Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 04

MENTARI pagi terlihat bersinar cerah menghangatkan tanah dan rumput hijau disekitar goa kembar di kaki perbukitan Hayangan. Sepasang burung kepodang emas melintas dan menghilang di balik gerumbul pepohonan hutan perbukitan.

Hari itu adalah penggenapan ketujuh Pangeran Jayanagara dan Gajahmada mesu diri di dalam goa kembar untuk mengenal dan menemukan kekuatan hawa murni tenaga bukan wadag di dalam dirinya sendiri.

“Kalian berdua harus beristirahat satu dua hari ini agar dapat memulihkan kembali tubuh kalian yang lemah”, berkata Putu Risang kepada kedua muridnya yang telah menggenapi mesu diri lewat olah laku pernapasan yang diajarkannya.

Terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah berjalan ke arah sungai kecil yang ada di balik gundukan batu dan semak belukar.

Setelah bersih-bersih diri di sungai yang jernih, mereka merasakan tubuh mereka lebih segar dari sebelumnya.

“Aku mendapatkan sarang tawon besar, sangat baik untuk penyesuaian perut kalian setelah menggenapi tujuh hari mesu diri” berkata Putu Risang sambil membelah sarang tawon menjadi tiga potongan.

Demikianlah, hari itu mereka terlihat masih di sekitar goa kembar itu untuk beristirahat guna mengembalikan kesegaran wadag Gajahmada dan Pangeran Jayanagara setelah selama tujuh hari melakukan mesu diri.

“Kita masih harus bermalam di sini”, berkata Putu Risang ketika senja terlihat mulai membayangi sekitar alam di kaki perbukitan itu. Dan malam pun perlahan turun menggelapi pandangan mata. Gundukan batu di seberang goa kembar terlihat seperti seekor kura  raksasa hitam diam membisu. Semilir angin basah bertiup memainkan ranting dan dahan pepohonan seperti hidup mengusik kesunyian awal malam tanpa cahaya bulan di kaki bukit Hayangan.

Dan malam pun telah semakin larut, hanya sesekali terdengar suara ranting yang terjatuh bersama suara gemericik air sungai kecil yang semakin jelas terdengar di kesunyian malam itu.

“Mereka sudah terlelap tidur”, berkata Putu Risang dalam hati melihat kedua muridnya sudah tertidur pulas di salah satu goa yang digunakan oleh mereka berlindung dari angin dan dinginnya malam.

Dan malam pun terus berlalu, tidak ada kejadian apapun dimalam itu. Sementara Putu Risang masih terjaga, antara tidur dan tersadar didengarnya sebuah suara seperti berbisik jelas di telinganya.

“Terima kasih telah membimbing putraku”, demikian suara bisikan begitu jelas didengar oleh Putu Risang.

“Ajian ilmu pameling”, berkata Putu Risang dalam hati.

Terlihat Putu Risang yang tengah bersandar di dinding goa telah duduk bersila mencoba mengheningkan seluruh panca inderanya agar dapat lebih peka lagi menerima ajian ilmu pameling yang pasti berasal dari seorang sakti yang telah menguasai ilmu langka itu. 

“Aku tidak tahu siapa putramu”, berkata Putu Risang dengan suara hatinya.

“Putraku itu adalah Mahesa Muksa yang kamu  kenal”, berkata kembali suara bisikan kepada Putu Risang.

“Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama tuan?” berkata Putu Risang lewat suara hatinya

“Kita pernah berjumpa, akulah pertapa dari Gunung Wilis”, berkata suara bisikan itu.

“Mengapa tuan tidak langsung menunjukkan diri?”, bertanya Putu Risang dengan suara hatinya.

“Sudah lama aku mengasingkan diri sebagai pertapa, mengikat diri untuk meninggalkan kehidupan duniawi”, berkata kembali suara bisikan itu.

“Kulihat ada cahaya biru menyelimuti putramu, apakah tuan sendiri yang memindahkan tenaga sakti ke diri Mahesa Muksa?” bertanya Putu Risang dengan suara hatinya.

“Matamu sangat peka, aku telah memindahkan tenaga saktiku sendiri. Hanya itu yang dapat kulakukan sebagai seorang ayah”, berkata kembali bisikan itu.

“Mahesa Muksa tidak akan menyadari telah mempunyai tenaga sakti begitu kuat tanpa puluhan tahun berlatih”, berkata Putu Risang dengan suara hatinya.

“Kutitipkan putraku kepadamu”, berkata kembali bisikan itu kepada Putu Risang.

“Maaf, bolehkah kutahu siapa nama tuan?”, berkata Putu Risang dengan suara hatinya.

“Dahulu, orang memanggilku sebagai Darmayasa”, berkata kembali bisikan itu.

“Sang pendeta suci Darmayasa yang dapat menunggangi angin?”, berkata Putu Risang dengan suara hatinya pernah mendengar sebuah cerita orangorang tua tentang seorang pendeta sakti. “Itu hanya sebuah cerita angin, aku hanya seorang pertapa dari Gunung Wilis. Selamat tinggal”, berkata bisikan itu.

Ternyata suara bisikan itu adalah yang terakhir didengar oleh Putu Risang yang tengah termenung membayangkan seorang sakti berilmu tinggi yang bernama Pendeta Darmayasa yang pernah dijumpai sebagai pertapa dari Gunung Wilis yang ternyata adalah ayahanda Mahesa Muksa sendiri adanya.

“Ilmu pusaka rontal rahasia itu telah diwariskan kepada putranya sendiri, suratan takdir yang aneh”, berkata Putu Risang dalam hati.

Sementara itu langit di luar goa kembar terlihat sudah mulai memerah, sebagai tanda sang fajar sudah mulai bangkit di ujung bumi. Dan hawa dingin pagi benar-benar sudah seperti menusuk tulang. Hawa pagi di kaki perbukitan Hayangan pagi itu memang begitu sangat dingin, lebih dingin dari biasanya karena saat itu sudah mulai masuk musim penghujan.

Dan Putu Risang telah melihat Gajahmada telah menggeliat terbangun bersama dengan sayup-sayup terdengar suara ayam jantan disekitar hutan itu.

“Mengapa Kakang Putu Risang tidak membangunkan aku?”, berkata Gajahmada kepada Putu Risang manakala dilihatnya masih bersandar di dinding goa belum tidur.

“Aku kasihan, kalian kulihat begitu letih”, berkata Putu Risang kepada Gajahmada.

“Beristirahatlah hingga menjelang matahari naik sedikit”, berkata Pangeran Jayanagara yang ikut terbangun. Dan akhirnya Putu Risang tidak dapat menolak permintaan dua orang muridnya itu, sudah merebahkan tubuhnya beristirahat sejenak menjelang matahari naik sedikit di awal pagi.

Maka ketika matahari pagi sudah mulai terang tanah, terlihat mereka bertiga sudah bersih-bersih diri di sungai kecil dibalik gerumbul bebatuan. Nampaknya mereka tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju lereng Gunung Galunggung di Padepokan Prabu Guru Darmasiksa.

“Mari kita berangkat”, berkata Putu Risang kepada kedua muridnya itu ketika mereka sudah siap berangkat meninggalkan goa kembar di kaki perbukitan Hayangan.

Demikianlah, sebagaimana berangkatnya, terlihat mereka bertiga sudah mendekati hutan pepat.

“Kalian harus terus berlatih agar semakin mengenal kekuatan yang ada didalam diri kalian sendiri. Tidak ada gunung yang langsung tinggi menjulang, dan puncak kesempurnaan tidak berada di ujung lamunan, tapi berada di antara kemauan dan tekad keras”, berkata Putu Risang menyampaikan apa yang harus mereka lakukan dalam hal memupuk kekuatan cadangan didalam diri. ”Setiap manusia dilengkapi dengan pembelaan diri, dan kita dapat mengungkapkan dan melontarkannya dengan kesadaran penuh. Akal dan rasa adalah sumber pemicu yang dapat kalian kendalikan, disesuaikan dengan keinginan diri kalian sendiri, hawa panas atau hawa dingin tergantung pengendalian diri kalian”, berkata kembali Putu Risang kepada kedua muridnya manakala mereka bertiga sudah memasuki hutan pepat sambil menuntun kuda-kuda mereka.

Terlihat sambil menuntun kuda-kudanya, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara memperhatikan dan menyimak semua perkataan gurunya itu. Sebagai dua orang yang berotak cerdas sudah langsung dapat mencerna maksud dari perkataan Putu Risang.

Akhirnya mereka telah keluar dari hutan pepat itu, dihadapan mereka terbentang sebuah padang ilalang yang sangat luas. Terlihat mereka telah memacu kudakuda mereka membelah padang ilalang di bawah matahari yang sudah mulai bergeser sedikit kearah barat. 

“Pemandangan yang indah”, berkata Gajahmada ketika mereka telah berada mendekati kaki gunung Galunggung.

Demikianlah, hari belum mendekati awal senja manakala mereka terlihat telah menyusuri lereng Gunung Galunggung.

“Hari demi hari kami menanti kedatangan kalian dengan penuh kecemasan”, berkata Prabu Guru Darmasiksa yang menerima mereka bertiga di pendapa Padepokannya.

Dipendapa Padepokan itu Putu Risang langsung bercerita mengenai siapa dibalik pencurian Kujang Pangeran Muncang, yaitu seorang Patih di Kerajaan Kawali yang bernama Argajaya bekerja sama dengan seorang bangsawan dari Kediri.

Terlihat Prabu Guru Darmasiksa dan Jayakatwang penuh perhatian mendengar cerita Putu Risang.

“Jelas tujuan utama mereka adalah menggulingkan kekuasaan di Sunda dan Majapahit”, berkata Jayakatwang mengambil kesimpulannya.

“Patih Argajaya berasal dari Kerajaan Rakata,  sebuah kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda Raya”, berkata Prabu Guru Darmasiksa. ”Nampaknya ada keinginan untuk membesarkan kembali masa jaya kerajaannya leluhurnya”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa.

“Kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan istana”, berkata Pangeran Citraganda.

“Benar cucuku, kita harus berbuat sesuatu sebelum langkah mereka semakin jauh”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Patih Argajaya sangat dekat sekali dengan Pendeta Istana Rakasima yang juga berasal dari Kerajaan Rakata”, berkata Pangeran Citraganda.

“Kekuasaan Pendeta Rakasima telah begitu besar membelenggu istana, telah mempersempit kekuasaan Ragasuci sebagai Raja dengan berbagai aturan baru”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Patih Argajaya dan Pendeta Rakasima seperti Raja besar di istana Kawali, merekalah yang memutuskan sebuah hukuman, siapa saja yang boleh datang menghadap Raja. Juga sebagai Panglima tertinggi prajurit Kerajaan berada ditangan Patih Argajaya”, berkata Pangeran Citraganda bercerita tentang keadaan istana Kawali saat itu.

“Sudah lama aku melihat pergeseran itu, sudah lama aku ingin memberikan nasehat kepada raja Ragasuci, tapi aku masih ragu dan takut masuk terlalu jauh dalam kehidupan istana”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Pencurian Kujang pangeran Muncang dapat kita jadikan alasan untuk menangkap mereka”, berkata Pangeran Citraganda penuh semangat.

“Kita tidak bisa langsung menentang mereka, harus ada bukti yang sangat kuat untuk sebagai dalih menyingkirkan mereka dari istana, juga membuka mata hati Raja Ragasuci siapa sebenarnya mereka”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Kita harus banyak memasang mata dan telinga kita di istana Kawali”, berkata Jayakatwang memberanikan diri ikut memberikan sebuah usulan.

“Sebuah cara yang sangat bagus, tapi siapa yang dapat kita susupkan di istana Kawali?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sepertinya menyukai usulan Jayakatwang.

“Mahesa Muksa dapat menyusup dilingkungan prajurit”, berkata Pangeran Citraganda sambil tersenyum memandang kearah Gajahmada.

Terlihat semua mata diatas pendapa Padepokan itu tertuju kepada Gajahmada.

Dan Gajahmada dapat merasakan semua orang di pendapa itu penuh harap bahwa dirinya bersedia menjadi mata dan telinga di lingkungan para prajurit istana Kawali.

Lama semua orang menunggu dan menanti perkataan dari Gajahmada yang terlihat berwajah penuh keraguan dan kebimbangan. Semua orang nampak telah menahan nafasnya menunggu.

“Hamba hanya orang muda yang punya serba sedikit pengetahuan dan kemampuan. Hamba bersedia melaksanakan tugas ini dan mohon banyak petunjuk”, berkata Gajahmada.

Terlihat semua orang diatas pendapa Padepokan itu telah mengeluarkan nafas penuh kelegaan. Perkataan Gajahmada seperti angin segar yang ditunggu. “Bagus, kesediannmu saja sudah cukup menggembira-kan hati kami. Tugasmu hanya masuk dilingkungan para prajurit Kawali, dan kami akan mengatur semuanya”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Sangat kebetulan sekali bahwa dalam pekan ini  akan diadakan penerimaan prajurit baru”, berkata Pangeran Citraganda.

“Semoga rencana kita dapat berjalan dengan baik, dan Gusti yang Maha Agung berkenan melindungi kita semua”, berkata Prabu Guru Darmasiksa setelah memberikan beberapa petunjuk yang harus mereka lakukan dalam rangka menggulung musuh-musuh di lingkungan istana Kawali.

Dan banyak sekali yang mereka bicarakan terlihat sampai jauh malam.

“Beristirahatlah, hari sudah jauh malam”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mempersilahkan semua orang diatas pendapa Padepokannya untuk beristirahat.

Demikianlah, semua orang diatas pendapa itu sudah masuk ke biliknya masing-masing.

Dan Malam yang dingin diatas Padepokan itu telah membuat semua penghuninya menyelusup berlindung di balik kain panjang diatas peraduannya masing-masing.

Sementara itu di sebuah bilik, seorang gadis terlihat masih membuka matanya menatap langit-langit. Gadis itu adalah Dyah Rara Wulan yang belum juga dapat tertidur. Ternyata gadis putri Raja Ragasuci itu tengah melambungkan hayalnya jauh ke hari-hari dimana setiap saat masih dapat bertemu dengan Gajahmada di Kotaraja Kawali.

“Aku akan mencari berbagai cara untuk menemuinya”, berkata Dyah Rara Wulan dalam hati yang sudah mendengar sebuah rencana bahwa Gajahmada akan menjadi seorang prajurit di lingkungan istana.”Kamu tidak akan dapat bersaing denganku, wahai gadis dusun”, berkata kembali Dyah Rara Wulan sambil membayangkan wajah Andini yang selama ini diam-diam ditakuti hadir menjadi pesaingnya mendapatkan hati Gajahmada, pemuda yang telah mencuri hatinya itu.

Sementara itu di bilik lain, terlihat seorang pemuda yang juga belum dapat memejamkan matanya. Pemuda itu sepertinya begitu gelisah. Ternyata pemuda itu tidak lain adalah Pangeran Jayanagara yang tengah jatuh cinta. Sebagaimana seorang pemuda dimanapun, hati dan pikiran pemuda itu selalu tertuju kepada pujaan hatinya. Dan Pangeran Jayanagara memang telah terpikat hati dengan kejelitaan wajah seorang gadis, Andini.

Terlihat Pangeran Jayanagara bangkit dari tidurnya dan bersila membuat sebuah laku.

“Aku harus dapat meredam dan mengendalikan perasaanku”, berkata Pangeran Jayanagara pada dirinya sendiri sambil mencoba membuat sebuah laku rahasia yang diajarkan oleh Putu Risang di Goa kembar.

Akhirnya dengan penuh semangat, Pangeran Jayanagara sudah mulai tenggelam dalam lakunya. Merasakan kenyamanan perasaan dan pikirannya.

“Besok aku akan mencoba berlatih mengerahkan tenaga cadangan dari dalam diri ini”, berkata Pangeran Jayanagara dalam hati ketika merasakan sebuah getaran mengalir dan memenuhi seluruh aliran darahnya.

Dan malam diatas Padepokan Prabu Guru Darmasiksa sudah begitu senyap, hanya sesekali terdengar suara daun dan dahan bergesekan di tiup angin basah yang dingin di lereng gunung Galunggung itu. Di keremangan malam itu terlihat sebuah bayangan mengendap-endap keluar Padepokan lewat pagar dinding batu Padepokan.

Ternyata sosok bayangan itu menuju ke sebuah tanah sedikit lapang di dekat sebuah gerumbul tanaman rumpun bambu.

Diatas tanah yang agak lapang itu, akhirnya dapat terlihat jelas wajah asli sosok bayangan mencurigakan itu yang tidak lain adalah Gajahmada.

Nampaknya Gajahmada merasa sudah tidak sabar lagi ingin melatih kemampuan dirinya setelah mengenal bagaimana cara laku memupuk kekuatan tenaga cadangan di dalam dirinya.

Terlihat Gajahmada sudah memulai latihannya, melatih gerakan jurus-jurusnya dengan tenaga wadagnya.

Perlahan Gajahmada mulai mengerahkan tenaga cadangannya, ternyata dengan penuh kegembiraan Gajahmada dapat merasakan tenaganya tidak berkurang, namun gerakannya menjadi begitu ringan dan cepat.

Demikianlah, Gajahmada sudah mulai melatih mengerahkan tenaga cadangannya, mencoba lebih mengenal dan menguasainya yang akhirnya dapat mengendalikan kecepatannya bergerak.

“Tenagaku menjadi seperti bertambah, lebih kuat dan lebih cepat”, berkata Gajahmada dalam hati sambil terus berlatih mengenal dan mengendalikan kekuatan cadangan di dalam dirinya itu. Demikianlah, dua orang pemuda masing-masing telah mencoba berlatih di malam itu. Mereka satu guru namun mewarisi sebuah laku yang berbeda.

“Nampaknya semua orang masih tertidur”, berkata Gajahmada yang mencoba menyelusup kembali masuk ke Padepokan di malam yang telah menjadi begitu sunyi itu.

Hari memang sudah berlalu sepertiga malam, masih ada waktu untuk Gajahmada beristirahat tidur sejenak di biliknya. Sebentar saja anak muda itu sudah nyenyak tertidur.

Hanya sebentar saja Gajahmada berbaring beristirahat, karena tidak begitu lama sudah terdengar suara ayam jantan saling bersahutan sayup terdengar dari tempat yang jauh.

Dan cahaya bening pagi sudah terlihat jelas manakala terlihat Gajahmada keluar dari Pakiwan setelah bersih-bersih menuju ke pendapa Padepokan.

“Selamat jalan wahai calon prajurit Kawali”, berkata Dyah Rara Wulan menggoda ketika mereka bertemu bersisipan jalan menuju pakiwan.

Demikianlah, pagi itu Gajahmada memang tengah bersiap diri untuk berangkat ke Kotaraja Kediri untuk ikut mendaftarkan dirinya menjadi seorang prajurit Kawali.

Agar penyamarannya menjadi sempurna, maka Gajahmada harus datang sendiri sebagaimana para calon prajurit lainnya.

Setelah mendapatkan beberapa pesan dan nasehat dari Prabu Guru Darmasiksa, terlihat Gajahmada bermaksud pamit diri untuk berangkat ke Kotaraja Kawali. “Semoga keselamatan selalu menyertaimu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada yang telah menuruni anak tangga pendapa Padepokan.

Diiringi pandangan mata semua orang dari pendapa Padepokan, terlihat Gajahmada telah keluar dari regol gerbang Padepokan.

Semilir angin pagi yang sejuk telah mengiringi langkah kaki Gajahmada yang terus berjalan menuruni lereng gunung Galunggung.

Hari belum begitu siang, cahaya matahari masih belum tinggi ketika Gajahmada telah berada di bawah kaki gunung Galunggung.

“Aku akan berlatih sebentar”, berkata Gajahmada ketika melihat sebuah sungai kecil berbatu disebuah pinggir hutan dekat dengan jalan setapak.

Suasana diatas sungai kecil berbatu itu memang sangat sepi dan sunyi. Dan Gajahmada sudah turun berlatih diatas sungai kecil berbatu itu.

Terlihat Gajahmada tengah melompat dari satu batu ke batu lain dengan penuh kelincahan. Begitu ringan dan cepatnya gerakan Gajahmada.

Ternyata Gajahmada bukan hanya melompat dari satu batu ke batu lainnya diatas sungai kecil itu, tapi telah melompat lebih jauh lagi dari tepian sungai ke tepian lainnya dengan begitu ringan dan lincah.

Seperti seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah permainan baru, terlihat Gajahmada terus berlatih mengendalikan kecepatan tubuhnya melenting ke tempat yang diinginkan dengan begitu ringannya.

Hup !! Dengan sangat nakal dan beraninya Gajahmada melenting tinggi keatas sebuah pohon kelapa.

Dan dengan penuh kepercayaan yang tinggi, terlihat Gajahmada dengan begitu beraninya turun dari ketinggian pohon kelapa.

Mata orang biasa pasti akan terperangah penuh kekaguman melihat Gajahmada turun seperti sebuah kapas begitu ringannya.

Gajahmada tidak menyadari bahwa kemampuannya itu adalah berkat pengisian hawa sakti dari pendeta Darmayasa, yang dikenal oleh Putu Risang sebagai seorang pertapa dari Gunung Wilis yang ternyata adalah Ayah kandung dari Gajahmada sendiri.

Hup!!

Terlihat Gajahmada telah menjejakkan kakinya di tanah seperti seekor Rajawali hinggap dengan kaki sedikit menekuk.Dan ditangan Gajahmada telah membawa tiga butir buah kelapa.

Prakk !!!

Ternyata Gajahmada belum dapat menyadari kekuatannya sendiri telah membuat buah kelapa itu hancur. “Aku harus dapat melihat sejauh mana puncak kekuatan didalam diriku, agar dapat mengendalikannya sesuai dengan keinginanku sendiri”, berkata Gajahmada sambil melihat kepingan batok buah kelapa yang berserakan.

Terlihat Gajahmada tengah mendekati sebuah gundukan semak belukar. Perlahan telah mengendapkan seluruh jiwanya lahir bathin, merasakan sebuah hawa murni mengalir di seluruh tubuhnya.

Wusss !!! Sebuah angin pukulan telah meluncur dari sebuah pukulan Gajahmada ke udara kosong. Dan Gajahmada telah melontarkannya dengan tenaga puncaknya.

Akibatnya sungguh luar biasa !!!

Gundukan semak belukar itu terangkat bersama akar-akarnya terkena angin pukulan Gajahmada seperti sebuah angin putih beliung melemparkan apapun yang ada disekitarnya.

Ternyata Gajahmada belum juga puas dengan apa yang baru saja dilakukannya. Terlihat Gajahmada tengah mencari sebuah batu besar. Akhirnya Gajahmada melihat sebuah batu sebesar seekor kerbau.

Sungguh sangat luar biasa !!!

Batu sebesar kerbau itu telah hancur berantakan terkena pukulan langsung tangan Gajahmada.

“Dengan tenaga wadagku, mungkin aku hanya dapat menggetarkannya”, berkata Gajahmada dalam hati sambil mengagumi sebuah kekuatan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya itu.

“Aku harus terus berlatih”, berkata kembali Gajahmada dalam hati sambil melangkah ke arah tempat dimana dirinya meletakkan bungkusan bekalnya.

Demikianlah, siang itu Gajahmada kembali melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja Kawali. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Gajahmada terlihat berlari seperti terbang meluncur dan kadang melenting jauh dari sebuah batu besar ke batu besar lainnya.

Dan ketika di lihatnya ada sebuah padukuhan di depan matanya, terlihat Gajahmada telah menghentikan larinya, telah berjalan sebagaimana orang biasa. Saat itu hari masih jauh dari senja, Gajahmada tidak ada keinginan bermalam di Padukuhan itu.

“Aku akan bermalam di atas puncak bukit itu”,  berkata Gajahmada ketika telah meninggalkan sebuah Padukuhan.

Ternyata di hadapan Gajahmada terbentang sebuah perbukitan berbatu sangat tandus. Di balik perbukitan itu Kotaraja Kawali berada.

Memang ada dua jalan yang dapat mendekati arah menuju Kotaraja Kawali, sebuah hutan cukup lebat atau sebuah perbukitan berbatu cadas. Dan Gajahmada lebih condong memilih mendaki perbukitan berbatu cadas itu.

Perbukitan berbatu itu sangat sepi ketika Gajahmada sudah berada di kakinya.

Dan dengan begitu mudahnya Gajahmada telah dapat mendakinya dengan hanya beberapa lompatan sampai diatas puncak perbukitan berbatu itu.

Dan hari sudah terlihat menjelang awal senja ketika Gajahmada sudah berada diatas puncak perbukitan berbatu cadas itu. Terlihat Gajahmada mencari sebuah tempat untuk dapat berlindung dari terpaan angin yang cukup kuat berhembus diatas puncak perbukitan itu.

Syukurlah bahwa Gajahmada dapat menemui sebuah tempat berupa cekungan batu yang sangat cocok untuk tempat beristirahat, karena tidak lama kemudian hujan turun begitu deras seperti tertumpah dari langit.

“Besok aku akan turun ke Kotaraja Kawali”, berkata Gajahmada dalam hati di dalam cekungan batu itu terlindung dari air hujan yang jatuh cukup deras.

Ternyata Gajahmada telah memanfaatkan waktunya itu untuk berlatih olah laku diri. Terlihat Gajahmada sudah berada didalam pemusatan hati dan pikirannya, dalam nafas yang seirama mengikuti gerak tubuhnya, sebuah laku rahasia pusaka pertapa dari Gunung Wilis.

Terlihat Gajahmada sudah berada dalam puncak kenikmatan olah laku dirinya, tidak menyadari bahwa hari sudah semakin gelap. Sementara hujan diatas puncak perbukitan berbatu itu sudah reda, langit diatasnya sudah ditemani kerlap kerlip bintang malam.

“Kakang Putu Risang mengatakan bahwa dengan kekuatan tenaga cadangan yang ada di dalam diri dapat mengungkapkan hawa panas dan hawa dingin keluar dari dalam diri”, berkata Gajahmada dalam hati mengingat kembali perkataan Putu Risang ketika mengajarkan dasar-dasar rahasia olah laku diri.

“Seraplah hawa dingin di sekitar dirimu, maka tenaga sakti di dalam dirimu akan keluar sebagai hawa panas tandingan. Begitu pun sebaliknya bila yang kamu inginkan adalah sebuah hawa dingin dari tenaga saktimu”, terlintas dalam pikiran Gajahmada perkataan Putu Risang.

“Perasaan ternyata mudah ditipu”, berkata dalam hati Gajahmada sambil tersenyum telah dapat memahami dan membuka kunci-kunci rahasia ajaran Putu Risang kepadanya.

Terlihat Gajahmada sudah keluar dari batu cekungan duduk bersila di tempat terbuka di malam yang begitu dingin diatas puncak perbukitan itu.

Dan dengan waktu yang begitu singkat, Gajahmada seperti terlepas dari rasa dingin itu. Tenaga sakti di  dalam dirinya telah melindunginya dengan hawa panas.

Gajahmada terus memusatkan pikirannya menyerap hawa dingin di luar dirinya kepada kesadaran dan perasaannya. Maka semakin kuat daya serap pikirannya terhadap hawa dingin diluar dirinya, semakin besar pula hawa panas keluar melindungi dirinya.

Terlihat asap tipis mengepul dari seluruh lubang di kulit tubuh Gajahmada. Dan di keremangan malam, Gajahmada dapat melihat rumput-rumput yang tumbuh disela-sela batu cadas sudah terbakar hangus.

“Hawa panas dan hawa dingin dapat dikendalikan lewat kekuatan pemusatan akal pikiran kita sendiri”, berkata Gajahmada dalam hati yang telah membuktikan dan membuka rahasia kepelikan hawa sakti didalam dirinya.

“Aku akan terus melatihnya hingga dapat mengendalikan kekuatan yang ada di dalam diriku ini”, berkata Gajahmada sambil berdiri melangkah kembali kearah cekungan batu.

Demikianlah, malam diatas puncak perbukitan itu sudah semakin larut dipayungi lengkungan langit penuh gemerlap jutaan bintang malam bertaburan seperti kepingan berlian menghiasi langit biru di malam itu. Dan Gajahmada tidak langsung beristirahat tidur, tapi telah melakukan olah laku diri sejenak hingga dirasakan seluruh tubuhnya merasakan kesegaran dan kebugaran kembali. Setelah merasa latihan olah dirinya sudah cukup lama, barulah terlihat anak muda itu berbaring meluruskan tubuhnya di dalam cekungan batu itu.

Sebagaimana seorang pengembara, Gajahmada tidak beristirahat sepenuhnya, kewaspadaannya selalu terjaga lewat pendengarannya yang dirasakan semakin hari semakin tajam. Tidak satu suara pun yang luput dari pendengarannya, meski suara gesekan seekor ular sekalipun diatas sebuah batu licin yang tengah mendekati sebuah sarang tikus di sela-sela batu.

Dan waktu pun terus berlalu, cahaya merah sang fajar telah membelah warna langit malam. Gajahmada telah mendengar sayup-sayup suara ayam jantan bersahutan dari tempat yang begitu jauh.

Akhirnya Gajahmada sudah mendengar suara ayam jantan begitu dekat di bawah kaki perbukitan bersama warna merah sang Fajar terlihat sudah menghiasi langit pagi.

Sementara itu di langit pagi yang sama di Padepokan Prabu Guru Darmasiksa sudah terlihat banyak kesibukan di awal pagi itu.

Beberapa cantrik terlihat telah keluar membawa cangkul, nampaknya mereka akan berangkat ke sawah untuk membajak tanah di awal musim tanam itu.

“Tunjukkan kepadaku kemampuan kalian  sampai saat ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda dan Dyah Rara Wulan di dalam sanggar tertutup di Padepokannya.

Mendengar permintaan dari kakeknya itu, mereka berdua secara berpasangan berlatih tanding. Maka tidak lama berselang keduanya sudah terlibat dalam sebuah latihan yang sangat seru seperti sebuah pertempuran sungguhan. Nampaknya mereka berdua ingin menunjukkan puncak kemampuan mereka dalam olah kanuragan.

Sementara di pagi itu Putu Risang dan Pangeran Jayanagara sudah minta ijin kepada Prabu Guru Darmasiksa untuk keluar Padepokan mencari tempat yang sunyi dan terbuka di pinggir hutan sekitar lereng gunung Galunggung.

Tidak sebagaimana Gajahmada yang mencoba berlatih sendiri kemampuan hawa saktinya, sementara Pangeran Jayanagara mendapat pengarahan langsung dari gurunya.

“Arahkan kekuatan tenaga cadanganmu ke gundukan semak-semak di depanmu”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara yang ingin melihat kemampuan Pangeran Jayanagara melontarkan  tenaga cadangannya.

Mendengar permintaan Putu Risang, terlihat Pangeran Jayanagara langsung berdiri sekitar dua langkah dari gundukan semak-semak didepannya.

Wuss !!!

Terdengar angin pukulan dari tangan Pangeran Jayanagara telah membuat daun-daun dari semak belukar langsung seperti diterpa angin besar rontok beterbangan.

“Bagus !!”, berkata Putu Risang penuh kegembiraan melihat Pangeran Jayanagara sudah dapat melontarkan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya.

“Mahesa Muksa pasti mempunyai kekuatan yang lebih dahsyat lagi”, berkata Putu Risang mengingat Gajahmada yang diketahui telah dititipkan tenaga sakti oleh ayah kandungnya sendiri, sang pertapa dari Gunung Wilis.

“Dengan berlatih olah laku setiap hari, tenaga cadanganmu akan terus bertambah dan meningkat. Kamu juga dapat mengembangkan tenaga sakti di dalam dirimu menjadi hawa panas atau hawa dingin. Seraplah hawa dingin di sekitar tubuhmu, maka tenaga saktimu akan keluar sebagai hawa panas. Semua tergantung bagaimana kamu dapat mengendalikan akal dan pikiranmu mengendalikan perasaanmu sendiri. Bila kamu sudah dapat melontarkan hawa panas, mengendalikan kekuatannya, saatnya kamu dapat pula melatih kekuatan hawa dinginmu dengan cara yang terbalik sebagaimana kamu melontarkan hawa panas dari dalam dirimu”, berkata Putu Risang memberikan dasar-dasar pengendalian tenaga sakti didalam tubuh Pangeran Jayanagara.

“Lihatlah rumput kering didalam genggamanku ini”, berkata Putu Risang sambil mengangkat tinggi-tinggi rumput kering yang berada didalam genggamannya.

Bukan main terkejutnya Pangeran Jayanagara melihat rumput-rumput kering itu dilemparkan ke udara oleh Putu Risang dalam keadaan terbakar hangus beterbangan.

Dan mata Pangeran Jayanagara masih terus memandang kearah Putu Risang yang telah mengarahkan dirinya sekitar sepuluh langkah dengan sebuah batu besar didepannya.

Kembali perasaan Pangeran Jayanagara berdetak penuh kekaguman melihat apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu.

Bukan main terperanjatnya Pangeran Jayanagara telah melihat dengan sebuah pukulan jarak jauh, Putu Risang dapat menghancurkan batu besar didepannya hancur berkeping-keping.

Putu Risang memang sengaja ingin menunjukkan kepada Jayanagara kemampuan dirinya meski dengan separuh tenaga puncaknya. “Bersabarlah, kamu pasti dapat melakukannya bahkan jauh melampaui dari apa yang telah kutunjukkan ini”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara.

Demikianlah, hari itu Pangeran Jayanagara dengan pengarahan langsung dari gurunya telah berlatih melontarkan kemampuan tenaga cadangannya di tepi hutan sekitar lereng Gunung Galunggung itu.

“Besok kita lihat lagi sejauh mana kemampuanmu berkembang”, berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara mengajaknya kembali ke Padepokan Prabu Guru Darmasiksa ketika dilihatnya matahari di tepi hutan sunyi itu telah bergeser sedikit dari puncaknya. Langit biru diatas tepi hutan itu sudah terang, dan begitu cerahnya.

Sementara itu di langit siang yang sama, Gajahmada sudah berada di Kotaraja Kawali. Sesuai dengan beberapa petunjuk dari Prabu Guru Darmasiksa, terlihat Gajahmada tengah mencari sebuah barak prajurit yang tidak begitu jauh dari alun-alun Kotaraja.

“Ada keperluan apakah wahai anak muda ?”, bertanya seorang prajurit tua kepada Gajahmada di depan pintu gerbang barak prajurit Kawali.

“Aku ingin mengabdikan diriku sebagai seorang prajurit”, berkata Gajahmada kepada prajurit itu.

“Temuilah Ki Lurah Pamuji di dalam, kami memang perlu banyak anak muda sepertimu”, berkata Prajurit tua itu meminta Gajahmada terus masuk ke dalam menemui atasannya itu.

Tidak susah memang untuk menemui Ki Lurah Pamuji, di sebuah ruangan khusus Gajahmada telah menghadap-nya langsung. “Bergabunglah bersama kawan-kawanmu, besok kami akan membuat sebuah ujian khusus untuk kalian, aku berharap kamu dapat lulus dalam ujian itu”, berkata Ki Lurah Pamuji kepada Gajahmada setelah bertanya beberapa hal tentang jati diri Gajahmada.

“Seandainya semua calon prajurit Kawali punya tubuh seperti anak muda itu”, berkata Ki Lurah Pamuji dalam hati ketika melihat Gajahmada yang telah keluar dari pintu diantar oleh seorang prajurit ke sebuah barak khusus.

Ternyata di barak khusus itu, Gajahmada telah melihat beberapa orang anak muda.

“Genap tiga puluh anak muda di barak ini termasuk dirimu, persiapkan dirimu untuk ujian besok”, berkata prajurit itu kepada Gajahmada.

“Terima kasih”, berkata Gajahmada kepada prajurit yang mengantarnya itu.

Ketika prajurit yang mengantarnya sudah pergi meninggalkannya di barak itu, terlihat Gajahmada menghampiri salah satu bale bambu kosong dan meletakkan bungkusan barang bawaannya.

“Selamat datang kawan baru”, berkata seorang anak muda di bale bambu sebelahnya kepada Gajahmada.

“Sudah berapa lama kamu di barak ini ?”, berkata Gajahmada kepada anak muda yang menyapanya itu.

“Aku datang tiga hari yang lalu, bosan rasanya menunggu hari pengujian”, berkata anak muda itu.

“Namaku Mahesa Muksa”, berkata Gajahmada memperkenalkan dirinya kepada anak muda itu.

“Namaku Branjang, aku dari Kademangan Jatiwangi. Kamu sendiri dari mana?”, berkata anak muda itu memperkenalkan dirinya dan tempat asalnya.

“Aku dari Kademangan Ruyung di bawah kaki Gunung Galunggung”, berkata Gajahmada kepada anak muda itu yang bernama Branjang.

“Logat bahasamu seperti bukan dari sana”, berkata Branjang yang dapat membedakan logat bahasa Gajahmada tidak seperti logat sunda umumnya yang biasa di dengar.

“Aku lama besar di daerah Tanah Ujung Galuh. Baru sepekan ini aku tinggal bersama ayahku di Kademangan Ruyung”, berkata Gajahmada kepada Branjang.

Nampaknya Branjang tidak bertanya lebih jauh lagi kepada Gajahmada, hanya bertanya beberapa hal tentang kesiapannya menghadapi ujian permulaan besok.

“Mereka akan menguji kemampuan olah kanuragan kita, bersiaplah menghadapi seorang prajurit yang ditunjuk untuk mengujimu”, berkata Branjang kepada Gajahmada.

“Dari mana kamu mengetahui bahwa ujian awal penerimaan prajurit seperti itu ?”, berkata Gajahmada kepada Branjang.

“Kakakku seorang prajurit, dialah yang memintaku menjadi prajurit seperti dirinya”, berkata Branjang penuh kebanggaan mempunyai seorang kakak seorang prajurit.

“Apakah kamu sudah siap menghadapi seorang prajurit?”, bertanya Gajahmada kepada Branjang.

“Kakakku meyakinkan, bahwa aku dapat mengalahkan dua orang prajurit biasa”, berkata Branjang dengan penuh keyakinan. “Jangan terlalu yakin, mungkin Kakakmu hanya membesarkan hatimu saja”, berkata seorang anak muda di sebelah lain dekat mereka.

Gajahmada dan Branjang langsung menoleh kepada anak muda itu.

Gajahmada dan Branjang melihat dengan wajah tidak suka kepada anak muda.

“Mengapa kalian memandangku seperti itu ?”, berkata anak muda itu dengan senyum getir salah tingkah. “Jangan salah artikan perkataanku, bukan maksudku meremehkanmu. Aku hanya sekedar mengingatkan bahwa dua tahun yang lalu aku juga punya keyakinan yang besar sepertimu, namun ternyata aku tidak lulus dalam ujian pertama”, berkata kembali anak muda itu.

“Terima kasih telah mengingatkan”, berkata Branjang sambil menarik nafas panjang, mungkin tiga hari menunggu di barak itu telah membuat dirinya mudah terbakar kemarahannya.

“Namaku Galih, aku dari Padepokan Jati Abang”, berkata anak muda itu memperkenalkan dirinya kepada Gajahmada dan Branjang.

“Apakah para prajurit penguji begitu tangguh ?”, bertanya Gajahmada kepada Galih.

“Dua tahun lalu, dari dua puluh lima orang yang diuji, hanya lima belas orang yang dinyatakan lulus dalam ujian pertama itu”, berkata Galih

“bagaimana cara mereka menilai ?”, bertanya kembali Gajahmada.

“Kita harus dapat mengalahkan mereka, atau dapat bertahan hingga tiga puluh jurus”, berkata Galih yang punya pengalaman pernah gugur dalam ujian pertama dua tahun itu.

“Mudah-mudahan aku dapat bertahan tiga puluh jurus lebih”, berkata Branjang penuh harapan.

“Berdoalah, semoga kita lulus dalam ujian itu, juga ujian tahap lainnya”, berkata Gajahmada membesarkan kedua kawan barunya itu.

Sementara itu beberapa anak muda di dalam barak itu terlihat berkelompok. Dan Gajahmada telah mempunyai dua orang kawan di Barak itu, Galih dan Branjang.

“Sebentar lagi kita akan mendapat kiriman ransum malam”, berkata Branjang yang sudah tiga hari di dalam barak karantina itu.

Demikianlah, tidak lama berselang telah datang petugas yang membawa ransum makan malam untuk mereka.

“Ternyata nikmat jadi seorang prajurit, kerjanya Cuma menunggu ransum”, berkata Galih sambil menatap ransum makannya.

“Selama tidak ada perang”, berkata Gajahmada sambil tersenyum.

“Benar, selama Kerajaan tidak ada gangguan keamanan, selama itu para prajurit jadi pengangguran yang bergaji”, berkata Branjang sambil mengunyah ransumnya.

Sementara itu waktu di dalam barak sepertinya berjalan perlahan, tidak terasa malam telah merayap dan telah menjadi senyap.

“Beristirahatlah, besok kita akan menempuh ujian pertama”, berkata Gajahmada sambil meluruskan tubuhnya diatas bale bambu di dalam barak itu.

Dan pagi itu di halaman muka barak prajurit Kawali yang berdekatan dengan alun-alun Kotaraja sudah terlihat cukup ramai dipenuhi banyak prajurit, mereka hari itu akan menyaksikan langsung sebuah ujian para prajurit baru yang akan bergabung dengan kesatuan-kesatuan khusus di keprajuritan Kawali.

Ada sebuah tajuk khusus untuk para juri dan tamu undangan, dihadapannya sebuah arena yang sudah dibatasi oleh patok-patok dan tali tambang.

Gajahmada, Branjang dan Galih sudah berada diantara tiga puluh orang anak muda calon prajurit yang pagi itu akan diuji apakah layak untuk menjadi seorang prajurit Kawali. Terlihat mereka berdiri berkumpul berseberangan dengan tajuk.

Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu itu nampaknya akan segera dimulai, terlihat seorang perwira masuk ke tengah-tengah arena menyampaikan sepatah dua patah kata pembukaan sekaligus menyampaikan beberapa aturan dalam pelaksanaan pertandingan.

Gajahmada, Branjang dan Galih terlihat  begitu tegang manakala salah seorang anak muda calon prajurit di panggil untuk masuk ke arena.

“Prajurit itulah yang telah mengalahkanku dua tahun yang lalu”, berkata Galih kepada Gajahmada sambil menunjuk ke seorang prajurit Kawali yang telah masuk ke arena berhadapan dengan seorang anak muda calon prajurit.

“Otot tubuh prajurit itu nampaknya sangat kuat”, berkata Gajahmada kepada Galih menilai penampilan tubuh prajurit penguji itu.

“Benar, orang itu tahan pukul”, berkata Galih mengingat kembali ketika pernah berhadapan dengan prajurit itu.

“Anak itu sepertinya sudah kalah sebelum bertanding”, berkata Branjang menilai penampilan anak muda yang tengah berdiri di tengah arena yang memang sudah turun pamor melihat lawan tandingnya yang nampak kuat berotot itu.

Terlihat seorang penengah memberikan beberapa aturan, mengingatkan kembali kepada kedua orang yang akan bertanding itu.

“Jangan memukul kepala, jangan memukul bagian di bawah pusar, apakah kalian sudah siap?”, berkata penengah itu kepada keduanya.

Ketika keduanya terlihat menganggukkan kepalanya sebagai tanda kesiapan mereka, maka penengah itu telah memberikan sebuah aba-aba sebagai tanda di mulainya pertandingan itu.

Nampak prajurit berotot itu menyeringai menatap anak muda itu seperti ingin menelannya bulat-bulat.

“Kuberi kesempatan dirimu untuk menyerang lebih dulu”, berkata prajurit itu dengan suara menantang kepada anak muda lawan tandingnya.

Mendengar suara tantangan itu telah membuat hati anak muda itu menjadi semakin ciut, wajahnya terlihat sudah menjadi pucat pasi.

“Terlalu lama”, berkata prajurit itu tidak sabaran melihat anak muda itu tidak juga datang menyerangnya.

Akhirnya prajurit itu menjadi semakin tidak sabar menanti serangan awal anak muda itu yang hanya bersiaga berdiri dengan sebuah kuda-kuda. “Terimalah seranganku”, berkata prajurit itu yang sudah tidak sabaran lagi langsung membuat serangan pertama.

Tergagap anak muda itu melihat sebuah tendangan meluncur ke arahnya. Dan dengan tergesa-gesa berusaha bergeser.

Ternyata serangan pertama itu adalah sebuah tendangan tipuan dan sudah diperhitungkan masakmasak oleh prajurit itu. Terlihat prajurit itu sudah  memutar kaki yang lain langsung mengarah ke arah kaki anak muda yang telah bergeser dari tempatnya berdiri.

Kasihan anak muda itu, gerakan badannya sudah dapat dibaca dan seperti mati gerak tidak dapat menghindari hantaman kaki yang berputar prajurit itu.

Beng !!!

Anak muda itu telah terbanting jatuh ke tanah.

Gemuruh para prajurit menertawakan anak muda yang dalam jurus pertama sudah dapat dijatuhkan.

“Anak itu masih demam panggung”, berkata Branjang menilai anak muda itu.

“Benar, pikirannya tidak jernih lagi”, berkata Galih ikut menilai.

“Kalian benar, sehebat apapun sebuah aliran kanuragan, tanpa jiwa dan pikiran yang jernih seperti senjata tumpul”, berkata Gajahmada sambil terus menatap kearah arena pertandingan melihat anak muda itu dengan meringis kesakitan tengah berusaha bangkit berdiri.

“Apakah kamu masih sanggup bertanding?”, bertanya seorang penengah kepada anak muda itu.

Terlihat anak muda itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda masih sanggup untuk melanjutkan pertandingannya.

Rupanya kejatuhannya di awal pertandingan itu telah menghidupkan kepercayaan diri dalam hati anak muda itu. Saat itu yang terpikir olehnya adalah kewaspadaan yang tinggi tanpa menghiraukan lagi puluhan mata yang tengah menatap ke arahnya.

Ciaaaattttt !!!!!

Berteriak anak muda itu menghentakkan keberaniannya menyerang kearah prajurit berotot gempal itu.

Kaget bukan kepalang prajurit berotot itu mendengar teriakan dan juga serangan anak muda itu.

Namun nampaknya prajurit berotot itu telah mampu menguasai perasaannya sendiri, dengan tenang telah bergeser setapak menghindari pukulan tangan anak muda itu dan langsung balas menyerang dengan sebuah tendangan tinggi.

Dan anak muda yang tumbuh rasa kepercayaan dirinya itupun telah langsung menghindar tendangan prajurit itu dan balas menyerang. Maka akhirnya telah terlihat sebuah tontonan yang menarik, sebuah pertandingan yang seru antara anak muda calon prajurit dan seorang prajurit penguji.

Ternyata anak muda itu cukup tangguh, hanya karena demam panggung, di awal pertandingan sempat tertipu karena pikirannya kurang jernih.

“Anak itu telah menguasai perasannya sendiri”, berkata Gajahmada kepada Galih disampingnya sambil tetap melihat jalannya pertempuran yang cukup seru itu.

“Anak itu cukup tangguh”, berkata Galih mencoba menilai kemampuan anak muda itu.

Sebagaimana yang dilihat oleh Galih, nampaknya anak muda itu semakin menjadi percaya diri yang terlihat dari serangannya yang semakin gencar dan penuh dengan sebuah perhitungan yang matang telah membuat prajurit penguji itu yang terbalik merasakan banyak tekanan ketika menghindari serangan anak muda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar