Serial Joko Sableng eps 33 : Dewa Cadas Pangeran

SATU
DARI kuil di puncak atas sana yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan Kuil Atap Langit terdengar suara batuk-batuk tiga kali. Guru besar Liang San dan Hantu Bulan Emas saling lontarkan lirikan tajam. Lalu sama dongakkan kepala. Saat bersamaan terdengar ucapan dari atas sana.

“Sebenarnya aku sangat gembira bisa bertemu dengan sahabat. Namun kalau perjumpaan harus diperciki dengan ganjalan, rasanya lebih baik tidak ada pertemuan....”

“Aku datang untuk bertanya!” Guru Besar Liang San angkat suara. “Sekarang aku harus pergi!” Guru Besar Liang San balikkan tubuh. Tapi sebelum sosoknya bergerak lebih jauh, Hantu Bulan Emas buka mulut.

“Aku sudah berkata, tidak akan ada yang pergi dari sini!”

Guru Besar Liang San urungkan niat untuk berkelebat pergi. Tanpa balikkan tubuh dia berucap. “Harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!”

Hantu Bulan Emas tertawa dahulu sebelum berkata. “Aku tahu jika peta wasiat itu ada di tangan kalian berdua! Serahkan dulu peta wasiat itu padaku!”

Dari kuil di puncak atas sana terdengar suara tawa. Sementara Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Ketegangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan lagi. Seperti diketahui, Kwe Bun Lim atau yang lebih dikenal dengan Hantu Bulan Emas telah bertahun-tahun mencari jejak Bu Beng La Ma untuk menyelesaikan urusan dendam lama. Pada mulanya dia sudah menduga jika Bu Beng LaMa telah meninggal seperti apa yang selama ini tersiar dalam kalangan rimba persilatan. 

Namun begitu dia bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng dan tahu jurus apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting, dia mulai yakin jika Bu Beng La Ma masih hidup. Pada akhirnya dia menuju Kuil Atap Langit tempat tinggal seorang tokoh yang dulu dikenal sebagai Guru Bu Beng LaMa.

Dugaan Hantu Bulan Emas tidak meleset. Dia akhirnya bisa mengetahui kalau Bu Beng La Ma masih hidup meski Bu Beng La Ma tidak menunjukkan diri dan hanya berucap dari Kuil Atap Langit di atas sana. Namun sebelum Hantu Bulan Emas laksanakan maksudnya, tiba-tiba muncul Guru Besar Liang San yang datang ke Kuil Atap Langit dengan tujuan untuk memberitahukan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She. 

Dengan pemberitahuan ini, Guru Besar Liang San berharap agar Bu Beng La Ma tidak menaruh curiga padanya atas peristiwa yang terjadi diPerguruan Shaolin. Namun kemunculan Guru Besar Liang San ternyata merubah maksud Hantu Bulan Emas. Dia menduga Guru Besar Liang San dan Bu Beng La Ma bersekongkol untuk mendapatkan peta wasiat.

“Hantu Bulan Emas!” Terdengar ucapan dari kuil di puncak sana yang bukan lain adalah suara Bu Beng La Ma. “Kau boleh percaya atau tidak. Tapi yang pasti, selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, aku tidak meninggalkan Kuil Atap Langit. Jadi kau salah alamat jika menduga peta wasiat ada di tanganku.... Lagi pula aku sudah tidak tertarik dengan urusan yang ada hubungannya dengan dunia persilatan....”

“Siapa percaya dengan keteranganmu! Selama ini kau sengaja sembunyikan diri dan siarkan kabar kematian agar semua orang menduga kau telah mampus. Dengan begitu kau leluasa lakukan rencana persekongkolan! Dan kau sengaja pula mengundang seorang pemuda asing untuk alihkan perhatian orang!” Hantu Bulan Emas berkata dengan kepala disentakkan ke jurusan lain.

Mendengar ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San terkesiap. Bukan karena tuduhan orang, melainkan karena ucapan Hantu Bulan Emas yang sebut-sebut seorang pemuda asing. “Hem.... Berarti dia telah bertemu dengan pemuda itu! Aku harus tahu di mana pemuda itu! Dia harus mengatakannya padaku!” Guru Besar Liang San membatin lalu putar diri.

“Hantu Bulan Emas! Aku tak hendak membuat urusan denganmu meski kau telah menjatuhkan tuduhan yang tidak benar! Tapi ternyata kau tahu sesuatu yang saat ini tengah kucari!” Guru Besar Liang San tersenyum. “Harap kau sudi katakan padaku di mana pemuda asing yang baru kau katakan!”

Hantu Bulan Emas balik tersenyum seraya menyeringai. Dia sudah buka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Guru Besar Liang San telah sambungi ucapannya.

“Hantu Bulan Emas! Harap kau tidak punya prasangka jika aku menanyakan perihal pemuda asing itu! Aku tidak kenal siapa dia dan dari mana asalnya! Kalaupun aku bertanya tentang dia, karena menurut yang kudengar, pemuda asing itu datang hendak menuju Kuil Shaolin! Karena di perguruan kami baru saja terjadi musibah, mungkin dia menunda niatnya hingga sampai sekarang dia belum juga muncul di Kuil Shaolin! Aku perlu bertemu dengannya, siapa tahu pemuda asing itu bisa memberikan penjelasan!”

“Hem.... Begitu? Penjelasan apa yang kau inginkan dari seorang pemuda asing?!” tanya Hantu Bulan Emas.

“Beberapa waktu yang lalu, Perguruan Shaolin mengutus seseorang. Namun utusan itu tidak ada kabar beritanya hingga hari ini! Aku menduga pemuda asing itu bisa memberikan keterangan tentang utusan shaolin yang tidak ada kabar beritanya!”

“Dari mana kau bisa menduga demikian?!”

Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San tidak menjawab. Dia memandang tajam pada Hantu Bulan Emas, lalu dongakkan kepala arahkan pandang matanya ke arah kuil di atas sana sebelum akhirnya berkata. “Seorang pemuda asing tak mungkin datang jauh-jauh tanpa urusan penting! Dan selama ini Perguruan Shaolin tak pernah membuat urusan. Kalaupun ada urusan, itu adalah tentang utusan shaolin! Jadi.... Kedatangan pemuda itu pasti ada kaitannya dengan utusan shaolin!”

“Bisa kau katakan, apa yang dilakukan utusan itu?! Dan ke mana dia pergi mengemban perintah?!”

Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. “Amitaba.... Urusan dalam Perguruan Shaolin tidak layak dikatakan pada orang lain.... Harap kau mengerti....”

Hantu Bulan Emas gelengkan kepala. “Aku tahu di mana pemuda asing yang kau cari!”

“Kalau begitu, harap kau sudi mengatakannya padaku!” sahut Guru Besar Liang San meski dia tahu kalau Hantu Bulan Emas belum selesai bicara.

Lagi-lagi Hantu Bulan Emas gelengkan kepala seraya berkata. “Kalau kau bisa mengatakan tak layak orang di luar Perguruan Shaolin tahu urusan dalam perguruan, tentu orang di luar pun pantas mengatakan jika orang Perguruan Shaolin tak layak tahu urusan orang di luar perguruan!”

Dada Guru Besar Liang San mulai bergemuruh dilanda hawa amarah mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. Namun orang ini masih berpikir panjang dan tak mau membuat urusan apalagi dia tahu antara Bu Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas telah ada ganjalan. Dia berharap Hantu Bulan Emas dan Bu Beng La Ma terlibat bentrok.

“Baiklah.... Kalau kau keberatan mengatakannya, aku tidak memaksa!” ujar Guru Besar Liang San. “Tapi....”

“Aku juga tidak percaya pada keteranganmu!” Hantu Bulan Emas telah menukas sebelum Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan. “Aku tak akan ajukan alasan mengapa aku tidak percaya! Karena jawabannya sudah ada padamu!”

“Hem.... Lalu apa maumu?!” tanya Guru Besar Liang San.

Hantu Bulan Emas tidak segera menjawab. Sebaliknya gerakkan kedua tangan mengulur ke depan membuat sikap seperti orang meminta. Saat lain dia berucap. “Kalau kau ingin kalangan rimba persilatan tidak mencium tindakan persekongkolan ini, dan kau masih ingin dianggap orang suci dalam Perguruan Shaolin, serahkan peta wasiat itu padaku!”

Kalau perturutkan amarah, ingin rasanya Guru Besar Liang San langsung lepaskan pukulan ke arah Hantu Bulan Emas. Namun lagi-lagi Guru Besar Liang San masih menindih hawa amarah. Sembari tersenyum dan anggukkan kepala dia angkat suara. “Sebagai orang shaolin, aku tidak berharap ingin dikatakan orang suci! Lebih dari itu, aku tidak bersekongkol untuk mendapatkan peta wasiat itu! Karena kalau aku mau, tanganku sendiri mampu mengambilnya!”

Hantu Bulan Emas tertawa pendek. “Mengambil peta wasiat dari tempatnya memang pekerjaan mudah bagimu! Tapi....”

“Hantu Bulan Emas!” Kali ini Guru Besar Liang San telah menukas. “Aku tidak punya waktu banyak! Selamat tinggal!” Guru Besar Liang San balikkan tubuh lalu berkelebat.

Hantu Bulan Emas tidak tinggal diam. Dia segera melesat dari memotong gerakan Guru Besar Liang San lalu tegak menghadang. Guru Besar Liang San hentikan kelebatan. Sepasang matanya membeliak tak berkesip.

“Aku telah mengatakan apa maksud kedatanganku menemui Bu Beng La Ma! Aku juga telah mengatakan urusanku dengan pemuda asing itu! keduanya tidak ada hubungannya denganmu! Harap kau tidak memaksakan diri untuk membuka urusan!”

Hantu Bulan Emas tertawa panjang. “Aku tidak bermaksud membuka urusan! Aku hanya meminta! Karena aku yakin apa yang kuminta ada padamu! Ini juga demi kedudukanmu di mata dunia persilatan dari Perguruan Shaolin!”

“Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau minta! Bahkan kalau kau memaksakan kehendak, kau tahu apa akibatnya!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya. Lalu ditakupkan kembali di depan dadanya. Meski gerakan Guru Besar Liang San seperti gerakan biasa, namun sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman, Hantu Bulan Emas tahu jika gerakan Guru Besar Liang San bukanlah gerakan biasa. Dia cepat alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sepasang matanya menyengat tajam pada kedua bola mata Guru Besar Liang San.

“Sahabat sekalian!” Bu Beng La Ma berkata dari Kuil Atap Langit. “Pertumpahan darah bukanlah hal yang menyelesaikan urusan! Kuharap kalian bisa kuasai diri.... Apalagi kalian adalah orang terpandang!”

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San tidak pedulikan ucapan Bu Beng La Ma. Belum sampai ucapan Bu Beng La Ma selesai, Hantu Bulan Emas telah berkelebat ke depan. Guru Besar Liang San tidak mau menunggu. Begitu Hantu Bulan Emas membuat gerakan, orang berkepala gundul ini segera menyongsong. Dua pasang tangan tampak berkelebat di atas udara.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Sosok Hantu Bulan Emas terjajar dua langkah ke belakang. Paras wajahnya berubah. Di seberang, Guru Besar Liang San tersurut pula dua tindak. Kedua tangannya bergetar. Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya. Saat lain kedua matanya kembali dipentang. Tiba-tiba dari tato bergambar bulan sabit yang tertera di antara kedua alis matanya pancarkan sinar kuning berkilat. Guru Besar Liang San renggangkan kedua kakinya. Kedua tangannya ditarik ke belakang sejajar dada dengan telapak terbuka ke depan.

“Hantu Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San. “Aku tahu ganjalan antara dirimu dan Bu Beng La Ma! Kau tak menyesal kalau ganjalan itu tidak terlaksana?!”

“Aku mampu menghadapimu sekaligus Bu Beng La Ma!” sahut Hantu Bulan Emas dengan angkat kedua tangannya ke atas kepala.

“Sahabat sekalian!” Lagi-lagi terdengar ucapan Bu Beng La Ma dari Kuil Atap Langit di atas sana. “Aku tidak coba menggurui kalian. Namun kalian harus sadar, urusan peta wasiat tidak akan selesai dengan cara kekerasan! Kalian juga harus maklum, peta wasiat itu akan jatuh ke tangan seseorang yang telah ditakdirkan untuk mendapatkannya!”

“Bu Beng La Ma!” teriak Hantu Bulan Emas. “Mengapa kau hanya berani berucap tanpa berani unjuk diri?!”

“Kau jangan salah sangka. Aku hanya tak ingin melibatkan diri dalam urusan yang aku yakin tak ada gunanya karena aku sadar peta wasiat itu tak mungkin jatuh ke tanganku!”

“Kau jangan sembunyi di balik ucapan!” teriak Hantu Bulan Emas.

“Kau masih juga salah duga! Tak ada sulitnya jika aku ingin turun ke bawah sana. Tapi kalau hanya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya, kurasa itu hanya buang-buang waktu....”

Karena memang berharap terjadi bentrok antara Bu Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San tidak coba angkat suara. Sebaliknya dia segera putar pandangan. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempatitu. Hantu Bulan Emas sentakkan kepala ke arah berkelebatnya Guru Besar Liang San. Dia menyeringai namun tak membuat gerakan apa-apa. Namun begitu kelebatan Guru Besar Liang San agak jauh dan sosoknya hampir lenyap di balik sebuah pohon, kedua tangan Hantu Bulan Emas bergerak.

Wuutt! Wuuttt!

Satu gelombang angin berkiblat ganas. Saat bersa- maan satu sinar kuning melesat keluar dari tato bergambar bulan sabit di tengah kedua alis mata Hantu Bulan Emas.

Guru Besar Liang San sedikit tersirap. Dia cepat rundukkan kepala. Saat yang sama sosoknya berputar. Kedua tangannya dikelebatkan ke depan dengan telapak terbuka.

Bummmm! Bummmm!

Dua gelegar keras terdengar. Tanah muncrat ke udara menutup pemandangan. Sosok Guru Besar Liang San tampak terhuyung. Namun orang ini tidak segera coba kuasai diri, sebaliknya melompat ke belakang. Saat lain kembali kedua tangannya bergerak. Karena ternyata saat itu sinar kuning terus menerabas menembus hamparan tanah diudara!

***
DUA
"BAMMM!" Sinar kuning yang melesat keluar dari tato bergambar bulan sabit diantara kedua alis mata Hantu Bulan Emas semburat ke udara ketika dari kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San menderu satu gelombang yang bukan saja membuat hamburan tanah langsung tersapu amblas namun juga memporak-porandakan sinar kuning yang keluar dari tato bergambar bulan sabit diantara kedua alis mata Hantu Bulan Emas.

Hantu Bulan Emas mencelat mental. Sosoknya tampak terbanting di atas udara. Tapi sebelum tubuhnya jatuh menghantam tanah, guru Bidadari Bulan Emas ini cepat putar kedua tangannya keatas kepala. Mendadak gerakan sosoknya terhenti di atas udara. Lalu perlahan melayang turun ke bawah dengan kaki menjejak tanah terlebih dahulu.

Di seberang sana, Guru Besar Liang San tampak tegak bersandar pada batangan pohon. Kedua tangannya menakup di depan dada. Orang ini coba kuasai aliran darahnya yang laksana tersumbat. Namun sebelum dia sempat kerahkan tenaga dalam, Hantu Bulan Emas melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak dengan jari telunjuk ditekuk.

Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. Kaki kanannya ditekuk lalu diangkat. Tangan kanan diluruskan sementara tangan kiri dilipat. Ketika kedua tangan Hantu Bulan Emas datang lakukan totokan, Guru Besar Liang San cepat tarik tangan kanannya. Saat lain kedua tangannya dihantamkan ke arah kedua tangan Hantu Bulan Emas.

Namun sebelum kedua pasang tangan itu saling berbenturan di udara, mendadak Hantu Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya. Lalu tiba-tiba kedua kakinya bergerak membuat tendangan! Guru Besar Liang San tarik tubuhnya ke samping. Kaki kanannya disentakkan memotong gerakan kedua kaki Hantu Bulan Emas.

Bukkk! Bukkk!

Hantu Bulan Emas terbanting ke samping. Sementara kaki kanan Guru Besar Liang San tampak mental balik. Sosoknya ikut tertarik sebelum akhirnya terjungkal. Mungkin khawatir orang akan susuli pukulan, baik Hantu Bulan Emas maupun Guru Besar Liang San cepat bangkit tegak meski keduanya sempat terhuyung-huyung. 

Dari mulut masing-masing orang ini tampak kucurkan darah. Hantu Bulan Emas tak pedulikan keadaan. Begitu huyungan tubuhnya terhenti, kedua tangannya diangkat di depan dada. Tangan kanan diluruskan ke samping dan diletakkan di atas tangan kiri. Saat lain mendadak kedua tangannya disentakkan dengan telapak terbuka.

Wuttt! Wuutt!

Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas terlihat dua bundaran sinar membentuk bulan sabit berwarna kekuningan. Terdengar deruan dahsyat kala dua bundaran sinar kuning melesat ke arah Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San cepat pejamkan kedua mata- nya. Kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah. Kedua kaki Guru Besar Liang San amblas masuk hampir lutut ke dalam tanah. Saat yang sama kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Dia tidak membuat gerakan lagi meski sinar kuning terus melaju kearahnya.

"Busss! Busss!" Dua bundaran sinar kuning menghantam dada Guru Besar Liang San. Hantu Bulan Emas tersentak. Senyum di mulutnya yang sesaat tadi mengembang karena Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan apa-apa pupus ketika mendapati bundaran dua sinar kuning mental lalu ambyar berkeping-keping! Bahkan sosok Hantu Bulan Emas langsung terjengkang roboh!

Guru Besar Liang San sesaat tetap tak bergeming. Namun bersamaan dengan robohnya sosok Hantu Bulan Emas, tubuh Guru Besar Liang San melorot jatuh. Karena kedua kakinya masuk ke dalam tanah, dia jatuh terduduk dengan pantat menghantam tanah.

“Jurus kelima dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’ mampu ditahannya tanpa membuat gerakan!” desis Hantu Bulan Emas seraya bangkit berdiri. “Aku ingin lihat apakah dia mampu menahan jurus keenam dan ketujuh ‘Delapan Gerbang Rembulan’!” Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.

“Hantu Bulan Emas!” Tiba-tiba Guru Besar Liang San angkat bicara dengan kedua tangan tetap menakup di depan dada dan sepasang mata terpejam. “Jangan berlaku bodoh! Kalau aku mampu menahan pukulanmu tanpa membuat gerakan, seharusnya kau sadar jika...”

Sebelum Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan, Hantu Bulan Emas telah menyahut. “Jangan terlalu gembira dahulu, Liang San! Apa yang baru kau terima bukanlah apa-apa dari apa yang kumiliki!”

Guru Besar Liang San tersenyum. Namun diam-diam orang dari Perguruan Shaolin ini salurkan hampir setengah dari tenaga dalam yang dimiliki pada kedua telapak tangannya. Sementara di seberang, Hantu Bulan Emas cepat tekuk kedua kakinya lalu sosoknya dilorotkan ke bawah. Saat lain guru dari Bidadari Bu- lan Emas ini telah duduk bersila dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Sepasang matanya dipentang besar-besar. Bukan menatap ke arah Guru Besar Liang San, namun kepalanya ditengadahkan dan sepasang matanya menatap pada hamparan langit. Tubuhnya bergetar keras.

Mendapati sikap Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San tarik ke atas kedua kakinya yang masuk ke dalam tanah. Kejap lain, dia telah membuat sikap seperti Hantu Bulan Emas. Hanya sepasang matanya menatap tajam pada sosok Hantu Bulan Emas. Mendadak Hantu Bulan Emas buka dekapan kedua tangannya. Guru Besar Liang San tak berdiam diri. Dia cepat pula lepas rangkapan kedua tangannya. Saat lain, hampir bersamaan kedua orang ini sentakkan tangan masing-masing ke depan.

Namun belum sampai dari tangan masing-masing orang melesat pukulan, dari Kuil Atap Langit di atas sana, menderu satu gelombang dahsyat. Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San sentakkan kepala melirik ke atas. Keduanya terkesiap kaget. Belum sampai keduanya membuat gerakan, gelombang dari puncak kuil telah menderu dan kejap lain telah menghantam tanah tepat di antara sosok Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San.

Blaaarrr!

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San rasakan tanah pijakannya bergetar hebat. Keduanya cepat kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Namun tindakan keduanya terlambat. Baru saja keduanya kerahkan tenaga dalam, mereka rasakan sosoknya tersapu mental ke belakang dan saat lain sama terkapar di atas tanah.

Hantu Bulan Emas mendengus marah. Begitu bangkit, dia dongakkan kepala. Kedua tangannya diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun tiba-tiba dia sadar kalau tindakannya sangat berbahaya karena jika dia lepaskan pukulan ke puncak kuil dan saat bersamaan Guru Besar Liang San lepas pukulan ke arahnya, maka dia tidak akan bisa hindarkan diri. 

Hantu Bulan Emas cepat sentakkan kepalanya ke arah di mana tadi Guru Besar Liang San berada. Namun mendadak dia pentang mata dengan pelipis bergerak-gerak. Karena ternyata sosok Guru Besar Liang San sudah tidak kelihatan lagi! Hantu Bulan Emas tumpahkan kemarahannya pada Bu Beng La Ma. Hingga begitu tidak lagi melihat sosok Guru Besar Liang San, dia cepat berteriak.

“Bu Beng La Ma! Turunlah atau nyawamu akan kucabut dan kulempar dari atas sana!”

“Hantu Bulan Emas! Aku hanya ingin kau tidak terlibat dalam urusan yang tak berguna! Dan kuharap mulai sekarang kau lupakan semua yang pernah terjadi!”

Hantu Bulan Emas kancingkan mulut tidak menyahut. Sebaliknya dia cepat melompat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di tangga batu pertama. Kepalanya tengadah dengan mata terpentang tak berkesip memandang ke arah Kuil Atap Langit. Kedua tangannya diletakkan di atas pinggang kiri kanan. Saat kemudian dia berseru lantang.

“Bu Beng La Ma! Selama kau masih bisa bernapas, aku tak akan melupakan peristiwa yang pernah terjadi di antara kita! Jadi lupakan harapanmu! Dan sekali lagi kuperingatkan kau agar segera turun!”

“Nyawanya bukan saja menjadi bagianmu, tapi aku punya bagian juga!” Tiba-tiba terdengar suara menyahut.

Hantu Bulan Emas palingkan kepala. Sepasang matanya melihat dua sosok bayangan berkelebat cepat ke arahnya. Saat lain sejarak sepuluh langkah di hadapan Hantu Bulan Emas, tegak dua orang dengan mata bukannya memandang ke arah Hantu Bulan Emas, melainkan ke arah Kuil Atap Langit.

Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berpakaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut mukanya telah dipenuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini telah berusia lanjut. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata sipit, kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, bukan hanya rambut, kumis, dan jenggot serta pakaiannya yang hitam, namun sekujur kulit tubuh laki-laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih hanyalah larikan kecil pada bagian kedua matanya!

Di sebelah laki-laki berwajah hitam, tegak seorang perempuan berusia amat lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit tanpa ditingkahi alis mata. Dia juga mengenakan pakaian warna hitam panjang. Di pundaknya tampak menyelempang sebuah selendang hitam yang menjulai panjang hingga menyapu tanah.

“Bayangan Tanpa Wajah!” desis Hantu Bulan Emas dengan mata menyengat tajam pada laki-laki berwajah hitam legam. Lalu melirik pada si perempuan berambut putih. “Ratu Selendang Asmara! Hem.... Sepertinya mereka berdua juga punya urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi ada satu keanehan. Selama ini kuketahui antara kedua manusia itu terjadi silang sengketa! Namun kali ini keduanya tampak bersahabat!”

Hantu Bulan Emas membatin. Dia menyeringai dengan dada mulai dibungkus rasa marah melihat sikap kedua orang yang baru muncul, dan bukan lain memang Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Tanpa buka suara, Hantu Bulan Emas kembali sentakkan kepala mendongak ke atas. Lalu perdengarkan suara.

“Bayangan Tanpa Wajah! Ratu Selendang Asmara! Kalian datang terlambat! Apa pun bagianmu atas nyawa Bu Beng La Ma, yang pasti kalian harus menunggu sampai urusanku selesai!”

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling luruskan kepala lalu saling pandang sesaat. Kejap lain keduanya memandang pada sosok Hantu Bulan Emas.

“Hantu Bulan Emas! Kita sama punya urusan! Harap kau tidak memperhitungkan siapa yang datang lebih dulu!” Yang angkat suara adalah si nenek Ratu Selendang Asmara.

Hantu Bulan Emas putar diri. Namun sepasang matanya tidak memandang pada Bayangan Tanpa Wajah atau Ratu Selendang Asmara, membuat kedua orang ini mulai geram dan sama menyeringai.

“Baiklah...!” Hantu Bulan Emas angkat suara dengan mata memandang pada jurusan lain. “Tapi katakan dahulu apa urusan kalian dengan Bu Beng La Ma!”

“Aku menginginkan sesuatu darinya! Tapi kalau dia tidak menyerahkan apa yang kuminta, aku tak segan untuk membuat bagian hidupnya terhenti hari ini!” Bayangan Tanpa Wajah menyahut.

Hantu Bulan Emas kerutkan dahi. Perlahan sepasang matanya mengarah pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Dia membatin. “Hem.... Apakah yang akan mereka minta adalah peta wasiat itu?!”

“Mau katakan apa yang hendak kalian minta darinya?!” tanya Hantu Bulan Emas.

Bayangan Tanpa Wajah geleng kepala lalu berkata. “Apa yang akan kami minta biarlah menjadi rahasia kami berdua!”

“Hem.... Melihat urusan kalian, rasanya urusanku lebih penting! Karena urusanku adalah urusan lama yang telah hampir berkarat dan tidak akan lenyap sebelum di antara aku atau Bu Beng La Ma menemui ajal!”

Kali ini Ratu Selendang Asmara yang geleng kepala mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. “Aku tahu... urusanmu memang penting dan menyangkut nyawa! Tapi kau harus tahu, urusan kami lebih dari itu! Hanya saja kami sudah sepakat untuk tidak mengatakan urusan kami pada siapa saja!”

Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara melangkah mendekati tangga. Hantu Bulan Emas memandang gerakan kaki si nenek dengan wajah dingin. Begitu empat tindak lagi sampai tangga, Hantu Bulan Emas berucap.

“Kau harus langkahi dulu mayatku sebelum teruskan langkah naik!”

Ratu Selendang Asmara hentikan langkah dengan tersenyum. “Sebenarnya aku tidak menginginkan urusanku bertambah! Namun jika kau menghendaki, dengan senang hati aku akan melayanimu!”

Seperti diketahui, antara Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah memang terjadi silang sengketa. Bahkan keluarnya si nenek justru untuk menyelesaikan urusan dengan Bayangan Tanpa Wajah. Hanya saja, begitu mereka bertemu dan Bayangan Tanpa Wajah mengemukakan apa yang saat ini tengah dijalani, Ratu Selendang Asmara merasa tertarik. Hingga akhirnya kedua orang ini melupakan apa yang menjadi sengketa antara mereka.

Dan seperti dituturkan pula, Bayangan Tanpa Wajah mendapat tugas dari Yang Mulia Baginda Ku Nang untuk mencari jejak murid Pendeta Sinting. Begitu berjumpa dengan Ratu Selendang Asmara, dia segera mengatakan apa maksudnya. Pada akhirnya kedua orang ini sepakat. Bahkan mereka sempat pula bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng. 

Mereka sempat bentrok. Hanya saja begitu hampir dapat melumpuhkan murid Pendeta Sinting, muncul Bu Beng La Ma yang menyelamatkan nyawa murid Pendeta Sin- ting. Tahu siapa yang menyelamatkan Pendekar 131, Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara segera mengejar dan menuju tempat kediaman Bu Beng La Ma.

Pada mulanya, Ratu Selendang Asmara tidak keberatan jika Dewi Bunga Asmara ikut serta ke Kuil Atap Langit. Namun di tengah jalan Bayangan Tanpa Wajah memberi saran pada Ratu Selendang Asmara agar Dewi Bunga Asmara tidak usah ikut. Setelah menimbang dan maklum siapa yang hendak dihadapi, akhirnya Ratu Selendang Asmara memerintahkan pada Dewi Bunga Asmara untuk pulang terlebih dahulu. Sebenarnya Dewi Bunga Asmara tidak suka dengan perintah gurunya.

Apalagi sejak bertemu dengan Pendekar 131, entah karena apa diam-diam dia tertarik. Tapi karena tahu bagimana sifat gurunya, akhirnya dengan berat hati Dewi Bunga Asmara turuti perintah gurunya untuk pulang terlebih dahulu. (Lebih jelasnya pertemuan antara Bayangan Tanpa Wajah dengan Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara serta pertemuan mereka dengan Pendekar 131 Joko Sableng, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit)

***

TIGA

DADA Hantu Bulan Emas Laksana terbakar mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara. Meski tidak membuat gerakan, namun diam-diam laki-laki ini kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sementara tanpa diketahui oleh Hantu Bulan Emas, Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara, sepasang mata menatap tak berkedip silih berganti pada ketiganya dari balik batangan pohon.

Si pemilik mata dari balik batangan pohon adalah seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian panjang warna kuning tanpa leher. Di bagian pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Paras wajahnya agak tirus dengan kumis tipis. Jenggotnya jarang tapi menjulai panjang. Orang ini tidak lain adalah Guru Besar Liang San.

Saat terjadi bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan keduanya siap hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba dari arah Kuil Atap Langit menderu satu gelombang dahsyat yang bukan saja mampu menyapu sosok Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San hingga terjengkang roboh, namun juga membuat pemandangan jadi gelap karena tertutup hamburan tanah yang terkena hantaman gelombang.

Saat pemandangan tertutup, Guru Besar Liang San yang memang tidak mengharap terlibat bentrok dengan Hantu Bulan Emas segera berkelebat pergi. Namun sebenarnya dia tidak segera meninggalkan tempat itu. Sebaliknya menyelinap diam-diam untuk mengetahui apa yang terjadi antara Hantu Bulan Emas dengan Bu Beng La Ma. Namun begitu muncul Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara serta mendengar percakapan ketiganya, dada Guru Besar Liang San jadi berdebar-debar. Diam-diam dia berkata dalam hati.

“Apa yang hendak diminta Bayangan Tanpa Wajah dan nenek itu?! Hem.... Hantu Bulan Emas menduga Bu Beng La Ma memegang peta wasiat itu. Lalu apakah yang diminta keduanya juga peta wasiat itu?! Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mungkinkah benar Bu Beng La Ma memegang separo dari peta wasiat itu?! Tapi dari mana?! 

Menurut Baginda Ku Nang, Yang Kui Tan diselamatkan pemuda asing di tengah laut, berarti Yang Kui Tan belum sampai bertemu dengan Bu Beng La Ma. Atau mungkinkah pemuda asing itu yang memberikan peta wasiat pada Bu Beng La Ma...?! Hem.... Urusan ini jadi makin rumit! Padahal hari ganda sepuluh tidak lama lagi...! Apa yang harus kulakukan?!”

Selagi Guru Besar Liang San membatin begitu, tiba-tiba dari arah depan sana terdengar Hantu Bulan Emas angkat suara. Suaranya terdengar bergetar tanda orang ini telah dilanda hawa amarah yang meluap. “Ratu Selendang Asmara! Seperti halnya dirimu, sebenarnya aku pun tidak ingin menambah urusan. Tapi jika kau hendak teruskan niat, aku pun siap meladeni!”

Belum sampai Ratu Selendang Asmara sambuti ucapan Hantu Bulan Emas, dari Kuil Atap Langit, Bu Beng La Ma perdengarkan suara. “Sahabat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah.... Aku minta maaf kalau tempo hari terpaksa ikut campur dalam masalah kalian berdua. Aku tahu apa yang membawa kalian jauh-jauh datang ke tempatku ini! Pasti kehadiran kalian masih ada hubungannya dengan urusan tempo hari....”

Ratu Selendang Asmara dongakkan kepala. “Bu Beng La Ma! Syukur kalau kau telah tahu apa maksud kedatangan kami berdua! Kuharap kau juga tahu dan sadar apa sebaiknya yang harus kau lakukan!”

“Sahabat berdua! Aku telah lakukan apa yang menurutku terbaik!” Bu Beng La Ma menyahut dari puncak kuil.

“Bagus! Sekarang harap kau serahkan dia padaku! Dan urusan di antara kita selesai sampai di sini!” Ratu Selendang Asmara berujar.

“Kalian berdua datang terlambat! Dia telah pergi....”

Mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara dan Bu Beng La Ma, Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San yang mendekam sembunyi di balik batangan pohon sama kerutkan dahi. Keduanya sama membatin.

“Siapa yang dimaksud mereka?!”

Sementara itu mendengar sambutan Bu Beng La Ma, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah. “Aku tidak percaya dengan ucapannya sebelum aku melihat buktinya!” kata Bayangan Tanpa Wajah. “Kita harus buktikan dahulu kebenaran ucapannya!”

Seraya berkata, Bayangan Tanpa Wajah melangkah dan tegak menjajari Ratu Selendang Asmara. Sementara Guru Besar Liang San makin pentang mata dengan dada makin dilanda berbagai pertanyaan.

“Hantu Bulan Emas!” kata Bayangan Tanpa Wajah. “Kami hanya perlu membuktikan kebenaran ucapan Bu Beng La Ma! Harap kau tidak menghalangi!”

Hantu Bulan Emas tidak segera menyahut. Dia terdiam beberapa lama sebelum akhirnya berkata. “Kita sama punya urusan. Aku bukannya takut menghadapi kalian berdua, tapi aku tawarkan jalan terbaik!”

“Maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

Hantu Bulan Emas dongakkan kepala mengarah pada Kuil Atap Langit.

“Kita naik bersama-sama!”

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah saling palingkan kepala dan saling pandang untuk beberapa saat.

“Kita tidak boleh membuat urusan baru.... Sebaiknya kita terima usulnya! Lagi pula untuk sementara ini kita harus hindari urusan yang tidak ada hubungannya dengan peta wasiat!” Bayangan Tanpa Wajah berbisik.

Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala meski je,las wajahnya membayangkan rasa enggan dengan usul Bayangan Tanpa Wajah. “Hantu Bulan Emas bukan orang baik-baik! Walau kita setuju usulnya, kita harus tetap berhati-hati!” Ratu Selendang Asmara berkata dengan suara ditekan.

“Kalau dia berbuat macam-macam, dia manusia yang bernasib jelek!” ujar Bayangan Tanpa Wajah dengan suara pelan pula lalu hadapkan wajah ke arah Hantu Bulan Emas dan angkat suara.

“Hantu Bulan Emas! Kita naik bersama-sama!” Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah melangkah ke arah tangga. Ratu Selendang Asmara mengikuti dari belakang dengan mata terus melirik memperhatikan gerak-gerik Hantu Bulan Emas. Hantu Bulan Emas tampaknya dapat menangkap pandangan curiga Ratu Selendang Asmara. Dengan seringai dingin dan seraya palingkan kepala ke atas, Hantu Bulan Emas bersuara.

“Aku paling tidak suka dengan sikap pura-pura di balik ucapan! Kalau kalian tidak setuju dengan usul- ku, jangan....”

Belum sampai Hantu Bulan Emas teruskan ucapan, dari puncak kuil terdengar ucapan. “Sahabat sekalian! Bukan aku tak suka atas kunjungan kalian ke tempatku. Namun sesungguhnya kehadiran kalian tidak akan mendapatkan apa-apa! Sebaiknya kalian segera tinggalkan tempat ini.... Mungkin di luaran sana kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari!”

Hantu Bulan Emas yang ucapannya dipotong tampak pasang tampang garang. Dia berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara yang sudah berada didekatnya.

“Jangan pedulikan ucapannya!” kata Bayangan Tanpa Wajah lalu melompat dan tahu-tahu telah tegak di samping Hantu Bulan Emas. Ratu Selendang Asmara tidak tinggal diam. Dia segera pula melesat dan tegak di tangga pertama. Namun si nenek tidak Hiraukan ucapan Bu Beng La Ma, sebaliknya terus melirik curiga pada Hantu Bulan Emas.

Hantu Bulan Emas tidak bisa lagi menahan rasa geram. Dengan nada dingin dia berkata. “Ratu Selendang Asmara! Aku telah tawarkan sesuatu. Kalau kau masih merasa curiga, aku tanya apa maumu sebenarnya!”

Bayangan Tanpa Wajah yang tidak menginginkan terjadi urusan baru segera menyahut. “Kita telah sama sepakat! Hilangkan prasangka dan rasa curigai!”

Hantu Bulan Emas berpaling pada Ratu Selendang Asmara. Si nenek juga sentakkan kepala menatap pada Hantu Bulan Emas. Kedua orang ini perang pandang beberapa lama dengan mulut sama terkancing. Bayangan Tanpa Wajah memandang silih berganti pada Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara. Lalu berkata dengan suara agak keras.

“Sebelum kita lanjutkan, aku ingin tanya pada kalian.”

“Tidak ada yang perlu ditanyakan!” Ratu Selendang Asmara sudah menyahut dengan mata terus menatap pada Hantu Bulan Emas. “Aku tahu siapa orang-orang dunia persilatan di negeri ini! Aku tahu pula bagaimana tabiat mereka!”

Hantu Bulan Emas mendengus. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, dia rasakan tangga batu pijakannya bergetar. Dia berpaling ke arah Bayangan Tanpa Wajah lalu menghadap lagi pada Ratu Selendang Asmara. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah tampak sedikit terkejut. Seperti halnya Hantu Bulan Emas, si nenek dan laki-laki berwajah hitam legam ini juga merasakan tangga batu di mana mereka kini tegak berdiri juga bergetar. 

Belum sempat ketiga orang ini lakukan sesuatu dan tahu apa yang terjadi, mendadak dari Kuil Atap Langit terdengar gemuruh. Hantu Bulan Emas, Bayangan Tanpa Wajah, serta Ratu Selendang Asmara sama dongakkan kepala. Namun bersamaan itu dari atas sana tampak menebar hamparan kabut hitam. Bukan saja menutup tangga batu, melainkan meluncur deras ke arah ketiganya!

“Cepat menyingkir!” teriak Hantu Bulan Emas seraya melompat.

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tertegun sesaat. Namun saat lain keduanya melesat ketika merasakan hawa panas mulai menyungkup tempat itu! Padahal kabut hitam masih sejarak tujuh tangga di atas sana. Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara injakkan kaki di bawah, kabut hitam telah menutup seluruh tangga batu hingga yang terlihat hanya- lah warna hitam. Sementara udara mendadak berubah jadi panas menyengat!

Ratu Selendang Asmara menoleh pada Bayangan Tanpa Wajah. “Kita harus menerobos ke atas!”

“Jangan bertindak gegabah! Ini bukan kabut biasa!” kata Bayangan Tanpa Wajah.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?!”

“Kita tunggu apa yang akan dilakukan Hantu Bulan Emas!

Habis menjawab begitu, Bayangan Tanpa Wajah berpaling pada Hantu Bulan Emas. Sementara kabut hitam terus berputar. Anehnya kabut hitam itu hanya menyungkup di sekitar tangga batu yang menuju Kuil Atap Langit. Hingga bukan saja membuat tangga batu itu tidak kelihatan dan tebarkan hawa panas menyengat, namun juga keluarkan suara bergemuruh!

“Hem.... Jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat empat!” desis Hantu Bulan Emas. Dia cepat melompat sejajar di depan kabut hitam yang terus berputar menutup tangga batu. Saat lain kedua tangannya disentakkan ke arah kabut hitam.

Wuutt! Wuuttt!

Dari kedua telapak tangan Hantu Bulan Emas menebar sinar berwarna kuning. Kabut hitam tampak menyibak laksana membuat jalan setapak. Saat itu juga samar-samar terlihat tangga batu yang tadi tertutup kabuthitam. Hantu Bulan Emas tidak menunggu lama. Begitu kabut hitam menyibak, dia segera melesat menerobos kabut hitam. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara pentang mata memandang ke arah sosok Hantu Bulan Emas yang begitu melompat langsung lenyap laksana ditelan kabut hitam.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah puncak kuil terdengar suitan nyaring. Saat yang sama tampak sinar berkilau putih menerobos hamparan kabut hitam. Hampir bersamaan dengan melesatnya sinar putih, dari tengah kabut hitam berkiblat hamparan cahaya kuning menyongsong sinar putih.

"Blammmm!" Terdengar ledakan keras. Kabut hitam langsung buyar porak-poranda. Sinar putih dan cahaya kuning bertabur ke udara. Lalu terlihat sosok Hantu Bulan Emas terpental dari atas. Melihat hal demikian, Ratu Selendang Asmara yang masih memendam geram pada Hantu BulanEmas cepat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke arah Hantu Bulan Emas.

"Jangan membuat masalah!” bentak Bayangan Tanpa Wajah seraya melompat dan memegang kedua lengan Ratu Selendang Asmara.

Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia urungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus meluncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah! Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk, namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan Emas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me- lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hitam!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Sementara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit merasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan mencurigakan dari Kuil Atap Langit. 

Tapi Hantu Bulan Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, malah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tangannya. Sepasang matanya dipentang memandang berkeliling. Mungkin karena pandangannya masih tertutup kabut hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan tangan kirinya.

"Wutttt!" Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hamparan kabut hitam langsung semburat amblas. Saat bersamaan suasana berubah terang benderang!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan diangkat.

“Kita harus segera naik!” kata Bayangan Tanpa Wajah.

Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang Asmara cepat pula mengikuti dari belakang. Di lain pi- hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan Emas cepat melompat dan tegak di ambang pintu yang terbuka di Kuil Atap Langit. Namun hingga agak lama edarkan pandangan ke dalam kuil, Hantu Bulan Emas tidak melihat siapa- siapa!

“Keparat! Ke mana jahanam itu?!” desis Hantu Bulan Emas. Dia sudah buka mulut hendak berteriak, namun sebelum suaranya terdengar, satu suara mendahului.

“Ke mana dia?!”

Hantu Bulan Emas berpaling. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara telah tegak di sampingnya. “Dengan melihat keadaan, seharusnya kalian tidak ajukan tanya!” sahut Hantu Bulan Emas lalu sentakkan kepala memandang ke dalam kuil.

Jawaban Hantu Bulan Emas serta sepintas melihat suasana, tampaknya Bayangan Tanpa Wajah sudah bisa membaca situasi. Tanpa buka suara, Bayangan Tanpa Wajah melompat ke dalam kuil. Kepalanya berputar dengan mata memperhatikan sekeliling.Sementara Ratu Selendang Asmara tetap tegak di samping Hantu Bulan Emas dengan mata sesekali melirik ke arah Hantu Bulan Emas.

“Dia telah meninggalkan tempat ini!” gumam Bayangan Tanpa Wajah. Dia arahkan pandang matanya sesaat pada Hantu Bulan Emas, saat lain, masih tanpa perdengarkan suara, dia berkelebat keluar dari kuil. “Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” bisik Bayangan Tanpa Wajah begitu tegak kembali di samping Ratu Selendang Asmara.

Tanpa menunggu lama, Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menuruni tangga batu. Ratu Selendang Asmara memandang sesaat ke dalam kuil sebelum akhirnya menumbuk pada sosok Hantu Bulan Emas. Saat yang sama Hantu Bulan Emas berpaling memandang ke arah si nenek. Unjuk kesekian kalinya kedua orang ini saling perang pandang.

Kalau perturutkan hati, rasanya ingin si nenek langsung lepaskan pukulan ke arah Hantu Bulan Emas apalagi dia tahu benar jika Hantu Bulan Emas dalam keadaan terluka dalam. Namun ingat akan ucapan Bayangan Tanpa Wajah dan urusan yang tengah dihadapi, Ratu Selendang Asmara cepat balikkan tubuh lalu berkelebat menuruni tangga batu.

Kepergian Ratu Selendang Asmara membuat Hantu Bulan Emas sedikit merasa lega. Sesaat tadi dia khawatir. Dia sadar, jika terjadi bentrok dengan si nenek, tak urung dia akan kewalahan karena dia memang telah terluka dalam. Bukan saja karena mental dari tengah tangga batu, namun juga karena bentrok dengan Guru Besar Liang San. 

Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara lenyap di bawah sana, Hantu Bulan Emas cepat melangkah memasuki Kuil Atap Langit. Seolah masih tidak percaya, Hantu Bulan Emas mengitari bagian dalam kuil dengan sikap waspada. Namun begitu maklum kalau kuil itu kosong, Hantu Bulan Emas hentakkan kaki seraya berteriak.

“Bu Beng La Ma! Di bawah langit sudah tidak ada lagi tempat bagimu! Sia-sia kau lari dari tanganku!” Hantu Bulan Emas hentakkan kaki sekali lagi, lalu melesat keluar dan menuruni tangga batu dengan tampang beringas!

***

EMPAT

PENDEKAR 131 Joko Sableng terus berlari laksana dikejar setan. Bahkan mungkin karena khawatir diikuti orang, sesekali dia palingkan kepala ke belakang. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang mengikuti, barulah murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.

“Mungkin aku tidak bisa bertemu lagi dengan Mei Hua.... Hem.... Apa aku harus langsung menyelidik ke Perguruan Shaolin?! Hari ganda sepuluh sudah tidak lama lagi! Aku tak punya waktu banyak....”

Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, mendadak ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan. Joko cepat menyelinap. Namun belum sampai bergerak lebih jauh, di depan sana sejarak lima belas langkah, telah tegak menghadang seorang gadis muda! Pendekar 131 hentikan larinya dengan mata dibeliakkan memandang pada orang. Dia adalah seorang gadis berwajah jelita mengenakan pakaian merah. Rambutnya panjang digeraikan menutup sebagian pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung mancung dan bibir merah ranum.

“Hem.... Gadis-gadis di negeri ini ternyata cantik- cantik juga! Sayang sekali aku tengah menjalankan sesuatu yang sangat penting...,” kata Joko dalam hati.

Dia tersenyum dengan anggukkan kepala. Namun dia merasa heran, gadis berpakaian merah di seberang tetap diam tidak membuat gerakan atau berusaha buka mulut, membuat Joko pentang mata sekali lagi untuk memperhatikan hingga untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini saling tatap dengan tegak tak bergerak dan tak bersuara. Tampaknya murid Pendeta Sinting tak betah berdiam diri dan hanya saling pandang. Akhirnya dia angkat suara.

“Gadis cantik....” Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis berpakaian merah telah bersuara.

“Orang, tak dikenal! Benar kau adalah pemuda asing yang....”

Karena tadi ucapannya dipotong oleh si gadis, kini sebelum si gadis sempat lanjutkan ucapan, murid Pendeta Sinting ganti menukas. “Kau mungkin salah lihat! Aku bukan pemuda asing.... Aku orang negeri ini seperti halnya dirimu! Dan aku tidak heran dengan tuduhanmu, karena hal itu sudah sering terjadi! Aku sendiri heran, banyak orang yang pertama kali jumpa denganku mengatakan aku adalah orang asing!”

Si gadis melangkah maju. Sepasang matanya yang bulat dijerengkan memperhatikan dengan seksama sosok murid Pendeta Sinting dari atas hingga bawah. Melihat sikap si gadis, Pendekar 131 tidak tinggalbdiam. Dia ikut-ikutan melangkah maju dengan mata dipentang besar-besar memperhatikan orang. Dan sebelum si gadis sempat angkat suara, Joko telah mendahului.

“Aku harus teruskan perjalanan. Harap kau tidak menghadang!”

Si gadis hentikan langkah. Kepalanya bergerak menggeleng. Joko ikut hentikan langkah lalu kepalanya bergerak mengangguk. Bibirnya tersenyum. “Aku tidak akan menghadang jalanmu! Tapi kau harus berterus terang!”

“Hem.... Aku telah berterus terang padamu bahkan sebelum kau bertanya lebih jauh!” sahut murid Pendeta Sinting.

Si gadis tersenyum dingin. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain seraya berkata. “Jangan kau salah duga kalau aku bertanya tentang siapa dirimu!”

“Hem.... Aku tidak berburuk sangka. “Hanya aku merasa heran jika ada orang yang mengatakan aku adalah orang asing! Coba katakan apa yang membuatmu mengatakan aku orang asing?!”

Kepala si gadis kembali berpaling dan matanya memandang tajam pada murid Pendeta Sinting. “Aku tak bisa mengatakan. Tapi aku hampir merasa yakin kau bukan orang negeri ini!”

Karena tak mau membuang waktu dan lebih lagi tak mau dirinya diketahui, Pendekar 131 segera angkat suara seraya melangkah.,“Gadis cantik.... Harap katakan saja apa maumu sebenarnya!”

“Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”

“Maksudmu...?”

Si gadis terlihat sunggingkan senyum. “Kau telah dengar. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”

“Tentu kau punya maksud dengan keinginanmu itu!”

“Aku tak punya maksud apa-apa! Aku hanya sekadar ingin tahu!”

“Baik! Aku akan katakan apa keinginanmu. Tapi sebelumnya kau harus katakan siapa dirimu sebenarnya!” 

“Aku Siao Ling Ling....”

“Aku.... Kue Tong-Tong....”

Baru saja Joko sebutkan diri dengan Kue Tong-Tong, mendadak satu bayangan berkelebat. Gadis berbaju merah yang memperkenalkan diri bernama Siao Ling Ling palingkan kepala. Raut wajahnya seketika berubah. Sepasang matanya membelalak besar.

Pendekar 131 menoleh. “Mei Hua...,” desisnya ketika matanya melihat seorang gadis berparas cantik jelita tegak tidak jauh di seberang samping sana. Dia adalah seorang gadis muda mengenakan pakaian warna merah muda dengan rambut diberi pita. Gadis ini bukan lain memang Mei Hua. (Tentang pertemuan antara murid Pendeta Sinting dengan Mei Hua silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Wasiat Agung Dari Tibet)

Seperti halnya Siao Ling Ling, Mei Hua juga terlihat kaget demi melihat Siao Ling Ling. Sepasang matanya menatap tajam untuk beberapa saat dengan mulut terkancing rapat.

“Hem.... Dari gelagatnya, mereka berdua telah saling kenal. Hanya saja, mengapa mereka tampak terkejut?!” Joko membatin. Lalu buka suara.

“Mei Hua.... Aku senang bisa bertemu denganmu. Dengan begitu apa yang menjadi ganjalan hati gadis itu bisa lenyap!”

Mei Hua berpaling pada murid Pendeta Sinting. Namun gadis ini belum juga buka suara menyahut. Bahkan dia hanya memandang sesaat pada Joko. Di lain saat dia telah memandang kembali pada Siao Ling Ling.

“Hem.... Pemuda ini telah mengenal Mei Hua! Jadi apa benar bukan pemuda ini yang selama ini dikatakan orang asing dan tengah dicari beberapa orang?! Hanya saja, mengapa Mei Hua tiba-tiba muncul di sini?!” Siao Ling Ling berkata dalam hati. “Aku harus segera pergi.... Aku tak mau orang lain tahu apa yang tengah kulakukan!” Membatin begitu, tanpa buka suara lagi Siao Ling Ling berkelebat.

Namun bersamaan dengan itu Mei Hua melesat dan memotong gerakan Siao Ling Ling seraya berujar. “Harap tidak segera pergi! Kita perlu bicara!”

Siao Ling Ling urungkan niat teruskan kelebatan. Dia berpaling sesaat pada Pendekar 131 sebelum arahkan pandang matanya pada Mei Hua dan berucap. “Aku akan turuti keinginanmu. Tapi bukan di sini!”

“Hem...!” Mei Hua mendehem seraya anggukkan kepala dengan mata melirik pada murid Pendeta Sinting. Diam-diam gadis cantik berpakaian merah muda itu membatin. “Aku belum tahu apa maksud tujuannya sampai dia ikut campur tangan dalam urusan ini. Selama ini belum pernah kulihat dan kudengar dia turun tangan dalam urusan persilatan! Mungkinkah ini masih ada hubungannya dengan peta itu...?”

“Aku tak punya banyak waktu! Kalau kau ingin bicara, ikuti aku!” kata Siao Ling Ling. Dia menatap sejenak pada murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

Mei Hua tegak memperhatikan sesaat. Tanpa buka suara dan memandang pada Pendekar 131, dia berkelebat mengikuti Siao Ling Ling.

“Ada yang tak beres dengan mereka berdua! Sikap kedua gadis ini mencurigakan!” kata Joko dalam hati sembari melompat dan tegak menghadang gerakan Mei Hua. “Kita juga perlu bicara!” kata Joko.

Mei Hua hentikan gerakan. Dia masih memandang pada kelebatan sosok Siao Ling Ling saat buka mulut. “Katakan apa yang akan kau bicarakan!”

“Siapa gadis tadi?!” tanya Joko.

Raut wajah Mei Hua sedikit berubah. “Kau tertarik padanya?!”

Joko tersenyum seraya gelengkan kepala. “Dia memang cantik. Tapi kau lebih menarik....”

Air muka gadis di hadapan murid Pendeta Sinting tampak bersemu merah. Dia cepat sentakkan kepala sembunyikan perubahan wajahnya seraya berkata dengan suara pelan. “Kau telah dengar jika aku akan bicara dengan gadis tadi! Jadi harap segera katakan apa maumu!”

“Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis tadi!”

“Mengapa kau ingin tahu?!”

“Sebagai orang baru di negeri ini, sudah selayaknya aku ingin tahu....”

“Dia sahabatku.... Dan tentu kau masih ingat nama yang disebutkan!”

Joko anggukkan kepala. “Boleh aku tahu, apa yang akan kalian bicarakan?”

“Ini urusan sahabat dan perempuan! Harap kau tidak tertarik dengan apa yang akan kubicarakan dengannya karena kau sendiri punya tugas yang harus segera kau selesaikan!”

“Hem.... Gadis ini tampaknya telah tahu banyak tentang diriku! Tapi aku harus tetap hati-hati. Dia memang telah memberi peringatan tempo hari hingga aku bisa menyelinap ke shaolin. Tapi bukan berarti aku boleh mempercayainya! Siapa tahu ini adalah sebuah jebakan!”

“Masih ada yang ingin kau katakan?!” tanya Mei Hua seraya berpaling ke arah mana tadi Siao Ling Ling berkelebat. Karena Pendekar 131 tidak segera menjawab, Mei Hua menoleh dan berkata, “Kau harus tetap waspada dan lebih berhati-hati! Kejadian di Kuil Shaolin telah menyulut rasa saling curiga antara kaum persilatan di negeri ini. Hal ini tentu akan membuat pekerjaanmu tambah berat! Sekarang aku harus pergi!” 

Belum sampai Joko sempat menyahut, Mei Hua sudah berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kalau saja tidak tengah menghadapi urusan penting, aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan! Urusan perempuan tentu sangat menarik. Sebagai gadis muda dan berparas cantik, yang akan mereka bicarakan tentu masalah laki-laki!” gumam Joko sambil arahkan pandang matanya pada sosok Mei Hua Hingga lenyap di depan sana.

“Aku harus segera ke Kuil Shaolin. Dugaan Bu Beng La Ma dan Tiyang Pengembara Agung jika ada orang dalam yang terlibat saat terjadinya pertumpahan darah di kuil itu serta lenyapnya kotak wasiat yang berisi separo dari peta wasiat kurasa ada benarnya dan perlu diselidiki! Sayang.... Aku belum pernah melihat tampang Guru Besar Liang San. Tapi itu bukanlah hal yang sulit!”

Murid Pendeta Sinting memastikan sesaat kepergian Mei Hua dengan tegak agak lama seraya terus putar pandangan dan pasang telinga. Begitu yakin dia sendirian, dia segera berkelebat.

***

LIMA

KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang teruskan perjalanan menuju Kuil Shaolin. Kita kembali sejenak ke tempat kediaman Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Seperti dituturkan, Guru Besar Liang San berhasil berkelebat pergi hindarkan diri dari terlibat bentrok lebih lama dengan Hantu Bulan Emas. Namun sebenarnya Guru Besar Liang San tidak begitu saja meninggalkan tempat itu. 

Secara diam-diam dia menyelinap dan mendekam sembunyi untuk mengetahui apa yang akan diperbuat Hantu Bulan Emas terhadap Bu Beng La Ma. Saat itulah mendadak muncul Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah. Kedua orang ini sengaja mencari Bu Beng La Ma karena mereka yakin orang yang menyelamatkan Pendekar 131 adalah Bu Beng La Ma.

Antara Hantu Bulan Emas dengan Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah sempat terjadi adu mulut. Malah kalau saja Bayangan Tanpa Wajah tidak segera menengahi, niscaya akan terjadi bentrok antara Ratu Selendang Asmara dengan Hantu Bulan Emas. Hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan dan mereka bertiga naik ke Kuil Atap Langit bersama-sama. Namun mereka bertiga tidak lagi menemukan Bu Beng LaMa.

Saat Bayangan Tanpa Wajah melesat turun dari Kuil Atap Langit dan kemudian disusul oleh Ratu Selendang Asmara, Guru Besar Liang San yang terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya tampaknya sudah dapat membaca keadaan. Tanpa pikir panjang lagi Guru Besar Liang San berkelebat pergi. Berlari kira-kira seratus tombak, Guru Besar Liang San berhenti lalu melompat menyelinap. Dia duduk bersandar pada satu batangan pohon tidak begitu besar yang di sekitarnya diranggasi semak belukar lebat hingga sosoknya tidak kelihatan.

“Urusan peta wasiat ini nyatanya tidak semudah yang kuduga! Urusan di dalam Perguruan Shaolin memang telah tuntas. Namun urusan separo dari peta wasiat itu memerlukan waktu agak lama.... Apa yang harus kulakukan sekarang?! Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah, Hantu Bulan Emas, tampaknya sudah bergerak untuk menjajaki meski mereka tidak secara jelas mengatakannya! 

Bu Beng La Ma sendiri rupanya ikut terlibat dalam urusan ini! Sementara aku datang terlambat.... Pemuda asing itu telah pergi! Hem.... Apakah pemuda asing itu tahu masalah hari ganda sepuluh?! Jika dia tahu, tentu dia akan menuju Kuil Shaolin! Tapi kalau dia tidak tahu.... Maka urusan ini akan berantakan!”

Guru Besar Liang San terdiam beberapa lama. Kepalanya disandarkan pada batangan pohon. Saat lain kembali dia bergumam sendiri. “Hari ganda sepuluh sudah tinggal tiga hari di muka. Tiga hari bukan waktu yang cukup untuk mengejar pemuda asing itu! Hem.... Terpaksa aku akan menunggunya di Perguruan Shaolin. Kalau dia tidak muncul dalam dua hari di depan, aku akan mengambil kotak wasiat! 

Meski rencana besar ini gagal, tapi setidaknya aku telah memperoleh separo dari peta wasiat itu. Dan siapa tahu, kelak kemudian hari aku mendapatkan pemuda asing itu. Jika peta wasiat utuh telah berada di tanganku, aku akan berusaha menguak dengan caraku sendiri mesti tidak tepat pada hari ganda sepuluh bulan dan tahun ini! Aku yakin bisa melakukannya walau aku harus minta bantuan beberapa orang! Tapi....”

Guru Besar Liang San putus gumamannya. Kepalanya ditarik lalu disentakkan ke samping dengan mata dipentang besar. “Aku tidak sendirian di tempat ini! Mungkinkah dia Hantu Bulan Emas? Atau Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah? Atau jangan-jangan dia adalah Bu Beng LaMa...!”

Paras wajah Guru Besar Liang San berubah tegang. Namun diam-diam dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap lain dia bergerak bangkit dengan mata diarahkan pada satu jurusan. Guru Besar Liang San tampak terkesiap dan makin tegang tatkala begitu agak lama menyiasati keadaan ternyata dia tidak menemukan siapa-siapa! Padahal dia yakin dia tidak tengah sendirian ditempat itu.

“Gerakan semak tanpa adanya angin yang berhembus satu bukti ada tenaga lain yang menggerakkan! Tapi aku tidak bisa melihat sosok orang yang menggerakkan! Ini satu bukti pula jika orang di balik semua ini bukan orang sembarangan!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Kepalanya diputar berkeliling dengan mata makin dijerangkan. Namun sejauh ini dia belum juga berhasil menemukan siapa-siapa.

“Amitaba.... Mudah-mudahan aku tidak salah pandang! Dan mudah-mudahan pula kehadiranku tidak membuat orang terkejut....”

Mendadak satu suara terdengar. Saat yang sama satu bayangan berkelebat dari samping kiri. Semak belukar bergerak menyibak. Tahu-tahu sejarak sepuluh langkah di hadapan Guru Besar Liang San telah muncul satu sosok tubuh!

Guru Besar Liang San berpaling. Karena dari suara orang dia sudah tahu kalau yang muncul bukan salah satu dari orang yang dicurigainya, Guru Besar Liang San menarik napas lega meski dia belum bisa sembunyikan rasa kejutnya. Dari tempatnya tegak, Guru Besar Liang San melihat satu sosok berpakaian compang-camping.

Dia adalah seorang laki-laki yang wajahnya tidak kelihatan karena tertutup oleh sebuah benda bulat besar yang berada tepat di depan wajahnya. Benda bulat itu digantungkan pada sebuah tambang mirip cemeti dan pangkal tambang itu berada di bagian punggung orang. Anehnya, meski hanya merupakan sebuah tambang, namun tambang itu lurus tegak di atas punggung orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala, tambang itu melengkung hingga benda bulat yang berada di ujung tambang tepat menutupi wajah orang!

Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San memperhatikan orang di hadapannya dengan mulut terkancing. Namun diam-diam dia membatin. “Selama bergulat di arena rimba persilatan, baru kali ini aku melihat orang seperti dia! Aku juga belum pernah-dengar ciri-ciri kaum persilatan yang bentuknya seperti manusia ini! Tapi dari nada suaranya, sepertinya dia telah mengenaliku....”

Baru saja Guru Besar Liang San membatin, sosok laki-laki di hadapannya membuat gerakan. Kedua kakinya dipentangkan melebar. Sementara tangan kanannya diputar ke belakang. Guru Besar Liang San kerutkan dahi dan memperhatikan lebih seksama. Guru Besar Liang San terdengar bergumam tak jelas kala sepasang matanya melihat satu bumbung agak besar perlahan-lahan turun dari bagian belakang tubuh orang.

Bumbung dari bambu berwarna kuning itu diberi tali di bagian kanan kirinya. Bumbung bambu itu berhenti tepat di bawah selangkangan orang. Begitu gerakan bumbung terhenti, sosok di hadapan Guru Besar Liang San tarik pulang tangan kanannya ke depan lalu ditakupkan ke tangan kiri yang berada didepan dada. Saat lain terdengar dia berucap.

“Amitaba.... Mudah-mudahan pertemuan ini membawa berkah.... Mudah-mudahan pula kau tidak terkejut kalau aku mengenalimu meski kita sama yakin jika antara kita belum pernah bertemu apalagi berkenalan! Semua ini karena kau adalah orang yang sudah dikenal banyak kalangan sebagai salah satu guru besar di Perguruan Shaolin!”

Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sedari tadi dia coba gerakkan kepala untuk melihat wajah orang. Namun begitu kepalanya bergerak, sosok laki-laki di hadapannya seakan tahu. Dia juga bergerak mengikuti gerakan kepala Guru Besar Liang San hingga Guru Besar Liang San gagal melihat wajah orang.

“Amitaba....” Guru Besar Liang San akhirnya buka suara. “Terima kasih kau telah mengenaliku. Namun rasanya aku sulit untuk menentukan siapa dirimu! Harap kau bersedia mengatakan siapa kau sebenarnya!” 

"Wuuttt!" Kepala laki-laki di hadapan Guru Besar Liang San bergerak ke belakang. Satu sinar putih berkiblat. Benda bulat yang berada di ujung tambang dan tadi menutup wajah orang bergerak ke atas. Kini tambang itu lurus keatas!

Guru Besar Liang San sempat terkesiap. Namun karena menangkap jika gerakan orang tidak untuk lepaskan pukulan meski sesaat tadi berkiblat sinar putih, Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat gerakan walau diam-diam dia terus waspada. Dia hanya gerakkan kepala mengikuti gerakan benda bulat yang berada di ujung tambang. Benda bulat itu ternyata adalah sebuah batu berwarna putih mengkilat dan tampak berputar-putar di atas kepala orang. Putaran batu itu membersitkan sinar putih berkilau.

Guru Besar Liang San luruskan kepala memandang pada wajah orang. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Kepalanya ditumbuhi rambut putih yang dikelabang kecil-kecil hingga menyerupai gerombolan ulat. Sepasang matanya bulat besar dan menjorok keluar seakan hendak meloncat keluar dari rongganya. Kumisnya lebat dan telah memutih. Begitu lebatnya kumis si kakek, Guru Besar Liang San tidak bisa melihat bentuk mulut orang!

Belum sampai Guru Besar Liang San buka mulut lagi untuk bertanya karena orang di hadapannya belum menjawab, mendadak si kakek gerakkan kembali kepalanya. Tambang yang tegak lurus dari punggung orang ini melengkung, saat lain batu putih yang ada di ujung tambang telah menutup kembali wajahnya. Saat yang sama tangan kanan si kakek bergerak ke belakang. Bumbung bambu yang berada di bawah selang-kangannya perlahan-lahan naik ke atas lalu lenyap ke balik punggungnya.

“Amitaba...,” kata si kakek seraya tarik kembali tangannya dan ditakupkan di depan dada. “Bukan aku tak mau sebutkan diri. Tapi apalah artinya diriku.... Mudah-mudahan kau tidak kecewa!”

Meski hatinya tidak enak dengan sambutan orang, namun Guru Besar Liang San coba tersenyum dan berkata. “Aku tidak memaksa kalau kau keberatan untuk sebutkan diri. Namun harap kau sudi menjelaskan berkah apa yang tadi kau katakan atas pertemuan kita ini!”

“Amitaba.... Sebenarnya aku sungkan mengatakannya. Tapi demi keselamatan dan kedamaian, mudah-mudahan kau dapat memahaminya meski diperlukan pengertian besar!”

Dada Guru Besar Liang San berdebar. “Aneh.... Dia tidak hanya mengenaliku. Tapi sepertinya tahu urusan yang tengah kuhadapi!”

“Guru Besar Liang San.... Tidak semua kejadian akan berjalan sesuai rencana.... Karena di atas rencana masih ada yang menentukan. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu....”

Paras wajah Guru Besar Liang San berubah. Sesaat dia rasakan aliran darahnya laksana sirna. Namun dia tak hendak tunjukkan sikap kalau ucapan orang tepat dengan apa yang tengah dihadapi. Dia cepat sambuti ucapan orang.

“Aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu! Harap kau mau menjelaskan!”

Kakek di hadapan Guru Besar Liang San perdengarkan suara tawa panjang sebelum akhirnya sambungi dengan ucapan. “Rasanya sulit bagiku turuti permintaanmu.... Lagi pula ucapanku tidak perlu penjelasan lagi! Mudah-mudahan kau tidak kecewa....”

Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh sedikit berguncang. “Keparat benar! Apa dia benar-benar tahu rencanaku selama ini?! Tapi dari mana dia bisa tahu..? Rencana ini hanya aku dan Baginda Ku Nang yang tahu. Apakah Baginda Ku Nang yang mengatakannya?! Tapi kalau benar, mengapa dia memberi peringatan padaku?! Ada yang tak beres dengan semua ini! Aku harus tahu semuanya....”

Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang San angkat suara. “Kau tampaknya kenal akrab dengan penguasa negeri ini. Betul?!”

“Amitaba...,” kata kakek di hadapan Guru Besar Liang San seraya gelengkan kepala. Batu Bulat di depan wajahnya ikut bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepala si kakek hingga Guru Besar Liang San tidak bisa melihat mimik wajah orang. “Pada dirimu saja aku sungkan mengatakan siapa diriku, bagaimana mungkin aku bisa kau katakan kenal akrab dengan penguasa negeri ini?! Mudah-mudahan telingaku yang salah dengar dan kau salah ucap....”

“Kau tidak salah dengar dan aku tidak keliru berkata. Mungkin kau yang coba menutup diri!”

“Amitaba...! Harap kau tidak berburuk sangka dengan sikapku. Aku memang selalu menutup mukaku dengan batu putih ini. Tapi bukan berarti aku suka menutupi diri! Apa yang kuucapkan hanyalah demi kedamaian dan keselamatan....”

“Hem.... Begitu?! Lalu dari mana kau tahu kalau aku punya rencana?!” tanya Guru Besar Liang San dengan suara agak tinggi.

Si kakek terdiam beberapa lama. Sementara Guru Besar Liang San melangkah maju dua tindak. Sepasang matanya menebar berkeliling. Meski dia merasa yakin si kakek muncul sendirian, namun tampaknya Guru Besar Liang San tidak mau berlaku ayal. Bagaimanapun juga dia masih khawatir ada orang lain di tempat itu. Dia tidak mau apa yang akan diucapkan kakek di hadapannya didengar orang lain.

“Guru Besar Liang San.... Sekali lagi mudah-mudahan kau tidak kecewa dengan jawabanku. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang jadi pertanyaanmu! Dan yang pasti, aku tidak kenal akrab dengan penguasa negeri ini!”

“Baik! Aku tanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa rencanaku tidak akan berjalan sebagaimana mestinya?!”

“Aku tidak mengatakan begitu.... Aku tadi mengatakan....”

Belum sampai orang teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menyahut. “Benar! Kau memang tidak berkata begitu. Tapi bukankah nada bicaramu menjurus ke arah sana?! Kau seakan tahu apa rencanaku dan menduga rencanaku tidak akan berhasil!”

Sekali lagi kepala si kakek bergerak menggeleng. “Harap kau tidak terlalu jauh menduga. Kalaupun kau punya rencana, mungkin saat ini satu kebetulan saja kalau apa yang baru kuucapkan ada sangkut pautnya dengan apa yang kini kau hadapi!”

Guru Besar Liang San menyeringai dingin. “Tidak mungkin kau berkata sekaligus meramal apa yang akan terjadi kalau kau tidak tahu apa yang kulakukan! Pasti kau mendapat keterangan dari seseorang. Dan jangan kira aku tak tahu siapa orang yang telah memberimu keterangan!”

“Guru Besar Liang San.... Kita baru pertama kali ini bertemu. Aku berharap mudah-mudahan pertemuan ini bukan awal dari sebuah sengketa dan salah paham.... Sekarang aku harus segera pergi.... Kalau kau merasa apa yang kuucapkan tadi ada sangkut pautnya dengan dirimu, kuharap kau melupakan semuanya! Dan anggap aku tidak pernah berkata apa-apa padamu.... Selamat tinggal!”

“Harapanmu hanya tinggal harapan kalau kau tidak mau mengatakan dari mana kau mendapatkan keterangan!” sahut Guru Besar Liang San.

Seraya berkata begitu, Guru Besar Liang San berkelebat memotong gerakan si kakek dan tegak tujuh langkah di hadapan orang dengan mata terpentang besar dan kedua tangan terangkat keatas.

Si kakek urungkan niat. Dia perdengarkan tawa pendek pelan sebelum akhirnya berujar. “Semua rencana ada yang menentukan.... Amitaba... Dan kalau kau ingin tahu dari mana aku mendapat keterangan, harap kau bertanya pada Sang Penentu Rencana....”

Tampang Guru Besar Liang San berubah beringas. “Aku yakin dia adalah kaki tangan Baginda Ku Nang. Dia sengaja diberi tugas untuk mengalihkan perhatianku.... Aku harus segera mengambil kotak wasiat itu sebelum orang lain mendahului! Tapi orang ini harus kulenyapkan dahulu. Dia bisa merusak semua rencana!”

“Orang tak dikenal! Aku tanya sekali lagi! Dan jawabanmu adalah penentu dari keselamatan selembar nyawamu!”

“Aku telah berkata tak mengharapkan pertemuan ini adalah awal sebuah sengketa. Aku juga telah mengatakan apa adanya tentang apa yang kuucapkan. Rasanya aneh kalau aku harus menjawab....”

“Cukup!” potong Guru Besar Liang San. “Sekarang jawab! Dari mana kau mendapat keterangan?!”

Yang ditanya tidak menyahut dengan ucapan melainkan dengan tawa pendek. Guru Besar Liang San tak bisa lagi meredam hawa kemarahan. Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak!

***

ENAM

DUA gelombang dahsyat melesat ganas. Ranggasan semak belukar menyibak dan langsung amblas porak-poranda membubung ke udara. Anehnya, meski mendapat serangan mendadak, si kakek bukannya segera membuat gerakan menghadang atau hindarkan diri. Sebaliknya tertawa berderai hingga batu putih di ujung tambang yang terus menutupi wajahnya tampak bergoyang-goyang. Sesaat begitu gelombang angin setengah tombak lagi menyapu, si kakek sentakkan kepalanya kebelakang.

"Wuttt!" Batu putih di ujung tambang melenting ke udara. Bersamaan dengan itu satu sinar putih berkilau berkiblat perdengarkan suara bergemuruh.

Blamm! Blammm!

Terdengar ledakan keras dua kali berturut-turut. Gelombang yang melesat dari kedua tangan Guru Besar Liang San semburat mental dan berbalik menerjang ke arah Guru Besar LiangSan! Guru Besar Liang San terpana sesaat. Saat lain dia berkelebat ke samping.

"Brakkk!" Pohon di mana tadi Guru Besar Liang duduk bersandar berderak roboh. Sementara batu putih di ujung tambang kembali melengkung dan berhenti tepat menutupi wajah si kakek!

“Guru Besar Liang San.... Harap kita sudahi kesalahpahaman ini! Kalau tidak....” Si kakek tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya gerakkan kepala ke samping. Batu putih di hadapannya ikut bergerak.

Guru Besar Liang San yang sudah tidak sabar tak hiraukan ucapan orang. Mungkin merasa maklum jika orang yang dihadapi memiliki ilmu tinggi, dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Saat lain kembali kedua tangannya diangkat. Namun mendadak Guru Besar Liang San urungkan niat untuk lepas pukulan. Masih dengan kedua tangan di atas kepala, kepalanya bergerak berpaling ke arah mana kepala si kakek menoleh.

“Guru Besar Liang San.... Aku tahu kalau kau tidak senang dengan kehadiran mereka.... Untuk itu, biarkan aku pergi!”

“Hem... Dua sosok bayangan tampak berlari menuju kemari,” bisik Guru Besar Liang San dengan picingkan mata. “Jahanam! Mereka adalah Ratu Selen-dang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah! Sialan benar! Jangan-jangan Hantu Bulan Emas juga tengah menuju kemari! Aku tidak takut dengan mereka.... Tapi untuk saat ini tidak ada gunanya melayani mereka! Ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan!”

Guru Besar Liang San turunkan kedua tangannya. Kepalanya berpaling pada kakek di seberang sana. “Hem.... Tampaknya dia telah tahu pula urusan di bawah Kuil Atap Langit. Jadi secara diam-diam selama ini aku diikuti orang tanpa sadar! Siapa manusia ini sebenarnya?!”

“Guru Besar Liang San....”

“Orang tak dikenal!” tukas Guru Besar Liang San sebelum si kakek lanjutkan ucapan. “Hari ini nyawamu selamat. Tapi ini adalah hari kematianmu yang tertunda! Ingat! Kelak sudah tidak ada liang bagimu untuk selamat dari tanganku!”

“Amitaba.... Mudah-mudahan hari ini telingaku salah dengar! Mudah-mudahan pula kau hanya main-main dengan ucapanmu....”

Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah buka mulut hendak menyahut. Namun begitu kepalanya berpaling lagi ke arah mana kepala si kakek terus mengarah, Guru Besar Liang San cepat katupkan mulut. Saat lain dia berkelebat dan lenyap di tengah ranggasan semak belukar. Hampir bersamaan dengan berlalunya sosok Guru Besar Liang San, dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di samping batangan pohon yang tumbang akibat gelombang pukulan Guru Besar Liang San yang mental balik.

Di sebelah kanan tumbangan pohon adalah seorang nenek mengenakan pakaian panjang berwarna hitam. Di pundaknya menyelempang sebuah selendang hitam yang menjulai panjang hingga menyapu tanah. Nenek ini tidak lain adalah Ratu Selendang Asmara. Sedang di sebelah kiri batangan pohon adalah seorang laki-laki berpakaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam lebat disanggul tinggi ke atas. 

Paras wajahnya agak bulat dengan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Dan ternyata bukan hanya rambut, kumis, dan jenggotnya yang hitam. Namun sekujur kulit tubuh laki-laki ini juga berwarna hitam legam! Laki-laki ini bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah.

“Kau dengar suara tadi?!” Si nenek buka suara dengan kepala berputar. Sepasang matanya dijerengkan tak berkesip.

“Telingaku tidak tuli! Tumbangnya pohon ini juga satu bukti bahwa baru saja terjadi bentrok di sekitar tempat ini! Tapi mana manusianya?!”

Sahutan Bayangan Tanpa Wajah sebenarnya membuat dada Ratu Selendang Asmara agak terbakar. Namun gejolak hawa amarahnya lenyap seketika saat sepasang matanya menumbuk batu putih yang bergoyang-goyang di atas ranggasan semak belukar.

Ratu Selendang Asmara memperhatikan sesaat. Lalu berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah. Sementara di lain pihak, mendadak kepala Bayangan Tanpa Wajah juga menoleh sesaat setelah sepasang matanya melihat apa yang juga dilihat oleh si nenek. Belum sampai ada yang sempat buka mulut atau membuat gerakan, mendadak terdengar suara, tawa panjang yang bersumber dari ranggasan semak di mana terlihat batu putih yang bergoyang-goyang.

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah luruskan kepala ke arah gerakan batu putih. Saat bersamaan satu sosok tubuh muncul dari semak belukar. Begitu cepatnya gerakan sosok ini, hingga baik Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan Tanpa Wajah tidak bisa melihat raut wajah orang yang kini tertutup batu putih. Kedua orang ini hanya bisa melihat bagian tubuh orang di bawah kepala.

“Kau mengenali orang itu?!” Bayangan Tanpa Wajah berbisik tanpa berpaling. Sebaliknya edarkan pandangan berkeliling karena dia yakin pasti ada lagi orang lain di tempat itu.

Sementara itu, begitu melihat munculnya sosok tubuh yang tidak sempat dilihat raut wajahnya, Ratu Selendang Asmara kerutkan dahi seraya dongakkan kepala. Diam-diam si nenek berkata dalam hati. “Aku memang belum pernah bertemu dengan orang ini.... Tapi dari ciri-cirinya, apakah ini manusianya yang dikenal dengan julukan Dewa Cadas Pangeran?! Kalau saja aku tidak melihat sendiri, tentu aku masih belum percaya dengan apa yang pernah kudengar.... Tapi kalau memang dia adalah Dewa Cadas Pangeran, masih ada ciri yang belum kulihat dari apa yang pernah kudengar!”

Ratu Selendang Asmara luruskan kepalanya dan kembali memandang ke arah orang yang tegak dengan wajah tertutup bulatan batu putih di ujung tambang. Hampir bersamaan dengan gerakan kepala Ratu Selendang Asmara, tangan kakek yang wajahnya tertutup bulatan batu putih tampak bergerak berputar ke bela- kang. Saat lain dari bagian punggungnya melorot sebuah bumbung bambu dan berhenti tepat di bawah selangkangannya.

“Astaga! Dia benar-benar Dewa Cadas Pangeran!” seru Ratu Selendang Asmara dalam hati seraya memperhatikan gerakan bumbung bambu.

“Orang aneh.... Siapa dia sebenarnya?!” Bayangan Tanpa Wajah kembali bergumam. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada bumbung bambu di bawah selangkangan orang.

Mungkin tak sabar dan tak bisa mengenali orang, sementara Ratu Selendang Asmara tidak juga menyahuti pertanyaannya, laki-laki berkulit hitam legam ini menoleh pada si nenek.

“Kau mengenali orang ini?!”

“Hem.... Nyatanya telingaku masih lebih mendengar daripada telingamu!” desis Ratu Selendang Asmara tanpa berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah.

Meski dadanya panas mendengar ucapan si nenek, namun Bayangan Tanpa Wajah masih menahan diri. Namun dia tak hendak ulangi pertanyaannya. Dia menunggu dengan kepala kembali disentakkan menghadap ke depan.

“Dengar! Dia adalah seorang tokoh jajaran atas generasi lama yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Dewa Cadas Pangeran!”

“Dari mana kau tahu nama gelar itu?!” tanya Bayangan Tanpa Wajah seolah tidak percaya dengan keterangan Ratu Selendang Asmara.

“Kau tak perlu tahu. Tapi kau lihat batu putih yang menutupi wajahnya! Batu putih itu bukan batu sembarangan. Batu itu diambil dari sebuah lembah yang dikenal dengan Lembah Cadas Pangeran! Itulah me- ngapa lantas kalangan dunia persilatan menggelarinya dengan Dewa Cadas Pangeran!”

“Dan kau tahu,” kata Ratu Selendang Asmara melanjutkan setelah agak lama terdiam. “Selain berilmu sangat tinggi, orang itu termasuk orang langka dan aneh! Selama sepuluh tahun, dia hanya kencing satu kali! Itu pun hanya beberapa tetes! Bumbung bambu di bawah selangkangannya adalah tetesan air kencingnya selama dia hidup! Aku memang belum membuktikan dengan mata kepalaku sendiri. Tapi menurut yang kudengar, meski tetesan air kencing itu telah mengendap berpuluh-puluh tahun, namun tetesan air itu tidak menguaplenyap!”

“Hem.... Aku ingin buktikan kebenaran ucapanmu!” kata Bayangan Tanpa Wajah. Laki-laki berwajah hitam legam ini maju tiga tindak. Lalu angkat suara. “Benar kau adalah manusia bergelar Dewa Cadas Pangeran?!”

Kakek yang wajahnya tertutup batu putih goyangkan pantatnya. Bumbung bambu di bawah selangkan- gannya bergerak ke atas sebelum akhirnya lenyap tidak kelihatan. “Ah, nyatanya masih ada orang yang mengenaliku. Mudah-mudahan aku juga masih bisa mengenali siapa adanya kalian berdua....”

“Hem.... Nada ucapannya jelas kalau dia memang bergelar Dewa Cadas Pangeran! Tapi untuk apa aku peduli dengannya?! Yang penting saat ini adalah mencari jejak lenyapnya pemuda asing itu!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. Dia melangkah mundur menjajari Ratu Selendang Asmara.

“Kita harus segera tinggalkan tempat ini! Siapa pun dia adanya, tidak penting bagi urusan kita!”

Ratu Selendang Asmara gelengkan kepala. “Kau salah! Menurut apa yang pernah kudengar, meski dia jarang sekali muncul namun dia banyak tahu tentang apa yang terjadi dalam dunia persilatan! Pertemuan ini sangat berharga bagi kita.... Aku hampir merasa yakin dia tahu apa yang tengah kita cari! Kita minta petunjuk padanya!”

Ratu Selendang Asmara tidak menunggu sahutan Bayangan Tanpa Wajah. Dia segera melangkah ke depan beberapa tindak dan berhenti lima langkah di hadapan si kakek yang dalam dunia persilatan memang pernah punya nama besar meski hanya sebagian orang yang tahu. Kakek ini tidak lain memang seorang tokoh yang digelari orang dengan Dewa Cadas Pangeran. 

Ratu Selendang Asmara tegak dengan kepala bergerak ke samping kiri kanan seolah ingin melihat raut wajah orang. Namun bersamaan dengan gerakan kepala si nenek, kepala Dewa Cadas Pangeran juga ber- gerak seirama, hingga Ratu Selendang Asmara gagal untuk mengetahui bagaimana raut wajah orang.

“Dewa Cadas Pangeran.... Senang sekali bisa berjumpa dengan tokoh sepertimu. Kalau tidak keberatan, mau kau jawab beberapa pertanyaanku?!”

Dewa Cadas Pangeran tertawa sesaat sebelum akhirnya perdengarkan suara. “Sosokmu mengingatkan aku pada seseorang yang dalam kancah dunia persilatan dijuluki Ratu Selendang Asmara.... Mudah-mudahan aku tidak salah ucap!”

Ratu Selendang Asmara sempat terkejut mendapati orang telah tahu siapa dirinya meski dia merasa yakin belum pernah bertemu. Namun hal ini lebih menguatkan keyakinan si nenek kalau orang di hadapannya dapat memberi petunjuk. Sementara Bayangan Tanpa Wajah juga tampak kaget. Dia kerutkan dahi dan berkata dalam hati.

“Mereka belum pernah bertemu. Tapi nyatanya dia telah tahu siapa adanya orang.... Apakah dia juga tahu siapa aku adanya?!”

Baru saja Bayangan Tanpa Wajah membatin begitu, Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Batu putih di hadapannya ikut bergerak. Lalu terdengar ucapan. “Mudah-mudahan aku juga tak salah kira dengan sahabat yang tegak di belakang sana.... Bukankah kau adalah seorang tokoh yang dikenal dengan Bayangan Tanpa Wajah...?”

Baik Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan Tanpa Wajah tak dapat lagi menahan rasa kejut masing-masing. Dan sebelum kedua orang ini ada yang angkat suara, Dewa Cadas Pangeran telah perdengarkan ucapan lagi.

“Sebagai sahabat, dengan senang hati aku akan menjawab beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan padaku.... Mudah-mudahan jawabanku nanti tidak membuatmu kecewa apalagi bisa menimbulkan kesalah-pahaman dan membuka sebuah urusan baru....”

“Terima kasih...,” kata Ratu Selendang Asmara. Nenek ini berpaling sesaat pada Bayangan Tanpa Wajah dan memberi isyarat dengan jari. Bayangan Tanpa Wajah maju dan tegak menjajari.

“Tanyakan di mana sebenarnya peta wasiat itu dan siapa sebenarnya saat ini yang memegangnya.... Tanyakan juga ke mana kira-kira perginya pemuda asing yang tengah kita cari jejaknya!” Bayangan Tanpa Wajah segera berbisik.

“Dewa Cadas Pangeran.... Selama bertahun-tahun semua kalangan persilatan telah tahu jika biara Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat. Dan mungkin kau juga telah tahu kalau beberapa waktu yang lalu telah terjadi musibah di Perguruan Shaolin. Aku tak tahu apakah kejadian di biara Perguruan Shaolin ada hubungannya dengan peta wasiat atau tidak. Yang pasti, kami ingin tahu, di mana sebenarnya peta wasiat itu saatini?!”

“Amitaba.... Sebagai orang rimba persilatan, aku tak kaget dengan pertanyaanmu...,” ujar Dewa Cadas Pangeran. Batu putih di ujung tambang tampak bergerak ke atas mengikuti irama gerakan kepala Dewa Cadas Pangeran yang mendongak. Untuk beberapa lama orang ini terdiam. Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah menunggu tanpa ada yang membuat gerakan atau buka suara.

“Biara Perguruan Shaolin memang menyimpan sebuah peta wasiat!” Akhirnya Dewa Cadas Pangeran lanjutkan ucapan. “Namun peta wasiat itu terpisah satu sama lain.... Kalau kalian ingin tahu atau memilikinya, kalian harus dapat menemukan keduanya.... Hanya saja separo peta wasiat itu saat ini tidak bisa ditentukan tempatnya.... Peta itu akan terus berpindah tempat! Sementara separonya lagi tersimpan di sebuah tempat tidak jauh dari sebuah aliran sungai....”

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah saling pandang tidak mengerti ucapan Dewa Cadas Pangeran. “Dewa Cadas Pangeran.... Aku tidak mengerti maksudmu! Bagaimana mungkin sebuah peta wasiat terus berpindah tempat?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

“Ratu.... Itu satu bukti kalau separo peta wasiat itu telah berada dalam genggaman tangan orang. Jadi peta wasiat itu akan terus berpindah mengikuti ke mana orang itu melangkah! Sedangkan separonya lagi sudah menetap di satu tempat yang tadi sudah kukatakan....”

“Siapa orang yang kini menggenggam separo dari peta wasiat itu?!” Bayangan Tanpa Wajah cepat ajukan
tanya.

Sepasang mata jereng Dewa Cadas Pangeran menatap lekat-lekat pada batu putih di hadapannya. “Sayang sekali aku tidak bisa menyebut siapa orangnya karena terus terang aku belum mengenalnya....”

“Tapi kau bisa mengatakan bagaimana ciri-cirinya!” Kali ini Ratu Selendang Asmara yang angkat suara.

Bola mata Dewa Cadas Pangeran berputar liar pandangi bundaran batu putih yang menutupi wajahnya. Kejap kemudian terdengar suara jawabannya. “Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Dia datang dari seberang laut....”

“Han Ko!” seru Ratu Selendang Asmara.

“Pemuda asing itu!” Bayangan Tanpa Wajah mendesis.

Yang dimaksud Ratu Selendang Asmara dengan Han Ko bukan lain memang murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Karena saat pertama kali bertemu, Pendekar 131 sebutkan diri bernama Han Ko pada si nenek.

“Sekarang jadi jelas dan aku tidak ragu-ragu lagi! Selama ini aku memang masih bimbang...,” kata Ratu Selendang Asmara dalam hati. “Dewa Cadas Pangeran.... Terima kasih atas keteranganmu. Sekarang harap kau sudi mengatakannya padaku. Ke mana kira-kira pemuda itu pergi?!”

Dewa Cadas Pangeran kembali tengadah dengan mata menatap lekat-lekat pada bulatan batu putih di depan wajahnya. Saat kemudian dia angkat tangan kanannya dan diluruskan menunjuk pada satu arah. “Dia telah mendapat separo dari peta wasiat. Tentunya dia ingin mengambil separonya lagi. Saat ini dia tengah menuju sumber di mana peta wasiat pertama itu disimpan!”

Kepala Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah sama bergerak ke arah mana tangan kanan Dewa Cadas Pangeran bergerak menunjuk.

“Biara Perguruan Shaolin!” hampir bersamaan, Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan gumaman.

“Sebelum terlambat, kita harus cepat ke sana!” Bayangan Tanpa Wajah berucap.

Entah karena merasa gembira dapat petunjuk, tanpa buka suara lagi Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah membuat gerakan berkelebat. Namun sebelum kedua orang ini sempat bergerak lebih jauh, mendadak Dewa Cadas Pangeran goyangkan kepalanya ke atas.

"Wuttt!" Tambang yang berpangkal di punggungnya melenting dan kini tegak lurus ke atas. Bersamaan itu satu sinar putih berkiblat perdengarkan deruan keras, membuat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah bukan saja urungkan kelebatan, tapi cepat melompat mundur dan kerahkan tenaga dalam pada kaki masing-masing, karena mereka berdua merasakan getaran hebat!

“Harap tidak pergi dahulu....” Dewa Cadas Pangeran berkata. Kepalanya digerakkan ke bawah. Bundaran batu putih bergerak dan cepat menutup kembali raut wajahnya hingga si nenek dan Bayangan Tanpa Wajah tidak sempat melihat paras wajahnya.

Tindakan Dewa Cadas Pangeran membuat paras Bayangan Tanpa Wajah yang hitam legam berubah rata laksana tidak berbentuk. Pertanda jika orang ini telah diamuk hawa amarah. Mendapati gelagat tidak baik, Ratu Selendang Asmara cepat bersuara.

“Harap tidak membuat masalah dengan dia! Bagaimanapun juga dia telah memberi keterangan sangat berharga pada kita! Kita turuti apa yang dia kehendaki!”

“Tapi....”

“Aku tak mau dengar dalih!” potong si nenek. “Lagi pula aku yakin, apa yang dikehendakinya tidak mungkin merugikan kita!”

Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewa Cadas Pangeran. “Dewa Cadas Pangeran.... Kau mau mengatakan sesuatu?!”

***
TUJUH

BATU putih di ujung tambang bergerak perlahan ke atas tanda kepala Dewa Cadas Pangeran mendongak. Saat kemudian terdengar ucapan. “Kalian telah mendapat jawaban dari apa yang kalian tanyakan.... Mudah-mudahan kalian tidak segan untuk juga jawab beberapa tanyaku!”

“Aneh.... Dia telah tahu banyak apa yang tidak diketahui orang lain. Mengapa dia masih akan ajukan tanya?!” Diam-diam Ratu Selendang Asmara membatin. Lalu buka suara. “Kau telah menjawab pertanyaanku. Adalah kurang pantas kalau aku tidak bersedia memberi jawaban atas pertanyaanmu...!”

“Terima kasih...,” ujar Dewa Cadas Pangeran. “Kalian menginginkan peta wasiat itu?!”

“Siapa pun yang kau tanya begitu pasti akan anggukkan kepala!” jawab Ratu Selendang Asmara berterus terang.

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. Lalu berucap. “Aku tidak akan halangi keinginan seseorang. Tapi demi kedamaian dan keselamatan, tidak ada salahnya bukan kalau aku memberi satu saran?”

“Kau pasti akan mengatakan kami berdua tidak akan berhasil mendapatkan peta wasiat itu! Benar?!” Ratu Selendang Asmara tampaknya sudah dapat membaca apa yang akan dikatakan Dewa Cadas Pangeran.

“Syukur kalau kau telah menangkap isyarat itu.... Sekali lagi mudah-mudahan kalian tidak berburuk sangka padaku kalau aku mengatakan kalian bukan saja tidak akan mendapatkan apa-apa, namun akan mengalami musibah jika teruskan keinginan!”

Mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran, Ratu Selendang Asmara tersenyum. “Dewa Cadas Pangeran. Kuakui kau pandai memberi keterangan. Tapi jangan kau lupa! Nasib seseorang adalah sebuah misteri yang tidak bisa dibaca oleh siapa saja!”

“Ucapanmu tidak salah. Dan harap kau tak keliru. Aku tidak membicarakan nasib seseorang. Aku hanya memberi saran. Dan kalaupun aku mengatakan kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, aku menangkap adanya beberapa orang punya keinginan seperti kalian. Jika semua orang yang punya keinginan sama saling bertemu, kalian dapat bayangkan apa yang akan terjadi!”

“Kita tak perlu pedulikan ucapannya!” BayanganbTanpa Wajah berbisik pada Ratu Selendang Asmara.

Si nenek anggukkan kepala lalu berkata. “Masih ada yang ingin kau utarakan lagi?”

Dewa Cadas Pangeran tidak sambuti pertanyaan Ratu Selendang Asmara. Sebaliknya dia putar diri membelakangi orang. Kejap lain dia membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat beberapa tombak ke depan. Saat lain Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah hanya melihat gerakan batu putih yang bergoyang-goyang di atas ranggasan semak belukar yang sesekali semburatkan kiblatan sinar putih.

“Kita sekarang menuju biara Perguruan Shaolin!” kata Bayangan Tanpa Wajah. Seraya berkata, laki-laki berkulit hitam legam ini melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun begitu sadar kalau Ratu Selendang Asmara tidak beranjak dari tempatnya tegak, Bayangan Tanpa Wajah berkata agak keras.

“Kau takut?!”

“Setinggi apa pun ilmu orang, dia tak mungkin bisa menang berhadapan dengan nasib! Itulah satu-satunya hal yang paling kutakutkan dalam hidup!”

Ucapan Ratu Selendang Asmara membuat Bayangan Tanpa Wajah tertawa ngakak lalu berkata. “Tampaknya kau termakan kata-kata orang!”

Kini ganti si nenek yang perdengarkan tawa begitu mendengar sahutan Bayangan Tanpa Wajah. “Kau boleh tertawa. Tapi aku yakin, dalam hatimu juga ada rasa takut berhadapan dengan nasib! Apalagi seseorang yang telah dikenal tahu banyak urusan mengatakan nasibmu tidak baik!”

“Aku tak pernah berpikir tentang nasib! Itulah sebabnya aku tak pernah punya rasa takut!”

Bayangan Tanpa Wajah arahkan pandang matanyanjauh ke depan. Lalu sambungi ucapannya. “Kita sekarang telah tahu di mana peta wasiat berada dan ke mana kita harus mencarinya. Kau sekarang berhak memutuskan untuk lanjutkan urusan ini atau....”

“Aku tak pernah menjilat ludah di tanah!” Ratu Selendang Asmara menyahut sebelum Bayangan Tanpa Wajah selesaikan ucapan. Bahkan begitu berkata, si nenek segera melesat ke depan lalu berkelebat ke arah mana tadi tangan kanan Dewa Cadas Pangeran menunjuk.

Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. Dengan hentakkan kaki kanan, laki-laki berwajah hitam legam ini berkelebat menyusul Ratu Selendang Asmara.

***

Sementara itu, di tempat kira-kira seratus tombak dari biara Perguruan Shaolin, Pendekar 131 Joko Sableng hentikan langkah. Dia memang sengaja bertindak hati-hati saat tahu mulai memasuki kawasan Perguruan Shaolin. Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata memandang jauh ke depan sana, di mana julangan puncak bangunan Perguruan Shaolin terlihat.

“Hem.... Apa aku harus menggundul rambutku agar leluasa masuk Perguruan Shaolin?” Joko bergumam sambil usap rambutnya. “Jika aku masih berambut panjang begini rupa, rasanya sulit bagiku memasuki perguruan itu. Apalagi baru saja terjadi huru-hara yang menewaskan beberapa pimpinan shaolin. Tapi bagaimana bentuk rupaku nanti kalau aku memang benar-benar menggundul rambut?! Lagi pula bagaimana caranya menggundul?! Ah....”

Joko gerakkan tangan kanan menyisir rambutnya yang basah oleh keringat. “Apakah aku harus menunggu hingga hari berganti gelap?! Tapi aku pasti masih kesulitan untuk masuk! Kalaupun aku berhasil masuk, tentu aku masih bingung karena aku belum tahu seluk-beluk bangunan di Perguruan Shaolin! Hem.... Ataukah aku harus memancing keluarnya Guru Besar Liang San?! Tapi bagaimana caranya?! Inilah sulitnya. Aku belum tahu bagaimana tampang Guru Besar Liang San.... Sementara....”

Joko katupkan mulut. Saat bersamaan kepalanya berpaling. Sepasang matanya mendelik besar. Dia sebenarnya ingin membuat gerakan, namun tampaknya dia sadar, gerakan apa pun yang akan dilakukan sudah sangat terlambat. Karena tahu-tahu dua puluh langkah di depan sana telah tegak satu sosok tubuh dengan mata menatap tajam kearahnya.

“Dari penampilannya, jelas dia orang Perguruan Shaolin. Dari usia dan sikapnya, pasti dia tokoh di perguruan itu! Hem...,” Joko memperhatikan orang dengan seksama seraya menduga-duga.

Di lain pihak, orang yang tegak di depan sana kerutkan dahi dengan mata dipicingkan. Pandangannya jelas membayangkan rasa curiga. Dia adalah seorang laki-laki berwajah agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak besar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik putih pada batok kepalanya. Orang ini mengenakan pakaian panjang warna kuning tanpa leher. Di pundaknya melapis kain warna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Laki-laki ini tidak lain adalah Guru Besar Liang San.

“Seorang pemuda.... Tampangnya sepertinya bukan orang negeri ini! Tapi itu tidak, penting. Yang jelas dia seorang pemuda yang mencurigakan karena memata-matai Perguruan Shaolin. Hem.... Aku hampir bisa memastikan.... Dugaanku ternyata tidak jauh meleset! Kemunculannya di sini merupakan satu petunjuk!”

Guru Besar Liang San membatin dengan sunggingkan senyum. “Aku harus berlaku ramah.... Lagi pula dia pasti belum tahu siapa yang kini dihadapannya! Hem.... Akhirnya rencanaku berjalan tanpa hambatan! Kini aku sudah tak sabar lagi menunggu hari ganda sepuluh!”

Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya di depan dada. Lalu kepalanya ditundukkan seraya berkata pelan. “Amitaba.... Boleh aku bertanya, Anak Muda...?”

Murid Pendeta Sinting membuat sikap seperti yang dilakukan orang. Lalu sembari mengumbar senyum dia buka suara. “Amitaba.... Apa yang hendak kau tanyakan, Orang Tua?!”

“Siapa namamu?”

“Aku punya dua nama. Yang mana kau inginkan? Nama semasa aku masih kecil atau setelah aku menginjak dewasa?!”

Guru Besar Liang San kerutkan dahi namun tetap dengan bibir sunggingkan senyum. “Kalau tak keberatan, aku ingin tahu keduanya....”

“Waktu kecil aku dipanggil Lon Tong Bu Lim....” Joko hentikan ucapannya sesaat sambil melirik wajah orang. Lalu menyambung. “Begitu aku dewasa, entah karena apa, aku dipanggil Han Ko!”

“Seperti halnya aku, mungkin anak ini tidak berkata jujur!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Namun dia tak mau tunjukkan sikap tidak percaya pada ucapan orang. Dia anggukkan kepala dengan tersenyum.

“Orang tua.... Aku telah mengatakan siapa diriku. Rasanya tak enak kalau aku tidak tahu siapa dirimu...”

Guru Besar Liang San kembali anggukkan kepala, lalu berkata. “Kau beruntung, Anak Muda. Bisa memiliki dua nama. Tidak seperti aku. Aku dilahirkan di sini tanpa kuketahui siapa kedua orangtua ku karena mereka meninggal saat aku masih bayi. Hingga aku sendiri tak tahu siapa yang memberi nama padaku! Yang jelas aku tahu sudah berada di lingkungan shaolin dan mereka memanggilku Wang Kong Fu....” Seperti halnya Pendekar 131, saat sebutkan diri dengan Wang Kong Fu, Guru Besar Liang San melirik seolah ingin tahu sikap orang.

Joko memperhatikan orang sekali lagi dengan lebih seksama. Sulit baginya menduga apakah ucapan orang benar atau tidak. “Aku belum kenal sebelumnya dan masih buta sama sekali dengan orang-orang di lingkungan shaolin. Tapi aku punya cara untuk mengetahui apakah dia berkata jujur atau berdusta!” kata Joko dalam hati setelah terdiam beberapa lama. Dia sudah buka mulut hendak berkata.

Namun sebelum suaranya terdengar, Guru Besar Liang San yang mengaku bernama Wang Kong Fu sudah mendahului angkat suara. “Anak muda.... kalau aku boleh menduga, keberadaanmu di sini tentu bukan karena sebuah kebetulan! Kau tengah menunggu seseorang? Atau ada perlu lain?!”

“Terus terang saja, sejak kecil aku tertarik dengan shaolin. Hanya sayang sekali. Kedua orangtua ku tidak memberikan izin padaku untuk memasuki biara shaolin. Sekarang kedua orangtua ku telah tiada. Namun keinginanku tetap membara. Untuk itulah aku berada di sini. Dan kebetulan bertemu denganmu.... Kalau boleh aku bertanya, apakah mungkin aku bisa diterima di biara shaolin?!”

“Amitaba.... Perguruan Shaolin tidak menolak siapa saja yang ingin menjadi keluarga perguruan asal dia mau menjalankan semua peraturan yang telah ditentukan! Hanya saja....”

Karena Guru Besar Liang San tidak lanjutkan ucapan, Joko cepat menyahut. “Hanya apa, Orang Tua?!”

“Aku ragu apakah kau mampu menjalankan peraturan shaolin! Karena jika seseorang telah menjadi keluarga besar shaolin, dia harus meninggalkan keinginan duniawi....”

“Orang tua.... Aku yakin bisa melakukannya....”

“Amitaba.... Menjalankan tidak semudah berkata, Anak Muda. Bukannya aku menghalangi keinginanmu. Tapi usia dan lingkungan sangat berpengaruh!”

“Maksudmu...?!”

“Orang yang menjadi keluarga besar shaolin sejak kecil akan lebih mudah menjalankan peraturan shaolin dibanding dengan orang yang memasuki shaolin saat usianya sudah dewasa. Karena orang dewasa sudah mengenal manisnya duniawi sebelum masuk keluarga shaolin. Dan hal itu nantinya sangat berpengaruh sekali. Lain dengan orang yang masuk keluarga shaolin saat usianya masih kecil. Karena begitu masuk, dia belum kenal manisnya rasa duniawi!”

Pendekar 131 terdiam beberapa lama. Guru Besar Liang San arahkan pandang matanya jauh ke puncak bangunan shaolin lalu berkata. “Anak Muda.... Aku menghargai semangatmu. Namun kau harus berpikir sekali lagi jika akan menjadi keluarga besar Perguruan Shaolin!”

“Orang tua.... Bukan aku mau unjuk diri. Tapi sebenarnya sejak kecil aku telah dilatih untuk menjauhi segala macam yang berbau duniawi! Kau boleh percaya atau tidak, sampai seusia ini, aku belum pernah mengenal yang namanya perempuan....”

Mendengar kata-kata Joko, Guru Besar Liang San tertawa seraya gelengkan kepala. “Anak Muda.... Duniawi bukan saja perempuan.... itu hanya sebagian kecil saja!”

“Ah.... Ternyata tidak semudah yang kubayangkan!” gumam Joko.

Lagi-lagi Guru Besar Liang San tertawa. “Anak Muda.... Mau kau katakan padaku, mengapa kau ingin sekali menjadi keluarga shaolin?!”

Meski nada bicara Guru Besar Liang San bertanya, ternyata sebelum murid Pendeta Sinting sempat menjawab, Guru Besar Liang San sudah angkat suara. “Kau ingin mempelajari ilmu silat?!”

Karena tak ada alasan lain, akhirnya Joko anggukkan kepala. “Sejak kecil aku memang ingin sekali belajar ilmu silat. Dan menurut yang kudengar, Perguruan Shaolin memiliki jurus-jurus yang sulit ditandingi!”

“Perguruan Shaolin lebih mementingkan pencucian diri daripada pelajaran ilmu silat. Kalaupun di dalam perguruan diajarkan ilmu silat, itu hanya untuk menjaga kesehatan. Bukan untuk hal lain.... Jadi kau salah duga kalau ingin masuk Perguruan Shaolin dengan tujuan mempelajari ilmu silat!”

“Ah.... Lagi-lagi aku salah duga!”

“Anak muda.... Aku melihat kobaran semangatmu begitu membara. Aku menawarkan sesuatu padamu...”

“Hem.... Orang yang baru kukenal tiba-tiba menawarkan sesuatu. Pasti di baliknya menyimpan sesuatu!” Joko membatin. Lalu berkata. “Harap kau katakan apa yang hendak kau tawarkan.”

“Aku melihat bentuk tubuhmu bagus. Sayang kalau disia-siakan. Aku akan mengajarkan padamu semua ilmu silat Perguruan Shaolin tanpa harus masuk menjadi keluarga besar shaolin!”

Mendengar ucapan orang, Pendekar 131 buru-buru bungkukkan tubuh. “Amitaba.... Kau tidak main-main, Orang Tua?!”

“Salah satu ajaran shaolin adalah dilarang berdusta!”

“Ah.... Dari semula aku sudah menduga kalau kau adalah salah seorang tokoh di Perguruan Shaolin. Kuucapkan terima kasih kalau kau memang benar-benar hendak mengajarkan padaku ilmu silat!”

“Amitaba.... Kau jangan keburu memuji. Kalaupun aku menawarkan hal itu, semata-mata karena aku menghargai semangatmu! Tapi aku juga minta maaf...”

“Dugaanku tidak meleset. Ujung-ujungnya dia minta sesuatu! Tapi aku akan coba menuruti...,” kata Joko dalam hati. Namun dia tidak segera buka suara. Sebaliknya arahkan pandang matanya jauh ke depan.

***
DELAPAN

KARENA Joko tidak segera sambuti ucapannya, Guru Besar Liang San melirik lalu berkata. “Shaolin memang mengajarkan tidak boleh minta imbalan atas sesuatu! Tapi karena keadaannya lain, kau sendiri harus maklum.... Lagi pula aku tidak akan minta syarat yang kau tidak mampu melakukannya!”

Pendekar 131 berpaling. “Orang tua.... Harap kau katakan apa syarat yang harus kupenuhi!”

“Kau harus jujur padaku!”

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia sama sekali tidak menduga syarat yang diucapkan orang. Hingga seraya tertawa dia bersuara. “Hanya itu...?!”

Kepala Guru Besar Liang San bergerak mengangguk. “Tidak sulit bukan?!”

“Tampaknya memang tidak sulit. Tapi ini bisa Jadi malapetaka bagiku!” Diam-diam Joko berkata sendiri dalam hati. “Nada bicaranya lambat laun mencurigakan. Jangan-jangan orang ini telah tahu siapa diriku.... Hem.... Lalu bagaimana dengan tawarannya?”

“Bagaimana, Anak Muda?! Kau setuju dengan syaratku?!”

“Syarat yang aneh...,” gumam Joko.

“Tidak aneh, Anak Muda. Dalam segala hal kejujuran adalah sesuatu yang utama. Apalagi kelak mungkin kita akan menjadi sahabat!”

“Baiklah.... Aku setuju syaratmu!” Akhirnya Joko memutuskan setelah berpikir agak lama.

Guru Besar Liang San tersenyum. “Amitaba.... Semoga ini satu langkah awal yang baik bagi persahabatan kita. Dan kuharap, meski aku nanti mengajarkan ilmu silat padamu, jangan kau menganggapku sebagai guru. Anggaplah aku sebagai sahabat, begitu pula sebaliknya! Hubungan antara sahabat pasti lebih mendekatkan dua orang daripada hubungan antara guru dan murid! Dan satu lagi. Kau harus merahasiakan semua ini pada siapa saja!”

Joko anggukkan kepala lalu melangkah maju. Di depan sana Guru Besar Liang San memperhatikan tanpa membuat gerakan.

“Anak muda....”

“Kita sudah bersahabat. Harap panggil dengan namaku saja!” kata Joko seraya hentikan langkah delapan tindak dihadapan Guru Besar Liang San.

“Han Ko.... Sebelum semuanya berjalan, aku ingin tahu. Apakah sebelum ini kau pernah belajar ilmu silat?!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Namun baru saja kepalanya bergerak, mendadak Guru Besar Liang San yang mengaku sebagai Wang Kong Fu gerakkan kedua tangannya.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang angin melabrak ganas ke arah murid Pendeta Sinting. Karena begitu mendadak, Joko tak sempat berpikir lagi kalau baru saja gelengkan kepala memberi jawaban kalau dia belum pernah belajar ilmu silat. Dia melompat ke samping hindarkan diri dari hajaran gelombang yang melesat dari kedua tangan Guru Besar Liang San.

“Astaga! Seharusnya aku tidak menghindar! Tapi....”

“Han Ko.... Kau masih ingin persahabatan ini terus berlangsung?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya tanpa memandang.

“Apa maksudmu?!” Joko pura-pura tak mengerti. “Kau telah tahu syaratnya!”

“Aku....”

Belum sampai Pendekar 131 teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menukas. “Mengapa kau belum mau jujur padaku?!” Bersamaan dengan selesainya ucapan, tiba-tiba kedua tangan Guru Besar Liang San kembali bergerak lepaskan satu pukulan!

Joko tersentak. “Busyet! Apa yang harus kulakukan!Kalau aku menghindar lagi, pasti dia lebih tidaknpercaya kalau aku tidak tahu ilmu silat. Tapi kalau aku tidak menghindar atau menghadang pukulannya, bagaimana kalau aku terluka?!”

Karena tidak punya waktu banyak untuk berpikir, pada akhirnya Joko memutuskan untuk tidak hindarkan diri dari pukulan orang. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam seraya membuat gerakan sedikit agar pukulan orang tidak telak menghajar bagian dada atau wajahnya!

"Wusss! Wussss!" Dua gelombang angin terus melesat. Begitu seten-lgah tombak lagi menghajar, Joko putar sedikit tubuhnya dan sengaja menghadangkan bahu kanannya.

Bukkkk! Bukkk!

Sosok murid Pendeta Sinting terpental sebelum akhirnya terjengkang roboh di atas tanah. Belum sampai Pendekar 131 bergerak bangkit, Guru Besar Liang San telah berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di sampingnya. Guru Besar Liang San melirik sesaat. Tiba-tiba kaki kanannya membuat gerakan menendang!

Selain tak sempat berpikir apa yang harus dilakukan dan kalaupun membuat gerakan sudah sangat terlambat, akhirnya Joko hanya bisa kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan memandang gerakan kaki kanan Guru Besar Liang San yang berkelebat ke arah bahu kirinya!

"Bukkk!" Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Saat bersamaan sosoknya kembali mencelat lalu terjerembab di atas tanah.

Saat sosok murid Pendeta Sinting mencelat, Guru Besar Liang San tak berdiam diri. Dia ikut berkelebat. Dan begitu tubuh Joko terjerembab di atas tanah, kaki kiri Guru Besar Liang San kembali bergerak kirimkan tendangan! Namun kali ini Joko tahu jika tendangan kaki orang lebih dahsyat dari yang pertama!

“Celaka kalau aku hanya diam saja! Tapi bagaimana lagi?!”

Baru saja Joko bergumam begitu, kaki kiri Guru Besar Liang San telah menghajar bagian lambungnya! Untuk kesekian kalinya sosok murid Pendeta Sinting tersapu deras sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!

Mungkin sudah merasa kesakitan dan tak mau terus-terusan jadi tumpuan hajaran pukulan orang, begitu menghantam tanah, Joko segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. “Aku tak bisa berdiam diri! Dia sudah sangat keterlaluan! Tampaknya dia bukan lagi ingin mencobaku, tapi sudah ingin mencabut nyawaku!”

Di seberang sana, Guru Besar Liang San memperhatikan sejenak. Lalu melompat. Namun kali ini Guru Besar Liang San tidak langsung membuat gerakan. Dia berhenti empat langkah dan tegak dengan mata mendelik besar. Pendekar 131 bergerak bangkit. Setelah usap kucuran darah di mulutnya dia buka suara.

“Orang tua! Mengapa kau hendak membunuhku?!”

Guru Besar Liang San tertawa. “Tidak mudah membunuhmu, Anak Muda! Jika orang lain, sudah pasti dia mampus!”

“Aku tak mengerti maksudmu!” Murid Pendeta Sinting masih pura-pura tidak tahu ke mana arah bicara Guru Besar Liang San.

“Kau memang tidak menghindar atau menghadang pukulanku! Aku tahu.... Itu kau lakukan agar aku percaya jika kau memang tidak pernah atau punya ilmu silat! Tapi aku bukan orang bodoh, Anak Muda.... Justru ketahanan tubuhmu membuat aku jadi yakin! Bukan saja kau memiliki ilmu silat tinggi, namun tenaga dalammu juga luar biasa!”

“Ah.... Tentu kau main-main dengan ucapanmu! Kau salah duga...!”

Guru Besar Liang San geleng kepala. “Aku belum pernah salah menduga orang! Kau mau lihat satu bukti?!” Guru Besar Liang San melangkah.

Khawatir akan apa yang hendak dilakukan orang, Joko gerakkan kaki melangkah mundur. Guru Besar Liang San tertawa bergelak seraya hentikan langkah dan berkata. “Kalau kau bukan dari kalangan persilatan, tentu kau tidak akan membawa sebuah senjata!” Sepasang mata Guru Besar Liang San mengarah pada pinggang kiri Joko dimana tersimpan Pedang Tumpul 131.

“Sialan! Dia sudah tahu...,” bisik Joko lalu tersenyum dan angkat suara. “Orang tua... Sebuah senjata bukan satu bukti. Siapa saja bisa membawanya!”

“Anak muda.... Aku tak ingin berdebat! Dan meski kau tidak berkata jujur padaku, namun kali ini aku masih bisa memakluminya! Mungkin saja kau masih meragukan diriku.... Tapi kuharap kau sekarang mau berterus terang padaku!”

Joko geleng kepala. “Aku sudah berterus terang!”

Guru Besar Liang San tidak pedulikan jawaban murid Pendeta Sinting. Sebaliknya dia segera ajukan tanya. “Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku tadi telah mengatakannya padamu!”

“Aku bukan orang yang mudah dikelabui! Kalau kau sudah merahasiakan kepandaianmu, jangan harap aku percaya dengan dua nama yang tadi kau katakan!”

“Kalau begitu terserah.... Yang jelas, itulah namaku! Atau barangkali kau akan memberikan satu nama lagi buatku?!”

Lagi-lagi Guru Besar Liang San tidak hiraukan sahutan Joko. Dia ajukan tanya sekali lagi. “Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya?!”

“Ah.... Karena kau tidak percaya, sekarang sesuka- mulah mengatakan siapa aku sebenarnya....”

“Hem.... Begitu?! Baik.... Aku ingin buktikan kalau aku belum pernah salah menduga orang!” kata Guru Besar Liang San seraya dongakkan kepala.

Pendekar 131 menatap wajah Guru Besar Liang San dengan dada berdebar. “Kalau dia benar dengan dugaannya, apa hendak dikata! Hanya saja aku dapat gambaran tentang orang ini! Dari sikap dan lagaknya, tentu dia tokoh terpandang di Perguruan Shaolin. Sementara dari beberapa cerita yang kudengar, aku bisa simpulkan, setelah kejadian di Perguruan Shaolin, tokoh yang paling dipandang di Perguruan Shaolin tinggal orang yang bernama Guru Besar Liang San! Hem....”

“Anak muda! Bukankah kau seorang pemuda dari negeri seberang laut?!” kata Guru Besar Liang San sambil tertawa.

Pendekar 131 tercengang. Namun dia tak mau larut dalam keterkejutan. Dia segera pula tengadahkan kepala. Lalu berkata. “Orang tua! Bukan kau saja yang tak mudah dikelabui, tapi aku juga tidak gampang ditipu....” Joko sengaja hentikan ucapannya sesaat sambil tertawa. Lalu menyambung. “Bukankah kau adalah Guru Besar Liang San?!”

Kalau tadi Joko tercengang mendapati orang telah menebak dengan betul, kali ini Guru Besar Liang San ganti yang tercekat tegang! “Dia baru saja berada di negeri ini. Tentu belum banyak yang dia kenal. Aku juga baru pertama kali bertemu.... Tapi bagaimana mungkin dia bisa mengetahui siapa diriku?! Hem.... Tapi itu tak jadi masalah! Yang jelas, sekarang aku yakin dialah orang yang kucari!” Guru Besar Liang San membatin. Lalu bersuara.

“Anak asing! Aku bukan saja tahu siapa dirimu sebenarnya! Tapi juga tahu kalau kau akan datang ke tempatku! Bahkan aku tahu apa tujuanmu!”

Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan. “Sekarang akulah orang yang berkuasa di biara Perguruan Shaolin. Dan aku tahu, saat ini kau membawa sesuatu milik Perguruan Shaolin! Aku tak ingin membuat urusan denganmu, namun itu jika kau mau serahkan barang milik perguruan yang sekarang ada di tanganmu!”

Lagi-lagi Pendekar 131 sempat kaget mendengar ucapan Guru Besar Liang San.“Hem.!..Jadi dia sudah tahu semuanya.... Dan dari sikapnya, jelas dialah Guru Besar Liang San!” Joko kembali membatin sebelum akhirnya berkata. “Guru Besar Liang San! Kau menduga aku membawa sesuatu milik Perguruan Shaolin. Mau katakan padaku, benda apa yang kau maksud?!” Joko coba memancing untuk yakinkan diri. 

Guru Besar Liang San edarkan pandang matanya berkeliling sebelum berucap. “Seluruh kaum dunia persilatan di negeri ini telah tahu jika Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat. Konon pula beberapa tokoh mengincar peta itu sejak beratus tahun yang lalu. Namun tidak seorang pun yang berhasil. Selain terjaga ketat, peta wasiat itu sengaja dipisah....”

Guru Besar Liang San hentikan keterangannya. Sementara Pendekar 131 dengarkan dengan seksama. “Beberapa waktu yang lalu....” Guru Besar Liang San lanjutkan keterangan. “Seorang kepercayaan shaolin diberi tugas untuk mengambil sebagian peta wasiat di satu tempat karena hari dibukanya peta wasiat itu hampir tiba. Selain itu, pimpinan tertinggi shaolin dalam keadaan sakit keras. Namun tampaknya ada orang yang berkhianat dalam tubuh Perguruan Shaolin! 

Dia sengaja memotong rencana dengan jalan menghadang orang kepercayaan shaolin! Bahkan dia sengaja bersekongkol dengan orang di luar Perguruan Shaolin. Tapi Yang Maha Belas Kasih rupanya masih melindungi. Menurut yang kudengar, orang kepercayaan shaolin telah tewas dalam mengemban tugas. Namun sebelum itu dia telah memberikan peta wasiat pada seseorang....”

Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San hentikan ucapannya. Kali ini dia memandang tajam pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata. “Aku sangat bersyukur kau sampai di tempat ini dengan selamat. Dan tentu kau akan memberikan peta wasiat itu kembali, karena kaulah orang yang telah diberi peta wasiat oleh orang kepercayaan shaolin!”

Guru Besar Liang San tersenyum. Saat yang sama kedua tangannya menjulur ke depan membuat sikap seperti orang meminta. “Anak muda.... Kau telah berjasa besar pada Perguruan Shaolin. Walau kau bukan orang shaolin, dengan jasamu itu, kau akan kuangkat sebagai keluarga besar shaolin! Pintu Perguruan Shaolin kapan saja terbuka untukmu.... Dan kau juga perlu tahu.... Beberapa waktu yang lalu, telah terjadi musibah besar yang menimpa Perguruan Shaolin. Seorang Maha Guru Besar dan Guru Besar telah jadi korban. 

Sementara seorang Guru Besar satunya lagi lenyap entah kemana. Saat ini akulah yang menjadi penguasa sementara. Untuk itulah, kuharap kau mau serahkan peta wasiat itu padaku! Lagi pula peta wasiat itu tentu tak ada gunanya berada di tanganmu, karena sebagiannya masih tersimpan di Perguruan Shaolin!” Guru Besar Liang San anggukkan kepala dengan bibir sunggingkan senyum. Kedua tangannya digerak-gerakkan.

Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan sunggingkan senyum. Lalu berkata. “Terima kasih atas semua keteranganmu. Tapi sayang.... Kau terlambat memintanya padaku!”

***
SEMBILAN

GURU Besar Liang San tegak dengan paras berubah. Senyumnya pupus berganti seringai dingin. Kedua tangannya ditarik pulang. Saat lain dia berkata dengan suara bergetar. “Terlambat bagaimana?!”

Joko tidak segera sambuti ucapan orang. Sebaliknya terdiam beberapa lama seraya terus tersenyum. Guru Besar Liang San mulai geram. Dia kembali hendak buka mulut. Namun kali ini Joko mendahului. “Guru Besar Liang San.... Dua hari sebelum peristiwa musibah yang kau ceritakan, aku bertemu dengan Guru Besar Pu Yi! Karena aku hanya sebagai orang yang disuruh menyampaikan, begitu Guru Besar Pu Yi meminta peta wasiat itu, aku memberikannya....”

Sepasang mata Guru Besar Liang San terbeliak besar dengan pelipis bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya bergetar. “Kau jangan mengarang cerita, Anak Muda!”

“Kau bisa menanyakannya pada Guru Besar Pu Yi...!”

“Dia telah tewas!”

“Ah.... Sayang sekali. Padahal tujuanku ke sini hendak menemuinya! Aku semula sudah hendak pulang kampung ke negeri asalku. Namun di tengah jalan aku sempat mendengar kejadian di Perguruan Shaolin. Karena aku orang baru aku sempat salah jalan saat menuju kemari hingga baru hari ini aku tiba. Aku memang mendengar beberapa pimpinan shaolin terbunuh, tapi aku tidak menduga jika Guru Besar Pu Yi ikut pula terbunuh....”

“Aku tidak percaya keteranganmu!”

“Waduh.... Kalau begitu repot! Padahal aku telah mengatakan apa yang kulakukan.”

“Anak muda! Kau telah tahu peta wasiat di tanganmu tidak ada gunanya buatmu! Aku minta padamu untuk serahkan padaku dengan baik-baik! Apalagi kau tahu peta wasiat itu hak Perguruan Shaolin!”

“Aku telah memberikannya pada Guru Besar Pu Yi! Berarti hak Perguruan Shaolin telah kuberikan! Dan harap kau tahu.... Karena aku tahu peta wasiat itu tidak ada gunanya buatku, maka peta itu kuberikan pada Guru Besar Pu Yi! Kalau tidak, pasti peta wasiat itu akan kupakai sendiri!”

“Hem.... Apakah mungkin Pu Yi benar-benar telah menerimanya dari anak ini?!” Guru Besar Liang San membatin. “Lalu diam-diam dia bersekongkol dengan Wu Wen She! Dan saat terjadi peristiwa berdarah malam itu, Wu Wen She sengaja meloloskan diri dengan membawa peta wasiat itu.... Tapi kalau benar, mengapa mereka berdua tidak mengambil sekalian yang berada di kotak di ruang penyimpanan?! 

Bukankah kalau hanya separo tidak ada artinya?!” Guru Besar Liang San dilanda kebimbangan. “Tapi kalau benar peta wasiat itu telah diserahkan, tak mungkin anak ini muncul lagi di tempat ini! Keterangannya kalau ingin bertemu dengan Pu Yi mungkin hanya alasan! Bahkan mungkin saja dia telah membuat satu rencana dengan Pu Yi!”

Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang San angkat suara. “Anak Muda! Kalau benar kau telah serahkan peta wasiat itu, tentu aku mengetahuinya! Karena aku masih termasuk orang yang harus tahu semua rahasia Perguruan Shaolin! Jadi kalau Pu Yi tidak membicarakannya, berarti peta wasiat itu masih ada di tanganmu! Aku minta padamu dengan baik-baik. Kalau kau tak mau, aku juga bisa berlaku kasar!”

“Guru Besar Liang San.... Apakah dalam ajaran shaolin dibolehkan memaksa seseorang sekaligus bertindak kasar terhadap seseorang yang telah memberi keterangan?!”

Tampang Guru Besar Liang San laksana disemburati kobaran api. Kedua pijakan kakinya bergetar. Saat lain terdengar bentakannya menggelegar. “Tutup mulutmu, Anak Muda! Dalam urusan ini jangan sangkut pautkan masalah ajaran! Ini adalah urusan hak milik! Kau harus serahkan milik seseorang yang berada di tanganmu!”

“Aku telah menyerahkan!” Joko ikut membentak.

“Kau berdusta!”

“Kau tadi juga berdusta tentang siapa dirimu! Kalau kau sebagai Pimpinan Perguruan Shaolin boleh berdusta, mengapa aku tidak?!”

Gemuruh amarah Guru Besar Liang San sudah sampai ke ubun-ubun, namun nyatanya orang ini masih coba menahan diri. Dia terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri sebelum akhirnya berkata. “Anak muda! Sekarang katakan saja apa maumu sebenarnya!”

Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, murid Pendeta Sinting tertawa. “Guru Besar.... Seharusnya aku yang bertanya seperti yang kau tanyakan! Meskipun jawabannya sudah pasti kau tahu!”

“Baik. Aku telah memberi kesempatan padamu, namun kau nyatanya tidak menggunakan. Sekali lagi aku minta padamu untuk serahkan peta wasiat itu!”

Joko gelengkan kepala. Namun baru saja kepalanya bergerak, Guru Besar Liang San telah melompat. Saat bersamaan kedua tangannya berkelebat menyambar ke arah lambung murid Pendeta Sinting. Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Guru Besar Liang San berkelebat, Joko cepat menyingkir. Kedua tangannya disentakkan ke depan menghadang sambaran kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bukkk! Bukkk!

Dua pasang tangan tampak sama terpental. Namun Guru Besar Liang San tidak menunggu lagi. Meski dia sedikit terkejut karena kedua tangannya terpental dihadang tangan lawan, dia cepat tarik pulang kedua tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Kejap lain kaki kanannya ditarik ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya di buka lalu dihantamkan ke depan.

Joko merasakan sosoknya tersapu gelombang angin dahsyat. Dia cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ karena yakin gelombang pukulan yang dilepas Guru Besar Liang San tidak bisa dipandang remeh. Namun belum sempat Joko hantamkan kedua tangannya lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’, Guru Besar Liang San telah merangsek maju dengan kedua tangan berkelebat.

Joko urungkan niat lepas pukulan. Sebaliknya angkat kedua tangannya lalu menghadang gerakan kedua tangan Guru Besar Liang San. Begitu kedua pasang tangan bertemu di udara, mendadak Guru Besar Liang San gerakkan kesepuluh jari tangannya sarangkan totokan dahsyat ke arah kedua tangan murid Pendeta Sinting!

Pendekar 131 cepat sadar. Kedua tangannya segera ditarik pulang sedikit ke belakang. Lalu lima jari tangan kanan ditekuk membentuk bundaran. Saat lain disentakkan menghadang sepuluh jari tangan Guru Besar Liang San.

Takkk! Takkkk!

Guru Besar Liang San tersentak kaget. Dia rasakan menyentuh bara panas luar biasa. Hingga begitu kesepuluh jari tangannya bentrok dengan tangan Joko, dia cepat tarik pulang tangannya. “Hem.... Anak ini tampaknya menguasai aliran ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Apa hubungannya dengan Bu Beng La Ma...?! Mustahil kalau di seberang laut sana ada aliran jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Jangan-jangan aku salah alamat menduga siapa sebenarnya anak ini!” Guru Besar Liang San membatin seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya yang masih terasa panas.

Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat mendapat ilmu jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ dari Bu Beng La Ma. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit).

“Anak asing! Apa hubunganmu dengan Bu Beng La Ma?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya.

“Seharusnya kau bertanya sendiri pada Bu Beng La Ma. Karena jika aku yang jawab, aku takut kau tidak akan percaya! Yang pasti, aku tidak kenal dengan orang yang namanya baru kau sebut! Kau mau percaya atau tidak, terserah!”

Guru Besar Liang San mendengus marah. Dia tarik kedua tangannya ke depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Joko maklum apa yang akan dilakukan orang. Dengan cepat dia kerahkan hampir setengah dari tenaga dalamnya pada kedua tangan. Saat kemudian kedua tangannya ditarik ke belakang siap menghadang pukulan orang dengan lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. 

Guru Besar Liang San buka kedua tangannya lalu dihantamkan dengan telapak terbuka. Dua gelombang dahsyat berkiblat. Tanah di tempat itu langsung bergetar dan bertabur keudara. Murid Pendeta Sinting tak mau tinggal diam. Kedua tangannya segera disentakkan. Satu sinar kuning di- sertai gelombang dan hawa panas menyengat melesat.

Bummm! Bummm!

Dua ledakan keras terdengar. Joko tampak tersapu empat langkah dan terhuyung-huyung dengan air muka berubah pucat pasi. Kedua tangannya berputar balik ke belakang. Dadanya laksana terhantam batu besar hingga mulutnya megap-megap! Namun rasa sakit pada dada dan nyeri pada kedua tangan Joko laksana lenyap tatkala dia melihat bagaimana Guru Besar Liang San tetap tak bergeming dari tempatnya tegak! Malah sepasang kakinya tampak amblas masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki!

Belum hilang rasa kejut Joko, mendadak di depan sana Guru Besar Liang San gerakkan kedua tangannya menakup kembali ke depan dada. Joko tak mau bertindak ayal. Sebelum orang sempat lepaskan pukulan kedua kalinya, kali ini murid Pendeta Sinting telah mendahului dengan lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. 

Untuk kedua kalinya sinar kuning berkiblat disertai gemuruhnya gelombang dan hawa panas. Tapi Pendekar 131 sempat terkejut demi melihat Guru Besar Liang San tidak coba gerakkan tangan, untuk menghadang atau membuat gerakan menghindar! Dia tegak diam dengan kedua tangan di depan dada dan mata terpejam.

“Celaka! Bagaimana ini?! Mengapa dia tidak berbuat sesuatu?!” Joko khawatir. Dan ketika hantaman sinar kuning kian dekat dan Guru Besar Liang San tidak juga membuat gerakan, Joko buka mulut berteriak. “Cepat menyingkir!”

Namun teriakannya bukan saja terlambat, tapi juga tertelan oleh gemuruh suara pukulan itu sendiri, hingga tanpa ampun lagi baik sinar kuning maupun gelombang hawa panas pukulan ‘Lembur Kuning’ menghantam sosok Guru Besar Liang San! Mungkin tidak tega melihat apa yang akan dialami orang, begitu pukulan ‘Lembur Kuning’ menghantam telak sosok Guru Besar Liang San, murid Pendeta Sinting pejamkan sepasang matanya dengan menggumam tak jelas.

“Ini bukan salahku.... Sejak semula aku tidak punya niat untuk membunuhnya.... Aku hanya....” Joko tidak lanjutkan bisikannya tatkala mendadak terdengar suara.

“Kau kira semudah itu aku terbunuh?!”

“Heran.... Suaranya sama! Tapi apa mungkin? Jangan-jangan ada orang lain di tempat ini! Atau jangan- jangan aku sedang bermimpi!” Joko bergumam dengan mata masih terpejam. Dan mungkin takut kalau tengah bermimpi, tangan kanannya dicubitkan pada tangan kirinya.

“Masih terasa sakit.... Berarti aku tidak sedang bermimpi! Berarti ada orang lain di tempat ini!” Pendekar 131 perlahan-lahan buka sepasang matanya. Seketika matanya terpentang besar tak berkesip. Malah mungkin karena tidak yakin, kedua tangannya digosok-gosokkan pada kelopak matanya. Lalu dibeliakkan lagi. “Aneh.... Bagaimana mungkin?! Aku tadi melihat dia terkena pukulan ‘Lembur Kuning’. Tapi orangnya tetap berada di situ! Mulutnya tidak semburkan darah malah tersenyum!”

“Ada yang hendak kau katakan, Anak Muda?!” kata Guru Besar Liang San yang ternyata tidak cedera sama sekali, bahkan tidak bergeming dari tempatnya semula meski baru saja terhantam telak pukulan ‘Lembur Kuning’! Laki-laki berkepala gundul ini hanya terlihat pucat dan sedikit bergetar.

Karena masih terpana dengan apa yang dilihat, pertanyaan Guru Besar Liang San membuat murid Pendeta Sinting surutkan langkah satu tindak dengan mata makin terpentang.

“Anak muda!” kata Guru Besar Liang San seraya gelengkan kepala. “Kalau kau kurang puas dan tidak yakin, kau boleh sekali lagi menyerangku. Aku tidak akan bergerak atau membalas!” Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat kedua kakinya yang masuk amblas ke dalam tanah. Saat lain dia takupkan kedua tangannya kembali di depan dada dengan mata dipejamkan. Karena ditunggu agak lama Joko tidak membuat gerakan atau buka suara, Guru Besar Liang San buka kembali kelopak matanya. Bibirnya tersenyum lalu berkata.

“Anak muda! Kau telah tahu bahwa pukulanmu tidak bisa mencederaiku, apalagi dapat membunuhku.... Sekarang aku ingin tahu apakah pukulanku juga tidak bisa melukai sekaligus membunuhmu?!”

Kuduk Joko jadi merinding. Tampaknya Guru Besar Liang San dapat menangkap sikap orang. Hingga dengan senyum lebar dia kembali buka suara. “Anak muda! Aku tidak bisa melukai apalagi membunuh orang. Tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu pergi tanpa memberikan apa yang kuminta! Dan seharusnya kau mengerti apa sebaiknya yang harus kaulakukan!”

Selesai berkata, kedua tangan Guru Besar Liang San menjulur ke depan dan kembali membuat gerakan sikap seperti orang meminta. “Berikan peta wasiat itu atau aku akan mengambilnya dengan caraku sendiri!”

“Segala sesuatu harus ada imbalan baliknya! Kau meminta tanpa menjanjikan imbalan layak. Sementara aku memintanya dengan imbalan yang bukan saja layak namun juga nikmat!” Tiba-tiba satu suara menyahut disusul kemudian dengan suara tawa merdu. Kejap lain satu bayangan berkelebat.

Kepala Guru Besar Liang San dan murid Pendeta Sinting sama berpaling ke arah kanan. Di sana telah tegak seorang perempuan setengah baya berparas cantik jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas, sebagian lagi digeraikan ke bagian samping pipi kanan kirinya. Bibirnya merah menyala dengan alis mata ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang jenjang dan putih terlihat tato bergambar bulan sabit. Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kepalanya mengenakan sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.

“Ouw Kiu Lan!” desis Guru Besar Liang San mengenali siapa adanya si perempuan yang baru muncul.

“Bidadari Bulan Emas!” gumam Joko demi melihat siapa adanya si perempuan.

***

SEPULUH

PEREMPUAN setengah baya berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis dan bukan lain memang Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas murid Hantu Bulan Emas, melirik sesaat pada Guru Besar Liang San. Saat lain perempuan ini putar diri hadapkan tubuh pada Guru Besar Liang San. Bibirnya yang merah menyala tersenyum. Tangan kanannya sibakkan sebagian geraian rambut pada pipinya. Tangan kiri bergerak sedikit di atas pinggulnya mengikuti gerakan pinggulnya yang meliuk. Sepasang matanya setengah dipejamkan. Lalu terdengar suaranya.

“Sudah lama kita tidak berjumpa.... Dan sebenarnya sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu, Guru Besar Liang San....”

Guru Besar Liang San sesaat tadi sempat tergetar melihat gerakan Bidadari Bulan Emas. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Sementara Pendekar 131 mendelik dengan dada berdebar. Namun murid Pendeta Sinting ini tak hendak alihkan pandangannya dari sosok Bidadari Bulan Emas.

“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San. “Harap kau suka tinggalkan tempat ini!”

Bidadari Bulan Emas hentikan liukan pinggulnya. Kedua tangannya ditarik ke atas didekapkan pada dadanya. Tetap dengan senyum mengembang dia angkat suara. “Rupanya hari ini kau lain dari biasanya. Dan harap kau tahu, untuk kali ini rasanya aku tak dapat memenuhi permintaanmu....”

Guru Besar Liang San sentakkan kepala menghadap Bidadari Bulan Emas. “Tampaknya dia sudah tahu urusan! Hem.... Apa boleh buat. Kalau dia tak bisa dijinakkan dengan kata-kata, terpaksa aku melenyapkannya juga!”
Membatin begitu, Guru Besar Liang San segera angkat suara. “Bidadari Bulan Emas! Sebenarnya apa maumu?!”

“Kita punya maksud sama, Guru Besar.... Namun aku datang dengan membawa imbalan yang tidak kau tawarkan pada pemuda itu! Tapi aku bukanlah orang yang tidak adil. Kalau kau mau tawaranku, aku juga akan memberimu imbalan pantas!” Habis berkata begitu, kedua tangan Bidadari Bulan Emas diturunkan ke bawah. 

Kaki kanannya diangkat. Dengan bibir tetap tersenyum perlahan-lahan perempuan berparas cantik ini tarik pakaiannya keatas! Joko makin melotot melihat gerakan kain putih milik Bidadari Bulan Emas yang pelan-pelan menyingkap hingga menampakkan kemulusan betis dan pahanya!

“Edan! Pahanya mulus dan kencang...,” desis murid Pendeta Sinting dengan dada makin berdebar. Dan entah karena terkesima dan tak sabar melihat gerakan singkapan kain yang terlalu pelan-pelan, Joko tundukkan sedikit kepalanya dengan tubuh sedikit dibungkukkan!

Tampaknya Bidadari Bulan Emas dapat melihat gerakan Joko. Dengan melirik, perempuan ini gerakkan tangan kiri. Lalu perlahan-lahan pula tangan kirinya menarik pakaian yang masih membungkus kaki kirinya!

“Astaga! Perempuan ini benar-benar nekat! Tapi sayang jika pemandangan ini dibiarkan, berlalu begitu saja! Siapa tahu, dia tidak mengenakan pakaian dalam....”

“Cukup!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari mulut Guru Besar Liang San tatkala singkapan pakaian Bidadari Bulan Emas dua jengkal lagi sampai di pangkal pahanya. Bidadari Bulan Emas hentikan gerakan kedua tangannya. Namun perempuan ini tidak berusaha menutup kembali pakaiannya yang telah tersingkap.

“Guru Besar Liang San.... Kudengar suaramu bergetar.... Harap dimaafkan. Aku hanya ingin menunjukkan kalau imbalan yang akan kuberikan sangat layak! Kau nanti bisa menikmatinya sepuasmu.... Bahkan aku telah menyediakan tempat yang pantas pula! Kau tak perlu khawatir ada orang yang tahu.... Karena aku yakin, kau pasti masih takut untuk melakukannya! Sebab mungkin baru pertama kali ini kau akan menikmatinya sepanjang usiamu....”

“Amitaba...,” gumam Guru Besar Liang San sambil pejamkan sepasang matanya dengan dada bergemuruh karena tadi sempat melihat singkapan paha Bidadari Bulan Emas.

Di lain pihak, Joko tambah pentang mata apalagi dia tahu Bidadari Bulan Emas tidak memandang ke arahnya.

“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San dengan suara setengah tersendat dan agak bergetar. “Sekali lagi kuminta kau segera tinggalkan tempat ini! Imbalan apa pun yang akan kau berikan, aku tidak akan tertarik!”

“Hem.... Betul begitu?!” tanya Bidadari Bulan Emas. Saat bersamaan tiba-tiba perempuan ini putar tubuh menghadap Pendekar 131.

Murid Pendeta Sinting gelagapan dan buru-buru luruskan tubuh dengan mata diarahkan ke jurusan lain. Namun wajahnya berubah merah padam. Bidadari Bulan Emas tersenyum.

“Pendekar 131! Bagaimana dengan kau?! Apakah juga tidak tertarik dengan imbalan yang kujanjikan?! Bahkan untukmu, aku masih menambah dengan tawaran yang pernah kukatakan tempo hari!”

Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat bertemu sebelumnya dengan Bidadari Bulan Emas. Saat itu Bidadari Bulan Emas menjanjikan memberi perahu dan pengawalan sampai Joko menyeberang laut. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit).

“Hem.... Ternyata mereka sudah pernah bertemu sebelum ini!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Matanya tetap dipejamkan. Namun orang ini diam-diam kerahkan tenaga dalam dan pasang telinga baik-baik.

“Kau tidak menjawab. Berarti kali ini kau setuju dengan tawaranku!” kata Bidadari Bulan Emas saat ditunggunya murid Pendeta Sinting tidak buka mulut. Perempuan ini segera lepaskan pegangannya pada kain bawahnya. Lalu melangkah ke arah Joko.

“Jangan bergerak dari tempatmu!” Mendadak Guru Besar Liang San perdengarkan bentakan. Matanya tetap terpejam meski kini wajahnya dihadapkan lurus pada Bidadari Bulan Emas.

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah. “Guru Besar.... Aku telah menawarkan sesuatu padamu dan kau tidak setuju. Berarti diantara kita tidak ada lagi urusan! Sekarang kuharap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan kenikmatan antara aku dengan pemuda itu.... Atau barangkali kau sekarang berubah pikiran?!”

Guru Besar Liang San buka matanya. “Aku harus selesaikan dulu urusanku dengan pemuda itu. Setelah itu silakan kau urusi tawaranmu dengannya!”

“Sayang sekali.... Mungkin kau belum tahu. Urusan kenikmatan tidak bisa ditunda-tunda, Guru Besar!” kata Bidadari Bulan Emas dengan sunggingkan senyum lalu berpaling pada Joko dan berkata. “Bukankah begitu, Pendekar?!” Habis bertanya, Bidadari Bulan Emas lanjutkan langkah.

Joko pandang silih berganti pada Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas. “Tunggu!” Joko berseru ketika melihat Bidadari Bulan Emas terus melangkah ke arahnya sementara Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan atau buka suara.

Namun Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan orang. Dia teruskan langkah meski sesekali ekor matanya melirik pada Guru Besar Liang San.

“Tunggu!” kembali Joko berteriak dengan kedua tangan diangkat memberi isyarat agar Bidadari Bulan Emas hentikan langkah.

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan bibir tersenyum. “Pendekar 131.... Kau tak usah khawatir! Aku yang menawarkan. Jadi aku yang berhak memilih.... Dan aku jatuhkan pilihan padamu! Lagi pula Guru Besar itu tidak tertarik pada tawaranku. Tapi mungkin penolakannya itu karena ada kau di sini.... Meski begitu, aku tidak akan mengecewakan orang....” Bidadari Bulan Emas menoleh pada Guru Besar Liang San. “Guru Besar.... Aku akan mengatakan satu tempat padamu. Setiap saat tempat itu akan terbuka untuk kedatanganmu. Dan kau boleh....”

Belum sampai Bidadari Bulan Emas teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menyahut. “Jangan mimpi kau bisa membodohiku! Sekali lagi kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat ini!”

“Baik!” kata Bidadari Bulan Emas dengan masih tersenyum. Dia berpaling pada Joko. “Pendekar 131... Dia tidak senang dengan keberadaan kita.... Sebaiknya kita turuti kemauannya!”

“Kau datang sendiri! Jangan berlaku bodoh pergi mengajak orang lain!” Guru Besar Liang San membentak.

“Hem.... Baik!” ujar Bidadari Bulan Emas dengan memandang pada murid Pendeta Sinting. Perempuan ini kedipkan sebelah matanya. Lalu berpaling dan tengadah seraya berkata. “Kita lihat nanti. Apakah pemuda itu akan ikut denganmu yang tidak menawarkan apa-apa atau ikut denganku yang menjanjikan kenikmatan luar biasa!” Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas gerakkan tubuh memutar setengah lingkaran. Saat berikutnya dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

“Hem.... Perempuan ini tentu tahu banyak. Aku akan mengikutinya meski aku harus lebih waspada!” Joko akhirnya memutuskan. Lalu berteriak. “Bidadari! Tunggu! Aku ikut denganmu! Aku ingin kenikmatan luar biasa itu!” Joko berkelebat ke depan. Namun Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. la cepat melesat ke depan dan menghadang.

“Anak muda! Serahkan dulu apa yang kuminta! Setelah itu silakan kau bersenang-senang dengannya!”

“Aku telah menyerahkannya pada Guru Besar Pu Yi! Dan harap tidak menghalangiku.... Kau tahu, tawaran menarik ini tidak selamanya bisa didapati perempuan cantik. Tubuhnya bahenol dan kulitnya mulus....”

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan dahi berkerut. “Apa benar dia telah serahkan peta wasiat itu pada Guru Besar Pu Yi?! Celaka kalau hal ini benar- benar terjadi.... Padahal Guru Besar Pu Yi telah tewas. Tapi kalau benar, mengapa Guru Besar Liang San masih memintanya pada pemuda itu?! Hem.... Ini ada dua kemungkinan. 

Pemuda itu benar-benar telah memberikan peta wasiat pada Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar Pu Yi sengaja merahasiakannya. Kedua, pemuda itu hanya membuat alasan! Tapi aku tak boleh sia-siakan kesempatan ini! Dia tadi telah memutuskan untuk ikut denganku! Hem.... Ucapan Guru ternyata benar. Aku harus menghadapi laki-laki bukan dengan pukulan, tapi dengan cara lain....”

Setelah membatin begitu Bidadari Bulan Emas balikkan tubuh lalu berkata. “Guru Besar Liang San.... Kau telah dengar jawaban dan permintaan orang. Harap kau suka membiarkannya pergi!”

“Dia tak akan pergi!”

“Hem.... Kau menolak dan tidak tertarik dengan tawaranku. Sebaliknya kau menghalangi dia pergi. Aku jadi khawatir. Jangan-jangan kau selama ini punya selera dengan sesama jenis!”

Tampang Guru Besar Liang San berubah tegang dan merah padam. Dia balikkan tubuh menghadap Bidadari Bulan Emas. “Aku telah cukup bersabar. Namun ucapanmu sudah sangat keterlaluan!”

“Kau yang terlalu karena hendak menghalangi orang yang ingin bersenang-senang!”

Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan gejolak amarah. Tangan kanannya diangkat. Namun dia tidak segera lepas pukulan.

Sementara di seberang, Bidadari Bulan Emas tersenyum danb erkata. “Aku telah turuti permintaanmu. Datang sendiri dan akan pergi sendiri pula. Tapi aku tidak akan tinggal diam kalau kau halangi orang yang akan ikut denganku!”

Bidadari Bulan Emas teruskan pandang matanya lewat pundak Guru Besar Liang San ke arah Pendekar 131 yang tegak di belakang Guru Besar Liang San. Dengan tersenyum, Bidadari Bulan Emas berseru. “Pendekar 131! Tentunya kau sudah tak sabar....”

“Ah....Benar!” sahut murid Pendeta Sinting sebelum ucapan Bidadari Bulan Emas selesai. “Kita teruskan rencana!”

Belum sampai ucapannya selesai, Joko telah berkelebat melewati Guru Besar Liang San dan tahu-tahu sosoknya telah tegak menjajari Bidadari Bulan Emas. Saat lain Joko menggandeng tangan si perempuan lalu balikkan tubuh. Bidadari Bulan Emas sempat terkejut dengan sikap Pendekar 131 yang berubah seketika. Karena pada pertemuan pertama, Joko tampak tidak tertarik sama sekali meski sempat terpesona dengan paras dan sikap orang. Bidadari Bulan Emas tersenyum dan menggenggam erat tangan Joko. Kejap lain perempuan ini ikut balikkan tubuh.

***

SEBELAS

GURU Besar Liang San makin berang. Tangan kirinya segera diangkat menjajari tangan kanannya. Kejap lain kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar 131 Joko Sableng dan Bidadari Bulan Emas yang hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum dua gelombang dahsyat berkiblat dari kedua tangan Guru Besar Liang San, mendadak udara di tempat itu disemburati kilauan cahaya putih. 

Guru Besar Liang San berpaling ke arah sumber cahaya dan cepat tadangkan kedua tangannya di depan mata karena silau. Sementara di depan sana, Pendekar 131 dan Bidadari Bulan Emas urungkan niat berkelebat. Malah karena silau, kedua orang ini cepat le- paskan genggaman tangan masing-masing dan segera ditadangkan di depan mata.

“Apa yang terjadi?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku juga tak tahu! Tapi jelas ini bukan ulah manusia gundul itu! Ada orang lain yang melakukannya!” jawab. Bidadari Bulan Emas seraya palingkan kepala dengan tangan masih di depan mata.

Begitu Guru Besar Liang San, Pendekar 131, dan Bidadari Bulan Emas tadangkan masing-masing tangan, mendadak semburatan cahaya lenyap. Masing-masing orang sama turunkan tangan lalu memandang ke satu arah. Tiga puluh langkah di seberang sana terlihat satu benda bulat berupa batu putih yang bergerak terayun- ayun di ujung sebuah tambang. Tambang itu lurus ke atas ke sebuah rimbun dedaunan sebatang pohon besar.

Guru Besar Liang San tersentak. “Dia!” desisnya dengan mata bergerak mengikuti tambang yang masuk ke rimbun dedaunan.

Di lain pihak, murid Pendeta Sinting dan Bidadari Bulan Emas gerakkan kepala ke arah rimbun dedaunan di mana tambang berujung batu putih berasal. Namun sejauh ini, baik Guru Besar Liang San, Pendekar 131, maupun Bidadari Bulan Emas belum melihat siapa-siapa. Hanya saja, Guru Besar Liang San sudah bisa menebak siapa adanya orang di balik rimbun dedaunan.

“Kau tahu siapa yang membuat permainan ini?!” Joko kembali bertanya.

Sepasang mata Bidadari Bulan Emas turun naik memperhatikan tambang dan batu putih yang bergoyang-goyang. “Tak mungkin!” desisnya.

Joko menoleh. “Apa yang tak mungkin?!”

“Tak mungkin dia! Tapi....”

“Dia siapa?! Tapi apa?!” Joko terus bertanya seolah tak sabar karena Bidadari Bulan Emas tidak segera menjawab.

Belum sampai Bidadari Bulan Emas buka mulut lagi, tiba-tiba rimbun dedaunan bergerak. Satu sosok tubuh meluncur ke bawah. Bersamaan dengan itu batu bulat putih di ujung tambang melesat ke atas. Lalu melayang ke bawah tepat di depan wajah orang ketika sosok yang meluncur dari rimbun dedaunan injakkan kaki di atas tanah. Hingga baik Guru Besar Liang San, Joko, dan Bidadari Bulan Emas tidak bisa melihat raut wajah orang!

“Astaga! Tampaknya memang dia!” desis Bidadari Bulan Emas dengan wajah berubah tegang.

“Dari tadi kau terus berkata dia! Dia dan dia!” Pendekar 131 menggerendeng. Sementara sepasang matanya menatap tak berkesip ke depan. Malah karena ingin melihat tampang orang, dia gerakkan kepala ke samping kanan. Namun di depan sana, orang yang baru meluncur dari atas pohon ikut gerakkan kepala dan kakinya bergerak satu tindak ke samping kiri. Hingga Joko, gagal melihat wajah orang.

“Heran! Dia sepertinya malu-malu tunjukkan tampang!” gumam murid Pendeta Sinting. Kini dia coba gerakkan kepala ke samping kiri. Bersamaan dengan itu, orang di depan sana juga gerakkan kepala. Anehnya, meski wajahnya tertutup bundaran batu putih, orang ini seolah tahu kemana gerakan kepala Joko!

“Busyet! Ada apa dengan orang ini? Mengapa wajahnya takut dipandang orang?!” Joko terus bergumam. Dan mungkin penasaran, Joko gerakkan kepala ke samping kanan kiri.

Di depan sana, orang yang wajahnya tertutup batu putih goyangkan pantatnya. Tambang yang bagian pangkalnya ternyata berada di punggungnya serentak bergerak-gerak. Batu putih di ujung tambang bergoyang-goyang seirama gerakan kepala Pendekar 131! Murid Pendeta Sinting mulai dongkol. Dia berkelebat ke samping dengan kerahkan tenaga dalam hingga gerakannya hampir sulit ditangkap mata biasa. Namun orang di depan sana cepat putar diri setengah lingkaran! Hingga kembali Joko tidak dapat melihat wajah orang.

“Jangkrik! Aku bisa gila sendiri jika terus turuti orang itu!” Joko balikkan tubuh lalu melompat lagi dan tegak menjajari Bidadari Bulan Emas dengan tampang

“Menurut yang kudengar, dia akan selalu berbuat begitu jika ada orang memaksakan diri hendak melihat wajahnya. Tapi jika orang berlaku biasa saja, kadang-kadang dia akan tunjukkan wajahnya....” Bidadari Bulan Emas berbisik.

“Kalaupun dia nanti tunjukkan tampang, aku tidak akan melihatnya! Daripada melihat tampang yang begitu-begitu, lebih baik melihatmu!” Joko menyahut seraya melotot pada Bidadari Bulan Emas.

Yang dipelototi tersenyum dan busungkan dada. Dan merasa khawatir munculnya orang akan menambah urusan, Joko segera angkat suara pelan. “Bidadari.... Kita harus segera pergi! Biarlah orang aneh itu jadi urusan Guru Besar Liang San.... Kita punya acara sendiri, bukan?!”

Bidadari Bulan Emas lebarkan senyum. Kepalanya bergerak mengangguk. Mulutnya membuka. Namun sebelum suaranya terdengar, orang yang wajahnya tertutup batu putih dan tidak lain adalah Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara.

“Kalau akan bersenang-senang, mengapa tidak mengajakku ikut serta?! Apakah aku tidak pantas untuk ikut menikmatinya?!”

Semua yang ada di tempat itu terkesiap mendapati orang telah tahu maksud Bidadari Bulan Emas dan murid Pendeta Sinting. “Busyet! Bagaimana dia bisa tahu maksud kita?! Jangan-jangan dia sudah sejak tadi berada di sekitar tempat ini dan mendengarkan semua pembicaraan kita!” kata Joko. Kepalanya berpaling ke arah Dewa Cadas Pangeran. “Bidadari.... Dia bisa merusak acara asyik kita!”

“Hem.... Kehadirannya benar-benar akan menghalangi langkahku! Apa yang harus kulakukan?! Menurut yang kudengar, dia berilmu sangat tinggi! Belum lagi harus menahan gerakan Guru Besar Liang San....” Diam-diam Bidadari Bulan Emas membatin. Lalu berbisik pada Joko. “Pendekar 131.... Kita belum tahu apa maksud dia sebenarnya. Lebih baik kita bicara baik- baik dahulu. Kau tahu.... Dia adalah tokoh negeri ini dari generasi lama. Itulah sebabnya mengapa aku tadi hampir tidak percaya dengan kemunculannya. Sebab beberapa tokoh yang satu angkatan dengan dia sudah banyak yang meninggal! Lagi pula namanya sudah jarang sekali disebut-sebut orang....”

“Aku tak pernah merasa punya urusan dengan dia! Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Dan peduli setan siapa dia sebenarnya!” Joko sambuti ucapan Bidadari Bulan Emas dengan dada tetap mendongkol karena sikap orang.

“Pendekar 131.... Kau memang tak punya urusan dengan dia. Tapi kau harus sadar, siapa pun saat ini pasti merasa punya urusan denganmu! Kau tentu tahu urusan apa itu....”

“Persetan dengan segala macam urusan! Kalau kau tak ingin pergi, aku akan pergi sendiri!” Joko sudah hendak gerakkan tubuh.

Namun tangan kanan Bidadari Bulan Emas cepat mencekal lengannya dan berkata. “Aku akan bicara dengannya! Kau harus dengar dan tahu apa maksud dia sebenarnya! Setelah itu baru kita pergi!”

Setelah berkata begitu, masih cekal lengan murid Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas angkat suara. “Kalau tak salah, bukankah yang ada di hadapanku saat ini adalah Dewa Cadas Pangeran?!”

Guru Besar Liang San yang sedari tadi tegak diam dan memperhatikan pada Dewa Cadas Pangeran tampak terlengak. “Astaga! Mengapa aku lupa?! Rasanya aku memang pernah dengar nama itu!” gumam Guru Besar Liang San sekali lagi perhatikan orang dengan lebih seksama. “Mungkin ini karena aku terlalu tenggelam memikirkan peta wasiat itu!”

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara tawa pendek. Namun meski semua orang menunggu ucapannya, kakek ini tidak juga angkat suara, membuat Bidadari Bulan Emas berkata lagi.

“Orang tua! Siapa pun kau adanya, harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!”

“Orang cantik! Aku ingin tanya. Apakah orang sepertiku ini tidak pantas mendapat kenikmatan?!”

“Siapa pun berhak mendapatkannya!”

“Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut bersama denganmu?! Bukankah kau hendak bagi-bagikan kenikmatan?!”

Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah memerah. Namun perempuan ini menahan gejolak geramnya dengan tersenyum dan berkata. “Orang tua! Sebenarnya aku memang ingin mengajakmu ikut serta dan membagi kenikmatan denganmu. Tapi sayang sekali.... Hari ini aku telah menentukan pilihan.... Lagi pula aku tidak biasa membagi kenikmatan dengan orang yang belum kukenal!”

“Ah.... Kau berpura-pura. Bukankah kau telah tahu namaku?!”

“Hem.... Jadi benar dia adalah Dewa Cadas Pangeran!” Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas sama membatin.

Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Guru Besar Liang San. “Hem.... Dewa Cadas Pangeran mungkin masih bisa diajak kompromi. Aku akan memanfaatkan dia untuk menghadang gerakan Guru Besar Liang San....”

Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas arahkan wajahnya pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata. “Dewa Cadas Pangeran! Karena aku telah tahu siapa kau, dan demi agar kau tidak kecewa, aku akan mengajakmu ikut serta dan aku berjanji akan membagi kenikmatan pula denganmu!”

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. Batu putih di depan wajahnya bergoyang-goyang keras mengikuti gerakan kepala orang yang tersentak-sentak. Sementara Pendekar 131 tampak terlengak mendengar ucapan Bidadari Bulan Emas. Di lain pihak, Guru Besar Liang San makin tidak enak. Tampaknya dia sadar, kalau benar Dewa Cadas Pangeran hendak ikut Bidadari Bulan Emas, maka dia harus berhadapan dengan tiga orang.

Sementara murid Pendeta Sinting membatin. “Celaka kalau dia hendak ikut serta! Aku yakin, meski dia mengatakan ingin merasakan kenikmatan, tapi sebenarnya dia akan mengikutiku! Pasti dia sudah tahu tentang peta wasiat itu!”

“Bidadari!” kata Joko. “Aku tak ingin ada orang lain di antara kita! Sekarang kau harus putuskan. Memilih dia atau aku!”

“Ha Ha Ha...! Tak usah khawatir, Anak Muda!” Tiba-tiba Dewa Cadas Pangeran angkat suara. “Bukan saja kau yang tak ingin diikuti orang lain! Aku pun demikian! Aku tak ingin kau ada di antara aku dan Bidadari Bulan Emas!”

Bidadari Bulan Emas terkesiap. Bukan saja karena ucapan Dewa Cadas Pangeran yang membuatnya bingung, namun ternyata Dewa Cadas Pangeran telah tahu siapa dirinya!

“Bidadari Bulan Emas!” Dewa Cadas Pangeran kembali perdengarkan suara. “Sekarang keputusan ada di tanganmu! Kau memilih aku atau dia yang ikut dan berbagi kenikmatan denganku!”

Bidadari Bulan Emas eratkan cekatannya pada lengan Pendekar 131 dan berbisik. “Pendekar 131.... Tentu aku akan memilihmu! Tapi sengaja aku berkata mengajaknya, untuk menahan Guru Besar Liang San! Kau tahu, Guru Besar Liang San pun pasti masih berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan Dewa Cadas Pangeran! Setelah itu aku tahu bagaimana caranya menyingkirkannya! Itu urusanku! Jadi sementara ini kau pura-pura mengalah....”

Baru saja Bidadari Bulan Emas berbisik, di depan sana Dewa Cadas Pangeran angkat tangan kanannya. “Bidadari Bulan Emas.... Jangan kira kau bisa membohongi diriku! Aku ingin kau memilih tanpa ada rencana tersembunyi di baliknya! Dan kau, Anak Muda dari seberang laut! Kita sama laki-laki. Tak ada gunanya berlaku pura-pura mengalah!”

Bidadari Bulan Emas dan Pendekar 131 saling pandang dengan wajah sama berubah. Mereka tidak menduga kalau pembicaraan mereka dapat didengar Dewa Cadas Pangeran. Padahal jarak mereka agak jauh dan mereka berbisik!

“Apa boleh buat!” gumam Bidadari Bulan Emas kepalang basah. Dia dongakkan kepala lalu berkata. “Dewa Cadas Pangeran! Untuk kali ini aku memilih pemuda ini! Tapi aku masih memberimu kesempatan dan waktu jika kau ingin bersenang-senang denganku!”

“Ah.... Rupanya hari ini nasibku tidak baik! Dan sayangnya, kesempatan dan waktuku cuma hari ini!” Kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak menggeleng. Saat lain dia berkata. “Anak muda dari seberang laut! Bagaimana kalau hari ini kau berikan kesempatanmu padaku?! Bukankah kau masih punya tiga hari di depan?! Lagi pula kau masih muda! Waktumu masih panjang.... Tidak seperti diriku yang renta! Aku tak ingin sia-siakan kesempatan bagus ini!”

“Dia tahu waktuku masih tiga hari lagi! Berarti dia tahu tentang hari ganda sepuluh! Ini satu bukti kalau dia mengerti urusan peta wasiat!” Pendekar 131 membatin dengan dada tidak enak.

“Bagaimana, Anak Muda?!” Dewa Cadas Pangeran ajukan tanya saat ditunggu agak lama tidak terdengar sahutan dari Pendekar 131.

Entah karena apa tiba-tiba Joko enak saja menjawab. “Baiklah! Hari ini kesempatanku kuberikan padamu!” 

Bidadari Bulan Emas cengkeram lengan murid Pendeta Sinting dan berbisik dengan nada ketus. “Kau tidak sungguh-sungguh, bukan?!”

“Bidadari.... Dia mengaku telah berusia lanjut. Tak ada salahnya kalau kau berikan satu kenangan di akhir usianya itu!”

“Tidak! Aku tidak mau pergi bersamanya!” dengus Bidadari Bulan Emas.

Terima kasih, Anak Muda!” kata Dewa Cadas Pangeran. “Perihal dia tidak mau pergi bersamaku, itu urusanku! Yang penting kau telah serahkan hakmu padaku!”

Tengkuk Bidadari Bulan Emas mau tak mau jadi dingin mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran. Dari cerita yang pernah didengar, dia maklum siapa adanya Dewa Cadas Pangeran. Selain aneh, dia memiliki ilmu sangat tinggi dan sukar dijajaki. Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Joko. Namun sebelum dia sempat berucap, Dewa Cadas Pangeran telah perdengarkan suara.

“Anak muda dari seberang laut! Karena kau telah serahkan kesempatanmu padaku, harap kau sekarang segera pergi dari tempat ini!”

“Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini!"

"Tetap di tempat kalian masing-masing!”

Mendadak dua suara terdengar. Guru Besar Liang San, Bidadari Bulan Emas, serta Pendekar 131 tampak terkesiap. Kepala mereka berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tenang-tenang saja. Bahkan seolah tidak pedulikan ucapan yang baru saja terdengar, laki-laki ini melangkah ke arah Bidadari Bulan Emas...!

S E L E S A I
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar