Jurus Tanpa Nama Jilid 10 : Watak Asli Si Rajawali

Watak Asli Si Rajawali

TIGA lingkaran kini sudah terisi oleh enam pendekar yang akan memperlihatkan kemampuan mereka. Di lingkaran pertama, Ki Antaga sudah berhadapan dengan Badak Pamalang. Di lingkaran kedua, Nenek Sihir dari Krakatau bertemu dengan Pendekar Jaka Kendil. Dan di lingkaran ketiga, Si Rajawali Betina dari Pelabuhan Ratu akan dijajal Ciang Hui Ling, murid Naga Kuning dari Ci Liwung.

Di lingkaran pertama, Ki Antaga tidak mau berbasa-basi, tetapi langsung mengeluarkan jurus andalannya meskipun masih dalam taraf pembukaan. Meskipun bentuk tubuhnya gemuk dan pendek serta terkesan sulit bergerak karena perutnya yang besar, Ki Antaga mampu bergerak cepat melancarkan jurus Bagong (Babi Hutan) Ngamuk. Semua bagian tubuhnya, mulai dari kepala, tangan, lutut, hingga ujung kaki, dipakainya untuk menyerang. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang sangat besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang mengerikan.

Badak Pamalang menghadapi serangan itu dengan ketenangan seekor badak bercula satu dari Hujung Kulon. Dia tidak ingin menghindar dan bersiap beradu tenaga, bagai badak yang menunduk dan mempersiapkan culanya. Dan memang itulah salah satu jurus andalannya, Badak Menunduk Cula Menanduk.

Brakkk!

Dua kekuatan yang dahsyat segera bertemu, menimbulkan bunyi seperti benturan dua batang pohon besar.

Kedua petarung itu sama-sama terlontar mundur beberapa langkah. Badak Pamalang terjengkang hingga selangkah saja dari garis lingkaran.
 
Sementara itu, Ki Antaga bahkan jatuh dan menyentuh garis putih.

Akan tetapi, keduanya segera bangkit lagi seakan-akan benturan dahsyat itu tidak memberikan pengaruh pada tubuh mereka. Karena itu, pertarungan pun kembali berlangsung dengan seru.

Di lingkaran kedua, Nenek Sihir dari Krakatau terkekeh-kekeh melihat siapa lawannya. “Kekekekek ...! Tuyul kecil, kamu berani melawanku, ha? Kekekekek!”

Pendekar Jaka Kendil tidak mau terpengaruh. Dia sudah hafal luar dalam kelakuan si Nenek Sihir. Dia pernah dua atau tiga kali menghadapi si Nenek Sihir di masa lalu dan ilmu mereka berada dalam taraf yang selalu seimbang. Apa pun yang dilakukan si Nenek Sihir, Pendekar Jaka Kendil tahu, pastilah mengandung ilmu sihir. Kekehnya itu pun mengandung gelombang yang akan mampu membuat orang terbius kehilangan kesadaran.

Untunglah, Pendekar Jaka Kendil bukan orang kebanyakan. Meskipun tubuhnya seperti bocah enam tahun, dia adalah lelaki berusia enam puluh tahun, sudah banyak makan asam garam dunia persilatan yang penuh dengan berbagai cara licik yang selalu dilakukan para pentolan golongan sesat.

“Jangan banyak tawa. Ketawamu jelek. Bau!” kata Jaka Kendil.

Tawa si Nenek Sihir langsung terhenti. “Dari dulu suaramu bikin kupingku gatel.” Si Nenek lalu memekik, “Hiaaat!” seraya melancarkan serangan melalui kedua tangannya. Tangan dan jari-jari si Nenek Sihir tampak kurus kering, seperti tulang belulang belaka. Tapi, dari suara yang ditimbulkan oleh gerakannya yang gesit bisa disimpulkan bahwa tenaganya sangat besar. Siapa pun yang kena hantam jemarinya akan merasakan seakan- akan dihantam besi baja.

Pendekar Jaka Kendil paham apa yang terjadi kalau dia terhantam jemari si Nenek Sihir. Karena itu, dengan memanfaatkan bentuk tubuhnya yang mungil, Pendekar Jaka Kendil berkelit dengan gesit. Dia tidak hanya menghindar, tapi juga menyelusup di sela-sela kaki si Nenek Sihir, sembari menyentilkan telunjuknya mengarah ke bagian pangkal selangkangan si Nenek Sihir.
 
“Kurang ajarrr!” pekik si Nenek Sihir sambil terpaksa melenting tinggi untuk menghindari sentilan Pendekar Jaka Kendil. Si Nenek Sihir melakukan satu putaran di udara sebelum turun dan menghantamkan tinjunya ke kepala Pendekar Jaka Kendil. Jaka Kendil sudah menduga serangan seperti ini sehingga dengan cepat berkelit sambil bergulingan di tanah seperti tenggiling.

Si Nenek Sihir dan Pendekar Jaka Kendil tampaknya sudah saling mengenal tata gerak lawannya. Setelah kali terakhir bertempur lebih dari sepuluh tahun lalu, tampaknya kini pertemuan di antara keduanya kembali berlangsung pada tataran ilmu yang seimbang. Karena itu, setelah beberapa jurus, pertempuran mereka berjalan seru dan sulit untuk bisa dipastikan siapa yang akan lebih unggul di antara keduanya. Keduanya saling menyerang dengan gesit dan belum satu pun serangan mereka mengenai lawan. Dari kejauhan, gerakan mereka tampak seperti dua bayangan yang saling melibat, berputar-putar seperti angin puyuh, disertai teriakan-teriakan yang kadang kasar dan saru, terutama dari bibir keriput si Nenek Sihir.

Di lingkaran ketiga, Si Rajawali Betina memandang gadis belia di depannya dengan kening berkerut sangat dalam, dengan sudut-sudut bibir melesak, memudarkan cahaya kecantikannya. Si Rajawali Betina adalah perempuan yang tergolong istimewa, yakni dalam usia enam puluhan tahun, dia tampak masih berusia empat puluhan tahun, masih kelihatan langsing dan kulitnya masih kencang. Wajahnya pun masih tergolong rupawan. Tapi, tentu saja, dibandingkan dengan Ciang Hui Ling, Si Rajawali Betina ibarat burung blekok dibandingkan dengan burung nuri. Orang akan dengan segera menyukai si burung nuri yang berwarna-warni.
Dan itulah yang membuat dadanya panas oleh bara. Rasa iri yang mengiris hati.

“Hmmm,” Si Rajawali Betina mendeham. “Kamu mestinya tahu siapa aku,
 
Bocah Manis, jadi tidak akan menyesal masuk ke lingkaran ini.”

“Sepasang Rajawali tentu saja sudah terkenal ke mana-mana,” ujar Ciang Hui Ling dengan suara yang tetap tenang. “Justru karena itulah saya mohon mendapat pelajaran, buat bekal saya di kemudian hari.” Ketenangan gadis keturunan negeri Tiongkok ini betul-betul mengagumkan. Dilihat dari kulitnya yang langsat dan lembut, serta tubuhnya yang mungil, siapa pun akan bertanya-tanya, apa bekal yang dimiliki Ciang Hui Ling untuk menghadapi pendekar yang terkenal tak kenal ampun seperti Si Rajawali Betina.

“Baiklah,” kata Si Rajawali Betina. “Terimalah seranganku. Hiyaaa!” Perempuan dari Pelabuhan Ratu ini segera mengembangkan kedua tangannya, melancarkan salah satu jurus andalannya, Sayap Rajawali Mengibas Dedaunan. Dia tidak mau berbasa-basi, tetapi ingin segera menyelesaikan pertarungan pertamanya sesingkat mungkin. Tangannya berputar, kemudian mengibas-ngibas, seakan menimbulkan angin topan yang mampu menerbangkan apa pun yang menghalangi.

Ciang Hui Ling sudah menduga akan datangnya serangan maut. Dengan ketenangan dan kegesitannya, pendekar belia bermata sipit ini meloncat menghindar sambil memainkan jemarinya untuk memecah datangnya angin ribut.

Gerakan sederhana Ciang Hui Ling langsung mendapat perhatian dari hampir semua orang di luar lingkaran. Tampak segera, meskipun masih sangat muda, Ciang Hui Ling memiliki kegesitan yang sulit diikuti mata manusia biasa. Dia seperti burung walet yang melesat-lesat membelah udara.

Si Rajawali Betina terkejut melihat kenyataan serangan pertamanya bisa dihindari si gadis remaja. Tapi, dia segera menyadari bahwa murid Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung itu memiliki bekal yang tidak bisa dianggap enteng. Oleh karena itu, Si Rajawali Betina segera mengeluarkan jurus lain yang lebih dahsyat, Cakar Mencengkeram Remukkan Tulang. Jurus ini, selain mengandalkan kecepatan dan kekuatan, juga diselingi gerak tipu yang akan membuat lawannya kebingungan.

Hal itu segera terbukti. Ciang Hui Ling terkejut melihat tata gerak aneh yang baru kali pertama dilihatnya. Oleh karena itu, Ciang Hui Ling hanya
 
mampu melenting-lenting menghindar dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, atau menurut bahasa mereka, ginkang.

Meskipun demikian, sampai delapan atau sembilan jurus Si Rajawali Betina belum juga mampu menyentuh lawannya. Ini tentu sangat mengejutkan, baik bagi Si Rajawali Betina sendiri maupun bagi para pendekar di luar lingkaran yang sedang memperhatikan pertempuran ini. Si Rajawali Betina mengira bahwa dia akan bisa menang dalam dua atau tiga jurus saja. Tapi, ternyata Naga Kuning dari Ci Liwung tidak sedang bermain-main mengutus muridnya yang masih sangat belia untuk mewakilinya hadir di sini.

Sementara itu, di lingkaran pertama, pertempuran antara Ki Antaga dan Badak Pamalang dengan cepat sudah melewati tiga puluh jurus dan keduanya masih tampak berimbang. Kalau saja dalam dua puluh jurus berikutnya tidak ada yang kalah, keduanya akan bertempur lagi dalam sepuluh jurus, dan kalau tetap imbang, keduanya akan dinyatakan sama- sama menjadi pemenang, dan masing-masing menunggu lawan berikutnya.

Ki Antaga dan Badak Pamalang tetap mengandalkan kekuatan mereka. Pada setiap jurus, mereka nyaris tidak pernah menghindar satu sama lain. Keduanya terus-menerus membenturkan hampir setiap bagian tubuh mereka. Telapak bertemu dengan telapak, tulang tangan beradu dengan tulang tangan, tulang kering berbenturan dengan tulang kering, terus- terusan menimbulkan bunyi yang keras. Setiap terjadi benturan, keduanya akan sama-sama terjengkang beberapa langkah, menunjukkan bahwa benturan itu terjadi dengan kekuatan yang sangat hebat. Tapi, begitu terjengkang, mereka akan sama-sama berdiri lagi dan mempersiapkan jurus berikutnya.

Pandangan mata yang tajam akan bisa melihat bahwa tangan dan kaki mereka sudah mulai dipenuhi bilur-bilur berwarna gelap akibat benturan yang terjadi.

Akan tetapi, keduanya tampaknya tidak pernah kehabisan tenaga. Begitu bangun, mereka seakan-akan memiliki kekuatan baru, yang mereka gunakan untuk benturan berikutnya.

Sungguh, pertempuran yang menggiriskan hati siapa pun yang melihatnya. Dan sungguh aneh, sampai sejauh ini, tidak pernah terdengar kata-kata
 
yang saling melecehkan seperti biasa terjadi dalam suatu pertempuran. Bahkan, pekikan atau desisan dari mulut mereka tidak juga terdengar. Seakan-akan pertempuran itu bagi mereka hanyalah permainan yang mengasyikkan. Tak perlu bicara, tapi banyak bekerja.

Di lingkaran kedua, berbeda dengan pertempuran di lingkaran pertama, pertempuran antara si Nenek Sihir dari Krakatau dan Pendekar Jaka Kendil terus-menerus diselingi dengan pekikan, umpatan, dan tawa terkekeh- kekeh, terutama yang keluar dari mulut keriput si Nenek Sihir. Mereka rupanya lebih suka dengan peribahasa banyak bicara, banyak bekerja.

Akan tetapi, seperti di lingkaran pertama, tampaknya ilmu si Nenek Sihir dan Pendekar Jaka Kendil berada pada taraf yang juga seimbang. Sampai sejauh ini, beberapa kali pukulan maut si Nenek Sihir mengenai bagian- bagian tubuh Pendekar Jaka Kendil meskipun belum menyentuh bagian yang mematikan. Selain itu, Pendekar Jaka Kendil memiliki semacam ilmu kebal yang membuatnya seolah-olah tidak merasakan sakit ketika pukulan si Nenek Sihir mengenainya. Sebaliknya, beberapa kali pula hantaman dan tendangan Pendekar Jaka Kendil mengenai bagian-bagian tubuh si Nenek Sihir meskipun belum sampai taraf membahayakan.

Dengan demikian, di lingkaran ini pun tidak bisa dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Di lingkaran ketiga, pertempuran juga masih berlangsung sangat sengit. Si Rajawali Betina benar-benar dibuat penasaran oleh kegesitan Ciang Hui Ling. Dan hal itu membuatnya bertambah geram. Karena itu, Si Rajawali Betina tidak mau lagi bermain-main. Kalau semula dia memandang sebelah mata lawannya, kali ini dia kerahkan seluruh kemampuan, segenap kekuatan, segala tipu daya yang dimiliki, dan semua jurus maut miliknya sehingga serangan Si Rajawali Betina benar-benar membabi buta.

Oh, mungkin lebih tepatnya “merajawali buta”.

Ke mana pun Ciang Hui Ling menghindar, Si Rajawali Betina terus mencecar. Meskipun tidak bersama pasangannya, itulah keistimewaan jurus Lidah Ombak Menjilat Pantai. Terus-menerus, sambung- menyambung, tak pernah ada jeda. Lama-kelamaan, jelas bahwa Si Rajawali Betina hanya tinggal menunggu waktu untuk menaklukkan lawannya yang jauh lebih muda—dan lebih jelita.
 
Tepat pada jurus ketiga puluh, sebuah kibasan Si Rajawali Betina yang datang beruntun tidak bisa dihindari Ciang Hui Ling.

Brettt!

Kuku-kuku panjang Si Rajawali Betina merobek lengan baju Ciang Hui Ling, menembus hingga permukaan kulitnya, dan membuat gadis itu memekik dan terpaksa melenting jauh hingga keluar dari garis lingkaran.

Kecuali empat pendekar yang sedang terlibat dalam dua pertempuran di dua lingkaran yang lain, semua mata—termasuk tiga pasang mata Braja Musti, Braja Denta, dan Braja Wikalpa—terpusat pada Ciang Hui Ling yang jatuh terduduk.

Celakanya, meskipun Ciang Hui Ling sudah terlempar ke luar arena, yang berarti kalah, Si Rajawali Betina masih terus meloncat untuk memburu lawannya.

Braja Wikalpa berseru, “Tahaaan!!!”

Akan tetapi, seruan Braja Wikalpa, yang memang bertugas mengawasi lingkaran ketiga, hanya memecah udara. Jaraknya terlampau jauh baginya untuk menahan gerak Si Rajawali Betina. Dan tampaknya, Si Rajawali Betina sudah tidak mau lagi menuruti peraturan yang sudah ditetapkan. Apa yang ada dalam hatinya adalah ingin menyelesaikan pertempuran dengan caranya sendiri. Caranya adalah menuntaskan kegeraman dalam dadanya—menghancurkan Ciang Hui Ling. Menghancurkan kecantikannya!

Ciang Hui Ling hanya bisa memandang Si Rajawali Betina dengan wajah yang penuh tanda tanya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan lanjutan karena dia tadi sudah meloncat keluar dari lingkaran dan itu berarti pengakuan kalah secara kesatria. Karena itu, pendekar belia yang jelita ini sama sekali tidak mempersiapkan pertahanan apa pun. Tangan kanannya, yang sedang meremas kulit lengan kirinya yang terluka sepanjang beberapa jari dan meneteskan darah segar, memerahi lengan bajunya yang kuning, hanya bisa membeku.

Braja Wikalpa seperti terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Braja Musti dan Braja Denta. Para pendekar lain tidak ada satu pun yang bergerak. Mereka seperti deretan patung di tempat masing-masing.
 
Bagi mereka, tampaknya nasib Ciang Hui Ling sudah tergurat di telapak tangan Si Rajawali Betina. Kalau tidak nyawa melayang, setidaknya pendekar jelita itu akan menderita luka yang sangat parah.

Sebagian orang yang menyaksikan merasa tidak tega sehingga tanpa sadar memejamkan mata mereka seraya dalam hati berkata, inilah watak asli Si Rajawali Betina. Tidak punya sama sekali perikemanusiaan—namanya juga rajawali.

Pada detik yang menentukan itulah, berkelebat sangat cepat sesosok bayangan hitam-hitam, demikian cepatnya sehingga nyaris tidak bisa diikuti mata para pendekar di sana, dan memapas pukulan maut Si Rajawali Betina dengan pukulan juga.

Duarrr!

Terdengar bunyi menggelegar akibat berbenturannya dua pukulan yang sangat dahsyat!

Si Rajawali Betina terpental mundur beberapa langkah dan jatuh terjengkang dengan punggung lebih dulu. Dadanya serasa sangat sesak dan pandangannya gelap gulita beberapa saat. Hanya karena memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, disertai pengaturan napas yang segera dia lakukan, Si Rajawali Betina segera mampu bangkit lagi meskipun agak sempoyongan dan berusaha memandang untuk mengenali siapa yang muncul tanpa diduga.

“Keparaaat ...!” Si Rajawali Betina memaki dengan suara serak, seakan sebutir batu telah menyumbat tenggorokannya dan melukai pita suaranya. Tangan kanannya serasa lumpuh dari ujung jari hingga pangkal lengan sehingga seakan-akan hanya bisa menggantung di sisi tubuhnya.

Sementara itu, sosok berbaju hitam-hitam itu sudah pula berdiri tegak. Tadi akibat benturan dahsyat itu, dia terdorong mundur dua langkah. Tangannya yang memapas Si Rajawali Betina terasa kesemutan. Pendekar tua yang genit ini memang luar biasa, katanya dalam hati.

Ketika matanya sudah mulai pulih, dan bisa memandang sosok yang datang memapas pukulannya, Si Rajawali Betina terkejut bukan main.

“Kau?" []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar