Jurus Tanpa Nama Jilid 06 : Sepasang Elang

Sepasang Elang

DI hadapan Jaka Wulung berdiri seorang lelaki muda. Kira-kira paling tinggi usianya delapan belas tahun. Wajahnya tampan, dadanya bidang, rambutnya tergerai hingga pundak. Baju dan celananya berwarna sama dengan perempuan yang mengaku bernama Putri Kandita, hijau, dan berbahan sama, sutra. Jelas bahwa pemuda ini senang menjaga penampilan.

Matanya tajam memandang Jaka Wulung yang masih terduduk di pasir.

Tangannya kini merangkul pundak si gadis. Si gadis membalas rangkulan itu dengan memeluk pinggang si pemuda erat-erat. Kepalanya dia sandarkan tepat di leher si pemuda. Si pemuda mencium rambut si gadis dengan mesra.

Mereka adalah sepasang kekasih. Berbusana warna sama. Tampan dan cantik. Pasangan yang sangat selaras.

“Siapa dia?” tanya si pemuda dengan wajah geram.

“Entahlah, Kakang. Aku hendak mandi seraya bermain ombak ketika bocah ini tiba-tiba muncul entah dari mana. Dia mengintip dan pasti punya niat buruk. Benar saja, dia malah datang dan hendak ... ah,” gadis itu bicara dengan sesenggukan, “entahlah, apa yang terjadi kalau Kakang tidak muncul tepat pada waktunya.” Gadis itu pun membenamkan wajahnya di rambut si pemuda.

Jaka Wulung terperangah mendengar kata-kata gadis yang tadi mengaku sebagai Putri Kandita alias Nyimas Ratu Kidul. Dia kini sepenuhnya sadar bahwa dia baru saja diperangkap oleh sebuah ilmu pengasihan, atau bahkan mungkin sihir, pada tingkat yang lumayan untuk ukuran gadis semuda itu. Untunglah si pemuda justru menendangnya dan membuyarkan rasa terpesonanya yang membuat Jaka Wulung sempat terbang menuju nirwana.

Dia juga terkejut dengan panggilan “bocah” yang mendadak terucap dari bibir gadis itu. Tapi, yang paling membuatnya terkejut, tentu saja adalah dusta yang dikatakan si gadis kepada si pemuda. Kini, dia yakin bahwa gadis itu adalah gadis biasa, bukan Putri Kandita.

Si pemuda menarik pedang panjang melengkung dari sarungnya di pinggang. “Kau perlu mendapat pelajaran, Bocah!”

Si gadis berbisik di telinga si pemuda, “Hati-hati, Kakang. Tampaknya dia bukan bocah sembarangan. Dia mengaku sebagai titisan Bujangga Manik.”

Si pemuda memandang si gadis, kemudian menatap Jaka Wulung. Keningnya berkerut menandakan sebuah rasa kaget yang menyentak.

“Benarkah?” tanya si pemuda.

“Dia mengaku begitu,” si gadis mengulangi. “Kau tadi bilang tidak tahu.”
“Hmmm ... tidak tahu yang sesungguhnya.”

Si pemuda tertawa terbahak-bahak. “Kebetulan sekali kalau begitu. Aku ingin menjajal apakah nama yang hebat ini pantas dia sandang.”

“Kita, Kakang,” kata si gadis sambil melepaskan pelukannya, melemparkan mahkota buatan dari kepalanya, dan segera menghunus pedangnya yang berukuran lebih pendek dan ramping.

Kesadaran Jaka Wulung sudah pulih sepenuhnya. Terlebih ketika pasangan lelaki dan perempuan muda ini sudah mengambil tempat masing-masing pada satu sudut siku-siku. Si pemuda berada di hadapan Jaka Wulung, sedangkan si pemudi tepat di sebelah kiri.

Jaka Wulung segera ingat posisi yang seperti ini. Tidak salah lagi.
Dalam perkelahian di Bukit Sagara, gaya demikian berkali-kali dipertunjukkan oleh sepasang pendekar yang selalu tampil berdua. Sepasang pendekar yang justru sedang dicarinya.

“Kalian pasti murid Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu,” ucap Jaka Wulung. Pastilah keduanya mendengar nama Jaka Wulung dari guru mereka.

Baik si pemuda maupun si gadis sama-sama mengerutkan kening, kaget mendengar kata-kata Jaka Wulung.

Keduanya saling pandang beberapa jenak, seolah-olah hendak memastikan bahwa mereka tidak salah dengar, kemudian keduanya kembali memandang Jaka Wulung.

“Kalau begitu, baguslah,” kata si pemuda. “Kami tidak perlu memperkenalkan diri. Tapi baiklah, mengikuti jalan guru-guru kami, kami menamakan diri kami Sepasang Elang dari Pelabuhan Ratu.”

Meskipun sudah menduga bahwa keduanya sepasang kekasih, atau mungkin sudah menjadi sepasang suami-istri, atau sejoli yang hidup bersama meskipun tanpa ikatan perkawinan, itu tidak penting, Jaka Wulung merasakan dadanya sakit oleh tingkah si perempuan. Berlagak seorang putri cantik yang anggun, memberinya kesempatan untuk memegang tangannya dengan senyum yang sangat menggoda, tapi kemudian menuduhnya telah berbuat tidak senonoh.

Akan tetapi, Jaka Wulung tidak sempat merasakan sakit hatinya lebih lama lagi karena Sepasang Elang itu dalam saat yang sama sudah menjulurkan pedang mereka. Tangan kiri sama-sama membentang sedikit ke atas, seperti sayap yang mengembang ketika burung elang siap menyambar mangsanya, sedangkan tangan kanan menusukkan pedang di tangan menuju sasaran masing-masing.

Pedang si Elang Jantan mengarah ke leher Jaka Wulung, sedangkan pedang si Elang Betina mengarah ke ulu hati.

“Hiyaaa!” “Hiyaaaaa!”
Gerakan mereka cepat sekali, seperti elang raksasa yang siap menyambar anak ayam, disertai tenaga yang besar.

Untunglah, Jaka Wulung sudah pulih kesadarannya sehingga tidak akan

mudah terjengkang seperti ketika terkena tendangan pertama si Elang Jantan.

Dengan gerakan sederhana, mundur setengah langkah dengan sudut empat puluh lima derajat ke kiri, Jaka Wulung menghindarkan diri dari dua serangan sekaligus. Tapi, tampaknya Sepasang Elang itu sudah bisa menebak bahwa Jaka Wulung akan menghindar seperti itu. Karena itu, dalam waktu bersamaan, mereka mengubah arah ujung pedang itu pada saat beberapa jengkal lagi sampai di sasaran. Perubahan arah itu sangat cepat, sampai-sampai menimbulkan bunyi seperti siulan.

Akan tetapi, Jaka Wulung juga bukan bocah sembarangan. Perubahan gerak seperti itu baginya sangat sederhana.

Itu adalah gerak ilmu yang mendasar.

Menghadapi cara menghindar Jaka Wulung, siapa pun akan melakukan perubahan gerak semacam itu. Karena itu, Jaka Wulung mencoba memancing dengan melakukan gerakan menghindar berikutnya yang juga mendasar, yaitu mengubah gerak mundur membentuk sudut siku-siku ke kanan.

Tampak kemudian bahwa Sepasang Elang itu terkejut melihat gerak menghindar Jaka Wulung yang sangat cepat. Mereka tidak sempat mengubah arah ujung pedang masing-masing. Si Elang Jantan menyadari lebih dulu dan mencoba mengubah arah pedangnya. Tapi, si Elang Betina terlambat menyadarinya. Pedangnya masih terjulur sehingga nyaris saja berbenturan dengan pedang si Elang Jantan.

Jaka Wulung melenting mengambil jarak, kemudian sudut bibirnya tersenyum.

“Kalian belum saatnya menyandang nama Sepasang Elang,” kata Jaka Wulung. “Mungkin akan lebih tepat memakai lebih dulu nama Sepasang Merpati. Ah, terlampau manis. Yang lebih tepat adalah Sepasang Emprit.”

Si pemuda, yang memang menyebut dirinya si Elang Jantan, menggeretakkan giginya menahan geram. “Jangan sombong dulu, Bocah. Jaga mulutmu sebelum kami sobek bersama-sama!”

Bulan muncul dari batas laut, menerpa segala pemandangan di depan Jaka

Wulung. Ah, ya, pikirnya, bulan di langit timur, di belakangnya, pastilah sudah tidak lagi purnama, tapi cukup jelas untuk menerangi wajah-wajah Sepasang Elang itu. Keduanya memang tampan dan cantik, tapi, seperti guru mereka, ketampanan dan kecantikan mereka justru mereka pakai di jalan sesat, memenuhi nafsu sendiri, bukan jalan yang memberikan kebaikan bagi masyarakat.

Sementara itu, si Elang Betina, mengetahui bahwa sinar bulan sudah menerangi wajahnya, mencoba memberikan senyum memikat untuk menggoda Jaka Wulung. Meskipun masih dalam tataran yang rendah, kemampuan sihir si Elang Betina sangat didukung oleh wajahnya yang memang jelita. Tanpa kemampuan ilmu pengasihan pun, seorang perempuan cantik akan mampu menyihir orang lain, lebih-lebih kalau disokong oleh ilmu demikian meskipun hanya selapis tipis.

Itulah yang terjadi terhadap Jaka Wulung ketika tadi dia terpesona oleh si Elang Betina sehingga daya nalarnya tidak berlaku.

Dan, itulah yang coba dilakukan lagi oleh si Elang Betina sekarang. Jaka Wulung terpana.
Akan tetapi, hanya berlangsung dua-tiga kejapan. Setelah itu, Jaka Wulung sadar kembali, dan kemudian menguatkan batinnya dari serangan ilmu yang tidak kasatmata itu.

Kalau Jaka Wulung terlambat sekejap lagi saja, sudah pasti nyawanya akan terancam. Sebab, pada saat si Elang Betina melancarkan serangan tidak kasatmata itu, si Elang Jantan sudah meloncat dengan pedang yang kali ini diputarnya lebih dulu sebelum mengarah sasaran di pundak Jaka Wulung.

Jaka Wulung menunggu ujung pedang itu hingga sejengkal di depan tubuhnya, kemudian memiringkan tubuhnya ke kiri dengan gerakan sangat cepat dengan maksud lawannya tidak sempat lagi untuk mengubah arah gerakan. Dengan demikian, Jaka Wulung akan punya kesempatan untuk melancarkan serangan balik yang juga cepat.

Akan tetapi, sebelum Jaka Wulung menyerang si Elang Jantan, dari arah kiri terdengar siulan yang timbul dari lesatan pedang si Elang Betina. Jaka Wulung menahan serangan baliknya dan melirik sekilas ujung pedang si

Elang Betina yang mengincar pinggangnya.

Jaka Wulung mundur menyerong selangkah lagi dan bersiap memapas dari samping lengan si Elang Betina. Tapi, belum sempat Jaka Wulung menyerang balik, ujung pedang si Elang Jantan sudah pula memberikan ancaman baru sehingga Jaka Wulung harus menahan gerakan serangan baliknya.

Begitulah, Sepasang Elang itu menyerang Jaka Wulung susul-menyusul tanpa jeda. Itulah jurus terkenal guru mereka, Lidah Ombak Menjilat Pantai. Tidak pernah berhenti, terus-menerus menerjang seperti ombak pantai Laut Kidul yang terus-terusan menghantam karang.

Pantas, Eyang Guru Bujangga Manik sempat mengingatkan Jaka Wulung, yakni bahwa melawan Pendekar Rajawali berhadapan satu-satu, Jaka Wulung mungkin saja bisa mengatasi. Tapi, melawan Sepasang Rajawali bersama-sama, Resi Bujangga Manik sangsi akan kemampuan muridnya.

Melawan muridnya saja, Jaka Wulung merasakan dahsyatnya ilmu mereka. Kalau sekadar menghindar, bukan sesuatu yang sulit bagi Jaka Wulung. Tapi, Jaka Wulung ingin memberikan pelajaran setimpal atas sakit hatinya dipermainkan si gadis. Hanya saja, sejauh ini dia mengalami kesulitan menembus pertahanan mereka yang berlapis-lapis. Mereka saling mendukung dan saling menutupi lubang pertahanan masing-masing.
Karena itu, pertempuran dua lawan satu itu terus berlangsung jurus demi jurus. Sepasang Elang itu tidak henti-hentinya mengancam titik-titik lemah si bocah. Lidah Ombak Menjilat Pantai sungguh bukan ilmu kosong. Mereka tidak hanya saling membantu, tapi juga saling menguatkan. Kalau diibaratkan dalam ilmu hitung, penjumlahan satu ilmu Elang Jantan dan
 
satu ilmu Elang Betina tidak sama dengan dua ilmu, tetapi tiga ilmu.

Mereka tidak memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung untuk sejenak pun bernapas. Si Elang Jantan geram karena menangkap basah Jaka Wulung dalam keadaan berdua. Dalam pikirannya, Jaka Wulung hendak merusak kehormatan sang kekasih, yang dikuatkan oleh pengakuan si Elang Betina sendiri. Kalau dia tidak segera datang, demikian menurut pikiran si Elang Jantan, tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada si Elang Betina.

Si Elang Jantan dan si Elang Betina adalah sejoli yang saling mencinta. Begitulah, pikir si Elang Jantan, dan memang begitulah syarat bagi mereka agar bisa menjadi murid Sepasang Rajawali. Mereka harus sehati, tidak terpisahkan, sampai usia renta, sampai kematian menjemput mereka. Sehidup semati.

Oleh karena itu, si Elang Jantan menggempur Jaka Wulung dengan sepenuh kemampuannya.

Sementara itu, si Elang Betina kecewa bukan kepalang ketika ilmu pengasihannya, yang dia peroleh secara diam-diam dari gurunya si Rajawali Betina, tanpa setahu si Elang Jantan, gagal memerangkap Jaka Wulung. Dia pun melampiaskan kekecewaannya kepada si bocah melalui kemampuannya memainkan pedang jurus-jurus maut dari kedua gurunya.

Akan tetapi, yang mereka hadapi adalah Jaka Wulung, pendekar bocah istimewa yang sudah menyerap ilmu-ilmu dahsyat dari dua guru yang nyaris tiada duanya, Resi Darmakusumah dan Resi Bujangga Manik, ditambah kesaktian yang dia peroleh secara ajaib di Nusa Larang.

Sepasang Elang itu sama sekali tidak pernah bisa menyentuh tubuh Jaka Wulung. Lebih-lebih, ketika lama-kelamaan Jaka Wulung mulai jemu bermain-main dengan mereka. Pada suatu saat, dari tenggorokan Jaka Wulung mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman dahsyat, seperti suara harimau ....

Grrrhhh!

Kecepatan Jaka Wulung segera meningkat dua-tiga kali lipat. Dia meloncat-loncat dan menerjang dengan kecepatan yang sulit ditahan kedua
 
lawannya. Lebih-lebih ketika di tangannya sudah tergenggam senjata andalannya, kudi hyang, senjata asli Tatar Sunda yang dalam perkembangannya menjadi kujang.

Setelah beberapa jurus, hanya berselisih sepersekian kejapan, terdengar denting beradunya kudi hyang di tangan Jaka Wulung dengan dua pedang andalan Sepasang Elang, menimbulkan percik cahaya yang sekilas menerangi tempat pertempuran.

Tring! Tring!

Jaka Wulung meloncat mundur dan telapak kakinya hinggap di pasir tanpa suara. Senjatanya masih tergenggam erat di telapak tangannya.

Di hadapannya, Sepasang Elang hanya bisa saling pandang di antara mereka, kemudian menatap Jaka Wulung dengan wajah sama pucatnya. Mulut mereka sama-sama menganga.

Pedang mereka melenting jauh dan jatuh tanpa kedengaran suaranya, entah di mana.

“Kalian masih mau melawan?” tanya Jaka Wulung.

Wajah Sepasang Elang itu masih pucat pasi dengan mulut yang tetap menganga. Jaka Wulung tersenyum geli dalam hati. Dalam keadaan begitu, hilang sudah ketampanan dan kecantikan mereka, hanya menyisakan wajah-wajah yang dungu!

“Kali ini, kalian benar-benar lebih pantas berjuluk Sepasang Emprit,” seloroh Jaka Wulung.

Sepasang Elang itu hanya bisa menggeram penuh kemarahan, tapi mereka harus mengakui bahwa ternyata julukan Titisan Bujangga Manik bukan julukan kosong.

“Kau mau bunuh kami?” ucap si Elang Jantan akhirnya. “Ayo, segera lakukan! Kalau tidak, kau akan menyesal.”

“Kenapa harus menyesal? Kalian akan segera berlatih keras untuk meningkatkan ilmu kalian, lalu mencariku untuk menuntut balas?” Jaka Wulung menyeringai. “Aku ke sini bukanlah hendak membunuh kalian.
 
Bahkan, bertempur pun jauh dari keinginanku. Bukankah kita hanya kebetulan bertemu di sini?”

“Kau benar-benar bocah sombong,” kali ini si Elang Betina bicara.

Jaka Wulung memandang perempuan itu, lalu tersenyum mengejek. “Ah, ya, Putri Kandita yang jelita, bukankah kau tadi menerapkan ilmu pengasihan, hendak menjebakku, dan setelah ketahuan, kemudian mengadu bahwa akulah yang hendak berbuat tidak senonoh kepadamu?”

Wajah si Elang Betina berubah cepat dari pucat menjadi merah gelap.

Si Elang Jantan memandang kekasihnya dengan kening berkerut. “Kau ... benarkah?”

“Bohong!” pekik si Elang Betina.

“Pantas, tadi kelihatannya kau memperlihatkan sikap mesra untuk seorang gadis yang hendak di

“Kakang! Kau percaya kata-katanya? Kau tidak percaya lagi kepadaku?” “Aku hanya
Jaka Wulung tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, seakan-akan menyaksikan adegan yang sangat menggelikan.

Sepasang Elang itu menoleh memandang Jaka Wulung.

“Sudahlah, sudahlah! Nanti, kalian boleh bertengkar di padepokan kalian. Sekarang, antarkan aku ke sana, menghadap kedua guru kalian.”

“Ada urusan apa kau mau menghadap guru kami?” tanya si Elang Jantan.

“Ada sedikit urusan yang perlu kami selesaikan. Tapi, kalian tak perlu tahu apa urusan di antara kami.”

“Kau memang sombong, Bocah. Kau hendak membalas dendam atas kematian gurumu?”

Wajah Jaka Wulung berubah menjadi keras. “Syukurlah, kau sudah tahu. Antarkan aku ke sana.”
 
Si Elang Jantan tidak langsung menjawab. Kemudian, katanya, “Kedua guru kami sedang tidak ada di tempat.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Kau tidak berbohong? Ke mana mereka pergi?”

“Mereka tidak memberitahukan ke mana.”

Jaka Wulung mengangguk-angguk. “Apakah mereka menyebut-nyebut tempat bernama Rajatapura?”

“Dari mana kau tahu?” si Elang Jantan kelepasan kata. Jaka Wulung menyeringai. “Haaa, kau tahu, bukan?”
“Oh, mereka hanya menyebut mau ke sana, tapi tidak memberitahukan apa tujuan mereka.”

“Kenapa kalian tidak ikut dengan guru kalian ke sana? Bukankah di sana akan terjadi peristiwa yang sangat hebat?”

“Kami sebenarnya ingin ikut, tapi guru kami melarangnya.”

Jaka Wulung kembali menyeringai. “Baiklah,” katanya. “Terima kasih atas keterangan kalian.”

Jaka Wulung mengenakan bajunya, kemudian menyimpan kudi hyang- nya, mengambil kantongnya, dan membalikkan tubuh hendak pergi.

Tapi, tiba-tiba dia berbalik, mendekati si Elang Jantan, dan berkata setengah berbisik, pelan, tapi tentu saja masih terdengar oleh di Elang Betina yang berdiri tidak jauh dari si Elang Jantan, “Ki Dulur, percayalah, tadi kekasihmu itu memakai ilmu pengasihan. Nah, selamat bertengkar.”

Jaka Wulung berbalik dan membuat loncatan panjang, lalu lenyap di balik rerumpun semak belukar.

“Tungguuu!” teriak si Elang Jantan. Tapi, tak ada jawaban lagi.
Malam hening. Bulan merayap naik. Bulan yang tidak lagi purnama.[]
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar