Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 05

Untungnya prajurit berotot itu nampaknya punya banyak pengalaman dan sudah sangat matang sehingga selalu dapat berkelit dan balas menyerang dengan begitu keras dan cepat.

Demikianlah, tidak terasa tiga puluh jurus telah lewat, mereka masih tetap saling menyerang. Dan pertandingan itu sudah menjadi semakin seru tanpa dapat ditentukan siapakah yang akan dapat mengalahkan satu dengan yang lainnya.

Dan terlihat salah seorang juri penilai yang duduk di deretan kursi terdepan telah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa pertandingan harus dihentikan.

“Berhenti”, berkata seorang penengah ketika melihat bendera putih yang dikibarkan oleh salah seorang juri penilai.

Mendengar teriakan seorang penengah, anak muda dan prajurit itu telah menghentikan serangannya.

“Kembali ke tempat masing-masing”, berkata penengah kepada anak muda dan prajurit itu. Terdengar suara gaduh diantara para penonton yang nampaknya merasa kecewa bahwa pertandingan harus dihentikan meski belum di dapat seorang pemenang.

Nampaknya tiga orang juri penilai yang duduk di deretan utama di Tajuk itu tidak memperdulikan suara penonton. Terlihat telah memerintahkan seorang prajurit untuk masuk ke arena memanggil peserta selanjutnya.

Demikianlah, satu persatu peserta calon prajurit Kawali telah dipanggil untuk bertanding dengan seorang prajurit penguji di arena itu.

Sementara itu sinar matahari diatas arena ujian calon prajurit itu sudah semakin terang. Tujuh orang anak muda satu persatu telah tampil di arena itu untuk menunjukkan kebolehannya. Hanya dua orang saja dari ketujuh anak muda itu yang tidak dapat melampaui tiga puluh jurus. Sementara lima orang lainnya dapat mengimbangi prajurit penguji lebih dari tiga puluh jurus, meski mereka tidak dapat mengalahkan prajurit penguji.

“Mahesa Muksa”, berteriak seorang prajurit dari tengah arena memanggil sebuah nama.

“Namamu dipanggil”, berkata Branjang kepada Gajahmada.

“Aku berdoa untukmu, kawan”, berkata Galih sambil menepuk bahu Gajahmada.

Terlihat Gajahmada telah keluar dari kerumunan para anak muda calon prajurit dan langsung masuk ke tengah arena.

Terdengar riuh suara teriakan penuh semangat dari kerumunan para prajurit. Terlihat seorang prajurit telah keluar dari kerumunan itu langsung masuk ke tengah arena. Nampaknya prajurit itu adalah seorang yang sangat di kagumi oleh kawan-kawan mereka. Memang seorang yang nampaknya sangat tangguh terlihat dari pembawaan dirinya yang sangat tenang ketika masuk ke tengah arena terlihat juga dari caranya melangkahkan kakinya yang teratur dan berirama sebagai tanda seorang yang punya kemampuan kanuragan yang cukup matang.

Sorot mata prajurit itu seperti ingin mengukur tingkat kemampuan Gajahmada. Namun dengan tenang Gajahmada mengadu pandangan mata itu.

Diam-diam prajurit itu merasa tergetar merasakan dirinya seperti melihat sebuah tatap mata yang begitu kuat penuh kepercayaan diri yang tinggi.

Terlihat Gajahmada tersenyum kearah prajurit itu, seorang prajurit yang bertubuh sedang dengan kulit wajah hitam, tapi cukup bersih dan tampan dengan sebuah kumis tebal di atas bibirnya menambah kewibawaan prajurit itu.

“Hidup Prajoga”, berteriak beberapa orang dari sebuah kerumunan penonton di luar arena.

Ternyata prajurit penguji itu bernama Prajoga, dan memang dikagumi di kesatuan prajurit karena memiliki kemampuan kanuragan yang cukup tinggi.

“Bersiaplah”, berkata seorang penengah kepada Gajahmada dan Prajoga.

Terlihat Prajoga telah memperlihatkan sebuah kudakuda persiapan seperti sebuah isyarat bahwa dirinya siap menerima serangan awal.

Melihat kuda-kuda Prajoga seperti itu, maka tanpa perkataan apapun Gajahmada telah bersiap untuk melakukan sebuah serangan awal.

Terlihat Gajahmada sudah melakukan serangan awal, hanya sebuah pukulan biasa sekedar gebrakan uji coba mengarah ke dada lawannya.

Nampaknya Prajoga melihat serangan Gajahmada itu bukan sebuah serangan sebenarnya.

“Anak pintar”, berkata Prajoga sambil berkelit lincah mengetahui bahwa serangan awal Gajahmada itu hanya sebuah pancingan.

Ternyata gerak awal Gajahmada itu memang sebuah pancingan agar lawannya bergerak balas menyerang.

Bukan main kagetnya Prajoga manakala dirinya berkelit kesamping dan balas menyerang dengan pukulannya kearah pinggang lawan, nampaknya Gajahmada seperti sudah dapat membaca sebelumnya kemana Prajoga akan menghindar dan balas menyerang.

“Anak cerdas”, berkata Prajoga sambil melompat cepat menghindari serangan Gajahmada yang seperti tahu kemana dirinya melangkah.

Namun sebagai seorang prajurit yang mempunyai tingkat kemampuan kanuragan yang cukup matang, Prajoga tidak ingin dirinya menjadi korban aturan lawan. Maka dengan sigap telah mengatur siasat serangan balik.

Demikianlah, serang dan balas serangan akhirnya telah bergulir dari Gajahmada dan Prajoga semakin lama menjadi semakin seru seperti sebuah tontonan yang sangat mengasyikkan. Mereka seperti dua petarung tangguh di tengah panggung arena yang selalu menimbulkan banyak kejutan dan debaran hati siapa pun yang melihatnya. Terlihat beberapa prajurit penonton yang telah mengetahui ketangguhan Prajoga terdiam terkesima seperti tidak menduga bahkan menyangka sama sekali bahwa di kalangan anak muda calon prajurit ada yang mampu melayani Prajoga yang punya kemampuan kanuragan cukup tinggi itu.

Sebenarnya bila saja mau, Gajahmada sudah dapat menerapkan kemampuan kecepatannya bergerak melampaui orang biasa. Namun Gajahmada nampaknya masih ingin mengimbangi permainan lawannya dengan hanya sedikit lebih cepat dari gerakan lawan.

Dan meski hanya berusaha dengan kecepatan bergerak diatas lawannya, tetap saja telah membuat Prajoga menjadi cukup panik menghadapi serangan Gajahmada yang dianggapnya sangat cepat itu. Dan hampir semua serangannya dapat di elakkan oleh Gajahmada dengan sangat mudah dan cepat serta balas menyerang telah membuat Prajoga seperti terkuras tenaganya.

“Sejak awal pertemuan, aku sudah menduga bahwa anak muda itu pasti punya kemampuan cukup tangguh”, berkata dalam Ki Lurah Pramuji yang duduk sebagai salah seorang juri melihat bagaimana Gajahmada dapat melayani permainan Prajoga yang dikenalnya sebagai salah seorang prajurit yang punya kemampuan olah kanuragan cukup tinggi.

“Ternyata kawan kita cukup tangguh”, berkata Galih kepada Branjang disebelahnya mengagumi Gajahmada yang dapat melayani prajurit penguji yang dilihatnya cukup tangguh.

“Aku sendiri belum yakin seandainya aku yang menghadapi prajurit itu, apakah aku dapat melayaninya sebagaimana Mahesa Muksa”, berkata Branjang dengan mata yang tidak lepas berkedip terus mengamati jalannya pertempuran yang sangat seru dan mendebarkan hati itu.

Dan sebagaimana yang dilihat oleh semua orang diluar arena, pertempuran itu memang sangat seru serta mendebarkan hati dengan serang dan balas menyerang dengan gerakan mengagumkan.

Tidak terasa tiga puluh jurus telah berlalu, dan Gajahmada telah sedikit meningkatkan tataran ilmunya, meningkatkan kecepatan gerak dan kekuatan dirinya.

Brakk !!!

Dua tangan beradu.

Terlihat Prajoga mundur beberapa langkah merasakan tangannya merasakan seperti beradu dengan batu cadas yang kuat merasakan ngilu seluruh sendi tangannya.

Dan Gajahmada sepertinya tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada Prajoga langsung menyerang dengan sebuah tendangan keras dan cepat menerjang Prajoga.

Terlihat dengan susah payah Prajoga menghindar, sayang bahwa Gajahmada dengan cepat pula telah merubah serangannya dengan sebuah pukulan keras kearah pinggang lawannya.

Akibatnya memang sangat merepotkan Prajoga yang kembali harus menghindar, namun dengan cepat pula Gajahmada menyusuli dengan serangan lainnya.

Demikianlah, dalam beberapa jurus terakhir nampaknya Prajoga tidak dapat balas menyerang, telah menjadi bulan-bulanan Gajahmada yang terus menyerang dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak Prajoga.

Dan akhirnya, sebuah pukulan nampaknya tidak mungkin lagi dapat dihindari oleh Prajoga,

Beng !!!!

Terlihat Prajoga terlempar oleh dua buah pukulan beruntun dari Gajahmada.

Terdengar suara riuh dari para pemuda calon prajurit. Mereka mengelu-elukan Gajahmada sebagai satusatunya calon prajurit yang dapat menjatuhkan prajurit penguji.

Sementara itu para prajurit penonton semua seperti tersirep diam, mereka tidak sama sekali menyangka prajurit setangguh Prajoga dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda calon prajurit.

“Maaf, Ki Lurah Pramuji telah mengangkat bendera putih”, berkata seorang penengah kepada Prajoga yang telah bangkit berdiri.

Ternyata Ki Lurah Pramuji memang telah mengangkat bendera putih sebagai tanda pertandingan dianggap telah selesai.

“Selamat, kamu memang pantas menjadi seorang prajurit Kawali”, berkata Prajoga kepada Gajahmada ketika mereka bersisipan jalan menuju tempat semula.

“Terima kasih”, berkata Gajahmada kepada Prajoga sambil menganggukkan kepala sebagai sebuah penghormatan dan langsung melangkah menuju ke tempatnya semula.

“Kamu memang hebat, kawan”, berkata Galih memberikan ucapan selamat kepada Gajahmada. “Kamu bukan hanya melampaui tiga puluh jurus, tapi sudah dapat menjatuhkan lawanmu”, berkata Branjang sambil menjulurkan tangannya memberikan ucapan selamat kepada kawannya itu.

Demikianlah, satu persatu para calon prajurit Kawali telah dipanggil untuk diuji. Mereka dengan semangat dan kesungguhan hati telah berusaha untuk memperlihatkan kemampuannya. Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya semua calon prajurit itu sudah semuanya dipanggil di tengah arena menghadapi para prajurit penguji, termasuk Branjang dan Galih, dua orang kawan baru Gajahmada itu.

Bukan main gembiranya para calon prajurit itu manakala hasil pengumuman siapa yang telah dinyatakan lulus pada hari itu juga telah diumumkan. Gajahmada, Branjang dan Galih adalah tiga orang yang termasuk para calon prajurit yang dinyatakan telah lulus dari ujian pertama itu. Dari sekitar tiga puluh orang pelamar calon prajurit Kawali, hanya ada dua orang anak muda yang bernasib kurang beruntung, mereka gagal dalam ujian hari itu.

“Kalian yang telah diumumkan lulus dalam ujian ini diwajibkan untuk melaksanakan pendadaran, bergabung dengan beberapa kesatuan prajurit yang ada di Kawali”, berkata seorang perwira prajurit membacakan siapa saja para calon prajurit yang dipanggil bergabung dengan kesatuan prajurit Kawali.

“Kita ada dalam kesatuan prajurit yang sama”, berkata Branjang kepada Gajahmada dan Galih.

Ternyata mereka bertiga telah mendengar hasil pengumuman dimana ditempatkan dalam masa pendadaran itu. Bukan main terkejutnya Gajahmada ketika seorang prajurit yang pernah mengujinya  datang menghampirinya.

“Selamat, selama masa pendadaran ini kamu berada dalam kesatuanku”, berkata prajurit itu kepada Gajahmada yang tidak lain adalah Prajoga, seorang pemimpin dari sebuah kesatuan prajurit di Kawali.

“Aku mohon bimbinganmu”, berkata Gajahmada kepada Prajoga.

“Justru akulah yang meminta bimbinganmu, bukankah kemampuan olah kanuraganku jelas-jelas berada dibawahmu?”, berkata Prajoga kepada Gajahmada dengan senyum ramah.

“Tapi dalam urusan keprajuritan, aku belum tahu apaapa”, berkata Gajahmada kepada Prajoga.

“Aku yakin bahwa kamu akan cepat mengetahui dan mempelajarinya”, berkata Prajoga kepada Gajahmada.

Demikianlah, mulai hari itu juga, Gajahmada, Branjang dan Galih telah bergabung bersama di sebuah kesatuan yang berada di bawah pimpinan Prajoga, seorang lurah prajurit.

Dan malam itu juga mereka telah bergabung di barak yang sama.

“Persiapkan diri kalian, besok kita akan melakukan perjalanan cukup jauh”, berkata Prajoga kepada Gajahmada, Branjang dan Galih.

Gajahmada, Branjang dan Galih tidak bertanya lebih jauh lagi, mereka hanya mempersiapkan diri sebagaimana para prajurit lain di barak itu, mempersiapkan kebutuhan dan perlengkapan sebagaimana layaknya para prajurit yang akan berangkat ke medan perang.

*****

Sementara itu di padepokan Prabu Guru Darmasiksa malam itu telah terlihat sebuah percakapan mengenai suasana hari pengujian para calon prajurit yang sudah terdengar lewat beberapa cantrik Padepokan yang diamdiam ditugaskan mengawasi keadaan Gajahmada.

“Saatnya kalian berdua kembali ke istana”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda dan Dyah Rara Wulan. Kalian harus dapat menjelaskan kepada Raja Ragasuci tentang hilangnya Kujang Pangeran Muncang, juga untuk meluruskan Gajahmada agar dapat bertugas disekitar Patih Argajaya”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa.

Terlihat wajah Dyah Rara Wulan berseri-seri membayangkan dapat bertemu kembali dengan pemuda yang telah mencuri hatinya, Gajahmada.

“Besok pagi kami akan berangkat, mohon doa restunya agar Ayahanda tidak salah sangka tentang penilaian kita terhadap Patih kesayangannya itu”, berkata Pangeran Citraganda kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Aku yakin, Ayahandamu dapat menerima penjelasan dari putranya sendiri”, berkata Prabu Guru Darmasiksa dengan penuh senyum terbayang wajah putranya Raja Ragasuci yang memang tidak mudah dipengaruhi.

“Sementara untuk dapat menugaskan Gajahmada di sekitar Patih Ragajaya akan cucunda usahakan, mudahmudahan Ki Lurah Pramuji dapat membantu kita”, berkata Pangeran Citraganda.

“Bila diijinkan, hamba berdua Pangeran Jayanagara ingin melihat-lihat suasana Kotaraja Kawali”, berkata Putu Risang meminta sebuah usulan kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Bagus, kalian berdua memang dibutuhkan untuk dapat mendekati Gajahmada, membuat sebuah keputusan yang mungkin diperlukan”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menerima usulan Putu Risang.

“Besok pagi kami akan ikut berangkat, tapi dengan jalan terpisah tidak bersama-sama Pangeran Citraganda agar tidak mencurigakan orang-orang yang mungkin saja kaki tangan Patih Argajaya yang memang sedang mengawasi keadaan kita”, berkata Putu Risang.

“Bagus, kita memang harus berhati-hati”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Para orang muda akan meninggalkan Padepokan, apa tugas kita orang tua?”, berkata Pendeta Gunakara sambil menyentuh bahu Jayakatwang yang ikut tersenyum.

“Kita para orang tua akan turun bila saatnya tiba”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pendeta Gunakara.

Sementara itu pikiran dan lamunan Dyah Rara Wulan sudah jauh melayang di Kotaraja Kawali, membayangkan hari-hari melihat Gajahmada lengkap dengan pakaian prajurit Kawali umumnya.

“Besok kalian pagi-pagi sudah harus berangkat, sekarang segeralah kalian untuk beristirahat”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

Perkataan Prabu Guru Darmasiksa telah membuyarkan lamunan Dyah Rara Wulan, masih dengan senyum dikulum telah bangkit berdiri bersama untuk segera beristirahat di biliknya. Temaram cahaya bulan menerangi malam sepi, dan hawa dingin di Padepokan Prabu Guru Darmasiksa yang berada di lereng Gunung Galunggung malam itu begitu dingin.

Temaram cahaya lembut pelita malam di bilik Dyah Rara Wulan telah menjadi kawan setia gadis manis itu yang masih juga belum dapat memejamkan matanya, lamunannya nampaknya telah jauh melambung ke harihari di Kotaraja Kawali.

Gadis manis itu bukan rindu kepada istana Kawali yang telah ditinggalkannya beberapa hari, tapi gadis itu ternyata sedang rindu kepada seorang pemuda yang saat itu sedang berada di Kotaraja Kawali. Siapa lagi anak muda yang menghiasi lamunan gadis itu kalau bukan Gajahmada yang memang saat itu tengah berada di Kotaraja Kawali.

Dan gadis manis putri Raja Kawali itu akhirnya dapat tertidur pulas dengan bibir terlihat tersungging senyum begitu manis, mungkin tengah bermimpi bertemu dan bersenda gurau dengan pemuda impiannya itu. Gadis manis itu memang sudah tertidur pulas meski semilir angin dingin kadang masuk diantara celah-celah bilik bambu kamarnya. Gadis manis itu juga sudah tidak mendengar lagi suara kentongan dengan nada dara muluk terdengar sayup di malam sepi dari sebuah padukuhan yang jauh di bawah lereng Galunggung. Dan Gadis manis itu juga tidak lagi mendengar suara rintik gerimis hujan yang mulai turun di pertengahan malam itu begitu lama hingga menjelang pagi datang.

Ternyata gerimis hujan merata membasahi bumi Pasundan sepanjang malam itu, juga membasahi bumi Kotaraja Kawali. “Kamu sangat gagah dengan pakaian prajuritmu”, berkata Galih kepada Gajahmada di pagi itu ketika mereka telah bersiap diri untuk berangkat ke sebuah tempat tugas.

“Kita akan melakukan sebuah perjalanan cukup jauh, sekitar daerah Gunung Papandaian. Ada sebuah kabar bahwa di beberapa padukuhan di bawah kaki Gunung itu sering terjadi perampokan”, berkata Prajoga sebagai pemimpin kesatuan prajurit yang ditugaskan ke daerah Gunung Papandaian kepada pasukannya ketika mereka telah berkumpul untuk bersiap diri di pagi itu berangkat ke medan tugasnya.

Dan pagi itu udara cukup cerah, diatas tanah basah bekas guyuran gerimis sepanjang malam itu terlihat dua puluh orang prajurit Kawali telah keluar dari batas gerbang kota sebelah selatan. Nampak wajah mereka begitu cerah, mungkin sebagian mereka sudah lama dan merasa jenuh tinggal berhari-hari didalam barak tanpa tugas apapun selain berkumpul dan berlatih sebagaimana para prajurit lainnya.

“Setahuku di daerah sekitar Gunung Papandaian adalah sebuah tempat yang aman, apa yang didapat para perampok itu dari para penduduknya yang sangat sederhana itu ?”, berkata seorang prajurit tua kepada kawannya yang berjalan di depan Gajahmada, Branjang dan Galih.

“Jangan-jangan sebuah cara untuk menghancurkan Prajoga dan kita pasukannya”, berkata kawan prajurit tua itu dengan suara berbisik pelan.

“Aku tidak tahu apa maksud perkataanmu itu”, berkata prajurit tua itu kepada kawannya penuh ketidak mengertian. “Aku akan menjelaskan kepadamu di suatu tempat”, berkata kawannya itu masih dengan berbisik.

Pembicaraan prajurit tua dan kawannya itu ternyata dapat didengar oleh Gajahmada yang diam-diam ikut menyimak pembicaraan mereka.

Maka ketika ada perintah untuk beristirahat, Gajahmada telah mencari tempat yang tidak jauh dari mereka berdua.

Terlihat sebuah pasukan kecil tengah beristirahat di sebuah pinggir hutan di sebuah jalan simpang.

“Kalau kutahu tugas seorang prajurit hanya membawa beban yang banyak, tidak perlu aku berlatih kanuragan”, berkata Galih sambil melemparkan tubuhnya duduk bersandar di sebuah pohon rindang kepada kawannya Branjang. Mereka sepanjang jalan memang diperintahkan untuk membawa beban berupa perbekalan pasukan.

“Bersabarlah, kita masih dalam tahap pendadaran. Setidaknya sebuah kenangan tak terlupakan bila saja kamu nanti kelak dapat menjadi seorang Senapati”, berkata Branjang kepada Galih sambil tersenyum.

“Bila aku jadi seorang Senapati, kuangkat kamu jadi pengawalku”, berkata Galih sudah dapat kembali tersenyum kepada kawannya Branjang.

“Kamu salah, ketika kamu jadi seorang senapati, aku sudah menjadi seorang Tumenggung”, berkata Branjang masih dengan sebuah tawa.

“Kenapa kamu lebih tinggi dariku?”, bertanya Galih dengan wajah penuh penasaran.

“Karena aku lebih baik darimu”, berkata Branjang dengan suara datar. “Siapa bilang kamu lebih baik dariku?”, bertanya Galih kepada Branjang.

“Kataku sendiri”, berkata Branjang dengan tawa lebih panjang.

Namun pembicaraan mereka terhenti ketika seorang prajurit membawa ransum untuk mereka.

“Ini ransum untuk kalian”, berkata prajurit itu kepada Galih dan Branjang.

Sementara itu Gajahmada terlihat duduk beristirahat tidak begitu jauh dari prajurit tua dan kawannya. Diamdiam dirinya berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka berdua.

“Coba jelaskan, apa yang telah terjadi pada diri Lurah Prajoga”, berkata prajurit tua kepada kawannya dengan suara pelan, setengah berbisik.

“Lurah Prajoga bercerita kepadaku telah mendapat sebuah tugas langsung dari Patih Ranggajaya. Entah tugas macam apa tidak diceritakan kepadaku, yang diceritakan adalah bahwa lurah Prajoga telah menolak tugas itu”, berkata kawan prajurit tua itu juga dengan suara berbisik.

“Aku sudah dapat mengerti, pasti sebuah tugas yang tidak sesuai dengan hati nurani Lurah Prajoga”, berkata prajurit tua itu sambil mengunyah ransum makanannya.

“Tadi sewaktu akan berangkat, Lurah Prajoga telah berpesan kepadaku untuk berhati-hati sepanjang perjalanan, mungkin dirinya telah menangkap sebuah isyarat yang tidak baik”, berkata kawan prajurit itu masih dengan suara berbisik.

Dan matahari terlihat sudah mulai bergeser ke barat terhalang kerimbunan dahan dan cabang pepohonan hutan. Sementara pasukan Prajoga telah bergerak kembali.

“Sebentar lagi kita akan memasuki kawasan hutan Mayambong”, berkata prajurit tua kepada kawannya yang nampaknya mengenal betul arah perjalanan mereka.

Sebagaimana yang dikatakan oleh prajurit tua itu, mereka akhirnya memang tengah mendekati sebuah hutan yang cukup lebat.

Sementara itu cahaya matahari semakin redup terhalang kerimbunan pohon.

Suasana pinggir hutan itu memang sepi.

“Berhati-hatilah!!”, berkata Prajoga kepada pasukannya.

Prajoga adalah seorang prajurit yang sangat berpengalaman, suara banyak burung yang mencicit dan terbang dari dalam hutan Mayangbong telah mengisyaratkan kepada dirinya untuk waspada. Setidaknya pasti ada sebuah hal yang telah mengagetkan kumpulan burung-burung di dalam hutan sana. Namun suasana tepi hutan Mayangbong masih sepi ketika pasukan itu sudah semakin mendekatinya.

Terlihat wajah semua prajurit Kawali itu semakin menegang manakala mereka semakin mendekati kesunyian hutan Mayangbong. Namun akhirnya, kecurigaan Prajoga ternyata menjadi sebuah kenyataan.

Terlihat sebuah gerombolan orang telah keluar menghadang pasukan prajurit Kawali yang berjumlah sekitar dua puluh orang prajurit. Kedua puluh orang prajurit itu langsung berhenti menunggu perintah pimpinan pasukannya, Prajoga.

Sementara itu gerombolan orang yang muncul dari hutan Mayangbong terus berjalan mendekati pasukan Prajoga.

“Agar kami tidak salah orang, apakah pasukan ini berada dibawah pimpinan Ki Lurah Prajoga?”, berkata salah seorang dari mereka yang nampaknya pimpinan gerombolan itu. Seorang yang nampaknya sangat berwibawa terlihat dari suara dan wajah  kerasnya dengan sebuah kumis tebal melintang.

“Aku Prajoga, apa keinginan kalian menghadang pasukanku”, berkata Prajoga sambil menunjukkan dirinya maju mendekati orang itu.

Terlihat orang yang mewakili gerombolan itu tertawa panjang sambil memperhatikan Prajoga dari kaki sampai keatas kepala.

“Ternyata Ki Lurah Prajoga hanya seorang muda”, berkata orang itu sambil tertawa.

“Katakan, apakah kalian sengaja menghadang pasukanku?”, bertanya kembali Prajoga kepada orang itu dengan suara keras penuh rasa percaya diri yang tinggi.

“Siapa yang mau diam di dalam hutan penuh nyamuk tanpa bayaran yang menggiurkan”, berkata orang itu dengan tertawa panjang diikuti kawan-kawannya di belakangnya.

“Siapa gerangan yang membayarmu?”, bertanya Prajoga kepada orang itu.

Terlihat orang itu tidak langsung menjawab, hanya memperlihatkan senyum sinis merendahkan.

“Aku juga di bayar untuk merahasiakan hal itu”, berkata orang itu masih dengan senyum sinisnya.

“Aku tidak akan bertanya lagi, karena aku sudah tahu siapa gerangan orang yang telah mengupahmu”, berkata Prajoga kepada orang itu.

“Bagus bila kamu sudah tahu siapa yang mengupahku, sekarang bersiaplah untuk menerima penumpasan pasukanmu, termasuk dirimu”, berkata orang itu sambil melepas golok dari sarungnya diikuti oleh semua gerombolannya yang memang rata-rata bersenjata yang sama.

“Beri aku kesempatan berbicara dengan pasukanku”, berkata Prajoga sambil mengangkat tangannya tinggitinggi.

“Silahkan”, berkata orang itu sambil bertolak tangan sebelah dimana tangan lainnya sudah memegang sebuah senjata golok telanjang.

“Dengarlah wahai pasukanku, ini adalah urusan pribadi diriku dengan seseorang. Jadi segeralah kalian menyingkir tidak perlu ikut campur membela diriku”, berkata Prajoga lantang dihadapan para pasukannya.

“Urusan Ki Lurah adalah urusan kami, kami tidak akan menyingkir setapak pun meninggalkan Ki Lurah”, berkata seorang prajurit tua di dekat Gajahmada juga dengan suara lantang sekeras ucapan Prajoga.

“Benar, kami tidak akan menyingkir setapak pun”, berkata kawannya sambil melepas pedang mengacungkannya tinggi-tinggi diatas kepalanya.

Ternyata ucapan dan sikap kedua prajurit itu langsung diikuti oleh semua prajurit Kawali yang berada di pinggir hutan Mayambong itu.

Terlihat semua prajurit telah melepas pedang dari sarungnya.

Terharu Prajoga melihat sikap prajurit pasukannya yang dengan penuh keberanian telah memilih membela dirinya meski telah disampaikan bahwa urusan itu adalah masalah pribadi yang harus ditanggung sendiri.

“Terima kasih untuk kesetiaan kalian”, berkata Prajoga dengan wajah penuh haru menatap pasukannya.

“Ternyata pasukanmu sangat setia mengantar dirimu bersama ke alam kubur”, berkata orang yang menjadi pemimpin gerombolan itu dengan wajah dan bibir penuh senyum mengejek penuh merendahkan kekuatan pasukan Kawali yang setengah dari kekuatannya itu.

“Jangan terlalu percaya dengan kekuatan banyak orang”, berkata Prajoga sambil menarik pedang dari sarungnya.

Terlihat pimpinan gerombolan itu telah  memberi tanda kepada orang-orangnya untuk segera mengepung pasukan Kawali.

Melihat tanda perintah dari pimpinannya, para gerombolan itu terlihat sudah bergerak mengepung para prajurit di muka Hutan Mayambong itu.

Sementara itu Ki Lurah Prajogo telah memberi tanda kepada prajuritnya agar berperang secara berkelompok. Maka dengan cepat kedua puluh prajurit itu sudah terpecah dalam dua kelompok yang sama.

“Jangan terpisah dari kami”, berkata seorang prajurit mengingatkan Gajahmada, Branjang dan Galih sebagai para prajurit baru.

“Aku belum pernah bertempur dengan orang yang belum sama sekali kukenal, siapakah gerangan dirimu?”, berkata Ki Lurah Prajogo kepada pimpinan gerombolan itu.

“Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Ki Anas”, berkata Pemimpin gerombolan itu menyebut nama panggilannya.

“Maaf, aku baru mendengar nama itu”, berkata Prajogo kepada Ki Anas.

“Sekarang kamu sudah mendengarnya, bersiaplah kalian terkubur di hutan ini”, berkata Ki Anas sambil memberi tanda kepada orang-orangnya untuk segera bergerak untuk menghancurkan dua puluh orang prajurit yang telah terkepung itu.

Tapi kedua puluh orang prajurit yang sudah bersiap itu ternyata tidak menjadi gentar menghadapi jumlah pengepung yang dua kali lipat itu.

Maka tidak lama berselang telah terjadi pertempuran yang sangat dahsyat antara para prajurit dan gerombolan yang dipimpin Ki Anas itu.

Tidak mudah memang untuk menggulung pasukan prajurit Kawali itu, meski jumlah mereka lebih sedikit, tapi mereka secara berkelompok telah menunjukkan kekuatannya dapat mengimbangi serangan orang yang lebih banyak darinya.

Seorang prajurit tua yang semula mengkhawatirkan Gajahmada, Branjang dan Galih terlihat bernafas lega melihat ketiga anak muda itu dengan cepat telah dapat menyesuaikan dirinya berperang dengan cara berkelompok.

“Luar biasa anak muda itu”, berkata prajurit tua itu manakala melihat kepandaian Gajahmada yang telah bergerak dengan pedangnya.

Sebagaimana yang dilihat oleh prajurit tua itu, ternyata Gajahmada sudah langsung memperlihatkan kemahirannya dalam memainkan sebuah pedang. Ujung mata pedang Gajahmada seperti badai topan prahara, berputar dan langsung menerjang siapapun yang mendekat.

Terdengar suara jerit kesakitan dari mulut para gerombolan terkena sambaran pedang Gajahmada.

“Biarlah mereka bertempur, akulah lawanmu”, berkata Ki Anas sambil melompat langsung menerjang Prajoga ditengah kancah pertempuran itu.

Menghadapi serangan pemimpin gerombolan itu, Prajoga sangat hati-hati tidak bergerak sembarangan merasa bahwa tataran ilmu orang itu pasti cukup tinggi. Ternyata tidak percuma Prajoga diangkat sebagai pimpinan sebuah pasukan, tataran ilmu kanuragannya memang sudah diatas rata-rata prajurit biasa. Maka dengan penuh kehati-hatian Prajoga berusaha mengimbangi permainan golok lawannya. Pedang di tangan Prajoga sekali-kali menusuk ikut balas menyerang. Dan pertempuran di antara mereka berdua pun akhirnya semakin lama menjadi semakin sengit.

Sementara itu pertempuran antara dua kubu itu pun juga tidak kalah sengitnya, mereka seperti sama-sama ingin secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Ternyata kemahiran para prajurit dalam berperang secara berkelompok itu telah membuat orang-orang dari kubu Ki Anas itu menjadi begitu penasaran, mereka dengan jumlah dua kali lipat dari jumlah prajurit tidak dapat juga membuat pecah pasukan dari Kotaraja Kawali itu.

Bahkan satu persatu anggota gerombolan itu dalam waktu yang singkat telah terlihat jatuh terkapar, maka sedikit demi sedikit telah mengurangi gempuran mereka karena jumlah mereka yang semakin surut. “Anak muda itu bukan pemuda biasa”, berkata kembali prajurit tua yang dipercayakan menjadi ketua kelompok itu melihat tandang Gajahmada yang begitu trengginas.

Sebagaimana yang dilihat oleh prajurit tua itu, Gajahmada memang telah mengerahkan kemahirannya memegang sebuah pedang di tangan. Terlihat pedang di tangan Gajahmada seperti kilat begitu cepat menyambarnyambar ke arah lawan, dan selalu saja pedang itu seperti bermata, tidak ada satu pun serangannya yang lepas begitu saja, pasti akan mengakibatkan seorang korban.

Ternyata orang-orang dari kubu Ki Anas adalah orang-orang kasar yang tidak biasa bertempur secara berkelompok sebagaimana para prajurit. Akibatnya mereka yang berjumlah lebih banyak seperti terbalik, mereka lah yang akhirnya semakin terdesak menghadapi kekuatan para prajurit.

Gajahmada yang berada didalam kekuatan prajurit itu ternyata mudah sekali menyesuaikan dirinya dengan mengekang dirinya tidak keluar dari kelompoknya, melindungi seorang prajurit dari serangan lawan. Begitulah dirinya bertempur sebagaimana prajurit lainnya. Seperti sebuah cakra, kelompok prajurit itu telah berputar memporak-porandakan kumpulan orang-orang kasar itu. Lambat tapi pasti, dua kelompok prajurit sudah dapat berbalik mendesak lawannya yang semakin terus berkurang menyusut tajam.

Bukan main geramnya Ki Anas melihat gerombolannya menjadi terdesak, maka dengan penuh kemarahan telah meningkatkan tataran ilmunya menerjang ke arah Prajoga. Melihat tataran ilmu Ki Anas yang semakin meningkat, terutama dalam kecepatan geraknya telah membuat Prajoga menjadi semakin berhati-hati berusaha untuk dapat menghadapinya dengan kekuatan dan tataran ilmunya yang ternyata dalam beberapa ratus jurus itu masih dapat mempertahankan dirinya dari serangan Ki Anas yang semakin keras, cepat dan ganas itu.

“Serangan pedang yang aneh”, berkata prajurit tua dalam hati melihat sendiri dengan mata dan kepalanya gerakan pedang Gajahmada yang sangat aneh menurut jalan pikirannya.

Bagaimana tidak aneh, meski mata pedang Gajahmada belum sampai mengenai lawannya, tapi sudah terdengar suara jerit orang yang berada di dekat Gajahmada. Ternyata, Gajahmada yang belum dapat sepenuhnya menyadari kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya telah meningkatkan tataran kekuatan tenaga cadangannya, akibatnya sangat luar biasa, angin serangan pedangnya seperti perpanjangan mata pedang yang begitu tajam, langsung melukai siapa saja yang datang mendekatinya, yang tidak menyangka bahwa angin pedang Gajahmada setajam pedang telah melukai tubuh meski dalam jarak cukup jauh sekitar dua langkah kaki. Maka kekuatan para orang-orang Ki Anas semakin lama jelas sudah semakin surut, jumlah para gerombolan sudah semakin berkurang lebih dari setengahnya.

Sebagai seorang pemimpin, Ki Anas disamping terus bertempur dengan lawannya masih dapat melihat apa yang terjadi pada orang-orangnya sendiri.

“Orang-orang bodoh”, berkata Ki Anas menggerutu sendiri melihat orang-orangnya saat itu terbalik sudah tertekan oleh serangan para prajurit. “Jangan gusar Ki Anas, orang-orangmu sudah semakin terdesak”, berkata Prajoga sambil menghindari serangan Ki Anas yang semakin keras.

Ternyata kegusaran hati Ki Anas  telah mempengaruhi pertempurannya, ada sebuah aturan kuat bahwa jiwa dan perasaan hati dalam sebuah pertempuran harus dijaga dan dikendalikan dengan baik. Dan ternyata Prajoga dapat benar-benar memahami hal itu telah berusaha mempengaruhi jiwa dan perasaan Ki Anas.

Rupanya ucapan Prajoga telah semakin mempengaruhi jiwa dan perasaan Ki Anas yang sangat gusar melihat pasukannya telah semakin surut terdesak lawan.

Achhhh !!!!

Sebuah serangan pedang Prajoga berhasil mengenai pangkal paha Ki Anas yang lengah sedikit itu.

Terlihat Ki Anas langsung melompat menjauh.

Sambil berdiri, Ki Anas penuh dengan kegeraman hati melihat darah segar mengucur deras dari pangkal paha kanannya.

Sementara itu Prajoga tidak segera mengejar lawannya, memberi kesempatan Ki Anas untuk bersiap diri melanjutkan serangannya kembali.

Terlihat Ki Anas berdiri dengan wajah begitu menyeramkan, matanya seperti terbuka lebar-lebar menyala penuh kemarahan..

Dan bukan main kagetnya Prajoga ketika melihat Ki Anas bergerak cepat.

Apa yang dilihat oleh Prajoga sehingga telah membuat dirinya nyaris berdebar-debar?

Ternyata gerakan Ki Anas tidak mengarah kepada Prajoga, melainkan menerjang ke tengah pasukan tepatnya ke arah seorang prajurit muda yang tidak lain adalah Gajahmada.

Trang !!!

Terdengar suara dua senjata beradu.

Dengan sebuah kekuatan tenaga cadangan Gajahmada telah mencoba menangkis sebuah serangan membacok ke arah tubuhnya dari sebuah golok di tangan Ki Anas.

Bukan main kagetnya Ki Anas merasakan telapak tangannya sendiri menjadi begitu panas, dan tidak terasa telah melepas senjatanya.

Dan seorang prajurit di dekat Gajahmada yang melihat sebuah kesempatan terbuka telah menyabetkan pedangnya ke arah perut Ki Anas.

Brettt !!!

Terdengar sebuah mata pedang prajurit telah berhasil merobek perut Ki Anas.

Terlihat tubuh Ki Anas terhuyung kebelakang.

Melihat pimpinannya sendiri yang tengah terluka, semua anak buah Ki Anas tidak lagi melakukan penyerangan. Terlihat mereka mundur ke belakang.

Sementara itu Ki Anas tidak dapat lagi menahan tubuhnya yang terasa menjadi lemah karena darah di perut dan pangkal pahanya yang terus mengalir.

Dalam keadaan yang genting itu terlihat Gajahmada berlari mendekati Ki Anas. “Aku membawa obat penawar luka”, berkata Gajahmada sambil mengeluarkan sebuah bubu bambu dari dalam bajunya.

Dengan sangat telaten, terlihat Gajahmada telah menyobek kainnya sendiri guna membalut perut dan paha Ki Anas setelah luka itu ditutup dengan bubuk putih obat penawar luka.

“Lukamu cukup dalam, jangan banyak bergerak dulu”, berkata Gajahmada kepada Ki Anas.

“Terima kasih, siapa namamu anak muda”, berkata Ki Anas memandang ke arah Gajahmada merasa darah di perut dan pahanya tidak merembes keluar lagi.

“Aku Mahesa Muksa”, berkata Gajahmada sambil tersenyum memandang kearah Ki Anas.

Sementara itu, melihat pemimpin mereka terluka, diam-diam orang-orang yang datang bersama Ki Anas telah menghilang kabur menyelamatkan diri. Mungkin mereka berpikir tidak akan mampu menghadapi para prajurit tanpa kehadiran Ki Anas, atau mereka sudah dapat memperhitungkan kekalahan mereka sendiri dan tidak ingin berurusan lebih jauh apalagi sampai menjadi tawanan.

“Kami akan merawat luka Ki Anas, kami juga tidak akan membawa Ki Anas sebagai seorang tawanan”, berkata Prajoga yang sudah datang mendekati Ki Anas yang berbaring diam tak banyak bergerak. Hanya matanya yang terlihat sayu tidak segarang sebelumnya.

Sementara itu matahari sudah semakin turun ke barat, suasana di muka hutan Mayangbong yang sepi itu terlihat sudah menjadi semakin teduh dan redup.

Terlihat beberapa prajurit tengah mengobati beberapa kawan mereka, ada juga yang tengah merawat luka lawan mereka. Sementara beberapa prajurit lagi tengah mengumpulkan mayat-mayat yang tergeletak, sebagian besar adalah orang-orangnya Ki Anas sendiri.

“Hanya ada satu orang kita yang tidak dapat diselamatkan, lukanya terlalu parah”, berkata seorang prajurit tua melaporkannya kepada Prajoga.

“Kita kubur mereka disini, perintahkan semua prajurit untuk beristirahat di muka hutan ini”, berkata Prajoga kepada prajurit tua itu.

Demikianlah, malam itu para prajurit Kawali itu telah menginap beristirahat di muka hutan Mayangbong.

Tidak ada kejadian apapun di malam itu, meski begitu para prajurit tetap berjaga-jaga sepanjang malam itu khawatir ada kemungkinan yang dapat saja terjadi tanpa terduga.

Namun ketika langit diatas hutan Mayangbong telah berubah menjadi wajah pagi, tidak ada apapun yang terjadi.

“Disebelah barat hutan ini ada sebuah padukuhan kecil, kami akan membawa Ki Anas kesana, menitipkan Ki Anas kepada penduduk setempat”, berkata Prajoga kepada Ki Anas yang masih tengah berbaring.

“Aku menjadi malu dengan kalian, semula kalian  akan kami celakai, namun justru kamilah yang harus dikasihani menjadi orang tidak berdaya”, berkata Ki Anas pelan.

“Ki Anas hanya orang suruhan, aku sudah dapat mengetahui siapa dibalik semua ini”, berkata Prajoga dengan wajah ramah tanpa sedikit pun terlihat dendam kepada orang yang sudah datang ingin mencelakai dirinya itu.

“Jiwa Ki Lurah begitu lapang, aku menjadi semakin malu”, berkata Ki Anas sambil memandang wajah Prajoga.

“Diluar perang, kita adalah sebagai saudara”, berkata Prajoga masih dengan senyum ramahnya.

“Berhati-hatilah, jiwamu akan selalu terus terancam oleh seorang yang tidak senang dengan dirimu”, berkata Ki Anas kepada Prajoga.

“Selama kita percaya dengan jalan kebenaran yang kita pilih, selama itu pula perlindungan berada dipihak kita”, berkata Prajoga kepada Ki Anas yang terlihat sudah kembali berwajah segar karena semalaman sudah diberikan beberapa jamu penguat diri dan beristirahat.

Maka ketika pagi sudah menjadi terang tanah, terlihat iring-iringan prajurit terlihat bergerak ke arah barat dari muka hutan Mayangbong itu.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Prajoga, ternyata tidak begitu jauh mereka berjalan telah menemui beberapa pematang sawah sebagai tanda mereka akan menemui sebuah padukuhan.

“Kami menitipkan beberapa orang yang terluka, ada segerombolan orang telah bermaksud merampok mereka”, berkata Prajoga kepada Ki Jagaraga dan beberapa orang Padukuhan tanpa sedikit pun mengungkit kejadian sebenarnya di muka hutan Mayangbong kemarin hari.

“Kami akan menjaga dan merawatnya”, berkata Ki Jagaraga kepada Prajoga.

Demikianlah, setelah menitipkan orang-orang yang terluka termasuk Ki Anas di Padukuhan itu, Prajoga dan pasukannya telah berpamit diri untuk kembali ke Kotaraja Kawali.

Terlihat iring-iringan prajurit Kawali sudah berjalan keluar gerbang gapura padukuhan kecil itu.

Ketika mereka sudah begitu jauh dari arah Padukuhan dibelakang mereka, terlihat Prajoga telah memerintahkan pasukannya berhenti.

“Aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesetiaan kalian, namun aku akan berterima kasih kembali manakala apa yang menimpa kita di muka hutan Mayangbong ini dikubur selamanya”, berkata Prajoga sambil memandang wajah prajurit satu persatu.

“Istana Kawali saat ini seperti sebuah telur di ujung cambuk, hanya kitalah dari begitu banyak prajurit Kotaraja Kawali yang belum tercemar untuk selalu setia membela Raja dan keluarganya”, berkata kembali Prajoga sambil menatap para prajuritnya satu persatu. ”Ibarat sebuah arus sungai yang deras, kita mungkin tidak mampu bertahan melawan tarikan air sungai itu. Namun dengan semangat dan doa bersama, kita pasti akan mendapatkan perlindungan dari Gusti Yang Maha Agung pemilik kebenaran itu”, berkata kembali Prajoga kepada prajuritnya. ”Berjanjilah kalian untuk saling menjaga diantara derasnya sungai yang tengah melanda istana Kawali saat ini”, berkata kembali Prajoga.

Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang, ternyata dirinya mengakui kejelian Prabu Guru Darmasiksa tentang keadaan istana Kawali saat itu. Tapi Gajahmada tetap diam tidak berkata apapun hanya mendengarkan apa saja perkataan Prajoga untuk berhati-hati ketika berada di Kotaraja Kawali serta merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi di muka hutan Mayangbong. “Kita tidak perlu ke kaki gunung Papandaian, tapi agar satu bahasa kita katakan bahwa kita sudah sampai di kaki Gunung Papandaian dan telah menumpas gerombolan penganggu penduduk”, berkata Prajoga kepada para prajuritnya.

“Maaf Ki Lurah, aku dapat sebuah cerita bahwa Ki Lurah telah menolak sebuah tugas langsung dari Patih Anggajaya. Setahuku bahwa Ki Lurah selalu  menjalankan semua perintah. Apakah perintah itu pula yang ada kaitannya dengan persoalan pribadi antara Ki Lurah dengan Patih Anggajaya?”, berkata seorang prajurit tua memberanikan dirinya bertanya hal yang sebenarnya telah terjadi.

Lama Prajoga tidak langsung menjawab, namun akhirnya Prajoga tidak enak hati merahasiakannya kepada prajuritnya sendiri yang telah memperlihatkan kesetiannya membela dirinya.

Maka dengan perlahan Prajoga bercerita tentang sebuah tugas rahasia dari Patih Anggajaya kepada dirinya. “Aku diperintahkan untuk menjadi seorang prajurit yang membelot melakukan sebuah penyerangan mendadak di saat Baginda Raja tengah melakukan perburuan”, berkata Prajoga akhirnya mengungkapkan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Patih Anggajaya.

Demikianlah, rombongan prajurit itu tidak langsung pulang ke Kotaraja, tapi menunggu beberapa malam agar tidak mencuriga-kan dan memang telah datang membasmi para perampok di kaki Gunung Papandaian.

Sementara itu sudah dua malam Putu Risang bersama Pangeran Jayanagara berada di Kotaraja Kawali. Mereka mengaku sebagai seorang pengembara dan menumpang di sebuah rumah seorang penduduk yang merasa kasihan kepada mereka berdua.

“Sudah dua malam kita di Kotaraja ini, tapi belum juga dapat mengetahui keberadaan Mahesa Muksa”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara di sebuah kedai yang berada di tengah pasar Kotaraja Kawali.

“Semoga ada kabar dari Pangeran Citraganda tentang keadaan Mahesa Muksa”, berkata Pangeran Jayanagara sambil mencari-cari siapa tahu matanya melihat kedatangan Pangeran Citraganda.

Mata pangeran Jayanagara yang mencoba mencaricari tiba-tiba saja tertahan ke sebuah wajah gadis manis yang dikenalnya, yang tidak lain adalah Dyah Rara Wulan yang muncul di muka pintu kedai. Terlihat dengan senyum manis gadis itu langsung melangkah masuk kedalam kedai duduk didekat Putu Risang dan Pangeran Jayanagara.

“Hari ini aku sudah mendapat berita tentang keadaan Mahesa Muksa, ternyata dirinya telah ikut bersama sebuah pasukan dalam sebuah tugas ke daerah Gunung Papandaian.

“Pantas, sudah dua malam ini kami tidak berhasil menemuinya”, berkata Pangeran Jayanagara.

“Aku tidak bisa terlalu lama di kedai ini, banyak yang kenal wajahku disini”, berkata Dyah Rara Wulan berpamit diri.

“Mari kita kembali ke pondokan kita”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara ketika Dyah Rara Wulan telah jauh menghilang diantara kerumunan orang yang berlalu-lalang di pasar Kotaraja siang itu. “Seingatku ini bukan jalan menuju ke pondokan kita?”, bertanya Pangeran Jayanagara kepada Putu Risang yang membawanya ke arah lain.

“Kita memang tidak kembali ke pondokan, tapi sedang menuju ke sebuah sungai”, berkata Putu Risang sambil tersenyum.

Pangeran Jayanagara tidak bertanya lagi lebih lanjut, dirinya dapat menebak apa yang dilakukan mereka di pinggir sungai atau di setiap tempat sunyi selain melakukan latihan khusus.

Ternyata benar apa yang dipikirkan oleh Pangeran Jayanagara, rupanya Putu Risang memang telah membawa dirinya ke sebuah tepian sungai yang sunyi.

“Aku ingin kamu dapat semakin mengenal perkembangan kekuatanmu sendiri”, berkata  Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara ketika mereka berdua telah berada di sebuah tepian sungai yang sepi di siang itu.

Demikianlah, Pangeran Jayanagara memulai latihannya dengan melakukan olah laku pernafasan. Setelah dianggap telah cukup dalam olah laku khusus  itu, Putu Risang meminta Pangeran Jayanagara melihat sejauh mana kecepatan dirinya bergerak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar