Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 05 : Menyelamatkan Kitab Pusaka

Menyelamatkan Kitab Pusaka

MAKA, cerita harus mundur ke tahun 1579. Waktu itu isi Keraton Pakuan, istana Kerajaan Pajajaran, sudah nyaris kosong melompong. Prabu Ragamulya Suryakancana, raja terakhir Pajajaran, sudah pergi mengasingkan diri ke arah matahari tenggelam, yakni Gunung Pulasari di ujung barat Jawa Dwipa. Ia menolak diiringi banyak pengikut.

Empat perwira tepercayanya, Jaya Perkosa, Wiradijaya, Kondang Hapa, dan Pancar Buana, diiringi sejumlah orang lain, sudah pula pergi ke arah sebaliknya, dengan membawa pusaka-pusaka kerajaan, termasuk Mahkota Bino Kasih Sanghyang Pake—mahkota yang sudah berusia 200 tahun, sebagai lambang raja Sunda sejak zaman Niskala Wastukancana.

Akan tetapi, ada satu ruang pusaka di keraton yang terlupa.

Ruang itu sebenarnya tidak jauh dari ruang tempat para raja Pajajaran bersemadi, menyepi menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi, yakni ruang berisi pustaka leluhur.

Hanya satu orang yang berhasil menyelamatkan pustaka leluhur sebelum keraton menjadi puing-puing arang. Sebagian besar pustaka pusaka itu musnah dilalap api, tetapi orang itu berhasil menyelamatkan tiga kitab paling penting: satu kitab Patrikrama Galunggung, satu naskah adalah kitab yang belakangan disebut naskah Bujangga Manik, dan satu lagi tanpa judul. Kalangan keraton menyebut naskah ketiga itu Kitab Siliwangi.

Si penyelamat, Resi Darmakusumah, sebenarnya masih memiliki darah Siliwangi yang sangat kental. Kalau ditelusuri, garis darahnya akan sampai kepada Surasowan, salah satu putra Prabu Siliwangi. Tapi, ia lebih memilih hidup sebagai resi, menyendiri di tempat-tempat sunyi, lebih banyak menyerahkan diri kepada Yang Mahasuci. Setelah menjadi resi, Darmakusumah nyaris tak pernah menginjakkan kaki di Keraton Pakuan.

Darmakusumah tidak lain adalah murid tunggal Resi Jaya Pakuan, yang

hidup menyendiri di Gunung Sepuh hingga entah usia berapa.

Adapun Jaya Pakuan, tidak lain adalah seorang legenda besar Pajajaran: Bujangga Manik! Dialah petualang terbesar Negeri Pajajaran, tokoh legendaris yang sangat dihormati di seantero Jawa Dwipa karena ketinggian ilmunya baik dalam sastra maupun olah kanuragan meskipun tidak pernah menonjolkan kehebatannya.

Nah, Resi Darmakusumah kecewa karena para penerus Prabu Siliwangi tidak sekuat dan setegar pendahulunya. Surawisesa, yang menggantikan Prabu Siliwangi, perlu meminta bantuan orang-orang berkulit pucat dari Peranggi untuk menangkal ancaman Cerbon. Pada masa Surawisesa, terjadi beberapa kali pertempuran dan sedikit demi sedikit wilayah Pajajaran direbut Cerbon.

Sang Ratu Dewata, pengganti Surawisesa, cenderung mengabaikan urusan dunia sehingga kurang peduli terhadap segala urusan pemerintahan. Raja berikutnya, Ratu Sakti, malah berkuasa dengan zalim, hanya ingin memenuhi nafsu serakahnya. Ia membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat, menghina para pendeta, dan bahkan menikahi ibu tirinya!

Prabu Nilakendra nyaris sama buruknya dengan Ratu Sakti. Ia berpesta pora tiap hari, mengabaikan rakyat yang kelaparan. Setelah itu, Pajajaran benar-benar sekarat. Dan, di bawah raja penghabisan, Prabu Ragamulya, Pajajaran hanya menunggu sekali pukul untuk musnah dikubur waktu.

Satu hal membuat hidup Darmakusumah penuh sesal: ia dan sejumlah prajurit Sunda yang tersisa sama sekali tak dapat mempertahankan Keraton Pakuan, keraton yang terkenal dengan nama Sri Bima-Punta-Narayana- Madura-Suradipati, lambang persatuan Pajajaran, ketika diserbu dari dua jurusan sekaligus, laskar Banten dari barat dan laskar Cerbon dari timur.

Maka sirnalah Pajajaran dari marcapada.

Masih membayang di mata Resi Darmakusumah ketika malam itu api raksasa menghanguskan Keraton Pakuan dan api membubung memerahi langit.

MENGIKUTI jalan hidup gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, Resi Darmakusumah sudah merasa tenteram dan damai hidup di

sebuah tempat terpencil, yakni di Bukit Tunggul, tidak begitu jauh dari gunung legendaris Tangkuban Parahu, setelah bertahun-tahun menjalani petualangan di berbagai sudut Jawa Dwipa.

Ia ingin sebelum hidupnya berakhir, ia bisa menulis setidaknya sebuah naskah yang bisa diwariskan kepada generasi jauh sesudahnya.

Oleh karena itu, selain menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi, Resi Darmakusumah setiap hari berusaha terus menulis, baik di lembar daun nipah maupun daun lontar.

Akan tetapi, ketenteraman hidupnya terkoyak oleh bayangan mengerikan yang terus-menerus menghampiri malam-malamnya.

Malam itu sudah hampir melewati puncak. Bulan yang belum lagi purnama mulai tergelincir di zenit langit, memulas rimbun pohon ki hujan menjadi keperakan. Garis-garis cahayanya yang samar merebahkan diri pada atap rumbia sebuah bangunan kayu sederhana.

Resi Darmakusumah siap membaringkan tubuhnya di bangku kayu setelah menyelesaikan semadi malamnya. Kantuk sudah menarik kelopak matanya ketika tiba-tiba saja sebuah ruang di Keraton Pakuan tergambar nyata di kepalanya. Langit membentang hitam, tetapi sekonyong-konyong menjadi terang oleh nyala api yang berkobar-kobar. Terdengar jerit dan pekik kesakitan. Lalu, samar tercium bau lembar-lembar nipah dijilat api.

Resi Darmakusumah tergeragap bangun, lalu duduk dengan napas terengah-engah. Angin dini hari kian menggigit, tetapi kening sang resi basah oleh keringat.

Tiga malam berturut-turut pemandangan itu menjelma di kepalanya, sangat nyata. Tiga kali tentu saja sebuah pertanda. Sudah niscaya.

Sang resi merapatkan jubahnya, lalu membenahi ikat kepalanya. Ia tidak mau menunggu lagi lebih lama.
Butuh setidaknya dua hari untuk mencapai Keraton Pakuan.

Benar seperti bayangan mengerikan yang menerjang kepalanya. Asap sudah menyerbu hidung Resi Darmakusumah begitu ia tiba di batas luar

Pakuan. Malam dilukis dengan warna kuning, merah, dan hitam.

Pakuan benar-benar sudah nyaris rata dengan tanah. Api berkobar di mana-mana, menghanguskan rumah-rumah kayu penduduk ibu kota Kerajaan Pajajaran itu. Nyaris tak ada satu pun yang tersisa.

Istana Pakuan tidak lagi berisi orang-orang Pajajaran. Yang terdengar adalah pekik kemenangan pasukan penyerbu.

Berloncatan di antara bara, asap, dan api, Resi Darmakusumah menyelinap dan ia nyaris terlambat menyelamatkan tiga harta pusaka yang sangat berharga: Kitab Patikrama Galunggung yang ditulis Prabu Darmasiksa beberapa ratus tahun lalu, Bujangga Manik yang ditulis gurunya sendiri, Resi Jaya Pakuan, beberapa puluh tahun lalu, dan Kitab Siliwangi yang mungkin disusun oleh Prabu Siliwangi sendiri.

Beberapa saat Resi Darmakusumah melihat sejumlah orang yang juga memburu ke tempat yang sama. Tapi, ia tak sempat memikirkan hal itu terlalu lama.

Hanya beberapa kejap setelah Resi Darmakusumah berhasil membawa ketiga kitab itu, ruang pustaka tersebut ambruk sempurna dilalap api.

Berdiri di kejauhan, Resi Darmakusumah menatap dengan hati remuk redam Keraton Pakuan—istana yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu jati, yang mestinya masih bisa tahan beberapa ratus tahun lagi—luluh lantak tidak bersisa lagi.

Matanya basah.

Satu-dua tetes bergulir melalui pipinya yang keriput, menggantung di janggut putihnya, lalu jatuh ke tanah. Tanah tumpah darahnya. Tanah yang sudah bukan lagi bernama Pajajaran.

Pajajaran sudah sirna!

RESI Darmakusumah tergeragap bangun dari lamunannya yang menyayat hati. Langit masih dilukis warna merah dan hitam. Ia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi, ia terkejut.

Di hadapannya, sudah mengadang setidaknya tiga orang. Semuanya dengan pedang menggantung di pinggang. Bagaimana mungkin ia tadi tidak menyadari kedatangan mereka? Ah, pasti karena hatinya sedang dilanda duka. Hati yang terluka bisa menyebabkan kurangnya rasa waspada.

Di luar sadarnya, Resi Darmakusumah meraba ketiga kitab yang terselip di balik jubahnya.

“Sampurasun, Resi,” sapa salah seorang dari mereka, seorang lelaki tinggi besar berusia kira-kira empat puluh tahun yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, dengan suara rendah dan sopan.

“Rampes, Ki Dulur,” Resi Darmakusumah memandang satu per satu ketiga orang yang mengadangnya. Dilihat dari pakaiannya yang berbeda, ketiga orang itu tampaknya bukan bagian dari pasukan yang membumihanguskan Istana Pakuan. “Ada apakah gerangan dulur semuanya mengadang saya?”

“Tampaknya Resi membawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan,” ujar pemimpin kelompok orang itu.

Resi Darmakusumah sejenak terkejut. Tapi, dengan cepat ia menguasai diri. Dengan segera pula ia ingat bahwa orang-orang itulah yang ia lihat ketika menyelamatkan tiga kitab pusaka di Keraton Pakuan.

“Berdasarkan apa Ki Dulur menyangka saya membawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan?” tanya Resi Darmakusumah.

Pemimpin kelompok itu menahan napasnya seraya meraba gagang pedangnya. “Sudahlah, Resi,” katanya. Suaranya mulai meninggi. “Jangan memulai silat lidah. Kami tidak punya cukup banyak waktu. Serahkan saja barang curian itu.”

Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya. Sikap sopan orang itu dengan cepat menguap ke udara. Tapi, sang Resi masih berusaha menahan kesabarannya.

“Saya menyelamatkan barang ini, bukan mencurinya.” “Tahukah apa barang yang Resi curi?”

Resi Darmakusumah menghela napas. “Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak mencuri, tetapi menyelamatkan pusaka leluhur Kerajaan Pajajaran.”

“Nah, kamilah yang berhak atas pusaka itu.”

Resi Darmakusumah lagi-lagi mengerutkan dahinya, menimbulkan keriput yang makin dalam di wajahnya. “Siapa kalian?” tanyanya.

“Ketahuilah, nama saya Munding Wesi,” kata pemimpin kelompok kecil itu. “Dan, ini saudara-saudara saya. Kami sama-sama keturunan Prabu Dewata Buana Wisesa. Kami adalah orang-orang Pajajaran yang tersingkirkan. Tapi, kami tentu saja berhak atas benda-benda yang dicuri Resi.”

Resi Darmakusumah terkejut. Wajahnya segera berubah keruh. Hanya remang malam yang membuat perubahan di wajahnya tidak tampak. Tapi, tak lama kemudian ia mengangguk-angguk. Kalau Munding Wesi mulai memperlihatkan sifat yang serakah dan merasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya, ia mafhum adanya. Prabu Dewata adalah salah satu penerus Prabu Siliwangi yang sifat-sifatnya bertolak belakang. Ia penguasa zalim yang menghancurkan kerajaannya sendiri, Pajajaran.

“Kalau Ki Dulur merasa berhak, mengapa tidak segera menyelamatkan benda-benda pusaka ini jauh lebih awal, sebelum ada serangan dari Banten dan Cerbon?” tanya Resi Darmakusumah.

Munding Wesi dan saudara-saudaranya menggeretakkan gigi hampir berbarengan. “Kalau tidak keduluan dicuri, kami tentu sudah bisa menyelamatkan benda-benda hak milik kami itu.”

Resi Darmakusumah tertawa pelan. “Hmm ... sudahlah, biarkan saya pergi,” katanya. “Kalau Ki Dulur mengaku berhak atas pusaka ini, saya juga bisa mengatakan berhak.”

Munding Wesi menyeringai. Dalam keremangan, seringai itu membuat wajahnya menjadi tambah menyeramkan. “Memangnya siapakah kau ini sehingga mengaku berhak atas pusaka itu?”

Resi Darmakusumah diam. Penyebutan kata ganti pun sudah berubah. Ia ragu-ragu apakah akan membuka diri mengenai siapa ia sebenarnya.

“Siapa sebenarnya kau ini?” suara Munding Wesi terdengar tak sabar lagi. “Panggil saja aku Karta,” kata Resi Darmakusumah begitu saja.
Munding Wesi tertawa terbahak-bahak sehingga badannya yang besar terguncang-guncang hebat, seakan-akan ia baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat lucu. Begitu juga kedua saudaranya.

Memandang ketiga orang itu Resi Darmakusumah menjadi prihatin. Wajahnya menjadi suram. Sungguh tidak mencerminkan keturunan Prabu Siliwangi.

Setelah tawanya reda, Munding Wesi memandang tajam Resi Darmakusumah. “Tidak mungkin keturunan Siliwangi bernama aneh seperti itu!”

“Aneh atau tidak, saya tetap keturunan Prabu Siliwangi.” “Dasar kakek pembual!”
“Bukankah segenap warga Sunda adalah keturunan Prabu Siliwangi?”

Darah serasa mulai naik ke kepala Munding Wesi. “He, dari mana kau punya pendapat ganjil seperti itu?”

“Kalau Ki Dulur mendapat karunia umur panjang, kelak akan muncul pendapat seperti yang kukatakan.”

“Sudahlah, pusing aku mendengarnya!”

Senyum tersungging di bibir Resi Darmakusumah. “Jika demikian, biarkan aku pergi dengan aman.”

Gigi Munding Wesi gemeletuk. “Siapa yang akan membiarkanmu pergi dengan aman?”

Resi Darmakusumah tidak memedulikan kata-kata Munding Wesi. Ia melangkah hendak pergi.

Akan tetapi, tentu saja Munding Wesi tidak akan membiarkan Resi Darmakusumah pergi begitu saja. Ia pun bergeser menghalangi jalan Resi Darmakusumah.

Resi Darmakusumah menimbang-nimbang apakah ia punya kesempatan untuk menembus kepungan ketiga orang ini.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Sudah belasan tahun ia tidak pernah lagi menggunakan tangan dan kakinya dalam sebuah laga. Sebenarnyalah Resi Darmakusumah enggan lagi menghadapi segala urusan dan mengakhirinya dengan pertempuran.

Hanya saja, ia melihat tidak ada jalan leluasa untuk menghindar. Resi Darmakusumah yakin masih ada beberapa orang lain selain ketiga orang yang mengadang di depannya. Setidaknya tiga atau empat orang lagi bersembunyi di balik pepohonan.

Oleh karena itu, dan demi kitab-kitab yang ia bawa, tampaknya kali ini ia harus kembali melakukan sesuatu yang dibencinya.

“Cepat serahkan sebelum kami melakukan kekerasan,” Munding Wesi meloncat dengan tangan terjulur. Gerakannya sama sekali tidak diduga, sangat cepat seperti harimau lapar.

Resi Darmakusumah menghindar selangkah.

Munding Wesi sudah menduga lawannya akan menghindar. Oleh karena itu, secepat kilat tangan yang satu lagi melayang cepat dengan jemari terbuka, dengan maksud mencengkeram baju Resi Darmakusumah. Orang tidak akan menyangka Munding Wesi yang bertubuh besar mampu bergerak secepat itu. Gerak cepatnya itu seakan menimbulkan hawa panas di sekitarnya.

Munding Wesi sendiri tidak mau setengah-setengah menghadapi orang tua itu. Ketika Munding Wesi dan saudara-saudaranya hampir mendapatkan apa yang mereka cari di Keraton Pakuan, ia sudah melihat bagaimana hebatnya sang resi melesat di antara api dan asap.

Meskipun demikian, dengan langsung mengerahkan kecepatan dan tenaga penuhnya, ia yakin bahwa ia akan mampu menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Ia akan lekas kembali ke tempat gurunya dan bersama-sama mempelajari isi kitab-kitab yang ia yakini berisi rahasia ilmu mumpuni leluhur-leluhurnya.

Kalau mereka sudah mempelajari semua ilmu leluhurnya, begitu pikir Munding Wesi, mereka akan tumbuh menjadi kelompok yang disegani. Bukan tidak mungkin mereka bisa menarik banyak pengikut untuk suatu saat kelak membangun sebuah kerajaan baru, sebagai penerus kejayaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi.

Akan tetapi, khayalan Munding Wesi terlampau tinggi.

Resi Darmakusumah juga sudah bisa menebak ancaman Munding Wesi dengan cara menekuk kaki kanannya dan mencondongkan punggungnya sedikit ke belakang. Pukulan jari terbuka Munding Wesi itu pun melesat hanya beberapa jari dari hidung Resi Darmakusumah.

Dalam sekejap itu penciuman Resi Darmakusumah menangkap bau yang dibawa angin pukulan itu. Bau semacam warangan yang mengandung racun mematikan, bercampur dengan ... bau badan Munding Wesi!

Sekedipan Resi Darmakusumah bergidik membayangkan betapa jiwanya terancam kalau kuku-kuku Munding Wesi menggores kulitnya.

Resi Darmakusumah sebenarnya punya kesempatan untuk menampar tengkuk Munding Wesi yang terbuka setelah serangannya luput dari sasaran. Tapi, ia tak hendak lagi melumuri tangannya dengan kesalahan- kesalahan yang tak perlu.

Pada saat yang sama, ia merasa prihatin orang yang sesungguhnya memiliki garis darah yang sama dengan dirinya itu sudah mulai menggunakan sejenis racun. Selama ini, belum pernah Resi Darmakusumah mendengar dalam sejarah panjang negeri Sunda ada pendekar yang bersenjatakan racun. Senjata seperti itu bertentangan dengan sikap yang selalu dijunjung Prabu Siliwangi hingga leluhur- leluhurnya jauh di masa awal: sikap kesatria!
“Keparat!”

Resi Darmakusumah terkesiap sejenak.

Bahkan ketika mendapat serangan maut seperti itu, sempat-sempatnya ia melamun!

Dua saudara Munding Wesi secara bersamaan merangseknya, dari kanan dan kiri dua ujung pedang mengarah tubuhnya. Ujung pedang di sebelah kanan berkilat kemerahan memantulkan cahaya api di kejauhan, melesat mengarah pundaknya. Ujung pedang di sebelah kiri tak kalah cepat menuju sasaran pinggang Resi Darmakusumah.

Resi Darmakusumah belum benar-benar menyimpan dengan aman kitab- kitab pusaka di balik jubahnya. Oleh karena itu, ia harus mengamankan dengan salah satu tangannya. Ia hanya punya satu tangan bebas untuk menghadapi ujung-ujung kedua pedang itu.

Akan tetapi, tentu saja kedua kaki Resi Darmakusumah pun mampu bergerak bebas dan cepat. Dengan tumpuan salah satu kakinya, Resi Darmakusumah melenting mengatasi serangan beruntun itu dan sebelum tiba lagi di tanah ia sempat sekali berjumpalitan dan tangannya memapas tangan salah seorang saudara Munding Wesi yang menggenggam pedang, dan sepersekian kejap juga menyentuh pelipis satu orang lainnya.

Salah satu orang itu memekik dengan tangan yang terasa membara. Pedangnya terlontar ke udara, lalu jatuh di bebatuan dengan suara berdentang. Adapun orang satunya lagi terhuyung-huyung dengan kepala serasa disambit dengan batu sebesar kepalan tangan!

Munding Wesi terkejut bukan kepalang melihat betapa hanya dalam satu gebrakan ia dan saudara-saudaranya berada dalam kesulitan.

Oleh karena itu, seraya menghunus dan mengacungkan pedangnya, Munding Wesi bersiul nyaring.

Suiiiit!

Tiga orang melesat dari balik kerimbunan pohon dengan senjata terhunus di tangan masing-masing. Tiga orang dan tiga senjata yang berbeda, dan dari arah yang berbeda-beda, membentuk segitiga hampir sama kaki. Orang pertama sekilas tampak masih muda, mungkin baru berumur tiga puluhan, bertubuh sedang, dan meloncat dengan tombak di tangan. Orang

kedua berusia separuh baya, agak bungkuk, dan di tangannya terarah senjata trisula—tombak bermata tiga. Orang ketiga botak, berusia sekitar lima puluh tahun, bermata sipit tapi kejam, dan mengarahkan kerisnya.

Resi Darmakusumah tidak lagi sempat menimbang-nimbang. Ia juga tidak sempat menebak dari mana saja asal ketiga orang itu, yang ia yakin bukanlah orang-orang pribumi negerinya.

Dengan cepat Resi Darmakusumah menyelipkan salah satu kitabnya lebih ke dalam, tetapi segera menarik dua kitab yang lainnya. Lembaran- lembaran kitab lontar umumnya berukuran selebar tiga jari dan panjang hampir dua jengkal. Lembar-lembar itu disatukan dengan benang dan naskah yang paling luar diperkuat masing-masing dengan kayu yang panjang dan lebarnya sama. Dalam keadaan terlipat, kitab itu serupa saja dengan dua kayu pipih yang dilekatkan.

Dengan demikian, Resi Darmakusumah menggunakan kedua kitab itu seperti sepasang ruyung. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri.

Meskipun demikian, Resi Darmakusumah menghindari benturan langsung dengan senjata logam lawan-lawannya. Dari kesiur angin yang ditimbulkan ketiga senjata itu bisa disimpulkan bahwa ketiga orang itu bukanlah lawan yang bisa dipandang sebelah mata.

Akan tetapi, Resi Darmakusumah adalah tokoh yang pernah disegani di jagat silat karena ilmunya yang dahsyat—meskipun sudah belasan tahun bersembunyi dari dunia ramai. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah menggunakan kecepatan gerak dan kelenturan tubuhnya untuk menghindari tiga serangan lawannya sekaligus. Resi Darmakusumah bahkan mampu menyerang balik melalui salah satu kitab yang ia gunakan sebagai senjata.

Ujung kayu pejal di tangan Resi Darmakusumah itu tiba-tiba berubah menjadi senjata maut yang siap mematuk punuk orang yang agak bungkuk.

Kecepatan gerak Resi Darmakusumah membuat lawan-lawannya sejenak sama-sama terkesiap. Bagi pendekar dalam tataran mereka, serangan ketiganya secara bersamaan adalah serangan yang muskil dihindari. Tapi, dia tidak hanya berhasil menghindar, bahkan mampu melakukan serangan balik, menyerang sasaran empuk di punuk.

Si bungkuk pasti tidak akan mampu menghindar dari serangan mengejutkan Resi Darmakusumah. Dan, itu disadari oleh dua rekannya yang dalam posisi lebih bebas. Keduanya secara bersamaan menyerang sang resi dengan keris dan tombak pendek di tangan masing-masing.

Kalau Resi Darmakusumah meneruskan serangannya, tentu pertahanannya akan terbuka sehingga besar kemungkinan keris atau tombak lawannya akan mengenainya. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah terpaksa mengurungkan serangannya ke arah punuk lawannya, dan harus melenting mundur.

Maka, pertempuran antara Resi Darmakusumah dan tiga pengeroyoknya segera berlangsung dengan cepat menuju jurus-jurus andalan mereka.

Tampaknya, masing-masing tidak mau berpanjang-panjang dalam perkara ini. Resi Darmakusumah merasa tidak punya urusan apa-apa dengan Munding Wesi dan orang-orangnya sehingga semakin lama waktu terbuang, akan semakin sia-sia. Sebaliknya, Munding Wesi juga ingin cepat-cepat merampas semua kitab pusaka yang diincarnya, yang sekarang nyata-nyata berada dalam pegangan resi aneh ini.

Anak muda yang bersenjatakan tombak bertarung trengginas dengan pola gerak khas pesisir timur Jawa Dwipa. Penuh tenaga dan tak pernah ragu- ragu untuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang tidak mengenal kata mundur.

Gerakan-gerakan si bungkuk yang menggunakan senjata trisula tidak kalah mengerikan. Trisulanya menusuk-nusuk tak henti-henti. Pola geraknya yang kasar mirip dengan manusia-manusia pegunungan di sekitar Pegunungan Sewu.

Sementara itu, si botak bersenjatakan keris mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerak. Demikian cepatnya, seakan-akan telapak kakinya tidak pernah menginjak tanah. Cukup dengan ujung kaki sebagai tumpuan, ia mampu melenting-lenting seperti umumnya para pendekar berkulit kuning dari zaman Dinasti Ming.

Anehnya, meskipun pola gerak ketiga pendekar itu berbeda-beda seperti bumi dan langit, mereka mampu saling mengisi satu sama lain. Masing- masing bisa saling menutupi dan kemudian menjadikan ketiganya satu kesatuan kekuatan yang mematikan. Bisa dikatakan, ilmu ketiga pendekar

itu berpadu untuk saling menguatkan, seperti halnya satu ditambah satu ditambah satu sama dengan tiga.

Dalam hati, Resi Darmakusumah memuji kehebatan mereka. Tidak mudah memadukan ilmu yang berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang dahsyat.

Akan tetapi, sang Resi ini pun bukanlah manusia biasa. Pada masa mudanya, setelah berguru kepada Resi Jaya Pakuan, sang Resi mengembara ke berbagai sudut Jawa Dwipa, bahkan ke pulau-pulau lain di luar Jawa, dan ilmunya terus semakin matang. Ia mengenal banyak jenis ilmu bela diri di tempat-tempat yang ia sambangi.

Oleh karena itu, pertempuran antara Resi Darmakusumah dan ketiga lawannya makin lama makin seru. Sulit ditebak siapa yang lebih unggul. Ketiga lawan Resi Darmakusumah melancarkan serangan demi serangan yang tidak putus-putusnya, seakan-akan mereka adalah sebuah pasukan yang terdiri atas puluhan orang. Ujung-ujung keris, trisula, dan tombak pendek mereka silih berganti mengincar leher, dada, perut, dan bagian- bagian tubuh lain Resi Darmakusumah.

Di pihak lain, Resi Darmakusumah pun seakan-akan memiliki sepuluh mata dan kedua senjata sederhana di tangannya meliuk-liuk cepat tak ubahnya seperti ruyung dengan sepuluh ujung. Dengan tatag ia melayani ketiga lawannya sekaligus. Sedikit demi sedikit, meskipun sangat pelan, Resi Darmakusumah bahkan menguasai keadaan.

Pertarungan itu membuat Munding Wesi gelisah. Paduan tiga pendekar itu tidak juga dapat merobohkan lawannya. Oleh karena itu, Munding Wesi tidak perlu berpikir lebih lama lagi.

Munding Wesi tak mau tinggal diam. Dengan pedang di tangan, ia menggabungkan dirinya untuk mengeroyok Resi Darmakusumah.

Akan tetapi, sesungguhnyalah kemampuan Munding Wesi masih dua atau tiga lapis di bawah ketiga begundalnya. Di satu sisi, hal itu membuat Resi Darmakusumah prihatin. Keturunan Prabu Siliwangi ini sama sekali tak bisa dibanggakan. Di sisi lain, kesempatan Resi Darmakusumah dengan demikian justru makin terbuka karena dalam beberapa jurus pun kelihatan bahwa gerak Munding Wesi justru merusak keselarasan gerak paduan ketiga begundalnya.

Ibarat dalam permainan gamelan, ketiga pendekar yang juga begundal Munding Wesi itu sudah memainkan rebab, saron, dan kendang secara baik dan menghasilkan bebunyian yang selaras. Tapi, Munding Wesi memainkan gong tanpa mengikuti ketukan yang semestinya. Ia memainkan lagu sendiri, sama sekali tidak menyesuaikan diri dengan lagu yang sedang berlangsung. Pada saat seharusnya menabuh gong kecil, ia malah menabuh gong besar. Pada saat harus menabuh gong besar, ia malah menabuh gong kecil. Atau kadang-kadang, seharusnya mengakhiri sebuah irama dengan gong besar, ia malah tidak menabuh apa-apa.

Parahnya, Munding Wesi tidak menyadari bahwa permainan gongnya sama sekali merusak permainan gamelan secara keseluruhan.

Akibatnya, serangan yang sudah terpola rapi dari ketiga pendekar sewaannya menjadi buyar tidak tentu arah. Kadang-kadang, permainan pedang Munding Wesi membuat gerakan keris si botak atau trisula si bungkuk menjadi tidak terarah. Sesekali, pedang Munding Wesi nyaris berbenturan dengan tombak pendek si pemuda.

Ketiga pendekar itu mengeluh dalam hati masing-masing. Meskipun alot dan akan membutuhkan waktu lama, mereka yakin bisa mendesak lawannya. Setidaknya mereka bisa menguras tenaga sang Resi. Bagaimanapun, alam sudah mempunyai hukumnya sendiri. Sehebat apa pun seorang tua, tentu napas dan kekuatan ototnya sudah dibatasi oleh usia. Mereka jauh lebih muda sehingga merasa yakin, kalau bertempur dalam waktu yang lama, mereka akan meraih kemenangan.

“Tuan Munding Wesi, biarkan kami saja yang menyelesaikan tugas ini,” seru si bungkuk tak tahan lagi, sambil berusaha menghindari serangan Resi Darmakusumah yang mengarah ke kepalanya.

“Betul, Tuan, lebih baik Tuan beristirahat saja!” timpal si botak. “Aku bantu kalian membekuk kakek ”
Munding Wesi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba sebuah pukulan menyengat pergelangan tangannya dan pedangnya melenting ke udara. Sebelum mencapai puncak ketinggian, pedang itu mendadak lenyap.

Munding Wesi juga tidak sempat mengetahui ke mana lenyapnya pedang

itu karena tahu-tahu ia merasakan sebuah sabetan ringan yang menyobek bajunya, tembus tipis di kulit dadanya.

“Kakek iblis ...!”

Pedang itu, yang juga beracun, memakan tuannya sendiri. Munding Wesi pun harus segera mengoleskan obat pemusnah racun kalau tidak ingin nyawanya lekas melayang.

“Munduuur!” teriaknya parau, sambil berusaha meloncat ke sela-sela gerumbul.

Menyadari luka yang menggores tubuh Munding Wesi, ketiga pendekar itu juga sama-sama meloncat jauh, menghindari serangan Resi Darmakusumah, kemudian melarikan diri.

Resi Darmakusumah berdiri termangu sejenak. Ia tidak ingin mengejar mereka. Ia merasa memiliki tugas yang jauh lebih penting: menyelamatkan tiga kitab pusaka itu.

Dilemparkannya pedang Munding Wesi yang tadi berada di tangannya.

Tanpa menunggu waktu lagi, Resi Darmakusumah berlari meninggalkan tempat itu ke arah datangnya fajar.

Langit timur sudah berhias dengan warna keperakan.

Di sebuah bukit, untuk kali terakhir Resi Darmakusumah memandang jauh ke arah warna kemerahan dan asap hitam yang masih membubung ke langit.

Sirnalah sudah negerinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar