Kabut Di Bumi Singasari Jilid 03

Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing, Arga Lanang yang memulai cerita perjalanannya.

“Enam bulan yang lalu, aku mendapat tugas dari Ayahku untuk berangkat ke Tanah Melayu. Dalam tugasku itu kusempatkan diri untuk mengunjungi Istana Melayu. Dara Petak dan Dara Jingga memaksa aku untuk membawa kedua anak ini menemui ayahnya di Jawadwipa, tentunya atas restu dari Eyangnya Baginda Raja  Melayu”, berkata Arga Lanang bercerita tentang perjalanannya. “Dalam perjalanan pelayaran itulah aku bertemu dengan pendeta Gunakara yang bermaksud akan menuju Balidwipa”, berkata kembali Arga Lanang bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Gunakara dari Tibet.

“Pasti tuan pendeta Gunakara punya maksud dan tujuan tertentu, hingga harus menempuh perjalanan yang begitu jauh dari Tibet”, berkata Kebo Arema kepada Pendeta Gunakara.

Terlihat Pendeta Gunakara tidak langsung menjawab, hanya sedikit tersenyum melihat semua wajah yang ada di pendapa Balai Tamu itu.

“Aku merasa berbahagia bahwa dalam perjalananku ini berkenalan dengan orang-orang baik seperti kalian”, berkata Pendeta Gunakara dengan sinar mata senyumnya yang terlihat begitu tulus. “Aku sedang mengemban sebuah tugas yang sangat aneh dari semua saudaraku di biara kami di Tibet”, berkata kembali pendeta Gunakara. “Setahun yang lalu, guru besar kami Jamyang Dawa Lama telah jatuh sakit. Beliau memberi kami sebuah wasiat, bahwa bila sukmanya telah meninggalkan raganya, maka beliau akan terlahir kembali disebuah tempat yang begitu indah seperti sorga bernama Balidwipa. Bayi itu mempunyai sebuah pertanda di pundaknya. Beliau juga meminta kami untuk membawa bayi itu untuk menggantikan kedudukannya sebagai guru besar tertinggi di Biara Tibet”, berkata Gunakara mengakhiri ceritanya.

“Mencari seorang bayi yang lahir bertepatan hari kematian Jamyang Dawa Lama di Balidwipa?”, bertanya Raden Wijaya setelah menyimak semua cerita Pendeta Gunakara.

“Benar, seorang bayi yang lahir tahun lalu dengan sebuah tanda khusus di pundaknya”, berkata Pendeta Gunakara membenarkan perkataan Raden Wijaya.

“Sebuah tugas yang begitu rumit, seperti mencari sebuah pengait benang ditumpukan jerami”, berkata Kebo Arema menanggapi cerita Pendeta Gunakara.

“Guru besar kami Jamyang Dawa Lama selalu dinaungi awan dalam setiap perjalanannya. Saat ini awan itu pasti selalu menaungi kemanapun bayi itu berada. Itulah pertanda yang akan membawa kami menemukan bayi itu”, berkata Pendeta Gunakara dengan penuh keyakinan.

Sementara itu jauh dari Bandar Cangu di hari yang sama disebuah hutan di Balidwipa yang jarang sekali dijamah oleh manusia, para pengembara biasa menyebutnya sebagai hutan Mada. Disebuah tanah bergumuk yang cukup lapang ditengah hutan itu terlihat sebuah pertempuran yang sangat seru dan dahsyat. Seorang lelaki sambil menggendong seorang bayi ditangan kirinya dan sebuah pedang panjang ditangan kanannya tengah menghadapi lima orang yang begitu bernafsu untuk segera menghabisinya.

“Serahkan bayi itu”, berkata seorang bertubuh tinggi besar sambil mengancam dengan sebuah golok besar kepada lelaki yang menggendong seorang bayi itu. “Sudah kukatakan bahwa bayi ini bukan anaknya, kalian masih juga belum percaya”, berkata lelaki yang masih menggendong bayi dengan eratnya tidak ingin menyerahkannya kepada kelima orang penyerangnya.

“Anak itu anak seorang penghianat, harus dihabisi sampai ke akar-akarnya”, berkata seorang pengeroyok lainnya sambil mengayunkan sebuah golok panjangnya kearah kepala lawannya.

Tapi lelaki itu dapat dengan baik mengelak serangan itu dan balas menyerang dengan pedangnya menyabet pangkal paha orang itu. Bukan main kagetnya orang itu mendapatkan serangan balik yang lebih cepat dari yang diduganya. Orang itu terlihat mundur jauh.

Namun lelaki yang masih menggendong seorang bayi itu masih saja menyerangnya dengan sebuah tusukan pedang ke arah perut orang itu.

Trang !!!

Untung saja kawannya yang lain menghantam pedang itu sehingga harus melenceng dari sasarannya.

Akhirnya pengeroyokanpun kembali terjadi, lima orang melawan satu orang sambil memegang erat seorang bayi ditangan kirinya.

Crasss !!!

Sebuah sabetan golok mengenai punggung belakang lelaki itu yang tidak dapat menghindarinya karena menghadapi serangan lawan dari berbagai arah. Terlihat segaris darah memanjang dibelakang punggungnya.

“Kamu memang keras kepala, matilah kamu bersama bayi itu”, berkata orang yang tengah menyerang dari hadapannya. Trang !!!

Hanya itu yang dilakukan lelaki itu menangkis kibasan golok panjang dengan pedangnya sambil melompat menghindari sabetan golok lawan dari arah samping dan sekaligus menyerang lawan disisi lain. Namun sebuah sabetan dari arah belakang tidak dapat dihindarinya.

Srettt !!!

Sebuah sabetan tipis berhasil melukai paha belakangnya. Namun semangat lelaki itu begitu keras, sepertinya tidak merasakan darah menetes lewat punggung dan paha belakangnya. Lelaki itu masih dapat menghindar bahkan balas menyerang dengan tidak kalah berbahayanya.

Namun dalam beberapa jurus kemudian, mulailah terlihat tenaga lelaki itu mulai menurun, lompatan dan serangannya tidak segesit dan setangkas sebelumnya.

Matanya terlihat sudah lamur akibat banyak darah yang keluar dari punggung dan belakang pahanya, tapi genggaman tangannya masih erat memegang bayi di tangan kirinya.

Kembali lima buah serangan sekaligus menyudutkannya. Trang !!!

Sabetan golok besar berhasil ditahan dari arah samping kanan, sekaligus melompat menghindari sabetan dibawah kakinya dari arah kiri. Namun dua serangan menusuk dari arah depan dan bacokan golok dari arah belakang pada kali ini sudah tidak bisa dihindari lagi. Lelaki itu sepertinya sudah tidak punya harapan lagi, langkahnya sudah terkunci mati tidak dapat menghindari tiga buah serangan sekaligus.

Tapi umur manusia kadang sangat aneh, tidak selalu dapat ditebak dan diatur. Ketiga penyerang itu sudah merasa yakin bahwa lelaki itu pasti akan termakan oleh masing-masing golok besar mereka. Keajaiban apa yang terjadi ?

Tring ! tring ! tring !

Terdengar tiga buah benda besi beradu dalam waktu yang hampir bersamaan, dan tiga buah golok besar terlihat terpental dari tangannya.

Ketiga orang itu melongo melihat tangannya  yang kosong tidak memegang senjata lagi dan merasakan rasa nyeri seperti kesemutan pada jemari tangan  mereka.

“Aku tidak akan turut campur bila dihadapanku adalah pertempuran yang adil satu lawan satu”, berkata seorang lelaki muda yang sudah berdiri didekat lelaki yang hampir mati binasa itu.

“Siapa kamu!!”, berkata salah seorang dari kelima pengeroyok itu yang merasa hampir saja dapat membinasakan lawannya.

“Tidak perlu tahu siapa aku sebagaimana aku juga tidak peduli siapa kalian. Yang jelas dihadapannku adalah lima orang berhati tikus yang tidak punya keberanian jiwa satria”, berkata lelaki muda itu dengan tenang tidak sedikitpun terlihat kegentarannya menghadapi kelima orang yang berwajah bringas.

“Habisi orang ini yang mencampuri urusan kita!!”, berkata seorang yang bertubuh tinggi besar sepertinya pemimpin mereka memberi perintah untuk menghabisi lelaki muda yang datang mencampuri urusan mereka.

“Menyingkirlah”, berkata lelaki muda itu kepada seorang lelaki yang baru saja diselamatkannya itu. Lima buah serangan kini beralih kepada lelaki muda yang baru datang itu. Kelima orang itu seperti lima ekor srigala buas menerjang dengan golok besarnya kearah lelaki muda itu.

Entah dengan apa caranya, sudah terjurai sebuah cambuk di tangan lelaki muda itu.

Tarrrr !!!

Terdengar lima buah bunyi ledakan sebuah cambuk yang dihentakkan hampir berbarengan. Terlihat lima orang itu semuanya terjengkang mundur kebelakang dengan merasakan dada yang sesak.

Ternyata cambuk itu hanya beberapa mili saja menghentak didepan dada mereka tidak mengenai sedikitpun, tapi suara hentakan itu telah membuat dada mereka terasa sesak sukar bernafas serta mendorong tubuh mereka seperti berasal dari sebuah tenaga yang sangat kuat melempar tubuh mereka.

“Enyahlah dari hadapanku sebelum kesabaranku habis”, berkata lelaki muda itu dengan sorot mata yang begitu mengerikan membuat siapapun yang melihatnya akan merasa jantungnya lepas menjadi begitu ciut.

Maka tanpa perintah dan aba-aba sekalipun, terlihat kelima orang itu bangkit berlari penuh rasa jerih meninggalkan arena itu dan menghilang dikerimbunan hutan Mada yang rimbun dan pekat itu.

“Terima kasih telah menyelamatkan aku”, berkata lelaki itu sambil melepaskan bayi ditangannya dengan hati-hati meletakkannya di hamparan tanah berumput.

“Jangan banyak bergerak, aku akan mengobati lukamu”, berkata lelaki muda bersenjata cambuk itu sambil mengeluarkan dari balik pakaiannya sebuah bubuk obat luka.

Ketika bubuk itu telah merata menutup hampir semua luka di punggung dan pangkal paha belakangnya, lelaki itu merasakan nyeri yang sangat. Namun rasa nyeri itu hanya sebentar. Lukanya sudah langsung mampat tidak mengeluarkan darah lagi.

“Ceritakanlah apa yang telah terjadi”, berkata lelaki muda itu kepada orang yang terluka itu yang terlihat duduk diatas rumput di tanah bergumuk disamping seorang bayi yang sepertinya begitu nyenyak tidurnya tidak terganggu.

“Sebulan yang lalu seorang kawanku datang kepadaku membawa bayi ini. Kawanku itu merasa keamanannya terancam dan ia meminta diriku untuk merawat bayi ini. Kawanku itu berpesan agar aku dan bayi ini bersembunyi di hutan Mada ini sampai waktu sebulan dimana ia akan datang mengambil bayi ini kembali”, bercerita lelaki itu. “Namun sebulan kemudian kawanku tidak juga muncul di hutan ini melainkan kelima orang itu yang datang bermaksud merebut bayi ini dari tangannya untuk dibunuhnya”, berkata kembali orang itu. 

“Apa hubungannya kelima orang itu dengan kawanmu?”, bertanya lelaki muda bersenjata cambuk itu.

“Kawanku itu dulunya adalah sekelompok orang di Balidwipa ini yang setia kepada Raja Adidewalancana. Karena sudah tidak sepaham lagi, kawanku berbalik arah bergabung dengan pihak lawan. Kawanku dianggap sebagai penghianat oleh kelompoknya dan dikejar untuk dimusnahkan seluruh keluarganya. Itulah sebabnya ia datang menitipkan bayi ini”, berkata orang itu kepada lelaki muda.

“Siapakah nama kawanmu itu, mungkin aku mengenalnya”, berkata lelaki muda bersenjata cambuk itu kepada orang yang terluka.

“Made Santu dari Tejakula, kelima orang itu mungkin telah berhasil membunuhnya”, berkata orang  yang terluka itu.

“Aku pernah mendengar namanya, seorang pribumi yang berani yang membocorkan sebuah gerakan pemberontakan di Kademangan Tejakula beberapa  bulan yang lalu”, berkata lelaki muda bersenjata cambuk itu.

“Apakah aku boleh tahu nama tuan, agar aku dapat mengingat nama orang yang pernah menyelamatkan selembar nyawaku ini”, berkata orang terluka itu kepada lelaki muda bersenjata cambuk itu.

“Namaku Mahesa Amping”, berkata lelaki muda yang bersenjata cambuk itu dengan senyum yang selalu menghias wajahnya penuh kesejukan siapapun yang melihatnya.

“Melihat senjata cambuk ditangan tuan, sejak semula aku sudah menduga-duga. Ternyata dugaanku tidak salah. Hari ini aku merasa bangga telah ditolong oleh Senapati Mahesa Amping. Hampir setiap orang di Balidwipa ini mengenal nama tuan”, berkata orang itu.

“Jadi bayi ini putra Made Santu?”, bertanya Mahesa Amping kepada orang itu.

Orang itu tidak langsung menjawab tapi tersenyum getir sambil melirik bayi yang ada disampingnya sepertinya merasa iba atas nasib bayi itu.

“Made Santu tidak pernah punya anak seorang pun, sementara kelima orang itu masih mengira bahwa bayi ini adalah putranya”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping. “Bila bayi ini bukan putranya, kenapa dia datang kepadamu menitipkan bayi ini?”, bertanya Mahesa Amping penuh ketidak mengertian hubungan bayi itu dengan Made Santu.

“Ketika menitipkan bayi ini, kawanku Made Santu bercerita bahwa bayi ini adalah putra seorang Brahmana yang telah berniat meninggalkan keramaian dunia, menyepi mensucikan dirinya di suatu tempat yang dirahasiakannya, jauh dari kehidupan manusia”, berkata orang itu.” Kawanku Made Santu juga menjujukkan sebuah keajaiban atas bayi ini kepadaku”, berkata kembali orang itu kepada Mahesa Amping.

“Keajaiban apakah yang ada pada bayi ini?”, bertanya Mahesa Amping penuh rasa ingin tahu.

“Tidakkah tuan merasakan bahwa ada awan diatas kita yang tidak pernah bergerak sedikitpun sepertinya terus meneduhi kemanapun bayi ini berada”, berkata orang itu sambil menunjuk kearah awan di atas mereka yang memang sepertinya terus meneduhi dari sinar matahari disiang itu diatas tanah bergumuk ditengah hutan Mada.

Mahesa Amping melihat keatas awan yang memang sedari tadi menjadikan sekitar mereka menjadi begitu teduh. Mahesa Amping mulai percaya bahwa bayi itu memang mempunyai keajaiban yang tidak dimiliki oleh siapapun, bayi itu sepertinya dilindungi oleh banyak tangan dewa-dewi yang tak terlihat yang selalu mengasuhnya, dan menjaganya dengan penuh kasih.

Dan diam-diam ada perasaan hati yang kuat untuk memiliki bayi itu, sebuah perasaan yang sangat aneh yang dirasakan oleh Mahesa Amping

“Tuan telah menolong jiwaku, dapatkah tuan meluluskan sebuah permintaanku?”, berkata orang itu penuh pengharapan kepada Mahesa Amping.

“Apakah gerangan permintaanmu?”, bertanya Mahesa Amping.

“Merawat bayi ini”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping.

“Ditangan tuan aku yakin musuh-musuh Made Santu akan berpikir sepuluh kali lipat untuk berniat mencelakai bayi ini”, berkata kembali orang itu.

Entah kenapa Mahesa Amping sepertinya merasakan hatinya penuh suka cita yang meletup-letup, permintaan orang itu seperti mewakili keinginan hatinya, memiliki bayi itu dengan segenap hati.

“Aku menerima permintaanmu, entah apa yang ada pada diriku. Sebelum kamu menawarkan kepadaku, hati ini begitu sarat dipenuhi keinginan untuk memiliki dan merawat bayi ini”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu.

“Perasaan itu pun juga pernah memenuhi perasaaanku manakala Made Santu membawa bayi ini kepadaku. Namun perasaan memiliki ini telah berganti dengan perasaan kekhawatiran untuk tidak dapat menjaganya. Diri ini sepertinya berharap bayi ini berada ditempat yang aman. Dan saat ini tempat yang paling aman untuk bayi ini adalah diri tuan Senapati”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping.

“Aku berjanji untuk menjaganya dengan sepenuh hati”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu.

“Terima kasih tuan Senapati, perkenalkan namaku Putu Rantu yang akan selalu mengenang pertolongan tuan Senapati”, berkata orang itu sambil menjura penuh rasa terima kasih yang tak terhingga. “Tidak usah berterima kasih kepadaku secara berlebihan, semua sudah digariskan, kebetulan sekali aku lewat hutan ini”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu yang memperkenalkan dirinya bernama Putu Rantu.

“Tuan Senapati benar, semua memang sudah digariskan sebagaimana nyawaku hari ini yang masih tetap utuh melekat di raga ini”, berkata Putu Rantu penuh kegembiraan masih dalam keadaan selamat dari sebuah bahaya kematian atas dirinya.

“Lukamu masih perlu perawatan, sebaiknya kita mencari padukuhan terdekat untuk istirahat sementara agar dirimu dapat pulih seperti sediakala”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Rantu mengajaknya keluar dari hutan Mada untuk mencari sebuah padukuhan terdekat.

Namun ketika mereka akan beranjak, Mahesa Amping menahan Putu Rantu untuk tetap ditempatnya.

“Siapapun yang tengah mencuri dengar, keluarlah”, berkata Mahesa Amping dengan suara menggema kesegala penjuru. Maka tidak lama kemudian, muncullah sesosok tubuh seorang tua berjubah putih keluar dari persembunyiannya dibalik semak dan belukar hutan Mada. 

“Ternyata tuan Senapati Mahesa Amping punya pendengaran yang tajam”, berkata orang itu sambil tertawa panjang.

“Aku sudah melihat dirimu yang tidak berbuat apapun ketika saudara Putu Rantu ini dalam bahaya”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu.

“Ternyata nama besar Senapati Mahesa Amping bukan nama kosong, aku Jabarantas yang tua ini tidak mendengar sedikitpun kehadiran tuan Senapati”, berkata orang itu yang mengaku bernama Jabarantas.

“Kalau boleh tahu, ada kepentingan apakah sehingga Ki Jabarantas bersusah diri mengintai begitu lama di semak belukar”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas yang sudah datang mendekat.

“Kemarin malam aku melihat ada bintang jatuh di hutan Mada ini, hal itulah yang memaksa diriku datang kehutan ini. Tidak sengaja menyaksikan pertempuran itu dan mendengar cerita tentang bayi itu”, berkata Ki Jabarantas sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Aku jadi tertarik untuk memiliki bayi itu”, berkata kembali Ki Jabarantas.

“Apa yang Ki Jabarantas inginkan dari bayi  ini?”, bertanya Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.

“Aku tertarik untuk menjadikannya sebagai murid tunggalku”, berkata Ki Jabarantas.

“Putu Rantu telah menyerahkannya kepadaku”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang keren berwibawa.

“Nama besarmu tidak akan menciutkan keinginanku untuk mengambil bayi itu”, berkata Ki Jabarantas dengan suara menantang.

“Bagaimana bila aku tetap mempertahankannya”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang tenang.

“Aku akan merebutnya dengan paksa”, berkata Ki Jabarantas kepada Mahesa Amping.

“Mungkin bukan hanya Ki Jabarantas seorang yang begitu menginginkan bayi ini, masih ada banyak orang yang masih senang bermain sembunyi-sembunyian”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang sengaja dikeraskan karena pendengarannya yang tajam telah mendengar masih ada beberapa orang lagi tengah bersembunyi disekitar hutan Mada. Ternyata ucapan Mahesa Amping telah membuat beberapa orang yang bersembunyi terpaksa keluar dari persembunyiannya.

Terlihat keluar tiga orang yang muncul dari balik sebuah pohon besar. Dari wajah ketiga orang itu dapat dikatakan ketiganya sudah cukup berumur namun belum dapat dikatakan sudah cukup tua sebagaimana Ki Janarantas.

Diam-diam Ki Jabarantas memuji ketajaman pendengaran Mahesa Amping karena dirinya sendiri  tidak mengetahui ada orang lain yang sedang mengintai.

“Nama besar Senapati Mahesa Amping ternyata bukan omong kosong, diam-diam telah mengetahui kehadiran kami”, berkata salah seorang dari ketiga orang itu yang baru saja muncul.

“Apakah kalian bertiga juga punya kepentingan dengan bayi itu”, berkata Mahesa Amping kepada ketiga orang yang baru muncul itu.

“Ibu dari bayi itu adalah putri guru kami, sudah lama kami mencari-cari. Serahkanlah kepada kami untuk membawanya pulang ke Padepokan Teratai Putih”, berkata salah seorang dari mereka yang paling tua.

“Tuan Senapati, jangan serahkan bayi ini kepada mereka, kawanku Made Santu juga berpesan jangan sampai bayi ini jatuh ke tangan orang-orang dari Padepokan Teratai Putih”, berkata Putu Rantu kepada Mahesa Amping.

“Kalian dengar sendiri, bayi ini tidak akan kuserahkan kepada kalian”, berkata Mahesa Amping kepada ketiga orang itu dari Padepokan Teratai Putih.

“Terpaksa kami akan melakukannya dengan kekerasan”, berkata salah seorang yang paling tua diantara ketiga orang itu

“Berbuat kekerasan kepadaku?, apakah kalian tidak takut akan berurusan dengan prajurit Singasari?”, berkata Mahesa Amping menggertak.

“Jangan kamu campur adukkan masalah ini, urusan ini adalah urusan seorang bayi”, berkata orang tertua itu yang sedikit gentar bila saja Mahesa Amping mengaitkannya dengan keadaan dirinya sebagai seorang Senapati Singasari.

“Baiklah aku tidak akan mengaitkan urusan ini dengan kedudukanku sebagai seorang Senapati. Aku akan bertanggung jawab bahwa ini adalah urusan pribadi”, berkata Mahesa Amping dengan sebuah senyum menangkap kekhawatiran ketiga orang yang berasal dari Padepokan Teratai Putih.

“Kami tidak suka kekerasan, kamilah yang berhak atas bayi itu”, berkata orang itu kembali kepada Mahesa Amping.

“Kalian baru datang sudah bicara tentang hak, akulah yang berhak atas bayi itu yang telah berjodoh kepadaku untuk kujadikan murid tunggalku”, berkata Ki Jabarantas ikut menyela pembicaraan orang dari Padepokan Teratai Putih.

Ketiga orang itu semuanya menoleh kearah Ki Jabarantas.

“Kamilah yang berhak, buyut bayi ini adalah guru kami”, berkata orang tertua kepada Ki Jabarantas

“Seandainya yang datang buyut bayi ini sendiri, aku tetap berkeras untuk membawanya”, berkata Ki Jabarantas kepada ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih.

“Terpaksa kami akan merebutnya dengan kekerasan”, berkata orang tertua itu dari Padepokan Teratai Putih kepada Ki Jabarantas.

“Aku ada usul, bagaimana bila kalian menunggu lima tahun lagi untuk menanyakan langsung kepada bayi ini, siapakah diantara kalian yang dipilih. Sementara itu selama lima tahun bayi ini kurawat dengan baik”, berkata Mahesa Amping dengan penuh senyum.

“Itu akal-akalan tuan Senapati saja, setelah lima tahun mungkin ada lagi akal-akalannya”, berkata orang tertua dari Padepokan Teratai Putih tidak menerima usulan Mahesa Amping.

“Aku setuju dengan usulan tuan Senapati, tapi bedanya selama lima tahun bayi ini berada dalam perawatanku”, berkata Ki Jabarantas.

“Kami juga tidak percaya kepadamu”, berkata orang tertua dari Padepokan Teratai Putih.

“Bila kalian tidak menyetujui usulku, apakah kalian sendiri punya usul?”, bertanya Mahesa Amping kepada ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih.

“Terpaksa kita harus bertempur, siapa yang menang dalam pertempuran ini maka dialah yang berhak atas bayi ini”, berkata orang tertua dari Padepokan Teratai Putih memberikan sebuah usul.

“Kalian curang, jumlah kalian lebih banyak. Tapi aku tidak akan takut”, berkata Ki Jabarantas siap-siap membuat kuda-kuda.

“Aturan permainannya, satu melawan dua kubu?”, bertanya Mahesa Amping meminta penjelasan.

“Benar, disini ada tiga kubu. Tuan Senapati, Ki Jabarantas dan kami bertiga”, berkata orang tertua dari Padepokan Teratai putih. “Sudah kubilang mereka curang, tapi aku tidak akan mundur”, berkata Ki Jabarantas sambil memberi tanda sebuah isyarat mata kepada Mahesa Amping.

Ternyata Mahesa Amping dapat menangkap isyarat itu.

“Aku terima usul kalian”, berkata Mahesa Amping sambil menjurai cambuknya dengan wajah tersenyum penuh arti kepada Ki Jabarantas.

Terlihat ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata cakra dengan pegangan besi yang semuanya terbuat dari besi putih pilihan.

“Senjataku ini adalah tongkatku ini”, berkata Ki Jabarantas langsung menyerang orang tertua dari Padepokan Teratai Putih.

Melihat Ki Jabarantas sudah menyerang salah seorang dari Padepokan Teratai Putih, maka Mahesa Amping mendekati dua orang dari Padepokan Teratai Putih.

“Mari kita mengisi permainan ini, aku sudah siap”, berkata Mahesa Amping kepada keduanya.

Kedua orang itu seperti terpojok, tidak dapat membantu kawannya yang tengah menghadapi Ki Jabarantas. Sementara Mahesa Amping sudah siap menantangnya.

“Ternyata otak kalian cukup cemerlang”, berkata salah seorang yang bertubuh jangkung kepada Mahesa Amping.

“Kamu pikir kalian saja yang punya perhitungan?”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.

“Kita habisi senapati sombong ini, lalu kita keroyok orang itu”, berkata kawannya yang satu lagi kepada kawannya yang bertubuh jangkung. “Kamu benar, secepatnya kita selesaikan”, berkata orang yang bertubuh jangkung itu sambil melangkah mendekati Mahesa Amping diikuti kawannya.

Sementara itu orang tertua dari Padepokan Teratai Putih sudah saling menyerang dengan Ki Jabarantas, senjata cakra ditangannya berdesing-desing mengejar Ki Jabarantas yang melayaninya dengan tongkatnya. Terjadilah saling mengelak dan saling meyerang diantara keduanya.

Diwaktu yang sama, kedua orang Padepokan Teratai Putih telah menyerbu Mahesa Amping dengan senjata cakranya. Dua buah cakra menyambar-nyambar tubuh Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping berlompatan kesana kemari menghindari kedua serangan cakra itu tidak berusaha balas menyerang. Mungkin hanya untuk mengikuti dan mempelajari sejauh mana kehebatan serangan kedua orang itu dengan senjata cakranya.

Namun sikap Mahesa Amping dianggap lain oleh kedua orang itu, mereka mengira Mahesa Amping tidak dapat banyak berbuat atas serangan senjata cakra mereka yang kuat dan cepat menyambar-nyambar tidak pernah putus.

“Serangan yang hebat”, berkata Mahesa Amping dengan penuh senyum melompat menghindari serangan mereka.

Sementara itu pertempuran antara Ki Jabarantas dan lawannya terlihat sudah semakin seru. Mereka dengan cepat sudah meningkatkan tataran ilmunya masingmasing. Saling menyerang untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran.

“Orang ini pasti murid pilihan dari Padepokan Teratai Putih”, berkata Ki Jabarantas dalam hati melihat kelihaian lawannya yang terus meningkatkan tataran ilmunya. “Sukar sekali menundukkan orang ini”, berkata pula orang tertua dari Padepokan Teratai Putih yang merasa penasaran tidak juga dapat melumpuhkan Ki Jabarantas.

Sementara itu Putu Rantu yang masih duduk diluar arena kedua pertempuran itu mengkhawatirkan keadan Mahesa Amping yang tengah menghadapi dua orang lawan dari Padepokan Teratai Putih. Dalam penglihatannya Mahesa Amping tidak sempat membalas serangan kedua lawannya.

“Bila tuan Senapati tidak dapat mengalahkan keduanya, bayi ini akan jatuh ke Padepokan Teratai Putih”, berkata Putu Rantu mengkhawatirkan keadaan Mahesa Amping.

Namun kekhawatiran Putu Rantu tidak berlasan sama sekali, sebab yang terjadi adalah Mahesa Amping membiarkan dirinya diserang untuk sekedar mengetahui kemampuan ilmu mereka kelebihan dan kekurangannya, terutama senjata cakra mereka yang terus berdesing kemanapun Mahesa Amping mengelak.

“Hemm”, bergumam Mahesa Amping dengan sedikit tersenyum, sepertinya telah menemukan sebuah gambaran mengenai ilmu cakra dari kedua lawannya itu.

Terlihat dalam sebuah serangan yang bersamaan, Mahesa Amping bukan cuma sekedar mengelak, kali ini membalasnya dengan membuat sebuah serangan ganda yang cepat kepada kedua lawannya. Betapa terkejutnya kedua lawannya itu, sebuah serangan yang tidak terduga datangnya dan begitu cepat.

Terlihat kedua lawan Mahesa Amping mundur beberapa langkah dengan mata terkesima.

“Kenapa kalian melotot mata seperti itu ?”, berkata Mahesa Amping kalem sambil berdiri memegang ujung cambuknya.

“Jangan girang dulu, kami hanya sedikit terkejut”, berkata orang yang bertubuh jangkung menyadari keterkejutannya langsung menyerang kembali diikuti kawannya.

Mendapatkan serangan dari kedua lawannya itu, Mahesa Amping hanya mundur selangkah dan balas menyerang salah seorang lawannya yang bertubuh jangkung yang langsung mundur selangkah, serangan berikutnya dari Mahesa Amping adalah menyentakkan cambuknya kearah kawannya yang satu lagi, orang itu memang sudah siap menerima serangan dari Mahesa Amping, tapi tidak menduga serangan itu lebih cepat dari yang diduganya. Terpaksa orang itu berguling kesamping.

Mahesa Amping tidak mengejarnya karena kawannya yang bertubuh jangkung sudah kembali menyerangnya. Tapi Mahesa Amping sudah memperhitungkannya, maka sambil sedikit menjauh, cambuknya sudah balas menyerang. Kembali lawannya yang bertubuh jangkung mundur beberapa langkah.

Putu Rantu yang melihat perkembangan itu menarik nafas lega.

“Ternyata tuan Senapati selama ini tengah mengukur kemampuan lawannya”, berkata Putu Rantu dalam hati.

Mahesa Amping memang sudah dapat mengukur sejauh mana ilmu cakra lawannya. Dan Mahesa Amping sudah dapat menentukan cara menghadapi ilmu lawannya dengan menjaga jarak serang mereka.

Maka yang terlihat saat itu berbeda dari sebelumnya, kedua lawan Mahesa Amping sepertinya telah menjadi bulan-bulanan Mahesa Amping yang masih belum ingin mengakhiri pertempurannya, masih ingin bermain-main. Terlihat kedua lawannya itu nyaris tidak mampu balas menyerang Mahesa Amping yang terus menjaga jarak serang sambil mengejar kedua lawannya itu dengan cambuknya.

“Gila!!”, berkata lawan Mahesa Amping yang bertubuh jangkung sambil melompat kesamping menghindari ujung cambuk Mahesa Amping yang seperti bermata.

Sementara itu pertempuran Ki Jabarantas dan orang tertua dari Padepokan Teratai Putih semakin seru dan menegangkan. Keduanya sudah berada dalam tataran tertinggi dari ilmunya masing-masing. Ternyata ilmu mereka hanya berbeda tipis, terlihat keduanya saling menyerang dengan serangan ilmunya masing-masing yang sangat berbahaya.

Bila dibandingkan dengan dua orang yang tengah berhadapan dengan Mahesa Amping, ilmu cakra orang tertua dari Padepokan Teratai Putih terlihat jauh lebih tinggi. Beberapa kali Ki Jabarantas nyaris menjadi sasaran senjata cakra ditangan orang itu yang berdesing cepat menyambar tubuh Ki Jabarantas. Tapi Ki Jabarantas juga bukan orang sembarangan, sepertinya punya banyak pengalaman bertempur. Itulah sebabnya pertempuran keduanya nampak menjadi semakin sengit.

Kembali kepertempuran antara Mahesa Amping yang sudah berada diatas angin, kedua orang lawannya berkali-kali harus mengeluarkan sumpah serapah nyaris menjadi sasaran empuk ujung cambuk Mahesa dAmping.

“Kucing kurap edan!!”, berkata salah seorang lawan Mahesa Amping yang terjungkir mencium tanah basah ketika harus berguling di atas tanah menghindari ujung cambuk Mahesa Amping yang nyaris mengenai dadanya. Untungnya Mahesa Amping tidak segera mengejarnya, tapi mengalihkan serangannya kearah lawannya yang lain yang bertubuh jangkung.

“Ilmu cambuk edan!!”, berkata lawan Mahesa Amping yang tidak menduga serangan Mahesa Amping begitu cepat datangnya langsung mundur kebelakang.

Tapi dengan mudahnya Mahesa Amping melanjutkan serangannya, cambuknya yang berputar setengah lingkaran itu berhenti seketika dan ganti bergerak seperti ular hidup mengejar lawannya yang baru saja menjejakkan kakinya mundur.

“Akhhh”, ujung cambuk Mahesa Amping berhasil mematuk pangkal paha lawannya yang bertubuh jangkung.

Terlihat orang itu meringis merasakan kakinya seperti remuk dihantam batu besar. Orang itu terjatuh duduk di tanah.

Melihat kawannya dalam keadaan bahaya bila saja Mahesa Amping melanjutkan serangannnya, maka terlihat lawan Mahesa Amping langsung sudah meloncat menyerang Mahesa Amping.

Sebenarnya bisa saja Mahesa Amping langsung menyerang dengan cambuknya, tapi itu tidak dilakukannya. Dibiarkan orang itu menghujamkan cakranya tertuju bagian pinggangnya. Dengan sedikit gerak kebelakang cakra itu lewat sebatas jari tangan dihadapannya.

Tiba-tiba saja tangan Mahesa Amping menjentik punggung tangan orang itu.

Luar biasa !!

Hanya dengan sedikit jentikan tangan, senjata cakra di genggaman orang itu terlempar.

Sementara orang itu masih merasakan tangannya nyeri dan kaku, sebuah kaki Mahesa Amping berhasil menerjang perut orang itu.

Bukk !!!

Terlihat orang itu terjengkang jatuh di tanah, untungnya Mahesa Amping hanya mempergunakan sedikit kekuatannya. Tapi itu saja telah membuat orang itu  sesak nafas.

Melihat kawannya seperti sudah tidak berdaya, maka orang yang bertubuh jangkung langsung menyerang Mahesa Amping dengan maksud melindungi kawannya dari serangan Mahesa Amping.

“Aku masih sanggup melawanmu”, berkata orang bertubuh jangkung itu sambil menerjang Mahesa Amping dengan senjatanya cakranya. Pandangan mata Mahesa Amping masih menghadap lawannya, namun pendengaran dan penciumannya yang sangat tajam telah mendengar suara berdesing dibelakang dirinya.

“Awas pisau beracun!!”, berkata Mahesa Amping sambil menundukkan tubuhnya yang nyaris tersambar lehernya oleh sebuah pisau beracun yang melesat tipis diatas kepalanya.

Ternyata ucapan Mahesa Amping itu ditujukan untuk lawannya.

Terlihat pisau terbang itu masih meluncur dengan derasnya kearah lawan Mahesa Amping yang berada tepat dihadapannya.

Orang yang bertubuh jangkung itu seperti melihat malaikat terbang yang akan mencabut nyawanya. Tidak ada kesempatan untuk dirinya mengelak dan menghindari pisau terbang itu yang tengah bergerak begitu cepatnya, sementara langkah kakinya sudah mati langkah.

Dengan wajah dan mata terperolok menatap tanpa dapat bergerak dan berbuat apapun.

Tarrr !!

Ujung cambuk Mahesa Amping telah bergerak begitu cepat menghentak pisau terbang itu kearah yang berbeda, tidak jadi menembus leher orang jangkung itu yang sudah seperti pasrah.

Seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Mahesa Amping dengan kecepatan yang tidak dapat diduga, sebuah kecepatan yang tidak pernah dilihat selama hidupnya, cambuk lawannya telah menyelamatkan jiwanya.

Sementara itu hari di hutan Mada sudah mendekati senja, sinar matahari sudah mulai condong kebarat terhalang kerimbunan daun dan ranting pohon di hutan Mada yang tinggi menjulang.

Dikeremangan hutan Mada diawal senja itu terlihat muncul beberapa orang keluar mendekati arena pertempuran.

“Guru..”, berkata kedua orang lawan Mahesa Amping menatap seseorang diantara beberapa orang yang baru datang mendekati mereka.

Ternyata mereka adalah orang-orang dari Padepokan Teratai Putih. Seorang yang dipanggil guru oleh kedua orang lawan Mahesa Amping terlihat berwajah pucat seperti tidak punya darah dengan rambut terurai tidak diikat sudah berwarna putih merata. Hanya orang yang dipanggil guru ini saja yang mengenakan jubah berwarna hitam, sementara beberapa orang yang mengiringinya memakai pakaian orang kebanyakan.

“Guru macam apa yang hampir saja mencelakai muridnya sendiri”, berkata Mahesa Amping kepada orang yang baru datang itu.

“Ternyata Senapati dari Singasari yang terkenal itu masih begitu muda”, berkata orang itu yang dipanggil sebagai guru menatap Mahesa Amping dari bawah sampai keatas.

“Sayangnya aku disini bukan sebagai seorang Senapati, hanya mewakili diri pribadi untuk membawa bayi itu”, berkata Mahesa Amping mencoba menebak maksud kedatangan orang-orang dari Padepokan Teratai Putih.

Sementara itu orang tertua dari Padepokan Teratai Putih yang tengah bertempur melawan Ki Jabarantas ketika melihat guru dan rombongan orang-orang dari Padepokannya langsung menghentikan pertempurannya melompat jauh mendekati gurunya.

“Permainan kita belum selesai”, berkata Ki Jabarantas sambil mengejar orang itu, namun berhenti menghadap kepada orang-orang yang baru datang itu.

“Habisi orang itu!!”, berkata orang berjubah serba hitam itu memberi perintah.

Tanpa bertanya lagi, sepuluh orang yang ada bersama orang yang dipanggil guru itu sudah langsung mengepung Ki Jabarantas. Ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih yang datang sebelumnya ikut juga mengepung Ki Jabarantas, maka lengkaplah tiga belas orang telah mengepung Ki Jabarantas.

Meski baru kenal di hutan Mada itu, ada rasa ketidak senangan melihat Ki Jabarantas dikeroyok oleh tiga belas orang dari Padepokan Teratai Putih. Namun belum lagi kaki Mahesa Amping melangkah, orang yang disebut sebagai guru itu telah menghadangnya.

“Biarkanlah mereka, aku ingin mencoba sejauh mana nama besarmu yang menghebohkan jagad Balidwipa ini”, berkata orang berjubah serba hitam itu menghadang Mahesa Amping.

Sejenak Mahesa Amping memperhatikan orang dihadapannya itu, dari wajahnya yang pucat sekilas Mahesa Amping dapat pertanda bahwa orang dihadapannya telah menguasai kekuatan hawa dingin yang tinggi.

“Ternyata hari ini aku berjodoh dapat berkenalan dengan Ki Karmapala dari Padepokan Teratai Putih”, berkata Mahesa Amping sebagai seorang Senapati yang banyak mengetahui banyak orang tersohor di Balidwipa dari para prajurit delik sandinya.

“Aku sudah melihat sedikit kemampuanmu ketika berhadapan dengan dua orang pengikutku, jangan anggap bahwa kamu akan mudah menghadapiku”, berkata orang yang dipanggil Ki Karmapala oleh Mahesa Amping.

“Mudah-mudahan sedikit kemampuanku ini tidak mengecewakan Ki Karmapala”, berkata Mahesa Amping sambil menjurai cambuknya.

Sementara tiga belas orang dari Padepokan Teratai Putih sudah mengepung Ki Jabarantas. Tetapi tidak mengurangi ketenangan dirinya. Ternyata Ki Jabarantas mempunyai ketabahan yang tinggi, meski masih sangsi apakah dirinya akan mampu menghadapi keroyokan tiga belas orang dari Padepokan Teratai Putih. Demikianlah, tanpa aba-aba apapun, ketiga belas orang dari Padepokan Teratai Putih sudah langsung mengeroyok Ki Jabarantas seperti sekumpulan srigala buas mengejar mangsanya.

Ternyata Ki Jabarantas punya sedikit kemampuan, tidak langsung gentar dan langsung menghadapi setiap serangan orang-orang bersenjata cakra itu dengan tongkat panjangnya. Maka terjadilah sebuah pengeroyokan yang menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.

Juga menggetarkan hati Mahesa Amping yang telah di hadang oleh Ki Karmapala tanpa dapat bisa membantu.

“Hari ini akan ada dua mayat dihutan Mada ini, tanpa pemakaman”, berkata Ki Karmapala sambil mengeluarkan senjata cakranya langsung menyambar menyerang kearah tubuh Mahesa Amping.

“Pukulan yang kuat”, berkata Mahesa Amping dalam hati ketika berhasil mengelak serangan cakra Ki Karmapala yang berdesing lewat beberapa jengkal dari kepalanya.

Mahesa Amping tidak menganggap remeh lawannya itu, dan tidak ingin menjadi sasaran empuk terus menerus dari senjata cakra di tangan Ki Karmapala. Maka sambil menunduk menghindari serangan Ki Karmapala, cambuknya telah dihentakkannya melecut kearah tubuh Ki Karmapala.

Ternyata Ki Karmapala telah memperhitungkan keadaan itu, dirinya tidak mundur kebelakang, malahan bergeser sedikit sambil maju kedepan mendekati Mahesa Amping tentunya dengan menusukkan cakranya ke perut Mahesa Amping.

Diam-diam Mahesa Amping kagum atas kecerdikan lawannya itu mengelak serangannya yang tidak terbawa arus permainan cambuk Mahesa Amping dalam pertempuran jarak jauh.

Kembali Mahesa Amping mundur selangkah sambil menghentakkan ujung cambuknya, tapi tetap saja Ki Karmapala merangsek maju balas menyerang.

Sementara itu Mahesa Amping masih sempat memperhatikan keadaan Ki Jabarantas, meski baru mengenalnya dihati Mahesa Amping sudah ada rasa kekhawatiran atas diri Ki Jabarantas.

Ternyata Ki Jabarantas masih sanggup bertahan meski dengan mengeluarkan tenaga yang hampir terkuras habis. Maka ada timbul keinginan hati untuk mempercepat pertempurannya dengan Ki Karmapala.

Bukan main kagetnya Ki Karmapala ketika hampir saja cakranya menyambar kepala Mahesa Amping, ternyata Mahesa Amping tidak mundur bahkan seperti menjemput cakra itu. Keterkejutan Ki Karmapala dimanfaatkan oleh Mahesa Amping dengan sambil merunduk menghindari cakra diatas kepalanya, sebuah kaki Mahesa Amping langsung merangsek menembus perut Ki Karmapala.

Bukkk !!!

Tendangan Mahesa Amping berhasil bersarang diperut Ki Karmapala. Untungnya Mahesa Amping tidak menyalurkan tenaga cadangannya yang dahsyat, hanya seperlima kekuatannya. Namun tetap saja Ki Karmapala seperti merasakan perutnya terhantam bongkahan batu besar.

Terlihat Ki Karmapala terjungkal jatuh kebumi. Mahesa Amping tidak mengejarnya, malahan langsung terbang menerjang tiga belas orang Padepokan Teratai Putih. Maka dengan sekali terjangan itu langsung tiga orang Padepokan Teratai Putih terjengkang terkena ujungujung cambuk Mahesa Amping. Ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih itu sudah menjadi pingsan tidak dapat bangkit berdiri.

“Terima kasih telah mengurangi lawanku”, berkata Ki Jabarantas kepada Mahesa Amping sambil menghalau sebuah serangan dan balas menyerangnya.

Namun disaat yang bersamaan, pendengaran Mahesa Amping dapat mendengar angin mendesir dibelakang punggungnya.

“Pisau terbang!!”, berkata Mahesa Amping sambil memeringkan badannya.

Serrrr !!

Sebuah pisau terbang lewat hanya sebatas dua jari dari punggungnya dan terus melaju begitu cepat sepertinya dilempar oleh seorang ahli dengan kekuatan yang nyaris sempurna.

Bressss !!

Pisau terbang itu telah menembus salah seorang dari Padepokan Teratai Putih yang paling dekat dengan Mahesa Amping, tepat didadanya.

“Terlalu!!!”, berkata Mahesa Amping dalam hati dengan perasaan hati geram mengetahui siapa pemilik pisau terbang itu. Namun ketika Mahesa Amping berbalik badan, dilihatnya sebuah bayangan melesat dibelakang Ki Karmapala. Hari memang sudah mulai gelap, mengaburkan pandangan di sekitar padang gumuk hutan Mada itu.

Belum sempat Mahesa Amping berpikir apa yang dilakukan oleh bayangan hitam itu, ternyata bayangan hitam itu tidak berbuat apapun kepada Ki Karmapala, bayangan hitam itu terus melesat mendekati Putu Rantu.

Mahesa Amping berpikir cepat, tahu apa yang diinginkan oleh bayangan hitam itu.

Ternyata dugaan Mahesa Amping tidak meleset jauh, bayangan hitam itu sudah menyambar bayi yang berada disamping Putu Rantu yang masih terluka tidak dapat berbuat apapun.

Ki Karmapala ternyata juga ikut melihat semua yang terjadi. Tapi, kejadian itu terjadi dengan begitu cepat. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegah bayangan hitam itu yang melesat seperti terbang langsung menyambar bayi disamping Putu Rantu dan terus melesat lagi begitu cepatnya hilang dikegelapan malam dikerepatan dan kerimbunan hutan Mada.

“Kepung mereka, jangan sampai meninggalkan tempat ini”, berteriak Ki Karmapala kepada para pengikutnya untuk mengepung Mahesa Amping dan Ki Jabarantas. Sementara Ki Karmapala sudah melesat berlari mengejar kearah menghilangnya bayangan hitam itu.

Mahesa Amping yang ingin mengejar bayangan hitam itu tidk dapat berbuat apa-apa selain menghadapi orangorang dari Padepokan Teratai Putih.

Mahesa Amping tidak dapat lagi bermain-main, kekhawatiran dirinya terhadap bayi itu telah memenuhi perasaan dan pikirannya. Maka sesuatu yang luar biasa telah terjadi, Ki jabarantas sempat tercenung melihat bagaimana Mahesa Amping merobohkan lima orang pengeroyoknya dengan sekali serangan, lima orang sudah seperti tersapu terhantam tangan, kaki dan cambuk Mahesa Amping yang bergerak dengan begitu cepatnya telah menghajar lima orang dari padepokan Teratai Putih yang langsung terjengkang jatuh tidak bergerak pingsan.

“Lawanmu sudah sedikit berkurang, layanilah mereka. Aku mengejar orang yang mencuri bayi itu”, berkata Mahesa Amping kepada Ki jabarantas sambil melesat terbang masuk kedalam hutan pada arah bayangan hitam dan Ki Karmapala menghilang.

“Aku akan menyusulmu”, berkata Ki jabarantas sambil mengayunkan tombaknya kesana kemari menghadapi lawannya yang sudah berkurang.

Sementara itu Mahesa Amping sudah masuk kedalam kegelapan hutan Mada yang pekat.

Untunglah pendengaran Mahesa Amping yang sangat tajam dan terlatih dapat membedakan suara jerit  binatang kecil di hutan yang panik terusik. Kearah itulah langkah kaki Mahesa Amping berlari dikegelapan malam hutan Mada.

Sementara itu diwaktu yang sama dipedalaman hutan Mada telah terjadi pertempuran yang begitu mencekam, sebuah pertempuran antara Ki Karmapala dengan seorang wanita yang masih saja mendekap erat seorang bayi ditangannya.

“Mengapa Ayah masih saja memburuku ?, apakah ayah belum puas telah memisahkan ayah bayi ini dari kami ?”, berkata wanita itu mengelak sambaran senjata cakra yang ternyata adalah putri Ki Karmapala sendiri.

“kalian telah memalukan aku”, berkata Ki Karmapala sambil menerjang wanita yang ternyata putrinya sendiri.

Tapi dengan gesit wanita itu dapat menghindari serangan Ki Karmapala yang terlihat begitu bernafsu untuk menghabisi nyawanya. “Aku tidak mau keturunanku berpindah arah berpegang kepada panutan lain, itulah sebabnya bahwa malam ini lebih baik melihat kalian mati”, berkata Ki Karmapala yang kembali melakukan serangan yang semakin dahsyat.

Akhirnya setelah beberapa jurus berlalu, terlihat wanita yang tidak bersenjata dan masih mendekap erat bayi itu mulai kewalahan. Tenaganya mulai tiris menyusut.

“Anak durhaka”, berkata Ki Karmapala kepada wanita itu ketika tangannya yang tidak memegang cakra berhasil menghantam rahang kanan wanita itu.

Terlihat wanita itu terjungkal jatuh kebumi, namun tetap mempertahankan bayi yang ada didalam dekapannya dengan memilih badan disisi lain yang harus membentur tanah dan batu di pedalaman hutan Mada itu.

“Malam ini aku harus membunuh darah dagingku sendiri, selamanya”, berkata Ki Karmapala berjalan perlahan mendekati wanita itu.

Terlihat wanita itu menatap nanar wajah Ki Karmapala, ayahnya sendiri. Mencoba membuka matanya ingin membuktikan sejauh mana perasaan seorang ayah yang dulu sangat mencintainya, memanjakannya. Mata wanita itu masih terbuka, meski seluruh tubuhnya terasa begitu lemah.

“Jangan kamu kira aku tidak dapat melakukannya”, berkata Ki Karmapala yang sudah berada dekat dengan wanita itu sambil mengangkat senjata cakranya siap diayunkan kearah kepala wanita itu.

“Cepat ayunkan cakramu wahai ayahku. Bunuhlah putrimu ini yang dulu begitu kau manjakan, yang dulu pernah kau kasihi sebagaimana aku mengasihimu”, berkata wanita itu dengan suara yang datar dan mata yang masih terbuka lebar tidak ingin berkedip sedikitpun menatap wajah Ki Karmapala ayahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar