Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 12

 “Dosa apa yang telah mengkarma diriku ini, gadis yang kulukai itu ternyata keturunanku sendiri, putri Dewi Kaswari”, berkata seseorang di sebuah tempat tersembunyi di kediaman Patih Anggajaya yang sedari tadi telah berhasil mencuri dengar pembicaraan antara Bango Samparan dengan Bibi Ijah.

Siapakah orang yang tengah bersembunyi di kegelapan malam di rumah kediaman Patih Anggajaya itu?

“Lelaki itu pasti punya hubungan khusus dengan  Dewi Kaswari dan gadis itu”, berkata kembali orang itu dalam hati sambil langsung mendekati dinding pagar  batu dan telah melesat mengikuti arah kepergian Bango Samparan.

Dibawah guyuran hujan malam, orang itu telah membayangi langkah kaki Bango Samparan.

Malam itu hujan turun begitu lama mengguyur bumi, namun Bango Samparan tidak berusaha mencari tempat berteduh dan membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. Baru ketika telah keluar dari gerbang batas kotaraja sebelah selatan terlihat dirinya memperlambat langkah kakinya.

“Orang ini nampaknya memang tengah menuju lereng Gunung Galunggung”, berkata seseorang yang masih saja terus membayangi Bango Samparan dari jarak yang cukup tersembunyi.

Sementara itu Bango Samparan masih terus berjalan memperlambat langkah kakinya manakala telah memasuki sebuah jalan mendaki di sebuah hutan lebat. Hujan masih turun tidak berkurang derasnya, namun Bango Samparan sudah banyak terlindung oleh daun dan ranting di hutan itu.

Dibelakangnya masih saja seseorang membuntutinya, nampaknya orang itu punya daya penglihatan yang cukup tajam, meski di bawah hutan malam dan derasnya hujan tidak kehilangan selangkah pun dari Bango Samparan.

Bango Samparan memang masih belum juga menyadari bahwa ada seseorang yang terus membuntuti membayangi dirinya. Juga manakala hujan sudah mulai reda disaat hari sudah menjelang pagi.

“Aku seperti pernah mengenali orang ini”, berkata dalam hati orang yang masih saja membayangi Bango Samparan ketika hujan sudah reda di saat pagi menjelang.

“Sekarang aku jadi ingat kembali siapa dia, dua orang pengembara muda yang telah mencoba mendekati Dewi Kaswari beberapa tahun silam di Kotaraja Rakata. Dialah salah seorang dari dua pengembara itu yang telah membawa pergi Dewi Kaswari keluar dari Kotaraja Rakata”, berkata orang itu ketika melihat Bango Samparan berhenti berjalan bersandar di sebuah pohon rindang mencoba menghangatkan dirinya berjemur di bawah matahari pagi.

Hari memang sudah menjelang pagi, warna biru Gunung Galunggung memang sudah terlihat jelas dari tempat Bango Samparan bersandar beristirahat sejenak.

“Hari ini pasti Bibi Ijah sudah membangunkan Dewi Kaswari, mengabarkan tentang keadaan Andini. Aku berharap Dewi Kaswari tidak lagi merisaukan keadaan anak gadisnya itu”, berkata Bango Samparan dalam hati membayangkan suasana di rumah kediaman patih Anggajaya, membayangkan wajah Dewi Kaswari yang sudah terbangun di pagi itu.

“Di Rawa Rontek kita akan menjalin kembali masamasa indah itu bersama Andini. Dan kita adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia”, berkata kembali Bango Samparan dalam hati membayangkan suasana bahagia antara dirinya, Dewi Kaswari dan Andini anak kandung mereka di sebuah tempat yang sunyi jauh dari keramaian, di Rawa Rontek.

Namun, tiba-tiba saja lamunan Bango Samparan seperti buyar tertiup angin manakala matanya melihat sesosok tubuh entah dari mana datangnya sudah berdiri penuh senyum kebencian memandang ke arah dirinya.

“Siapa kamu?”, berkata Bango Samparan terkejut dan sudah langsung berdiri berhadapan wajah dengan orang yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya itu.

“Aku dewa pencabut nyawa”, berkata orang itu masih dengan senyum dan pandangan penuh kebencian.

Terlihat Bango Samparan mencoba mengamati orang di hadapannya itu, seorang tua berjubah seorang pendeta.

“Dari pakaiannya terlihat seorang pendeta, namun wajahnya begitu mengerikan penuh dengan kebencian”, berkata Bango Samparan dalam hati setelah sekilas mengamati orang dihadapannya itu.

“Siapakah tuan, dan adakah sebuah keperluan tuan yang dapat aku bantu?”, berkata Bango Samparan kepada orang itu setelah merasa hilang rasa terkejutnya dan sudah dapat menenangkan perasaan hatinya.

“Sudah kukatakan bahwa aku adalah dewa pencabut nyawa yang datang pagi ini untuk menjemputmu”, berkata orang itu dengan wajah dingin dan sorot mata begitu tajam penuh rasa kebencian.

“Kalau begitu tuan salah alamat, di depan kepalaku ini ada dua buah user-user, orang tua bilang aku akan mati di air dan bukan di hutan ini”, berkata Bango Samparan sambil tersenyum sudah dapat menguasai perasaan hatinya.

“Kamu benar, di dekat hutan ini ada kedung cukup dalam untuk menenggelamkanmu sampai nafasmu habis dan perutmu buncit dipenuhi air kedung itu”, berkata orang itu masih dengan wajah dan mata yang sama bahkan terlihat semakin begitu menyeramkan penuh hawa pembunuhan.

“Tuan sekali lagi salah, aku bukan orang lemah yang membiarkan diriku diseret dengan mudah kedalam kedung itu”, berkata Bango Samparan dengan wajah mulai kurang senang kepada orang itu namun masih dapat mengekang perasaannya.

“Kamu tidak bertanya mengapa aku ingin membunuhmu ?”, berkata orang itu kepada Bango Samparan dengan sikap yang masih dingin.

“Entah mataku yang salah atau perasaanku yang salah. Kulihat tuan sebagai seorang pendeta, namun ucapan tuan seperti seorang kasar yang biasa kutemui di pasar bersama para begundal”, berkata Bango Samparan sudah mulai tidak sabaran dan merasa muak menghadapi orang itu.

“Nampaknya aku berhadapan dengan seorang lelaki pemberani, namun sebelum kucabut nyawamu, aku ingin bertanya apa hubunganmu dengan Dewi Kaswari dan Andini”, berkata orang itu masih dengan sikap wajah yang semakin dingin.

Tersentak kaget Bango Samparan mendengar pertanyaan orang di hadapannya itu. Terlihat Bango Samparan mengerutkan keningnya mencoba mengamati orang berjubah pendeta itu dengan penuh seksama lagi, siapa tahu dirinya pernah mengenalinya.

Namun Bango Samparan masih juga meresa tidak pernah berjumpa dan mengenali orang berjubah pendeta itu.

“Siapa dirimu dan apa kepentinganmu bertanya kepadaku tentang itu?”, berkata Bango Samparan kepada orang itu. “Aku pernah tinggal diistana Rakata, orang menyebutku sebagai Pendeta Rakanata. Dan akulah ayah kandung dari Dewi Kaswari”, berkata orang berjubah pendeta itu menyebut jati dirinya sebagai pendeta Rakanata.

“Tuan berbohong besar, ayah Dewi Kaswari adalah seorang Raja dan bukan seorang pendeta”, berkata Bango Samparan menganggap orang dihadapannya itu telah berbohong.

“Terserah kamu mempercayai atau tidak, sekarang jawab pertanyaanku, apa hubunganmu dengan Dewi Kaswari dan Andini”, berkata Pendeta Rakanata dengan sikap mengancam.

“Suaramu penuh dengan ancaman, tapi aku berkata sebenarnya bukan takut karena ancamanmu. Ketahuilah bahwa Andini adalah anak kandungku dan Dewi Kaswari ibu kandung yang melahirkannya”, berkata Bango Samparan dengan wajah menengadah tanpa rasa gentar sedikitpun.

“Bersiaplah untuk mati hari ini, kesempatanku untuk mempunyai keturunan seorang Raja telah punah bersama pasukan patih Anggajaya yang pasti tidak akan berdaya apapun menghadapi kekuatan Raja Ragasuci. Aku akan membawa pergi Dewi Kaswari dan Andini bersama. Untuk itu aku harus membunuhmu agar kamu tidak menjadi duri dalam kehidupan kami nanti”, berkata Pendeta Rakanata dengan wajah begitu dingin memandang kearah Bango Samparan.

“Seandainya tuan benar adalah ayah kandung Dewi Kaswari, aku tidak akan membiarkan anak dan istriku itu ikut bersama seorang berwajah iblis seperti tuan”, berkata Bango Samparan dengan sikap menantang. “Anakku Dewi Kaswari harus bersuami seorang Raja, bukan dengan seorang gembel sepertimu. Itulah sebuah alasan aku membunuhmu”, berkata Pendeta Rakanata langsung menerjang dengan sebuah cengkraman kedua tangannya seperti terbang mengarah ke leher kepala Bango Samparan.

Ternyata Bango Samparan bukan anak kecil yang mudah digertak, tingkat tataran ilmu Bango Samparan bukan orang sembarangan dan sudah cukup terlatih. Maka dengan gesit dan lincahnya Bango samparan telah berpindah tempat langsung melakukan serangan balasan.

Melihat Bango Samparan dengan mudahnya berkelit dan sudah langsung melakukan serangan balik, maka Pendeta Rakanata telah menghentakkan serangannya lebih dahsyat dan cepat lagi, kali ini serangannya mengarah ke batok kepala Bango Samparan sendiri dengan sebuah tamparan yang cukup keras dan cepat.

Berdebar dada Bango Samparan, meskipun telah berhasil menghindari tamparan maut itu tetap saja merasakan angin hawa panas menyapu wajahnya.

Terlihat Bango Samparan seperti terhuyung jauh beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

“Aku tidak boleh bertangan kosong”, berkata Bango Samparan dalam hati langsung melepas pedang panjang dari sarungnya. Melihat Bango Samparan telah menggenggam sebuah pedang panjang, Pendeta Rakanata hanya mendengus seperti meremehkannya.

“Rentangkan pedangmu dan pilih tubuhku  yang paling lunak”, berkata Pendeta Rakanata.

Sambil berkata Pendeta Rakanata tidak menunggu serangan Bango Samparan, sebaliknya dirinya sudah bergerak seperti seekor Rajawali turun menerkam seekor mangsanya.

Terlihat Bango Samparan telah berkelit menghindari sambaran kaki Pendeta Rakanata yang meluncur mengincar tubuhnya dan dibalas oleh Bango Samparan dengan mengibaskan pedang panjangnya.

Dengan pedang panjangnya nampaknya Bango Samparan dapat mengimbangi jurus-jurus maut pendeta berhati kelam itu. Dan dengan pedang panjangnya Bango Samparan dapat mengambil jarak menghindari angin panas sambaran Pendeta Rakanata yang dapat menyengat kulit lawan.

Hingga ratusan jurus Pendeta Rakanata tidak juga dapat menguasai pertempuran itu dimana Bango Samparan selalu menjaga jarak serangnya.

Terlihat wajah Pendeta Rakanata sudah menjadi memerah menahan kemarahan yang meledak-ledak masih belum mampu menundukkan lawannya itu.

“Sampai dimana kemampuan tertinggi orang ini”, berkata dalam hati Pendeta Rakanata sambil menghentakkan tataran ilmunya setingkat lebih tinggi lagi.

Dan Bango Samparan merasakan daya gempur Pendeta itu terasa lebih dahsyat lagi, lebih cepat dan lebih menyengat hawa panas daya sambaran angin serangannya.

Terlihat peluh telah membasahi tubuh Bango Samparan menahan hawa panas yang mengepung dirinya bersama serangan-serangan Pendeta Rakanata yang semakin cepat dan kuat. “Manusia tidak tahu diri ini harus kujebak dengan permainan dekat”, berkata Pendeta Rakanata dalam hati melihat lawannya sudah bermandi peluh berusaha mengimbangi pertempuran itu.

Dan nampaknya Pendeta Rakanata telah melihat sebuah kesempatan terbuka untuk melaksanakan jebakannya itu.

Terlihat Pendeta bermata elang itu seperti mendengus manakala melihat Bango Samparan tengah membalas serangannya dengan cara membacokkan pedang panjangnya seperti membelah bumi.

Dan Bango Samparan menjadi heran melihat lawannya seperti tidak bergeming membiarkan pedang panjangnya terus terayun turun diatas kepalanya.

Ternyata Pendeta Rakanata sudah dapat mengukur daya kecepatan serangan lawannya itu, hingga  manakala hanya sebatas dua jari lagi pedang Bango Samparan diatas kepalanya. Maka seketika itu juga Pendeta berhati dingin itu telah bergeser lebih cepat dari luncuran pedang Bango samparan.

Entah dengan cara apa sebuah tangan kanan Pendeta Rakanata telah menggenggam sebuah senjata.

Trang !!!!

Pedang panjang Bango samparan telah beradu dengan sebuah senjata pendek di tangan Pendeta Rakanata.

Luar biasa daya serang itu telah membuat Bango Samparan terlempar tiga langkah ke belakang.

Terbelalak mata Bango Samparan melihat pedang panjangnya sudah tidak seperti semula, sudah kutung terbagi dua. Berdebar dada Bango Samparan manakala melihat pendeta Rakanata tidak berusaha mengejarnya, hanya berdiri dengan senyum dingin sambil menggenggam sebuah senjata pendek ditangannya.

“Kujang Pangeran Muncang!!”, berkata Bango Samparan mengenali senjata di tangan pendeta Rakanata itu.

“Matamu sangat jeli mengenali sebuah senjata pusaka”, berkata Pendeta Rakanata merasa diatas angin melihat wajah lawannya yang terlihat menjadi jerih.

“Jadi tuan sendiri yang telah melukai Andini di rumah kediaman Patih Anggajaya?”, berkata Bango Samparan masih dengan membelalakkan matanya.

“Berbangga hatilah, senjata ini telah banyak menewaskan para Ksatria. Sebentar lagi kamulah yang akan tewas olehnya”, berkata Pendeta Rakanata dengan sinar mata mengerikan seperti mata seekor elang liar yang telah berhasil mencengkeram mangsanya untuk secepatnya di bawa terbang.

“Jangan salah artikan sikapku, aku tidak pernah gentar sedikitpun dengan senjata pusaka hasil rampasanmu itu, aku hanya menjadi begitu takut melihat dosa-dosa tuan di balik jubah pendeta itu”, berkata Bango Samparan dengan dada menengadah.

Pantang buat Pendeta Rakanata mendengar cemoohan dirinya yang langsung membuka aibnya berkaitan dengan jubah kependetaannya itu. Sebuah rahasia pribadi yang selama ini di tutupnya rapat-rapat. Aib hidup sebagai dua pribadi yang berbeda.

Sebenarnya Bango Samparan hanya asal ucap, belum mengenal siapa sebenarnya pendeta Rakanata. Tapi ucapannya itu telah berhasil membuat kemarahan besar pada diri Pendeta Rakanata.

“Hanya dengan sedikit goresan dapat melepas nyawa orang, tapi aku akan mencincang dirimu dengan senjata ini”, berkata Pendeta Rakanata dengan mata elangnya yang begitu tajam dan dingin menusuk tajam memandang Bango Samparan.

“Dengan pedang kutung ini aku masih dapat mengimbangimu”, berkata Bango Samparan yang telah dapat menguasai kembali perasaan kegentaran hatinya.

Wusss !!!

Angin sambaran serangan Pendeta Rakanata melesat seperti angin kawah berapi dirasai telah menyentuh kulit Bango Samparan yang masih dapat berkelit menghindari serangan Pendeta Rakanata yang sudah begitu murka untuk menghabiskan nyawa lawannya itu.

Berkali-kali Bango Samparan harus melompat lebih jauh menghindari hawa panas serangan Pendeta yang telah murka itu.

Peluh telah membasahi wajah dan tubuh Bango Samparan, meski dirinya masih dapat bertempur tapi tenaga dan daya tahan tubuhnya telah melorot surut hingga dalam sebuah serangan tidak sempat lagi menghindari benturan senjata lawannya yang sudah diketahui sebagai senjata pusaka keramat begitu kuat dan sangat tajam mengalahkan besi waja apapun.

Trangg !!!!

Untuk kedua kalinya terdengar suara dua senjata beradu. Untuk kedua kalinya pula Bango Samparan terbelalak menyaksikan pedang panjangnya sudah tidak bisa lagi disebut sebagai sebuah pedang, tapi hanya sebuah pisau belati, bahkan lebih pendek lagi hanya sejengkal dari pegangan tangannya.

Tapi Bango Samparan bukan seorang pengecut, Bango Samparan adalah seorang lelaki sejati pemberani yang sudah malang melintang menghadapi berbagai macam ragam bahaya.

“Aku masih sanggup menghadapi tuan”, berkata Bango Samparan sambil melempar pedang kutungnya.

“Bagus, baru kali ini aku berhadapan dengan seorang lawan yang tidak takut mati”, berkata Pendeta Rakanata sambil mengangkat senjata kujang ditangannya itu seakan memberi peringatan kepada Bango Samparan untuk berhati-hati dengan senjatanya itu.

Selesai berbicara Pendeta Rakanata seperti sudah tidak sabaran lagi untuk mencincang lawannya. Terlihat Bango Samparan beberapa kali harus berkelit menghindari serangan senjata Kujang di tangan Pendeta Rakanata.

Tidak dapat dibayangkan kesulitan yang di hadapi Bango Samparan. Dengan pedang ditangan sudah harus berjibaku mengimbangi jurus-jurus maut Pendeta Rakanata, sementara saat itu Bango Samparan harus bertempur kembali tanpa senjata apapun.

Pertempuran memang sudah dapat dibaca bahwa Pendeta Rakanata tentunya yang sudah berada diatas angin mampu menguasai jalannya pertempuran itu. Dan Bango Samparan memang tidak kuasa lagi untuk mengikuti gaya bertempur Pendeta Rakanata yang memaksanya dengan pertempuran jarak pendek.

Nafas Bango Samparan sudah seperti tersengal, tenaganya pun sudah semakin melemah namun masih tetap bertahan menghindari serangan-serangan tajam dan ganas dari Pendeta Rakanata.

Hingga akhirnya dalam sebuah serangan yang  terlihat begitu kuat dan cepat Bango Samparan seperti pasrah melihat Kujang pangeran Kuncar telah terayun kearah batang lehernya.

Langkah Bango Samparan memang sengaja dibuat mati langkah tidak bisa mengelak lagi, namun lelaki pemberani itu tidak mau mati dalam keadaan terpejam. Terlihat dengan gagahnya matanya masih saja terbuka menatap senjata pusaka para raja pasundan itu nyaris mendekati batang lehernya.

Namun Bango Samparan seperti terperanjat melihat senjata pusaka sakti itu sedikit meleset seperti terlempar jauh dari batang lehernya.

Sementara itu, bila Bango Samparan terperanjat, maka Pendeta Rakanata sepuluh kali lebih terperanjat lagi.

Apa yang telah terjadi dalam pertempuran itu??

Ternyata begitu tangan Pendeta Rakanata sudah merasa dapat melukai batang leher Bango Samparan dengan senjata kujangnya itu, seketika itu pula dirasakan sebuah batu kerikil kecil telah berhasil menyentuh senjatanya dan seketika itu pula dirasakan tangannya seperti terasa panas tergetar dan tidak sanggup lagi mempertahankan senjatanya sendiri terlepas dan terlempar jauh.

Seketika itu juga Pendeta Rakanata telah mundur beberapa langkah dengan wajah pucat pasi merasa ada seseorang yang sangat sakti mampu menggetarkan tangannya hanya dengan sebuah lemparan batu kerikil kecil.

“Pendeta Rakanata, bertobatlah selagi masih ada kesempatan hidup untukmu”, berkata tiba-tiba seseorang yang telah muncul diantara mereka.

Sementara itu Bango Samparan yang merasa terlepas dari kematian telah memandang seseorang lelaki tua seusianya berdiri tidak jauh darinya yang diyakini telah menyelamatkan selembar jiwanya itu.

Bango Samparan melihat lelaki itu berjubah sebagaimana seorang Pendeta, sama dengan yang dikenakan oleh Pendeta Rakanata. Yang berbeda mungkin bahan yang dipakai orang itu nampaknya hanya sebuah kain biasa nampak sudah lebih lusuh. Namun wajah orang itu seperti lembut dan sangat cerah dengan sebuah bibir yang selalu basah terlihat penuh dengan senyum.

“Siapa kamu”, berkata Pendeta Rakanata kepada orang itu.

“Pemahamanmu terhadap kitab Tantra hanya  sebatas sebuah rangkaian huruf demi huruf yang indah, itulah sebabnya kitab Tantra yang telah kamu hapal itu tidak dapat melindungi nafsu binatangmu sendiri. Sudah begitu banyak wanita yang menjadi korbanmu”, berkata orang itu dengan suara perlahan namun terasa begitu tajam terdengar di telinga pendeta Rakanata.

“Siapa kamu?”, bertanya kembali Pendeta Rakanata merasa penasaran untuk mengenal siapa gerangan orang itu yang telah mengetahui pribadi buruknya selama ini.

“Akulah bayi lelaki putra Raja Rakata yang kamu buang di sebuah hutan”, berkata orang itu masih dengan suara perlahan kepada Pendeta Rakanata.

Terkejut bukan kepalang Pendeta Rakanata mendengar ucapan orang itu seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

“Kamu telah mencoba merubah ketetapan Yang Maha Berkehendak, mencoba menukar anakmu agar menjadi seorang ningrat terhormat. Bertahun-tahun kucoba menelusuri siapa diriku yang berawal seorang bayi merah di pinggir hutan. Akhirnya dapat juga kutemui ujung dari awal itu, menemukan dirimu sebagai hal  ikhwal dari semuanya. Kutahan kemarahan ini hanya berharap waktu dapat merubah dirimu. Namun sampai hari ini ternyata kamu masih seperti dulu kala, masih tidak dapat mengendalikan sifat kebinatangan di dalam dirimu sendiri”

“Ternyata kamu adalah bayi putra Raja Rakata itu”, berkata Pendeta Rakanata sambil tertawa panjang.

“Lekaslah pergi jauh dari mataku sebelum aku berubah pikiran”, berkata orang itu sambil membentak, nampaknya orang itu tengah meredam kemarahannya sendiri.

Sudah bakat dan dasarnya bahwa jiwa Pendeta Rakanata adalah seorang yang culas dan sangat licik. Diam-diam telah mengukur kemampuan dirinya sendiri yang tidak mungkin dapat melawan orang itu.

“Benturan kerikil kecil itu telah membuktikan kemampuan dari orang ini yang tidak mungkin terlawan olehku, aku akan pergi jauh menghindarinya”, berkata dalam hati Pendeta Rakanata dengan culasnya.

“Kukatakan bahwa ini adalah pertemuan pertama kita, esok hari aku mungkin sudah berubah pikiran akan mengakhiri petualanganmu”, berkata orang itu manakala telah melihat Pendeta Rakanata berjalan menunduk menjauhinya dan terlihat telah lari menghilang di kerimbunan hutan.

“Bawalah kujang itu dan serahkan kepada Prabu Guru Darmasiksa, bukankah tujuanmu ke lereng gunung Padepokan-nya?”, berkata orang itu kepada Bango Samparan.

Terlihat Bango Samparan segera mengambil sebuah kujang yang tergeletak di tanah.

“Tuan telah menyelamatkan hamba, siapakah gerangan nama tuan agar hamba dapat bercerita tentang budi ini kepada keturunan hamba”, berkata Bango samparan kepada orang itu.

Terlihat orang itu penuh senyum memandang Bango Samparan dengan wajah penuh welas asih.

“Aku hanya kebetulan lewat, budi dan karma ini hanya sebagai sebuah sebab akibat, mungkin saja leluhurmu pernah berbuat yang sama sebagaimana kulakukan hari ini. Sudah lama aku melupakan namaku sendiri, beberapa orang menyebutku sebagai seorang pertapa dari Gunung Wilis”, berkata orang itu kepada Bango Samparan.

Berdesir seluruh bulu roma Bango Samparan, baru dalam kedipan mata orang itu sudah tidak ada lagi ditempatnya.

“Hanya manusia setengah dewa yang dapat terbang dan menghilang seperti itu”, bergumam dalam hati Bango Samparan menyaksikan sebuah kesaktian ilmu tingkat tinggi itu. Terlihat Bango Samparan telah bersiap untuk melanjutkan kembali perjalanannya menuju lereng gunung Galunggung yang sudah terlihat membiru di saat matahari bersinar terang di siang itu.

“Pendeta Rakanata telah mengatakan bahwa Dewi Kaswari adalah putri kandungnya sendiri. Sementara orang itu telah meyakinkan ucapan Pendeta Rakanata yang telah dengan sengaja menukar bayi Raja Rakata”, berkata Bango Samparan dalam hati sambil berjalan.

“Haruskah rahasia besar ini kuceritakan kepada Dewi Kaswari dan Andini?”, berputar-putar pertanyaan di kepala Bango Samparan mencoba berhitung baik dan buruknya bila semua rahasia besar itu di ketahui oleh Dewi Kaswari dan Andini.

Dan tidak terasa Bango Samparan sudah berada di kaki Gunung Galunggung yang terlihat hijau tinggi menjulang menyentuh awan langit biru. Sang surya terlihat sudah lama bergeser dari puncaknya tidak lagi menyengat kulit tubuh Bango Samparan yang telah memasuki hutan pegunungan di jalan mendaki.

Sementara itu di sebuah hutan lain, sekelompok orang terlihat tengah berjalan.

Bila ada seseorang yang melihat sekelompok orang yang berjalan di hutan itu, pasti akan terheran-heran melihat sepuluh orang diantara mereka berkulit kuning lebih cerah dari kulit umumnya orang pribumi di bumi Pasundan.

Ternyata mereka adalah Gajahmada dan kelompok pasukan penyergapnya yang ditugaskan khusus memata-matai para pemberontak Pasukan Rakata yang saat itu masih bersembunyi di sekitar hutan timur Kotaraja Kawali. Dan kesepuluh orang asing itu adalah para biksu terbaik dari Tibet yang sengaja di ikutkan oleh Gajahmada.

Sementara itu tiga orang muda yang ikut bersama Gajahmada adalah Pangeran Citraganda, Pangeran Jayanagara dan seorang lagi yang nampak lebih tua dari ketiganya yang bertubuh terlihat begitu kokoh, kekar dan kuat akibat tempaan dan latihan berat selama masa hidupnya. Siapa lagi orang muda itu kalau bukan Putu Risang. Seorang muda namun telah memiliki kesaktian yang sangat tinggi sangat jarang sekali yang dapat setara dengannya saat itu di jamannya selain seorang Patih Mahesa Amping yang tidak lain adalah gurunya sendiri yang saat itu telah di tugaskan menjadi seorang Patih di tanah Kediri.

“Kita berjalan melambung menghindari hutan timur Kotaraja agar tidak terlihat Pasukan Rakata yang saat ini masih berada disana”, berkata pangeran Citraganda yang ikut dalam pasukan penyergap itu seperti telah mengenal betul tiap jengkal tanah di Bumi Pasundan itu.

Semua orang dalam pasukan itu nampaknya sangat mempercayai Pangeran Citraganda atas penguasaan dan pengenalannya pada tanah hutan disekitar Kotaraja Kawali itu. Terlihat mereka telah mengikuti kemanapun langkah kaki Pangeran Citraganda melangkah.

“Di ujung jalan ini kita akan menemukan sebuah padukuhan yang terdekat dengan hutan timur Kotaraja”, berkata Pangeran Citraganda memberikan keterangan tentang arah perjalanan mereka.

“Bukankah kita tidak perlu berada di Padukuhan itu

?”, berkata Putu Risang mencoba mengingatkan tentang tugas mereka sebagai pasukan khusus itu. “Benar, tugas kita adalah menyergap mereka yang keluar mencari tambahan perbekalan. Dan kita harus berada diantara padukuhan dan hutan timur itu”, berkata Gajahmada.

Demikianlah, akhirnya mereka dapat menemukan sebuah tempat yang baik untuk mengintai diantara kedua tempat itu.

Namun hingga datang menjelang malam mereka tidak juga mendapatkan orang-orang Rakata itu keluar dari hutan persembunyian mereka.

“Nampaknya persediaan mereka masih cukup banyak”, berkata pangeran Citraganda menduga-duga setelah sekian lama mengintai ditempat tersembunyi.

“Malam masih sangat panjang”, berkata Putu Risang sambil tersenyum melihat kegelisahan hati Pangeran Citraganda itu.

“Atau mereka keluar mencari Padukuhan yang lain”, berkata kembali Pangeran Citraganda.

Mendengar ucapan Pangeran Citraganda, terlihat Pangeran Jayanagara dan Gajahmada saling beradu pandang, mungkin telinga mereka sudah menjadi risih mendengar sikap Pangeran Citraganda penuh keraguan bahwa mereka berada di tempat yang kurang tepat. Meski begitu mereka berdua tidak berkata apapun, mereka masih menghargai Pangeran Citraganda sebagai seorang tuan rumah di bumi Pasundan itu.

Namun Putu Risang masih menanggapi sikap keraguan Pangeran Citraganda itu dengan sikap yang lain, mencoba mengalihkan arah pembicaraannya.

“Pangeran Citraganda pernah berburu Babi hutan?”, bertanya Putu Risang kepada Pangeran Citraganda. “Aku sangat senang sekali berburu babi hutan”, berkata pangeran Citraganda.

“Pangeran Citraganda pernah berburu badak bercula satu?”, bertanya kembali Putu Risang kepada pangeran Citraganda.

Terlihat Pangeran menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda belum pernah melakukannya.

“Berburu Babi hutan harus punya sebuah kesabaran yang kuat, sementara berburu Badak bercula satu harus punya kesabaran lebih kuat lagi”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Citraganda.

Mendengar perkataan Putu Risang itu, terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara kembali saling beradu pandang, sepertinya mereka berdua sudah dapat mengerti kemana arah pembicaraan Putu Risang itu.

“Mengapa harus punya kesabaran yang berbeda untuk dua perburuan yang berbeda?”, bertanya Pangeran Citraganda.

“Perbedaannya adalah bahwa Babi hutan selalu berjalan setiap malam di tempat yang sama, kita hanya perlu kesabaran menunggu waktu yang tepat, sementara Badak bercula satu tidak akan berjalan ke tempat yang sama setiap harinya, dan kita harus lebih bersabar lagi menunggu keberuntungan itu datang”, berkata Putu Risang menjelaskan tentang sebuah perburuan.

Kembali Gajahmada dan Pangeran Citraganda saling beradu pandang sudah dapat mengerti kemana arah pembicaraan Putu Risang selanjutnya. Mereka berdua seperti tahu bahwa Putu Risang sedang membuat sebuah perumpamaan bahwa saat ini mereka tengah berburu sekelompok manusia yang lebih cerdik dari seekor babi hutan atau seekor badak bercula satu sekalipun.

“Bila ada kesempatan, aku akan mencoba berburu badak bercula satu”, berkata Pangeran Citraganda merasa tertarik dengan cerita Putu Risang tentang sebuah perburuan itu.

Kembali Gajahmada dan Pangeran Jayanagara saling beradu pandang, terlihat air muka keduanya telah menunjukkan wajah kekesalannya melihat Pangeran Citraganda masih juga tidak mengerti dan paham perumpamaan dan sindiran Putu Risang yang sangat halus itu. Meski begitu mereka berdua merasa enggan menanggapi sikap Pangeran Citraganda itu, tidak berkata apapun karena takut dapat berbuah menyinggung perasaan seorang tuan rumah.

“Aku mendengar sebuah suara mencurigakan”, berkata Gajahmada tiba-tiba.

“Aku tidak mendengar suara apapun”, berkata Pangeran Citraganda merasa tidak mendengar suara apapun.

Sementara itu Putu Risang dan Pangeran Jayanagara sudah mulai dapat menduga Gajahmada pasti tengah membuat sebuah seloroh saja.

“Aku mendengar suara kera muda gelisah”, berkata Gajahmada nampak seperti mencoba mengarahkan daun telinganya agar mendengar lebih jelas lagi.

“Benar, aku juga mendengarnya. Kasihan sekali kera muda itu”, berkata pula Pangeran Jayanagara.

Melihat kedua muridnya tengah berbicara iseng dan nakal hanya ingin mengerjai Pangeran Citraganda, terlihat Putu Risang tidak berkata apa-apa, hanya ikut tersenyum dalam hati melihat kenakalan kedua muridnya itu.

“Aku tidak mendengar apapun”, berkata Pangeran Citraganda merasa penasaran.

“Sekarang memang sudah semakin menjauh, mungkin tertinggal oleh kelompoknya yang pergi mencari buah matang di sebuah tempat baru”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Citraganda.

“Menurutku belum pergi jauh, aku mendengar suara dengkurnya”, berkata Pangeran Jayanagara ikut menanggapi permainan Gajahmada.

“Kalau suara itu aku juga mendengarnya, menurutku itu hanya suara dengkur salah seorang biksu”, berkata Pangeran Citraganda.

“Kamu benar, itu bukan suara kera muda, tapi suara dengkur salah seorang biksu yang lelah hingga tertidur diatas pohon”, berkata kembali Gajahmada ditanggapi tawa oleh Pangeran Jayanagara.

Sementara itu Putu Risang meski tidak ikut tertawa, tapi diam-diam tersenyum dalam hati ikut terhibur dengan gaya canda kedua muridnya itu.

Malam pun perlahan semakin larut bersama suara binatang hutan yang kadang terdengar memecah suara kesenyapan malam.

“Para kera dari Rakata nampaknya sudah mulai kelaparan dimalam ini”, berkata Putu Risang.

Mendengar perkataan Putu Risang, terlihat Gajahmada., Pangeran Jayanagara dan Pangeran Citraganda dari tempat persembunyiannya telah memasang telinganya mencoba menangkap lebih peka lagi agar dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Putu Risang.

Sementara itu sepuluh orang biksu terlihat semakin siaga diatas pohon persembunyiannya. Nampaknya mereka juga telah mendengar suara langkah banyak orang tengah berjalan.

Ternyata suara banyak langkah memang tengah mendekati mereka. Terlihat Pangeran Citraganda berusaha menahan nafasnya sendiri ketika melihat dari arah persembunyiannya banyak orang berjalan di kegelapan malam.

“Nampaknya arah mereka adalah Padukuhan terdekat di pinggir hutan ini”, berkata Pangeran Citraganda berbisik kepada Putu Risang didekatnya.

“Kita sergap mereka sebelum mencapai Padukuhan terdekat, kasihan para warga padukuhan itu yang harus menyerahkan lumbung hasil taninya kepada orang-orang Rakata itu”, berkata Pangeran Jayanagara memberikan sebuah usulan.

“Bagaimana menurutmu Mahesa Muksa, kamulah pemimpin pasukan ini”, berkata Putu Risang meminta keputusan Gajahmada sebagai seorang yang ditunjuk langsung oleh Raja Ragasuci menjadi pemimpin pasukan penyergap itu.

“Sebuah usul yang baik. Kita sergap mereka sebelum membuat susah para warga Padukuhan”, berkata Gajahmada sambil keluar dari persembunyiannya.

Terlihat Putu Risang, Pangeran Citraganda dan Pangeran Jayanagara mengikuti Gajahmada telah keluar dari persembunyiannya. Terdengar suara burung hantu tiga kali, rupanya suara itu berasal dari salah seorang biksu yang meminta kawan-kawannya untuk keluar dari persembunyian mereka.

Melihat pasukan kecilnya sudah berkumpul, terlihat Gajahmada telah memberi sebuah isyarat agar mereka berjalan mengikuti arah perginya orang-orang Rakata itu.

Dan dengan langkah cepat tanpa suara sedikitpun pasukan kecil itu sudah dapat mengejar orang-orang Rakata itu.

Beberapa kali Gajahmada memberi tanda agar mereka berhenti ketika melihat jarak mereka terlalu dekat dengan orang-orang Rakata itu.

“Jumlah mereka berkisar sekitar lima puluh orang lebih”, berkata Gajahmada berbisik kepada Putu Risang di dekatnya.

“Kita sergap mereka di tempat agak terbuka di hutan ini”, berkata Putu Risang sambil matanya masih memandang orang-orang Rakata yang masih juga belum menyadari bahwa mereka tengah dibuntuti.

Demikianlah, pasukan kecil pimpinan Gajahmada itu masih saja membayangi orang-orang Rakata di kegelapan malam hutan itu.

Ketika Gajahmada telah melihat sebuah tempat agak terbuka di hutan itu, terlihat Gajahmada telah memberikan sebuah tanda agar pasukan kecilnya bersiap diri.

“Aku akan memberi sebuah kejutan menghentikan langkah mereka”, berkata Gajahmada sambil mengambil sebuah kerikil kecil.

Terlihat Gajahmada sudah menjentikkan kerikil kecil itu dengan salah satu jari tengahnya.

Ternyata jentikan Gajahmada itu diarahkan ke sebuah dahan pohon tidak jauh di muka orang-orang Rakata itu yang masih berjalan melangkah.

Bukan main dampak sebuah jentikan kerikil kecil dari tangan Gajahmada. Rupanya Gajahmada telah melambari jentikannya itu dengan tenaga sakti sejatinya.

Duarrrr !!!!!

Terdengar suara benturan yang amat keras. Terlihat sebuah dahan besar sepelukan orang dewasa yang tumbuh melintang retak seperti dibenturkan sebuah benda amat besar dan kuat.

Brakk ….bummm !!!

Batang pohon retak itu sudah terbelah dan jatuh berdegum di tanah tidak jauh dari orang-orang Rakata  itu.

Terlihat orang-orang Rakata itu seperti terkejut dan langsung menghentikan langkahnya.

“Untung kita tidak tepat di bawahnya”, berkata seorang yang berjalan di deretan terdepan.

“Permisi, permisi, anak bagong mau lewat”, berkata seseorang lagi dekat orang terdepan yang percaya dengan cerita para hantu dedemit penunggu hutan.

“Ini bukan hantu, tapi ada seseorang yang sengaja berbuat ulah mengganggu kita”, berkata seseorang yang nampaknya adalah pemimpin diantara orang-orang Rakata itu.

Mendengar ucapan pemimpinnya itu, seketika itu  pula hampir semua orang terlihat sudah meraba gagang senjatanya masing-masing seperti sebuah sikap akan menghadapi seorang musuh.

Ternyata mereka salah menghadap, musuh yang akan mereka hadapi itu ada di belakang mereka manakala terdengar suara orang berasal dari arah belakang mereka.

“Kami bukan dedemit penunggu hutan ini, kami  hanya ingin meminta kalian kembali ke pasukan kalian”, berkata seseorang dari arah belakang orang-orang Rakata itu.

Seketika orang-orang Rakata itu berbalik badan untuk melihat siapa musuh mereka itu.

Samar-samar orang-orang Rakata itu telah melihat Gajahmada dan pasukan kecilnya telah berdiri siap menantang.

Kegentaran perasaan hati orang-orang Rakata itu kembali mengembang manakala melihat musuh mereka yang akan dihadapi itu hanya beberapa orang jauh lebih sedikit dari jumlah mereka sendiri.

“Berani sekali kalian meminta prajurit Rakata kembali ke pasukannya, sekarang kalianlah yang kembali untuk datang lagi membawa lebih besar lagi orang-orangmu”, berkata pemimpin orang Rakata itu.

“Kami memang tidak perlu banyak orang untuk meminta kalian kembali ke pasukanmu. Bekerja samalah diantara kita, kalian tidak terluka apapun”, berkata orang di seberang sana yang ternyata adalah suara Gajahmada.

Terlihat pemimpin orang Rakata itu seperti tengah memastikan bahwa tidak ada orang lagi yang mungkin masih bersembunyi.

“Habisi  mereka,  waktu  kita  sudah  banyak terbuang

!!”, berteriak pemimpin orang Rakata itu setelah memastikan musuh mereka hanya sebuah pasukan kecil, kurang dari lima belas orang saja.

Suasana senyap di hutan itu sontak seketika menjadi seperti riuh bergemuruh oleh langkah kaki puluhan orang serentak menghentakkan kaki mereka diatas tanah hutan di malam itu.

Terlihat Gajahmada, Putu Risang, Pangeran Jayanagara dan Pangeran Citraganda telah berpencar menyongsong lawan-lawan mereka.

Tidak ketinggalan para biksu seperti tahu apa yang harus mereka lakukan menghadapi lawan yang jumlahnya lima kali lipat dari kekuatan mereka.

Ternyata mereka adalah sepuluh orang biksu terbaik, terlihat sepuluh tongkat kayu mereka seperti balingbaling yang berputar begitu kencangnya membuat setiap lawan mereka tidak dapat menembus dan mendekati mereka dengan mudah.

Satu dua orang terlihat memaksakan diri mencoba menerobos masuk ke lingkaran daya putar para biksu itu, maka mereka telah menjadi korban pertama dari pertempuran itu.

Di sisi lain, terlihat Pangeran Citraganda telah dikepung oleh lima orang Rakata. Semangat dan daya tempur anak muda itu memang sangat membanggakan hati dapat mengimbangi kelima orang Rakata bahkan terkadang permainan pedangnya mampu melakukan serangan balasan yang membuat kelima orang Rakata  itu jungkir balik menghadapinya.

Yang paling naas adalah orang-orang Rakata yang telah memilih Gajahmada, Putu Risang dan Pangeran Jayanagara. Meski mereka bertempur dengan tangan kosong, ketiga ksatria dari Majapahit itu seperti bola api menerjang semut merah. Siapapun yang mendekati mereka langsung tersapu dan terpental terkena tendangan dan pukulan mereka langsung patah dan remuk terasa tulang mereka tidak mampu berdiri lagi untuk melakukan pertempurannya. Nampaknya ketiga orang ksatria satu perguruan itu belum menggunakan tenaga sejati mereka seutuhnya, namun tetap saja menjadi lawan yang sangat menggetarkan hati, siapapun orang Rakata yang mencoba mendekat langsung terjungkal terkena pukulan dan tendangan mereka bertiga.

Maka tidak heran bila dalam waktu yang begitu singkat, kekuatan orang-orang Rakata itu sudah susut setengahnya.

“Jangan biarkan seorang pun dapat kembali”, berteriak Gajahmada sambil seperti terbang melesat begitu cepat kesana kemari membawa korban orangorang Rakata.

Mendengar teriakan Gajahmada, terlihat pangeran Jayanagara telah mengikuti langkah Gajahmada dengan tidak menunggu lawan mendekatinya, sebaliknya telah memburu orang-orang Rakata disekitarnya.

Diam-diam Putu Risang merasa bangga dengan semangat dan kemampuan kedua muridnya itu.

“Untungnya mereka berdua tidak menggunakan kekuatan seutuhnya”, berkata Putu Risang dalam hati tersenyum dalam hati melihat kedua muridnya masih mampu mengendalikan perasaan jiwa muda mereka, tidak semena-mena menghajar habis lawan mereka itu, hanya sekedar membuat tulang tubuh lawan remuk tidak membahayakan jiwanya. Meski tengah menghadapi lawannya tanpa berusaha sepenuhnya cepat-cepat menjatuhkan mereka, masih sempat pula Putu Risang melihat pertempuran Pangeran Citraganda.

“Permainan pedang anak muda itu sangat luar biasa”, berkata Putu Risang melihat pertempuran Pangeran Citraganda.

Sebagaimana yang dilihat oleh Putu Risang, pedang panjang pangeran Citraganda telah beberapa kali berhasil mengenai sasaran ke tubuh lawannya orangorang Rakata itu. Mata Putu Risang segera beralih kearah para biksu yang tengah bertempur dengan sebuah tongkat panjangnya.

“Sebuah permainan tongkat panjang yang indah”, berkata Putu Risang dalam hati terpesona memuji gerak jurus-jurus tongkat maut para biksu dari Tibet itu.

“Nampaknya pasukan kecil Gajahmada sebentar lagi akan menguasai pertempuran ini”, berkata kembali Putu Risang dalam hati ketika melihat jumlah orang-orang Rakata sudah semakin berkurang.

Sebagaimana yang disaksikan oleh Putu Risang, jumlah orang-orang Rakata itu memang sudah semakin berkurang. Satu dua orang biksu sudah tidak punya lawan lagi hanya berdiri menonton kawan mereka yang masih menghadapi dua tiga orang lawan.

“Aku menyerah”, berkata seorang Rakata yang tinggal sendirian menghadapi seorang biksu sambil melemparkan pedang besarnya.

“Jangan bunuh aku”, berkata seorang Rakata lain kepada Pangeran Citraganda melihat beberapa orang kawannya sudah terluka terkena sambaran pedang putra Mahkota Pasundan itu.

“Lempar pedang besarmu, aku akan mengampunimu”, berkata Pangeran Citraganda menggertak lawannya yang sudah sangat takut itu.

Sebagaimana dugaan Putu Risang, dalam waktu yang tidak begitu lama orang-orang Rakata itu memang telah berhasil dilumpuhkan.

Terlihat sekitar sepuluh orang yang menyerah tidak terluka telah diikat dengan kuat, sementara itu beberapa orang Rakata yang terluka tidak mampu berdiri telah dikumpulkan menjadi satu.

“Kita bawa mereka ke Padukuhan terdekat, mungkin orang-orang warga Padukuhan dapat mengurus mereka, terutama yang terluka”, berkata Putu Risang kepada Gajahmada.

Demikianlah, malam di sebuah hutan masih berlalu sepertiganya ketika terlihat sebuah iring-iringan panjang sebuah pasukan kecil Gajahmada yang tengah menggiring orang-orang Rakata yang telah menjadi tawanan mereka.

Akhirnya iring-iringan panjang itu terlihat telah keluar dari hutan membelah sebuah padang ilalang di jalan mendaki.

“Siapa kalian !!”, berkata salah seorang dari kelima orang peronda malam di sebuah padukuhan terdekat ketika mereka melihat sebuah iring-iringan panjang memasuki Padukuhan mereka.

“Aku Pangeran Citraganda”, berkata Pangeran Citraganda kepada kelima peronda malam itu.

“Ampunkan hamba yang tidak mengetahui kedatangan tuanku Pangeran”, berkata kelima orang itu sambil langsung bersujud menyentuh bumi sebagai tanda penghormatan mereka. “Aku ingin menemui Ki Jagaraga”, berkata Pangeran Citraganda kepada kelima peronda malam itu.

Salah seorang dari kelima peronda malam itu nampaknya cepat tanggap segera tahu apa yang harus dilakukannya.

“Hamba akan mengantar tuanku Pangeran ke rumah Ki Bekel yang tidak jauh lagi dari sini, sementara salah seorang dari kawan hamba akan pergi ke rumah Ki Jagaraga”, berkata orang itu kepada Pangeran Citraganda.

Setelah berkata kepada Pangeran Citraganda, terlihat orang itu telah berbicara kepada salah seorang dari kawannya, nampaknya meminta kawannya itu pergi kerumah Ki Jagaraga.

Demikianlah, iring-iringan panjang itu terlihat telah bergerak kembali menuju rumah Ki Bekel yang memang tidak begitu jauh lagi sebagaimana dikatakan oleh salah seorang peronda malam itu.

Terlihat iring-iringan itu telah memasuki pekarangan rumah Ki Bekel yang cukup luas itu. Sementara rumah Ki Bekel sendiri nampak lebih besar dan cukup megah dibandingkan dengan kebanyakan rumah-rumah yang ada di Padukuhan itu. Itu saja menjadi pertanda bahwa pemilik rumah itu adalah orang yang cukup makmur.

Karena terlalu banyaknya tawanan, terpaksa orangorang Rakata itu tidak ikut masuk ke pendapa rumah Ki bekel, mereka dikumpulkan di pekarangan depan dan dijaga ketat oleh para Biksu.

Sementara itu langit malam di atas Padukuhan itu sudah mulai memudar kemerahan, waktu yang paling nyaman untuk tetap berada di peraduan. Dan tidaklah heran bila Ki Bekel dan orang-orangnya terlihat masih sangat mengantuk manakala menerima rombongan Gajahmada dan pasukan kecilnya itu.

Meski begitu di bagian belakang rumah sudah terlihat asap perapian mengepul tinggi sebagai tanda sudah ada kegiatan di dapur mereka.

Ketika terlihat Ki Jagaraga telah datang bersama beberapa orang Padukuhan, maka Pangeran Citraganda mewakili Gajahmada telah menuturkan kepentingan mereka di Padukuhan itu.

“Kami membawa beberapa tawanan dan perlu dua atau tiga hari di Padukuhan ini sebelum datang para prajurit yang akan membawa mereka ke Kotaraja Kawali”, berkata Pangeran Citraganda.

“Hamba bersama orang-orang di Padukuhan ini dengan senang hati siap membantu”, berkata Ki Bekel. ”Namun maaf bila untuk menjaga begitu banyak tawanan mungkin orang-orang kami di Padukuhan ini sangatlah terbatas jumlah maupun kemampuannya”, berkata kembali Ki Bekel.

Terlihat Pangeran Citraganda menoleh ke arah Gajahmada, mungkin meminta pertimbangannya selaku pimpinan di pasukan kecilnya itu.

“Terima kasih telah menerima kehadiran kami. Hari ini juga kami akan mengutus salah satu dari kami ke Istana agar secepatnya mendatangkan para prajurit untuk membawa para tawanan ke Kotaraja Kawali”, berkata Gajahmada seperti tahu apa yang harus di katakannya.

Pembicaraan mereka terhenti manakala terlihat beberapa orang datang membawa makanan dan minuman hangat.

“Silahkan dinikmati hidangannya”, berkata Ki Bekel kepada para tamunya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar