Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 07 : Lahirnya Seorang Pendekar

Lahirnya Seorang Pendekar

KELUAR DARI HUTAN, padang rumput membentang hijau, mengikuti cekungan dan cembungan tanah lereng barat bukit. Pohon-pohon menggerumbul di beberapa tempat, seperti pulau-pulau di tengah ombak. Dedaunan di permukaannya kekuningan memantulkan cahaya mentari sore hari, yang menembus lembut lapisan tipis kabut.

Burung-burung bercericit terbang dari pohon ke pohon, kembali pulang ke kandang, menggarisi langit yang putih cerah. Udara sangat segar oleh embun yang siap-siap turun. Di latar belakang, puluhan atap rumah, dengan warnanya yang kelabu, hilang timbul mengikuti lekuk tanah. Sungguh alam yang tak kepalang indah.

Ratusan tahun alam bergeming dalam keindahannya.

Akan tetapi, sore itu lengking suara jeritan menyayat udara, menyobek keindahannya.

“Tolooong! Lepaskaaan!” Suara perempuan.
Akan tetapi, hanya sekali itu suaranya melengking, merayap di udara, menyebar seperti uap air, kemudian lenyap seperti diserap kabut.

Setelah itu sunyi.

Tiada satu pun penduduk kampung yang berani memburu asal suara. Kaki- kaki mereka seolah dipasak ke dalam lapisan tanah. Mereka hanya bisa melihat tanpa daya ketika seorang lelaki berwajah tampan tiba-tiba muncul seperti siluman, lalu melarikan seorang gadis yang sedang mandi di sungai kecil yang mengalir di lembah di tepi kampung.

Tentu saja tidak ada yang berani.

Mana ada yang nekat menghalangi sepak terjang Bratalaras, pemuda berilmu siluman yang lebih dikenal dengan julukan Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Sudah enam purnama ia merajalela di kampung itu, dan beberapa kampung kecil di sekitarnya, menebarkan ketakutan bagi para gadis muda. Setiap bulan ia datang, seperti drakula yang meminta persembahan perawan setiap purnama. Dan selalu, yang diincar adalah gadis usia lima belas tahun.

Kalau seorang gadis sudah dilarikan Si Pemetik Bunga, dipastikan nasibnya akan lebih buruk daripada sekadar kembali tinggal jasad. Sebagian lenyap tidak diketahui nasibnya. Beberapa lainnya kembali dalam keadaan tubuh yang hancur dan jiwa yang rusak.

Para orang tua hancur hatinya. Dan, kampung itu pun menjadi kawasan yang muram.

Tentu saja pada awalnya ada beberapa pemuda yang punya nyali untuk mencoba menghalangi sepak terjang Si Pemetik Bunga. Tapi, siapa pun yang nekat, sudah jelas nasibnya: pulang tinggal nama.

BRATALARAS sebenarnyalah lelaki yang tampan. Usianya kira-kira dua puluh tiga tahun. Rambutnya terurai hingga separuh punggungnya dan diikat dengan kulit ular sanca. Ia selalu mengenakan baju dan celana kulit ular tanpa lengan. Senjatanya adalah sebatang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular dan dengan ujung runcing berlapis baja.

Akan tetapi, begitulah, ketampanan wajah tidak berbanding lurus dengan perilakunya.

“Sudahlah, Gadis Manis, tak perlu menangis. Nanti kita akan bersenang- senang,” kata Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.

Meskipun memondong si gadis di pundak, Bratalaras berlari ringan meniti bebatuan di tepi sungai.

Hanya terdengar isak tertahan-tahan. Si gadis tidak lagi bisa memberontak. Meskipun masih sadar, gadis itu hanya bisa pasrah dengan tubuh lemah karena titik-titik tertentu urat sarafnya sudah dibuat kaku dengan pukulan kecil ujung jari Bratalaras.

Akan tetapi, tiba-tiba langkah Bratalaras terhenti.

Nyaris tanpa diketahuinya dari mana datangnya, seorang pemuda tahu- tahu sudah berdiri tepat di jalur jalan yang akan dilaluinya.

Bratalaras membelalakkan matanya. Alisnya menyatu dan keningnya berkerut membentuk garis-garis. Tapi, hanya beberapa saat kemudian ia tertawa tergelak-gelak, seakan-akan menemukan kejadian yang sangat jenaka.

“Mau apa kamu, Bocah?” tanya Bratalaras. Tangannya kemudian menepis- nepis seperti gerakan mengusir ayam. “Hush, hush, ayo minggir!”

Pemuda di hadapannya itu memang tampak masih sangat muda. Sekitar lima belas tahun. Rambutnya tergerai sepundak dan diikat seadanya dengan bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Kulitnya kehitaman seperti bambu wulung.

Ia memang Jaka Wulung.

Akan tetapi, kali ini bajunya tidak lagi sekumal beberapa waktu lalu. Baik baju maupun celananya sudah lebih baik dan bersih. Sedikit.

Jaka Wulung memandang Bratalaras dengan kepala sedikit miring, seakan- akan mengira-ngira apa yang sedang dilakukan Si Pemetik Bunga.

“Aha,” desis Jaka Wulung kemudian. “Pasti gadis yang dipondong Ki Dulur itulah yang tadi berteriak minta tolong.”

Bratalaras memandang Jaka Wulung dengan sisa tawa di mulutnya. “Kalau betul, kau mau apa?”

Jaka Wulung berdeham, lalu pura-pura batuk. “Yaaa, melihat kondisinya, tentu gadis itu sangat butuh pertolongan. Jadi, aku akan coba menolongnya.”

Belum satu tarikan napas kata-kata Jaka Wulung lepas dari bibirnya, Bratalaras kembali tertawa terbahak-bahak. Kali ini bahkan sampai mengguncang-guncangkan tubuhnya dan tubuh lemas si gadis di pundaknya. Orang jahat bisa diketahui dari tawanya, pikir Jaka Wulung.

“Tawamu menyebalkan,” Jaka Wulung mencebikkan bibirnya.

Tawa Bratalaras langsung lenyap. Wajahnya pun segera berubah merah.

Seumur-umur, baru kali inilah ia terpaksa menghentikan tawanya secara mendadak. Dan, yang membuatnya terhenti tertawa hanyalah bocah culun yang baru saja kering ingusnya.

“He, Bocah, minggirlah. Kau tahu dengan siapa berhadapan?”

Jaka Wulung menggeleng, lalu menyeringai. “Memangnya kau siapa?”

Pertanyaan sederhana ini membuat wajah Bratalaras kian merah. Darah di kepalanya serasa mendidih. Ditancapkannya tongkat berkepala ular sanca di tanah. Oh, bukan, di batu cadas! Dan, clep! Tongkat itu melesak sekitar setengah jengkal ke dalam. Sungguh pertunjukan tenaga dalam yang memukau.

“Kali ini aku tak ingin membasahi tongkatku dengan darah anak semuda kau. Namaku Bratalaras. Orang mengenalku dengan nama Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.”

Bratalaras menunggu beberapa saat. Ia berharap, setelah mendengar namanya, bocah itu akan gemetaran dan langsung lari terbirit-birit sambil terkencing-kencing. Atau kalau tidak begitu, si bocah akan terduduk menyembah-nyembah meminta ampun. Atau malah bersujud menghunjamkan kepalanya ke tanah dan kedua tangan menangkup mengacung-acung. Sebab, memang seperti itulah yang biasa ia lihat jika orang-orang mengetahui siapa dia sebenarnya.

Akan tetapi, Jaka Wulung bukanlah bocah biasa.

Ia malah mengerutkan keningnya, seakan-akan sedang mengingat-ingat sesuatu, kemudian kepalanya menggeleng.

“Ah, aku baru mendengar nama Bratalaras,” ucap Jaka Wulung dengan wajah yang datar-datar saja. “Nama yang sangat bagus. Begitu juga julukannya.”

Bratalaras menggeram, lalu mencabut tongkat ular sancanya dengan cara menekan ke belakang sehingga menghasilkan percikan kerikil. “Bocah setan. Kau mencari mampus rupanya!”

Bratalaras bukanlah orang yang senang bermain. Apalagi ia juga sedang dikejar waktu. Ia tidak mau didahului oleh gelapnya malam. Oleh karena

itu, meskipun hanya lontaran kerikil, ia melakukannya dengan tenaga penuh.

Butir-butir kerikil itu pun meluncur bersamaan mengarah tubuh Jaka Wulung, sangat cepat seperti lontaran ketapel! Jika salah satu kerikil itu mengenai sasaran di kepala, tulang kepala pun bisa retak!

Akan tetapi, Jaka Wulung kali ini bukanlah seorang bocah yang terkejut ketika disentil dengan peluru kerikil. Tanpa memindahkan kakinya, Jaka Wulung memiringkan tubuhnya ke kanan dan kerikil-kerikil itu melesat beberapa jari dari telinga kirinya.

“Oh, rupanya kamu punya nyali juga!” Bratalaras meraung seraya mengibaskan tongkat ular sanca di tangannya, berlawanan arah dengan gerakan tubuh Jaka Wulung ketika menghindar tadi. Ujung baja putihnya yang tajam menyibak udara, menimbulkan desir angin yang menciutkan nyali. Bratalaras yakin lawannya tidak akan memiliki kesempatan untuk menghindar.

Akan tetapi, melalui gerakan yang ringan, Jaka Wulung bisa membelokkan arah tubuhnya, masih tanpa memindahkan kakinya, dan dada Jaka Wulung hanya terkena angin kibasan tongkat Bratalaras. Dan, karena hanya mengenai udara kosong, Bratalaras terbawa oleh tenaganya sendiri.

Bahkan tanpa dipahami oleh Bratalaras, tiba-tiba ia merasakan jemarinya seperti dihantam sebatang baja.

“Auww!” pekik Bratalaras.

Nyaris saja tongkat ular sanca miliknya lepas.





Bratalaras memandang Jaka Wulung seakan-akan si bocah adalah makhluk aneh yang baru pertama kali dilihatnya. Rupanya si bocah memukulnya dengan senjata sebatang kayu pendek yang aneh. Kapan si bocah menghunus senjatanya? Setahu Bratalaras, si bocah tadi hanya bertangan kosong!

Mimpi apa Bratalaras tadi malam sampai mengalami peristiwa aneh ini? Dia, Bratalaras, yang bergelar Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana, yang disegani para pendekar terutama di kawasan selatan Cakrabuana yang merentang hingga pantai selatan, hari ini kena pukul oleh seorang bocah tidak dikenal, hanya dalam dua gerakan pendek!

Atau ini hanya mimpi?

Akan tetapi, rasa sakit di jemarinya benar-benar nyata. Berdenyut-denyut hingga mencengkeram jantung.

“Jangan berbangga diri dulu, Bocah!” Bratalaras menurunkan si gadis curian dari pundaknya, setengah melemparkannya ke rumput di sisi jalan setapak.

Jaka Wulung menjadi sebal melihat lagak iblis berwajah tampan itu. “He, siapa pula yang berbangga diri, Kang?”
“Bocah iblis!” Bratalaras langsung mengarahkan ujung tongkatnya ke leher Jaka Wulung. Kali ini ia tidak mau meremehkan si bocah.

“Wah, siapa pula yang iblis?” Jaka Wulung menghindar dengan langkah ringan.

Akan tetapi, serangan pertama Bratalaras hanya pancingan. Tongkat Bratalaras memutar mengikuti ke arah tubuh Jaka Wulung menghindar, seakan-akan tongkat itu adalah ular sanca yang memiliki mata tajam dan tahu akan ke mana Jaka Wulung bergerak.

Jaka Wulung terkesiap sekejap melihat kecepatan gerak ujung tongkat Bratalaras. Ia terpaksa melenting dengan tumpuan salah satu kakinya.

Bratalaras tidak mau memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung. Tangan kirinya yang bebas memutar separuh lingkaran dan mencoba memapas Jaka Wulung dari arah yang berbeda dengan arah tongkatnya.

Jaka Wulung merendahkan tubuhnya guna menghindari benturan. Ia masih enggan berbenturan dengan lawannya. Benturan yang tidak perlu mungkin saja akan membuat tenaganya cepat terkuras. Oleh karena itu, Jaka Wulung lebih mengikuti gerakan lawannya.

Bratalaras bukanlah pendekar kemarin sore. Sejak masih bocah, ia sudah mendapat gemblengan ilmu silat dahsyat dari seorang tokoh sakti di Gunung Cakrabuana, yang lebih dikenal dengan julukannya, Si Jari-Jari Pencabik, karena kegemarannya yang sangat mengerikan, yakni mencabik- cabik tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya. Pada masanya, tokoh- tokoh persilatan, bahkan dari golongan hitam, pun enggan berurusan dengannya. Orang-orang menilai Si Jari-Jari Pencabik bukan lagi manusia, melainkan iblis!

Anak ular tentu tidak akan belajar terbang kepada induknya, tetapi belajar bagaimana menggelosor dengan otot-otot perutnya, mengintip mangsanya, menyerang dengan racunnya, lalu menerkam mangsanya.

Bratalaras pun menyerap segala macam ilmu dan perilaku gurunya. Bedanya, Bratalaras memanfaatkan rupa yang tampan, tidak buruk seperti gurunya, untuk menyalurkan hasrat jahatnya.

Kali ini Bratalaras melihat peluang untuk memasukkan serangan berikut, yaitu berupa sapuan kakinya. Gerakan kakinya itu pun sangat cepat, menjulur seperti kecepatan kepala ular ketika menerkam mangsanya.

Tongkat, tangan, dan kedua kaki Bratalaras benar-benar memberikan serangan tanpa jeda, seperti angin topan saja layaknya.

Di pihak lain, Jaka Wulung sudah pula menyerap semua ilmu dahsyat Resi Darmakusumah meskipun masih perlu waktu untuk mematangkannya. Nalurinya sudah terasah dan dengan otaknya yang cerdas, ia mampu meladeni serangan-serangan awal Bratalaras.

Dengan demikian, seiring dengan langit yang makin temaram, Jaka Wulung dan Bratalaras langsung terlibat dalam pertempuran dahsyat.

Bratalaras tidak lagi menerapkan gerak penjajakan, tetapi segera melarapkan ilmu andalannya, ilmu ular sanca emas, sebuah ilmu yang didasari gerak-gerak tipuan yang cerdik dan licik, tetapi juga disertai patukan-patukan yang mengejutkan.

Akan halnya Jaka Wulung, meskipun tenaga dalamnya masih memerlukan waktu untuk penyempurnaan, ia mampu menerapkan segala pelajaran yang telah diberikan gurunya, terutama gerak-gerak inti ilmu dahsyat gulung maung. Bahkan, Jaka Wulung kadang kala menyelipkan gerak-gerak ilmu

gagak rimang yang ia serap dari pengalamannya mengintip bocah-bocah Jipang itu berlatih.

Bratalaras terus meningkatkan kecepatan dan tenaganya. Ia juga terus memasang gerak-gerak tipu untuk memerangkap lawannya. Tongkat berujung baja di tangannya mendesis-desis menebarkan ancaman kematian.

Akan tetapi, Jaka Wulung mampu melayani setiap tipuan dan terkaman Bratalaras. Bahkan, sesekali Jaka Wulung memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun untuk melancarkan serangan-serangan maut. Sebilah kayu tipis di tangannya berkali-kali mengincar titik-titik mematikan di tubuh lawannya. Jaka Wulung tidak akan setengah-setengah bertempur dengan manusia bermoral bejat macam Bratalaras. Ia sudah bertekad menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat banyak.

Bratalaras benar-benar geram dan penasaran. Ia sama sekali tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang masih bocah itu. Kalau lawannya adalah tokoh tersohor, ia bisa maklum mengalami pertempuran yang seimbang. Tapi, lawannya kali ini hanyalah bocah belasan tahun yang bahkan namanya pun belum ia tanyakan. Sungguh memalukan!

Oleh karena itu, Bratalaras bersiap dengan ilmu pamungkasnya: jari-jari naga maut. Ilmu ini sebenarnya belum dikuasainya benar dan ia perlu waktu lama untuk mematangkannya. Tapi, Bratalaras sudah gelap mata. Ia tidak melihat jalan lain untuk menaklukkan bocah aneh ini.

“Ssssss ...!”

Dengan mengeluarkan suara desis, Bratalaras melipatgandakan tenaganya dan menyalurkannya ke tangan kirinya yang terbuka. Kuku-kukunya serasa bermunculan seperti cakar naga. Disertai raungan yang menggetarkan udara, Bratalaras meloncat panjang langsung berniat membenturkan cakar naganya ke dada Jaka Wulung.

Jaka Wulung terkesiap melihat ilmu lawannya. Ia sadar bahwa Bratalaras sudah sampai pada ilmu pamungkasnya.

Oleh karena itu, Jaka Wulung pun tidak menunggu waktu dan pada saat yang bersamaan memindahkan senjatanya ke tangan kirinya, lalu mengaum panjang seraya menyalurkan tenaga dalam melalui jemari

kanannya yang juga terbuka. Duarrr!
Dua tenaga yang tak kasat mata berbenturan di udara, menciptakan bunyi yang memekakkan telinga.

Jaka Wulung terlontar dua-tiga langkah ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tangannya serasa menghantam baja dan tenaga pantulannya membuat dadanya sesak. Jaka Wulung menyeringai menahan sakit.

Di pihak lain, Bratalaras terjengkang jauh ke belakang. Tubuhnya berdebum menimpa rerumputan. Kalau saja kepalanya membentur batu atau pokok kayu, bisa dipastikan nyawanya sudah melayang.

Dadanya seperti dibakar api, akibat pantulan tenaga panas yang dialaminya. Napasnya satu-satu. Dari sela-sela bibirnya menetes darah kental.

Bratalaras menggeleng-geleng, mengusir kepalanya yang berputar-putar. “Bocah ...,” ucapnya, “siapa ... sebenarnya ... kamu?”
Jaka Wulung memandang Bratalaras ragu-ragu. Pada saat itu, sebenarnya bisa saja ia melancarkan sisa tenaganya untuk menuntaskan perlawanan Bratalaras. Tapi, Jaka Wulung mendadak diselimuti perasaan welas asih yang aneh. Ia tidak bisa menyerang orang yang sudah tidak berdaya, sejahat apa pun orang itu.

Inilah yang kelak akan selalu menjadi kekuatan Jaka Wulung, sekaligus kelemahannya!

“Namaku Jaka Wulung.”

Bratalaras mencoba mengingat-ingat apakah ada pendekar bernama Jaka Wulung. Tidak, ia tidak pernah mendengarnya. Dia pasti bocah siluman.

“Apa ... kau punya ... julukan?”

Jaka Wulung termangu sejenak ditanya demikian. Ia tidak pernah berpikir akan punya julukan apa pun. Bagus atau tidak, Jaka Wulung adalah namanya. Setidaknya, itulah nama pemberian orang yang pernah

memeliharanya. Sejenak ia memejam. Siapa orangtuaku?

Bratalaras mencoba bangun, lalu meraih tongkatnya. “Aku belum kalah ... Jaka Wulung. Aku ... akan datang lagi menemuimu suatu saat.”

Jaka Wulung memandang dingin Bratalaras. “Ya, kali ini aku memberimu kesempatan. Tapi awas, kalau telingaku masih mendengar kelakuanmu, aku tak akan segan-segan membunuhmu.”

Bratalaras mengangguk, lalu berbalik dan berjalan dengan langkah goyah hendak meninggalkan tempat itu.

Tetapi, mendadak ia berhenti, lalu menoleh. “Benarkah kau ... tidak punya julukan?”
Jaka Wulung menarik napas beberapa jenak. Secara mendadak, di kepalanya muncul sebuah nama. Lalu, ia menyebutkannya begitu saja.

“Aku Titisan Bujangga Manik.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar