Ilmu Tanpa Nama
MULA-MULA samar, tapi makin lama makin nyata, Si Rajawali Jantan lebih unggul dalam kebugaran dibandingkan dengan Jaka Wulung yang sudah kehilangan sebagian kekuatannya. Lambat laun, Jaka Wulung hanya mampu menghindar dan bertahan, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan.
Si Rajawali Jantan menyadari bahwa dia sedang dalam kedudukan lebih unggul. Karena itu, dia terus menambah kecepatan dan kekuatan serangannya. Pedang panjangnya seakan-akan berubah menjadi lima buah, saling bergulung menimbulkan angin puyuh beraroma kematian. Tangan kiri dan kedua kakinya tidak henti-henti memberikan serangan beruntun, seolah-olah empat lima orang mengeroyok Jaka Wulung. Lidah Ombak Menjilat Pantai.
Jaka Wulung tetap memusatkan perhatiannya pada setiap gerakan Si Rajawali Jantan. Meskipun dalam kedudukan terdesak terus-menerus, dia tidak mau menjadi sasaran serangan lawannya. Setidaknya, kalaupun dia pada akhirnya akan kalah juga, dia ingin kekalahan itu berlangsung melalui sebuah pertarungan yang layak dikenang oleh mereka yang datang.
Dalam situasi seperti itulah, mendadak sebuah gagasan gila muncul di kepala Jaka Wulung. Pada sebuah jeda sekian kejap setelah dia melenting jauh menghindar dari serangan Si Rajawali Jantan, Jaka Wulung melakukan tata gerak yang serupa dengan tata gerak lawannya. Semua berlangsung seakan-akan di luar sadar Jaka Wulung. Dia hanya mengandalkan ingatannya yang sangat kuat dan beberapa latihan yang dia lakukan setelah menghadapi Sepasang Elang, murid Sepasang Rajawali, beberapa waktu lalu.
Jaka Wulung memakai tata gerak Perguruan Rajawali dari Pelabuhan Ratu yang masih mentah untuk melawan tokoh sakti yang sudah menguasai ilmu tersebut dalam tataran tertinggi!
Sungguh sebuah cara bunuh diri yang sangat gila!
Anehnya, gagasan gila itu ternyata memberikan keuntungan bagi Jaka Wulung. Dalam sekian kejap, Si Rajawali Jantan terpana seperti arca. Mulutnya menganga. Tangannya menggantung di udara. Sesuatu yang aneh mengguncang isi kepalanya. Hatinya tertawa terbahak-bahak. Benar- benar bocah gila!
Pikiran Si Rajawali Jantan yang terguncang beberapa saat itulah yang digunakan Jaka Wulung untuk melakukan serangan dengan jurus Cakar Mencengkeram Remukkan Tulang, salah satu jurus andalan Sepasang Rajawali yang, selain mengandalkan kecepatan dan kekuatan, juga diselingi gerak tipu yang akan membuat lawannya kebingungan.
Jaka Wulung memakai sebuah jurus untuk menghadapi si pemilik jurus!
Tidak pernah terjadi peristiwa seperti ini di jagat persilatan, terutama karena Jaka Wulung justru tengah berada dalam kedudukan terdesak!
Dan celakanya, Jaka Wulung melakukan tata gerak yang sedikit menyimpang dari tata gerak jurus yang sebenarnya! Dia mencampurnya dengan gerakan dari jurus Jari-Jari Naga Maut milik Si Jari-Jari Pencabik!
Akan tetapi, itulah keterkejutan Si Rajawali Jantan, dan tata gerak yang menyimpang, memberikan keajaiban bagi Jaka Wulung. Si Rajawali Jantan sudah hafal harus melakukan gerak apa untuk menghadapi jurusnya, tetapi Jaka Wulung melakukan gerakan yang sedikit menyimpang sehingga sepersekian kejap Si Rajawali Jantan terkejut lagi. Sepersekian kejap itu cukup bagi Jaka Wulung untuk mengirimkan kibasan ala sayap rajawali.
Pletak! “Auw!”
Tidak terlalu keras, tapi pukulan jemari Jaka Wulung di kening Si Rajawali Jantan itu membuat sang lawan terhuyung. Diperlukan pengerahan tenaga yang besar bagi Si Rajawali Jantan untuk menahan supaya tubuhnya tidak terjengkang, melenting jauh, dan kemudian, dengan sangat cepat menyiapkan kuda-kuda menghadapi kemungkinan serangan susulan.
Benjolan sebesar telur burung puyuh menyembul di kening Si Rajawali Jantan. Rasa sakitnya tidak seberapa, tapi rasa terhina jauh lebih terasa. Giginya gemeretak menahan marah, lalu dengan pekikan burung rajawali yang memekakkan telinga, Si Rajawali Jantan kembali menyusun jurus dengan cepat dan tidak hendak lagi terkecoh oleh segala kejutan yang dibuat Jaka Wulung.
“Keaaaaakkk!”
Jaka Wulung mengeluh. Kalau saja yang kena hantam jemarinya itu manusia biasa, dipastikan tulang tengkorak kepalanya akan retak dan isi kepalanya akan mengalami luka yang parah. Tapi, lawannya kali ini adalah Si Rajawali Jantan, seorang pendekar kawakan yang tingkat ilmunya sulit diimbangi siapa pun!
Jaka Wulung juga tidak mungkin menggunakan kejutan seperti tadi. Kejutan yang diulang bukan kejutan lagi namanya.
Karena itu, sebelum serangan Si Rajawali Jantan tiba, Jaka Wulung mempersiapkan ilmu andalannya pula, gulung maung. Dari tenggorokan Jaka Wulung mengalirlah gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman dahsyat harimau ....
Grrrhhh!
Beberapa saat kemudian, pertempuran sengit kembali berlangsung di tengah angin malam yang makin menggigit. Si Rajawali Jantan berkelebat- kelebat dengan cepat seakan-akan telapak kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Pedang panjangnya berputar-putar seperti kitiran raksasa, diikuti dengan kibasan-kibasan tangan kirinya yang tidak kalah mengerikan, mengincar titik-titik lemah di tubuh Jaka Wulung.
Jaka Wulung tidak kalah gesit meloncat-loncat seperti Maung Lodaya dengan kudi hyang di tangannya.
Rajawali melawan harimau.
Semua mata para pendekar tidak pernah lepas dari apa pun alur pertempuran yang terjadi. Tak ada yang bersuara. Bahkan, napas pun
seakan-akan ditahan-tahan supaya tidak kelepasan.
Bulan purnama tersenyum menjelang tiba di titik langit tertinggi.
*****
JALAN hidup manusia tidaklah seperti rembulan, yang lintasannya di langit bisa diperhitungkan secara sederhana.
Jalan hidup Jaka Wulung dan Si Rajawali Jantan, siapa yang bisa menduga?
Meskipun sudah mengerahkan segala upayanya, melalui simpanan ilmu yang ada pada dirinya, Jaka Wulung merasa bahwa tenaganya terus menyusut. Terutama tangan kanannya, makin lama makin ngilu setiap terjadi benturan antara kudi hyang-nya dan pedang panjang lawannya.
Sebaliknya, meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad, Si Rajawali Jantan seakan-akan tidak kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Teriakannya terus membikin telinga pekak. Serangannya terus bergelombang, seperti ombak laut selatan. Apa pun jurusnya dan dari mana pun datangnya, serangan Si Rajawali Jantan membawa ancaman maut yang sama.
Hanya karena lawannya Jaka Wulung, bocah yang dalam waktu singkat menggegerkan jagat silat, pertempuran berlangsung lebih lama.
Akan tetapi, melihat jalannya pertempuran, jejak langkah Jaka Wulung tampaknya tidak akan jauh lagi. Boleh jadi mereka yang menyaksikan pertempuran ini menyayangkan akhir nasib seorang pendekar belia yang luar biasa. Sebab, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk, misalnya, menolong dia.
Ciang Hui Ling, yang sejak awal sudah menyimpan kekaguman terhadap pemuda belia ini, memandang pertempuran itu dengan hati yang galau. Pemandangannya bahkan kemudian kabur. Air bening merebak di kedua matanya yang bening. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih untuknya, batin Ciang Hui Ling.
Jaka Wulung sendiri sudah tidak berharap adanya pertolongan dari siapa pun, apalagi dari orang-orang di sekelilingnya meskipun dia yakin banyak
di antara mereka adalah pendekar golongan putih. Pertama, dia tidak pernah berharap akan adanya keajaiban seperti itu. Kedua, dia sudah mengalaminya dua kali, ketika ditolong oleh Resi Darmakusumah di jurang Ci Gunung, dan kemudian oleh Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik di Bukit Segara.
Tak akan ada lagi keajaiban ketiga.
Pertahanan Jaka Wulung makin lama makin terbuka, dan berkali-kali beberapa bagian tubuhnya terkena pukulan lawannya. Baju hitamnya sudah tercabik di beberapa tempat dan tangannya makin gemetar untuk mempertahankan cengkeraman jemarinya pada gagang kudi hyang.
Sebuah sambaran kaki Si Rajawali Jantan tak bisa lagi dihindari Jaka Wulung. Hanya nalurilah yang memberi Jaka Wulung peluang terakhir untuk melenting sejauh yang dia mampu sehingga sambaran kaki itu mengenai pundaknya tidak secara telak.
Jaka Wulung bergulingan beberapa putaran. Maafkan aku, Eyang Resi ....
Pada titik inilah, ketika Jaka Wulung bergulingan, wajah Resi Jaya Pakuan terpampang jelas dalam kepalanya. Eyang Resi, aku telah mengerahkan seluruh ilmu yang kau limpahkan kepadaku, tapi aku gagal memenuhi harapanmu ....
Oh, tidak!
Tiba-tiba, seleret cahaya melintas di kepalanya.
Ada satu ilmu yang belum pernah dia terapkan dalam pertempuran mana pun.
Dia sudah melatihnya terus-menerus sepanjang perjalanan, tapi dia belum pernah menerapkannya!
Jaka Wulung melenting berdiri, dan Si Rajawali Jantan hanya beberapa langkah di depannya untuk memberikan pukulan pamungkas!
Jaka Wulung melepaskan udara dari hidungnya, mengosongkan pikirannya. Membersihkan hatinya.
Pundaknya melemas, kedua tangannya menggantung, bahkan kudi hyang di jemarinya seakan-akan hendak terkulai jatuh.
Orang-orang, pepohonan, semak belukar, dan bebatuan di sekitarnya mengabur dan kemudian lenyap, menjadi latar bidang hitam. Yang tinggal hanyalah sosok Si Rajawali Jantan.
Kesiur angin, jerit kera di kejauhan, bahkan dengus napas orang-orang di sekitarnya menghilang, menyisakan hanya suara dengus napas dan gerak tubuh Si Rajawali Jantan.
Di hadapannya hanya ada satu benda. Satu sosok.
Si Rajawali Jantan.
Jaka Wulung menggerakkan kaki dan tangannya tanpa membentuk jurus mana pun. Gerak itu seperti asal-asalan saja.
Gerak seadanya. Jurus tanpa bentuk.
Si Rajawali Jantan sempat mengerutkan keningnya melihat keadaan Jaka Wulung yang sedemikian aneh. Pertahanan yang sangat terbuka. Sikap tubuh yang ceroboh. Gerak tangan dan kaki yang sangat lambat dan tidak beraturan. Tapi, kerutan di keningnya segera menghilang dan dia gembira karena berkeyakinan bahwa inilah saatnya dia mengakhiri pertempuran ini. Sebuah penyelesaian yang sangat mudah.
Jurus Sayap Rajawali Mengibas Dedaunan, sebagai jurus terakhir Si Rajawali Jantan, segera menyasar leher Jaka Wulung. Sudah terbayang di kepala Si Rajawali Jantan, betapa dia akan segera mengakhiri pertempuran dengan pedang panjangnya menembus leher Jaka Wulung. Sebuah pembalasan yang setimpal.
Akan tetapi, Si Rajawali Jantan terkesiap ketika terjadi sesuatu yang di luar nalar. Dia yakin seharusnya ujung pedangnya sudah mencapai sasaran, menembus leher Jaka Wulung. Tapi, yang terjadi adalah ujung pedangnya hanya menembus udara kosong. Meleset selebar satu jari saja dari kelebatan pedangnya. Apakah leher Jaka Wulung bergerak menghindar? Kapan?
Si Rajawali Jantan tidak sempat menjawab pertanyaannya sendiri karena dia justru tersedot oleh tenaganya sendiri. Dia bahkan tidak sempat menoleh untuk mempersiapkan serangan selanjutnya ketika tahu-tahu kulit tangannya terasa perih. Sebuah luka memanjang tercipta dari pangkal lengan hingga pergelangan tangan tanpa bisa dia mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
Si Rajawali Jantan menyeringai menahan perih. Darah menetes, membasahi lengan baju putihnya yang terkoyak. Di ujung kudi hyang Jaka Wulung, yang tampak tetap menggantung di tangan kanannya, menetes satu-satu darah merah. Darah Si Rajawali Jantan. Kapan Jaka Wulung memainkan senjatanya?
“Bocah iblis ”
Jaka Wulung tersenyum tipis pada salah satu sudut bibirnya. “Ah, sebut lagi aku bocah iblis. Sudah lama tak kudengar sebutan manis ini.”
“Bocah setan, hiyaaaaaa ...!” Si Rajawali Jantan membalikkan tubuhnya dan dengan gerak sangat cepat, dia kembali melompat, menerjang, dan menyabetkan pedang panjangnya. Di bawah bulan yang tetap benderang, pedang itu berkilauan memantulkan cahaya.
Kaki Jaka Wulung tetap menapak di titik semula. Dia juga hanya menggerak-gerakkan tubuhnya seadanya. Pada saat yang sangat menentukan itu, Jaka Wulung benar-benar menghadapi Si Rajawali Jantan tanpa mengandalkan tenaga, gerak, dan kecepatan yang seharusnya. Semua apa yang dilakukan Jaka Wulung itu sama sekali bertentangan dengan segala ilmu yang ada.
Di situlah intinya.
Ilmu tertinggi ciptaan Eyang Gurunya, Resi Jaya Pakuan. Ilmu yang belum dinamai. Atau, mungkin tidak perlu dinamai. Ilmu tanpa nama.
Pada saat Si Rajawali Jantan merasa berhasil mengibaskan pedangnya ke pinggang kanan Jaka Wulung yang kelihatan sama sekali tanpa pertahanan, pada saat itulah pendekar besar Pelabuhan Ratu ini memekik merobek langit ketika sesuatu yang dingin, dengan kecepatan yang tak bisa dilihatnya, menembus ulu hatinya.
Si Rajawali Jantan hanya bisa memandang nanar wajah Jaka Wulung, yang juga tengah memandangnya dengan tatapan dingin, sebelum kemudian tubuhnya ambruk dengan wajah lebih dulu menghunjam tanah. Di tangan Jaka Wulung tergenggam kudi hyang-nya. Darah membasahi sekitar ujung senjata itu.
“Kakaaaaaang ...!”
Hanya itulah suara yang bisa didengar Si Rajawali Jantan. Beberapa kejap kemudian, dia sudah tidak merasakan lagi tubuh Si Rajawali Betina yang ambruk di atas tubuhnya.
Tangan Si Rajawali Betina kemudian meraba-raba gagang pedang yang masih tergenggam di jemari pasangannya. Sekejap kemudian, pedang itu sudah berpindah tangan. Wajahnya merah gelap ketika memandang Jaka Wulung dengan sorot yang mengerikan. Diacungkannya pedang itu, tetapi ujungnya mengarah ke jantung sendiri. Tak ada yang mampu menghentikannya.
Si Rajawali Betina ambruk memeluk tubuh Si Rajawali Jantan.
Mereka benar-benar sehati, tidak terpisahkan, sampai kematian menjemput mereka—atau mereka menjemput kematian. Sehidup-semati.
Di titik tertinggi di lengkung langit, rembulan tak juga mengedip memandang akhir pertempuran itu.[]