita kembali ke Padepokan, kalian harus beristirahat dan berganti pakaian”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum melihat pakaian kedua anak muda itu benar-benar basah kuyub.

Terlihat mereka bertiga telah berjalan ke arah Padepokan. Ketika mereka sampai di Padepokan Prabu Guru Darmasiksa telah berpesan untuk menunggu mereka bersih-bersih diri dan berganti pakaian di Pendapa Padepokan.

Tidak lama berselang, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara sudah kembali di pendapa. “Beristirahatlah kalian, makanan dan minuman  hangat sudah kami sediakan untuk kalian”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mempersilahkan Gajahmada dan Pangeran Jayanagara untuk mengisi perut mereka dengan makanan dan minuman hangat di pendapa itu.

Sementara itu, di pendapa Padepokan sudah ada Putu Risang, Jayakatwang dan Bango Samparan. Mereka bertiga telah mengetahui bahwa Gajahmada dan Pangeran Jayanagara baru saja menjalani sebuah laku.

“Setelah ini aku akan membawa kalian ke sebuah tempat”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Demikianlah, setelah Gajahmada dan Pangeran Jayanagara sudah merasa cukup beristirahat, sebagaimana yang dikatakan oleh Prabu Guru Darmasiksa mereka berdua memang telah diajak kembali keluar dari Padepokan.

Ternyata mereka telah berjalan lebih jauh lagi naik keatas Gunung Galunggung.

Akhirnya ketika mereka bertiga menemui sebuah tanah lapang berbatu, Prabu Guru Darmasiksa mengajak mereka berhenti berjalan.

“Kalian telah menyimpan rasa dingin yang sangat di dinding sanubari kalian, aku ingin melihat sejauh mana kalian dapat mengetrapkan ajian Muncang Kuning sebagaimana yang telah aku ajarkan”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Aku akan mencoba lebih dulu”, berkata Pangeran Jayanagara maju lebih dulu untuk memperlihatkan bagaimana dirinya dapat mengungkapkan rahasia Ajian Muncang Kuning. Terlihat Pangeran Jayanagara telah berdiri dengan kaki sedikit merenggang dan kedua tangan beradu di depan dada.

Setelah beberapa saat mencoba membuka tirai-tirai rasa dingin yang sangat memenuhi segenap rasa, terlihat sebuah lidah api telah keluar lewat sebuah tangan yang terbuka.

Wusss…!!

Terlihat sebuah lidah api seperti seekor naga api telah melahap sebuah batu cadas berubah warna menjadi sebuah bara yang membara.

“Bagus, sudah sangat sempurna”, berkata Prabu Guru Darmasiksa penuh kegembiraan hati.

“Terima kasih”, berkata Pangeran Jayanagara sambil mundur.

Maka tanpa diperintah, terlihat Gajahmada sudah maju menghadap sebuah batu besar yang lain.

Sebagaimana Pangeran Jayanagara, terlihat Gajahmada juga telah berdiri sedikit merenggang dengan kedua tangan beradu didepan dada.

Wusss…!!!

Luar biasa, sebagaimana pangeran Jayanagara terlihat sebuah lidah api keluar dari sebuah tapak tangan yang terbuka.

Terlihat batu besar di depan Gajahmada telah tersambar lidah api yang begitu panas membara telah membuat batu sebesar kepala kerbau itu pecah berhamburan ke segala arah menjadi pecahan bara yang masih berasap.

“Luar biasa, kamu seperti telah berlatih lebih lama dari Pangeran Jayanagara. Tenaga di dalam dirimu seperti sepuluh orang raksasa bergabung menjadi satu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa langsung memuji apa yang telah dilakukan oleh Gajahmada.

Prabu Guru Darmasiksa tidak mengetahui bahwa Gajahmada telah diwarisi hawa murni ayahandanya sendiri, sang pertapa dari Gunung Wilis.

Sementara itu Pangeran Jayanagara hanya menganggap bahwa Gajahmada telah berlatih sangat keras melebihi dirinya sehingga telah dapat memiliki tenaga lebih besar dan lebih kuat darinya.

“Aku merasa gembira bahwa kalian telah dapat mengetrapkan ajian Muncang kuning dengan benar. Berhati-hatilah bila kalian melakukannya dengan cara terbalik akan menjadi sebuah ajian yang sangat menyesatkan. Rahasia inilah yang kutakutkan bila saja diketahui oleh orang yang memiliki sarung kayu pusaka Kujang pangeran Muncang itu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Melakukannya dengan cara terbalik?”, bertanya Gajahmada dengan rasa keinginan-tahuannya yang tinggi.

Maka perlahan Prabu Guru Darmasiksa mencoba menjelaskan apa yang dimaksud perlakuan terbalik itu.

Terlihat Gajahmada dengan wajah berbinar-binar telah memahami maksud pengertian yang dituturkan oleh Prabu Guru Darmasiksa.

“Ajian ilmu itu menjadi sebagai ajian ilmu keji karena dapat menarik hawa murni lawan lewat sebuah sentuhan”, berkata Gajahmada menguraikan pengertiannya. “Benar, sebuah ajian keji untuk mendapatkan hawa murni lawan”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

Sementara itu di sebuah tempat di waktu yang sama terlihat seorang lelaki tengah mendaki sebuah perbukitan hijau. Pakaian lelaki itu begitu lusuh dan compang camping dengan rambut dibiarkan terurai tidak diikat.

Bila dilihat dari dekat, terlihat bola mata lelaki itu seperti begitu menakutkan, penuh dengan hawa amarah dan kebencian.

Pakaian lelaki itu memang terlihat begitu lusuh dan compang camping robek disana sini seperti pernah terbakar, namun bila diperhatikan lebih seksama lagi ternyata pakaian lelaki itu terbuat dari bahan yang cukup mahal.

Siapakah lelaki itu yang sudah seperti seorang pengemis yang biasa ditemui di setiap persimpangan jalan menuju sebuah pasar itu? Ternyata siapapun tidak akan menduga bahwa sebenarnyalah bahwa lelaki itu adalah sang Patih Anggajaya.

Ketika terjadi pengepungan pasukannya di hutan sebelah timur Kotaraja Kawali, Patih Anggajaya memang berhasil dapat meloloskan diri dari kepungan api pasukan Adipati Suradilaga dari Singaparna.

Berbekal kekecewaan hati Patih Anggajaya telah pergi menjauhi Kotaraja Kawali membawa segunung dendam di dalam hatinya.

Ternyata arah langkah kakinya telah membawa dirinya ke sebuah tempat di sebuah perbukitan yang hijau.

Dan tiba-tiba saja penciumannya telah menangkap sebuah harum daging burung panggang. Maka tanpa sadar telah mendekati ke arah harum daging burung panggang itu.

Akhirnya Patih Anggajaya telah menemukan sumber keharuman itu, dilihatnya seseorang dari arah belakang tengah menghadapi sebuah perapian.

“Kebetulan sekali, aku membakar dua ekor ayam alas”, berkata orang itu seperti telah mengetahui kedatangannya.

Bukan main terkejutnya Patih Anggajaya setelah mendekati orang itu yang ternyata adalah Pendeta Rakanata.

“Ambillah untukmu”, berkata Pendeta Rakanata sambil menyerahkan seekor daging panggang kepada Patih Anggajaya.

Terlihat patih Anggajaya tidak menolak pemberian itu, dan sudah langsung mengunyahnya.

“Dua orang pengemis hina papa bertemu di perbukitan hijau”, berkata Pendeta Rakanata sambil tertawa melihat pakaian Patih Anggajaya yang lusuh, robek compang-camping mirip pakaian para pengemis.

“Dua orang pecundang hina bertemu”, berkata Patih Anggajaya ikut tertawa.

Memang sangat aneh, bila dua orang bernasib sama bertemu akan membuat perasaan hati menjadi semakin akrab bersahabat. Begitulah adanya dua orang yang sama-sama terbuang dari Kotaraja Kawali seperti merasa menjadi sehati, senasib dan sependeritaan.

“Kita bukan pecundang wahai sahabat, kita akan merebut kembali kejayaan kemenangan kita dengan ini”, berkata Pendeta Rakanata sambil menunjukkan sebuah sarung kayu pusaka kujang Pangeran Muncang kepada Patih Anggajaya

“Aku tidak mengerti maksud tuan Pendeta dengan sarung kayu pusaka kujang itu, dan aku tidak melihat senjata kujang di dalamnya”, berkata Patih Anggajaya.

Maka Pendeta Rakanata telah mengarang sebuah cerita agar menutupi rahasia putrinya Dewi Kaswari dengan sebuah cerita bahwa pusaka kujang itu telah direbut oleh seorang pertapa berilmu tinggi.

“Untungnya pertapa itu tidak membawa harta karun bernilai tinggi ini”, berkata kembali Pendeta Rakanata sambil meng-angkat tinggi-tinggi sarung kayu kosong tanpa isi itu, telah membuat Patih Anggajaya menjadi lebih tidak mengerti.

“Apa yang tuan pendeta maksudkan dengan harta karun bernilai tinggi itu?, apa arti sarung kayu kosong itu tanpa pusaka Kujang pangeran Muncang di dalamnya?” bertanya Patih Anggajaya.

“Perhatikan dengan seksama bahwa diatas kayu ini terukir beberapa kalimat”, berkata Pendeta Rakanata sambil memperlihatkan sebuah ukiran yang menghiasi hampir seluruh permukaan kayunya.

“Sebuah tuntunan rahasia!!”, terbelalak mata Patih Anggajaya telah membaca ukiran diatas sarung kayu tanpa senjata itu.

“Kita berjodoh untuk mempelajarinya bersama”, berkata Pendeta Rakanata penuh kegembiraan kepada Patih Anggajaya.

“Pasti sebuah tuntunan ajian yang hebat, dan kita berdua akan kembali merebut kejayaan kita yang tertunda”, berkata patih Anggajaya.

“Mari kita mempelajarinya bersama-sama”, berkata Pendeta Rakanata.

Demikianlah, sejak saat itu keduanya telah memutuskan untuk tinggal dan bermalam di perbukitan hijau itu mempelajari guratan rahasia sarung sarung kayu pusaka kujang Pangeran Muncang itu.

Bukan main gembiranya hati mereka ketika di sebuah malam telah merasa dapat membuka tabir rahasia guratan enam buah kalimat diatas sangkur sarung kayu itu.

Namun mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pemahaman mereka ternyata sangat jauh terbalik dengan apa sebenarnya yang tersirat dan bermakna pada tulisan itu.

“Sebuah tuntunan ajian penghisap sukma, aku pernah mendengar cerita seorang pendeta pengembara dari India yang berilmu sangat tinggi. Salah satu ajian pamungkasnya adalah sejenis ilmu penghisap sukma yang dapat menghisap hawa murni seorang lawan hingga mati lemas kehabisan tenaga”, berkata pendeta Rakanata merasa telah memahami guratan rahasia itu.

Kembali ke lereng gunung Galunggung.

Senja yang bening telah menghiasi suasana lereng gunung Galunggung yang sejuk itu, dimana sebuah Padepokan yang tenang dan asri tempat para jiwa para pengembara hati yang haus dahaga menimba air suci rohani penuh damai dalam kesederhanaan kebahagiaan hakiki.

“Besok kalian berdua akan berangkat mengembara dalam tugas membawa kembali sarung kayu pusaka Kujang Pangeran Muncang yang hilang itu”, berkata Prabu Guru Darmasisa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara di pendapa Padepokannya. “Di dalam perjalanan, kalian berdua dapat meningkatkan dan menyempurnakan pengenalan kalian atas ajian Muncang Kuning itu”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa.

“Aku akan mengatakan kepada Ayahandamu bahwa kamu tidak bersama kami pulang ke Majapahit karena masih dalam tugas suci membawa kembali sarung kayu pusaka Pangeran Muncang”, berkata Jayakatwang yang juga berada di atas pendapa itu bersama mereka.

“Sayang aku tidak dapat mengiringi kalian, aku hanya berdoa untuk keselamatan kalian berdua”, berkata Putu Risang sedikit terharu akan melepas kedua muridnya itu dimana selama ini selalu bersamanya.

“Kalian pernah mendatangi Rawa Rontek, singgahlah kalian bila kebetulan lewat dalam pengembaraan kalian”, berkata pula Bango Samparan.

Demikianlah, tidak terasa wajah hari perlahan mulai temaram di selimuti langit malam yang mulai berwarna kelam. Tidak terlihat bintang di langit malam itu sebagai tanda sebentar lagi mungkin akan turun hujan.

“Beristirahatlah, besok kalian akan melakukan sebuah perjalanan panjang”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Akhirnya langit memang telah meruntuhkan air hujan diatas tanah Padepokan Prabu Guru Darmasiksa. Dan udara malam menjadi semakin dingin membuat setiap orang sudah masuk berbaring di peraduannya masingmasing meski malam belum lagi berlalu dalam wayah sepi uwong.

Dan ketika hari telah jatuh pagi, warna bunga-bunga di halaman pekarangan Padepokan itu menjadi lebih cerah, bukan karena semalaman diguyur hujan, tapi ada sepasang kaki mungil tengah berjalan menapaki rumputrumput hijau diatas pekarangan halaman Padepokan di pagi yang cerah itu.

“Jangan terlalu memaksakan diri, wahai putriku Andini. Berhentilah bila kamu rasakan sudah lelah”, berkata Bango Samparan kepada pemilik sepasang kaki mungil itu yang tidak lain adalah Andini yang sudah dalam masa penyembuhan mencoba belajar berjalan setelah lama berbaring di biliknya.

“Ayahmu benar, juga ada dua anak muda yang tertahan tidak akan beranjak dari duduknya selama kamu masih berada di halaman”, berkata Putu Risang sambil tersenyum menggoda kearah Gajahmada dan Pangeran Jayanagara yang sudah bangun di awal pagi itu.

“Duduklah bersama kami”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Andini.

Terlihat Andini telah menaiki tangga pendapa dengan perlahan di bantu oleh Bango samparan.

“Bagaimana keadaanmu, wahai Andini?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Andini yang telah duduk bersama di pendapa Padepokan.

“Berkat obat Tuan Prabu, terasa badanku sudah menjadi lebih segar dari sebelumnya”, berkata Andini dengan senyum di bibirnya.

“Mudah-mudahan Andini dapat sembuh seperti sedia kala”, berkata Gajahmada dalam hati melihat wajah gadis itu yang masih sedikit pucat, tapi nampak lebih baik dari sebelumnya.

Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan dan nasehat kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara, akhirnya Prabu Guru Darmasiksa dengan berat hati melepas dan merestui kepergian kedua anak muda itu.

Dan dibawah pandangan mata semua yang hadir di pendapa Padepokan itu, terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara tengah menuruni anak tangga pendapa dan terus melangkah membelah halaman pekarangan Padepokan.

“Apakah Kakang Mahesa Muksa merasakan apa yang kurasakan ini?”, bertanya Andini dalam hati merasakan dirinya seperti terbang kosong tak bergairah melihat langkah kaki Gajahmada yang semakin mendekati arah regol pintu gerbang Padepokan.

Dan untunglah bahwa Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih menengok kebelakang sebentar  ketika mereka telah berada di bawah regol pintu gerbang Padepokan, sehingga masih ada kesempatan Andini menangkap mata Gajahmada yang diyakini tengah menatap kearahnya.

Tidak terasa tangan Andini yang masih lemah itu telah terangkat melambaikan tanda perpisahan kepada pemuda pencuri hatinya itu, pahlawan dalam setiap mimpi-mimpinya di dalam tidur malamnya.

Semua mata diatas pendapa padepokan itu terlihat seperti menarik nafas dalam-dalam ketika kedua punggung anak muda itu telah menghilang terhalang dinding pagar padepokan.

Matahari diatas Padepokan itu telah beranjak menaiki langit pagi, terlihat dua ekor elang muda terbang rendah kearah barat menuju sebuah padang perburuan diujung hutan perbukitan hijau. Gajahmada dan Pangeran Jayanagara terlihat sudah menuruni lereng Gunung Galunggung. Langkah mereka seperti begitu ringan menapaki tanah dan batu pegunungan menuju kearah barat hutan hijau lereng Gunung Galunggung.

Mereka berdua memang sengaja tidak berkuda, agar perjalanan mereka lebih bebas sebagaimana dua orang pengembara yang bebas datang dan pergi kemanapun langkah mereka bawa.

Berbekal pengalaman Prabu Guru Darmasiksa dan Bango Samparan yang pernah mengembara di masa mudanya, kedua anak muda itu telah begitu percaya diri bahwa arah perjalanan mereka tidak akan terlepas jauh menuju Kotaraja Rakata yang berada diujung paling barat Jawadwipa. Sebuah kota purba yang hampir terlupakan pernah berada di puncak kejayaannya disinggahi para pedagang dari berbagai penjuru dunia.

Dan tidak terasa langkah kaki mereka sudah berada semakin menjauhi kaki Gunung Galunggung.

Sementara itu di waktu yang sama, masih di tanah Pasundan di sebuah gunung berapi yang cukup tinggi, dimana orang disekitarnya begitu enggan untuk mendekatinya karena masih percaya bahwa di kawah gunung berapi itu tempat berkumpul para raja dedemit di Jawadwipa itu dalam waktu dan kurun tertentu.

Orang di sekitarnya menyebut tempat itu sebagai gunung Guntur, karena beberapa orang sering mendengar suara guntur disekitar gunung berapi itu.

Tapi hari itu terlihat dua orang lelaki dengan penuh keberanian dan ketabahan tinggi telah berdiri diatas dua buah batu. Nampaknya keduanya sudah lama berdiri diatas kawah berapi itu melakukan sebuah olah laku. “Kita sudah cukup lama berdiri diatas batu panas ini”, berkata seorang diantara mereka sambil melompat melenting tinggi dan hinggap di sekitar tepian kubangan kawah berapi.

Mendengar perkataan kawannya itu, terlihat orang kedua telah mengikuti langkah kawannya itu melompat dengan begitu ringannya ke tepian kubangan kawah berapi.

“Mari kita mencari tempat menjauhi kawah ini”, berkata seorang diantara mereka sambil melangkah meninggalkan kawah berapi mendaki puncak kawah gunung Guntur.

Akhirnya mereka telah sampai diatas bibir puncak kawah berapi itu.

“Kita sudah dapat menuntaskan rahasia Kujang Pangeran Muncang diatas kawah Gunung Guntur, sejak hari ini jangan panggil aku lagi Pendeta Rakanata, sebut namaku sebagai Ki Guntur Geni”, berkata salah seorang diantara mereka sambil bertolak pinggang menatap kawah gunung Guntur dengan perasaan kebanggaan hati.

“Bila demikian, Anggajaya namaku juga harus berganti”, berkata kawannya.

“Sejak saat ini aku akan memanggilmu sebagai Ki Guntur Bumi”, berkata salah seorang diantara mereka yang telah berganti nama sebagai Ki Guntur Geni itu.

“Dua nama yang akan mengguntur menguasai dunia”, berkata kawannya itu yang sepertinya setuju namanya berganti sebagai Ki Guntur Bumi itu.

“Kita harus mencari dua tumbal untuk penggantian nama kita ini”, berkata Ki Guntur Geni “Benar, sekalian untuk menguji seberapa dahsyat ajian ilmu yang baru kita miliki ini”, berkata Ki Guntur Bumi menyetujui perkataan kawannya itu.

“Di kaki Gunung Guntur ini aku pernah mendengar ada sepasang suami istri yang sakti mandraguna, dengan ajian ilmu yang telah kita miliki ini, kita dapat menghisap hawa murni mereka sehingga tenaga sakti sejati kita akan berlipat ganda kekuatannya”, berkata Ki Guntur Geni.

“Dengan kekuatan itu kita tidak mudah terkalahkan”, berkata Ki Guntur Bumi penuh kegembiraan.

“Kotaraja Rakata adalah kerajaan pertama yang akan kita kuasai”, berkata Ki Guntur Geni dengan penuh semangat.

Dan matahari di kaki gunung Guntur hari itu belum terlalu condong ke barat.

Sejuk angin berhembus lewat di pendapa sebuah rumah mungil di kaki gunung Guntur yang dikelilingi ladang jagung yang terlihat sudah mulai tua.

Terlihat sepasang suami istri tengah menikmati suasana sore itu sambil memandang ladang kebun jagung mereka yang sebentar lagi akan di panen.

Siapakah gerangan sepasang suami istri yang terlihat sudah berumur itu ?

Jarang sekali yang mengetahui bahwa sebenarnya sepasang suami istri itu adalah sepasang ksatria yang sangat ditakuti semasa mudanya, terutama oleh para penjahat di jamannya.

Sayang bahwa mereka berdua tidak dikaruniai keturunan, mungkin itulah sebabnya mereka telah sepakat untuk hidup menyepi di kaki Gunung Guntur, hidup sebagai seorang petani biasa.

Sepasang pendekar pedang kembar, itulah nama julukan mereka yang sangat disegani kawan maupun lawan.

Sudah lama mereka melupakan nama besar julukannya itu, para penduduk di padukuhan terdekat hanya mengenal mereka sebagai Ki Jabarantas dan Nyi Jabarantas yang sangat baik sering membantu siapapun orang yang datang kepada mereka. Biasanya para penduduk di padukuhan terdekat meminta Ki Jabarantas untuk mengobati keluarga mereka. Ternyata Ki Jabarantas punya sebuah keahlian lain dalam hal mengenal berbagai jenis tumbuhan pengobatan.

Namun sore itu terlihat ada seorang pemuda mendatangi rumah mereka. Nampaknya bukan salah seorang penduduk padukuhan terdekat, juga bukan datang untuk meminta pengobatan, karena terlihat pemuda itu tidak langsung masuk, hanya berdiri di pekarangan rumah mereka sambil berteriak seperti orang tengah kerasukan.

“Kemarilah kalian, aku Bendawa putra Cakra Pinungat hendak mengadu ilmu dengan kalian”, berteriak pemuda itu dengan suara benar-benar telah merusak suasana sore mereka.

Namun kedua suami istri itu tidak menjadi marah, mereka berdua dengan wajah penuh senyum telah turun dari pendapa dan menghampiri anak muda itu. Nampaknya sepasang suami istri itu sudah sering menerima tamu sebagaimana anak muda itu. Mereka nampaknya sudah menyadari bahwa inilah tuntutan yang harus mereka terima sebagai sepasang pendekar yang banyak bersinggungan dengan para penjahat di masa muda mereka.

“Sepertinya aku pernah mendengar nama  ayahmu itu, wahai anak muda”, berkata Ki Jabarantas dengan suara penuh kesabaran kepada anak muda itu yang  telah memperkenalkan dirinya bernama Bendawa.

“Bagus bila kalian tidak melupakan nama ayahku itu, jadi tidak perlu panjang lebar lagi untuk menjelaskan kedatanganku ini”, berkata anak muda yang bernama Bendawa itu sambil bertolak pinggang dengan mata merah seperti ingin melumat bulat-bulat kedua suami istri itu.

“Kami merasa tidak berutang apapun  dengan ayahmu itu”, berkata Ki Jabarantas masih dengan suara penuh kesabaran.

“Jangan pura-pura pikun, aku datang untuk menagih hutang nyawa kepada kalian”, berkata kembali Bendawa masih dengan wajah penuh dendam kesumat.

“Kami memang pernah beradu senjata dengan ayahmu itu, namun hal itu terpaksa kami lakukan karena ayahmu telah banyak membuat keresahan para penduduk”, berkata Ki Jabarantas masih dengan suara penuh kesabaran.

“Kalian berkata seperti seorang pahlawan, seperti seorang pendekar budiman. Namun kalian tidak pernah mendengar kesengsaraan kami sekeluarga yang ditinggal mati oleh seorang kepala keluarga. Kalian adalah seorang pembunuh. Aku merasa yakin bahwa ayahku pasti dikalahkan oleh kalian dengan cara mengeroyoknya”, berkata Bendawa masih dengan bertolak pinggang.

Mendengar tuduhan terakhir itu, nampaknya Nyi Jabarantas seperti hilang kendali kesabarannya.

“Tutup mulutmu, suamiku bertarung dengan ayahmu dengan cara yang adil, satu lawan satu”, berkata Nyi Jabarantas tidak kalah kerasnya dengan suara anak muda itu.

“Kami memang telah bertarung dengan cara yang adil. Bila saat ini anak muda hendak datang menuntut balas, aku Jabarantas tidak akan pernah lari selangkah pun”, berkata Ki Jabarantas dengan suara masih dalam pengendalian diri tidak seperti istrinya yang telah mulai tersinggung itu.

“Kalian berdua boleh mengeroyokku”, berkata Bendawa dengan sikap penuh menantang.

“Aku yang akan menghadapimu sendiri”, berkata Ki Jabarantas sambil memberi tanda kepada istrinya untuk mundur beberapa langkah.

Nampaknya Nyi Jabarantas yang sudah terbakar itu dapat menerima permintaan suaminya itu, terlihat telah mundur beberapa langkah membiarkan suaminya melayani anak muda sombong itu.

“Senjataku masih ada di dalam, biarlah aku akan menghadapimu tanpa bersenjata”, berkata Ki Jabarantas dengan sikap sebagaimana ahli kanuragan pada umumnya dengan sebuah kuda-kuda yang kokoh siap bertarung.

“Jangan menyesal menghadapiku tanpa senjata”, berkata Bendawa sambil menarik sebuah keris panjang dari pinggangnya.

“Aku tidak akan pernah menyesal, wahai anak muda”, berkata Ki Jabarantas sambil tersenyum ramah seperti menghadapi seorang murid saja layaknya. Melihat sikap Ki Jabarantas malah membuat hati Bendawa seperti semakin terbakar, di dalam pandangan dan pikiran hatinya merasa bahwa Ki Jabarantas sangat meremehkan dirinya.

“Jagalah seranganku ini”, berkata Bendawa dengan keris terhunus menyerang kearah dada Ki Jabarantas.

Ternyata Ki Jabarantas bukan orang tua lemah, meski kerut-kerut wajah tuanya begitu terlihat jelas, namun otot-otot tuanya masih terlihat begitu kuat dan kekar. Terlihat dengan penuh ketenangan menghadapi serangan pertama anak muda itu dengan cara sedikit bergeser mengelak ujung keris yang meluncur lurus mengancam merobek dadanya.

Nampaknya Ki Jabarantas tidak ada keinginan untuk balas menyerang, hanya menunggu serangan lain dari lawannya yang masih muda belia itu.

Melihat sikap Ki Jabarantas yang tidak balas menyerang telah membuat Bendawa seperti merasa diperolok.

“Kurobek perutmu”, berkata Bendawa sambil menyerang lebih cepat dan ganas melihat peluang terbuka di arah perut Ki Jabarantas.

“Kerahkan tenagamu lebih kuat lagi”, berkata Ki Jabarantas sambil mundur selangkah menghindari ujung keris Bendawa.

Melihat serangan keduanya telah gagal telah membuat anak muda itu seperti kerasukan langsung menerjang Ki Jabarantas dengan sebuah tendangan.

Kembali dengan begitu gesit dan cepatnya Ki Jabarantas mengelak menghindar tanpa membalas serangan sedikitpun. “Ternyata kamu cuma bisa menghindar”, berkata Bendawa merasa penasaran tiga jurus serangannya dapat di singkirkan dengan mudahnya oleh Ki Jabarantas.

Sementara itu Nyi Jabarantas yang menyaksikan pertempuran itu sudah dapat mengukur tingkat kemampuan anak muda itu dari tiga buah serangan yang dapat dielakkan oleh suaminya itu. Sebagai seorang yang ahli dalam olah kanuragan, wanita tua itu sudah dapat membaca mengapa suaminya tidak membalas serangan anak muda itu.

“Anak muda ini masih mengandalkan wadag kasarnya”, berkata Nyi Jabarantas dalam hati sambil tersenyum melihat suaminya seperti tengah melatih seorang murid pemula.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nyi Jabarantas, ternyata Ki Jabarantas memang sudah dapat mengukur tingkat tataran anak muda lawannya itu.

Nampaknya Ki Jabarantas masih senang bermainmain dengan anak muda itu sebagai hiburan sorenya.

Dua puluh jurus telah berlalu, serangan demi serangan dari Bendawa selalu saja dapat dielakkan dengan mudahnya oleh Ki Jabarantas.

Terlihat peluh telah mengalir deras membasahi tubuh dan wajah anak muda itu.

“Kerisku akan membunuhmu”, berkata Bendawa dengan suara lantang penuh penasaran mendapatkan serangannya selalu saja mengenai tempat kosong.

“Pilihlah olehmu tubuh tuaku ini”, berkata Ki Jabarantas sambil tersenyum menghindari sebuah serangan untuk kesekian kalinya. “Sebentar lagi nafas tuamu akan pudar”, berkata Bendawa merasa yakin orang tua renta lawannya itu pasti akan kehabisan nafas, kelelahan.

Namun hingga puluhan jurus berlalu, tidak ada tandatanda orang tua itu kehabisan tenaganya.

Bahkan yang terlihat justru anak muda itulah yang sudah mulai kelelahan.

Ki Jabarantas sebagai seorang yang mumpuni dan sudah malang melintang di dunia kanuragan dapat merasakan serangan anak muda lawannya itu yang sudah mulai mengendur.

“Tenaga anak muda ini sudah mulai menurun”, berkata ki Jabarantas dalam hati.

Namun anak muda itu sepertinya tidak dapat mengukur kemampuannya sendiri, tidak dapat membaca berhadapan dengan siapa dirinya saat itu.

Akhirnya Ki Jabarantas sudah mulai jenuh bermainmain, melihat tenaga dan kecepatan lawannya sudah mulai melemah. Maka dengan begitu beraninya telah membiarkan ujung keris Bendawa meluncur lurus mendekati batang leher tuanya.

Terbelalak mata Bendawa melihat dengan begitu cepatnya dua buah jari Ki Jabarantas seketika telah menjepit ujung kerisnya dengan begitu kuatnya hanya berkisar diantara rasa kegirangan manakala ujung kerisnya dapat menembus leher lawannya itu hanya tinggal sekuku jari jarak leher dan ujung kerisnya itu.

Belum habis rasa terperanjatnya, tiba-tiba saja merasakan sebuah tenaga dorongan yang amat kuat telah melemparkannya terbanting di tanah.

“Pandanglah kuat-kuat kerismu ini”, berkata Ki Jabarantas masih sambil menjepit ujung keris milik Bendawa dengan dua buah jari tangannya itu.

“Habislah sudah riwayatku”, berkata Bendawa dalam hati seperti pasrah tidak mampu mengelak dan bergerak sedikitpun manakala sebuah keris miliknya itu meluncur begitu cepat dari tangan Ki Jabarantas.

Blesss…!!!

Terlihat Bendawa masih memejamkan matanya tidak merasakan apapun menembus tubuhnya.

Namun begitu matanya terbuka, bergidik bulu romanya melihat keris miliknya sendiri menancap di tanah hanya berjarak setebal jari dari kulit lehernya.

“Nasibmu masih baik anak muda, biasanya lemparanku tidak pernah meleset sedikitpun”, berkata Ki Jabarantas masih berdiri dengan wajah penuh senyum layaknya seorang ayah kepada anaknya.

Sadarlah Bendawa bahwa dirinya berhadapan dengan seorang yang mempunyai kemampuan tinggi.

“Hari ini aku memang bukan apa-apa untukmu, di lain hari aku akan datang kembali menagih hutang nyawamu”, berkata Bendawa yang sudah bangkit berdiri sambil menyarungkan kembali kerisnya.

“Doakan umurku masih panjang untuk melayanimu”, berkata Ki Jabarantas ketika melihat anak muda itu telah berbalik badan pergi meninggalkan pekarangan rumahnya itu.

“Gusti yang Maha Agung nampaknya masih memberi umur kepada kita hingga hari ini”, berkata Nyi Jabarantas sambil mengiringi Ki Jabarantas menaiki anak tangga pendapa. Sementara itu mereka berdua tidak mengetahui bahwa ada dua pasang mata tengah mengintai.

“Kita biarkan hingga malam ini untuk menikmati sisa hidup mereka”, berkata salah seorang diantara mereka di dalam kebun jagung Ki Jabarantas sambil mengawasi dua pasang suami istri itu naik kembali kepanggung rumah mereka.

“Sayang sekali kebun jagung yang hampir di panen ini harus terlantar di tinggal mati tuannya”, berkata kawan orang itu. Siapa dua orang asing di dalam kerapatan ladang Ki Jabarantas ?

Ternyata mereka adalah Patih Anggajaya dan Pendeta Rakanata yabg telah berganti nama menjadi Ki Guntur Bumi dan Ki Guntur Geni, dua orang otak besar pencetus kerusuhan dan pemberontakan di Kotaraja Kawali yang melarikan diri.

Dan sore itu mereka baru saja tiba di kaki gunung Guntur melihat dan menyaksikan pertempuran yang kurang seimbang antara Ki Jabarantas dan Bendawa.

Tidak terasa, sang senja telah datang menguasai semua pandangan di kaki gunung Gubtur Itu. Alam terlihat menjadi begitu bening tanpa semilir angin. Tangkai-tangkai pohon jagung tua rapat berdiri mematung. Beberapa burung pranjak terlihat sembunyi diantara gerumbul semak-semak setelah lelah seharian terbang mencari makan.

Dan perlahan malampun akhirnya datang menyergap bumi dalam kegelapan dan kesunyiannya.

“Semoga malam ini tidak turun hujan”, berkata Ki Guntur Bumi sambil menatap langit malam yang telah dipenuhi kerlip sejuta bintang bertaburan. Hawa di kaki gunung Guntur malam itu memang begitu dingin, terlihat warna kuning redup pelita malam di depan rumah panggung itu. Penghuninya mungkin sudah pulas tertidur.

Sementara itu Ki Guntur Bumi Dan Ki Guntur Geni juga telah merebahkan dirinya terlindung oleh tangkaitangkai pohon jagung yang sudah tinggi.  Hangat memang berlindung di bawah kebun jagung yang sudah menjelang tua untuk di panen. Dan tidak terasa mereka sudah terlihat tertidur pulas, mungkin tengah bermimpi di kelilingi para selir di sebuah singgasana istana elok sebagai seorang Kaisar besar menguasai hampir separuh dunia.

Dan tidak terasa sang pagi akhirnya datang kembali menjenguk bumi purba ditebari seberkas cahaya merah sang fajar membelah langit kelam.

Terdengar suara ayam jantan sayup di kejauhan hutan Gunung Guntur yang masih pekat di awal pagi itu.

“Pagi yang indah”, berkata Ki Jabarantas penuh senyum kegembiraan hati memandang Nyi Jabarantas yang mendatanginya bersama segelas wedang sareh hangat dan tiga potong ubi merah diatas panggung rumah mungil mereka ditengah ladang jagung.

“Aku tidak pernah jemu dan bosan mendengar ucapan kakang hampir di setiap awal pagi”, berkata Nyi Jabarantas sambil duduk menemani suaminya itu memandang kearah ladang kebun jagung mereka.

“Semalam tidurmu begitu pulas”, berkata Ki Jabarantas.

“Maafkan aku Kakang, aku tidur mendahuluimu”, berkata Nyi Jabarantas “Semalam ada burung gaok di wuwungan rumah kita”, berkata Ki Jabarantas.

“Orang tua jaman dulu selalu mengkaitkannya dengan sebuah kematian”, berkata Nyi Jabarantas.

“Apakah pernah terlintas di hatimu akan rasa takut menghadapi sebuah kematian?”, bertanya Ki Jabarantas.

“Semasa muda kita sering bermain-main dengan kematian di ujung pedang kita”, berkata Nyi Jabarantas.

“Hidup di dunia adalah sebuah perjalanan pendek yang singkat, kematian adalah sebuah pintu gerbang menuju alam keabadian. Apa dan dimana kita ditempatkan di alam keabadian itu tergantung bagaimana kita berpihak di kehidupan singkat ini, tergantung kepada siapa kita mengabdi di kehidupan singkat ini. Apakah kita berpihak dan mengabdi kepada sang nafsu angkara atau kita berseberangan menjadikan sang nafsu angkara sebagai musuh besar yang harus selalu diperangi”, berkata Ki Jabarantas seperti berkata kepada dirinya sendiri.

“Ternyata tidak mudah memerangi nafsu yang ada di dalam diri”, berkata Nyi Jabarantas.

“Benar istriku, musuh kita para penjahat tidak mengenal banyak tentang kelemahan kita. Sementara nafsu di dalam diri kita begitu sangat memahami dimana letak kelemahan kita sesungguhnya”, berkata Ki Jabarantas menanggapi perkataan istrinya itu.

“Aku merasa beruntung bertemu denganmu, wahai suamiku. Kakanglah yang telah membuka hatiku tentang sebuah kebenaran hati untuk menjalani kehidupan ini dengan cara selalu bersandar kepada Gusti Penguasa Agung, pemilik kehidupan ini, pemilik kebahagiaan hakiki ini. Bersamamu aku selalu dapat belajar menjaga kesucian hati ini.

“Kita memang masih terus belajar mengenal dan memahami jalan kesucian ini. Kita telah belajar dan menamatkan jurus-jurus perguruan kita, namun kita tidak akan pernah selesai menamatkan pemahaman kita kepada sebuah laku mengenal kebesaran_NYA. Kemarin, hari ini dan besok selalu saja kita menemukan laku baru, pengenalan baru. Sebagaimana meminum air laut, semakin banyak kita meminumnya, semakin dahagalah diri kita. Dan kita merasa menjadi semakin bodoh setelah semakin banyak yang kita dapatkan”, berkata Ki Jabarantas di hadapan istrinya.

Perkataan Ki Jabarantas telah membuat suasana di panggungan rumah mungil itu sejenak menjadi sepi, masing-masing seperti tengah mengembara di alam pikirannya sendiri-sendiri.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena mereka berdua telah melihat dua orang lelaki telah datang memasuki halaman pekarangan mereka.

“Kita kedatangan dua orang tamu”, berkata Ki Jabarantas kepada istrinya sambil berdiri menyongsong dua orang lelaki yang tengah melangkahkan kakinya mendekati tangga rumah mereka.

“Nampaknya mereka bukan orang padukuhan”, berkata Nyi Jabarantas yang sudah banyak mengenal orang-orang padukuhan terdekat berbisik lirih di dekat Ki Jabarantas.

“Apakah kami berada di kediaman sepasang pedang kembar?”, berkata salah seorang diantara kedua tamu itu di bawah tangga rumah panggung itu. Sepasang suami istri itu nampaknya telah begitu sering didatangi tamu asing yang tidak dikenal.

“Kalian berdua nampaknya hanya mengenal nama, tidak mengenal orangnya. Kami lah berdua yang kalian sebutkan itu”, berkata Ki Jabarantas berusaha untuk bersikap ramah.

“Ternyata sepasang pedang kembar hanyalah dua orang tua renta yang sudah bau tanah”, berkata salah seorang lagi sambil tertawa tergelak gelak.

“Siapa kalian dan ada keperluan apakah mendatangi rumah kami?”, berkata Ki Jabarantas dari atas panggung rumahnya mulai tidak suka dengan kehadiran kedua orang itu.

“Namaku Guntur Geni, bersamaku ini adalah Guntur Bumi. Keperluan kami datang kesini memang tidak begitu penting, hanya sekedar meringankan tugas dewa pencabut nyawa”, berkata kawan orang satu lagi yang dipanggil sebagai Guntur Geni itu.

“Aku tidak suka berliku-liku, kami datang untuk menantang kalian”, berkata Guntur Bumi seperti tidak sabaran lagi.

“Bagus, aku juga tidak suka berliku-liku. Singkat dan jelas bahwa kalian datang untuk menantang kami. Bukankah begitu?”, berkata Ki Jabarantas penuh ketegasan.

Ternyata diam-diam Nyi Jabarantas sudah masuk kedalam dan keluar lagi sambil membawa dua buah pedang panjang mereka.

“Kami akan turun”, berkata Ki Jabarantas sambil mengambil sebuah pedang dari tangan istrinya.

Terlihat sepasang suami istri yang sudah tua itu telah turun dari panggung rumahnya dan langsung melangkah ke tengah pekarangan mereka.

Melihat tuan rumah sudah berada di tengah pekarangan mereka, Guntur Bumi dan Guntur Geni segera mengikuti tuan rumah itu berdiri saling berhadapan.

“Satu lawan satu atau kita bertempur secara berpasangan?”, berkata Ki Jabarantas kepada kedua tamunya itu.

“Kita bertempur terpisah, satu lawan satu”, berkata Guntur Geni yang diam-diam telah memutar otak cerdiknya mengetahui bahwa keunggulan suami istri itu adalah dalam bertempur secara berpasangan, karena jurus-jurus perguruan mereka memang diciptakan dan diperuntukkan untuk bertempur secara berpasangan.

Ki Jabarantas terlihat tersenyum kecut, telah dapat membaca arah pemikiran Guntur Geni yang sangat licik itu, ingin memisahkan dirinya dengan istrinya. Namun sebagai seorang tuan rumah, Ki Jabarantas tidak dapat menelan kembali ludahnya, menarik kembali penawaran yang sudah disampaikan kepada kedua tamunya itu.

“Kembali kutawarkan, siapa yang menghadapi aku, dan siapa lawan dari istriku ini”, berkata Ki Jabarantas kepada kedua tamunya itu.

“Akulah lawanmu”, berkata Guntur Geni maju selangkah.

“Jadi kita sudah punya lawan masing-masing”, berkata Ki Jabarantas sambil bergeser mencari tempat diikuti oleh Guntur Geni.

Melihat suaminya telah mencari tempat, terlihat Nyi Jabarantas telah bergeser beberapa langkah diikuti oleh Guntur Bumi.

“Sayang aku menemuimu disaat umurmu sudah tua, kulihat masih ada bekas kecantikanmu disaat masih jadi seorang gadis”, berkata Guntur Geni dengan mata menggoda.

Nyi Jabarantas mengetahui bahwa ucapan lawannya itu hanya sebuah pancingan untuk membakar amarahnya. Nampaknya Nyi Jabarantas tidak mudah terbakar.

“Aku sudah begitu banyak mengenal laki-laki gombal seperti dirimu, aku sangat senang sekali bila saja tanganku ini dapat merobek mulut seorang lelaki seperti itu”, berkata Nyi Jabarantas sambil mencibirkan bibirnya yang mungil itu.

“Wanita tua, aku sungkan bila saja tanganku menyentuh kulitmu yang sudah berkerut itu”, berkata Guntur Geni masih kembali memancing kemarahan Nyi Jabarantas.

“Aku tidak biasa berkelahi dengan adu mulut sepertimu”, berkata Nyi Jabarantas yang sudah langsung bersiap meregangkan kedua kakinya.

“Benar, aku juga tidak suka berbicara dengan seorang wanita tua”, berkata Guntur Geni merasa kesal bahwa pancingannya tidak berhasil membuat marah Nyi Jabarantas. “Terimalah seranganku ini”, berkata kembali Guntur Geni sambil bergerak seperti seekor rajawali menerjang mangsanya.

Nyi Jabarantas yang memang telah bersiap itu  terlihat tidak menjadi gentar sedikitpun menghadapi serangan awal dari lawannya itu yang terlihat begitu ganas dan cepat dengan kedua tangan seperti sebuah cengkeraman yang akan merobek tubuhnya.

Sretttt !!!

Terlihat Nyi Jabarantas melompat sedikit kesamping sambil melepas pedang dari sarungnya.

“Lepaskan senjatamu, aku tidak ingin bertempur terlalu lama denganmu”, berkata Nyi Jabarantas dengan suara ketus sambil menyabet pedangnya setengah lingkaran.

Terkesiap Guntur Bumi melihat serangan balik wanita tua itu yang ternyata masih dapat bergerak begitu cepat.

Maka sambil mundur bergeser menghindari sabetan ujung pedang lawan, terlihat Guntur Geni sudah melepas keris dari pinggangnya.

“Trang !!

Dua buah senjata telah saling beradu dengan begitu kuatnya.

Terlihat keduanya telah terpental bersama sekitar  dua langkah.

Sebagaimana Guntur Bumi dan Nyi Jabarantas, di pekarangan itu Ki Jabarantas rupanya juga sudah beradu tanding dengan Guntur Geni. Hanya bedanya mereka bertempur dengan tangan kosong tanpa senjata.

Ki Jabarantas dapat merasakan bahwa lawannya yang sudah berumur tidak terpaut jauh dengannya itu mempunyai serangan yang begitu kuat dan dahsyat, dan Ki Jabarantas harus berhati-hati tidak  seperti menghadapi anak muda kemari hari yang masih sangat dangkal ilmunya itu.

Setingkat demi setingkat terlihat Ki Jabarantas dan lawannya itu telah meningkatkan tataran ilmunya. Namun keduanya menjadi semakin penasaran untuk merambah meningkatkan tataran ilmunya lagi melihat lawan masingmasing mampu mengimbanginya.

Terlihat arena pertempuran antara Ki Jabarantas dan Guntur Geni telah berubah menjadi arena yang berdebu. Langkah kaki mereka serta angin terjangan mereka telah menerbangkan debu disekitar pekarangan di lingkaran arena pertempuran mereka.

Wuss !!!

Angin pukulan Guntur Geni hampir saja nyaris menyambar wajah Ki Jabarantas, sebagai seorang yang berpengalaman panjang dan telah malang melintang di dunia kanuragan Ki Jabarantas telah menyadari bahwa lawannya telah mengeluarkan tenaga sakti sejatinya berupa pukulan hawa panas yang kuat. Maka Ki Jabarantas telah melambari dirinya dengan tenaga sakti sejati hawa dingin yang tidak kalah kuatnya meredam kekuatan hawa panas dari angin serangan pukulan lawannya itu.

Wusss…!!!

Serangan balik Ki Jabarantas tidak kalah dahsyatnya lewat sebuah tendangan sambil terbang lewat di kepala Guntur Geni.

“Gila !!”, berkata Guntur Geni merasakan angin dingin yang tajam lewat begitu dekat dengan wajahnya.

Sementara itu pertempuran antara Nyi Jabarantas dan Guntur Bumi juga tidak kalah serunya. Mereka dengan senjata masing-masing sepertinya ingin selekasnya menyelesaikan pertempuran mereka. Serangan demi serangan saling berbalas terlihat seperti gulungan cahaya api begitu cepat saling susul menyusul mengejar tubuh-tubuh mereka berdua.

“Guntur Bumi, ingatlah tujuan kita datang kemari”, berkata Guntur Geni mencoba mengingatkan kawannya itu yang merasa khawatir bahwa Guntur Bumi dapat menewaskan wanita tua itu tanpa menyerap hawa murninya dengan ajian rahasia yang mereka dapatkan dari kulit sarung kujang Pangeran Muncang itu.

“Jangan khawatir sahabat”, berkata Guntur Bumi sambil melenting menghindari serangan tajam ujung pedang Nyi Jabarantas.

Rupanya sambil mengingatkan sahabatnya itu, diamdiam Guntur Geni sudah mulai menerapkan ajian ilmu rahasianya itu, sebuah ajian ilmu yang terbalik dari semestinya yang berdampak sangat keji yaitu dapat menyerap hawa murni lawan tandingnya.

Sekali dua kali Ki Jabarantas tidak menyadari bahwa dalam setiap sentuhan kulit akan berakibat fatal.

Namun lama kelamaan Ki Jabarantas dapat merasakan bahwa kekuatannya semakin lama seperti terkuras habis.

“Ilmu iblis!!”, berteriak Ki Jabarantas setelah mengetahui bahwa lawan tandingnya ternyata telah menerapkan sebuah ilmu yang dapat menyedot dan menguras habis hawa murninya itu.

“Kamu akan mati kehabisan tenaga”, berkata Guntur Geni merasa gembira ajian ilmu rahasia yang baru pertama kali di coba itu ternyata telah berjalan sebagaimana mestinya.

Maka Guntur Geni lebih gencar lagi menyerang Ki Jabarantas sambil menerapkan ajian ilmu rahasianya itu.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan punya banyak pengalaman bertanding, maka Ki Jabarantas telah begitu sangat berhati-hati untuk tidak tersentuh dan beradu tangan dengan lawannya yang ternyata mempunyai sebuah ajian ilmu yang sangat keji, sebuah ilmu yang dapat mencuri hawa murni lawannya.

“Keluarkan senjatamu bila kamu memang memiliki sebuah senjata”, berkata Ki Jabarantas sambil melepas pedang dari sarungnya.

“Aku tidak memiliki senjata apapun”, berkata Guntur Geni sambil tertawa dan langsung menerjang lawannya yang sudah tidak lagi bertangan kosong, tapi memegang sebuah senjata andalannya yang sudah sangat mahir dan andal berada di tangannya itu.

Tapi Guntur Geni memang tidak gentar sedikitpun, merasa ajian ilmu rahasianya pasti dapat menguras habis tenaga lawan dengan menyerap hawa murninya.

Harapan itu memang terjadi lewat sentuhan kaki dan tangan mereka yang tidak dapat dihindari oleh Ki Jabarantas meski sudah mengetahuinya.

“Sudah lama aku mendengar tentang ilmu hitam ini. Ternyata hari ini aku berhadapan dengan seorang pemiliknya. Sebuah kebanggaan bila saja aku dapat membunuh pemilik ilmu ini”, berkata Ki Jabarantas penuh semangat sambil memutar pedang andalannya menyerang dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.

Namun Guntur Geni begitu cerdik, langsung melompat menghindar dan langsung menerjang dengan sebuah tendangan kearah bahu lain lawannya yang tidak memegang senjata. Terpaksa Ki Jabarantas harus menghindarinya dengan cara menangkisnya.

Dan sebuah sentuhan telah terjadi lagi cukup lama, Ki Jabarantas merasakan hawa murninya telah terserap meluncur keluar begitu saja berpindah ke tubuh lawannya.

“Gila !!”, berkata Ki Jabarantas sambil bergeser menarik tangannya dengan cepat.

“Terima kasih telah menyumbangkan hawa  murnimu”, berkata Guntur Geni sambil tertawa panjang merasakan tenaga sakti sejatinya seperti kian bertambah akibat tambahan hawa murni lawannya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar