Kabut Di Bumi Singasari Jilid 01

PAGI itu langit begitu cerah, matahari bersinar gilang gemilang memancarkan warna kuning yang hangat bersembul di tepi ujung timur bumi diatas Sungai Brantas yang sudah ramai dilalui kapal-kapal kayu membawa berbagai barang dagangan. Angin sedikit semilir tidak menimbulkan riak gelombang. Sungai Brantas seperti cermin panjang, segala apapun pemandangan diatasnya menjadi dua lukisan yang indah, hutan yang hijau dinaungi langit pagi yang cerah berawan putih.

Bila kita menyusuri sungai Brantas melawan arusnya masuk lagi lebih ke hilir, maka kita akan menjumpai sebuah Bandar yang cukup besar, banyak kapal layar besar tengah menambatkan jangkarnya disana. Terlihat beberapa buruh kasar tengah mengangkut barang  keatas kapal. Satu dua kedai yang ada disekitar Bandar Cangu itu terlihat sudah penuh dan ramai, terlihat juga beberapa awak kapal duduk di depan luar sebuah kedai, mungkin menunggu saat kapalnya sarat barang untuk berangkat kesebuah tujuan yang jauh.

Terlihat tiga orang lelaki keluar dari sebuah  kedai, melihat dari kulit tubuh dan wajahnya menandakan bahwa ketiga orang itu adalah bukan penduduk asli. Mereka berkulit putih cerah.

Keberadaan orang asing di bandar Cangu memang sudah biasa, berbagai bangsa dengan beraneka warna kulit sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari di Bandar Cangu.

“Silahkan tuan menyusuri Sungai Brantas ini menuju kearah Benteng Cangu itu, tuan akan menemui sebuah rumah panggung besar menghadap ke arah sungai. Itulah kediaman Senapati Agung Raden Wijaya”, berkata seorang lelaki memberi petunjuk arah kepada ketiga lelaki asing itu.

“Terima kasih”, berkata salah seorang dari ketiga orang asing itu sambil menyelipkan sebuah uang logam perak ke tangan orang yang telah memberikannya petunjuk arah.

Terlihat ketiga orang asing itu telah berjalan sesuai petunjuk arah yang disampaikan oleh seorang lelaki yang mengiringinya dengan pandangan matanya.

“Mimpi apa aku semalam, masih pagi sudah dapat setengah karung beras”, berkata lelaki itu sambil memandang uang logam perak di tangannya.

Sementara itu ketiga orang asing itu telah melihat sebuah rumah panggung besar menghadap kearah sungai Brantas, dibelakangnya berjejer puluhan barak prajurit.

“Mungkin rumah panggung itulah yang dimaksud”, berkata salah seorang diantara mereka yang nampaknya sangat berpengaruh terlihat dari sikap kedua orang yang bersamanya seperti sikap seorang bawahan kepada atasannya.

Ketiga orang asing itu pun terlihat mendekati rumah panggung besar itu, beberapa orang prajurit yang bersimpangan dengan mereka hanya melihat selintas. Kedatangan orang asing memang bukan sebuah pemandangan baru.

“Apakah aku berhadapan dengan Senapati Agung bernama Raden Wijaya?”, berkata salah seorang dari ketiga orang asing yang paling berpengaruh ketika sudah naik keatas pendapa Balai Tamu.

“Tuan tidak salah menyebut nama, hanya orang dimaksudkan adalah disebelahku ini”, berkata Kebo Arema yang saat itu ada bersama Raden Wijaya dan Ranggalawe.

“Ternyata Senapati Agung Raden Wijaya masih begitu muda, salam hormat dari kami”, berkata lelaki itu sambil menjura penuh hormat kepada Raden Wijaya. Kedua orang yang mengiringi juga ikut memberi hormat.

“Pasti ada sebuah kepentingan besar yang membawa langkah kaki tuan hingga sampai di rumah ini”, berkata Raden Wijaya kepada lelaki itu.

“Kami berasal dari kerajaan pusat bumi, memang ada kepentingan besar hingga kami harus menempuh perjalanan yang panjang ini”, berkata lelaki itu.

“Aku sering mendengar kerajaan pusat bumi, sebuah kerajaan besar yang saat ini telah hampir menguasai separuh daratan bumi”, berkata Raden Wijaya kepada lelaki itu. “Ternyata pengetahuan tuan Senapati begitu luas”, berkata lelaki asing itu mengagumi pengetahuan Raden Wijaya.

“Penguasa kerajaan pusat bumi itu menjuluki dirinya sendiri sebagai manusia terakhir dari khannya, Kaisar Kubilai Khan”, berkata Raden Wijaya kepada lelaki asing itu yang diam-diam mengagumi pengetahuan senapati muda dihadapannya yang sangat luas.

“Ditempat yang begitu jauh ini ada orang yang dapat menyebut gelar kaisarku dengan benar, sebagai tanda sudah begitu besarnya nama dan keagungannya. Atas kehendaknya, Kaisar Agung Kubilai Khan mengutus aku datang ke bumi tuan”, berkata lelaki asing itu sambil mengeluarkan sebuah kayu hitam bersimbul ukiran emas dua naga sebagai pertanda diri utusan resmi dari Kaisar Kubilai Khan.

“Ternyata aku berhadapan dengan utusan resmi Kaisar Kubilai Khan yang namanya sudah sampai menjungjung ke langit bumi”, berkata Raden Wijaya kepada orang asing itu yang tersenyum mendengar Raden Wijaya memuji Kaisarnya.

“Aku yang rendah ini hanya seorang utusan, perkenalkan namaku Mengki”, berkata orang asing itu yang memperkenalkan dirinya bernama Mengki tanpa memperkenalkan kedua orang yang menemaninya.

“Utusan Kaisar sama derajatnya menghadap kaisar itu sendiri, maafkan bila kami tidak berlaku hormat kepada utusan Kaisar Kubilai Khan”, berkata Raden Wijaya sambil menjura penuh hormat kepada Mengki yang ternyata adalah seorang utusan Kaisar Kubilai Khan, sebuah nama yang saat itu sangat menggetarkan hati para raja-raja didunia. Hampir separuh dunia telah ditaklukkan oleh pasukannya yang terkenal kuat dan sangat berani di segala medan pertempuran. Pasukan Burma dengan pasukan gajahnya pernah hancur lebur luluh lantak dihancurkan oleh pasukan Kubilai Khan.

Raden Wijaya memperkenalkan Kebo Arema dan Rangga Lawe kepada tamunya itu.

“Perkenalkan Pamanku dan saudaraku”, berkata Raden Wijaya memperkenalkan Kebo Arema dan Rangga Lawe yang menemaninya di pendapa Balai Tamu.

“Aku mendapat kabar bahwa tuan Senapati adalah orang yang paling dekat dan dipercaya oleh Maharaja Singasari, untuk itulah aku datang menghadap tuan Senapati”, berkata Mengki menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Raden Wijaya.

“Bila itu tujuannya, aku dapat mengantar tuan Mengki menghadap Sri Baginda Maharaja Singasari”, berkata Raden Wijaya.

“Aku tidak akan melupakan kebaikan tuan Senapati”, berkata Mengki kepada Raden Wijaya.

”Apakah aku boleh mengetahui, apa yang akan tuan sampaikan kehadapan Sri baginda Maharaja Singasari”, berkata dan bertanya Raden Wijaya kepada Mengki.

Terlihat Mengki menarik nafas panjang, sepertinya tengah mencari sebuah kata-kata yang tepat yang akan disampaikan untuk menjawab pertanyaan dari Raden Wijaya.

“Sudah hampir separuh dunia telah tunduk patuh kepada Kaisar Agung Kubilai Khan, hampir seluruh raja-raja di separuh dunia ini setiap tahunnya mengirim upeti  sebagai tanda bergabung dibawah panji kebesaran Kaisar Mongolia yang dipertuan agung Kubilai Khan”, berkata Mengki berhenti sebentar memandang Raden Wijaya, Kebo Arema dan Ranggalawe menilik sejauh mana tanggapan mereka terhadap apa yang disampaikannya.

Ternyata tidak ada perubahan apapun di wajah ketiga orang itu dalam pandangan Mengki.

“Kamipun bermaksud membawa Kerajaan Singasari, penguasa Selat Malaka, Tanjungpura, Celebes sampai ke Tanah Gurun untuk bergabung dibawah panji kebesaran Kaisar yang dipertuan Agung Kubilai Khan”, berkata Mengki sambil memandang Raden Wijaya penuh harap Senapati muda ini tidak merasa terusik atas apa yang telah disampaikannya dengan bahasa yang sangat halus.

“Kami paham apa yang akan tuan sampaikan kepada Sri Baginda Maharaja Singasari. Bahasa tuan begitu lembut, semoga Sri baginda Maharaja Singasari dapat memahami dan dapat berpikir jernih memberikan keputusannya”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki yang sepertinya dapat membaca apa yang ada didalam pikiran utusan Kubilai Khan ini.

“Terima kasih atas pemahamannya, aku hanya sebatas seorang utusan yang wajib menjalankan tugas ini”, berkata Mengki kepada Raden Wijaya yang diam-diam mengagumi ketenangan dan cara berpikir Senapati muda dihadapannya itu.

“Kami akan membantu membawa tuan kepada Sri Maharaja Singasari”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki.

“Terima kasih tak terhingga, semoga jalan terang selalu menaungi tuan Senapati”, berkata Mengki sambil menjura penuh rasa terima kasih. “Besok kita berangkat, aku dan Paman Kebo Arema akan mengantar kalian”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki dan Kebo Arema.

Kebo Arema tercenung sejenak, namun akhirnya memahami kenapa dirinya diajak serta ke Kotaraja.

“Perlu pengorbanan yang besar, bayarannya adalah harga diri Sri Baginda Maharaja Kertanegara. Mudahmudahan kehadiranku di Kotaraja dapat membantunya lebih jernih untuk mengambil sebuah keputusan”, berkata Kebo Arema dalam hati sambil menganggukkan kepalanya kepada Raden Wijaya sebagai tanda persetujuannya ikut bersama ke Kotaraja.

“Sudah lama aku tidak mengunjungi Kotaraja”, berkata Rangga Lawe kepada Raden Wijaya.

“Bila saja ini perjalanan pesiar, aku pasti mengajakmu”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum kepada Rangga Lawe.

“Siap menjalankan tugas, mewakili Senapati Agung di Balai Tamu”, berkata Rangga Lawe dengan sikap tegak hormat sebagaimana seorang prajurit  rendah menghadap perwiranya.

“Bila ada tamu asing, katakan dirimu sebagai Senapati agung. Aku tidak akan menghukummu”, berkata Raden Wijaya menanggapi canda Rangga Lawe.

Pembicaraan mereka terhenti manakala dari balik pintu pendapa keluar pelayan tua sambil membawa beberapa hidangan.

“Mudah-mudahan hidangan ini berkenan dilidah tuantuan”, berkata Raden Wijaya mempersilahkan tamunya.

“Yang paling susah adalah menyamakan perasaan hati, sementara lidah sangat bergantung kepada keadaan dan suasana hati”, berkata Mengki sambil mengisi mangkuknya dengan nasi putih yang masih hangat.

“Kadang perasaan hati dapat berubah seiring dengan keadaan dan suasana yang berubah”, berkata Raden Wijaya sambil ikut memenuhi mangkuknya.

“Ternyata orang Mongol dan orang jawa punya cara yang sama, makan dengan tangannya”, berkata Mengki ketika melihat Raden Wijaya tengah menyuap sejumput nasi dengan tangannya.

“Apakah ada orang yang memakan tidak dengan tangannya ?”, bertanya Rangga Lawe kepada Mengki.

“Orang Cina tembok besar memakan apapun dengan dua sumpit kayunya”, berkata Mengki kepada Rangga lawe.

“Kudengar Kaisar Kubilai Khan sangat membenci orang Cina, tak satu pun pejabatnya berasal dari bangsa Cina”, berkata Raden Wijaya yang sering mendengar banyak cerita dari saudagar-saudagar besar yang sering datang dan berhubungan dengannya.

“Bangsa Cina sering menyebut kami sebagai bangsa liar tidak beradab, tapi bukan itu yang menyebabkan Kaisar kami membenci orang Cina, ada seorang pejabatnya yang berasal dari bangsa Cina yang diam-diam telah menghianatinya”, berkata Mengki memberikan penjelasannya.

“Aku mulai banyak mengenal bangsamu, sekelompok orang yang punya cita-cita dan semangat tinggi, dan kaisarmu telah mampu menghimpunnya dalam sebuah kesetia-kawanan yang kuat”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki.

“Seperti semut hitam berbagi rasa dan kesetiaan”, berkata Kebo Arema ikut memberikan tanggapannya.

Ternyata pembicaraan mereka yang panjang telah mengikat mereka untuk saling mengenal dan saling menghargai.

“Kalian baru saja tiba dari perjalanan yang jauh, beristirahatlah”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki mempersilahkan Mengki dan dua orang yang bersamanya untuk beristirahat.

Terlihat seorang pelayan tua mengantar mereka ketempat yang biasa dipergunakan untuk para  tamu yang datang dari tempat yang jauh untuk bermalam.

“Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja dapat berpikir jernih, membuat keputusan dengan bijaksana”, berkata Kebo Arema kepada Raden Wijaya ketika Mengki dan pengiringnya sudah meninggalkan pendapa Balai Tamu.

“Mengakui kebesaran kaisar Kubilai Khan berarti hilangnya sebuah harga diri bangsa. Sementara bila menolaknya, kita akan berhadapan dengan sebuah kekuatan besar, sebuah peperangan besar”, berkata Raden Wijaya menyampaikan pandangannya.

“Bila kamu adalah Sri Baginda Maharaja, apa yang akan kamu putuskan?”, bertanya kebo Arema kepada Raden Wijaya. Raden Wijaya tidak langsung menjawab, terlihat menarik nafas panjang untuk mencoba mendengar sendiri kata hatinya.

“Apa artinya sebuah harga diri bila harus dibayar dengan banyak darah. Sementara sebuah upeti tidak akan membuat kita jatuh miskin”, berkata Raden Wijaya berbicara mengikuti perasaan hatinya.

“Ternyata kita punya perasaan dan pemikiran yang sama”, berkata Kebo Arema menanggapi pernyataan Raden Wijaya.

“Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja mempunyai perasaan dan pemikiran yang sama juga”, berkata Raden Wijaya dengan wajah penuh harap

“Bagaimana dengan dirimu Rangga Lawe?”, berkata Kebo Arema kepada Rangga Lawe yang sedari tadi hanya banyak mendengar.

Terlihat Rangga Lawe layaknya seorang pemikir berat, lama sekali berpikirnya sambil memandang kapal layar besar jung Singasari yang tengah bersandar di dermaganya.

“Angkatan perang laut kita begitu kuat, prajurit kita tidak pernah terkalahkan. Apa yang harus kita takutkan dari mereka?”, berkata Rangga lawe memberikan tanggapannya.

“Aku tidak menyalahkan pendapatmu, yang kukhawatirkan bahwa Sri Baginda Maharaja mempunyai pikiran yang sama denganmu”, berkata Kebo Arema.

“Paman Kebo Arema terlalu berputar-putar, katakan saja bahwa pendapatku berseberangan”, berkata Rangga Lawe.

Terlihat Kebo Arema tersenyum mendengar pernyataan yang langsung dari Rangga Lawe. Diam-diam memahami watak dan pembawaan anak muda dihadapannya itu yang polos dan tidak mengenal tedeng aling-aling, apa yang dirasakan dan dipikirkan langsung diucapkan.

“Anak muda ini berbeda sekali dengan Raden Wijaya, apalagi bila disandingkan dengan Mahesa Amping. Tapi justru perbedaan itulah yang mengikat persahabatan mereka bertiga”, berkata Kebo Arema dalam hati.

“Kekuatan angkatan perang laut kita memang kuat, prajurit kita punya pengalaman bertempur yang tangguh. Yang belum kita miliki adalah keyakinan bahwa apakah ada kesetiaan diantara para raja-raja diseluruh Singasari Raya?”, berkata Kebo Arema kepada Rangga Lawe.

Terlihat Rangga Lawe dan Raden Wijaya tercenung sebentar membenarkan pandangan Kebo Arema.

“Mengalah bukan kalah, dan tidak semua masalah harus diselesaikan dengan sebuah peperangan”, berkata Kebo Arema kepada raden Wijaya dan Rangga Lawe yang nampaknya menerima pandangan Kebo Arema.

Sementara itu matahari diufuk barat sudah mulai tergelincir terpotong setengahnya mengintip diujung tepian bumi. Angin deras bertiup meliuk-liuk daun dan ranting pepohonan yang tumbuh disekitar Rumah Balai Tamu.

Terlihat seorang pelayan tua keluar dari rumah Balai Tamu lewat pintu butulan. Tidak seorang pun yang memperdulikan orang tua yang sudah lama bekerja melayani penghuni rumah Balai Tamu. Orang tua yang sudah dipenuhi warna putih hampir seluruh rambut kepalanya itu terus berjalan ke arah sebuah dusun terdekat yang tidak jauh dari Bandar Cangu.

“Lama sekali Ki Widura tidak nyambat kegubukku”, berkata seorang lelaki yang terlihat seumuran dengan pelayan tua yang dipanggil Ki Widura oleh pemilik rumah itu.”pasti ada hal penting yang kamu bawa”, berkata kembali lelaki itu ketika Ki Widura sudah duduk di balebale rumahnya.

“Kabar yang kubawa ini mungkin dapat membangunkan orang-orang Kediri yang masih setia kepada Raja dan keturunannya”, berkata Ki Widura berhenti sebentar mengatur nafasnya. Terlihat lelaki tua itu memperbaiki letak duduknya mendengar perkataan Ki Widura, sepertinya takut ada yang tertinggal.

“Di Balai tamu saat ini ada kedatangan tamu penting, mereka adalah utusan langsung dari Kaisar Kubilai Khan, penguasa besar pemilik separuh bumi ini yang mempunyai pasukan kuda yang kuat yang membawa guntur dalam setiap peperangannya”, berkata Ki Widura kepada lelaki dihadapannya.

“Dari mana Ki Widura mendapatkan keterangan itu?”, bertanya lelaki itu kepada Ki Widura.

“Aku mendapatkan semua itu langsung dari dua orang budak utusan itu, dikatakan juga bahwa Singasari akan dibakar habis bila tidak mengakui kebesaran Kaisar Agung Kubilai Khan”, berkata Widura kepada lelaki itu.

“Aku belum dapat menangkap hubungan utusan itu dengan kepentingan kita”, berkata lelaki itu kepada Ki Widura.

“Kita bunuh utusan itu, kematian utusan itu akan menjadi api kemarahan Kaisar Kubilai Khan”, berkata Ki Widura kepada lelaki itu.

“Ternyata uban dikepalamu tidak merapuhkan otakmu. Aku akan menyampaikan hal ini kepada kawan-kawan kita”, berkata lelaki itu kepada Ki Widura.

“Hari sudah mulai gelap, aku kembali ke Balai Tamu”, berkata Ki Widura sambil beranjak turun dari bale-bale bambu.

“Malam ini juga aku akan menyampaikan keteranganmu kepada kawan-kawan kita”, berkata lelaki itu sambil mengantar Ki Widura yang akan kembali ke rumah Balai Tamu tempat dimana dirinya bertugas sebagai seorang pelayan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa jauh dikehidupannya adalah sebagai seorang abdi dalem istana Kediri yang setia kepada Raja Kertajasa dan keturunannya.

“Darimana saja Pak tua”, bertanya seorang prajurit yang mengenalnya ketika Ki Widura sudah sampai di rumah Balai Tamu.

“Mengantar sedikit makanan untuk keponakanku di Dusun Ceger”, berkata ki Widura sambil tersenyum ramah.

Terlihat Ki Widura telah masuk kembali ke rumah Balai Tamu lewat pintu butulan.

Sementara itu hari memang sudah jatuh malam, terlihat dua ekor kuda melesat di kegelapan malam.

“Besok mereka baru berangkat, kita harus mendahului mereka tiba di Kotaraja”, berkata seorang lelaki kepada temannya sambil menghentakkan kakinya ke perut kudanya agar berlari lebih cepat lagi.

Malam itu jalanan antara Bandar Cangu dan Kutaraja memang sudah terlihat begitu sepi, para saudagar lebih banyak memilih perjalanan siang. Bukan karena takut adanya perampokan, yang mereka takutkan adalah masih banyak binatang buas berkeliaran di malam hari, terutama dijalan yang membelah hutan yang harus mereka lalui.

Tapi kedua penunggang itu sepertinya tidak menghiraukan apapun, apalagi hanya binatang buas seperti harimau dan srigala. Keduanya hanya takut bila sampai terlambat memasuki Kotaraja.

Sukar sekali mencirikan kedua penunggang kuda itu  yang melarikan kudanya seperti angin. Kegelapan malam mengaburkan wajah mereka.

Ketika menemui jalan yang membelah hutan, justru mereka melambatkan jalan kudanya. Terlihat keduanya turun meloncat dari punggung kudanya.

Hutan di kiri kanan jalan itu telah membuat suasana malam menjadi begitu pekat. Terlihat kedua orang itu menuntun kudanya kearah parit kecil yang ada mengalir membelah jalan. Dibiarkan kuda-kuda mereka memuaskan dahaganya diparit kecil yang berair jernih memercik batu-batu kecil.

Tidak lama kemudian mereka telah berada dipunggung kuda kembali, awalnya perlahan, namun kembali terdengar suara ringkik kuda yang kaget merasakan perutnya dihentakkan oleh kaki tuannya langsung berlari kencang.

Kembali dua ekor kuda seperti berpacu membelah angin malam didalam kepekatan hutan malam. Suara derap langkah kaki kuda memecahkan kesunyian malam yang dingin dijalan yang terus menanjak.

Kabut menutupi gerbang Kotaraja Singasari di malam yang sudah menjadi tua, namun masih jauh datangnya pagi. Terlihat dua orang berkuda telah memasuki gerbang kota, berjalan perlahan menapaki jalan Kotaraja yang lengang.

Dibawah naungan langit malam dijalan Kotaraja, wajah kedua penunggang kuda itu mulai dapat terlihat jelas.

Penunggang pertama bertubuh tinggi kekar, wajahnya terlihat kaku dan keras dengan tulang rahang yang nampak menonjol. Melihat dari wajahnya dapat diperkirakan sebagai lelaki yang sudah tidak muda lagi, namun tidak juga dikatakan sudah tua. Sementara itu penunggang kedua bertubuh pendek dan kekar. Wajahnya bulat dengan kening agak lebar. Rambut sebelah depan sudah terlihat menipis, hanya bagian bawahnya yang masih nampak gembal.

Terlihat kedua orang itu memasuki sebuah rumah besar dipinggir jalan, nampaknya sebuah rumah pejabat kerajaan dengan empat buah pilar kayu yang tinggi berukir menyanggah pendapa rumahnya.

“Siapa?”, berkata seorang penjaga yang mengintip dri regol pintu gerbang halaman muka rumah itu.

“Aku Prastaka”, berkata seorang yang bertubuh pendek dan kekar kepada penjaga itu.

Rupanya penjaga itu cukup mengenali suara orang yang menyebut dirinya bernama Prastaka, maka segera membuka palang pintu gerbang.

“Bangunkan tuanmu, bila dia marah katakan bahwa ini sangat penting sekali”, berkata Prastaka ketika sudah masuk kedalam rumah itu kepada seorang penjaga. Sepertinya Prastaka sudah cukup sering datang kerumah itu.

Terlihat Prastaka dan kawannya tengah mengikat kudanya disebuah dahan pohon kweni yang ada sebalah pendapa dan langsung menaiki anak pendapa yang hanya diterangi cahaya pelita di dua sudut pendapa yang sudah semakin meredup menyisakan sedikit minyak buah jarak.

Terdengar derit suara pintu ditarik, pintu utama pendapa terkuak lebar. Keluar dari pintu itu seorang lelaki dengan wajah cukup bersih. Kerut-kerut didahi dan dibawah matanya menandakan usianya yang sudah cukup tua.

“Ternyata kamu Prastaka”, berkata lelaki itu menyapa tamunya. “Pasti ada sesuatu yang sangat penting sekali hingga tidak bisa diundur menunggu pagi”, berkata kembali lelaki itu sedikit menyinggung Prastaka yang telah membangunkan tidurnya.

“Maafkan aku Malendra, urusan yang kubawa ini memang tidak bisa menunggu pagi”, berkata Prastaka kepada lelaki itu yang dipanggilnya sebagai Malendra yang ternyata adalah seorang pejabat kerajaan yang bertugas menerima pajak dan upeti kerajaan.

Maka Praskata langsung menyampaikan urusannya yang dikatakan sangat penting itu kepada Malendra.

“Membunuh utusan Kaisar Kubilai Khan?”, berkata Malendra setelah mendengar penjelasan Prastaka yang dikatakan sebagai urusan yang sangat penting itu.

“Kita hancurkan kerajaan Tumapel ini lewat kekuatan lain”, berkata Prastaka yang enggan menyebut Singasari tapi masih tetap mengatakan Kerajaan Tumapel kepada Malendra.

“Apakah sudah disiapkan orang yang mampu melakukan tugas pembunuhan itu?”, bertanya Malendra kepada Prastaka.

“Ki Ambeg Kulon bersedia menjalankan tugas itu”, berkata Prastaka sambil menunjuk kawan disebelahnya yang disebutnya bernama Ki Ambeg Kulon.

Malendra memperhatikan Ki Ambeg Kulon dari bawah sampai keatas kepala, namun ketika bertemu pandang mata Ki Ambeg Kulon, terkesiap Malendra merasa jerih karena membentur sebuah mata yang tajam dan dingin. Seketika Malendra melemparkan pandangannya menghindari tatapan mata Ki Ambeg Kulon.

Prastaka tersenyum melihat ada rasa jerih Malendra kepada Ki Ambeg Kulon, orang yang tidak diragukan lagi dan sudah dikenalnya sebagai seorang pembunuh bayaran yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya, dan memang mempunyai pandang mata yang dingin, memandang nyawa manusia senilai harga upah yang diterima.

“Junjungan kita Raja Jayakatwang akan merasa bangga bilasaja urusan kita ini berhasil”, berkata Prastaka kepada Malendra.

“Bantuan apa yang kamu inginkan dariku?”, bertanya Malendra yang sebenarnya sudah merasakan kehidupan yang tenang sebagai pejabat kerajaan dan menganggap kelompok perjuangan orang-orang yang masih setia kepada Raja Kertajasa dan keturunannya hanya sebagai kecemburuan nasib. Sebagai orang asli dari tanah Kediri yang hidup di Kotaraja, dirinya tidak merasakan adanya perbedaan. Sebagai pejabat kerajaan dirinya melihat bahwa Sri Maharaja Singasari tidak pernah membedakan orang Tumapel dan orang Kediri.

Tapi dihadapan Prastaka dirinya tidak bisa menolak, kawannya inilah yang membawanya kepada Raja Jayakatwang untuk dijadikan sebagai kaki tangannya di Istana Singasari.

“Aku ingin kamu menyusupkan Ki Ambeg Kulon kedalam istana”, berkata Prastaka kepada Malendra.

Perkataan Prastaka dirasakan sebagai todongan pedang panjang menempel di lehernya, Malendra seperti tidak ada daya dan kekuatan apapun untuk mengatakan “tidak”.Bahkan secara tidak sadar dirinya berucap berbeda dari keinginan hatinya.

“Besok pagi kubawa kawanmu ini ke istana, kudengar ada seorang pengalasan yang sudah cukup tua untuk digantikan”, berkata Malendra kepada Prastaka.

“Tidak sia-sia kubawa dirimu ke Istana Tumapel ini”, berkata Prastaka kepada Malendra.

Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pelayan perempuan tua datang membawa hidangan pagi yang hangat. Diluar rumah Malendra yang besar dan megah langit memang sudah mulai berwarna kemerahan sebagai tanda sebentar lagi sang fajar akan datang mewarnai wajah pagi dibumi.

Sementara itu di bandar Cangu diwaktu yang sama, terlihat lima ekor kuda perlahan meninggalkan bandar Cangu, mereka adalah Raden Wijaya, Kebo Arema, Mengki dan dua orang budaknya. Mereka tengah melakukan perjalanan menuju Kotaraja.

“Aku terlahir di bumi yang tandus, siang hari panas begitu mencekam membakar kulit sementara bila malam datang angin dingin seperti menjerat sekujur tubuh. Disini aku seperti melihat surga ada di sepanjang mata memandang”, berkata Mengki kepada Raden Wijaya dengan wajah penuh kegembiraan  melihat pemandangan alam disekitarnya, sawah ladang, lereng dan bukit yang hijau sejauh pandangan mata.

“Keindahan yang kita lihat tergantung perasaan hati, kadang di sebuah tempat yang gersang sekalipun akan menjadi suasana yang indah manakala persaan hati penuh kebahagiaan”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki yang beriring berkuda bersamanya.

Dan matahari sepertinya mengikuti mereka melewati batang-batang pohon disepanjang perjalanan. Kadang diperjalanan mereka bersisipan dengan para pedagang yang tengah membawa barang dengan kereta kuda menuju arah Bandar Cangu. Atau kadang juga melewati kereta barang yang sarat muatan menuju Kotaraja.

Mereka memang tidak memacu kudanya berlari, sepertinya mereka tidak berpacu dengan waktu dan membiarkan kuda mereka berjalan setengah berlari.

Kita tinggalkan dulu perjalanan Raden Wijaya dan Kebo Arema yang tengah mengantar utusan Kaisar Kubilai Khan menuju Kotaraja, seiring waktu yang sama di Kotaraja terlihat Malendra dan Ki Ambeg Kulon tengah memasuki gerbang istana. Terlihat dua orang prajurit pengawal istana membiarkan Malendra yang sudah mereka kenal membawa seorang asing bersamanya. Kedua prajurit itu mungkin berpikiran sama bahwa Malendra membawa saudara atau kerabatnya untuk suatu urusan di istana.

“Sebelumnya kami ke rumah Kangmas Gontar, tapi  orang dirumah mengatakan Kangmas Gontar sudah berangkat ke Istana”, berkata Malendra kepada kawannya yang dipanggilnya sebagai Kangmas Gontar.

“Pasti ada urusan penting hingga Dimas Malendra datang kerumahku”, berkata lelaki yang bernama Gontar itu kepada Malendra.

“Aku mendapat kabar bahwa di Istana ini membutuhkan seorang pengalasan, aku membawa saudaraku ini. Mudah-mudahan kangmas Gontar dapat mempekerjakannya”, berkata Malendra kepada Gontar yang ternyata adalah Pejabat istana yang bertugas mengatur segala urusan rumah tangga istana.

“Benar, kami membutuhkan seorang pengalasan untuk menggantikan Ki Broto yang sudah tua. Apakah ini saudaramu ?”, bertanya Gontar kepada Malendra.

“Benar, saudara dari istriku”, berkata Malendra kepada Gontar memperkenalkan Ki Ambeg Kulon.

“Aku terima saudaramu ini. Mari ikut bersamaku ke tempat Ki Broto untuk mengetahui tugas-tugas pengalasan istana”, berkata Gontar kepada Malendra.

“Terima kasih Kangmas Gontar, aku berharap saudaraku ini secepatnya dapat belajar dari Ki Broto”, berkata Malendra kepada Gontar yang terlihat melangkah pergi membawa Ki Ambeg Kulon menemui Ki Broto seorang pengalasan istana yang sebentar lagi akan purnabhakti kembali kekampung halamannya.

Sementara itu diwaktu yang sama, Raden Wijaya dan rombongannya masih dalam perjalanan menuju Kotaraja. Setengah berlari mereka memacu kudanya diatas tanah keras berdebu.

Ketika matahari sudah berada diatas kepala, mereka berhenti sebentar disebuah kedai sekedar melepas penat dan mengistrahatkan kuda-kuda mereka. Hanya sebentar, tidak lama kemudian terlihat mereka sudah keluar dari kedai untuk melanjutkan perjalanan kembali.

“Kotaraja Singasari sudah semakin dekat”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki ketika jalan yang mereka lalui terus menanjak kadang berkelok mengitari perbukitan.

Kita kembali lagi ke Istana Kotaraja, disebuah Pasanggrahan Kaputrian terlihat dua orang lelaki tengah membongkar sebuah rumpun pohon pinang merah. Ternyata mereka adalah dua orang Pengalasan yang sedang bekerja, terlihat seorang diantaranya sudah begitu tua dengan warna rambut sudah merata putih memenuhi kepalanya terlihat diantara ikatan kain kepalanya. Kawan pengalasan yang tua itu ternyata adalah Ki Ambeg Kulon yang mulai hari itu juga sudah diterima bekerja di Istana sebagai seorang Pengalasan.

“Memindahkan anak pohon Pinang tidak bisa langsung, kita harus menyapihnya terlebih dahulu beberapa hari”, berkata pengalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.

“Kukira hanya anak bayi saja yang disapih dari ibunya”, berkata Ki Ambeg Kulon dengan wajah  bosan mendengar uraian pengalasan tua tentang berbagai tanaman.

“Merawat tanaman memang tidak ubahnya dengan merawat seorang bayi, harus penuh hati-hati dan penuh kasih sayang”, berkata pengalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.

“Ternyata tanaman juga perlu kasih sayang, tidak sekedar disiram?”, berkata Ki Ambeg Kulon menahan kekesalannya.

“Kamu benar, tanaman seperti berjiwa. Tidak semua orang dapat memelihara tanaman. Hanya orang bertangan dingin saja yang dapat memelihara tanaman terus hidup, subur dan berkembang”, berkata pengalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.

“Ternyata aku jodoh bekerja sebagai Pengalasan, hampir semua orang yang mengenalku mengatakan aku ini berdarah dingin”berkata Ki Ambeg Kulon asal bunyi untuk melepas kejemuannya.

Pengalasan tua itu terlihat tertawa mendengan ucapan Ki Ambeg Kulon sambil memandang Ki Ambeg Kulon dari bawah sampai kekepala.

“Bila kamu berdarah dingin, harusnya kamu membegal atau menjadi pembunuh bayaran, bukan bekerja disini sebagai juru pengalasan”, berkata Pengalasan tua itu sambil tertawa lama hingga sampai mengeluarkan air mata.

Sementara itu diwaktu yang sama dan ditempat yang berbeda, Raden Wijaya dan rombongannya telah memasuki sebuah kawasan jalan yang dipenuhi hutan dikanan kirinya.

“Beri kesempatan kuda-kuda kita mendahagakan dirinya minum air segar”, berkata Kebo Arema sambil melompat dari punggung kudanya, menuntun kudanya menuju kesebuah parit kecil yang membelah jalan yang diteduhi hutan yang kerap.

Terlihat semua mengikuti Kebo Arema, menuntun kudanya dan membiarkannya meminum air segar yang terlihat mengalir jernih diatas batu-batu kecil.

Suasana jalan itu sendiri terasa begitu teduh karena tertutup hutan yang kerap dengan banyak pohon besar menutupi langit diatas jalan yang memaksa siapapun untuk beristirahat lama bahkan dapat terkantuk-kantuk menikmati sejuknya semilir angin yang berhembus.

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum melihat dua orang budak Mengki hampir pulas rebahan bersandar disebuah batang pohon besar.

“Kita sampai di Kotaraja sebelum senja”, berkata kebo Arema kepada Mengki sambil melompat keatas punggung kudanya untuk melanjutkan perjalanannya.

Senja memang masih perlu waktu yang panjang untuk mendatangi bumi, diatas langit jalan menuju Kotaraja, juga diatas langit istana Singasari yang megah dipenuhi taman yang indah terpelihara. Terlihat dua orang lelaki tengah berjalan dari arah Pesanggrahan Kaputrian menuju Pasanggrahan Sentanu, sebuah pasangrahan yang baru dipugar dan diperbaruhi sebagai tempat beristirahat para tamu dan kerabat keluarga istana yang datang dari tempat yang jauh.

“Hanya di dua tempat ini tugas dan tanggung jawab kita, taman yang ada di Pasanggrahan Kaputrian dan Pasanggrahan Sentanu”, berkata pangalasan tua kepada Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba pasanggrahan Sentanu.

“Sebuah patung yang indah”, berkata Ki Ambeg Kulon ketika pandangannya menyapu seisi halaman yang cukup luas dibatasi oleh dinding batu, sebuah patung orang berkuda terlihat berdiri ditengah-tengah halaman.

“Itulah patung pahlawan Mahesa Agni, dipasanggrahan inilah beliau pernah tinggal”, berkata Pangalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon. Pangalasan tua itupun memberi perintah apa yang harus dilakukan di taman halaman Pasanggrahan Sentanu.

Terlihat kedua orang ini telah bekerja membersihkan beberapa daun yang berserakan, menyirang tanaman bunga serta menggemburkan tanahnya.

“Hari sudah mendekati senja”, berkata Pangalasan tua sambil menatap langit dimana matahari sudah mulai tergelincir diufuk barat bumi.

Disaat itu pula terlihat lima orang berkuda telah tiba di gerbang batas Kotaraja. Mereka adalah Raden Wijaya, Kebo Arema bersama Mengki dan dua orang budaknya.

“Sebuah hunian yang cukup ramai”, berkata Mengki kepada Raden Wijaya ketika kudanya telah memasuki dan menapaki jalan Kotaraja yang masih ramai di saat menjelang senja itu.

Sementara itu didalam istana, dua orang lelaki tengah berjalan keluar regol halaman pasanggrahan, mereka adalah Ki Ambek Kulon dan pangalasan tua yang telah menyelesaikan tugasnya kembali kebilik mereka yang ada di belakang istana yang disediakan untuk beberapa abdidalem.

“Bilik ini akan menjadi milikmu”, berkata Pangalasan tua kepada Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba di biliknya.

Ki Ambeg Kulon tidak menjawabnya, terlihat menyandarkan dirinya diatas bale-bale bambu. Yang ada didalam pikirannya adalah gambaran pasanggrahan Sentanu dimana utusan Kubilai Khan akan bermalam beberapa hari di Pasanggrahan itu.

Sementara itu dipintu gerbang depan istana, terlihat lima orang penunggang kuda telah turun dan menuntun kudanya.

“Selamat datang di istana Singasari”, berkata seorang prajurit yang sudah sangat mengenal Raden Wijaya dan Kebo Arema.

Terlihat Raden Wijaya tengah berbicara kepada seorang kepala prajurit pengawal.

“Antarkan tamu kita ini ke Pasanggrahan Sentanu untuk beristirahat”, berkata Raden Wijaya kepada kepala prajurit pengawal istana itu.

“Secepatnya akan kuberi kabar, kapan saatnya menghadap Sri Baginda Maharaja”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki

Terlihat Mengki dan dua orang pengiringnya telah diantar oleh seorang prajurit ke Pasanggrahan Sentanu. Sementara itu Raden Wijaya dan Kebo Arema langsung ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Kesibukan kalian membuat jarak Kotaraja dan Bandar Cangu menjadi begitu jauh”, berkata Ratu Anggabhaya ketika menyambut kedatangan Raden Wijaya dan Kebo Arema bersama Pangeran Lembu Tal.

Seperti biasa, kehadiran Raden Wijaya menjadikan suasana pasanggrahan itu menjadi begitu hangat. Terlihat pelita malam di pendapa agung Pasanggrahan terang benderang.

Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, Raden Wijaya menjelaskan tentang kehadiran mereka di Kotaraja kepada Ayah dan Kakeknya.

“Perlu sebuah kebijaksanaan yang luas untuk memutuskannya”, berkata Ratu Anggabhaya setelah mendengar semua keterangan dari Raden Wijaya tentang kedatangan utusan dari Kerajaan Mongolia.

“Kapan cucunda menghadap Sri Baginda Maharaja?”, bertanya Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya.

“Besok pagi cucunda akan menghadap Sri baginda Maharaja bersama Paman Kebo Arema”, berkata Raden Wijaya kepada Ratu Anggabhaya.

Namun belum habis perkataan Raden Wijaya, terlihat iring-iringan prajurit pengawal istana memasuki regol halaman pasanggrahan.Ternyata para prajurit itu datang bersama Sri Baginda Maharaja Singasari.

“Baru saja cucundaku berkata bahwa besok pagi akan menghadap Tuanku Baginda”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja yang telah duduk di pendapa Agung bersama mereka.

“Aku melihat ada asap besar di Pasanggrahan ini, panggraitaku mengatakan ada tamu agung yang datang kemari”, berkata Sri Baginda Maharaja penuh senyum.”Pasti ada kabar sangat penting yang dibawa oleh sepupuku dan pamanku ini”, berkata kembali Sri Baginda Maharaja sambil memandang kearah Raden Wijaya dan Kebo Arema.

Maka dengan singkat Raden Wijaya bercerita tentang maksud dan tujuannya datang ke Kotaraja, dan yang penting adalah perihal kedatangan utusan resmi Kaisar Kubilai Khan.

Suasana di pendapa agung ketika Raden Wijaya menyelesaikan penjelasannya menjadi begitu hening, semua mata mengarah kepada Sri Baginda Maharaja, sepertinya menunggu sebaris kata-kata penghatur sabda.

Terlihat Sri Baginda Maharaja menarik nafas panjang, pandangannya mengarah kepada Kebo Arema.

“Sebelum aku mengambil keputusanku, aku ingin mendengar pandangan dari Paman Kebo Arema.

Maka segenap mata kini beralih tertuju kepada Kebo Arema.

“Sebuah kehormatan besar untuk hamba yang bodoh, tuli, papa dan hina ini dihadapan jungjungan hamba menghaturkan sebuah kejelian mata, maka perkataan hamba ini janganlah dicela. Bukanlah kita kawan kaum srigala yang haus akan peperangan, bukanlah kita  kawan sekumpulan kelinci yang hanya bisa berlari. Namun harus diperdulikan nasib para jelata. Pasukan lawan sungguh tak tercela, telah menunjukkan kekuatannya mampu merobohkan tembok besar orangorang cina daratan, membantai pasukan gajah prajurit Burma serta meluluh lantakkan benteng-benteng kota bangsa arab. Dan mereka selalu membawa guntur dalam setiap peperangannya. Saat ini hampir separuh dunia tunduk dibawah kekuasaannya. Pasukan mereka begitu kuat sebagaimana kuatnya kesetiaan mereka kepada Kaisarnya, Sementara itu kita belum dapat memegang kesetiaan dari para raja sedarah di seluruh Singasari Raya. Mengalah bukan berarti kalah namun sebuah cara menunggu datangnya saat kemenangan. Demikian kejelian mata hamba yang bodoh ini, mohon Sri Baginda Junjungan hamba ampuni tutur kata hamba bila didengar tercela”, berkata Kebo Arema menyampaikan pandangannya dihadapan Sri Baginda Maharaja.

“Yang kutahu Paman Kebo Arema adalah pemanah ulung, selalu memilih burung terbelakang di sekumpulan barisan burung yang tengah terbang. Jiwa Paman Kebo Arema begitu kasih sesama. Kejelian mata Paman Kebo Arema tidak disangsikan lagi, menjadi pegangan jalanku, sumber cahaya penerang hatiku”, berkata Sri Baginda Maharaja.

Terlihat suasana kembali menjadi begitu hening, semua mata tertuju kepada Sri Baginda Maharaja menunggu kata-kata penghatur sabda, keputusan seorang Raja.

Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya kesemua orang yang hadir di Pendapa Agung pasanggrahan Ratu Anggabhaya, mengerti bahwa semua orang menunggu keputusannya.

Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti tertuju kepada Raden Wijaya.

“Bagaimana pendapatmu wahai sepupuku?”, bertanya Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya.

Maka saat itu juga semua pandangan tertuju kepada Raden Wijaya. “Pendapatku tidak banyak berbeda sebagaimana pandangan Paman Kebo Arema, mengakui kebesaran Kaisar Kubilai Khan tidak akan mengurangi nilai martabat diri kita bilamana yang kita berikan hanya sebatas sebuah upeti yang tidak akan mengurangi kekayaan kita, pada saatnya kita rebut kembali semuanya ketika kita siap memiliki tanduk yang kuat dan sepasang sayap yang kokoh”, berkata Raden Wijaya memberikan pandangannya sebagaimana diminta oleh Sri Baginda Maharaja.

Kembali semua pandangan tertuju kepada Sri Baginda Maharaja, menantikan sebuah keputusan mengalir dari kata-katanya.

Pelita malam yang ada di pendapa agung pasanggrahan itu ikut menerangi hampir semua wajah dalam kesan yang sama, wajah penuh harap dengan garis dahi yang tertarik menegang kebelakang.

Terlihat Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya kesemua orang yang hadir di Pendapa Agung pasanggrahan Ratu Anggabhaya, mengerti bahwa semua orang tengah menunggu keputusannya. Sri Baginda Maharaja hanya tersenyum melihat semua orang di pendapa agung itu menatap wajahnya.

Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti tertuju kepada Ratu Anggabhaya.

“Cinta dan hormatku pada Paman Anggabhaya, sebagaimana cinta dan hormatku kepada Ayahandaku. Di hari Maguntur Raya Paman Anggabhaya selalu hadir menemani Ayahandaku, selalu memberi jalan memecahkan kebuntuan, memberi cahaya didalam kegelapan. Malam ini keponakanmu meminta kemurahanmu, memberikan sedikit pitutur luhur untuk paugeran hidupku, agar keputusanku tidak tercela”, berkata Sri baginda Maharaja dengan penuh hormat sebagai seorang kemenakan kepada pamandanya, Ratu Anggabhaya.

Maka seperti sebelumnya, semua mata beralih kearah Ratu Anggabhaya.

Ratu Anggabhaya tidak langsung menjawab, terlihat senyumnya dilemparkannya kesemua orang di pendapa agung itu yang tengah memandangnya.

“Badan dan semangatku sudah semakin rapuh, langkah kakiku tidak lebih jauh berkisar antara Kotaraja. Aku belum tahu betul kekuatan Kerajaan bangsa Mongolia, namun darah yang mengalir di dalam tubuh kita adalah darah para leluhur kita yang tidak pernah gentar menghadapi musuh dimanapun. Diriku tidak pernah takut kepada siapapun. Hanya satu yang kutakutkan, hujaman pisau dari belakang milik saudara dan kerabat kita sendiri. Wahai kemenakanku Maharaja Singasari yang terkasih, hanya ada satu kebenaran sebelum Baginda membuat sebuah keputusan besar, dengarkanlah kata hatimu. Dia tidak pernah salah menilai apapun, karena dialah kebenaran hakiki”, berkata Ratu Anggabhaya dengan wajah terang penuh senyum.

“Terima kasih wahai Pamanda, nasehat dan pandangan Pamanda akan kupusakai”, berkata Sri Baginda Maharaja dengan penuh hormat.

Kembali semua pandangan mata telah beralih ke wajah Sri Baginda Maharaja.

Terlihat Baginda Maharaja tersenyum melihat semua wajah memandangnya.

“Besok adalah hari Maguntur Raya, aku ingin mendengar pandangan para pejabat istana. Namun semua yang kudengar malam ini akan menjadi pijakan yang kuat untuk membuat sebuah langkah”, berkata Sri baginda Maharaja dengan wajah penuh senyum.”Aku akan mengabarkan, kapan utusan Kaisar Kubilai Khan itu datang menghadap”, berkata kembali Sri Baginda Maharaja.

Sementara itu langit malam sudah terlihat tua, begitu pekat dan senyap mengurung pendapa agung yang masih diterangi pelita malam.

“Masih ada banyak waktu”, berkata Sri Baginda sambil mengangkat badan berdiri untuk pamit diri.

Tidak lama kemudian terlihat iring-iringan pengawal prajurit istana telah keluar dari regol halaman pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Semoga Sri Baginda Maharaja dapat mendengarkan perkataan hatinya”, berkata Ratu Anggabhaya sambil mengajak semua yang ada untuk beristirahat.

Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu, Mengki dan kedua pengiringnya sudah lama tertidur lelap. Suasana malam di istana Singasari yang sejuk telah membuat mereka seperti dibuai angin sorga sudah sejak sore masuk keperduannya masing-masing.

Pasanggrahan Sentanu yang berada ditengah-tengah istana memang tidak dijaga oleh seorang prajurit pengawal, dianggap penjagaan di sekitar istana sudah cukup aman bagi siapapun yang bermaksud tidak baik, dan akan berhadapan dengan para prajurit pengawal istana sebelum memasuki area Pasanggrahan Sentanu.

Bertambah malam, bertambah pekat kabut perlahan turun menyelimuti istana Singosari. Di kegelapan malam terlihat bayangan melesat mendekati dinding batu Pasanggrahan Sentanu.

Perlahan bayangan itu mendekati regol halaman Pasanggrahan Sentanu merapatkan diri menyatu pagar dinding batu dibagian dalam. Lama bayangan itu tidak bergerak, keremangan malam melindungi dirinya ketika dua orang prajurit peronda melewati regol pintu halaman pasanggrahan yang sunyi dan terus menjauh meninggalkan pasanggrahan Sentanu untuk berkeliling ketempat lain.

Perlahan bayangan itu berendap menyelinap di kerimbunan tanaman bambu kuning disamping sisi bangunan. Lama bayangan itu tidak bergerak, mungkin untuk meyakini apakah keberadaannya masih belum disadari oleh siapapun.

Kabut yang pekat dan dinginnya malam sepertinya bersahabat dengan sosok bayangan yang masih  merapat di gerumbul tanaman bambu kuning. Begitu lama bayangan itu tidak bergerak, sebuah kesabaran  dan kehati-hatian yang luar biasa yang memerlukan keahlian yang tinggi. Tiada gerak dan tiada terdengar nafas sedikitpun.

Namun setelah berlangsung cukup lama, tiba-tiba saja bayangan itu bergerak melesat melenting tinggi seperti terbang meloncat kearah atap bangunan utama Pasanggrahan Sentanu yang gelap dan sunyi.

Tanpa suara sedikit pun, bayangan itu telah hinggap diatas atap bangunan utama Pasanggrahan Sentanu.

Perlahan bayangan itu menyibak atap bangunan dengan mudahnya.

Masih dalam keadaan merapat pada atap bangunan, wajahnya terlihat mendekati lubang atap yang dibuatnya.

Pelita malam didalam ruangan telah menyinari wajahnya. Sebuah wajah yang angker dengan sinar mata yang begitu dingin menjadi terlihat jelas. Ternyata bayangan itu adalah Ki Ambeg Kulon, seorang pembunuh bayaran yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya.

“Tugas yang mudah”, berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati ketika di dalam ruangan itu melihat seorang yang berselimut diatas peraduannya.

“Besok pagi di istana ini akan menjadi heboh besar, seorang utusan dari kerajaan besar telah mati bersibak darah”, berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati memperlihatkan senyum dingin, senyum yang hanya dimiliki oleh orang yang berdarah dingin, yang membunuh manusia dengan mata terbuka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar