Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 08 : Geger Kembalinya Bujangga Manik

Geger Kembalinya Bujangga Manik

CAHAYA MENTARI pagi menerobos dinding bambu dan menimpa wajah Jaka Wulung, memaksanya membuka mata. Sebenarnyalah Jaka Wulung belum lama terlelap. Semalaman ia tidak benar-benar bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi satu persoalan yang baru saja disulutnya sendiri: ia menyebut dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik.

Kemarin, nama Bujangga Manik melintas begitu saja di kepalanya. Resi Darmakusumah sudah menuturkan kisah perjalanan sang legenda di masa mudanya hingga Pulau Dewata. Jaka Wulung benar-benar mengagumi tokoh ini. Ia ingin suatu saat, ingin sekali, mengikuti jejak tokoh hebat ini.

Satu hal lagi, ia bangga karena bagaimanapun Bujangga Manik adalah kakek gurunya.

Mudah-mudahan pemakaian nama Titisan Bujangga Manik tidak membawa petaka bagiku, pikir Jaka Wulung.

Kemarin ia tidak berpikir betapa besarnya akibat dari penyebutan julukan ini. Ketika ia mengatakannya kepada Bratalaras, lelaki berjuluk Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana itu terbelalak.

“Tidak mungkin ...,” ucap Bratalaras.

Jaka Wulung memandang tajam Bratalaras. “Apanya yang tidak mungkin?”

“Bujangga Manik sudah lebih dari setengah abad tidak lagi terdengar.”

“Kepalamu berisi juga,” Jaka Wulung tersenyum mengejek. “Tentu saja. Dan, aku cucu muridnya!”

Dalam senja yang temaram, wajah Bratalaras memucat. Ia kemudian pergi menembus keremangan senja, entah ke mana—ah, ya, pastilah melapor kepada gurunya di Gunung Cakrabuana sana!
Gadis yang diculik itu masih terkulai. Jaka Wulung mendekatinya dan, dengan ilmu yang didapat dari sang guru, disalurkannya hawa murni yang hangat ke titik-titik tempat simpul sarafnya yang terkena totokan.

“Oh, terima kasih, Tuan Pendekar ”

“Segeralah pulang, Nyai. Kukira kampung Nyai tidak terlalu jauh dari sini.”

Gadis itu membenahi kainnya yang kusut masai. “Mungkin Tuan mau mampir dulu?”

“Terima kasih, aku masih punya tujuan lain.”

Si bocah memandang gadis itu hingga lenyap ditelan keremangan, di balik tikungan jalan setapak.

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian timbul penyesalan dalam hatinya. Kenapa ia tidak ikut ke kampung gadis itu? Perjalanan yang tengah ia lakukan masih jauh dari tujuan. Jadi, ia harus menemukan pondok di tengah hutan, atau di pinggir huma, untuk tempatnya bermalam.

Jaka Wulung tidak tahu, benar-benar tidak terpikirkan dalam kepalanya, bahwa malam itulah namanya mulai menjadi buah bibir. Si gadis, sesampainya di kampungnya, bercerita kepada orang-orang kampung itu. Sebagian orang tua di sana pun menjadi heboh.

“Bagaimana orangnya? Kakek tua pasti, ya?” “Dia remaja belasan tahun.”
“Tidak mungkin!”

Lalu, Bratalaras, sesampainya di Gunung Cakrabuana beberapa hari kemudian, menuturkan kepada sang guru, Si Jari-Jari Pencabik, yang terbelalak tak percaya.

“Benarkah ia punya murid dan kini cucu murid?”

Di kedua tempat itu, dimulailah terjadi kehebohan yang serupa.

Dari kedua tempat itu, kabar akan merayap ke berbagai tempat lain,
mungkin sepelan kura-kura, tetapi boleh jadi secepat angin. Barangkali perlu berbulan-bulan, tetapi sangat boleh jadi hanya dalam hitungan hari. Seperti biasanya, kabar dari mulut ke mulut akan selalu berubah dari kisah awalnya, bisa dikurangi, bisa ditambah, dibumbui ini dan itu sehingga bisa saja kabar yang tersebar menjadi jauh melenceng.

Meskipun demikian, yang jelas, dunia persilatan akan guncang. Bujangga Manik muncul lagi!
JAKA WULUNG memandang matahari yang mulai meninggi. Tubuhnya menjadi segar setelah mandi di sebuah pancuran, lalu melakukan olah napas secukupnya.

Di tempatnya berdiri, ia harus membelakangi matahari untuk menentukan arah mencapai tujuannya.

Dari kejauhan, puncak Gunung Sawal tampak biru lembut, disaput tipis kabut, berpulas garis-garis warna emas. Di latar depan, tidak jauh di kaki Gunung Sawal, terdapat danau alam yang indah. Orang menyebutnya Situ Lengkong. Di tengah danau itu terdapat sebuah pulau kecil yang dikenal dengan nama Nusa Larang.

Sesuai dengan pesan sang guru, ke sanalah ia menuju.

“Apa yang akan saya dapatkan di sana?” tanya Jaka Wulung menjelang keberangkatannya dari pondok Resi Darmakusumah di Bukit Sagara.

JAKA WULUNG memandang hamparan danau yang bening seperti bentangan kaca, memantulkan langit biru muda dan segerombol mega. Di tengahnya, Nusa Larang seakan mengapung di permukaannya.

Matahari hampir tegak lurus dengan bumi.

Bersama dengan empat atau lima penduduk setempat, Jaka Wulung naik sampan membelah danau, menimbulkan kecipak yang memberikan nada syahdu. Aroma air danau membuat dadanya menjadi lega.

Jaka Wulung memejamkan mata, menikmati keindahan alam yang tiada tara.

Tepat di tengah Nusa Larang, Jaka Wulung menunduk dalam-dalam di
depan sebuah pusara. Pusara itu dirindangi dedaunan rimbun dari sebatang pohon kiara berusia ratusan tahun. Dan, tentu saja pohon-pohon lain yang juga tua, dengan lingkar batang yang rata-rata lebih dari dua depa orang dewasa.

Pusara itu sendiri sangat sederhana, hanya dikelilingi deretan batu alam.

Akan tetapi, di situlah terbaring abadi seorang tokoh besar—kalau tidak dikatakan terbesar—negerinya: Niskala Wastukancana, leluhur Prabu Siliwangi, dan leluhur masyarakat Sunda.

Lembar-lembar sastra menyebutnya juga Sang Mokteng Nusa Larang
—‘yang mukti di Nusa Larang’.

TIRAI malam menyungkup senja di Nusa Larang. Ketika orang-orang sudah lama pergi, dan tempat itu dicekam sunyi, Jaka Wulung masih duduk bersila, tafakur tunduk di dekat pusara Sang Niskala. Ia tidak tahu mengapa ia merasa kakinya seperti pokok kayu kiara, berat sekali untuk segera pergi. Ia bahkan merasakan keinginan untuk terus berdiam di sana.

Saat itulah ia mengalami sebuah suasana yang penuh keanehan.

Jaka Wulung tahu bahwa dirinya sadar. Matanya sepenuhnya terbuka. Tapi, masih dalam posisi bersila, ia merasakan tubuhnya ringan. Makin lama makin ringan, seakan-akan badan wadaknya larut menjadi butir-butir udara. Ia merasa seolah-olah tidak lagi memiliki wujud nyata.

Langit gelap tanpa bulan. Tapi, Jaka Wulung mampu melihat dengan sangat jelas apa pun di sekitarnya. Hamparan rumput, perdu, dedaunan, kilau permukaan danau, serangga hutan yang berdengung di sekitarnya, bahkan ulat yang merayap di daun-daun ki hujan. Telinganya menangkap suara tetes air yang satu demi satu menimpa permukaan batu, desir angin yang mengusap bening danau, bahkan langkah pelan sejenis kadal yang menembus rerumputan. Saraf penciumannya pun bisa membedakan dengan jelas bau daun kering yang jatuh, bau uap air yang terbawa udara, dan bau celurut yang berkerosak.

Jaka Wulung melayang, memasuki alam niskala!

Ia merasa seperti sedang bermimpi, tetapi sesungguhnya ia sadar. Ah, ketika kita sadar, mimpi memang bukanlah kenyataan. Tapi, ketika ketika
kita bermimpi, kesadaran seakan-akan bukanlah kenyataan.

Perlahan-lahan, langit di sekitar Jaka Wulung berubah seperti tabir hitam. Suara-suara berhenti. Dan, kemudian samar-samar tercium bau kesturi.

Bau kesturi itu tertiup oleh angin yang membawa asap putih tipis.

Di tempat duduknya, badan Jaka Wulung gemetar. Ada rasa takut yang membuat bulu tengkuknya meremang. Tapi, juga ada rasa penasaran yang bergolak di dadanya.

Asap putih itu mengumpul menjadi satu, perlahan-lahan menciptakan bentuk seperti tubuh manusia, kemudian kaki, tangan, dan kepala.

Badan Jaka Wulung menggigil. Giginya gemeletuk. Keringat mengucur dari pori-pori kening dan punggungnya.

Bersamaan dengan terciptanya sosok manusia, asap itu mulai memendarkan cahaya keperakan. Makin lama makin terang dan nyata.

Dan, akhirnya menjelmalah sosok lelaki muda yang sangat tampan. Usianya sekitar 25 tahun. Kulitnya memendarkan cahaya kekuningan. Rambutnya sedikit mengombak, tergerai melewati pundaknya. Bajunya berwarna semu ungu dengan kilau-kilau keemasan melingkari lehernya.

Di kepalanya bertakhta mahkota emas dengan bentuk sedikit mengerucut ke atas, dengan pola dedaunan yang mengilaukan warna emas cemerlang. Matanya memandang Jaka Wulung dengan sorot yang lembut tetapi tegas. Kedua sudut bibirnya membentuk senyum yang bersahaja tetapi tulus.

Jaka Wulung tak sanggup membalas tatapannya. Wajah Jaka Wulung hanya menekur menatap jemarinya sendiri, yang saling menjalin di pangkuannya. Dadanya bergetar karena takut, tetapi juga sekarang oleh rasa bahagia tiada terkira.

Beberapa jenak lamanya tak ada suara.

Jaka Wulung menunggu dengan dada berdebar, apa yang akan terjadi. Apakah ia akan mengucapkan sesuatu?

Jaka Wulung tetap menunduk, seakan sebongkah batu menahannya di bagian tengkuk.
Di tengah keheningan itulah terdengar sesuatu diletakkan di atas tanah pusara.

Dia meletakkan sesuatu di sana.

Sesuatu yang memancarkan sinar keperakan.

Jaka Wulung makin merasakan dadanya berdebar-debar.

Dari sinar keperakan itulah memancar semacam kekuatan yang langsung menghantam sekujur tubuh Jaka Wulung. Jaka Wulung serasa disengat kilat. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya menyeringai menahan panas di seluruh permukaan kulit tubuhnya. Badannya kejang-kejang. Jaka Wulung memekik membelah udara sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya dan kesadarannya sirna.

KETIKA Jaka Wulung membuka matanya, fajar sudah membayang. Siluet pepohonan yang hitam menjadi latar depan langit yang dipulas warna kuning dan lembayung.

Jaka Wulung bangkit. Tubuhnya sedikit menggigil karena tanah basah oleh embun. Angin pagi masih diam, seakan belum terjaga dari tidur malam.

Dalam keadaan terjaga, Jaka Wulung merasa baru saja bangun dari mimpi yang sangat aneh. Lelaki tampan bermahkota keemasan. Siapa dia?

Jaka Wulung berdiri. Aneh, ia merasa tiba-tiba menjadi orang yang sangat berbeda. Napasnya ringan, kekuatan tubuhnya berlipat, dan tatapan matanya menjadi sangat tajam. Apa yang terjadi padanya, ia tidak tahu. Apakah karena sambaran sinar yang dipancarkan sesuatu yang diletakkan sosok misterius itu?



Jaka Wulung memandang tanah dua langkah di depannya.
Sesuatu itu masih ada di sana. Sesuatu itulah yang semalam memancarkan cahaya keperakan dan gelombang kekuatan yang menghantamnya.

Panjang keseluruhannya hanya satu setengah jengkal. Bilahnya melengkung, memancarkan warna logam pejal yang keperakan. Ujungnya tajam melengkung mirip paruh burung ciung. Punggungnya berhias lima mata—lubang kecil yang diisi butiran perak. Perutnya melekuk dan tajam berkilat, memantulkan cahaya pagi. Tadahnya—lengkungan menonjol pada perut—juga sama tajamnya dengan bagian ujung. Gagangnya entah terbuat dari kayu jenis apa—cokelat kehitaman dan sangat keras. Landean
—bagian bawah gagangnya—berbentuk kepala harimau sedang menganga, mengaum siap melindas mangsanya.

Jaka Wulung berdebar-debar. Sebilah kujang yang tiada tara!
Kujang itu terletak berdampingan dengan warangkanya. Warangka itu pun terbuat dari kayu yang sama dengan gagangnya, berhias ukiran dedaunan yang sangat rapi dan indah.

Jaka Wulung membungkuk untuk meraih gagang kujang.

Diangkatnya kujang yang sudah di genggamannya. Ujungnya mengarah ke langit. Sebuah gelombang kekuatan kembali mengalir dari kujang itu, merasuk ke segenap pembuluh darahnya, memberinya tenaga yang berlipat!

Bersamaan dengan itu, pendengarannya menangkap sebuah suara yang samar, tetapi memberikan gema kuat dalam dadanya:

“Cucuku, kurestui kudi hyang itu menjadi milikmu. Bawalah selalu. Jadikan ia perkakas untuk meniti di jalan waras. Jangan lupa, bersikaplah selalu berdasarkan welas asih, junjung tinggi tata krama, dan pakai selalu budi bahasa yang baik. Hanya itu pesanku.”

Pesan itu menghilang bersamaan dengan sinar pertama matahari di cakrawala.

Jaka Wulung terpaku dengan ujung kujang, kudi hyang, masih teracung.
Badannya berdenyar ketika ia memastikan siapa sosok ia saksikan semalam, dan memberikan pesannya pagi ini. Tak salah lagi.

Dialah lelaki pertama yang mengenakan mahkota itu, Mahkota Bino Kasih Sang Hyang Pake. Lelaki yang paling dihormati di tanah Sunda, yang jasadnya sudah seratus tahun terbaring di sana: lelaki yang kemudian bergelar Sang Mokteng Nusa Larang.

Niskala Wastukancana!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar