Kabut Di Bumi Singasari Jilid 10

JALAN tanah menuju arah Bandar Cangu sudah begitu sepi dan senyap, langit malam buram hitam mengikuti dua ekor kuda yang berjalan setengah berlari. Gajah Pagon sambil berkuda menuntun kuda yang lain dimana Ki Sukasrana tertelungkup melintang diatas punggung kudanya.

Akhirnya Gajah Pagon telah sampai di Bandar Cangu. Terlihat tengah memasuki sebuah padukuhan dan menghentikan kudanya di sebuah rumah.

Ternyata rumah itu adalah sebuah rumah penghubung untuk para petugas sandi Singasari. Seorang yang sudah cukup umur terlihat keluar rumah menyambut kedatangan Gajah Pagon.

“Maaf, aku telah mengganggu malammu”, berkata Gajah Pagon kepada lelaki itu.

“Tidak ada yang terganggu”, berkata lelaki itu sambil ikut membantu memapah tubuh Ki Sukasrana untuk diletakkan di lantai kayu pendapa rumahnya.

Gajah Pagon langsung bercerita apa yang terjadi atas diri Ki Sukasrana.

“Jadi buronan kita itu sudah tewas ?”, bertanya lelaki itu ketika Gajah Pagon bercerita tentang pertempuran dirinya dengan Wirondaya.

“Aku tidak berhasil membawanya hidup-hidup”, berkata Gajah Pagon.

“Kamu sudah berusaha, sudah takdirnya termakan senjatanya sendiri”, berkata lelaki itu kepada Gajah Pagon.

“Yang harus aku lakukan saat ini adalah membawa orang ini secepatnya ke Pandakan, mungkin ayahku dapat mengobatinya”, berkata Gajah Pagon kepada lelaki itu. “Aku perlu sebuah jukung untuk membawanya”, berkata kembali Gajah Pagon.

Sementara itu langit malam sudah diujung peraduannya bersandar segumpal cahaya kemerahan yang bersembul di ujung timur bumi.

Terlihat diujung malam itu di pinggir sungai Brantas yang sepi, jauh dari keramaain bandar Cangu yang tidak pernah sepi, dua orang lelaki tengah memapah sesosok tubuh keatas sebuah jukung. Ternyata dua orang lelaki itu tidak lain adalah Gajah Pagon dan kawannya tengah meletakkan tubuh Ki Sukasrana keatas sebuah jukung.

“Aku titip kudaku”, berkata Gajah Pagon kepada lelaki kawannya itu.

“Aku akan menjaganya”, berkata lelaki kawannya itu sambil melambaikan tangannya terus menjaga matanya memandang Gajah Pagon diatas jukungnya yang perlahan bergeser menjauh dari tepian sungai Brantas.

Di keremangan pagi yang masih gelap dan dingin itu jukung Gajah Pagon meluncur diatas sungai Brantas yang masih sepi. Sementara itu lelaki kawannya masih berdiri mengikuti dengan matanya jukung Gajah Pagon yang semakin menjauh dan menghilang di sebuah tikungan sungai.

“Kuharap obatku dapat menghambat jalannya racun di tubuhnya”, berkata Gajah Pagon diatas jukung sambil memandang wajah Ki Sukasrana yang masih pingsan tidak sadarkan diri.

Matahari pagi sudah mulai meninggi ketika jukung Gajah Pagon masuk ke sebuah anak sungai Brantas. Hutan di kiri kanan anak sungai itu cukup lebat hampir menutupi cahaya matahari yang masuk membuat suasana perjalanan diatas aliran sungai itu menjadi begitu teduh.

Namun keteduhan itu tidak begitu lama, akhirnya jukung Gajah Pagon menemui sebuah tempat terbuka, sebuah hamparan sawah yang cukup luas. Beberapa rumah bilik kayu kadang berdiri ditepi sungai itu.

Terlihat Gajah Pagon mengayuh dayungnya untuk menepi di sebuah dermaga kayu. Tidak jauh dari dermaga kayu itu terlihat sebuah bangunan Padepokan yang cukup luas dikelilingi pagar dinding kayu.

“Tidak ada yang berubah disini”, berkata Gajah Pagon dalam hati sambil matanya menyapu keadaan sekelingnya ketika menambatkan tali jukungnya di sebuah tonggak kayu yang ada. Gajah Pagon sudah mendekati pintu regol Padepokan Pandakan. Seorang cantrik yang melihatnya langsung membantu membawa tubuh Ki Sukasrana ke pendapa.

Terlihat seorang yang sudah cukup berumur turun dari pendapa menyambut kedatangan mereka.

“Selamat datang anakku”, berkata orang tua itu yang ternyata adalah Ki Pandakan, ayah dari Gajah Pagon.

Sementara itu seorang cantrik yang membantu membawa tubuh Ki Sukasrana sudah sampai diatas pendapa.

“Orang ini terkena racun, sengaja kubawa kemari karena aku yakin Ayah dapat menyembuhkannya”, berkata Gajah Pagon setelah menceritakan panjang lebar semua yang dialaminya kepada Ayahnya.

“Yang dapat menyembuhkan hanyalah Gusti Yang Maha Agung, aku hanya perantaranya”, berkata Ki Pandakan sambil memeriksa beberapa bagian tubuh dari Ki Sukasrana yang masih pingsan lemas seperti orang yang tertidur pulas, mungkin akibat obat yang diberikan oleh Gajah Pagon sebelumnya.

“Daya tahan tubuh orang ini cukup kuat, ditambah lagi oleh obat penawar racun yang kamu berikan sudah berhasil meredam beberapa bagian racun yang belum sempat terserap kealiran darahnya”, berkata Ki Pandakan menyampaikan pengamatannya atas diri Ki Sukasrana.

“Apakah orang ini dapat disembuhkan?”, bertanya Gajah Pagon penuh kekhawatiran.

Terlihat Ki Pandakan tidak langsung menjawab, hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali.

“Aku akan mencobanya”, berkata Ki Pandakan sambil menatap anaknya gajah Pagon dengan sebuah senyuman yang begitu lembut.

“Aku akan menggunakan batu aji kayu keling, semoga dapat menarik semua racun yang terlanjur masuk di aliran darahnya”, berkata Ki Pandakan sambil berdiri dan melangkah masuk keruangan dalam.

Tidak lama kemudian, Ki Pandakan sudah datang kembali dengan membawa sebuah kayu pendek berwarna hitam sebesar telunjuk jari, ternyata itulah yang disebutnya sebagai batu aji batu keling.

Terlihat Ki Pandakan duduk diujung kaki Ki Sukasrana dan langsung menempelkan batu aji kayu keling di telapak kaki kanan Ki Sukasrana.

Aneh !!

Batu aji kayu keling itu seperti menempel melekat di telapak kaki Ki Sukasrana tanpa bantuan tangan dari Ki Pandakan. Perlahan tapi pasti terlihat perubahan dari warna kulit Ki Sukasrana yang semula nampak pucat berubah perlahan seperti berwarna segar.

Sementara itu diujung telapak kanan dimana batu aji kayu keling itu ditempelkan terlihat darah hitam mengumpul yang selanjutnya sepertinya hilang terhisap batu aji kayu keling.

Aneh !!

Batu aji kayu keling itu terlihat terlepas jatuh kelantai tidak melekat lagi ditelapak kaki Ki Sukasrana.

“Racun ditubuhnya sudah punah, hanya perlu pemulihan atas beberapa otot kecilnya yang terganggu”, berkata Ki Pandakan sambil mengambil batu aji kayu keling yang sudah terjatuh.

“Berapa lama waktu yang diperlukan untuk pemulihannya?”, bertanya Gajah Pagon kepada Ayahnya.

Ki Pandakan tersenyum tidak segera menjawab.

“Mungkin sebulan, mungkin juga dua bulan, atau bisa juga lebih, tergantung kekuatan tubuh dan kamauan  yang kuat dari orang ini”, berkata Ki Pandakan menjawab pertanyaan Gajah Pagon. “juga tergantung kekuasaan Gusti yang Maha Agung”, berkata kembali Ki Pandakan dengan suara yang sareh.

Terlihat pula Ki Pandakan mendekati wajah Ki Sukasrana, mengeluarkan sebuah bubu kecil dan membuka penutupnya. Ki Pandakan meneteskan sebuah cairan dari bubunya diatas bibir Ki Sukasrana.

“Madu tawon hitam ini akan membantu memulihkan tenaganya”, berkata Ki Pandakan sambil menutup kembali bubunya. Ternyata khasiat madu tawon hitam itu memang telah langsung bekerja memulihkan tenaga Ki Sukasrana. Terlihat kepala Ki Sukasrana sudah mulai bergerak kekanan dan kekiri perlahan.

“Orang ini sudah hampir siuman”, berkata Gajah Pagon dengan gembiranya sambil memperhatikan Ki Sukasrana.

Terlihat pula alis wajahnya juga mulai ikut bergerak, sepertinya ingin membuka matanya.

“Dimana aku”, berkata Ki Sukasrana ketika membuka matanya, mencoba mengingat kembali peristiwa terakhir yang dapat dingatnya.

“Kamu masih lemah, jangan bergerak dulu”, berkata Ki Pandakan kepada Ki Sukasrana.

“Kamu berada di Padepokan Pandakan”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana yang dilanjutkan dengan bercerita cukup panjang mulai dari kedai persinggahan sampai dirinya dibawa ke Padepokan Pandakan.

“Siapa namamu anak muda”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

“Namaku Gajah Pagon, dan ini ayahku Ki Pandakan”, berkata gajah Pagon kepada Ki Sukasrana.

“Orang-orang memanggilku Ki Sukasrana, terima kasih untuk semua yang kalian lakukan atasku,  menyelamatkan selembar jiwa ini”, berkata Ki Sukasrana.

“Kita sebagai sesama manusia, sudah sewajarnya untuk saling menolong”, berkata Ki Pandakan.

“Tidak semua manusia seperti kalian, buktinya kawanku sendiri bermaksud membunuhku”, berkata Ki Sukasrana dengan wajah penuh dendam kepada Wirondaya yang telah bertindak kotor meracuninya.

“Kawanmu sudah menerima ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana.

Tersentak Ki Sukasrana mendengar ucapan Gajah Pagon, sepertinya ucapan Gajah Pagon juga tertuju kepadanya, karena Ki Sukasrana merasa bukan orang baik-baik selama ini. Banyak kehidupannya bahkan lebih kotor dari apa yang dilakukan oleh Wirondaya.

Terbayang dalam ingatan Ki Sukasrana bagaimana ia membunuh sebuah keluarga yang harus dihabisi karena mengganggu keamanan kerajaan, pernah juga membakar sebuah desa tanpa rasa kasihan sedikit pun. Bahkan dirinya pernah memperkosa seorang wanita  yang suaminya sebelumnya telah dibunuhnya.

“Mungkin aku akan lebih menerima ganjaran atas dosadosaku”, berkata Ki Sukasrana sambil berbaring dilantai pendapa Padepokan Pandakan.

“Gusti yang Maha Agung selalu membuka pintu maafnya untuk setiap hambanya yang bertobat”, berkata Ki Pandakan kepada Ki Sukasrana.

“Dosaku sudah sebesar gunung”, berkata Ki Sukasrana dengan wajah penuh putus asa

“Selama masih ada nafas, selama itu masih ada kesempatan untuk bertobat”, berkata Ki Pandakan denan wajah penuh senyum.

“Mungkin apa yang telah aku lakukan karena tempat berpijakku yang salah, ijinkan aku mulai saat ini bersama kalian, kuyakin bahwa kalian adalah tempat pijakan yang baik untuk memulai sebuah kebajikan”, berkata Ki Sukasrana sambil silih berganti memandang Ki Pandakan dan Gajah Pagon.

“Padepokan kami selalu terbuka kepada siapapun yang ingin belajar hidup dan kehidupan”, berkata Ki Pandakan dengan wajah penuh senyum kepada Ki Sukasrana.

“Terima kasih”, berkata Ki Sukasrana dengan wajah penuh sukacita. ”Wahai Gajah Pagon, dapatkah kamu menerima sebuah permintaan dariku?”, bertanya Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

“Selama aku dapat melakukannya, aku akan menerima permintaan itu”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana dengan wajah yang tulus.

Maka sebelum menyebutkan permintaannya, Ki Sukasrana bercerita tentang tugas yang tengah diembannya yaitu membawa sebuah rontal rahasia kepada Adipati Wiraraja di Sunginep. Ki Sukasrana juga bercerita bahwa dirinya dan Senapati Jaran Goyang sebenarnya sudah tahu bahwa Wirondaya bukanlah keponakan yang disayangi oleh Pamannya Adipati Wiraraja. Hal ini dirahasiakan oleh Senapati Jaran Goyang kepada Raja Gelang-Gelang, bahkan diputar baliknya cerita bahwa Adipati Wiraraja telah berpihak kepada Baginda Raja Jayakatwang melalui utusan resminya kemenakannya sendiri Wirondaya.

“Semula Senapati Jaran Goyang telah memintaku untuk membunuh Wirondaya ditengah perjalanan, sementara itu rontal rahasia ini tidak perlu sampai kepada Adipati Wiraraja”, berkata Ki Sukasrana mengahiri ceritanya.

“Ki Sukasrana belum menyampaikan permintaan apa yang dapat aku bantu”, berkata gajah pagon mengingatkan Ki Sukasrana.

Sambil berbaring Ki Sukasrana tersenyum. “Aku dan Senapati jaran Goyang sudah tahu kesetiaan Adipati Wiraraja yang tidak akan bergeser sedikitpun bagi kecintaannya pada Singasari Raya. Bawalah rontal ini kepadanya, dan katakan semua rahasia Wirondaya dan sikap Raja Jayakatwang yang salah menilai kesetiaan Adipati Wiraraja”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon. “Mungkin dengan cara ini Adipati Wiraraja dapat mengambil langkah yang baik buat Singasari Raya.

“Apa isi dari Rontal rahasia ini”, bertanya Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana.

“Aku sudah membacanya, hanya ucapan terima kasih atas keberpihakan Adipati Wiraraja dan permintaan bantuan untuk sebuah penyerangan Ke Kotaraja Singasari”, berkata Ki Sukasrana. ”Apakah kamu bersedia mengantarkan untukku kepada Adpati Wiraraja?”, bertanya Ki Sukasrana kepada gajah Pagon.

Gajah Pagon tidak langsung menjawab, pikirannya melayang kepada tugasnya sendiri yang harus menyampaikan sebuah rontal rahasia kepada Adipati Bungalan di Balidwipa. Namun Gajah Pagon sepertinya tidak sampai hati untuk menolak permintaan Ki Sukasrana yang masih lemah berbaring di lantai pendapa Padepokan Pandakan itu.

“Aku bersedia melakukannya untukmu”, berkata Gajah Pagon dengan wajah penuh senyum.

“Terima kasih”, berkata Ki Sukasrana dengan wajah berseri kepada Gajah Pagon.

Sementara itu wajah matahari senja diatas Padepokan Pandakan sudah mulai semakin suram mamandang bumi yang sudah mulai kantuk. Bayang-bayang pohon  beringin putih ditengah halaman Padepokan Pandakan juga sudah lama mengilang, hanya batang kecil dan daunnya saja yang sedikit bergoyang ditiup sedikit angin.

“Kalian harus berganti menjaganya”, berkata Ki Pandakan kepada kedua orang cantriknya yang tengah memapah Ki Sukasrana untuk ditempatkan di sebuah bilik yang telah disediakan.

Sementara itu langit malam diatas Padepokan Pandakan sudah mengisi setiap ujung pandang mata. Pohon beringin putih yang berdiri di tengah halaman muka Padepokan sudah nampak semakin tersamar terbias cahaya rembulan sepotong.

“Aku mohon petunjuk Ayahanda, mana yang harus aku dahulukan”, berkata Gajah Pagon kepada Ayahnya Ki Pandakan di pendapa Padepokan Pandakan setelah secara singkat menceritakan tentang tugas yang diembannya langsung dari Sri Baginda Maharaja Singasari.

“Aku pernah melakukan perjalanan ke Balidwipa lewat Madhura, itulah sebaiknya arah yang harus kamu lalui”, berkata Ki Pandakan kepada Gajah Pagon. Terlihat Ki Pandakan menarik nafas panjang, sepertinya akan melanjutkan perkataannya. “Ternyata Raja Gelanggelang sudah lebih cepat bergerak, melaksanakan samabedha-danua”, berkata Ki Pandakan melanjutkan perkataannya.

“Aku baru mengerti, mereka tengah menghimpun sekutu, namun mereka salah langkah memilih Adipati Aria Wiraraja, bukankah begitu ayahanda?”, berkata Gajah Pagon menyampaikan pandangannya.

“Benar anakku, itulah sebabnya arah perjalananmu menemui Adipati Wiraraja terlebih dahulu”, berkata Ki Pandakan membenarkan pandangan anaknya. “Besok pagi aku harus sudah melakukan perjalanan”, berkata Gajah Pagon kepada ayahnya Ki Pandakan.

“Lebih cepat lebih baik”, berkata Ki Pandakan sambil menatap jauh kedepan, sepertinya bathinnya yang sangat peka tengah menangkap sebuah pertanda yang sangat halus.

“Sepertinya ayahanda ingin mengatakan sesuatu?”, berkata Gajah Pagon yang melihat raut wajah ayahnya yang tiba-tiba saja berubah, seperti melihat sebuah hal yang sangat begitu mengerikan.

“Aku melihat sebuah peperangan, darah dan jerit para prajurit yang menyayat hati. Cepatlah anakku, mungkin langkahmu dapat menghindari perang besar itu”, berkata Ki Pandakan tanpa berpaling, masih memandang jauh kedepan.

Apa yang dilihat oleh Ki Pandakan yang mempunyai kehalusan panggraitu itu sebenarnya sebuah api yang telah berkobar dari sebuah percikan api kecil. Dan api kecil itu adalah bermula dari berita yang sudah sampai lewat para telik sandi kerajaan Gelang-gelang tentang kematian Wirondaya di perjalanan menuju Bandar Cangu.

“Kita harus bergerak cepat, hamba khawatir rontal rahasia itu sudah jatuh ditangan musuh”, berkata Senapati Jaran Guyang kepada Raja Jayakatwang di Puri peristirahatan pribadinya. Saat itu bersama Senapati Jaran Guyang hadir pula Patih Kebo Mundarang.

“Benar, saatnya melakukan saran sekutu kita Adipati Aria Wiraraja. Inilah saatnya berburu di tegal lama, saat dimana tidak ada banteng, tidak ada ular. Cuma ada harimau, namun harimau ompong”, berkata Raja Jayakatwang mengulang kembali pesan palsu Wirondaya yang mengatasnamakan utusan resmi Adipati Aria Wiraraja, pamannya.

“Sepuluh ribu prajurit sudah siap sedia, kapanpun paduka perintahkan”, berkata Patih Kebo Mundarang penuh semangat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Patih Kebo Mundarang, maka pada keesokan harinya terlihat sebuah pasukan besar telah dihimpun di alun-alun Kotaraja Gelang-gelang. Sebuah pasukan yang dapat mendebarkan hati siapapun yang melihatnya.

Setelah melaksanakan upacara resmi layaknya para prajurit yang akan pergi kemedan laga, sepuluh ribu prajurit besar itu telah bergerak perlahan bagaikan barisan banteng liar di padang sahara hijau bersama suara tetabuhan, gong dan gemuruh tambur. Pekik dan sorak penuh semangat menambah suasana menjadi begitu gempita, begitu mendebarkan hati musuh manapun.

“Sebuah gelar pasukan terbesar yang pernah kulihat”, berkata salah seorang kepada kawannya di pinggir jalan Kota Raja yang melihat iring-iringan gelombang prajurit Gelang-gelang berjalan menuju gerbang kota.

“Aku akan terus mengikuti gerak mereka, sementara kamu harus secepatnya mengabarkan berita ini ke Singasari”, berkata kawannya itu yang ternyata meraka adalah dua orang petugas sandi yang selama ini ditempatkan di Tanah Gelang-gelang.

Demikianlah, petugas telik sandi itu masih terus mengikuti kemana pun iring-iringan itu berjalan, sementara kawannya sudah pergi, mungkin telah jauh meninggalkan Tanah Gelang-gelang untuk secepatnya menyampaikan berita besar ini. Sementara itu jauh dari Tanah Gelang-gelang, terlihat sebuah jukung yang dikayuh oleh seorang pemuda tengah mendekati sebuah muara besar, muara sungai porong. Terlihat pemuda itu mengayuh dayungnya, mengarahkan jukungnya ke pinggir sungai dan merapat disebuah dermaga kayu tidak jauh dari muara Sungai Porong.

Sambil mengikat tali jukungnya di sebuah tonggak kayu, pemuda itu memandang jauh kedepan, memandang ke sebuah kumpulan rumah-rumah yang begitu sederhana beratap daun ilalang, satu dua rumah terbuat dari kayu hitam, namun sebagian besar hanya berdinding pagar bambu sederhana, sebuah gambaran perkampungan nelayan pada umumnya saat itu.

“Maaf, dapatkah ditunjukkan kepadaku dimanakah rumah Ki Barep?”, bertanya pemuda itu yang ternyata adalah Gajah Pagon kepada seorang lelaki yang tengah menjahit jalanya di depan rumahnya.

“Ki Barep adalah uwakku, aku dapat mengantarmu kerumahnya”, berkata lelaki itu sambil berdiri penuh senyum ramah.

“Terima kasih”, berkata Gajah Pagon merasa gembira ada orang yang mengenal Ki Barep dan bermaksud mengantarnya.

Maka terlihat Gajah Pagon dan lelaki itu berjalan masuk lebih dalam lagi di perkampungan nelayan itu dan akhirnya berhenti di sebuah rumah panggung berdinding kayu hitam. Nampak seseorang yang tengah duduk di pendapa terlihat berdiri dan langsung berjalan menuruni anak tangga pendapa menyambut kedatangan Gajah Pagon dan lelaki yang mengantarnya.

“Anak muda ini ingin bertemu kepadamu Ki Barep”, berkata lelaki itu kepada seseorang yang terlihat sudah cukup berumur, terlihat dari warna rambut kepalanya yang sudah putih seluruhnya.

“Namaku Gajah Pagon, aku putra Ki Pandakan”, berkata Gajah Pagon memperkenalkan dirinya kepada orang tua itu. Terlihat wajah orang tua yang bernama Ki Barep itu tersenyum cerah.

“Ternyata kamu putra Ki Pandakan”, berkata Ki Barep sambil memandang Gajah Pagon dari bawah sampai keatas. “Pantas wajahmu seperti aku mengenalnya”, berkata kembali Ki Barep. ”Mari kita naik keatas”, berkata Ki Barep menawarkan Gajah Pagon naik keatas pendapa rumahnya. Sementara itu lelaki yang mengantar Gajah Pagon telah berpamit diri. ”Terima kasih telah mengantar tamuku”, berkata Ki Barep kepada lelaki itu dengan senyum ramah.

Setelah berada diatas pendapa rumah panggung itu, Gajah Pagon menceritakan keperluannya yang membutuhkan seseorang yang dapat mengantarnya ke Madhura dan Balidwipa.

“Sekarang aku dapat mengerti mengapa ayahmu memintamu datang menemuiku, kami adalah dua saudara seperguruan dengan ayahmu, kakekmu adalah guruku”, berkata Ki Barep Kepada Gajah Pagon.

“Dan sekarang dirinya menginginkan aku untuk mengawanimu sebagaimana dulu kami telah bersama berkelana ke Madhura dan Balidwipa”, berkata Ki Barep sambil tertawa panjang. ”Aku masih kuat mengantarmu wahai putra saudaraku”, berkata Ki Barep dengan wajah penuh senyum gembira.

“Terima kasih”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Barep dengan wajah gembira mengetahui bahwa Ki Barep adalah saudara seperguruan dengan ayahnya, murid kakeknya. Juga kesediaannya mengantar perjalanannya.

“Menjelang senja kita sudah dapat berangkat, hari ini angin dan ombak cukup bersahabat untuk mengantar perjalanan kita”, berkata Ki Barep kepada Gajah Pagon.

Demikianlah, menjelang senja akhirnya terlihat sebuah perahu berlayar tunggal telah mulai bergeser menjauhi pantai muara Sungai Porong. Diatasnya terlihat dua orang lelaki yang tidak lain adalah Gajah Pagon bersama Ki Barep yang akan berlayar menuju Pulau Madhura.

Ki Barep ternyata seorang pelaut yang hebat, sepertinya sudah mengenal betul kemana mengarahkan layar ditengah kegelapan malam hanya dengan membaca bintang dilangit yang bertebaran berkelip memayungi perjalanan mereka.

Ditengah laut itu kadang mereka bertemu dengan beberapa nelayan yang tengah mencari ikan, dan sapaanpun menjadi tradisi yang selalu mereka suarakan. Ternyata kesunyian laut yang gelap telah menyatukan hati mereka, itulah persaudaraan para nelayan ditengah lautan yang selalu siap sedia saling membantu dan menolong, itulah ikatan persaudaraan yang abadi para pelaut sejati.

Akhirnya menjelang waktu dipenghujung malam, saat bintang kejora bersinar terang mereka telah memasuki perairan Madhura.

“Orang Madhura adalah petani yang ulet”, berkata Ki Barep ketika mereka telah mendekati sebuah daratan yang terlihat membujur hitam dipenghujung malam yang masih gelap itu.

Terlihat perahu mereka telah merapat di bibir sebuah pantai, tidak jauh dari mereka terlihat sebuah perkampungan nelayan.

Ki Barep sepertinya begitu hapal dengan setiap jengkal jalan yang dilaluinya, juga ketika mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat, memang ditemui bekas jalan setapak bekas dilalui oleh banyak orang atau para pemburu. Tapi jalan setapak itu sering banyak bercabang, dan Ki Barep sepertinya tidak pernah ragu dan begitu yakin tidak kehilangan arah, tetap tenang melangkah dengan pasti diikuti oleh Gajah Pagon yang percaya bahwa Ki Barep sebagai kawan perjalanan yang menyenangkan.

“Ternyata ayahku sengaja memilih Ki Barep mengawani perjalananku”, berkata Gajah Pagon kepada dirinya sendiri melihat Ki Barep sepertinya begitu hapal jalan untuk menuju ke Tanah Perdikan Sunginep.

“Setelah menembus hutan ini, kita akan menemui hamparan sawah yang cukup luas, itulah Tanah Perdikan Sunginep yang subur”, berkata Ki Barep memberikan ancar-ancar jalan yang harus mereka tempuh.

Akhirnya mereka memang telah menembus hutan itu, kini dihadapan mereka adalah hamparan tanah sawah yang cukup luas. Terlihat Ki Barep berjalan dimuka diikuti oleh Gajah Pagon menyusuri beberapa pematang sawah.

Hari pada waktu itu sudah menjelang sore, matahari sudah bergulir berbaring di barat bumi  dengan cahayanya yang kuning teduh.

“Tanah Perdikan Sunginep ini sudah begitu ramai”, berkata Ki Barep ketika tengah berjalan di sebuah jalan Padukuhan yang dikiri kanannya banyak dipenuhi rumahrumah penduduk, terlihat beberapa pemuda tengah berkumpul dan bercanda di sebuah gardu ronda. “Kapan terakhir kali Ki Barep mengunjungi Tanah Perdikan ini?”, bertanya Gajah Pagon kepada Ki Barep.

“Sekitar lima tahun yang lalu”, berkata Ki Barep sambil terus berjalan.

Akhirnya langkah Ki Barep berhenti disebuah rumah panggung yang cukup besar diantara beberapa rumah yang ada. Didepan halaman berdiri gardu ronda dan bangunan Banjar Desa.

“Kita sudah sampai dikediaman rumah Adipati Aria Wiraraja”, berkata Ki Barep kepada Gajah pagon dengan penuh senyum.

Terlihat salah seorang prajurit pengawal Tanah Perdikan yang berada di sebuah gardu ronda yang ada di depan halaman rumah panggung besar itu menghampiri Ki Barep dan Gajah Pagon.

“Selamat datang Ki Barep, masih ingat wajahku?”, berkata prajurit pengawal Tanah Perdikan itu sepertinya sudah sangat mengenal Ki Barep.

“Aku tidak akan melupakanmu Sukra”, berkata Ki Barep sambil menjabat tangan prajurit pengawal Tanah Perdikan itu yang dipanggilnya sebagai Sukra.

“Langsung saja naik ke panggung, aku akan kedalam memberitahukan Tuan Adipati tentang kalian”, berkata prajurit pengawal itu yang mendahului mereka masuk lewat pintu butulan.

“Mari kita naik ke panggung”, berkata Ki Barep mengajak Gajah Pagon.

Diam-diam Gajah Pagon mengucapkan terima kasih kepada ayahnya, Ki Pandakan dengan membawa Ki Barep bersamanya. Ternyata Ki Barep sudah begitu dikenal di Tanah Perdikan Sunginep. Ketika Gajah Pagon dan Ki Barep melangkah menaiki tangga pendapa rumah panggung yang besar itu, terlihat pintu utama terbuka lebar. Seorang yang sudah cukup berumur, lebih tua sedikit dari Ki Barep muncul dari pintu itu.

“Selamat datang sahabatku”, berkata orang itu sambil memeluk hangat Ki Barep selayaknya dua orang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa.

“Tadi Sukra mengatakan kamu datang berdua, kukira pasti bersama Ki Pandakan”, berkata orang tua itu sambil memandang Gajah Pagon.

“Aku datang bersama putranya”, berkata Ki Barep penuh senyum kepada orang tua itu.

“Namaku Gajah Pagon”, berkata Gajah Pagon memperkenalkan dirinya kepada orang tua itu sambil menjabat uluran tangannya.

“Selamat datang wahai putra sahabatku, ternyata Ki Pandakan sudah punya putra segagah ini”, berkata  orang tua itu sambil memandang Gajah Pagon penuh gembira.

Ternyata orang tua itu adalah Adipati Aria Wiraraja, dengan penuh keramahan mengajak Gajah Pagon dan  Ki Barep duduk bersama di pendapa rumahnya.

Setelah bercerita tentang keselamatan masing-masing selama jangka waktu perpisahan diantara mereka, Ki Barep memulai pembicaraannya dengan beberapa pekembangan yang dilihatnya di Tanah Perdikan Sunginep.

“Aku melihat bahwa penghuni Tanah Perdikan ini terus bertambah, sudah semakin ramai”, berkata Ki Barep membuka pembicaraannya. “Sebentar lagi kami akan panen raya”, berkata Adipati Aria Wiraraja dengan penuh gembira menanggapi perkataan Ki Barep.

Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Ki Barep membuka diri bahwa tujuannya datang ke Tanah Perdikan Sunginep itu adalah untuk mengantar Gajah Pagon untuk sebuah urusan.

“Ada urusan apa gerangan?”, berkata Adipati Aria Wiraraja sambil memandang kepada gajah Pagon.

Maka akhirnya Gajah Pagon menyampaikan urusannya, namun menutup jati dirinya sebagai prajurit telik sandi yang tengah melaksanakan tugasnya, Gajah Pagon hanya bercerita tentang Ki Sukasrana yang saat ini masih dirawat di Padepokan Pandakan dan telah memintanya untuk menyampaikan sebuah rontal rahasia, juga tentang rahasia Wirondaya yang telah memutar balikkan keadaan sehingga Raja Jayakatwang salah tafsir menganggap Adipati Aria Wiraraja telah berkeinginan bersekutu dengan Raja Gelang-gelang itu.

“Pembawa rontal ini menginginkan agar tuanku Adipati dapat mengambil langkah-langkah penting, dapat membaca apa yang saat ini telah dan akan terjadi di  bumi Singasari Raya ini”, berkata Gajah Pagon sambil menyerahkan sebuah rontal titipan Ki Sukasrana itu.

Terlihat Adipati Aria Wiraraja membaca rontal itu, menggulung kembali rontal itu setelah membaca semua isi dari rontal itu. Mata Adipati Aria Wiraraja terlihat memandang jauh kedepan sambil menarik nafas panjang.

“Wirondaya telah mengelabui Raja Gelang-gelang itu dengan mengatas namakan utusan dari Tanah Perdikan Sunginep. Wirondaya juga telah memberi sayap kepada macan keturunan Kediri itu untuk membakar sisa dendamnya yang tidak pernah padam”, berkata Adipati Aria Wiraraja tanpa menoleh sedikitpun, matanya masih memandang jauh kedepan.

“Ribuan prajurit Singasari kudengar saat ini tengah menghadapi para perusuh asing di Selat malaka”, berkata Ki Barep mencoba ikut membaca suasana yang terjadi di Tanah Singasari.

“Raja keturunan Kediri itu telah melihat sarang harimau telah ditinggalkan penghuninya”, berkata Adipati Aria Wiraraja dengan suara yang datar. ”Terima kasih telah membawa rontal ini, setidaknya aku akan mengirim sebuah utusan resmi kepada Baginda Maharaja Singasari bahwa ada seekor macan muda tengah memulai perburuannya”, berkata Adipati Aria Wiraraja kepada Gajah Pagon dan Ki Barep penuh rasa terima kasih.

“Mari kita menikmati hidangan pertemuan ini”, berkata Adipati Aria Wiraraja ketika beberapa pelayannya telah datang membawa beberapa hidangan.

Demikianlah mereka menikmati hidangan itu dengan gembira sambil berbicara beberapa hal yang berkaitannya dengan suasana yang tengah dan akan terjadi di Tanah Singasari Raya.

“Kekuasan, peperangan dan dendam, selalu menjadi kancah yang tidak pernah putus di Tanah Singasari raya ini”, berkata Adipati Aria Wiraraja.

“Perdamaian abadi memang tidak akan ada, yang ada masa perdamaian yang singkat yang akan berlalu, tapi kita harus meyakini bahwa perdamaian akan datang kembali”, berkata Ki Barep ikut memberikan pandangan dan harapannya. Akhirnya ketika matahari terlihat telah mulai bergeser dari puncaknya, Ki Barep dan Gajah Pagon bermaksud untuk pamit diri.

“Kami mohon pamit diri, pasti banyak kepentingan yang mungkin tertunda dengan kedatangan kami ini”, berkata Ki Barep kepada Adipati Aria Wiraraja.

“Aku akan menggeser kesibukan dan kepentingan apapun untuk berbincang dengan seorang sahabat seperti kalian”, berkata Adipati Aria Wiraraja dengan penuh senyum tergambar di wajahnya.

Demikianlah, Ki barep dan Gajah Pagon terlihat diantar oleh Adipati Aria Wiraraja sampai ke pintu gerbang rumahnya. Bersama tatapan mata Adipati Aria Wiraraja dan beberapa prajurit pengawal Tanah Perdikan Sunginep, Gajah Pagon dan Ki Barep melangkah semakin menjauh yang akhirnya menghilang tidak terlihat lagi disebuah persimpangan jalan.

“Kita bermalam di rumah sahabatku di perkampungan nelayan”, berkta Ki Barep ketika mereka memasuki sebuah hutan.

“Satu urusanku telah selesai, tinggal satu urusan lagi menuju Balidwipa”, berkata Gajah Pagon.

“Dan aku menikmati suasana perjalanan penuh  kenangan bersamamu wahai putra saudaraku”, berkata Ki Barep sambil berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan menuju pesisir pantai perkampungan nelayan.

Sementara itu, diwaktu yang sama jauh dari Tanah Madhura terlihat tiga ekor kuda berlari begitu cepatnya dijalan tanah menuju Bandar Cangu. Ketiga penunggang kuda itu sepertinya tidak memperlambat kudanya ketika didepan mereka berjalan lambat beberapa pedati milik para pedagang.

Terlihat debu mengepul keudara dibelang kaki-kaki kuda mereka, sepertinya mereka tengah mengejar waktu. Angin yang berhembus di saat menjelang sore itu terlihat bertiup kencang mengibarkan rambut dan pakaian ketiga penunggang kuda itu. Wajah mereka terlihat begitu tegang, hari yang terlihat semakin buram membuat mereka terus menghentakkan perut kuda mereka agar terus berpacu dengan sang waktu.

Akhirnya ketika tiang-tiang layar mulai terlihat dikejauhan, barulah mereka memperlambat laju kuda mereka.

“Kita sudah sampai di Bandar Cangu”, berkata seorang lelaki yang terlihat sudah cukup berumur kepada kedua orang teman perjalanannya sambil memperlambat lari kudanya.

Kedua orang kawannya itu ikut memperlambat lari kudanya, sepertinya berusaha menyamakan kecepatan seseorang lelaki yang nampaknya sangat disegani oleh keduanya.

Semakin mendekati bandar Cangu, laju kuda ketiga penunggang itu nampaknya semakin diperlambat dan akhirnya hanya berjalan setapak demi setapak membiarkan kuda mereka menyesuaikan nafasnya berjalan perlahan menuju Bandar Cangu.

Ketika langkah kuda berjalan perlahan, barulah dapat dikenali wajah mereka yang ternyata salah seorang diantara mereka adalah seorang yang tidak asing lagi, dialah Kuda Cemani, seorang pejabat istana yang sangat dipercayai oleh Baginda Maharaja Singasari. Sementara dua orang yang mengiringinya adalah dua orang prajurit biasa yang ikut mengawalnya. Matahari sore dibelakang mereka telah semakin jatuh di barat bumi, tapi sinar kuningnya yang teduh masih mewarnai wajah Bandar Cangu yang masih ramai dan memang tidak pernah sepi.

Terlihat Kuda Cemani bersama dua orang prajurit pengawalnya terus melangkah membawa kudanya menyusuri tepi sungai Brantas, melewati dan membelakangi hiruk pikuk para kuli pengangkut barang yang tengah mengisi barang muatan sebuah kapal kayu besar.

Mereka bertiga juga melewati Benteng Cangu yang besar, hanya melirik sebentar melihat kesibukan beberapa prajurit yang dapat terlihat di balik dinding pagar batang kayu yang cukup tinggi.

Dan akhirnya, Kuda Cemani dan kedua prajurit pengawalnya ituterlihat mengarahkan langkah kudanya menuju sebuah barak prajurit yang lebih besar dari yang ada di benteng Cangu. Sebuah rumah panggung yang sangat megah berdiri membelakangi barak-barak itu. Mata ketiga penunggang kuda itu tertuju kerumah besar dan megah itu, yang tidak lain adalah rumah Balai Tamu dimana Raden Wijaya seorang Senapati utama Singasari tinggal dan menjadi penghuninya.

“Seharian ini aku tidak mendengar gemuruh angin badai, ternyata gemuruh itu telah dibawa oleh tangan kanan kepercayaan Sri Baginda Maharaja Singasari, berada dihadapanku”, berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan Kuda Cemani di pendapa Balai Tamu.

“Gemuruh angin badai akan berhenti sejenak manakala harus bertatap muka dengan seorang Senapati yang rendah hati”, berkata Kuda Cemani menyambut perkataan Raden Wijaya. “Gemuruh angin badai hanya ditakuti ketika berlayar dilaut lepas, sementara saat ini hanya ada minuman wedang sare dan hidangan pengganjal perut yang sudah bergemuruh”, berkata Ranggalahe yang disambut tawa berkepanjangan ketiga orang yang berada di pendapa Balai tamu itu.

Sementara itu langit malam diatas balai Tamu sudah mulai merata menyebar kegelapannya. Warna air Sungai Brantas sudah tak jelas tepinya, terlihat hanya sebagai warna hitam rata menyatu dengan daratan yang juga sudah tersamar bersama pekat gerumbul semak dan ilalang yang tumbuh subur disepanjang tepian.

“Pagi ini seorang petugas telik sandiku dari Tanah Gelang-gelang datang membawa sebuah berita besar, sepuluh ribu prajurit kerjaan Gelang-gelang telah keluar dari Kotarajanya”, berkata Kuda Cemani menyampaikan berita besar itu kepada Raden Wijaya dan Ranggalawe.

“Apa tanggapan Sri baginda Maharaja untuk berita besar ini?”, bertanya Raden Wijaya.

“Sri Baginda Maharaja begitu murka, tidak menyangka Jayakatwang yang sudah menjadi saudaranya, bahkan besannya itu telah mencoba memeranginya”, berkata Kuda Cemani menyampaikan kemurkaan Maharaja Singasari. “Untuk inilah aku diperintahkan datang menemuimu, Sri baginda Maharaja memerintahkan kepadamu untuk menghancurkan pasukan itu sampai habis tidak tersisa”, berkata Kuda Cemani melanjutkan perkataannya.

“Apakah ada berita terakhir yang Paman dapatkan dari para petugas telik sandi?”, bertanya kembali Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Berdasarkan pengamatan yang mereka lakukan sampai saat ini, pasukan besar itu akan berhenti di Gunung Rejo”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Mereka berada disebuah pusat pertahanan yang kuat, disitulah aku akan menempatkan pasukanku seandainya aku ini seorang musuh, menyiapkan serangan ke Kotaraja Singasari dari arah utara, terlindungi punggung gunung”, berkata Raden Wijaya membenarkan pengamatan para petugas delik sandi.

“Akhirnya musuh yang kita pancing telah menampakkan dirinya, sebuah pancingan dengan harga yang cukup mahal, tiga ribu prajurit kita berada diluar arena perburuan”, berkata Kuda Cemani mengingatkan kekuatan prajurit Singasari yang ada pada saat itu.

“Jumlah bukanlah jaminan, yang kutahu seorang prajurit kita bernilai sepuluh orang prajurit yang berpengalaman dimanapun”, berkata Raden Wijaya merasa yakin atas kekuatan prajuritnya.

“Sri baginda Maharaja juga memerintahkan kepada menantunya, Pangeran Ardharaja membawa seribu pasukan yang ada di Kotaraja”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya dan Ranggalawe.

“Pangeran Ardharaja?”, berkata Raden Wijaya dan Ranggalawe bersamaan.

“Baginda Maharaja telah begitu murka, Pangeran Ardharaja adalah korbannya”, berkata Kuda Cemani  yang ikut merasa prihatin dengan membawa Pangran Ardharaja dalam perang saudara itu.

“Aku tidak meragukan kemampuannya, yang kuragukan adalah kesetiaannya”, berkata Raden Wijaya.

“Sebagai seorang Senapati, kehadiran Pangeran Ardharaja mungkin menjadi beban tambahan”, berkata Kuda Cemani.

“Setidaknya aku akan menempatkannya dimana mudah untuk dapat mengawasinya”, berkata Raden Wijaya.

“Pangeran Ardharaja dan pasukannya akan langsung menuju Kademangan Tasikmadu”, berkata Kuda Cemani.

“Kapan diperhitungkan pasukan musuh tiba di Gunung Rejo?”, bertanya Raden Wijaya.

“Menurut perhitungan kami, mereka akan tiba besok pagi ini”, berkata Kuda Cemani.

“Besok disaat pagi sudah terang tanah, aku akan membawa seluruh kekuatan di Bandar Cangu ini”, berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Selama dalam perjalanan dan menunggu di Gunung Rejo, lumbung mereka sudah terus berkurang”, berkata Kuda Cemani. “Sementara lumbung padi Kademangan Tasikmadu masih dapat bertahan untuk dua pekan pertempuran”, berkata kembali Kuda Cemani menambahkan.

“Terima kasih, perhitungan Paman Kuda Cemani untuk masalah lumbung makanan dapat menjadi senjata andalan untuk memukul pasukan musuh disana”, berkata Raden Wijaya dengan wajah terang, diam-diam mengagumi pengamatan dan perhitungan Kuda Cemani.

“Disaat mereka telah tiba di Gunung Reja, beberapa petugas sandi akan melakukan pengamatan, sebanyak apa persedian mereka”, berkata Kuda Cemani.

Sementara itu langit hitam diatas rumah Balai Tamu sudah semakin melenggut memayungi bumi. Kerlapkerlip jutaan bintang dilangit dan sinar bulan buram tidak mampu memberi cahaya apapun, tepian Sungai Brantas sudah semakin tak terlihat rata dengan semak dan ilalang. Pemandangan di depan halaman rumah Balai Tamu sudah rata dengan kegelapan malam.

“Hari sudah larut malam, silahkan Paman Kuda Cemani beristirahat”, berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Terima kasih, usiaku yang sudah semakin tua ini memang gampang lelah dan mengantuk”, berkata Kuda Cemani sambil tersenyum dan berdiri.

“Kita harus memanggil para perwira malam ini juga”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya.

Demikianlah, malam itu Raden Wijaya dan Ranggalawe telah memanggil semua perwira tingginya. Malam itu adalah malam dimana kepemimpinan Raden Wijaya teruji, sebagai seorang Senapati.

Pagi di saat tanah telah terang disinari dan dihangati oleh sang dewa kehidupan matahari pagi, terlihat sebuah iring-iringan panjang prajurit Singasari berduyun duyun keluar dari Bandar Cangu menuju utara Singasari di Kedemangan Tasikmadu.

Bunyi genderang dan bende bergemuruh bersama langkah dan suara penuh semangat mengantar keberangkatan para prajurit pejuang Singasari yang diwarnai kibaran rontek dan umbul-umbul segala tanda kebesaran setiap kesatuan.

Diawali pasukan pemanah dengan busurnya, diikuti pasukan bertombak yang terlihat kuat menggenggam tombak panjangnya dengan mata lurus kedepan seperti siap menghantam musuh didepan. Sementara itu pasukan berpedang terlihat tidak kalah gagahnya bersama sebuah pedang menggelantung dibelakang pundak mereka yang ikut bergoyang ketika langkah kaki mereka yang tegap maju melangkah.

Dibelakang mereka, mengiringi pasukan yang berjalan kaki adalah sepasukan prajurit berkuda. Terlihat mereka begitu gagahnya di atas punggung kuda masing-masing dengan berbagai senjata.

“Selamat jalan wahai kesumaku”, berkata seorang gadis jelita berdiri di pintu pagar rumahnya ketika iring-iringan prajurit segelar sepapan itu melewati padukuhannya.

Ternyata gadis itu memawakili semua gadis yang berharap kekasih pujaannya dapat kembali, berkumpul dan melanjutkan janji cinta yang telah terpahat dihati masing-masing.

“Jangan menangis Nyi, kita berdoa saja semoga Mukti kembali selamat”, berkata seorang lelaki tua menghibur istrinya yang menangis menatap iring-iringan prajurit yang semakin menjauh hilang diujung jalan yang menurun.

Iring-iringan prajurit Singasari itu sudah semakin menjauh menuju arah utara Singasari. Mereka akan menghadang musuh di Padang Kalimayit, sebuah tempat yang cukup luas terhampar ilalang yang memisahkan dua kubu yang akan siap berseteru, satu kubu di Gunung Rejo, kubu lain di Kademangan Tasikmadu.

“Pasukan prajurit yang dibawa oleh Pangeran Ardharaja telah tiba tadi malam di Kademangan Tasikmadu”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya yang berkuda disampingnya.

“Kita akan sampai disaat menjelang matahari naik dipuncaknya”, berkata Raden Wijaya dengan mata masih memandang menyongsong kedepan, sepertinya bicara untuk dirinya sendiri. Terlihat Kuda Cemani hanya menoleh sebentar membaca wajah Raden Wijaya. Terlihat Kuda Cemani menarik nafas panjang memaklumi ketegangan hati Raden Wijaya, sahabat mudanya itu yang baru pertama kali dipercayakan memimpin pasukannya sendiri.

“Hari ini Raden Wijaya mulai diuji, sebagaimana seekor harimau muda berburu di tegal perburuannya, inilah warna awal kehidupannya yang akan terpahat di setiap langkah dan keputusan takdirnya”, berkata Kuda Cemani dalam hati sambil terus mengiringi langkah kaki kuda Raden Wijaya yang berjalan beriring bersamanya.

Terlihat diatas mereka langit dipenuhi awan hitam kelabu menutup cahaya matahari. Tapi angin berhembus cukup keras seperti mencoba mengusir awan hujan untuk pergi menjauh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar