Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 11 : Patah Sebelum Tumbuh

Patah Sebelum Tumbuh

DYAH WULANKENCANA memandang Jaka Wulung dengan rasa kagum yang luar biasa. Beberapa waktu lalu, Jaka Wulung hanyalah bocah kumal yang tidak memiliki kemampuan apa-apa selain gerak silat seadanya. Kini, Jaka Wulung sudah menjelma menjadi seorang pemuda dengan kemampuan yang sulit dicari tandingannya.

Apa yang terjadi pada bocah aneh ini? pikir Dyah Wulankencana.

Di pihak lain, Jaka Wulung memandang Dyah Wulankencana dengan rasa kagum yang berbeda. Kau sungguh gadis yang cantik dan menarik, batinnya.

Mata Dyah Wulankencana dan Jaka Wulung saling memandang, saling mengalirkan denyar yang menghangatkan dada. Kedua dada remaja itu pun berdebar-debar bahagia.

Keduanya tak peduli lagi orang-orang lain di kedai makan di sebuah kampung.

Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah yang memerah jambu. “Maafkan kami waktu itu,” ujar Dyah Wulankencana pelan.
“Ah, tidak apa-apa. Tanpa kejadian itu, pasti aku tidak akan menjadi seperti ini.”

Keduanya diam lagi, sama-sama merasakan kebahagiaan yang baru mereka rasakan.

“Jadi, kau sendiri hendak menuju ke mana?” tanya Jaka Wulung.

Dyah Wulankencana menarik napas sebelum mengisahkan perjalanannya. “Kami menjalani masa percobaan mengembara dua bulan. Guru kami, Ki

Jayeng Segara, menugasiku pergi ke arah selatan, Lingga Prawata ke timur, dan Watu Ageng ke utara. Setelah dua bulan, kami diminta untuk berkumpul lagi di pondok di lereng Gunung Baribis.”

Jaka Wulung mengangguk-angguk. “Sungguh masa percobaan yang sangat berat bagi gadis muda sepertimu,” terasa nada suara Jaka Wulung yang menunjukkan kekhawatiran.

“Tapi, begitulah tugas yang harus kami jalani. Dan, aku bisa menjalaninya dengan baik sebelum bertemu dengan Kalamarica dan anak-anak buahnya.”

Jaka Wulung tersenyum, “Kau hebat, Wulan, bisa menghadapi orang- orang kasar itu dengan baik.”

Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah sedikit memerah. Selalu begitu, kalau gadis cantik wajahnya memerah, dia akan semakin cantik. “Tapi, kebetulan sekali kau muncul. Kalau tidak ”

“Itu bukan kebetulan, Wulan.”

Dyah Wulankencana mendongak memandang Jaka Wulung.

“Maksudku,” Jaka Wulung menunjuk langit, “Dia Yang Di Atas pasti sudah mengatur sedemikian rupa sehingga aku yang baru saja pulang dari barat bertemu dengan kau di tempat pertempuran tadi.”

Dyah Wulankencana mengangguk. Kekagumannya kepada Jaka Wulung bertambah saja. Dalam usia semuda itu—paling banyak setahun lebih tua dibanding Dyah Wulankencana—Jaka Wulung sudah menunjukkan kebijaksanaan seseorang yang berumur dewasa.

“Kalau kau dalam perjalanan pulang, bolehkah aku menemanimu?” Jaka Wulung menatap Dyah Wulankencana penuh harap.

Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Hmm kurasa tidak.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

Dyah Wulankencana tersenyum. Manis sekali. “Maksudku, tidak menolak.”

Kerutan di kening Jaka Wulung memudar dengan segera. Dicubitnya hidung gadis itu dengan gemas. Cubitan sayang.

“Auuww!”

Orang-orang menoleh ke arah Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana. Akan tetapi, keduanya tidak peduli.
JAKA WULUNG dan Dyah Wulankencana berjalan pulang ke utara. Mereka menyusuri jalan kampung selebar kira-kira lima langkah kaki, terbuat dari tanah dan batu-batu. Sebuah gerobak lewat ditarik seekor kerbau. Gerobak itu membawa hasil tani berupa padi dan palawija. Orang- orang juga banyak yang lewat jalan itu. Memang jalan yang cukup ramai.

Di sebuah jalan cabang, mereka mengambil jalan lurus. Jalan itu lebih sepi. Hanya satu-dua orang yang lewat. Itu pun para pahuma (petani huma) atau orang yang baru mencari kayu di hutan.

Mereka memang harus melalui pinggir hutan dan melintas satu bukit sebagai jalan yang lebih dekat.

Akan tetapi, itu bukan masalah bagi mereka, anak-anak muda yang sudah terbiasa mengembara melalui hutan, gunung, ngarai, dan tempat-tempat lain yang jarang sekali disambangi manusia.

Dyah Wulankencana merasa nyaman berjalan berdua dengan Jaka Wulung. Di pihak lain, Jaka Wulung senang menemani gadis itu.

Dunia di sekitarnya serbahijau. Indah tak terkira. Dunia milik berdua. Orang lain cuma penonton. Akan tetapi, mendadak keindahan itu buyar. “Hiyaaaaaaaa!”
Sesosok tubuh manusia melayang dari kanan Jaka Wulung. Jaka Wulung terkesiap karena ia sama sekali tidak menyangka. Ia terlampau asyik bercakap-cakap dengan Dyah Wulankencana sehingga kewaspadaannya menurun.

Jaka Wulung hanya memasang tangannya di luar sadarnya, untuk melindungi diri dan, terutama, khawatir kalau-kalau serangan itu ditujukan kepada Dyah Wulankencana.

Terjadi benturan keras dan Jaka Wulung merasakan seakan-akan tangannya dihantam dengan kayu besi! Jaka Wulung terdorong mundur tiga langkah, tetapi dengan cepat mempersiapkan diri menjaga kemungkinan dari serangan berikutnya.

Orang itu rupanya menyerangnya dengan sapuan kaki kanan dan ia juga terdorong mundur tiga langkah. Wajahnya merah padam.

“Lingga!” teriak Dyah Wulankencana.

“Bocah setan!” pekik orang yang menyerang itu, yang ternyata Lingga Prawata, saudara seperguruan Dyah Wulankencana. “Rupanya kau masih hidup ...!” Lingga Prawata mencabut kerisnya dan langsung menyerang Jaka Wulung membabi buta.

“Lingga! Jangan!” pekik Dyah Wulankencana lagi.

Akan tetapi, Lingga Prawata tidak mendengar teriakan gadis itu. Telinganya sudah tidak mendengar suara lain. Ia hanya bisa mendengar suara hatinya sendiri, suara hati yang dilambari dengan kemarahan dan ... cemburu buta!

Jaka Wulung menghindari serangan Lingga Prawata. Sebenarnya ia bisa saja melakukan serangan balik. Orang yang marah besar dan cemburu buta akan mudah kehilangan penguasaan diri. Ia akan terus menyerang dan mengabaikan pertahanannya. Dan, itulah yang terjadi pada Lingga Prawata.

Jaka Wulung sesungguhnya marah juga mendapat serangan tiba-tiba. Dan, si penyerang adalah Lingga Prawata, orang yang telah menyebabkannya celaka tempo hari sehingga jatuh ke jurang dalam. Ingin juga rasanya memberikan perlawanan yang sepadan bagi anak sombong itu.

Akan tetapi, Jaka Wulung masih mempertimbangkan Dyah Wulankencana. Akan apa jadinya kalau ia mencelakakan saudara seperguruan gadis itu? Seperti sering terjadi, hubungan dengan saudara seperguruan acap kali lebih kuat dibanding dengan saudara sekandung.

Apalagi antara ia dan Dyah Wulankencana sama sekali tidak ada hubungan apa-apa—kecuali bahwa ia merasa bahagia berdekatan dengannya.

Oleh karena itu, Jaka Wulung hanya bisa menghindari apa pun jenis serangan Lingga Prawata. Kadang ia meloncat mundur, kadang menekuk tubuh, atau juga berguling di tanah.

Lingga Prawata heran sekaligus semakin marah. Selama berbulan-bulan ini ia terus meningkatkan ilmunya di pondok sunyi di lereng Gunung Baribis. Ki Jayeng Segara sudah menurunkan semua ilmunya. Kemajuan yang dialami Lingga Prawata pun sudah cukup jauh melampaui Watu Ageng dan Dyah Wulankencana. Ia memang memiliki bakat alam yang kuat dibanding dua adik perguruannya.

Dalam dua bulan pengembaraannya, Lingga Prawata juga terus meningkatkan ilmunya, baik melalui latihan sendiri sepanjang perjalanan maupun dengan pertempuran melawan orang lain. Ia dua kali harus bertempur dengan para pembuat onar di sebuah kampung. Di sana ia mampu mengalahkan dua pembuat onar yang sebelumnya ditakuti seluruh kampung.

Ketika masa pengembaraannya hampir selesai, ia memang sengaja memutar ke selatan sambil bertanya-tanya kepada orang-orang, barangkali pernah melihat gadis muda dengan ciri-ciri yang dimiliki Dyah Wulankencana. Rasa penasarannya terjawab. Ia senang karena akhirnya bisa mencium jejak gadis itu.

Akan tetapi, hatinya dibakar rasa cemburu ketika dilihatnya Dyah Wulankencana justru berjalan sambil bercakap akrab berdua dengan Jaka Wulung.

Dan, kini Lingga Prawata semakin mendidih darahnya ketika setelah puluhan jurus tak mampu juga senjatanya menyentuh, jangankan kulit Jaka Wulung, bahkan bajunya pun tidak.

“Bocah setan, ayo lawan!” pekik Lingga Prawata. “Jangan menghindar terus seperti banci!”

Bagi Lingga Prawata, kemampuan Jaka Wulung untuk menghindari setelah sekian jurus sungguh membuatnya heran. Keheranan pertama, bagaimana cara Jaka Wulung selamat dari kecelakaan jatuh ke jurang?

Yang kedua, ya inilah, bagaimana mungkin Jaka Wulung mampu menghindari serangan-serangan maut Lingga Prawata?

Di pihak lain, meskipun hatinya mulai panas juga, Jaka Wulung enggan terpancing oleh kata-kata pedas Lingga Prawata. Sambil terus menghindar itulah Jaka Wulung akhirnya bertanya-tanya mengapa orang-orang selalu mengatainya sebagai “bocah setan”. Apakah aku benar-benar keturunan setan? tanya hati Jaka Wulung. Tapi, ia menjawab sendiri pertanyaannya, Tidak mungkin. Sebab, hanya orang-orang jahatlah yang menyebutnya “bocah setan”. Kalau begitu, apakah Lingga Prawata termasuk orang jahat? Ia jahat karena merusak kebahagiaannya bersama Dyah Wulankencana.

“Lingga! Hentikan!” seru Dyah Wulankencana berkali-kali.

Akan tetapi, berkali-kali pula Lingga Prawata mengabaikan teriakan gadis itu. Lingga Prawata bahkan memutuskan untuk menggunakan ilmu yang paling diandalkannya: gagak rimang.

“Bocah setan, bersiaplah!”

Jaka Wulung mengenali gerak jurus maut itu. Dan, ia tidak mau lagi menjadi sasaran ilmu yang dilandasi kemarahan memuncak. Oleh karena itu, ia pun bersiaga dengan ilmu andalannya pula: gulung maung. Jaka Wulung dengan cepat menyalurkan tenaga dalamnya ke kedua tangannya, lalu ke jari-jemarinya yang mengembang seperti cakar harimau.

Grrrhh ...!

Belum pernah Jaka Wulung menggunakan ilmu ini untuk ditujukan kepada manusia mana pun. Ia bahkan belum lagi mencobanya setelah kali terakhir di Bukit Sagara ia hanya mampu mematahkan dahan pohon. Jadi, ia kini seperti sedang berjudi ....

Sebelum Lingga Prawata melancarkan serangannya, Jaka Wulung sudah mendahuluinya. Sebuah gelombang tak kasat mata meluncur cepat mengarah sebatang pohon!

DUARRR!

Terdengar ledakan keras. Pohon yang batangnya sebesar tubuh manusia

dewasa itu dihantam sebuah kekuatan yang luar biasa.

Bergoyang-goyang beberapa jenak, kemudian batangnya ambruk berdebum ke tanah di antara Jaka Wulung dan Lingga Prawata, menerbangkan debu dan dedaunan kering ke udara.

Beberapa saat kemudian hening.

Tak ada yang berbicara. Bahkan, tak ada yang bergerak.

Ketiganya terpaku di tempat masing-masing dengan pikiran sendiri- sendiri.

Jaka Wulung menarik napas meredakan perasaannya yang campur aduk. Dipandangnya wajah Dyah Wulankencana untuk kali terakhir sebelum ia meloncat dan melesat pergi ke arah utara.

“Wuluuuung ...!”

Pekikan Dyah Wulankencana dengan cepat menjadi samar di telinganya.

Jaka Wulung berlari seakan dikejar setan. Hatinya remuk redam. Kebahagiaannya bertemu dengan Dyah Wulankencana hanya berlangsung sekejap. Ia harus merelakan gadis itu. Dyah Wulankencana bukanlah miliknya. Meskipun tidak pernah terucap, Jaka Wulung tahu bahwa Lingga Prawata cemburu buta. Cemburu itu tanda cinta. Itu berarti telah ada hubungan antara Lingga Prawata dan Dyah Wulankencana.

Lagi pula, ia tidak yakin apakah Dyah Wulankencana menyukainya juga. Jadi, Jaka Wulung merasa bahwa ia harus melupakan gadis itu.
Tak terasa pipinya basah oleh air mata. Hatinya patah sebelum tumbuh berkembang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar