Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 09 : Firasat yang Makin Kuat

Firasat yang Makin Kuat

HUJAN SUDAH REDA, awan-awan menyingkir membuka wajah langit yang biru, menyilakan matahari sore mengintip. Tapi, Sungai Ci Tanduy masih meluap, membawa air kecokelatan dari hulunya di utara.

Setelah berteduh di sebuah dangau, Jaka Wulung memutuskan tidak akan nekat menembus sungai yang sedang meluap.

Ia memilih mencari dulu sebuah kedai untuk sekadar menyantap makanan kecil atau menyeruput bandrek. Bahkan kalau mungkin, ia juga hendak menginap sekalian. Sore itu ia merasa cukup kelelahan juga. Sepulang dari Nusa Larang di Situ Lengkong, ia sengaja mengunjungi dua tempat bersejarah sebagaimana yang disarankan gurunya.

Mula-mula, ia mampir ke Kawali, tidak terlalu jauh dari Nusa Larang. Di sana ia menyaksikan sendiri sebuah situs yang pernah menjadi pusat Kerajaan Sunda. Sayang sekali tidak banyak yang tersisa dari peninggalan Prabu Niskala Wastukancana. Reruntuhan bekas Istana Kawali sudah nyaris menjadi tumpukan batang kayu yang lapuk dimakan zaman.

Hanya barisan bebatuan yang masih menandakan bahwa di sana, pada suatu kurun ratusan tahun, pernah bertakhta para raja besar Sunda, termasuk Prabu Linggabuana, tokoh besar yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Gajah Mada di Bubat, ketika mengantar sang putri Dyah Pitaloka untuk melangsungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk— sebuah perkawinan yang gagal.

Entah mengapa, dadanya sesak ketika membayangkan sang putri melesakkan ke ulu hatinya sendiri sebilah patrem pusaka.

Dari Kawali, ia menuju arah matahari tenggelam, menyambangi bekas pusat Kerajaan Galunggung, yang terletak di gunung dengan nama yang sama.

Kerajaan Galunggung adalah salah satu kerajaan yang pernah disegani. Di sana pernah bertakhta Prabu Darmasiksa, salah seorang leluhur raja-raja Sunda. Prabu Darmasiksalah yang menulis kitab terkenal Patikrama Galunggung.

Jaka Wulung sesungguhnya sudah mulai meneruskan perjalanan menyusuri pantai selatan. Meskipun mungkin perlu waktu lama, ia ingin menuju Pelabuhan Ratu, dan kemudian kelak menuju bekas Kerajaan Salakanagara di ujung barat Jawa Dwipa.

Akan tetapi, entah mengapa, mendadak ia selalu teringat kepada Resi Darmakusumah di Bukit Sagara. Semacam firasat. Mungkin ada apa-apa dengan gurunya. Oleh karena itu, Jaka Wulung memilih berbalik kanan dan kembali ke arah matahari terbit.

KEDAI itu berada di tanah yang agak tinggi, menghadap jalur jalan tempat orang-orang hendak pergi menyeberangi sungai dan sebaliknya datang dari seberang. Ada beberapa sampan di tepi sungai. Tapi, tidak ada satu pun yang dijalankan untuk menyeberangkan orang-orang. Luapan air terlalu berbahaya bagi sampan kecil itu. Dan, orang-orang tampaknya sudah tak ada lagi yang hendak menyeberang.

Jaka Wulung terhenti di luar pintu kedai ketika didengarnya suara percakapan dua orang.

Terdengar suara seorang laki-laki, pelan, bahkan lebih tepat disebut berbisik, tetapi telinga Jaka Wulung dapat menangkapnya dengan jelas, “Mungkin kita lebih baik menginap saja di sini, sambil menunggu air surut.”

Lalu, jawaban seorang perempuan, juga dengan suara perlahan, “Lebih baik kita menyeberang sekarang. Kita sudah terlambat. Bukit Sagara kupikir tidak akan terlalu jauh. Jangan sampai kita kedahuluan orang lain.”

Jaka Wulung berdebar-debar. Kedua orang itu hendak menuju Bukit Sagara. Ada tujuan apakah mereka hendak ke Bukit Sagara? Bukit Sagara adalah tempat yang sangat sunyi, jauh dari pedukuhan, dan ia pikir bukanlah tempat yang terkenal seperti Gunung Cerme atau Gunung Slamet. Atau apakah ada tempat lain di sana yang bernama sama dan letaknya lebih dekat? Siapa gerangan mereka?

Kemudian, terjadi percakapan dengan suara yang lebih keras. “Siapa kiranya tukang sampan di sini?” tanya suara perempuan.
“Mereka sudah pada pulang, Nyi,” jawab seseorang, mungkin suara si pemilik kedai.

Perempuan itu mendesak, “Tapi kami mau menyeberang.”

“Waduh, Nyi, kalau banjir begitu, tak ada tukang sampan yang berani menyeberang.”

Sepi beberapa jenak.

Kemudian, terdengar lagi suara si perempuan, “Kalau begitu, biar kami sendiri yang akan mendayungnya. Ini bayarannya, berikan ke tukang sampan. Kami akan menyimpan sampannya di seberang.”

“Tapi, Nyi ”

Dari pintu, melangkah dengan cepat dua orang itu, si perempuan lebih dulu, kemudian si lelaki, nyaris menabrak Jaka Wulung. Untung si bocah sempat meloncat mundur.

Lelaki itu sempat menoleh kepada Jaka Wulung—kumisnya tebal dan sorot matanya tajam, sekilas usianya tampak sekitar 45 tahun, di balik ikat kepalanya rambutnya sudah bergaris-garis putih. Sejenak lelaki itu mengerutkan kening, tetapi kemudian berlari mengikuti si perempuan. Langkahnya cepat di atas tanah yang basah, tidak kesulitan melompati bebatuan dan tanah yang licin.
Sementara itu, si perempuan juga kelihatan berusia sekitar 45 tahun.

Pakaiannya ketat, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang masih langsing. Rambutnya sebagian diikat di belakang kepala, sebagian lagi terurai dan melambai-lambai hingga di bawah punggung.

Keduanya sama-sama membawa pedang panjang di punggung mereka. Ciri bahwa mereka adalah tokoh persilatan.

Apakah mereka sepasang suami-istri? pikir Jaka Wulung. Ah, bukan sesuatu yang penting.

Si lelaki menarik sampan dari bawah sebatang pohon kelapa, kemudian mendorongnya menuju tepi sungai. Si perempuan meloncat ringan ke atas sampan. Begitu menyentuh air sungai, sampan itu pun segera terbawa arus deras Sungai Ci Tanduy ke arah selatan.

Beberapa orang yang sempat menyaksikan peristiwa itu sempat memekik. Nekat sekali mereka! begitu pikir orang-orang dengan mulut ternganga.

Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan dan di luar akal sehat manusia kebanyakan. Sampan itu perlahan-lahan bisa melawan terjangan arus sungai menuju hilir, kemudian melaju lurus menuju arah seberang. Padahal, kedua orang itu sama sekali tidak memakai dayung. Keduanya mendayung menggunakan tangan kosong!

Dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam mereka! Jelaslah bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi!
Jaka Wulung sangat penasaran pada kedua orang itu. Batinnya bertanya- tanya, Siapa mereka? Apakah mereka menuju Bukit Sagara, tempat Resi Darmakusumah berada? Kalau benar, untuk apa mereka ke sana? Lagi pula, tampaknya mereka sangat tergesa-gesa. ‘Jangan sampai kita kedahuluan orang lain’.

Jaka Wulung kembali berdebar-debar. Firasatnya semakin kuat bahwa tampaknya akan terjadi apa-apa pada gurunya.

Sepasang lelaki dan perempuan itu, entah siapa mereka, sudah hampir mendarat di seberang. Mata Jaka Wulung terus memperhatikan mereka. Rasa laparnya tidak lagi terasa. Begitu juga keinginannya untuk minum air hangat seperti bandrek. Perhatiannya terus terpusat kepada dua orang itu.

Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah sampai di seberang, menarik sampan yang baru saja mereka naiki, kemudian sama-sama meloncat dan berlari. Beberapa saat berikutnya, mereka hilang di balik pepohonan.

Jaka Wulung berlari ke tepi sungai dan menarik sebuah sampan lain, lalu mendorongnya ke permukaan air.

Seseorang terkejut dan berteriak, “He, Bocah! Kau mencari mampus?” Jaka Wulung mengabaikan teriakan itu. Ia meloncat ke atas sampan.
Sampan itu pun dengan cepat terseret arus air banjir Sungai Ci Tanduy ke arah hilir. Jaka Wulung memusatkan tenaga pada kedua tangan, memberikan tekanan yang besar kepada laju sampan. Terasa oleh Jaka Wulung betapa saat itu arus air sungai sangat kuat. Gelombangnya menggila seperti hendak menelan apa saja. Tidak hanya itu, Jaka Wulung juga harus melawan serbuan dahan-dahan kayu yang terbawa hanyut.

Meskipun demikian, perlahan-lahan sampan itu melaju memotong arah arus sungai. Tapi, tidak urung, sekalipun Jaka Wulung sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, arus yang kuat terus mendorong sampan ke hilir. Sampan itu pun melaju dengan arah menyerong.

Sampan itu pun akhirnya tiba di seberang, di tempat sejauh ratusan langkah di hilir dari titik kedatangan sampan yang ditumpangi kedua orang tadi.

Jaka Wulung meloncat, kemudian menarik sampan itu hingga jauh dari permukaan air.

Jaka Wulung tertegun beberapa jenak. Ia baru sadar telah memakai sampan orang lain tanpa minta izin dan sama sekali tidak memberikan bayaran. “Mohon aku dimaafkan, wahai tukang sampan. Kalau aku mendapat kesempatan untuk kembali ke tempat ini kelak, aku tidak akan lupa untuk bayar,” kata Jaka Wulung kepada dirinya sendiri.

Jaka Wulung berlari menuju jalur jalan, kemudian mendaki menuju ketinggian tebing.

Tak kelihatan ada orang satu pun di sana.

Untunglah jejak kaki kedua orang itu masih kelihatan di tanah dan bebatuan.

Jaka Wulung mengikuti jejak-jejak kaki itu.

Di belahan langit barat, matahari kembali tersaput mega. Mungkin hujan akan turun lagi.

Jaka Wulung mempercepat larinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar