SATU
"Hiii...!"
Terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, seiring dengan terlihatnya titik-titik kecil bergerak di keremangan senja itu. Semakin dekat makin terlihat jelas. Titik-titik kecil yang bergerak cepat itu adalah sosok-sosok tubuh kerdil yang hanya mengenakan cawat sebagai penutup tubuhnya. Kepala mereka gundul pelontos, berkilat tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul di langit kelam. Sosok-sosok tubuh aneh dan tidak lumrah!
Beberapa waktu kemudian, sosok-sosok kerdil itu menghentikan larinya di depan sebuah bangunan perguruan. Bangunan itu berdiri tegak diselimuti kegelapan malam. Pada bagian sudut bangunan terlihat cahaya samar yang berasal dari obor di dinding kayu. Selebihnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan.
Setelah beberapa saat memperhatikan sosok bangunan itu, tubuh-tubuh kerdil itu bergerak mendekat. Cara mereka mendekati bangunan tampak aneh dan tidak wajar. Satu persatu bergerak maju berurutan, membentuk barisan yang agak panjang. Karena jumlah mereka kurang lebih tiga belas orang. Dan...
Hebat dan aneh sekali cara tubuh-tubuh kerdil itu memasuki bangunan! Mereka berloncatan dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai landasan. Sosok pertama yang tiba lebih dulu di atas pagar bangunan menangkap kedua pergelangan kaki kawannya. Gerakan itu terus dilakukan secara berurutan sampai pada giliran terakhir. Sosok kerdil yang berada paling bawah dilemparkan ke atas!
"Hiii...!"
Terdengar lengkingannya yang panjang dan mendirikan bulu roma. Sosok kerdil itu berjumpalitan dan meluncur turun dengan ringan di halaman sebelah dalam bangunan perguruan. Begitu mereka lanjutkan sampai ketiga belas manusia kerdil itu dapat memasuki tempat itu dengan selamat.
Tubuh-tubuh kerdil dengan kulit hitam dan sinar mata mencorong tajam menggetarkan melangkah tenang melewati pekarangan yang tampak sepi. Suasana di dalam bangunan agak terang oleh cahaya obor yang terdapat di beberapa buah tiang. Kelihatannya penghuni bangunan itu sengaja menempatkan obor agak banyak untuk menerangi sekitar tempat itu.
"Hei...?!"
Belum lagi ketiga belas manusia kerdil tiba di depan pintu bangunan utama, tiba- tiba terdengar bentakan. Disusul dengan munculnya murid-murid perguruan. Rupanya mereka murid-murid yang tengah meronda. Jumlah mereka enam orang. Dua di antaranya membawa obor.
Kemunculan enam orang murid perguruan tidak membuat sosok-sosok kerdil itu terkejut. Kendati langkah mereka terhenti, namun sikap orang-orang cebol itu tetap tenang, bagai orang yang tidak bersalah. Bahkan menyiratkan kesan dingin dan meremehkan keenam peronda itu.
"Anak-anak... siapa kalian? Mengapa bermain di tempat ini...?" tegur pemimpin peronda merendahkan suaranya.
Ketiga belas sosok kerdil itu memang seperti bocah-bocah tanggung, berusia sepuluh tahun. Hanya saja sikap maupun cara berpakaian mereka jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Sikap dan pandangan mereka sangat aneh, mengundang rasa seram bagi yang melihatnya. Perasaan itu juga dialami keenam murid-murid perguruan yang tengah meronda dan memergoki bocah-bocah aneh itu.
Pimpinan ronda malam itu, yang bertubuh tegap dan berdada bidang, tampak menunggu jawaban bocah-bocah aneh itu. Tapi sudah cukup lama menunggu, tak satu pun dari ketiga belas bocah itu kelihatan akan menjawab. Sepertinya mereka tidak berniat menjawab pertanyaan itu.
"Hei, apakah kalian tuli?" karena tidak sabar, lelaki tegap berdada bidang itu berkata setengah membentak. "Hayo, kalian pergi dari sini! Tidak baik anak-anak seusia kalian bermain di malam selarut ini."
Tapi, untuk kedua kalinya para peronda itu kembali dibuat jengkel. Selain tidak memperoleh tanggapan, sikap bocah-bocah aneh itu pun membuat bulu tengkuk mereka meremang. Ketiga belas pasang mata itu menatap wajah-wajah para peronda dengan tatapan dingin dan sorot mata kehijauan. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan!
"Eh...?! Mungkinkah mereka bocah-bocah keturunan setan yang tersesat..?!" desis lelaki tegap melangkah mundur dengan wajah berubah tegang. Rupanya ia baru menyadari keanehan bocah-bocah itu setelah melihat sinar kehijauan pada mata mereka.
"Sebaiknya kita usir saja mereka dari tempat ini, Kakang. Aku merasa seram melihat sinar mata mereka yang aneh dan tidak lumrah itu...," salah seorang peronda berbisik kepada pimpinannya. Orang itu rupanya merasakan juga adanya ketidakwajaran pada bocah-bocah berkulit hitam yang hanya mengenakan cawat itu.
"Ya, terpaksa aku harus bersikap agak kasar pada bocah-bocah aneh itu...," sahut lelaki tegap. Kemudian melangkah maju sambil melintangkan tombak di tangannya. Agaknya ia hendak mendorong keluar bocah-bocah itu dengan gagang tombaknya. Tapi, apa yang dialami oleh pemimpin peronda itu membuat yang lainnya tercengang dengan mata melotot seperti hendak keluar! Tubuh bocah-bocah itu tidak bergerak, meski lelaki tegap itu telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong mereka!
"Uuuhhh...!" Merasa penasaran dan menganggap hal itu mustahil, lelaki tegap itu kembali mengerahkan tenaganya sampai terdengar suara ah-uh dari mulutnya. Wajahnya tampak dibanjiri keringat!
Apa yang terjadi selanjutnya lebih sukar lagi untuk diterima akal. Salah seorang bocah aneh, yang berdiri paling depan, mengulurkan tangannya memegang batang tombak. Kemudian mengangkatnya ke atas. Perbuatan itu kelihatan tidak sulit dan tanpa pengerahan tenaga sedikit pun. Akibatnya benar-benar menakjubkan!
"Heiii...?!"
Lelaki tegap itu berteriak kaget merasakan kedua kakinya tidak lagi menginjak tanah! Tubuhnya terangkat dan mengambang di udara. Karuan saja ia berteriak-teriak ketakutan. Kejadian itu sangat mengejutkan dan sulit dipercaya! Tapi sebelum lelaki tegap berdada bidang dan kawan-kawannya menyadari sepenuhnya kejadian itu, tiba-tiba....
"Hiii.!"
Diiringi lengkingan tinggi yang aneh, bocah mengerikan itu mengayun tangannya melemparkan tubuh yang tengah diangkatnya.
"Aaa...!"
Sebenarnya lelaki tegap itu bukanlah seorang penakut. Tapi karena kejadiannya terlalu mengejutkan, teriakannya pun terdengar saat tubuhnya melayang dan jatuh menimpa kelima orang kawannya. Sehingga, keenam peronda itu jatuh terjerembab saling tumpang tindih!
"Bangsat! Bocah keparat..! Iblis gundul...!" Lelaki tegap itu memaki geram! Sumpah serapahnya meluncur karena kemarahan yang menggumpal di dadanya. Ia bangkit dengan wajah terbakar! Sepasang matanya menyala murka dan dendam!
"Kita hajar saja bocah-bocah kurang ajar itu, Kakang! Kalau sudah begini, kita tidak bisa mendiamkan saja!" geram peronda lainnya yang sudah mengepalkan tinju, dan siap menghajar bocah-bocah aneh itu.
Tanpa peduli kalau yang diserangnya bocah-bocah berusia sepuluh tahun, seorang peronda melancarkan kepalanya ke tubuh bocah terdepan.
Bukkk!
"Aaakh...?!"
Kepalan itu tepat menghantam dada. Tapi, yang terjadi kemudian benar-benar membuat peronda itu terkejut bukan main. Tubuh bocah itu sedikit pun tidak bergeming. Kepalannya seperti menghantam besi! Karuan saja peronda bertubuh gemuk itu menjerit kesakitan!
"Bocah iblis...!"
"Anak setan...?!"
Setelah kejadian itu, barulah keenam peronda itu sadar bocah-bocah yang tengah mereka hadapi bukan hanya berpenampilan aneh dan mengerikan! Mereka ternyata memiliki kekuatan yang hampir tidak masuk akal! Bocah-bocah gundul berkulit hitam itu bukan anak-anak sembarangan. Kemungkinan besar mereka anak-anak siluman atau sebangsanya yang kesasar ke tempat itu. Anehnya, bocah-bocah itu tidak bergerak ketika diserang. Mereka tetap diam seperti patung.
"Pukul tanda bahaya! Yang lainnya ikut aku menangkap bocah-bocah setan itu...!" perintah lelaki tegap berdada bidang kepada kawan-kawannya. Kemudian bergerak maju memimpin empat orang kawannya untuk meringkus bocah-bocah aneh itu. Tapi sebelum murid-murid perguruan memulai serangannya, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar diiringi hembusan angin keras hingga kelima murid perguruan itu terjajar mundur! Dan ketika suara tawa itu masih terus berkepanjangan, mereka terguling jatuh. Suara tawa itu berisi serangan tenaga dalam yang hebat! Sehingga mereka tidak sanggup mempertahankan diri. Untungnya tidak berapa lama kemudian, suara tawa itu lenyap secara mendadak. Kalau tidak, kelima murid perguruan itu pasti tidak akan sanggup bertahan, dan terpaksa harus merelakan nyawanya terbang ke alam baka.
Sesaat setelah tawa yang menggetarkan itu lenyap, angin berhembus semakin keras. Disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hitam. Sosok itu meluncur turun beberapa langkah di depan bocah-bocah aneh itu.
Lima orang murid perguruan yang tengah merangkak bangkit dengan wajah pucat menatap heran. Ketiga belas bocah menyeramkan itu tampak membungkukkan tubuh dengan penuh hormat kepada bayangan yang baru tiba.
"Hm..." Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang lelaki gemuk pendek dengan kepala gundul mengkilat, terkena cahaya obor. Raut wajahnya tidak lumrah. Kendati terlihat seperti wajah seorang bocah, namun jelas lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun. Sungguh tidak sepadan dengan suara tawanya yang berat dan parau, la mendengus sebagai balasan atas penghormatan bocah-bocah aneh itu.
"Sssiapa..., kau...?" tanya lelaki tegap menatap penuh selidik. Akhirnya ia menyerah karena sepanjang hidupnya belum pernah berjumpa dengan sosok lelaki gemuk berkepala gundul pelontos itu.
"Hm. Cecunguk-cecunguk seperrimu tidak pantas mengenal aku! Sebaiknya lekas kau beritahu Ki Parwana! Katakan kalau Gendruwo Rimba Dandara hendak menagih hutang sepuluh tahun yang lalu...!" ujar lelaki gemuk pendek dengan suara berat dan dalam. Sinar matanya yang kehijauan tampak sangat berpengaruh, membuat lelaki tegap tanpa sadar menganggukkan kepala.
"Kakang, untuk apa mengikuti ucapan manusia jelek itu? Sebaiknya kita hajar saja dan usir dari tempat ini...!" seorang kawannya mengingatkan lelaki tegap berdada bidang. Sehingga, pengaruh yang menguasai pikirannya lenyap seketika. Ia kembali sadar seperti sedia kala.
"Kurang ajar...! Iblis gundul itu pasti menggunakan ilmu siluman untuk mempengaruhi pikiranku!" geram lelaki tegap berdada bidang marah.
"Hm...!" Mendengar ucapan itu, Gendruwo Rimba Dandara mendengus kasar. Entah siapa yang memberikan julukan demikian seram kepada lelaki berkepala gundul itu. Sebab, seharusnya julukan itu dimiliki oleh seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk yang menyeramkan. Tidak seperti sosok lelaki itu, yang pendek gemuk dan berkepala botak.
Tanpa berkata apa-apa, lelaki gundul itu maju dengan langkah perlahan. Tatapan matanya yang bersinar kehijauan memandang lurus lima orang murid perguruan yang kini telah meloloskan pedang. Tampaknya mereka telah siap menghadapi Gendruwo Rimba Dandara.
"Kemari kau...!" ujar Gendruwo Rimba Dandara kepada lelaki tegap yang tadi memakinya. Tangannya terjulur dan berangkat sejajar dengan wajahnya. Suaranya hanya perlahan, namun mengandung kekuatan aneh yang sulit dilawan!
Tampak, lelaki tegap berdada bidang itu melangkah maju mematuhi perintah Gendruwo Rimba Dandara. Sikapnya sepera kerbau dicucuk hidungnya.
"Kau telah berkata kurang ajar kepada Gendruwo Rimba Dandara! Sebagai hukumannya, goroklah lehermu sendiri...!" kembali suara dingin berkekuatan aneh itu terdengar.
"Aaah...?!"
Empat orang kawan lelaki tegap berseru kaget! Pemimpinnya hendak mematuhi perintah Gendruwo Rimba Dandara!
"Lakukan...!"
Dengan perlahan, lelaki tegap berdada bidang mengangkat pedangnya dan menempelkan di tenggorokan. Kemudian....
Srattt!
Darah segar mengucur deras dari luka memanjang dilehernya. Tubuh lelaki tegap melorot jatuh. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga!
"Iblis...?!"
Keempat orang lawannya terpekik dengan wajah terlihat pucat! Mereka sungguh tidak menyangka pemimpinnya akan mematuhi segala perintah Gendruwo Rimba Dandara. Karuan saja mereka menjadi gentar. Sebab, bukan mustahil mereka akan menjadi korban berikut dari lelaki gemuk berkepala gundul pelontos itu.
"Berhenti...!".Gendruwo Rimba Dandara berkata mencegah ketika keempat orang peronda hendak meninggalkan tempat itu. Langkah mereka seketika tertunda, seperti tertahan oleh suatu kekuatan yang tidak nampak. Kenyataan itu membuat hati mereka menjadi takut bukan main!
"Kembali...!"
Bagai pesuruh-pesuruh yang patuh, keempat lelaki itu membalikkan tubuh. Dan melangkah menghampiri Gendruwo Rimba Dandara.
"Sekarang angkat senjata kalian, dan lakukan perintahku untuk memenggal kepala kalian masing-masing...!" suara aneh Gendruwo Rimba Dandara yang mengandung pengaruh gaib kembali terdengar menggeletar.
Tanpa banyak tanya, keempat orang yang telah terpengaruh kekuatan gaib lelaki gundul itu, segera menjambak rambutnya dan siap memenggal kepalanya sendiri.
"Tahan...!"
Sebelum keempat orang itu sempat melaksanakan perintah Gendruwo Rimba Dandara, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Keempat lelaki itu tersentak kaget, dan terbelalak pucat saat menyadari ujung pedang mereka telah berada di tengkuk masing-masing. Mereka tidak sadar kalau perbuatan itu terjadi karena pengaruh kekuatan gaib Gendruwo Rimba Dandara. Belum lagi suara bentakan itu lenyap, sesosok bayangan meluncur turun. Kedua kakinya menjejak tanah di depan empat lelaki yang nyaris kehilangan kepala.
"Guru..."
Melihat siapa lelaki tinggi kurus itu, keempatnya langsung menekuk lutut bersujud di hadapan gurunya. Lelaki tinggi kurus itu adalah Ki Parwana, Ketua Perguruan Kepalan Sakti. Rupanya dia yang menyelamatkan nyawa murid-muridnya dari kematian yang mengerikan!
"He he he!" Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan kekehnya yang parau ketika melihat orang yang baru datang. Memang lelaki tinggi kurus itulah yang dicarinya.
Ki Parwana menatap sosok di depannya dengan pandangan penuh selidik. Keningnya berkerut dalam pertanda ia tengah menguras ingatannya untuk mengenali siapa lelaki gemuk pendek berkepala gundul itu.
"Siapakah kau, Kisanak? Apa maksudmu datang mengacau di tempatku ini.?" tegur Ki Parwana setelah gagal untuk mengenali tamu tidak diundangnya itu.
"Guru, iblis itu mengaku berjuluk Gendruwo Rimba Dandara. Ia telah melakukan pembunuhan keji tanpa sebab yang jelas...," lapor salah seorang dari keempat murid Perguruan Kepalan Sakti.
"Gendruwo Rimba Dandara...?!" gumam Ki Parwana dengan kening berkerut mengulang julukan itu. Kembali ia berpikir keras untuk mengingat julukan yang rasanya tidak asing di telinganya. Sayang ia masih belum juga ingat di mana pernah mendengar julukan itu.
"He he he...! Meskipun kau telah lupa kepadaku, tapi aku tidak akan melupakan peristiwa sepuluh tahun silam di Bukit Mata Setan! Kau ingat apa yang terjadi di puncak bukit itu, Parwana...?" ujar Gendruwo Rimba Dandara, memberikan gambaran untuk membantu ingatan Ki Parwana.
"Aaah?! Aku baru mengingatnya sekarang!" ujar Ki Parwana agak tersentak. Tetapi seingatku orang yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tidak sepertimu, Kisanak? Apa hubunganmu dengan tokoh sesat itu? Kalau tidak salah, manusia sesat itu tinggal di daerah utara. Apakah kau juga datang dari daerah itu...?"
"Hua ha ha...!" Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Kepalanya mendongak menatap langit kelam yang ditaburi gemintang. Entah apa yang membuatnya demikian gembira.
"Jadi kau benar-benar telah lupa padaku, Parwana? Baiklah. Itu bisa kumaklumi. Wajah dan kepalaku memang telah berubah. Tapi, perlu kau ketahui aku adalah Gendruwo Rimba Dandara yang sebenarnya...," jelas lelaki gundul itu.
"Tapi...?"
"Rambut, kumis, dan jenggotku telah rontok semua, Parwana. Semua itu karena aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhku. Salah satu di antaranya adalah kau. Jelasnya, perubahan ini karena ilmu yang sekarang ku anut dan ku yakini."
Ki Parwana kelihatan agak kaget mendengar penjelasan itu. Sekarang ia benar-benar yakin lelaki gundul itu Gendruwo Rimba Dandara, musuh lama yang dianggapnya telah tewas di dalam jurang. Ki Parwana sadar kalau kemunculan tokoh sesat itu tentu ingin membalas dendam.
"Hm. Jadi pekerjaan sepuluh tahun silam itu belum tuntas! Tidak kusangka kau masih hidup meski terjatuh ke dalam jurang tak berdasar itu...," ujar Ki Parwana tidak habis mengerti bagaimana manusia sesat itu dapat lolos dari kematian. Padahal menurut perhitungan, tubuh Gendruwo Rimba Dandara remuk di dasar jurang berbatu cadas di Bukit Mata Setan. Tapi, kenyataannya tokoh itu masih segar-bugar.
"He he he..! Pekerjaanmu tidak akan pernah selesai, Parwana! Sebentar lagi kau akan menerima kematian sebagai balasan perbuatanmu sepuluh tahun silam. Kuharap kau sudah mempersiapkan segala perlengkapan kematianmu..," ujar Gendruwo Rimba Dandara dengan sombongnya. Tokoh sesat itu merasa yakin akan dapat menundukkan Ki Parwana.
"Jangan mengumbar kesombongan dulu, Genderuwo Rimba Dandara! Mari kita buktikan, siapa yang akan pergi ke neraka!" Selesai berkata, Ki Parwana menggeser mundur langkahnya. Dengan kedua tangan terkepal di atas kepala dan di depan dada, lelaki tinggi kurus itu siap menghadapi lawan.
***
DUA
"He he he...!" Gendruwo Rimba Dandara hanya tertawa. Diperintahkannya bocah-bocah aneh di belakangnya untuk menjauh. Kemudian langkahnya digeser ke kanan. Sikapnya terlihat demikian sombong, sedikit pun tidak menganggap Ki Parwana.
Padahal di daerah selatan nama Ketua Perguruan Kepalan Sakti sangat terkenal dan disegani kalangan persilatan. Agak bangkit juga kemarahan Ki Parwana melihat sikap lawan yang jelas-jelas sangat meremehkannya. Kendati ia sadar lawannya termasuk salah satu tokoh kaum sesat, namun Ki Parwana telah meningkatkan ilmu-ilmunya. Ki Parwana yang sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun silam. Tampaknya Gendruwo Rimba Dandara tidak mengetahui hal itu.
"Mulailah, Gendruwo Rimba Dandara...!" ujar Ki Parwana memberi kesempatan kepada lawan untuk mulai menyerang.
"He he he...! Sebagai tuan rumah, seharusnya kaulah yang lebih dulu memulainya, Parwana. Silakan, kau kuberi kesempatan untuk menyerang sebanyak sepuluh jurus. Setelah itu, kesempatan untukmu sudah habis. Kau tinggal menunggu datangnya kematian...," tukas Gendruwo Rimba Dandara menolak. Ia mempersilakan Ki Parwana, sebagai tuan rumah untuk memulainya.
"Kalau memang itu maumu, bersiaplah...," sahut Ki Parwana tidak ingin berbantahan lagi. Dan...
"Haaat...!" Disertai teriakan keras, Ki Parwana meluncur dengan kepalan-kepalannya yang bergerak susul-menyusul. Angin pukulannya menandakan tenaga dalam lelaki tua itu tidak bisa dipandang remeh!
Tapi, lagi-lagi Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan tawa mengejek. Serangan hebat lawan sedikit pun tidak membuatnya gentar. Kesombongan tokoh sesat itu ternyata memang bukan hanya lagak saja. Serangkaian serangan Ki Parwana dapat diatasi dengan baik.
"Satu...!" Gendruwo Rimba Dandara mulai menghitung serangan Ki Parwana. Rupanya tokoh sesat itu memang hendak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang sampai sepuluh jurus. Mungkin ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menahan serangan Ki Parwana sampai jurus yang ditentukan.
Sikap tokoh sesat itu tentu saja membuat hari Ki Parwana panas. Sebisa mungkin kemarahan yang menyesakkan dadanya ditahan, ia sadar kalau hal itu dibiarkan akan membuatnya lengah. Maka meskipun Gendruwo Rimba Dandara terus melanjutkan hitungannya, Ki Parwana berusaha untuk tidak peduli. Pikirannya tetap terpusat pada serangan-serangannya.
"Tujuh...!" Kembali terdengar suara hitungan Gendruwo Rimba Dandara. Sampai sejauh itu serangan Ki Parwana dapat dipatahkannya. Gerakan tokoh sesat itu ternyata sangat gesit. Pukulan-pukulan yang dilancarkan Ki Parwana dapat dielakkan atau ditangkis. Hingga Ki Parwana menjadi penasaran!
"Haaat...!"
Kali ini Ki Parwana mengerahkan seluruh kecepatan dan kekuatannya, ia tidak lagi mempedulikan pertahanan dirinya. Hitungan Gendruwo Rimba Dandara membuat Ki Parwana mengira ia tidak memerlukan pertahanan. Karena Gendruwo Rimba Dandara hanya mengelak dan menangkis!
Bwet bwet bwettt...!
Serangkaian serangan yang mendatangkan angin menderu tajam datang mengancam tubuh lawan. Demikian cepat gerakan Ki Parwana, hingga kedua lengannya terlihat seperti banyak! Perubahan geraknya sukar ditebak. Dalam jurus-jurus terakhir itu Gendruwo Rimba Dandara agak sibuk mengatasi serangan lawan. Tapi....
"Hiaaah...!"
Bukkk!
Tanpa disangka-sangka, Gendruwo Rimba Dandara melancarkan serangan balasan! Karena pertahanan Ki Parwana sangat lemah, maka serangan itu telak bersarang di dada Ketua Perguruan Kepalan Sakti!
"Hukh...!" Tubuh Ki Parwana terhuyung mundur hampir satu tombak! Darah mengalir dari sudut bibirnya. Pukulan Gendruwo Rimba Dandara mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Keparat! Kau licik...!" desis Ki Parwana sambil menekan dadanya yang terasa sesak. Lelaki tua itu kelihatan sangat geram. Kalau saja Ki Parwana tahu lawannya akan membalas, tentu ia tidak akan melupakan pertahanan dirinya. Sehingga tidak kecolongan seperti itu.
"He he he...!" Gendruwo Rimba Dandara tertawa serak. Sinar matanya berkilat gembira karena berhasil memperdayai lawan, "Salahmu sendiri, Parwana. Bukankah aku tidak berjanji tidak akan membalas seranganmu?" ujarnya penuh ejekan.
"Tapi, kau mengatakan akan memberiku kesempatan sebanyak sepuluh jurus...," tukas Ki Parwana terlambat menyadari dirinya telah terjebak tipuan lawannya.
"Benar, aku memang mengatakan demikian. Tapi, coba kau ingat baik-baik. Apakah aku mengatakan tidak akan membalas seranganmu dalam sepuluh jurus...?" bantah Gendruwo Rimba Dandara seraya memperdengarkan kekehnya yang parau dan menyebalkan.
"Keparat licik...!" maki Ki Parwana tidak bisa membantah ucapan Gendruwo Rimba Dandara. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang mau saja dibodohi tokoh sesat itu.
"Guru...!"
Tiga orang murid utama Ki Parwana menghampiri dengan wajah cemas. Namun, ketiganya melangkah mundur ketika melihat tangan gurunya bergerak mengusirnya. Mereka hanya dapat menatap dari tempat yang agak jauh dengan wajah gelisah.
Sementara murid-murid Perguruan Kepalan Sakti yang berjumlah sekitar lima puluh orang sudah menggenggam senjata erat-erat. Mereka siap mengeroyok Gendruwo Rimba Dandara jika tadi Ki Parwana tidak segera memberi isyarat mundur dan jangan mencampuri perkelahian itu.
Ki Parwana segera mengatur jalan napas dan mengerahkan hawa murni untuk menekan rasa nyeri di dalam dadanya. Kemudian mengempos semangatnya dengan tarikan napas yang panjang dan berat. Setelah merasa luka itu tidak lagi terlalu mengganggu, lelaki tua itu kembali menyiapkan jurus-jurusnya. Tapi, untuk kali ini Gendruwo Rimba Dandara tidak lagi tinggal diam. Mendadak tokoh sesat itu menyilangkan kedua lengannya di depan dada dengan mata terpejam rapat-rapat. Kemudian....
"Hah...!" Dengan bentakan keras, Gendruwo Rimba Dandara mengibaskan lengannya ke kiri-kanan sambil membuka kedua matanya. Sinar kehijauan semakin nyata mewarnai bola mata tokoh sesat itu. Ada hawa dingin aneh menyebar di sekitar arena pertarungan, membuat beberapa murid Perguruan Kepalan Saka menggigil kedinginan.
"Parwana! Kau adalah budakku, kau harus tunduk dengan perintahku!" ujar Gendruwo Rimba Dandara dengan suara bergetar mengandung daya gaib yang sangat kuat!
Ki Parwana tersentak mendengar ucapan lawannya, yang jelas-jelas mengandung kekuatan sihir hebat! Pengaruhnya pun langsung terlihat. Ki Parwana mendadak menurunkan kedua tangannya dengan gerakan lemah. Kemudian berdiri tegak dengan tatapan kosong ke depan.
"Aku adalah budakmu. Aku akan menuruti semua perintahmu...," ujar Ketua Perguruan Kepalan Saka dengan suara lemah seperti orang kehilangan semangat.
"Hm.... Sekarang kuperintahkan kepadamu! Merangkaklah seperti anjing dan menyalaklah sekuatmu...!"
Pengaruh ucapan Gendruwo Rimba Dandara benar-benar hebat! Ki Parwana langsung merangkak setelah sebelumnya tergetar hebat karena perlawanan lelaki tua itu. Sesaat kemudian, terdengarlah suara menyalak keras dari mulut Ki Parwana. Ketua Perguruan Kepalan Sakti yang dihormati dan disegani banyak orang telah berubah menjadi anjing yang patuh.
Bukan hanya Ki Parwana yang melakukan perbuatan hina itu. Beberapa murid Perguruan Kepalan Sakti pun tiba-tiba merasakan kedua lututnya goyah. Mereka tidak dapat menahan keinginan untuk merangkak sambil menyalak seperti seekor anjing! Kejadian itu jelas menandakan betapa hebatnya pengaruh sihir Gendruwo Rimba Dandara.
"Hua ha ha...!"
"Hiii...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa terbahak-bahak. Diikuti bocah-bocah aneh yang menjadi pengikutnya. Tampaknya tokoh sesat itu sangat puas dengan hasil kerjanya.
"Berhenti kalian, Anjing-anjing Goblok...!" bentak tokoh sesat itu setelah puas mempermainkan Ki Parwana dan murid-muridnya.
Ki Parwana yang terus menyalak hingga suaranya parau segera bangkit berdiri. Tidak ada lagi tanda-tanda perlawanan dalam dirinya. Lelaki tua itu telah sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir.
"Hm..., sekarang cabut pedang di pinggangmu! Penggal kepala muridmu satu persatu...!"
Mendengar perintah itu, Ki Parwana langsung meloloskan pedangnya. Kemudian menghampiri murid-muridnya yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat! Mereka tidak, tahu harus berbuat apa. Yang hendak melakukan perbuatan keji itu adalah guru mereka, yang telah mendidik mereka dengan baik!
"Guru...!" Tiga orang murid utama Ki Parwana bergerak mendekat. Mereka berusaha mencegah perbuatan orang tua itu.
"Penggal kepala mereka, Parwana...!" terdengar suara Gendruwo Rimba Dandara. Hingga langkah Ki Parwana yang semula ragu kembali bergerak maju. Dan....
Crakkk, crakkk!
Dua orang murid utama yang tidak sempat menyadari perbuatan gurunya roboh dengan kepala putus! Yang seorang bergerak mundur dengan wajah pucat bagai mayat. Butir-butir keringat sebesar biji jagung meluncur turun dari wajahnya.
"Guru...!"
Dengan nada putus asa, murid utama itu berusaha menyadarkan Ki Parwana. Tapi lelaki tua yang sudah kehilangan seluruh kesadarannya itu tampak tidak peduli. Pedang di tangannya kembali berkelebat!
"Aaah...?!" Sadar jika dibiarkan kepalanya akan putus oleh sambaran pedang gurunya, lelaki tegap berusia tiga puluh tahun itu melompat mundur. Sepasang matanya terbelalak penuh ketegangan dan kegelisahan. Untuk melawan gurunya yang sangat dihormati itu jelas ia tidak berani. Akhirnya, kesetiaannya yang tinggi harus ditebus dengan nyawa!
"Heaaah!"
Crakkk!
Serangan yang kedua tidak dapat lagi dielakkannya. Meski dalam pengaruh sihir, kepandaian Ki Parwana tidak berkurang sedikit pun! Murid utamanya yang tinggal seorang itu pun menyusul dua saudaranya yang telah tewas lebih dulu.
"Hua ha ha...!"
Gelak tawa Gendruwo Rimba Dandara semakin keras. Hari tokoh sesat itu benar-benar puas dengan kejadian yang berlangsung di depan matanya. Ki Parwana melanjutkan pembantaian terhadap murid-muridnya. Tak satu pun dari murid-murid itu sanggup menghalangi tindakan gurunya. Korban pun semakin banyak berjatuhan. Darah mengalir membasahi tanah lembab halaman depan Perguruan Kepalan Sakti yang biasa digunakan untuk berlatih.
Pada saat pedang Ki Parwana siap memenggal kepala muridnya entah yang keberapa, tiba-tiba Gendruwo Rimba Dandara menarik pengaruh sihirnya. Perbuatan tokoh sesat itu begitu tiba-tiba datangnya. Sehingga, pedang Ki Parwana menggantung di udara, tepat di belakang leher salah seorang muridnya.
"Aaah...?!" Kesadaran yang tiba-tiba datangnya itu membuat Ki Parwana terbelalak pucat! Bagaikan orang tolol, ia menatap pedang di tangannya yang masih tergantung di udara. Darah segar melumuri senjata itu, membuat Ki Parwana menyadari apa yang telah dilakukannya.
"Hua ha ha...! Hebat sekali perbuatanmu, Parwana! Lihatlah korban-korban kekejamanmu...!" Ki Parwana berbalik secepat kilat! Ditatapnya Gendruwo Rimba Dandara dengan wajah seputih kertas! Kemudian beralih pada mayat-mayat tanpa kepala yang bergeletakan di tanah berkubang darah merah!
"Aku yang melakukannya...?" desis Ki Parwana seperti baru terbangun dari mimpi buruk. Lalu kembali dipandangnya Gendruwo Rimba Dandara.
"Hua ha ha...!" Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Itu sudah merupakan jawaban.
Mata lelaki tua itu tiba-tiba menjadi liar. Jiwa Ki Parwana terguncang hebat! "Tidaaak...!" Ki Parwana berteriak setinggi langit seraya melemparkan pedangnya jauh-jauh. Seolah senjata yang berlumuran darah itu benda yang sangat menakutkannya.
"Tidak tidak tidaaak...!"
Dengan kedua tangannya, Ki Parwana menutupi telinga. Tatapan murid-muridnya yang belum sempat terbantai membuat jiwa lelaki itu terguncang hebat! Tatapan itu seperti tudingan atas segala perbuatannya. Lelaki tinggi kurus itu jatuh berlutut sambil menutup wajahnya rapat-rapat. Kedua bahu Ki Parwana berguncang-guncang keras.
"Kau manusia kejam, Parwana! Mengapa murid-murid yang tak bersalah itu kau bunuh secara keji? Seharusnya akulah yang menjadi sasaranmu, bukan mereka..." Suara cemoohan Gendruwo Rimba Dandara merasuk telinga Ki Parwana, membuat rasa bersalah di dalam hati lelaki tua itu semakin besar. Sehingga....
"Aaa...!" Mendadak, tubuh Kl Parwana bangkit seiring dengan teriakannya. Setelah memperhatikan sekelilingnya dengan mata gelisah, Ki Parwana berlari sekuat-kuatnya meninggalkan tempat itu.
"Aku bukan pembunuuuh...!"
Gendruwo Rimba Dandara mengiringi kepergian Ki Parwana dengan gelak-tawa berkepanjangan Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu bersama para pengikutnya, bocah-bocah aneh yang mengerikan itu.
***
"Aku Bukan pembunuh...!"
Lelaki tinggi kurus itu melangkah tertatih-tatih menyusuri jalan utama sebuah desa. Ucapan itu mengiringi setiap langkah kakinya. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Ki Parwana, yang menjadi hilang ingatan karena guncangan batin yang sangat hebat! la meninggalkan perguruannya, dan melangkah tanpa tujuan.
Beberapa penduduk yang berpapasan dengan orang tua itu bergegas menyingkir dengan wajah cemas. Meskipun agak takut-takut ada juga yang melemparkan pandang penuh rasa iba. Bahkan beberapa di antaranya berani menatap langsung dengan kepala menggeleng-geleng.
Ki Parwana yang batinnya didera rasa bersalah tak terampunkan itu tiba-tiba menoleh. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan beberapa penduduk yang berdiri menatapnya.
"Aku bukan pembunuh...," rintih Ki Parwana merasa setiap pandangan orang menuding dirinya, ia menganggap pandangan orang-orang desa itu ikut menyalahkannya. Bahkan dalam bayangannya, mereka menuding dirinya dan memakinya sebagai manusia paling jahat di dunia. Bayangan-bayangan itu membuat Ki Parwana menjadi kalap! Sepasang matanya bergerak semakin liar. la menggeram dan mendengus dengan mara semerah saga.
"Kau menyalahkan aku...?! Kau... kau...?" Ki Parwana menuding penduduk yang memandangnya penuh kecemasan. Kelihatannya lelaki tua itu siap mengamuk menumpahkan kemarahannya.
Enam orang penduduk yang semula menatap Ki Parwana menjadi ketakutan. Ketika kaki orang tua gila itu bergerak maju, mereka segera menjauhi tempat itu. Lain yang dilakukan penduduk desa, lain pula pandangan Ki Parwana. Dalam bayangannya, para penduduk itu kelihatan seperti hendak mengeroyok dirinya. Karuan saja Ki Parwana melesat secepat terbang, dan menyambar leher seorang penduduk yang tengah berlari.
"Keparat! Kalian, manusia-manusia jahat! Kalian telah membunuh orang-orang tak bersalah...!" maki Ki Parwana. Jari-jari tangannya segera mencekik orang sial itu. Penduduk desa itu pun tewas dengan mata melotot seperti hendak keluar dari tempatnya.
"Jahat kau...!" Dibantingnya tubuh orang itu ke tanah dengan sekuat tenaga. Kemudian, Ki Parwana tertawa tergelak-gelak.
"Ada orang gila mengamuuuk...!"
"Awaaas, ada pembunuh gila masuk desa...!"
Kejadian yang tidak disangka-sangka para penduduk desa itu membuat mereka berlarian ketakutan! Terdengar teriakan-teriakan mereka memperingatkan yang lainnya.
"Hmmmrrr...!"
Seperti telah kemasukan setan liar, Ki Parwana menggeram berkali-kali. Air liurnya menetes membasahi pakaiannya yang kotor dan robek di sana-sini. Tindakan penduduk yang lari berserabutan justru mengundang kegilaan Ki Parwana. Celakanya, orang gila itu bukanlah tokoh sembarangan. Ia merupakan Ketua Perguruan Kepalan Sakti yang namanya cukup disegani kalangan persilatan. Akibatnya, tentu saja jauh lebih hebat ketimbang orang gila yang tidak memiliki kepandaian silat. Untuk menaklukkannya pasti tidak mudah!
Melihat orang gila itu dapat membunuh dan mengejar dengan mudah, penduduk semakin bertambah kalap! Tapi, semua itu justru semakin menambah kegilaan Ki Parwana. Korban pun mulai berjatuhan! Peristiwa yang cukup menggegerkan itu mengundang perhatian beberapa lelaki berpakaian serba hitam. Mereka langsung berlompatan hendak mencegah jatuhnya korban lebih banyak.
"Kurang ajar! Orang gila dari mana yang berlaku demikian kejam...!" geram salah seorang dari enam lelaki berseragam hitam. Mereka mengepung Ki Parwana untuk meringkus lelaki tua itu.
"Grrrngngng...!"
Ki Parwana menggeram dengan tatapan liar. Kegilaannya benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Nafsu membunuhnya kian menyentak-nyentak hatinya.
"Hei...?! Bukankah ia Ketua Perguruan Kepalan Sakti?! Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali...!" salah seorang dari mereka berseru kaget, la mengenali Ki Parwana. Ucapan itu tentu saja mengagetkan kawan-kawannya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti...? Apa kau tidak salah? Mana mungkin ketua perguruan yang terkenal itu tiba-tiba menjadi gila...?" bantah yang lainnya tak percaya. Nama Perguruan Kepalan Sakti cukup terkenal di desa itu. Tentu saja mereka tidak percaya orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak! Aku yakin orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti! Mengenai kegilaannya jelas aku tidak tahu! Tapi, aku merasa yakin ia ketua perguruan itu...!" lelaki kekar berkumis lebat yang sepertinya cukup mengenal Ki Parwana tetap mempertahankan pendiriannya. Sehingga, kawan-kawannya agak ragu.
"Mungkin orang gila itu kebetulan memiliki wajah yang serupa dengan Ketua Perguruan Kepalan Sakti...," kawannya masih tetap membantah dan tidak percaya.
Perdebatan yang cukup seru itu membuat mereka tidak sadar orang yang tengah dibicarakan sudah bergerak mendekat. Mereka baru tersadar ketika mendengar salah seorang kawannya berteriak keras!
"Aaa...!" Orang yang malang itu berteriak ketakutan, ketika Ki Parwana menangkap dan melemparkan tubuhnya kuat-kuat hingga jatuh terjerembab ke tanah!
"Orang gila keparat...!"
Peristiwa itu tentu saja membuat yang lainnya marah. Khawatir kalau dugaan kawannya bahwa orang gila itu seorang ketua perguruan ternyata benar, mereka segera menghunus senjata dan mengurung Ki Parwana dari tiga arah.
"Yaaakh...!"
"Yaaakh...!"
Ki Parwana yang dianggap orang gila itu mencelat dengan sepasang tangan terulur dan mencengkeram salah seorang pengepungnya.
"Heaaah...!" Menyadari dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya. Namun...
Plakkk, kreppp!
Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan pedang lawan. Ki Parwana memekik aneh dan parau. Tubuhnya mencelat dengan sepasang tangan terulur siap mencengkeram salah seorang pengepung yang ada di sebelah kanannya.
"Heaaah...!"
Sadar kalau dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya menyambut serangan Ki Parwana. Tapi....
Plakkk, kreppp!
"Heeeah…!"
Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan pedang lawan. Kemudian menjambret leher orang itu dan meremasnya tanpa ampun! Lelaki itu menggelepar seperti ayam disembelih. Dan tewas seketika dengan tulang leher patah!
"Gila...?!"
Yang lainnya menjadi kaget bercampur gentar! Mereka berloncatan mundur dengan wajah pucat, menatap sosok orang gila yang kembali menggeram bagai binatang luka.
***
TIGA
EMPAT lelaki berpakaian serba hitam yang tersisa segera bergerak mundur, ketika Ki Parwana melangkah mendekati. Sikap orang tua itu membuat mereka gentar. Gerakan Ki Parwana demikian cepat. Mereka segera sadar kalau orang gila itu bukan tokoh sembarangan. Hingga mereka tidak berani bertindak gegabah lagi.
Tapi meskipun keempat lelaki itu tidak lagi menyerang, sikap Ki Parwana tidak berubah. Kelihatannya ia tidak akan berhenti sebelum melenyapkan lawan-lawannya. Benar-benar celaka nasib keempat orang itu. Karena untuk menundukkan tokoh seperti Ki Parwana tentu saja tidak mudah. Sehingga, sulit dipastikan mereka dapat selamat dari cengkeraman orang gila itu.
"Jaaakh...!"
Setelah beberapa langkah kakinya berjalan, tubuh Ki Parwana mencelat ke udara disertai pekikan aneh. Sepasang tangannya siap merenggut korban berikutnya! Tapi...
"Haaaiiit...!"
Pada saat yang menentukan itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Sesosok tubuh melayang dan langsung memapaki serangan Ki Parwana. Maka....
Plakkk!
"Heeekh...!"
Sungguh hebat gerakan sosok tubuh itu! Ia bukan saja dapat menggagalkan serangan Ki Parwana. Bahkan sanggup membuat tubuh Ketua Perguruan Kepalan Sakti terpental balik! Untung Ki Parwana bukan orang gila sembarangan! Hingga dapat mengatasi keseimbangan tubuhnya dengan baik.
"Hebat...!" seru sosok berjubah putih memuji gerakan Ki Parwana. Tentu saja pujian itu bukan ejekan. Cara Ki Parwana mengatasi keseimbangan tubuhnya memang sangat mengagumkan.
Helaan napas lega terdengar dari mulut keempat lelaki berpakaian serba hitam. Mereka sungguh tidak mengira dapat lolos dari ancaman serangan orang gila yang berkepandaian tinggi itu. Dipandanginya sosok berjubah putih yang berdiri membelakangi mereka dengan penuh rasa terima kasih.
Sedangkan sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan menatap tenang sosok Ki Parwana. Keningnya agak berkerut menyaksikan kehebatan orang gila itu. Ia merasa heran orang gila mempunyai kepandaian sehebat itu.
"Kisanak harap berhati-hati! Dia bukan orang gila sembarangan! Entah apa yang membuat orang sehebat Ketua Perguruan Kepalan Sakti sampai menjadi demikian..," ujar lelaki kekar berkumis lebat yang mengenali orang gila itu sebagai Ki Parwana. Ia tidak mengenali namanya, hanya wajahnya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti...?!" gumam pemuda tampan berjubah putih mengulangi. "Apakah kau yakin orang gila itu ketua sebuah perguruan...?" tanyanya berbalik menatap lelaki kekar yang tadi mengingatkannya.
"Aku yakin, Kisanak. Beberapa kali aku pernah berjumpa dengannya saat mengantarkan surat atau pesan dari Kepala Desa Tunjil ini...," jelasnya.
Pemuda tampan itu menganggukkan kepala. Tampaknya keterangan itu dapat dipercaya. Percakapan keduanya tertunda dengan munculnya sesosok tubuh dara jelita berpakaian serba hijau. Ia meluncur turun di samping pemuda tampan berjubah putih. Terdengar suaranya yang merdu dan bening.
"Diakah orang gila yang dikabarkan penduduk mengamuk dan membunuhi orang, Kakang.?"
"Benar, Kenanga," sahut pemuda itu menatap wajah jelita di sampingnya. "Menurut salah seorang keamanan desa, orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti..," lanjutnya menjelaskan.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti? Bukankah nama itu cukup terkenal dan disegani orang...?" tanya dara jelita itu lagi kelihatan belum percaya penuh dengan keterangan pemuda tampan berjubah putih.
"Itu yang membuatku heran...," tukas pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji, yang dalam kalangan rimba persilatan berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Kita perlu menyelidiki kebenarannya, Kakang...," tukas dara jelita yang tidak lain adalah Kenanga. Kelihatannya ia agak penasaran dengan orang gila itu.
Panji hanya mengangguk tanpa kata. Jelas ia sangat setuju dengan usul kekasihnya. Secara tidak langsung persoalan itu merupakan tanggung jawabnya. Ia harus menyelidiki untuk memperoleh kepastian tentang orang gila itu. Sementara itu, Ki Parwana bergerak menghampiri. Tubuhnya yang terpental sejauh dua tombak lebih, membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi. Kini ia siap membalas perlakuan pemuda berjubah putih itu.
"Kelihatannya ia sukar dikendalikan, Kakang...," ujar Kenanga seolah hendak mengingatkan kekasihnya agar berhati-hati menghadapi orang gila itu.
"Aku akan berusaha merobohkannya tanpa melukai...," janji Panji segera bergerak maju untuk melumpuhkan Ki Parwana. Karena tidak ingin jatuh korban lagi.
Meskipun gila, Ki Parwana mengerti kalau yang dihadapinya tidak dapat disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Ia langsung menggunakan ilmu andalannya untuk menyerang Panji.
Bwet bwet bwettt…!
Terdengar suara angin menderu saat Ki Parwana menggerakkan sepasang kepalannya. Kedua lengan itu bergetar, menyimpan kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
"Hm... Aku yakin orang gila itu memang Ketua Perguruan Kepalan Sakti. Aku mengenali jurus-jurus yang tengah dipersiapkannya..," ujar Panji agak perlahan, tapi tertangkap telinga Kenanga. Dara jelita itu berada setengah tombak di belakang kekasihnya.
"Aku pun mulai percaya, Kakang..," sahut Kenanga yang juga memperhatikan gerakan tangan Ki Parwana.
Dari bentuk tangannya yang mengepal kemungkinan besar orang gila itu merupakan orang Perguruan Kepalan Sakti. Dan melihat kekuatannya, memang bukan mustahil ia ketua perguruan itu yang cukup terkenal di wilayah selatan. Sementara itu, Panji sudah menggeser langkahnya ke kanan. Pemuda itu hendak menjauhi Ki Parwana dari jalan utama Desa Tunjil. Dan membawanya ke sebuah tanah lapang yang cukup luas.
Ki Parwana sendiri kelihatannya sudah tidak sabar ingin segera merobohkan pemuda berjubah putih itu. Dengan sebuah lompatan panjang, lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu meluncur turun dalam jarak sekitar satu setengah tombak dari tempat Panji berdiri.
"Heaaakh...!"
Seraya membentak aneh, Ki Parwana meluncur dengan serangan-serangannya! Sambaran angin keras menyertai tibanya kepalan-kepalan yang berisi kekuatan hebat itu.
Beuttt...!
Panji memiringkan tubuhnya ketika pukulan lawan datang mengancam dada. Dan terus menggeser langkahnya ke belakang menghindari serangan susulan yang datang, bertubi-tubi. Sejauh itu Panji hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengatasi sergapan lawan. Itu berlangsung sampai enam jurus. Kegagalan serangan-serangan membuat Ki Parwana semakin bernafsu. Ia terus menambah kecepatan dalam serangan berikutnya.
"Haaakh...!"
Bwet bwettt..! Plakkk!
Dua serangan pertama dielakkan Panji dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Lalu tangan kirinya diangkat memapaki pukulan ketiga yang datang mengancam pelipisnya. Akibatnya, tubuh Ki Parwana terjajar mundur setengah tombak lebih. Wajah orang tua itu menyeringai sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri.
"Hyaaat...!"
Kali ini Panji tidak lagi sekadar mengelak atau menangkis. Serangan lawan berikutnya langsung disambut dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Sehingga, keduanya segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai akhirnya Ki Parwana kewalahan mengimbangi permainan Panji. Beberapa kali tubuh orang tua itu nyaris menjadi sasaran tamparan dan tendangan pemuda itu. Untung lelaki tua itu masih sempat mengelak atau menangkis, meski lengannya terasa nyeri ketika terpaksa menangkis serangan yang tidak sempat dielakkan.
Tapi, ketika pertarungan meningkat pada jurus keempat puluh, Ki Parwana tidak bisa lagi membalas. Gerakannya semakin sempit. Seolah-olah lelaki tua itu dikeroyok beberapa orang lawan. Ke mana saja tubuhnya bergerak menghindar pasti serangan lawan datang mengejar. Lelaki tua yang tidak waras itu menggeram-geram ribut. Sampai akhirnya....
Bukkk! Hukh!
Sebuah hantaman telapak tangan kanan Panji bersarang telak di tubuh Ki Parwana. Akibatnya tubuh lelaki tua itu terjajar limbung. Panji memang sengaja mengurangi tenaga pukulannya sewaktu mengenai tubuh lawan.
"Hyaaat…!"
Selagi lawannya terhuyung mencari keseimbangan, Panji melesat dengan totokan-totokan yang cepat dan kuat. Tentu saja orang gila itu tidak sempat mengelak. Dan...
Tukkk, tukkk!
"Ukh...!" Tubuh Ki Parwana melorot ke tanah tanpa dapat dicegah lagi. Dua kali berturut-turut totokan Panji bersarang di tubuh Ki Parwana. Lelaki tua itu mengeluh dan tak sadarkan diri.
Robohnya orang gila itu mengejutkan keempat keamanan desa. Terlebih yang telah mengenal siapa orang gila itu. Kemenangan pemuda berjubah putih menyadarkan mereka bahwa kepandaian penolongnya tidak bisa diragukan lagi. Pujian pun segera meluncur dari mulut mereka.
"Wah, benar-benar hebat, Kisanak! Padahal kepandaian Ketua Perguruan Kepalan Sakti sangat terkenal di daerah selatan ini. Orang-orang yang sanggup menghadapinya bisa dihitung dengan jari. Tapi, kau ternyata mampu melumpuhkannya tanpa terlukai. Benar-benar sukar dipercaya!" puji lelaki kekar berkumis lebat kagum bukan main atas kehebatan Panji.
"Terima kasih atas pujianmu, Kisanak. Maaf, aku harus segera membawa orang gila ini...," ujar Panji tersenyum. Kemudian mengangkat tubuh Ki Parwana ke bahunya, dan mengajak Kenanga segera meninggalkan tempat itu. Panji melihat penduduk desa yang semula bersembunyi dan melarikan diri telah berdatangan ke tempat itu. Pemuda itu tidak ingin dihujani pertanyaan dan pujian penduduk Desa Tunjil.
Kenanga sedikit pun tidak membantah. Tubuhnya segera melesat mengikuti langkah Panji yang telah berlari lebih dulu. Sebentar saja bayangan pasangan pendekar muda itu telah jauh meninggalkan tempat itu.
"Siapakah pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita itu...? Mereka pasti bukan orang sembarangan! Bukan mustahil pemuda tampan itu tokoh terkenal dalam kalangan persilatan...?" Gumam lelaki kekar berkumis lebat dalam hati, yang kelihatan sangat terkesan dengan perbuatan Panji. Terutama kehebatan pemuda itu yang mampu merobohkan Ketua Perguruan Kepalan Sakti tanpa melukai orang gila itu. Menurutnya itu sulit dilakukan tokoh lain.
Orang-orang Desa Tunjil masih saja memandangi sosok yang semakin kecil dan kemudian lenyap di kejauhan itu. Baru kemudian mereka bergerak satu persatu meninggalkan tempat itu. Mereka berbicara satu sama lain mengenai kehebatan pemuda tampan berjubah putih. Sedangkan keempat keamanan desa mengurus mayat-mayat korban amukan Ki Parwana, termasuk dua orang kawan mereka yang juga tewas di tangan orang tua gila itu.
***
EMPAT
DENGAN membawa tubuh Ki Parwana di aras bahu kanannya, Panji terus berlari meninggalkan Desa Tunjil. Berkat ilmu lari cepatnya yang tinggi sebentar saja ia sudah berada jauh di luar perbatasan desa. Dan bani menghentikan larinya ketika menemui persimpangan jalan. Kenanga yang berlari di sebelah kirinya segera menahan langkah. Dara jelita itu kelihatan agak bingung melihat pertigaan jalan di depannya.
"Ke mana kita, Kakang...?" tanya dara jelita itu menatap wajah Panji yang tengah memilih jalan mana yang akan dilalui.
"Aku hendak membawa orang gila ini ke Perguruan Kepalan Sakti untuk memastikan apakah benar ia ketua perguruan itu. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang harus kita ambil...?" sahut Panji, kemudian melangkah dan berhenti di tengah pertigaan, la memandang ke kiri-kanan agak lama, berharap bertemu orang yang bisa ditanyainya.
Mendengar jawaban kekasihnya, Kenanga tidak bisa memberikan pilihan. Ia sendiri tidak tahu di mana letak Perguruan Kepalan Sakti Gadis itu hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan kekasihnya.
"Hm.... Sayang tidak ada orang yang dapat kita tanyai...," desah Kenanga menghela napas panjang. Kedua jalan itu tampak sunyi. Tak seorang pun melintas di jalan itu.
"Kalau melihat keadaan orang gila ini yang kotor dan pakaiannya robek di beberapa tempat, jelas ia telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Paling tidak untuk mencapai Desa Tunjil, ia telah berjalan sehari penuh. Itu berarti letak Perguruan Kepalan Sakti cukup jauh...," ujar Panji mencoba mereka-reka.
"Apakah itu sudah pasti, Kakang...?" tanya Kenanga kurang setuju dengan pendapat kekasihnya. Agaknya dara jelita itu mempunyai dugaan lain.
"Tentu saja belum. Kau mempunyai pikiran lain? Coba katakan, barangkali perkiraanmu bisa kupertimbangkan."
Kenanga terlihat agak merenung. Sebelum menjawab, dara jelita itu melangkah ke tepi jalan yang cukup lebar dan berbatu-batu tak teratur. Kemudian duduk di atas sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Panji mengikuti langkah kekasihnya, dan melakukan perbuatan serupa. Sedangkan tubuh orang gila itu tetap di bahu kanannya. Untuk meletakkan di tanah berbatu begitu saja, Panji tidak tega. Kendati orang itu gila, tapi Panji tetap memperlakukannya dengan baik dan tidak sembarangan.
"Menurut perkiraanku, bisa saja letak Perguruan Kepalan Saka tidak terlalu jauh dari Desa Tunjil. Siapa tahu orang gila ini sebelumnya menyembunyikan diri di dalam hutan, dan baru memasuki desa saat hari terang. Jelasnya, keadaan orang gila ini yang kotor belum tentu karena melakukan perjalanan jauh...," Kenanga mengutarakan dugaannya. Dan itu tampaknya bisa diterima Panji.
"Hm..." Panji menghela napas panjang dan termenung memikirkan dugaan kekasihnya. Namun itu tidak berlangsung lama. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak halus di kejauhan. Ia bisa memastikan dari jalan sebelah mana suara itu berasal.
"Mudah-mudahan kita bernasib baik...," gumam Panji segera bangkit dan berdiri menatap jalan di sebelah kanannya.
Melihat sikap kekasihnya, Kenanga tidak banyak bertanya. Dara jelita itu dapat menduga apa yang tengah dilakukan Panji dengan berdiri dan menatap jalan seperti menunggu sesuatu. Tidak berapa lama kemudian, dari belokan jalan yang terhalang rimbunan alang-alang muncullah sebuah iring-iringan kuda. Semua berjumlah lima ekor. Pada punggung kuda tidak kelihatan penunggang. Karena dipenuhi kantung-kantung yang cukup besar dan banyak. Orang yang seharusnya berada di atas punggung kuda berjalan di samping binatang itu, menuntunnya.
"Kelihatannya mereka rombongan pedagang keliling, Kakang...," gumam Kenanga melihat banyaknya beban di atas lima ekor kuda itu.
"Kurasa memang demikian. Mudah-mudahan mereka dapat menunjukkan letak Perguruan Kepalan Sakti. Biasanya pedagang keliling banyak mengetahui tempat-tempat terpencil dan jauh dari keramaian..," sahut Panji penuh harap.
Tapi pemikiran rombongan kecil pedagang keliling itu berbeda jauh dengan pasangan pendekar muda itu. Melihat sepasang orang muda berdiri menghadang jalan, kecurigaan pun timbul di kepala mereka. Pedagang keliling yang berjumlah lima orang itu saling melempar pandang dengan wajah tegang. Mereka menduga sepasang orang muda itu tidak bermaksud baik.
"Hati-hati...! Meskipun mereka mungkin akan berbicara sopan dan baik-baik, kita harus waspada dan jangan percaya begitu saja. Siapa tahu mereka sepasang perampok muda yang hendak menjarah barang-barang dagangan kita...!" orang berwajah kehitaman yang berada paling depan mengingatkan kawan-kawannya. Ia sendiri sudah meraba gagang pedang yang tersimpan di salah satu kantung besar di atas punggung kuda, dan menampakkannya sedikit.
"Kurang ajar! Mereka mencurigai kita, Kakang. Apakah wajah kita pantas menjadi perampok...?" Kenanga yang rupanya dapat membaca pikiran pedagang-pedagang itu mengumpat jengkel. Ia tidak bisa menerima dugaan orang-orang yang dianggapnya buta itu. Untunglah Panji yang menyadari sikap kekasihnya segera mengingatkan. Kalau tidak, bisa jadi dara jelita itu akan menunjukkan sikap kasar terhadap pedagang-pedagang keliling itu.
"Mereka tidak bisa disalahkan, Adikku. Sebaiknya kau serahkan saja kepadaku. Biar aku yang akan bertanya baik-baik kepada mereka"
Kenanga menghela napas berat. Kemudian melangkah ke tepi jalan dan kembali duduk di atas akar pohon. Ia sengaja menjauh agar tidak kelepasan bicara. Sebab, bisa saja orang-orang itu akan menanggapi pertanyaan kekasihnya dengan sikap kasar.
"Paman sekalian, harap dimaafkan kalau keberadaanku membuat kalian terganggu...," sapa Panji ramah dengan senyum di bibir. "Aku hanya hendak bertanya sedikit...," lanjutnya menatap wajah-wajah kehitaman di depannya yang sudah berdiri berjajar dengan sikap waspada.
Sikap Panji yang ramah dan tampak tidak menyembunyikan kepura-puraan membuat orang-orang itu saling bertukar pandang. Kelihatannya mereka agak terpengaruh dengan sikap sopan pemuda tampan berjubah putih itu Apalagi wajah Panji tidak menggambarkan watak licik dan kejam. Mereka ragu kalau pemuda itu perampok yang sengaja menghadang perjalanan mereka.
"Hm.... Apa yang hendak kau ketahui dari kami, Sahabat Muda...?" sambut salah seorang dari lima lelaki yang menghadapi Panji. Agaknya orang itu pimpinan rombongan kecil itu.
"Begini, Paman," ujar Panji melanjutkan ucapannya. "Kami hendak menuju Perguruan Kepalan Sakti. Sayangnya letak tempat itu tidak kami ketahui. Bisakah Paman sekalian memberi petunjuk kepada kami…?"
Untuk kesekian kalinya, para pedagang keliling itu saling bertukar pandang. Mereka tidak menduga pemuda tampan berjubah putih itu hanya sekadar bertanya.
"Kalau benar sahabat muda hendak mencari Perguruan Kepalan Sakti, silakan mengambil jalan yang baru saja kami lalui. Sampai di tempat yang banyak ditumbuhi pohon bambu kuning, barulah berbelok ke kanan. Lalu ikuti jalan setapak yang di kiri-kanannya ditumbuhi ilalang setinggi dada. Setelah itu akan terlihat bangunan Perguruan Kepalan Sakti." Lelaki berewok pimpinan pedagang keliling itu menjelaskan panjang lebar.
"Terima kasih, Paman. Maaf, kalau aku telah merepotkan...," ujar Panji tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu menyingkir ke tepi jalan mempersilakan mereka melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Para pedagang keliling itu tersenyum dan membalas anggukan kepala pemuda itu. Hati mereka merasa lega. Sebab dugaan mereka ternyata keliru. Perjalanan pun kembali dilanjutkan tanpa ketegangan lagi.
"Mari kita pergi, Kenanga...," ajak Panji yang telah mendapat gambaran akan jalan yang harus dilaluinya. Sebentar saja pasangan pendekar muda itu telah melanjutkan perjalanannya menuju Perguruan Kepalan Sakti.
***
Bangunan Perguruan Kepalan Sakti tampak sunyi bagai tak berpenghuni. Di beberapa bagian pagar bangunan terlihat rusak. Rupanya setelah kepergian Ki Parwana, bangunan itu tidak terawat baik. Halaman depannya dipenuhi dedaunan kering, membuat tempat itu kelihatan kotor dan tidak terurus.
"Aneh...?!" Pemuda tampan berjubah putih yang pada bahu kanannya memondong sesosok tubuh itu bergumam lirih. Sepasang matanya menatap bagian-bagian bangunan yang rusak. Suasana sepi seperti mati itu membuat keningnya berkerut.
"Kalau melihat tempat ini, rasanya sukar dipercaya bahwa salah satu tokoh terkemuka rimba persilatan tinggal di dalamnya...," dara jelita berpakaian serba hijau mengutarakan keheranannya. Keningnya berkerut pertanda hatinya merasa tidak suka dengan tempat yang kotor itu.
"Sebaiknya kita mencoba mencari keterangan. Apakah tempat ini sudah tidak berpenghuni? Atau..., mungkin benar orang gila ini Ketua Perguruan Kepalan Sakti. Tempat ini tidak terawat setelah ketuanya menjadi gila den meninggalkan murid-muridnya begitu saja...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji.
Dara jelita yang sudah pasti Kenanga mengangguk setuju. Kemudian melangkah mengikuti kekasihnya mendekati pintu gerbang perguruan. Keduanya berhenti sesaat dan menengadah memandang sebuah papan nama yang tergantung di atas pintu gerbang. Ukiran yang bertuliskan 'Perguruan Kepalan Sakti' tampak kotor oleh debu. Sehingga, pasangan pendekar muda itu menggeleng tidak mengerti.
"Sahabat-sahabat yang ada di dalam bangunan, harap sudi membukakan pintu untukku...!" Panji berseru mengerahkan tenaga dalamnya Gelombang suaranya bergema sampai melewati bagian belakang bangunan. Sudah pasti penghuni bangunan itu akan mendengarnya dengan jelas.
Panji menunggu ada orang yang membukakan pintu gerbang dengan sabar. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara langkah mendekati pintu gerbang dari sebelah dalam. Diiringi suara berderit, pintu gerbang itu terkuak lebar.
Dua orang lelaki menatap heran. Kening mereka berkerut merasa belum pernah mengenal Panji dan Kenanga.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggu ketenangan kalian...," ujar Panji menganggukkan kepala dengan hormat.
"Ada keperluan apakah, Kisanak...?" tegur salah seorang dari kedua lelaki itu agak ramah. Sikap sopan dan hormat Panji mendapat sambutan yang baik dari penghuni bangunan.
"Hm.... Kalau diizinkan, aku hendak berjumpa dengan Ketua Perguruan Kepalan Sakti...," Panji menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada keperluan apa kau hendak berjumpa dengan guru kami, Kisanak?" kembali lelaki bertubuh tinggi kurus melontarkan tanya. Sesekali matanya mengerling pada sosok tubuh yang berada di bahu Panji.
"Ada suatu keperluan yang sangat penting, dan hanya bisa kubicarakan dengan ketua kalian. Harap kalian mau memaklumi...," ujar Panji yang tentu saja tidak bisa mengatakan keperluannya. Niatnya datang ke tempat itu hanya untuk memastikan kebenaran sosok tubuh yang dibawanya. Sebab ia belum yakin sepenuhnya orang gila yang dilumpuhkannya itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak bisa! Kalau kau memang mempunyai keperluan, katakan saja kepada kami. Beliau telah mewakilkan segala urusannya kepada kami," lelaki kurus itu bersikeras tidak bersedia mempertemukan Panji dengan ketuanya. Tentu saja lelaki itu berbohong. Sebab ketua perguruannya tidak berada di tempat.
Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas panjang. Sebentar kemudian pemuda itu termenung. Ia tahu akan percuma bila tetap memaksa.
"Perlihatkan saja orang gila itu kepada mereka, Kakang. Siapa tahu mereka dapat mengenalinya..." Melihat kekasihnya termenung, Kenanga segera saja mengajukan usul. Itulah jalan satu-satunya untuk meredakan ketegangan di antara mereka.
"Hm.... Baiklah Kalau begitu, coba perhatikan baik-baik. Apakah kalian mengenali orang ini...?" akhirnya Panji menyetujui usul kekasihnya, dan memperlihatkan wajah orang gila itu kepada kedua murid Perguruan Kepalan Sakti.
"Aaah...?!"
Kedua lelaki itu terperangah melihat raut wajah yang sangat mereka kenal dengan baik.
"Guru...?!"
Akhirnya keluar juga ucapan yang diharapkan Panji dan Kenanga. Ucapan yang secara tidak langsung merupakan pengakuan itu membuat Panji dan Kenanga merasa lega.
"Jadi benar orang ini guru kalian...?" tanya Panji menegasi kendati telah mendapat kepastian.
"Benar, Kisanak. Apa... apa yang telah terjadi dengan guru kami? Di mana kalian menemukannya...?" tanya lelaki tinggi kurus membuka suara, meski dengan kerongkongan terasa kering dan terpaksa harus menelan air liur berkali-kali.
"Jika demikian, marilah kita bicara di dalam...," usul Panji yang tanpa menunggu jawaban langsung membawa tubuh Ki Parwana ke dalam bangunan.
Kedua murid Perguruan Kepalan Sakti tidak bisa menahan langsung pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka masih terkejut melihat keadaan gurunya yang nyaris tidak bisa dikenali lagi. Setelah pasangan pendekar itu lewat beberapa tombak dari pintu gerbang, barulah mereka berlari mengejar.
"Tolong tunjukkan kamar ketua kalian...," ujar Panji setelah memasuki bangunan induk Perguruan Kepalan Sakti. Kemudian membawa Ki Parwana masuk ke dalam kamar dan merebahkannya di atas pembaringan. "Biarkan beliau beristirahat. Aku telah memberikan pil untuk menenangkan jiwanya."
Kedua murid Ki Parwana hanya mengangguk. Lalu mengikuti langkah Panji menuju ruangan depan. Sedangkan belasan murid lainnya hanya memandang lewat pintu tanpa berani bertanya.
"Aku bernama Kaliawang. Sedangkan kawanku ini Balitang. Kuharap Kisanak suka memperkenalkan diri, dan menceritakan bagaimana kalian dapat berjumpa dengan guru kami..," ujar lelaki tinggi kurus setelah mereka duduk di ruangan depan.
Karena ingin segera mengetahui penyebab kegilaan Ki Parwana, Panji segera menceritakan apa adanya. Kedua murid yang mengambil alih pimpinan sejak Ki Parwana pergi, tampak terkejut dan merasa menyesal atas kejadian itu.
"Kasihan sekali penduduk Desa Tunjil. Mereka harus tewas di tangan guru kami yang tengah terguncang jiwanya...," sesal Kaliawang menggelengkan kepala dengan wajah keruh. Kelihatan sekali lelaki tinggi kurus itu sangat menyesalkan perbuatan gurunya.
"Tidak perlu merasa berdosa, Kaliawang. Apa yang dilakukan gurumu jelas di luar kesadaran. Kami pun pernah mendengar nama besar guru kalian. Apa yang kami dengar telah membuat kami kagum. Ki Parwana terkenal berani dan tegas dalam menindak orang-orang jahat. Itu sebabnya kami ingin mengetahui apa yang menyebabkan beliau menjadi gila..," ujar Panji berusaha menghibur Kaliawang.
Kaliawang tidak segera memberikan tanggapan kepada Panji yang telah memperkenalkan namanya. Lebih dahulu ditatapnya wajah dan sosok pemuda tampan berjubah putih itu lekat-lekat. Sepertinya ia hendak mempertimbangkan apakah Panji pantas mendapat keterangan atau tidak.
"Hhh..." Terdengar helaan napas berat Kaliawang seraya mengalihkan pandangan ke luar bangunan melalui jendela yang terbuka, la masih ragu untuk memberikan penjelasan kepada pasangan pendekar muda yang belum begitu dikenalnya itu.
"Kaliawang...," panggil Kenanga tidak sabar melihat keraguan lelaki tinggi kurus itu. "Kedatangan kami ke tempat ini dengan membawa guru kalian justru hendak memberi bantuan. Tentu saja sebatas kemampuan kami. Tapi kalau kau merasa kami tidak pantas mengetahuinya, terserahlah..,"
"Bukan begitu, Kenanga...," bantah Kaliawang tidak enak mendapat sindiran dara jelita itu. Tapi, ucapannya hanya berhenti sampai di situ. Wajah Kaliawang kelihatan gelisah. Seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan lelaki tinggi kurus itu.
"Lalu.., mengapa kau tidak segera menceritakannya kepada kami? Apa sebenarnya yang menyebabkan guru kalian menjadi gila? Apakah kalian tidak ingin melihat Ki Parwana sembuh seperti sediakala dan kembali memimpin perguruan ini..?" desak Kenanga tetap dengan nada tinggi. Rupanya dara jelita itu agak tersinggung merasa diremehkan. Ia tidak sadar kalau Kaliawang dan Balitang tidak mengetahui siapa mereka sebenarnya.
"Kami hanya merasa khawatir akan keselamatan kalian...," akhirnya Kaliawang mengutarakan juga ganjalan di hatinya.
"Mengkhawatirkan keselamatan kami...?!" kali ini Panji yang menyahuti. Kening pemuda itu tampak berkerut. Ia semakin tidak mengerti dengan sikap Kaliawang yang dirasanya semakin aneh.
"Ya. Karena penyebab kegilaan guru kami ada hubungannya dengan seorang tokoh sesat berhati kejam yang kepandaiannya boleh dibilang hampir menyamai datuk-datuk sesat di empat penjuru...," ujar Kaliawang agak bergetar. Jelas kelihatan gambaran kegelisahan diwajahnya.
"Hm..." Panji rupanya mulai mengerti jalan pikiran Kaliawang. Pemuda itu bergumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ditatapnya wajah lelaki tinggi kurus itu lekat-lekat.
"Dengarlah, Kaliawang. Dan kau, Balitang!" ujar Panji dengan berwibawa. Kedua murid Ki Parwana menundukkan kepala tidak berani menentang pandang mata pemuda itu, yang berkilat tajam menggetarkan dada.
"Kami mau peduli dengan penderitaan Ki Parwana dan kalian semua karena kami merasa kita orang-orang segolongan. Kalau bukan sahabat-sahabat yang mau menolong, lalu siapa yang hendak kalian harapkan? Mengenai keselamatan kami berdua, kalian tidak perlu khawatir. Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan selalu menegakkan keadilan, kami jauh-jauh hari sudah merelakan bila satu hari nanti kematian datang menjemput! Bahkan kami merasa berharga bila mati dalam menegakkan kebenaran! Jadi, kekhawatiran kalian jelas tidak beralasan!"
Ucapan Panji yang menunjukkan keluhuran budinya membuat Kaliawang danBalitang terharu. Sungguh tidak disangka, pemuda dan dara jelita yang baru mereka kenaltelah berani mempertaruhkan nyawa untuk membela Perguruan Kepalan Sakti. Sehingga,baik Kaliawang maupun Balitang merasa malu kepada diri sendiri. Sebagai murid-murid Ki Parwana, mereka tidak berdaya dan tidak melakukan tindakan apa-apa.Bahkantakseorang pun yang mencoba mencari Ki Parwana saat beliau pergi meninggalkan perguruan.
"Maaf, kalau kami telah salah menduga...." Hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Kaliawang setelah keadaan sunyi beberapa saat lamanya.
"Nah, sekarang kuminta dengan sangat kalian bersedia menceritakan penyebab kegilaan Ki Parwana. Apa pun yang akan terjadi kami tidak akan menyesal atau menyalahkan kalian...," tegas Panji menekan kata-katanya.
"Baiklah...," Kaliawang menyerah dan bersedia menceritakan penyebab kegilaan gurunya.
Tak seorang pun dari pasangan pendekar muda itu memotong cerita Kaliawang. Keduanya mendengarkan dengan teliti sampai lelaki tinggi kurus itu menyelesaikan ceritanya.
"Begitulah, Panji. Soal permusuhan beliau dengan tokoh sesat yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara, kami tidak tahu pasti." Kaliawang mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang. Lelaki tinggi kurus itu seperti baru saja melepaskan beban berat yang menghimpitnya selama ini.
Panji baru memaklumi penderitaan yang dialami Ki Parwana. Yang dilakukan Ketua Perguruan Kepalan Sakti, meski tidak sadar, memang merupakan pukulan batin yang sangat berat. Wajar saja kalau tokoh setangguh Ki Parwana sampai mengalami goncangan batin dan menjadi tidak waras. Panji mengerti orang tua itu didera rasa bersalah yang sangat besar. Bahkan mungkin tak berampun, menurut pikiran Ki Parwana.
"Tokoh sesat itu pasti menggunakan ilmu sihir, Kakang...," Kenanga yang ikut menyimak penjelasan Kaliawang mengutarakan dugaannya. Apa yang dipaparkan Kaliawang demikian jelas. Sehingga, Kenanga dapat mengambil kesimpulan mengenai kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Itu sudah pasti. Kalau tidak, mana mungkin Ki Parwana sampai tega membantai murid-muridnya dengan cara yang demikian kejam. Hm..., sungguh keji perbuatan Gendruwo Rimba Dandara...," tukas Panji yang rupanya mempunyai dugaan sama dengan kekasihnya.
"Menurut ingatanku, tokoh yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tinggal di daerah utara. Hanya di daerah itulah ada Rimba Dandara. Apa kau mempunyai rencana, Kang...?" tanya Kenanga.
"Mengenai hal itu, biarlah kita pikirkan nanti. Yang penting sekarang kesembuhan Ki Parwana. Setelah mendapat penjelasan tentang permusuhan Ki Parwana dengan tokoh sesat itu, baru kita mengatur rencana dan mencari Gendruwo Rimba Dandara..," ujar Panji yang bermaksud mengobati Ki Parwana.
Kaliawang dan Balitang tidak berkata apa-apa. Mereka tidak berani lagi menganggap remeh kedua orang muda itu dan mulai menduga Panji dan Kenanga bukan orang sembarangan. Terbukti mereka berdua mengenal Gendruwo Rimba Dandara. Bahkan tahu letak belantara itu.
"Aku akan menyiapkan kamar untuk kalian menginap...," Kaliawang bergerak bangkit dari duduknya. Dan bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyiapkan kamar Panji dan Kenanga.
"Jangan terlalu merepotkan Kaliawang. Kami sudah terbiasa tidur di hutan terbuka...," ujar Panji kepada lelaki tinggi kurus itu yang menanggapi dengan senyum.
Tidak berapa lama kemudian, Kaliawang kembali muncul dengan wajah cerah. Kelihatannya ia tidak merasa keberatan dan menerima Panji dan Kenanga dengan hati ikhlas.
"Silakan kalian melepas lelah. Setelah itu baru kita membicarakan pengobatan guru kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu dengan hormat.
Merasa sudah kepalang basah, Panji maupun Kenanga tidak menolak permintaan Kaliawang. Keduanya bergerak bangkit dan mengikuti langkah lelaki tinggi kurus itu ke kamar yang telah disediakan. Kaliawang mohon diri setelah kedua orang muda itu memasuki kamarnya masing-masing.
***
LIMA
MEMANG tidak mudah Panji menyembuhkan kegilaan Ki Parwana. Sebab penyebabnya bukan racun atau yang sejenisnya. Pemuda itu memerlukan waktu yang cukup lama dan harus menggunakan kekuatan batinnya untuk menghilangkan rasa bersalah yang mendera jiwa Ki Parwana. Untuk menggunakan kekuatan batin, Panji memerlukan banyak tenaga dalam.
Kaliawang dan Balitang setiap hari melihat perkembangan kesehatan gurunya. Kedua lelaki yang mengambil alih pimpinan perguruan itu telah menaruh kepercayaan penuh kepada Panji dan Kenanga. Mereka menyerahkan kesembuhan Ki Parwana pada Panji. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Meski tidak segera pulih seperti sediakala, namun kemajuan Ki Parwana terlihat nyata.
"Bagaimana perkembangan guru kami, Panji...?" tanya Kaliawang mendatangi Panji di taman belakang perguruan. Saat itu Panji baru saja selesai bersemadi untuk memulihkan tenaga dalamnya yang banyak terkuras selama mengobati Ki Parwana.
"Saat ini beliau sedang tidur. Kuharap kalian menunggu sampai beliau terbangun. Kelihatannya ada harapan yang cukup besar. Kemungkinan dalam beberapa hari lagi beliau akan sembuh," jawab Panji seraya menyusut peluh yang membasahi wajah dan tubuhnya yang bertelanjang dada.
Lega hati Kaliawang dan Balitang mendengar penjelasan Panji. Itu terlihat jelas dari tarikan napas mereka yang panjang dan ringan.
"Entah bagaimana kami harus membalas budi haikmu, Panji. Rasanya seumur hidup kami tidak akan sanggup membayar budi baik kalian berdua...," ujar Kaliawang.
Panji tertawa pelan. Seraya menjatuhkan tubuhnya pada sebuah batu pipih yang dibentuk seperti kursi panjang, terdengar helaan napasnya saat tawanya berhenti.
"Kaliawang," ujar Panji kemudian. "Kalau seseorang memberikan pertolongan dengan mengharapkan balasan, jelas itu tidak benar. Kalau memang ingin menolong harus benar-benar ikhlas dan rela berkorban tenaga dan pikiran bahkan mungkin nyawa. Jadi, sebaiknya kau tidak perlu memikirkan balasan untuk kami berdua. Apa yang kami lakukan adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Melihat Ki Parwana sembuh saja, senang rasanya hatiku. Lagi pula, menolong sesama manusiaa sudah menjadi kewajiban kita semua. Nah, apakah perkataanku salah?"
Kaliawang dan Balitang hanya bisa menatap kagum pemuda tampan berbudi luhur itu. Mereka merasa sangat kecil bila dibandingkan dengan Panji. Selain kalah dalam pengalaman, pemuda itu pun berpandangan luas dan pandai menyusun kata-kata. Itu merupakan pengalaman baru bagi mereka. Diam-diam keduanya berjanji dalam hati akan mencontoh sikap dan perbuatan pemuda tampan itu. Pemuda itu memang pantas dijadikan contoh mereka, bahkan oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya yang mengaku pendekar pembela keadilan.
"Kami benar-benar harus belajar banyak darimu, Panji...," ujar Kaliawang mewakili Balitang.
"Sudahlah. Kalian hanya membuatku malu saja...," elak Panji mengibaskan tangannya perlahan. "Sebaiknya sekarang kita lihat keadaan Ki Parwana. Mudah-mudahan beliau sudah bangun."
Kendari keduanya sadar Panji sengaja mengalihkan pembicaraan, tapi mereka sedikit pun tidak membantah. Keduanya mengayun langkah mengikuti Panji dan Kenanga yang membawa mereka ke kamar Ki Parwana. Ki Parwana tengah duduk termenung di atas pembaringan. Berturut-turut masuklah Panji, Kenanga, dan kedua murid lelaki tua itu setelah mengetuk pintu perlahan. Kedatangan mereka tidak membuat Ki Parwana bangkit. Sepasang matanya tetap mengawasi pemandangan di luar jendela kamar.
"Guru..."
Kaliawang dan Balitang segera menjatuhkan diri berlutut di bawah pembaringan Ki Parwana. Suara itu rupanya sanggup menyadarkan Ki Parwana kembali ke alam nyata. Sepasang matanya beralih pada dua lelaki yang masih berlutut di bawah kakinya.
Sementara Panji dan Kenanga berdiri memperhatikan sikap orang tua itu. Mereka ingin melihat tanggapan Ki Parwana. Pada hari-hari kemarin, orang tua itu hanya memandang kosong pada Kaliawang dan Balitang. Tapi, kali ini tampaknya ada perubahan. Kening lelaki tua itu berkerut. Seolah tengah mengerahkan ingatannya untuk mengenali kedua lelaki itu.
"Kalian siapa...?" Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulut Ki Parwana. Kendati belum bisa mengenali kedua orang muridnya, tapi suara itu jelas merupakan tanggapan atas sikap Kaliawang dan Balitang. Panji dan Kenanga saling berpandangan dan bertukar senyum.
"Ki Parwana," ujar Panji mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya terdengar penuh perbawa dan menelusup ke dalam jaringan otak lelaki tua itu, membuat Ki Parwana mengangkat kepala.
"Perhatikan baik-baik. Mereka adalah kedua muridmu yang setia dan penuh tanggung jawab...!" kembali suara Panji bergema menggetarkan sekujur tubuh Ki Parwana untuk beberapa saat. Hal itu hanya diketahui Panji dan Kenanga.
"Mereka murid-muridku...?" desis Ki Parwana. Kerut di keningnya semakin terlihat nyata. Pandangan matanya beralih ke bawah setelah bertatapan dengan sepasang mata Panji yang mengandung kekuatan gaib.
"Katakan, Ki Parwana! Apakah sekarang kau bisa mengenali mereka?"
Ki Parwana kembali menoleh ke arah Panji. Lalu kembali memperhatikan Kaliawang dan Balitang yang menengadah agar mudah dikenali lelaki tua itu. "Ya. Mereka memang murid-muridku. Tapi, aku tidak tahu siapa mereka...," ujar Ki Parwana perlahan, mirip keluhan putus asa. Kemudian lelaki tua itu meremas rambutnya dengan jari-jari tangan bergetar. Sepertinya ia merasa kecewa karena tidak bisa mengenali kedua muridnya.
Melihat sikap Ki Parwana, Panji segera bertindak cepat. Ia tahu orang tua itu belum mampu mengingat dengan baik. Jika dipaksakan bisa-bisa pecah pembuluh darah di kepala lelaki tua itu.
"Tubuhmu masih lelah, Ki Parwana! Sebaiknya kau beristirahat. Jangan paksa dirimu...!"
Kendati Panji tidak mempelajari atau memiliki ilmu sihir, namun dengan kekuatan batinnya yang terlatih baik ia sanggup membuat suaranya berpengaruh kalau memang dikehendaki. Itu terbukti dari sikap yang diperlihatkan Ki Parwana.
"Aku sangat lelah.... Aku ingin istirahat...," ujar Ki Parwana seraya merebahkan tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya mengerjap berkali-kali seperti orang yang sangat kelelahan.
"Minumlah obat ini, Ki Parwana! Setelah bangun nanti, kau akan ingat segalanya dengan baik...!" ujar Panji tetap menggunakan kekuatan batinnya sambil menyerahkan sebutir pil kepada orang tua itu, yang langsung menelannya tanpa membantah.
"Aku akan ingat segalanya..... Ya, aku akan ingat segalanya setelah terbangun nanti." Sambil memejamkan matanya, setelah menelan pil pemberian Panji, Ki Parwana mengulang kata-kata yang diucapkah Panji. Sampai akhirnya lelaki tua itu jatuh tertidur.
"Mari kita pergi agar istirahatnya tidak terganggu. Mudah-mudahan ia akan memperlihatkan kemajuan setelah terbangun nanti..," Panji mengajak Kenanga dan kedua murid Ki Parwana untuk meninggalkan tempat itu.
"Kelihatannya beliau hampir sembuh, Panji...," bisik Kaliawang gembira, meski Ki Parwana baru mengingatnya sebagai murid tanpa menyebut nama mereka. Tapi itu sudah mendatangkan harapan bagi mereka untuk melihat bagaimana gurunya sembuh seperti semula.
***
Hari yang dinantikan murid-murid Perguruan Kepalan Sakti pun tiba juga. Pengobatan yang dilakukan Panji membawa hasil yang menggembirakan Ki Parwana sembuh dari kegilaannya, meski terkadang masih suka termenung dan lebih senang menyendiri. Kesembuhan Ki Parwana membuat murid-muridnya gembira.
Ki Parwana duduk di kursi bergagang gading di ruangan depan yang terbuka. Di kiri-kanan lelaki tua itu duduk Panji dan Kenanga. Sedangkan beberapa langkah di depan Ki Parwana terlihat Kaliawang dan Balitang duduk bersila dengan wajah cerah. Sepasang mata kedua lelaki itu berkilat menggambarkan kegembiraan yang sangat.
"Murid-muridku sekalian...!" ujar Ki Parwana mengedarkan pandangannya ke arah belasan murid yang berdiri di halaman depan, tempat beriatih silat "Aku berharap kalian mau memaafkan perbuatanku yang telah membantai kawan-kawan kalian...," ucap Ki Parwana terhenti, seperti menunggu tanggapan.
"Guru...." Kaliawang merangkap kedua tangannya dengan sikap penuh hormat. "Kami semua tidak menyalahkan Guru. Sebab kami sadar perbuatan Guru dilakukan karena pengaruh sihir, seperti yang dikatakan Panji dan Kenanga. Jadi, Guru tidak perlu meminta maaf kepada kami. Kami tetap setia dan hormat kepada Guru..."
Ki Parwana tersenyum tipis mendengar ucapan Kaliawang yang mewakili suara hati murid-murid lainnya. Hati orang tua itu merasa lega, kendati masih kelihatan agak lemah. Kesehatannya memang belum pulih sepenuhnya. Hal itu tentu saja tidak terlalu mengkhawatirkan. Untuk memulihkan tenaganya, Ki Parwana hanya tinggal memperbanyak semadi. Setelah itu, tidak ada persoalan lagi.
"Terima kasih...," Ki Parwana memandang wajah murid-muridnya yang tinggal tujuh belas orang. "Perlu kalian ketahui, semua ini berkat pertolongan seorang pendekar muda yang duduk di sebelah kananku. Apakah kalian sudah mengenal pemuda ini...?"
Tujuh belas murid Ki Parwana menganggukkan kepala. Mereka memang telah mengenal pemuda yang bernama Panji itu. Kaliawang dan Balitang pun ikut mengangguk mendengar pertanyaan gunanya.
"Tidak. Kalian belum mengenal siapa sebenarnya pemuda perkasa ini," lajut Ki Parwana, membuat murid-muridnya mengerutkan kening. Khawatir orang tua itu kembali tidak bisa mengingat dengan baik.
"Guru...!" Kaliawang yang terlihat cemas buru-buru memanggil lelaki tua itu, seperti hendak membawanya kembali ke alam sadar.
"Kau tidak perlu cemas, Kaliawang. Yang akan kukatakan pasti akan membuat kalian terbelalak!" Ki Parwana terkekeh hingga murid-muridnya khawatir, dan memandang Panji yang menggeleng-gelengkan kepala mencegah ucapan Ki Parwana. Panji tahu apa yang dimaksud orang tua itu. Gelengan kepala Panji ternyata ditanggapi lain oleh murid-murid Ki Parwana, termasuk Kaliawang dan Balitang. Mereka mengira Panji merasa tidak sanggup lagi mengobati guru mereka. Dan menganggap gelengan pemuda itu sebagai ungkapan keputusasaannya.
"Dengarlah, Murid-muridku! Pemuda ini adalah seorang pendekar besar yang telah mengguncang rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya! Nah, apakah kalian dapat menebak siapa pemuda yang bernama Panji ini...?" tanpa mempedulikan kekhawatiran murid-muridnya, Ki Parwana melanjutkan perkataannya.
"Aaah...?! Benarkah... Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
Kaliawang rupanya telah banyak mendengar tentang Pendekar Naga Putih dari cerita gurunya. Ia segera dapat menebak dengan tepat setelah memperhatikan sosok pemuda tampan berjubah putih itu. Hanya Pendekar Naga Putih-lah yang memiliki ciri-ciri persis seperti sosok pemuda bernama Panji itu. Kaliawang sedikit pun tidak menduganya.
"Benar, Kaliawang. Kalau bukan Pendekar Naga Putih, mana mungkin ia sanggup menyembuhkan kegilaanku yang sangat parah ini...," Ki Parwana terkekeh gembira mendengar Kaliawang dapat menebak dengan tepat.
Panji sendiri menjadi risih ketika melihat sikap murid-murid Perguruan Kepalan Sakti semakin menunjukkan kekaguman, bahkan ada beberapa di antaranya menyanjung-nyanjung pemuda itu.
"Kuharap kalian jangan membuatku jadi besar kepala! Julukan itu hanya sebuah nama kosong belaka !" ujar Panji merendah. Pujian-pujian itu tidak membuatnya menjadi sombong. Malah semakin membuatnya rendah hati.
"Maafkan sikapku yang kurang hormat selama ini, Pendekar Naga Putih..." Kaliawang memperlihatkan perubahan yang nyata. Itu karena ia tahu Panji adalah Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu sikapnya akan tetap seperti biasa, dan tidak terlalu sungkan. Apalagi mengagung-agungkan pemuda tampan berjubah putih itu. Ternyata nama besar dalam kalangan persilatan mendatangkan pandangan lain pada orang banyak.
"Sikap dan keluhuran budi pendekar muda ini patut kalian contoh!" Ki Parwana menasihati murid-muridnya. Lelaki tua itu tampak tidak peduli walau Panji berusaha mencegahnya. Dan terus memberikan wejangan-wejangan kepada muridnya dengan sosok Pendekar Naga Putih sebagai contoh nyata.
"Sudahlah, Ki. Jangan diteruskan. Aku khawatir tidak bisa membawa beban berat ini. Sebab, manusia sewaktu-waktu berubah. Aku tidak ingin mereka menyesal di kemudian hari karena terlalu memujiku...," ujar Panji berusaha mengingatkan Ki Parwana saat lelaki tua itu menghentikan ucapannya untuk menarik napas.
Kali ini Ki Parwana tampaknya mengerti akan perasaan pemuda tampan itu. Ia tidak lagi melanjutkan wejangannya. Karena memang yang hendak disampaikannya telah selesai. Saat itu hari sudah menjelang sore. Ki Parwana segera membubarkan murid-muridnya dan mengingatkan akan tugas masing-masing. Lalu mempersilakan Panji dan Kenanga untuk beristirahat. Tapi Panji menolak. Ada sesuatu yang hendak diketahuinya dari orang tua itu.
"Kau hendak menanyakan sesuatu kepadaku, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Parwana seperti dapat membaca pikiran, pemuda tampan itu.
"Benar, Ki...," sahut Panji cepat setelah murid-murid Ki Parwana meninggalkan tempat itu. Yang tinggal hanya Kaliawang dan Balitang. Mereka dianggap sudah pantas untuk mengetahui semua yang berhubungan dengan Perguruan Kepalan Sakti.
"Tanyakanlah, Pendekar Naga Putih. Aku akan menjawabnya sebisaku." Ki Parwana menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat.
"Tidak banyak yang ingin kuketahui, Ki. Tapi kalau kau menganggapnya terlalu ptibadi, tidak perlu dijawab"
Ki Parwana mengangguk-angguk. Sepasang matanya tetap mengawasi wajah Pendekar Naga Putih yang telah lama dikaguminya. Memang pemuda seperti Panji-lah yang diharapkan dapat menggantikan tokoh-tokoh tua seperti dirinya. Ia bangga dengan kepandaian maupun budi pekertinya yang luhur. Ki Parwana percaya Pendekar Naga Putih dapat mengemban tugas-tugas berat yang menjadi kewajiban setiap orang gagah.
"Apa yang membuat Gendruwo Rimba Dandara sangat mendendam pada Ki Parwana...?" Panji langsung mengutarakan pertanyaan yang mengganjal di benaknya sejak mengetahui orang yang menyebabkan kegilaan Ki Parwana.
"Hm.... Sebenarnya yang terjadi di antara kami adalah hal yang biasa dalam kalangan persilatan. Sebagai orang gagah, tentu saja aku tidak bisa mendiamkan kekejaman Gendruwo Rimba Dandara. Saat itu aku masih tinggal di daerah utara. Bersama seorang rekan, aku menantang tokoh sesat itu bertarung. Gendruwo Rimba Dandara terlempar ke jurang oleh pukulan kami yang dilontarkan bersamaan. Siapa sangka tokoh yang kuanggap telah tewas itu, tiba-tiba muncul di daerah selatan ini dengan ilmunya yang luar biasa! Hingga akhirnya ia berhasil membalas dendam dengan menyiksaku," papar Ki Parwana menceritakan permusuhannya dengan Gendruwo Rimba Dandara.
"Kalau begitu, rekan Ki Parwana pun pasti akan didatanginya," ujar Panji.
"Tidak mungkin! Rekanku itu telah tewas. Ia mengalami luka dalam yang cukup parah sewaktu bertempur menghadapi Gendruwo Rimba Dandara. Mungkin tokoh jahat itu belum mengetahuinya. Rekanku tewas setahun setelah pertarungan di puncak Bukit Mata Setan..," ucap Ki Parwana membuat Panji merasa lega.
"Jika demikian, izinkanlah aku dan Kenanga mohon diri. Kami hendak mencoba menghentikan kejahatan tokoh sesat itu..," ujar Panji segera bangkit dari duduknya.
"Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih...?" kaget juga Ki Parwana. Permintaan Panji sangat mendadak dan tidak disangka-sangka.
"Bukannya kami tidak kerasan tinggal di tempat ini, Ki. Tapi, sebaiknya kita bertindak cepat dalam memberantas kejahatan. Dengan begitu, korban yang akan jatuh bisa kita cegah...." Panji mengajukan alasan yang tepat hingga Ki Parwana tidak bisa berkata apa-apa. Ucapan Panji dapat dimakluminya.
"Berjanjilah untuk singgah ke tempat ini, Pendekar Naga Putih. Keberadaanmu akan sangat baik bagi perkembangan murid-muridku..," pinta Ki Parwana yang tahu tidak mungkin bisa menahan kepergian pemuda yang sangat dikaguminya itu.
"Bila persoalan ini telah selesai, aku berjanji akan singgah dan bermalam beberapa hari...," janji Panji. Ki Parwana tampak puas. Janji orang seperti Pendekar Naga Putih bukanlah janji kosong.
Matahari sudah bergeser semakin ke barat saat Panji dan Kenanga bergerak meninggalkan Perguruan Kepalan Sakti. Ki Parwana mengantarkan sampai ke pintu gerbang bersama murid-muridnya. Mereka baru bergerak masuk setelah bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan.
***
ENAM
"KAKANG, kau dengar suara lengkingan aneh yang mendirikan bulu roma itu...?" Kenanga yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan berbantalkan buntalan pakaian bergegas bangkit.
"Hm.... Seperti suara lengkingan binatang malam atau sebangsanya. Tapi, mengandung kekuatan aneh yang menggetarkan jantung.... Binatang apa yang memiliki suara seseram itu...?" gumam Panji menyahuti ucapan kekasihnya. Panji bangkit dari duduknya di atas akar pohon seraya mengerahkan indera pendengarannya, ia merasa penasaran dan agak curiga dengan suara lengkingan aneh yang menurutnya tidak wajar.
Dengan pendengarannya yang tajam, Panji dapat menangkap suara lengkingan itu lebih jelas dari semula. Keningnya tampak berkerut. Seolah sedang berpikir keras. Panji mulai dapat menduga suara lengkingan itu bukan berasal dari binatang malam. Selama ini ia belum pernah mendengar suara seperti itu.
"Lengkingan itu bergerak ke arah timur! Kita harus mengikutinya, Kenanga. Firasatku mengatakan suara lengkingan itu pertanda buruk,.," Panji mengajak kekasihnya mengikuti suara lengkingan itu.
Tanpa mempedulikan suasana malam yang agak gelap, Panji melesat bersama kekasihnya menuju ke arah timur. Pancaran cahaya bulan yang muncul penuh sangat membantu gerakan mereka. Meskipun agak samar, namun mereka dapat bergerak lebih leluasa dengan bantuan sinar bulan.
Dengan kepandaian ilmu lari cepatnya yang sangat tinggi, pasangan pendekar muda itu bergerak mengikuti suara lengkingan yang semakin jelas terdengar. Jalan yang mereka lintas pun semakin diterangi cahaya bulan. Jalan berbatu yang cukup lebar itu memang tidak banyak terlindung pepohonan. Tapi setelah suara itu, semakin dekat jaraknya dengan mereka, tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Hingga mereka kehilangan arah dan tidak tahu harus kemana.
"Hm... Apa sebenarnya yang mengeluarkan lengkingan aneh itu? Mengapa tiba-tiba lenyap saat kita sudah dekat dengan pemilik suara itu?" Panji memperlambat larinya. Pemuda itu tidak bisa menduga ke mana pemilik lengkingan aneh itu pergi.
Kenanga pun tidak kalah penasarannya dengan Panji. Kendati demikian, dara jelita itu tidak menghentikan gerakannya. Langkahnya tetap terayun di samping Panji. Sementara otaknya bekerja keras mencari jawaban. Meskipun telah kehilangan arah, pasangan pendekar muda itu terus bergerak menerobos keremangan malam. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah jalan yang rata dan lebar.
"Hm... Jalan ini pasti berhubungan dengan sebuah perkampungan. Sebaiknya kita mengikuti jalan ini. Mungkin lengkingan aneh itu menuju perkampungan di sebelah timur itu..., gumam Panji dalam hati menduga-duga. Pemuda itu melihat tiang batu yang merupakan batas desa. Langsung saja larinya dipercepat agar segera tiba di desa sebelah timur itu.
"Apa mungkin lengkingan itu suara hantu-hantu yang bergentayangan, Kakang...?" tiba-tiba Kenanga bertanya demikian, membuat Panji menoleh sambil tenis berlari.
"Tidak mungkin..," sahut Panji setelah terdiam beberapa saat.
Suara lengkingan itu terdengar jelas dan nyata. Selain itu, tidak ada rasa takut dalam hatinya. Kalau lengkingan itu milik makhluk-makhluk halus, ia dapat merasakan perbedaannya. Suara alam gaib dapat menimbulkan rasa takut yang aneh, yang tidak dimengerti manusia. Sedangkan suara lengkingan itu, meskipun menyeramkan, tapi tidak mendatangkan perasaan takut yang aneh atau pun getaran kengerian dalam hatinya. Panji yakin lengkingan itu berasal dari makhluk-makhluk nyata seperti mereka berdua.
"Aaa...!" Keyakinan Panji diperkuat oleh suara jeritan melengking seorang manusia. Jeritanitu menunjukkan pemiliknya tengah menghadapi sesuatu yang mengerikan atau kematian.
"Suara jeritan orang yang tengah menghadapi maut...?!" desis Kenanga segeramenambah kecepatan larinya, mengikuti langkah Panji yang telah lebih dulu melesat dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Kenanga tertinggal sejauh satu setengah tombak. Dara jelita itu maklum akan sikap kekasihnya yang harus secepatnya tiba di tempat jeritan itu berasal.
Namun, Panji tidak perlu bersusah-payah mencari penyebab lengkingan maut itu. Sebelum ia sampai di mulut desa, di depannya rampak enam sosok bayangan hitam bergerak ke arahnya. Tiga dari enam sosok yang kelihatan kecil itu seperti membawa beban di bahu kanannya. Panji juga mendengar teriakan orang banyak yang rupanya sedang mengejar keenam sosok itu. Tahulah Panji kalau sosok yang bergerak ke arahnya itu orang-orang jahat yang baru saja melaksanakan kejahatannya.
Apa yang kemudian disaksikan Panji benar-benar membuatnya hampir tidak percaya. Keenam sosok hitam itu orang-orang kerdil yang kemudian diketahuinya bocah-bocah tanggung berusia sekitar sepuluh tahun. Dan beban yang berada di aras pundak tiga bocah-bocah itu anak-anak kecil yang diduganya baru berusia empat atau lima tahun! Tampaknya mereka baru saja melakukan penculikan!
"Kuminta kalian berhenti...!" seru Panji menghentikan larinya dan berdiri tegak menghadang jalan.
Tapi, bocah-bocah berkulit hitam dan berkepala gundul pelontos itu tidak menghiraukan peringatan Panji. Tiga bocah terdepan bahkan mengirim serangan kilat yang menyebarkan hawa panas menyengat!
Panji terkejut bukan main! "Gila! Mana mungkin bocah sekecil itu memiliki tenaga dalam yang demikian hebat...!" desis Panji. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya langsung bergerak melindungi sekujur tubuh pemuda itu. Sebentar saja lapisan kabut bersinar putih keperakan melapisi seluruh tubuh Panji. Sehingga....
Tas tas tasss...!
"Heiii!" Panji berseru kaget menerima tiga pukulan jarak jauh berhawa panas! Kuda- kudanya terjajar tiga langkah! Jelas itu tidak bisa didiamkan begitu saja.
"Hiii...!"
Tiga bocah aneh dengan sorot mata kehijauan itu kembali menerjang Panji dengan ganasnya! Padahal saat pukulan mereka membentur tubuh pemuda itu ketiganya terpental balik. Namun mereka dapat menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik dan kembali melesat dengan serangan yang jauh lebih ganas dan berbahaya!
"Luar biasa...! Mungkinkah mereka bocah-bocah siluman yang tengah mencari mangsa...?!" desis Panji yang telah siap menghadapi serangan bocah-bocah aneh menyeramkan itu. Lengkingan tadi menjelaskan kepada Panji bahwa suara aneh yang tengah dicarinya ternyata berasal dari bocah-bocah menyeramkan itu.
Bwet bwettt!
Dua buah serangan yang tiba lebih dulu dielakkan Panji dengan lompatan ke samping. Pemuda itu masih merasa sungkan untuk membalas, mengingat lawannya hanya bocah-bocah kecil. Tapi....
Plarrr!
Serangan bocah ketiga yang dipapaki Panji membuat pemuda itu sadar bahwa mereka bukan bocah-bocah biasa yang patut dikasihani. Karena pada saat lengannya membentur serangan salah seorang bocah, Panji mendapat kenyataan bocah-bocah itu sangat kuat! Maka, pemuda itu segera mengirim serangan balasan dengan kecepatan kilat!
Plakkk!
"Eaakh.!" Salah satu dari ketiga bocah aneh itu, yang kembali menerjang Panji, terpental balik terkena tamparan cukup keras pemuda itu. Hingga jatuh berdebuk di atas tanah berbatu! Tapi....
"Heiii?!"
Bukan main kagetnya Panji melihat bocah itu langsung melenting bangkit seperti tidak merasakan apa-apa. Padahal tamparannya sanggup memecahkan batu sebesar kerbau! Tapi, bagi bocah itu tak lebih dari sebuah tepukan sayang. Kenyataan itu membuat Panji semakin sadar bahwa bocah-bocah itu harus dilawannya dengan sungguh-sungguh! Maka, Panji mulai mempersiapkan serangan-serangannya.
Sementara itu, Kenanga yang tiba belakangan mengerutkan kening melihat kekasihnya dikeroyok tiga orang bocah gundul yang sangat ganas dalam melontarkan setiap serangan. Belum lagi Kenanga menyadari sepenuhnya, tiba-tiba tiga bocah lainnya yang memondong korbannya, menerjang dara jelita itu dengan sebelah tangan.
"Heiii...?!"
Kaget bukan main hati dara jelita itu mendengar suara angin menderu disertai hawa panas menyengat! Sadarlah Kenanga tiga serangan itu bisa mendatangkan kematian bila sampai mengenai tubuhnya. Tentu saja dara jelita itu tidak sudi tubuhnya menjadi sasaran pukulan maut itu.
"Haiiit...!"
Diiringi teriakan melengking, Kenanga berlompatan mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menyelamatkan diri. Tapi karena ia masih belum memberikan serangan balasan, dara jelita itu menjadi sibuk ketika serangan lawan semakin gencar berdatangan tak ubahnya gelombang lautan yang mengamuk!
"Kurang ajar...!" Kenanga memaki geram. Cepat ia mempersiapkan jurus-jurusnya untuk menghadapi bocah-bocah kurang ajar itu. Sepasang tangannya bergerak cepat. Serangan-serangan balasannya meluncur datang. Sebentar saja Kenanga telah terlibat sebuah pertarungan yang sangat seru!
"Kenanga, hati-hati! Jangan pandang remeh bocah-bocah itu! Mereka sangat hebat dan memiliki kekebalan tubuh yang tangguh!" Panji yang melihat Kenanga juga telah bertarung melawan tiga orang bocah gundul segera memperingatkan. Kalau tidak, kekasihnya bisa mendapat celaka bahkan mungkin kematian. Bocah-bocah gundul berkulit hitam itu tangguh luar biasa dan sangat gesit. Setelah mendengar peringatan Panji, Kenanga tidak lagi ragu-ragu melontarkan serangan balasan.
Kali ini dara jelita itu bersungguh-sungguh. Karena setelah bertarung selama belasan jurus Kenanga mendapati bocah-bocah itu memang sangat berbahaya!
"Hm. Kalian benar-benar harus diajar sopan santun..!" geram dara jelita itu mulai mengerahkan jurus-jurus ampuhnya menghadapi keroyokan tiga bocah aneh itu.
Plakkk, plakkk!
Dua orang bocah yang tidak sempat menghindari tamparan Kenanga langsung terpelanting jatuh mencium tanah! Tapi, mereka segera melenting bangkit. Kenanga hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bocah-bocah itu tampak tidak merasa sakit sedikit pun, apalagi terluka. Seolah Kenanga bukan melakukan tamparan, tapi belaian hangat yang membuat bocah-bocah gundul itu semakin bertambah ganas!
"Celaka! Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa aku yang celaka di tangan mereka!" Kenanga segera mengempos semangatnya dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Lawan yang dihadapinya tidak bisa dibuat main-main lagi!
"Hiii...!"
Tapi, ketiga bocah gundul berkulit hitam itu tidak memperlihatkan sikap gentar. Dibarengi teriakan melengking aneh yang mendirikan bulu roma, tubuh ketiga bocah itu menerjang Kenanga dengan pukulan yang menyebarkan hawa panas menyengat!
Kenanga kelihatan tidak lagi bertindak tanggung-tanggung. Sebentar saja pertarungan kembali berlanjut! Bahkan jauh lebih seru!
Sementara Panji mulai kewalahan menghadapi bocah-bocah tangguh itu. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya seperti tidak mempunyai arti bagi lawan-lawannya. Kenyataan itu membuat Panji penasaran. Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak tega membunuh bocah-bocah itu dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Panji menduga bocah-bocah itu mempunyai majikan, atau paling tidak ada yang mengendalikan. Ia ingin menyingkap rahasia itu.
"Hm... Satu-satunya jalan untuk merobohkan mereka tanda menciderainya adalah dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sikap bocah-bocah ini kelihatan tidak wajar..." gumam Panji dalam hati, kemudian melompat jauh menghindari gempuran ketiga bocah gundul itu.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan mata terpejam. Sebentar kemudian, terciptalah sinar kuning keemasan membungkus sekujur tubuh Panji. Lalu terus bergerak ke kedua telapak tangannya. Hanya sebatas pergelangan tangannya saja yang diwarnai sinar keemasan berhawa panas itu.
"Haiiit!" Bocah-bocah gundul itu menerjang Pendekar Naga Putih dari tiga arah yang berbeda, Panji pun segera mendorongkan kedua telapak tangannya.
Breshhh...!
"Kaaakh...! Kaaakh,..!"
Disertai pekikan keras, tubuh bocah-bocah aneh itu terjerembab ke tanah terkena hantaman sinar kuning keemasan milik Panji!
"Haiiit...!"
Ketika bocah-bocah gundul itu datang menerjang dari tiga arah yang berbeda, Panji mendorong telapak tangannya kedua arah sekaligus!
Breshhh...!
"Kaaakh...!"
"Kaaakh...!"
Sinar kuning keemasan yang meluncur dari sepasang telapak tangan Panji langsung menghajar dua dari tiga bocah itu! Akibatnya, tubuh bocah-bocah aneh itu terjerembab ke tanah. Kali ini mereka tidak sanggup bangkit lagi. Sinar keemasan yang menerpa tubuh mereka berpendar melingkari tubuh kedua bocah yang rebah tak bergerak itu. Sinar itu terus berputaran mengecil. Sampai akhirnya lenyap seperti masuk ke dalam tubuh bocah-bocah gundul itu.
"Hiiikh...!"
Bocah yang tinggal seorang kelihatan gentar setelah menyaksikan sinar kuning keemasan yang menghantam pingsan kedua kawannya. Dengan memperdengarkan suara aneh, bocah itu bergerak mundur menarik pulang serangannya. Dan hendak melarikan diri dari tempat itu.
"Hm.... Rupanya kau masih memiliki rasa takut juga, Bocah…," ujar Panji melihat sikap lawannya yang tinggal seorang itu.
Tentu saja Panji tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Cepat pemuda itu melesat mencegah kepergiannya. Dan melontarkan pukulan 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang telak menghantam tubuh belakang bocah itu!
Tanpa ampun lagi, tubuh bocah itu terjerembab ke tanah. Kejadian serupa yang dialami kedua kawannya juga terjadi pada bocah itu, yang rebah pingsan akibat pukulan Panji. Apa yang terjadi pada ketiga bocah gundul itu tidak aneh!
Kekuatan gaib jelmaan Pedang Naga Langit memang suatu kekuatan mukjizat yang tidak ada duanya. Tenaga itu dapat hidup dan dikendalikan menurut pikiran pemiliknya. Panji bermaksud sekadar melumpuhkan lawan-lawannya tanpa mencederai. Tenaga mukjizat itu pun bekerja seperti yang diinginkan Panji. Sehingga, ketiga bocah gundul itu hanya pingsan tanpa mengalami luka yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Setelah berhasil dengan ketiga lawannya, Panji segera melesat ke tempat Kenanga bertarung. Pemuda itu hendak melakukan perbuatan serupa pada tiga bocah lainnya.
"Kenanga, menyingkirlah! Biar aku yang melumpuhkan mereka!" seru Panji yang tengah melayang di udara.
Mendengar seruan itu, Kenanga segera melompat jauh ke belakang. Selama pertempuran gadis jelita itu memang belum menggunakan Pedang Sinar Bulan. Biar bagaimanapun hatinya tidak tega membunuh bocah-bocah tanggung itu. Teriakan Panji membuat dara jelita itu menarik napas lega. Beberapa jurus lagi Kenanga sudah memutuskan untuk menggunakan pedangnya.
Panji yang meluncur ke tengah arena langsung menerjang ketiga bocah gundul yang menjadi lawan kekasihnya. Kali ini Panji tidak melakukan pukulan jarak jauh. Karena ada tubuh lain di bahu ketiga bocah itu. Panji harus lebih berhati-hati agar tidak melukai tubuh anak-anak berusia empat atau lima tahun yang diculik bocah-bocah gundul itu. Untuk melakukan itu tentu saja tidak mudah. Membutuhkan waktu yang agak lama. Tidak seperti waktu merobohkan lawan-lawannya tadi.
***
TUJUH
KENANGA yang menyaksikan jalannya pertempuran mau tidak mau harus menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak! Pemandangan yang disaksikannya benar-benar sukar diterima akal sehat. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Kenanga tidak akan percaya.
Bagaimana mungkin seorang pendekar yang telah menggemparkan rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya yang langka sampai harus mengerahkan kepandaiannya yang tertinggi untuk melumpuhkan tiga orang bocah berusia sepuluh tahun! Sekali lagi, tiga orang bocah berusia sepuluh tahun! Jelas itu mustahil terjadi! Tapi, kenyataannya Kenanga menyaksikan peristiwa ganjil itu!
"Gila...! Kalau bocah-bocah gundul itu sampai bebas berkeliaran rasanya sulit mencari orang yang mampu menundukkan mereka! Kakang Panji sendiri mengalami kesulitan merobohkan bocah-bocah aneh itu! Hhh.... Betapa rimba persilatan akan geger jika bocah-bocah itu berkeliaran..," gumam Kenanga dalam hati dengan perasaan tak menentu. Dara jelita itu sendiri nyaris tidak berdaya menghadapi bocah-bocah gundul yang menyeramkan itu.
"Haaaiiit..!"
Menghadapi tiga bocah gundul itu, Panji harus menggunakan seluruh kelincahan tubuhnya. Mereka seperti dapat membaca pikiran Panji yang mengkhawatirkan keselamatan tubuh-tubuh mungil di bahu mereka. Baru setelah lewat dari dua puluh jurus. Panji dapat merobohkan salah satu lawannya dengan sebuah tamparan telak!
Plaggg...!
Begitu tubuh lawan terpental, Panji melesat menyambar bocah yang berada dalam pondongannya. Sekali mengulur tangan korban penculikan itu pun berhasil diselamatkan. Tapi....
Bukkk, desss...!
"Hukh...!"
Panji terjajar limbung terkena hantaman dua orang bocah lainnya saat tengah menyelamatkan korban penculikan itu. Belakang tubuhnya terasa nyeri. Ada cairan merah merembas dari sudut bibir pemuda perkasa itu.
"Hiii...!"
Dua bocah gundul itu mengeluarkan lengkingan tinggi yang mendirikan bulu roma. Keduanya melesat cepat hendak menyusuli serangannya untuk merobohkan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm..." Panji cepat berbalik dan meliukkan tubuhnya menghindari dua serangan maut lawan!
Bwettt, whusss...!
Serangan-serangan itu lewat di samping tubuh Panji. Kendati demikian, sambaran angin pukulannya menggoyahkan kuda-kuda Panji. Tapi, kedua bocah itu harus membayar mahal kecerobohan mereka. Panji segera melancarkan serangan balasan dengan kecepatan laksana kilat menyambar!
Bukkk!
"High...!"
Saat tubuh bocah gundul itu terlempar roboh, tangan Panji kembali terulur menangkap sosok yang terlepas dari pondongan lawan. Kemudian bergerak mundur ke arah tempat Kenanga berdiri.
"Jaga kedua anak ini baik-baik...!" pesan Panji lalu melemparkan dua anak dalam dekapannya.
Bukan pekerjaan yang sulit bagi Kenanga menangkap kedua tubuh mungil itu. Sekali melayang kedua tangannya telah memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Kemudian meluncur turun dengan ringan.
Sementara Panji harus menghadapi serangan lawannya yang tinggal seorang. Karena sudah berhasil mengetahui cara merobohkan lawannya, tidak sulit lagi bagi pemuda itu untuk menyelesaikan pertempuran. Dengan mengandalkan kecepatan geraknya yang memang sulit dicari tandingan, bocah gundul itu terpelanting roboh terkena hantaman telapak tangan Panji pada tubuh bagian depannya.
"Huppp!"
Sekejap sebelum tubuh lawan terbanting ke tanah, Panji melompat menangkap tubuh mungil yang terlepas dari pegangan bocah gundul itu. Dan pemuda itu berhasil menyelamatkannya. Bersamaan dengan robohnya bocah-bocah gundul itu terdengar suara langkah orang banyak mendatangi tempat itu Teriakan-teriakan ribut meningkahi datangnya rombongan orang desa. Dalam sekejap tempat itu menjadi terang-benderang oleh cahaya api obor.
"Itu dia bocah-bocah iblis itu...?!"
Terdengar seruan heran seorang penduduk seraya menudingkan telunjuknya ke sosok bocah-bocah gundul yang rebah pingsan di tanah berbatu.
"Bunuh bocah iblis itu...!" "Cincang! Jadikan perkedel...!"
Suara teriakan-teriakan marah penduduk desa membuat Panji segera melesat mencegah. Tubuhnya melayang bagai seekor burung besar. Dan meluncur turun beberapa langkah di hadapan rombongan yang berjumlah tidak kurang dari empat puluh orang.
"Tunggu..!"
Panji mengulurkan tangannya disertai bentakan yang sangat berpengaruh. Orang-orang desa yang dipimpin para keamanan desa itu pun tersentak mundur. Wajah mereka berubah pucat, mengira sosok Panji adalah hantu. Selain gerakannya tidak terlihat, pemuda itu mengenakan pakaian serba putih!
"Saudara-saudara sekalian, harap jangan turutkan kemarahan yang bisa merugikan kalian sendiri...," Panji menggunakan kesempatan selagi mereka terkejut untuk mengingatkan tindakan mereka.
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih yang menggendong seorang bocah korban penculikan, para penduduk saling berpandangan. Mereka tidak tahu siapa pemuda itu, dan berasal dari mana. Tapi melihat tubuh bocah-bocah gundul bergeletakan di atas tanah, mereka dapat menduga pemuda tampan itulah yang menyelamatkan putra-putri penduduk desanya. Apalagi salah satu korban penculikan ada dalam gendongan Panji.
Setelah beberapa saat, dari kelompok penduduk melangkah maju seorang lelaki berwajah cukup berwibawa. Meski terlihat agak pucat, lelaki bertubuh tegap itu berusaha bersikap tenang. Langkahnya terhenti setengah tombak di hadapan Panji. Rupanya sikap dan raut wajah Panji membuat hati lelaki tegap itu agak tenang dan percaya pemuda di depannya bukan orang jahat.
"Kisanak yang gagah, siapakah kiranya! Mengapa bocah-bocah iblis itu bergeletakan ditanah? Kisanak-kah yang melakukannya...?" tanya lelaki bertubuh tegap yang rupanya kepala keamanan desa. Itu dapat dilihat dari sikapnya yang penuh tanggung jawab dan pakaiannya yang hitam-hitam.
"Paman," sahut Panji tenang dan ramah. "Secara kebetulan kami mendengar suara teriakan seram bocah-bocah gundul itu. Kami berusaha mencari asal lengkingan. Siapa sangka kami justru berbentrokan dengan mereka yang ternyata baru saja melakukan tindak kejahatan. Syukurlah kami bisa melumpuhkannya dan menyelamatkan korban-korban penculikan ini."
Lelaki tegap itu kelihatan agak ragu ketika Panji menyodorkan tubuh mungil yang ada dalam pondongannya. Namun melihat wajah tampan itu tersenyum dan mengangguk, lelaki tegap itu pun mengulur tangannya menyambut tubuh mungil yang diserahkan Panji. Perbuatan Panji diikuti Kenanga. Dua tubuh mungil yang ada dalam dekapannya, yang tengah pingsan akibat totokan, segera diserahkan kepada dua orang penduduk yang menyambutnya tanpa ragu. Sebab yang menyerahkannya seorang dara jelita dengan bibir tersenyum manis, membuat mereka yakin dara itu pasti bukan orang jahat. Mereka lebih percaya bila dara itu seorang bidadari penyelamat ketimbang wanita iblis yang jahat.
"Kisanak muda yang gagah...." Kembali terdengar lelaki tegap, kepala keamanan desa itu, berkata, "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Tapi, kami mohon maaf karena tidak bisa mengampuni bocah-bocah gundul itu begitu saja. Mereka bukan cuma menculik, bahkan membunuh ibu dari anak-anak itu dengan cara yang sangat kejam! Karena itu, kami minta kalian tidak keberatan bila kami membawa penculik-penculik itu untuk dihukum."
"Maaf, Paman. Bukannya aku menolak atau hendak membela orang-orang yang telah melakukan kejahatan. Tapi, ada baiknya jika Paman mau mendengarkan pertimbangan yang akan kami utarakan...," tukas Panji yang tentu saja maklum akan perasaan lelaki tegap itu maupun penduduk desa. Apalagi mengingat bocah-bocah gundul itu juga membunuh selain menculik. Hanya karena ada dugaan tertentu sajalah, Panji berusaha mencegah keinginan mereka.
Mendengar perkataan pemuda tampan berjubah putih itu, yang sama artinya dengan penolakan, kening lelaki tegap itu tampak berkerut. Jelas hatinya tidak senang dengan ucapan Panji.
"Kisanak yang gagah. Meskipun kami sadar kau sudah berjasa besar terhadap penduduk desa dengan menyelamatkan anak-anak itu, tapi bukan berarti kami mau saja menuruti kehendakmu yang jelas tidak benar itu! Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari bocah-bocah iblis itu?" lelaki tegap itu menuntut jawaban atas sikap Panji yang jelas-jelas tidak mau menyerahkan bocah-bocah gundul itu kepada mereka.
"Paman," ujar Panji tetap tenang tidak terpengaruh kemarahan yang diperlihatkan lelaki tegap itu. "Apa yang kulakukan ini demi kebaikan Paman dan penduduk desa. Aku tidak ingin kalian akan mengutuki diri sendiri karena telah menjatuhkan hukuman kepada bocah-bocah kecil yang kemungkinan besar telah digunakan orang-orang sesat untuk melakukan tindak kejahatan."
"Apa maksud perkataanmu, Kisanak?"
"Begini, Paman," ujar Panji tetap dengan tekanan suara yang wajar. "Menurut kami, penculik-pencullk itu tidak berbeda dengan anak-anak lainnya yang seusia mereka. Bedanya mereka telah dipengaruhi suatu kekuatan aneh hingga sifat mereka berubah mengerikan. Nah, sekarang katakanlah dengan jujur, Paman. Apakah kalian tega menghukum atau membunuh bocah-bocah tak berdosa yang tidak sadar akan segala perbuatannya?" Panji mengakhiri ucapannya dengan tekanan suara yang agak berat, membuat lelaki tegap maupun penduduk desa terkejut.
"Jadi...," lelaki tegap itu mulai ragu. Tentu saja ia tidak akan pernah sudi menghukum bocah-bocah gundul itu. Apalagi membunuhnya, seperti yang telah mereka kehendaki bersama.
"Kalau Paman dan penduduk lainnya tidak keberatan, aku ingin membawa mereka ke desa. Bila kau tidak bisa menyadarkan mereka dan mengembalikannya seperti semula, anggaplah dugaanku keliru. Kalian boleh melakukan apa saja terhadap bocah-bocah gundul itu...," usul Panji.
Lelaki tegap itu kelihatan bimbang. Kemudian menoleh ke arah rombongan yang sedang berbicara satu sama lain. Sehingga terdengar suara-suara mendengung.
"Bagaimana, Paman? Kami tidak bisa menunggu lama. Khawatir mereka keburu sadar. Aku hanya membuat mereka pingsan untuk sementara waktu saja...," Panji menuntut jawaban secepatnya. Sebab ia tidak bisa memastikan sampai kapan bocah-bocah itu akan terkapar tak sadarkan diri.
Karena tidak mungkin meminta pendapat kawan-kawannya yang saat itu tengah sibuk berbicara satu sama lain, lelaki tegap itu pun berkata kepada Panji.
"Tapi, bagaimana seandainya mereka sadar dan kembali melakukan pembunuhan? Aku..., tidak berani bertanggung jawab"
"Kami berdua bersedia menanggung segala akibatnya, Paman. Kalau mereka sadar dan kembali mengamuk, kami yang akan maju mempertaruhkan nyawa lebih dulu...!"
Kenanga yang merasa tidak sabar oleh sikap ragu-ragu lelaki tegap itu, langsung menukas dengan nada tinggi. Agak kaget juga lelaki tegap itu. Ia menoleh ke arah Kenanga dengan wajah kemerahan. Jelas sekali hatinya merasa malu. Yang berbicara adalah seorang dara muda berparas jelita. Dara jelita itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk orang-orang yang tidak dikenalnya. Ucapan itu membuat kepala keamanan desa sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan orang-orang gagah.
"Baiklah, Kisanak. Aku akan menanggung segala akibat yang akan terjadi!" tegas lelaki tegap itu merasa terpanggil mendengar ucapan Kenanga. Kemudian ia menoleh ke arah rombongan penduduk dan keamanan desa yang tengah berkumpul di belakangnya.
"Bawa bocah-bocah gundul itu ke balai desa!"
Panji dan Kenanga bertukar pandang dengan senyum di bibir. Mereka merasa lega mendengar keputusan lelaki tegap itu Panji bisa menduga apa yang membuat lelaki tegap itu berani mengambil tindakan itu. Panji merasa kagum dengan tanggung jawab lelaki tegap itu.
"Terima kasih, Paman...," ucapan Panji dibalas dengan anggukan kepala oleh kepala keamanan desa.
"Mari ikut bersama kami..," ujarnya mempersilakan Panji ikut ke balai desa. Sikapnya kelihatan lebih ramah dan kesan segan kepada pasangan muda yang diduganya pendekar-pendekar pembela kebenaran.
Tanpa banyak cakap, keduanya mengikuti kepala keamanan desa bersama rombongannya. Tentu saja orang-orang itu baru berani menyentuh bocah-bocah gundul setelah diperiksa Panji. Pemuda itu berkeyakinan bocah-bocah gundul itu tidak akan sadar dalam waktu singkat.
Tapi meskipun Panji dan Kenanga merasa yakin bocah-bocah gundul itu akan pingsan paling tidak sampai tengah hari, mereka tetap berjaga-jaga di samping enam lelaki yang membawa tubuh-tubuh bocah itu. Pasangan pendekar muda itu siap bertindak bila perkiraan mereka meleset.
Dengan diterangai sinar obor, rombongan itu bergerak memasuki desa yang terletak cukup jauh dari tempat Panji merobohkan bocah-bocah aneh itu. Rombongan itu rupanya telah dinanti-nanti oleh puluhan penduduk Desa Kalang. Suasana desa yang terang-benderang oleh sinar obor membuat suasana malam tak ubahnya siang hari. Peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan bocah-bocah gundul berkulit hitam itu telah menggegerkan Desa Kalang! Hampir seluruh penghuni desa keluar dari rumah.
***
Setelah merebahkan bocah-bocah gundul itu di sebuah ruangan di balai desa, Panji segera melakukan pemeriksaan dengan teliti. Pemuda itu hanya ditemani Kenanga serta dua orang keamanan desa, termasuk lelaki tegap yang menjadi kepala keamanan desa. Panji bertindak cepat karena khawatir bocah itu keburu tersadar.
Kekhawatiran Panji memang sangat beralasan, mengingat bocah-bocah itu memiliki ketangguhan yang melebihi tokoh-tokoh persilatan terlatih. Bukan tidak mungkin daya tahan tubuh yang luar biasa itu bisa menyadarkan mereka lebih cepat dari perkiraan Panji.
"Bagaimana, Panji...?" tanya kepala keamanan desa yang bernama Ki Ganjira, dan telah saling berkenalan dengan Panji maupun Kenanga. Lelaki itu segera melangkah maju melihat Panji selesai melakukan pemeriksaan.
Ki Ganjira, Kenanga, dan keamanan desa yang lain kelihatan tegang ketika melihat kepala pemuda tampan berjubah putih itu menggeleng berkali-kali. Tampaknya usaha pengobatan yang hendak dilakukan Panji menemui jalan buntu.
"Hhh...," Panji menghela napas berat yang berkepanjangan sebelum memberikan jawaban, membuat ketiga orang itu semakin penasaran!
"Apakah mereka sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup secara wajar, Kakang...?" tanya Kenanga tidak sabar melihat sikap kekasihnya yang belum juga memberikan jawaban.
"Menurut pengamatanku, bocah-bocah ini telah diberi makanan dan minuman yang mengandung racun serta kekuatan gaib. Semua itu telah merusak jaringan urat saraf di kepala mereka. Bahkan racun maupun pengarah gaib yang ditanamkan itu telah menyatu dengan darah dan perasaannya. Sehingga, mustahil bagiku untuk mengembalikan mereka ke dalam kehidupan yang wajar seperti bocah-bocah lainnya...," Panji menjelaskan disertai helaan napas berulang-ulang. Kelihatannya pengobatan itu memang tidak mungkin dapat dilaksanakan.
"Jadi...?" Ki Ganjira meminta ketegasan Panji.
"Karena jika dibiarkan terlalu berbahaya, sebaiknya mereka memang harus kita bunuh. Dengan begitu berarti kita telah menolong mereka terbebas dari penderitaan hidup...," sahut Panji mengambil keputusan.
"Kakang, apakah...?" Kenanga terpaksa menggantung ucapannya yang belum selesai. Dara jelita itu melihat kepala kekasihnya menggeleng lemah. Kemudian terdengar jawabannya yang membuat Kenanga merasa lebih pasti kalau Panji mengetahui maksud ucapannya yang belum selesai.
"Pedang Naga Langit memang bisa melenyapkan racun serta pengaruh kekuatan gaib yang ada dalam tubuh bocah-bocah itu, meskipun membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi urat saraf yang telah rusak tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Kalaupun aku berhasil menolong mereka, rasanya lebih baik mereka meninggalkan dunia yang penuh penderitaan dan penyiksaan. Aku tidak bisa membuat mereka waras."
Bukan main kagetnya dara jelita itu mendengar penjelasan kekasihnya. Sungguh tidak disangka yang dialami bocah-bocah gundul itu ternyata sangat menyedihkan. Kenanga hanya bisa menghela napas panjang dengan perasaan iba. Kedua keamanan desa itu pun tidak berkata apa-apa.
Mereka merasa bersyukur Panji telah bersikeras mencegah saat mereka hendak menindak bocah-bocah gundul itu. Kalau tidak, Ki Ganjira dan seluruh penduduk Desa Kalang pasti akan menyesali dosanya seumur hidup. Kalaupun sekarang mereka harus membunuh bocah-bocah itu, karena rasa kasihan dan ingin melepaskan mereka dari penderitaan. Jelas ada perbedaan yang menyolok, meski yang akan mereka lakukan sama-sama membunuh!
***
DELAPAN
Malam itu keadaan Desa Kalang tampak sepi. Penduduk telah sejak sore masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu serta jendela rapat-rapat. Jalan-jalan desa lengang dan sunyi. Tak satu makhluk pun terlihat melintas. Jangankan manusia, kucing pun enggan berada di luar. Padahal malam itu bulan bersinar penuh menerangi bumi di bawahnya.
Tapi tidak semua rumah tertutup rapat. Rumah terbesar di desa itu tampak terang oleh sinar lampu. Beberapa sosok tubuh duduk di beranda depan. Rumah besar itu adalah tempat kediaman Kepala Desa Kalang.
"Bagaimana kalau perkiraanmu meleset, Kakang...?" sosok tubuh terbungkus pakaian serba hijau bertanya kepada pemuda tampan berjubah putih yang duduk di seberang meja berhadapan dengannya.
"Kemungkinan besar tidak, Kenanga," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Kemudian kembali melanjutkan ucapannya. "Menurut perhitunganku, anak-anak yang diculik bocah-bocah aneh itu akan dijadikan korban pada malam bulan purnama ini. Karena bocah-bocah aneh itu belum kembali, majikannya pasti akan mencari dan mendatangi Desa Kalang. Lebih baik kita bersiap menyambut kedatangan dalang penculikan itu daripada mencarinya tanpa petunjuk. Aku yakin tokoh itu akan muncul malam ini."
Kenanga menganggukkan kepala menerima alasan kekasihnya. Apa yang diperkirakan Panji kemungkinan besar memang bisa terjadi. Itu sebabnya mereka berdua bermalam di Desa Kalang. Khawatir jika majikan bocah-bocah aneh itu muncul di desa itu. Panji dan Kenanga tidak ingin melihat penduduk Desa Kalang menjadi sasaran kemarahan tokoh yang belum diketahui siapa adanya itu.
"Bagaimana kalau tokoh yang menjadi dalang penculikan itu datang dengan membawa para pengikutnya...?" pertanyaan itu datang dari seorang lelaki tegap yang tidak lain Ki Ganjira, Kepala Desa Kalang.
Panji menoleh ke arah lelaki tegap itu. Ki Ganjira menemani mereka berdua karena Kepala Desa Kalang sedang pergi mengunjungi kerabatnya yang menderita sakit di desa lain. Hingga Ki Ganjira bertanggung jawab penuh atas keselamatan warga Desa Kalang. Selama kepala desanya tidak berada di tempat, semua yang terjadi menjadi tanggung jawab Ki Ganjira sepenuhnya.
"Semua sudah kuperhitungkan, Paman. Itu sebabnya aku mengusulkan agar penduduk mengunci pintu dan jendela rapat-rapat dan tidur sore-sore. Apa pun yang akan terjadi mereka harus tetap berada di dalam rumah. Dengan demikian, keselamatan mereka dapat lebih terjamin. Apakah Paman sudah memberitahukan kepada semua penduduk desa ini...?" tanya Panji setelah menjawab pertanyaan Ki Ganjira.
"Semua sudah kusampaikan, Panji. Aku yakin mereka akan menuruti pesan itu..," sahut Ki Ganjira tanpa keraguan sedikit pun.
"Syukurlah kalau begitu," tukas Panji menghela napas lega. Kemudian menengadahkan kepala menatap langit yang ditaburi gemintang. "Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya kita segera bersiap dengan tugas masing-masing...," lanjut Panji memandang orang-orang yang berada di ruangan itu.
Mendengar ucapan Panji, Ki Ganjira beserta dua puluh orang keamanan Desa Kalang segera bangkit. Mereka siap menjalankan rencana yang sudah diatur oleh pemuda tampan berjubah putih itu.
"Seperti yang telah kita rencanakan, aku dan Kenanga akan meronda sebelah timur dan barat. Ki Ganjira bersama sepuluh orang ke selatan. Dan lainnya mengambil arah utara. Beri tanda jika salah seorang dari kita menemukan sesuatu yang mencurigakan," jelas Panji kembali mengutarakan rencananya.
"Ingat! Jangan sembarangan memberi tanda bila belum pasti…!"
Ki Ganjira dan dua puluh orang keamanan Desa Kalang menganggukkan kepala.vMereka bergerak setelah Panji memberikan beberapa petunjuk lagi.
"Hati-hati, Kenanga! Jangan bertindak ceroboh. Ingat pesanku...!" Panji mengingatkan kekasihnya setelah rombongan Ki Ganjira meninggalkan tempat itu.
"Beres, Kakang. ," sahut Kenanga tersenyum menggoda. Kemudian melesat ke arah timur seperti yang telah direncanakan Panji.
Panji sendiri tidak segera beranjak dari tempatnya. Pemuda itu menunggu sampai bayangan kekasihnya hilang dari pandangan. Kemudian baru menggenjot tubuhnya menuju ke barat. Beberapa kali lompatan saja bayangan Panji telah jauh meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Kalang, dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Dengan ilmu larinya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Panji bergerak di atas rumah-rumah penduduk. Sepasang matanya mengawasi jalan di bawahnya. Di tempat-tempat yang terlindung kegelapan pemuda itu menghentikan larinya, dan baru kembali melesat setelah memperhatikan sekitarnya agak lama.
Setelah mencapai tepi desa, Panji memutar tubuhnya kembali ke arah semula. Kali ini ia tidak terlalu bergegas. Bahkan seringkali berhenti mengawasi sekitar. Pendengarannya dikerahkan untuk menangkap suara gerakan yang mencurigakan. Belum lagi jauh pemuda itu meninggalkan tepi desa, telinganya yang tajam menangkap suara yang membuatnya tersentak!
Hm.... Panji bergumam dalam hati seraya menajamkan pendengaran. Meski suara itu tidak begitu jelas terdengar, namun Panji yakin ia pernah mendengarnya.
"Hiii.!"
Tidak salah lagi! Suara lengkingan itu pasti milik bocah-bocah aneh?! Itu berarti bocah-bocah itu masih ada yang lain lagi. Berapa banyak jumlah bocah-bocah itu sebenarnya...? Gumam Panji dalam hati. Kemudian bergegas melesat ke tepi desa. Dari sanalah suara lengkingan itu berasal.
Karena tidak ingin suara itu membuat gelisah penduduk Desa Kalang, Panji berniat menghadangnya di tepi desa. Dengan demikian penduduk tidak perlu terbangun dari tidurnya. Meski Panji tidak yakin benar penduduk dapat terlelap dalam suasana yang penuh ketegangan itu. Bagai hantu yang keluar mencari mangsa, tubuh Panji bergerak cepat menuju asal suara lengkingan. Sepasang matanya yang tajam dan mampu menembus kegelapan malam bergerak menjelajahi tempat-tempat di sekitarnya.
"Hm...." Panji kembali bergumam dalam hati, saat sepasang matanya menangkap gerakan titik-titik hitam di depannya, ia dapat menduga titik-titik hitam yang kian nyata itu sosok bocah-bocah yang memiliki ketangguhan tidak lumrah.
Tujuh orang...? Jumlah bocah itu ternyata lebih banyak dari kemarin. Tapi, tidak kulihat sosok lain di antara mereka. Mungkinkah mereka tidak mempunyai majikan? Atau salah satu dari ketujuh bocah itu yang menjadi pimpinannya...? Gumam Panji dengan kening berkerut seraya memperhatikan ketujuh sosok bocah aneh itu. Namun Panji tidak bisa lama-lama memikirkan hal itu. Sosok bocah-bocah aneh itu sudah semakin dekat dari tempatnya berada. Tubuhnya segera meluncur turun dari atas pohon dan menghadang jalan menuju Desa Kalang.
"Hiii...!"
Lengkingan yang diperdengarkan bocah-bocah aneh itu terdengar semakin tinggi seperti hendak merobek langit kelam. Mereka marah melihat ada yang menghadang jalannya.
"Anak-anak baik, harap berhenti sebentar...!" Panji berdiri tegak menghadang bocah-bocah aneh itu. Sepasang matanya bersinar di kegelapan malam, menatap sosok di depannya satu persatu.
"Gila...?!" ucap Panji terkejut melihat sinar mata bocah-bocah aneh itu bersorot kehijauan. Ada suatu kekuatan aneh terpancar dari sana, membuat dada Panji agak bergetar. Tatapan mata-mata itu mendatangkan suatu keinginan untuk segera tunduk dan menyembah mereka. Tahulah Panji kalau bocah-bocah aneh itu memiliki kekuatan sihir yang ampuh! Kalau saja ia tidak terdidik dengan baik dan memiliki kekuatan gaib yang mukjizat, mungkin Panji sudah bertekuk lutut menyembah bocah-bocah aneh itu.
"Hm...." Panji bergumam pelan mengerahkan kekuatan mukjizatnya untuk melumpuhkan kekuatan sihir bocah-bocah gundul itu Dan mencoba mengembalikan pengaruh sihir itu agar berbalik hingga merekalah yang takluk.
Lagi-lagi Panji harus mengakui kehebatan bocah-bocah aneh itu. Usahanya sia-sia. Bocah-bocah itu tetap tegak, bahkan tanpa melepaskan tatapan dari wajahnya. Sadarlah Panji kalau perbuatannya tidak berarti bagi mereka. Ketujuh bocah gundul berkulit hitam itu bergerak maju disertai lengkingan-lengkingan yang menggetarkan jantung. Mereka bergerak mengelilingi Panji.
Bocah-bocah itu tampaknya cukup tahu lawan yang dihadapinya tidak bisa diremehkan begitu saja. Mereka kelihatan berhati-hati dan tidak segera melancarkan serangan. Baru saja Panji hendak mengajukan pertanyaan kepada bocah-bocah aneh itu, tiba-tiba terdengar lengkingan lain yang membuat parasnya berubah tegang!
"Suiiit...!"
Siulan panjang itu sangat dikenal baik oleh Panji. Itu adalah siulan Kenanga yang berarti kekasihnya tengah menghadapi lawan berat! Karuan saja pemuda itu terkejut bukan main! Wajahnya sempat diliputi ketegangan.
Celaka...! Kenanga memerlukan bantuan secepatnya…! Sedangkan ketujuh bocah ini tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Untuk melumpuhkannya memerlukan waktu yang tidak sedikit! Desis Panji dalam hati, gelisah bukan main. Di satu pihak ia mengkhawatirkan keselamatan Kenanga. Sedang di pihak lain, Panji tidak bisa meninggalkan ketujuh bocah aneh itu begitu saja. Mereka akan menyebar malapetaka bila tidak segera ditundukkan.
Sadar bahwa ia harus mengambil keputusan, Panji segera menyiapkan jurusnya untuk melumpuhkan bocah-bocah aneh itu. Kalau tidak kekasihnya akan celaka. Panji hanya bisa berharap agar kedua rombongan lain mendengar siulan kekasihnya. Dengan begitu, ia bisa menghilangkan kecemasannya.
"Maaf, Anak-anak Baik. Aku terpaksa harus merobohkan kalian selekasnya...," gumam Panji langsung mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Hanya tenaga mukjizat itulah yang dapat melumpuhkan bocah-bocah aneh yang tangguh itu!
"Haiiit...!"
Seiring dengan lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, Panji berkelebat mengirimkan serangan ke arah dua bocah yang berada di depannya.
Whusss...!
Serangkum angin keras membawa hawa panas membakar, menyebar ke sekitar tempat itu. Kali ini Panji tidak lagi sekadar merobohkan, tapi langsung menghabisi nyawa lawan-lawannya. Sebab bocah-bocah itu tidak dapat disembuhkan dari keadaannya sekarang.
"Hiii...!"
Namun, bocah-bocah itu bukan sasaran yang empuk! Selain memiliki kekebalan tubuh yang aneh, mereka dapat bergerak secepat angin. Dua buah serangan pembukaan yang dilontarkan Panji hanya mengenai tempat kosong. Bocah-bocah itu sudah berlompatan menghindar!
"Hiii...!"
Lima bocah yang berada di sekitarnya, melontarkan serangan dengan bersamaan. Keadaan itu sempat menyulitkan Panji, ia harus mengelak sekaligus mengirimkan serangan balasan dengan cepat! Kalau tidak, kemungkinan besar ia akan terkena pukulan salah seorang pengeroyoknya. Tentu saja hal itu tidak diinginkan. Maka....
"Yeaaah.!"
Sambil memejamkan mata rapat-rapat, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pemuda itu menyiapkan jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' yang merupakan salah satu jurus ampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti' warisan Eyang Tirta Yasa alias Malaikat Petir! Dibarengi 'Pekikan Naga Marah' Panji mengibaskan kedua lengannya ke kiri-kanan! Dan....
Werrr...!
Sebentuk angin dahsyat tercipta dari kibasan sepasang lengan Pendekar Naga Putih! Akibatnya bukan main hebatnya! Tubuh bocah-bocah aneh itu terdorong deras ke belakang! Hawa panas membakar membuat bocah-bocah itu menjerit setinggi langit! Dan jatuh ke tanah dengan tubuh hangus seperti terpanggang api! Kemudian luluh menjadi debu yang beterbangan ditiup angin. Bocah-bocah aneh yang menggiriskan itu tewas tanpa bekas!
Panji termenung tanpa rasa puas sedikit pun pada wajahnya. Bahkan ada bias sesal tergambar samar. Jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' memang belum pernah dipergunakannya. Sebagaimana pesan gurunya, jurus itu tidak boleh dipergunakan kecuali dalam keadaan genting dan sangat terpaksa. Apa yang dipesankan Malaikat Petir ternyata bukan omong kosong! Panji sendiri bergidik melihat akibat jurus dahsyatnya itu. Semua dilakukannya dengan sangat terpaksa. Selain musuh-musuhnya sangat tangguh, ia khawatir akan nasib kekasihnya yang mungkin tengah terancam maut!
"Kenanga..." Teringat akan kekasihnya, Panji berdesis cemas. Tubuhnya berkelebat menuju arah timur!
Rasa cemas akan keselamatan kekasihnya membuat Panji mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari cepatnya. Tubuh pemuda itu tidak dapat lagi tertangkap mata. Sosoknya berubah menjadi seberkas sinar putih yang meluncur di atas tanah. Kecepatannya yang sangat luar biasa membuat semak perdu yang dilaluinya tercabut dari tanah dan beterbangan kian kemari! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kecepatan ilmu lari pemuda itu. Semua terjadi karena ia merasa khawatir akan keselamatan dara yang sangat dicintainya.
Apa yang dilihat Panji kemudian benar-benar mendidihkan darah pemuda itu! Kedatangannya nyaris terlambat! Saat itu Kenanga tengah bergerak mendekati seorang lelaki gemuk pendek berkepala gundul. Langkah Kenanga seperti orang kehilangan semangat! Panji tahu kekasihnya berada dalam pengaruh sihir lelaki gundul yang sepasang matanya bersinar kehijauan.
"Keparat busuk...!" desis Panji tak dapat menahan kemarahan yang menyesakkan dadanya. Apalagi di sekitar tempat itu mayat-mayat keamanan desa bergeletakan dengan kepala pecah! Maka....
"Kreeeaaakh!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah' yang laksana ledakan puluhan petir di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke arah sosok gemuk pendek yang nyaris memeluk kekasihnya. Bukan main dahsyatnya pekikan yang diperdengarkan Panji! Angin keras bagai putaran topan berhembus! Pepohonan di sekitar tempat itu berderak seperti hendak tumbang. Ranting-ranting pohon dan dedaunan beterbangan. Bahkan mayat-mayat yang bergeletakan di sekitar tempat itu terseret sejauh satu tombak lebih!
Tubuh Kenanga yang beberapa jengkal lagi berada dalam pelukan lelaki pendek gemuk itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan! Untunglah dara jelita itu dalam pengaruh kekuatan sihir. Sehingga 'Pekikan Naga Marah' yang diperdengarkan Panji dengan pengerahan tenaga gabungannya tidak membuat dara jelita itu terluka. Hanya melenyapkan pengaruh sihir yang menguasainya.
Lain halnya dengan sosok gemuk pendek berkepala gundul itu. Teriakan Panji bukan saja seketika melumpuhkan kekuatan sihirnya. Tubuh gemuk itu terdorong keras sejauh dua tombak lebih. Meskipun kedudukannya tetap tegak sewaktu terdorong, namun guratan tanah sedalam setengah jengkal, bekas tapak kaki lelaki gemuk pendek itu, membuktikan betapa hebatnya pengaruh yang dirasakan sosok itu.
"Gilaaa...! Ini benar-benar gila...!" Sosok pendek gemuk memaki geram. Wajahnya diliputi keheranan besar. Apa yang terjadi pada dirinya hampir tidak dapat diterima akal. Sosok itu baru berani mengangkat wajahnya setelah geseran tubuhnya terhenti.
Panji sendiri tidak peduli dengan sosok pendek gemuk itu. Tubuhnya langsung meluruk ke arah Kenanga yang jatuh bergulingan. Kemudian menyambar tubuh kekasihnya dan melompat agak jauh, khawatir jika sosok pendek gemuk itu membokongnya.
"Kenanga.?!" Panji mendesis menyebut nama kekasihnya. Dara jelita itu tidak sadarkan diri. Rupanya dua kekuatan yang bertemu dalam dirinya membuat gadis itu jatuh pingsan. Cepat Panji memeriksanya.
"Kenanga...," bisik Panji dengan hati lega ketika tidak menemukan tanda-tanda kekasihnya mengalami luka yang mengkhawatirkan. Baru saja ia hendak merebahkan dara jelita itu di atas rerumputan, terdengar langkah suara banyak orang mendatangi tempat itu membuat Panji menoleh.
"Panji...?! Apa yang terjadi.?" Seorang lelaki tegap datang menghampiri.
Pemuda itu merasa lega melihat kedatangan Ki Ganjira bersama keamanan desa lainnya. Rupanya Ki Ganjira terlambat tiba di tempat itu karena jarak yang harus ditempuhnya cukup jauh.
"Tolong jaga Kenanga, Ki. Aku akan menghadapi iblis jahat itu..," ujar Panji tidak menjawab pertanyaan Ki Ganjira. Pemuda itu menyerahkan tubuh kekasihnya kepada lelaki tua itu. Kemudian bergerak menghampiri sosok gemuk pendek yang saat itu tengah menatap Panji dengan penuh selidik.
"Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tegur sosok gemuk pendek yang adalah Gendruwo Rimba Dandara. Tokoh sesat itu langsung dapat menebak siapa pemuda tampan berjubah putih itu. Tokoh muda berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan memang tidak begitu banyak. Selain itu nama besar Pendekar Naga Putih telah banyak didengar orang.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua...?" tanya Panji dengan mengabaikan pertanyaan Gendruwo Rimba Dandara. Karena hal itu dianggapnya tidak perlu.
"Keparat! Rupanya kepandaianmu telah membuat kau menjadi sombong. Hingga tidak mau menjawab pertanyaanku. Ketahuilah, saat ini kau sedang berhadapan dengan Gendruwo Rimba Dandara...!" bentak lelaki gemuk pendek dengan suara parau menggelegar.
"Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi majikan bocah-bocah gundul itu...! Benar-benar keji perbuatanmu, Gendruwo Rimba Dandara! Yang kau lakukan terhadap bocah- bocah tak berdosa itu sudah melewati batas! Hanya kematian yang pantas untuk orang sepertimu...!" geram Panji tak kalah garangnya. Ditentangnya pandangan mata Gendruwo Rimba Dandara tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Ha ha ha...! Mereka adalah hasil didikanku, Pendekar Naga Putih! Dengan meminumkan ramuan ciptaanku yang kucampur dengan darah-darah bocah kecil, mereka memiliki tubuh kebal dan kekuatan sihir yang tangguh. Sayang hasil pekerjaanku yang memakan waktu tidak sedikit itu telah kau lumpuhkan. Entah cara apa yang kau pergunakan untuk mengalahkan mereka...?"
"Mereka tidak dapat kusembuhkan lagi. Jadi terpaksa kulenyapkan agar penderitaan mereka tidak berkepanjangan. Sekarang bersiaplah untuk menebus dosa-dosamu, Gendruwo Rimba Dandara...!" Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera menyiapkan jurus-jurusnya. Sepasang matanya menatap tajam sosok Gendruwo Rimba Dandara yang segera menyiapkan ilmunya. Lelaki gemuk itu tahu Pendekar Naga Putih tidak ingin berpanjang kata lagi.
"Haiiit...!"
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan selekas mungkin melesat dengan serangan-serangan mautnya! Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga datang susul-menyusul disertai hembusan angin dingin menusuk tulang!
Gendruwo Rimba Dandara tampaknya tidak ingin main-main menghadapi Pendekar Naga Putih. Ilmu-ilmu tinggi hasil ciptaannya di dalam goa yang terletak di bibir jurang langsung dikerahkan. Sepuluh tahun lebih ia mempersiapkan diri di dalam goa untuk menebus kekalahannya. Kini ilmu itu dipergunakan untuk menghadapi Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya telah menggetarkan rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Hawa panas menyengat menyebar saat Gendruwo Rimba Dandara menyambut serangan Pendekar Naga Putih. Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat sebuah pertarungan mati-matian!
Melihat kedahsyatan pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu, Ki Ganjira memerintahkan kawan-kawannya untuk menjauh. Hawa dingin dan panas yang berganti-ganti terasa sampai tiga tombak lebih jauhnya.
"Haaat...!"
Ketika pertempuran menginjak jurus kedelapan puluh lima, Pendekar Naga Putih kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Meskipun tanpa menggunakan tenaga gabungan, namun kedahsyatannya tidak bisa dipandang remeh! Apalagi Panji mengiringi dengan juris 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan salah satu jurus pamungkas dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Whut whut whuttt...!
"Aaaiii...?!" Gendruwo Rimba Dandara terperanjat ketika sepasang matanya tidak dapat melihat gerakan lawan. Tubuh Panji terbungkus sinar putih keperakan yang berpendar menyilaukan mata. Sehingga....
Bret bret breshhh.!
"Aaargh...!" Darah segar berhamburan saat cakar-cakar naga Panji merobek tubuh lawan. Lalu mengakhirinya dengan gedoran sepasang telapak tangannya! Tanpa ampun lagi, tubuh Gendruwo Rimba Dandara terlempar deras. Dan jatuh berdebum di tanah berumput dengan napas putus! Berakhirlah riwayat tokoh sesat yang menggiriskan itu di tangan Pendekar Naga Putih.
Setelah merasa yakin lawannya telah binasa, Panji bergegas menghampiri rombongan Ki Ganjira. Mereka kembali ke tempat kediaman Kepala Desa Kalang dengan membawa tubuh Kenanga yang belum sadarkan diri.
***
Tok tok tok...!
Panji bergerak bangkit dari atas pembaringan ketika pintu kamarnya diketuk orang. Pertarungan semalam yang sangat melelahkan membuat Panji terlelap dengan pulas.
"Siapa...?" tanya Panji bergerak menghampiri pintu.
"Aku, Kenanga..."
"Ada apa. Kenanga? Pagi sekali kau bangun...?" tanya Panji begitu pintu kamarnya terbuka. Didapatinya dara jelita itu tengah tersenyum manis dengan wajah segar bersinar-sinar.
"Kakang, dua orang murid Perguruan Kepalan Sakti datang membawa sesuatu untukmu. Cepatlah kita temui mereka...," beritahu Kenanga.
Meski agak heran, Panji bergegas menemui dua orang murid Perguruan Kepalan Sakti setelah membersihkan tubuhnya terlebih dulu. Didapatinya Balitang dan seorang murid yang tidak dikenalnya sedang ditemani Ki Ganjira.
"Pendekar Naga Putih...," sambut kedua orang itu membungkuk hormat, membuat kening Ki Ganjira berkerut. Pemuda tampan bernama Panji itu ternyata Pendekar Naga Putih yang telah menggemparkan rimba persilatan.
"Kami menyampaikan amanat dari guru. Beliau telah tewas kemarin petang di tangan Gendruwo Rimba Dandara. Surat ini ditulis beliau sebelum bertarung dengan iblis jahat itu...," jelas Balitang menyerahkan segulung surat kepada Panji.
Bukan main terkejutnya Panji mendengar kematian Ki Parwana. Rupanya Gendruwo Rimba Dandara telah mendatangi Perguruan Kepalan Sakti sebelum menyantroni Desa Kalang. Tanpa banyak cakap lagi, dibukanya lembaran kulit kayu itu. Dan dibacanya tulisan yang tertera didalamnya.
"Apa pesan Ki Parwana, Kakang...?" tanya Kenanga setelah Panji menggulung kembali surat itu.
"Beliau berpesan agar aku bersedia menurunkan sedikit kepandaian kepada murid-muridnya..."
"Lalu...?" Kenanga meminta kepastian kekasihnya.
"Pesan seseorang yang sudah meninggal tidak bisa kita abaikan begitu saja. Aku akan tinggal di Perguruan Kepalan Sakti untuk beberapa lama...," sahut Panji membuat Kenanga mengangguk maklum.
Pagi hari itu juga Panji mohon diri kepada Ki Ganjira. Kemudian berangkat bersama Balitang dan seorang murid Perguruan Kepalan Sakti. Kenanga ikut serta. Karena ke mana kekasihnya pergi, dara jelita itu selalu menyertai. Tidak peduli harus mengarungi kesusahan sekalipun.
Ki Ganjira dan warga Desa Kalang mengantar kepergian Panji hingga perbatasan desa. Mereka baru bergerak pulang setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan.
S E L E S A I