Jurus Tanpa Nama Jilid 03 : Si Pencabik

Si Pencabik

BULAN purnama sudah menggantung tinggi di langit timur, menenggelamkan cahaya kerlap-kerlip bintang. Langit sangat cerah. Awan-awan hanya seperti bercak-bercak kecil di seluruh bidang langit.

Akan tetapi, suasana mencekam makin mencengkeram perkampungan di kaki selatan Gunung Sepuh. Orang-orang tua, anak-anak, dan perempuan memilih berada di rumah masing-masing dengan pintu terkunci. Para pemuda yang memiliki keberanian lebih berjaga-jaga berkeliling kampung.

Seorang gadis sudah dipilih untuk “dipersembahkan” kepada siluman itu. Dengan hati yang sangat tegar, meskipun sempat meneteskan air mata, gadis itu bersedia menjadi tumbal bagi keselamatan perkampungan di sana. Dia pernah mendengar dongeng yang menuturkan gadis yang bersedia berkorban itu kelak akan hidup bahagia di alam yang lain. Alam yang penuh keindahan.

Yang paling berduka tentu saja adalah keluarga si gadis. Ayah dan ibunya. Gadis itu adalah anak semata wayang. Ibunya sampai histeris dan pingsan demi melihat anak gadisnya hendak menjadi persembahan.

Meskipun harapannya tidak terlalu besar, gadis itu, namanya Nyi Asih, berharap bahwa si bocah bisa menyelamatkan mereka. Bocah itu, kata orang-orang, adalah murid tokoh pendekar terkenal masa lalu, Resi Bujangga Manik. Meskipun entah sudah berapa lama menghilang, nama Bujangga Manik masih diingat sebagian masyarakat. Para orangtua masih kerap menceritakan sepak terjang Bujangga Manik. Sebagian cerita itu lama-lama sudah menjadi mirip dongeng. Dongeng tentang seorang manusia yang dianggap setengah dewa.

Jaka Wulung pun bertekad akan memberikan semua kemampuan yang dia miliki demi menyelamatkan perkampungan itu dan, terutama, masa depan si gadis.

Kini mereka, Jaka Wulung dan Nyi Asih, sudah berdiri menunggu di sisi timur kampung. Di sebuah lahan yang agak lapang. Di sanalah siluman itu akan menjemput si gadis untuk dibawa entah ke mana. Dari kejauhan, penduduk kampung memandang dari kerimbunan pepohonan dengan dada penuh ketegangan menunggu apa yang bakal menimpa mereka. Meskipun begitu, mereka sudah siap dengan segala perkakas tajam di tangan mereka masing-masing.

Sinar bulan yang jatuh miring menimpa wajah Nyi Asih.

Gadis itu memang cantik. Kulitnya kuning bersih. Hidungnya mungil mancung dan bibirnya merah merekah. Umurnya mungkin sebaya dengan Jaka Wulung. Kalau saja dia hidup di sekitar istana, pikir Jaka Wulung, gadis itu akan disangka sebagai putri kerajaan.

Malam merayap pelan. Bulan masih berjalan di antara bercak-bercak awan. Serangga malam terus melantunkan nyanyian.

Jaka Wulung memuji ketabahan Nyi Asih, yang sorot pandangannya tetap memancar tanpa kelihatan jeri atau takut.

Mendadak keadaan menjadi makin mencekam karena tiba-tiba serangga malam menghentikan nyanyian mereka. Suasana sunyi senyap. Bahkan, angin pun seolah ikut berhenti bertiup. Dedaunan pohon diam.

Lalu, terdengar bunyi aneh memecah kesenyapan. Bunyi itu terdengar seperti kaok burung gagak. Tidak. Mungkin lebih tepat seperti lengking burung hantu. Tidak juga. Suara itu mirip dahan kering yang patah.

Benar, suara itu memang berubah-ubah. Dan akhirnya ....
“Kakakakakakakaaak !”

Suara tawa.

Tawa panjang yang membuat bulu kuduk meremang.

Pecah dan serak, seakan-akan keluar dari sebuah kerongkongan yang rusak.

Sebagian besar penduduk kampung gemetar ketakutan. Mereka yang berada di rumah lebih suka meringkuk di dalam kain sarung mereka. Mereka yang berada di luar hanya bisa menahan tubuh yang menggigil.

Hanya Jaka Wulung yang tampak tenang di tempatnya. Diliriknya Nyi Asih, dan tampak wajah gadis itu memucat.

Jaka Wulung menggenggam tangan gadis itu, mencoba memberikan kekuatan dan ketabahan. Kalau saja dalam suasana yang berbeda, tentu Jaka Wulung akan berdesir dadanya merasakan tangan halus si gadis.

Suara tawa menghilang dan keadaan kembali menjadi sunyi senyap.

Tiba-tiba, sebuah sosok tahu-tahu sudah berdiri di sebongkah batu belasan langkah di depan Jaka Wulung dan Nyi Asih. Cahaya bulan jatuh dari atas sehingga wajah sosok itu sama sekali tidak kelihatan jelas. Hanya rambutnya yang tergerai hingga pundak dan pakaiannya yang gelap.

Akan tetapi, Jaka Wulung bisa merasakan betapa tatapan sosok itu menusuk tajam seperti mata burung hantu, memandang ke mata Jaka Wulung tanpa berkedip.

Jaka Wulung balas menatap sosok itu, tanpa berkedip pula. Hanya ada sosok itu. Hanya ada wajah itu. Bahkan, hanya ada matanya.

Jaka Wulung merasakan arus gelombang panas yang memancar kuat, sangat kuat, dari kedua mata sosok itu. Pendekar bocah ini sempat terkejut beberapa kejap. Tapi, dia segera melawannya dengan merangkum hawa dingin di sekitarnya, yang disalurkan melalui pancaran matanya.

Dua gelombang beradu di udara malam yang mencekam. Gelombang yang saling berlawanan—panas dan dingin.
Bagi siapa pun yang berada di sekitar tempat itu, tidak tampak sama sekali apa yang terjadi. Bagi mereka, yang kelihatan adalah Jaka Wulung dan sosok itu sekadar saling memandang tanpa berkedip.

Akan tetapi, bagi Jaka Wulung, telah dimulai sebuah pertempuran yang dahsyat.

Mula-mula, hawa panas yang dipancarkan dari mata sosok itu menguasai

udara di sekitar Jaka Wulung. Tapi, setelah si bocah merangkum hawa dingin di sekitarnya dan balik menyerang, perlahan-lahan hawa panas itu mulai mereda. Bahkan, lama-lama Jaka Wulung bisa mengimbangi serangan hawa panas itu.

Pertempuran dalam diam itu terus berlangsung.

Melalui garis yang tidak kasatmata, Jaka Wulung merasakan gelombang dari matanya dan mata sosok itu berbenturan hanya beberapa langkah di depannya. Tapi, perlahan tapi pasti, titik benturan itu bergeser merayap, menjauh dari hadapannya.

Nyi Asih, yang berdiri hanya setengah depa dari Jaka Wulung, mulai merasakan bahwa di sana tengah berlangsung sebuah pertempuran diam yang sangat dahsyat. Tubuhnya bisa merasakannya dari hawa yang berganti-ganti antara panas dan dingin.

Pada suatu saat, titik itu berhenti nyaris di tengah-tengah. Lalu, bergeser kembali mendekati Jaka Wulung.

Si bocah, yang masih menerka-nerka siapa sebenarnya sosok yang ada di hadapannya itu, berusaha dengan segenap kekuatannya untuk melawan. Untunglah, Jaka Wulung sudah menyerap ilmu kesaktian di puncak Gunung Sepuh dari tokoh sakti yang tiada bandingnya. Meskipun pelan, Jaka Wulung bisa menahan lagi laju serangan lawannya. Malah, titik benturan itu pun berbalik lagi menjauh dari tubuhnya menuju titik tengah di antara si bocah dan sosok misterius itu.

Di titik tengah itulah, terjadi pertempuran mati-matian. Baik Jaka Wulung maupun lawannya sudah mengerahkan kemampuan puncak mereka. Begitu kuatnya pertempuran dalam diam itu sampai-sampai udara di sekitar titik benturan itu terasa bergetar dan bergolak.

Tiba-tiba pada suatu saat, terdengar sebuah suara letupan.

Titik itu bergeser dan melesat cepat ke arah lawan Jaka Wulung. Tubuh lawannya itu bergetar, menggigil.
Akan tetapi, yang segera terdengar adalah suara tawa sosok misterius itu.

Jaka Wulung menarik napas lega. Tawa itu hanyalah upaya untuk menutupi kekalahannya.

Jaka Wulung meraih kemenangan penting di tahap awal.

“Kakakakakak ...! Namamu memang bukan nama kosong, Bocah! Kakakakak ...! Tapi, cobalah yang ini!”

Jaka Wulung tidak sempat berpikir untuk menebak siapa sosok misterius itu meskipun sebersit rasa heran muncul karena tampaknya sosok itu sudah tahu mengenai dia.

Sosok itu meloncat cepat seperti seekor naga, menjulurkan kedua tangannya. Hanya dalam hitungan kejap, serangan mendadak itu sudah mencapai Jaka Wulung. Kecepatan dan kekuatan serangan itu bisa terasa dari desir angin yang ditimbulkannya.

Untunglah, Jaka Wulung sekarang bukanlah si bocah beberapa bulan lalu ketika terjungkal ke jurang Ci Gunung dan nyaris melayang nyawanya. Sebelum serangan sosok itu sampai, Jaka Wulung mendorong Nyi Asih sambil berbisik, “Larilah ke balik pohon.”

Benar dugaan Jaka Wulung. Sosok itu tidak mengincar si gadis, tetapi menyasar Jaka Wulung sendiri. Jaka Wulung berkelit, menghindari benturan langsung pada jurus awal. Tapi, sosok itu pun tampaknya tidak benar-benar melakukan serangan pertama sebagai serangan maut. Dia seakan-akan hanya ingin melakukan sebuah perkenalan dari sebuah pertempuran yang mungkin akan berlangsung sepanjang malam.

Kini, sosok itu bertolak pinggang di hadapan Jaka Wulung, memandang dengan sorot matanya yang seakan-akan bercahaya.

Cahaya bulan purnama menjelang tengah malam jatuh hampir tegak lurus menimpa rambut hitam lebat sosok itu dan kedua pundaknya yang lebar. Wajahnya masih kelihatan gelap, tapi penglihatan Jaka Wulung, yang sudah sangat terlatih melihat dalam keremangan, sudah bisa mengenali wajah sosok di hadapannya. Wajah yang boleh dikatakan sangat buruk. Hidungnya melesak dan kelihatan hanya dua lubangnya yang gelap pekat. Mulutnya terbuka. Bibir atasnya sumbing, memperlihatkan sebagian giginya yang besar-besar. Di pipi kanannya terdapat goresan luka yang tampaknya dijahit secara sembarangan sehingga menghasilkan bentuk

bergerigi yang mengerikan.

“Ki Dulur ternyata tidak bertujuan minta persembahan seorang gadis,” kata Jaka Wulung, tetap dengan suara pelan dan sopan.

Sosok itu belum menjawab. Tapi, kelihatan mulutnya menyeringai lebar, memperlihatkan lubang gelap yang justru makin membuat wajahnya tampak mengerikan.

“Ki Dulur meneror penduduk perkampungan ini hanya untuk memancingku keluar.”

“Kakakakakaaak ...!” Suara tawanya parau, seakan-akan keluar dari lubang bambu yang rusak, tapi memancarkan gelombang yang menggetarkan udara di sekitar. Bahkan, penduduk yang menyaksikan adegan itu, yang bersembunyi puluhan langkah jauhnya, merasakan dada mereka diserang rasa ngilu, seakan-akan relung dada mereka digosok-gosok dengan permukaan kasar daun ki hampelas.

Akan tetapi, bagi Jaka Wulung, suara itu seperti tawa manusia biasa umumnya. “Kalau benar hanya memancingku, kenapa penduduk kampung harus mengalami ketakutan yang tidak perlu?”

Sosok itu kembali tertawa. “Bocah. Dengar. Itu semua hanyalah permainan muridku yang memang masih kekanak-kanakan. Termasuk permainan minta persembahan seorang gadis yang paling cantik.”

“Dan siapa muridmu, Ki Dulur?”

“Dia bilang pernah berkenalan denganmu. Dia memang masih muda, masih senang bercanda dengan gadis-gadis cantik. Bukankah kau juga seperti itu?”

Jaka Wulung tidak mau terpancing oleh kata-kata manusia berwajah buruk itu. Dan tiba-tiba sebuah nama muncul di kepala Jaka Wulung. “Aku pernah bermain-main sebentar dengan anak muda bernama Bratalaras, yang mengaku berjulukan Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Hmmm ... rupanya dia benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga masih harus dilindungi gurunya, Si Jari-Jari Pencabik.”

Sosok itu, yang memang Si Jari-Jari Pencabik, guru Bratalaras, tertawa

lagi. “Sebenarnya aku ingin berhadapan langsung dengan Resi Bujangga Manik. Sejak kecil, aku sudah mendengar namanya yang tersohor ke mana-mana. Sayang sekali ketika aku sudah siap, dia malah mengundurkan diri. Sampai sekarang, aku penasaran sehebat apa sebenarnya dia.”

Jaka Wulung memandang tajam Si Jari-Jari Pencabik. “Jangan mengigau, Ki Dulur. Tampaknya Ki Dulur sudah tahu di mana Eyang Resi bermukim. Kenapa tidak Ki Dulur sambangi kediamannya dari dulu? Ki Dulur takut. Ki Dulur masih merasa bahwa ilmumu belum apa-apa dibandingkan dengan Eyang Resi.”

Terdengar gemeretak suara gigi-gigi Si Jari-Jari Pencabik yang saling beradu. “He, Bocah Pembual! Kau terlalu banyak cakap. Ketahuilah, aku memang memancingmu dengan cara menakut-nakuti penduduk. Tapi, lebih dari itu, aku bermaksud memancing resi tua itu turun gunung dengan cara mencabik-cabikmu!”

Dada Jaka Wulung bergetar mendengar kata-kata terakhir manusia berwajah buruk itu. Apalagi kemudian terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan.

Secara tiba-tiba, ketika Si Jari-Jari Pencabik mengembangkan jemari kedua tangannya, dari ujung-ujung jemarinya bermunculan kuku-kuku yang sangat aneh dan mengerikan. Diterpa cahaya bulan, kuku-kuku itu berkilat-kilat memantulkan cahaya. Itu adalah kuku-kuku yang terbuat dari logam. Dan logamnya pastilah baja!

Bagaimana mungkin hal demikian bisa terjadi?

Tadi sangat jelas bahwa jemari si wajah buruk tidak memiliki kuku setajam itu. Dan kini, kuku-kukunya bermunculan begitu saja, dan bukan kuku biasa seperti manusia umumnya, melainkan kuku baja!

Mungkin benar kabar yang beredar bahwa Si Jari-Jari Pencabik bukanlah manusia biasa, melainkan iblis!

Jaka Wulung kemudian segera mengenali, ujung-ujung kuku Si Jari-Jari Pencabik, selain berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan yang menunjukkan betapa tajamnya, juga diwarnai bercak-bercak kusam. Sangat mengerikan. Bercak-bercak itu pastilah sejenis racun yang sangat

mematikan!

Jaka Wulung masih mencoba berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja. “Begini saja. Kalau mau bertemu Eyang, mari kuantar ke sana.”

Akan tetapi, kata-kata sederhana itulah yang justru memantik kemarahan Si Jari-Jari Pencabik. “Bocah sombong! Kau benar-benar meremehkan perguruan Gunung Cakrabuana!”

Bersamaan dengan selesainya kalimat itu terucap, Si Jari-Jari Pencabik mengibaskan jari-jarinya yang kukunya berlapis baja, menimbulkan angin panas yang menebarkan bau racun yang menyengat. Meskipun dikibaskan seakan-akan dengan gerakan seenaknya, kibasan itu mengandung tenaga yang sangat besar. Jika mengenai tubuh seseorang, dipastikan tubuh si korban akan langsung tercabik oleh lima jarinya.

Jaka Wulung menyadari bahwa serangan itu bukan serangan main-main, melainkan langsung yang mengandung ancaman maut. Jaka Wulung juga sadar bahwa Si Jari-Jari Pencabik bukanlah tokoh sembarangan. Mendengar namanya saja, orang-orang sudah bergidik ngeri. Jejaknya di jagat silat ditandai dengan pembantaian mengerikan yang dilakukannya. Si Jari-Jari Pencabik mampu mengorek-ngorek isi perut seseorang seakan- akan ayam yang sedang mengorek-ngorek tanah.

Jaka Wulung pernah merasakan kehebatan Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Waktu itu tidak mudah bagi Jaka Wulung untuk menaklukkan Bratalaras. Dan sekarang, inilah guru Si Pemetik Bunga, Si Jari-Jari Pencabik, yang pastilah tingkat ilmunya jauh lebih tinggi daripada muridnya!

Untunglah, Jaka Wulung bukan lagi si bocah ketika berhadapan dengan Si Pemetik Bunga. Sejak pertempuran itu, Jaka Wulung sudah mampu melipatgandakan ilmunya melalui peristiwa aneh di Nusa Larang, dan tentu saja, di bawah didikan Resi Bujangga Manik.

Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak mau mengambil risiko sekecil apa pun. Karena itu, dia segera menghindar seraya mencabut senjata andalannya, kudi hyang, dan mempersiapkan diri dengan lambaran ilmu gulung maung. Dia juga menghindari benturan yang mungkin terjadi antara senjatanya dan kuku-kuku maut Si Jari-Jari Pencabik.

Meskipun sudah meraih kemenangan awal dalam pertempuran diam tadi, Jaka Wulung tidak tahu seberapa dalam kekuatan tersembunyi Si Jari-Jari Pencabik, seberapa besar tenaga dalamnya, serta seberapa tinggi kedahsyatan jurus-jurusnya. Karena itu, dia langsung bersiap dan waspada dalam tingkat yang paling tinggi.

Tak ada lagi gerak pengenalan. Tak perlu jurus-jurus awal.

Keduanya langsung bersiap untuk bertarung dalam tingkat ilmu tertinggi. Sungguh pertarungan yang tidak biasanya!
Dari mulut Si Jari-Jari Pencabik yang berbibir sumbing, terdengar suara desis.

“Ssssss ...!”

Jaka Wulung ingat pernah mendengar suara desisan yang sama dari mulut Bratalaras.

Akan tetapi, suara desisan yang keluar dari mulut Si Jari-Jari Pencabik terdengar jauh lebih mengerikan. Suaranya benar-benar terdengar seperti keluar dari mulut seekor ular besar. Ular naga! Jaka Wulung juga nyaris melihat bahwa dari mulut Si Jari-Jari Pencabik itu menyembur api. Mungkin itu hanya sensasi yang timbul karena suara desis yang bercampur entah ilmu siluman apa. Tapi, jelas bahwa bersamaan dengan suara mendesis itu, dari mulut Si Jari-Jari Pencabik menyembur hawa panas!

Jaka Wulung tak bisa hanya memiringkan tubuhnya. Dia harus melenting ke sisi dua langkah untuk menghindari semburan hawa panas dari mulut Si Jari-Jari Pencabik. Itu pun masih terasa anginnya yang menyentuh wajahnya seraya membawa bau racun. Dan, tidak banyak waktu bagi Jaka Wulung untuk melihat akibat semburan panasnya ketika menerpa dedaunan di belakangnya. Dedaunan itu, dengan cabang dan ranting- rantingnya, langsung hangus terkulai dan jatuh!

Si Jari-Jari Pencabik sudah langsung mengembangkan jemarinya, seraya mengangkat kaki kanannya hingga menekuk, dan hanya dalam waktu sekejapan mata, dia kemudian meloncat dan menghantamkan jemarinya ke tubuh Jaka Wulung dari kedua sisi.

Tanpa basa-basi, Si Jari-Jari Pencabik langsung melancarkan ilmu pamungkasnya.

Jari-Jari Naga Maut!

Gerakannya sangat cepat dan kuat. Jauh lebih cepat dan kuat daripada yang pernah dilakukan Si Pemetik Bunga. Jaka Wulung tentu saja tidak mau menjadi sasaran empuk begitu saja. Dia cepat menekuk kedua kakinya sedemikian rupa sehingga tubuh bagian atasnya lolos dari sasaran Si Jari-Jari Pencabik. Sambil menghindar itu dengan gerakan cepat sekali, Jaka Wulung menusukkan kudi hyang-nya dari bawah, agak miring dengan maksud menyambut gerakan Si Jari-Jari Pencabik mengarah ke pergelangan tangannya.

Itu adalah gerakan yang membutuhkan ketepatan yang sangat tinggi. Kalau saat dan arahnya meleset sedikit saja, senjatanya akan berbenturan dengan kuku-kuku jari Si Jari-Jari Pencabik yang berlapis baja.

Si Jari-Jari Pencabik terkejut melihat gerakan cepat Jaka Wulung. Sekaligus dalam hatinya, dia memuji betapa hebatnya si bocah. Baru kali pertama dia bertemu dengan lawan yang sangat muda sekaligus sangat hebat, yang mampu menghindari serangan maut pertamanya. Harus diakuinya, perkiraannya meleset. Dari cerita muridnya, Si Pemetik Bunga, Si Jari-Jari Pencabik bisa menerka setingkat apa ilmu Jaka Wulung, yang menamakan dirinya Titisan Bujangga Manik.

Akan tetapi, meskipun dia bisa menebak bahwa ilmu si bocah sudah meningkat semenjak dia mendapat kabar bahwa Jaka Wulung berada di puncak Gunung Sepuh dalam asuhan Resi Bujangga Manik, Si Jari-Jari Pencabik tidak menyangka bahwa kemajuan ilmu si bocah meningkat jauh lebih pesat daripada dugaannya.

Semula, dia menyangka bahwa dengan langsung menerapkan jurus pamungkasnya, Jari-Jari Naga Maut, dia akan bisa segera membereskan Jaka Wulung. Rupanya, lawannya yang masih bocah bau kencur itu mampu menghindar, dan bahkan, nekat melakukan serangan.

Karena itu, sebelum ujung senjata di tangan Jaka Wulung mematuk bagian tubuhnya, Si Jari-Jari Pencabik mengubah arah gerakannya.

Sesuai dengan sifat naga dalam cerita-cerita yang dituturkan orang,

gerakan Si Jari-Jari Pencabik benar-benar cepat dan buas. Sama sekali tidak mengenal kata menghindar. Dia hanya mengubah gerak untuk melancarkan serangan dari arah yang berbeda secara total.

Giliran Jaka Wulung yang terkejut.

Dia tidak menyangka bahwa Si Jari-Jari Pencabik mampu mengubah arah dan jurus serangannya secara berlawanan. Cara demikian, tentu saja, hanya bisa dilakukan oleh orang dengan tingkat ilmu yang sulit dibayangkan. Dengan demikian, harus diakuinya sekali lagi bahwa nama Si Jari-Jari Pencabik bukanlah nama yang dipakai sekadar untuk menakut-nakuti penduduk. Nama Si Jari-Jari Pencabik benar-benar menunjukkan keganasan jurus-jurusnya.

Dalam hal tingkat ilmunya, Jaka Wulung bisa menduga bahwa Si Jari-Jari Pencabik berada pada tataran yang setara dengan Brahala yang pernah menggetarkan Pantai Selatan, dan Ki Wira alias Si Cambuk Maut yang kerap menjadi horor di Pantai Utara.

Jaka Wulung harus cermat dan tepat setiap kali menahan laju serangan Si Jari-Jari Pencabik.

Demikian itulah, di pinggir desa, di tengah malam, terjadi pertempuran yang sangat dahsyat. Bagi penduduk yang menjadi saksi pertempuran itu, yang kelihatan hanyalah dua bayangan hitam yang terus berputar saking cepatnya gerak mereka, seperti kitiran yang diputar cepat dan tidak ketahuan lagi gambar atau ukiran yang terdapat pada kitiran itu. Tidak jelas lagi, mana Jaka Wulung dan mana Si Jari-Jari Pencabik. Yang kelihatan, dua bayangan hitam itu saling membelit, saling menghindar, tapi juga kadang tampak seperti saling menyatu.

Sementara itu, sesekali batang-batang pohon di sekitar pertempuran itu berlangsung harus mengalami nasib nahas. Batang-batang itu berpatahan dan hangus oleh jurus-jurus maut Si Jari-Jari Pencabik yang tidak mengenai sasaran. Dedaunan sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, beterbangan mengikuti angin yang terjadi akibat pertempuran itu sebelum berjatuhan dalam keadaan hangus.

Bulan yang bulat sempurna bergeser dari tempatnya di titik puncak langit. Nini Anteh dan kucing peliharaannya seakan-akan tersenyum mengejek pertempuran hidup mati antara Jaka Wulung.1 Keduanya sudah menjadi

saksi dari entah berapa ribu pertempuran di antara sesama manusia. Bagi Nini Anteh dan kucingnya, pertempuran seperti itu sangat menggelikan karena tidak jelas apa yang sebenarnya mereka perselisihkan, kecuali bahwa manusia-manusia itu sejak zaman dulu, dari abad ke abad, selalu dikuasai oleh kesombongan.

Akan tetapi tentu saja, baik Si Jari-Jari Pencabik maupun Jaka Wulung memiliki alasan kuat mengapa mereka bertempur mati-matian.

Si Jari-Jari Pencabik adalah manusia iblis yang tidak mau ada orang lain memiliki ilmu lebih tinggi daripadanya. Dia selalu berambisi menjadi orang nomor satu di Jawa Dwipa ini. Oleh karena itu, dia selalu memburu siapa pun yang sekiranya akan mengancam kedudukannya sebagai tokoh yang paling hebat.

Ketika muridnya, Bratalaras, mengadu bahwa dia dikalahkan oleh seorang bocah yang mengaku sebagai Titisan Bujangga Manik, Si Jari-Jari Pencabik berang dan dia bertekad akan membalas kekalahan muridnya. Dalam pikirannya, si bocah harus dihabisi sebelum berkembang menjadi pendekar yang benar-benar disegani. Dia jeri mendengar nama Resi Bujangga Manik, yang ternyata namanya terdengar lagi setelah puluhan tahun lenyap dalam persembunyiannya. Oleh karena itu, dia hanya berani memainkan rencananya di kaki Gunung Sepuh. Dia yakin dengan cara menakut-nakuti penduduk perkampungan di kaki gunung, murid Resi Bujangga Manik akan turun sendirian. Dan benar, Jaka Wulung alias Titisan Bujangga Manik muncul sendirian, tanpa disertai gurunya.

Sementara itu, Jaka Wulung tentu tidak mau nyawanya melayang begitu saja. Dia baru saja turun gunung dan masih panjang, sangat panjang, jalan yang harus dia tempuh untuk mencapai tujuannya: mencari jejak leluhurnya, sambil menyambangi kediaman Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu. Jaka Wulung sama sekali tidak menduga akan berhadapan dengan tokoh setaraf Si Jari-Jari Pencabik, yang sepak terjangnya sudah puluhan tahun membawa ketakutan kepada siapa pun yang mendengar namanya.

Oleh karena itu, baik Si Jari-Jari Pencabik maupun Jaka Wulung sudah tidak mempertimbangkan lagi keadaan sekeliling, apalagi sekadar senyum sinis Nini Anteh dan kucingnya. Apa yang ada di kepala mereka adalah mengeluarkan segenap kesaktian mereka demi meraih kemenangan atas lawannya.

Seperti umumnya ular, termasuk naga, binatang ini terkenal karena cara berkelahinya yang licik. Seekor ular tidak akan menyerang dengan gerakan secara langsung ke sasaran. Ia akan melakukan berbagai gerak tipu untuk membuat lawannya lengah, dan pada saatnya melancarkan serangan mematikan, dengan patukan atau dengan semburan racunnya.

Seperti itulah, pertempuran yang dilakukan Si Jari-Jari Pencabik. Dia terus mengganggu pemusatan pikiran Jaka Wulung dengan jurus-jurus tipunya yang licik sehingga Jaka Wulung lebih banyak bertahan. Jangankan untuk menyerang, bahkan untuk bertahan pun Jaka Wulung makin kewalahan. Berkali-kali Jaka Wulung nyaris terkena sambitan kuku-kuku baja beracun Si Jari-Jari Pencabik.

Jaka Wulung bahkan kerepotan karena terus-menerus mencium bau racun yang mengembus dari kuku-kuku Si Jari-Jari Pencabik, ditambah hawa panas yang terus-terusan menebar dari desisan mulut lawannya.

Meskipun demikian, Jaka Wulung memang layak mendapat julukan Titisan Bujangga Manik, calon penerus nama besar Eyang Gurunya. Dengan otot-otot mudanya yang lentur dan gerak langkahnya yang sangat cepat, Jaka Wulung seperti harimau muda yang sangat lincah meloncat menghindari semua serangan tipuan Si Jari-Jari Pencabik.

Perlahan tapi pasti, Jaka Wulung mulai bisa mengenali pola serangan tipuan Si Jari-Jari Pencabik. Meskipun kelihatan acak dan semaunya, sesuai dengan sifat serangan tipuan, makin lama serangan-serangan Si Jari- Jari Pencabik itu menunjukkan sebuah pola tertentu. Dan dengan pengenalan inilah, Jaka Wulung mulai bisa mengimbangi sepak terjang lawannya. Bahkan lama-kelamaan, Jaka Wulung bisa sesekali melakukan serangan balik.

Dan satu hal, tampaknya Si Jari-Jari Pencabik tidak menyadari sebuah hukum alam yang tidak pernah berubah sepanjang masa. Atau, barangkali dia mengingkari adanya hukum alam itu.

Makin tua, manusia makin berkurang kekuatan dan keliatan ototnya.

Dan satu kesalahan besar telah dilakukan Si Jari-Jari Pencabik pada serangan awal tadi. Si Jari-Jari Pencabik langsung menyerang dengan ilmu pamungkasnya, Jari-Jari Naga Maut. Padahal, untuk mengeluarkan ilmunya ini dengan serta-merta, dia memerlukan kekuatan dan keliatan

otot. Untuk mencapai kekuatan dan keliatan yang diperlukan, seseorang mestinya melakukan serangan-serangan awal yang tidak terlalu menguras tenaga, sebagai pemanasan.

Si Jari-Jari Pencabik, tanpa menjalani tahap pemanasan, langsung menyerang Jaka Wulung dengan tenaga penuh.

Dan itu tentu saja fatal.

Setelah sekian jurus gagal menemui sasarannya, tenaga Si Jari-Jari Pencabik surut dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal dan desisan dari mulutnya sudah jauh berkurang. Tulang-tulang persendiannya mulai terasa ngilu dan otot-otot badannya mulai lemas kehabisan tenaga.

Jaka Wulung menyadari keadaan itu.

Perlahan-lahan, dia melancarkan serangan-serangan yang mengarah ke berbagai bagian tubuh Si Jari-Jari Pencabik. Kalau saja Si Jari-Jari Pencabik bukanlah tokoh silat yang sudah kawakan, pastilah tubuhnya sudah dikenai ujung kudi hyang di tangan kanan Jaka Wulung.

“Bocah iblis!” Si Jari-Jari Pencabik menggeram.

Jaka Wulung tersenyum. Kemarahan adalah pertanda awal kekalahan. Dan dia mencoba memancing lebih jauh kemarahan lawannya.

“Jangan mengigau, Ki Dulur. Bukankah kau yang iblis?”

Si Jari-Jari Pencabik terpancing. “Persetan!” teriaknya serak, karena napasnya yang nyaris habis, seraya berupaya meningkatkan serangan- serangannya.

Jaka Wulung memanfaatkan peluang itu dengan meningkatkan kecepatan geraknya. Ujung kudi hyang-nya melesat-lesat seperti puluhan anak panah yang mengincar titik-titik lemah tubuh Si Jari-Jari Pencabik. Hingga pada suatu saat ....

Brettt!

Ujung kudi hyang Jaka Wulung berhasil memapas rambut hitam Si Jari- Jari Pencabik yang awut-awutan. Bukan hanya itu, dalam lesatan berikutnya, kalau saja Si Jari-Jari Pencabik tidak merendahkan tubuhnya,

tentu kudi hyang-nya akan bisa menebas leher si manusia iblis. Tapi, yang kena adalah bagian atas rambut Si Jari-Jari Pencabik. Rambut itu terpotong dari kepalanya. Oh, bukan. Rambut itu lepas dari kepalanya. Rupanya, itu adalah rambut palsu!

Kini yang tampak adalah kepala Si Jari-Jari Pencabik yang botak dan mengilat memantulkan cahaya bulan!

Wajahnya memang tetap mengerikan, tapi juga menggelikan.

Mengerikan karena wajah itu kini semakin gelap oleh kemarahan yang berlipat-lipat. Tidak pernah terbayangkan, dalam mimpi sekalipun, Si Jari- Jari Pencabik, tokoh hitam yang malang melintang di berbagai pelosok Tatar Sunda, sudah mencabik-cabik puluhan, atau ratusan, manusia yang mencoba menantang kesaktiannya, malam ini seakan-akan menjadi bahan mainan seorang bocah yang baru kering ingusnya!

Jaka Wulung memang tersenyum-senyum geli melihat sosok yang menjadi aneh di hadapannya.

Akan tetapi, senyum Jaka Wulung tidak bisa berlama-lama menghiasi bibirnya karena sekejap kemudian Si Jari-Jari Pencabik sudah mendesis dengan suara yang entah mengapa menjadi sangat berlipat kekuatannya, lalu mempermainkan jemarinya yang berkuku baja di depan dada, kembali mengangkat kaki kanannya hingga menekuk, dan meloncat menerkam Jaka Wulung dengan kibasan mautnya.

Jaka Wulung terpaksa melenting ke atas untuk menghindari serangan membabi buta itu. Tapi, Si Jari-Jari Pencabik tidak berhenti di situ, melainkan terus memburu Jaka Wulung seakan-akan manusia iblis itu memperoleh kekuatan cadangan setelah tadi sempat kehabisan napas dan tenaga.

Akan tetapi, Jaka Wulung bisa menebak bahwa serangan membabi buta— mestinya serangan “menaga buta”—itu adalah serangan putus asa. Terkadang, dalam keadaan putus asa, orang bisa menjadi nekat, dan ketika itulah, tenaganya bisa kembali berlipat ganda. Itulah tampaknya yang terjadi pada Si Jari-Jari Pencabik.

Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak bisa melihat serangan demikian dengan sebelah mata. Sebab, yang melakukannya bukan orang nekat

sembarang nekat, melainkan Si Jari-Jari Pencabik!

Jaka Wulung harus tetap memusatkan perhatian pada cakar-cakar maut Si Jari-Jari Pencabik, yang tetap memburunya ke sana kemari seperti seekor naga yang terluka, seakan-akan sedang memamerkan kekuatan pamungkasnya sebelum sampai pada titik sekarat.

Dan secara tiba-tiba, perhatian Jaka Wulung buyar ketika terdengar jeritan melengking dari arah pohon kiara besar di belakangnya.

“Tolooonggg ...!” Suara perempuan. Suara Nyi Asih!
Dalam sekelebatan, Jaka Wulung melihat perempuan itu, yang memang Nyi Asih, dipondong seseorang berambut panjang berkibar, dengan langkah lari yang cepat dan ringan.

Seakan-akan memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung untuk mengetahui siapa si penculik Nyi Asih, orang itu berhenti hanya beberapa langkah di samping Si Jari-Jari Pencabik.

Dia adalah lelaki tampan, berusia kira-kira dua puluh tiga tahun, dengan rambut terurai hingga separuh punggung dan diikat dengan kulit ular sanca. Dia juga mengenakan baju dan celana kulit ular tanpa lengan. Di ketiaknya terselip sebatang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular dan dengan ujung runcing berlapis baja.

Bratalaras, Si Pemetik Bunga dari Cakrabuana, murid Si Jari-Jari Pencabik!

Bratalaras memandang Jaka Wulung seraya tersenyum mengejek, setelah itu dia mundur dan melenggang meninggalkan arena pertempuran itu. Nyi Asih sendiri hanya terkulai di pundak Bratalaras karena sarafnya sudah terkunci.

Jaka Wulung benar-benar menyesal mengabaikan kemungkinan Si Pemetik Bunga berada di sana sejak tadi sehingga dia lengah dan sama sekali tidak meminta agar Nyi Asih pulang ke perkampungan.

Perhatian Jaka Wulung yang buyar itu dengan cepat dimanfaatkan Si Jari- Jari Pencabik. Secepat dan sedahsyat angin puting beliung, Si Jari-Jari Pencabik menghunjamkan jemarinya ke arah kepala Jaka Wulung.

Kelengahan, dalam sekejap, bisa menentukan hasil akhir. Jaka Wulung terkesiap.
Beruntung, Jaka Wulung memiliki naluri yang sangat peka, yang membuatnya berkali-kali selamat dari bahaya yang mengancamnya, termasuk ketika dikeroyok Lingga Prawata dan Watu Ageng di tepi Ci Gunung, serta kemudian dalam pertempuran terdahulu melawan Bratalaras.

Hanya dengan naluri, tanpa jurus atau perhitungan apa pun, Jaka Wulung menjatuhkan dirinya ke belakang, berguling-guling seperti tenggiling, dan setelah gulingan yang kelima, mengacungkan secepat kilat kudi hyang-nya menyambut serangan beruntun Si Jari-Jari Pencabik.

Dengan nalurinya yang sangat tajam itulah, Jaka Wulung terhindar dari kuku-kuku baja beracun Si Jari-Jari Pencabik, yang dipastikan akan membuat si bocah tinggal nama dengan kepala yang koyak moyak tidak berbentuk rupa.

Akan tetapi, yang tidak disangka oleh Jaka Wulung sendiri, tusukan kudi hyang yang hanya berdasarkan naluri itu telah pula menyentuh sesuatu yang agak lunak.

Srettt!

Ujung senjata Jaka Wulung menggores panjang dalam sekejap.

Sedemikian cepat peristiwanya sehingga ketika Jaka Wulung melenting menjauh dan mendarat dengan kedua kakinya, lalu menatap kudi hyang- nya, ujung senjatanya itu sama sekali bersih, tidak berlumur darah.

Jaka Wulung kemudian menatap Si Jari-Jari Pencabik.

Si manusia iblis berdiri dengan kaki tegak selebar pundak, memandang Jaka Wulung dengan sorot mata paling gelap yang pernah dilihat si bocah. Ujung kanan bibirnya mengernyit. Dari kepalanya yang mengilat samar-

samar keluar semacam asap. Secara keseluruhan, wajah Si Jari-Jari Pencabik benar-benar sangat mengerikan.

Jaka Wulung tanpa sadar bergidik melihatnya.

Si Jari-Jari Pencabik masih berdiri dengan dua kaki selebar pundak. Tapi, kini kelihatan kaki-kakinya goyah, gemetar beberapa saat, kemudian tertekuk. Tubuhnya jatuh di atas lututnya. Darah mengucur dari bagian perutnya, membasahi tanah, bercampur dengan isi kandung kemihnya.

Sebuah luka memanjang lebih dari sejengkal. Menganga, dan tampak ususnya memburai.

Tadi, begitu perutnya tersayat kudi hyang Jaka Wulung, tanpa sadar Si Jari-Jari Pencabik meraba perutnya. Dan itu adalah fatal. Kuku-kukunya menyentuh luka dan racun di ujung-ujung kuku si manusia iblis itu memakan tuannya sendiri. Menyebar langsung ke aliran darah di tubuhnya.

“Bocah ... ib ”

Si Jari-Jari Pencabik tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Matanya membeliak dan tubuhnya ambruk.

Bulan purnama menggantung di separuh langit barat. Warnanya pucat.

Jaka Wulung melesat ke arah selatan. Memburu tempat menghilangnya Bratalara.[]
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar