Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 08

Dan mereka pun telah berpisah di persimpangan jalan itu. Sementara itu matahari belum sampai naik ke puncaknya. Bumi di Kotaraja Kawali terlihat begitu cerah meski masih berada di musim penghujan.

“Hari ini kamu bebas tugas?”, bertanya Putu Risang ketika melihat Gajahmada datang ke pondokannya.

“Hari ini aku di ijinkan libur karena dipanggil menghadap Baginda Raja”, berkata Gajahmada sambil bercerita tentang kedatangannya ke Bale Puntadewa menghadap Baginda raja Ragasuci.

“Kukira kamu menghadap Raja untuk membicarakan urusan pungut menantu”, berkata Pangeran Jayanagara sambil tersenyum.

Terlihat Putu Risang dan Gajahmada sedikit tersenyum mendengar canda Pangeran Jayanagara itu.

“Bagaimana kabar Andini?”, bertanya Putu Risang kepada Gajahmada dengan bibir masih tersenyum.

Dan Gajahmada tidak langsung menjawab, mata dan bibir Putu Risang, juga pertanyaan Putu Risang ditangkap Gajahmada bukan sebagai sebuah pertanyaan, tapi lebih mendekati sebuah kata penuh selidik seakan bertanya, siapa yang kamu pilih dari kedua gadis itu?. Sebagai seorang pemuda yang sudah dewasa dan punya daya nalar yang kuat, sudah pasti bahwa Gajahmada sudah dapat menangkap sikap kedua gadis itu, dimana keduanya telah menaruh hati kepadanya. Tapi hati dan perasaan Gajahmada masih saja belum dapat menentukan siapa salah seorang dari kedua gadis itu yang dipilih.

Terlihat Gajahmada menarik nafas dalam-dalam, dan hal itu juga telah ditangkap oleh Putu Risang bahwa pemuda itu tengah berada dalam sebuah kebimbangan hati.

“Andini masih di kediaman Patih Anggajaya bersama ibu kandungnya”, berkata Gajahmada seperti tengah mengelak apa yang dirasakannya saat itu, kebimbangan hati untuk memilih.

Sementara itu Putu Risang sempat menangkap sekejab warna wajah Pangeran Jayanagara ketika dirinya bertanya mengenai Andini kepada Gajahmada. Putu Risang melihat warna suram sekejap menghiasi muridnya itu. Namun Putu Risang seperti berusaha untuk tidak mengetahui, atau berpura-pura tidak mengetahui perasaan yang ada dalam diri putra Mahkota Majapahit itu.

“Aku tidak melihat Paman Bango Samparan”, berkata Gajahmada yang tidak melihat kehadiran Bango Samparan di pondokan itu.

“Paman Bango Samparan tengah ke Hutan Sindur untuk mempelajari suasana keadaan disana”, berkata Putu Risang menjelaskan dimana Bango Samparan saat itu.

Sementara itu muncul juga Pangeran Citraganda di Pondokan itu.

“Maaf, aku mungkin terlambat datang untuk memastikan tidak ada yang melihat kehadiranku masuk ke pondokan ini”, berkata Pangeran Citraganda.

“Kami memang tengah menunggumu”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Citraganda.

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Raja Ragasuci, terlihat Pangeran Citraganda mencoba memberikan sebuah penjelasan dengan begitu terinci mengenai tugas apa yang akan dilakukan oleh Ki  Rangga Ageng Pasek, yaitu memecah kekuatan pasukan Patih Anggajaya. “malam ini juga aku akan segera ke rumah Ki Rangga”, berkata Gajahmada.

Demikianlah, ketika malam telah datang terlihat Gajahmada telah keluar dari pondokan itu. Nampaknya memang akan berangkat ke rumah kediaman Ki Rangga Ageng Pasek sebagaimana yang dijanjikannya.

Dan ketika malam sudah semakin gelap dan sepi, terlihat Pangeran Citraganda juga telah keluar dari pondokan itu untuk kembali ke istana.

Sementara itu tidak lama berselang, terlihat seorang lelaki yang sudah cukup berumur datang dan masuk ke pondokan itu.

Sebuah pelita malam yang diletakkan diatas balebale bambu di pondokan itu telah memperjelas wajah lelaki yang baru datang itu, ternyata lelaki itu adalah Bango Samparan.

“Aku sudah mengamati keadaan dan suasana sekitar hutan Sindur, hanya ada jalan masuk yang mungkin akan dilewati oleh pasukan Patih Anggajaya dari arah pintu gerbang kota sebelah selatan”, berkata Bango Samparan menyampaikan hasil pengamatannya mempelajari keadaan dan suasana sekitar hutan Sindur.

“Purnama bulan depan ini tinggal tiga belas hari lagi”, berkata Putu Risang mengingatkan waktu yang semakin singkat itu.

“Rencana dan pengamatan kita nampaknya sudah menjadi begitu sempurna”, berkata Pangeran Jayanagara ketika mereka membicarakan rencana penyergapan pasukan Patih Anggajaya di hutan perburuan.

“Hasil pengamatan terakhir ini harus kita sampaikan kepada Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Putu Risang memberikan sebuah usulan agar melaporkan semua hasil pengamatan mereka kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Hari ini kita bisa berangkat langsung ke lereng Galunggung”, berkata Pangeran Jayanagara.

Pagi itu bumi terlihat begitu bening, mungkin karena semalaman terguyur hujan cukup deras. Terlihat beberapa tangkai bunga soka kuning yang berjajar di muka pendapa kediaman Patih Anggajaya begitu bersih bersinar menantang sang Surya untuk bercanda bermandi kehangatan pagi.

Suasana taman muka halaman rumah kediaman Patih Anggajaya yang tertata rapih dan asri itu bertambah elok manakala seorang gadis jelita berjalan diantara rerumputan menuju gardu penjaga.

“Aku hendak ke pasar, apakah kamu dapat mengantarku?”, bertanya gadis jelita itu yang ternyata adalah Andini.

“Aku masih bertugas?”, berkata seorang pemuda penuh keraguan.

“Temanilah Mahesa Muksa, ini adalah salah satu tugas seorang prajurit pengawal”, berkata seorang prajurit pengawal kepada pemuda itu yang ternyata adalah Gajahmada.

“Jangan ragu, aku juga sudah meminta ijin membawa seorang prajurit pengawal”, berkata Andini dengan senyum begitu menggoda.

“Apalagi sudah mendapat ijin”, berkata kawan Gajahmada sambil mencolek sisi perut Gajahmada sambil sedikit tersenyum. “Baiklah, jaga rumah ini seorang diri”, berkata Gajahmada kepada kawannya dan segera turun dari gardu jaga.

“jangan lupa bawakan untukku jajanan putri mayang”, berkata kawan Gajahmada itu sambil melambaikan tangannya ketika dilihatnya Gajahmada dan Andini tengah melewati regol pintu gerbang.

Terlihat Gajahmada tidak membalas lambaian tangan kawannya itu karena takut kawannya pasti akan menggodanya.

“Pasangan yang serasi”, berkata prajurit pengawal itu manakala telah melihat Gajahmada dan Andini berjalan beriring menjauhi rumah kediaman Patih Anggajaya.

Terlihat mereka berdua sudah semakin menjauhi rumah kediaman Patih Anggajaya menyusuri jalan Kotaraja Kawali yang sudah terlihat begitu ramai meski hari masih pagi.

“Bunda memintaku berbelanja beberapa potong kain, katanya pakaianku ini sudah tidak layak lagi”, berkata Andini memberi penjelasan apa yang akan dibelinya bila sampai di pasar.

“Dengan pakaian baru pasti akan membuat semua orang tidak berkedip memandangmu”, berkata Gajahmada menggoda.

Ternyata perkataan Gajahmada yang semula bermaksud untuk menggoda telah membuat wajah Andini seketika berubah menjadi begitu murung, memudarkan cahaya wajahnya yang biasanya selalu berseri-seri itu.

“Apakah perkataanku telah mengganggumu?”, bertanya Gajahmada merasa tidak enak hati melihat perubahan wajah Andini itu. Terlihat Andini tidak langsung menjawab, hanya menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya seperti telah melepas beban sesak derita di dadanya.

“Bukan perkataan Kakang Mahesa Muksa yang mengganggu, tapi aku jadi ingat mata lelaki tua itu yang kulihat begitu menjijikkan”, berkata Andini sambil menoleh sebentar kearah Gajahmada yang masih disebelahnya berjalan seperti tengah menenangkan Gajahmada atas perasaan bersalahnya.

“Siapa lelaki tua itu?”, berkata Gajahmada seketika.

Kembali Andini tidak langsung menjawab, matanya kosong memandang kedepan ke arah gumpalan awan putih yang bergeser perlahan ditiup angin,

“Lelaki tua itu adalah Patih Anggajaya”, berkata Andini setelah sekian lama terdiam.

“Bukankah di rumah ada ibumu, Nyi Dewi Kaswari?”, berkata Gajahmada penuh rasa khawatir.

“Masih bersama ibuku saja matanya begitu liar, bila tidak sabaran ingin rasanya aku menampar wajah lelaki itu”, berkata Andini masih sambil berjalan perlahan.

“Bersabarlah, bulan purnama bulan depan tinggal beberapa hari lagi”, berkata Gajahmada mencoba menghibur perasaan hati Andini.

“Bila urusan ini telah selesai, Ayah dan ibuku pasti akan berkumpul bersama. Aku akan gembira bilasaja Kakang Mahesa Muksa ikut bersama kami”, berkata Andini yang telah kembali sinar keceriaannya menghiasi wajah dan senyumnya.

Berganti, saat itu Gajahmada yang terdiam tidak langsung menjawab. Pertanyaan Andini seperti sebuah pedang yang tajam menjulur di ujung lehernya. Gajahmada masih terdiam, perasaan anak muda itu seperti melayang-layang dalam kebimbangan hati. Dan Gajahmada mencoba menilik perasaannya sendiri, sejauh mana perasaannya kepada gadis itu.

Semakin dirinya mencoba meraba perasaannya sendiri, semakin takut dirinya mendengar suara detakdetak jantungnya sendiri. Dan pikiran Gajahmada tibatiba saja telah terbang ke wajah Dyah Rara Wulan. Terbayang dirinya pada keceriaan gadis putri Raja itu. 

“Mereka berdua sama-sama berharap yang sama. Pilihanku akan menyakitkan salah satu dari mereka. Sementara hati ini susah sekali untuk dikenal, condong kemana perasaanku diantara mereka berdua?”, berkata Gajahmada dalam hati menimbang-nimbang perasaan hatinya sendiri.

“Ditanya malah terdiam membisu?”, berkata Andini sambil menatap wajahnya menggoda. “Atau tengah teringat kepada seorang gadis lain?, pasti gadis itu seorang yang sangat manis dan cantik”, berkata kembali Andini masih menggoda.

“Tidak ada yang kupikirkan, apalagi seorang gadis”, berkata Gajahmada mencoba menghindar.

“Biar kutebak, pasti gadis itu adalah sang putri Raja, Dyah Rara Wulan”, berkata tiba-tiba Andini kepada Gajahmada.

Perkataan Andini kembali seperti sebuah pedang yang menghunus di depan dadanya.

Terlihat Gajahmada masih terdiam, tidak tahu apa yang akan dikatakan kepada Andini.

“Maaf bila pertanyaanku mengganggu pikiranmu”, berkata Andini seperti dapat membaca apa yang dipikirkan oleh pemuda yang berada bersamanya itu.

Mendengar perkataan Andini, perasaan Gajahmada seperti terlepas dari tekanan dan merasa lega bahwa Andini tidak menuntut jawaban darinya.

Perasaan seorang wanita memang begitu peka dapat begitu mudah membaca pikiran seorang lelaki. Sementara Gajahmada tidak dapat mengerti apa yang ada dalam pikiran Andini saat itu.

Dan sebentar saja Andini mencoba mencairkan suasana hati mereka dengan sebuah cerita yang lain sambil terus melangkah menuju pasar Kotaraja.

Tawa dan canda mengiringi perjalanan mereka yang tidak merasa bahwa beberapa pasang mata seperti terheran-heran melihat kehadiran mereka berdua.

“Bukankah pemuda itu yang kemarin berjalan bersama tuan Putri?”, berkata seorang wanita kepada kawannya ketika Gajahmada dan Andini telah sampai di muka pasar Kotaraja yang sudah mulai ramai itu.

Ternyata pertanyaan itu bukan hanya milik wanita itu saja, beberapa orang yang sempat mengenali Gajahmada terlihat merasa heran mendapatkan Gajahmada berjalan bersama gadis lain.

“Jangan-jangan pemuda itu punya ilmu ajian pemikat sukma, seorang lelaki pemetik bunga”, berkata seorang lelaki yang berbisik kepada seorang pedagang perlengkapan sesajen di pasar itu.

Sementara itu disaat yang sama di kuil istana terlihat dua orang tengah berbincang-bincang. Seorang diantara mereka berpakaian sebagaimana seorang pendeta. Sementara itu seorang lagi berpakaian sebagaimana layaknya seorang pejabat istana. Ternyata mereka berdua adalah Pendeta Rakanata dan Patih Anggajaya.

“Gadis itu begitu jelita, aku seperti tersihir tidak dapat melupakannya barang sekejap mata”, berkata Patih Anggajaya kepada pendeta Rakanata.

“Seperti itulah yang kamu katakan manakala memintaku menggendam hati Dewi Kaswari”, berkata Pendeta Rakanata kepada Patih Anggajaya.

“Dewi Kaswari sekarang sudah tua, sementara gadis itu masih begitu belia dan sangat cocok sebagai seorang permaisuri pendampingku bila saja kelak aku menjadi seorang Raja”, berkata Patih Anggajaya.

“Baiklah, nanti malam akan kukirim gendam kepada gadis itu”, berkata Pendeta Rakanata.

“Aku tidak akan melupakan budi baikmu tuan pendeta”, berkata Patih Anggajaya dengan penuh gembira mendengar kesanggupan dari Pendeta Rakanata

Namun manakala Patih Anggajaya telah keluar dari kuil istana, terlihat sebuah perubahan di wajah pendeta Rakanata. Wajah yang semula penuh senyum welas asih itu seketika telah berubah menjadi begitu dingin menakutkan.

“Aku akan membunuh gadis itu”, berkata pendeta Rakanata dalam hati ketika Patih Argajaya telah keluar dari kuil istana.

Siapakah sebenarnya tokoh pendeta Rakanata itu?

Tidak ada yang tahu bahwa dibalik jubah pendetanya itu tersimpan sebuah kekelaman hati yang begitu keruh. Meski sedari kecil telah begitu banyak disirami berbagai ajaran ilmu kesucian bathin, namun tidak juga dapat melepas nafsu angkara yang semakin berkuasa mengendalikan akal dan pikirannya.

Tidak ada yang tahu, ketika di waktu masih muda, pendeta yang berasal dari Kotaraja Rakata itu sering melepas jubah kependetaannya manakala pergi mengembara ke berbagai pelosok daerah. Dan sudah begitu banyak anak gadis yang menjadi korban  kejahatan syahwatnya.

Hingga dalam sebuah pengembaraannya telah terpikat dengan seorang gadis kembang desa. Dan dengan daya pikat ajian ilmu saktinya yang dapat memikat setiap gadis yang diinginkannya, pendeta Rakanata telah dapat membawa pergi gadis itu dan telah dijadikannya seorang istri di sebuah padukuhan tidak begitu jauh dari Kotaraja Rakata.

Dan ketika dirinya telah diangkat dengan resmi oleh Baginda Raja Rakata sebagai pendeta suci di Istana, kekelaman hatinya begitu tergoda menginginkan keturunannya sendiri menjadi seorang bangsawan.

Maka dengan ajian ilmu saktinya, Pendeta Rakata dapat menukar bayi sang permaisuri yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki dengan bayi seorang wanita, anaknya sendiri.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa sang putri Raja Rakata adalah putri sang pendeta yang bernama Dewi Kaswari.

Bagaimana nasib putra sang Raja Rakata?

Masih sangat beruntung bahwa bayi putra sang Raja tidak dibuang ke hutan, tapi oleh Sang pendeta dilarung di sebuah sungai.

Masih sangat beruntung bahwa bayi itu telah ditemukan oleh seorang petani desa dan di serahkan kepada seorang pendeta sakti mandraguna.

Dan bayi mungil putra sang raja Rakata itu dipelihara dengan baik oleh sang pendeta sakti hingga dewasa. Begitu sayang pendeta itu hingga telah mewarisi seluruh ilmunya kepada sang putra Raja Rakata.

Ketika dewasa, bayi yang hanyut di sebuah sungai itu telah menjadi seorang pendeta mewarisi ilmu ayah angkatnya itu.

Tidak ada yang mengetahui bahwa putra sang raja Rakata yang telah menjadi pendeta itu bernama Darmaraya yang juga bergelar sang pertapa sakti dari Gunung Wilis.

Akhirnya kita mengetahui bersama siapa sebenarnya pendeta Rakanata itu. Begitu gusar hatinya manakala Patih Anggajaya telah berniat menyingkirkan buah hati keturunannya sendiri, Dewi Kaswari.

Malam itu sudah mulai larut dan hujan baru saja reda mengguyur bumi Kotaraja Kawali. Namun meski hujan cukup lebat, tidak ada banyak genangan air karena bumi Kotaraja Kawali masih begitu banyak dipenuhi pepohonan juga beberapa hutan lindung di beberapa tempat sebagai bumi hijau yang diawasi dan selalu dijaga oleh istana.

Malam itu terasa begitu dingin, namun Gajahmada yang telah semakin tajam panca indra dan firasat bathinnya itu telah meyakini bahwa hawa dingin itu bukan suasana alam, tapi sebuah pengerahan ajian perasuk sukma yang kuat.

Gajahmada masih tetap waspada manakala melihat kawannya di gardu jaga kediaman Patih Anggajaya tidak kuasa menahan rasa kantuk yang sangat akibat sebuah gendam yang sangat kuat telah merasuk pikiran dan perasaan prajurit pengawal itu.

Terlihat Gajahmada telah memejamkan matanya, namun telah meningkatkan daya ketajaman indra pendengarannya, tidak satupun yang terlepas dari pendengarannya itu meski seekor ular yang tengah merayap di tempat jauh di luar pagar kediaman Patih Anggajaya dapat didengar oleh Gajahmada yang sudah terus mengasah tenaga sakti ilmu sejatinya. Terutama berkat tambahan tenaga sakti milik ayah kandungnya sendiri, sang pertapa sakti dari Gunung Wilis.

Namun jejak dan suara langkah kaki kali ini begitu halus, terlihat di kekelaman malam sebuah bayangan tersamar dengan begitu lincah dan cepat telah melompat keatas pagar bagian belakang bangunan utama kediaman Patih Anggajaya.

Bayangan hitam tersamar itu hanya sebentar berjongkok diatas dinding pagar. Tiba-tiba saja dengan begitu cepat dan lincahnya seperti terbang melompat di sebuah cabang batang sebuah pohon Keluwih yang tumbuh tinggi di pinggir dinding pagar belakang itu.

Terlihat bayangan hitam tersamar itu telah merapatkan dirinya di sebuah batang pohon keluwih itu hingga seperti telah menyatu di kegelapan malam yang sudah begitu larut itu.

Lama bayangan hitam tersamar itu tidak bergerak, mungkin hendak memastikan tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya itu.

“Gendamku telah membuat mereka tertidur pulas hingga datangnya pagi”, berkata bayangan hitam tersamar itu dengan seluruh wajah tertutup kain hitam, hanya sorot matanya yang menyala tajam di kegelapan malam itu yang dapat memastikan bahwa dirinya adalah seorang manusia.

Setelah memastikan bahwa suasana sangat aman, tiba-tiba saja sosok bayangan hitam tersamar itu telah melenting begitu cepat hinggap di atap sebuah pondokan di belakang bangunan utama.

“Aku harus memastikan bahwa gadis itu ada di biliknya”, berkata sosok bayangan hitam itu dalam hati sambil dengan begitu mudahnya membongkar rangkaian atap pondokan itu yang terbuat dari bahan bambu tali.

“Pantas saja bila Patih Anggajaya tergila-gila dengan gadis ini”, berkata sosok bayangan tersamar itu ketika dari atas atap telah dapat mengintip seorang wanita yang nampaknya begitu pulas tertidur hanya diterangi pelita malam yang ada di pojok biliknya.

“Sayang bahwa kali ini aku harus membunuhnya”, berkata kembali sosok bayangan tersamar itu.

Terlihat orang berpakaian serba hitam yang menutup sebagian wajahnya itu telah melompat turun setelah membuka beberapa bagian atap.

Pastilah orang itu sangat berilmu tinggi, karena dengan begitu ringannya meluncur begitu saja kebawah.

Namun diluar dugaan, Andini yang tengah tertidur itu ternyata seperti tengah menunggunya. Terlihat begitu orang berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di lantai bilik itu, seketika itu pula gadis itu telah langsung melompat dari pembaringannya, telah berdiri bertolak pinggang menantang tanpa rasa takut sedikitpun.

Rupanya Andini yang telah diwariskan ilmu tambahan oleh Ayah kandungnya sendiri, Bango Samparan telah memiliki ilmu tingkat tinggi yang tidak mudah termakan gendam apapun. Diam-diam telah mengetahui kehadiran orang berpakaian serba hitam itu yang nampaknya tengah bermaksud tidak baik terhadapnya.

“Pasti kamu orang jahat, masuk bilik seorang gadis dimalam hari”, berkata Andini dengan suara membentak.

Terlihat orang berpakaian serba hitam itu tertawa terkekeh-kekeh.

“Benar, aku adalah orang jahat yang datang hendak membunuhmu”, berkata orang itu sambil menunjukkan sebuah senjata ditangannya.

“Kujang Pangeran Muncang !!”, berkata Andini sambil membelalakkan matanya menatap sebuah senjata di tangan orang itu.

“Ternyata kamu mengenal senjata ini”, berkata orang itu merasa heran bahwa Andini mengenali senjata ditangannya.

Andini memang pernah mendapat gambaran mengenai sebuah senjata yang hilang milik Prabu Guru Darmasiksa, sebuah senjata Kujang Pangeran Muncang. Dan Andini melihat senjata ditangan orang itu sangat mirip sekali dengan gambaran yang pernah disampaikan oleh Prabu Guru Darmasiksa. Maka langsung Andini merasa harus berhati-hati dan berwaspada berhadapan dengan seorang yang memegang senjata bertuah itu.

“Bilik ini sangat sempit”, berkata Andini sambil menjejakkan kakinya langsung melompat tinggi keatas wuwungan atap yang sudah terbongkar.

“Jangan lari!!”, berkata orang itu yang tidak menyangka bahwa Andini ternyata bukan seorang gadis biasa. Terlihat orang itu juga telah ikut keluar dari bilik itu sebagaimana Andini melompat lewat wuwungan atap yang sudah terbongkar.

Ketika telah berada diatas atap pondokannya, Andini segera berlari dengan begitu ringan dan cepatnya dan langsung melompat terjun kebawah.

“Mau lari kemana anak manis?”, berkata orang itu yang telah berhasil mengikuti dibelakang Andini.

Mendengar suara orang itu, Andini dengan sigap penuh kesiagaan langsung berbalik badan menghadap ke arah orang itu.

“Hanya orang bermaksud buruk datang memasuki rumah orang malam-malam seperti ini”, berkata seseorang dari kegelapan.

Mendengar suara dari seseorang dari arah belakangnya membuat orang berpakaian serba hitam itu langsung mundur beberapa langkah agar dapat melihat langsung Andini dan orang yang baru saja muncul itu yang ternyata adalah Gajahmada.

Andini yang melihat kemunculan Gajahmada merasa bernafas lega, setidaknya ada seorang yang akan membantunya meringkus orang berpakaian serba hitam itu yang di yakini pastilah bukan orang sembarangan.

“Berhati-hatilah dengan senjata di tangannya”, berkata Andini mengingatkan Gajahmada.

Namun belum habis bicara Andini, tiba-tiba saja orang itu dengan sebuah kecepatan yang begitu sangat luar biasa telah melesat meluncur menyerang ke arah Andini.

Terkejut bukan kepalang Gajahmada melihat gerakan orang itu yang bergerak kearah Andini. Sementara itu Andini juga menjadi begitu kaget terkesima tidak menyangka bahwa orang itu akan melakukan penyerangan ke arahnya dengan secara cepat dan tiba-tiba itu.

Persiapan Andini kurang cukup, atau kecepatan bergerak orang itu begitu luar biasa pesatnya membuat Andini seperti tergagap telah berusaha menyingkir menghindari sergapan dan serangan orang berpakaian serba hitam itu.

Sretttt..!!!

Sebuah ujung senjata kujang ditangan orang itu telah berhasil melukai bahu kanan Andini yang telah mencoba menghindar berkelit melompat kesamping.

Terlihat Andini meraba bahu kanannya, hanya sebuah goresan tipis dan tidak terlalu panjang melukai bahu kanannya.

Orang itu memang tidak segera mengejar Andini, tapi terlihat berdiri sambil tertawa panjang.

“Pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat kuat, sedikit goresan saja akan dapat membawa maut”, berkata orang itu sambil tertawa panjang.

Terperanjat Gajahmada mendengar perkataan orang itu, tidak pernah dirinya merasa gusar begitu hebat seperti itu. Dan tanpa disadari telah meraba sebuah senjata pusakanya yang sangat jarang sekali di  keluarkan dalam keadaan bahaya sekalipun.

Gajahmada telah menggenggam sebuah senjata cakra ditangannya.

“Hadapi aku!!”, berteriak Gajahmada langsung menerjang kearah orang itu. Terperanjat orang itu tidak menyangka sama sekali bahwa sorang prajurit pengawal biasa dapat bergerak begitu cepat seperti angin puyuh bertiup di samudera raya, begitu dahsyatnya.

Trangg…!!!

Terdengar suara benturan dua senjata pusaka saling beradu.

Orang berpakaian serba hitam itu memang tidak punya kesempatan apapun selain menangkis serangan cakra Gajahmada dengan cara menangkisnya dengan senjatanya sendiri, sebuah kujang Pangeran Muncang.

Terbelalak orang itu sambil melihat senjatanya sendiri yang masih tergenggam di tangannya setelah merasakan rasa perih dan panas disekitar telapak tangannya akibat benturan yang sangat keras dengan senjata cakra milik Gajahmada.

Terlihat orang itu mundur sekitar dua langkah dengan wajah terperanjat seperti tidak menyangka sama sekali bahwa seorang prajurit biasa mempunyai kemampuan tenaga begitu hebat, baru saja dirasakan tenaga benturan itu seperti menghantam sebuah gunung cadas hitam yang sangat keras.

Melihat lawannya mundur sekitar dua langkah, Gajahmada langsung bermaksud untuk kembali menerjangnya.

Namun tiba-tiba saja Gajahmada mendengar suara rintihan sangat lemah sekali.

Ternyata suara rintihan itu berasal dari Andini yang terlihat sudah begitu lemah.

Melihat keadaan Andini seperti itu, maka Gajahmada tidak jadi menerjang lawannya langsung melompat dengan cepat menyongsong tubuh Andini yang terlihat mulai limbung.

Tepat sekali tangan Gajahmada dapat menangkap tubuh Andini yang terkulai.

“Anak muda, sayang waktu kita kurang tepat untuk adu tanding di rumah ini. Jangan merasa besar kepala dengan benturan pertama itu”, berkata orang itu sambil melangkah cepat dan melompat seperti terbang keatas dinding pagar dan telah tidak terlihat lagi menghilang dibalik dinding pagar di malam gelap itu.

Segala pikiran dan perasaan Gajahmada saat itu telah tertuju kepada gadis yang telah berada dalam pangkuannya itu.

Wajah Andini terlihat begitu pucat, namun nafasnya masih dapat didengar oleh Gajahmada meski sangat lemah sekali.

Tiba-tiba saja Gajahmada seperti mendengar kembali perkataan orang berpakaian serba hitam itu bahwa pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat kuat, tidak ada yang kuat bertahan melebihi tiga hari.

“Prabu Guru Darmasiksa pasti dapat mengobatinya”, berkata Gajahmada dalam hati seperti mendapat sebuah jalan pikiran kemana harus membawa gadis di pangkuannya itu.

Terlihat Gajahmada telah merebahkan tubuh Andini  di tanah. Seketika itu juga telah berlari ke kandang kuda yang terletak di belakang bangunan utama kediaman Patih Anggajaya itu.

Tergesa-gesa Gajahmada terlihat keluar dari kandang kuda sambil menuntun seekor kuda hitam.

Trangg…!!! Terdengar suara benturan dua senjata pusaka saling beradu.

Orang berpakaian serba hitam itu memang tidak punya kesempatan apapun selain menangkis serangan cakra Gajahmada dengan cara menangkisnya dengan senjatanya sendiri, sebuah kujang Pangeran Muncang.

Terbelalak orang itu sambil melihat senjatanya sendiri yang masih tergenggam di tangannya setelah merasakan rasa perih dan panas disekitar telapak tangannya akibat benturan yang sangat keras dengan senjata cakra milik Gajahmada.

Terlihat orang itu mundur sekitar dua langkah dengan wajah terperanjat seperti tidak menyangka sama sekali bahwa seorang prajurit biasa mempunyai kemampuan tenaga begitu hebat, baru saja dirasakan tenaga benturan itu seperti menghantam sebuah gunung cadas hitam yang sangat keras.

Melihat lawannya mundur sekitar dua langkah, Gajahmada langsung bermaksud untuk kembali menerjangnya.

Namun tiba-tiba saja Gajahmada mendengar suara rintihan sangat lemah sekali.

Ternyata suara rintihan itu berasal dari Andini yang terlihat sudah begitu lemah.

Melihat keadaan Andini seperti itu, maka Gajahmada tidak jadi menerjang lawannya langsung melompat dengan cepat menyongsong tubuh Andini yang terlihat mulai limbung.

Tepat sekali tangan Gajahmada dapat menangkap tubuh Andini yang terkulai.

“Anak muda, sayang waktu kita kurang tepat untuk adu tanding di rumah ini. Jangan merasa besar kepala dengan benturan pertama itu”, berkata orang itu sambil melangkah cepat dan melompat seperti terbang keatas dinding pagar dan telah tidak terlihat lagi menghilang dibalik dinding pagar di malam gelap itu.

Segala pikiran dan perasaan Gajahmada saat itu telah tertuju kepada gadis yang telah berada dalam pangkuannya itu.

Wajah Andini terlihat begitu pucat, namun nafasnya masih dapat didengar oleh Gajahmada meski sangat lemah sekali.

Tiba-tiba saja Gajahmada seperti mendengar kembali perkataan orang berpakaian serba hitam itu bahwa pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat kuat, tidak ada yang kuat bertahan melebihi tiga hari.

“Prabu Guru Darmasiksa pasti dapat mengobatinya”, berkata Gajahmada dalam hati seperti mendapat sebuah jalan pikiran kemana harus membawa gadis di pangkuannya itu.

Terlihat Gajahmada telah merebahkan tubuh Andini  di tanah. Seketika itu juga telah berlari ke kandang kuda yang terletak di belakang bangunan utama kediaman Patih Anggajaya itu.

Tergesa-gesa Gajahmada terlihat keluar dari kandang kuda sambil menuntun seekor kuda hitam.

Dan malam masih berselimut gelap manakala terlihat seekor kuda hitam melesat keluar dari regol pintu gerbang kediaman Patih Anggajaya.

Terlihat hempasan angin telah mengibarkan ikat kepala penunggang kuda hitam itu yang tidak lain adalah Gajahmada yang telah melarikan kudanya sambil membawa Andini menuju Padepokan Prabu Guru Darmasiksa di lereng Galunggung.

Segala perasaan dan pikiran Gajahmada saat itu adalah secepatnya membawa Andini kehadapan Prabu Guru Darmasiksa. Hanya orang tua itulah yang diyakini oleh Gajahmada dapat menyembuhkan gadis itu yang sudah terlihat begitu pucat dengan nafas yang sangat lemah sekali.

Gajahmada masih terus memacu kudanya, tidak sama sekali memikirkan keadaan apapun. Sebelah tangannya menahan tubuh Andini yang diletakkan didepan sambil mengendalikan kekang kuda dengan tangan yang lain.

Dan Gajahmada merasakan tubuh Andini semakin berat sebagai tanda bahwa gadis itu sudah menjadi tidak sadarkan diri.

Mengetahui keadaan Andini saat itu telah membuat Gajahmada menjadi semakin gusar dengan menghentakkan kudanya berlari lebih cepat lagi.

Dan kuda hitam itu terlihat sudah berlari seperti terbang membelah udara malam.

Gajahmada memang tidak memperdulikan apapun, yang ada dalam pikirannya adalah membawa secepatnya Andini ke hadapan Prabu Guru Darmasiksa.

Kembali terngiang perkataan orang berpakaian serba hitam itu tentang pamor racun Kujang Pangeran Muncang yang sangat kuat. Maka kembali Gajahmada menghentakkan kudanya merasa masih begitu lamban.

Dan tidak terasa pagi telah datang menerangi bumi, menerangi seekor kuda hitam yang dibawa oleh penunggangnya berlari memacu waktu. Terlihat Gajahmada masih menunggang kudanya berlari begitu kencang membelah udara pagi. Pemuda itu sepertinya tidak memperdulikan dirinya sendiri yang terlihat berpakaian tercompang-camping dan tubuh tergores luka akibat berlari diatas kudanya di sebuah jalan hutan yang sempit. Nampaknya beberapa ranting kayu telah mengoyak kulit tubuh anak muda itu di kegelapan malam di jalan hutan yang berliku dan sempit.

Gajahmada memang tidak merasakan keletihannya, juga rasa perih guratan luka di tubuhnya yang tergores oleh beberapa ranting dan dahan kayu.

Dan Gajahmada terlihat semakin erat memeluk tubuh Andini dengan sebelah tangannya yang kuat. Seakan takut sedikit kelonggaran saja dapat membuat gadis dalam pelukannya itu akan jatuh terlempar disaat lari kuda yang bergerak seperti terbang diatas tanah.

Debu dan daun kering terlihat beterbangan dibelakang kaki kuda tunggangan Gajahmada itu.

Untung kuda tunggangan Gajahmada itu adalah seekor kuda pilihan yang perkasa. Terlihat kuda hitam itu masih terus berlari membelah angin udara pagi.

Sementara itu di tempat kediaman Patih Anggajaya, kehilangan Andini telah membuat suasana menjadi sangat gempar. Siapa lagi yang dipersalahkan membawa kabur Andini kalau bukan Gajahmada. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kehilangan Andini bersamaan dengan ketidak-hadiran prajurit muda itu. Bukan main marahnya Patih Anggajaya yang diam-diam menaruh hati kepada gadis jelita itu yang berharap akan memetiknya sebagaimana para lelaki jalang menginginkan seorang wanita yang akan menjadi sasaran nafsu binatangnya.

Maka di pagi itu juga Patih Anggajaya telah memerintahkan beberapa prajurit untuk menyisir seputar Kotaraja Kawali serta beberapa daerah sekitarnya. Namun setelah menggeledah beberapa tempat yang dicurigai sebagai tempat bersembunyi, tidak satupun prajurit Kawali itu menemukan yang mereka cari itu. 

“Bilasaja Andini pergi bersama Mahesa Muksa, pasti minta ijin kepadaku”, berkata Nyi Dewi Kaswari kepada seorang pelayan tua orang kepercayaannya.

“Hamba percaya dengan anak muda itu, tidak mungkin telah melakukan hal demikian, melarikan seorang anak gadis”, berkata pelayan tua itu kepada Dewi Kaswari.

“Kita sependapat, menurutku ada seseorang yang berusaha menculik Andini. Dan Mahesa Muksa telah berusaha mengejarnya”, berkata Nyi Dewi Kaswari menduga-duga.

“Bisa jadi, karena wuwungan atap bilik Andini ada yang membongkarnya dengan paksa”, berkata pelayan tua itu membenarkan dugaan majikannya itu.

“Kita tidak tahu apa yang terjadi terhadap Andini, semoga Gusti Yang Maha Agung selalu melindunginya”, berkata Nyi Dewi Kaswari dengan wajah kosong menahan kesedihan dan penuh kekhawatiran kepada nasib keadaan putri tercinta yang belum lama telah dipertemukan kembali itu.

“Nyi Mas Putri tidak boleh terlihat bersedih dihadapan tuan Patih Anggajaya. Bukankah tuan Patih sampai saat ini belum mengetahui rahasia keadaan yang sebenarnya antara Andini dan Nyi mas Putri?”, berkata pelayan tua itu mengingatkan kepada majikannya itu.

“Kamu benar, aku harus tidak menunjukkan kesedihan ini”, berkata Nyi Dewi Kaswari sambil berusaha mengusap kelopak matanya yang terlihat basah itu.

Namun ketika Matahari menjadi semakin tinggi, tidak ada kabar apapun dari para prajurit yang telah menggeledah hampir seluruh rumah penduduk Kotaraja Kawali.

Berita tentang hilangnya seorang gadis di kediaman Patih Anggajaya akhirnya telah terdengar pula di Pasanggrahan Keputrian.

“Apakah kamu masih memikirkan prajurit pengawal itu yang telah melarikan seorang anak gadis?”, berkata sang permaisuri Ratu Dara Puspa kepada putrinya Dyah Rara Wulan ketika sudah mendengar kabar berita tentang seorang prajurit muda yang membawa pergi seorang anak gadis di kediaman Patih Anggajaya.

“Aku sudah mengenal Kakang Mahesa Muksa, tidak mungkin melakukan sebuah perbuatan serendah itu”, berkata Dyah Rara Wulan berusaha memungkiri kabar berita yang juga telah didengarnya itu.

Mendengar Dyah Rara Wulan masih saja membela Mahesa Muksa, sang permaisuri Ratu Dara Puspa semakin panas hatinya.

“Apa kelebihan anak muda prajurit rendahan itu, bukankah begitu banyak perwira tinggi yang masih muda yang berusaha memikat hatimu wahai putriku?”, berkata sang permaisuri Ratu dara Puspa masih mengekang perasaan hatinya dihadapan putrinya itu.

“Ibunda tidak tahu apa yang ananda rasakan. Bila saja hati ini dapat memilih, pasti ananda carikan seorang pangeran tampan, berkuasa dan kaya raya. Namun hati ini memang tidak dapat memilih apalagi meminta”, berkata Dyah Rara Wulan berdesah pelan seperti kepada dirinya.

Mendengar pernyataan hati putri kesayangannya itu, terlihat sang permaisuri Ratu Dara Puspa sudah tidak dapat lagi menahan kekesalan perasaan hatinya itu.

“Kamu pasti telah diguna-gunai prajurit rendahan itu”, berkata sang permaisuri Ratu Dara Puspa sambil berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan Dyah Rara Wulan di pinggir kolam taman pasanggrahan Keputrian Istana.

Sementara itu hari sudah mulai menjelang sore, seorang pemimpin prajurit dengan tangan kosong telah melaporkan apa yang telah mereka laksanakan seharian itu kepada Patih Anggajaya.

“Kami sudah menyisir semua tempat di Kotaraja Kawali ini, namun tidak juga mendapatkan anak gadis dan pemuda itu”, berkata pemimpin prajurit itu kepada Patih Anggajaya.

“Kumpulkan beberapa prajurit agar melakukan pengejaran ke beberapa tempat”, berkata Patih Anggajaya dengan wajah penuh murka.

“Kami akan laksanakan perintah tuan Patih”, berkata pemimpin prajurit itu sambil menunduk penuh hormat.

Ketika pemimpin prajurit itu telah pergi, terlihat Patih Anggajaya langsung melangkahkan kakinya menuju kuil istana.

“Aku telah tertinggal satu langkah dengan anak muda itu”, berkata Patih Anggajaya kepada pendeta Rakanata ketika telah bertemu di kuil istana.

Terlihat pendeta Rakanata tersenyum menatap wajah Patih Anggajaya yang terlihat sangat kesal dan gusar itu. Namun Patih Anggajaya tidak mengerti arti senyum itu adalah suara kegembiraan hati Pendeta Rakanata. “Gadis itu tidak bisa tertolong lagi, dan kamu tidak akan memilikinya”, berkata Pendeta Rakanata dalam hati.

Namun yang keluar dari bibir pendeta Rakanata bukan apa yang ada dalam pikirannya. “Kamu harus memikirkan rencana kita yang lebih penting daripada Gadis itu. Lupakanlah sementara ini tentang gadis itu, bukankah rencana kita di hutan perburuan itu sudah sangat dekat sekali?”, berkata Pendeta Rakanata kepada Patih Anggajaya.

Mendengar perkataan pendeta Rakanata telah mengurangi kegusaran hati Patih Anggajaya dan diamdiam membenarkan perkataan Pendeta Rakanata. ”Benar, aku dapat mencari banyak wanita cantik manakala aku sudah menjadi seorang Raja”, berkata Patih Anggajaya berpikir dalam hati.

Sementara itu beberapa prajurit sesuai dengan perintah Patih Anggajaya telah mencoba melakukan pencarian keluar Kotaraja Kawali. Dengan bantuan seorang prajurit yang sangat mahir membaca jejak mereka telah mendapatkan arah kemana Gajahmada membawa Andini. 

Demikianlah, para prajurit itu telah mencoba mengikuti arah perjalanan Gajahmada dari tempat kediaman Patih Anggajaya. Namun ketika hari mulai masuk di ujung senja datang hujan begitu deras telah menghapus jejak langkah kuda Gajahmada.

“Hujan begitu deras telah menghapus jejak-jejak ini”, berkata seorang prajurit pencari jejak mendapatkan kesulitan disamping hujan yang turun begitu deras, juga hari sudah menjadi begitu gelap menjelang senja itu.

“Bila kita terus melakukan pencarian ini, bisa-bisa kita tersasar tidak bisa kembali”, berkata seorang pemimpin prajurit ketika mereka telah memasuki sebuah hutan yang cukup lebat di sebelah selatan Kotaraja Kawali.

Akhirnya dengan penuh kecemasan pemimpin prajurit itu memutuskan untuk kembali ke Kotaraja Kawali. Dalam pikirannya terbayang akan mendapatkan sebuah kemarahan besar dari Patih Anggajaya karena harus kembali dengan tangan kosong tanpa hasil apapun.

Seandainya para prajurit itu terus berusaha mengikuti jejak langkah kuda Gajahmada, mereka memang telah jauh tertinggal. Karena Gajahmada yang mereka cari pada saat itu telah berada dibawah Gunung Galunggung.

Sudah seharian itu Gajahmada tiada henti telah melarikan kudanya.

Terlihat Gajahmada diatas kudanya dengan sebelah tangan memegang tali kekang kuda, sementara tangan lainnya tengah mendekap tubuh Andini dengan kuatnya tengah mendaki hutan di kaki gunung Galunggung.

Hujan yang turun di musim penghujan itu telah mengguyur bumi Pasundan begitu merata hingga di bawah kaki Gunung Galunggung.

Basah air hujan yang mengguyur tubuh Gajahmada telah membuat perih beberapa bagian tubuh Gajahmada yang terluka tergores dahan dan ranting di sepanjang perjalanannya. Tapi Anak muda itu tidak menghiraukan rasa sakit dari perih luka itu. Kecemasan yang sangat akan diri Andini yang sudah lemah terkulai tidak  sadarkan diri membuat Anak muda itu terus mendaki lereng Gunung Galunggung diatas kudanya.

Jalan menuju lereng Gunung Galunggung memang cukup berat karena harus menemui beberapa jalan yang terjal berbatu.

Namun Gajahmada yang telah beberapa kali melewati jalan itu akhirnya dapat juga melewati beberapa jalan yang sangat sulit itu.

Hujan saat itu belum juga reda ketika beberapa orang telah melihat seekor kuda telah berlari langsung masuk menerobos regol pintu gerbang Padepokan Prabu Guru Darmasiksa.

“Apa yang telah terjadi?”, berkata Putu Risang yang telah mengenali siapa penunggang kuda itu.

Beberapa orang lelaki terlihat begitu cemas memandangi Gajahmada yang telah melompat dari punggung kudanya sambil membawa tubuh Andini yang masih juga tidak sadarkan diri.

“Apa yang terjadi atas putriku?”, bertanya seorang lelaki dengan penuh kecemasan yang ternyata adalah Bango Samparan.

“Andini terluka”, hanya itu yang keluar dari bibir Gajahmada setelah meletakkan dengan perlahan tubuh Andini di atas lantai pendapa Padepokan Prabu Guru Darmasiksa.

Beberapa orang terlihat langsung mengerubungi Gajahmada dan Andini yang tergeletak diatas lantai pendapa.

“Nampaknya Andini terkena sebuah racun yang sangat kuat”, berkata seorang tua diantara mereka yang langsung memeriksa keadaan Andini. “Andini terluka oleh Kujang Pangeran Muncang”, berkata Gajahmada dengan wajah penuh harap kepada orang tua dihadapannya itu yang tidak lain adalah Prabu Guru Darmasiksa .

Bukan main terkejutnya semua orang yang berada diatas pendapa padepokan itu. Semua orang seperti berdesis mengulang perkataan Gajahmada.

“Kujang Pangeran Muncang…..?”, terdengar suara berbarengan hampir dari semua orang yang mendengar perkataan Gajahmada.

“Kujang Pangeran Muncang?”, bertanya Prabu Guru Darmasiksa dengan kening terlihat berkerut antara terkejut dan keinginan penjelasan lebih jauh lagi Gajahmada.

Namun Gajahmada tidak berkata apapun, hanya sebuah tangannya telah menunjukkan sebuah luka goresan di bahu tangan Andini.

“Andini tergores luka Kujang Pangeran Muncang”, berkata Gajahmada sambil memperlihatkan bahu tangan Andini yang terlihat tergores tipis.

“Tunda dulu penjelasanmu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa yang langsung menyentuh tubuh Andini di beberapa tempat dengan begitu cepatnya.

Ternyata apa yang dilakukan oleh Prabu Guru Darmasiksa adalah sebuah cara menutup beberapa syaraf aliran darah di tubuh Andini. Sebagai seorang yang mumpuni dalam hal pengobatan, Prabu Guru Darmasiksa sudah langsung mengetahui bahwa gadis dihadapannya itu memang telah terkena sebuah racun yang sangat kuat. Perkataan Gajahmada tentang sebuah Kujang Pangeran Muncang memang sudah menjadi penjelasan yang cukup baginya mengenal sejauh mana keparahan yang dialami oleh Andini. Sebagai seorang keturunan Raja Pasundan pastilah sudah mengetahui seberapa hebat pengaruh pamor Kujang Pangeran Muncang bila telah melukai tubuh seseorang, meski hanya sebuah goresan tipis seperti yang dialami oleh Andini.

“Untuk sementara aku hanya mampu menahan menjalarnya racun di tubuh anak gadis ini, ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada yang masih duduk disebelah Andini.

Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang.

Terlihat semua mata penuh perhatian menatap anak muda itu yang terlihat begitu lusuh tubuh dan  pakaiannya.

Perlahan pula Mata Gajahmada mulai dapat memperhatikan beberapa orang yang hadir saat itu di pendapa Padepokan Prabu Guru Darmasiksa.

Ternyata di pendapa itu adalah beberapa orang yang sudah dikenalnya, selebihnya adalah beberapa cantrik di Padepokan itu yang merasa tertarik dengan kedatangan Gajahmada membawa seorang gadis yang terluka tidak sadarkan diri.

Tidak ada keraguan di dalam hati Gajahmada manakala telah mengetahui siapa saja yang ada di pendapa Padepokan itu diantaranya selain Bango Samparan yang sangat cemas sebagaimana dirinya, juga telah hadir pangeran Jayanagara, Putu Risang, Jayakatwang dan pengasuhnya sendiri Pendeta Gunakara. Perlahan dan tanpa keraguan lagi Gajahmada telah bercerita tentang apa yang telah mereka berdua hadapi malam itu.

“Orang itu bersenjata Kujang pangeran Muncang, senjata itulah yang melukai tubuh Andini”, berkata Gajahmada bercerita bagaimana keadaan Andini saat itu ketika dapat dilukai oleh seorang yang berpakaian serba hitam dan menyembunyikan wajahnya dengan sebuah kain hitam pula.

Siapakah gerangan orang yang menyembunyikan wajahnya itu?

Demikianlah pertanyaan hampir semua orang diatas pendapa Padepokan itu manakala mendengar cerita dari Gajahmada.

“Apakah Andini masih dapat disembuhkan?”, bertanya Gajahmada perlahan kepada Prabu Guru Darmasiksa. Entah mengapa dihadapan Prabu Guru Darmasiksa perasaan Gajahmada menjadi  begitu tentram merasa yakin bahwa orang tua dihadapannya itu pasti dapat menyembuhkan Andini.

Terlihat Prabu Guru Darmasiksa dengan penuh senyum kesarehan menatap wajah anak muda itu.

“Kita pasrahkan semua ini kepada ketentuan Gusti Yang Maha Agung, dialah penentu segalanya karena semua bersumber dari-Nya”, berkata Prabu Guru Darmasiksa dan diam seketika sambil menarik nafas perlahan.

“Hanya ada dua benda di dunia ini yang dapat menawarkan racun Kujang pangeran Muncang”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa sambil terlihat menarik nafas panjang berhenti sejenak. “benda pertama adalah bunga Wijaya Kusuma”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa sambil memandang semua orang yang juga tengah memandangnya penuh perhatian.

“Bunga Wijaya Kusuma berada di istana Majapahit”, berkata Putu Risang tanpa sadar mengucapkan keberadaan bunga Wijaya Kusuma.

Sebagai seorang murid terkasih dari Mahesa Amping, sudah pasti Putu Risang pernah mendengar cerita kisah bunga Wijaya Kusuma dari gurunya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar