Kabut Di Bumi Singasari Jilid 09

Sementara itu Raden Wijaya dan Rangga Lawe sudah memasuki Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. Terlihat Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal dengan penuh suka cita menyambut kedatangan mereka.

Setelah saling menyapa dan menyampaikan berita keselamatan masing-masing, Raden Wijaya dan Rangga Lawe dipersilahkan untuk bersih-bersih diri dan beristirahat.

“Aku akan mengutus seorang prajurit untuk mengabarkan kedatangan kalian kepada Sri Baginda Maharaja”, berkata Ratu Anggabhaya penuh senyum ceria kepada Raden Wijaya dan Rangga Lawe yang sedang melangkahkan kaki untuk membersihkan diri setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang.

Tidak terasa matahari senja diatas Pasanggrahan Ratu Anggabhaya terlihat perlahan surut rebah berbaring diujung barat bumi. Beberapa pelayan terlihat sudah menyalakan empat buah pelita di pendapa utama. Wajah pucat hari di akhir senja menjelang malam itu sepertinya begitu teduh mewadahi suasana taman yang segar, hijau dan asri di sekeliling taman pendapa utama. Meneduhi segenap hati siapapun yang berada diatas pendapa utama itu.

Ratu Anggabhaya, Pangeran Lembu Tal, Raden Wijaya dan Rangga Lawe memang terlihat sudah berada diatas pendapa utama menikmati beberapa hidangan. Pembicaraan mereka masih hanya berkisar kepada halhal yang tidak begitu penting. Nampaknya Raden Wijaya tidak langsung bercerita kepentingannya datang ke istana, sementara itu Ratu Anggabhaya juga tidak merasa perlu mendesak secepatnya untuk bertanya kepentingan mereka.

Pembicaraan mereka terhenti manakala datang seorang prajurit utusan langsung Sri Baginda Maharaja yang menyampaikan berita bahwa Sri Baginda Maharaja telah berkenan untuk datang malam ini berkunjung ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. “Terima kasih, sampaikan salam kesempurnaan suka cita kami atas perkenan Sri Baginda Maharaja mengunjungi Pasanggrahan kami”, berkata Ratu Anggabhaya kepada utusan itu yang langsung berpamit diri.

Akhirnya sesuai dengan yang disampaikan lewat utusannya, malam itu Sri Baginda Maharaja memang berkenan datang ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya, kedatangannya kali ini tanpa pengawalan prajurit khusus sebagaimana biasanya, bersama Sri Baginda Maharaja terlihat dua orang pejabat kepercayaannya yang belum lama dilantik, yang tidak lain adalah Maha Patih Kebo Arema bersama Tumenggung Mahesa Pukat.

Semua yang ada di pendapa utama terlihat berdiri menyambut kedatangan Sri Baginda Maharaja. Baru ketika Sri baginda Maharaja yang diiringi Maha Patih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat duduk diatas Pendapa utama, semua yang hadir ikut duduk kembali.

“Sebuah kegembiraan Sri Baginda Maharaja telah meringankan kaki datang ketempat kami”, berkata Ratu Anggabhaya membuka pembicaraan awal.

“Hari ini aku datang sebagai kemenakan mengunjungi pamanda tercinta”, berkata Sri Baginda Maharaja dengan wajah penuh senyum sambil menyapu pandangnya. “Selamat datang wahai saudaraku Raden Wijaya”, berkata kembali Sri baginda Maharaja ketika tatapan matanya bertemu kepada Raden Wijaya yang duduk tepat berseberangan dihadapannya.

“Selamat bertemu kembali wahai saudaraku, Maharajaku terkasih”, berkata Raden Wijaya menyambut salam dari Sri Baginda Maharaja.

“Aku yakin bahwa kedatanganmu ke Kotaraja ini pasti berkenan dengan hal yang sangat penting sekali, itulah sebabnya malam ini sengaja aku datang bersama Mahapatih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya.

Maka dengan singkat Raden Wijaya menyampaikan peristiwa beberapa perampokan dan peperangan di Selat Malaka yang dialami oleh para pelaut Singasari. “Aku yakin bahwa tuanku Sri Baginda sudah menerima berita ini dari para petugas sandi”, berkata Raden Wijaya kepada Sri baginda Maharaja.

“Benar apa yang kamu sampaikan telah kuterima juga dari para petugas delik sandi. Sementara yang ku ingin dengar darimu adalah bagaimana  penggambaranmu atas hal yang tengah terjadi itu”, berkata Sri Baginda Maharaja dengan wajah penuh senyum, sepertinya tidak begitu berpengaruh atas berita kejadian di Selat Malaka. Atau memang Sri baginda Maharaja dapat menyimpan dan mengendalikan perasaannya ?

“Kedatanganku ke Kotaraja hanya ingin menjernihkan arus berita yang mungkin saja berasal dari jejak langkah kaki yang sudah tidak bersih lagi”, berkata Raden Wijaya sambil memandang wajah Sri Baginda Maharaja, berharap dapat menangkap apa yang dikatakannya.  “Dari setiap peristiwa demi peristiwa sebelum peperangan besar terjadi di Selat Malaka, aku menarik sebuah penggambaran bahwa ada pihak tertentu yang tengah bermaksud memancing di air keruh”, berkata Raden Wijaya menyampaikan gambarannya mengenai peristiwa di Selat Malaka.

“Ternyata penggambaranmu mengenai hal ini tidak bergeser jauh dengan apa yang ada di benakku, ternyata kita punya penggambaran yang sama”, berkata Sri Baginda Maharaja dengan wajah masih berseri-seri.

“Ternyata telinga tuaku tidak banyak mendengar apa yang terjadi diluar batas Kotaraja”, berkata Ratu Anggabhaya ikut merasa tertarik dengan perbincangan seputar selat Malaka.”Yang menjadi masalah saat ini adalah siapa gerangan yang tengah bermain di atas kubangan air keruh itu”, berkata kembali Ratu Anggabhaya.

“Yang menari-nari diatas kubangan air keruh adalah mereka yang tertawa melihat banyak ikan menjadi mabok kepayang”, berkata Mahapatih Kebo Arema ikut memberikan tanggapannya.

“Perlu sebuah pengorbanan untuk mengetahui siapa gerangan yang akan menarik keuntungannya”, berkata Ratu Anggabhaya ikut memberikan tanggapan. “Namun pengorbanan itu jangan terlalu besar, hanya sekedar umpan kecil”, berkata kembali Ratu Anggabhaya.

“Aku merasa bahagia berada di bawah atap pendapa ini yang dipenuhi cinta dan kesetiaan. Jalan pikiran kita ternyata selalu berada di jalan yang sama”, berkata Sri Baginda Maharaja sambil menyapu pandangnya ke semua yang hadir di pendapa utama itu.”Dan aku percaya bahwa malam ini kita telah siap mendengar apa yang ada dalam pikiran Paman Mahapatih”, berkata kembali Sri Baginda Maharaja sambil tersenyum melirik kearah Kebo Arema.

Seketika itu juga semua pandangan tertuju kepada Kebo Arema.

Melihat semua mata tertuju kepadanya, Kebo Arema hanya tersenyum sedikit, mengelus juntai janggutnya yang sudah berwarna. “Bila ini sudah menjadi titah Sri Baginda Maharaja, hamba yang bodoh ini bersedia menyampaikan beberapa pemikiran, mudah-mudahan pemikiran hamba ini dapat berkenan”, berkata Kebo Arema mengawali paparan rencananya.

“Bila tujuan kita memasang umpan, usulku adalah menyiapkan setengah pasukan untuk diberangkatkan ke Selat Malaka”, berkata Kebo Arema sambil tersenyum dan menyapu pandangannya ke semua yang hadir di pendapa utama itu.

“Menyiapkan lima ribu orang prajurit untuk sebagai umpan ?”, bertanya Pangeran Lembu Tal sepertinya tidak setuju dengan usulan Kebo Arema.

Terlihat Kebo Arema hanya sedikit tersenyum mendengar pertanyaan dari Pangeran Lembu Tal.”Benar bahwa kita menyiapkan lima ribu orang prajurit untuk sebuah umpan”, berkata Kebo Arema berhenti sebentar. “Namun dua ribu prajurit di tengah jalan turun kembali, mereka hanya bertugas mengelabui pihak musuh yang menginginkan kekuatan kita berkurang”, berkata kembali Kebo Arema sambil tersenyum dan pandangannya menyapu kepada semua yang hadir saat itu.

“Hebat, sebuah siasat yang hebat, aku setuju”, berkata Pangeran Lembu Tal sambil manggut-manggut tanda menerima usulan dan siasat dari Kebo Arema.

Terlihat semua yang hadir di pendapa utama nampaknya menyetujui dan diam-diam mengagumi pemikiran Kebo Arema sebagai seorang yang ahli dalam hal mengatur siasat.

“Aku berharap secepatnya pasukan untuk dipersiapkan menuju Selat Malaka, aku serahkan semuanya kepada Mahapatih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat”, berkata Sri baginda Maharaja. “Sementara itu tugas Senapati Raden Wijaya adalah menyergap siapa yang terlihat mengejar umpan yang telah kita lepaskan”, berkata kembali Sri baginda Maharaja memberikan titahnya.

“Titah Sri baginda Maharaja adalah anugerah kami”, berkata dengan serempak bersamaan Mahapatih Kebo Arema, Tumenggung Mahesa Pukat dan Raden Wijaya.

Demikianlah, suasana di pendapa utama Ratu Anggabhaya tidak lagi layaknya pertemuan resmi, tapi seperti pertemuan keluarga biasa, pertemuan antara para sahabat dan kesetiaan.

Akhirnya, manakala malam sudah mulai dingin berembun, Sribaginda Maharaja, Mahapatih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat terlihat berpamit diri.

Dan malam pun akhirnya semakin berlalu bersama pekat dan kesunyiannya diatas Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. Semilir angin dan embun dingin telah melelapkan seluruh penghuninya. Sementara itu kadang terlihat beberapa penjaga bergilir melewati dinding pagar pasanggrahan Ratu Anggabhaya untuk sekedar memastikan tidak ada kejadian apapun yang mengganggu.

Malam terus mendendangkan nada sepi bersama kerlapkerlip bintang di peraduan langit biru yang akhirnya terbangun tersentak warna fajar pagi.

Tidak terasa sang matahari ternyata sudah melompat tinggi menempel di langit pagi.

“Secepatnya kami harus sudah berada di Bandar Cangu menyiapkan pasukan yang akan diberangkatkan ke Selat Malaka”, berkata Raden Wijaya kepada ayahnya Pangeran Lembu Tal bersama Ratu Anggabhaya ketika mengantarnya menuruni tangga pendapa.”Sambil menunggu Mahapatih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat yang akan membawa pasukan tambahannya dari Kotaraja Singasari”, berkata kembali Raden Wijaya.

“Semoga keselamatan selalu mengiringi langkah kalian”, berkata Ratu Anggabhaya sambil melambaikan tangannya kepada Raden Wijaya dan Rangga Lawe yang sudah melangkah di halaman Pasanggrahannya.

Terlihat seorang pekatik sudah menunggu mereka di gerbang pintu istana.

“Mohon maaf bila kami tidak berlaku hormat”, berkata seorang prajurit muda yang tengah berjaga menghampiri Raden Wijaya dan Rangga Lawe.

“Kalian adalah para prajurit pengawal istana yang baik, kutitipkan segenap keluargaku di istana ini pada kalian”, berkata Raden Wijaya tersenyum dari atas kudanya kepada prajurit muda itu.

Maka diiringi tatap mata seorang pekatik dan prajurit muda itu, Raden Wijaya dan Rangga Lawe telah berjalan semakin menjauhi pintu gerbang istana yang akhirnya tidak terlihat lagi menghilang di sebuah tikungan jalan.

Tidak banyak rintangan yang terjadi dalam perjalanan Raden Wijaya dan Rangga Lawe menuju Bandar Cangu. Hanya satu kali saja mereka berhenti untuk hanya sekedar memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat minum dan merumput.

Sementara itu di belakang mereka, menjelang bersama naiknya matahari bergeser sedikit dari puncaknya, terlihat segelar sepapan prajurit Singasari berduyunduyun tengah melewati pintu gerbang batas kota. Mereka adalah dua ribu prajurit yang akan menuju Bandar Cangu yang selanjutnya akan diberangkatkan menuju Selat Malaka.

Ternyata Mahapatih Kebo Arema punya perhitungan sendiri dengan memberangkatkan pasukannya menjelang siang hari. Hal ini ternyata hanya sekedar memberi kesempatan kepada pihak musuh untuk membaca keadaan prajurit Singasari yang telah masuk dalam perangkapnya, harimau telah keluar meninggalkan sarangnya.

Siapapun berdecak kagum melihat gerak mereka yang berbaris teratur dirancaki warna-warni rontek dan umbulumbul dari berbagai kesatuan prajurit. Gemuruh suara langkah mereka seperti menghentak semangat dan menciutkan hati siapapun yang merasa ada berseberangan jalan, para musuh yang bersembunyi di Kotaraja. Tapi bagi penduduk kotaraja, barisan prajurit itu membuat sebuah kebanggaan tersendiri di hati mereka.

Arah dan gerak perjalanan para prajurit yang berjalan kaki memang agak menjadi lamban dibandingkan dengan kecepatan dua ekor kuda yang terus berpacu di jalan arah menuju Bandar Cangu. Kedua orang berkuda itu tidak lain adalah Raden Wijaya dan Rangga Lawe. Ketika lukisan langit masih diwarnai matahari yang bersinar lembut diujung sore, Raden Wijaya dan Rangga Lawe telah memasuki daerah Bandar Cangu. Mereka pun langsung membawa arah kudanya menuju Rumah Bale tamu.

“Selamat datang tuan Senapati dan tuan Rangga”, berkata seorang prajurit yang langsung mengambil tali kekang kuda mereka berdua.

“Akhirnya kuda-kuda ini bertemu dengan tuan sejatinya”, berkata Raden Wijaya tersenyum ramah kepada prajurit itu.

Terlihat prajurit itu sudah menuntun kuda  kearah kandang kuda, sementara Raden Wijaya dan Rangga Lawe langsung sudah menaiki anak tangga pendapa Rumah Bale Tamu.

Ketika malam mulai beranjak memasuki langit Bandar Cangu, Raden Wijaya telah memanggil beberapa perwira yang ada untuk berkumpul di pendapa Rumah Bale Tamu. Dengan singkat Raden Wijaya menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan rencana misi perjalanan mereka menuju Selat Malaka.

“Berbahagialah, karena kalian dibawah naungan seorang pemimpin yang terbaik di Singasari ini. Mahapatih Kebo Arema dan Tumenggung Mahesa Pukat akan mendampingi perjalanan kalian”, berkata Raden Wijaya kepada perwira prajurit di pendapa Rumah Bale tamu.

Ketika tengah malam tiba, dua ribu prajurit dari Kotaraja sudah tiba di Bandar Cangu. Mereka langsung memasuki barak-barak yang ada di Benteng Cangu maupun yang ada di Rumah Bale Tamu.

“Selamat datang Paman Mahapatih dan Paman Tumenggung di Bandar Cangu”, berkata Raden Wijaya yang menyambut kedatangan Kebo Arema dan Mahesa Pukat.

Setelah saling menyapa dan bercerita tentang keselamatan masing-masing, Raden Wijaya menyampaikan beberapa persiapan yang telah  ada untuk keperluan selama perjalanan menuju Selat Malaka.

“Satu hari aku kira cukup untuk beristirahat dan penyesuaian”, berkata Kebo  Arema kepada semua yang hadir di pendapa Rumah Bale Tamu, selain Raden Wijaya dan Rangga Lawe, juga hadir beberapa prajurit perwira yang akan ikut dalam pelayaran menuju Selat Malaka.

Dan ketika fajar tiba menyingsing diujung timur sungai Brantas, terlihat kesibukan para prajurit di dermaga depan Rumah Bale Tamu. Kesibukan di atas Jung besar Singasari dan diatas dermaga itu sepertinya turut mencuri perhatian siapapun yang lewat berperahu di Sungai Brantas.

Sementara itu di pagi yang sama, jauh dari Bandar Cangu, di sebuah rumah besar di Kotaraja Gelanggelang. Terlihat dua orang tengah berbicara dengan begitu gembiranya.

Kedua orang itu tidak lain adalah Senapati Jaran Goyang dan Wirondaya.

“Harimau meninggalkan sarangnya”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.“Akhirnya kekacauan di Selat Malaka telah menampakkan hasil”, berkata kembali Senapati Jaran Goyang dengan gembiranya.

“Saatnya menggempur sarangnya”, berkata Wirondaya dengan berapi-api.

“Aku masih sangsi”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa yang kamu sangsikan ?”, bertanya Wirondaya. “Bukankah jumlah prajurit kita saat ini lebih banyak?”, berkata kembali Wirondaya.

“Betul lebih banyak, tapi satu orang prajurit mereka masih setara dua orang prajurit dari Gelang-gelang”, berkata Senapati Jaran Goyang sambil menarik nafas dalam penuh keraguan.

Terlihat Wirondaya dan Senapati Jaran Goyang masingmasing terdiam, untuk sementara keadaan di pendapa rumah itu menjadi sunyi, Wirondaya dan Senapati Jaran Goyang telah berada di alam pikirannya masing-masing.

“kalau begitu keadaannya, kita pecahkan lagi jumlah mereka”, berkata Wirondaya yang ternyata sudah menemukan jalan terangnya.

“Aku belum menangkap apa yang kamu katakan”, berkata Senapati Jaran Goyang yang belum dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh kawannya itu.

Terlihat Wirondaya tersenyum dihadapan Senapati Jaran Goyang.

“Kita pancing lagi agar pasukan mereka yang tersisa keluar kembali dari sarangnya, begitu mereka keluar meninggalkan sarangnya, kita sudah siap sedia menghancurkan mereka dengan kekuatan penuh”, berkata Wirondaya menyampaikan pikirannya.

Bukan main gembiranya Senapati Jaran Goyang menangkap pikiran Wirondaya yang diam-diam dikaguminya sebagai seorang yang selalu punya jalan pikiran cemerlang.

“Pemikiranmu sungguh sangat cemerlang. Hari ini juga aku akan menghadap baginda Raja. Mudah-mudahan beliau dapat menerima siasatmu ini”, berkata Senapati Jaran Goyang dengan begitu gembiranya.

Seperti biasa, hari itu Wirondaya tidak keluar jauh dari Rumah kediaman Senapati Jaran Goyang. Seharian penuh hanya duduk di pendapa atau sekali-kali ke taman belakang meleburkan kebosanannya bersama pengalas tua yang sebenarnya tidak menyukai dirinya. Namun karena Wirondaya adalah tamu junjungannya, pengalas tua itu tidak jua menampakkan kebenciannya. Dirinya masih dapat tersenyum, kadang menjawab beberapa pertanyaan dari Wirondaya yang angkuh, merasa dirinya masih sebagai seorang terhormat.

Ketika diawal senja, seperti biasa Senapati Jaran  Goyang telah kembali dari Istana Gelang-gelang.

“Baginda Raja sangat gembira melihat umpannya telah termakan”, berkata Senapati Jaran Goyang mengawali ceritanya kepada Wirondaya di pendapa rumahnya. “Berbahagialah kawan, aku juga bercerita tentang dirimu dibalik keberhasilan ini”, berkata kembali Senapati Wirondaya.

“Apa yang kamu ceritakan tentang diriku kepada Baginda Raja Gelang-gelang itu ?”, bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya dengan gembiranya.

“Bahwa kamu adalah keponakan terkasih dari Adipati Wiraraja yang diutus langsung untuk bergabung bersama di Tanah Gelang-gelang ini untuk menghancurkan musuh yang sama”, berkata Senapati dengan gembiranya.

Namun Wirondaya menanggapinya dengan wajah kurang senang kepada sahabatnya itu.

“Jadi baru kali ini kamu bercerita tentang keberadaanku kepada baginda Raja”, berkata Wirondaya dengan wajah masam.

“Maaf kawan, selama ini kututupi dirimu. Aku hanya khawatir bahwa Baginda Raja kurang berkenan bila mengetahui ada seorang mantan pejabat istana Singasari bersamaku”, berkata Senapati kali ini dengan wajah penuh permohonan maaf. Berharap kawannya Wirondaya dapat menerima. “Kuterima kekhawatiranmu”, berkata Wirondaya dengan suara yang lemah.

“Meski tertunda untuk menceritakan  keberadaanmu, yang jelas bahwa Baginda Raja saat ini sudah mengetahui siapa yang berjasa membakar suasana di Selat Malaka. Baginda Raja lewat diriku telah menyampaikan salam rasa terima kasih tak terhingga untukmu”, berkata Senapati Jaran Goyang dengan wajah penuh senyum. Terlihat wajah Wirondaya bersinar penuh gembira.

“Baginda Raja juga merasa gembira mengetahui bahwa Adipati Wiraraja berada di pihaknya”, berkata Senapati Jaran Goyang masih dengan wajah yang berseri-seri.

Namun perkataan Senapati Jaran Goyang diterima seperti cahaya kilat di siang hari, begitu mengejutkan hati dan pikiran Wirondaya.

“Penguasa Gelang-gelang telah salah terima, Paman Wiraraja adalah seorang yang rela mati demi penguasa Singasari”, berkata Wirondaya dalam hati.

Tapi Wirondaya memang seorang pemain watak yang andal, dihadapan Senapati Jaran Goyang tidak diperlihatkan keterkejutannya itu, bahkan pura-pura bertanya dengan gembiranya.”Apa yang dikatakan Baginda Raja tentang pamanku itu”, berkata Wirondaya sambil menutupi keterkejutannya.

“Baginda Raja memintaku mengirim seorang utusan kepada pamanmu untuk mengirim bantuan prajurit”, berkata Senapati Jaran Goyang masih dengan wajah penuh berseri-seri.

Kali ini Wirondaya seperti mendengar guntur di dekat telinganya, “Tidak mungkin pamanku memberikan apapun pada musuh Singasari”, berkata Wirondaya dalam hati. Tapi kembali Wirondaya dapat menutupi keterkejutannya dengan pura-pura bertanya. “Apakah kamu sudah memilih siapa orang yang akan kamu utus menemui pamanku”, berkata Wirondaya.

“Ki Sukasrana pengalas tuaku dan kamu”, berkata Senapati Jaran Goyang sambil tertawa terbahak bahak. “Pengalas tua itu ?”, berkata Wirondaya dengan wajah kurang senang hati.

“Ki Sukasrana bukan pengalas biasa, dia sengaja kukerjakan disini untuk menjaga dan memata-matai dirimu”, berkata Senapati Jaran Goyang. “maaf kawan, aku hanya ingin memastikan bahwa dirimu benar-benar bersih tidak bersama siapapun”, berkata kembali dengan masih tertawa terbahak-bahak.

“Jadi selama ini kamu memata-matai diriku ?”, bertanya Wirondaya dengan wajah kurang senang

“Benar”, berkata Senapati Jaran Goyang dengan singkat. “sampai saat ini ?”, bertanya kembali Wirondaya dengan mata kurang senang.

Senapati Jaran Goyang tersenyum melihat wajah Wirondaya. “Tidak sampai saat ini, terutama setelah melihat hasil kerjamu di Selat Malaka”, berkata Senapati Jaran Goyang sambil melihat perubahan di Wajah Wirondaya yang sudah tidak masam lagi. “Besok pagi kalian harus sudah berangkat, aku sudah membawa pertanda khusus dari Baginda Raja serta sebuah rontal resmi tulisan tangannya untuk Adipati Wiraraja”, berkata kembali Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya, kali ini dengan suara datar tanpa tawa sedikitpun.

Sementara itu Wirondaya menerima perkataan Senapati Jaran Goyang dengan cara yang berbeda. Di kepalanya sudah menumpuk berbagai rencana liciknya. “Aku akan menghabisi nyawa pengalas tua itu di perjalanan”, berkata Wirondaya dalam hati. Namun dihadapan Senapati Jaran Goyang sepertinya tidak sedang memikirkan sesuatu, masih dapat menutupi perasaan hatinya dengan pura-pura berkata. “Terima kasih telah mempercayakan diriku”, berkata Wirondaya dengan raut wajah penuh kegembiraan.

“Saat ini aku sudah benar-benar mempercayaimu”, berkata Senapati Jaran Goyang dengan senyumnya kepada Wirondaya.

Demikianlah, keesokan harinya ketika pagi sudah terang matahari. Terlihat dua ekor kuda keluar dari pintu gerbang rumah besar milik Senapati Jaran Goyang.

Kedua orang berkuda itu tidak lain adalah Wirondaya dan Ki Sukasrana, pengalas tua yang selama ini menyamarkan dirinya. Yang sebenarnya adalah orang nomor satu kepercayaan Senapati Jaran Goyang sendiri.

Sementara itu di pagi yang sama, di Bandar Cangu terlihat sebuah jung besar Singasari tengah bergerak merenggang dari dermaga di depan Rumah besar bale tamu. Bersamanya adalah lima ribu orang prajurit yang akan berangkat berlayar menuju Selat Malaka.

Terlihat di dermaga kayu Raden Wijaya dan Rangga Lawe bersama beberapa prajurit tengah melambaikan tangannya mengikuti arah bergeraknya Jung Singasari yang terbesar termegah di jamannya itu hanyut mengikuti air sungai Brantas dan terus menjauh meninggalkan tempatnya berlabuh. Jung besar itupun akhirnya semakin menjauh tersamar diujung mata yang terhalang kabut pagi diatas sungai Brantas di pertengahan musim kemarau di tahun itu. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, ketika melewati beberapa hutan yang sepi. Terlihat beberapa prajurit telah turun menepi hingga menghinggapi jumlah dua ribu orang prajurit. Mereka hanya bagian muslihat dan siasat yang cemerlang untuk mengelabui pihak musuh, mengacaukan perhitungan diatas pikiran pihak musuh. Dan siasat mereka nampaknya telah berjalan dengan sempurnanya.

“Saatnya mendewasakan dan mematangkan Raden Wijaya sebagai tulang punggung satria tunggal mengamankan Singasari”, berkata Mahapatih Kebo Arema di atas geladak jung Singasari kepada Tumenggung Mahesa Pukat.

“Begitulah cara Baginda Maharaja berpikir untuk Raden Wijaya, satria pewaris tanah Singasari di masa depan”, berkata Tumenggung Mahesa Pukat menanggapi perkataan Mahapatih Kebo Arema.

“Sementara kita yang mulai tua diberi kesempatan untuk berlibur”, berkata Mahapatih Kebo Arema sambil tersenyum memainkan janggutnya yang sudah berwarna yang disambut tawa oleh Tumenggung Mahesa Pukat.

Sementara itu di siang hari yang putih, seekor kuda tengah melesat melewati gerbang batas kotaraja Singasari. Penunggangnya adalah seorang  pemuda yang berpakaian seperti orang biasa, namun dari wajah dan sinar matanya terlihat sebagai seorang pemuda yang cukup tampan.

Dari caranya menunggang kuda, terlihat bahwa pemuda ini seorang yang cukup tangkas. Ternyata pemuda ini adalah seorang prajurit Singasari yang mendapatkan kehormatan besar langsung dari Maharaja Singasari. Tugasnya sangat rahasia dan sangat penting sekali, yaitu membawa rontal rahasia yang harus diterima langsung oleh Adipati Sasana Bungalan di Balidwipa.

Siapakah pemuda itu, dan mengapa dirinya yang terpilih menjadi utusan rahasia itu ?

Pemuda itu adalah bernama Gajah Pagon, putra tunggal seorang yang sakti dari daerah Pandakan bernama Macankuping. Namun orang-orang banyak mengenalnya sebagai Ki Pandakan. Setelah dianggap cukup mewarisi semua ilmu dari ayahnya itu, Gajah Pagon diperintahkan oleh ayahnya untuk mengabdi sebagai prajurit di kotaraja Singasari.

Di kesatuannya, Gajah Pagon sangat menonjol hingga akhirnya ditemukan oleh Kuda Cemani, perwira tertinggi kepercayaan Maharaja Singasari yang sangat dipercaya. Pada saat itu Kuda Cemani memang tengah mencari pasukan khusus delik sandi yang masih murni dan belum tercemar. Gajah Pagon adalah salah satu orang terpilih yang juga menjadi prajurit delik sandi kebanggaan Kuda Cemani yang sangat diandalkan, selain tataran ilmu kanuragannya yang sudah cukup tinggi, Gajah Pagon juga telah banyak membuktikan kesetiaannya.

Apa isi rontal rahasia itu ?

Gajah Pagon sama sekali tidak mengetahuinya, dan dirinya sama sekali tidak berminat untuk mengetahuinya. Tugasnya adalah membawa rontal tulisan langsung dari Maharaja Singasari yang harus diserahkan langsung kepada Adipati Sasana Bungalan, seorang wakil penguasa Balidwipa.

Demikianlah, hari itu Gajah Pagon tengah duduk diatas kudanya dijalan menuju arah Bandar Cangu. Dimana dari Bandar Cangu itu dirinya akan menggunakan kapal kayu yang akan membawanya langsung ke Balidwipa. Ketika jalan terlihat sepi, Gajah Pagon terlihat memacu kudanya dengan cepat seperti terbang. Namun manakala disisi jalan bertemu dengan beberapa pedati, dirinya segera mengurangi kecepatan kudanya agar tidak menjadi pusat perhatian. Demikianlah cara Gajah Pagon membawa kudanya dijalan menuju Bandar Cangu.

Gajah Pagon sangat hafal sekali dengan setiap liku jalan sepanjang Kotaraja menuju Bandar Cangu. Setiap jengkal tanah dikenalnya seperti mengenal halaman rumahnya sendiri. Entah untuk ke sekian kalinya dirinya melewati jalan tanah itu. Dan Gajah Pagon sudah hafal juga dimana tempat persinggahan yang paling ramai dikunjungi oleh orang-orang terutama para saudagar yang tengah melakukan perjalanan niaganya.

Demikianlah, Gajah Pagon akhirnya terlihat menghentikan kudanya di sebuah persinggahan yang cukup ramai hanya untuk meleburkan dirinya tidak menjadi perhatian orang. Seperti itulah yang dilakukan oleh setiap petugas sandi agar kehadiran mereka tidak mudah dikenali, melebur dengan orang kebanyakan.

Tempat persinggahan itu memang merupakan sebuah persimpangan jalan dari berbagai tempat tujuan yang berbeda. Maka tidak heran bila kedai yang cukup besar itu terlihat menjadi begitu ramai dikunjungi oleh mereka yang ingin beristirahat sejenak, terutama untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka untuk beristirahat.

Matahari diatas kedai tempat persinggahan itu sudah bergeser turun di lengkung langit mendekati awal sore, cahaya sinar matahari sudah berwarna kuning teduh. Kedai itu sendiri berdiri diantara batang pohon hutan yang cukup rindang menaungi hampir seluruh bangunannya, juga halaman mukanya menjadikan kedai itu menjadi pilihan utama untuk berlindung dan bernaung dari sinar matahari.

“Tolong rawat kudaku dengan baik”, berkata Gajah Pagon kepada seorang pekatik yang biasa mengurus dan melayani kuda-kuda semua orang yang singgah ditempat itu.

Terlihat Gajah Pagon tengah melangkah menuju pintu kedai. Di belakangnya dua lelaki mendahului langkahnya menuju pintu kedai. Gajah Pagon masih sempat melihat wajah salah seorang dari dua orang lelaki yang mendahuluinya.

Bukan main kagetnya Gajah Pagon yang ternyata mengenali salah seorang diantaranya, seorang yang pernah menjadi sasaran para petugas delik sandi untuk menemukannya, seorang buronan Kotaraja Singasari yang masih terus dicari.

“Wirondaya !!”, berkata Gajah Pagon dalam hati seperti menemukan sebuah harta tak ternilai.

Gajah Pagon memang pernah mendapatkan perintah untuk mencari Wirondaya, seorang mantan pejabat istana yang telah berkhianat dan berhasil melarikan dirinya. Berbulan-bulan Gajah Pagon bersama dengan petugas delik sandi lainnya ke berbagai tempat di Singasari. Wirondaya tidak pernah ditemukan. Wirondaya seperti hilang ditelan bumi. Namun hari ini dengan tidak sengaja, menemukan Wirondaya. Namun hati dan pikiran Gajah Pagon berkecamuk ketika menyadari bahwa dirinya tengah menjalankan sebuah perintah penting yang sangat rahasia.

“Apa salahnya menjalankan dua perintah sekaligus”, berkata Gajah Pagon dalam hati menenangkan dirinya sambil terus melangkah memasuki kedai. Setelah masuk kedalam kedai, Gajah Pagon mencari tempat yang agak jauh dari Wirondaya yang tengah bersama kawannya itu yang tidak lain adalah Ki Sukasrana, seorang kepercayaan dari Senapati Jaran Goyang yang diperintahkan untuk mendampingi Jaran Goyang mengantar surat rontal resmi kepada Adipati Wiraraja di Sunginep. Sementara itu Wirondaya dan Ki Sukasrana tidak tahu bahwa di kedai itu ada seorang petugas Delik Sandi Singasari yang tidak sedikitpun melepaskan perhatiannya. Terlihat seorang pelayan datang menghampiri Wirondaya dan Ki Sukasrana. Sebentar kemudian pelayan itu kembali masuk kedalam setelah menanyakan pesanan kepada kedua tamunya itu.

“Pesan apa tuan ?”, berkata seorang pelayan yang tibatiba saja sudah berdiri di dekat Gajah Pagon.

Terlihat Gajah Pagon agak terkejut, perhatiannya terpecah oleh pertanyaan seorang lelaki pelayan kedai itu. Tapi Gajah Pagon segera dapat menguasai keterkejutannya itu, dengan penuh senyum memandang pelayan itu.

“Nasi megana lengkap dengan ayam bakarnya”, berkata Gajah Pagon kepada pelayan itu.

“Semoga tuan dapat bersabar, tamu di kedai ini sedang melimpah”, berkata pelayan itu yang langsung berbalik badan meninggalkan Gajah Pagon.

Apa yang dikatakan oleh pelayan itu memang benar, tamu di kedai saat itu memang cukup ramai. Sebuah keuntungan bagi Gajah Pagon dapat bersembunyi ke keramaian orang untuk terus mengintai sasarannya, Wirondaya.

Sementara itu terlihat seorang pelayan tengah mengantar pesanan Wirondaya dan Ki Sukasrana. Pelayan itupun segera kembali setelah meletakkan makanan dan minuman.

“Tadi aku bicara pada seorang pekatik untuk mengganti tapal kudamu”, berkata Wirondaya kepada Ki Sukasrana.

“Apa kamu bilang ?”, berkata Ki Sukasrana yang langsung berdiri dan melangkah keluar tidak jadi menyelesaikan makannya. Terlihat Wirondaya tersenyum, akal-akalannya bagaimana caranya Ki Sukasrana meninggalkannya dengan cara mengatakan tentang tapal kudanya yang dia tahu adalah barang warisan buyutnya sebagai ajimat pembawa keberuntungan.

“Keberuntunganmu cukup sampai disini”, berkata Wirondaya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Ternyata sebuah bubu kecil.

Terlihat Wirondaya menuangkan isi bubu kecil itu kedalam gelas Ki Sukasrana.

“Bedebah”, berkata Gajoh Pagon yang melihat semua yang dilakukan oleh Wirondaya.

Sementara itu Ki Sukasrana sudah terlihat kembali langsung duduk di tempatnya.

“Apa maksudmu berkata bohong ?”, berkata Ki Sukasrana sambil matanya mendelik tajam kearah Wirondaya.

Terlihat Wirondaya hanya tertawa tidak langsung menjawab. “Aku cuma sedang menguji, sebesar apa keistimewaan tapal kudamu”, berkata Wirondaya sambil terus tertawa.

“Manusia gendeng”, berkata Ki Sukasrana sambil melanjutkan menyelesaikan makan minumnya sepertinya ingin melupakan kekesalan dirinya.

Terlihat Wirondaya dan Ki Sukasrana telah menyelesaikan makannya, mereka nampaknya akan segera meninggalkan kedai.

Sementara itu Gajah Pagon juga telah menyelesaikan makannya, segera membayar kepada pemilik kedai sambil menunggu Wirondaya dan Ki Sukasrana keluar dari kedai.

Langit diatas halaman kedai nampak biru cerah, matahari telah sedikit menukik ke Barat memberi warna awal senja dengan cahayanya yang teduh. Terlihat dua orang penunggang kuda tengah keluar dari halaman kedai, mereka adalah Wirondaya dan Ki Sukasrana yang akan melanjutkan perjalanannya.

Jalan tanah keras yang mereka lalui saat itu sudah mulai sepi, dan mereka pun tidak menghentakkan kudanya untuk berlari kencang.

Akhirnya mereka sudah berjalan cukup jauh dari kedai tempat mereka beristirahat. Tidak seorang pun yang mereka temui. Sepertinya saat itu jalan tanah keras itu hanya untuk mereka berdua.

Tiba-tiba saja Ki Sukasrana terlihat memegangi perutnya. Sepertinya tengah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Ki Sukasrana benar-benar merasakan sakit yang sangat, maka tanpa terkendali lagi dirinya terjungkal ke tanah. Wajah Ki Sukasrana sudah menjadi begitu pucat, keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Terlihat gemeretak giginya seperti menahan rasa sakit yang sangat. Dan akhirnya tubuh Ki Sukasrana terdiam tak bergerak, mungkin pingsan karena terlalu menahan rasa sakit yang sangat. “Bedebah”, berkata Gajah Pagon yang sempat menyaksikan semua itu dari tempat yang tersembunyi, terutama ketika mendengar suara parau tawa Wirondaya yang dengan dingin melihat kawan seperjalanannya menderita.

Gajah Pagon melihat Wirondaya tengah mengangkat Ki Sukasrana keatas punggung kudanya. Ternyata Wirondaya menuntun kudanya masuk ke pinggir hutan terus masuk lebih dalam lagi. Dan Gajah Pagon dengan diam-diam terus menguntit dari belakang, rasa penasaran mengisi seluruh kepalanya, apa yang ingin dilakukan oleh Wirondaya terhadap kawan seperjalanannya itu.

Di sebuah tempat didalam hutan pinggir jalan yang sepi, terlihat Wirondaya menurunkan Ki Sukasrana  yang sudah tidak bergerak lemas berbaring diatas tanah.

“Keberuntunganmu sampai disini kawan”, berkata Wirondaya sambil mencabut clurit tajamnya.

Sambil berjongkok Wirondaya mengangkat cluritnya tinggi-tinggi, bermaksud menghabisi nyawa Ki Sukasrana dengan memenggal lehernya.

Bukk !!

Bukan main terperanjatnya Wirondaya merasakan pinggangnya terhantam sebuah tendangan kaki yang cukup keras, seketika dirinya terlempar beberapa langkah terjerembab jatuh menelengkup mencium bumi.

Terlihat Wirondaya dengan cepat bangkit berdiri dengan wajah penuh tanah kotor.

Bukan main kagetnya melihat seorang lelaki muda berdiri sambil bertolak pinggang memandangnya dengan wajah begitu membencinya. “Pengecut, kau racuni kawanmu sendiri”, berkata lelaki muda itu yang ternyata adalah Gajah Pagon.

Melihat yang berdiri dihadapannya adalah seorang lelaki muda, timbul keberaniannya kembali dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa serangan atas dirinya itu dapat terjadi karena kelengahannya.

“Ternyata kamu melihat apa yang aku lakukan, hari ini akan ada dua nyawa yang akan menjadi tumbal penunggu hutan ini”, berkata Wirondaya dengan wajah penuh amarah.

“Awalnya aku hanya akan menangkapmu, membawa dirimu ke Kotaraja. Namun melihat apa yang telah kamu lakukan atas kawanmu itu, ingin rasanya aku untuk menyincang tubuhmu”, berkata Gajah Pagon sambil melepaskan pedang tipisnya yang tersembunyi melingkar di pinggangnya, sebuah jenis senjata yang sangat unik, begitu lentur dapat ditekuk melingkari pinggang. Namun setelah dilepas dapat lurus kembali.

Sementara itu senja diatas hutan pinggir jalan itu sudah sudah mulai meredupkan pandangan, kilau tajam pedang Gajah Pagon sepertinya semakin terlihat pamornya, sebuah senjata yang cukup menggetarkan hati siapapun yang memandangnya.

Namun Wirondaya berusaha tidak menampakkan kekagumannya, apalagi menampakkan rasa jerihnya.

“Hemm”, hanya suara itu yang keluar dari mulut Wirondaya menilai senjata anak muda didepannya.

Gajah Pagon dapat membaca bahwa sebenarnya Wirondaya tengah menutupi rasa kagum dan jerihnya melihat pedang pusaka milik keluarganya itu.

“Lihat pedang”, berkata Gajah Pagon yang sudah bertambah kebenciannya melihat wajah Wirondaya yang sepertinya meremehkannya, langsung menyerang kearah Wirondaya.

Serangan Gajah Pagon hanya sebuah serangan pembuka, tidak langsung menumpahkan tataran puncaknya, hanya sekedar menjajaki kemampuan Wirondaya.

“Hemm”, hanya itu yang terdengar dari bibir Wirondaya sambil bergeser sedikit kesamping mengelak serangan Gajah Pagon dan langsung balas menyerang dengan cara menubruk mendekati Gajah Pagon dan langsung menyabet senjata clurit miliknya kearah pinggang Gajah Pagon.

Terlihat Gajah Pagon mundur selangkah menghindari serangan Wirondaya.

“Gaya tempur yang liar”, berkata Gajah Pagon dalam hati menilai gaya kanuragan Wirondaya sambil kembali balas menyerang dengan masih belum meningkatkan tataran yang sebenarnya, kali ini serangannya lurus kearah leher Wirondaya.

Melihat kecepatan dan cara lawan bermain pedang yang masih dapat diimbanginya itu, membuat Wirondaya merasa dapat menaklukkan lawan mudanya itu.

“Hanya seperti inikah kehebatan seorang prajurit Singasari?”, berkata Wirondaya sambil merunduk sedikit dan dengan kecepatan yang luar biasa langsung maju meluruk mendekati Gajah Pagon kembali menyerang pinggangnya.

Wirondaya merasa senjatanya sudah akan mengenai kulit Gajah Pagon, namun bukan main kagetnya bahwa Gajah Pagon dapat bergerak begitu cepat bergeser kesamping. Trang !!

Luar biasa, pedang Gajah Pagon dapat bergerak seperti sebuah cambuk melengkung dan melecut membentur senjata Wirondaya. Wirondaya merasakan telapak tangannya panas, ternyata Gajah Pagon telah melambari serangannya dengan sepertiga kekuatan tenaga cadangannya.

Melihat Wirondaya yang terkejut, Gajah Pagon tidak langsung menyerangnya, sepertinya memberi kesempatan Wirondaya menguasai dirinya.

“Itu hanya kejutan awal”, berkata Gajah Pagon yang berdiri sambil tersenyum.

Ternyata Wirondaya bukan sejenis manusia yang gampang menyerah. Tidak terlihat perasaan jerih sedikit pun langsung menyerang Gajah Pagon. Tapi Gajah Pagon sudah dapat mengukur kekuatan dan kecepatan lawan, maka dengan mudahnya Gajah Pagon melesat menghindari serangan Wirondaya. Namun diam-diam Gajah Pagon memuji semangat lawannya itu, dan tidak terburu-buru menyelesaikan pertempurannya. Terlihat Gajah Pagon hanya mengimbangi setiap serangan dengan balas menyerang dengan kecepatan dan kekuatan yang disesuaikan.

Sementara itu, langit senja sudah mulai bersembunyi diujung bumi, cahaya keremangan malam sudah mulai meneduhi suasana hutan pinggir jalan itu. Namun semua itu tidak membuat susut suasana pertempuran antara Gajah Pagon dan Wirondaya.

Terlihat Wirondaya telah meningkatkan seluruh kemampuan tataran ilmunya, sementara itu Gajah Pagon tidak sedikit pun merasa tertekan, masih terus mengimbangi tataran ilmu lawan dan berusaha tidak melampauinya.

Ternyata Wirondaya salah tanggap dengan sikap Gajah Pagon itu, dirinya merasa bahwa anak muda itu tidak dapat melebihi tataran ilmu yang dimilikinya, terlihat dirinya semakin mengerahkan puncak kekuatan dan kemampuannya.

Gajah Pagon tersenyum melihat semangat Wirondaya, inilah tipu dayanya untuk menguras tenaga lawan.

Pertempuran menjadi begitu sengit, diterangi cahaya rembulan bulat penuh diatas hutan itu yang sedikit terbuka, membuat gerak mereka seperti dua bayangan yang saling menyerang semakin cepat. Kadang terdengar suara jerit dan dengus mereka ketika sebuah serangan hampir saja melukai tubuh mereka.

“Anak setan”, berkata Wirondaya begitu penasarannya kepada Gajah Pagon yang belum juga dapat dikalahkannya. Gajah Pagon tidak membalas umpatan itu, hanya sedikit tersenyum melihat kegundahan hati lawannya itu.

Yang ditunggu Gajah Pagon akhirnya tiba, tenaga Wirondaya sudah mulai terkuras, tenaga dan kekuatannya sudah terlihat semakin surut. Maka dalam sebuah serangan yang menusuk lurus dari pedang tipis Gajah Pagon memang dapat dihindari oleh Wirondaya. Tapi diluar perhitungannya bahwa pedang tipis itu dapat juga dengan tiba-tiba menjadi lentur. Hanya dengan menghentakkannya, pedang tipis itu telah berubah arah melecut kearah pinggang Wirondaya dengan kecepatan yang sangat luar biasa.

Ahhh…!!! Menjerit Wirondaya merasakan pedih disekitar pinggangnya, terlihat dua garis bajunya yang robek tersayat pedang tipis yang sangat tajam dan masuk menyayat lebih sedikit dari kulitnya yang menyebabkan dua garis berwarna merah dipinggangnya yang dirasakannya begitu pedih.

Ternyata Gajah Pagon tidak berhenti hanya sampai disitu, pedang tipisnya sudah berpindah arah.

Sret srett !!

Pedang tipis Gajah Pagon pindah arah menyabet dua  kali diatas paha Wirondaya, telah membentuk dua buah goresan luka yang cukup dalam.

Terlihat Wirondaya terjatuh tersungkur berdiri hanya diatas tangkai lututnya. Darah mengalir begitu deras di dua buah garis luka pahanya.

Gajah Pagon berdiri dihadapan Wirondaya dengan tangan masih memegang pedang tipisnya dengan posisi ujung pedang jatuh menyentuh bumi.

Ternyata Wirondaya adalah seorang yang keras kepala, dalam keadaan terluka tidak sedikit pun menunjukkan rasa sakitnya, seakan haram baginya memperlihatkan rasa sakit kepada lawannya. Yang terlihat adalah bulat matanya yang menusuk tajam sebagai ungkapan kebencian memandang kearah Gajah Pagon.

“Apakah kamu masih belum menyerah?”, berkata Gajah Pago dengan suara yang datar.

“Cepat bunuhlah aku, wahai prajurit”, berkata Wirondaya dengan mata terbuka.

“Aku tidak akan membunuhmu, aku akan menyerahkan dirimu ke Kotaraja”, berkata Gajah Pagon masih dengan suara datar. “Bukankah diawal kamu bermaksud mencincang tubuhku?”, berkata Wrondaya dengan mata terbelalak kepada Gajah Pagon.

“Pikiranku berubah”, berkata Gajah Pagon kepada Wirondaya.

“Anak muda bodoh”, berkata Wirondaya dengan mata hampir keluar.

“Aku tidak akan tertipu, sikapmu hanya ingin diriku terjebak marah dan membunuhmu. Ternyata dibalik sikapmu ada sebuah ketakutan yang sangat untuk menerima menjadi seorang tawanan”, berkata Gajah Pagon masih dengan suara yang datar, kali ini dengan sedikit senyum dibibirnya.

“Kamu akan menyesal prajurit bodoh”,  berkata Wirondaya dengan wajah penuh geram.

“Mengapa kamu katakan aku akan menyesal?”, bertanya Gajah Pagon kepada Wirondaya.

“Menyesal karena tidak segera membunuhku”, berkata Wirondaya dengan memicingkan matanya menatap kepada Gajah Pagon.

“Hukuman seorang penghianat adalah membenamkan dirinya di perempatan jalan, membiarkan semua kebencian warga untuk ikut menghukum. Itulah hukuman yang layak untukmu”, berkata Gajah Pagon kepada Wirondaya.

“Kamu tidak akan dapat melakukannya”, berkata Wirondaya dengan bibir mencebir.

Baru saja Gajah Pagon ingin menjawab perkataan Wirondaya, bukan main kagetnya bahwa entah dari  mana dan dengan apa caranya tiba-tiba saja Wirondaya melemparkan dua buah keris kecil sebesar jari kelingking dari genggamannya, dan dari jarak yang begitu dekat !!!

Tidak ada jalan lain bagi Gajah Pagon selain  mengangkat pedang tipisnya keatas menangkis dengan cepatnya serangan gelap itu.

Tring !!

Ternyata Gajah Pagon tidak hanya menangkis, tapi menghentakkan pedang tipisnya hingga dua buah keris kecil itu terlempar kembali berbalik arah.

Jrebb !!

Dua keris kecil itu satu langsung menancap tepat dileher Wirondaya, satu lagi menancap tepat dijantungnya.

Wirondaya tidak sempat berbuat apapun, hanya matanya sekejab terbuka lebar kaget bukan kepalang bahwa senjata rahasianya yang diketahui mempunyai racun yang amat kuat kini bersarang didirinya. Namun wajah kagetnya itu hanya sekejab, setelah itu tubuhnya jatuh lunglai, sepertinya nyawanya sudah jauh melayang meninggalkannya.

“Orang ini telah memilih hukuman yang paling ringan untuk dirinya”, berkata Gajah Pagon sambil memandang tubuh Wirondaya yang sudah menjadi biru dan kaku.

Sementara itu langit diatas hutan tepi jalan itu sudah begitu gelap, sang malam telah menyelimuti suasana sekitarnya. Terlihat Gajah Pagon matanya menyapu sekeliling dan berhenti ketika melihat seonggok tubuh yang masih berbaring. Tubuh Ki Sukasrana.

Terlihat Gajah Pagon mendekati tubuh itu, setelah dekat dengan seksama memeriksa beberapa bagian tubuhnya. Terdengar Gajah Pagon menarik nafas panjang dan sekaligus mengeluarkannya. “Orang ini masih hidup”, berkata Gajah Pagon dalam hati dengan perasaan lega bercampur gembira.

“Semoga aku masih dapat menolongnya”, berkata kembali Gajah Pagon sambil mengeluarkan sebuah bubu bambu kecil dari balik pakaiannya. “bubuk obat ini dapat menahan racun untuk beberapa hari”, berkata kembali Gajah Pagon sambil memasukkan dengan paksa sedikit bubuk putih dari dalam bubunya. Setelah itu terlihat Gajah Pagon mendekati sebuah parit kecil yang ada di hutan tepi jalan itu. Dengan sebuah daun yang cukup lebar yang sudah ditekuk berbentuk pincuk agar dapat membawa air. Maka dengan air sedikit itu Gajah Pagon menuangkannya kebibir Ki Sukasrana.Ternyata air itu berguna agar obat didalam mulut Ki Sukasrana terdorong masuk ke tubuhnya.

Tidak lama kemudian, Gajah Pagon dapat melihat perubahan diwajah Ki Sukasrana sudah tidak sepucat sebelumnya. “Aku harus secepatnya membawa orang ini ke Pandakan, mudah-mudahan ayahku dapat menyembuhkannya”, berkata Gajah Pagon dalam hati sambil memandang wajah Ki Sukasrana penuh kekhawatiran.

Sementara itu hari sudah menjadi begitu gelap, terlihat Gajah Pagon sudah mengangkat tubuh Ki Sukasrana keatas kuda. Perlahan Gajah Pagon menuntun dua ekor kuda keluar dari hutan dipinggir jalan itu. Ketika sampai  di jalan tanah, Gajah Pagon sudah langsung melompat diatas kudanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar