SATU
MATAHARI tepat di atas kepala. Sinarnya yang kuning keemasan, seperti hendak menghanguskan semua makhluk di atas bumi. Tiupan angin sesekali membawa hawa panas yang pengap, membuat orang berpeluh.
Dua sosok tubuh tampak melangkah ringan menyusuri tanah yang berumput kering terpanggang sinar matahari. Kepala mereka dilindungi caping bambu lebar, sehingga wajah mereka tidak terkena gigitan sinar matahari.
"Di hutan sebelah depan sana, kita istirahat sebentar, Kakang. Aku tidak tahan berjalan di tengah panas seperti ini...," ujar sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau seraya menolehkan wajahnya. Tampaklah seraut wajah jelita dengan butir-butir peluh di kening dan pipinya. Sosok ramping itu seorang gadis muda, berusia sekitar sembilan belas tahun.
Pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, hanya menganggukkan kepala. Dan memberikan isyarat agar mempercepat langkah. Sebentar kemudian, keduanya tiba di tepi hutan.
"Kita terus ke dalam, atau beristirahat di sini?" tanya pemuda tampan berjubah putih sambil melepas caping bambunya, dan menggunakannya untuk mengipasi tubuh. Wajah pemuda itu berpeluh. Bahkan sebagian tubuhnya sudah basah, hingga menembus jubah luarnya.
"Sebaiknya, kita beristirahat di sebelah dalam saja, Kakang. Di sini panasnya masih terasa menyengat...," jawab si gadis sambil mengipasi tubuhnya yang berlelehan peluh.
Setelah berkata demikian, gadis itu melangkah memasuki hutan, diiringi pemuda tampan kawan seperjalanannya. Tidak berapa lama kemudian, keduanya tampak duduk bersandar pada sebatang pohon besar yang berdaun rindang. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Pasangan muda itu sungguh-sungguh menikmati sejuknya hembusan angin yang menerpa tubuh mereka.
Namun, ketenangan itu rupanya tidak berlangsung lama. Enam sosok tubuh berwajah pucat, bermunculan dari sekitar tempat itu. Dari raut wajah dan sorot matanya, jelas terlihat bahwa kemunculan mereka tidak bermaksud baik. Kedua orang muda itu segera bergerak bangkit berdiri, dan saling bertukar pandang dengan tatapan heran.
"Hm.... Tampaknya mereka bermaksud kurang baik. Entah siapa mereka? Yang jelas bukan orang sembarangan. Sebab, aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki mereka...?" bisik pemuda tampan berjubah putih itu kepada gadis disebelahnya.
"Siapa pun mereka, dan apa pun maksud kedatangannya, yang jelas mereka telah mengganggu ketenangan kira! Dan, aku tidak menyukai hal itu...!" gadis itu mengomel dengan nada jengkel. Jelas, ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran tamu tak diundang yang bersikap tidak bersahabat itu.
Sementara itu, keenam sosok tubuh berwajah pucat dengan sorot mata tajam, sudah melangkah semakin dekat. Mereka melakukan gerakan mengepung. Jelas sudah, kalau kedatangan mereka memang tidak bermaksud baik.
"Kalian berdua telah melanggar peraturan, memasuki wilayah kekuasaan majikan kami tanpa izin. Untuk itu, kalian berdua harus mendapat hukuman...!"
Seorang yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suara kaku dan sikap angkuh. Hal ini makin membuat dara jelita berpakaian hijau itu bertambah jengkel. Dengan wajah berang, dara jelita itu melangkah maju beberapa tindak menghampiri lelaki kurus tadi.
"Hm.... Kalian ini siapa? Apakah hutan ini milik kalian? Sehingga bisa mengusir orang seenaknya saja? Kalau aku tidak bersedia menerima hukuman itu, kalian mau apa...?" tantang gadis itu sambil bertolak pinggang. Wajahnya merah padam menahan marah.
Berbeda dengan gadis itu, pemuda tampan berjubah putih lebih memiliki kesabaran dibanding kawannya. Dengan langkah tenang, ia bergerak maju. Disentuhnya tubuh si gadis dengan maksud agar bersikap sabar, dan menyerahkan persoalanitu kepadanya. Sejenak, dara jelita itu seperti hendak membantah. Tapi, ketika dilihatnya senyum lebar serta anggukan kepala pemuda itu, ia pun mengangguk lemah.
"Kisanak. Maaf, kami telah lancang memasuki wilayah kekuasaan kalian tanpa izin. Sudilah kiranya Kisanak menarik kembali hukuman untuk kami. Sebab kami tidak tahu, kalau hutan ini merupakan daerah kekuasaan kalian. Sekali lagi, kami mohon maaf. Secepatnya kami akan meninggalkan tempat Ini..," ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara lembut dan sopan. Kemudian, ia mengajak kawannya untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Tidak bisa!" Lelaki tinggi kurus bermuka pucat itu membentak dengan nada tinggi. Membuat kedua anak muda itu menahan langkahnya, dan memandang dengan wajah heran.
"Mengapa kalian tidak memperbolehkan kami pergi? Apakah perbuatan kami tidak bisa dimaafkan...?" tanya pemuda tampan itu penasaran, melihat sikap lelaki tinggi kurus yang ingin memaksakan kehendaknya.
"Kalian tetap akan mendapat hukuman...!" tegas lelaki itu sambil menggerakkan tangannya memberi isyarat. Kelima lelaki berwajah pucat lainnya, segera merapatkan kepungan. Jelas sudah, perkelahian sulit dihindari lagi.
"Hm..." Pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan, seraya mengedarkan pandangannya merayapi wajah keenam lelaki muda yang berwajah pucat. Ia melihat adanya keganjilan, baik dari sikap maupun ucapan lelaki tinggi kurus itu. Wajah mereka yang tanpa sinar kehidupan, dan sinar yang kaku, membuat pemuda itu ingin mengetahui penyebab keanehan-keanehan yang ada pada diri keenam telaki muda sebayanya. Dan ketika merasa tidak mungkin lagi menghindari perkelahian, pemuda itu pun bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Hmh...!" Tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang rupanya pimpinan kelompok itu mendengus sambil mengibaskan lengan kanannya. Dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk meringkus pemuda tampan serta dara jelita itu.
"Heaaah.!"
Pemuda maupun gadis itu tidak sudi menyerah begitu saja. Mereka bergerak ke kiri dan kanan menyambut datangnya serangan lawan. Tiga sosok tubuh berwajah pucat itu menyerang secara bersamaan.
Plak! Plak! Plak!
"Heh?!" Pemuda tampan berjubah putih, yang memang mencurigai orang-orang berwajah pucat itu, tak urung merasa kaget juga ketika mencoba memapaki serangan lawan. Beruntung ia tidak memandang remeh mereka. Dirasakannya tenaga dalam kuat yang disertai hawa panas, mengalir melalui serangan lawan. Ia heran melihat ketiga orang pengeroyoknya tidak menunjukkan reaksi apa pun. Bahkan, mereka kembali merangsek maju. Sepertinya mereka ingin menyelesaikan perkelahian itu secepatnya.
"Hm. ," pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan. Ia melompat ke belakang sejauh satu setengah tombak. Dilihatnya gadis jelita itu tengah dikeroyok tiga orang lawan. Menyadari kekuatan lawan, ia merasa khawatir gadis itu tidak dapat menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang pengeroyoknya. Tetapi, rupanya gadis itu dapat mengimbangi mereka. Pemuda itu sedikit berlega hati. Maka ia pun segera bergerak maju menghadapi serangan ketiga orang lawannya tadi.
"Kalian terlalu memaksa, Kisanak ," ujar pemuda tampan itu.
Melihat ketiga orang lawannya tidak meladeni dan kembali menyerang dengan jurus-jurus maut, pemuda itu segera mengimbanginya dengan mengerahkan tenaga saktinya. Sekujur tubuhnya tampak diselimuti kabut putih keperakan, yang memancarkan hawa dingin menggigit tulang.
Kali ini, justru ketiga pengeroyoknya yang terkejut. Kelihatan, mereka mulai terdesak. Pemuda berjubah putih itu, jelas tidak bisa dianggap enteng. Maka, mereka melancarkan jurus-jurus mematikan untuk mendesaknya.
Melihat kenyataan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji, atau berjuluk Pendekar Naga Putih, makin memperhebat serangannya, ia pun berusaha mendesak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Heaaat..!"
Tubuh Panji berkelebat cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Sebentar saja, ketiga orang lawan merasa seperti tengah bertarung dengan bayangan mereka sendiri. Setiap kali mereka melontarkan serangan, bayangan lawan selalu saja telah lenyap dari pandangan mata. Ini membuat mereka makin sibuk dan kewalahan menghadapinya.
Desss...!
Suatu saat, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan telapak tangan kanannya ke tubuh seorang pengeroyok. Karuan saja, tubuh lelaki kurus yang menjadi pimpinan orang-orang berwajah pucat itu terpental deras. Pukulan yang keras dan mengandung hawa dingin itu, ternyata tidak membuatnya menjadi lumpuh.
Tubuh yang tengah meluncur itu, berputaran di udara, dan mendarat ringan dengan kedua kaki lebih dahulu. Wajahnya tetap datar dan dingin tanpa perasaan. Seolah pukulan keras Pendekar Naga Putih tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Hal ini sempat membuat Panji terheran-heran.
"Gila! Dari partai mana sebenarnya orang-orang aneh ini? Mereka memiliki tenaga dalam yang mengandung hawa panas. Dan mereka pun ternyata memiliki kekebalan tubuh yang cukup ampuh! Aku tidak boleh memberi hati lagi kepada mereka. Bisa-bisa aku yang celaka di tangan orang-orang aneh ini...," desis Panji, yang mulai merasa yakin bahwa orang-orang berwajah pucat itu memang memiliki kepandaian tinggi.
"Yeaaah...!"
Mendadak ketiga orang itu berteriak secara bersamaan. Tubuh mereka berlompatan, dan bersatu dengan cara saling menempelkan telapak tangan masing-masing. Panji mengerutkan kening, ketika melihat dari telapak tangan mereka berpendaran sinar kuning keemasan yang meniupkan hawa panas. Jelas, ketiga orang pengeroyoknya itu mulai mengeluarkan ilmu andalan.
"Heaaah...!"
Dengan teriakan mengguntur, ketiga orang lelaki muda berwajah pucat itu kembali melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Yang mengejutkan, setiap kali telapak tangan mereka bergerak, selalu disertai kilatan sinar kuning keemasan yang menyilaukan mata. Bahkan hawa panas yang disebarkan, terasa sangat menyengat, membuat udara di sekitar arena pertarungan terasa panas seperti di dalam tungku.
"Gila...! Kepandaian mereka ternyata lebih hebat dari yang kubayangkan...!" desis Panji. Secepat kilat, pemuda itu melompat ke samping kanan, ketika salah seorang lawannya melontarkan sebuah pukulan jarak jauh diiringi kilatan cahaya kuning keemasan.
Blarrr...!
Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan itu. Sebatang pohon besar yang menjadi sasaran, berderak, dan roboh dengan bagian yang terkena pukulan hangus bagaikan terjilat lidah api Panji semakin berhati-hati dibuatnya.
Di bagian lain, Pendekar Naga Putih melihat dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga, tengah terdesak oleh ketiga orang pengeroyoknya. Kenanga agak kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Mereka sama lihainya dengan pengeroyok Panji. Melihat itu, Pendekar Naga Putih merasa khawatir akan nasib kekasihnya. Perhatiannya terpecah, sehingga lawan berhasil mendesaknya.
"Kurang ajar...!" geram Panji sambil berlompatan menghindari sergapan lawan- lawannya. Untuk mengimbangi kekuatan lawan, dengan terpaksa ia mulai menggunakan ilmu andalannya yang telah membuat namanya dikenal oleh kaum rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Diiringi pekikan yang menggetarkan jantung, Panji memainkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Tubuhnya berkelebat cepat, bagaikan seekor naga putih yang tengah bermain-main di angkasa. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat, disertai hembusan angin dingin menusuk tulang!
Plak! Plak! Plak!
Ketiga orang pengeroyok itu berusaha memapaki terkaman Panji yang jelas sangat berbahaya itu. Kali ini, mereka merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu. Tamparan dan pukulan mereka tidak berarti sama sekali. Bahkan, mulai terdesak oleh sambaran-sambaran angin dingin yang menusuk tulang sumsum. Terbukti, tenaga hawa panas mereka kalah dengan hawa dingin 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
"Haiiit..!"
Desss! Buggg...!
"Aaakh...!" Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih sulit diimbangi lawan-lawannya. Dua buah hantaman keras Panji bersarang di dada dan lambung dua orang lawannya. Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terjungkal keras, dan terbanting ke tanah.
Kali ini, orang-orang berwajah pucat itu mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih. Kekebalan tubuh mereka mampu ditembus, setelah Panji mengerahkan lebih dari separuh tenaga saktinya untuk melancarkan pukulan itu. Tubuh kedua orang lawannya menggigil diselimuti lapisan kabut putih.
Lawan Panji yang tinggal seorang itu tampak mulai merasa gentar. Orang itu bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Panji tidak mempedulikannya. Pemuda itu langsung melesat ke arah pertempuran yang berada dua tombak lebih di sebelah kanannya. Dan, langsung menerjunkan diri dalam pertarungan.
Plak! Plak!
Panji langsung mengirim dua tamparan keras, yang membuat dua orang pengeroyok Kenanga terpental sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, mereka yang sempat memapaki tamparan Panji, kembali melompat bangkit, dan membangun serangan yang lebih hebat.
Kenanga, yang kali ini hanya menghadapi seorang lawan, langsung menggempur musuhnya dengan sambaran-sambaran Pedang Sinar Rembulan. Sebentar saja, lawan dara cantik itu telah terdesak hebat, dan tak mampu lagi melakukan serangan balasan. Rupanya dalam kejengkelannya, Kenanga langsung saja mengeluarkan ilmu pedang andalannya. Sehingga kehebatannya tidak disangsikan lagi.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh tiga, Kenanga mengeluarkan bentakan nyaring. Tubuh ramping itu bergerak cepat, dengan sambaran pedang yang berkelebat laksana sambaran kilat.
Brettt..!
"Aaargh...!" Lelaki muda berwajah pucat itu memekik kesakitan, ketika dadanya tersambar Pedang Sinar Rembulan. Darah segar merembes keluar dari luka memanjang yang merobek kulit dan daging. Meskipun tidak mematikan, luka yang diderita orang itu cukup parah.
Serangan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis itu mengejar lawannya yang terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terluka. Dara jelita itu melenting ke atas, dan menukik turun seraya menjejakkan telapak kakinya ke dada lawan.
Buggg!
"Huagkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki muda berwajah pucat itu terjungkal ke tanah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, ia masih kuat, dan melenting bangkit, siap melanjutkan pertarungan.
Tapi, Kenanga tidak memberi kesempatan. Kembali kaki kanannya melayang dengan tendangan berputar, langsung menghajar pelipis lawan. Karuan saja tubuh orang itu terpelanting dan jatuh ketanah.
"Hm... Ingin kulihat, apakah kali ini kau masih mampu bangkit..?" ejek Kenanga seraya menatap wajah lawan yang mengerang menahan sakit. Diam-diam Kenanga kagum akan kekuatan lawan. Semestinya, lelaki berwajah pucat itu sudah jatuh pingsan akibat tendangannya tadi. Tapi, lelaki itu malah tengah berusaha bangkit kembali. Tentu saja kenyataan itu membuat Kenanga mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Hmh...!" Sosok lelaki berwajah pucat itu menggeram gusar, penuh kemurkaan. Melihat hal itu. Kenanga siap menggebrak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Aihhh...!!" Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Kenanga terpekik ngeri, dan melangkah mundur dengan wajah pucat! Pemandangan di hadapannya sungguh mengerikan. Tubuh lelaki itu meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Sebentar saja kulit dan dagingnya lumer, hingga tulang-belulangnya saja yang masih tersisa!
Kenanga menatap tulang-belulang itu dengan mata terbelalak lebar. Perlahan tulang-belulang itu ambruk ke tanah. Kenanga baru menarik napas lega setelah melihat kejadian yang aneh dan mengerikan itu berakhir.
Panji yang mendengar jeritan kekasihnya segera melayang ke tempat dara jelita itu berada. Kesempatan itu digunakan kedua lawannya untuk melarikan diri. Sedangkan tiga orang lainnya telah pergi sejak tadi.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sedikit terkejut melihat kejadian yang sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiranku," ujar Kenanga yang kemudian menceritakan kejadian tadi pada Panji.
Panji memperhatikan tulang-tulang yang kini telah hancur. Kening pemuda itu berkerut dalam, mencoba memecahkan rahasia keenam orang aneh itu. Lama pemuda itu berpikir, tapi tak satu jawaban pun didapatnya.
"Hm.... Mungkin di sekitar hutan ini terdapat sebuah perguruan silat. Mari kita selidiki...," ujar Panji pada kekasihnya. Dengan cara itu Pendekar Naga Putih berharap dapat memecahkan misteri orang-orang berwajah pucat yang menghadangnya.
***
DUA
HARI masih sangat pagi. Fajar baru saja datang. Di ufuk Umur belum lagi terlihat tanda merah. Suara binatang malam masih terdengar ramai, menemani keremangan fajar. Dan tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit. Dalam keremangan itu, terlihat serombongan orang bergerak memasuki hutan. Mereka berbaris rapi, seperti sepasukan prajurit yang hendak berangkat ke medan laga.
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu dipimpin tiga orang lelaki tegap berwajah angker. Ketiganya mengenakan pakaian ringkas, yang membuat sosok mereka tampak ramping dan gesit. Dari gerak-gerik mereka, mudah ditebak kalau ketiganya merupakan orang-orang persilatan golongan tinggi. Hal itu terbukti dari sorot mata, dan cara mereka melangkah yang laksana harimau jantan.
Tepat di belakang ketiga lelaki itu, terdapat sebuah tandu yang dipikul empat orang lelaki bertubuh kekar. Tandu itu sendiri terhias indah dengan tirai-tirai yang terbuat dari sutera bersulam benang emas. Sedangkan di belakang para pemikul tandu, terdapat puluhan orang lainnya. Rombongan itu terus bergerak memasuki hutan lebat, dengan bantuan sinar obor yang dipegang beberapa orang anggota rombongan. Sehingga, perjalanan mereka tidak terlalu sulit.
Persis saat cahaya kemerahan mulai menghiasi kaki langit sebelah timur, salah seorang pimpinan rombongan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Mereka berhenti tepat di atas sebuah anak bukit. Kemudian, ketiga orang kepala rombongan berlutut diikuti paraanggotanya.
"Wahai Sang Dewi Matahari yang agung, penerang kegelapan. Kami, para pemujamu, datang untuk mempersembahkan tumbal bagi kejayaanmu. Semoga Sang Dewi berkenan menerimanya...!" terdengar salah seorang pimpinan rombongan yang berjubah panjang dan berikat kepala merah, berkata lantang sambil mengangkat kedua tangannya. Tubuhnya menghadap cahaya kemerahan yang semakin merona nyata. Jelas sudah, mereka adalah para penyembah Dewi Matahari.
Begitu ucapan pemimpin upacara selesai, dua orang lelaki kekar yang mengenakan jubah panjang berwarna merah, bergerak ke depan. Mereka mengiringi seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap, dan berbaju kuning emas. Ia mengenakan sebuah mahkota yang juga berwarna emas.
Lelaki tegap berjubah dan berikat kepala merah, yang menjadi pemimpin upacara suci itu, bergerak bangkit menyambut kedatangan pemuda tampan yang akan dijadikan tumbal. Sedangkan pengiringnya, kembali ke belakang dua orang pemimpin lainnya, yang saat itu masih tetap bersimpuh, berikut seluruh anggotanya.
"Anak muda...," panggil sang pemimpin upacara dengan suara berwibawa. "Kau sungguh beruntung terpilih menjadi pengawal Sang Dewi Matahari yang agung, penerang kegelapan. Semoga kau tidak mengecewakan hati Sang Dewi."
"Terima kasih, Ki. Semoga dengan pengabdianku ini, Sang Dewi yang agung, penerang kegelapan, akan memberikan anugerahnya kepada kita semua...," ujar pemuda tampan yang telah siap dipersembahkan pada Dewi Matahari yang mereka puja itu.
Lelaki gagah pemimpin upacara yang berusia lima puluh tahun itu tersenyum penuh keharuan. Kemudian, pemuda itu diminta untuk menuju sebuah pondok kecil, yang terletak sekitar dua tombak di depan rombongan.
Ki Sangkila, pemimpin upacara suci itu, kembali berlutut saat pemuda tampan berpakaian warna emas melangkah ke arah pondok. Demikian pula seluruh anggota rombongan. Sebentuk sinar kuning keemasan berpendar menerangi pondok, saat pemuda itu tiba di ambang pintu. Bagaikan benda hidup, sinar kuning keemasan itu langsung membungkus tubuh si pemuda. Dan, pintu pondok pun kembali tertutup. Perlahan sinar kuning keemasan itu memudar, tepat ketika cahaya matahari mulai muncul mengusir keremangan.
"Jayalah Sang Dewi.... Abadilah Sang Dewi.... Semoga kejayaan dan keberkahan selalu menyertai kami..," desis Ki Sangkila dengan suara bergetar, menebarkan pengaruh yang membuat para anggota rombongan mengangguk-angguk, dan membenturkan keningnya di atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangkila bergerak bangkit, dan memerintahkan kepada anggota rombongannya untuk bangkit berdiri. Upacara telah selesai.
"Kita kembali...," perintah Ki Sangkila yang segera melangkah mendahului anggota rombongannya. Jubah dan ikat kepala lelaki tua itu telah dilepas, dan disimpan rapi. Demikian pula dengan dua orang pimpinan lainnya. Juga empat orang pemikul tandu, yang pada waktu upacara mengenakan jubah berwarna merah. Rombongan pun kembali bergerak meninggalkan hutan.
Namun, baru saja Ki Sangkila dan rombongannya hendak menuruni bukit, muncul tiga orang lelaki gagah berpakaian ringkas yang berdiri menghadang jalan. Melihat sikap dan raut wajah mereka, tampaknya kemunculan ketiga orang itu tidak bermaksud baik.
"Hm.... Kalian telah tersesat terlalu jauh. Rupanya, kabar angin yang kudengar selama ini bukan bualan kosong. Semua yang kusaksikan barusan, merupakan bukti nyata bahwa kalian benar-benar bodoh. Tega mengorbankan nyawa seorang pemuda, hanya untuk sesuatu yang tidak jelas...," kata salah satu dari ketiga orang lelaki gagah itu. Ditatapnya wajah Ki Sangkila dengan sorot mata tajam penuh teguran.
"Hm.... Jumirta si Macan Gunung Galung, kiranya...," gumam Ki Sangkila, yang rupanya telah mengenal lelaki tegap berusia empat puluh tahun itu. Dengan tenang, Ki Sangkila melangkah beberapa tindak, diiringi dua orang di kiri dan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh, dan memandang remeh Jumirta yang berjuluk Macan Gunung Galung.
Jumirta pun tidak kalah gertak. Lelaki tegap itu maju beberapa tindak, sampai keduanya berdiri dalam jarak satu tombak. Mereka saling bertatapan dengan dagu terangkat. Dan sorot mata tajam, saling menantang.
"Mengapa kau menghadang perjalanan kami, Jumirta?" tanya Ki Sangkila dengan nada tak senang. Sepasang matanya menatap tajam, dan tidak beralih sedikit pun dari wajah lawan bicaranya.
"Sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku berkewajiban untuk meluruskan perbuatanmu, Ki Sangkila. Karena kau telah menjerumuskan orang lain untuk ikut dalam kesesatanmu. Perbuatanmu ini jelas salah, dan menyimpang dari kebenaran. Untuk itu, kuminta kau mau menghentikannya...!" Jawab Jumirta tegas dan lantang. Sehingga, terdengar oleh anggota rombongan Ki Sangkila.
Terdengar suara menggeram marah, menyambut ucapan Jumirta yang bagi pengikut Ki Sangkila jelas merupakan penghinaan. Geraman itu berasal dari dua orang lelaki kekar berkepala botak, yang merupakan-dua dari empat pemikul tandu. Keduanya bergerak maju dengan wajah bengis.
"Hm.... Biar kami urus manusia sombong yang telah menghina kita itu, Ki...," desis salah seorang dari dua lelaki botak itu, dengan sorot mata tajam menusuk.
Ki Sangkila hanya tersenyum. Kemudian, mengembangkan kedua lengannya, melarang kedua orang lelaki botak yang tampak marah itu. "Tenanglah, dan kembali ketempatmu...!" perintah Ki Sangkila tegas, tidak ingin dibantah.
Kedua lelaki berkepala botak itu hanya bisa menelan kemarahan. Mereka bergerak mundur, dan kembali ke dalam barisan.
"Kau dengar dan lihat sikap mereka dalam menanggapi ucapanmu barusan, Jumirta? Sebaiknya kau pergi, dan jangan campuri urusan kami Apa yang kulakukan sama sekali tidak merugikanmu, bukan? Nah, pergilah! Dan jangan ganggu kami lagi. Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup...!" ancam Ki Sangkila.
"Ki Sangkila!" tegas Jumirta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah orang tua itu. "Perbuatanmu sangat merugikan! Kalau dibiarkan, akan banyak orang yang terseret ke dalam kesesatanmu itu. Karena itu, aku tidak akan mundur...!"
"Kalau begitu, kau memang menginginkan kematian, Jumirta! Menyesal aku harus bertindak kasar terhadapmu...!" geram Ki Sangkila.
Kemarahan Ki Sangkila mulai bangkit melihat kebandelan Macan Gunung Galung. Dengan wajah gelap, lelaki setengah baya itu melangkah mundur seraya mengebutkan lengan bajunya ke depan.
Jumirta bukan tidak menyadari gerakan itu. Cepat, ia melangkah ke belakang dengan lompatan pendek, begitu merasakan adanya sambaran angin yang keluar dari kibasan lengan Ki Sangkila. Jelas kalau lelaki tua itu telah menyerangnya dengan halus.
"Hmh...," Jumirta menggeram dengan wajah tegang.
Jumirta yang berjuluk Macan Gunung Galung ini agak terkejut merasakan kuatnya angin pukulan lawan. Jumirta mengenal siapa Ki Sangkila. Lelaki tua itu adalah Kepala Desa Pugar Selatan, yang memiliki kepandaian tangguh.
Sebagai orang yang telah cukup lama mengenal Ki Sangkila, Jumirta dapat mengukur sampai di mana ketangguhan lawan. Tapi, serangan barusan sempat membuatnya tak percaya! Sebab, ia merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Ki Sangkila sekarang. Padahal, setahu Jumirta, kesaktian orang tua itu masih berada di bawahnya. Kenyataan itu membuat keningnya berkerut dalam.
"He he he...! Mengapa kau menjadi seperti orang bodoh, Jumirta? Kalau memang takut, cepatlah pergi dari hadapanku, sebelum aku berubah keputusan...," ejek Ki Sangkila, yang rupanya dapat meraba keterkejutan lawan.
Jumirta bukan orang lemah. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat julukan Macan Gunung Galung, tentu saja kepandaiannya tidak bisa dipandang remeh. Bahkan dalam perguruannya, ia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, yaitu sebagai Wakil Ketua Perguruan Gunung Galung.
Kehadirannya di hutan itu, karena tugas dari ketua yang juga gurunya, untuk menyelidiki kabar-kabar yang tersebar di luaran. Perguruan Gunung Galung sendiri tidak terlalu jauh letaknya dari Desa Pugar Selatan. Itulah sebabnya, mengapa berita tentang para penyembah Dewi Matahari, sampai terdengar Ketua Perguruan Gunung Galung.
"Kau terlalu sombong, Ki Sangkila. Apa pun yang bakal terjadi, aku akan tetap mencegah dan meluruskan jalanmu. Untuk itu, rasanya memang perkelahianlah yang bisa menyelesaikan persoalan ini...," sahut Jumirta, tenang.
Dua orang murid Perguruan Gunung Galung yang menyertai kedatangan Jumirta, sudah menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Macan Gunung Galung sendiri telah mempersiapkan ilmu 'Cakar Macan'nya, yang telah membuat namanya terkenal dalam kalangan persilatan.
Melihat ketiga lawannya telah bersiap, dua orang wakil Ki Sangkila hendak maju membantu. Namun, Ki Sangkila mencegah, dan menyuruh mereka mundur. Sepertinya, orang tua itu ingin menghadapi lawan seorang diri.
Melihat hal itu, Jumirta mengerutkan keningnya semakin dalam, ia yang tahu sampai di mana kepandaian Ki Sangkila, mereka heran. Mungkinkah Ki Sangkila telah memiliki kemajuan yang sangat pesat! Jumirta membatin tak percaya.
"Majulah, aku telah siap...!" tantang Ki Sangkila.
Macan Gunung Galung yang belum yakin akan kepandaian Ki Sangkila, memerintahkan kedua orang kawannya mundur. Sepertinya Jumirta ingin mencoba dulu kelihaian lawannya seorang diri.
Ki Sangkila tersenyum mengejek melihat Jumirta maju seorang diri. Tapi, lelaki tua itu tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah Jumirta yang bergerak ke arah kanannya.
"Hiaaat..!"
Dengan pekikan yang nyaring, merobek udara pagi, tubuh Jumirta melesat ke depan diiringi sambaran cakarnya yang berdecitan tajam. Macan Gunung Galung mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena tidak ingin berbuat ceroboh setelah merasakan kekuatan angin pukulanlawan.
Wuttt..!
Ki Sangkila mendengus sambil memiringkan tubuhnya menghindari sambaran cakar lawan, yang datang bertubi-tubi mengancam tubuhnya. Kemudian, lelaki tua itu berputar mengirimkan tebasan lengannya yang mengancam tengkuk Jumirta.
Wukkk!
Terdengar sambaran angin tajam mengiringi datangnya lengan Ki Sangkila, yang telah berisi tenaga dalam tinggi.
"Hiaaah…!"
Jumirta yang masih merasa belum yakin akan kekuatan tenaga dalam lawan, menarik tubuh ke belakang sambil mengangkat tangan kirinya menyambut tebasan tangan lawan.
Plak!
"Ughhh...?!" Apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak dapat dipercaya oleh Jumirta. Benturan itu bukan saja telah membuat lengannya terasa panas bagai terbakar. Tapi, kuda-kudanya pun tergempur dan tubuhnya nyaris terpelanting.
"Gila...?!" umpat Jumirta sambil memijat lengannya yang terasa nyeri dan panas.
Untung sebelumnya Jumirta telah siaga dengan mengerahkan lebih dari separuh tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin tulang lengannya sudah remuk akibat benturan keras tadi..Hal itu membuat Macan Gunung Galung jadi tak mengerti, ia tidak habis pikir, seorang pendekar ternama seperti dirinya, nyaris dipecundangi oleh Ki Sangkila yang tidak tersohor sama sekali.
Ini tidak bisa diterima Jumirta. Sadar akan kenyataan itu, Jumirta menggeram marah. Cepat ia menghimpun semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Sepasang cakar macannya tampak bergetar, karena berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaah...!"
Untuk kedua kalinya, Jumirta kembali melesat diiringi teriakan yang melengking tinggi. Sepasang cakarnya bergerak susul-menyusul mengancam tubuh lawan. Serangan Macan Gunung Galung kali ini benar-benar hebat dan tidak bisa dipandang remeh.
Ki Sangkila bergerak ke samping ketika sambaran lawannya kembali datang. Dan langsung membalas dengan serangan-serangan yang cepat dan menerbitkan hawa panas, yang membuat pikiran lawan terganggu. Jumirta kembali diliputi keheranan, melihat kehebatan lawan yang sama sekali di luar perhitungannya.
Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Keduanya saling terjang dengan mengandalkan jurus-jurus ampuh yang dimiliki. Namun, Jumirta benar-benar harus mengakui keunggulan lawan. Setelah dua puluh jurus pertarungan berlalu, Ki Sangkila mulai melakukan tekanan-tekanan berat terhadapnya. Belum lagi adanya hawa panas yang mengelilingi arena pertarungan. Jumirta harus menguras seluruh kepandaiannya, jika ia tidak mau celaka.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh dua, Ki Sangkila mengeluarkan pekikan yang mengejutkan lawan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya berputar cepat dengan serangan-serangan maut yang mematikan.
"Akh...?l" Jumirta memekik kaget sambil melesat menghindari pukulan dan tamparan berhawa panas yang dikirimkan lawan. Peluh membasahi pakaian dan wajahnya. Jumirta merasa cepat lelah, karena adanya hawa panas yang terbit dari setiap serangan lawan. Sehingga, laki-laki gagah itu menjadi semakin kewalahan. Dan....
Blaggg!
"Huagkhhh.!" Suatu ketika, Jumirta tidak sempat lagi menghindari sebuah pukulan telapak tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu tersentak ke belakang, memuntahkan darah segar. Kemudian, terbanting ke tanah tanpa ampun.
"Pergilah ke akhirat, Jumirta...!" seru Ki Sangkila, seraya hendak melanjutkan serangan. Jelas, lelaki tua ini ingin menamatkan riwayat lawannya.
"Haaat.!"
Dua orang murid utama Perguruan Gunung Galung, yang menyertai kedatangan Jumirta, tidak tinggal diam. Keduanya segera melesat ke depan untuk menyelamatkan wakil ketua mereka.
Plak! Plak!
Namun kecepatan gerak Ki Sangkila benar-benar luar biasa! Dalam keadaan tubuh melayang di udara, lelaki tua itu masih sempat memutar sepasang lengannya, guna menyambut tebasan dua batang pedang lawan. Akibatnya, tubuh kedua orang lelaki muda bertubuh tegap itu terpental batik, dan terbanting jatuh ke tanah. Jelas, kekuatan mereka berdua masih belum mampu mengimbangi kehebatan tenaga dalam Ki Sangkila.
Jumirta yang sudah bangkit tegak, segera saja menghunus senjatanya, siap melanjutkan pertarungan. Tapi, melihat keadaannya, rasanya tidak mungkin Macan Gunung Galung akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus untuk menghadapi lawannya. Hal itu diketahui jelas oleh kedua orang rekannya. Sehingga, kedua orang murid utama Perguruan Gunung Galung segera melompat mendampingi Jumirta.
"Hm.... Begitu lebih bagus...," ejek Ki Sangkila, seraya tersenyum iblis melihat ketiga orang lawannya bergabung untuk mengeroyok dirinya. Dan baru saja ucapannya selesai, tubuh orang tua itu telah melayang dengan kecepatan yang menggetarkan, ke arah pengeroyoknya.
Bettt... bettt...!
Sambaran angin pukulan berhawa panas, kembali menyebar memenuhi arena pertarungan, membuat ketiga orang lawannya tidak dapat melakukan perlawanan dengan pikiran tenang. Karena hawa panas itu telah mengacaukan pikiran, sehingga gerakan mereka pun menjadi kacau tak beraturan.
Ki Sangkila, yang menyadari kehebatan murid-murid Perguruan Gunung Galung, terus saja mendesak dengan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat. Sehingga, ketiga orang pengeroyok itu jadi terdesak hebat. Sampai-sampai mereka tidak lagi mampu untuk melancarkan serangan balasan. Sebab, serangan mereka seperti terhalang dinding hawa panas, yang membuat tenaga serangan mereka membalik.
"Yaaat...!" Memasuki jurus yang kedua puluh, Ki Sangkila kembali mengeluarkan pekikan nyaring, diiringi tamparan mautnya.
Plak!
"Aaakh...!" Jumirta menjerit ngeri, saat tamparan lawan mendarat telak di pelipisnya. Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjungkal, tewas dengan kepala retak. Darah segar mengalir, menggenangi bagian kepala lelaki gagah itu.
Nasib kedua orang murid utama Perguruan Gunung Galung pun tidak berbeda jauh dengan wakil ketuanya. Sepasang telapak tangan Ki Sangkila singgah di dada kedua orang itu, membuat tubuh keduanya terpental deras, dan terbanting jatuh memuntahkan darah kental kehitaman. Asap tipis tampak mengepul dari tanda hitam di dada kedua orang itu, yang bergambar telapak tangan Ki Sangkila. Keduanya menghembuskan napas terakhir diiringi senyum iblis lelaki tua itu.
"Tinggalkan saja bangkai mereka untuk binatang-binatang penghuni hutan ini...," ujar Ki Sangkila, segera mengajak rombongannya meninggal hutan.
Tanpa ada bantahan sedikit pun, rombongan itu pun kembali bergerak melanjutkan perjalanan.
***
TIGA
TIGA ekor kuda berderap melintasi jalan berbatu, di bawah terik sinar matahari. Debu tipis tampak mengepul mengiringi gerak maju ketiga ekor kuda, yang masing-masing ditunggangi seorang lelaki tegap berpakaian ringkas.
Ketiga orang penunggang kuda itu baru memperlambat lari kudanya, ketika memasuki batas sebuah desa. Sebuah tiang batu yang bertuliskan 'Batas Desa Pugar Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi jalan. Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan, memasuki jalan tanah yang cukup lebar. Tetapi, tiba-tiba terdengar seruan menghadang…!
"Kisanak yang menunggang kuda, harap berhenti sebentar...!" tiba-tiba terdengar seruan, yang membuat ketiga orang penunggang kuda itu menarik tali kekang. Kuda pun berhenti seketika.
Di depan ketiga orang penunggang kuda itu, dalam jarak dua tombak lebih, tampak enam orang lelaki berdiri menghadang jalan. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh gemuk dan berkumis tebal, melangkah lebar menghampiri. Sedangkan ketiga orang penunggang kuda lainnya, terap berada di atas punggung binatang tunggangannya.
"Hm.... Kiranya Kakang Balasara yang datang. Ada keperluan apa kalian mengunjungi desa ini...?" tanya lelaki gemuk berkumis tebl itu, menatap penunggang kuda terdepan.
Lelaki gagah bermata tajam yang dipanggil dengan nama Balasara, hanya menganggukkan kepalanya sedikit, membalas sapaan lelaki gemuk itu. "Adi Suganta. Kami datang sebagai utusan Ki Sakya Wulung, kepala desa kami. Harap kalian memberi jalan kepada kami untuk menghadap Ki Sangkila, kepala desa kalian...," sahut Balasara dengan nada bersahabat. Meskipun begitu, kelihatan sekali kalau keduanya sama-sama bersikap kaku, seperti mempunyai ganjalan di dalam hati.
"Tentu saja boleh, Kakang Balasara. Tapi, kalau boleh kami tahu, keperluan apakah kiranya...?" tanya lelaki gemuk berkumis lebat yang bernama Suganta itu, setengah menyelidik.
"Maaf, aku terpaksa tidak bisa mengatakannya, Adi Suganta. Pesan Ki Sakya Wulung hanya untuk kepala desa kalian. Harap kau memakluminya...," sahut Balasara.
Suganta, lelaki gemuk berkumis lebat dan berkepala gundul itu agak berubah wajahnya. Kelihatan sekali, ia merasa tidak senang dengan jawaban Balasara. Suasana mendadak hening. Suganta sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya sepasang matanya saja yang tajam menyapu tiga wajah di depannya yang nampak mulai diliputi ketegangan. Terdengar helaan napas panjang Suganta.
"Hhh.... Karena aku telah mengenal baik kalian, biarlah aku bermurah hati, memberikan kelonggaran untuk menemui Ki Sangkila. Bersikaplah sebagai tamu yang baik, agar tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan...," ujar Suganta. Jawaban itu jelas menyiratkan sebuah peringatan bagi Balasara dankawan-kawannya.
"Terima kasih, Adi Suganta. Peringatanmu akan kami perhatikan baik-baik...," ucap Balasara, yang segera mengajak kedua orang kawannya untuk memasuki desa.
Suganta dan kelima orang kawannya hanya mengiringi kepergian ketiga orang tamu itu dengan tatapan mata tajam, tak bersahabat. Balasara sendiri tidak menanggapi ia terus saja menjalankan kudanya, meninggalkan tempat itu bersama kedua orang kawannya. Baru setelah agak jauh, mereka memacu binatang tunggangannya, menuju kediaman Kepala Desa Pugar Selatan.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah bangunan besar yang dijaga empat orang lelaki berpakaian serba hitam. Balasara mengajak kedua orang rekannya turun dari aras punggung kuda.
"Ki Balasara. Ada keperluan apakah hingga kau sampai ke tempat ini?" tegur salah seorang penjaga gerbang rumah kepala desa itu.
"Kami hendak menghadap Ki Sangkila. Ada sesuatu hal yang pedu kami bicarakan. Harap kau segera memberitahukannya kepada beliau...," jawab Ki Balasara tanpa basa-basi lagi.
Penjaga itu pun segera beranjak memasuki bangunan besar, untuk melaporkan kedatangan Ki Balasara kepada majikannya. Sementara yang seorang lagi, mengantarkan Ki Balasara serta kedua orang kawannya untuk menunggu di pendopo.
Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, orang yang ditunggu datang, diiringi penjaga gerbang yang melaporkan kedatangan ketiga orang tamu itu.
"Hm... Berita apa yang kau bawa dari Ki Sakya Wulung, Balasara? Apakah kepala desamu itu masih merasa keberatan, dengan keyakinan yang kujalani saat ini...?" tanya Ki Sangkila, setelah menyuruh pergi kedua orang penjaga gerbang untuk kembali ke posnya. Kemudian, lelaki gagah itu duduk menghadapi ketiga orang tamunya.
"Maaf, Ki," jawab Ki Balasara, setelah mengangguk hormat kepada lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Sebenarnya, Ki Sakya Wulung sudah tidak ingin mencampuri urusanmu. Tapi..., perginya sepuluh orang warga desa kami yang menyeberangi desa ini, membuat Ki Sakya Wulung terpaksa mengutus kami untuk menghadapmu.
Karena orang-orang Desa Pugar Selatan ini telah membujuk dan mempengaruhi mereka untuk menyeberang, dan mengikuti segala kesesatan di desa ini. Kedatangan kami kemari adalah untuk mengajak kembali warga Desa Pugar Utara, yang terkena hasutan itu," jawab Ki Balasara.
"Hmh..." Ki Sangkila menggeram gusar, setelah mendengar keterangan Ki Balasara. Wajahnya yang semula segar, mendadak kelam. Jelas, lelaki setengah baya itu tidak senang dengan ucapan tamunya.
"Balasara! Kedatangan sepuluh orang pemuda warga desamu itu, adalah atas kehendak mereka sendiri. Tak seorang pun dari pengikut-pengikutku yang menghasut atau membujuk mereka untuk bergabung. Jadi, jelas kau sengaja hendak mencari-cari alasan untuk menyalahkan kami. Aku tidak bisa menerima tuduhan itu. Ingat baik-baik!" jelas Ki Sangkila dengan suara dalam dan berat
"Maaf. Apa yang kusampaikan tadi adalah yang sebenarnya, Ki. Sebab, ada seorang yang tidak terkena hasutan, menyampaikannya kepada kepala desa kami. Selain itu, banyak orang yang menyaksikan perbuatan para pengikutmu itu, Ki. Kami hanya sekadar menyampaikan. Masalah Ki Sangkila meluluskan atau tidak permintaan kami, itu terserah penilaian dan kebijaksanaan Aki sebagai kepala desa. Harap Ki Sangkila memberikan jawaban pasti kepada kami, agar bisa melaporkannya kepada kepala desa kami...," jawab Ki Balasara.
"Hm.... Sebenarnya, aku bisa saja mencelakai atau melenyapkan kalian bertiga. Tapi mengingat kalian hanya orang utusan, biarlah kuampuni. Satu hal yang perlu kau ingat, dan sampaikan kepada Ki Sakya Wulung, Balasara! Katakan padanya, agar jangan mencampuri urusanku! Kalau ada warga desanya yang menyeberang kemari, itu adalah hak mereka. Kalau Ki Sakya Wulung tidak menghendaki hal itu, ia harus bisa memberi kehidupan yang lebih baik kepada warga desanya. Kau bisa lihat sendiri, bukan?
Kehidupan di Desa Pugar Selatan ini jauh lebih baik dibanding Desa Pugar Utara. Jadi, wajar saja kalau orang-orang desamu menyeberang kemari. Sekarang, bawalah kedua orangmu pergi dari desa ini, dan jangan kembali lagi. Kalau peringatanku tidak kau indahkan, jangan salahkan kalau aku berbuat kasar!" Setelah berkata demikian, Ki Sangkila bergerak bangkit dan mempersilakan ketiga orang tamunya untuk meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, Ki. Kami akan menyampaikan apa yang telah kami dengar barusan. Maaf, kami telah mengganggumu," Ki Balasara mohon diri. Lelaki tegap itu berusaha menahan emosinya, karena hal itu hanya akan mencelakai dirinya dan kedua orang kawannya.
"Pergilah! Ingat, aku tidak menghendaki kunjungan kalian lagi. Kalau kejadian ini sampai terulang, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian...!" ujar Ki Sangkila mengancam. Setelah ketiga orang tamunya lenyap, lelaki tua yang masih gagah itu pun bergerak memasuki rumahnya.
***
Ki Balasara dan kedua orang kawannya memacu kuda mereka meninggalkan wilayah perbatasan Desa Pugar Selatan Mereka berpacu dengan waktu, agar tidak kemalaman di jalan. Saat itu, matahari memang semakin naik tinggi. Sedangkan perjalanan yang harus ditempuh, masih cukup jauh.
Tapi perjalanan Ki Balasara dan kawan-kawannya tidak semulus ketika mereka datang. Setelah agak jauh meninggalkan perbatasan Desa Pugar Selatan, terlihat dua sosok tubuh berdiri menghadang jalan, saat itu mereka hendak melewati sebuah hutan kecil. Memang, letak Desa Pugar Utara tepat berada di seberang hutan kecil itu.
"Hm.... Mereka pasti orang-orang utusan Ki Sangkila. Iblis tua itu memang licik sekali! Ia hanya berpura-pura melepaskan kita meninggalkan wilayah desanya. Lalu, mengutus orang-orangnya untuk menghadang jalan kita. Benar-benar licik...!" desis lelaki tegap berusia tiga puluh tahun, yang berada di sebetah kanan Ki Balasara. Lelaki itu sudah meraba gagang pedangnya, siap menghadapi bahaya yang bakal terjadi
"Mungkin ya, mungkin juga tidak, Adi. Kalau memang kedua orang itu diperintahkan untuk menghadang kita, kenapa ia menyuruh kira pergi? Bisa jadi, mereka adalah orang ketiga yang hendak memancing di air keruh. Tapi, biar bagaimanapun, kita harus berhati-hati...," pesan Ki Balasara, seraya menatap tajam kedua orang penghadang itu. Sepertinya, ia hendak mengenali mereka. Kalau benar, orang-orang itu merupakan pesuruh Ki Sangkila, ia pasti mengenalinya.
Dengan sikap waspada, Ki Balasara bersama kedua orang kawannya terus bergerak maju, menjalankan kudanya lambat-lambat. Ketiganya baru menarik tali kekang, ketika jarak di antara mereka hanya tinggal dua tombak lagi.
"Hei...?! Bukankah kau Adi Balyanang? Apa maksudmu menghadang jalanku...?"
Ki Balasara hampir tidak percaya dengan pandangannya. Ia bukan hanya kenal dengan salah seorang penghadangnya itu, tapi pemuda itu merupakan kerabat dekatnya, yaitu adik dari istrinya, yang ikut menyeberang ke Desa Pugar Selatan beberapa hari yang lalu. Ia terkejut, sekaligus gembira melihat pemuda itu. Karena, salah satu tujuannya datang ke Desa Pugar Selatan adalah untuk mencari adik istrinya itu.
Tapi, kegembiraan Ki Balasara perlahan memudar. Sebab, pemuda yang bernama Balyanang itu sama sekali tidak menunjukkan wajah gembira ataupun senang. Wajah itu dingin dan beku. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam, memancarkan rasa dingin bagi orang yang ditatapnya.
"Kau kenapa, Balyanang? Apakah kau tidak mengenali aku lagi? Apa sebenarnya yang telah terjadi denganmu...?" tanya Ki Balasara, yang sudah melompat turun dari atas punggung kudanya.
Meskipun begitu, Ki Balasara tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sebab, sikap dan tatapan Balyanang, sangat mencurigakan. Bahkan terkesan mengerikan, sehingga membuat bulu kuduk Ki Balasara berdiri. Kedua orang pemuda yang memang sengaja menghadang itu, tidak menyahut. Bahkan, mereka mulai bergerak maju dengan wajah yang tetap beku, sedingin es.
"Kami harus melenyapkan kalian semua...!" desis Balyanang dingin dan datar.
Mendengar suara yang bukan seperti suara manusia itu, Ki Balasara dan kedua orang lainnya menggigil. Semestinya, suara itu datang dari mulut mayat yang baru bangkit dari kubur. Ki Balasara segera bergerak mundur, ia membaui kesungguhan dalam ucapan adik iparnya itu.
"Balyanang. Sadarlah! Aku adalah suami kakakmu! Jangan kau turuti bisikan setan yang ada dalam hatimu...!" Ki Balasara mencoba mengingatkan pemuda itu. Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin bertarung melawan adik iparnya, ia tahu, sampai di mana kepandaian pemuda itu. Itulah yang membuat Ki Balasara hanya mundur selangkah, saat tangan Balyanang meluncur perlahan, hendak mencengkeram bahunya.
Sikap memandang remeh Ki Balasara, hampir saja membuat nyawanya melayang. Uluran cengkeraman yang kelihatannya perlahan itu ternyata hampir saja mencengkeram tulang bahunya. Untunglah lelaki tegap itu segera sadar saat merasakan sambaran angin keras, yang datang mengiringi uluran cengkeraman jari-jari tangan Balyanang.
Wettt...!
"Aihhh...?!" Ki Balasara memekik tertahan seraya melompat ke belakang, sejauh setengah tombak. Wajah lelaki gagah itu berubah pucat, ketika mendengar decitan tajam jari-jari Balyanang yang mencengkeram angin kosong.
"Gila?! Dari mana ia mendapatkan tenaga dalam yang demikian hebat hanya dalam waktu singkat...? Mungkin pendengaranku salah, karena terpengaruh sikapnya yang aneh?" gumam Ki Balasara, yang masih belum percaya kalau Balyanang memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, melebihi kekuatan tenaga dalamnya sendiri.
Tapi Ki Balasara tidak bisa berpikir lebih jauh lagi, karena saat itu kedua orang rekannya telah bertarung melawan pemuda tampan yang datang bersama Balyanang. Gerakan pemuda berwajah dingin pucat itu sangat cepat dan kasar. Angin pukulan yang dilontarkannya terdengar mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah.
Tak mengherankan jika dua orang kawan Ki Balasara, yang merupakan jago-jago muda Desa Pugar Utara, telah terdesak hanya dalam lima jurus. Ki Balasara menjadi khawatir akan nasib kedua orang rekannya.
"Balyanang, sadarlah! Mereka berdua adalah kawan-kawanmu bermain sejak kecil! Apakah kau tega mencelakai mereka...?" tegur Ki Balasara, yang masih berusaha menyadarkan dan mengembalikan ingatan adik iparnya itu. Sayang usahanya sia-sia. Buktinya, Balyanang kembali melontarkan cengkeraman, tanpa mempedulikan ucapan kakak iparnya itu.
Wuttt..!
Serangan yang dilancarkan Balyanang sangat cepat, laksana sambaran kilat yang membelah langit. Karuan saja hal itu membuat Ki Balasara jadi kelabakan. Cepat-cepat orang tua itu melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Tapi, Balyanang tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda tampan berwajah dingin pucat itu melanjutkan cengkeramannya dengan sebuah lompatan, disertai tendangan keras mengarah ke punggung lawan yang masih berputaran diudara.
Plak!
"Akh...?!" Ki Balasara yang tidak mungkin dapat mengelakkan tendangan kilat itu, cepat mengangkat tangannya menangkis tendangan lawan. Tapi, lelaki tegap itu terpekik kesakitan ketika merasakan betapa telapak kaki pemuda tampan itu ternyata mengandung kekuatan hebat, dan menebarkan hawa panas. Ki Balasara hampir tidak mempercayai apa yang dialaminya itu.
Balyanang tidak memberi peluang pada Ki Balasara untuk memikirkan keanehan-keanehan itu. Ia terus saja menerjang dengan serangan-serangan yang mematikan dan sangat berbahaya.
"Yeaaah...!"
Bettt...!
Menyadari kalau adik iparnya itu sudah tidak mungkin lagi dapat disadarkan, Ki Balasara segera menghunus senjatanya. Ia langsung menjegal serangan Balyanang dengan sambaran pedangnya yang siap membabat putus lengan lawan.
Trak!
"Hei...?!" Untuk kesekian kalinya, Ki Balasara kembali dikejutkan oleh kehebatan Balyanang. Pemuda itu tidak mengelakkan sambaran pedangnya. Bahkan memapakinya dengan pergelangan tangan. Akibatnya, pedang Ki Balasara patah menjadi dua, ketika bertemu dengan lengan Balyanang yang seolah-olah telah berubah menjadi sebatang baja bulat. Bahkan ketika lengan itu berputar menghajar tubuhnya, Ki Balasara tidak mampu menghindar. Akibatnya, tubuh orang tua itu terjungkal memuntahkan darah segar.
"Yeaaah...!" Balyanang tidak berhenti sampai di situ. Pemuda itu langsung melesat, mengejar tubuh lawannya yang terbanting di atas tanah berbatu. Dan....
Crabbb!
"Wuaaa.!" Ki Balasara memekik keras, saat jari-jari tangan Balyanang amblas ke dalam perutnya. Darah segar menyembur keluar ketika jari-jari tangan pemuda itu tercabut membawa jantung Ki Balasara yang telah direnggutkan dari tempatnya.
"Hm..." Balyanang menggeram dan langsung mengunyah jantung yang masih berdenyut hidup itu. Sedangkan tubuh lawannya telah meregang, dan tewas dengan mata mendelik.
Sesaat setelah kematian Ki Balasara, terdengar pekikan kematian berturut-turut, merobek angkasa. Disusul dengan terbantingnya dua sosok tubuh pengikut Ki Balasara ke atas tanah. Keduanya tewas dengan batok kepala remuk akibat tamparan lawan yang sangat kuat.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang menjadi korban kekejamannya, kedua pemuda berwajah pucat itu menghela tiga ekor kuda yang segera meninggalkan tempat itu. Selanjutnya, Balyanang dan kawannya melesat pergi, meninggalkan korban-korban keganasan mereka.
***
EMPAT
SENJA mulai menapak ketika para penjaga perbatasan Desa Pugar Utara dikejutkan dengan kemunculan tiga ekor kuda tanpa penunggang. Mereka mengenali kuda-kuda itu milik Ki Balasara, dan dua orang jagoan desa yang diutus Ki Sakya Wulung.
"Kita harus hentikan binatang-binatang itu! Nampaknya mereka telah menjadi liar...!" seru lelaki bertubuh pendek kekar yang merupakan kepala jaga dari empat orang kawannya. Usai berkata demikian, tubuh lelaki itu langsung melejit, menghadang kuda terdepan, yang ia tahu milik Ki Balasara, tangan kanan kepala desanya.
"Haiiit..!"
Gerakan lelaki pendek kekar itu ternyata cukup gesit. Sekali melompat saja, ia telah hinggap di atas punggung kuda berbulu hitam itu. Meskipun demikian, binatang itu ternyata belum menyerah kalah. Dengan gerakan liar, kuda berbulu hitam itu melompat-lompat hendak melemparkan orang yang menungganginya. Karuan saja lelaki pendek kekar itu menjadi sibuk dibuatnya.
"Hiyeeehhh...!"
"Aaa...!" Setelah cukup lama bertahan, akhirnya lelaki itu harus mengakui kekalahannya. Tubuhnya terlempar dari atas punggung kuda, dan nyaris terbanting ke tanah. Untung lelaki itu masih sempat menguasai keadaan. Dengan sebuah gerakan yang indah, ia bersalto dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu.
"Gila...! Setan mana yang membuat kuda jinak ini jadi liar? Ke mana perginya Ki Balasara? Apakah beliau mendapat kecelakaan...?" gumam lelaki pendek kekar itu, tak mengerti.
Rupanya, kejadian tadi tidak hanya dialami laki-laki itu. Jeritan-jeritan ngeri datang susul-menyusul, disertai bunyi gedebuk yang cukup keras. Suara-suara itu berasal dari empat orang penjaga yang terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata bukan hanya kuda berbulu hitam mengkilat itu saja yang menjadi liar, tapi dua ekor kuda lainnya pun mengalami hal serupa. Bahkan, dua dari empat penjaga itu terkena sepakan kaki kuda.
Kekacauan itu bukan saja telah membuat kelima orang keamanan Desa Pugar Utara menjadi kelabakan. Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintasi perbatasan dibuat kalang-kabut. Sebab, kuda-kuda liar itu tiba-tiba mengejar dan menyerang mereka.
Empat orang gadis desa yang baru saja pulang dari mencuci pakaian, berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan. Kuda berbulu hitam itu meringkik nyaring, sambil mengejar keempat gadis desa yang ketakutan setengah mati.
"Aaahhh...! Tolooong...!"
Salah seorang gadis menjerit minta tolong. Ia terjatuh, dan kuda hitam itu telah mengangkat kedua kaki depannya, siap menghantam tubuh gadis di bawahnya. Kepala keamanan desa menjadi pucat wajahnya. Lelaki itu hanya terkesima, tanpa mampu menyelamatkan gadis malang itu. Ia terpisah sekitar tiga tombak dari tempat gadis itu terjatuh. Penduduk desa dan para penjaga perbatasan menjerit ngeri ketika kaki depan kuda hitam itu meluncur turun, siap meremukkan tubuh lemah di bawahnya.
Tapi tiba-tiba secercah sinar putih tampak berkelebat cepat. Dan sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih, telah berdiri membopong tubuh gadis desa itu. Dengan sikap tenang, sosok pemuda tampan berjubah putih itu menyerahkan gadis yang dipondongnya kepada penduduk desa yang masih terkesima. Kemudian ia melesat, menghadapi kuda hitam yang kehilangan korbannya.
"Hm..." Pemuda itu bergumam, seraya menatap tajam mata binatang di depannya, yang mendengus-dengus bagaikan kerbau liar. Namun sebelum kuda hitam itu sempat bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang dengan kecepatan kilat ke atas punggung kuda.
Orang-orang yang menyaksikan perbuatan pemuda itu memekik ngeri. Tapi, mendadak mereka terdiam ketika melihat kuda hitam itu diam saja, tidak berusaha memberontak. Malah, secara perlahan-lahan, kuda berbulu hitam yang semula liar itu merendahkan tubuhnya, dan duduk di atas tanah berbatu.
Orang yang pertama kali menyadari apa yang telah terjadi dengan kuda berbulu hitam itu adalah lelaki pendek kekar yang merupakan kepala keamanan Desa Pugar Utara. Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, hal itu tidak terlalu aneh baginya, meski memang mendatangkan kekaguman.
Lelaki itu tahu, pemuda tampan berjubah putih itu pastilah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia menggunakan tenaga saktinya untuk melipatgandakan berat tubuhnya. Sehingga, kuda liar itu tidak mampu untuk menahan beban di atas punggungnya. Itulah, sebabnya, mengapa kuda itu mendadak rebah ke tanah.
"Kisanak. Perbuatanmu benar-benar membuat aku kagum dan bersyukur. Kau telah menyelamatkan seorang warga kami, dan berhasil menjinakkan binatang yang entah kenapa telah menjadi liar dan buas ini...," ujar lelaki pendek kekar itu, seraya membungkukkan tubuhnya ke arah pemuda tampan berjubah putih.
"Hm.... Kuda ini sebenarnya adalah kuda yang baik, Paman. Tapi, ada orang yang telah berbuat jahil dengan menanamkan sebuah jarum pada tubuh bagian belakangnya..," sahut pemuda itu, sambil menunjukkan sebatang jarum berwarna merah yang ditemukan di atas kaki belakang kuda hitam itu. Rupanya, ketika melihat warna mata kuda yang memerah, pemuda tampan berjubah putih itu langsung dapat menduga bahwa binatang itu mengalami suatu yang tidak wajar.
"Hahhh...?! Kalau begitu, kuda-kuda yang lain pun pasti mengalami hal yang serupa. Maukah kau menolong kami, menjinakkan dua ekor kuda lainnya yang juga pasti menderita keracunan jarum merah itu?" pinta lelaki pendek kekar itu.
"Tidak perlu khawatir. Paman. Lihatlah! Bukankah kedua ekor kuda itu yang kau maksudkan...?" ujar pemuda berjubah putih, seraya menunjuk ke belakang lelaki kekar itu.
"Ahhh...?!" Untuk kesekian kalinya, lelaki pendek kekar itu terkesima. Ketika ia menoleh ke arah yang ditunjukkan pemuda berjubah putih itu, dilihatnya seorang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melangkah menuntun dua ekor kuda yang dimaksudkannya tadi.
"Kuda-kuda ini keracunan. Ada orang yang sengaja menanamkan jarum-jarum beracun pada kaki belakang sebelah atas. Apakah kuda berbulu hitam itu juga mengalami hal serupa, Kakang...?" tanya dara jelita itu, sambil menunjukkan dua batang jarum merah yang ditemukannya.
"Ya. Ada orang yang telah sengaja membuat binatang ini menjadi liar dan buas. Untunglah belum ada korban yang jatuh...," jawab pemuda berjubah putih.
Siapa lagi pasangan muda yang gagah dan cantik itu, kalau bukan Panji dan Kenanga, yang secara kebetulan ada di sana saat kuda-kuda itu tengah mengamuk.
"Hm. aku tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan kuda-kuda milik kawan kami ini. Yang jelas, aku dan kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Maaf, aku harus membawa binatang-binatang itu untuk menghadap kepala desa kami...," pinta lelaki pendek kekar itu, seraya menatap penuh terima kasih kepada Panji dan Kenanga.
"Silakan, Paman. ," jawab Panji. Kemudian, diserahkannya ketiga binatang itu, yang segera dibawa pergi lelaki pendek kekar. Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian kepala keamanan Desa Pugar Utara yang kian menjauh.
"Ada baiknya kita mencari tempat beristirahat, sambil mengisi perut yang telah keroncongan ini, Kakang," ujar Kenanga memeluk lengan kekasihnya.
"Marilah! Mudah-mudahan di desa ini kita bisa melewatkan malam dengan tenang," sahut Panji yang segera melangkah menyusuri jalan utama Desa Pugar Utara.
Beberapa penduduk yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu, menganggukkan kepalanya ketika pasangan pendekar muda itu melintas di depan mereka.
***
Panji dan Kenanga baru saja hendak masuk ke dalam kamar ketika pelayan penginapan memberi tahu bahwa Ki Sakya Wulung ingin bertemu dengan mereka.
"Siapa Ki Sakya Wulung...?" tanya Panji kepada pelayan setengah baya itu.
"Beliau adalah Kepala Desa Pugar Utara ini, Kisanak Mungkin Ki Sakya Wulung ingin mengucapkan terima kasih. Karena, Paman dengar Kisanak berdua telah menyelamatkan seorang penduduk desa ini yang hampir terpijak kuda liar. Saat ini, berita itu sudah tersebar dan masih dibicarakan para penduduk...," jelas pelayan setengah baya itu.
"Baiklah, Paman. Kami akan segera menemui Ki Sakya Wulung...," ujar Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih mengajak Kenanga untuk menemui Kepala Desa Pugar Utara itu. Ada rasa tidak enak di hati mereka, karena orang yang berkuasa di desa itu datang langsung hendak menemui mereka. Padahal, kalau Ki Sakya Wulung mau, ia bisa mengundang mereka melalui para pembantunya. Sikap itulah yang membuat Panji dan Kenanga menaruh hormat. Keduanya langsung merasa suka, meskipun belum bertemu muka dengan penguasa desa itu.
Pelayan kedai dan penginapan itu membawa Panji dan Kenanga ke ruang dalam, milik majikan dan penginapan dan kedai terbesar di Desa Pugar Utara itu.
"Ah. Selamat bertemu, Orang-orang Muda Yang Gagah! Aku merasa gembira sekali karena kalian mau menjumpaiku. Maaf, kalau aku telah mengganggu istirahat kalian.," sambut seorang lelaki gagah berusia sekitar enam puluh tahun. Wajah lelaki itu tampak sehat dan masih segar, meskipun nampak letih karena terlalu banyak berpikir. Dialah Ki Sakya Wulung, Kepala Desa Pugar Utara.
"Ah, tidak mengapa, Ki. Kami merasa mendapat kehormatan atas kunjungan Ki Sakya Wulung. Bukankah dugaanku tidak keliru. ?" sahut Panji. Pendekar Naga Putih gembira melihat penyambutan orang tua itu yang penuh keramahan. Pasangan pendekar muda itu segera duduk ketika Ki Sakya Wulung telah mempersilakannya.
"Maksud kedatanganku menemui kalian adalah untuk mengucapkan terima kasih, atas perbuatan kalian yang telah menyelamatkan seorang warga desa, dan juga mungkin para warga lainnya. Sebab, kalau kuda-kuda itu tidak segera dijinakkan, mungkin akan banyak jatuh korban dan kerusakan lainnya.
Untuk itu, aku mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian berdua..," ujar Ki Sakya Wulung dengan wajah berseri dan menatap kagum pasangan pendekar muda itu. Ia memang telah mendengar laporan dari para pembantunya, mengenai kelihaian pasangan muda itu dalam menjinakkan kuda-kuda yang sedang liar dan buas beberapa waktu lalu.
"Ah, harap Ki Sakya Wulung tidak berlebihan memuji kami. Apa yang kami lakukan itu hanyalah suatu kebetulan. Saat itu kami berdua memang hendak menuju desa ini untuk melewatkan malam. Lagi pula, apa yang kami perbuat itu memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, bukan begitu?" balas Panji. Pendekar Naga Putih memang merasa tidak enak melihat orang tua itu tampak seperti tengah menghadapi seorang pahlawan, yang telah berjasa besar terhadap negerinya.
"Yah, apa yang kau katakan itu memang tidak salah, Panji. Hanya aku masih belum mengerti, kenapa kuda-kuda itu kembali tanpa penunggangnya? Aku mengkhawatirkan keselamatan Ki Balasara dan dua orang lainnya. Akulah yang telah mengutus mereka untuk mendatangi Desa Pugar Selatan...," desah lelaki tua itu sambil menghela napas panjang.
Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak Keduanya mulai menduga-duga, tentang kejadian yang mungkin menimpa ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung.
"Desa Pugar Selatan. ? Sedangkan nama desa ini adalah Desa Pugar Utara. Apakah sebelumnya, antara desa selatan dan utara mempunyai suatu hubungan, Ki...?" tanya Panji yang agak sedikit heran mendengar ada dua buah desa bernama serupa, hanya dibedakan oleh wilayah tempatnya berada.
"Hm. Bukan hanya hubungan, Panji. Pada dasarnya, kedua desa itu adalah satu, yaitu Desa Pugar. Tapi, akhirnya terpecah menjadi dua karena antara aku dan wakilku yang bernama Ki Sangkila mempunyai perbedaan keyakinan. Ki Sangkila pergi membawa para pengikutnya menuju selatan, yang akhirnya dikuasainya. Itulah sebabnya, mengapa desa ini terbagi menjadi dua...," jelas Ki Sakya Wulung, membuat Panji dan Kenanga mengangguk-angguk mulai mengerti.
"Tapi.... Kalau hanya soal keyakinan, mengapa Ki Sangkila dan Ki Sakya Wulung harus berpisah? Dan, mengapa Aki tidak berusaha mengambil alih Desa Pugar Selatan, agar bisa bersatu lagi...?" tanya Kenanga, yang rupanya masih penasaran.
Panji ikut menatap Ki Sakya Wulung, ingin mendengar jawaban lelaki tua yang masih gagah itu. Sedangkan orang tua itu tampak tersenyum pahit seperti merasa berduka mengingat hal itu.
"Kalau hal itu merupakan rahasia pribadi antara Aki dengan Ki Sangkila, tidak perlu Aki menjawabnya. Karena, kami tidak berhak ikut campur dalam masalah pribadi...," sergah Panji, ketika melihat wajah orang tua itu berubah murung.
Namun, Ki Sakya Wulung menggelengkan kepalanya, tersenyum getir. "Tidak mengapa, Panji. Persoalan ini bukan masalah pribadi. Ki Sangkila telah menempuh jalan sesat dengan melakukan penyembahan terhadap sesuatu yang tidak ada. Tapi, ia begitu yakin. Sehingga, banyak penduduk yang terpengaruh dan mengikuti jalannya." Ki Sakya Wulung menghentikan ucapannya sejenak. Dihelanya napas panjang-panjang, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
"Menurutnya, penyembahan itu telah mendatangkan bukti dengan melimpahnya hasil panen mereka. Padahal, menurutku semua keberhasilan itu dikarenakan tanah di daerah selatan memang jauh lebih subur dibanding di utara. Hhh.... Sayangnya Ki Sangkila tetap bersikeras, bahwa semua itu adalah berkah dari Dewi Matahari yang mereka sembah. Yahhh. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengharap agar Ki Sangkila dan para pengikutnya dapat sadar suatu saat nanti...," Ki Sakya Wulung mengakhiri penjelasannya dengan wajah suram. Jelas, ia merasa berduka mengingat peristiwa pahit itu.
"Hm.... Seharusnya orang seperti Ki Sangkila itu dilenyapkan saja agar tidak mendatangkan kesusahan bagi orang lain..!" geram Kenanga, yang merasa jengkel setelah mendengar keterangan Ki Sakya Wulung.
"Ya. Mengapa Ki Sakya Wulung tidak berusaha untuk melenyapkan atau mengusir Ki Sangkila dari Desa Pugar? Bukankah kepergian orang tua sesat itu akan membuat warga desa ini aman dan tenteram?" Panji ikut mengusulkan. Pendekar Naga Putih mempunyai pendapat, orang yang sudah tidak ingin berpaling ke jalan kebaikan, tidak ada jalan lain lagi. Kecuali melenyapkan orang itu, agar tidak menghasut dan mengajak orang lain mengikuti kesesatannya.
"Aku telah beberapa kali mencobanya. Hasilnya, penduduk Desa Pugar Selatan dan Utaralah yang menjadi korban. Akhirnya aku menghentikan usaha itu, dan membiarkan segala perbuatan Ki Sangkila. Tapi, kejadian tadi membuat aku berpikir lain. Tiga orang utusanku, kutugaskan untuk menanyakan sepuluh orang wargaku yang terhasut mereka, tidak kembali.
Hanya kuda-kuda mereka sajalah yang kembali. Itu pun dalam keadaan yang berbahaya, karena telah diracuni! Karena itu, aku berniat mendatangi Ki Sangkila, untuk menanyakan perihal ketiga orang utusanku itu...," geram Ki Sakya Wulung dengan wajah berubah kelam, dan tinju terkepal erat. Rupanya, ia mencurigai Ki Sangkila yang telah mencelakakan ketiga orang utusannya.
"Hm.... Apakah Ki Sakya Wulung sudah merasa pasti, bahwa ketiga orang utusan itu dicelakakan Ki Sangkila?" tanya Panji seraya menatap tajam wajah orang tua itu. Sepertinya, Pendekar Naga Putih belum yakin sepenuhnya bahwa ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung telah dicelakakan Ki Sangkila.
"Bukti itu akan kami selidiki lebih dulu. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang jelas, barulah aku akan bergerak dengan seluruh wargaku, untuk menggempur Ki Sangkila dan para pengikutnya!" tegas Ki Sakya Wulung.
Perbuatan Ki Sangkila kali ini dianggap Ki Sakya Wulung telah melewati batas. Apabila dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin, kelakuan Ki Sangkila akan semakin menggila. Hal itu sama sekali tidak diinginkan Ki Sakya Wulung.
"Kalau Ki Sakya Wulung tidak keberatan, kami berdua menawarkan diri untuk menyelidikinya. Kami merasa tertarik dengan keyakinan Ki Sangkila yang menyembah Dewi Matahari itu...," Panji menawarkan bantuan kepada Ki Sakya Wulung. Selain itu, Pendekar Naga Putih ingin mencari tahu perihal orang-orang aneh yang pernah menyerang dirinya dan Kenanga, ketika hendak menuju Desa Pugar Utara.
"Ah.... Tentu saja kami akan berterima kasih sekali. Tapi, rasanya aku tidak ingin menyusahkan kalian berdua. Apalagi kalian telah kuanggap sebagai tamu terhormatku...," jawab Ki Sakya Wulung.
Kepala, Desa Pugar Utara itu merasa tidak enak kalau harus melibatkan pasangan pendekar itu. Namun, Panji dan Kenanga menegaskan bahwa mereka ikhlas melakukan penyelidikan itu, demi kepentingan penduduk Desa Pugar Utara dan Selatan. Akhirnya, Ki Sakya Wulung mengalah. Dan, menerima tawaran Panji.
"Kalau begitu, biarlah kami berangkat besok pagi-pagi sekali, sebelum fajar datang...," ujar Panji.
Ki Sakya Wulung hanya menganggukkan kepala, dan menyerahkan keputusan di tangan Panji. Lelaki tua itu bangkit, ketika Panji dan Kenanga meminta diri untuk beristirahat.
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua...," ucap Ki Sakya Wulung, yang dibalas senyuman oleh pasangan pendekar muda itu.
***
LIMA
KOKOK ayam jantan terdengar bersahutan, menyambut fajar yang segera datang. Hembusan angin masih terasa dingin menyentuh kulit saat dua sosok tubuh bergerak ringan melintasi batas Desa Pugar Utara. Sosok bayangan putih dan hijau itu adalah Panji dan Kenanga. Sesuai dengan janji mereka kepada Ki Sakya Wulung, maka pagi itu keduanya bergerak meninggalkan Desa Pugar Utara untuk mengadakan penyelidikan.
"Apakah kita akan langsung menuju Desa Pugar Selatan, untuk menemui Ki Sangkila, Kakang,..?" tanya Kenanga tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Semula aku masih penasaran mencari orang-orang yang telah menyerang kita di Hutan Kerambah, beberapa waktu yang lalu. Tapi, kalau kau mempunyai usul yang lain, katakanlah. Mungkin aku akan mempertimbangkannya...," jawab Panji.
"Aku pun berpikir begitu, Kakang. Siapa tahu Ki Balasara dan kedua rekannya dicelakai orang-orang berwajah pucat yang aneh itu. Sebab, Hutan Kerambah tidak jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan. Jadi, bisa saja ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung itu dicelakai dalam perjalanan pulang," ujar Kenanga mengemukakan pendapatnya.
"Ya. Mungkin saja orang-orang berwajah pucat itu sengaja hendak memperuncing permusuhan antara Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila. Kalau benar begitu, kita harus mencari orang-orang aneh itu lebih dulu. Sebab, bukan tidak mungkin merekalah yang menjadi kunci semua kejadian ini...," ujar Panji.
"Tapi..., ke mana kita harus mencari orang-orang aneh itu, Kakang? Sedangkan seluruh pelosok Hutan Kerambah sudah kita telusuri. Kita sama sekali tidak mempunyai petunjuk. Sayang, aku lupa menanyakan perihal orang-orang aneh itu kepada Ki Sakya Wulung. Siapa tahu orang tua itu bisa memberikan sedikit petunjuk...," sesal Kenanga.
Letak Hutan Kerambah yang tidak terlalu jauh dari Desa Pugar Selatan dan Utara, memungkinkan Ki Sakya Wulung mendengar, atau bertemu dengan orang-orang aneh itu. Sayang, Panji dan Kenanga lupa menceritakan peristiwa itu pada kepala desa itu. Sehingga, mereka harus melakukan penyelidikan tanpa petunjuk sedikitpun.
"Yahhh. Itu karena kita tidak melihat adanya hubungan antara Ki Sakya Wulung dengan orang-orang aneh itu, baru sekarang kita menduganya. Tapi.... Sebaiknya kita kembali menjelajahi Hutan Kerambah. Siapa tahu, ada tempat-tempat yang terlewat, saat kita mencari orang-orang aneh itu tempo hari. ," usul Panji.
"Kakang. ," panggil Kenanga lirih, saat mereka memasuki wilayah hutan kecil, yang merupakan pemisah antara Desa Pugar Selatan dan Utara.
"Ya...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera menoleh ketika mendengar ucapan kekasihnya yang menggantung tanpa penyelesaian.
"Menurutmu, apakah Dewi Matahari itu benar-benar ada? Mengapa yang disembah Ki Sangkila justru Dewi Matahari, bukan Dewa Matahari? Bukankah matahari disebut sebagai raja siang, bukan dewi siang? Kira-kira, apa maksud dari penyembahan Ki Sangkila itu, Kakang?" tanya Kenanga.
"Hm....! Mungkin Ki Sangkila ingin melenyapkan kesan ganas dengan menyebut Dewi Matahari. Tengok saja Dewi Padi dan Dewi Bulan. Bukankah itu terkesan lembut dan tidak garang, dibandingkan dengan Raja Siang atau Dewa Matahari. Mengenai ada atau tidaknya, aku belum bisa memastikan. Yang jelas, segala sesuatu tercipta karena keyakinan yang tinggi." Panji menghentikan ucapannya sejenak. Keningnya terlihat berkemyit dalam, menandakan kalau otaknya tengah berpikir keras.
"Mungkin saja apa yang semula disembah Ki Sangkila, tidak ada dalam wujud nyata di bumi. Tapi, karena Ki Sangkila demikian yakin, maka daya keyakinannya yang kuat itu menimbulkan sosok yang dipujanya. Rasanya tidak mungkin ia akan melanjutkan penyembahannya, tanpa bukti yang masuk akal. Tapi, seperti apa yang dikatakan Ki Sakya Wulung, bisa saja Ki Sangkila memang telah tersesat, dan melupakan akal sehatnya..." papar Panji, sekadar, memberikan gambaran. Karena, ia sendiri belum bisa memastikan, ada atau tidak sosok yang disebut sebagai Dewi Matahari itu.
"Jadi.... Menurut Kakang, sosok Dewi Matahari tercipta dari pikiran orang-orang seperti Ki Sangkila...?" desak Kenanga, yang masih penasaran, ingin memperoleh jawaban sejelas-jelasnya.
"Ya.... Seperti yang kukatakan tadi, bisa saja sosok itu benar-benar muncul. Sehingga, keyakinan Ki Sangkila semakin bertambah kuat. Malah ia berani mengambil keputusan gila, menyerahkan korban pada waktu-waktu tertentu, seperti yang diceritakan Ki Sakya Wulung tadi malam. Menurut beliau, korban-korban yang diserahkan Ki Sangkila kepada sesembahannya tidak pernah ada yang kembali. Padahal, Ki Sangkila menyerahkan korbannya dalam keadaan hidup, dan Dewi Matahari pun tidak pernah membunuh korban itu...," jelas Panji.
Pendekar Naga Putih cukup banyak mendengar cerita Ki Sakya Wulung, sebelum mereka berangkat. Sedangkan Kenanga tidak sempat mendengar, karena sedang sibuk mempersiapkan bekalnya. Pembicaraan mereka terhenti saat berbelok, mengambil jalan ke sebelah barat hutan kecil itu.
Tujuan mereka adalah Hutan Kerambah, yang mereka curigai sebagai markas orang-orang aneh berwajah pucat. Menurut orang-orang itu, daerah itu adalah wilayah kekuasaan mereka. Ini yang membuat Panji memutuskan untuk menjelajahi hutan itu sekali lagi. Menurutnya, mungkin ada sudut-sudut yang terlewat pada waktu itu.
Keremangan fajar mulai terhapus saat cahaya merah menghiasi kaki langit sebelah timur. Pasangan pendekar muda itu terus bergerak menerobos semak belukar, masuk wilayah Hutan Kerambah semakin dalam. Keduanya tidak berlari. Mereka melangkah hati-hati, dan meredam suara jejakan kaki, agar tidak menimbulkan suara mencurigakan. Sebab, sosok aneh berwajah pucat dengan sinar mata dingin itu, dapat muncul sembarang waktu. Apalagi, wilayah Hutan Kerambah, adalah daerah kekuasaan mereka. Tentu keadaannya lebih berbahaya.
"Kakang, lihat...!" seru Kenanga perlahan, sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan. Sebenarnya dara jelita itu tidak perlu memberi tahu kekasihnya, karena Panji telah melihatnya.
Pendekar Naga Putih mengangguk, memandang sosok-sosok tubuh yang tergeletak, dalam jarak dua tombak dari tempat mereka berpijak. "Hm.... Mereka sudah tewas...," desis Panji sambil melangkah perlahan dengan sikap waspada. Bisa jadi ketiga sosok mayat itu hanya jebakan. Itulah sebabnya, mengapa Panji tidak terburu-buru mendekati mayat-mayat di depannya. Ia mengajak Kenanga mengambil jalan berputar, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Apakah mayat-mayat itu merupakan jebakan, Kakang...?" tanya Kenanga, tanpa melepaskan pandangan matanya dari tiga sosok mayat yang menebarkan bau tak sedap itu.
"Entahlah. Yang jelas, mayat-mayat itu belum lama terbunuh. Aku bisa menduganya dari bau yang mulai tersebar. Paling tidak, baru kemarin ketiga orang itu tewas...," sahut Panji, sambil mendekati ketiga sosok mayat yang diduganya sebagal jebakan itu.
"Siapakah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga setelah memperhatikan ketiga sosok mayat itu. Dara jelita itu menutup hidungnya dengan selendang, yang selama ini membelit pinggangnya.
"Siapa mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, mereka adalah murid-murid Perguruan Gunung Galung. Itu mudah dikenali dari pakaian, dan sulaman di dada kiri mereka...," sahut Panji, setelah memeriksa dari jarak dekat.
Samar-samar, terdengar suara langkah mendekati tempat mereka berdiri. Menilik dari suara yang ditimbulkan, Panji dan Kenanga dapat menduga kalau orang yang baru datang itu pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Hm.... Pembunuh biadab...! Kalian harus menebus nyawa murid-murid Perguruan Gunung Galung...!" terdengar suara bentakan nyaring, diiringi serangan mematikan.
Panji dan Kenanga cepat melompat, menghindari serangan rak terduga itu. Mereka tak menyangka akan diserang secara mendadak. Beruntung, keduanya dapat menghindarinya. "Kisanak, tunggu dulu! Jangan salah paham...!"
Panji berusaha menjelaskan kesalahpahaman itu. Setelah mendengar ucapan penyerang gelap yang menuduh mereka berdua melakukan pembunuhan terhadap murid-murid Perguruan Gunung Galung. Tapi, seruan Panji sia-sia belaka. Sosok berpakaian serba hitam yang memiliki gerakan gesit dan mantap itu kembali melayang dan menerjang.
Kenanga yang merasa jengkel, segera saja melesat mendahului kekasihnya untuk menghajar orang liar itu. Mendadak, beberapa sosok bayangan berlompatan dari balik semak-semak, langsung memapaki serangan Kenanga. Sehingga, sebentar saja dara jelita itu dikeroyok delapan orang lelaki gagah yang mengenakan seragam berwarna hitam pekat.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia liar yang tidak mengenal adat...!" bentak Kenanga marah. Gadis itu segera melompat mundur.
Melihat cara mereka bertempur, Kenanga sadar, kali ini ia menghadapi sebuah ilmu yang dimainkan oleh delapan orang sekaligus. Ilmu seperti itu jelas sangat berbahaya. Delapan orang lelaki berpakaian serba hitam itu tidak memberikan kesempatan kepada Kenanga. Mereka kembali bergerak secara teratur, menyerbu dara jelita itu.
"Heaaat...!"
Empat bilah pedang berkelebatan, dan bergulung-gulung membentuk kilatan sinar putih yang menyilaukan mata. Kemudian secara bersamaan keempat batang pedang itu menusuk ke seluruh tubuh dara jelita itu, dari aras ke bawah. Bagi lawan yang ilmu silatnya masih tanggung, akan sulit sekali meloloskan diri. Lain halnya dengan Kenanga.
Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis itu menarik kaki kanannya ke belakang, membentuk kuda-kuda silang dengan posisi tubuh doyong ke belakang. Pedang Sinar Rembulan yang telah tergenggam di tangannya, berputaran menimbulkan suara mengaung tajam. Kenanga ingin mematahkan serangan lawan dengan kekuatan tenaga saktinya.
Whuuut..!
"Hehhh...?!" Kenanga berseru heran melihat keempat batang pedang itu tiba-tiba tertarik pulang secara tak terduga. Sehingga, sambaran pedangnya mengenai angin kosong. Belum lagi ia dapat menguasai keheranannya, terdengar teriakan susul-menyusul. Keempat penyerangnya bergulingan ke samping, terpecah dua. Dari bagian tengah, tempat keempat penyerangnya berpisah, muncul empat penyerang lain, yang rupanya memang telah menunggu peluang itu.
"Heaaat..!"
Whuttt... Whuttt..!
"Hehhh...?!" Kembali Kenanga terkejut bukan kepalang. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang, menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Tapi untuk kesekian kalinya, dara jelita itu kembali memekik kaget. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, empat orang pengeroyok yang tadi bergulingan menyebar, kembali menyerang.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga.
Empat batang pedang datang menyambut tubuhnya. Terpaksa gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melenting jauh ke udara. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, melindungi tubuhnya dari serangan gelap lawan.
Jleg!
Setelah berputar beberapa kali, tubuh Kenanga kembali mendarat ringan di atas tanah. Tapi, alangkah jengkelnya hati gadis itu ketika melihat dirinya kembali berada dalam kepungan kedelapan orang lawannya.
"Setan...!" umpat dara jelita itu. Kenanga semakin bertambah marah karena dipermainkan. Sepasang mata bulatnya berkilat, menyiratkan nafsu membunuh!
"Kenanga. Jangan turuti emosimu. Hadapilah mereka dengan hati yang tenang, dan kepala dingin. Mereka menggunakan ilmu gabungan yang dimainkan secara bersama-sama dalam bentuk barisan. Untuk itu, kau harus lebih memperhitungkan tindakanmu, ketimbang mengumbar nafsu amarah yang hanya membawa celaka...," terdengar suara bisikan yang amat jelas di telinga Kenanga.
"Ah, terima kasih, Kakang...," kata gadis jelita itu sambil melirik ke arah Pendekar Naga Putih yang tengah bertarung melawan seorang lelaki jangkung berpakaian serba hitam.
Kenanga tersenyum dan mulai mengatur langkah setelah mendengar petunjuk dari kekasihnya. Ditekannya semua kejengkelan yang bisa membuat dirinya celaka. Lalu, dengan tenang, disambutnya serangan lawan. Pertempuran kembali berlanjut
"Haaat..!"
Lelaki jangkung kurus itu memekik nyaring. Golok perak di tangannya berkelebat cepat menyilaukan mata. Serangan sosok jangkung itu sungguh hebat sekali. Sehingga, Panji tidak bisa memandang remeh serangan lawan.
Whuuut...! Plak! Plak!
Cepatnya sambaran golok perak itu, membuat Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menangkis serangan lawan. Akibatnya tubuh jangkung itu bergetar mundur, sejauh enam langkah ke belakang.
"Heiii...?!" pekik lelaki jangkung itu terkejut ketika merasakan akibat tangkisan telapak tangan lawan. Sosok jangkung yang ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun lebih itu, menatap kagum sosok bertapis kabut bersinar putih keperakan di depannya. Bukan hanya itu saja yang membuatnya terkejut. Getaran hawa dingin menusuk tulang yang meresap melalui pergelangan tangannya, membuat lelaki itu terpaku sejenak. Kelihatan ia ragu menatap sosok Panji.
"Kau.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya sosok jangkung itu. Ia berdiri tegak, masih dalam keadaan siap tempur. Hanya saja wajahnya agak tegang, menanti jawaban yang keluar dari mulut Panji.
"Benar. Orang-orang persilatan memberikan julukan itu kepadaku. Dan rasanya aku bisa menebak, siapa orang yang menyerangku tanpa sebab yang jelas. Bukankah kau yang berjuluk Raja Golok Perak, Ki...?" ujar Panji, yang telah dapat menebak siapa lawannya.
"Hm... Benar dugaanmu. Aku adalah Raja Golok Perak. Dan, ketiga sosok mayat itu adalah murid-murid dan wakilku! Mengapa kau sampai tega melenyapkan mereka, Pendekar Naga Putih? Apa hubunganmu dengan Dewi Matahari...?" tanya orang tua yang ternyata Ketua Perguruan Gunung Galung. Tampaknya Raja Golok Perak masih tetap menuduh Panji sebagai pembunuh ketiga sosok mayat yang tidak lain dari Jumirta dan dua orang rekannya. Mereka itu adalah utusan Raja Golok Perak, untuk menyelidiki para penyembah Dewi Matahari.
"Jalangsa, hentikan pertempuran! Bawa adik-adikmu kemari...!" terdengar perintah Raja Golok Perak ke arah delapan orang berseragam hitam yang sedang mengeroyok Kenanga.
Tanpa membantah, kedelapan orang lelaki gagah itu berlompatan menuju tempat Raja Golok Perak berada.
"Guru.... Mengapa berhenti? Kita harus segera menangkap mereka, hidup atau mati...!" Lelaki gagah berkumis tipis yang dipanggil Jalangsa, rupanya masih penasaran. Sepertinya ia merasa akan dapat menundukkan dara jelita berpakaian hijau yang menjadi lawannya.
"Hm.... Enak saja kau ingin menangkapku hidup atau mati! Ketahuilah, bahwa sebelum kau dapat menangkapku, kepalamu akan menggelinding lepas dari leher...!" bentak Kenanga jengkel, mendengar sesumbar lelaki gagah itu.
"Sabarlah, Kenanga...," gumam Panji, sambil membelai bahu kekasihnya, yang berdiri di sebelahnya.
Dara jelita itu menoleh sejenak menatap Panji. Dan pemuda itu hanya tersenyum melihat wajah kekasihnya yang cemberut.
"Hm.... Jalangsa. Coba kau perhatikan baik-baik, siapa pemuda tampan yang menjadi lawanku barusan...?" tanya Raja Golok Perak, seraya menggerakkan kepalanya ke arah Pendekar Naga Putih. Orang tua itu ingin melihat, apakah Jalangsa bisa mengenali, siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
"Apakah.., apakah Guru telah dapat dikalahkannya...?" tanya Jalangsa cemas, mendengar pertanyaan gurunya.
"Bukan begitu maksudku, Jalangsa. Tapi, kau perhatikan pemuda itu baik-baik. Bisakah kau menduga, siapa pemuda berjubah putih itu...?" Raja Golok Perak kembali mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas. Nada suaranya terdengar tidak sabar, melihat muridnya terlalu bertele-tele menimpali ucapannya.
"Hm.... Apakah yang Guru maksudkan, ia adalah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih? Benarkah pemuda itu Pendekar Naga Putih, yang telah membuat geger dunia persilatan? Tapi..., mengapa ia membunuh Ki Jumirta dan saudara-saudara kita...?" tanya Jalangsa. Jalangsa setengah tidak percaya, bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih. Sebab, pendekar yang kabarnya sangat sakti itu adalah orang gagah yang berbudi luhur, dan bukan seorang pembunuh seperti pemuda yang saat itu tengah dihadapinya.
"Bagaimana pendapatmu, kalau ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih? Apakah kau bisa mempercayainya...?" tanya Raja Golok Perak lagi.
"Tapi.... Apakah ia memiliki 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang sedingin salju itu? Itu satu-satunya yang kudengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih, Guru. Bahkan, tubuhnya dapat mengeluarkan cahaya putih keperakan. Itulah yang banyak kudengar di kalangan persilatan...," jelas Jalangsa.
"Semua itu telah diperlihatkannya ketika bertarung denganku, Jalangsa. Yang tidak bisa kumengerti, mengapa ia sampai tega membunuh orang-orang kita?" ujar Raja Golok Perak, menghela napas penuh sesal.
"Dengarlah, Raja Golok Perak. Secara kebetulan, aku tiba di tempat ini dan melihat ketiga sosok mayat murid-muridmu. Kedatanganku kemari, adalah untuk mencari sebuah partai yang beranggotakan pemuda-pemuda berwajah pucat, namun memiliki kesaktian yang tinggi. Itulah alasannya, mengapa aku sepagi ini telah berada di wilayah Hutan Kerambah...," jelas Panji dengan nada yang tetap tenang.
Pendekar Naga Putih tidak ingin memperuncing kesalahpahaman itu dengan emosi yang dapat merugikan kedua belah pihak. Apalagi, Perguruan Gunung Galung adalah sebuah perguruan beraliran putih. Tentu saja, Panji tidak ingin bentrok dengan orang segolongan, hanya karena salah paham.
"Sebuah partai di dalam wilayah Hutan Kerambah? Ah, kau mengigau, Pendekar Naga Putih. Selama hidup, aku belum pernah mendengar adanya partai persilatan yang bermarkas di dalam hutan ini. Kau hanya mengada-ada, untuk membela diri. Katakanlah, apa kesalahan murid-muridku sampai kau tega membunuh mereka. Kalau tidak, aku akan mengadu nyawa denganmu...!"
Raja Golok Perak menganggap ucapan Panji sebagai alasan yang dicari-cari. Sebab, ia memang belum pernah mendengar atau bertemu dengan orang-orang dari partai yang disebutkan Pendekar Naga Putih.
"Aku tidak bohong, Ki. Beberapa hari yang lalu, kami dihadang oleh enam orang pemuda berwajah pucat, dan bersuara dingin seperti datang dari liang lahat. Kami berhasil memukul mundur mereka. Dan mereka melarikan diri, setelah salah seorang dari mereka tewas di tangan kami...," jelas Panji lagi, berusaha meyakinkan Raja Golok Perak akan kebenaran ceritanya.
"Bohong!" Jalangsa yang marah karena kematian ketiga orang saudara seperguruannya, membentak keras. "Aku tidak pernah bertemu atau dihadang oleh orang- orang seperti yang kau sebutkan itu, Pendekar Naga Putih! Jelas, kau mencari-cari alasan untuk menghindar dari kami!"
"Kurang ajar! Siapa takut kepadamu. Tikus Hitam! Sembarangan saja kau menuduh orang. Mulutmu memang harus dibungkam, biar tidak sembarangan bicara...!" Kenanga yang memang masih menyimpan rasa penasaran, tidak sudi kekasihnya dibentak-bentak seperti itu. Begitu ucapannya selesai, tubuh dara jelita itu kembali melayang dengan tamparan yang mendatangkan angin menderu.
"Kenanga, tahan...!" Panji mencoba menahan gerakan Kenanga. Sayang, gerakan pemuda itu dianggap hendak membantu oleh Raja Golok Perak. Sehingga, lelaki jangkung itu membentak nyaring, dan kembali menerjang Panji dengan kelebaran golok besarnya.
***
ENAM
"Heaaat..!"
Serangan yang dilakukan Raja Golok Perak luar biasa sekali. Memang pantas kalau lelaki tua bertubuh jangkung itu mendapat julukan Raja Golok. Permainan ilmu goloknya benar-benar cepat, dan mengandung tipuan-tipuan yang tak terduga. Sehingga Panji yang tidak bertarung sungguh-sungguh itu, sempat dibuat kerepotan oleh kelebaran golok perak lawan. Hanya berkat kelincahannya sajalah, pemuda tampan berjubah putih itu masih bisa menghindari sambaran golok lawan selama hampir sepuluh jurus.
Bettt...!
Untuk kesekian kalinya, sambaran sinar perak kembali berkelebat mengancam perut Pendekar Naga Putih. Kali ini, Panji hanya memiringkan tubuhnya dengan kuda-kuda agak rendah. Dari sebelah bawah, tangan kanannya bergerak menyambar dengan bacokan sisi telapak tangan tangan ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang senjata. Sedangkan tangan kirinya telah siap dengan serangan berikutnya.
Raja Golok Perak pun sadar akan kehebatan lawannya. Maka, ketika melihat sambaran tangan kiri lawan yang ingin melumpuhkan serangannya, lelaki jangkung itu memutar senjatanya. Sehingga, telapak tangan pemuda itulah yang berbalik terancam mata golok. Tapi, Panji memiliki perhitungan yang cerdik. Cepat tubuhnya berkelit, sambil menarik pulang tangan kanannya. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kirinya terulur menggedor dada lawan!
Desss...!
"Hugkhhh...!" Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak tangan yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mendarat telak di dada kiri lawan. Seketika itu juga, tubuh Raja Golok Perak terdorong mundur. Kuda-kudanya tergempur, membuat tokoh sakti berperawakan jangkung itu nyaris terbanting ke tanah. Untunglah ia masih sempat bergerak sigap, dengan memutar kuda-kudanya. Meskipun demikian, terlihat lelehan darah di sudut bibirnya. Bahkan terlihat tubuhnya agak gemetar, menahan hawa dingin yang merasuk melalui pukulan Pendekar Naga Putih.
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke arah pertarungan Kenanga. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, pemuda itu merobohkan tiga orang lawan yang mengeroyok kekasihnya. "Kenanga, ayo kita tinggalkan tempat ini...!" ajak Panji, yang langsung saja menangkap lengan kiri kekasihnya, dan melesat pergi meninggalkan arena pertempuran.
"Kejar...! Jangan biarkan pembunuh itu meloloskan diri...!" Jalangsa berteriak, memerintahkan saudara-saudara seperguruannya untuk melakukan pengejaran terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Mereka melesat dengan mengerahkan seluruh kekuatan ilmu larinya.
Raja Golok Perak sendiri telah melesat melakukan pengejaran terhadap pasangan pendekar muda itu. Ilmu lari cepatnya yang memang telah mencapai tingkat tinggi, membuat tubuhnya berkelebat cepat mendahului murid-muridnya. Sayangnya, luka akibat hantaman telapak tangan Panji, membuat gerakan orang tua itu agak terganggu. Rasa sesak dalam rongga dadanya, membuat tokoh sakti itu terpaksa menghentikan usahanya untuk mengejar Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Huagkhhh...!" Segumpal darah kental, keluar dari mulut Raja Golok Perak. Hal itu terjadi karena ia mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lawannya. Kalau saja lelaki tua itu mau bersabar, dan mengobati lukanya terlebih dahulu, pasti tidak akan bertambah parah. Sayang tokoh tua itu sangat keras kepala. Sehingga, luka dalam yang semula ringan itu menjadi parah.
"Guru...!" Jalangsa yang melihat tubuh gurunya terhuyung limbung, segera memapahnya. Kecemasan rampak membayang jelas di wajah lelaki gagah berkumis tipis itu.
"Guru, kau..., terluka...?" desis Jalangsa. Kemudian direbahkannya tubuh Raja Golok Perak di bawah sebatang pohon rindang. Sementara, tujuh orang orang muridnya yang lain, duduk bersimpuh di dekat tubuh orang tua itu.
"Hm.... Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya memerlukan sedikit istirahat saja. Setelah itu, kesehatanku akan pulih kembali. Hhh. Sayang, pemuda itu lolos dari tangan kita...," sesal Raja Golok Perak menghela napas panjang. Kemudian, ia mengisyaratkan agar murid-muridnya agak menjauh.
Jalangsa mengajak saudara-saudara seperguruannya untuk menjauhi tempat gurunya, dan membiarkan orang tua itu mengobati luka dalamnya dengan bersemadi. Mereka duduk bersimpuh, tidak jauh dari tempat guru mereka bersemadi, untuk berjaga-jaga.
"Keparat! Biar sampai ke ujung langit pun, kelak akan kucari pendekar keji itu..!" geram Jalangsa yang semakin mendendam terhadap Pendekar Naga Putih.
"Benar. Kita harus membuat perhitungan dengan pendekar sombong itu. Rasanya hatiku tidak akan pernah bisa tenang, sebelum pendekar keparat itu lenyap dari muka bumi...!" timpal seorang rekan Jalangsa yang bertubuh kekar berotot. Sepasang tinjunya terkepal erat seolah-olah ingin meremas hancur tubuh Pendekar Naga Putih.
"He he he...! Bagus..., bagus...! Pendekar Naga Putih memang harus dilenyapkan, agar dunia persilatan menjadi tenang. Aku setuju sekali dengan rencana kalian...!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat delapan orang murid Raja Golok Perak saling menolehkan kepala dengan sikap waspada. Kening mereka berkerut melihat seorang lelaki tua bertubuh gagah, melangkah sambil memperdengarkan suara kekehnya yang parau.
"Siapa kau...? Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih...?" bentak Jalangsa. Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tipis itu melangkah maju diikuti tiga orang saudara seperguruannya. Sedangkan empat orang lainnya bergerak melindungi guru mereka yang saat itu masih bersemadi.
"Eh! Bukankah orang tua itu Raja Golok Perak? Apa yang telah terjadi dengannya? Apakah beliau telah terluka oleh Pendekar Naga Putih yang sombong itu...?" tanya lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Lelaki itu tidak mempedulikan pertanyaan Jalangsa. Bahkan dengan enaknya, kakinya melangkah menghampiri Raja Golok Perak.
"Berhenti..! Kalau tidak, jangan salahkan kami jika terpaksa harus berbuat kasar terhadapmu...!" cegah Jalangsa yang sudah menghunus senjatanya. Perbuatan lelaki gagah berkumis tipis itu diikuti oleh tiga orang saudara seperguruannya. Mereka bersiap dan mengepung lelaki tua yang tidak mereka kenal itu.
"Bodoh! Apakah kalian tidak bisa mengenaliku? Aku adalah sahabat guru kalian. Sekarang sahabatku itu terluka dalam, dan aku harus membantu untuk mengobatinya..." Lelaki tua itu tidak mau kalah gertak. Bahkan ia kelihatan sangat marah pada Jalangsa dan kawan-kawannya yang menunjukkan sikap permusuhan.
"Maaf, kami belum bisa mempercayaimu. Kalau benar kau adalah sahabat guru kami. Tunggulah hingga beliau selesai bersemadi." Jalangsa tetap berusaha mencegah orang itu untuk mendekati gurunya. Meskipun demikian, terlihat sinar kekaguman tersirat pada sepasang matanya. Sebab, mungkin saja orang tua itu benar-benar sahabat gurunya.
"Murid tolol! Dungu! Apakah kau tidak melihat kalau luka dalam gurumu cukup parah! Kalau tidak segera dibantu, ia bisa celaka dan mungkin akan cacat seumur hidup! Kau akan menyesal apabila hal itu terjadi, Murid Goblok!"
Orang tua itu marah bukan main melihat Jalangsa masih saja tidak memperbolehkannya mendekati Raja Golok Perak. Wajah Jalangsa dan kawan-kawannya berubah pucat. Terbayang kecemasan di wajah mereka, setelah mendengar ucapan lelaki tua itu.
"Hm.... Baiklah. Aku tidak akan ikut campur, dan bersedia menunggu sampai gurumu selesai bersemadi. Tapi, kalau sampai Raja Golok Perak menderita cacat, aku tidak bertanggung jawab...," lanjut orang tua itu lagi, yang segera menghempaskan pantatnya di atas sebuah batang pohon kering yang tumbang.
Jalangsa semakin gelisah ketika mendengar ucapan orang tua itu. Sejenak ia menoleh ke arah gurunya yang masih tenggelam dalam semadi. Wajah Raja Golok Perak nampak pucat, membuat hari Jalangsa dan kawan-kawannya jadi semakin gelisah. Mereka memang tidak tahu apa-apa dalam hal ilmu pengobatan. Selain itu, mereka pun tidak mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih dapat melukai gurunya. Pikiran-pikiran itu membuat murid-murid Raja Golok Perak semakin resah.
"Hm..." Melihat keresahan yang semakin mencengkeram hati delapan orang murid Raja Golok Perak, orang tua gagah itu bergumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah ke arah Raja Golok Perak. Kali ini, baik Jalangsa maupun ketujuh orang lelaki gagah lainnya, tidak menunjukkan gerakan. Sehingga, orang tua itu melanjutkan langkahnya. Senyum tipis membayang di bibirnya, menyaksikan betapa kedelapan orang murid Raja Golok Perak hanya mengikuti langkahnya dengan pandangan mata saja.
Jalangsa dan kawan-kawannya saling berpandangan sekejap. Kemudian, satu-persatu mereka bergerak mengikuti langkah orang tua yang tinggal beberapa langkah lagi dari Raja Golok Perak. Bahkan, empat orang yang semula mengelilingi tubuh gurunya, agak merenggang, seperti hendak memberikan kesempatan kepada orang tua itu untuk memeriksa dan membantu penyembuhan gurunya.
Orang tua bermata tajam, yang wajahnya terhias kumis dan jenggot yang telah berwarna dua itu menghentikan langkahnya, tepat di depan tubuh Raja Golok Perak Kemudian, tanpa disangka-sangka, lengan kanan orang tua itu terangkat dan langsung meluncur turun, mengancam batok kepala Raja Golok Perak!
"Ahhh.?!" Jalangsa dan saudara-saudara seperguruannya memekik kaget melihat perbuatan orang tua itu. Tapi, karena kejadian itu berlangsung tiba-tiba dan terlampau dekat, mereka tidak bisa mencegahnya. Dan hanya bisa memandang dengan wajah pucat!
Whuttt..!
Tepat pada saat telapak tangan yang menerbitkan secercah sinar kuning keemasan itu siap meremukkan batok kepala Raja Golok Perak, mendadak orang tua sakti itu mengangkat kedua tangannya yang semula menyatu di depan dada, dengan kedudukan menyilang di atas kepala.
Bresssh!
"Huagkhhh!"
Akibatnya, terjadilah benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu bergetar. Tubuh orang tua tak dikenal itu terdorong mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Raja Golok Perak terbenam ke tanah hingga sebatas pinggang. Tokoh sakti itu memuntahkan darah kental dari mulutnya. Itu pertanda bahwa luka dalam yang dideritanya kian bertambah parah.
Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, Raja Golok Perak melenting keluar dari dalam tanah yang membenamkan tubuhnya. Kuda-kudanya terlihat agak goyah, ketika orang tua itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Bahkan, tubuhnya tampak bergoyang-goyang dengan wajah yang semakin pucat.
"Kau... Ki Sangkila. ?!" desis Raja Golok Perak dengan suara lemah. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu mengenal siapa orang yang telah demikian curang menyerangnya selagi bersemadi. Untunglah tenaga saktinya bergerak ketika merasakan adanya bahaya yang mengancam. Sehingga, meskipun luka dalamnya bertambah parah, Raja Golok Perak berhasil menyelamatkan nyawanya dari kematian.
"He he he...! Bagus kau masih mengenaliku, Raja Golok Perak. Sayang, aku gagal melenyapkanmu dari muka bumi ini. Tapi, kau jangan merasa lega dulu. Sebentar lagi kau akan merasakan bagaimana gelapnya alam kematian itu...," ejek lelaki tua berperawakan gagah yang ternyata adalah Ki Sangkila, Kepala Desa Pugar Selatan.
Raja Golok Perak memicingkan matanya dengan penuh rasa heran. Orang tua sakti itu merasa terkejut melihat kepandaian lawan. Karena ia telah cukup lama mengenal Ki Sangkila, sejak masih menjadi Wakil Kepala Desa Pugar. Sudah lebih dari tiga tahun mereka tidak bertemu. Raja Golok Perak tetap tidak habis pikir, mengapa kepandaian Ki Sangkila telah meningkat demikian jauh. Padahal sebelumnya kepandaian Ki Sangkila jauh berada di bawah kepandaiannya.
"Hm. Jangan seperti orang yang melihat hantu di siang bolong begitu, Raja Golok Perak. Sebaiknya kau pikirkan saja, bagaimana sebenarnya alam kematian yang sebentar lagi kau masuki" Kembali Ki Sangkila mengejek. Kekehnya semakin berkepanjangan, ketika melihat Jalangsa dan kawan-kawannya telah melompat mengepung.
"Manusia keji! Sepantasnya kau berteman dengan iblis di dalam hutan ini!" bentak Jalangsa. Usai berkata demikian, Jalangsa memerintahkan kawan-kawannya membentuk barisan untuk menggempur Ki Sangkila. Pedang di tangannya tampak berputaran menimbulkan suara mengaung tajam.
Ki Sangkila masih saja terkekeh. Seolah-olah sama sekali tidak merasa gentar melihat delapan orang lawan yang siap mencincang tubuhnya.
"Hm...." Lelaki tua berhati iblis itu bergumam. Kemudian ia mengeluarkan suitan panjang, yang disusul munculnya enam sosok tubuh dari belakang orang tua itu.
Jalangsa dan kawan-kawannya sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu. Ia tahu, orang-orang yang baru tiba itu rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Cepat ia mengajak rekan-rekannya mundur, melindungi guru mereka. Hati lelaki gagah berkumis tipis itu semakin gelisah ketika melihat keadaan gurunya yang semakin bertambah payah. Jelas ia tidak bisa mengharapkan orang tua itu untuk membantunya.
"He he he!" Ki Sangkila terkekeh. Sepasang tangannya bergerak mengibas, mengisyaratkan keenam orang pengikutnya untuk segera bergerak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang lelaki pengikut Ki Sangkila, langsung saja berlompatan menyerbu Jalangsa dan kawan-kawannya.
"Haaat..!"
Serbuan keenam orang lelaki yang dipimpin Suganta, lelaki berkepala botak berkumis lebat itu, membuat Jalangsa dan kawan-kawannya kerepotan. Sebab, selain harus melindungi diri sendiri, mereka pun harus melindungi guru mereka dari ancaman senjata lawan. Hal itu membuat ia tidak bisa membentuk barisan bersama kawan-kawannya.
"He he he! Sebentar lagi kalian akan segera menyusul Jumirta, dan kedua orang saudara seperguruan kalian itu...," ujar Ki Sangkila yang membuat wajah orang-orang Perguruan Gunung Galung menjadi pucat
"Biadab! Jadi kau rupanya yang telah membunuh mereka, Sangkila?!" geram Raja Golok Perak penuh kemarahan. Diam-diam Raja Golok Perak menyesali kecerobohannya yang telah menuduh Pendekar Naga Putih sebagai pelaku pembunuhan terhadap murid-muridnya. Kalau saja ia tidak berkeras menuduh pendekar muda itu, mungkin tidak akan seperti ini kejadian yang dihadapinya. Bahkan, bukan mustahil kalau Pendekar Naga Putih akan membantunya untuk menemukan pembunuh murid-muridnya itu.
"Tidak salah, Raja Golok Perak. Dan sekarang adalah giliranmu!" ujar Ki Sangkila, yang langsung melesat dengan cengkeraman mautnya untuk melenyapkan Raja Golok Perak.
"Jangan khawatir, Raja Golok Perak! Aku datang membantumu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggetarkan jantung, yang membuat wajah Raja Golok Perak berseri penuh harap. Ia melihat kedatangan sesosok bayangan yang memancarkan sinar putih keperakan. Sekali lihat saja, ia tahu bahwa sosok tubuh itu adalah Pendekar Naga Putih.
Mendengar seruan itu, Ki Sangkila melompat mundur, menarik pulang serangannya. Wajah lelaki tua itu terlihat agak tegang ketika melihat Pendekar Naga Putih yang telah berdiri melindungi Raja Golok Perak.
"Apa yang menyebabkanmu kembali ke tempat ini, Pendekar Naga Putih?"
Raja Golok Perak tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan rasa bersyukurnya, ketika melihat kemunculan pemuda sakti itu. Bahkan ia pun melihat adanya sosok bayangan serba hijau yang tengah membantu murid-muridnya menggempur enam orang pengikut Ki Sangkila.
"Hm.... Tidak aneh, Ki. Sebenarnya kami berdua memang tidak meninggalkan hutan ini. Seperti apa yang kuceritakan tadi, kami berdua telah memutuskan untuk menjelajahi setiap pelosok hutan ini untuk mencari orang-orang muda berwajah dingin pucat. Nah, ketika mendengar suara-suara teriakan di tempat ini, kami memutuskan untuk segera kembali. Kami khawatir, apa yang telah menimpa ketiga orang murid perguruanmu akan terjadi juga pada kau dan murid-murid yang lain...," papar Panji, membuat orangtua itu mengangguk-angguk.
Pendekar Naga Putih mengulurkan sebutir obat luka dalam, dari buntalan pakaiannya. Tanpa banyak tanya lagi, Raja Golok Perak langsung menelan obat itu. Karena ia pernah mendengar kalau pendekar muda itu juga memiliki ilmu pengobatan.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar menyesal telah menuduhmu berbuat keji. Aku semakin tua, semakin bertambah bodoh saja...," ucap orang tua itu, menyesali sikapnya terhadap pemuda sakti itu.
Panji hanya tersenyum penuh persahabatan. Sehingga, Raja Golok Perak semakin merasa bodoh, dibanding pendekar muda itu.vNamun, pembicaraan kedua orang tua itu segera terhenti ketika terdengar suara menggeram gusar. Keduanya menoleh ke arah Ki Sangkila, yang mengeluarkan suara geraman itu.
"Hm.... Jangan harap kalian semua akan dapat lolos dari tempat ini...!" geram Ki Sangkila. Kemudian, lelaki tua itu melangkah ke kanan dengan jari-jari terkembang.
Panji menatap dengan kening berkerut ketika melihat pendaran sinar kurang keemasan pada sepasang telapak tangan orang tua itu. "Dari mana kau mendapatkan kekuatan seperti itu, Ki Sangkila? Apakah dewi sembahanmu yang telah mewariskannya...?" sindir Panji.
Pendekar Naga Putih sadar akan keampuhan tenaga dalam Ki Sangkila. Karena pendaran cahaya kuning keemasan itu menerbitkan hawa panas menyengat. Bila tingkat kepandaian Ki Sangkila semakin tinggi, pastilah bisa memukul hangus tubuh lawan dengan kekuatannya itu.
"Hm.... Tidak perlu banyak mengoceh, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya bersiaplah untuk melayat ke akhirat...!" desis Ki Sangkila yang bergerak semakin dekat. "Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tua itu menerjang Pendekar Naga Putih dengan sepasang telapak tangannya yang menimbulkan sambaran angin panas. Cepat pemuda tampan itu bergerak ke kanan memiringkan tubuhnya, sekaligus melontarkan serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke lambung lawan.
Plakkk!
"Haih...?!"
Terdengar benturan seperti bara api yang dimasukkan ke dalam air. Ki Sangkila memekik. Tubuhnya terdorong mundur sejauh satu tombak lebih. Jelas bahwa kekuatan tenaga saktinya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu tampak memucat, pertanda benturan itu telah mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Hmm...!" Tiba-tiba saja Ki Sangkila mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang berdoa. "Wahai Dewi Penerang Kegelapan! Berikanlah pelajaran kepada orang-orang yang hendak menghancurkan kejayaanmu ini...!" ujar Ki Sangkila dengan suara bergetar, menimbulkan kekuatan gaib, yang membuat dada Panji agak berdebar.
"Gila...! Orang tua ini benar-benar telah tersesat. Hm.... Aku jadi penasaran, apakah Dewi Matahari itu benar-benar akan muncul menolongnya...," gumam Panji, menunggu kelanjutan perbuatan Ki Sangkila.
Rupanya kekuatan pengaruh suara Ki Sangkila juga dirasakan oleh Kenanga, Jalangsa, dan yang lainnya. Buktinya, pertempuran mereka terhenti. Semua mata tertuju ke arah Ki Sangkila yang tengah menengadahkan kepalanya menatap langit yang bertabur cahaya kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, hembusan angin yang semula bersilir lembut, terasa semakin keras, hingga menggoyangkan batang-batang pohon besar, sampai menimbulkan suara berderak-derak. Hawa terasa semakin bertambah panas.
"Gila...! Benarkah Dewi Matahari yang disembahnya itu akan terwujud? Seperti apa kiranya makhluk yang disembah Ki Sangkila dan kawan-kawannya itu...?" desis Panji perlahan. Pendekar Naga Putih terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan hawa panas yang kian menyengat itu.
Werrr...!
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu saja kilatan sinar emas berpendaran dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Kemudian, kilatan-kilatan itu berkumpul, merupakan titik-titik cahaya yang menjadi satu.
"Ahhh...?!" Semua orang, kecuali Ki Sangkila dan para pengikutnya, sama-sama terbelalak menyaksikan suatu pemandangan yang menurut mereka merupakan suatu yang mustahil. Keberadaan wujud yang terlihat sangat nyata itu membuat Panji dan yang lainnya terbelalak takjub!
***
TUJUH
KI SANGKILA dan enam orang pengikutnya langsung jatuh berlutut di atas tanah. Sepertinya, kemunculan sosok yang berbentuk melalui titik-titik cahaya yang bergumpal-gumpal itu bukan merupakan pemandangan baru bagi mereka. Terbukti, Ki Sangkila dan para pengikutnya sama sekali tidak terkejut.
Lain halnya dengan Panji, Kenanga, Raja Golok Perak, Jalangsa, dan yang lainnya. Mereka tersurut mundur dengan wajah tegang. Sebab, selain menebarkan hawa panas seperti gumpalan api, sosok itu pun selalu bergerak-gerak mengikuti tiupan angin. Tentu saja pemandangan seperti itu merupakan sesuatu yang aneh dan mustahil bagi mereka. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya terpaku menatap sosok yang semakin lama kian jelas bentuknya itu.
Seiring dengan semakin jelasnya bentuk sosok yang tercipta dari gumpalan-gumpalan cahaya keemasan itu, tiba-tiba terdengar suara samar-samar, mirip desauan angin yang berirama tidak tetap.
"Hm.... Kau tidak mampu melenyapkan musuh-musuhmu ini, Sangkila...?" tegur suara halus, seperti siliran angin yang sesekali menyentak. Sosok itu sudah semakin nyata membentuk seorang wanita cantik jelita yang agung, dengan sekujur tubuh bertabur cahaya emas. Rupanya dialah Sang Dewi Matahari yang disembah Ki Sangkila dan parapengikutnya.
"Ampunkan hamba, Dewi Penerang Kegelapan. Mereka sangat sakti. Sehingga, hamba yang bodoh tidak bisa melawan mereka...," sahut Ki Sangkila, yang masih tetap bersujud, tanpa berani mengangkat kepalanya memandang sosok wanita cantik itu.
"Hm. ," terdengar suara desauan angin yang menyiratkan kegusaran hatinya. Perlahan-lahan, lengan kanan sosok wanita cantik itu terangkat menunjuk ke arah Panji dan tokoh-tokoh lainnya. Sepasang mata sosok wanita cantik itu nampak berkilauan, membuat mata orang yang menentangnya sakit dan nyeri.
"Awaaas!" Panji yang lebih dahulu menyadari bahaya ancaman, berseru memperingatkan yang lainnya. Tubuh pemuda itu bergerak melakukan lompatan ke samping, diikuti Raja Golok Perak dan yang lainnya. Malang, dua orang murid Raja Golok Perak bertindak lamban. Akibatnya....
Brrrilll.!
"Wuaaa!"
Gumpalan sinar keemasan yang panas luar biasa itu meluncur dari jari-jari tangan Dewi Matahari. Tanpa ampun lagi, kedua orang murid Raja Golok Perak yang malang itu langsung terbakar seluruh tubuhnya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu telah hancur jadi abu. Kejadian itu membuat yang lain menjadi terkejut dengan wajah pucat.
"Kakang...!" Kenanga mengeluh lirih, sambil merapatkan rubuhnya memegang lengan Panji. Dara jelita itu terkejut dan ngeri menyaksikan kejadian yang menimpa dua orang murid Raja Golok Perak.
Panji sendiri tidak berani mengambil resiko untuk menyambut serangan Dewi Matahari. Karena selain belum tahu kekuatan makhluk ajaib itu, ia sadar bahwa yang dihadapinya adalah makhluk asing, yang tercipta dari daya khayal dan pikiran Ki Sangkila. Makhluk itu pasti bukan berasal dari bumi. Itu sebabnya, Panji memilih menghindar.
"Hm. Kau benar-benar bodoh, Sangkila! Hanya manusia-manusia seperti itu saja kau tidak mampu mengurusnya...," kembali suara mirip desau angin itu terdengar. "Biar para pengawalku yang akan mengurusnya."
Begitu ucapan Dewi Matahari selesai, bentuk wanita jelita penuh keagungan itu pun perlahan lenyap, kembali membentuk gumpalan-gumpalan sinar kuning keemasan. Terus berubah, menjadi bintik-bintik cahaya. Dan bintik-bintik cahaya yang jumlahnya sangat banyak itu, lenyap bergabung dengan cahaya matahari, yang saat itu memancar garang.
Kemudian, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di bekas tempat berdiri Dewi Matahari, telah berdiri lima sosok tubuh yang terbungkus lapisan sinar keemasan. Semakin jelas terlihat, seiring dengan lenyapnya lapisan sinar emas yang membungkus lima sosok tubuh tegap itu. Mereka adalah lima orang pemuda tampan bertubuh tegap dengan wajah pucat bagai mayat. Sorot mata mereka dingin, merayapi Panji dan kawan-kawannya. Rupanya, mereka itulah yang disebut sebagai pengawal Dewi Matahari!
"Hm.... Pantas saja kita tidak pernah menemukan mereka. Rupanya orang-orang berwajah pucat yang pernah menyerang kita adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari. Benar-benar luar biasa, dan sangat sulit diterima akal sehat...!" gumam Panji, begitu mengenali kelima sosok pemuda tampan berwajah pucat itu sebagai orang-orang yang pernah menyerangnya.
Pendekar Naga Putih, Raja Golok Perak, Jalangsa, Kenanga, dan lima orang murid Perguruan Gunung Galung, tidak mempunyai waktu lagi untuk menguraikan kejadian aneh itu. Sebab, saat itu pengawal-pengawal Dewi Matahari telah berlompatan menerjang kawanan tokoh peralatanitu.
"Heaaat...!"
Raja Golok Perak memekik nyaring sambil memutar senjatanya dengan sepenuh tenaga. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu sadar bahwa lawan bukan orang-orang sembarangan. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, bukan mustahil kalau nyawanya sendiri yang akan melayang. Untunglah tokoh sakti itu telah mendapat obat penyembuh luka dari Pendekar Naga Putih. Sehingga, kesehatannya telah pulih seperti sediakala.
Namun, pemuda berwajah pucat yang menjadi lawan Raja Golok Perak, benar-benar hebat dan sangat sulit didesak. Bahkan, tokoh itu jadi kelabakan, ketika merasakan hawa panas yang menyebar dan pukulan-pukulan yang dilontarkan lawannya. Hawa panas yang memenuhi arena pertempuran, membuat pemusatan pikiran Raja Golok Perak terganggu. Sehingga, gerakan-gerakan yang dilakukannya kacau dan mulai tak terarah. Keadaan itu membuat Raja Golok Perak terdesak hebat, dan tidak mampu lagi melontarkan serangan balasan.
Hal serupa juga dirasakan enam orang murid Raja Golok Perak Jalangsa yang ditemani kelima orang kawannya, dibuat kelabakan oleh lawan yang hanya seorang. Keampuhan jurus gabungan yang semestinya dimainkan oleh delapan orang itu menjadi berkurang. Karena mereka kini tinggal berenam. Selain itu, hawa panas yang terbit dari pukulan dan tamparan lawan, membuat keenam murid Perguruan Gunung Galung itu semakin kewalahan. Akibatnya, dua orang dari mereka terpaksa harus merelakan tubuhnya terkena hantaman lawan.
Buggg! Desss...!
"Hugkh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang itu tersungkur dan tewas. Tampak di dada dan perut mereka terdapat gambar telapak tangan yang berbau sangit.
"Bedebah...!" maki Jalangsa. Namun, laki-laki gagah berkumis tipis itu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Karena lawan memang terlalu tangguh bagi mereka. Meskipun demikian, empat orang murid Raja Golok Perak itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar nyawanya.
Di bagian lain, Kenanga yang pernah bertarung melawan tiga orang pemuda tampan berwajah pucat itu, jadi terkejut setengah mati. Belum lama ia merasakan kelihaian lawan, dan merasa mampu untuk menghadapi dua orang lawan. Tapi, kali ini ia dibuat penasaran! Sebab, menghadapi lawan yang hanya seorang, Kenanga harus mengerahkan segenap kepandaiannya. Kepandaian lawan kini telah maju pesat. Sehingga dara jelita itu terpaksa menghunus pedangnya untuk menghadapi gempuran lawan.
Sedangkan Pendekar Naga Putih terpaksa harus menghadapi dua orang lawan sekaligus! Meskipun demikian, Panji harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Karena kepandaian dua orang lawannya benar-benar tidak bisa dianggap remeh.
"Heaaa. !"
Ketika pertempuran menginjak jurus yang keempat puluh, dan belum juga bisa mendesak kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Tubuhnya berkelebatan cepat, laksana bayangan hantu yang berkeliaran mencari mangsa. Sepasang cakarnya menyambar-nyambar dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Suara berdecitan yang menghembuskan udara dingin menyengat tulang, selalu mengiringi setiap lontaran cakar naga Panji.
Plarrr! Plarrr!
Terdengar dua kali ledakan keras yang menimbulkan kepulan asap tebal. Itu dikarenakan inti tenaga yang mereka gunakan berlainan jenis. Akibat tangkisan kedua orang lawannya, tubuh Pendekar Naga Putih sedikit bergoyang. Sedangkan kedua orang lawannya, terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Ternyata, kekuatan tenaga sakti Pendekar Naga Putih masih di atas kedua lawannya. Tapi sepasang mata pemuda tampan berjubah putih itu terbeliak heran ketika melihat tubuh kedua orang lawannya melenting bangkit, seperti tidak mengalami cidera sedikit pun.
"Gila!" desis Panji, melihat kekuatan pengeroyoknya. Tapi, rasa heran Pendekar Naga Putih perlahan memudar ketika teringat kalau kedua orang itu adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari, makhluk ajaib yang bukan berasal dari bumi.
"Hmh...!" Ingat akan kesaktian kedua orang itu, Panji menggeram datar. Pemuda itu mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya. Sebentar kemudian, terlihat lapisan sinar kuning keemasan melapisi tubuh sebelah kanannya. Sedangkan tubuh sebelah kiri, terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Itulah gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Heaaat...!"
Disertai pekikan nyaring yang membuat tempat di sekitarnya bergetar, Panji melesat mendahului kedua orang lawannya. Khawatir akan nasib Kenanga dan yang lainnya, membuat Panji mengerahkan seluruh tenaga gabungannya untuk menggempur lawan.
Akibatnya sangat dahsyat sekali! Arena pertempuran bagaikan tengah diamuk badai salju, yang kadang berubah sepanas udara gurun pasir. Kedua orang lawannya jadi kelabakan. Hawa yang sebentar panas sebentar dingin menusuk tulang, membuat pengeroyok Panji kewalahan. Kini mereka tidak mampu lagi membalas serangan, dan hanya mencoba bertahan dari gempuran Pendekar Naga Putih yang kian dahsyat itu.
Panji yang telah bertekad melenyapkan lawan-lawann, tidak memberi hati lagi kepada mereka. Tubuh pemuda perkasa itu berkelebatan laksana seekor naga putih yang murka. Sambaran cakar dan tamparannya mengaung-ngaung bagaikan dengung ribuan lebah yang marah.
"Yeaaah...!"
Setelah sepuluh jurus, Pendekar Naga Putih kembali mengeluarkan pekikan melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke atas berputaran, dan melunak turun secara mengejutkan. Sepasang telapak tangannya mendorong bergantian, menebarkan hawa panas dan dingin berganti-ganti. Dan....
Blarrr! Blarrr!
"Aaargh!"
Terdengar raungan tinggi bagaikan hendak merobek angkasa, ketika pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih telak menghajar tubuh kedua orang lawannya. Tanpa ampun lagi, tubuh mereka terpental deras dengan tulang-tulang remuk. Kedua orang pengawal Dewi Matahari itu langsung ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga.
Tanpa mempedulikan lawannya yang tewas, Panji langsung menoleh ke arah pertarungan lain. Dilihatnya Kenanga masih bertempur sengit menghadapi seorang lawannya. Sedangkan, Jalangsa dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah keadaan Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus lagi. Pendekar Naga Putih langsung mengambil kesimpulan untuk menyelamatkan Raja Golok Perak
"Ki, serahkan lawanmu padaku! Kau bantulah murid-muridmu. !" seru Panji. Pendekar Naga Putih segera melayang ke arah pertempuran. Sepasang tangannya bergerak cepat, menyambut datangnya pukulan lawan yang tengah mengancam tubuh Raja Golok Perak.
Plakkk!
Tangan kanan Panji yang terlapisi 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' jelas jauh lebih unggul dari tenaga lawan. Tangkisan itu membuat tubuh lawannya terpelanting sejauh dua tombak. Tanpa memberikan kesempatan lagi, pemuda tampan berjubah putih itu kembali melesat melancarkan serangan mautnya.
Blarrr!
Debu dan rerumputan mengepul memenuhi arena pertarungan ketika telapak kiri Pendekar Naga Putih menghajar tanah, tempat tubuh lawannya terjatuh. Untung pengawal Dewi Matahari itu masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga, serangan Panji hanya mengenai tanah, yang jadi berlubang sebesar kubangan kerbau.
Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu mengetahui lawan berhasil menyelamatkan diri, Panji langsung melenting ke udara, dan berputaran mengejar tubuh lawan. Dari atas, tubuhnya meluruk turun. Kaki kanannya mencuat secepat kilat ke arah dada lawan, yang saat itu tengah bersiap melanjutkan pertarungan.
Desss...!
Tendangan maut Pendekar Naga Putih telak singgah di dada lawan. Akibatnya dapat ditebak. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat bagai mayat itu langsung terjengkang, dan menghantam sebatang pohon besar yang berada dibelakangnya.
Derrr...!
Pohon besar itu bergetar, dan daun-daunnya berguguran saat tubuh pengawal Dewi Matahari membentur batangnya dengan keras. Nasib pemuda berwajah pucat itu mengenaskan sekali! Darah segar muncrat membasahi batang pohon. Tubuh yang tulang- tulangnya sudah pasti patah itu langsung menggeloso, dan tewas dengan mata mendelik.
"Aaargh...!"
Panji menoleh secepat kilat ketika mendengar pekik kematian yang datang dari arah kanannya. Hati pemuda itu menjadi lega ketika melihat Pedang Sinar Rembulan milik Kenanga merobek tubuh pengawal Dewi Matahari yang menjadi lawannya. Sosok yang tatapannya menggetarkan jantung itu pun roboh dengan tubuh bermandikan darah.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji yang telah melesat ke dekat kekasihnya.
Dara jelita itu tampak lelah sekali setelah menguras seluruh kepandaiannya dalam menghadapi pengawal Dewi Matahari yang memang benar-benar tangguh itu. "Aku baik-baik saja, Kakang. Hanya merasa sangat lelah sekali...," desah Kenanga seraya menghela napas lega, karena telah berhasil menamatkan riwayat lawannya. "Mari kita bantu Raja Golok Perak dan murid-muridnya, Kakang. Tampaknya mereka kewalahan menghadapi pengawal-pengawal Dewi Matahari yang tinggal seorang itu," lanjut Kenanga sambil menoleh ke arah pertarungan lain.
Panji mengangguk. Kemudian keduanya segera melesat ke arah pertarungan yang masih berlangsung seru itu. Karena tidak ingin membiarkan Raja Golok Perak dan murid-muridnya terancam bahaya maut. Panji langsung saja berseru kepada tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu.
"Biar kucoba untuk melumpuhkannya, Ki…" seru Panji yang sudah melayang ke dalam kancah pertempuran. Saat itu Pendekar Naga Putih melihat salah seorang murid Raja Golok Perak terancam bahaya maut. Cepat-cepat pemuda itu bertindak menyelamatkan murid Raja Golok Perak yang tidak mampu lagi menyelamatkan dirinya.
Plak... Bukkk!
"Hugkh...!"
Begitu memasuki arena pertarungan, Panji langsung memapaki pukulan pengawal Dewi Matahari, dan sekaligus mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa. Akibatnya, tubuh lawan langsung tersurut mundur sejauh dua tombak. Sedangkan Pendekar Naga Putih, telah melompat berputar sambil mengibaskan lengan kanannya ke batang leher lawan.
Desss!
Kreeeekh...!
Kibasan lengan Panji yang dilapisi kekuatan tenaga dalam tinggi itu telak membentur leher bagian samping lawannya. Terdengar suara gemeretak tulang patah. Dan tubuh pengawal Dewi Matahari yang terakhir itu harus merelakan nyawanya melayang ke akhirat. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu ambruk dengan kepala terkulai.
"Hhh.... Benar-benar sulit dipercaya! Kesaktian pemuda pengawal-pengawal Dewi Matahari itu sungguh luar biasa sekali. Kalau saja tidak ada kau yang menolong kami, rasanya Perguruan Gunung Galung hanya tinggal nama saja...," desah Raja Golok Perak seraya menggelengkan kepalanya. Ditatapnya Pendekar Naga Putih dengan pandangan kagum.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku minta maaf, karena telah menuduhmu sembarangan...," Jalangsa ikut angkat bicara.
"Manusia memang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Jadi, wajar saja kalau sekali waktu kalian khilaf. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan kejadian itu. Yang penting, kita telah sadar," sahut Panji, membuat hati Raja Golok Perak dan Jalangsa menjadi lega. "Eh, ke mana perginya Ki Sangkila dan para pengikutnya? Kita sampai melupakan mereka, si penyebab semua kejadian ini"
"Ah...! Pasti ia telah melarikan diri. Mari kita kejar! Ki Sangkila dan para pengikutnya pasti telah kembali ke desanya...," timpal Raja Golok Perak, yang juga tidak menemukan sosok Ki Sangkila dan kawan-kawannya di sekitar tempat itu.
"Mari...," ajak Panji. Kemudian, rombongan kecil itu pun segera bergerak menuju Desa Pugar Selatan, tempat Ki Sangkila menjadi penguasa.
***
DELAPAN
"HMM.... Mengapa desa ini tampak sepi sekali...? Tidakkah ini mencurigakan, Baldawa...?" gumam seorang lelaki gagah berusia enam puluh tahun.
Ucapannya itu ditujukan kepada lelaki kekar yang berada di sebelah kanannya. Keduanya sama-sama menunggang kuda, dan memperlambat laju binatang tunggangannya saat memasuki perbatasan Desa Pugar Selatan.
"Mungkin mereka telah tahu kedatangan kita, Ki. Kalau begitu, kita harus meningkatkan kewaspadaan...," sahut Baldawa seraya mengedarkan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
Namun, yang dilihatnya hanyalah rerumputan dan pohon-pohon bisu yang berjejeran di sepanjang jalan. Baldawa tidak mendengar adanya suara-suara mencurigakan, kecuali desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon. Lelaki tua yang tidak lain dari Ki Sakya Wulung, terus menjalankan kudanya lambat-lambat memasuki mulut Desa Pugar Selatan.
Beberapa penduduk yang melihat dan mengenali lelaki tua itu tampak gelisah. Mereka berlarian masuk ke dalam rumah. Karena Ki Sakya Wulung membawa pengikut yang jumlahnya sekitar lima puluh orang lebih. Dan masing-masing membawa senjata, seperti hendak berperang. Hal itu membuat penduduk Desa Pugar Selatan menjadi ketakutan.
"Hm. Kurasa Ki Sangkila sedang meninggalkan desa ini. Kau lihat, Baldawa. Yang ada dalam desa hanya anak-anak dan wanita. Para keamanan desa ini pun tidak terlihat. ," ujar Ki Sakya Wulung lagi, kepada Baldawa yang merupakan tangan kanannya. Sambil berkata demikian, Ki Sakya Wulung melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Ki, lihat.!" Baru saja kedua kaki lelaki gagah itu menginjak tanah, tiba-tiba Baldawa berseru sambil menudingkan telunjuknya ke depan.
Ki Sakya Wulung mengangkat kepalanya, ketika mendengar seruan Baldawa. Lelaki tua yang masih tampak gagah itu melihat belasan orang bersenjata tengah berlarian menyongsong pasukannya. Melihat pakaiannya, Ki Sakya Wulung dapat mengetahui kalau mereka adalah para keamanan Desa Pugar Selatan.
"Hm.... Mau apa kalian datang kemari...?!" tegur seorang lelaki tinggi kurus berwajah agak pucat. Tangan kanannya tampak telah menghunus pedang, siap mengusir pergi rombongan Ki Sakya Wulung dari desanya.
"Durgana," ujar Ki Sakya Wulung seraya melangkah beberapa tindak ke depan, membuat lelaki tinggi kurus itu surut dua langkah. "Aku datang selain hendak meminta pertanggungjawaban Ki Sangkila, sekaligus juga untuk menghentikan kesesatannya. Orang-orang desaku telah banyak yang dihasutnya, sehingga mengikuti perbuatan sesatnya.
Dan, tiga orang utusanku, termasuk Ki Balasara, tidak pernah kembali lagi setelah datang menemui kepala desamu. Semua alasan itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk melenyapkan kesesatan Ki Sangkila dan semua pengikutnya. Sekarang kau boleh pilih! Ikut jalan sesat yang ditempuh Ki Sangkila dan kubasmi, atau menyerah untuk kuampuni.?"
"Hm.... Jangan coba-coba membujuk kami, Ki Sakya Wulung. Kau lihat sendiri, desa ini jauh lebih makmur dengan hasil panen yang melimpah, dibanding desamu yang kering kerontang itu. Bilang saja kau ingin merebut desa ini. Tapi, aku tidak akan mundur!" sambut Durgana. Sambil berkata demikian, Durgana melintangkan pedangnya di depan dada. Dan memberi perintah kepada delapan belas orang pengikutnya untuk menggempur pasukan Ki Sakya Wulung.
Baldawa yang saat itu masih berada di atas punggung kudanya, segera melompat turun dengan pedang terhunus. Para pengikutnya yang berada di belakang, langsung diperintahkan untuk menyambut datangnya musuh. Sebentar saja, perang kecil itu pun pecah.
"Heaaat..!"
Dengan teriakan nyaring, Baldawa segera maju menggempur lawan-lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan ke sana kemari, menyambar-nyambar dengan kecepatan yang menggetarkan. Sebentar saja, telah dua orang lawan tersungkur mandi darah, terkena sambaran pedangnya. Amukan lelaki pendek kekar yang gesit itu membuat lawan menjadi gentar.
Sedangkan Ki Sakya Wulung saat itu tengah menghadapi Durganta. Lelaki tua yang masih gesit gerakannya itu, hanya menggunakan tangan kosong untuk menghadapi gempuran pedang lawan. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau Ki Sakya Wulung berada di atas angin, dan dapat menguasai lawannya setelah bertempur selama dua puluh jurus. Lelaki tua itu terus mendesak lawannya dengan tamparan-tamparan keras dan tendangan-tendangan kilat yang tak terduga.
Plak!
"Aaakh...!" Suatu saat, ketika pedang lawan berkelebat membacok dari samping, Ki Sakya Wulung melontarkan tendangannya yang tepat menghantam pergelangan lawan, membuat pedang di tangan Durganta tedepas dari pegangan.
"Hiaaah...!" Ki Sakya Wulung yang ingin melumpuhkan lawan secepatnya, segera saja mengirimkan pukulan kerasnya ke dada lawan. Tapi, saat itu juga, berkelebat sesosok bayangan hitam yang langsung menyambut datangnya pukulan Ki Sakya Wulung. Dan....
Plak!
"Aihhh.!?" Tangkisan keras itu membuat Ki Sakya Wulung memekik kesakitan! Tubuh orang tua itu terhuyung limbung, memegangi telapak tangannya yang panas bagaikan terjilat lidah api.
"Ki Sangkila...!" desis lelaki tua itu, ketika mengangkat wajah melihat siapa orang yang baru datang.
Sosok yang telah menyelamatkan Durganta itu memang Ki Sangkila, yang tiba bersama enam orang pengikutnya. Kedatangan Ki Sangkila membuat Ki Sakya Wulung terkejut Apalagi, kesaktian lelaki tua yang pernah menjadi wakilnya itu kelihatan telah maju pesat. Hal itu dapat diduga dari benturan yang barusan dirasakannya.
"Hm. Apa maksudmu mendatangi desa ini, Sakya Wulung? Apakah desamu telah kekeringan, dan para penduduknya kelaparan? Kalau hendak meminta sedekah, mengapa tidak langsung berterus-terang saja?" ejek Ki Sangkila dengan senyum yang menyakitkan hati.
"Kau benar-benar sombong, Sangkila! Tiga orang utusan yang kukirim secara baik-baik untuk menemuimu, telah kau celakai pula. Cepat serahkan Balasara dan kedua orang pembantuku, juga orang-orang desaku yang telah kau hasut itu. Kalau tidak, aku terpaksa harus memaksamu dengan kekerasan...!" geram Ki Sakya Wulung sambil meraba gagang pedangnya.
"Ha ha ha...!" Ki Sangkila terbahak keras, mendengar ancaman Ki Sakya Wulung. "Hei, Orang Tua Tak Berguna! Kalau memang kau mempunyai kepandaian, ayo tunjukkan! Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang paling kuat..," tantang Ki Sangkila, sombong.
Ki Sakya Wulung belum sempat membalas ucapan lawannya ketika terdengar jerit kematian berturut-turut yang membuat lelaki tua itu menoleh dengan wajah tegang. Kekhawatirannya terbukti. Para pengikutnya tampak bertumbangan, dibasmi pengikut Ki Sangkila. Bahkan, Baldawa sendiri kelihatan tengah kerepotan menghadapi seorang pengikut Ki Sangkila. Sekali lihat saja, Ki Sakya Wulung sadar keadaannya tidak menguntungkan. Tapi, karena semua itu sudah telanjur, maka ia pun mengeraskan hati. Menurutnya, lebih baik hancur daripada mundur dari medan pertempuran.
"Hm.... Mari kita selesaikan urusan ini, Sangkila...!" geram Ki Sakya Wulung, segera menghunus pedangnya dan menyilangkan di depan dada, siap untuk bertarung.
"Ki Sakya Wulung, kami datang membantu...!" tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring, membuat Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila menoleh ke arah datangnya suara.
"Panji...!" desis Ki Sakya Wulung. Wajah orang tua itu berubah cerah ketika melihat sosok bayangan putih dan hijau berlarian saling mendahului. Di belakang kedua pendekar muda itu berlari lima orang lelaki gagah.
"Apa kabar, Ki Sakya Wulung...?" tegur sesosok lelaki tua, yang datang bersama Panji dan Kenanga.
"Raja Golok Perak...! Ah, aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bisa berada di tempat ini...," ujar Ki Sakya Wulung semakin bertambah gembira, melihat sosok lelaki tua itu.
Keduanya memang telah saling mengenal, karena Perguruan Gunung Galung tidak begitu jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan.
"Sangkila telah membunuh ketiga orang murid-muridku, Sakya Wulung. Untuk itu, aku ingin membuat perhitungan dengannya...," ujar Raja Golok Perak.
Sementara, Ki Sangkila sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu. Kakinya melangkah ke belakang, ingin melarikan diri.
"Hendak ke mana kau, Sangkila...? Tiga orang nyawa pembantuku, harus kau tebus dengan nyawamu...!" bentak Ki Sakya Wulung yang segera melompat menutup jalan lari Ki Sangkila. Demikian pula Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu menghunus senjatanya mengepung Ki Sangkila. Jelas, kepala desa sesat itu tidak mempunyai jalan untuk meloloskan diri.
"Hm.... Kalian memang harus dilenyapkan...!" geram Ki Sangkila dengan wajah bengis.
Bukan kedua orang tokoh itu yang ditakutinya, tapi keberadaan Pendekar Naga Putih-lah yang membuat Ki Sangkila tidak akan menang. Kalau hanya Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak, lelaki tua itu sama sekali tidak gentar. Maka, ia segera bersiap untuk menghadapi kedua orang lawannya itu.
Sementara itu, Panji, Kenanga, Jalangsa, dan tiga orang lainnya segera menceburkan diri ke dalam kancah pertempuran. Kehadiran mereka, terutama Panji dan Kenanga, membuat pasukan Ki Sakya Wulung yang semula sudah putus asa, jadi bersemangat lagi. Apalagi setelah Panji dapat menjatuhkan dua orang pengikut Ki Sangkila. Sebentar saja, keadaan pun berubah total. Kini, pihak Ki Sakya Wulung yang menguasai medan pertempuran.
Baldawa yang memang sudah kepayahan, mendapat bantuan dari Jalangsa. Keduanya bergerak menggempur lawan, yang hampir membuat Baldawa menyerahkan nyawanya. Kemunculan Jalangsa membuat keadaan berubah. Kini mereka berdualah yang mendesak lawan, dan dapat menewaskannya setelah bertarung sengit selama kurang lebih dua puluh lima jurus.
Melihat pihak Ki Sakya Wulung telah berada di atas angin, Panji segera mendekati Kenanga dan berbisik perlahan, "Aku hendak melihat pertempuran Ki Sakya Wulung. Kau tetaplah di sini. Jangan sembarang membunuh. Kalau bisa, buat mereka pingsan. Siapa tahu, kita masih bisa membawa mereka ke jalan yang benar."
Setelah melihat kekasihnya mengangguk, Pendekar Naga Putih segera melesat ke arah pertarungan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak, yang sedang berusaha melumpuhkan Ki Sangkila.
Panji berdiri agak jauh dari arena pertempuran. Pemuda itu menatap tajam penuh perhatian. Wajahnya rampak agak cerah ketika melihat kedua orang kawannya dapat menguasai perkelahian itu. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, tapi Panji tahu kalau Ki Sangkila akan segera dapat ditundukkan.
"Yeaaat...!"
"Heaaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keenam puluh, Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak berteriak nyaring secara bersamaan. Keduanya melesat dengan serangan yang hebat dan mematikan! Senjata di tangan Raja Golok Perak berputaran menimbulkan suara menderu tajam. Sedangkan pedang di tangan Ki Sakya Wulung membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sepertinya, kali ini Ki Sangkila tidak mungkin dapat selamat dari ancaman serangan kedua orang tua sakti itu.
"Haiiit…!"
Ki Sangkila yang sadar akan kedahsyatan serangan kedua orang lawannya, mengambil kepuusan nekat. Disertai pekikan nyaring, lelaki tua itu melipat kedua tangannya di depan dada. Kemudian mendorong ke depan disertai bentakan keras.
Brettt! Srattt!
Bresssh...!
Hebat sekali benturan yang terjadi. Pedang dan golok lawan membeset tubuh Ki Sangkila, yang mengimbanginya dengan sebuah hantaman telapak tangan ke tubuh kedua orang lawannya itu. Akibatnya, tubuh Ki Sangkila terhuyung ke belakang dengan ceceran darah berjatuhan membasahi tanah. Sedangkan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak terpental ke belakang dan jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Wajah keduanya tampak pucat Pada dada mereka terdapat tanda hitam bergambar telapak tangan.
Panji yang melihat kejadian itu segera berlari memburu. Pemuda itu bergerak cepat menotok jalan darah di tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak. Kemudian, menjejalkan dua butir obat pulung yang berwarna merah dan putih. Setelah itu, tubuhnya berbalik dan matanya langsung menatap ke arah Ki Sangkila yang telah ambruk di atas tanah. Kening Pendekar Naga Putih berkerut ketika melihat Ki Sangkila duduk dengan sikap menyembah sambil menatap ke arah matahari.
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak, belum tentu aku sanggup menghadapi Dewi Matahari yang disembahnya itu...," gumam Panji yang segera melesat ke arah Ki Sangkila. Pendekar Naga Putih agak terkejut ketika melihat bintik-bintik cahaya merah yang mulai turun dari langit hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.
"Yeaaah...!" Panji membentak seraya mengayunkan sisi telapak tangannya membacok leher belakang lawan. Dan...
Kraaak...
"Akh.!" Ki Sangkila mengeluh pendek saat sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih menghantam tengkuknya. Tubuh orang tua itu langsung ambruk dengan kepala terkulai. Batang lehernya patah akibat hantaman Panji yang mematikan.
Pendekar Naga Putih terpaksa melakukannya, karena kalau tidak demikian, bukan mustahil orang-orang desa dan juga berikut desanya, akan hancur akibat amukan Dewi Matahari. Ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah sanggup mencegah amukan makhluk ajaib yang tercipta dari alam pikiran Ki Sangkila.
Bersamaan dengan tewasnya Ki Sangkila, bintik-bintik cahaya yang mulai berkumpul itu kembali melayang naik ke langit. Seperti tersedot oleh pancaran sinar matahari yang terik.
Panji menghela napas lega, melihat segalanya telah berakhir. Pemuda itu melangkah menghampiri tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak yang berhasil diselamatkan. Wajah kedua tokoh itu sudah mulai kemerahan, meskipun belum sadar dari pingsannya.
Saat itu pertempuran telah usai pula. Atas petunjuk Panji, Baldawa segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengurus mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Sedangkan tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak dibawa ke rumah terdekat. Panji dan Kenanga memutuskan untuk tinggal di desa itu, sampai Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak sembuh seperti sediakala.
S E L E S A I