Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 01

BILA ada sebuah tempat yang tidak pernah tidur, itulah Bandar pelabuhan Majapahit di Tanah Ujung Galuh yang selalu ramai disinggahi perahu dagang dari berbagai penjuru nagari dari timur dan barat pulau-pulau dibawah panji kedaulatan Majapahit Raya.

Malam itu purnama terlihat menggantung di langit kelam diatas Bandar Tanah Ujung Galuh yang masih ramai diterangi pelita malam dan oncor didepan setiap kedai yang berjajar di sepanjang dermaga. Beberapa orang buruh angkut terlihat masih sibuk menuruni barang dari sebuah perahu dagang yang baru saja bersandar di dermaga kayu.

Terlihat sebuah jung besar bertiang layar tujuh perlahan menjauhi dermaga kayu Bandar pelabuhan.

Hampir semua orang terlihat berdiri diatas buritan geladak jung besar itu menatap kearah Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh yang semakin menjauh.

Diantara mereka terdapat seorang pemuda di pagar buritan jung besar itu menatap tak berkedip bandar Tanah Ujung Galuh yang terlihat sebagai bayangan daratan hitam dipenuhi kerlap kerlip pelita malam seperti bintang rendah bertaburan.

“Apakah hatimu masih bersandar disana wahai anakku?”, berkata seorang lelaki tua berpakaian sebagaimana seorang pendeta kepada pemuda itu yang masih saja mematung menatap bayangan gelap bandar pelabuhan Majapahit.

“Aku ingin memuaskan pandanganku sampai tidak ada yang dapat kupandang lagi”, berkata pemuda itu kepada lelaki berpakaian pendeta yang ternyata adalah pendeta Gunakara.

“Puaskanlah wahai anakku Mahesa Muksa, pada saatnya kamu akan menyadari bahwa jung besar ini maju kedepan menemui hari-harimu, menemui garis perjalanan hidupmu, mendatangi takdir guratan nasibmu”, berkata pendeta itu kepada pemuda disebelahnya yang tidak lain adalah Gajahmada yang dipanggil dengan nama lain, Mahesa Muksa.

Terlihat dua orang lelaki mendatangi mereka, menyusul di belakangnya sepasang suami istri. Mereka yang datang itu ternyata adalah Pangeran Jayanagara dan gurunya, Putu Risang.

Sementara sepasang suami istri itu adalah Jayakatwang dan Turuk Bali.

Malam itu adalah hari pertama mereka diatas Jung besar Majapahit yang akan mengantar mereka lewat laut utara Jawa sampai ke Bandar pelabuhan Muara Jati. Mereka adalah para utusan keluarga istana Majapahit yang akan menjalin tali persaudaraan mengunjungi sesepuh para Raja dan penguasa di bumi Tanah Jawa, Prabu Guru Darmasiksa di Tanah Pasundan. Sementara itu bayangan Bandar pelabuhan Majapahit sudah semakin jauh menghilang terhalang kegelapan malam. Angin timur telah membawa jung besar Majapahit semakin jauh ke tengah laut kelam. Hanya bulan bulat yang selalu setia seperti mengikuti jauh di atas cakrawala langit malam.

“Indahnya malam diatas sebuah jung besar Majapahit”, berkata Turuk Bali kepada suaminya Jayakatwang ketika mereka berdua tengah menikmati malam pelayaran mereka di pagar anjungan Jung besar Majapahit.

“Dulu hatiku akan bergetar penuh dendam manakala mendengar jung besar Majapahit ini”, berkata Jayakatwang mengenang suasana hatinya ketika masih berkuasa sebagai Raja Kediri.

“Ternyata jung Besar Majapahit tidak mudah dipatahkan, Raden Wijaya telah menyelamatkannya dari badai dendam, terus berjuang melayari cita-cita besar leluhurnya membangun singgasana diatas samudera Raya”, berkata Turuk Bali kepada suaminya Jayakatwang.

“Dendamku waktu itu ternyata adalah sebuah kekerdilan hati yang tidak dapat berlapang hati melihat cipta karya besar yang tumbuh berasal dari tangan Raja Kertanegara, pencipta cikal bakal jung Majapahit ini”, berkata Jayakatwang seperti menertawakan kekerdilan hatinya di masa lampau.

“Kakanda juga banyak mendengar suara para bangsawan Kediri yang takut jalur perdagangan mereka tersaingi”, berkata Turuk Bali.

“Kamu benar, mereka memang ingin selalu menguasai jalur perdagangan tanpa sedikitpun untuk berbagi, itulah sebabnya para saudagar diluar  Kediri lebih memilih bekerja sama dengan Raden Wijaya”, berkata Jayakatwang membenarkan perkataan istrinya Turuk Bali.

“Kakanda telah diperalat oleh mereka”, berkata Turuk Bali

“Mata hatiku telah buta oleh puja-puji dan sanjungan mereka”, berkata Jayakatwang.

“Mereka pasti masih mendendam kepada Baginda Raja Kertarajasa, berusaha dengan berbagai cara untuk merebut kembali jaman keemasan mereka, berusaha dengan berbagai cara menggulingkan kedaulatan Majapahit yang masih baru ini”, berkata Turuk Bali kepada Jayakatwang.

“Apapun yang mereka lakukan, aku tetap berdiri di belakang Raja Kertarajasa”, berkata Jayakatwang penuh kebencian kepada orang-orang yang selama ini menjadikan dirinya sebagai wayang mati penuh puja dan pujian palsu hanya sekedar memenuhi keserakahan mereka, menguasai jalur perdagangan di Tanah Jawa.

“Kakanda telah berdiri ditempat yang benar, di belakang Majapahit adalah para saudagar besar di timur dan barat lautan ini. Mereka pasti akan tetap setia melawan siapapun, musuh Majapahit adalah musuh mereka”, berkata Turuk Bali kepada suaminya Jayakatwang.

Sementara itu jung besar Majapahit telah jauh meninggalkan Bandar pelabuhan Majapahit di Tanah Ujung Galuh, menyusuri laut Jawa sebelah utara dengan tujuh layar terkembang penuh ditiup angin timur dan terapung diatas laut luas kelam tak bertepi dibawah cakrawala langit malam. Hingga ketika langit mulai pudar memerah menjelang pagi.

“Indahnya memandang wajah sang fajar”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada ketika hari sudah menjadi pagi melihat sang fajar terbit mengintip di ujung jurang bibir laut sebelah timur.

“Sebentar lagi kita akan merapat di bandar pelabuhan Pragota”, berkata Rakyan Argalanang yang menemani mereka di geladak jung besar Majapahit.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rakyan Argalanang, jung besar Majapahit terlihat telah mendekati bibir pantai, mendekati sebuah tepian pantai dimana terlihat dari arah laut lepas banyak tiang-tiang perahu dagang berjajar. Itulah bandar pelabuhan Pragota yang cukup besar di jaman itu, tempat para pelaut melabuhkan sauhnya, memenuhi perahu mereka dengan air tawar, menurunkan atau memuat barang muatan sambil menunggu sang angin laut membawa kembali pelayaran mereka.

Jung Besar Majapahit terlihat telah merapat  di sebuah dermaga kayu Bandar Pelabuhan Pragota. Tiga orang awak terlihat dengan begitu sigap dan gesit melompat ke dermaga untuk mengikat tali tambang besar di tiang dermaga.

Beberapa orang terlihat sudah tengah menuruni tangga Jung besar Majapahit.

“Kita beristirahat di kedai depan sana”, berkata Jayakatwang ketika sudah turun dari jung berada di atas sebuah dermaga kayu sambil menunjuk ke sebuah kedai yang nampaknya sangat ramai pagi itu dikunjungi pembeli.

“Biasanya masakan di kedai itu pasti disukai banyak orang”, berkata Turuk Bali menyetujui kedai pilihan suaminya itu.

Terlihat Putu Risang bersama Gajahmada dan Pangeran Jayanagara mengiringi berjalan di belakang Jayakatwang dan Turuk Bali.

“Nanti malam kita baru akan berangkat berlayar kembali”, berkata Putu Risang kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Demikianlah, Jayakatwang dan rombongannya itu telah memasuki sebuah kedai di Bandar Pelabuhan Pragota. Tidak seorang pun yang memperhatikan kehadiran mereka, dan tidak seorang pun yang tahu bahwa diantara mereka adalah seorang Pangeran putra Mahkota, juga seorang mantan Raja besar yang sangat berkuasa, Jayakatwang. Terlihat Jayakatwang dan rombongannya telah mendapat tempat menghadap kearah dermaga.

Sementara itu beberapa buruh angkut sudah terlihat menuruni beberapa barang dari jung besar Majapahit.

“Perahu dagang milik bangsawan Kediri”, berkata Turuk Bali berbisik kepada suaminya, Jayakatwang sambil menunjuk ke sebuah perahu dagang besar telah merapat lama

Ketika seorang pelayan mendatangi mereka, terlihat Jayakatwang mencoba mencari tahu tentang keberadaan perahu dagang milik bangsawan Kediri itu.

“Perahu dagang itu datang dari Pelabuhan Muara Jati dan sudah dua bulan ini merapat di dermaga menunggu datangnya musim angin barat kembali ke Kediri”, berkata pelayan itu menerangkan tentang keberadaan perahu milik seorang bangsawan Kediri itu. “Terima kasih”, berkata Jayakatwang kepada pelayan itu yang langsung masuk kedalam untuk menyiapkan makanan pesanan mereka.

Baru saja pelayan itu menghilang dari pandangan mata mereka, terlihat lima orang lelaki telah memasuki kedai. Seorang diantaranya terlihat berpakaian layaknya seorang bangsawan besar.

“Aku mengenalnya, semoga dia tidak melihat kehadiranku di kedai ini”, berkata Jayakatwang berbisik kepada Turuk Bali.

Kelima orang yang baru datang itu memang tidak sempat memperhatikan Jayakatwang, kelima orang itu terlihat sudah mendapatkan tempat membelakangi arah mereka.

Terlihat Jayakatwang memberi tanda kepada Putu Risang untuk menyimak mencuri dengar pembicaraan kelima orang yang baru datang itu.

“Aku tidak tahu mengapa tuan begitu berharap orang Pasundan dan Majapahit berperang”, berkata seorang diantaranya.

“Tugas kalian tidak untuk bertanya, aku akan memberi sisa dari seluruh hadiah yang kujanjikan setelah kita kembali di Kotaraja Kediri”, berkata seorang yang berpakaian bangsawan sepertinya tidak senang mendengar sebuah pertanyaan dari salah satu diantara mereka. Nampaknya takut sebuah rahasia besar terdengar di dalam kedai itu.

Tapi pembicaraan mereka telah ditangkap oleh Putu Risang dan Jayakatwang yang sudah sangat terlatih ketajaman pendengarannya. Bandar Pelabuhan Pragota pagi itu memang cukup ramai. Terlihat beberapa perahu dagang telah bersandar di dermaganya.

Terlihat beberapa orang prajurit Majapahit berlalu lalang di sepanjang dermaga. Bandar pelabuhan Pragota memang telah berada di bawah kedaulatan Kerajaan Majapahit. Sudah menjadi kewajiban prajurit Majapahit untuk menjaga dan mengamankan daerah itu.

“Mereka datang dari Tanah Pasundan, pasti ada sebuah tugas rahasia yang telah mereka perbuat. Orang itu salah satu dari para bangsawan Kediri yang dirugikan dengan kehadiran Kerajaan baru Majapahit”, berkata Jayakatwang ketika kelima orang itu telah selesai makan minumnya dan telah keluar dari kedai.

“Ibarat seekor gajah, kita telah meraba kepala dan belalainya. Semoga di Tanah Pasundan kita dapat meraba jejak kaki mereka. Apa yang telah mereka lakukan untuk mengadu domba dua saudara, orang Pasundan dan Majapahit”, berkata Putu Risang mencoba menyimpulkan curi dengar dari pembicaraan kelima orang itu.

Namun pembicaraan mereka terhenti manakala mereka berlima melihat Pendeta Gunakara terlihat melintas melewati kedai.

“Tuan Pendeta Gunakara pasti tengah mencari kita”, berkata Putu Risang sambil menunjuk kearah Pendeta Gunakara.

Maka tanpa diperintah siapapun terlihat Gajahmada sudah keluar memanggil Pendeta Gunakara yang memang tengah mencari mereka.

“Kalian tidak membangunkan aku”, berkata Pendeta Gunakara sambil tersenyum mencari sebuah tempat duduk diantara mereka. “Semalaman tuan pendeta tidak tidur, jadi kami kasihan membangunkannya”, berkata Putu Risang  sambil tersenyum.

“Setidaknya aku belum terlambat untuk memesan daging kambing muda”, berkata Pendeta Gunakara sambil melihat kearah mangkuk yang tersisa tulang belulang.

“Kaki gajah muda bumbu begana”, berkata Gajahmada mengedipkan matanya ke arah Putu Risang.

Dan sang kala terlihat sudah mulai buram mewarnai cakrawala langit diatas Bandar Pelabuhan Pragota. Burung-burung camar satu dua masih terlihat turun menukik tajam menyambar ikan-ikan kecil diatas permukaan air laut biru. Dan beberapa nelayan dengan sebuah jukung kecil merayap terapung keluar dari muara sungai menuju laut lepas.

Dan warna air laut pun sudah menjadi semakin kelam manakala sebuah jung besar bertiang layar tujuh terlihat perlahan meninggalkan dermaga kayu pelabuhan Pragota.

Itulah Jung besar Majapahit yang akan melanjutkan pelayarannya meninggalkan bandar pelabuhan sisa kerajaan Mataram Kuno itu yang masih dapat disinggahi oleh para pelaut dari berbagai nagari.

Wajah daratan Jawa di sebelah utara terlihat seperti raksasa hitam terlihat dari arah laut lepas disaat senja berakhir.

Langit kelam, laut kelam, sebuah jung besar terapung diatas hamparan laut sunyi tak bertepi, sendiri.

Jung besar Majapahit telah jauh di atas laut lepas dengan layar terkembang penuh ditiup angin timur. Langit diam, laut diam, jung besar Majapahit seperti terpaku tak bergerak ditengah hamparan laut luas tak bertepi dinaungi langit malam bertaburan kerlap kerlip jutaan bintang, dan bulan kuning terpotong awan hitam.

“Begitu kerdilnya diri kita ketika berada di tengah laut luas tak bertepi”, berkata Putu Risang diatas anjungan berempat menikmati suasana malam bersama Pendeta Gunakara, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

“Kita seperti berlayar diam tak bergerak”, berkata Gajahmada menambahkan.

“Apa yang kamu rasakan ketika memandang laut luas tak bertepi wahai anakku?”, berkata Pendeta Gunakara kepada Gajahmada.

“Rasa takut yang mencekam”, berkata Gajahmada “Apa yang kamu rasakan manakala melihat wajah

rembulan, wahai anakku”, berkata kembali Pendeta Gunakara kepada Gajahmada.

“Ketentraman hati”, berkata Gajahmada

“Apa yang kamu rasakan manakala melihat keluasan cakrawala langit malam, wahai anakku?”, berkata kembali Pendeta Gunakara kepada Gajahmada

“Merasa diri ini kecil tak berarti”, berkata Gajahmada. “Itulah tiga dari ajaran Trimurti, kamu telah

memandang wajah Siwa manakala dirimu diliputi rasa takut. Kamu telah memandang wajah Wisnu manakala dirimu dipenuhi rasa ketentraman hati. Dan kamu telah menyaksikan wajah Brahma ketika dirimu diliputi ketidak berdayaan dan kepasrahan diri. Lihatlah alam alit didalam dirimu didalam keluasan jiwamu, kamu akan menemukannya”, berkata Pendeta Gunakara kepada Gajahmada, Putu Risang dan Pangeran Jayanagara. Terlihat Putu Risang, Pangeran Jayanagara dan Gajahmada seperti telah berada di dalam pengembaraan jiwanya sendiri-sendiri.

Lama tidak ada suara diantara mereka berempat, langit malam masih bertabur bintang.

“Aku menemukannya wahai Tuan Pendeta”, berkata Gajahmada penuh kegembiraan. ”Semula ketika beberapa hari yang lewat, aku merasa sudah mencapai puncak tatwa manakala memandang wajah Siwa di atas tahta singgasana diri. Namun hari ini aku melihat tiga Singgasana, Siwa, Wisnu dan Brahma”, berkata kembali Gajahmada masih dalam kegembiraan hati dapat memecahkan ajaran pelik, sebuah makna suci ajaran Trimurti.

“Gusti yang Maha Agung telah membawamu ke gerbang cahaya-Nya”, berkata Pendeta Gunakara ikut merasakan kegembiraan melihat titisan gurunya ternyata sudah menemukan jalan terang menuju rahasia-rahasia kepelikan samudera laut alam jiwa tak bertepi dan sangat dalam tak berdasar.

Diam-diam Putu Risang mengagumi kehalusan jiwani Gajahmada yang mampu mencerna isi ajaran tinggi kejiwaan di usianya yang masih muda belia itu.

“Dasar kejiwaan Gajahmada sudah begitu kuat, saatnya untuk menerima tataran ilmu dariku, ilmu rahasia pertapa sakti dari gunung Wilis”, berkata Putu Risang dalam hati.

Sementara ketika Putu Risang memandang kearah Pangeran Jayanagara, hatinya menjadi bimbang. “Anak itu akan merasa cemburu bila mengetahui aku telah membedakannya”, berkata kembali Putu Risang dalam hati penuh kebimbangan. ”Aku akan merahasiakannya kepada Pangeran Jayanagara. Aku akan mengajarkannya sesuai garis perguruan keluarganya, sebuah ilmu hawa sakti yang telah kuwarisi lewat tuanku Patih Mahesa Amping”, berkata kembali Putu Risang dalam hati merasa sudah membuat sebuah keputusan yang benar.

“Hari sudah sepertiga malam, saatnya kita beristirahat”, berkata Pendeta Gunakara memecahkan keheningan diatas anjungan itu.

“Benar, di pelabuhan terakhir kita masih harus menempuh perjalanan panjang ke tempat kediaman Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Putu Risang.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pendeta Gunakara, hari memang sudah sepertiga malam. Tidak ada suara malam di tengah laut luas itu selain suara debur ombak dibelakang kayu buritan terdengar panjang berisik mengusik kesunyian malam.

Langit diam, laut diam, tapi malam terus berlalu menyusuri lingkaran waktu.

Hingga akhirnya terlihat bintang Timur terang cemerlang menerangi langit kelam. Itulah sang kejora, bintang paling cemerlang diantara kerlap kerlip jutaan bintang yang bertebaran di langit luas. Itulah bintang putra Sang Fajar, karena muncul disaat sang Fajar datang menjelang.

Layar jung besar Majapahit masih terkembang ditiup angin timur di bawah langit pagi dalam tatapan mata sang surya yang benderang dibelakangnya.

“Turunkan layar!!”, terdengar suara begitu lantang memecahkan kesunyian pagi.

Terlihat sebuah kesibukan yang begitu luar biasa, beberapa orang awak jung besar Majapahit seperti telah terlatih, mereka dengan sigap dan gesit naik memanjat tiang-tiang layar yang menjulang tinggi dengan tanggatangga tali temali yang bergelantungan. Maka dalam waktu yang singkat semua layar telah tergulung dan terikat kuat.

Jung besar Majapahit masih tetap meluncur perlahan mendekati garis pantai.

Terlihat daratan membujur panjang seperti gundukan tanah membujur dipenuhi lumut hijau bias tersinari cahaya emas matahari pagi.

“Bandar pelabuhan Muara Jati”, berkata Rakyan Argalanang di pagar lambung kiri jung besar Majapahit kepada Jayakatwang dan Turuk Bali.

“Sebentar lagi kita menginjak tanah Pasundan”, berkata Jayakatwang merasa perjalanannya sudah begitu dekat untuk bertemu dengan sahabatnya Prabu Guru Darmasiksa.

Jung Besar Majapahit masih melaju semakin perlahan mendekati garis pantai.

Di pinggir pagar lambung kiri yang lain terlihat juga Gajahmada, Putu Risang, Pendeta Gunakara dan Pangeran Jayanagara tengah memandang kearah daratan hijau yang semakin mendekat.

“Tanah Pasundan!!”, berkata Putu Risang penuh kegembiraan sambil kedua tangannya bersandar di bahu kedua muridnya, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara. Angin laut pagi terlihat menyapu wajah dan rambut mereka.

Jung besar Majapahit masih melaju membelah air laut mendekati bibir pantai. Terlihat tiang-tiang perahu berjajar di pinggir pantai.

Jung besar Majapahit masih terus bergerak sudah semakin mendekati pantai.

Terlihat berjajar perahu-perahu besar dengan tiangtiang layar tinggi bergoyang dipermainkan ombak pantai.

Jung besar Majapahit telah perlahan mendekati sebuah dermaga kayu.

“Aku akan memperkenalkan kepada kalian penguasa Bandar Pelabuhan Muara jati ini”, berkata Rakyan Argalanang kepada Jayakatwang dan Turuk Bali ketika jung besar Majapahit telah menurunkan jangkar sauhnya di bandar pelabuhan Muara Jati.

“Tidak seramai Bandar pelabuhan Majapahit di Tanah Ujung Galuh”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Putu Risang dan Gajahmada.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pangeran Jayanagara, pelabuhan Muara jati memang tidak sepadat dan seramai Bandar Pelabuhan Majapahit. Tapi masih terhitung sebuah Bandar Pelabuhan yang cukup besar di jaman itu, sebuah tempat singgah para pelaut untuk sekedar memenuhi perahu mereka dengan air tawar, atau menukar barang-barang mereka dengan hasil bumi dan kerajinan para penduduk setempat sambil menanti kembali hembusan angin besar mengembangkan layarlayar perahu mereka, kembali mengembara mengarungi laut luas menaklukkan hujan, angin dan badai yang selalu datang mengiringi pelayaran mereka.

Ki Gedeng Tirta adalah seorang syah bandar yang sangat dihormati di Bandar pelabuhan Muara jati. Pertama kali bertemu pasti akan terpaku pada tatapan matanya yang tajam. Meskipun sudah berumur setengah abad lebih, tubuhnya masih terlihat tegap berotot sebagai tanda seorang ahli kanuragan yang terlatih.

Tempat kediaman Ki Gedeng Tirta tidak jauh dari bibir pantai dermaga pelabuhan diantara rumah para nelayan. Hanya saja tempat kediamannya adalah sebuah rumah panggung yang paling mencolok, disamping paling besar terlihat paling megah dan indah dengan ukiran kayu jati menghiasi hampir semua sisi dinding, pada pagar pendapa dan tiang pilar pendapanya.

“Senang mendapat kedatangan orang Majapahit”, berkata Ki Gedeng Tirta menyambut kedatangan Rakyan Argalanang dan rombongannya.

Nampaknya Ki Gedeng Tirta adalah seorang yang sangat terbuka, ramah dan mudah bergaul kepada orang yang baru dikenalnya. Dalam waktu yang singkat Jayakatwang dan rombongannya sudah menjadi sangat akrab dan tidak sungkan-sungkan lagi berbicara dengannya.

“Kami bermaksud mengunjungi Prabu Guru Darmasiksa sebagai balasan kunjungannya beberapa tahun yang lalu di Majapahit”, berkata Jayakatwang menyampaikan maksud tujuannya ke Tanah Pasundan.

“Prabu Guru Darmasiksa tinggal di lereng Gunung Galunggung, sekitar tiga hari perjalanan kaki dari sini. Aku akan mengutus orangku untuk dapat mengantar kalian kesana”, berkata Ki Gedeng Tirta langsung menawarkan bantuan mengutus orangnya sebagai penuntun arah.

“Mungkin beberapa ekor kuda dapat membawa kami lebih cepat sampai di kediaman Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Jayakatwang kepada Ki Gedeng Tirta. “Aku akan mencarikannya untuk kalian, sebaiknya kalian menginap sehari di gubukku ini sambil menunggu beberapa ekor kuda”, berkata Ki Gedeng dengan penuh keramahannya.

“Terima kasih, baru kenal kami sudah banyak meminta”, berkata Jayakatwang sambil tersenyum.

“Orang Sunda dan orang Majapahit adalah dua saudara, sudah sepatutnya aku orang Sunda membantu saudaranya”, berkata Ki Gedeng Tirta masih dengan penuh keramahan.

Demikianlah, untuk menunggu beberapa ekor kuda yang tengah diusahakan oleh Ki Gedeng Tirta, rombongan Jayakatwang memang tidak menolak mendapatkan tawaran menginap semalam di kediaman Ki Gedeng Tirta.

Sementara itu Rakyan Argalanang telah berpamit diri untuk kembali ke Bandar pelabuhan Muara Jati untuk melanjutkan pelayarannya ke Tanah Melayu.

“Terima kasih telah mengantar kami”, berkata Jayakatwang kepada Rakyan Argalanang ketika bermaksud pamit diri kembali ke Bandar pelabuhan Muara jati.

Demikianlah, hari pertama rombongan Jayakatwang harus bermalam di rumah Ki Gedeng Tirta. Seorang syah bandar pelabuhan Muara jati yang sangat ramah seperti memberi kesan mendalam tentang keramahan orang Sunda menerima para tamunya.

Pagi itu di halaman muka rumah Ki Gedeng Tirta terlihat beberapa orang tengah bersiap untuk melakukan sebuah perjalanan cukup jauh. Mereka adalah Jayakatwang dan rombongannya yang akan berangkat menuju Gunung Galunggung, tempat kediaman Prabu Guru Darmasiksa.

Ki Gedeng Tirta telah menunjuk orangnya sendiri untuk ikut dalam rombongan itu sebagai penuntun arah menuju ke Gunung Galunggung.

“Terima kasih untuk semua keramahan menerima kehadiran kami”, berkata Jayakatwang kepada Ki Gedeng Tirta.

“Semoga Gusti yang Maha Agung senantiasa menjaga dan melindungi perjalanan kalian”, berkata Ki Gedeng Tirta sambil melambaikan tangannya ketika rombongan berkuda itu telah mulai berjalan keluar regol pintu halaman rumahnya.

Terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara berjalan dimuka, Jayakatwang dan istrinya berjalan dibelakangnya. Pengiring penunjuk jalan berjalan bersama Putu Risang dan Pendeta Gunakara.

Mereka tidak memacu kuda-kuda mereka, dibiarkannya kuda mereka berjalan perlahan sambil melihat alam pemandangan disekitarnya berupa gumukgumuk hijau dan hutan bambu. Semakin menjauhi padukuhan Muara Jati mereka mulai mendapatkan hutan dikiri dan kanan jalan mereka.

Ketika hari sudah mulai terasa panas menyengat, barulah mereka turun untuk beristirahat membuka bekal makanan mereka.

“Sebentar lagi kita akan memasuki hutan Cigugur, kita berjalan melingkar di bawah kaki Gunung Ciremai”, berkata seorang pengiring mereka memberi penjelasan arah yang harus mereka tempuh.

Demikianlah, ketika mereka merasa telah beristirahat dengan cukup. Terlihat rombongan orang Majapahit itu telah melanjutkan perjalanan mereka kembali.

Meskipun dikiri kanan mereka hutan lebat, tapi jalan yang mereka lalui cukup keras. Sebuah jalur jalan yang biasa dipakai oleh para pedagang membawa barang dagangan mereka dengan sebuah pedati berkuda.

“Kita sudah berada di kaki Gunung Ciremai”, berkata seorang pengiring ketika mereka merasakan udara di sekitar mereka menjadi begitu sejuk serta banyak menemui jalan naik turun.

“Apakah kita sudah memasuki hutan Cigugur?”, bertanya Putu Risang kepada pengiring itu.

“Sebentar lagi kita akan melewatinya”, berkata pengiring itu.

Akhirnya ketika hari sudah mulai terlihat menjadi senja, mereka telah menembus hutan Cigugur. Sebuah hutan yang cukup lebat dipenuhi banyak pohon kayu yang cukup besar serta tinggi menutupi matahari yang sudah mulai bergeser ke barat.

Jarak pandang mata mereka mulai terhalang keremangan hutan lebat, hutan Cigugur.

Tapi untuk Putu Risang yang terlatih ketajaman matanya dapat melihat jauh didepannya sesuatu yang sangat mencurigakan.

Putu Risang sudah melihat beberapa orang nampaknya punya maksud tertentu menunggu kedatangan mereka

Semakin dekat, Putu Risang dapat melihat lebih jelas lagi terdiri dari sepuluh orang lengkap dengan senjata golok telanjang, lepas dari sarungnya. “Berhenti!!”, berkata salah seorang diantara mereka sambil mengacungkan golok telanjang ditangannya.

“Apa keperluan ki sanak menghentikan perjalanan kami?”, bertanya Putu Risang yang pertama turun dari kudanya.

“Serahkan semua barang kalian termasuk kuda-kuda kalian, silahkan melanjutkan perjalanan kalian”, berkata salah seorang diantara mereka dengan nada bicara keras membentak.

“Perjalanan kami masih sangat jauh, jadi kami masih perlu dengan kuda-kuda kami”, berkata Putu Risang masih dengan suara datar seperti berhadapan bukan dengan para perampok.

“Kami akan merampok kalian, jadi tidak ada tawar menawar dengan perjalanan kalian yang masih jauh”, berkata seorang yang lain dengan mata mendelik seperti tidak sabaran.

Namun belum sempat Putu Risang menjawab, tibatiba saja dibelakang mereka muncul dua orang berkuda, ternyata sepasang muda-mudi.

“Jangan serahkan apapun”, berkata seorang pria diantara mereka sambil turun dari kudanya.

“Siapa kalian?”, berkata salah seorang perampok, nampaknya pemimpinnya.

“Pasang telinga kalian kuat-kuat, aku Pangeran Citraganda”, berkata pemuda yang mengaku bernama Pangeran Citraganda.

Ternyata nama itu tidak membuat takut para perampok, terlihat mereka tertawa panjang.

“Rejeki nomplok, hari ini kita dapat dua mangsa yang lumayan. Rombongan bangsawan dari Majapahit dan dua orang bangsawan dari Pasundan”, berkata salah seorang dari mereka sambil tertawa panjang.

Namun begitu selesai bicara, tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sukar diduga oleh siapapun tangan Pangeran Citraganda sudah berhasil menampar mulut perampok itu.

Plak..plak !!!

Dua kali tamparan telah membuat orang itu sempoyongan jatuh seperti pakaian basah, ambruk ke bumi dengan dua buah gigi tanggal dan bibir terlihat berdarah.

Melihat seorang kawannya ambruk ke bumi, para perampok itu kaget bukan kepalang. Tapi mereka telah berpikir bahwa kawan mereka hanya lengah sedikit.

“Hajar anak muda ini!!”, berkata pemimpin mereka. “Menjauhlah”, berkata Pangeran Citraganda kepada

Putu Risang dan rombongannya.

Maka tidak menunggu perintah kedua, para perampok sudah langsung mengurung Pangeran Citraganda.

Putu Risang melihat anak muda itu telah dikurung oleh sembilan golok telanjang. Namun Putu Risang tidak jadi turun membantu ketika melihat hanya dengan dua gebrakan saja anak muda itu telah menjatuhkan dua orang perampok.

“Anak muda yang berani”, berkata Pendeta Gunakara berbisik kepada Putu Risang di sebelahnya.

Putu Risang dan Pendeta Gunakara sudah langsung dapat menilai bahwa tataran ilmu anak muda itu ternyata sudah cukup tinggi. Mereka melihat anak muda itu dengan ringan dan cepat lepas dari setiap terjangan dan kurungan para perampok.

“Kuhabisi kalian semua!!”, berkata Pangeran Citraganda ketika dua orang terkena tendangan dan pukulannya langsung jatuh pingsan tidak bergerak lagi.

Terlihat sisa para perampok itu mulai gentar menghadapi serangan Pangeran Citraganda yang begitu kuat dan gesit seperti seekor macan bertarung.

Dan kembali dua orang terkena tendangan dan pukulan Pangeran Citraganda langsung roboh.

Kurungan para perampok semakin merenggang, sementara serangan Pangeran Citraganda semakin keras dan kuat. Nampaknya anak muda itu ingin secepatnya merobohkan para perampok sebagaimana yang dikatakannya itu.

Kembali seorang perampok terlempar terkena tendangan keras dari Pangeran Citraganda.

“Sisakan untukku juga kakang”, berkata seorang gadis belia bersamanya yang langsung turun ke medan pertempuran.

Sungguh menakjubkan, tangan gadis belia itu yang terlihat putih mulus telah membuat seorang perampok memegang perutnya kesakitan.

Tangan mungil itu ternyata punya kekuatan yang sangat kuat telah memukul perut perampok itu sempat tidak bernafas menahan sakit yang sangat.

“Tidurlah yang lama”, berkata gadis itu sambil  kembali membuat sebuah serangan dengan sebuah kaki terangkat tinggi menghantam dagu perampok itu. Terlihat perampok itu tidak lagi memegang perutnya, tapi sudah menutup mulutnya merasakan semua giginya “prontal” berdarah. Dan seperti sebuah pakaian lusuh basah, orang itu terjatuh rebah merasakan bumi seperti bergoyang dan mata gelap seperti melihat banyak kunang-kunang melingkarinya.

“Jangan dikejar, biarlah mereka pergi”, berkata Pangeran Citraganda kepada seorang gadis yang bersamanya itu yang tengah bermaksud mengejar tiga orang perampok yang merasa tidak akan mampu menghadapi dua orang muda-mudi itu.

“Terima kasih, kalian berdua telah menyelamatkan kami”, berkata Putu Risang kepada kedua muda-mudi itu.

“Kebetulan kami sedang lewat”, berkata pemuda  yang bernama Pangeran Citraganda itu.

Putu Risang segera memperkenalkan diri mereka. “Kami datang dari Majapahit bermaksud untuk

berkunjung ke tempat kediaman Prabu Guru Darmasiksa di Gunung Galunggung”, berkata Putu Risang kepada anak muda itu.

“Prabu Guru Darmasiksa adalah eyang kami”,  berkata Pangeran Citraganda.

“Prabu Guru Citraganda berputra Raja Ragasuci. Apakah kalian berdua putra dan Putri Raja Ragasuci dan Dara Puspa?”, bertanya Jayakatwang kepada Pangeran Citraganda.

“Paman benar, kami putra dan putrinya”, berkata Pangeran Citraganda kepada Jayakatwang.

“Artinya bumi ini memang sempit, perkenalkan ini sepupu kalian, Pangeran Jayanagara putra Raja Kertarajasa dan Dara Jingga”, berkata Jayakatwang memperkenalkan Pangeran Jayanagara kepada Pangeran Citraganda.

“Eyang Prabu Guru Darmasiksa pernah juga bercerita tentang dirimu, wahai saudara sepupuku”, berkata Pengeran Citraganda kepada Pangeran Jayanagara. “ini adikku, Dyah Rara Wulan”, berkata kembali Pangeran Citraganda memperkenalkan diri gadis yang bersamanya yang ternyata adalah adiknya bernama Dyah Rara Wulan.

Akhirnya, mereka pun saling memperkenalkan diri lebih terbuka lagi merasa sebagai kerabat dekat.

“Gunung Galunggung melewati Kotaraja Kawali, kami akan senang bila kalian mampir singgah di istana kami”, berkata Pangeran Citraganda menawarkan mereka singgah dulu di istana sebelum ke Gunung Galunggung.

“Pasti sebuah Kotaraja yang ramai dan indah”, berkata Turuk Bali dengan gembira.

“Yang pasti tidak seramai dan semegah Kotaraja Majapahit”, berkata Dyah Rara Wulan sambil tersenyum.

“Pintu rumah kami akan selalu terbuka untuk kalian di Kotaraja Majapahit”, berkata Ratu Turuk Bali.

Demikianlah, mereka telah sepakat untuk singgah di Kotaraja Kawali sebelum ke Gunung Galunggung.

Di sepanjang perjalanan terlihat Dyah Rara Wulan nampak menjadi begitu akrab dengan Turuk Bali. Sementara itu Pangeran Citraganda nampak langsung akrab dengan Pangeran Jayanagara dan Gajahmada.

“Aku akan minta ijin untuk ikut bersama kalian ke Gunung Galunggung, sudah lama kami tidak bertemu dengan Eyang Prabu Guru Darmasiksa”, berkata Pangeran Citraganda. Sementara itu hari telah menjadi begitu gelap ketika mereka telah keluar dari hutan Cigugur.

“Kita bermalam di Padukuhan Parung kuda”, berkata Pangeran Citraganda.

“Kami ikut kemana tuan rumah membawa”, berkata Pangeran Jayanagara.

Akhirnya langkah kaki kuda mereka telah memasuki sebuah padukuhan di malam itu.

“Ayahandaku punya peternakan kuda di padukuhan ini”, berkata Pangeran Citraganda mengajak bermalam di pondokan peternakan kuda milik ayahandanya. Sebagaimana diketahui bahwa di jaman itu kuda-kuda dari daerah Pasundan merupakan kuda pilihan yang diminati dan sangat terkenal di segala penjuru nagari. “Aku sering dibawa Ayahanda menginap di pondokan peternakan kuda”, berkata kembali Pangeran Citraganda.

Demikianlah, mereka bersama tengah menuju ke peternakan kuda mengikuti Pangeran Citraganda.

“Apakah gardu ronda itu selalu sepi ?”, bertanya Putu Risang kepada Pangeran Citraganda ketika mereka melewati sebuah gardu ronda di Padukuhan Parung kuda.

Terlihat Pangeran Citraganda tidak langsung menjawab, sepertinya melihat sebuah keanehan sambil memandang sebuah gardu ronda.

“Hari sudah mulai larut malam, biasanya kami menemukan tiga sampai empat orang berjaga di gardu ronda itu”, berkata Citraganda sambil melewati sebuah gardu ronda yang kosong menepis segala kecurigaan apapun.

Hari memang telah larut malam, mereka masih terus berjalan diatas jalan Padukuhan Parung kuda. Hanya terlihat redup pelita malam terlihat dari balik bilik para warga padukuhan Parung kuda itu.

Sementara letak peternakan kuda milik Raja Ragasuci memang terpisah beberapa kebun dan ladang. Terlihat mereka telah mulai melewati padukuhan Parung kuda masuk ke sebuah jalan bulakan panjang.

Akhirnya mereka telah mulai memasuki sebuah area peternakan kuda, sebuah padang rumput yang cukup luas. Dan di keremangan malam mereka telah mulai mendekati sebuah pondokan yang dimaksudkan oleh Pangeran Citraganda.

Tiba-tiba saja Putu Risang memberi tanda agar rombongan berhenti tidak melanjutkan perjalanan mereka, tertahan tidak jauh dari halaman muka  pondokan itu.

Ternyata Putu Risang dan rombongannya melihat sekumpulan orang di halaman muka pondokan itu. Beberapa orang terlihat berjajar dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara itu sebagian orang lagi terlihat masing-masing telah memegang senjata golok mereka dengan terhunus tanpa sarung lagi.

“Segerombolan perampok”, berkata Putu Risang dengan suara perlahan.

Terlihat semua mata tertuju kearah halaman muka pondokan sambil menahan nafas menunggu apa yang harus mereka lakukan.

Nampaknya semua tanpa persetujuan apapun telah menyerahkan kepemimpinan mereka kepada Putu Risang.

“Jumlah mereka sekitar dua puluh orang”, berkata kembali Putu Risang dengan suara perlahan sambil terus matanya memandang dan mengawasi keadaan di halaman pondokan itu.

Ternyata sesuai pengamatan Putu Risang, di halaman pondokan itu memang telah dipenuhi oleh para perampok. Sementara orang-orang yang tengah terikat adalah para pekerja dan para peronda yang sedang bertugas di Padukuhan Parung kuda.

“Katakan kepada Raja kalian bahwa malam ini Singalodra akan meminjam kuda-kudanya”, berkata salah seorang diantara para perampok sambil tertawa panjang.

Suaranya terdengar jelas oleh Putu Risang dan rombongannya yang tersembunyi di keremangan malam.

“Para gerombolan Singalodra”, berkata berbisik Pangeran Citraganda kepada Putu Risang.

“Jumlah mereka sekitar dua puluh orang, mari kita ringkus mereka”, berkata Putu Risang seperti sebuah perintah.

Terlihat Pangeran Citraganda mengerutkan keningnya, merasa heran dengan perkataan Putu Risang yang dinilainya sangat berani sambil berpikir dan mengingat kembali bahwa siang tadi baru saja dirinya telah menyelamatkan mereka dari sepuluh begundal hutan Cigugur.

Sebagai seorang asli Pasundan, Pangeran Citraganda telah mengenal gerombolan Singalodra yang sangat kejam. Disamping juga mengetahui kesaktian Singalodra yang sering dikatakan oleh banyak orang tidak mempan oleh bacokan senjata tajam. Dan malam itu telah mendengar suara seorang yang baru saja diselamatkannya dari kejahatan para perampok hutan Cigugur.

Terlihat apa yang dipikirkan oleh Pangeran Citraganda juga dipikirkan oleh adiknya Dyah Rara Wulan. Tapi keheranannya itu seperti terlebur manakala melihat rombongan orang Majapahit itu telah turun dari kudanya dan bergerak tanpa sedikitpun rasa takut langsung menuju ke halaman muka pondokan itu yang telah dipenuhi para gerombolan Singalodra.

Tanpa terasa Pangeran Citraganda dan Dyah Rara Wulan seperti tidak sadar telah mengikuti rombongan orang Majapahit itu yang dipimpin oleh Putu Risang terlihat berjalan di muka.

“Sudah lama kutunggu saat seperti ini wahai Singalodra”, berkata Putu Risang mengejutkan semua orang yang berada di halaman muka pondokan itu, terutama Singalodra sendiri.

Ternyata orang yang bernama Singalodra adalah seorang yang berbadan tegap, kekar dan berkumis tebal. Terlihat matanya seperti melotot memandang kearah Putu Risang yang sudah memasuki halaman muka pondokan itu.

“Siapa kalian!!”, berkata membentak Singalodra sambil memandang kearah Putu Risang dan rombongannya yang sudah berdiri berhadapan dengannya.

“Aku diperintahkan oleh Baginda Raja Ragasuci untuk meringkus gerombolanmu, bukankah kamu yang bernama Singalodra?”, berkata dan bertanya Putu Risang dengan suara penuh tekanan penuh kepercayaan diri yang tinggi. “Benar, akulah Singalodra. Tidak ada seorang pun yang dapat mendengar lagi kokok ayam besok pagi setelah mengenal dan melihat wajahku”, berkata Singalodra penuh kesombongan melihat rombongan yang datang hanya berjumlah delapan orang, tidak lebih dari setengah jumlah mereka.

“Sayang bahwa malam ini adalah hari naasmu, bisa jadi kamulah orangnya yang tidak akan mendengar lagi kokok ayam jantan besok pagi”, berkata Putu Risang sambil tersenyum mengejek.

Terlihat Singalodra seperti menelan ludah, baru kali ini didengar ada orang begitu berani kepadanya.

“Habisi orang-orang yang baru datang ini, serahkan satu orang ini kepadaku”, berkata Singalodra lantang memberi perintah kepada anak buahnya.

Terlihat dua puluh orang gerombolan Singalodra telah bergerak mengepung rombongan Putu Risang.

Sementara itu tanpa perkataan apapun Singalodra sudah langsung menerjang Putu Risang dengan sebuah serangan yang keras dan begitu cepat seperti ingin secepatnya menghabisi Putu Risang yang dianggapnya begitu sombong dihadapannya.

Namun Putu Risang bukan lagi orang sembarangan yang mudah ditaklukkan, murid terkasih Patih Mahesa Amping yang sudah punya ilmu kesaktian sejajar dengan gurunya itu terlihat dengan mudahnya melesat ringan menghindari serangan Singalodra yang keras itu.

Di sisi lain para gerombolan Singalodra sudah mengepung dan menyerang rombongan yang baru datang itu. Jumlah mereka lebih banyak dua kali lipatnya, maka terlihat dua orang dari gerombolan Singalodra telah menghadapi seorang dari rombongan Putu Risang.

Terlihat Gajahmada dengan tangkas dan lincah telah menghadapi dua orang penyerangnya. Dengan cakra ditangannya Gajahmada menjadi lawan yang sangat membingungkan lawannya.

Begitu pula halnya dengan Pangeran Jayanagara, terlihat tidak gentar bukan saja dapat menghindari serangan dua buah golok telanjang para gerombolan Singalodra itu, bahkan balas menyerang dengan tidak kalah sergapnya.

Sementara itu Pendeta Gunakara bukan seperti tengah bertempur, tapi seperti tengah melatih dua orang gerombolan Singalodra yang sangat bernafsu  menyerang Pendeta Gunakara. Tapi Pendeta Gunakara tidak juga balas menyerang, hanya tertawa menghindar kesana kemari.

Mungkin karena telah mendapatkan pencerahan jiwa, kedua suami istri, Jayakatwang dan Turuk Bali tidak sepenuh hati menghadapi gerombolan Singalodra.  Tanpa bersenjata mereka dengan mudahnya menghindari setiap serangan para gerombolan Singalodra tanpa balas menyerang hanya berusaha mengimbangi serangan mereka.

Semua gerak orang Majapahit itu tidak lepas dari penglihatan Pangeran Citraganda dan Dyah Rara Wulan. Terutama Pangeran Citraganda yang sangat heran melihat kemampuan orang-orang Majapahit ini yang dapat menghadapi gerombolan Singalodra yang terkenal buas dan sangat kejam itu. Sambil menghadapi lawannya Pangeran Citraganda tidak habis berpikir bahwa orang-orang Majapahit yang pernah ditolongnya di hutan Cigugur ternyata dapat menjaga dirinya sendiri. Timbul rasa malu dengan apa yang telah dilakukannya di hutan Cigugur. “Ternyata mereka bukan orang sembarangan”, berkata Pangeran Citraganda kepada dirinya sendiri.

Dan Pangeran Citraganda seperti tidak percaya kepada penglihatanya sendiri manakala dilihatnya Singalodra yang punya kesaktian tinggi telah terlempar oleh sebuah pukulan Putu Risang, terguling beberapa kali terlihat lambat berdiri kembali sambil merasakan sakit yang sangat di rusuk kirinya terkena tendangan kaki Putu Risang.

Ternyata Putu Risang telah melambari serangannya dengan sedikit kesaktian tenaga cadangannya yang melampaui tataran daya kekebalan tubuh Singalodra.

Plak, buk, buk !!!

Terdengar suara tangan Pangeran Citraganda masih sambil melihat apa yang telah dilakukan Putu Risang menghadapi lawannya, tidak terasa tiga buah pukulan telah menjatuhkan dua orang penyerangnya.

Ternyata Pangeran Citraganda sangat penasaran ingin melihat langsung tanpa gangguan apapun melihat pertempuran Putu Risang dan Singalodra pimpinan gerombolan yang paling ditakuti di Tanah Pasundan itu.

“Kubunuh kamu !!”, berkata Singalodra dengan suara penuh amarah ketika berhasil bangkit berdiri kembali.

Terlihat Singalodra sudah memutar senjata goloknya begitu cepat langsung menerjang Putu Risang yang bertangan kosong tidak bersenjata apapun.

Dan Pangeran Citraganda seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, entah dengan cara apa tibatiba saja golok telanjang tajam ditangan Singalodra telah berpindah tuan telah berada ditangan Putu Risang. Dan dengan sebuah kecepatan yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang orang biasa Putu Risang telah mengayunkan senjata golok tajam itu langsung melukai urat paha kedua kaki Singalodra.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar