Jurus Tanpa Nama Jilid 02 : Teror Manusia Siluman

Teror Manusia Siluman

JAKA Wulung menuruni lereng timur Gunung Sepuh menuju kakinya. Menghadap matahari yang belum sepenggalah, langkahnya sangat ringan meskipun masih juga dilanda keraguan. Mulai dari mana aku akan mencari orangtuaku? Tanah Jawa Dwipa terlalu luas untuk ditelusuri.

Seingat Jaka Wulung, dia hanya mengenal daerah di seputar Ci Pamali, sungai yang pernah digunakan sebagai batas timur Kerajaan Sunda. Entah apakah di sebelah timur entah di sebelah barat sungai. Dengan demikian, Jaka Wulung tidak yakin apakah dia berasal dari Tatar Sunda atau dari Tanah Jawa. Dia merasa bukan orang dari Tatar Sunda, tapi juga bukan Tanah Jawa. Tapi, kerap kali pula dia merasa kedua-duanya. Dia merasa sebagai orang Sunda sekaligus orang Jawa.

Apakah dia akan kembali ke seputar Ci Pamali? Sungai itu cukup jauh di timur. Sementara itu, Pelabuhan Ratu tidaklah terlalu jauh di arah barat. Dadanya kembali disulut bara ketika mengingat nama itu: Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu.

Jaka Wulung memejamkan mata sebelum secara mendadak dia memutar arah perjalanannya.

Barat.

Kini, dia berada di lereng selatan. Tebing menjulang di sebelah kanan dan ngarai menganga di sebelah kiri. Tak ada jalan setapak. Jaka Wulung hanya berpedoman pada posisi matahari yang menimpa punggungnya. Dia juga mesti menyibak rerumputan atau menebas reranting perdu.

Akan tetapi, Jaka Wulung terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar suara gemeresik dedaunan yang terinjak. Ditajamkan telinganya untuk menebak sumber arah dan jarak suara itu.

Di arah barat daya, kira-kira dua puluh depa.

Jaka Wulung melenting, meraih sulur yang menggantung di sebuah pohon, berayun maju meraih salah satu cabang pohon, kemudian meloncat dari cabang ke cabang dan meloncat hinggap dua langkah di depan seorang lelaki. Satu orang lagi berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Orang itu memandang Jaka Wulung dengan mulut ternganga dan mata membeliak. Wajahnya pucat seakan-akan darah tidak pernah sampai ke sana. Bagian celana di bawah perutnya tampak basah.

Akan tetapi, tiba-tiba orang itu menarik golok dari pinggangnya. Kemudian, dia berteriak dengan suara parau, “Jahannn ... nam! Ayo, serang!”

Golok itu memiliki bilah yang lebar. Bagian depannya mengilat memantulkan cahaya matahari, menandakan betapa tajamnya golok itu. Orang itu pun langsung menerjang Jaka Wulung dengan mengarahkan goloknya untuk menebas kepala. Orang yang ketakutan dan kemudian melancarkan serangan tidak lain adalah orang nekat. Dan, acap kali orang nekat akan melancarkan serangan dengan kekuatan yang lebih besar dari biasanya.

Wuuusss!!!

Benar saja, dari kesiur angin yang ditimbulkannya, nyata bahwa golok itu mengarah ke leher Jaka Wulung dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan yang bisa dilakukan manusia kebanyakan. Siapa pun yang terkena tebasan demikian, tentulah kepalanya akan menggelinding lepas dari leher.

Untunglah, Jaka Wulung adalah pendekar bocah istimewa, yang pernah berguru kepada Resi Darmakusumah, lalu mendapat kesaktian secara ajaib dari Prabu Niskala Wastukancana di Nusa Larang, dan baru saja mendapat kucuran ilmu dari pendekar legendaris Bujangga Manik.

Dengan menarik tubuhnya, Jaka Wulung dengan mudah menghindari serangan golok itu. Golok itu lewat hanya beberapa jari di depan leher Jaka Wulung, terus melesat dan menebas, hingga putung, sebuah cabang pohon sebesar betis orang dewasa. Orang itu tidak bisa menahan laju goloknya sehingga dia terbawa tenaganya sendiri. Golok itu akhirnya terlepas dari tangannya dan menancap di sebatang pohon. Orang itu pun hanya bisa jatuh terduduk dengan napas tersengal-sengal.

“Keparaaat!”

Jaka Wulung menoleh.

Orang yang satu lagi menyerbu Jaka Wulung dengan beliung besar teracung di tangan kanan. Mata beliung itu berkilat keperakan memperlihatkan sisi tajam yang menggiriskan. Tubuh orang itu lebih besar daripada temannya sehingga bisa dipastikan tenaganya juga lebih besar.

Dengan tiga-empat loncatan panjang, orang itu langsung menghunjamkan beliungnya mengarah ke kepala Jaka Wulung. Dari desir angin yang diakibatkannya, jelas betapa besarnya tenaga orang itu, dan bisa dibayangkan, kepala siapa pun akan langsung terbelah menjadi dua kalau terkena hunjamannya.

Akan tetapi, dengan enteng, Jaka Wulung hanya bergeser ke belakang pada saatnya dan mata beliung itu lewat di depan wajah Jaka Wulung. Angin yang ditimbulkannya sempat mengusap wajah Jaka Wulung dan kilau tajam beliung itu terpantul di matanya.

Jaka Wulung menarik napas dalam dan bersamaan dengan itu mata beliung orang tersebut menancap sedalam sejengkal di sebuah akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. Orang itu berusaha menarik beliungnya yang tertancap. Tapi, meskipun dia sudah mengeluarkan segenap kekuatannya, beliung itu tetap tertancap di akar pohon.

Jaka Wulung melangkah mendekat. Tapi, kemudian, waspada ketika orang itu bangkit. Tapi, bukannya menyerang Jaka Wulung, orang itu jatuh di atas kedua lututnya.
“Ampuuu ... uuun ... ampuuun. Saya ... saya ....” Orang itu tidak

meneruskan kalimatnya. Tampaknya kata-kata berjejalan di mulutnya, tapi tidak satu pun yang kemudian keluar dari bibirnya. Kepalanya lantas menghunjam ke tanah, mencium kaki Jaka Wulung.

Beberapa saat Jaka Wulung hanya bisa mematung. Apa yang membuat orang itu ketakutan setengah mati, menyerang dengan nekat, dan sekarang mencium kakinya seperti seorang pesakitan di hadapan hakim?

Pada saat itulah, orang pertama yang menyerang Jaka Wulung melarikan diri terseok-seok menuju lereng sambil berteriak minta tolong dengan teriakan yang parau. Jaka Wulung membiarkannya.

Jaka Wulung kemudian memandang dirinya sendiri. Dia hanyalah seorang bocah, bocah lima belas tahun, menjelang enam belas tahun, dengan celana pangsi hitam dan baju tanpa lengan yang juga hitam. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali kantong kecil tempat menyimpan baju ganti serta sebilah pisau pangot. Kudi hyang, senjata pusaka Niskala Wastukancana yang dia terima melalui kejadian yang ajaib, terselip di balik bajunya. Sama sekali tidak kelihatan.

Jadi, apa yang membuat mereka ketakutan hingga terkencing-kencing?

Rambutnya memang tergerai panjang hingga melewati pundak. Kepalanya hanya diikat dengan selembar kain bando hitam. Rambutnya kadang berkibar-kibar ditiup angin dari gunung.

Akan tetapi, orang dengan pakaian hitam-hitam dan berambut panjang yang diikat bandana hitam tergerai tentu bukan pemandangan aneh. Di mana-mana banyak orang berpakaian seperti itu. Jadi, mengapa mereka ketakutan ketika melihatnya?

“Ampuni saya, ... Tuan Siluman ”

Jaka Wulung membelalak kaget. Siluman?

“Ki Dulur, tenanglah. Berceritalah. Mana silumannya?”

“Bukankah Tuan ... siluman penunggu Gunung Sepuh? Ampuni saya ”

Jaka Wulung memandang laki-laki di depannya, yang masih mencium kaki si bocah, kemudian tertawa.

“Ah, Ki Dulur, aku manusia biasa. Aku bukan siluman. Lihatlah, bukankah kakiku menapak di tanah?”

Jaka Wulung menarik pundak laki-laki itu. “Duduklah,” katanya lagi. Laki-laki itu memandang Jaka Wulung masih dengan tidak percaya.
Jaka Wulung tersenyum, lalu berkata, “Bukannya siluman tidak muncul pada pagi hari?”

“Jadi, Tuan ... bukan siluman?”

“Peganglah tanganku. Kalau perlu, cubitlah. Atau, aku harus berputar supaya kelihatan tidak ada yang mencurigakan?”

Orang itu memandang Jaka Wulung dengan wajah merah karena malu. “Tapi, Tuan
“Panggil aku Jaka Wulung. Siapa nama Ki Dulur?”

“Nama saya Dapin. Tapi, bagaimana Tuan Jaka bisa berada di sini?”

“Tidak usah pakai tuan.”

“Baiklah, Tuan Jaka ... eh, maksud saya, Jaka Wulung

“Aku sudah beberapa bulan tinggal di puncak gunung.”

Mata laki-laki bernama Dapin itu membelalak. Kepalanya menggeleng- geleng. “Dan kau, Jaka, tidak pernah bertemu dengan siluman?”

Jaka Wulung lagi-lagi tersenyum. “Aku hidup bersama dengan orang yang lebih hebat daripada siluman mana pun. Namanya Resi Bujangga Manik.”

Mulut Dapin kembali menganga. Sejak lama Gunung Sepuh, atau ada juga yang menyebutnya Gunung Patuha, dikenal sebagai tempat yang sangat keramat, terutama bagi penduduk perkampungan di sekitar gunung. Hanya orang berilmu sangat tinggi yang berani menyambanginya. Orang-orang kebanyakan hanya berani mendekat sampai kaki gunung. Jarang sekali ada yang berani sampai ke lerengnya, seperti yang telah dilakukan Dapin dan seorang temannya.

Meskipun tidak pernah ada yang melihatnya secara langsung, berpuluh tahun pula penduduk percaya bahwa Bujangga Manik, pendekar yang paling masyhur sepanjang satu abad terakhir, tinggal di puncak Gunung Sepuh.

“Bagaimana kau bisa hidup bersama sang Resi?” “Karena aku titisannya. Titisan Bujangga Manik.”
Untuk kesekian kalinya, Dapin membelalakkan mata dan mengangakan mulutnya.

“Nah, sudahlah, Ki Dapin, coba ceritakan ada apa sebenarnya.”

Ki Dapin kemudian menceritakan betapa kampungnya dan kampung- kampung lain di sekitarnya diteror oleh sosok misterius hampir setiap malam selama belasan hari terakhir. Teror itu mula-mula berlangsung secara perlahan, sedikit demi sedikit. Mulanya hanya seorang penduduk kehilangan kambing. Kemudian, terjadi kerusakan di huma milik penduduk lainnya. Pada malam yang lain terjadi kebakaran tanpa diketahui sebabnya, yang menghanguskan sebuah rumah. Sejumlah penduduk mengaku pernah melihat kemunculan sosok menyeramkan berpakaian hitam-hitam dengan rambut panjang tergerai. Kadang-kadang, malah yang muncul dua sosok yang sama-sama menyeramkan.

Sosok misterius itu sempat menangkap seorang penduduk untuk menyampaikan pesan bahwa pada malam bulan purnama dia minta persembahan seorang gadis yang paling cantik. Kalau tidak, dia tak akan segan-segan menghancurkan seluruh kampung di sana.

Malam nanti adalah bulan purnama dan penduduk harus menyediakan apa yang diminta peneror itu, yang diyakini sebagian besar penduduk adalah siluman yang bersemayam di Gunung Sepuh.

Sebagian penduduk nekat melawan keinginan siluman itu. Mereka yang berani mencoba mendaki hingga lereng gunung untuk mencari siluman itu. Hanya saja, mereka melakukannya siang hari dan nyaris tidak ada yang mampu mencapai puncak gunung.

Dan di antara penduduk yang berani itu adalah Ki Dapin dan seorang temannya yang melarikan diri.

Jaka Wulung mengangguk-angguk mendengar cerita Ki Dapin. Tapi, pikiran bocahnya yang sederhana justru bertanya-tanya. Menurut pikirannya, ada sesuatu yang janggal dalam cerita Ki Dapin. Dari cerita itu, bisa diduga bahwa sosok misterius itu, entah manusia entah siluman, memiliki kesaktian yang tinggi. Tapi, anehnya, dia meminta persembahan melalui seorang penduduk. Kalau memang ingin seorang persembahan, atau entah untuk tujuan apa, dia—atau dua sosok misterius itu—tinggal menculiknya dari perkampungan.

“Nah, apakah sudah disediakan persembahan itu?”

“Ada tiga atau empat gadis yang bakal menjadi persembahan. Tapi, tentu saja kami tidak tega melakukannya.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan penduduk?”

“Kami tidak tahu, Jaka. Kami sudah putus asa. Mungkin kami akan nekat menghadapi bersama-sama siluman itu, apa pun yang terjadi.”
“Hmmm ... bagaimana kalau disediakan salah seorang gadis itu?”

Ki Dapin membelalakkan matanya. “Gila! Kau mau menjerumuskan gadis kami?”

Jaka Wulung tersenyum. “Tenang dulu, Ki Dapin. Biarlah gadis itu dipersembahkan, dan aku akan mengawalnya hingga bertemu dengan siluman itu.”
 
Belum sempat Ki Dapin menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan orang- orang dari arah lereng. Mungkin sekitar dua puluh orang tampak berlarian ke arah mereka seraya mengacung-acungkan berbagai perkakas tajam di tangan mereka. Ada golok, gobang, kapak, bahkan cangkul dan linggis.

Sungguh semangat perlawanan yang hebat!

“Itu silumannya!” teriak seseorang, yang ternyata teman Ki Dapin yang tadi melarikan diri.

Terlihat orang-orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian, tidak perlu aba-aba mereka menyerbu berbarengan.

“Tunggu!” teriak Ki Dapin seraya mengacungkan tangannya.

Orang-orang itu tertahan langkahnya. Tapi, tidak urung beberapa senjata telanjur melayang. Sebilah golok, sebatang bambu runcing, dan sebilah pedang melengkung melesat mengarah Jaka Wulung. Ketiga senjata itu dilemparkan dengan kekuatan penuh mereka.

Ki Dapin ternganga, menyesalkan tindakan orang-orang sekampungnya yang terburu-buru. Ki Dapin tahu bahwa Jaka Wulung bukanlah siluman yang telah meneror kampung mereka.

Untunglah, Jaka Wulung bukan bocah sembarangan.

Baginya, mudah sekali menghadapi senjata-senjata tajam itu meskipun dilemparkan secara bersamaan. Hampir pada saat yang sama, hanya dengan satu tangan, Jaka Wulung menangkap berturut-turut golok, bambu runcing, dan pedang lengkung itu. Kalau mau, bisa saja Jaka Wulung melemparkan kembali senjata-senjata itu kepada para penyerangnya. Tapi, tentu saja pikiran itu tidak tercetus di kepala Jaka Wulung.

“Tahan, Teman-Teman!” seru Ki Dapin. “Dia bukanlah siluman yang kita cari!”

Orang-orang itu ternganga menyaksikan kemampuan yang diperlihatkan bocah di hadapan mereka, bocah yang pasti usianya masih sangat muda. Sungguh di luar akal sehat. Mereka ragu oleh rasa takut, tapi juga penasaran.
 
“Lalu, siapa dia?” tanya seseorang sambil menunjuk Jaka Wulung. “Dia murid Resi Bujangga Manik.”
Orang-orang kembali ternganga. Benarkah Resi Bujangga Manik masih hidup? Dan benarkah sang Resi punya seorang murid?

“Dialah Titisan Bujangga Manik.”

Ki Dapin kemudian menceritakan rencana yang akan dijalankan si bocah pada malam nanti, pada saat bulan purnama.

“Betul. Aku tadi sudah menawarkan diri menemani seorang gadis yang akan kita bawa menghadap siluman itu.”

“Bagaimana kami bisa percaya terhadap rencanamu?”

“Tentu saja aku tidak sendiri. Penduduk kampung bisa ikut bersamaku nanti malam.”

Meskipun masih diliputi rasa sangsi, penduduk kampung sepakat terhadap rencana Jaka Wulung. []

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar