SATU
MATAHARI mulai menapak langit tatkala Pendekar 131 Joko Sableng hentikan larinya tidak jauh dari kawasan yang menuju hutan bambu. Setelah memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat, dia buru-buru berkelebat lalu menyelinap di balik satu batangan pohon agak besar. Setelah mengawasi keadaan sekali jagi, murid Pendeta Sinting selinapkan tangan mengeluarkan satu rentangan kain putih agak kusam dari balik pakaiannya.
"Hem.... Aku akan memulai perjalanan dari sini!" gumam Joko sambil pentang mata melihat gambar peta yang tertera di rentangan kain putih.
Setelah agak lama memperhatikan peta, Pendekar 131 lipat kembali rentangan kain putih kusam yang bukan lain adalah kain peta yang sempat jadi bahan perselisihan di antara tokoh-tokoh Perguruan Shaolin dan pihak kerajaan serta beberapa tokoh dunia persilatan tanah Tibet.
"Mudah-mudahan aku tidak menemui hadangan!" kata Joko lalu berkelebat keluar dari balik batangan pohon dan berlari menuju arah seperti yang baru saja dilihatnya di peta.
Begitu sosok murid Pendeta Sinting berkelebat, dari satu batangan pohon sejarak dua belas tangkah dari pohon mana tadi Joko mendekam sembunyi, mendadak satu sosok tubuh melayang turun. Kejap lain sosok ini berlari mengambil jurusan seperti yang diambil Pendekar 131. Tanpa diketahui oleh murid Pendeta Sinting dan sosok bayangan yang baru melayang turun dan berkelebat, dari tadi sepasang mata bulat dan tajam terus mengawasi gerak-gerik orang dari celah dua gugusan tanah agak tinggi.
"Hem.... Hendak ke mana pemuda itu?! Aku tak melihat apa yang tengah diperhatikannya di balik pohon. Tapi gelagatnya dia tengah mencari sesuatu! Gerak-geriknya mencurigakan! Apakah aku harus mengikutinya...?! Lalu ke mana nenek yang sanggulan rambut kepalanya dihias dua pedang itu...?!"
Pemilik sepasang mata dari celah dua gugusan tanah bergumam sendiri. Lalu bola matanya bergerak memandang ke arah batangan pohon di mana tadi satu sosok tubuh melayang turun lalu berlari seolah mengejar murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak bisa melihat jelas raut wajahnya. Tapi dari sikapnya, sepertinya dia mengenal pemuda dari seberang itu! Apa yang harus kulakukan sekarang?! Mengikuti mereka...?! Tapi untuk apa?! Bukankah aku punya urusan yang belum selesai...?!" Sepasang mata bulat di celah dua gugusan tanah agak tinggi bergerak setengah memejam. Lalu terdengar lagi gumamannya.
"Selama ini aku hampir putus asa selesaikan urusanku. Bahkan aku hampir tidak percaya dengan nasib ini.... Hem.... Aku memang belum percaya benar dengan ucapan pemuda dari negeri asing itu. Tapi dialah satu-satunya orang yang pernah kutemui dan sedikit bisa memberi harapan.... Daripada menyelidik sendiri yang belum tentu ada hasilnya, bukankah lebih baik aku mengikutinya?! Siapa tahu dia tengah mencari sahabatnya...."
Setelah bergumam begitu, sepasang mata di celah dua gugusan tanah agak tinggi bergerak mengedar. Saat lain kepalanya lenyap dari celah dua gugusan tanah. Lalu satu sosok bayangan berkelebat dari balik dua gugusan tanah dan berlari mengikuti arah sosok bayangan yang tadi mengejar Pendekar 131.
Pendekar 131 terus berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Tapi sesekali dia berhenti dan menyelinap mencari tempat agak tersembunyi. Lalu setelah memperhatikan arah kanan kiri, dia berkelebat lagi. Begitu matahari mulai tergelincir dan langkahnya memasuki satu kawasan terjal berbatu, murid Pendeta Sinting hentikan larinya.
"Peta yang diberi tanda bundaran itu berakhir di sini! Hem.... Aku harus berhati-hati. Bukan mustahil di tempat macam begini terdapat jebakan yang tidak terduga! Apalagi aku merasa ada seseorang yang mengikutiku! Siapa dia...?! Mungkinkah nenek geblek itu...?!"
Joko berkata dalam hati seraya lepas pandangan ke arah kawasan berupa terjalan-terjalan batu di hadapannya. Dia pasang pendengaran baik-baik. Karena firasatnya mengatakan jika dari tadi diikuti seseorang. Pendekar 131 memang tidak bisa menduga siapa adanya orang yang mengikuti, namun dia punya prasangka orang itu adalah Nenek Selir. Karena nenek itulah orang terakhir yang ditemuinya sebelum dia berlari menuju kawasan hutan bambu.
Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara murid Pendeta Sinting dan Nenek Selir di satu pihak dengan Datuk Kala Sutera, Nenek Selir cepat sarangkan totokan pada Pendekar 131 lalu membawanya pergi. Kedua orang ini akhirnya berpisah setelah terjadi adu mulut. Begitu berpisah, sebenarnya murid Pendeta Sinting berniat kembali ke hutan bambu karena dari kawasan itulah dia akan memulai perjalanan seperti yang tertera dalam peta.
Namun karena merasa di kawasan hutan bambu belum aman, juga masih khawatir kalau Yu Sin Yin alias Nenek Selir akan mengikutinya, Pendekar 131 sengaja berkelebat berputar-putar dan sempat istirahat di satu tempat terbuka. Begitu pagi menjelang, Joko segera berlari balik menuju kawasan hutan bambu setelah yakin tidak diikuti orang.
"Aku akan mulai menyelidiki atau mencari tahu dulu siapa orang yang mengikutiku?" kata Joko lalu perlahan-lahan putar diri dengan mata liar tak berkesip memperhatikan berkeliling.
"Aku tak bisa tenteram kalau tidak tahu siapa adanya orang yang terus mengikutiku!" Akhirnya Joko memutuskan setelah dia tidak melihat siapa-siapa. Pendekar 131 berkelebat ke arah mana dia tadi datang. Namun walau sudah berputar tiga kali, dia tidak juga menemukan siapa-siapa,
"Aneh.... Apakah ini hanya firasatku saja...?!" Joko tegak diam dengan kepala tengadah. Dia berpikir agak lama. Lalu berlari lagi menuju kawasan berbatu terjal.
Setelah menyiasati keadaan dengan seksama, perlahan-lahan Joko mulai melangkah menelusuri celah terjalan batu-batu dengan mata dipentang besar. Tapi hingga matahari sudah berubah warna kekuningan, dia tidak menemukan tanda-tanda seperti apa yang tertera daiam peta.
"Mungkinkah benda itu berada di dalam tanah?! Celaka! Tanah seluas ini, bagaimana aku harus membongkarnya?! Belum lagi harus memecah terjalan-terjalan batu! Tak mungkin hal itu kulakukan...." Pendekar 131 geleng kepala. Lalu duduk berselonjor bersandar punggung pada satu terjalan batu dengan menghela napas berulang kali.
"Jangan-jangan peta itu palsu.... Di tempat ini tidak ada tanda-tanda adanya benda yang selama ini menjadi silang sengketa beberapa tokoh negeri ini! Tapi.,.. Seandainya begitu, mungkin Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran sudah mencegahku. Hem.... Aku telah berusaha mencari. Kalau pada akhirnya aku tidak mendapatkan, pasti aku hanya ditakdirkan mendapatkan peta ini tanpa dikehendaki untuk mendapatkan bendanya! Atau jangan-jangan aku salah mengambil jurusan!"
Ingat begitu, Pendekar 131 segera mengambil kembali lipatan kain peta dari daiam pakaiannya. Lalu direntangkan dan diperhatikan sekali dengan seksama. Telunjuk tangan kanannya bergerak menelusuri rentangan kain peta.
"Hem.... Sepertinya aku sudah mengambil jalan yang benar! Dan bundaran ini berakhir di sini! Tapi mengapa aku tidak menemukan bendanya?! Di mana...?!"
Joko lipat kembali kain peta dan diselinapkan lagi ke balik pakaiannya. Saat itulah mendadak Pendekar 131 merasakan batu di mana dia bersandar bergerak-gerak. Sambil kerutkan kening Joko cepat tarik punggungnya lalu membalik. Sepasang matanya dtjerengkan memperhatikan terjalan batu di mana dia tadi bersandar.
"Aneh.... Bagaimana terjalan batu begini besar bisa bergeser saat kusandari...? Jangan-jangan....?!" Joko tidak lanjutkan ucapan. Dia buru-buru bangkit lalu maju memperhatikan terjalan batu yang ternyata memang bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Setelah mengawasi sekeliling, Joko letakkan kedua tapak tangan pada terjalan batu. Dengan menghela napas, dia mendorong. Sepasang mata murid Pendeta Sinting membelalak hampir tidak percaya ketika menyaksikan bagaimana bersamaan dengan bergeraknya tangan mendorong, terjalan batu itu bergerak menggeser! Begitu geseran agak memanjang, terlihatlah pinggiran sebuah lobang. Pendekar 131 jadi penasaran. Hingga tanpa sadar dia mendorong makin keras. Terjalan batu laksana dihantam lalu meluncur cepat. Dan tampaklah sebuah lobang menganga agak besar!
Ada satu keanehan, kalau lobang itu tidak begitu dalam dan suasana masih terang, namun Joko hanya melihat sebuah bersitan benda putih. Sementara di sekitarnya hanya terlihat suasana hitam kelam! Murid Pendeta Sinting cepat tarik pulang kedua tangannya. Saat bersamaan kepalanya melongok ke dalam lobang. Sekonyong-konyong sepasang matanya mendelik ketika melihat apa benda putih berkilat yang tegak memanjang ke atas.
"Sebuah pedang tanpa sarung!" desis murid Pendeta Sinting dengan suara bergetar parau. "Mungkin inilah pedang yang tergambar dalam peta! Aku telah menemukannya! Jadi peta ini asli...."
Dengan tangan bergetar dan dada berdebar, perlahan-lahan Joko ulurkan kedua tangannya masuk ke dalam lobang. Sepasang matanya mendelik tak berkedip memperhatikan sosok pedang yang tegak dengan gagang berada di atas dan ujung di bawah. Dengan menghela napas panjang, Joko teruskan gerakan kedua tangannya menyentuh gagang pedang. Namun murid Pendeta Sinting ini hentikan gerakan kedua tangannya tatkala tiba-tiba dia merasakan hawa dingin menyelimuti kedua tangannya yang hanya satu jengkal di atas gagang pedang.
Joko berpikir sesaat. Kejap lain dia teruskan gerakan kedua tangannya. Begitu kedua tangannya benar-benar menyentuh gagang pedang, mendadak hawa dingin makin menusuk dan mulai menjalar dari kedua telapak tangannya yang memegang gagang pedang terus pada lengan dan sekujur tubuhnya! Joko cepat kerahkan tenaga dalam dan hawa murni untuk menahan hawa dingin yang dalam beberapa saat mampu membuat kedua tangannya tegang kaku laksana tidak bisa digerakkan!
Hawa dingin memang sedikit berkurang. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Saat lain bahkan murid Pendeta Sinting laksana dihimpit bongkahan batu es. Hingga bukan saja tidak mampu menggerakkan kedua tangan, namun tubuhnya laksana terpaku!
"Celaka! Apa yang terjadi?!" teriak Joko lalu lipat gandakan hawa murni.
Namun kali ini pengerahan hawa murni itu tidak membantu melenyapkan hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya. Joko tidak berani berlaku ayal. Dia cepat sentakkan kedua tangannya dari gagang pedang. Lalu cepat-cepat ditarik ke atas. Ketika diperhatikan, terkejutlah murid Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya berubah menjadi kehitaman dan sulit digerakkan serta kepulkan asap putih!
"Pedang sakti luar biasa! Pantas banyak tokoh yang memperebutkannya!" kata Joko lalu kerahkan lagi hawa murni. Perlahan-lahan kedua telapak tangan dan sekujur tubuhnya memang menjadi hangat normal kembali. Saat itulah dia ingat akan gambar peta.
"Dalam gambar peta, pedang ini menancap pada satu kotak! Mungkin dengan mengeluarkan kotak itu, aku nanti bisa dapatkan jalan bagaimana mengambil pedang itu!"
Berpikir begitu, setelah kerahkan hawa murni, Joko rebahkan diri sejajar dengan tanah. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya digerakkan masuk ke dalam lobang. Hawa dingin kembali terasa ketika kedua tangannya mulai mendekati gagang pedang. Joko berusaha tidak menyentuh dan teruskan gerakan tangan merapat pinggiran lobang.
Begitu gagang pedang tepat lurus dengan ujung lengan, kedua tangan murid Pendeta Sinting merasakan menyentuh sesuatu yang keras dan terasa dingin. Joko perlahan-iahajp gerakkan jari meraba.
"Hem.... Dari bentuknya, pasti ini adalah kotak itu!" Joko cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain kedua tangannya dimasukkan agak dalam. Begitu dapat menyentuh bagian bawah benda yang diduganya adalah kotak seperti yang tergambar dalam peta, Joko cepat sentakkan kedua tangannya ke atas.
"Wuutt!" Pendekar 131 tersedak dan terlengak kaget ketika bersamaan dengan sentakan kedua tangannya, tiba-tiba satu gelombang deras menderu dari bawah. Bersamaan itu pegangan kedua tangannya pada benda yang diduganya kotak terlepas! Saat yang sama terasa hawa dingin berkelebat ke atas. Joko pentangkan mata melihat apa yang terjadi. Namun baru saja kepalanya hendak melongok lebih dalam ke lobang, satu benda putih berkilat menyambar ke atas! Pendekar 131 cepat tarik pulang kepalanya. Dan serta-merta kedua tangannya disentakkan ke atas.
"Wusss!" Bersamaan dengan tertariknya kepala dan kedua tangan, satu gelombang angin dingin berkiblat dari dalam lobang. Lalu terlihat satu benda putih berkilat melesat keluar. Kepala dan kedua tangan Joko terpental ke belakang. Lalu tubuh bagian atasnya laksana disapu gelombang dahsyat hingga tubuhnya terdorong ke atas. Lalu mental tersapu dan terjengkang jungkir balik di atas tanah!
Dalam kagetnya, Joko masih bisa berpikir cepat. Apa pun yang baru saja terjadi, Joko bisa memastikan kalau pedang dan kotak di bawahnya telah melesat keluar. Hingga walau sosoknya tersapu jungkir balik, namun dia tetap arahkan pandang matanya ke arah lobang. Murid Pendeta Sinting melihat satu tubuh pedang putih berkilat menancap pada sebuah kotak berwarna hitam melesat keluar dari lobang dan terus membubung ke udara.
Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, walau sadar akan kedahsyatan pedang yang menancap pada kotak hitam, murid Pendeta Sinting segera bangkit lalu melesat mengejar pedang dan kotak hitam yang masih terapung di atas udara.
Dua jengkal lagi tangan kanan Pendekar 131 mampu meraih gagang pedang dan hawa dingin sudah mulai terasa, mendadak dari arah samping terdengar satu seruan. Satu sosok tubuh berkelebat. Tahu-tahu pedang yang menancap pada kotak hitam lenyap dari udara disambar tangan lain! Darah Pendekar 131 laksana sirap. Dia maklum seseorang telah mendahuluinya. Dia cepat berpaling mengikuti gerakan sosok bayangan yang baru saja menyambar pedang dan kotak hitam. Lalu dari atas udara, murid Pendeta Sinting teruskan kelebatan dan tegak di samping salah satu terjalan batu.
***
DUA
TEGAKKAN wajah memandang ke atas, Pendekar 131 melihat satu sosok tubuh berwajah dahsyat milik seorang laki-laki. Kepalanya plontos dan di bagian risi kanan terlihat rengkah. Raut wajahnya bukan saja tidak tertutup lapisan daging, namun hampir separo wajahnya melesak masuk dengan tulang patah dan sebagian lagi bertonjolan keluar. Mata sebelah kiri melesak masuk di antara tulang yang porak-poranda, sementara mata kanan menjorok keluar seakan hendak mencelat terbang.
Pada kepala dan wajahnya terlihat bercakbercak noda darah yang telah lama mengering, dan mungkin karena lamanya, bercak darah itu melekat seolah lapisan daging! Pakaian yang dikenakan sudah compang-camping dan di sana-sini juga terlihat noda tetesan darah yang mengering. Laki-laki berparas angker yang tegak di atas tonjolan batu tengadah dengan tangan kiri menopang kotak hitam, sementara tangan kanan memegang gagang pedang yang menancap tembus pada kotak hitam di bawahnya. Sosoknya tampak bergetar menggigil. Tangan kanan hingga sebatas lengan kepulkan asap putih.
"Siapa manusia angker ini?! Mungkinkah dia yang terus mengikutiku selama ini?! Ah.... Itu tidak penting. Yang jelas dia harus mengembalikan pedang dan kotak hitam itu padaku!"
Berpikir begitu, Joko langsung buka mulut. "Harap serahkan kotak hitam dan pedang di tanganmu padaku!"
Laki-laki yang tegak di atas tonjolan batu gerakkar kepala memandang angker pada sosok murid Pendeta Sinting. Tulang pada wajahnya yang sudah porak-poranda tampak bergerak-gerak. Sementara dadanya yang terbuka terlihat turun naik dengan keras. Namun laki-laki ini tidak segera menyahut. Sebaliknya gerakkan tangan kanan hendak mencabut pedang yang menancap pada kotak hitam yang ditopang tangan kirinya.
Namun walau laki-laki itu telah kerahkan tenaga dalam hingga sosoknya bergetar keras, pedang di tangan kanannya tidak mampu dia cabut. Malah asap putih makin mengepul dan kini keluar dari sekujur tubuhnya. Laki-laki di atas tonjolan batu mendelik. Saat lain tiba-tiba dia berseru tegang. Tangan kanannya disentakkan lepas dari gagang pedang. Mungkin karena kerasnya sentakan, kotak hitam yang ditopang lepas dan meluncur jatuh!
Murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Dia segera berkelebat menyongsong kotak hitam dan pedang yang melayang ke bawah. Namun si laki-laki di atas tonjolan batu tidak berdiam diri. Bersamaan dengan bergeraknya sosok murid Pendeta Sinting, dia melesat ke bawah lalu gerakkan kaki kanan menendang.
"Bukkk!" Kotak hitam yang tertancap pedang tersapu deras dan melayang beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh di atas tanah.
Pendekar 131 putar arah. Lalu teruskan kelebatan mengejar ke arah mana kotak hitam dan pedang jatuh di atas tanah. Tapi baru setengah jalan, dari arah samping terdengar deruan keras. Saat berpaling, terlihat satu gelombang dahsyat berkiblat ke arahnya! Murid Pendeta Sinting batalkan niat teruskan kelebatan. Lalu melompat hindarkan diri.
"Brakkk!" Satu tonjolan batu di sebelah depan sana tampak hancur porak-poranda terhajar gelombang yang lolos menghantam sosok murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tidak pedulikan serangan orang. Dia cepat putar diri lalu kembali hendak berkelebat ke arah kotak hitam. Namun gerakannya tertahan tatkala tahu-tahu si laki-laki berparas angker ternyata sudah tegak hanya beberapa langkah di samping kotak hitam yang tertancap pedang.
"Siapa pun kau adanya, harap sebutkan diri!" kata Joko seraya melompat dan tegak dua belas tangkah di hadapan si laki laki.
Laki-laki yang ditegur gerak-gerakkan jari kedua tangannya yang sesaat tadi dirasakan tegang kaku seolah tak bisa digerakkan karena aliran hawa dingin yang menjalar ketika tangan kanannya memegang gagang pedang. Saat lain dia buka mulut "Buka matamu lebar-lebar, Pendekar 131 Joko Sableng!"
Murid Pendeta Sinting tertegun diam mendapati orang tahu siapa dirinya. Sepasang matanya dibeliakkan besar-besar pandangi orang dari kepala sampai kaki. "Dia tahu siapa aku! Apkah aku mengenalnya...?!" Joko mengingat-ingat.
Saat itulah si laki-laki perdengarkan suara lagi. "Bentangan laut bukan halangan bagiku untuk mendapatkanmu, Pendekar 131! Bahkan sampai ke ujung dunia pun jangan kira nyawamu bisa lolos dari tanganku! Ha Ha Ha...! Hari ini aku mendapat rejeki besar. Bukan hanya bisa mencabut selembar nyawamu, tapi juga mendapat senjata sakti!"
"Nada ucapannya menunjukkan kalau dia bukan berasal dari negeri ini! Lebih dari itu dia memendam dendam kesumat padaku! Siapa manusia ini sebenarnya?!" Kembali Pendekar 131 coba mengingat. Namun karena dia tidak mampu, akhirnya berucap. "Katakan siapa kau sebenarnya?!"
"Manusia yang sudah bau kalangan tanah terkadang lupa pada orang yang dikenalnya!" sahut laki-laki berkepala gundul yang bagian sisinya rengkah. Lalu tertawa bergelak panjang.
"Kau tak mau sebutkan diri. Aku tidak memaksa. Tapi...."
"Sebelum kau mampus, kau harus tahu dulu siapa aku!" potong si laki-laki.
"Hem.... Mengapa tidak segera kau katakan?!" kata Joko setengah meradang.
"Jangan meradang, Pendekar 131! Saat ini kau tengah berada di negeri asing. Jauh dari beberapa manusia jahanam yang biasa menolongmu! Di tanah Jawa mungkin kau bisa berlagak. Tapi di sini?! Siapa yang akan menolongmu, hah?!"
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa saat. Sebelum dia buka mulut, si laki-laki bertampang angker sudah angkat suara lagi. "Kau ingat tentang peristiwa Kitab Hitam diKedung Ombo?! Kau tidak lupa tangan siapa yang membabat putus tangan manusia jahanam bergelar Malaikat Penggali Kubur?! Kau ingat siapa yang memberimu petunjuk beradanya Kitab Hitam saat berada di Bukit Selamangleng?!"
Sesaat Pendekar 131 simak ucapan orang dengan dahi berkerut. Saat lain mendadak dia tercengang dengan kaki tersurut satu tindak. Sepasang matanya dijerangkan.
Mulutnya terbuka mendesis. "Iblis Rangkap Jiwa...!"
Laki-laki bertampang angker tertawa ngakak. "Bagus! Kau masih ingat gelarku!"
"Aku hampir saja tidak percaya.... Bagaimana manusia ini bisa sampai negeri ini?! Kemunculannya pasti membawa dendam lama!"
Selagi Joko membatin begitu, laki-laki bertampang angker yang bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa adanya tegakkan wajah mendongak. Lalu berkata. "Pendekar 131! Hari ini saat keberuntunganmu telah habis! Usia nyawamu sudah sejengkal di atas tanah! Sungguh kau manusia bernasib sial! Harus mampus jauh dari kampung halaman!"
"Celaka! Manusia satu ini berilmu sangat tinggi dan kebal segala pukulan! Aku memang tahu kelemahannya. Tapi di tempat seperti ini, mustahil aku bisa mendapatkan perempuan apalagi perempuan itu harus berbuka buka pantat!" Joko membatin dengan tampang berubah. Saat itulah mendadak dia ingat kalau dia punya firasat tengah diikuti Nenek Selir. Dengan cepat dia putar kepala dan memandang berkeliling. Namun begitu dia tidak mendapati siapa-siapa, tampangnya tambah tegang.
Seperti pernah diceritakan, saat terjadi geger Kitab Hitam di tanah Jawa, muncul seorang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Tokoh ini berilmu sangat tinggi dan kebal terhadap segala pukulan. Namun ternyata Iblis Rangkap Jiwa memiliki kelemahan. Seluruh ilmu yang dimiliki akan punah selama setengah hari kalau dia melihat pantat laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Ketika terjadi peristiwa berdarah malam purnama di Kedung Ombo, Iblis Rangkap Jiwa memang sempat teriuka parah hingga kepahnya yang plontos rengkah, dan sebagian tulang wajahnya porak-poranda.
Namun karena dia kebal segala pukulan, dia masih bisa bertahan. Kalau saja saat itu dia tidak tengah menghadapi beberapa tokoh tanah Jawa yang punya ilmu aneh-aneh, pasti dia akan teruskan bentrok. Dan berpikir masih ada waktu untuk membalas dendam, akhirnya dengan membawa luka parah Iblis Rangkap Jiwa melarikan diri dari kancah bentrokan di Kedung Ombo.
Sejak saat itu, iblis Rangkap Jiwa terus menyelidik di mana beradanya murid Pendeta Sinting. Melalui petunjuk seorang sakti, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa dapat mengetahui di mana kini Pendekar 131 berada. Akhirnya Iblis Rangkap Jiwa menyusul menyeberang laut menuju daratan Tibet.
"Pendekar 131!" Berkata Iblis Rangkap Jiwa bisa membaca gelagat gerakan kepala dan pandangan Joko. "Kau mencari seseorang?! Terlambat.... Ini negeri asing! Bukan tanah Jawa di mana kau bisa mendapatkan bantuan!"
"Hem.... Apa boleh buat! Tidak ada jalan lain. Kalau dia masih inginkan nyawaku, aku akan meladeninya! Dia boleh kebal pukulan. Tapi kalau terus-terusan kuhantam, apa mungkin masih bertahan?!"
Berpikir begitu, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya langsung siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Karena dia tahu siapa orang yang kini dihadapinya. Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa melirik pada pedang yang menancap di kotak hitam yang tidak jauh dari tempat tegaknya.
"Pedang Celaka! Sekujur tubuhku laksana kaku tak bisa digerakkan oleh hawa dingin keparat pedang itu! Tapi aku gembira. Pasti pedang itu sakti mandraguna! Begitu aku selesaikan urusan nyawa jahanam satu itu, aku akan mencari jalan bagaimana mencabutnya!"
"Kau menginginkan pedang itu?!" Joko ajukan tanya ketika dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa melirik ke arah pedang.
Iblis Rangkap Jiwa menyeringai. "Aku datang perlu menagih hutang sekaligus meminta bunganya! Tapi kalau ternyata aku mendapatkan benda mustika, apa salahnya aku mengambilnya?! Kudengar kau telah mendapatkan sebuah peta wasiat yang banyak diperbincangkan tokoh negeri mk Keberadaanmu di tempat sepi Ini serta gelagatmu yang sembunyi-sembunyi tentu pedang itulah yang ada dalam peta wasiat itu! Hari ini saat keberuntungan ada di pihakku, Pendekar 131! Aku pulang ke tanah Jawa bukan saja membawa namamu, tapi juga mendapatkan pedang mustika!"
"Wuutt!" Bersama selesainya ucapan, tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa bergerak. Satu gelombang dahsyat berkiblat lurus perdengarkan deruan hebat.
Pendekar 131 tidak tinggal diam. Kedua tangannya diangkat lalu lepas pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu juga dua gelombang dan sinar berwarna kekuningan melesat menghadang gelombang yang keluar dari tangan Iblis Rangkap Jiwa.
"Bummm!" Terdengar ledakan keras. Beberapa tonjolan batu di sekitar tempat Itu bergetar keras dan sebagian porak-poranda. Sosok murid Pendeta Sinting tersurut satu langkah ke belakang. Di lain pihak, sosok Iblis Rangkap Jiwa terhuyung-huyung. Namun hanya beberapa saat. Di lain kejap sosoknya tegak diam malah orang ini laksana tidak merasakan apa-apa! Padahal kedua tangan Joko terasa ngilu dan dadanya berdenyut sesak!
Sementara begitu terjadi bentrok pukulan, pedang di atas kotak hitam terlihat bergoyang-goyang bersamaan dengan bergesernya kotak hitam di mana pedang menancap. Hebatnya bersamaan dengan goyangan tubuh pedang, suasana di sekitar tempat itu bersit-kan cahaya putih. Lalu hawa dingin menusuk menyungkupi
Baik Iblis Rangkap Jiwa maupun Pendekar 131 merasakan diri masing-masing kedinginan. Joko cepat kerahkan hawa murni untuk menahan hawa dingin yang menyebar dari gerakan pedang. Lalu kembali kerahkan tenaga dalam dan siapkan pukulan 'Serat Biru'. Hingga saat itu juga tangan kirinya telah berubah warna menjadi kebiruan.
Di seberang, Iblis Rangkap Jiwa hanya kerahkan hawa murni untuk menolak menebarnya hawa dingin. Dia tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tangan kiri Joko, karena laki-laki ini yakin tidak akan mengalami cedera apa-apa walau dihantam pukulan apa saja. Malah saat itu laki-laki yang wajahnya sudah porak poranda akibat terluka saat terjadi peristiwa di Kedung Ombo ini tengah berpikir keras bagaimana cara mencabut pedang dari kotak hitam.
Murid Pendeta Sinting tidak mau menunggu. Begitu tangan kirinya telah berubah menjadi kebiruan, dia cepat membuat gerakan menghantam.
Wuutt! Wuutt!
Dari tangan kanan Joko melesat satu gelombang perdengarkan deruan keras. Sementara dari tangan kirinya melesat beberapa serat biru terang laksana benang. Iblis Rangkap Jiwa tidak unjukkan rasa gentar mendapati pukulan dahsyat yang tengah menyongsong ke arahnya. Sebaliknya menghadang pukulan hanya dengan tengadahkan kepala dan kedua tangan kacak pinggang!
"Desss!" Gelombang dari tangan kanan Joko menghantam telak sosok Iblis Rangkap Jiwa hingga tubuh laki-laki itu tersentak terjajar ke belakang. Saat yang sama, serat-serat biru laksana benang telah membelit tubuhnya! Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa pendek. Saat lain orang ini berseru keras.
Dess! Dess! Desss!
Serat-serat biru yang membelit tubuh Iblis Rangkap Jiwa putus lalu bertabur ke udara. Pendekar 131 laksana didorong kekuatan dahsyat. Sosoknya tersentak hingga beberapa langkah ke belakang dan saat lain terjengkang di atas tanah dengan mulut megap-megap dan tampang pucat pasi. Murid Pendeta Sinting cepat bergerak bangkit. Namun baru saja sosoknya tegak, mulutnya semburkan.
Di lain pihak, bersamaan dengan bertaburnya serat biru, sosok Iblis Rangkap Jiwa terlempar beberapa tombak ke udara. Laki-laki ini sempat terbanting dua kali di atas udara sebelum akhirnya meluncur deras ke bawah dan menghantam sisi satu tonjolan batu. Iblis Rangkap Jiwa mengerang. Sisi kepalanya yang rengkah tampak kucurkan darah. Namun laki-laki ini laksana tidak mengalami rasa kesakitan. Saat itu juga dia membuat gerakan berdiri. Terhuyung-huyung beberapa saat sebelum akhirnya tegak diam dengan mulut semburkan tawa bergelak!
Tapi laksana dirobek setan, mendadak Iblis Rangkap Jiwa putuskan gelakan tawanya. Saat lain sosoknya berkelebat ke arah murid Pendeta Sinting. Kedua kaki tangannya bergerak sekaligus lepaskan pukulan ke arah kepala dan perut Joko! Joko sempat terlengak mendapati gerakan cepat orang. Namun dia cepat mundur satu tindak. Sosoknya disonggengkan ke samping. Dari arah samping, kedua tangannya dihantamkan menghadang!
Bukkk! Bukkk!
Iblis Rangkap Jiwa terbanting ke samping menghantam tanah. Di lain pihak, kedua tangan Joko langsung terpental ke udara. Saat yang sama sosoknya terputar lalu roboh menghajar tanah. Dari mulutnya kembali semburkan darah. Kedua tangannya mengembung boear.
***
TIGA
IBLIS Rangkap Jiwa usap kepala dan mulutnya yang kucurkan darah. Mata kanannya yang menjorok keluar menatap angker pada sosok murid Pendeta Sinting yang tengah berusaha bangkit. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini membuat gerakan salto dua kali. Pendekar 131 terkesiap. Walau dia sudah waspada, namun belum sampai dia membuat gerakan, sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah melayang di atas tubuhnya dengan kaki kiri kanan menyapu. Dalam keadaan terjepit, Joko masih sempat angkat tangan kanannya.
"Bukkk!" Pendekar 131 berhasil menghadang tendangan kaki kanan Iblis Rangkap Jiwa. Tapi kaki kiri lawan terus berkelebat tidak mampu dibendung.
"Desss!" Joko berseru tertahan. Sosoknya langsung mencelat mental ke udara. Iblis Rangkap Jiwa tersentak deras di udara. Tapi laki-laki ini cepat kuasai diri dan tanpa membuang waktu, dia berkelebat mengejar sosok Joko yang melayang tersapu di udara. Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting terkejut mendapati Iblis Rangkap Jiwa tahu-tahu sudah melayang di atas tubuhnya.
Dia sudah berpikir akan menahan gempuran orang dengan pedang di balik pakaiannya, karena dia tidak punya cara lain untuk selamatkan diri. Tapi baru saja tangan kanannya memegang gagang pedang di balik pakaiannya, kaki kanan kiri Iblis Rangkap Jiwa sudah datang menggebrak.
Bukkk! Bukkk!
Di atas udara, sosok murid Pendeta Sinting terbanting pulang balik ke atas ke bawah terhantam kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa yang menyapu dari arah bawah dan atas. Tangan kanannya yang hendak keluarkan pedang terpental. Dan pedang di balik pakaiannya ikut mencelat keluar dan ke udara perdengarkan desingan menggidikkan dan pancarkan cahaya kekuningan.
"Braakk!" Sosok murid Pendeta Sinting terus meluncur sebelum akhirnya terhenti setelah menghantam satu sisi tonjolan batu hingga perdengarkan derakan keras. Keningnya robek dan kucurkan darah. Sementara dadanya terasa nyeri dan laksana pecah karena terhantam kaki Iblis Rangkap Jiwa.
"Celaka! Pedangku terlepas!" gumam Joko dengan mata nyalang memperhatikan ke arah Iblis Rangkap Jiwa yang sudah tegak di seberang dengan tangan kiri kanan usap kepala dan wajahnya.
"Aku memang masih belum lepas pukulan ‘Sundrik Cakra'. Tapi kurasa pukulan apa pun tak akan mampu membuat manusia itu mampus! Apalagi, dalam keadaan begini rupa terlalu bahaya jika lepas pukulan 'Sundrik Cakra'.... Satu-satunya jalan menghadapinya adalah dengan Pedang Tumpul 131.... Tapi pedang itu...."
Pendekar 131 kembali nyalangkan mata mencari-cari. Saat itulah matanya melihat Pedang Tumpul 131 miliknya tegak menancap di atas tanah hanya beberapa jengkal di sebelah pedang yang menancap di kotak hitam. Walau sadar dirinya telah terluka, namun melihat pedangnya tertancap tidak jauh dari pedang di atas kotak hitam, dan berpikir bahwa cara menghadapi Iblis Rangkap Jiwa hanya dengan pedang, Joko tahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya. Lalu kerahkan tenaga dalam. Sosoknya tampak berguncang keras.
"Pendekar 131!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. "Sebelum kau mampus, kau perlu tahu siapa jahanam-jahanamnya yang akan segera menyusulmu! Pertama adalah keparat gurumu si Pendeta Sinting. Lalu jahanam tua bangka yang tidak bergigi itu! Selanjutnya nenek bangsat berjuluk Ratu Malam itu! Dan manusia buta Gendeng Panuntun!"
Yang dimaksud Iblis Rangkap Jiwa dengan tua bangka tak bergigi bukan lain adalah Iblis Ompong. Salah seorang tokoh tanah Jawa yang sempat terlibat dalam bentrok di Kedung Ombo, dan juga masih saudara seperguruan dengan Ratu Malam dan Gendeng Panuntun.
Pendekar 131 tidak hiraukan teriakan iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya cepat bergerak sandarkan punggung pada tonjolan batu di belakangnya. Saat lain kedua tangannya disentakkan ke arah Iblis Rangkap Jiwa lepas pukulan 'Lembur Kuning'. Tempat itu seketika berubah menjadi semburat kekuningan. Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat berkiblat dengan tebarkan hawa panas.
Mendapati serangan yang datang, kali ini tampaknya Iblis Rangkap Jiwa tidak tinggal diam. Dia angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang pukulan lawan. Di saat yang sama, begitu lepas pukulan 'Lembur Kuning', Joko cepat bergerak bangkit. Lalu sekuat tenaga dia berkelebat ke arah Pedang Tumpul 131.
Bummm! Bummm!
Ledakan hebat kembali mengguncang tanah yang banyak ditebari tonjolan batu itu. iblis Rangkap Jiwa mencelat dan tersungkur jatuh punggung di atas tanah. Sementara sosok murid Pendeta Sinting yang tengah berkelebat ke arah pedangnya tersapu lalu jatuh terkapar. Namun kesadaran bahwa hanya dengan pedang tindakan Iblis Rangkap Jiwa dapat ditahan, Pendekar 131 kerahkan sisa tenaga dalam dalam dan luarnya. Saat lain seraya menahan rasa sakit, dia bergulingan ke arah Pedang Tumpul 131 yang menancap tidak jauh dari pedang yang menancap di atas kotak hitam.
Begitu bisa mengukur tangannya mampu menjangkau pedang, Joko cepat hentikan gulingan tubuhnya. Tangan kanannya segera diangkat menjangkau gagang Pedang Tumpul 131. Lalu dengan bertumpu pada tangan kanan yang telah menggenggam gagang Pedang Tumpul 131, Joko berusaha bangkit. Sesaat memang berhasil. Sosoknya bergerak tegak. Tapi tiba-tiba tubuh bagian atasnya doyong ke samping. Darah muncrat menyembur dari mulutnya. Kepalanya laksana diputar baling-baling. Pandangannya berkunang-kunang.
"Celaka! Pandanganku kabur!" desis murid Pendeta Sinting dengan mulut bergetar dan kedua lutut goyah.
Di seberang depan, Iblis Rangkap Jiwa sudah bangkit dan sekali lagi laki-laki ini seolah tidak merasakan sakit meski baru saja jatuh punggung akibat bentrokan yang membuat luka dalam Joko bertambah parah. Malah saat lain Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa bergelak panjang mendapati sosok murid Pendeta Sinting doyong dan kedua lututnya goyah.
Namun sekonyong-konyong gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa terputus. Mata yang melesak masuk di antara tulang wajahnya yang porak-poranda dan mata sebelahnya yang menjorok keluar, melotot besar. Tulang rahangnya terangkat dan mulutnya terkancing rapat ketika melihat perubahan yang terjadi di seberang depan. Ketika tubuh bagian atas murid Pendeta Sinting makin doyong dan kedua kakinya menekuk, tiba-tiba dia ingat akan pedang yang menancap di atas kotak hitam yang tidak jauh dari tempatnya.
Pendekar 131 segera sentakkan kepala pulang balik untuk mengatasi kekaburan pandangan. Dan begitu sekilas dapat menangkap di mana beradanya pedang yang menancap di kotak hitam, tangan kirinya segera digerakkan ke arah gagang untuk menopang tubuh agar tidak jatuh.
Karena pandangannya masih agak kabur, beberapa kali tangan kiri Joko sempat gagal memegang gagang pedang yang menancap di atas kotak hitam hingga sosoknya berguncang. Namun Joko sempat bernapas lega, karena meski tangan kirinya gagal memegang gagang pedang, dia tidak lagi merasakan hawa dingin walau dia berada dekat dengan pedang.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya untuk keempat kalinya, tangan kiri Joko berhasil memegang gagang pedang yang menancap di atas kotak hitam. Doyongan tubuhnya terhenti. Lalu perlahan-lahan dengan tangan kanan bertumpu pada gagang Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri bertumpu pada gagang yang menancap pada kotak hitam. Joko angkat tubuhnya ke atas.
Hawa dingin memang menjalar saat tangan kirinya berhasil menggenggam gagang pedang yang menancap di atas kotak hitam. Namun ada keanehan. Hawa dingin itu hanya menjalar pada separo anggota tubuhnya sebelah kiri. Dan hawa dingin itu tidak lagi menusuk seperti saat dia hendak cabut pedang dari lobang di bawah tonjolan batu.
Bahkan beberapa saat kemudian, hawa dingin di separo bagian tubuhnya perlahan-lahan sirna. Bukan itu saja, rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya akibat luka dalam yang cukup parah, perlahan-lahan pula lenyap.
"Aneh.... Apa yang terjadi?! Aliran darahku tidak lagi menyentak-nyentak. Pandanganku normal lagi? Dan hawa dingin dari pedang di tangan kiriku ini tidak terasa lagi.... Tapi apa pun yang terjadi, aku harus tetap berpura-pura terluka'"
Berpikir begitu, meski tidak merasakan hawa dingin dan luka dalam tubuhnya lenyap, Joko segera perdengarkan erangan. Lalu tubuhnya diguncang-guncang dengan tangan kanan memegang gagang Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri memegang gagang pedang yang menancap di kotak hitam. Tapi murid Pendeta Sinting jadi tersentak sendiri. Bersamaan dengan guncangan tubuhnya, ternyata pedang di tangan kirinya juga bergerak-gerak. Saat Joko coba menarik, ternyata pedang di tangan kirinya bergerak ke atas!
"Pedang ini bisa kucabut! Tapi aku harus menunggu saat yang tepat!" gumam Joko dalam hati. Lalu kembali tekan pedang di tangan kirinya hingga kembali menancap seperti semula. Saat bersamaan Joko kembali membuat sikap orang tengah terluka dalam cukup parah.
Di seberang depan, melihat perubahan pada diri Pendekar 131, Iblis Rangkap Jiwa pada mulanya memang sempat tercengang. Dia menangkap ada sesuatu yang tak beres. Hingga dia putuskan gelakan tawanya dan memandang lekat-lekat ke arah sosok murid Pendeta Sinting. Namun begitu mendapati Pendekar 131 mengerang kesakitan dan tubuhnya berguncang kembali, laki-laki bertampang angker ini sunggingkan senyum lebar. Lalu sekali membuat gerakan melompat, sosoknya sudah tegak lima langkah di hadapan Joko. Namun begitu, tampaknya Iblis Rangkap Jiwa tidak berani bertindak ayal. Beberapa saat dia tegak diam memperhatikan.
"Manusia jahanam ini banyak akalnya! Dia memang sudah terluka dalam hampir mampus, tapi aku harus tetap berhati-hati. Pedang di tangan kanannya masih berbahaya! Sekali salah hitung, bisa membuat aku celaka sendiri!" Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandang matanya ke arah tangan kanan Joko yang memegang gagang Pedang Tumpul 131. Lalu beralih pada tangan kiri Joko yang memegang gagang pedang yang menancap di kotak hitam untuk menopang tubuhnya.
"Aneh.... Ketika dia tadi hendak mengambilnya dari dalam lobang, jelas dia tersentak kaget! Pasti dia mengalami hal seperti apa yang kurasa ketika tanganku hendak mencabut pedang celaka sialan itu! Tapi mengapa sekarang sepertinya dia tidak mengalami apa-apa?! Padahal aku tadi merasakan sekujur tubuhku laksana dihimpit bongkahan es! Tanganku kaku tak bisa digerakkan dan mengeluarkan asap putih! Setan jahanam apa yang membuat dia bertahan?!
Mungkinkah dia memiliki cara untuk menahan hawa dingin laknat itu?! Hem.... Terpaksa aku tidak membunuhnya dahulu. Aku akan mengorek keterangan dari mulutnya mengapa dia sampai bisa bertahan! Kalau tidak, aku tidak akan mampu membawa pedang itu ke tanah Jawa!" Iblis Rangkap Jiwa membatin. Lalu buka mulut.
"Pendekar 131 Joko Sableng! Membunuhmu saat ini semudah meludah ke atas tanah! Pada awalnya, aku memang berniat membunuhmu. Dosamu padaku setinggi tujuh langit sedalam delapan laut. Tapi bagiku pantang membunuh manusia yang sudah tidak berdaya. Kau kuberi kesempatan untuk hidup! Namun kau harus menerima syaratku!"
Pendekar 131 gelengkan kepala pulang balik. Lalu buka suara. "Aku berterima kasih atas kelapangan dadamu tidak membunuhku.... Katakan syarat yang kau minta...!"
"Pertama. Kau harus tinggalkan kedua pedang itu! Kedua. Jangan kau berani lagi menginjak tanah Jawa! Ketiga. Katakan padaku bagaimana kau bisa bertahan melawan hawa dingin yang keluar dari pedang di tangan kirimu! Jika salah satu syarat yang kuminta tidak kau penuhi, terpaksa aku melanggar pantangan! Aku akan membunuhmu meski keadaanmu sudah hampir mampus tak berdaya!"
"iblis Rangkap Jiwa!" kata Joko dengan suara bergetar setengah tersendat. Kepalanya digerak-gerakkan pulang balik membuat sikap seperti orang yang tengah hilangkan rasa kabur pada pandangannya. "Syarat pertama dan ketiga mungkin bisa kupenuhi! Tapi syaratmu yang kedua, rasanya sulit kuterima...."
Joko hentikan ucapannya sesaat. Sepasang matanya dipantang besar memandang pada sosok orang di hadapannya. Lalu mulutnya kembali menyambung. "Kau tahu.... Aku punya beberapa kekasih di tanah Jawa,... Bahkan dua di antaranya kini tengah hamil besar.... Kalau aku tidak kau beri izin menginjak tanah Jawa lagi, bagaimana nasib beberapa gadis itu?! Apalagi yang saat ini tengah hamil besar?! Siapa yang akan menunggui mereka saat melahirkan nanti?! Belum lagi, siapa pula kelak yang akan bertanggung jawab mengakui anak-anaknya...?!"
"Hem.... Begitu?! Baik.... Syarat kedua kuhilangkan! Sekarang kau katakan dahulu bagaimana caranya bisa bertahan melawan hawa dingin yang keluar dari pedang di tangan kirimu!"
Pendekar 131 pejamkan mata dengan tangan sengaja dibuat bergetar. Lalu menyahut. "Kau tahu bulu ketiak?!"
"Jahanam! Nyawamu sudah di mulut! Masih juga kau bicara main-main!"
"Ah.... Siapa main-main.... Aku bersungguh-sungguh! Kau tahu bulu ketiak, bukan?!"
"Teruskan bicaramu!" bentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Pedang di tangan kiriku ini adalah pedang maha dahsyat dan maha aneh! Pedang inilah yang menjadi bahan sengketa beberapa tokoh di daratan Tibet! Kalau bukan karena pedang ini, tidak mungkin aku jauh-jauh sampai negeri ini! Pedang...."
"Keparat! Jangan berbelit-belit!" hardik Iblis Rangkap Jiwa memotong.
"Baik.... Baik...! Seperti kukatakan tadi. Pedang ini selain maha dahsyat juga maha aneh. Kau tadi sudah mengalaminya sendiri. Dan untuk bisa bertahan dari keanehannya, kau harus mencari bulu ketiak tujuh perempuan yang usianya tepat tujuh puluh tahun! Kau cukup mengambil tujuh helai rambut ketiak tujuh perempuan tersebut yang sebelah kiri.... Jika sudah terkumpul, kau harus membungkusnya dengan robekan kain berwarna putih. Lalu kau bakar. Abunya kau telan saat menjelang bulan purnama!"
***
EMPAT
IBLIS Rangkap Jiwa tegak dengan sosok bergetar keras. Tulang wajahnya yang porak-poranda bergerak-gerak, pertanda dadanya telah diamuk hawa kemarahan luar biasa. Tanpa buka mulut lagi, tangan kiri kanannya diangkat.
"Iblis Rangkap Jiwa!" Joko buru-buru berseru. "Apa yang akan kau lakukan?!"
"Bercandalah sepuasmu, Pendekar 131! Sebentar lagi saatmu bercanda sudah pupus!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting dengan suara bergetar. Dia coba angkat sedikit tubuhnya ke atas. "Kau kira aku bercanda?!" Joko geleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Aku berkata sungguh-sungguh! Keanehan pedang ini hanya bisa ditahan dengan apa yang baru saja kukatakan! Kau boleh percaya atau tidak.... Yang jelas aku baru bisa bertahan dari hawa laknat pedang Ini setelah menelan abu tujuh helai bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh tahun saat menjelang bulan purnama!" Joko hentikan ucapannya sesaat seraya melirik ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
"Aku tahu...," Joko sambungi katakatanya. "Kau manusia berilmu tinggi. Tapi kau boleh mencoba sekali lagi untuk memegang gagang pedang ini sambil kerahkan tenaga dalam yang kau miliki! Jika kau bertahan, aku akan turuti ketiga syaratmu! Aku tidak akan injakkan kaki lagi di tanah Jawa!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa lama. Jelas sikapnya menunjukkan kebimbangan hati. "Saat memegang pedang tadi, aku sudah coba kerahkan hawa murni dan tenaga dalam. Tapi hawa dingin sialan itu tidak mampu kutahan! Apakah benar keterangan jahanam kecil ini?! Hem.... Kalau benar, berarti selain pedang ini dahsyat, juga aneh....
Jika aku berhasil membawanya ke tanah Jawa, aku tak perlu lagi khawatir pedang ini akan lenyap disambar orang lain, karena selain persyaratannya aneh, juga tidak diduga orang.... Tujuh helai bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh tahun...." Membatin Iblis Rangkap Jiwa. "Hem.... Kalau aku tidak segera mendapatkan bulu ketiak itu, bagaimana nanti ceritanya?! Di mana akan kutaruh pedang itu...?!"
Iblis Rangkap Jiwa kembali didera perasaan bimbang. Namun pada akhirnya laki-laki ini memutuskan. "Itu urusan nanti. Yang penting aku telah mendapatkan keterangan! Dan tiba saatnya menghabisi jahanam kecil itu!"
Setelah membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa maju satu tindak seraya berucap. "Sekarang berbaliklah! Dan tinggalkan tempat ini!"
"Tunggu!" kata murid Pendeta Sinting. "Setelah kupikir sekali lagi, aku memutuskan untuk tidak kembali ke tanah Jawa...."
"Itu urusanmu!" sahut Iblis Rangkap Jiwa.
"Betul! Itu memang urusanku. Tapi kuharap kau tidak keberatan kalau kuminta untuk sampaikan pesan...."
"Pengampunan nyawamu sudah lebih dari cukup! Jangan minta tambah!"
"Ah.... Jika begitu keputusanmu, rasanya aku tidak bisa menuruti syaratmu!"
"Berarti kau pilih mampus!"
"Mungkin itu bukan pilihan terbaik. Tapi daripada hidup tanpa bisa memberi kabar pesan, bukankah...."
"Kau telah putuskan jalanmu sendiri!" bentak Iblis Rangkap Jiwa. Kemarahan yang mendera dadanya membuat dia kurang waspada. Dia tidak lagi memikirkan kalau saat itu tangan kiri kanan murid Pendeta Sinting masih menggenggam gagang dua pedang.
Hingga begitu membentak, sosoknya melesat ke depan Kedua tangannya dihantamkan sekaligus ke arah kepala Pendekar 131! Di lain pihak, karena sudah waspada dengan sikap orang, begitu Iblis Rangkap Jiwa melesat, Pendekar 131 sentakkan kedua tangannya yang bertumpu pada dua pedang.
"Sett! Sett!" Pedang Tumpul 131 dan pedang putih yang di atas kotak hitam tercabut. Terdengar desingan angker. Dua kilatan sinar kuning dan sinar putih semburat. Lalu bertabur hawa panas dan dingin.
Iblis Rangkap Jiwa sempat terlengak. Namun sudah terlambat untuk tarik pulang gerakan kedua tangannya. Di lain pihak, Joko cepat putar kedua tangannya ke depan. Dua pedang di tangan disentakkan menghadang kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa. Dalam keadaan terjepit begitu rupa, Iblis Rangkap Jiwa masih sempat untuk berpikir. Hingga meski merasa terlambat untuk tarik kedua tangannya, dia tidak pasrah begitu saja. Kaki kiri kanannya segera diangkat lalu disapukan ke bawah mengambil ruang di antara babatan kedua pedang.
Craass! Craass!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar dua seruan tertahan. Sosok Iblis Rangkap Jiwa tersentak mundur. Lalu roboh terjengkang di atas tanah dengan mata mendelik memperhatikan kedua tangannya yang kucurkan darah karena putus sebatas siku! DI seberang, sosok murid Pendeta Sinting terpental dua tombak dan jatuh telentang di atas tanah.
Dadanya yang baru saja terhantam kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa laksana disentak kekuatan dahsyat hingga untuk beberapa saat dia pejamkan mata dengan mulut megap-megap. Sosoknya bergetar keras. Dua pedang di kedua tangannya hampir saja lepas mental. Namun karena sadar jika lawan bukan manusia sembarangan, Joko cepat genggam erat-erat gagang dua pedang.
"Aku bersumpah akan mencincang tubuhmu!" teriak Iblis Rangkap Jiwa marah. Dia kuatkan diri untuk bergerak bangkit. Darah makin deras mengucur dari kedua tangannya. Namun seolah tidak mengalami apa apa, laki-laki berkepala gundul yang sebagian sudah rengkah ini segera membuat gerakan berkelebat. Kemarahan yang makin menggelegak membuatnya berlaku nekat. Hingga hanya mengandalkan kedua kaki, dia menerjang ke arah murid Pendeta Sinting yang mulai bergerak bangkit.
Pendekar 131 tidak mau berlaku sembarangan. Walau Iblis Rangkap Jiwa tidak lagi dapat lepaskan pukulan dengan kedua tangan, namun kedua kakinya masih merupakan senjata yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Hingga begitu sosok Iblis Rangkap Jiwa berkelebat dengan sapukan kedua kaki, Joko cepat pula sambarkan kedua pedang ke arah gerakan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa.
Craass! Craass!
Untuk kedua kalinya iblis Rangkap Jiwa perdengarkan seruan melengking. Sosoknya terbanting kesamping dengan kedua kaki putus sebatas betis! Darah muncrat membasahi sebagian pakaiannya yang compang-camping. Untuk beberapa saat laki-laki ini memandang angker dengan tubuh digerak-gerakkan. Namun karena kedua kaki dan tangannya sudah putus, dia tidak bisa berbuat banyak. Malah dalam beberapa saat kemudian, sosoknya diam tak bergerak dengan mata terpejam rapat!
Di atas tanah, Pendekar 131 menarik napas seraya melirik pada sosok Iblis Rangkap Jiwa. Lalu bergerak bangkit. "Sebenarnya aku tak ingin semua ini terjadi! Tapi kalau dibiarkan, tindakannya akan membuat geger! Bukan saja di daratan Tibet, tapi juga di tanah Jawa!" gumam Joko sambil memperhatikan sekali lagi ke arah sosok Iblis Rangkap Jiwa yang tergeletak diam dengan kedua tangan dan kaki terus kucurkan darah.
"Aku tidak bisa memastikan dia masih hidup atau sudah tewas.... Kalau masih hidup, mudah-mudahan perisiiwa ini merupakan pelajaran kedua baginya! Kalau ternyata tewas, mungkin sudah takdirnya harus mampus di negeri orang!"
Habis bergumam begitu, Joko kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa nyeri pada dadanya akibat hantaman kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa. Saat lain dia melangkah ke arah kotak hitam di mana tadi pedang yang masih di tangan kirinya menancap. Pendekar 131 jongkok di sebelah kotak hitam. Sesaat matanya membelalak. Walau jelas dia tadi melihat pedang di tangan kirinya menancap di atas kotak hitam, namun ternyata kotak hitam itu tidak berlobang! Saat itulah Joko segera dekatkan pedang di tangan kirinya. Lalu diperhatikan berlama-lama.
"Aku akan memeriksa apa isi kotak hitam ini!" kata
Joko setelah agak lama memperhatikan pedang putih di tangan kirinya.
Pedang putih diletakkan di atas tanah. Lalu Pedang Tumpul 131 yang masih berada di tangan kanan dimasukkan ke sarung pedang yang masih berada di balik pakaiannya. Joko memperhatikan sesaat pada kotak hitam. Lalu mengambil pedang putih. Namun mendadak dia tersentak dan hampir saja terlonjak berdiri. Tangan kanannya yang menyentuh pedang putih tiba-tiba dialiri hawa dingin menusuk!
"Astaga! Apa yang terjadi?!" seru Joko seraya tarik tangan kanannya. Sepasang mata dipentang besar-besar memperhatikan pedang putih yang tergeletak di atas tanah. "Mengapa hawa dingin itu kembali terasa?!"
Mungkin belum percaya, Joko kembali gerakkan tangan kanan ke arah pedang. Namun kali ini dengan kerahkan hawa murni dan tenaga dalam. Hawa dingin memang masih terasa saat tangan kanannya menyentuh gagang pedang. Namun cuma sesaat. Kejap lain tangan kanannya laksana diguyur es. Dan sekujur tubuhnya dingin dan kepulkan asap putih! Karena penasaran, Joko lipat gandakan tenaga dalam dan pengerahan hawa murni. Namun dia hanya bisa bertahan beberapa saat. Saat lain tubuhnya laksana kaku! Hingga seraya mendesis, Joko lepaskan gagang pedang putih.
"Celaka! Kalau aku tidak bisa membuka rahasia ini, berarti aku tidak bisa membawanya!" bisik Joko. Lalu terdiam beberapa lama berpikir. Namun sejauh ini tampaknya dia gagal menemukan jalan keluar.
"Ah.... Lebih baik kulihat dahulu apa isi kotak itu. Siapa tahu di sana tersimpan satu petunjuk!"
Pendekar 131 segera ulurkan kedua tangan pada kotak hitam. Lalu dengan jerengkan mata dan kerahkan hawa murni, perlahan-lahan dia membuka kotak hitam. Sesaat mata Joko menyipit. Karena ternyata kotak hitam itu hanya berisi sebuah benda berbentuk kotak sepanjang satu jengkal dan lebarnya setengah jengkal. Kotak itu berwarna kuning dan berukir. Dengan tangan agak gemetar, Joko mengambil kotak kuning berukir di dalam kotak hitam.
"Emas! Kotak ini terbuat dari emas!" desis Joko setelah memperhatikan kotak kuning berukir yang kini berada di tangan. Pendekar 131 membolak-balik kotak kuning berukir. Kotak itu tebalnya seperempat jengkal. Anehnya, hanya ada satu lobang tipis memanjang pada satu sisinya. Sementara ketiga sisi lainnya tertutup rapat.
"Aneh.... Kotak apa ini...?!" gumam Joko lalu dekatkan lobang tipis memanjang ke arah matanya. Dia mengintip bagian dalam dari lobang tipis.
"Tidak ada apa-apanya! Lobang tipis ini terus memanjang sampai bagian ujung! Hem.... Apa pun adanya kotak berukir ini, pasti ada gunanya! Tapi untuk apa...?!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang lalu letakkan kotak kuning berukir di atas kotak hitam yang sudah ditutup lagi. Lalu berpaling pada pedang putih yang masih berada di atas tanah. Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 131 coba berpikir. Namun pada akhirnya ia geleng kepala.
"Aku tak mampu berpikir lagi bagaimana caranya membawa pedang serta apa gunanya kotak kuning berukir ini! Haruskah aku meninggalkannya di sini?!"
Baru saja berpikir begitu, mendadak matanya menumbuk pada lobang tipis di kotak kuning berukir. Lalu kepalanya berpaling pada tubuh pedang. Beberapa saat kepalanya bergerak pulang balik ke arah lobang tipis memanjang dan tubuh pedang.
"Dari ukuran dan tipisnya lobang, jangan-jangan lobang itu tempat masuknya ujung pedang. Tapi apa mungkin?! Pedang itu panjangnya hampir tiga jengkal. Sementara kotak kuning berukir itu panjangnya hanya satu jengkal?! Tapi tak ada salahnya aku mencoba...."
Joko cepat gerakkan tangan hendak mengambil pedang. Namun mendadak gerakannya tertahan ketika dia ingat kalau tidak kuasa menahan hawa dingin yang keluar ketika tangannya menyentuh gagang pedang.
"Busyet! Bagaimana ini...?!" Joko kembali menghela napas panjang dan gelenggeleng kepala. Saat itulah tiba-tiba ia ingat. "Hawa dingin dari pedang itu tidak terasa ketika tangan kananku memegang gagang Pedang Tumpul 131.... Jangan-jangan...."
Pendekar 131 cepat cabut Pedang Tumpul 131 dari sarung di balik pakaiannya. Pedang Tumpul 131 dipegang tangan kiri. Lalu dengan menahan napas dia gerakkan tangan kanan ke arah pedang putih yang tergeletak di atas tanah. Joko menarik napas lega karena meski pada mulanya hawa dingin masih terasa dan menjalar ke bagian separo dari tubuhnya, namun hawa dingin itu hanya berlangsung beberapa saat. Kejap lain hawa dingin itu tidak lagi terasa!
Pendekar 131 gerakkan tangan kiri ke arah kolak kuning berukir dan ujung ibu jarinya ditekankan pada kotak kuning berukir. Lalu perlahan-lahan tangan kanannya yang telah memegang gagang pedang putih diangkat dan perlahan-lahan pula ujung pedang putih dimasukkan ke dalam lobang tipis memanjang pada kotak kuning berukir.
"Tepat!" desis Joko ketika ujung pedang perlahan-lahan masuk ke lobang tipis memanjang di kotak kuning berukir. Namun Joko masih tidak berani memastikan. Karena nyatanya panjang pedang tidak mungkin bisa masuk seluruhnya ke dalam kotak yang hanya sepanjang satu jengkal.
Namun murid Pendeta Sinting jadi terkesima tatkala merasakan ujung pedang terus masuk padahal dari ukurannya, jelas jika seandainya kotak berukir itu berlobang di ujung belakangnya, maka ujung pedang pasti sudah nongol tembus. Dengan perlahan-lahan dan mata membelalak tak berkesip, tangan kanan Joko terus dorong pedang putih masuk ke dalam lobang tipis memanjang. Dan dia hampir tidak percaya ketika gagang pedang merapat pada lobang tipis, tapi ujung pedang yang masuk ke dalam tidak terasa terhalang apalagi tembus di belakang sana!
"Luar biasa!" desis murid Pendeta Sinting ketika melihat bagaimana sekarang pedang itu hanya terlihat gagangnya yang berada di luar kotak kuning berukir. Sementara tubuh pedang yang panjangnya tiga jengkal masuk ke dalam kotak yang hanya memiliki panjang satu jengkal! Tapi rasa lega murid Pendeta Sinting tidak berlangsung lama saat dia ingat bagaimana cara membawa kotak berukir.
"Tidak mungkin aku membawanya dengan tangan satu memegang Pedang Tumpul 131.... Tapi...."
Entah karena ingin mencoba, Joko cepat letakkan kotak emas berukir di atas kotak hitam. Lalu memasukkan Pedang Tumpul 131 ke balik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya bergerak ke arah kotak emas berukir di atas kotak hitam. Tangan murid Pendeta Sinting tampak bergetar tatkala mulai menyentuh gagang pedang yang nongol di bagian luar kotak emas berukir.
Namun dia laksana terbang saat tangannya tidak lagi merasakan hawa dingin menjalar dari tangannya yang telah menyentuh gagang pedang! Karena tidak lagi merasakan hawa dingin, buru-buru Joko angkat kotak emas berukir dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan memegang gagang pedang dan didekatkan ke arah tubuhnya.
"Aku berhasil! Ternyata pedang ini tidak pancarkan hawa dingin saat masuk ke dalam kotak emas ini!"
Joko sunggingkan senyum lalu setelah agak lama memperhatikan dia bergerak bangkit. Kotak berukir kuning perlahan-lahan disimpan ke balik pakaiannya. Lalu arahkan pandangan ke arah kotak hitam pembungkus kotak emas di atas tanah.
"Hem.... Mungkin pembungkus itu tak perlu kubawa serta!" gumam Joko. Lalu dengan gerak-gerakkan kedua tangannya yang terasa ngilu karena tegang, dia melangkah tinggalkan tempat itu.
***
LIMA
NAMUN baru saja mendapat sepuluh langkah, sekonyong-konyong terdengar deruan angker. Pendekar 131 balikkan tubuh. Memandang ke depan, dia tersentak dengan mata membeliak. Sosok Iblis Rangkap Jiwa melesat lurus ke arahnya dengan posisi telungkup di atas udara! Dari kedua tangan dan kakinya muncrat cairan darah. Sementara sepasang matanya menyengat angker dari wajahnya yang dahsyat!
"Dia belum mampus!" desis murid Pendeta Sinting. Baru saja terdengar desisan, dan belum sempat membuat gerakan apa-apa, sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah berada setengah depa di hadapan Joko! Kepalanya yang rengkah di bagian satu sisinya ditundukkan dan siap dihantamkan pada dada murid Pendeta Sinting! Cepatnya lesatan sosok Iblis Rangkap Jiwa dan terkejutnya murid Pendeta Sinting membuat Joko terlambat membuat gerakan. Hingga baru saja Joko angkat kedua tangannya, kepala Iblis Rangkap Jiwa sudah satu setengah jengkal di hadapannya!
Satu jengkal lagi kepala Iblis Rangkap Jiwa menghantam dada Pendekar 131, mendadak terdengar deruan dari arah samping. Satu gelombang berkiblat. Sosok Pendekar 131 tersentak dua langkah ke samping. Saat yang sama, kepala Iblis Rangkap Jiwa yang siap menghantam dada tersentak ke atas mendongak. Lalu sosoknya tersapu dan terbanting dua kali di atas udara sebelum akhirnya meluncur deras dan jatuh menghantam tonjolan batu agak runcing.
"Prakkk!" Iblis Rangkap Jiwa melolong tinggi. Kepalanya pecah menghantam batu. Beberapa saat sosok laki-laki yang kedua tangan dan kakinya telah terbabat putus ini berusaha angkat kepalanya yang telah bersimbah darah. Namun saat lain kepalanya lunglai. Lolongannya terputus. Lalu sosoknya diam tak bergerak-gerak lagi!
Pendekar 131 cepat berpaling ke samping. Satu sosok bayangan berkelebat. Lalu satu sosok tubuh telah tegak memandang tajam pada Joko. Hampir saja Joko surutkan langkah. Dia melihat seorang gadis muda berparas cantik berambut panjang dikelabang dua. Sepasang matanya bulat tajam. Kulitnya putih dengan bibir merah tanpa polesan. Gadis ini mengenakan pakaian warna ungu.
"Dayang Tiga Purnama!" bisik Pendekar 131 mengenali siapa adanya gadis cantik berambut kelabang dua berbaju ungu. "Bagaimana dia bisa berada di tempat ini?! Mungkinkah masih ada orang lain lagi...?! Joko putar pandangan berkeliling. Lalu kembali memandang pada gadis berbaju ungu yang bukan lain memang Dayang Tiga Purnama adanya.
"Dayang.... Terima kasih...."
"Simpan dulu rasa terima kasihmu, Pendekar 131 Joko Sableng!"
Sahutan ketus Dayang Tiga Purnama membuat murid Pendeta Sinting maklum. Dalam hati dia membatin. "Aku tahu. Mungkin dia masih percaya dengan keterangan Nenek Selir kalau aku menghamili kedua cucunya! Mungkin juga dia masih jengkel karena merasa tertipu saat Datuk Kala Sutera memanggilku Paduka Seribu Masalah, sementara aku memperkenalkan diri padanya dengan Joko Sableng!
Hem.... Tapi satu hal yang pasti, dia sudah lama berada di tempat ini! Terbukti ia memanggilku lengkap! Panggilan itu pasti didengarnya dari mu!ut Iblis Rangkap Jiwa ketika masih bernyawa tadi!" Pendekar 131 tersenyum. Lalu melangkah mendekat.
"Jangan berani lanjutkan langkah!" Dayang Tiga Purnama membentak.
Joko batalkan niat mendekati. Senyumnya diputus. "Ada apa dengan gadis ini?! Mungkinkah dia menginginkan pedang putih di dalam kotak berukir emas?!" Joko menduga-duga seraya menatap tajam pada gadis dihadapannya. Lalu berkata.
"Dayang Tiga Purnama.... Kalau ada ganjalan di hati, harap katakan!"
Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Dalam hati gadis ini berkata. "Aku telah mengikutinya sejak dari hutan bambu. Aku juga telah dengar percakapannya dengan manusia yang bernama Iblis Rangkap JiWa itu! Dia telah mendapatkan pedang sakti.... Kalau tidak mendapat keterangan dari tokoh negeri ini, mustahil dia dapat memperoleh pedang itu.... Jadi jangan-jangan benar semua keterangannya kalau dia banyak punya sahabat di negeri ini meski dia baru saja injakkan kaki di tanah Tibet ini.... Dia harus segera memberi keterangan di mana aku bisa bertemu dengan Paduka Seribu Masalah!"
Habis membatin begitu, Dayang Tiga Purnama buka suara. "Aku perlu jawaban jujur! Di mana aku bisa bertemu dengan Paduka Seribu Masalah?!"
Belum sampai Joko buka mulut menjawab, si gadis sudah sambung! ucapannya. "Tapi jangan bicara main-main! Aku tidak suka bercanda!"
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, boleh aku tanya?!"
Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya arahkan pandangannya ke jurusan lain.
"Selain pertanyaanmu tadi, apakah nanti masih ada pertanyaan lain?!" Joko buka mulut lagi setelah ditunggu tidak juga ada sahutan dari Dayang Tiga Purnama.
"Siapa dirimu sekarang sudah jelas bagiku! Kau juga tak perlu khawatir! Aku tidak menginginkan pedang putih di tanganmu! Jelas?!"
Joko anggukkan kepala. Lalu berkata. "Aku tidak main-main dengan jawabanku.... Kuharap kau nantinya percaya!" Joko memandang sekilas pada bagian samping raut wajah Dayang Tiga Purnama. Lalu melanjutkan.
"Kau masih ingat dengan orang yang bersamaku ketika kita pertama kali bertemu?"
Dayang Tiga Purnama berpaling. Belum sampai dia buka mulut, Joko mendahului. "Orang yang selalu duduk rangkapkan kaki dan sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya, Itulah Paduka Seribu Masalah...."
Wajah Dayang Tiga Purnama berubah. Sepasang matanya sedikit membeliak. Dengan suara tinggi dia bertanya. "Kalau ucapanmu benar, mengapa kau tidak mengatakannya saat itu?!" Dada Dayang Tiga Purnama tampak berguncang. "Kau jangan mempermainkan aku! Jangan kira aku bodoh seperti manusia dari negeri asalmu itu yang begitu saja percaya saat kau katakan harus mencari tujuh helai bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh tahun sebagai penangkal dari hawa dingin pedang di tanganmu!"
"Hem.... Dugaanku tepat! Berarti dia sudah lama berada di sekitar tempat ini!" Joko membatin mendengar kata-kata Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata. "Aku tahu kapan saatnya bercanda dan kapan waktunya bersungguh-sungguh! Ucapanku tentang bulu ketiak itu memang main-main! Tapi keteranganku tentang siapa adanya Paduka Seribu Masalah bersungguh-sungguh!"
"Tapi mengapa kau tidak mengatakannya saat itu juga?! Bukankah saat itu aku telah mengatakan padamu semua rahasiaku?! Mengapa kau tidak berterus terang?! Padahal aku sudah berterus terang padamu?! Seharusnya kau jujur kalau untuk keterangan yang kuminta kau membutuhkan imbalan!"
Tampang murid Pendeta Sinting berubah merah padam. Tapi belum sempat dia buka suara, si gadis berucap lagi.
"Sekarang katakan imbalan apa yang kau minta jika aku menginginkan keterangan di mana beradanya Paduka Seribu Masalah!"
"Dayang.... Aku tidak mengharap imbalan apa-apa!"
"Lalu apa maksudmu tidak mau berterus terang mengatakan orang yang kucari?! Padahal...."
"Dayang.... Saat itu aku sendiri belum yakin kalau orang yang duduk rangkapkan kaki dan sembunyikan wajahnya itu adalah Paduka Seribu Masalah!"
"Kau pandai bicara berbelit-belit! Waktu bertemu itu, kau katakan dia adalah sahabatmu! Bagaimana mungkin kau tidak yakin dengan orang yang kau katakan sebagai sahabat apalagi saat itu bersamamu?!"
Seperti diketahui, saat menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai, Pendekar 131 dan Paduka Seribu Masalah sempat bertemu dengan Dayang Tiga Purnama. Saat itu Dayang Tiga Purnama berterus terang mengatakan pada Joko tentang ganjalan hatinya. Dia mencari seorang bergelar Paduka Seribu Masalah. Karena saat itu murid Pendeta Sinting sendiri belum yakin kalau orang yang bersamanya adalah Paduka Seribu Masalah, Joko tidak mau mengatakan siapa adanya orang yang bersamanya. Dia hanya mengatakan, Paduka Seribu Masalah adalah salah seorang sahabatnya. (Untuk jelasnya silakan baca seria! Joko Sableng dalam episode Dayang Tiga Purnama)
"Kau tidak menjawab memberi alasan!" kata Dayang Tiga Purnama ketika Joko hanya diam mendengar kata-kata si gadis.
"Dayang.... Saat itu aku harus buru-buru menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Terus terang saja. Ketika itu aku masih ragu-ragu tentang siapa adanya orang yang bersamaku. Aku baru bertemu dengannya di hutan bambu. Aku baru yakin kalau dia adalah Paduka Seribu Masalah setelah tiba di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!"
"Bagaimana kau bisa yakin?!"
"Dua orang sahabatku di lembah itu yang memberi keterangan!"
"Siapa mereka?!" Dayang Tiga Purnama terus mengejar.
"Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan!"
"Hem.... Aku pernah dengar nama kedua orang yang baru disebut!" kata Dayang Tiga Purnama dalam hati. Lalu bertanya lagi. "Ketika kau balik, kau tidak bersama orang yang kau katakan sebagai Paduka Seribu Masalah. Ke mana dia?!"
"Kami berpisah ketika sampai di sungai keenam...."
"Dia balik ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Joko gelengkan kepala. "Aku tak tahu pasti. Dia tidak mengatakannya padaku!"
"Kau pernah berjanji akan mengatakan urusanku pada Paduka Seribu Masalah! Lalu setelah kau yakin orang itu adalah Paduka Seribu Masalah, apakah kau menanyakan urusanku padanya?!"
Pendekar 131 terdiam. Dadanya berdebar tidak enak. Perlahan-lahan dia berpaling dengan memoatin. "Apa yang harus kukatakan padanya?! Paduka Seribu Masalah tidak mau menjawab perihal gadis ini dengan alasan hal itu masih ada kaitannya dengan urusan perkawinanku dengan Dewi Bunga Asmara!"
"Kau tidak mengatakan pada Paduka Seribu Masalah perihal diriku?!" Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan.
"Aku.... Aku belum sempat menanyakannya. Saat itu aku tengah menyelesaikan urusanku...." Akhirnya Joko menjawab dengan berdusta. Karena khawatir Dayang Tiga Purnama tidak percaya dengan apa yang menjadi jawaban Paduka Seribu Masalah.
Dayang Tiga Purnama perdengarkan gumaman tak jelas. Sepasang matanya mendelik. Dan dia sentakkan wajahnya berpaling saat berucap ketus. "Tahu kau ingkar janji dan suka bercanda, tidak mungkin aku mengatakan terus terang padamu perihal diriku!"
"Maaf, saat itu aku benar-benar tidak ingat dan lupa...."
"Hem.... Karena kau tenggelam dengan urusan hamilnya dua gadis di negeri asalmu dan hamilnya dua gadis cucu nenek bersanggul pedang itu?!" sahut Dayang Tiga Purnama.
"Celaka! Jangan-jangan dia menduga alasan yang kukatakan pada Iblis Rangkap Jiwa benar-benar terjadi! Dan juga mengira tuduhan nenek geblek itu benar!" gumam Joko dengan paras mengelam merah.
"Pemuda negeri asing!" ujar Dayang Tiga Purnama masih tanpa memandang dengan suara keras. "Siapa pun kau adanya, yang jelas kau telah disebut sebagai Pendekar! Di daratan Tibet, seorang pendekar pantang memiliki hubungan dengan beberapa gadis! Apalagi sampai menodai dua gadis hingga hamil! Jika manusia begitu hidup di daratan Tibet, siapa pun berhak membunuhnya!
Kuingatkan kau agar segera kembali ke tanah kelahiranmu! Jika aku masih menemukanmu berkeliaran di tanah Tibet, aku tak segan membunuhmu! Karena bukan tak mungkin kau mencari mangsa di daratan ini! Buktinya kau telah berurusan dengan dua cucu nenek bersanggul pedang itu!"
Joko ternganga besar mendengar katakata si gadis. Namun belum sampai dia buka mulut, Dayang Tiga Purnama telah berucap lagi.
"Saat ini kau memang telah mendapatkan pedang sakti! Tapi bukan berarti kau bisa seenaknya saja membuat ulah di negeri ini! Ingat! Sekali kau kutemukan masih berada di daratan Tibet, kita akan berhadapan mengadu nyawa!"
"Hem.... Saat kutinggalkan bersama Nenek Selir, gadis ini tinggal berdua dengan Datuk Kala Sutera. Kalau dia bisa lolos, berarti ilmunya tidak rendah! Dan terbukti pukulannya tadi membuat Iblis Rangkap Jiwa terpental dan jatuh tewas!" Joko berkata dalam hati. Joko tidak pernah tahu, kalau lolosnya Dayang Tiga Purnama dari Datuk Kalau Sutera karena sesuatu yang Dayang Tiga Purnarra sendiri tidak menyadarinya.
"Dayang...," kata Joko dengan suara pelan. "Mau dengar penjelasanku?!"
"Hem.... Kau ingin memberi alasan tentang beberapa gadis yang hami! itu?! Tuduhan nenek bersanggul pedang Stu mungkin benar mungkin juga salah! Tapi keterangan dari mulutmu sendiri ketika hampir mampus di tangan musuh dari negeri asalmu itu, tidak membutuhkan penjelasan lagi!"
"Tapi...."
"Kembalilah ke negeri asalmu, Pendekar 131! Kau tidak pantas hidup di bumi Tibet!" Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama berpaling dan memandang tajam. Lalu berkata lagi. "Kalau keteranganmu tentang Paduka Seribu Masalah main-main, kelak aku akan mencarimu ke tanah Jawa!" Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. Lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sebenarnya Pendekar 131 sudah hendak buka mulut. Namun dipikir tidak ada gunanya dan bisa memperuncing masalah, akhirnya Joko hanya diam saja dan memperhatikan sosok Dayang Tiga Purnama dengan geleng kepala. "Mungkin sebaiknya aku segera tinggalkan negeri ini.... Di sini aku didera urusan aneh-aneh yang tidak kumengerti!" Joko berpaling sesaat pada sosok Iblis Rangkap Jiwa. Dia menghela napas panjang.
"Ternyata bentangan samudera bukan jadi perintang terlampiasnya sebuah dendam! Mudah-mudahan orang yang duduk rangkapkan kaki itu adalah benar Paduka Seribu Masalah. Hingga tidak sampai Dayang Tiga Purnama jauh-jauh memburuku sampai ke tanah Jawa...." Habis bergumam begitu, Pendekar 131 selinapkan tangan kiri kanan ke balik pakaiannya meyakinkan keberadaan Pedang Tumpul 131 dan kotak emas berukir berisi pedang putih. Saat lain balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
ENAM
KARENA khawatir tersesat, Pendekar 131 Joko Sableng terpaksa berkelebat mengikuti jalan mana dia tadi sampai ke tempat ditemukannya pedang putih yang menancap pada kotak hitam. Seraya berlari, dia terus bersikap waspada. Malah sesekali berhenti dengan pasang telinga dan pentang mata. Dia sadar, beberapa tokoh negeri Tibet banyak yang sudah tahu kalau peta wasiat yang pernah banyak dibicarakan berada di tangannya.
Bukan mustahil, secara diam-diam ada yang terus mengikutinya dan mencari kesempatan untuk merampas apa yang telah didapatkannya. Kekhawatiran pula yang membuat murid Pendeta Sinting beristirahat di satu tempat dan baru meneruskan perjalanan setelah pagi menjelang.
Ketika langkahnya mendekati kawasan yang berdekatan dengan hutan bambu di mana dia kemarin mulai mengadakan perjalanan, Pendekar 131 memperlambat larinya. Saat itulah mendadak dia menangkap kelebatan satu sosok bayangan menuju ke arahnya. Buru-buru dia melesat lalu mendekam sembunyi di atas sebuah pohon berdaun rindang.
Pendekar 131 pentangkan mata dan pasang telinga tanpa berani membuat gerakan atau perdengarkan suara. Dan dia merasakan dadanya berdebar ketika tibatiba satu sosok tubuh telah tegak si samping sebuah batangan pohon di seberang bawah sana hanya beberapa tombak dari pohon di mana dia mendekam sembunyikan diri.
Ketika sekali lagi murid Pendeta Sinting memperhatikan, hampir saja mulutnya terbuka. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih panjang mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Laki-laki ini tegak dengan pundak kanan memanggul satu sosok tubuh yang membuat Joko tercengang hampir tidak percaya. Yang dipanggul adalah seorang yang sangat dikenalnya dan belum lama sempat bertemu.
"Nenek Selir!" desis Joko mengenali sosok yang ada di panggulan pundak orang. "Apa yang terjadi dengan nenek slebor itu?! Dia tidak bergerak tidak bersuara! Astaga! Dari bahunya terlihat tetesan darah! Telah terjadi sesuatu padanya! Apa yang harus kulakukan?! Menolongnya...?! Tapi bukankah..." Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan membatin. Dia simak baik-baik keadaan di bawah sana.
Laki-laki berjubah tanpa lengan perlahan-lahan turunkan sosok di atas panggulannya yang ternyata adalah seorang perempuan tua mengenakan pakaian selempang kain warna hitam. Rambutnya yang putih disanggul tinggi dan dihias dua pedang berkilat. Nenek ini bukan lain memang Nenek Selir alias Yu Sin Yin. Begitu sosok si nenek tergeletak di atas tanah di bawah pohon, si laki-laki berjubah tanpa lengan gerakkan kedua tangan ke arah bahu kiri si nenek yang masih teteskan darah.
Begitu kedua tangan si laki-laki membuat gerakan menusuk beberapa kail dan ditempelkan, dari bahu kiri si nenek yang pakaiannya robek, semburkan darah kehitaman! Sosok Nenek Seiir terlihat terlonjak. Namun sejauh ini dia tidak perdengarkan suara atau membuat gerakan lain.
"Apa pun yang dilakukan kakek itu, dia tengah menolong! Siapa adanya kakek itu?!"
Baru saja Joko membatin begitu, di bawah sana si laki-laki usap bahu kiri Nenek Selir yang baru saja muncratkan darah. Saat lain kedua tangannya menusuk beberapa anggota tubuh si nenek dan terakhir pada lehernya.
"Heekkk!" Terdengar suara laksana orang tercekik. Saat yang sama sosok si nenek terlonjak dengan mata terbuka nyalang. Mata itu sesaat memandang tajam ke atas lalu mengedar berkeliling.
Murid Pendeta Sinting diam-diam terkesiap. "Celaka kalau dia sampai tahu keberadaanku di sini! Ah.... Seharusnya aku tadi langsung saja pergi ketika dia dalam keadaan tidak sadar! Kini semuanya sudah terlambat.... Terpaksa aku harus menunggu hingga mereka pergi...." Joko rundukkan kepala meringkuk.
Sementara di bawah sana, begitu mata si nenek menumbuk pada sosok laki-laki berjubah abu-abu tanpa lengan, sesaat matanya membesar. Kejap lain laksana terbang dia bergerak bangkit. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Namun mendadak raut wajah si nenek berubah. Sosoknya bergetar. Kedua tangannya gemetar.
"Yu Sin Yin.... Racun dalam tubuhmu belum seluruhnya punah. Kau harus kerahkan tenaga murni untuk mengatasinyal Aku hanya berhasil mengeluarkan sebagian...." Berkata laki-laki berjubah tanpa lengan.
"Beraninya kau menyentuh tubuhku! Jahanam! Kau kira dengan tindakanmu ini aku akan ucapkan terima kasih dan menganggap hangus semua yang telah kau lakukan?!"
Si laki-laki di hadapan Nenek Selir gelengkan kepala. "Seandainya yang terluka bukan kau, aku akan melakukan tindakan yang sama! Jadi jangan kira semua ini kulakukan dengan berharap satu maksud!"
"Wang Su Ji! Kau masih pandai bicara mengambil hati orang! Tapi jangan berharap aku merubah niat hanya karena tindakanmu ini! Kau tetap harus mampus di tanganku!" bentak Nenek Selir seraya kerahkan hawa murni karena diam-diam nenek ini memang merasakan sekujur tubuhnya masih laksana ditusuk ribuan jarum meski tidak lagi sehebat saat berada di hutan bambu.
Seperti diketahui, Nenek Selir secara tidak terduga bertemu dengan Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah. Laki-laki yang pada masa mudanya pernah menjadi kekasihnya dan pada akhirnya berkhianat. Ketika si nenek hendak lampiaskan dendam, mendadak muncul Siluman Sebelas Muara dan Ratu Pulau Mayat. Kemunculan kedua orang ini hendak balas dendam atas tindakan Nenek Selir yang diduga telah membunuh saudara mereka. Ratu Pulau Mayat akhirnya tewas bunuh diri karena tidak tahan menahan rasa panas pada sekujur tubuhnya.
Sementara Siluman Sebe.as Muara melarikan diri dengan terluka. Namun sebuah pisau beracun milik Siluman Sebelas Muara sempat bersarang pada bahu kiri Nenek Selir. Dengan cepat racun itu menjalar ke seluruh tubuh si nenek walau si nenek telah hentikan jalan darahnya dan kerahkan hawa murni. Tapi Nenek Selir tidak pernah menduga kalau racun di pisau Siluman Sebelas Muara akan makin menjadi-jadi jika ditahan dengan pengerahan hawa murni.
Dalam keadaan terkena racun dan hampir saja roboh, Wang Su Ji cepat bertindak dan membawa si nenek bekas kekasihnya di masa muda itu meninggalkan hutan bambu. Karena khawatir masih ada orang lain yang memendam dendam pada Nenek Selir akibat ulah si nenek pada beberapa puluh tahun silam, Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah sengaja beristirahat pada satu tempat aman seraya mengobati si nenek. Ketika suasana berganti pagi, Wang Su Ji teruskan perjalanan membawa si nenek pergi jauh-jauh dari hutan bambu.
Manusia Tanah Merah sunggingkan senyum. "Yu Sin Yln.... Aku tahu dan sadar. Perempuan mana pun pasti akan mengucapkan kata-kata yang sama sepertimul Tapi percayalah.... Kulakukan semua ini bukan berharap kau merubah niat untuk membunuhku! Dan kau sendiri sudah dengar. Aku akan pasrahkan diri padamu.... Tapi setelah kita tahu siapa dan di mana adanya anak kita!"
"Itu hanya mimpi! Itu hanya khayalanmul Kau harus mampus tanpa harus tahu siapa dan di mana anakmu! Kau tidak pantas bertemu dengannya!" teriak Nenek Selir setengah menjerit.
"Manusia sepertiku memang tidak pantas bertemu dengan anak yang disiasiakan. Tapi sebagai seorang ayah, bagaimanapun juga aku masih berharap bisa beetemu sebelum ajal datang menjemput.... Lagi pula...."
"Cukup!" potong si nenek sambil gerakkan kedua tangan yang masih berada di udara.
"Sett! Settt!" Dua buah pedang yang menghias di sanggulan rambutnya kini telah tergenggam pada kedua tangannya.
"Kau kelak bisa bertemu anakmu di liang kuburi" seru Nenek Selir sambil maju dua langkah. Dua pedang di tangan diangkat tinggi-tinggi.
Manusia Tanah Merah menghela napas panjang. Wajahnya berubah tegang. Dia maklum, dalam keadaan dibuncah hawa marah dan dendam begitu rupa, tidak mungkin baginya dapat menyadarkan si nenek. Hingga tanpa membuat gerakan apa-apa dia berucap. "Yu Sin Yin.... Aku memang telah menyakiti hatimu. Dan pada mulanya aku berharap kau mau memaafkan aku. Tapi kalau pintu maafmu telah tertutup, aku tak bisa berbuat lain! Dan kalau kau tidak juga memberi waktu lagi padaku untuk bisa bertemu dengan anak kita, aku pun tidak akan memaksa. Sekarang lakukanlah apa yang kau inginkan...."
"Keparat! Kau kira aku akan trenyuh mendengar ucapanmu, hah?!"
"Manusia sepertiku sudah tidak pantas lagi mengharap apa-apa...."
"Bagus! Bersiaplah!" bentak Nenek Selir dengan suara serak. Dia maju satu tindak lagi. Kini jarak antara nenek dan kakek itu tinggal tiga langkah. Si nenek pandangi sosok Manusia Tanah Merah dengan dagu mengembung dan mata berkilat merah laksana dibakar. Saat lain kedua tangannya bergerak! Terdengar deruan angker dari gerakan kedua pedang di kedua tangan Nenek Selir. Bara api telah semburat di tubuh dua pedang yang berarti si nenek telah kerahkan ilmu kesaktian 'Bara Api Neraka'.
Manusia Tanah Merah sunggingkan senyum. Lalu sepasang matanya digerakkan memejam. Laki-laki ini tidak berusaha membuat gerakan apa-apa pertanda dia sudah pasrah menjemput ajal di tangan bekas kekasihnya.
Namun belum sampai bara api melesat keluar dari dua pedang si nenek, dan gerakan kedua tangannya baru setengah jalan, mendadak si nenek tahan gerakannya. Sosoknya gemetar. Kepalanya digerakkan pulang balik menggeleng perlahan. Lalu terdengar gumamannya tak jelas. Malah saat lain kaki kanannya bergerak menghentak! Hingga tanah di bawahnya bergetar dan muncrat semburat.
Manusia Tanah Merah perlahan membuka matanya. Masih dengan tersenyum dia berkata setengah berbisik. "Yu Sin Yin.... Jangan turutkan perasaan.... Kau nanti akan menyesal. Aku tahu. Kau masih menyintaiku.... Bukankah lebih baik kita bangun kembali puing-puing kehancuran ini...? Kita telah sama-sama tua. Untuk apa masih harus selesaikan masalah dengan jalan kekerasan jika jaian lain masih bisa kita tempuh...?! Apalagi kita masih punya sesuatu yang harus diselesaikan bersama-sama...."
"Keparat!" Mendadak si nenek menghardik. "Siapa masih menyintaimu?! Justru aku akan menyesal jika bukan tanganku sendiri yang mencabut selembar nyawa jahanammu!"
Dengan selesainya ucapan, kedua tangan Nenek Selir teruskan berkelebat! Terdengar seruan tertahan dari atas sebuah pohon. Lalu dua gelombang dahsyat berkiblat. Kedua tangan Nenek Selir terperai ke udara. Sosoknya terjajar tiga langkah ke samping. Saat yang sama, sosok Manusia Tanah Merah tersapu dan tersentak-sentak mundur hingga beberapa langkah!
Dua bara api dari tubuh dua pedang si nenek memang melesatl Keluar hingga semburkan hawa panas. Namun karena kedua tangan si nenek terpental dan sosok Manusia Tanah Merah tersapu, lesatan dua bara api berkiblat melenceng den menghajar dua batangan pohon di sebelah samping.
Blammm! Blammm!
Dua pohon besar itu langsung terbakar dan berderak tumbang perdengarkan suara bergemuruh keras. Tanahnya terbongkar dan semburat menutupi pemandangan. Dalam marah dan gusarnya, Nenek Selir tegakkan wajah berpaling tengadah tembusi keadaan yang agak gelap karena semburatan tanah. Saat lain dia membuat gerakan dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan kepala mendongak di bawah salah satu pohon. Beberapa saat sepasang matanya mendelik liar mengawasi rimbun dedaunan pohon di bawah mana dia tegak.
"Jahanam! Jelas gelombang laknat yang menahan gerakanku tadi berasal dari pohon ini! Jelas pula aku melihat jahanamnya mendekam di sela rimbun dedaunannya! Telingaku pun jelas mendengar seruannya! Aneh.... Tapi mana tampang bangsatnya?!" Nenek Selir menggeram dalam hati karena meski telah memperhatikan beberapa saat, dia tidak melihat siapa-siapa! Si nenek melirik sekilas ke samping. Manusia Tanah Merah masih tegak seraya me mandang ke arah si nenek. Saat itu juga Nenek Selir membentak.
"Wang Su Jin! Jangan coba-coba bergerak tinggalkan tempat ini! Aku akan selesaikan dulu jahanam yang berani lancang ikut campur urusanku!" Habis berteriak begitu, kembali Nenek Selir tengadah memandang ke arah pohon di atasnya dengan mata makin merah dan membelalak. Lalu berteriak keras. "Aku hanya bicara satu kali! Cepat tunjukkan tampangmu!"
Tampaknya ancaman si nenek tidak main-main. Begitu tidak ada sahutan atau tanda-tanda kemunculan orang, kedua tangan si nenek yang masih menggenggam dua pedang segera dikelecatkan ke atas.
Wuuss! Wusssi
Hawa panas menyengat menebar tatkala dari tubuh dan pedang Nenek Selir melesat dua kobaran api perdengarkan suara gemuruh menggidikkan. Rimbun dedaunan pohon di bawah mana Nenek Selir berada langsung amblas mental dan terbakar. Saat lain batangan pohonnya bergetar keras sebelum akhirnya tumbang dengan mengelupas hangus dan pecah-pecah! Bersamaan dengan berderak tumbangnya batangan pohon, satu sosok putih berkelebat dari baliknya. Lalu tegak di seberang depan sana dengan membelakangi Nenek Selir dan Manusia Tanah Merah!
Sepasang mata Nenek Selir memandang berkilat. "Rambutnya sedikit panjang acak-acakan. Pakaiannya putih....." Si nenek mendesis dengan dada bergerak turun naik keras. "Jahanam! Jangan-jangan bangsatnya si...."
Nenek Selir putuskan desisan. Lalu berkelebat dan tegak tujuh langkah di belakang sosok yang baru saja melompat keluar dari batangan pohon yang baru saja tumbang terhantam pukulannya. "Setan sekalipun kau adanya, kau ingin mampus tanpa unjukkan tampang?!" Nenek Selir berteriak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Perlahan-lahan sosok berbaju putih di hadapan si nenek bergerak memutar. Walau tadi sudah menduga, namun begitu sosok di hadapannya yang tadi tegak membelakangi membalik, Nenek Selir masih sempat terlengak dan tersurut kaget. Sementara orang di hadapannya sunggingkan senyum. Namun senyumnya laksana tersentak putus ketika matanya melihat kedua tangan si nenek yang terangkat tinggi-tinggi dan siap bergerak! Hingga dia cepat buka mulut.
Nek! tunggu...! Kau harus dengar dulu penjelasanku!"
"Penjelasan itu kau katakan saja nanti pada setan di neraka!" sentak nenek Selir dengan nanari sosok di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah tidak percaya.
"Tidak bisa! Aku tak punya urusan dengan setan di neraka! Urusannya denganmu!" Orang di hadapan si nenek yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting ikut-ikutan berkata keras dengan mata terus melirik ke arah kedua tangan si nenek.
"Persetan dengan segala macam urusan! Kau telah berani kurang ajar menghalangi tindakanku! Kau harus mampus tanpa perlu memberi penjelasan!"
"Tidak bisa! Mampus atau tidak aku harus memberi penjelasan! Persetan kau perlu atau tidak dengan penjelasanku!"
"Yu Sin Yin.... Berilah waktu padanya....Jangan kau tumpahkan kemarahan mu padaku terhadap orang lain...." Manusia Tanah Merah angkat suara. Nenek Selir berpaling dengan seringai dingin.
***
TUJUH
WANG Su Ji! Mulutmu berani mengatur!" Nenek Selir membentak.
"Kau jangan terlalu berprasangka jauh.... Setiap tindakan orang pasti punya tujuan. Siapa pun adanya pemuda itu, tentu punya alasan hingga dia berani kurang ajar menghalangi tindakanmu.... Apalagi kulihat kau telah mengenalinya!"
"Betul! Betul!" Joko menyahut "Aku hanya ingin menjelaskan satu hal. Setelah itu aku akan pergi!"
Nenek Selir menoleh lagi pada murid Pendeta Sinting. Saat yang sama, Joko segera buka mulut. "Nek...! Dengan adanya pertemuan antara kau dan kakek itu, berarti aku sudah tidak punya kewajiban lagi menjawab pertanyaanmu! Hal ini harus kujelaskan agar nantinya tidak terjadi salah paham di antara kita!"
Seperti diketahui, ketika bertemu pertama kali dengan Nenek Selir, si nenek memberi waktu setengah purnama pada murid Pendeta Sinting untuk menjawab di mana beradanya Wang Su Ji alias Manus a Tanah Merah yang sebenarnya saat itu masih belum diketahui oleh Joko. Dan begitu Pendekar 131 mendengar percakapan antara si nenek dengan kakek berjubah tanpa lengan, dia sudah dapat menduga kalau orang yang selama ini dicari oleh si nenek adalah laki-laki yang kini berada di hadapannya.
"Pemuda asing!" berkata Nenek Selir masih dengan suara tinggi. "Kau masih punya tanggungan nyawa padaku! Tanggungan itu baru impas kalau kau sudah memutuskan gadis mana yang kau pilih!"
Seperti diketahui pula, Nenek Selir yang tengah mencari jejak kekasih lamanya bertemu dengan Bidadari Delapan Samudera yang saat itu tengah dilanda kebimbangan atas sikap dan ucapan Joko. Karena punya nasib yang hampir sama, akhirnya Nenek Selir memutuskan untuk membantu Bidadari Delapan Samudera. Dan si nenek akhirnya bertemu juga dengan Bidadari Pedang Cinta sebelum akhirnya menemukan Pendekar 131 yang saat itu bersama Dayang Tiga Purnama di hutan bambu.
Melihat Joko bersama Dayang Tiga Purnama, Nenek Selir menjadi marah. Dia menduga murid Pendeta Sinting adalah manusia yang suka mempermainkan perempuan. Hingga pada akhirnya si nenek minta agar joko memberi keputusan siapa di antara ketiga gadis itu yang dipilihnya! Nenek Selir memberi waktu sepuluh hari.
Hal ini dilakukan si nenek karena dia tak mau ada perempuan yang dibuat main-main oleh lakilaki. Dia telah merasakan bagaimana pahitnya dikhianati. Lebih dari itu, karena dia sebenarnya punya seorang anak perempuan yang hingga saat ini tidak diketahui di mana rimbanya.
"Sekarang katakan padaku. Siapa di antara gadis itu yang kau pilih!" Nenek Selir kembali berkata setelah agak lama di antara Joko, si nenek dan Manusia Tanah Merah tidak ada yang buka suara.
"Nek.... Aku adalah orang dari seberang laut. Kau boleh percaya boleh juga tidak. Sebenarnya aku tidak punya maksud untuk datang ke negeri ini. Jadi sulit rasanya kalau aku harus memutuskan untuk memilih gadis negeri ini! Apalagi tujuanku bukan mencari gadis!"
"Persetan dengan keteranganmu! Yang jelas kau telah ucapkan janji untuk memberi pilihan! Lagi pula jangan mimpi aku bisa percaya dengan keterangan manusia laki-laki sepertimu! Semua laki-laki adalah Jahanam keparat! Termasuk dirimu!"
"Nek...."
"Jangan teruskan bicara!" tukas si nenek. "Kau kuberi waktu untuk bicara kalau memberi jawaban pilihan atas ketiga gadis itu! Jika tidak, segeralah enyah dari hadapanku sebelum aku muak melihat tampangmu dan kedua tanganku makin gatal ingin segera membunuhmu!" Kepala s! nenek mendongak. Lalu teruskan bicara. "Untung kau bertemu sebelum masa waktu yang kuberikan habis! Jika sebaliknya, jangan harap nyawamu masih utuh!"
"Ah, daripada cari penyakit baru, lebih baik aku pergi saja! Aku akan segera pulang ke tanah Jawa. Kalau dia penasaran dan masih minta pertanggungan jawab, tentu dia akan mencariku!" Joko membatin.
"He! Apa lagi yang kau tunggu, nah?!"
Joko anggukkan kepala. Lalu tanpa buka mulut lagi dia putar diri. Namun gerakannya ditahan tatkala dia menangkap gerakan pada Manusia Tanah Merah.
"Keparat! Rupanya kau manusia yang tak tahu diuntung dan tak mau diberi enak!" bentak Nenek Selir melihat Joko tahan gerakannya.
"Nek.... Tunggu! Harap kau sudi memberi saran padaku...."
Nenek Selir melotot. Namun sebelum dia buka mulut, Joko mendahului. "Kau tentu sudah mengenal tiga gadis yang hendak kupilih. Menurutmu, mana di antara ketiganya yang kira-kira sesuai dengan diriku?! Si baju ungu yang rambutnya dikelabang dua?! Atau si baju hijau yang berparas cantik menawan?! Atau si baju biru yang jelita?!"
Si nenek tidak menjawab. Joko sunggingkan senyum seraya melirik ke tempat mana tadi Manusia Tanah Merah berada. Lalu buka mulut. "Menurut yang kudengar...." Baru saja Joko berucap begitu, si nenek sudah melompat. Tangan kanannya disentakkan.
"Wuuttt!" Satu gelombang menyambar. Pedang di tangan kanan si nenek berkelebat. Namun tidak semburkan kobaran api. Karena tindakan si nenek sebenarnya hanya ingin agar Joko segera pergi. Namun gelombang yang menyambar akibat gebrakan tangan kanannya tidak bisa dianggap main-main.
Murid Pendeta Sinting buru-buru putar diri. Lalu seraya berkelebat dia berteriak. "Nek! Apa pun yang nantinya bakal terjadi ditempat ini, kuharap kau tidak lempar tuduhan padaku!"
"Byurr!" Tanah dua langkah di samping mana tadi Joko tegak berdiri semburat terkena gelombang yang menyambar dari tangan kanan Nenek Selir.
Si nenek tegak dengan mata mendelik memperhatikan kelebatan sosok murid Pendeta Sinting. "Jahanam! Apa maksud ucapannya...?! Jangan-jangan...."
Nenek Selir cepat balikkan tubuh. Mendadak paras wajahnya berubah membesi. Matanya terpentang besar laksana hendak mencelat dari rongganya. Sekujur tubuhnya berguncang keras. Karena ternyata Manusia Tanah Merah sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya di tempat itu!
"Jahanam! Jahanam! Ke mana manusia jahanam itu?!" Laksana kalap, Nenek Selir berkelebat mengitari tempat di mana tadi dilihatnya Manusia Tanah Merah tegak berdiri. Kedua tangannya diacung-acungkan. Mulutnya perdengarkan teriakan-teriakan tak karuan.
Setelah berkelebat berkeliling beberapa kali dan sosok yang dicari tidak juga ditemukan, Nenek Selir hentikan kelebatan dan tegak dengan tubuh bergetar basah kuyup. Sepasang matanya menatap tajam pada batangan pohon di dekat mana tadi Manusia Tanah Merah tegak berdiri. Saking marahnya, batangan pohon itu tibatiba membentuk sosok Manusia Tanah Merah! Nenek Selir serta-merta melompat. Pedang di tangan kanan kirinya dibabatkan beberapa kali.
Brakk! Brakk! Brakk!
Terdengar beberapa kali derakan keras. Batangan pohon itu langsung bergetar dan tumbang semburat! Tampaknya si nenek beium puas. Walau batangan pohon audah tumbang dan semburat mengudara, dia teruskan kelebatan kedua pedangnya. Nenek Selir tidak tahu sampai berapa lama dia bertindak seperti orang kesurupan begitu rupa. Yang jelas dia baru hentikan babatan kedua pedangnya ketika merasakan kedua tangannya ngilu dan kedua kakinya goyah.
"Berpuluh tahun aku mencarinya! Berpuluh tahun pula aku memperdalam Ilmu untuk membunuhnya! Tapi begitu aku bertemu dengannya, begitu aku tegak di hadapannya siap membunuh, aku tidak bisa melakukannya! Mengapa...?! Mengapa?!"
Kepala Nenek Selir tengadah. Dadanya berguncang keras. Lalu perlahan-lahan lututnya menekuk dan sosoknya jatuh terduduk di atas tanah. Pedang pada kedua tangannya terlepas. Saat kepalanya bergerak menunduk, air mata meluncur deras membasahi kedua pipinya yang pucat mengeriput!
"Jahanam itu telah membuat hidupku sengsara dan merana.... Bahkan telah membuatku lupa pada anak! Tidak seharusnya aku berlaku lemah menghadapinya! Aku harus membunuhnya! Harus! Saat ini dia lolos. Tapi tidak untuk kedua kalinya! Dan pemuda asing itu! Gara-gara dia, jahanam itu bisa lolos! Dia juga harus terbunuh di tanganku!" Si nenek kepalkan kedua tangannya lalu dihantamkan ke atas tanah hingga membentuk lobang menganga.
"Anakku.... Di mana kau sekarang berada? Mungkinkah kita akan bertemu...? Kalau saja saat itu aku tidak tenggelam dalam bara dendam akibat ulah laki-laki jahanam itu, pasti kita tidak akan berpisah.... Anakku, aku telah membuat kesalahan besar terhadapmu.... Seandainya kita nanti bertemu, mudah-mudahan kau mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu... Kuharap kau mau memaafkan ibumu...." Nenek Selir kembali tengadah. Air mata kembali bergulir dari sudut sepasang matanya. Saat lain nenek ini perdengarkan gumaman tak jelas dengan kedua tangan diangkat lalu ditekapkan pada raut wajahnya.
***
DELAPAN
SEMENTARA itu, di lain pihak Pendekar 131 terus berkelebat dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Tampaknya dia sudah bisa membaca apa yang akan terjadi saat dia melihat Manusia Tanah Merah membuat gerakan berkelebat pergi ketika dia tadi hendak balikkan tubuh. Pada satu tempat agak sepi, baru Joko berani memperlambat larinya setelah pulang balikkan kepala berpaling ke belakang dan ke samping.
"Hem.... Siapa pun adanya kakek berjubah tanpa lengan itu, yang pasti dia adalah orang yang dicari Nenek Selir! Hem.... Ulah cinta di masa muda, ternyata tidak bisa sirna walau usia sudah bau tanah...."
Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu suara terdengar. "Anak muda.... Tidak selamanya cinta itu membuat orang bahagia! Untuk itu kau harus seribu kali berpikir jika berhadapan dengan urusan cinta dan perempuan!"
Sekonyong-konyong Pendekar 131 hentikan larinya. Lalu berpaling ke samping.
***
KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang terlengak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara orang begitu sampai pada satu tempat agak sepi, padahal sebelumnya dia menduga tempat di mana dia berada sudah agak jauh dari tempat pertemuan antara Nenek Selir dan Manusia Tanah Merah.
Kita kembali ke kawasan tidak jauh dari hutan bambu. Saat itu dua sosok bayangan tampak berkelebat cepat hingga sosok keduanya hanya laksana bayang-bayang. Mereka berlari menuju hutan bambu. Dan begitu sosok keduanya mulai memasuki hutan, sosok keduanya lenyap laksana ditelan bumi! Berbaur dengan rimbunnya rumpun ranggasan semak dan bambu. Sosok kedua bayangan itu baru terlihat lagi saat keduanya hampir mencapai aliran sungai di ujung hutan.
Mereka tegak berjajar dengan kepala sama berputar memperhatikan berkeliling. Sosok di sebelah kanan ternyata adalah seorang gadis berparas cantik. Rambutnya hitam lebat disanggul tinggi ke atas dan diberi konde. Kulitnya putih. Hidungnya mancung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah.
Sementara di sebelahnya, ternyata adalah juga seorang gadis berparas cantik. Sekail orang melihat, pasti sudah bisa menebak jika gadis di sebelah kiri adalah saudara kembar gadis berbaju merah. Karena sosok dan parasnya sangat mirip. Yang membedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan.
Kalau yang sebelah kanan mengenakan baju warna merah, gadis sebelah kiri memakai baju warna kuning. Kedua gadis ini bukan lain adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Murid Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah yang lebih dikenal dengan Pasangan Mesum.
"Galuh Empat Cakrawala.... Menurut beberapa keterangan yang kita dapat, orang yang kita cari berada di sekitar tempat ini. Tapi aku tidak menangkap adanya orang di sekitar tempat ini. Jangan-jangan semua keterangan yang kita dapat bohong belaka!" Berkata gadis cantik berbaju merah si Galuh Sembilan Gerhana dengan lepas pandangan berkeliling tembusi rimbun rumpun bambu.
"Kita tidak boleh putus asa! Kita belum menyelidik ke seluruh hutan! Mencari Orang macam Paduka Seribu Masalah bukan pekerjaan mudah yang tidak membutuhkan tenaga dan waktu!" Gadis berbaju kuning si Galuh Empat Cakrawala menyahut.
"Aku punya usul. Kalau setelah menyelidik ke seluruh hutan ini dan kita tidak menemukan Paduka Seribu Masalah, kita hentikan mencari orang itu! Kita langsung mencari si perempuan binal Bidadari Tujuh Langit! Kita memang belum yakin benar apakah keterangan Guru bahwa pembunuh orangtua kita adalah Bidadari jahanam itu.
Tapi Bidadari binal jahanam itu telah bertindak menjijikkan pada kita! Aib yang telah ditanamkan pada diri kita tidak bisa hapus sebelum tanganku bisa mencincang tubuhnya!" Berkata Galuh Sembilan Gerhana. Paras wajahnya berubah kelam membesi. Kedua tangannya mengepal. Dadanya yang membusung kencang bergerak turun naik. Jelas gadis cantik ini dilanda hawa kemarahan luar biasa.
Mendengar kata-kata saudaranya, Galuh Empat Cakrawala dongakkan wajah. Urat-urat pada lehernya yang jenjang dan putih tampak bersembulan keluar. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. "Jahanam binal itu memang harus segera kita cari! Sekali bertemu, hanya ada satu pilihan! Kita yang mampus atau Bidadari binal Itu yang berkalang tanah!"
Seperti diketahui, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala mendapat keterangan dari guru mereka si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah, jika orang tua mereka tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit. Kedua gadis itu segera mencari Bidadari Tujuh Langit. Ketika mereka bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit, ternyata mereka bukan saja tidak mampu melawan Bidadari Tujuh Langit meski sudah menggunakan cara tertentu.
Namun kedua gadis ini harus mengalami nasib tidak baik. Mereka diperlakukan tidak senonoh oleh Bidadari Tujuh Langit yang diketahui memiliki kelainan lebih suka bercinta dengan sesama jenis daripada dengan laki-laki, ini akibat kutuk yang diucapkan Dewi Keabadian ketika Bidadari Tujuh Langit dan suaminya Datuk Kala Sutera bertindak licik merampas Sepasang Cincin Keabadian dari tangan Dewi Keabadian.
"Di depan sana ada aliaran sungai! Berarti tempat itu adalah perbatasan kawasan hutan ini! Kita mulai menyelidik dari pinggiran sungai!" kata Galuh Sembilan Gerhana.
Tanpa menunggu sahutan Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana berkelebat menuju aliran sungai. Galuh Empat Cakrawala lepas pandangan berkeliling sekali lagi. Lalu berlari menyusul Galuh Sembilan Gerhana. Kalau saat menuju hutan bambu kedua gadis berparas cantik murid si Pasangan Mesum itu berlari laksana kesetanan, kali ini keduanya berlari agak peian. Malah sesekali berhenti dan putar pandangan dengan mata mendelik tak berkesip. Pada satu tikungan, mendadak Galuh Sembilan Gerhana yang berada di depan hentikan larinya.
"Kau melihat sesuatu?!" Bertanya Galuh Empat Cakrawala begitu tegak di samping Galuh Sembilan Gerhana.
Yang ditanya tidak segera menyahut. Sebaliknya beliakkan mata memandang pada satu jurusan. Galuh Empat Cakrawala memandang sesaat pada Galuh Sembilan Gerhana, lalu ikut lepas pandangan ke arah mana mata Galuh Sembilah Gerhana tengah menatap. Laksana terbang, mendadak Galuh Empat Cakrawala melompat. Lalu tegak hanya beberapa langkah di hadapan satu sosok tubuh yang duduk meringkuk di sebelah rimbun rumpun bambu.
Hampir bersamaan dengan melompatnya Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di samping saudaranya. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama tegak dengan mulut terkancing dan mata saling lempar lirikan. Saat lain terdengar Galuh Sembilan Gerhana berbisik.
"Dari beberapa keterangan yang kita peroleh, tampaknya orang itu mempunyai ciri yang dimiliki Paduka Seribu Masalah!"
Galuh Empat Cakrawala anggukkan kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada sosok yang duduk meringkuk beberapa langkah di hadapannya. Orang yang duduk di sebelah rumpun bambu itu adalah seorang laki-laki. Namun baik Galuh Sembilan Gerhana maupun Galuh Empat Cakrawala tidak bisa melihat wajah orang karena sosok itu sengaja tekuk ke dua kakinya dirangkapkan di depan dada.
Sementara kepalanya dibenamkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya. Kedua tangannya dilingkarkan menakup pula pada rangkapan kedua kakinya. Beberapa saat berlalu. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala seolah tenggelam dalam rasa terkesima. Hingga keduanya hanya diam memandang tanpa membuat gerakan atau buka mulut. Hingga pada satu saat, Galuh Empat Cakrawala berbisik.
"Dari cirinya jelas dia adalah Paduka Seribu Masalah! Apa lagi yang kita tunggu?!"
Laksana dikomando, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera maju lalu serta-merta berlutut di hadapan sosok yang duduk rangkapkan kaki.
"Bukankah yang ada di hadapan kami adalah Paduka Seribu Masalah?!" Yang buka suara adalah Galuh Empat Cakrawala dengan suara sedikit bergetar.
Tidak ada sahutan. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama rasakan dada masing-masing berdebar tidak enak. Seraya berlutut rapatkan kening di tanah mata masing-masing gadis ini melirik pada lainnya. Pandangan mereka jelas membayangkan kebimbangan. Namun tidak berapa lama kemudian terdengar ucapan Galuh Sembilan Gerhana.
"Kami berdua mencari Paduka Seribu Masalah. Bukankah yang ada di hadapan kami saat ini adalah orang yang kami cari?!"
Lagi-lagi tidak terdengar sahutan. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama angkat kepala. Saat itulah terdengar suara dari sosok yang duduk rangkapkan kaki.
"Gadis-gadis cantik.... Jangan bertanya begitu. Aku takut menjawabnya...."
Mendengar ucapan orang, mau tak mau Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersentak kaget. Mereka berdua bingung tak tahu harus bagaimana. Hingga keduanya hanya saling pandang.
"Bagaimana sekarang?!" bisik Galuh Sembilan Gerhana setelah agak lama terdiam.
"Aku tetap menduga dialah Paduka Seribu Masalah! Kita langsung saja bertanya! Dan kalaupun nantinya dugaanku salah, itu tak akan membawa akibat apa-apa!" jawab Galuh Empat Cakrawala.
Gaiuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Lalu berucap. "Aku adalah Galuh Sembilan Gerhana. Di sampingku ini saudaraku Galuh Empat Cakrawala. Kami berdua perlu beberapa keterangan. Harap Paduka Seribu Masalah sudi menjawabnya...."
Orang yang duduk rangkapkan kaki dan sembunyikan kepala di belakang kedua rangkapan kakinya dan bukan lain adalah Paduka Seribu Masalah adanya renggangkan sedikit rangkapkan kedua kakinya. Lalu terdengar ucapannya. "Sebenarnya aku takut menjawab. Tapi kalau nantinya aku beranikan diri memberi keterangan, harap kalian berdua tidak langsung percaya. Kalian masih harus menyelidik kebenarannya...."
Sahutan orang membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawaia sunggingkan senyum. Mereka hampir yakin kalau orang di hadapannya adalah Paduka Seribu Masalah. "Terima kasih...." Hampir berbarengan kedua gadis cantik itu berucap seraya menjura hormat.
"Paduka.... Menurut keterangan yang kami dapat dari Guru kami, kedua orangtua kami tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit. Apakah benar keterangan itu?!” Yang ajukan tanya adalah Galuh Sembilan Gerhana.
"Kalian sudah menyelidik?!" Paduka Seribu Masalah balik bertanya.
"Kami sudah bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit. Dari ucapan perempuan binal itu kami jadi bimbang akan keterangan Guru kami!" kata Galuh Empat Cakrawala.
"Gadis-gadis cantik.... Seperti kukatakan tadi, kalian jangan langsung percaya pada keteranganku kalau kukatakan jika keterangan guru kalian tidak benar...."
Kagetlah Galuh Sembiian Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Sosok mereka bergetar dan saling pandang. "Lalu siapa sebenarnya yang membunuh kedua orangtua kami?!" tanya Galuh Sembiian Gerhana dengan suara parau.
"Orang tua kalian masih hidup! Bahkan nenek dan kakek kalian masih ada!"
Saking kagetnya, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala laksana hendak melonjak berdiri. "Harap Paduka katakan siapa mereka dan di mana pula mereka!" kata Gaiuh Sembilan Gerhana dengan suara agak tinggi karena tak menduga jawaban orang.
"Gadis-gadis cantik.... Aku takut menjawab pertanyaan itu!"
"Kau mau mengatakan kalau kami beri imbalan?!" tanya Galuh Empat Cakrawala.
Paduka Seribu Masalah perdengarkan tawa bergelak panjang. Laiu berucap. "Kalian gadis-gadis cantik bertubuh bagus.... Tapi harap kalian tahu. Aku paling takut berdekatan dengan gadis cantik bertubuh bagus! Apalagi sampai harus menerima imbalan...."
"Hem.... Lalu mengapa kau takut menjawab?!" tanya Galuh Sembilan Gerhana.
"Aku tak berani mengatakan alasannya. Tapi ada satu hal yang aku tidak takut mengatakannya pada kalian. Kalian kelak akan bertemu dengan mereka...."
"Bagaimana kami bisa bertemu dan tahu mereka adalah orangtua kami kalau kami tidak tahu siapa mereka dan di mana tempat tinggalnya?!" kata Galuh Sembilan Gerhana.
"Waktu yang akan memberi petunjuk!"
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama kerutkan dahi. Belum ada yang sempat buka mulut, Paduka Seribu Masalah telah perdengarkan suara lagi. "Ada pula satu hal yang aku berani mengatakan pada kalian. Kalian boleh punya dendam setinggi langit sedalam laut pada Bidadari Tujuh Langit. Tapi harap kalian tidak mengusiknya hingga kalian tahu siapa orang tua yang kalian cari! Jangan bertanya mengapa begitu, aku tidak berani menjawab!"
Kembali Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala terlihat heran. Namun kali ini juga tampak geram. "Paduka! Perempuan binal itu telah menoreh aib yang tak bisa kami lupakan! Kami tidak bisa mendiamkan perempuan jahanam itu terus hidup! Kami tidak bisa menjamin apakah kami nanti mampu melakukan saranmu atau tidak jika bertemu dengannya!"
"Ah.... Kalau begitu, terserah kalian meski sebenarnya aku takut mengatakan hal ini...."
"Paduka.... Sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas keteranganmu. Sebelum kami pergi, kami masih berharap jika kau mau mengatakan siapa sebenarnya orangtua kami."
"Aku takut menjawab. Tapi aku tidak takut memberi saran. Apa pun yang dikatakan guru kalian, harap kalian mau melupakannya! Jasa yang ditanamkan pada kalian terlalu kecil jika dibanding keterangannya yang tidak benar!"
"Tapi setidaknya mereka harus memberi alasan mengapa memberi keterangan yang tidak benar! Hingga akhirnya kami harus mengalami nasib buruk! Kalau saja kami tidak tengah mencari siapa orangtua kami, mati lebih kami pilih daripada hidup dengan mengemban aib menjijikkan seperti ini!" Yang buka mulut adalah Galuh Sembilan Gerhana. Suaranya bergetar dan bahunya berguncang.
"Kita hidup hanya menjalani suratan.... Kita tidak bisa menentukan sendiri suratan yang harus kita lalui, walau sedikit banyak ulah tindakan orang-orang terdekat kita kelak mempengaruhi jalannya suratan...."
"Kita sudah mendapat keterangan. Selanjutnya kita bicarakan nanti!" bisik Galuh Empat Cakrawala. Lalu tanpa menunggu sahutan saudaranya, gadis berbaju kuning ini angkat suara.
"Paduka.... Kami harus segera pergi...." Sambil berucap, kembali Galuh Empat Cakrawala menjura hormat.
Galuh Sembilan Gerhana sebenarnya masih ingin buka mulut. Namun tindakan saudaranya membuat gadis berbaju merah ini batalkan niat dan ikut menjura. Saat lain keduanya bergerak bangkit. Putar diri lalu berkelebat tinggalkan Paduka Seribu Masalah. Hampir bersamaan dengan berputarnya sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala, mendadak sosok Paduka Seribu Masalah bergerak memutar setengah lingkaran. Saat lain terdengar orang ini berucap.
"Sebenarnya aku tidak berani buka mulut. Tapi aku lebih takut jika dilihat orang dari tempat kegelapan! Aku memang takut unjukkan wajah. Tapi kuharap kau berani memperlihatkan diri!"
Terdengar gumaman tak jelas. Lalu satu sosok tubuh perlahan-lahan terlihat melangkah dari balik gerumbulan rumpun hambu!
***
SEMBILAN
DIA adalah seorang gadis berwajah cantik mengenakan pakaian warna hijau. Rambutnya yang hitam lebat dikepang dua, salah satunya dilingkarkan pada lehernya yang putih mulus dan jenjang. Hidungnya mancung dengan mata bulat tajam. Dadanya membusung kencang dipadu dengan pinggul besar dan padat. Pada pinggangnya terlihat sebuah pedang lentur yang melingkar laksana ikat pinggang. Untuk beberapa saat si gadis yang baru muncul dari batik rumpun bambu memperhatikan pada Paduka Seribu Masalah. Diam-diam dia membatin.
"Paduka Seribu Masalah.... Aku pernah dengar nama tokoh ini dari Eyang.... Dan dua gadis bernama Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala itu, ternyata mempunyai beban hidup berat.... Aku pernah bertemu mereka saat bersama pemuda asing itu. Hem.... Tak kusangka kalau mereka mencari Bidadari Tujuh Langit dengan maksud membunuh...."
"Terima kasih kau tidak takut memperlihatkan diri. Berani mengatakan tengah bermaksud ke mana?!" Paduka Seribu Masalah bertanya.
Karena sudah maklum orang di hadapannya bukan orang sembarangan, meski Paduka Seribu Masalah sembunyikan wajah di belakang kedua rangkapan kakinya, si gadis jawab pertanyaan orang dengan gelengan kepala.
Sementara itu, begitu berlari agak jauh mendadak Galuh Sembilan Gerhana berhenti. Lalu berpaling pada Galuh Empat Cakrawala seraya berucap. "Kau dengar ucapan Paduka Seribu Masalah ketika kita akan pergi tadi?!"
Yang ditanya anggukkan kepala. Galuh Sembilan Gerhana balikkan tubuh menghadap ke arah mana dia tadi datang. "Kita harus kembali ke sana! Pasti ada orang lain telah mencuri dengar pembicaraan kita dengan Paduka Seribu Masalah!"
Galuh Empat Cakrawala cekal lengan Galuh Sembilan Gerhana yang sudah akan berkelebat seraya berkata. "Kita sudah mendapat keterangan! Tak ada gunanya kita kembali ke sana! Dan kalaupun ada orang lain mencuri dengar pembicaraan kita, apa peduli kita?! Sekarang kita menemui Guru. Mereka harus menjelaskan siapa sebenarnya orangtua kita! Mustahil mereka tidak tahu!" Habis berkata begitu, Galuh Empat Cakrawala ikut balikkan tubuh.
"Tapi aku curiga! Kita harus buktikan dulu siapa orang di balik kegelapan itu!"
Tanpa menunggu sahutan, Galuh Sembilan Gerhana berkelebat. Galuh Empat Cakrawala hendak berteriak menahan, namun entah kenapa apa dia urungkan niat. Lalu berkelebat menyusul. Beberapa saat kemudian Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sudah mendekam sembunyi tidak jauh dari tempat Paduka Seribu Masalah. Dan ketika mereka melihat ke depan, keduanya sempat terkejut begitu melihat gadis cantik berbaju hijau yang tegak di hadapan Paduka Seribu Masalah.
"Gadis yang bersama pemuda asing gila itu!" Berbisik Galuh Sembilan Gerhana seraya terus memandang ke arah gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bidadari Pedang Cinta.
"Kita sudah tahu siapa adanya orang dari balik kegelapan! Kita harus segera pergi! Kita tidak ada urusan dengan gadis baju hijau itu!" kata Galuh Empat Cakrawala.
"Kita memang tidak punya urusan dengan gadis itu! Tapi tak ada salahnya kita dengar pembicaraan mereka! Gadis itu telah mencuri dengar pembicaraan kita!" Galuh Sembilan Gerhana menyahut dan cekal lengan saudaranya ketika dilihatnya Galuh Empat Cakrawala hendak pergi.
Di seberang depan, begitu Bidadari Pedang Cinta geleng kepala, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara. "Anak gadis.... Kau tidak berani menjawab. Silakan teruskan perjalanan...."
Bidadari Pedang Cinta sudah gerakkan kaki. Tapi entah mengapa tiba-tiba dia tahan gerakan. Mulutnya hendak membuka. Tapi tiba-tiba dikancingkan kembali. Saat lain dia teruskan gerakan kakinya yang memutar. Tanpa buka mulut dia berkelebat. Namun belum sampai benar-benar berkelebat, mendadak rimbun rumpun bambu bergerak menguak. Satu sosok tubuh melesat keluar dan tegak dengan sikap menghadang di hadapan Bidadari Pedang Cinta. Memandang ke depan, Bidadari Pedang Cinta tersurut kaget. Matanya mendelik besar.
Namun yang paling tampak terkejut adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Laksana melihat setan gentayangan di siang bolong, kedua gadis ini perdengarkan seruan tertahan. Mata masing-masing melotot besar. Di lain pihak, Paduka Seribu Masalah cepat melompat dengan posisi masih duduk rangkapkan kaki lalu duduk dengan sandarkan punggung pada satu batangan bambu dengan kepala makin dibenamkan dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua kakinya.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Gadisku...." Sosok yang baru muncul dari balik rumpun bambu perdengarkan suara. Dia adalah seorang perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahunan. Wajahnya cantik jelita. Rambutnya digulung tinggi ke atas diikat dengan kain berwarna merah. Kulitnya putih bersih. Lehernya jenjang dengan dada mencuat padat ditingkah pinggul besar yang dilapis pakaian tipis dan ketat berwarna putih. Pada ibu jari kaki kirinya terlihat melingkar sebuah cincin berwarna merah.
"Bidadari Tujuh Langit!" desis Bidadari Pedang Cinta dengan suara bergetar mengenali siapa adanya perempuan cantik jelita di hadapannya. Dagu gadis ini langsung mengembung besar. Dia ingat bagaimana Bidadari Tujuh Langit tatkala hendak melakukan tindakan tidak senonoh padanya.
"Terima kasih kau masih mengingat namaku...," ujar perempuan berbaju putih di hadapan Bidadari Pedang Cinta yang tidak lain memang Bidadari Tujuh Langit adanya. "Kau tahu.... Sejak perpisahan itu, aku tidak bisa pergi bersama-sama. Bagaimana kalau sekarang kita lanjutkan acara kita yang gagal itu...?!" Bidadari Tujuh Langit melangkah mendekat dengan bibir sunggingkan senyum. Dada perempuan cantik ini tampak bergerak turun naik agak keras. Sepasang matanya menelusuri sosok Bidadari Pedang Cinta dari dada hingga paha.
"Sekali kau melangkah lagi...." Baru saja Bidadari Pedang Cinta berucap begitu, terdengar seruan.
"Bidadari binal! Acara kita belum selesai! Jangan berani tinggalkan tempat ini!" Dua sosok tubuh berkelebat.
Bidadari Tujuh Langit berpaling. Melihat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tegak, perempuan cantik bertubuh bahenol ini sungglngkan senyum. Memandang silih berganti pada dua sosok di hadapannya seraya jilati bibir lalu berkata. "Apa yang kubilang pada kalian dulu benar, bukan?!
Setelah kita merasakan kenikmatan bercinta, kalian pasti akan selalu mencariku dan mengatakan acara kita belum selesai.... Hik Hik Hik...! Acara bercinta memang tidak akan pernah selesai.... Dan aku akan selalu menerima acara yang kalian inginkan! Setelah kebersamaan kita tempo hari, tentu kalian punya gaya tersendiri yang lebih
mengasyikkan...."
Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berubah merah mengetam. Bukan saja karena geram namun juga malu pada Bidadari Pedang Cinta. Namun belum sampai di antara keduanya ada yang buka mulut. Bidadari Tujuh Langit sudah sambung! ucapannya.
"Sebelum kalian pergi tempo hari, aku menitip pesan untuk guru kalian yang perempuan. Apa pesan itu sudah kalian sampaikan?!"
"Persetan dengan segala macam pesan! Sekarang kau harus tebus aib yang sudah kau taburkan!" sentak Galuh Sembilan Gerhana.
Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang. "Kalian sebut apa yang telah kita lakukan adalah aib?! Pasti kailan mendapat pelajaran kurang bagus.... Apa yang telah kita lakukan bukan aib! Itu adalah keindahan.... Buah dari pohon bernama cinta!"
"Perempuan gila bermulut kotor!" bentak Galuh Empat Cakrawala. "Perempuan macam kau tidak layak diberi hidup di kolong langiti"
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa panjangnya. Lalu berucap. "Selama ini aku memang banyak hidup di awang-awang menikmati indahnya cinta.... Dan kalian pasti masih bisa merasakan sisa-sisa bagaimana enaknya hidup di awang-awang tempo hari...."
"Keparat!" sentak Galuh Empat Cakrawala. Kedua tangannya diangkat.
Tahan dulu!" Galuh Empat Cakrawala berbisik. "Kita korek dulu keterangan dari mulut busuknya tentang orangtua kita!"
"Mana bisa mulut perempuan macam dia dipercaya?!"
"Kita memang tidak harus begitu saja percaya! Tapi setidaknya dia berkata benar soal keterangannya kalau bukan dia yang membunuh kedua orangtua kita! Siapa tahu, dari mulut busuknya nanti kita mendapat satu petunjuk tentang kedua orangtua kita!"
Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berbisik-bisik, Bidadari Tujuh Langit berpaling pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu berkata sambil kembangkan bibir.
"Gadisku.....Jangan terlalu termakan ucapan kedua gadis cantik temanku itu.... Mereka berkata begitu karena ada di hadapanmu...." Habis berucap begitu Bidadari Tujuh Langit hendak teruskan langkah mendekati Bidadari Pedang Cinta.
Namun belum sampai bergerak, Bidadari Pedang Cinta sudah buka mulut. "Harap jangan libatkan aku dengan urusan kedua gadis itu!"
"Aku tidak bermaksud begitu. Aku...."
"Cukup!" potong Bidadari Pedang Cinta. "Dua gadis itu punya urusan denganmu. Aku akan menunggu hingga kau menyelesaikan urusan mereka. Setelah itu kita tuntaskan urusan ulahmu tempo hari!"
Baru saja Bidadari Pedang Cinta berucap begitu, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sudah berkelebat dan tegak di sebelah samping kiri kanan Bidadari Tujuh Langit.
"Perempuan binal! Sebelum urusan kita mulai, aku tanya padamu. Kalau kau jawab dengan benar dan jujur, mungkin kami masih bisa memberi satu ampunan!" kata Galuh Sembilan Gerhana.
Bidadari Tujuh Langit menoleh pulang baiik ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sambil tersenyum dan berkata. "Aku tahu apa yang kalian tanyakan! Kalian ingin tahu di mana dan siapa kedua orangtua kalian, bukan?!"
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saiing pandang tanpa ada yang langsung menjawab. Bidadari Tujuh Langit mendongak. Lalu berucap.
"Aku akan memberi tahu. Tapi aku tanya dulu. Imbalan apa yang akan kalian berikan padaku?! Bersenang-senang seperti tempo hari?! Atau kalian punya sesuatu yang lebih menggiurkan untuk kita nikmati bersama-sama?!"
Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, Galuh Empat Cakrawala melompat mendekati saudaranya seraya berbisik. "Percuma kita minta keterangan dari mulut binalnya! Dan kalaupun dia memberi keterangan pasti tidak benar! Urusan di mana beradanya kedua orangtua kita bisa kita tanyakan pada Guru. Sekarang saatnya perempuan binal itu kita pesiangi!"
Habis berkata begitu, Galuh Empat Cakrawala angkat kedua tangannya di depan kening. Kedua kakinya direnggangkan dengan sepasang mata dipejamkan. Mendapati apa yang dilakukan Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana tak tinggal diam. Dia membuat gerakan yang sama. Kejap lain hampir berbarengan, kedua gadis murid Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah yang dikenal dengan si Pasangan Mesum ini kelebatkan tangan masing-masing!
Wuutt! Wuuutt!
Wuutt! Wuuutt!
Dari kedua tangan Galuh Empat Cakrawala menggebrak tiga sinar pelangi perdengarkan suara bergemuruh. Sementara dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana melesat arakan awan hitam yang membuat suasana tiba-tiba berubah menjadi redup laksana tengah terjadi gerhana. Namun bersamaan itu pula suasana menjadi panas menyengat. Masing-masing gadis ini telah lepas pukulan 'Inti Cakrawala' dan 'Inti Gerhana'. Bidadari Tujuh Langit hadapi serangan lawan dengan sunggingkan senyum. Kejap lain dia tekuk kedua kakinya. Sekali kedua tangannya berkelebat, satu sinar merah menyala berkiblat menggidikkan!
Blaarr! Blaarr!
Dua ledakan keras terdengar berturut-turut mengguncang kawasan hutan bambu. Dua seruan tertahan melengking terdengar menyusuli ketika sinar pelangi dan arakan hitam semburat porak-poranda di udara terhantam sinar merah. Sosok Galuh Sembilan Gerhana dar. Galuh Empat Cakrawala tersentak-sentak mundur beberapa saat lalu mencelat mental dengan masing-masing mulut semburkan darah sebelum akhirnya tergolek di atas tanah dengan mata terpejam dan sosok berguncangguncang keras.
Di seberang, Bidadari Tujuh Langit hanya tersurut mundur tiga langkah. Sosoknya memang sempat terhuyung dan oleng ke samping. Namun saat lain perempuan bertubuh bahenol berparas cantik ini telah tegak dengan kaki laksana terpacak dan bibir sunggingkan senyum. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala cepat kuasai diri. Lalu sama bergerak bangkit. Begitu sosok masing-masing tegak, dari mulut mereka kembali semburkan darah! Tanda luka dalam kedua gadis ini cukup parah.
Namun rasa marah dan dendam tampaknya membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala lupa akan luka dalam yang diderita. Bahkan mereka lupa pada saran Paduka Seribu Masalah! Hingga walau tegak dengan semburkan darah, mereka segera membuat gerakan melompat dan tegak berjajar ke belakang. Galuh Empat Cakrawala tegak di depan, Galuh Sembilan Gerhana tegak di belakang.
Galuh Empat Cakrawala takupkan kedua tangan di depan kening sementara Galuh Sembilan Gerhana angkat kedua tangannya lalu telapak kedua tangannya ditempelkan pada punggung Galuh Empat Cakrawala. Inilah tanda kalau kedua gadis ini akan lepaskan gabungan 'Inti Cakrawala' dan 'inti Gerhana'.
Bidadari Tujuh Langit memandang sekilas. Saat lain tiba-tiba dia melompat ke depan. Setengah jalan kedua tangannya berkelebat lepas pukulan! Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana tampak terkesiap kaget. Karena mereka tidak menduga jika Bidadari Tujuh Langit akan membuat gerakan begitu cepat sambil lepas pukulan. Sementara mereka berdua baru saja kerahkan tenaga dalam!
***
SEPULUH
DALAM kejutnya masing-masing, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala masih mampu berpikir cepat. Bagaimanapun juga mereka harus menghadang pukulan meski baru saja kerahkan tenaga dalam. Jika tidak, mereka sadar apa akibatnya. Hingga saat itu juga kedua gadis ini segera membuat gerakan. Galuh Sembilan Gerhana yang berada di belakang sentakkan kedua telapak tangannya dengan keras pada punggung Galuh Empat Cakrawala. Saat yang sama Galuh Empat Cakrawala hantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Dari kedua tangan Galuh Empat Cakrawala melesat sinar pelangi yang ditaburi arakan awan semburkan hawa panas dan perdengarkan suara hebat. Setengah tombak lagi pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit bentrok dengan gabungan pukulan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala, mendadak terdengar orang bersuara.
"Aku tidak berani berada di sini terus-terusan! Aku takut!" Lalu terlihat satu gulungan gelombang aneh yang melesat berputar dan langsung menebar laksana jala ke arah sinar merah pukulan Bidadari Tujuh Langit.
"Settt!" Sinar merah tiba-tiba masuk ke dalam gelombang yang membentuk jala. Lalu berkiblat lurus ke atas udara beberapa tombak menghindari bentrok dengan pukulan gabungan 'Inti Cakrawala' dan 'Inti Gerhana'.
"Bummm!" Di atas udara sana, sinar merah yang terbungkus jala semburat meledak. Bidadari Tujuh Langit tersentak di atas udara sambil perdengarkan seruan terkejut tegang. Lalu sosoknya terpental mundur. Saat itulah gabungan pukulan 'Inti Cakrawala' dan 'Inti Gerhana' yang lolos bentrok dengan pukulan Bidadari Tujuh Langit datang menyongsong! Bidadari Tujuh Langit menggeram marah. Sambil berputar satu kali di atas udara kaki kirinya digerakkan membuat tendangan.
"Wuutt!" Satu sinar merah menyala terpencar dari kaki kiri sang Bidadari. Walau sinar merah menyala itu sempat melesat menggidikkan, tapi gabungan pukulan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala lebih cepat menggebrak. Hingga walau Bidadari Tujuh Langit maasih membuat gerakan menghindar, tak urung pinggulnya tersambar. Bidadari Tujuh Langit berseru tertahan. Sosoknya terbanting di udara lalu meluncur ke bawah dan jatuh terduduk.
Di lain pihak, sinar merah menyala yang terpancar dari kaki kiri Bidadari Tujuh Langit terus berkiblat menderu ke arah Galuh Sambilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Karena keadaannya sudah terluka dalam dan baru saja lepas gabungan pukulan, sudah sangat terlambat bagi Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala untuk dapat membuat gerakan menghindar. Beberapa langkah lagi sinar merah menyala menghantam, mendadak satu gelombang menderu ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
"Wussssss!" Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala perdengarkan suara menjerit. Sosok keduanya tersapu mental ke samping lalu jatuh bergulingan. Namun tersapunya sosok masing-masing gadis ini membuat mereka selamat dari kiblatan sinar merah menyala dari kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.
"Blammm!" Sinar merah menyala menghantam gerumbulan bambu di depan sana dan langsung keluarkan ledakan keras membuat kawasan hutan bambu laksana dihantam gempa luar biasa. Malah saking hebatnya ledakan yang ditimbulkan, sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala terlonjak setengah tombak ke udara!
Sementara Bidadari Pedang Cinta yang sedari tadi hanya melihat rasakan pijakannya goyah dan sosoknya terhuyung-huyung hendak roboh. Kalau saja gadis ini tidak segera kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya akan jatuh punggung di atas tanah. Bidadari Tujuh Langit cepat lipat gandakan tenaga dalam kuasai diri dari rasa sakit yang mendera pinggulnya. Dan perempuan bahenol ini sempat mendengus ketika melihat pakaian di bagian pinggulnya robek dan kulit di baliknya melepuh merah.
Bidadari Tujuh Langit bergerak bangkit. Dan langsung putar diri setengah lingkaran. Sepasang matanya mendelik angker menatap pada jurusan mana tadi menderu satu gelombang yang membuat sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersapu mental hingga selamat dari sinar merah menyala yang terpancar dari kaki kirinya.
"Siapa kau?!" Bidadari Tujuh Langit membentak ketika sepasang matanya melihat seorang nenek berkain selempang hitam yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang, tegak dengan mata memandang pada Bidadari Pedang Cinta dan Galuh Sembilan Gerhana serta Galuh Empat Cakrawala.
Yang ditegur tidak menjawab. Sebaliknya terus putar pandangan dan kini menatap lurus pada Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk meringkuk rangkapkan kaki di sebelah rumpun bambu. Dagu Bidadari Tujuh Langit tampak terangkat dan matanya makin mendelik mendapati tegurannya tidak disambut. Perempuan bertubuh bahenol berparas cantik ini hentakkan kaki kanan seraya buka bentakan.
"Nenek bangsat! Siapa kau?!" Bersamaan terdengarnya bentakan tanah di tempat itu bergetar. Lalu tanah yang terhentak kaki kanan sang Bidadari muncrat membentuk lobang besar.
Si nenek berkain selempang hitam yang sanggulan rambutnya dihias dua pedang dan bukan lain adalah Nenek Selir adanya perdengarkan tawa cekikikan. Lalu perlahan-lahan gerakkan kepala ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu mulutnya membuka. "Bidadari Tujuh Langit.... Rentang waktu ternyata telah membuatmu berubah. Perubahan suasana nyatanya telah membuatmu menjadi lain. Kau melupakan aku.... Kau tidak lagi mengingatku, oh cintaku...."
Bidadari Tujuh Langit rasakan dadanya berdesir. Keningnya berkerut dan mata sedikit menyipit memperhatikan sosok si nenek dari ujung rambut sampai ujung kaki. Belum sampai Bidadari Tujuh Langit dapat menduga arti ucapan si nenek, Nenek Selir sudah buka suara lagi.
"Oh cintaku.... Sebenarnya aku tidak kecewa seandainya kau hanya meninggalkan diriku.... Yang kusesalkan, ternyata kau tidak ingat pada diriku lagi...." Suara si nenek terdengar parau dan tersendat. Malah kedua tangannya segera ditakupkan pada wajahnya. Namun tiba-tiba Nenek Selir itu turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya melotot besar-besar pandangi sosok Bidadari Tujuh Langit. Lalu membentak garang.
"Mengapa?! Mengapa ini kau lakukan paduku?! Mengapa kau sampai tak ingat lagi pada kekasihmu ini?! Mengapa kau tega berbuat begini?! Apa salahku...?!"
"Nenek gila! Kau bicara apa?!" sentak Bidadari Tujuh Langit setelah agak lama terdiam dan sapukan pandangan pada semua orang yang ada di situ.
"Oh cintaku.... Kau masih juga berani bertanya aku bicara apa...," ujar si nenek. Suaranya kembali serak parau malah bahunya tampak berguncang seolah menahan Isakan. "Adakah ini karena kau sekarang telah dikelilingi gadis-gadis cantik?! Apakah hal ini kau lakukan setelah kau melihat tubuhku tidak kencang lagi?! Setelah dadaku tidak mencuat padat lagi?!
Setelah pinggulku keropos tak menggairahkan lagi?"
Nenek Selir kembali takupkan kedua tangan pada wajah. Lalu sambungi ucapan. "Kita telah habiskan waktu dengan keindahan dan kemesraan. Telah kita isi berlalunya malam-malam dingin dengan kehangatan dari segala kehangatan! Aku tidak menduga kalau sesingkat ini kau bisa melupakan semua itu.... Lebih tidak kusangka lagi jika semudah ini kau melupakan aku...."
"Nenek gila jahanam! Aku tidak kenal kau! Jangan alihkan urusan dengan cari alasan tak karuan!" teriak Bidadari Tujuh Langit.
Si Nenek Selir turunkan kedua tangan dari wajah lalu buka mulut. "Benar kau tidak kenal aku...?!" Kepala si nenek menggeleng. "Aku tidak percaya. Aku tidak percaya...."
Sikap Nenek Selir membuat Bidadari Tujuh Langit marah bukan alang kepalang, ia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat kedua tangannya.
"Apa pun yang akan kau lakukan, aku akan menerima. Aku rela mati kalau di tanganmu. Tapi sebelum kau lakukan semua ini, kuharap kau mau mengakui apa yang pernah kita jalani bersama.... Kalau kau masih juga tak percaya, aku punya seorang saksi..,." Nenek Selir arahkan pandangan pada Paduka Seribu Masalah.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepala mengikuti ke mana mata si nenek memandang. Sosoknya makin bergetar. Diam-diam perempuan ini membatin. "Siapa pun adanya manusia yang sembunyikan wajah ini, yang jelas dialah jahanam yang telah menahan pukulanku tadi!" Selagi Bidadari Tujuh Langit membatin begitu, Nenek Selir sudah berucap lagi.
"Kau bisa tanyakan padanya! Dialah saksi hidup kalau kita pernah menghabiskan malam-malam dingin dengan kehangatan.... Kau pernah jadi kekasihku dan aku pernah jadi kekasihmu...."
"Nek.... Jangan kau suruh orang bertanya padaku.... Aku tidak berani menjawab," kata Paduka Seribu Masalah sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang melingkar pada rangkapan kedua kakinya.
"Ah.... Kau juga tak kusangka kalau bicara begitu!" bentak si nenek. "Padahal kau dulu pernah berjanji akan menengahi jika terjadi hal-hal yang tidak beres hubunganku dengan kekasihku itu.... Apa pula yang membuatmu berubah?! Apa...?!"
"Nek.... Jangan memaksaku begitu rupa. Aku takut..."
Mendengar ucapan-ucapan orang, hawa amarah di dada Bidadari Tujuh Langit makin menggelegak. Namun perempuan ini tidak mau berlaku ayal. Dia maklum, apa yang telah dilakukan orang dalam menghadang pukulannya tadi, sudah cukup membuatnya sadar jika siapa pun adanya orang, dia memiliki ilmu langka namun tidak bisa dianggap main-main.
Sementara itu, melihat munculnya Nenek Selir, Bidadari Pedang Cinta tampak terkejut. Namun yang lebih membuat gadis berbaju hijau ini tidak percaya adalah ucapan si nenek. Hingga untuk beberapa saat dia hanya tegak diam dengan mata mendelik dan simak gerak-gerik serta ucapan orang. Lalu berkata dalam hati.
"Nenek aneh.... Siapa dia sebenarnya?! Saat bertemu pertama kali, dia sepertinya menyangkal ketika kukatakan dia adalah kaki tangan Bidadari Tujuh Langit. Sekarang dia mengakui terus terang.... Lalu mengapa dia menanyakan ke mana perginya pemuda asing bernama Joko Sableng itu...?!" Bidadari Pedang Cinta ingat pertemuannya dengan Nenek Selir.
Di lain pihak, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala perlahan-lahan bergerak duduk. Saling pandang sesaat, lalu sama kerahkan tenaga dalam untuk kuasai aliran darah masing-masing yang laksana jungkir balik seraya memandang ke arah Nenek Selir.
"Kau bisa menduga siapa adanya nenek itu?" tanya Galuh Sembilan Gerhana setengah berbisik setelah sedikit dapat kuasai diri.
Galuh Empat Cakrawala geleng kepala. "Tapi yang jelas dia telah menolong kita! Kalau saja kita tidak tersapu pukulannya, mungkin kita sudah mampus terhajar pukulan jahanam binal itu!"
"Sekarang bagaimana?! Kita terluka dalam. Tidak mungkin bisa lakukan apa-apa!"
Untuk kedua kalinya Galuh Empat Cakrawala geleng kepala. "Kita memang telah terluka! Tapi luka hati kita lebih dalam dan parah! Kita tidak akan tinggalkan tempat ini sebelum takdir memutuskan perempuan binal itu atau kita yang mampus!"
"Tapi...."
"Aku telah memutuskan!" tukas Galuh Empat Cakrawala yang sepertinya punya pendirian teguh dan tak sabaran. "Aku tidak akan tinggalkan tempat ini! Kalau kau takut, silakan pergi!"
"Aku bukannya takut. Tapi kita harus tahu diri! Keadaan tidak memungkinkan!"
"Kukira, lebih baik beruntung daripada harus memiliki ilmu setinggi langit! Perempuan jahanam binal itu boleh memiliki ilmu tinggi, tapi kalau keberuntungan tidak berpihak padanya, dia akan mampus di tanganku! Lagi pula selagi mereka berbincang, kita gunakan kesempatan ini untuk pulihkan tenaga! Kita lakukan apa saja, yang penting perempuan keparat itu tercabik mampus!"
Habis berkata begitu, Galuh Empat Cakrawala pejamkan mata. Kedua tangan ditakupkan di depan dada. Galuh Sembilan Gerhana sapukan pandangan sekali lagi ke arah Bidadari Tujuh Langit yang tengah berbincang dengan Nenek Selir. Lalu membuat sikap yang sama seperti Galuh Empat Cakrawala.
Di depan, setelah memperhatikan sosok Paduka Seribu Masalah beberapa lama, Bidadari Tujuh Langit buka mulut. "Aku beri kesempatan pada kalian berdua, Nenek gila dan kau manusia yang sembunyikan wajah untuk memperkenalkan diri!"
"Oh cintaku.... Nyatanya kau tidak main-main kalau kau tidak mengenaliku...." Si nenek menyahut. "Sementara sebenarnya aku tadi masih punya harapan jika semua ini hanyalah senda gurau seperti biasa kau lakukan bila aku ngambek dan minta kau rayu...."
"Nek.... Jangan bercanda terus. Aku takut! Lebih baik katakan saja siapa dirimu. Siapa tahu dia nanti bisa ingat...." Berkata Paduka Seribu Masalah.
"Bagus! Tampaknya kalian berdua manusia-manusia yang minta mampus sambil bercanda!" hardik Bidadari Tujuh Langit. Tangan kiri kanannya yang berada di atas udara digerakkan memutar. Tangan kiri diarahkan pada Nenek Selir, tangan kanan diluruskan pada Paduka Seribu Masalah. Kedua tangan itu tampak bergetar keras tanda telah dialiri tenaga dalam tinggi.
"Bidadari! Tunggu.... Aku tidak tahu menahu masalahnya! Harap tidak takut dengan keteranganku ini!" kata Paduka Seribu Masalah.
Bidadari Tujuh Langit tidak hiraukan teriakan Paduka Seribu Masalah. Belum sampai ucapan orang selesai, tangan kiri kanannya sudah bergerak lepas pukulan. Satu ke arah Nenek Selir satunya lagi lurus ke arah Paduka Seribu Masalah.
"Nek.... Aku takut!" seru Paduka Seribu Masalah. Sambil berteriak orang ini lepaskan kedua tangannya yang melingkar pada rangkapan kedua kakinya. Lalu sekali kedua tangannya disentuhkan pada tanah di bawahnya, sosoknya melesat ke depan. Anehnya di atas udara, masih dengan duduk rangkapkan kaki, Paduka Seribu Masalah tidak membuat gerakan apa-apa lagi meski saat itu lesatannya menyongsong gelombang pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit!
Di lain pihak, Nenek Selir sempat tercengang melihat apa yang dilakukan Paduka Seribu Masalah. Namun dia tidak bisa berpikir lama, karena saat itu gelombang angin dahsyat yang melesat berkiblat dari tangan Bidadari Tujuh Langit sudah dua tombak di hadapannya!
Nenek Selir angkat satu tangannya. Lalu dipukulan ke depan.
Wuuttt! Blammm!
Ledakan keras mengguncang saat gelombang pukulan Bidadari Tujuh Langit dihadang gelombang yang keluar dari tangan Nenek Selir. Sosok Bidadari Tujuh Langit bergoyang-goyang. Parasnya berubah. Tangan kanannya yang tadi lepas pukulan ke arah si nenek terpental balik ke belakang. Hingga sosoknya miring. Saat yang sama, terdengar suara. Wuusss! ketika gelombang yang menyongsong Paduka Seribu Masalah menghantam telak sosok laki-laki yang rangkapkan kaki itu di atas udara.
Anehnya, gelombang pukulan Bidadari Tujuh Langit laksana menghantam udara kosong! Dan terus bergelombang lurus ke depan. Sementara sosok Paduka Seribu Masalah sendiri juga terus melesat setelah melewati gelombang pukulan Bidadari Tujuh Langit!
***
SEBELAS
BIDADARI Tujuh Langit tersentak tegang. Matanya mendelik tak berkesip melihat bagaimana sosok Paduka Seribu Masalah enak saja menerobos gelombang pukulannya di atas udara tanpa mengalami cedera apa-apa! Dan perempuan ini tersurut kaget ketika mendadak saja di atas udara sana sosok Paduka Seribu Masalah memutar lalu menukik lurus ke arahnya! Bidadari Tujuh Langit berteriak melengking dan hampir saja tidak percaya ketika belum sampai dia membuat gerakan, tahu-tahu sosok Paduka Seribu Masalah sudah duduk rangkapkan kaki satu tindak di sebelahnya!
Di seberang, Nenek Selir yang sempat terguncang akibat pukulannya bentrok dengan pukulan Bidadari Tujuh Langit dan tangannya juga terpental ke belakang, segera arahkan pandangan matanya ke arah sosok Paduka Seribu Masalah. Mulutnya perdengarkan gumaman tak jelas. Di lain pihak, Bidadari Pedang Cinta juga tak kalah kagetnya mendapati tindakan Paduka Seribu Masalah. Hingga sambil terheran-heran dia menatap lekat-lekat silih berganti pada sosok Paduka Seribu Masalah dan Bidadari Tujuh Langit.
Sementara mendengar teriakan lengking Bidadari Tujuh Langit, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera buka kelopak mata masing-masing. Dan mata mereka kontan saja membeliak ketika melihat sosok Paduka Seribu Masalah sudah duduk di sebelah Bidadari Tujuh Langit.
Dalam keterkejutannya melihat orang sudah duduk di sebelahnya, Bidadari Tujuh Langit tidak mau berlaku ceroboh. Kalau orang bisa melakukan tindakan di luar dugaannya, tidak mustahil mencelakakannya. Maka begitu sosok Paduka Seribu Masalah duduk di sebelahnya, Bidadari Tujuh Langit segera lepas tendangan!
"Wuuttt!" Kaki Bidadari Tujuh Langit menderu angker. Paduka Seribu Masalah berseru tertahan. Saat bersamaan dia sentakkan tubuhnya ke belakang. Rangkapan kedua kakinya dibuka lalu dihadangkan ke arah kaki Bidadari Tujuh Langit.
Bukkk! Settt!
Pertama kali terdengar benturan keras. Sosok Paduka Seribu Masalah tersentak bergoyang-goyang. Di lain pihak, sosok Bidadari Tujuh Langit tersurut mundur. Namun perempuan bertubuh bahenol ini terkejut setengah mati tatkala dia merasakan kakinya kaku tak bisa digerakkan! Memandang ke depan, Bidadari Tujuh Langit tercekat luar biasa.
Ternyata kakinya yang tadi menendang tahu-tahu sudah masuk ke dalam rangkapan kedua kaki Paduka Seribu Masalah! Dan perempuan ini makin tegang ketika mendapati dirinya tak mampu lepaskan kakinya dari jepitan rangkapan kedua kaki orang meski dia telah kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya hingga keringat dinginnya keluar membasahi sekujur tubuhnya!
"Hik Hik Hik...! Biasanya kekasihku itu tidak mengenakan pakaian dalam, apa sekarang dia tetap begitu?!" Nenek Selir berteriak.
"Nek.... Jangan bertanya macam-macam! Aku takut menjawab! Lagi pula aku tidak berani mengungkapkan semua ini! Terlalu indah jika dilukiskan...!" Paduka Seribu Masalah menyahut seraya tekuk tubuh bagian atasnya merapat pada perut hingga semua orang di tempat itu tidak bisa melihat raut wajahnya.
"Ini kesempatan bagi kita!" Berbisik Galuh Empat Cakrawala tatkala melihat apa yang terjadi.
"Jangan gegabah! Dia belum apa-apa! Dia hanya tidak bisa menggerakkan kaki satunya. Sementara kaki satunya lagi dan kedua tangannya masih bisa membunuh!" Galuh Sembilan Gerhana menyahut.
Baru saja terdengar sahutan begitu, di depan sana Bidadari Tujuh Langit berteriak. Kaki satunya diangkat. Seraya melompat setengah tombak kakinya yang babas dihantamkan ke arah sosok Paduka Seribu Masalah.
"Wuuttt!" Kaki kiri Bidadari Tujuh Langit berkelebat angker seraya pancarkan sinar merah menyala. Namun belum sampai kaki itu benar-benar berkelebat, tangan kanan Paduka Seribu Masalah sudah terangkat lalu dengan gerakan yang sukar dilihat mata biasa tangan itu tahu-tahu sudah mencekal pergelangan kaki Bidadari Tujuh Langit! Dan kini sosok Paduka Seribu Masalah tepat berada di bawah sosok Bidadari Tujuh Langit yang tegak mengangkang di udara dengan kaki satu masuk dalam rangkapan kedua kakinya sementara kaki satunya lagi berada di cekalan tangannya.
"Rejekimu besar sekali hari ini!" lagi-lagi Nenek Selir berteriak. "Kau nanti tidak takut menceritakannya padaku, bukan?! Sudah lama aku tidak pernah lagi melihatnya! Tentu sekarang sudah mengalami banyak perubahan.... Hik Hik Hik...!"
"Nek! Aku takut berjanji.... Kalau kau tidak takut, silakan kau kemari! Silakan lihat sendiri perubahan itu ada atau tidak...." Paduka Seribu Masalah menyahut!
Di atas udara, Bidadari Tujuh Langit tegak dengan sosok bergetar keras. Namun bagaimanapun juga kuduk perempuan ini jadi merinding. Selama malang melintang dalam kancah rimba persilatan di tanah Tibet, baru kali ini dia menemukan lawan yang aneh. Dia memang pernah dengar nama tokoh bergelar Paduka Seribu Masalah, namun dia tidak pernah bertemu dan sejauh ini belum bisa menduga kalau yang dihadapi saat itu adalah Paduka Seribu Masalah.
"Nek! Mengapa kau masih diam di situ?! Kau tidak berani melihatnya?!" Paduka Seribu Masalah ajukan tanya.
Belum sampai Nenek Selir buka mulut, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit sentakkan kedua tangannya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah sosok Paduka Seribu Masalah yang meringkuk di bawah kangkangan kedua kakinya. Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara seperti orang tersedak. Kepalanya digerakkan ke atas masuk ke dalam sela kedua kaki Bidadari Tujuh Langit. Tangan kanannya yang memegang pergelangan kaki sang Bidadari direntang. Sementara rangkapan kedua kakinya disentakkan berlawanan arah dengan gerakan tangannya.
"Breett!" Pakaian Bidadari Tujuh Langit robek memanjang dari bagian bawah hingga pinggul. Bersamaan dengan robeknya pakaian, Paduka Seribu Masalah lepas cekalan tangannya pada pergelangan kaki sang Bidadari.Rangkapan kedua kakinya juga direnggangkan hingga kaki sang Bidadari keluar dari jepitannya. Saat lain dengan tarik rangkapan kedua kakinya dan merapatkan kepala di balik rangkapan kedua kakinya, Paduka Seribu Masalah melesat ke atas masuk ke pakaian Bidadari Tujuh Langit!
Bidadari Tujuh Langit berterik marah dan kaget. Karena bersamaan dengan melesat masuknya sosok Paduka Seribu Masalah ke balik pakaiannya yang robek, sosoknya ikut terlempar ke udara. Hingga mau tak mau membuat perempuan berparas cantik bertubuh bahenol ini urungkan niat lepas pukulan ke arah sosok Paduka Seribu Masalah, sebaliknya cepat putar gerakan kedua tangannya laiu memukul ke arah sosok sang Paduka di balik pakaian bawahnya!
Tapi baru saja kedua tangan Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan berputar, Paduka Seribu Masalah jatuhkan diri ke bawah dan duduk di atas tanah dengan tangan kiri kanan usap-usap kepalanya yang dimasukkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya! Di lain pihak, mendapati orang sudah meluncur ke bawah, Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan jungkir balik dua kali sebelum akhirnya menjejak tanah lima belas langkah dari sosok Paduka Seribu Masalah.
Tampaknya sang Bidadari sadar, terlalu bahaya jika tidak mengambil jarak dengan Paduka Seribu Masalah. Hingga ketika di atas udara dia mengambil Keputusan untuk menjaga jarak. Tapi ada satu hal yang membuat Bidadari Tujuh Langit merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati. Paduka Seribu Masalah tidak punya maksud untuk mencelakai dirinya!
Karena jika saja mau, tidak sulit bagi Paduka Seribu Masalah untuk lepas pukulan saat dirinya berada di balik pakaian bawah sang Bidadari! Kesadaran itulah yang membuat Bidadari Tujuh Langit sempat tegak diam beberapa lama seraya memandang pada sosok Paduka Seribu Masalah.
"Bidadari...," tiba-tiba Paduka Seribu Masalah berucap. "Jangan memandangku begitu rupa. Aku takut.... Sekarang aku harus segera pergi. Tapi sebelum itu aku tak takut mengatakan sesuatu.... Apa pun ganjalan hati yang ada di antara semua yang ada di sini, kuharap kalian semua tidak takut untuk melupakannya. Harap tahan diri agar tidak ada tetesan darah lagi yang mengalir di antara kailan. Sebab penyesalan di akhir urusan tidak ada gunanya...." Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar tubuhnya. Namun belum sampai sosoknya berkelebat, terdengar satu seruan.
"Paduka Seribu Masalah! Harap tidak tinggalkan tempat ini!" Satu bayangan berkelebat. Lalu satu sosok tubuh telah tegak di hadapan Paduka Seribu Masalah...!
***
DUA BELAS
KITA tinggalkan dulu apa yang terjadi di hutan bambu. Kita kembali pada murid Pendeta Sinting.
Dalam kagetnya karena tiba-tiba terdengar suara, Pendekar 131 segera berpaling. "Wang Su Ji!" desis Joko mengenali siapa adanya orang yang bersuara dan kini tegak di seberang sana. Ketegangan murid Pendeta Sinting sirna. Namun khawatir jika orang merasa tidak enak sebab dia tertangkap basah mencuri dengar pembicaraan Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah dengan Nenek Selir, Joko segera anggukkan kepala seraya berkata.
"Harap tidak salah duga. Aku tadi tidak sengaja berada di tempat mana kau dan nenek itu tengah bicara!"
Wang Su Ji balas mengangguk. Sambil tersenyum dia berkata. "Percuma hal itu dibicarakan, Anak Muda. Semuanya sudah terjadi. Yang perlu kutanyakan. Bagaimana kau bisa punya urusan dengan nenek itu?! Padahal dari pembicaraan kalian, kau adalah orang asing di negeri ini! Kau tak keberatan menjelaskan?!"
Setelah terdiam agak lama, akhirnya Joko menuturkan pertemuannya dengan Nenek Selir dan pembicaraannya dengan si nenek hingga terjadi satu perjanjian. Seperti diketahui, saat Joko bersama Dayang Tiga Purnama, mendadak muncul Nenek Selir yang menyusul setelah bertemu dengan Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta dan setelah mendengar cerita dari Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta tentang kegelisahan hati kedua gadis itu karena ucapan serta sikap Pendekar 131.
"Hem.... Sebagai orang muda, kuharap kau mengerti. Pengalaman yang pernah dilalui membuat dia tidak mau orang lain mengalami nasib yang sama seperti dia. Jadi jangan punya dugaan yang bukan-bukan padanya...," kata Wang Su Ji setelah mendengar penuturan murid Pendeta Sinting.
Joko tersenyum dan anggukkan kepala. Lalu buka mulut. "Kek.... Aku bisa mengerti dengan sikap nenek itu. Yang aku tak habis pikir, mengapa kau bersikeras menolongnya. Padahal kau tahu. Begitu dia sembuh, yang dilakukan pertama kali adalah membunuhmu?!"
Manusia Tanah Merah tertawa sebelum akhirnya berkata. "Anak muda. Sejak aku sadar apa yang selama ini kulakukan pada Yu Sin Yin, aku sudah punya tekad untuk rela serahkan jiwa ragaku padanya. Bahkan sebenarnya hal itu saja belum cukup jika dibanding dengan penderitaan Yu Sin Yin akibat ulahku. Jadi aku akan melakukan apa saja agar dia tetap hidup dan lakukan apa saja yang selama ini menjadi keinginannya! Cuma aku masih punya satu keinginan sebelum Yu Sin Yin mencabut nyawaku...."
"Bertemu dengan anak kalian?" tanya Joko.
Wang Su Ji anggukkan kepaia. "Tapi aku tidak yakin. Apakah aku bisa bertemu dengan anakku dalam waktu dekat ini. Apalagi Yu Sin Yin pasti tidak akan tinggal diam begitu tahu aku telah berada di sekitar tempat ini!"
"Seandainya aku bisa membantu...," ujar Joko seolah ikut larut dalam ucapan Wang Su Ji.
Wang Su Ji tersenyum dan geleng kepala. Lalu berkata pelan. "Mungkin hanya ada satu orang yang bisa membantuku. Dan justru karena orang itu, aku datang ke kawasan ini. Sialnya Yu Sin Yin terlebih dahulu menemukanku sebelum aku bertemu dengan orang di mana aku bisa menggantungkan bantuan..."
"Hem.... Yang kau maksud Paduka Seribu Masalah?!" tanya Joko.
"Nyatanya kau sudah banyak mengenal orang negeri ini, Anak Muda. Kau pernah bertemu dengannya?!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Manusia Tanah Merah melangkah mendekati Joko. Begitu dekat orang tua berjubah tanpa lengan ini buka suara.
"Kau anak muda yang beruntung. Mau mengatakan apa yang membuatmu jauh-jauh sampai negeri ini?!"
"Aku tidak punya maksud apa-apa! Dan kalaupun aku sampai menginjak tanah negeri ini, semata-mata hanya karena tidak sengaja!" Lalu Joko menuturkan perjalanannya hingga sampai tanah Tibet. Dan karena percaya yang diajak bicara adalah orang baik-baik, murid Pendeta Sinting sengaja menuturkan pengalamannya terus terang tanpa ada yang disembunyikan. Bahkan hingga dia menceritakan tentang pedang putih dalam kotak emas berukir yang baru didapat.
Manusia Tanah Merah sempat terbengong dan terlonjak kaget ketika Joko menuturkan pedang putih dalam kotak emas berukir. "Anak muda.... Aku pernah dengar cerita pedang itu. Tapi karena tidak ada orang yang membicarakan, aku tidak lagi percaya kalau pedang itu benar-benar ada! Justru yang ramai dibicarakan kalangan rimba persilatan sejak lama adalah urusan peta wasiat yang tersimpan di Perguruan Shaolin. Sungguh tidak kusangka kalau ternyata pedang itulah isi dari peta wasiat yang menggegerkan itu! Dan lebih tidak kusangka lagi kalau pada akhirnya kaulah yang mendapatkannya! Hanya saja...."
"Hanya mengapa, Kek?!" sahut Joko karena Manusia Tanah Merah putuskan ucapan.
"Aku tidak yakin apakah pedang itu berjodoh denganmu!"
Joko terlengak diam. "Tampaknya dia tahu banyak tentang pedang ini. Apakah ketidak mampuanku menahan hawa dingin yang menjalar dari pedang ini ada kaitannya dengan ucapan orang ini kalau pedang dalam kotak berukir tidak berjodoh denganku?" kata Joko dalam hati. Lalu berkata. "Kek.... Mengapa kau punya dugaan pedang itu tidak berjodoh denganku?!"
"Menurut satu-satunya keterangan yang kudengar, Pedang itu hanya berjodoh dengan perempuan! Kau tahu, Anak Muda.... Laki-laki adalah ibarat air. Karena dia melakukan dan menghadapi persoalan dengan mendahulukan pikiran akal. Hingga dia masih bisa sedikit menahan diri. Sebaliknya perempuan adalah ibarat bara api. Dalam menghadapi persoalan, seorang perempuan masih mendahulukan perasaan daripada akal pikiran. Hingga dia akan cepat dilanda hawa kemarahan...."
Manusia Tanah Merah hentikan katakatanya sejenak. Lalu bertanya. "Kau telah pegang pedang itu. Apakah kau mengalami satu keanehan?!"
"Aku tidak mampu menahan hawa dingin yang terpancar dari dalam pedang itu!"
"Hem.... Sekarang agak jelas persoalannya. Dan kau tentu tahu apa sebabnya kau tidak mampu menahan hawa dingin meski aku percaya kau telah berusaha menahan."
"Pedang itu diciptakan oleh penciptanya dengan sengaja dialiri hawa dingin. Dan karena aku laki-laki yang tadi kau ibaratkan seperti air, maka aku tidak akan mampu bertahan! Karena perempuan adalah ibarat bara api, maka dia akan bertahan jika menahan pedang yang diciptakan dengan hawa dingin!"
"Itu mungkin hanya salah satu sebab. Dan pasti masih banyak hal lagi penyebabnya yang belum kita ketahui! Tapi salah satu sebab itu sudah merupakan satu petunjuk jika pedang itu tidak berjodoh di tangan laki-laki! Apalagi jika dilihat dari namanya...."
"Kau tahu nama pedang itu?!"
"Pedang Keabadian! Itulah nama yang pernah kudengar!"
"Pedang Keabadian...," Joko ulangi ucapan Manusia Tanah Merah. Tiba-tiba murid Pendeta Sinting ingat akan keterangan perempuan berkerudung yang ternyata adalah Hantu Pesolek yang tengah menyamar. "Apa hubungan nama pedang itu dengan Sepasang Cincin Keabadian yang disebut-sebut milik Dewi Keabadian?! Tapi itu keterangan Hantu Pesolek yang mungkin saja mengada-ada...."
"Kau tampak berubah. Ada apa, Anak Muda...?! Kau tidak harus percaya pada semua ucapanku. Bagaimanapun juga kau telah mendapatkan pedang itu! Berarti kau berhak memilikinya!"
"Kau pernah dengar tentang Sepasang Cincin Keabadian yang katanya milik Dewi Keabadian?!" Joko balik bertanya.
Manusia Tanah Merah anggukkan kepala. "Pedang itu memang masih ada kaitannya dengan Dewi Keabadian. Pedang itu...."
Belum sampai Manusia Tanah Merah lanjutkan ucapan, mendadak mereka mendengar suara ledakan beberapa kali. Pendekar 131 dan Manusia Tanah Merah berpaling ke arah sumber terdengarnya ledakan.
"Kawasan hutan bambu!" bisik Manusia Tanah Merah. "Yu Sin Yin masih berada di sekitar kawasan itu...." Wajah Manusia Tanah Merah tampak berubah. Saat lain cekal lengan murid Pendeta Sinting. Tanpa buka mulut lagi, laki-laki berjubah tanpa lengan ini berkelebat sambil menyeret Pendekar 131...
S E L E S A I