Kitab Siliwangi
KAMPUNG itu diapit dua sungai, yaitu Kali Keruh dan Kali Erang. Nama Kali Keruh tampaknya dipakai karena airnya selalu keruh, tidak hanya pada musim penghujan. Pada musim kemarau pun, airnya tetap cokelat. Sebaliknya, Kali Erang, yang hanya beberapa ratus langkah dari Kali Keruh, adalah sungai yang airnya selalu jernih, bahkan pada musim penghujan.
Secara resmi kampung ini pernah menjadi batas barat Kerajaan Majapahit. Tapi, setelah kerajaan-kerajaan jatuh dan bangun, daerah ini seakan-akan tak bertuan. Mungkin karena, dari pusat kerajaan di Jawa, daerah ini terhalang oleh Gunung Slamet. Padahal, wilayah ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena dilintasi jalur yang menghubungkan pantai utara dan pantai selatan Jawa Dwipa.
Lagi pula, lahannya subur dan makmur. Para petani selalu menghasilkan panen yang melimpah. Hutan-hutannya juga menyediakan kekayaan yang membuat masyarakatnya sejahtera.
Dengan aliran dua sungai yang bermata air dari bebukitan di sisi barat Gunung Slamet, kampung ini juga memberikan pemandangan alam yang indah tak terkatakan. Sungguh bumi yang indah.
Bumi Ayu. Tanah yang elok.
Pendeknya, kalau ada peribahasa gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, wilayah inilah contohnya.
Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa di tengah ketenteraman wilayah ini, datang sejumlah orang dengan wajah dan penampilan yang jauh dari ketenteraman.
LANGIT biru menjadi latar belakang Gunung Slamet. Seekor burung sriti melesat menggarisi segumpal awan. Di letar depan, orang-orang berjual- beli hasil hutan dan tani, yang digelar di bangku atau beralas tikar di tepi jalan tanah berbatu.
Di sebuah kedai makan, orang-orang sudah hampir selesai sarapan. Ada sekitar enam atau tujuh orang yang masih duduk di bangku masing- masing. Biasanya mereka adalah para petani atau peladang yang datang dari jauh dan berhasil menjual dagangan mereka.
Akan tetapi, hari itu ada dua pengunjung kedai yang berpakaian agak berbeda. Yang seorang adalah laki-laki yang sulit ditebak usianya, mungkin 35 tahun, tetapi bisa saja 45 tahun. Duduk di sudut, wajahnya tampak gelap karena tertutup topi caping bundar yang sudah lusuh. Tubuhnya sedang, tetapi kelihatan kukuh. Ia sudah menyantap dua piring nasi dan lauk-pauk, dan sekarang piring ketiga. Ia makan seolah-olah sudah satu bulan tidak bertemu dengan nasi.
Satu orang lagi adalah perempuan berpakaian putih-putih. Rambutnya hitam tebal, sebagian digelung dan sisanya tergerai ke punggung. Lehernya seperti kulit langsat. Usianya menjelang 40 tahun, tetapi masih kelihatan cantik. Atau tepatnya begini: ia sedang berada di puncak kematangan pada usianya yang di akhir 30-an.
Yang membedakan keduanya dari orang-orang lain adalah senjata yang tersandang di badan. Si lelaki membawa pedang panjang yang sedikit melengkung di punggung dan sekilas mirip dengan pedang yang biasa dibawa oleh para samurai negeri Jepun. Adapun si perempuan membawa dua bilah pedang pendek, masing-masing di pinggang kiri dan kanan.
Si perempuan tampaknya sudah selesai makan. Ia berdiri, membayar makanan, dan bertanya kepada si pemilik kedai. Suaranya lembut, lebih dekat disebut berbisik, dan nyaris ditelan keriuhan pasar sehingga hampir tidak ada yang mendengarnya.
“Ki Sanak tahu di mana letak Bukit Sagara?” tanya perempuan itu.
Beberapa jenak lelaki pemilik kedai makan itu terpaku. Sekilas kelihatan dari wajahnya bahwa ia merasa heran. Tapi, sejenak kemudian ia tersenyum.
“Nona ikuti jalan di depan ke arah barat. Dari sini akan kelihatan sebuah bukit yang membujur berwarna biru. Tidak perlu sampai setengah hari juga Nona akan sampai di bukit yang dimaksud. Nah, Bukit Sagara terletak di balik bukit yang tampak itu.”
“Terima kasih,” kata perempuan itu sambil tersenyum manis. Ia mungkin merasa senang karena dipanggil dengan sebutan “nona”. Ha, ia memang masih berstatus nona meskipun sudah hampir empat puluh tahun. Pasti ia punya kisah cinta yang menarik untuk diceritakan ....
Setidaknya arah yang kuambil sudah benar.
Di tempat duduknya di sudut kedai, lelaki berpedang panjang terkejut mendengar pertanyaan perempuan itu kepada pemilik kedai. Jarak antara si perempuan dan lelaki itu sebenarnya hampir sepuluh langkah, tetapi ia dengan jelas mendengar pertanyaan si perempuan. Jelas bahwa ia memiliki indra pendengaran yang peka dan kemampuan seperti itu hanya bisa diperoleh seseorang yang sudah mencapai taraf ilmu yang tinggi. Sapta pangrungu.
Ketika si perempuan melangkah pergi, lelaki itu terus memasang telinganya untuk menangkap langkah-langkah si perempuan.
Dan, sebelum langkah-langkah itu hilang dari pendengarannya, lekas-lekas ia menyelesaikan makannya dan membayar kepada si pemilik kedai.
Pada saat yang sama, dua orang itu, si pemilik kedai dan lelaki berpedang panjang, sama-sama dilanda keheranan.
Si lelaki berpedang heran karena perempuan itu menanyakan Bukit Sagara, tempat yang juga menjadi tujuannya.
Si pemilik kedai heran karena dalam dua atau tiga hari ada beberapa orang yang menanyakan bukit yang sama. Dan, mereka memiliki ciri yang serupa: sama-sama membawa senjata dan bisa dipastikan mereka adalah orang-orang dari dunia persilatan.
“Ki Sanak juga hendak ke Bukit Sagara?” tanya pemilik kedai. Sebuah pertanyaan polos.
Si lelaki berpedang dengan cepat menutupi keheranannya yang bertambah
besar. Ia tersenyum lebar. Jadi, meskipun bercaping bundar, lelaki itu bukan jenis orang yang sangar.
“Oh, tidak. Saya hendak ke selatan.”
Si pemilik kedai mengangguk-angguk meskipun ia kurang percaya terhadap kata-kata si lelaki berpedang. Tapi, tentu saja ia tidak akan mendesak lebih lanjut. Hanya saja, dalam hatinya terselip pertanyaan: ada apa orang-orang berpedang menanyakan Bukit Sagara?
Si lelaki berpedang cepat-cepat melangkah keluar supaya tidak kehilangan jejak si perempuan. Di kepalanya juga berputar pertanyaan: berapa orang yang memiliki tujuan yang sama menuju Bukit Sagara?
Kabar itu ternyata telah menyebar, pikirnya.
Perempuan itu sudah menghilang di jalan bercabang. Tapi, si lelaki berpedang panjang langsung bisa memutuskan jalan mana yang diambil si perempuan. Diambilnya jalan yang kiri.
Akan tetapi, di sana ia segera kehilangan jejak.
Di hadapannya, hanya jalan tanah membentang membelah persawahan. Sapta pangrungu-nya sama sekali tidak menangkap gelombang selirih apa pun yang ditinggalkan perempuan itu. Sunyi sepi. Hanya lirih embusan angin yang membawa uap rerumputan. Dan, satu-dua suara cangkul petani di kejauhan.
“Sungguh wanita yang luar biasa,” desah lelaki itu.
Ia berharap bisa berkenalan dengan wanita itu, wanita yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi ia bahkan sudah kehilangan jejak pada pandangan kedua.
Lelaki itu—baiknya disebutkan saja namanya, Mahesa Geni, pendekar dari kawasan Gunung Mahameru di belahan timur Jawa Dwipa—menghela napas sebelum menerapkan ilmu lari cepatnya.
Dari balik sebatang pohon, sepasang mata setajam elang mengamati kepergian Mahesa Geni. Ia mengelus selendang yang menyampir di pundaknya.
PADA zaman kapan pun, di belahan dunia mana pun, perempuan memang selalu menjadi sasaran kejahatan. Terutama, perempuan yang bepergian sendiri, melalui jalan yang lengang dan hutan yang lebat. Lebih-lebih kalau perempuan itu memiliki ciri lahiriah cantik dan berpakaian menarik.
Begitu pula dengan perempuan cantik berpakaian putih-putih yang sedang melenggang menuju Bukit Sagara.
Sepasang pedang yang menggantung di pinggang hanyalah menjadi bahan tertawaan dua lelaki bertubuh raksasa yang berniat mengadang.
Kedua raksasa yang berpenampilan serupa itu maklum bahwa sasaran mereka pastilah bukan perempuan sembarangan. Oleh karena itu, mereka mengamati hingga mangsanya hanya beberapa langkah dari sampan yang hendak membawanya menyeberang sungai.
Sungai itu bernama Ci Pamali, sungai yang sudah ratusan tahun menjadi batas wilayah Kerajaan Sunda. Sungai yang sangat legendaris, menyimpan kisah-kisah lama yang selalu menjadi tuturan secara turun-temurun di kalangan masyarakat, tidak hanya masyarakat Sunda, yang berdiam di belahan barat Ci Pamali, tetapi juga masyarakat Banyu Mas, yang berdiam di belahan timur.
Salah satu kisahnya adalah pertempuran antara Ciung Wanara dan Hariang Banga—yang konon menjadi penanda terpisahnya Sunda dan Jawa.
Bagian sungai tempat menyeberang itu lebarnya sekitar seratus langkah kaki.
Di bagian itu air mengalir tenang.
Akan tetapi, tenangnya aliran sebuah sungai tidaklah selalu berarti aman dan damai.
Ci Pamali mengalir tenang sekaligus mengancam.
Bukan hanya buaya yang bisa muncul pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga perompak sungai, yang kadang lebih berbahaya dibanding buaya karena mereka bisa muncul semaunya. Dan kali itu, dua raksasa yang sedang mengincar mangsa adalah dua penyamun air yang berasal dari nun jauh muara di selatan: Segara Anakan.
Bahkan, di siang benderang seperti saat itu.
Perempuan itu—ah, ya, namanya Sekar Ayuwardhani—sebenarnya sudah tahu bahwa ia dikuntit oleh setidaknya dua orang. Tapi, ia tetap melenggang dengan keyakinan diri yang tak berkurang. Begal, rampok, atau berandal jenis apa pun bukan sesuatu yang asing baginya—wanita yang sudah belasan tahun disegani dengan julukan Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara!
Ketika ia keluar dari kedai makan tadi, ia sadar diikuti oleh lelaki berpedang panjang. Selepas kampung itu, ia mempermainkan si lelaki dengan cara bersembunyi di balik sebuah gerumbul, tanpa gerak dan tanpa suara sehingga keberadaannya sama sekali tidak terjejaki. Setelah si lelaki pergi, barulah ia keluar dari persembunyiannya dan berjalan melenggang.
Sekar Ayu memang pendekar yang senang usil, seakan-akan pertempuran adalah sebuah permainan.
Akan tetapi, kali ini boleh jadi ia akan ketemu batunya. Atau, bertemu sepasang manusia batu.
Sekar Ayu memandang langit barat di seberang Ci Pamali. Untuk kali pertama, sebentar lagi ia akan melintas batas sebuah negeri.
Ia meloncat dari sebongkah batu dan mendarat tepat di lantai sampan tanpa membuat sampan itu bergoyang! Sungguh ilmu meringankan tubuh yang bukan main dahsyat!
“Ayo jalan, Pak,” katanya kepada tukang dayung sampan.
Akan tetapi, hanya beberapa saat setelah tukang dayung itu mendorong sampannya ke air, berloncatan dua lelaki bertubuh raksasa. Dan, sungguh hebat, meskipun keduanya memiliki badan sebesar badak gemuk, mereka hinggap di lantai sampan secara bersamaan dan hanya menimbulkan sedikit goyangan pada sampan itu!
Alamat buruk, pikir si tukang sampan, yang memilih membiarkan dirinya mematung di tepi sungai sementara sampannya sudah melaju di air. Karena tidak ada yang mendayung, sampan itu pun pelan-pelan terseret arus ke hilir.
Sekar Ayu beberapa jenak kebingungan memandang si tukang sampan yang memilih membiarkan sampannya terbawa hanyut. Kebingungan itu membuatnya kehilangan waktu. Untuk kembali meloncat ke darat, jaraknya terlalu jauh. Untuk berenang, ia masih bimbang. Apa yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu.
Salah satu dari dua raksasa itu memungut galah bambu yang dipakai untuk mengarahkan sampan ke seberang. Hanya dengan dua kali tumpuan, sampan pun melaju kencang dan mencapai tengah sungai.
Akan tetapi, di tengah sungai itulah si raksasa menancapkan bambunya ke dasar sungai dan menjadikannya sebagai penahan sampan.
Sampan berhenti.
Seperti anak-anak yang menemukan mainan menyenangkan, kedua raksasa itu tertawa berbarengan.
“Lihat, Balaupata, dia mulai ketakutan,” kata salah satu lelaki raksasa itu di antara tawanya.
“Betul, Cingkarabala, dan itu membuatnya tambah jelita, tidak kalah dengan Dewi Dresanala.”
Oh, oh, nama mereka rupanya mengambil dari nama raksasa kembar penjaga pintu Kahyangan itu.
Sekar Ayu terkejut mendengar nama keduanya. Balaupata dan Cingkarabala adalah nama yang sudah tidak asing lagi di telinganya meskipun ia belum pernah bertemu.
Keduanya dikenal dengan julukan Raksasa Kembar dari Segara Anakan.
Merekalah sepasang perompak yang menggentarkan nyali siapa pun. Terutama, kalau mereka berlaga di wilayah hidupnya sehari-hari: air!
Sekar Ayu berdebar-debar dengan sejumput rasa sesal.
Akan tetapi, ia teguhkan keyakinannya melalui sorot mata yang berkilat seperti kucing.
“Ah, jangan melihat kami seperti itu, Dewi yang Cantik,” ujar Balaupata.
Kaki kanannya menjejak pinggir sampan. Sampan bergoyang-goyang.
Sekar Ayu terkejut. Tapi, kemudian ia menyesuaikan diri dengan goyangan sampan supaya tidak kehilangan keseimbangan.
“Balaupata,” kata Cingkarabala. “Kalau menilik penampilannya, aku yakin dia adalah si mawar ... apa namanya? Ah, ya, si mawar dari candi buruk itu. Hahaha!”
Balaupata sejenak mengerutkan kening memandang Sekar Ayuwardhani. Terkejut juga hatinya kalau dugaan saudara kembarnya itu benar. Wanita berjuluk Mawar Berduri itu bukanlah wanita sembarangan. Tapi, berdua dengan Cingkarabala, Balaupata yakin mereka tidak akan terkalahkan. Oleh karena itu, beberapa saat kemudian ia pun terbahak-bahak.
Tawa mereka menggetarkan udara. Dan, entah mengapa, siang itu keadaan di sana begitu sunyi. Mungkin orang-orang sedang berada di kebun, sawah, dan huma masing-masing.
“Apa mau kalian?” Sekar Ayu menggeram.
Balaupata dan Cingkarabala kembali tertawa terbahak-bahak. Tawa yang khas dari orang-orang golongan hitam.
Akan tetapi, lebih dari itu, tawa keduanya mengandung ajian yang membuat udara bergetar dan membuat siapa pun yang mendengarnya gemetar.
Gelap sayuta.
Akan tetapi, Sekar Ayu bukan wanita sembarangan. Apalagi terasa bahwa ajian dalam tawa mereka masih terlampau mentah dan menakutkan bagi anak-anak ingusan belaka.
Menyadari tawanya tidak memberikan pengaruh apa-apa, seperti Balaupata, Cingkarabala menjejakkan kaki kirinya ke pinggiran sampan sehingga goyangan sampan kian menggila.
Kali ini, darah mulai mengalir deras di seluruh pembuluh tubuh Sekar Ayu. Meloncat dari sampan ke sungai tentu bukan tindakan bijaksana. Sungai itu dalamnya tidak bisa diduga. Airnya mengalir tenang
kecokelatan dan dasarnya tidak kelihatan. Mungkin hanya sepinggang, tetapi mungkin juga sedalam gapaian tangannya. Yang jelas, kalau ia meloncat dan berenang, ia justru akan menjadi mangsa empuk dua raksasa kembar itu.
Oleh karena itu, sebelum gila oleh goyangan sampan, Sekar Ayu menghunus dua pedang pendeknya dan langsung merangsek. Dalam situasi seperti itu, menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.
Baik Balaupata maupun Cingkarabala sama-sama menghindar mundur. Bukan karena takut, melainkan karena sekejap mata pun keduanya bisa melihat ujung-ujung pedang pendek Sekar Ayu yang berwarna ungu.
Pedang beracun!
Jadi, benar dugaan mereka, wanita itu adalah Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara. Candi raksasa itu memang menyimpan sejarah gemilang tidak hanya mengenai sastra dan budaya, tetapi juga para perempuannya yang terkenal jelita dan berilmu tinggi, sebagaimana leluhur mereka, Pramodhawardhani—salah satu perempuan paling jelita dalam sejarah Nusantara.
Oleh karena itulah, Balaupata dan Cingkarabala tak hendak bermain-main dengan mawar beracun. Mereka lebih banyak menghindar dan hanya sesekali mencoba menangkis gagang pedang Sekar Ayu dengan gada masing-masing. Lagi pula, karena sampan itu hanya selebar satu depa, keduanya sulit menempatkan diri untuk menjepit Sekar Ayu.
Wanita itu pun sadar bahwa ia harus menempatkan kedua lawannya di depannya dan tidak memberikan ruangan yang memadai sehingga bisa menjepitnya dari dua posisi yang berlawanan.
Pertempuran itu dengan cepat berlangsung beberapa jurus. Dengan mengandalkan kecepatan dan ilmu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna, Sekar Ayu menggerak-gerakkan kedua pedangnya seperti mulut-mulut ular berbisa yang siap mematuk lawannya. Sementara itu, makin lama makin kelihatan bahwa meskipun unggul segalanya dalam tenaga, kedua raksasa itu—sebagaimana umumnya para raksasa— memiliki otak yang terlalu kental. Atau mungkin beku. Mereka lebih banyak mengandalkan naluri karena kebiasaan hidup mereka di atas air.
Oleh karena itu, lama-lama kelihatan bahwa Balaupata dan Cingkarabala kewalahan menghadapi sepak terjang Sekar Ayu. Meskipun air sungai bukanlah dunianya, Sekar Ayu menunjukkan bahwa Mawar Berduri bukanlah gelar kosong belaka. Hanya saja, meskipun bisa mendesak sedikit demi sedikit, Sekar Ayu sulit mendekati, apalagi menjatuhkan lawannya. Sebab, setiap kali Sekar Ayu melancarkan serangan maut, Balaupata dan Cingkarabala bergantian menggoyang-goyangkan sampannya dengan keras. Bagaimanapun, arah serangan Sekar Ayu menjadi mentah karenanya.
Sehebat-hebatnya Adipati Karna, kalau keretanya sengaja digoyang- goyang oleh Salya, bidikannya akan selalu meleset.
Oleh karena itu, pertempuran satu lawan dua itu bertambah seru dan terus berlangsung seimbang. Sekar Ayu tahu bagaimana catatan buruk dua lawannya yang tidak pernah segan-segan melakukan apa pun demi memuaskan nafsu mereka. Di pihak lain, Balaupata dan Cingkarabala sadar bahwa sekali ujung pedang Sekar Ayu menggores kulit mereka, mautlah akibatnya.
Dengan demikian, kedua pihak benar-benar memusatkan perhatian mereka kepada lawan masing-masing.
Ketiganya tidak menyadari ada sejumlah pasang mata yang mengawasi pertempuran sengit itu.
Di balik sebuah gerumbul perdu, di sebelah timur sungai, mata Mahesa Geni tak sedetik pun lepas dari perkelahian itu. Sekali lagi, dalam hatinya ia memuji kehebatan ilmu wanita itu. Ia baru datang ketika salah satu raksasa kembar itu menyebut gelar si pendekar wanita meskipun dengan ungkapan yang dipelesetkan.
“Pantas saja,” desis Mahesa Geni memuji Sekar Ayu, si Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara.
Mahesa Geni tersenyum sendiri. Aku ingin suatu saat bisa menguji ilmunya.
Oleh karena itu, Mahesa Geni menarik sebatang bambu kecil sepanjang sejengkal dari balik bajunya. Dipungutnya sebutir kerikil, dimasukkannya ke lubang bambu, lalu bambu itu pun ditiupnya. Kerikil melesat seperti anak panah, menimbulkan desis yang mengiris.
Balaupata terlambat menyadari datangnya serangan gelap itu.
Sesuatu mengenai mata kakinya dan sakitnya langsung menyengat hingga sekujur tubuh. Tumpuan kakinya menjadi goyah dan tubuh besarnya terjengkang, lalu tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya terlepas mencelat dan jatuh tepat mengenai keningnya.
Ibarat peribahasa: sudah jatuh tertimpa gada!
Cingkarabala terkejut bukan buatan. Perhatiannya terpecah sehingga ujung pedang Sekar Ayu nyaris menyayat lengannya. Kalau saja ia tidak menghindar, pastilah tidak hanya bajunya yang sobek.
Akan tetapi, ujung pedang Sekar Ayu terus memburu seperti ular sendok mendesis-desis. Cingkarabala hanya mampu mencoba menangkis, baik dengan tangan kiri maupun dengan gada di tangan kanan. Tapi, lambat laun ia kian terdesak, hingga pada satu saat kakinya keliru menumpu dan tubuhnya terjengkang dan tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya mencelat dan jatuh menimpa keningnya.
Mungkin begitulah nasib saudara kembar. Nasib sial pun serupa.
Sekar Ayu memanfaatkan kesempatan itu untuk mencabut galah bambu yang tadi ditancapkan ke dasar sungai, dan dengan menjejakkan pangkal bambu itu sekuat tenaga, sampan pun meluncur ke tepi barat sungai.
Sebelum sampan sampai ke tepi, Sekar Ayu meloncat menuju sebongkah batu yang menonjol di tepi sungai, kemudian menjadikan batu itu benar- benar sebagai “batu loncatan” untuk mencapai daratan.
Uh, nyaris saja! katanya dalam hati.
Di balik sebatang pohon, seseorang dengan mata elang mengamati sepak terjang Sekar Ayu, sepasang raksasa dari Segara Anakan, dan Mahesa Geni sekaligus.
Sebelum Sekar Ayu menjejakkan kakinya di seberang, seseorang merapatkan tubuhnya di balik sebuah gerumbul perdu.
Gila, setidaknya empat orang aneh dengan kemampuan tinggi sama-sama hadir di sini, pikirnya. Apakah tujuan mereka sama?
Ia membiarkan Sekar Ayu melenggang hanya beberapa puluh langkah darinya. Sekar Ayu memandang sekilas ke arah sepasang raksasa kembar, Siapa pun yang telah membantuku, kuucapkan terima kasih, batin Sekar Ayu, yang sejenak kemudian melesat menembus hutan di hadapannya.
Sepasang raksasa itu dengan susah payah berenang menuju tepi. Meskipun mereka jagoan air, mereka baru saja terluka dan gerak mereka tak lebih dari kerbau.
“Tunggu pembalasanku!” kata Balaupata. “Pembalasan kita!” ucap Cingkarabala.
Akan tetapi, keduanya berjalan terpincang-pincang sehingga mustahil mengejar Sekar Ayu.
Orang yang bersembunyi di balik gerumbul perdu itu mengambil jalan memutar agak ke selatan. Ia untuk sementara tidak ingin bertemu dengan siapa pun.
Pasti akan ada pertunjukan yang hebat, pikir orang itu. Meskipun hanya kabar angin, keberadaan Kitab Siliwangi memang menarik minat siapa pun
jago silat di jagat ini.
MEMANG sulit diterima akal sehat. Pada masa itu, antara satu kampung dan kampung lain kadang terbentang jarak sejauh satu bukit. Dari satu kota ke kota lain harus ditempuh paling cepat satu hari naik kuda. Kabar hanya beredar dari mulut ke mulut. Alat pembantu penyampai kabar hanyalah kentongan, yang ditabuh dengan jumlah ketukan atau irama tertentu untuk menyampaikan kabar tertentu. Akan dibutuhkan waktu berhari-hari hingga seseorang mendengar kabar bahwa saudaranya di kampung lain meninggal dunia misalnya.
Akan tetapi, entah bagaimana caranya, pepohonan seakan-akan memiliki telinga dan udara seolah-olah dengan cepat menyampaikan kabar ke pelbagai sudut negeri bahwa di sebuah kawasan bernama Bukit Sagara tersimpan salah satu kitab yang paling dicari di kalangan para pendekar.
Kitab Siliwangi.
Inilah satu-satunya kitab yang ditulis semasa Sri Baduga Maharaja, yang jauh lebih termasyhur dengan julukan Prabu Siliwangi, tengah berada di puncak kekuasaannya. Tidak jelas siapa yang menulisnya, apakah Prabu Siliwangi sendiri atau seorang pejabat keraton yang ia percayai. Tapi, kalangan luas percaya bahwa kitab itu, selain berisi wejangan mengenai ajaran leluhur, juga mengandung inti ilmu kesaktian Prabu Siliwangi sendiri, yang membuatnya nyaris tanpa lawan ketika berada di puncak kejayaan.
Kitab itu kemudian diturunkan kepada para penerusnya.
Hanya sayang, penerus Sri Baduga, Prabu Surawisésa, kurang memiliki minat terhadap ajaran dan kesaktian yang terpapar dalam kitab itu. Raja- raja berikutnya, Prabu Déwatabuanawisésa, Prabu Sakti, Prabu Nilakéndra, dan terakhir Prabu Ragamulya, malahan makin lama makin surut perhatiannya.
Dan kini, entah bagaimana, kitab itu diyakini berada di sebuah wilayah terpencil di Bukit Sagara, sebuah perbukitan kecil di lereng selatan Gunung Kumbang, tidak jauh dari bekas batas timur Pajajaran.
Oleh karena itu, dengan cepat Bukit Sagara didatangi oleh tokoh-tokoh utama persilatan dari berbagai penjuru Jawa Dwipa dengan tujuan yang
sama: berebut Kitab Siliwangi. Mereka tidak hanya datang dari negeri- negeri bekas Pajajaran, tetapi juga dari berbagai pelosok, mulai dari pantai utara, pantai selatan, Demak, Pajang, Madiun, bahkan Probolinggo di ujung timur Jawa Dwipa. Tidak hanya para pendekar pembela kebenaran, kebanyakan justru para jagoan dari golongan hitam.
Siapa pun tahu, pada masa itu pengakuan sebagai tokoh silat paling hebat masih menjadi angan semua orang.
Kedatangan mereka memang tidak terlalu mencolok. Biasanya mereka datang seorang demi seorang. Tapi, mereka memiliki ciri yang hampir serupa: mereka datang dengan menyandang senjata di pinggang atau punggung mereka.
Nantinya, memang, tidak semua tokoh itu tiba di daerah yang dituju pada saat yang tepat. Sebagian terlambat, sebagian lagi perlu mengukur diri untuk berebut melawan tokoh-tokoh hebat.