Kabut Di Bumi Singasari Jilid 08

“Mari kita berlatih di sanggar Padepokan”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang, Jayanagara dan Adityawarman.

Bersama cahaya sinar matahari pagi yang sudah mulai naik menghangatkan udara di sekitar tepian sungai hutan cemara, merekapun terlihat beriring berjalan menuju Padepokan Pamecutan.

Suasana ketegangan mungkin masih menguasai alam pikiran masing-masing, mereka berjalan tanpa berbicara apapun.

Akhirnya mereka telah sampai kembali di Padepokan Pamecutan. Nariratih langsung masuk kedalam rumah bersama Mahesa Muksa.

Sementara itu Mahesa Amping mengajak Putu Risang, Jayanagara dan Adityawarman langsung ke sanggar tertutup.

“Aku akan naik ke pendapa menemani Ki Sandikala”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping sambil langsung menuju pendapa Pamecutan dimana sudah ada ki Sandikala sendirian.

“Terimakasih”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara yang dapat mengerti langkah Pendeta Gunakara sebenarnya yang tidak lain untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sementara itu di sanggar terbuka terlihat Empu Dangka bersama para cantrik tengah berlatih. Ketika bertemu dengan Empu Dangka, Mahesa Amping bercerita sedikit tentang kejadian kecil ditepian sungai hutan Cemara.

“Setiap saat orang itu pasti datang, entah apa dan dengan jalan bagaimana, kita harus berhati-hati”, berkata Empu Dangka setelah mendengar cerita dari Mahesa Amping.

Mahesa Amping terlihat mohon diri kepada Empu  Dangka untuk membawa Putu Risang, Jayanagara dan Adityawarman berlatih di sanggar tertutup.

Bukan main gembiranya Adityawarman dan Jayanagara berlatih di dalam sanggar tertutup. Dengan penuh semangat mereka berlatih dengan berbagai alat yang ada. Terlihat mereka jatuh bangun diatas bambu titian yang cukup panjang, juga dengan penuh semangat diiringi tawa riang jiwa kanak-kanak mereka yang berlari diatas patok-patok kayu yang sengaja ditanam memanjang untuk melatih ketahanan dan keseimbangan.

Demikianlah, Jayanagara dan Adityawarman dibawah asuhan dan bimbingan Mahesa Amping telah dituntun setahap demi setahap mengenal kanuragan, mengenal bagaimana memahami setiap gerak dan kekuatan yang dapat dilontarkannya secara terinci sesuai dengan batas pemahaman pikiran dan jiwa mereka, tidak lebih. Dan Mahesa Amping adalah seorang guru terbaik yang mereka miliki.

Hari-hari berlalu, ancaman Pendeta Gesangkara yang akan menyatroni Padepokan Pamecutan sepertinya lambat laun seperti angin yang kian lama semakin hilang. Kekhawatiran mereka di Padepokan Pamecutan sudah semakin menipis. Pendeta Gesangkara tidak pernah muncul, dan mereka merasa yakin bahwa ancaman itu mungkin sudah sudah tidak ada lagi.

“Bolehkah kami berlatih di tepian sungai hutan cemara?”, bertanya Adityawarman dengan wajah dan mata yang begitu polos penuh harap kepada ayahandanya Mahesa Amping. Mahesa Amping tersenyum menatap mata yang bening dan jernih itu.

“Ayah juga rindu melihat suasana disana”, berkata Mahesa Amping sambil mengusap lembut kepala anaknya dengan penuh keceriaan hati.

Bukan main senangnya Adityawarman. Dan ternyata bukan hanya Adityawarman seorang yang menunggu jawaban itu, disisinya ada Jayanagara yang ikut gembira.

“Panggil Kakang Putu Risang”, berkata Mahesa Amping kepada Adityawarman.

Maka sambil berlompat kecil berjingkrak-jingkrak kedua anak lelaki yang sedang gembira itu berjalan kebelakang mencari Putu Risang.

Hari itu matahari sudah mulai naik mengintip disela-sela pohon mungur yang tumbuh tinggi menjulang diseberang Padepokan Pamecutan.

Terlihat dua orang lelaki dewasa dan dua bocah lelaki kecil tengah keluar dari regol pintu halaman Padepokan Pamecutan.

Mereka adalah Mahesa Amping, Putu Risang, Adityawarman dan jayanagara yang akan menuju ke tepian sungai di hutan cemara.

Matahari pagi menyambut hangat kedatangan mereka yang telah sampai di tepian sungai hutan Cemara.

Terlihat Adityawarman dan Jayanagara saling berpandangan penuh senyum, ternyata pandangan itu mengandung sebuah arti. Tanpa sebuah isyarat apapun mereka sudah langsung turun berlomba berlari secepatnya berlompat diantara bongka-bongkah batu yang ada disepanjang sungai di hutan cemara itu.

“Temani mereka”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.

Terlihat Putu Risang sudah turun ke sungai, menyusul dan mendekati Adityawarman dan Jayanagara. Sementara itu Mahesa Amping mencari sebuah batu besar di tepian sungai.

Sinar cahaya pagi yang hangat menyapu wajah Mahesa Amping. Matanya terus mengikuti setiap langkah kakikaki kecil yang terus berloncat dan berlari diantara batubatu yang bertebaran disepanjang sungai. Mahesa Amping melihat bayangan masa depan yang penuh kegemilangan disetiap jejak langkah kedua bocah kecil di hadapannya.

“Masa depan Singasari Raya ada disetiap jejak langkah kaki mereka”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil memandang Adityawarman dan Jayanagara.

Namun tiba-tiba saja pranggraita Mahesa Amping yang tajam terasa bergetar mengisi seluruh rongga hatinya.

“Mahesa Muksa ….”, tiba-tiba saja Mahesa Amping teringat ancaman pendeta Gesangkara.

Darah Mahesa Amping seperti berdesir terkesiap tanpa dapat berbuat apapun.

Bukan main terperanjatnya Mahesa Amping, hanya dalam hitungan beberapa kedipan mata, telah berkelebat sebuah bayangan yang meluncur begitu cepatnya mengarah langsung ke Adityawarman yang tengah melompat kesebuah bongkahan batu besar. Belum sempat kaki itu menjejakkan kakinya, dirinya terasa terbang disambar tangan kuat yang terus meluncur menjauh.

Terlihat tubuh Adityawarman sudah berada dalam kempitan yang kuat seorang lelaki berjubah diseberang sungai, berseberangan dengan Mahesa Amping. Ternyata orang itu tidak lain adalah Pendeta Gesangkara.

“Jangan berbuat apapun, atau kamu hanya menerima jasad anak ini tanpa nyawa”, berkata Pendeta Gesangkara mengancam Mahesa Amping. Amarah Mahesa Amping sudah terasa memuncak diatas ubun-ubunnya, tapi Mahesa Amping segera dan berusaha mengendalikannya.

“Apa yang kamu inginkan”, berkata Mahesa Amping yang telah kembali dapat mengendalikan dirinya. Namun matanya yang tajam tidak pernah bergeming sedikitpun menatap sosok tubuh yang tengah dikempit tidak berdaya ditangan Pendeta Gesangkara.

“Aku hanya menginginkan Mahesa Muksa”, berkata Pendeta Gesangkara dari seberang sungai.

Sementara itu Putu Risang yang masih berada di tengah sungai berdiri disebuah batu besar tidak berani bertindak apapun, dirinya memasrahkan segalanya kepada Mahesa Amping, disamping juga takut bila tindakannya akan membahayakan keadaan Adityawarman. Yang dilakukan saat itu adalah memegang tangan Jayanagara untuk sekedar melindunginya dari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi.

“Anak itu tidak ada kaitannya dengan Mahesa Muksa”, berkata Mahesa Amping sambil berusaha mengulur waktu dan mencoba mencari akal untuk dapat menyelamatkan putranya ditangan Pendeta Gesangkara.

“Aku tahu apa yang tengah kamu pikirkan tuan Senapati, anak ini berharga sebagai barang pertukaran”, berkata Pendeta Gesangkara sambil tertawa.

Bukan main kagetnya Mahesa Amping bahwa orang yang ada diseberang sungai itu telah menguasai ajian ilmu Daranaraya, sebuah ilmu yang dapat membaca buah pikiran orang lain.

“Aku harus berhati-hati menghadapi orang yang telah menguasai ajian ilmu Danaraya”, berkata Mahesa Amping kepada dirinya sendiri.

Terdengar Pendeta Gesangkara tertawa. “ternyata kamu telah mengetahui ajian ilmu Danaraya”, berkata Pendeta Gesangkara diujung tawanya.

Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang, pikirannya kembali terbaca oleh Pendeta Gesangkara.

“Bila anak itu celaka ditanganmu, aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia”, berkata Mahesa Amping.

“Ternyata pilihanku sangat tepat, tuan Senapati begitu sangat mencintai anak ini”, berkata Pendeta Gesangkara sambil berderai tawa yang panjang. ”Pekan depan, purnama diatas bukit Aking. Pastikan bahwa kamu datang seorang diri membawa Mahesa Muksa. Kita akan melakukan pertukaran disana”, berkata Pendeta Gesangkara sambil tertawa panjang bergema yang kemudian menghilang terbang dengan kecepatan yang sukar sekali ditangkap oleh mata wadag biasa.

Mahesa Amping berdiri tegap tercenung kaku, dirinya tidak berani gegabah bertindak bodoh karena Adityawarman telah berada dalam kekuasaan Pendeta Gesangkara yang kelihatannya tidak bisa dianggap dengan sebelah mata. Seorang yang sudah berada di tataran yang sangat tinggi, namun sudah “gila” dengan kekuasaan.

“Menyerahkan Mahesa Muksa untuk mengambil Adityawarman?”, berkata dalam hati Mahesa Amping tengah membuat beberapa pertimbangan. “Aku tidak akan menyerahkan siapapun!”, berkata Mahesa Amping sambil menggeram, terdengar suara gemeretak giginya saking menahan rasa geramnya yang sangat.

“Menyerahkan Mahesa Muksa?”, bertanya Nariratih dengan suara gamang ketika Mahesa Amping bercerita tentang apa yang telah terjadi di tepian sungai hutan Cemara.

“Aku tidak akan menyerahkan siapapun, tidak Mahesa Muksa, juga tidak Adityawarman”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang cukup tegas.

“Kita bisa datang bersama ke bukit Aking tanpa menunggu Purnama, kita habisi orang tua edan itu”, berkata Arga Lanang dengan suara yang penuh amarah dan berapi-api yang juga telah mendengar apa yang terjadi ditepian sungai hutan Cemara atas diri Adityawarman. “Akulah yang membawa anak itu ke Balidwipa ini, tuan Putri Dara Jingga dan kakeknya Raja Melayu telah mempercayakan keselamatan jiwanya diatas nyawa dan kehormatanku”, berkata Arga Lanang dengan suara yang masih penuh kemarahan yang sangat.

“Aku tahu betul siapa Gesangkara, karena dia adalah saudara seperguruanku. Dia tidak pernah main-main dengan sebuah ancaman. Kita harus memikirkan keselamatan Adityawarman”, berkata Pendeta Gunakara mencoba menenangkan suasana yang sudah demikian tidak terarah, terutama sikap Nariratih dan Arga lanang.

“Benar, kita harus berpikir jernih. Sementara itu tidak ada kewajiban apapun untuk mengikuti perintah Pendeta Gesangkara”, berkata Empu Dangka dengan suara yang sareh ikut memberikan pertimbangannya.

“Apakah Empu Dangka dapat memberikan penjelasan, aku belum mengerti apa yang Empu Dangka maksudkan dengan tidak mengikuti perintah Pendeta Gesangkara?”, bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Mari kita duduk bersama”, berkata Empu Dangka mengajak semuanya untuk berkumpul duduk bersama dipendapa Padepokan Pemecutan.

“Mungkin dengan sambil duduk disini, hati dan pikiran kita akan menjadi lebih jernih”, berkata kembali Empu Dangka dengan penuh senyum sambil duduk di sudut pendapa.

Terlihat Mahesa Amping, Pendeta Gunakara, Ki Sandikala, Arga Lanang dan Nariratih ikut bersama duduk di pendapa. Sementara itu hari sudah mulai datang dipengawal sore, cahaya matahari bergeser jatuh terhalang wuwungan rumah utama padepokan Pamecutan.

Suasana di pendapa Pamecutan menjadi begitu sejuk dan adem. Semilir angin kadang datang membawa wangi daun dan tanah basah hutan cemara disisi timur Padepokan Pamecutan.

“Ternyata Empu Dangka benar, amarahku sepertinya mereda, hati dan pikiranku menjadi lebih jernih. Sayangnya aku paling tidak suka duduk terlalu lama”, berkata Arga Lanang sambil bergeser semakin merapat memberi tempat kepada Ki Sandikala sebagai orang terakhir yang ikut duduk bersama di pendapa Padepokan Pamecutan.

Lama juga menunggu Empu Dangka menyampaikan buah pikirannya. Terlihat semua mata telah tertuju kepadanya seorang.

Terlihat Empu Dangka menyapu pandangannya kesemua yang hadir saat itu, sebaris senyumnya terlihat mengiringi.

“Mudah-mudahan, pendapat dan caraku ini dapat diterima. Tidak juga menutup apapun tindakan dan cara lain yang sejalan dengan apa yang ingin kita laksanakan sebagai jalan keluar dari permasalahan yang tengah kita hadapi ini”, berkata Empu Dangka mengawali penjelasannya.

“Perlu diketahui, orang yang kita hadapi ini menguasai Ajian ilmu Daranaraya”, berkata Mahesa Amping memberi masukan kepada Empu Dangka yang dibenarkan oleh Pendeta Gunakara.

“Artinya semua yang ada disini dapat diikutkan, kecuali Arga lanang”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum menatap Arga Lanang.

“Kenapa aku?”, bertanya Arga Lanang tidak mengerti.

“Karna kita akan bersandiwara”, berkata kembali Empu Dangka.

“Hanya sekedar bersandiwara, aku dapat melakukannya”, berkata Arga Lanang masih penasaran.

“Apakah kamu mampu mengunci jalan pikiranmu agar tidak terbaca oleh lawan yang menguasai ajian ilmu Daranaraya?”, bertanya Empu Dangka kepada Arga Lanang.

Terlihat Arga Lanang tidak berkata apapun selain menggelengkan kepalanya.

“Kamu masih dapat bertugas disini, menjaga para cantrik sementara kami keluar ke Bukit Aking, bukan begitu Empu Dangka?”, berkata Ki Sandikala mencoba menghibur Arga Lanang.

“Padepokan ini memang tidak boleh kosong”, berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang.

Mendengar perkataan Mahesa Amping, sepertinya Arga Lanang sudah dapat menerima sepenuh hati, menerima tugas yang menurutnya tidak kalah pentingnya yaitu menjaga Padepokan Pamecutan yang mungkin saja dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Melihat bahwa Arga Lanang sudah dapat menerima tugasnya, Emput Dangka dengan perlahan menyampaikan apa yang harus mereka lakukan.

“Nyi Nariratih sangat berperan, keberhasilan siasat ini ada ditangannya”, berkata Empu Dangka memulai penjelasannya. “Perlu diketahui bahwa kelemahan ajian ilmu Daranaraya adalah tidak mampu membaca jalan pikiran seorang wanita”, berkata kembali Empu Dangka.

“Mengapa bisa jadi sedemikian rupa?”, bertanya Arga lanang yang sangat tertarik dengan ajian ilmu Daranaraya yang baru didengarnya itu.

“Karena wanita sering berkata dengan perasaannya, dan bukan dengan pikirannya”, berkata Ki Sandikala yang sedikit banyak pernah mendengar tentang ajian ilmu Daranaraya.

“Ternyata Ki Sandikala ahli mengenal wanita”, berkata Pendeta Gunakara menanggapi perkataan Ki Sandikala.

“Karena aku pernah punya istri seorang wanita”, berkata Ki Sandikala sambil mengusap-usap janggutnya yang sudah mulai memutih sebagian.

Semua yang hadir di pendapa Padepokan Pamecutan terlihat tersenyum mendengar ucapan Ki Sandikala, suasana seketika itu sepertinya menjadi tidak menegangkan lagi.

“Aku pernah ke Bukit Aking, sangat mengenalnya seperti masuk kerumahku sendiri”, berkata Empu Dangka memulai kembali penjelasannya. “Disana ada sebuah goa yang cukup baik untuk berlindung, dan aku yakin selama ini Pendeta Gesangkara bersembunyi disitu”, berkata kembali Empu Dangka.

“Apa yang harus kita lakukan?”, bertanya Ki Sandikala menyela penjelasan Empu Dangka, sepertinya sudah tidak sabar lagi mendengar siasat Empu Dangka.

“Mungkin Pendeta Gunakara sudah dapat membaca arah pikiranku, aku yakin saudara tua dari Pendeta Gesangkara pasti sudah lebih mumpuni dari saudaranya”, berkata Empu Dangka sambil melirik penuh senyum kearah pendeta Gunakara.

“Siasat Empu Dangka adalah memancing harimau untuk keluar dari sarangnya meninggalkan sanderanya. Disaat itulah kita bergerak menutup goa dan mengepung harimau yang sudah terjebak, mudah-mudahan penangkapanku tidak banyak meleset”, berkata Pendeta Gunakara memberikan penjelasan lewat penangkapan jalan pikiran Empu Dangka.

“Tidak meleset sedikitpun”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum kepada Pendeta Gunakara.

“Boleh aku mencoba membaca sedikit pikiran Empu Dangka?”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.

Terlihat semua mata memandang kearah Ki Sandikala, dengan perlahan dan terinci menjabarkan pikiran Empu Dangka yang berhasil diserapnya.

“Bagaimana Empu Dangka?, mudah-mudahan penangkapanku tidak meleset jauh”, berkata Ki Sandikala kepada Empu Dangka.

“Luar biasa, sangat rinci dan tepat sekali”, berkata Empu Dangka yang diam diam mengagumi ketajaman bathin Ki Sandikala.

“Semua berkat karunia mengenal Yang Maha Pencipta yang tak terbatas kekuasaannya”, berkata Ki Sandikala dengan penuh senyum suka citanya.

“Mulai hari ini aku harus berhati-hati kepada Ki Sandikala”, berkata Arga Lanang sambil manggut manggut.

“Pikiran lelaki muda akan sangat terbuka dan begitu mudah untuk dibaca”, berkata Ki Sandikala sambil melirik kearah Arga Lanang yang duduk tepat disebelahnya.

“Apa yang pernah Ki Sandikala baca dari pikiranku?”, bertanya Arga Lanang kepada Ki Sandikala yang didengar oleh semua yang ada.

Terlihat Ki Sandikala tidak langsung menjawab pertanyaan Arga Lanang, hanya menarik napas panjang dan tersenyum menatap wajah Arga Lanang yang menunggu tanpa sabar perkataan Ki sandikala.

“Aku tidak enak hati pernah membaca pikiranmu, lebih tidak enak lagi karena ada Nyi Nariratih disini”, berkata Ki Sandikala sambil memandang Nariratih yang diam-diam dapat menangkap arah perkataan Ki sandikala.

“Terima kasih, tidak perlu dilanjutkan”, berkata Arga Lanang dengan wajah merah seperti kepiting rebus sambil mengelus-elus paha Ki Sandikala penuh permohonan.

Demikianlah, semua nampaknya sudah mengerti apa tugas masing-masing sebagai sebuah usaha untuk menyelamatkan Adityawarman dari tangan Pendeta Gesangkara. Sebuah siasat yang sangat berbahaya.

Sementara itu senja telah perlahan turun menyelimuti langit Padepokan Pamecutan. Semilir angin membawa kesegaran menembus dinding kayu lantai pendapa. Hutan cemara disisi timur, hamparan sawah yang berundak di seberang muka padepokan terlihat begitu bening sejauh mata memandang.

Perlahan senjapun menyelinap sembunyi dibawah bayang-bayang wajah malam yang gelisah menanti saatnya kembali menjaga bumi, dalam dekap senyap gelapnya.

Di keremangan malam itulah terlihat lima sosok bayangan tengah berjalan menyusuri tanah jalan setapak menuju arah bukit Aking yang tidak begitu jauh dari Padepokan Pamecutan, hanya berjarak setengah perjalanan malam

Ternyata mereka adalah lima orang Padepokan Pamecutan yang baru saja meninggalkan gerbang Padepokan Pamecutan. Terlihat seorang wanita bersamanya sambil menggendong seorang bayi.

“Disaat menjelang tengah malam kita sudah sampai di bukit Aking”, berkata Empu Dangka sambil berjalan terus dimuka.

Terlihat kelima orang itu tersaruk-saruk mengikuti jalan tanah setapak diantara lebatnya hutan malam. Hari memang sudah jatuh pekat dan sunyi. Mereka terlihat berjalan melangkah terus tiada henti. Hanya sesekali mereka harus melompat ketika dihadapan mereka terhalang batu besar.

Akhirnya merekapun sudah sampai di kaki bukut Aking. Sebuah bukut kecil yang dipagari hutan kayu yang cukup lebat, jarang sekali orang datang mengunjungi bila tidak ada keperluan yang sangat mendesak, konon katanya dihutan bukit Aking adalah sarang srigala juga hantu dedemit yang suka memakan manusia mentah-mentah.

Namun kelima orang yang tengah memasuki hutan bukit Aking ini nampaknya tidak takut apapun, mereka masih terus melangkah semakin dalam dan mendaki diatas tanah hutan basah menyusuri sungai kecil berbatu, hanya jalan itu yang paling mudah untuk dilalui.

“Jalan menuju goa sekitar seratus langkah lagi diarah kiri jalan kita”, berkata Empu Dangka yang berhenti melangkah. “Aku bersama Nyi Nariratih berjalan lurus mendekati goa, kalian harus melambung agar tidak terlihat dan terbaca”, berkata kembali Empu Dangka, kali ini ditujukan kepada Mahesa Amping, Pendeta Gunakara dan Ki Sandikala.

Terlihat Nyi Nariratih berjalan kearah kiri jalan dan terus berjalan lurus, sementara itu Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Pendeta Gunakara berjalan agak memutar berharap dapat menemukan goa dari sisi samping.

Terlihat Nyi Nariratih dan Empu Dangka telah berada sekitar lima belas langkah dari arah goa. Tiba-tiba saja Empu Dangka memegang tangan Nyi Nariratih dengan sangat keras.

“Perbuatan Nyi Nariratih dapat merusak rencana Mahesa Amping!”, berkata Empu Dangka dengan suara yang keras, hampir dapat dikatakan setengah membentak.

“Lepaskan tanganmu, hanya ini yang aku lakukan sebagai baktiku kepada tuan Senapati”, berkata Nyi Nariratih dengan tidak kalah kerasnya.

“Tapi tindakanmu dapat membahayakan Mahesa  Muksa”, berkata Empu Dangka dengan suara yang masih lantang.

“Nyawa diriku dan anakku ini tidak berarti dibandingkan Adityawarman putra tuan Senapati, hanya inilah yang dapat kupersembahkan sebagai cinta dan penghambaan kepada tuanku Senapati”, berkata kembali Nyi Nariratih sambil melepaskan diri dari cengkraman tangan Empu Dangka yang merenggutnya.

Ternyata suara mereka berhasil mengusik orang yang ada didalam goa. Terlihat seorang berjubah putih keluar dari dalam goa mendekati mereka. Ternyata orang yang baru keluar dari goa itu dikenal oleh Nyi Nariratih yang tidak lain adalah pendeta Gesangkara.

“Ternyata aku tidak harus menunggu purnama, serahkan segera bayimu itu”, berkata pendeta Gesangkara di muka Goa dengan diiringi suara tawanya yang sangat begitu menyeramkan di hutan malam yang sunyi dan senyap.

“Jangan kamu serahkan Mahesa Muksa, biarkan Mahesa Amping yang akan menyelesaikan semua ini”, berkata Empu Dangka sambil memegang tangan Nariratih sepertinya tengah menahan agar Nariratih tidak menyerahkan Mahesa Muksa kepada pendeta Gesangkara.

Ternyata perkataan Empu Dangka membuat Pendeta Gesangkara menjadi tidak sabaran, terlihat dirinya maju beberapa langkah mendekati Nariratih.

“Orang tua, jangan ikut campur, atau kepalamu kuhancurkan”, berkata pendeta Gesangkara mengancam Empu Dangka.

Terlihat Empu Dangka melepas pegangannya pada bahu Nariratih, melangkah membelakangi Nariratih dan berhadapan dengan Pendeta Gesangkara.

Pada saat yang sama, Mahesa Amping bersama  Pendeta Gunakara dan Ki sandikala telah melompat serentak menutup pintu goa.

Bukan main kagetnya Pendeta Gesangkara melihat apa yang terjadi.

“Kalian sengaja membuat perangkap ini?”, berkata Pendeta Gesangkara dengan wajah yang kurang senang. Kilat matanya terlihat sekilas sebagai tanda kemarahannya yang memuncak.

“Apakah dirimu merasa terperangkap?”, bertanya Mahesa Amping kepada Pendeta Gesangkara.

“Ternyata aku berhadapan dengan orang yang tidak bisa dipegang janjinya”, berkata Pendeta Gesangkara dengan suara yang sangat gusar penuh kemarahan.

“Aku masih memegang janji, akan datang di purnama pekan depan”, berkata Mahesa Amping dengan tenang dan penuh senyum.

“Tidak perlu lagi, hari ini saja kita selesaikan urusan kita dengan sebuah pertempuran yang adil. Siapa yang keluar sebagai pemenang, dialah yang berhak atas bayi itu”, berkata Pendeta Gesangkara menantan Mahesa Amping.

“Aku menerima tantanganmu itu”, berkata Mahesa Amping tanpa merasa takut sedikitpun.

Sementara itu Ki Sandikala sudah masuk kedalam goa. Didapatkannya Adityawarman yang masih tengah tertidur pulas. Ternyata Pendeta Gesangkara tidak berbuat apapun atas diri Adityawarman, bahkan terlihat telah menjaga dan memberinya kecukupan makan sepanjang hari. Ki Sandikala langsung memapah Adityawarman yang masih tertidur keluar goa.

Melihat Adityawarman yang dipapah oleh Ki Sandikala telah membuat diri Mahesa Amping menjadikan perasaannya semakin tenang dan percaya diri. Diamdiam telah memusatkan diri lahir dan bathin untuk menghadapi Pendeta Gesangkara yang diyakininya bukan orang kebanyakan, seorang yang sangat mumpuni.

Mahesa Amping maju dua langkah, sementara Pendeta Gesangkara juga ikut maju dua langkah.

Bukan main main kagetnya Pendeta Gesangkara ketika matanya bertabrakan dengan sorot mata Mahesa  Amping yang begitu tajamnya.

Mata Pendeta Gesangkara seperti terbentur perisai cermin yang kokoh menarik sedalam dalamnya jiwa dan semangatnya.

“Keluarkan senjatamu!”, berkata Pendeta Gesangkara membentak melontarkan perasaan gundah dan resahnya ketika membenturkan pandangan matanya dihadapan Mahesa Amping.

Terlihat Mahesa Amping telah mengurai cambuknya perlahan. ”Mari kita mulai”, berkata Mahesa Amping dengan suara perlahan dan penuh percaya diri yang tinggi. Tangan kirinya terlihat tengah memegang ujung cambuknya dengan posisi tubuh begitu santainya seperti tidak akan bersiap melakukan sebuah pertempuran.

Melihat sikap Mahesa Amping telah membakar perasaan Pendeta Gesangkara, sikap mahesa Amping sepertinya sebuah pelecehan, sikap Mahesa Amping ditangkap Pendeta Gesangkara sebagai sikap yang meremehkan dirinya.

“Kamu terlalu jumawa tuan Senapati”, berkata Pendeta Gesangkara sambil melesat meluncur dan menerjang Mahesa Amping dengan tongkat panjangnya.

Mahesa Amping melihat serangan awal itu cukup  dahsyat dan cepat, dengan hati-hati Mahesa Amping segera bergeser kesamping dan bermaksud akan balik menyerang lawannya.

Bukan main kagetnya Mahesa Amping, sepertinya lawannya telah membaca apa yang akan dilakukannya, baru saja tubuhnya bergeser kesamping, tongkat Pendeta Gesangkara seperti bermata langsung berbelok arah mengejar tubuh Mahesa Amping.

Melihat serangan susulan itu, Mahesa Amping tidak jadi balik menyerang, dengan terpaksa mundur dua langkah menghindari pukulan tongkat Pendeta Gesangkara.

Sadarlah Mahesa Amping bahwa Pendeta Gesangkara telah membaca pikirannya lewat ajian ilmu Daranaraya yang sudah begitu tinggi yang mampu dengan cepatnya membaca arah dan jalan pikiran lawannya.

Tapi Mahesa Amping bukan anak kemarin sore yang baru belajar, didalam diri Mahesa Amping telah sarat dengan berbagai kekuatan ilmu yang sangat tinggi. Namun Mahesa Amping tidak langsung menunjukkan kemampuan yang sebenarnya. Dibiarkannya lawan menjadi gembira telah berhasil membaca arah jalan pikirannya.

Untuk kedua kalinya tongkat Pendeta Gesangkara berubah arah serangan dengan begitu cepatnya, mencoba menyerang kearah langkah yang mematikan.

Tapi bukan Mahesa Amping kalau tidak bisa menghindar, dengan kecepatan yang luar biasa Mahesa Amping melenting keudara sambil melecutkan cambuknya kearah Pendeta Gesangkara.

Bukan main terkejutnya Pendeta Gesangkara menghadapi cara Mahesa Amping menghindar.

Diam-diam Pendeta Gesangkara mengagumi kecepatan Mahesa Amping bergerak, maka Pendeta Gesangkara terpaksa melompat mundur.

Melihat Pendeta Gesang mundur selangkah, Mahesa Amping langsung memburunya dengan serangan susulan yang juga tidak kalah berbahaya dan cepatnya, ujung cambuk Mahesa Amping seperti mematuk kearah dada Mahesa Amping.

Pendeta Gesangkara ternyata sudah membaca kemana arah cambuk Mahesa Amping, baru saja cambuk itu bergerak kearah dadanya, Pendeta Gesangkara sudah melesat maju menyamping dengan menyodokkan tongkatnya kearah kepala Mahesa Amping.

Demikianlah awal pertempuran antara Mahesa Amping dan Pendeta Gesangkara telah terjadi begitu seru dan menegangkan. Pendeta Gunakara yang mengetahui sejauh mana ilmu saudaranya Pendeta Gesangkara diam-diam mengagumi Mahesa Amping yang ternyata mampu melayani ilmu saudaranya itu.

Sementara itu Empu Dangka dan Nariratih tidak pernah sedikitpun memalingkan matanya kearah pertempuran itu.

“Tuan Senapati ketemu tanding”, berkata Nariratih yang juga tahu tentang kanuragan bahkan dapat dikatakan sebagai murid utama yang terbaik di Padepokan Teratai Putih.

“Mahesa Amping baru menerapkan sepertiga kekuatan yang sebenarnya”, berkata Empu Dangka berusaha menenangkan hati dan perasaan Nariratih yang sangat tegang, penuh harap agar Mahesa Amping dapat keluar sebagai pemenang pertempuran itu.

“Kamu aman bersamaku, kita berdoa untuk ayahmu”, berkata Ki Sandikala sambil memegang tangan Adityawarman yang sudah terbangun dan terkejut mendapatkan dirinya berada bersama Ki Sandikala. Juga telah melihat langsung pertempuran antara Pendeta Gesangkara dan ayahnya Mahesa Amping.

“Tongkatku akan menghancurkan kepalamu”, berkata Pendeta Gesangkara sambil melayangkan tongkatnya setengah lingkaran kearah batok kepala Mahesa Amping.

Mahesa Amping segera merunduk sedikit membiarkan tongkat kayu itu berdesing diatas kepalanya, bukan main kagetnya Pendeta Gesangkara ketika cambuk Mahesa Amping dengan kecepatan yang luar biasa secepat pikiran pendeta Gesangkara yang baru saja menangkap arah pikiran Mahesa Amping lewat ajian ilmu Daranarayanya.

“Aku akan membiarkan pikiranku dibacanya, suatu waktu aku akan menjebaknya”, berkata Mahesa Amping sambil mengelak kembali serangan Pendeta Gesangkara yang kali ini menyerang kearah pundaknya.

“Berkhayallah kamu untuk dapat menjebakku”, berkata Pendeta Gesangkara yang dapat membaca pikiran Mahesa Amping.

Mahesa Amping tidak menjawab, hanya memutar cambuknya menyambar dada lawan, namun dengan gesitnya Pendeta Gesangkara berkelit dan balas menyerang dengan tongkatnya menyelinap  diantara desir cambuk Mahesa Amping yang masih berputar.

Demikianlah, pertempuran sudah semakin meningkat tataran demi tataran, semakin cepat menderu dengan kekuatan cadangan yang begitu dahsyat. Batang pohon, batu dan tanah terlihat berhamburan porak poranda terhantam sasaran cambuk dan tongkat kayu mereka. Pukulan-pukulan tongkat kayu Pendeta Gesangkara selalu beriring dengan hawa dingin yang begitu menyentak. Untungnya Mahesa Amping telah melambari dirinya dengan penangkal kekuatan terbalik, sebuah hawa panas yang kadang melampaui sentakan hawa dingin membeku yang datang bersama serangan tongkat Pendeta Gesangkara.

Hanya kecepatan yang diandalkan oleh Mahesa Amping untuk menangkal ajian ilmu Daranaraya yang kadang dapat dengan tidak terduga sudah menutup rencana yang dipikirkan oleh Mahesa Amping.

Untuk sementara itu Mahesa Amping mebiarkan arah jalan pikirannya selalu dapat dibaca oleh Pendeta Gesangkara.

“Saatnya!”, berkata Mahesa Amping yang telah menggandakan arah jalan pikirannya menjadi dua arah pikiran yang bercabang. Arah pikiran Mahesa Amping dibuat menjadi dua arah pikiran yang terbalik. Arah pikiran pertama adalah melecutkan cambuknya kearah sisi kanan rusuk Pendeta Gesangkara. Sementara arah pikiran kedua kebalikannya, yaitu menyerang sisi kiri rusuk Pendeta Gesangkara.

Bukan main terkejutnya Pendeta Gesangkara ketika membaca arah pikiran Mahesa Amping, sudah langsung mengarahkan tongkatnya melindungi sisi rusuk sebelah kanannya. Namun langkahnya seperti mati langkah ketika cambuk Mahesa Amping tidak sesuai yang dibacanya, menyerang dengan cepat menyambar sisi rusuk kirinya.

“Gila!!”, berkata Pendeta Gesangkara sambil melompat kebelakang jatuh berguling, hanya itu yang dapat dilakukannya untuk menghindari rusuk kirinya dari hantaman cambuk Mahesa Amping yang sudah diketahui sangat dahsyat dapat meleburkan batu cadas keras.

Mahesa Amping tidak mengejar Pendeta Gesangkara yang menggelinding di tanah. Terlihat Mahesa Amping berdiri kokoh sambil memegang cambuknya dengan ujung jurainya masih berada dalam genggamam tangan kirinya.

“Baru hari ini kudapatkan ada orang yang dapat berpikir secara terbalik”, berkata pendeta Gesangkara yang sudah berdiri kembali siap melakukan serangannya.

“Aku bukan saja dapat mebalikkan arah pikiranku, tapi aku dapat memperbanyaknya sesuai yang kuinginkan”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang seperti guntur memekakan telinga.

Bukan main kaget dan terkejutnya Pendeta Gesangkara tidak mempercayai dengan apa yang dilihatnya.

Mata Pendeta Gesangkara terlihat terbelalak melihat dihadapannya berdiri lima wujud Mahesa Amping.

“Hanya Jamyang Dawa Lama yang menguasai jenis ilmu ini”, berkata Pendeta Gunakara berbisik kepada Ki Sandikala didekatnya.

“Ajian ilmu Kawah ari-ari”, berkata Empu Dangka kepada Nariratih.

“Empat diantaranya pasti cuma bayangan bayangan semu”, berkata Pendeta Gesangkara dalam hati dengan perasaan yang berdebar-debar.

“Semuanya asli tuan pendeta”, berkata salah seorang dari Mahesa Amping dengan penuh senyum dapat membaca pikiran Pendeta Gesangkara.

“Jangan kira aku akan melarikan diri”, berkata Pendeta Gesangkara sambil menyerang salah seorang dari Mahesa Amping.

Bukan main kagetnya Pendeta Gesangkara ketika serangan tongkatnya dapat dihindari oleh salah seorang wujud Mahesa Amping yang langsung membalasnya dengan sambaran cambuknya. Bukan main kagetnya Pendeta Gesangkara yang merasakan hawa panas yang berdesir bersama angin sambaran cambuk itu.

Ketika Pendeta kembali mencoba menyerang wujud Mahesa Amping yang lainnya, perlakuan yang sama dirasakan oleh Pendeta Gesangkara.

Pendeta Gesangkara sudah mulai menjadi kecut manakala kelima wujud Mahesa Amping telah bergerak mengepungnya.

“Menyerahlah, sebelum salah satu cambuk kami melukai tuan pendeta”, berkata salah satu wujud Mahesa Amping memberi kesempatan kepada Pendeta Gesangkara untuk menyerah.

Ternyata Pendeta Gesangkara tidak juga mau menyerah, masih percaya dengan kekuatan ilmunya sendiri. Maka sambil menggeram menghentakkan rasa kecutnya sendiri segera melompat menyerang salah seorang dari wujud Mahesa Amping.

Kali ini bukan hanya seorang dari kelima wujud Mahesa Amping yang bergerak, tapi bersamaan kelima wujud Mahesa Amping telah meluruk masuk ikut menyerang Pendeta Gesangkara.

Bukan main sibuknya Pendeta Gesangkara yang harus melenting kesana kemari menjadi bulan-bulanan serangan Mahesa Amping dalam wujud limanya.

Dapat dibayangkan betapa repotnya Pendeta Gesangkara, karena menghadapi seorang Mahesa Amping saja sudah sangat berat, apalagi lima orang wujud Mahesa Amping dengan kekuatan dan kecepatan yang sama-sama menggetarkan hati.

Hingga akhirnya sebuah cambuk salah seorang wujud Mahesa Amping dapat menembus dan mematuk paha kanan Pendeta Gesangkara.

“Mengapa tidak ada sedikitpun di pikiran kamu untuk menyerah”, berkata Mahesa Amping yang sudah melepaskan rangkapnya kepada Pendeta Gesangkara yang sudah tidak berdaya merasakan sebelah kakinya lumpuh

“Angkat cambukmu, bunuhlah aku”, berkata Pendeta Gesangkara kepada Mahesa Amping.

“Aku tidak akan membunuh lawanku yang sudah tidak berdaya”, berkata Mahesa Amping menjawab perkataan Pendeta Gesangkara.

“Menyerahlah wahai saudaraku, lupakanlah semua harapan dan keinginan semumu, kelak ketika aku kembali ke negeri Tibet, apapun yang terjadi hari ini tidak akan kuciritakan kepada siapapun”, berkata Pendeta Gunakara yang telah datang mendekati pendeta Gesangkara.

“Lupakanlah keinginanmu untuk memiliki Mahesa Muksa, dan aku akan melupakan permusuhan ini”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang penuh wibawa.

Akhirnya Pendeta Gesangkara dapat juga menyadari keadaan dirinya, diam-diam merasa bersyukur dirinya masih diberikan ampunan.

Terutama ucapan Pendeta Gunakara yang tidak akan menceritakan apapun yang telah diperbuat bagi sebuah kepentingannya mengambil tongkat kepemimpinan dengan cara membunuh titisan guru suci mereka.

“Tinggalkan aku disini, aku dapat merawat diriku sendiri”, berkata Pendeta Gesangkara sambil memungut tongkat kayunya yang tergeletak tidak jauh darinya.

Sementara itu malam telah berada di ujung pagi. Diatas langit bintang kejora memancar terang menyambut datangnya raja kehidupan yang telah terlihat terbangun  di ujung timur bumi, bersama warna semburat merah menghiasi ujung lengkung langit pagi.

“Apakah Pendeta Gesangkara akan berubah pikiran?”, berkata Ki Sandikala kepada Pendeta Gunakara didekatnya ketika akan menuruni bukit Aking bersama Mahesa Amping, Empu Dangka dan Nariratih. Terlihat Mahesa Amping berjalan sambil membimbing putra tercintanya Adityawarman.

“Kurasa Pendeta Gesangkara tidak akan mengulang kesalahannya”, berkata Pendeta Gunakara perlahan kepada Ki Sandikala.

“Mengapa tuan pendeta begitu yakin?”, berkata kembali Ki Sandikala kepada pendeta Gunakara.

“Dirinya telah mencoba dan melihat sendiri, Mahesa Muksa berada ditangan yang kuat, dibawah lindungan sebuah gunung batu cadas yang sangat kokoh, entah apakah masih ada kekuatan lain dimuka bumi ini yang dapat membenturnya”, berkata Pendeta Gunakara kepada Ki Sandikala yang berjalan dibelakang tertinggal jauh dari Mahesa Amping dan rombongannya.

“Itukah jua yang mengendurkan tuan pendeta merebut Mahesa Muksa dari tangan Mahesa Amping?”, bertanya Ki Sandikala sepertinya menyelidik dan ingin mengetahui langsung sikap Pendeta Gunakara.

Sebenarnya pertanyaan itu sangat mengejutkan bagi Pendeta Gunakara, terasa menusuk langsung.

Tapi Pendeta Gunakara masih tetap tersenyum memandang Ki Sandikala dengan wajahnya yang sareh, begitu sejuk.

“Aku berjalan diatas takdir-NYA, tugasku hanya melayani sepanjang masa penjelmaan Guru Suci kami hingga sampai diujung takdir itu sendiri”, berkata Pendeta Gunakara kepada Ki Sandikala yang tengah berjalan beriring bersamanya.

“Maaf, aku hanya meyakinkan perasanku”, berkata Ki Sandikala sambil menepuk pundak Pendeta Gunakara.

Akhirnya, ketika matahari sudah mulai berdiri di puncaknya. Rombongan Mahesa Amping telah terlihat memasuki regol pintu gerbang padepokan. Para cantrik menyambut kedatangan mereka dengan perasaan suka cita.

“Syukurlah, akhirnya kamu kembali dengan selamat”, berkata Arga Lanang sambil mengusap kepala Adityawarman dengan begitu gembiranya.

Demikianlah, suka cita kegembiraan itu berlanjut hingga malam hari yang berlalu bersama sebuah upacara keselamatan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Gusti Yang Maha Agung.

Dan hari-haripun berlalu di Padepokan Pamecutan dengan penuh kedamaian. Mahesa Muksa semakin tumbuh dalam asuhan kasih ibundanya Nariratih. Adityawarman dan Jayanagara sudah semakin maju pesat dibawah bimbingan seorang guru yang terbaik, Mahesa Amping. Sementara itu nuansa kekayaan ragam ilmu di Padepokan Pamecutan menjadi semakin marak, karena Pendeta Gunakara dan Ki Sandikala kadang ikut memberi warna, menjadikan para cantrik lebih pesat dan lebih kaya dalam memahami kanuragan yang sebenarnya. Tataran tingkat kemampuan para cantri Padepokan Pamecutan saat itu dapat dikatakan sudah mulai mengenal cara menghentakkan kekuatan cadangan yang ada didalam diri masing-masing. Dan diantara para cantrik, Putu Risang ternyata yang paling pesat kemajuannya. Pemuda ini ternyata punya bakat yang hebat. Mahesa Amping sangat menyenanginya, berharap akan menjadi generasi penerus kepemimpinan Padepokan Pamecutan dimasa yang akan datang.

Dan hari itu, sebagaimana biasa diawal pagi di Padepokan Pamecutan, terlihat beberapa cantrik sudah melakukan beberapa tugasnya masing-masing.  Mulai dari mengisi gentong, menyapu halaman dan menyiapkan sarapan pagi. Terlihat seorang lelaki tengah memasuki regol pintu halaman muka.

“Selamat pagi semuanya”, berkata lelaki itu penuh senyum menyapa semua yang hadir diatas pendapa Padepokan Pamecutan.

“Selamat datang Ki Bancak”, berkata Mahesa Amping menyambut kedatangan lelaki itu yang ternyata tidak lain adalah Ki Bancak, prajurit kepercayaan Mahesa Amping sebagai penghubung jalur perintah Senapati kepada para prajuritnya yang tersebar di penjuru Balidwipa.

Bersamaan dengan kedatangan Ki Bancak, terlihat pintu utama terbuka lebar. Dan dari dalam muncul Nariratih tengah membawa baki kayu berisi beberapa potong jagung rebus hangat.

Setelah menyapa dan menyampaikan keselamatan masing-masing, seperti biasa Ki Bancak bercerita tentang berbagai hal, terutama tentang kehidupan orangorang Balidwipa dibawah kendali Demung Sasana Bungalan yang penuh arif dan bijaksana menaungi semua jiwa para kawula.

Namun ternyata berita yang disampaikan oleh Ki Bancak bukan hanya berkisar pada kehidupan di Balidwipa, tapi juga perkembangan bumi Singasari Raya lewat jalur sandi prajurit Jawadwipa yang terus melakukan hubungan.

“Berdasarkan berita terakhir yang kami dapatkan, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara dua jung besar di Selat Malaka. Mereka adalah para pelaut Singasari orang-orang dari Mongol”, berkata Ki Bancak bercerita tentang berita perang besar di Selat Malaka.

“Aku tahu betul hati dan jiwa para pelaut Singasari, mereka cinta damai dan selalu membawa kedamaian”, berkata Mahesa Amping merasa heran dengan apa yang terjadi di Selat Malaka dimana Mahesa Amping juga bercerita bahwa dirinya pernah hidup bersama para pelaut Singasari menjelajahi setiap bandar-besar di hampir pelosok nagari dengan penuh damai.

“Mungkin ada yang sengaja menyulut api peperangan itu untuk kepentingannya”, berkata Empu Dangka memberikan pandangannya.

“Empu Dangka benar, yang kutahu bahwa para pelaut dari dataran Cina adalah orang-orang yang penuh rasa persahabatan”, berkata pula Pendeta Gunakara ikut memberikan pandangannya.

“Apakah sudah kamu dapatkan berita terakhir tentang sikap istana menanggapi kejadian di Selat Malaka?”, bertanya Mahesa Amping kepada Ki bancak. “Untuk hal ini, kami akan berusaha mencari hubungan secepatnya kepada para telik sandi yang bertugas dijalur langsung Istana Kotaraja Singasari”, berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping.

Akhirnya setelah merasa cukup dan tidak ada lagi yang perlu disampaikan, Ki Bancak pamit mohon diri dan berjanji untuk secepatnya mencari berita tentang perkembangan terakhir yang berhubungan dengan peperangan di Selat Malaka.

“Aku selalu merindukan dirimu wahai Ki Bancak”, berkata Empu Dangka mengiringi langkah Ki Bancak yang sudah berada di tangga terakhir pendapa Padepokan Pamecutan.

Terlihat pandangan Mahesa Amping terpaku diujung langkah Ki Bancak yang telah menghilang terhalang pagar dinding tinggi Padepokan Pamecutan. Ternyata pandang mata Mahesa Amping telah terbang lebih jauh lagi, melanglang diantara laut lepas, mengembara diantara tepian dermaga kayu bandar-bandar besar. Dan terlintas senyum yang tidak pernah dilupakan sampai saat ini, senyum dan tawa canda belahan jiwanya, sahabat dan saudara sejatinya Raden Wijaya.

Persahabatan sejati memang sangat aneh, adalah jiwa yang terbelah yang merasakan setiap degub jantung belahan jiwa lainnya dimanapun di ujung bumi yang terpisah jauh. Seakan melihat apa yang dilihat, mendengar apa yang didengar, dan tentunya dapat merasakan apa yang tengah dirasakannya.

Mahesa Amping seperti melihat tanah datar sebuah jalan panjang, seperti merasakan debu dan angin yang terlewat dan mendengar debar jantung diantara derap langkah kaki kuda. ***

Ternyata apa yang didengar dan dirasakan oleh Mahesa Amping, di hari dan waktu yang sama, hanya terpisah jarak yang begitu jauh dalam hitungan hari perjalanan. Terlihat dua ekor kuda berpacu di jalan tanah datar diperjalanan antara Bandar Cangu menuju Kotaraja Singasari.

Kedua orang penunggang kuda itu tidak lain adalah Raden Wijaya yang tengah memacu kudanya bersama Rangga Lawe. Hari pagi memang sudah mendekati terang matahari, mereka memacu kudanya yang terkadang melewati beberapa pedati yang berjalan searah atau berlawanan arah. Dari cara mereka memacu kudanya, dapat ditangkap bahwa perjalanan mereka bukan sebuah perjalanan biasa, tapi kelihatannya adalah sebuah perjalanan yang mengharuskan mereka tiba ditempat tujuan dalam waktu yang paling cepat dan singkat.

Begitu pentingkah perjalanan mereka ?

Ternyata perjalanan mereka ke Kotaraja Singasari berkaitan dengan suasana yang semakin menghangat yang terjadi di perairan Selat Malaka.

Sebagai seorang senapati yang bertugas menjaga keamanan jalur lintas perdagangan Singasari Raya, Raden Wijaya perlu meminta tanggapan dan restu dari Sri Baginda Maharaja Singasari atas apa yang telah terjadi di laut Selat Malaka.

“Kita beristirahat diujung hutan bambu”, berkata Raden Wijaya kepada Rangga Lawe sahabatnya.

“Benar, kuda kita bisa mati kelelahan”, berkata Rangga Lawe yang mengetahui bahwa disekitar hutan bambu ada sebuah sungai kecil yang berair jernih, yang dapat memberi dahaga kuda-kuda mereka setelah sepanjang perjalanan tidak berhenti beristirahat.

Terlihat Raden Wijaya dan Rangga Lawe tengah bersandar di sebuah batang pohon yang cukup besar dan rindang. Sementara itu dibiarkannya kuda-kuda mereka merumput ditepian sungai kecil yang Dangkal berbatu.

Ketika matahari sedikit bergeser dari puncaknya, mereka berdua melanjutkan perjalanannya. Terlihat kembali dua ekor kuda kembali melangkah menyuri jalan tanah yang rata yang terkadang menikung dan menanjak.

Akhirnya ketika hari mulai naik sore mereka sudah sampai di gerbang kota. Mereka masih melihat hilir mudik ramainya beberapa pedati di jalan Kotaraja. Terlihat juga beberapa orang yang berjalan kaki, satu dua orang berbincang di muka pagar rumahnya.

Terlihat Raden Wijaya dan Rangga Lawe telah turun dari kudanya ketika mereka tiba didepan gerbang istana. Dengan menuntun kuda mereka memasuki gerbang istana. Seorang prajurit pengawal istana mendekati mereka dan bertanya apa gerangan kepentingannya.

Raden Wijaya tidak marah, hanya sedikit tersenyum kepada prajurit muda itu.

“Katakan pada Pimpinanmu, kami dua orang pedagang kuda dari Bandar Cangu ada keperluan dengan Pangeran Lembu Tal”, berkata Rangga Lawe mewakili Raden Wijaya berkata kepada prajurit muda itu.

“Silahkan kalian menunggu”, berkata prajurit muda itu meminta Raden Wijaya dan Rangga Lawe menunggu ditempat yang telah disediakan, sebuah gardu untuk menunggu. Sementara itu prajurit muda itu terlihat berbicara dengan dua orang kawannya di gardu jaga, dan selanjutnya terlihat prajurit muda itu masuk ke sebuah lorong, mungkin akan melaporkan kepada atasannya.

Maka tidak lama berselang, prajurit muda itu sudah terlihat kembali datang dari sebuah lorong bersama seorang prajurit yang sudah cukup berumur, mungkin atasannya.

Bukan main kagetnya atasan prajurit muda itu ketika datang melihat Raden Wijaya dan Rangga Lawe di gardu tamu.

“Maafkan para prajurit kami yang tidak tahu bagaimana menghormati tuan-tuan”, berkata atasan prajurit muda itu kepada Raden Wijaya dan Rangga Lawe dengan penuh hormat sambil mengambil dua tali kekang kuda milik Raden Wijaya dan Rangga Lawe. ”Selamat datang di Istana Singasari”, berkata kembali atasan prajurit muda itu.

“Prajuritmu sudah melakukan tugas dengan baik, selamat berjumpa kembali Ki Lurah”, berkata Raden Wijaya sambil menepuk perlahan orang yang dipanggilnya Ki Lurah itu, seorang prajurit tua yang memang dikenalnya sudah lama bertugas di istana.

Terlihat Raden Wijaya dan Rangga Lawe berjalan meninggalkan Ki Lurah dan prajurit muda yang masih menyimpan banyak tanda tanya, merasa ringkih melihat atasannya begitu hormat kepada kedua orang tamu yang mengaku hanya sebagai pedagang kuda dari Bandar Cangu.

Ketika Raden Wijaya dan Rangga Lawe berjalan semakin menjauh dan menghilang disebuah pertigaan lorong jalan di dalam istana, terlihat Ki Lurah menarik nafas dalamdalam. Semua sikap Ki Lurah itu membuat prajurit muda itu menjadi salah tingkah.

“Kamu tidak tahu siapa kedua orang itu?”, berkata Ki Lurah kepada prajurit muda itu dengan wajah angker membuat prajurit muda itu semakin salah tingkah bercampur penuh rasa takut melihat wajah atasan langsungnya itu.

“Mereka hanya mengatakan sebagai pedagang kuda”, berkata prajurit muda itu dengan suara bergetar dipenuhi tanda tanya dan rasa takut.

Melihat sikap prajurit muda itu, Ki Lurah menjadi merasa kasihan. Maka wajah angkernya itu perlahan telah menghilang dari wajahnya berubah menjadi sebuah senyum orang tua yang ramah.

“Kamu baru saja menahan dua orang besar yang paling dihormati di bumi Singasari Raya ini, ingatlah baik-baik bahwa mereka adalah Senapati Raden Wijaya dan Rangga Lawe”, berkata Ki Lurah kepada prajurit muda itu.

Lemas rasanya kedua lutut prajurit muda itu mendengar dua nama yang disebutkan oleh Ki Lurah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar