Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 10 : Dari Tangan Turun ke Hati

Dari Tangan Turun ke Hati

HIDUP memang selalu tidak bisa diduga. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu juga dengan Jaka Wulung, pendekar bocah yang mulai mengaku dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik. Tujuan perjalanannya sudah jelas, yaitu kembali segera ke pondok Resi Darmakusumah, gurunya, di lereng Bukit Sagara.

Keinginannya pulang dipicu oleh firasatnya yang kuat, ditambah secara kebetulan menguping pembicaraan sepasang pendekar yang dicurigai hendak menuju Bukit Sagara. Tapi, perjalanan Jaka Wulung terpaksa tertunda keesokan paginya ketika di suatu jalan yang sunyi, di pinggir hutan, ia mendadak mendengar suara dentang senjata beradu disertai pekikan-pekikan. Suara perkelahian.

Jaka Wulung memperlambat larinya, kemudian berhenti. Ia pun mengintai di balik sebatang pohon.

Di sebuah padang rumput yang lapang, terjadi perkelahian seru yang melibatkan tiga orang. Sungguh perkelahian yang tidak seimbang: dua orang lelaki bertubuh besar mengeroyok seorang gadis yang masih sangat muda. Dua lelaki itu berwajah sama-sama menyeramkan. Yang seorang memiliki kumis dan cambang yang nyaris mengisi seluruh wajahnya. Badannya gempal dan hitam. Sekilas orang itu mirip sekali dengan gorila. Di tangannya tergenggam senjata semacam gada, tetapi bentuknya aneh, lebih mirip dengan pemukul beduk.

Yang seorang lagi bermata besar yang seakan-akan terus-menerus melotot. Giginya juga besar-besar. Ia akan mengingatkan orang kepada tokoh raksasa dalam wayang golek. Ia memainkan senjatanya berupa golok yang bilahnya sangat lebar, persis golok jagal sapi.

Sementara itu, seorang lelaki yang tidak kalah menyeramkan tampak berdiri sambil bertolak pinggang hanya beberapa langkah dari kalang perkelahian. Wajahnya penuh bopeng. Sesekali ia tersenyum-senyum.

Tapi, berkali-kali ia tampak mengernyit. Kadang-kadang kepalanya miring mengikuti gerak mereka yang sedang berkelahi.

Dengan gerak yang kasar dan mengandalkan tenaga mereka yang kuat, kedua lelaki menyeramkan itu mengeroyok seorang gadis remaja berusia kira-kira lima belas tahun.

Jaka Wulung mengernyit. Wilayah bekas negerinya benar-benar sudah tidak aman. Di mana-mana tampaknya ada saja kejahatan.

Meskipun demikian, si gadis mampu melayani perlawanan kasar kedua orang itu dengan sebatang pedang ramping dan dengan gerak dan langkah kakinya yang cepat dan ringan. Rambutnya yang panjang dan diikat dengan pita ungu berkibar-kibar ketika ia bergerak menghindar, menunduk, dan bahkan kadang mencoba menyerang salah satu lawannya. Lengan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan kulit tangannya yang berwarna seperti langsat. Matanya tajam cemerlang ... oh!

Jaka Wulung terkejut ketika mengenali siapa gadis itu. Wulan.
Dyah Wulankencana!

Oh, ada persoalan apa Wulan tersasar sampai jauh dari Gunung Baribis dan menghadapi dua begal yang kasar? Ah, ya, kedua orang pengeroyok itu, ditambah satu orang yang berdiri, tentulah para begal. Pekerjaan mereka memang membegal alias merampok mangsanya di jalan yang sepi. Apalagi mangsanya kali ini adalah gadis muda yang cantik. Seperti mendapat durian runtuh saja.

Di mana gurunya, Ki Jayeng Segara, dan dua saudara perguruannya, Lingga Prawata dan Watu Ageng? Wulan tampaknya akan menghadapi masalah besar.

Akan tetapi, di luar dugaan si wajah gorila dan si raksasa wayang golek, gadis yang memang Dyah Wulankencana itu bukanlah remaja manja yang akan merengek minta ampun ketika bertemu dengan para begal atau penyamun mana pun. Wulan adalah murid Ki Jayeng Segara, seorang yang pernah menjadi senapatiyuda Kadipaten Pajang di bawah pimpinan Arya Penangsang yang sudah hampir sempurna menguasai ilmu gagak rimang.

Baik gada pemukul beduk di tangan si gorila maupun golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek belum sekali pun mengenai sasaran. Jangankan tubuh, ujung rambut yang berkibar-kibar pun selalu luput dari serangan keduanya.

Laki-laki berwajah bopeng yang sejak tadi menyaksikan perkelahian itu tampaknya mulai tidak sabar. Ia pun memekik dengan kasar, “Dasar manusia-manusia tak berguna! Jangankan menangkap hidup-hidup dengan tangan kosong, menyentuh dengan senjata pun kalian tidak becus!”

Kedua laki-laki yang mengeroyok Wulan, si gorila dan si raksasa wayang golek, menggeram marah. Kata-kata si bopeng, yang pastilah pemimpin para begal itu, membuat darah mereka mendidih. Oleh karena itu, mereka meningkatkan serangan masing-masing untuk melumpuhkan si gadis. Gada pemukul beduk di tangan si gorila terus berputar-putar seperti baling-baling untuk kemudian mengincar sasarannya. Golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek pun makin membabi buta memburu sasarannya.

Akan tetapi, Wulan tetap mampu melayani permainan senjata maut kedua lawannya. Bahkan, berkali-kali ujung pedang Wulan mengancam titik-titik lemah kedua lawannya sehingga kedua lawannya itu pun memaki-maki penuh benci.

Jaka Wulung terpesona memandang sepak terjang Wulan.

Si bocah bergumam pelan, “Hanya dalam waktu beberapa bulan, dia makin hebat dan ... makin cantik ”

Jaka Wulung tiba-tiba merasakan wajahnya menghangat. Memerah seperti warna kesumba. Ia menolah ke kanan dan kiri, berharap tidak ada satu pun orang di dekatnya, hingga mendengar gumamannya. Tentu saja tidak ada seorang pun di sana. Kalaupun ada, Jaka Wulung pasti akan mengetahuinya. Tapi, begitulah, jatuh cinta memang bikin orang lupa diri
—dan lupa lingkungannya.

Ai, apakah aku jatuh cinta? bisik hati Jaka Wulung. Lagi-lagi wajahnya memerah. Karena pada dasarnya kulitnya gelap, maka wajah Jaka Wulung menjadi bersemu merah tua. Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepala. Aku belum tahu apa itu cinta.

“MUNDUR!”

Khayalan Jaka Wulung pecah berkeping-keping.

Dua lawan Dyah Wulankencana sama-sama meloncat mundur sambil sama-sama terus menumpahkan sumpah serapah.

Si muka bopeng kemudian berdiri sambil tetap bertolak pinggang menghadapi si gadis Jipang Panolan.

Inilah masalah besar Wulan, pikir Jaka Wulung.

“Hmm ... hebat juga kau, Bocah Cantik!” puji si bopeng. Suaranya serak, seakan-akan keluar dari kerongkongan dengan pita suara yang sobek.

Dyah Wulankencana memandang tajam si bopeng. Ia yakin si bopeng memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dibanding kedua anak buahnya. Oleh karena itu, ia tetap memasang pedang tipisnya di depan dada, dengan kuda-kuda yang tetap bersiaga. Gadis itu benar-benar mirip burung sriti yang siap mematuk.

“Nah, sebelum aku benar-benar turun tangan, aku peringatkan. Lebih baik kau letakkan saja pedangmu di tanah. Serahkan apa pun perhiasan dan harta benda yang kau bawa. Dengan demikian, kujamin kau akan pulang dengan aman.”

Dyah Wulankencana masih memandang tajam si pemimpin begal dengan kuda-kuda yang bergeming.

“Ayo, Bocah Manis. Kuhitung ya, sampai tiga. Satu ...!” Dyah Wulankencana tidak menggeser kakinya sejari pun. “Dua ...!”
Tatapan gadis itu bahkan semakin tajam. “Tiga ...!”
Tidak ada yang berubah. Hening.

Seekor burung melintas. Bayangannya melewati tanah di antara si bopeng dan Dyah Wulankencana.

Pemimpin begal itu menggeleng. “Kau sudah kuperingatkan, Bocah Ayu
....”

Sreeet!

Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Kedua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya matahari, menunjukkan betapa tajamnya!

“HIAAAA!”

Dengan raungan serak si muka bopeng langsung meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulankencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan bunyi seperti siulan.

Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng. Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng sudah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, dengan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah. Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusukkannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.

“Eit, bocah ayu edan!”

Si bopeng terkesiap dan nyaris ujung pedang Dyah Wulankencana mengenai dadanya. Beruntung ia masih bisa meloncat mundur dua langkah. Tapi, tak urung si bopeng menggeretakkan giginya tanda mulai jengkel. Oleh karena itu, ia tidak mau lagi meremehkan si gadis seakan- akan hendak menepuk nyamuk. Yang ia lawan adalah burung sriti yang ternyata mampu bergerak sangat cepat.

Akan tetapi, si bopeng yakin bahwa ia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, ia terus melancarkan serangan dengan kapaknya dengan maksud membenturkannya dengan pedang si gadis. Sebagaimana

umumnya para begal, yang memang adalah manusia kasar, jurus-jurusnya juga kasar. Sudah begitu, kata-kata yang keluar dari bibirnya yang kasar pun kasar-kasar.

Awalnya, Dyah Wulankencana mampu melayani serangan macam apa pun yang dilancarkan si bopeng. Tapi, lama-kelamaan tampak bahwa kelincahan juga membutuhkan tenaga yang kuat. Oleh karena itu, semakin lama si gadis kerepotan dan hanya bisa mengelak dan menghindar, tanpa mampu memberikan serangan balik.

Si bopeng menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang berbintik- bintik hitam. Oh, ternyata giginya pun bopeng.
“Sudahlah, Bocah Ayu, menyerah sajalah,” si bopeng menyapukan kakinya yang hitam kelam seperti kaki meja.

“Lebih baik mati daripada menyerah,” Dyah Wulankencana meloncat

mundur menghindari sapuan kaki si bopeng.

Si bopeng sengaja tidak meneruskan serangannya. Tapi, tangan kirinya mengibas seraya berseru, “Ayo, Kawan-Kawan, kita cepat ringkus saja bocah sombong ini!”

Si gorila dan si raksasa wayang golek, yang dari tadi menonton, kembali bangkit semangatnya, lalu berbarengan meloncat ke tengah gelanggang perkelahian. Si gorila meloncat ke sebelah kanan, si raksasa wayang golek ke sebelah kiri Dyah Wulankencana.

Si bopeng berseru lagi, “Tangkap dia hidup-hidup, jangan sampai tergores sedikit pun!”

“Siap, Kang!” sahut kedua anak buah si bopeng berbarengan.

Dyah Wulankencana mengeluh dalam hati. Ia bisa membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya kalau sampai bisa diringkus hidup-hidup. Pastilah lebih mengerikan daripada kematian. Tampaknya kematian akan lebih terhormat daripada ... ah, Dyah Wulankencana tak sanggup membayangkan lebih jauh.

Jadi, gadis pemberani itu pun berteriak, “Ayo, keroyok saja! Aku tidak takut!” seraya mulai memutarkan pedangnya seperti kincir angin.

Akan tetapi, agaknya dewa kematian belum mau mengulurkan tangannya untuk mencabut nyawa si gadis. Ketika itulah tampak sesosok bayangan melesat dan mendarat tepat di sebelah Dyah Wulankencana. Baik si gadis maupun ketiga begal itu sama-sama terkejut. Mereka hanya bisa melihat satu bayangan melesat cepat dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di sebelah si gadis.

“Tak tahu malu, tiga orang tua mengeroyok gadis kecil,” kata sosok yang baru datang itu.

Ketiga begal itu terpaku beberapa saat saking terkejut.

Dyah Wulankencana pun hanya bisa memandang orang yang baru datang itu. Lebih terkejut lagi ketika ia tahu siapa orang yang datang.

“Kau ...?”

Jaka Wulung menoleh memandang wajah Dyah Wulankencana. Dasar gadis cantik, ketika kaget pun wajahnya tetap cantik.

“Wulung ...?”

“Ya,” sahut Jaka Wulung. Ia tersenyum, “Ini aku, bukan hantu.” “Kau ...?”
“Ceritanya panjang, Wulan.” “Aku siap mendengarkan.” “Waktu itu
“DIAAAM!”

Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana terkejut. Keduanya kembali ke dunia nyata: di sekeliling mereka masih berdiri tiga begal berwajah seram. Si bopeng, si gorila, dan si raksasa wayang golek. Mereka memandang Jaka Wulung dengan wajah memerah. Ah, bukan, menghitam lebih tepat. Tentu saja mereka merasa diremehkan karena dianggap tidak ada.

“Oh, ... rupanya kita ada di tengah arena perkelahian,” kata Jaka Wulung. “Kalau begitu, kita cepat bereskan saja.”

Dyah Wulankencana terkejut mendengar kata-kata Jaka Wulung. Kata- katanya terkesan main-main. Apakah bocah ini sudah gila karena pernah jatuh ke jurang? Ia nyaris menjadi korban keganasan mereka dan Jaka Wulung mengucapkan kata-kata seakan-akan para begal itu anak-anak ingusan.

Ketiga begal itu lebih terkejut lagi. Mereka adalah begal yang sangat ditakuti di daerah itu dan kini seorang bocah yang baru mereka lihat, memandang mereka dengan sebelah mata. Tidak. Bahkan, si bocah mengatakannya tanpa melihat mereka.

“Bocah gila!” raung si bopeng. “Ayo, Kawan-Kawan! Kalian lawan si bocah ayu. Aku akan hadapi bocah gila ini. Dia harus dihukum akibat kelancangannya!”

Si gorila dan si raksasa wayang golek bersiap dengan senjata masing-

masing. Keduanya sebenarnya agak jeri menghadapi Dyah Wulankencana yang di luar dugaan memiliki tingkat ilmu tinggi. Keduanya, yang sudah belasan tahun malang melintang sebagai penyamun yang ditakuti, kerepotan menghadapi seorang gadis yang masih sangat belia.

Mereka sebenarnya ingin menghadapi bocah edan yang baru datang itu. Mereka juga berhasrat besar membungkam mulutnya yang sangat kurang ajar!

Si bopeng, pemimpin para begal itu, memandang Jaka Wulung dari kepala sampai ke kaki. Tingginya paling-paling sebatas telinganya. Badannya juga terkesan kurus dan tidak bertenaga. Tapi, tadi ia sudah melihat bagaimana si bocah melesat cepat dan tahu-tahu sudah berdiri di sana. Ditambah dengan kata-kata yang penuh ejekan, si bocah tentulah setidaknya mempunyai nyali yang besar.

“Bocah, kau benar-benar mencari mati datang ke sini,” ujar si bopeng dengan suaranya yang serak dan pecah. “Tapi, sebagai penghormatan, sebutkan namamu, supaya nanti kalau ada yang menguburmu, orang-orang bisa menuliskan namamu!” Lalu, sambil membusungkan dada, si bopeng meneruskan, “Namaku Kalamarica, kalau kau mau tahu.”

Wajah Jaka Wulung tidak memperlihatkan perubahan apa pun mendengar si bopeng menyebutkan namanya, seakan-akan nama itu tidak berarti apa- apa. “Sebetulnya aku tidak mau tahu. Tapi baiklah, Kalamarica, namaku Jaka Wulung.” Lalu, dengan sengaja ia menekankan lagi, “Titisan Bujangga Manik.”

Sejenak keempat orang di sana tertegun. Sebagai orang-orang yang lama malang melintang di dunia silat yang penuh kekerasan, para begal itu pun setidaknya pernah mendengar nama-nama para pendekar yang punya nama besar, baik yang sudah lama hilang dari peredaran maupun yang masih berkeliaran. Bujangga Manik adalah salah satu nama besar yang pernah diceritakan oleh guru mereka.

Dan kini, seorang bocah mengaku sebagai titisan Bujangga Manik!

Sementara itu, Dyah Wulankencana pernah sesekali mendengar gurunya, Ki Jayeng Segara, menyebut nama Bujangga Manik. Kedatangan mereka jauh dari Jipang Panolan ke seputar Gunung Baribis, selain dalam rangka melarikan diri dari kejaran prajurit Pajang, tampaknya berkaitan dengan

nama ini meskipun ia tidak tahu secara persisnya.

Akan tetapi, benarkah Jaka Wulung adalah titisan pendekar besar Bujangga Manik? Dyah Wulankencana makin yakin bahwa Jaka Wulung sudah menjadi gila gara-gara jatuh ke dalam jurang.

Tiba-tiba si bopeng tertawa tergelak-gelak.

“Bocah, jangan mengigau di siang bolong! Geli aku mendengarnya!”

Si bopeng, yang mengaku bernama Kalamarica, tertawa lagi. Lebih keras dan lama. Kini si gorila dan si raksasa wayang golek ikut-ikutan tertawa. Sudah bisa diduga, para begal, seperti kelompok penjahat lainnya, memiliki cara tertawa yang sama. Sama-sama menyebalkan!

“Tertawalah kalian,” ucap Jaka Wulung dengan suara pelan, “sebelum kalian ditertawakan orang.”

Suara Jaka Wulung, sekali lagi, pelan saja. Kesannya, mau didengar atau tidak, ia tidak peduli. Tapi, ternyata pengaruhnya luar biasa. Ketiga begal itu langsung berhenti tertawa pada saat yang sama. Persis seperti suara tiga jangkrik yang langsung diam karena sama-sama tergilas kaki seekor gajah!

“Kau memang mencari mati!” pekik Kalamarica. Lalu, dengan sekali loncat ia langsung menerkam Jaka Wulung seraya menyabetkan kapaknya, “Yeaaaahh!”

Siuuut!

Jaka Wulung menunggu hingga mata kapak itu mendekat. Ia kemudian memiringkan tubuhnya beberapa jengkal. Kapak itu pun melintas hanya beberapa jari dari wajahnya.

Kalamarica sebenarnya bisa menduga gerakan menghindar Jaka Wulung. Oleh karena itu, ia berniat mengubah gerakan kapaknya. Secara naluri ia memang harus melakukannya. Tapi, apa yang tidak disangkanya adalah tangan Jaka Wulung bergerak sangat cepat, nyaris tidak terlihat oleh mata Kalamarica. Dan, si bopeng ini tidak bisa menghindar ketika jemarinya yang menggenggam kapak serasa dihantam sebatang baja.

Pletak!

Kalamarica memekik kesakitan.

Kapaknya melayang di udara, tetapi kemudian tidak terdengar bunyi jatuhnya.

Sebab, tahu-tahu kapak itu sudah ada di genggaman Jaka Wulung.

Tidak hanya dua anak buah Kalamarica yang terpana. Bahkan, Dyah Wulankencana terkesima oleh sepak terjang Jaka Wulung yang jauh di luar perkiraannya. Hanya dalam satu pukulan, Jaka Wulung membuat Kalamarica memekik kesakitan dan hanya bisa terbungkuk-bungkuk memegang jemarinya yang serasa remuk. Alhasil, baik dua begal anak buah Kalamarica maupun Dyah Wulankencana seolah-olah lupa bahwa mereka mestinya bertempur lagi. Ketiganya tetap berdiri di tempat masing- masing.

Jaka Wulung masih menunggu dengan kapak di tangan kanan.

Lalu, katanya, “Bagaimana, Paman Kalamarkisa, eh, Kalamarica? Masih mau bertempur lagi?”

Kalamarica menggeram penuh geram. Selama perjalanan kariernya sebagai seorang begal yang sudah berlangsung belasan tahun, dan bahkan sekarang menjadi pemimpin yang ditakuti di wilayah ini, belum pernah ia mengalami kekalahan sekali pun. Tapi, kali ini, dalam sekali gebrak, ia harus merasakan betapa jemarinya remuk dan tak bisa digerakkan sama sekali. Dan, yang melakukannya adalah seorang bocah ingusan. Ia benar- benar terhina luar biasa!

Mulutnya yang bergigi bopeng terus meracau, “Bocah iblis! Bocah setan! Bocah siluman!” sampai-sampai ia kesulitan menemukan kata yang lain, “Bocah ... iblis!”

Akan tetapi, untuk melawan lagi, Kalamarica benar-benar kehilangan nyali. Apalagi senjata andalannya, kapak bermata dua, sudah berpindah ke tangan lawannya.

Bagaimana dengan dua anak buahnya? Alih-alih berniat melawan Jaka Wulung, keduanya merasakan betapa tiba-tiba nyali masing-masing ciut menjadi sebesar mulut cecurut.

“Bagaimana, Kang?” tanya salah satu anak buahnya, yang wajahnya dipenuhi bulu. Kali ini, ia tidak lagi mirip gorila, tetapi lebih mirip seekor lutung. Jadi, akan lebih tepat kalau julukannya pun menjadi si lutung.

“Bagaimana, bagaimana ... ayo, lawan!”

Si lutung terbengong-bengong mendengar perintah pimpinannya. Tapi, bukannya melancarkan serangan, ia memilih ... “Kabuuur!” teriaknya, lari lintang pukang, seperti lutung dikejar maung. Teriakan si lutung seakan- akan menjadi komando bagi si raksasa wayang golek untuk memilih langkah seribu.

Tinggallah Kalamarica yang kini terduduk di tanah. Kariernya sebagai begal benar-benar hancur dalam sekejap. Ia kehilangan kekuatan jarinya yang remuk, kehilangan anak buahnya, dan terbayang di matanya, ia kehilangan mata pencahariannya sebagai begal. Mau diberi makan apa anak-istrinya di rumah?

“Sudahlah, Paman,” kata Jaka Wulung, “jangan menangis seperti anak- anak ”

“SIAPA YANG MENANGIS, HA?”

“Ya, sudah,” kata Jaka Wulung pula, “tidak perlu teriak-teriak begitu. Sakit kupingku.” Jaka Wulung mendekati Kalamarica, “Sekarang pulanglah. Carilah pekerjaan yang baik. Kalau kudengar namamu masih berkeliaran membegal orang-orang, aku tak segan-segan meremukkan tidak hanya jari-jarimu, tetapi kepalamu!”

Kalamarica menggeram lagi, “Bocah ib ”

“KAU YANG IBLIS, TAHU!” Jaka Wulung mengacungkan kapak andalan Kalamarica di tangannya. “Orang seperti kau seharusnya tidak diberi ampun. Tak tahu diri!”

Akan tetapi, gerakan tangannya terhenti di udara. Jari-jari yang halus menghentikan gerakan Jaka Wulung, yang sesungguhnya hanyalah gertak belaka. Jari-jari Dyah Wulankencana.

“Sudahlah, Wulung,” kata si gadis. “Dia pasti akan menuruti kata- katamu.”

Jaka Wulung tidak menyahut. Bukan semata-mata karena ia percaya akan kata-kata Dyah Wulankencana. Lebih dari itu, ia menikmati saat-saat demikian. Dari jemari Dyah Wulankencana mengalir hawa hangat, merayap turun melalui pembuluh darah di tangannya, kemudian sampai di dadanya. Lalu ke hatinya. Mau rasanya Jaka Wulung menjadi patung sehingga adegan itu akan terus berlangsung, abadi. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar