Rahasia Istana Terlarang Jilid 35

JILID 35

Pek li Peng kerahkan tenaga dalamnya kedalam telapak kanan, sikakek tua itu segera merasakan separuh badannya jadi linu dan kaku, sekalipun ia ada maksud melancarkan serangan balasan yang telak, sayang ada kemauan tiada tenaga.

Siauw Ling yang selalu memikirkan janji pertemuan Gak Siauw Cha dengan Giok Siauw Lang Koen didasar tebing Toan Hoan Gay yang dalam sekejap mata segera akan sampai, dirasakannya waktu ketika itu berharga bagaikan emas, segera ujarnya, “Peng jie, paksa dia untuk serahkan obat penawarnya!”

“Aku lihat si loocianpwee ini tak akan mengucurkan air mata sebelum melihat peti mati” kata Pek li Peng sambil tertawa, tangan kirinya segera merogoh kesaku kiri dan sambil keluar sebutir pil, tambahnya, “Toako, coba kau telan dulu pil obat ini!”

“Obat apakah itu?”

“Obat penawar dari jarum, Peng pok Ciam sekalipun obatnya tidak benar pada tempatnya, aku rasa meski kau telanpun tiada ruginya. Toako, cepatlah kau telan lebih dulu.”

Siauw Ling tidak banyak bertanya lagi, ia segera membuka mulutnya dan menelan pil tersebut.

“Toako, duduklah pusatkan pikiran dan atur pernapasan, biar aku yang paksa dia untuk menyerahkan obat pemusnahnya!” kembali Pek li Peng berseru.

Siauw Ling menurut dan segera jatuhkan diri bersila untuk mengatur pernapasan.

Dari dalam sakunya kembali Pek li Peng ambil keluar sebatang jarum Peng pok Ciam kemudian ditusuknya lengan sikakek tua berjenggot putih itu dua kali, katanya, “Dalam sakumu tersedia jarum beracun tentu tersedia pula obat pemusnahya, sekalipun kau tak suka menyerahkan secara suka rela, aku bisa saja menggeledah sakumu.”

“Kalau loohu serahkan obat pemusnah itu?” tanya sikakek berambut putih tadi.

“Kita saling bertukar obat penawar, kalau obatmu itu manjur dan luka racun yang diderita toakoku benar-benar sembuh, akupun akan menghadiahkan obat penawar bagimu dan melepaskan kau pergi.”

“Hmmm! jangan dikata loohu sulit untuk mempercayai perkataan nona sekalipun seorang bocah berusia tiga tahunpun tak akan percaya terhadap perkataanmu itu.”

“Kenapa?”

“Andaikata loohu berhasil melepaskan diri dari bahaya, dengan cepat tanda rahasia akan kulepaskan, apakah kalian berdua bisa tinggalkan selat ini dalam keadaan selamat.”

“Aku sudah berjanji bahwa kau pasti kulepaskan, janjiku ini tak nanti kuingkari, tentu saja asal kau serahkan obat penawar itu kepadaku.”

“Aku tetap tidak percaya, sebab perkataan dari kaum wanita paling tak boleh didengar!”

Pek li Peng tertawa hambar.

“Baiklah kalau kau tidak percaya kepadaku, biarlah toakoku yang bertindak sebagai saksi, dia adalah seorang toa enghiong, toa Hauw kiat lelaki yang betul-betul jantan dan sejati, tentu ucapannya bisa dipercayai bukan….?”

“Siapakah dia?”

“Dialah Siauw Ling, Siauw thayhiap yang dikagumi serta dihormati oleh setiap umat Bulim.”

Sikakek berambut putih itu tersenyum berpikir sejenak, kemudian baru sahutnya, “Ehmmm….! rasanya sehari-hari belakangan ini seringkali aku dengar orang mengungkap-ungkap akan nama ini.”

“Nama besar toakoku sudah termaskus diempat penjuru dunia, siapapun yang ada dikolong langit mengetahui siapakah dia, kenapa kau situa bangka yang sudah mendekati liang kubur mengucapkan kata-kata yang begitu tak enak didengar?” teriak Pek li Peng gusar.

“Peng jie!” sela Siauw Ling tiba-tiba. “Biarkanlah ia ambil keluar obat penawar tersebut, tak usah bersilat lidah lagi dengan dirinya!”

Dalam pada itu sikakek tua berambut putih tadi perlahan-lahan menggeserkan tangan kirinya untuk mengambil keluar sebuah botol porselen kecil, ujarnya, “Obat pemusnah tersebut berada disini!”

Pek li Peng segera angsurkan tangannya untuk menerima, siapa tahu secara mendadak kakek itu masukan botol porselen tadi kedalam mulutnya sambil mengancam, “Nona kalau kau memaksa diriku terus menerus maka cayhe akan gigit hancur botol porselen ini dan menelan isi obatnya….”

Dengan pandangan dingin ia menarik sekejap wajah Siauw Ling, kemudian tambahnya, “Loohu sudah lanjut usia dan hampir mendekati liang kubur. Sebaliknya usia toakomu masih muda belia. Sekalipun selembar jiwaku harus ditukar dengan jiwa kakakmu, rasanya kematianpun tidak bakal rugi.”

“Secara bagaimana kau baru suka menyerahkan obat penawar tersebut….?”

“Nona toh sudah mengatakannya sendiri, kita satu jiwa ditukar dengan satu jiwa!”

“Baiklah! kalau begitu aku serahkan dulu obat penawarku ini kepadamu….”

Sambil berkata gadis itu segera merogoh kedalam sakunya ambil keluar sebutir obat dan dihantarkan kemulut kakek tua itu.

Baru saja sikakek berambut putih tadi hendak menelan obat tersebut, tiba-tiba Pek li Peng memutar telapaknya dan mengirim satu pukulan dahsyat menghajar punggung kakek tadi.

Pukulan ini datangnya amat cepat dan berat sekali, sikakek tua itu kontan menjerit tertahan dan memuntahkan darah segar, botol porselen yang berada dimulutnyapun ikut tertumpah keluar.

Melihat gelagat tidak menguntungkan sikakek tua itu siap berteriak keras untuk mencari bantuan, tapi Pek li Peng bertindak lebih gesit, jari tangannya berkelebat lewat dan jalan darahnya tahu-tahu sudah tertotok.

Jengeknya sambil mendengus dingin, “Hmmm! itulah yang dinamakan arak kehormatan tak mau, justru malahan mencari arak hukuman. Janganlah kau salahkan kalau aku bertindak kejam terhadap dirimu.”

Ia robohkan tubuh kakek tadi keatas tanah, kemudian bongkokkan badannya memungut botol porselen itu.

Dalam pada itu Siauw Ling sedang merasakan racun keji dari jarum Coe Boe Tauw Kut Ciam yang bersarang ditubuhnya perlahan-lahan mulai bereaksi. Terpaksa seluruh hawa murninya disalurkan untuk melawan daya kerja racun itu, sewaktu dilihatnya Pek li Peng berhasil mendapatkan obat penawarnya didalam hati lantas iapun berpikir, “Walaupun gadis ini dibesarkan dalam lingkungan hidup yang serba kecukupan dan selalu dimanja oleh orang tuanya, namun kecerdikan otaknya benar-benar mengagumkan!”

Pek li Peng pun membuka tutup botol tadi, ambil keluar dua butir obat berwarna putih dan diangsurkan kemulut Siauw Ling.

Si anak muda itu menerimanya dan segera ditelan, kemudian sambil menghela napas panjang katanya, “Peng jie, seandainya kau tidak tiba ditempat ini tepat pada waktunya, mungkin selembar jiwa siauw heng bakal melayang didalam selat ini!”

Pek li Peng tersenyum.

“Kedua orang saudaramu melarang aku datang kemari, dalam marahnya aku telah berkelahi melawan diri mereka berdua, ketika mereka tak sanggup melawan diriku maka terpaksa mengijinkan aku datang kemari.”

“Apakah kau telah melukai mereka?”

“Tidak, meskipun aku telah menghadiahkan sebuah pukulan dimasing-masing badan mereka, tetapi pukulanku itu enteng sekali. Setelah membentur segera kutarik kembali.”

Perlahan-lahan ia maju menghampiri si anak muda ini, tambahnya dengan lembut, “Toako, dimanakah letak lukamu?”

“Diatas bahu sebelah kiri.”

“Lepaskanlah pakaianmu, aku akan cabutkan jarum beracun yang bersarang disitu.”

“Antara pria dan wanita ada batas-batasnya, aku mana boleh lepaskan pakaian dihadapannya” pikir si anak muda itu, segera ujarnya, “Tidak bisa jadi, gunakanlah pedang pookiam itu untuk menyobek pakaian diatas bahuku.”

Rupanya Pek li Peng dapat memahami pikiran orang, ia tertawa dan segera mengulurkan jari tangannya kedepan, sambil mengerahkan tenaga ia robek pakaian Siauw Ling dibagian bahu kirinya.

“Sedikitpun tidak salah, disitu benar-benar terdapat sebatang jarum beracun yang berwarna dan menghujam dalam-dalam didalam kulit.”

“Peng jie hati-hatilah” bisik Siauw Ling lirih. “Diujung jarum itu telah dipolesi dengan racun.”

“Jangan kuatir!”

Dengan jari tengah serta ibu jari ia jepit ujung jarum itu kemudian dicabutnya keluar, dibawah cahaya sang surya tampaklah berwarna biru tua memancar keluar dari jarum tadi, hal ini menunjukkan bahwa racun keji itu amat ganas.

Setelah mencabut keluar jarum beracun itu, Pek li Peng tidak membuangnya tetapi sambil memandang kearah Siauw Ling ujarnya, “Toako, orang ini gemar sekali menggunakan benda-benda beracun, jelas dia bukanlah seorang baik, bagaimana kalau kita gunakan pula jarum beracunnya untuk menusuk pula badannya beberapa kali agar ia rasakan senjata makan tuan?”

Mendengar perkataan itu air muka sikakek berambut putih itu seketika berubah hebat, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh badan, tetapi berhubung jalan darahnya tertotok maka walaupun dia ada maksud untuk minta ampun, tapi tak sepatah katapun sanggup diucapkan keluar.

Siauw Ling melirik sekejap kearah orang tua itu, lalu jawabnya, “Tidak perlu, cepat buang jarum beracun itu!”

Pek li Peng sangat menuruti perkataannya, ia buang jarum beracun itu keatas tanah kemudian tertawa dingin.

“Toako, baik-baiklah kau merawat diri, setelah luka racunmu sembuh kita baru membereskan lagi dirinya.”

Siauw Ling sendiri meskipun sudah makan obat penawar, tetapi iapun tidak tahu apakah luka beracunnya sudah sembuh atau belum, mendengar perkataan itu matanya segera dipejamkan dan mulai mengatur pernapasan.

Obat penawar itu sungguh mujarab sekali dalam waktu singkat daya kerja obat itu sudah bereaksi dan racun keji yang mengeram dalam tubuh si anak muda itupun seketika lenyap tak berbekas.

Dalam pada itu sikap Pek li Peng secara mendadak berubah menjadi begitu lembut dan halus, dari sakunya dia ambil keluar benang dan jarum kemudian dengan sangat berhati-hati menjahit pakaian Siauw Ling yang robek itu.

Ketika si anak muda itu selesai bersemedi, ia lantas menoleh dan bertanya, “Peng jie, kenapa kau membawa benang dan jarum?”

“Seringkali aku harus menyaru sebagai pria atau merubah-rubah keadaan, pakaian yang kubeli biasanya tidak cocok, maka terpaksa aku harus merombaknya sendiri.”

“Oooow…. kiranya begitu!” sahut Siauw Ling sambil tersenyum, perlahan-lahan ia berjalan menghampiri kakek tua berambut putih itu, tegurnya dingin, “Kalau kau tak ingin mati. Janganlah sekali-kali berteriak!”

Tangan kanannya diayun, dua buah jalan darahnya yang tertotok segera dibebaskan.

Kakek tua itu betul-betul berakal panjang, begitu jalan darahnya dibebaskan diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya untuk memeriksa diri. Ketika dijumpainya bahwa dia tidak menderita gejala keracunan, hatinya jadi tercengang, pikirnya, “Dengan amat jelas bocah perempuan ini memberitahukan kepadaku bahwa aku telah terkena jarum Pek Pok Ciam dari laut Pek hay, kenapa aku tidak merasakan diriku keracunan?”

Setelah membebaskan dua buah jalan darahnya yang tertotok tadi, dengan cepat Siauw Ling menotok kembali sebuah jalan darahnya, kemudian perlahan-lahan dia berkata, “Rupanya didalam selat ini kau hanya seorang diri?”

“Darimana kau bisa tahu?” sahutnya lirih, kakek tua itu sadar bahwa saat ini jiwanya terancam bahaya, sedikit saja bicara keras kemungkinan besar jiwanya akan melayang.

Sementara itu Siauw Lingpun sedang berpikir didalam hatinya, “Orang ini kelihatannya amat licik dan banyak akal, kalau aku bertanya secara langsung kepadanya, jelas tak akan mengakui terus terang sebaliknya kalau aku terlalu memaksa kemungkinan dia bisa mengarang keterangan bohong. Rupanya aku harus mengambil jalan lain, bisa mengorek seberapa aku harus puas dengan hasil tersebut.”

Segera ia tertawa dingin dan berkata, “Andaikata selat ini bagaimana yang kau katakan tadi dijaga dengan sangat ketat, itu berarti jago disini amat banyak. Tetapi mengapa tiada seorangpun menghalangi jalan pergi kami ketika memasuki selat ini. Dan apa sebabnya pula hingga selat ini belum nampak seorangpun yang datang menolong jiwamu?”

Kakek berambut putih itu mengerutkan alisnya lalu menjawab, “Bagaimana caranya kalian berdua menyelindup kedalam selat ini? loohu merasa bingung dan tidak habis mengerti. Kalau ditinjau dari keketatan dan kerasnya penjagaan dikedua mulut selat, sekalipun burung yang terbang lewat dingakasapun tak akan lolos dari pengawasan kami, seandainya kalian berdua masuk kedalam selat ini semestinya kami sekalian telah mendapat laporan.”

“Loo tiang, omonganmu ngaco belo tak karuan….”

“Kalau kau tidak percaya, akupun tak bisa berbuat apa-apa lagi.”

“Toako. Tak usah banyak bicara lagi dengan orang ini” sela Pek li Peng cepat. “Kita gunakan saja jarum beracun untuk menusuk badannya. Coba kita lihat beranikah dia bicara tak karuan lagi?”

Dari saku kakek tua itu ia ambil keluar sebatang jarum beracun dan segera ditusukkan keatas lengan kanannya.

Kendati sikakek tua memiliki pengalaman yang sangat luas dan pengetahuan yang dalam, setelah berjumpa dengan nona binal macam ini tak urung hatinya terkejut juga.

Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia berseru, “Nona, tunggu sebentar!”

“Peng jie tahan” seru Siauw Ling, sedang dalam hatinya ia merasa geli, pikirnya, “Aku sedang mencari akal untuk mencari tahu latar belakang yang menyelimuti tmpat ini, siapa tahu ia bisa menggunakan ancaman serta gertak sambal untuk menakut-nakuti dirinya….”

Pek li Peng dengan jarum beracun ditangan segera menggerakkan benda itu berkelebat kesana kemari diatas wajah sikakek tua itu, ancamnya, “Kalau kau berani bicara bohong satu kali, maka aku akan menusuk kau satu kali, sedikitpun tidak akan ditambah atau dikurangi.”

“Nona apa yang ingin kau tanyakan?” dalam keadaan apa boleh buat terpaksa kakek itu bertanya.

Pek li Peng tertegun, kemudian serunya, “Toako, apa yang hendak kita tanyakan? cepatlah kau ajukan pertanyaan kepadanya.”

“Nona ini kadangkala nampak cerdas dan pintar sekali, kenapa kangakala begitu gebleknya?” pikir Siauw Ling segera, katanya, “Loo tiang, kalau kau suka mengatakan secara terus terang keadaan didalam selat ini, maka cayhe akan melupakan dendam serangan bokonganmu dan memberi satu jalan kehidupan bagimu.”

“Loohu sudah terkena jarum Pek Pok Ciam dari laut Pak hay, itu berarti bahwa aku bakal mati!”

“Peng jie, adakah obat penawarnya?” si anak muda itu segera bertanya.

Sambil tertawa Pek li Peng gelengkan kepalanya berulang kali.

“Seandainya pada ujung jarum Peng Pok Ciam tersebut menganding racun, maka jiwanya sendiri sedari tadi sudah modar!”

Walaupun sikakek tua berambut putih itu sendiri juga tahu bahwa diujung jarum tiada racunnya, tetapi dalam hati ia ada maksud mengulur waktu, maka segera katanya kembali, “Senjata rahasia beracun Peng pok Ciam dari laut Pak hay sudah tersohor akan keganasannya dikolong langit, siapapun mengetahui akan hal ini….”

“Memang benar” sambung Pek li Peng. “Tapi jarum Pek pok Ciam dari laut Pak hay terbagi jadi dua bagian yaitu senjata rahasia yang beracun dan sejata rahasia yang tidak beracun. Menghadapi kakek tua celaka macam kau, rasanya aku tak perlu menggunakan jarum beracun untuk melukai dirimu.”

“Loo tiang, kau sudah dengar perkataan itu?” seru Siauw Ling. “Selat ini gersang dan terpencil letaknya, apa maksud yang sebenarnya kau sekalian berdiam disini?”

Kakek tua itu termenung dan lama sekali tidak menjawab, jelas pertanyaan dari si anak muda ini memaksa dia harus putar otak berpikir keras.

Pek li Peng yang melihat kakek itu membungkam, segera menusuk lengannya dengan jarum beracun.

“Ayoh bicara!” serunya.

Jarum Coe Boe Tauw Kut Ciam tersohor akan keganasan racun kejinya, begitu tertusuk sekeliling mulut luka segera membengkak merah.

Air muka kakek tua berambut putih itu berubah hebat, sepasang matanya melotot bulat, sambil memandang kearah Pek li Peng dari balik matanya memancar kelukar cahaya penuh kebencian dan rasa dendam.

Cepat-cepat Siauw Ling ambil keluar tutup botol dan ambil keluar sebuah pil penawar kemudian dimasukkan kedalam mulut sikakek itu.

“Toako, didalam botol masih ada sisa beberapa biji obat penawar?” tanya Pek li Peng.

“Masih sisa tiga biji.”

“Waaah…. kalau begitu pada tusukan yang keempat, ia sudah tak tertolong lagi.”

Setelah badannya tertusuk oleh jarum beracun itu, sikakek tua itu sadar dalam keadaan jalan darah tertotok tak mungkin baginya untuk mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan daya kerja racun tersebut, dalam waktu singkat racun tadi pasti akan menjalar keseluruh tubuh dan mencabut selembar jiwanya, dalam keadaan begini timbul rasa sayang terhadap jiwanya, maka tanpa sadar ia buka mulutnya untuk menelan obat penawar yang diangsurkan kepadanya.

Terdengar Pek li Peng telah berkata kembali, “Ayoh bicara!”

Sembari berseru jarum beracun ditangannya kembali diangkat ditengah udara….

Pek li Peng yang cantik jelita dalam pandangan sikakek tua ini berubah jadi lebih mengerikan dari seekor ular berbisa, menyaksikan gadis itu angkat jarum beracun itu tinggi-tinggi, dengan cepat serunya, “Cayhe datang kemari untuk mencari sesuatu tempat penyimpanan harta karun….!”

“Harta karun apa?”

“Kalau kau tak mau menjawab, kutusuk bibirmu dengan jarum beracun ini….!” ancaman Pek li Peng sambil tertawa.

Kakek tua itu jadi gelisah, buru-buru serunya, “Kalau dibicarakan harta ini tidak termasuk harta karun yang sangat berharga sebab hanya berupa beberapa macam barang peninggalan dari Bulim cianpwee!”

“Orang ini benar-benar amat licik, apa yang dijawab tidak bohong namun tidak pula termasuk jujur….” pikir Siauw Ling.

Sambil tertawa dingin segera ujarnya, “Beberapa macam barang peninggalan dari Bulim cianpwee? bukankah kalian sedang mencari istana terlarang?”

“Sedikitpun tidak salah!” sahut sikakek itu setelah tertegun beberapa saat lamanya.

Sejak menyaksikan pemandangan burung elang terbang serta ular melingkar diatas permukaan air tadi, Siauw Ling menyadari bahwa tempat ini bukan lain adalah letak istana terlarang yang sedang dicari selama ini. Tetapi ia tidak menduga kalau ada orang bisa menemukan pula letak tempat itu tanpa peta maupun petunjuk apapun sementara kunci istana terlarang serta petanya berada dalam sakunya.

Berpikir demikian, kembali ia bertanya, “Sudah lamakah loo tiang berdiam didalam selat ini?”

“Kurang lebih lima tahun lamanya.”

“Apa? lima tahun lamanya?” seru si anak muda itu dengan nada terperanjat. “Kalau begitu istana terlarang tentu sudah kau temukan bukan?”

“Kami hanya tahu bahwa letak istana telarang berada disekitar sepuluh li dari selat ini, tapi letak yang tepat belum diketahui.”

“Jadi istana terlarang belum ditemukan?”

“Kalau istana terlarang sudah kami temukan, buat apa kami sekalian masih berdiam terus ditempat ini?”

“Kalau didengar dari pembicaraan loo tiang, agaknya kau sudah lama sekali berdiam didalam lebah gunung ini?”

“Sedikitpun tidak salah, tetapi kalau kau tidak mau percaya akupun tak bisa berbuat apa-apa.”

“Loo tiang bisa membokong diri cayhe dengan senjata rahasia tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, hal ini menunjukkan kalau ilmu silatmu sangat lihay sekali….”

“Kau terlalu memuji….”

“Sayang dengan kepandaian silat selihay ini kau masih rela dipergunakan orang dan jadi budak belian dari orang lain.”

Rupanya sikakek tua itu hendak membantah, tapi akhirnya niat tersebut ditarik kembali.

Siauw Ling tertawa hambar, sambungnya, “Aku lihat kedudukan loo tiang didalam lembah bukit inipun bukan sebagai seorang pemimpin!”

“Loohu adalah salah satu diantara empat orang mandor ditempat ini….” agaknya ia merasa bahwa dirinya sudah terlanjur berbicara. Mendadak mulutnya membungkam kembali.

“Berada didalam lembah bukit ini, pekerjaan apa yang perlu kau mandori?” tanya Pek li Peng ketus.

Terhadap nona cantik yang gesit dan lincah ini, agaknya sikakek tua itu menaruh rasa takut yang mendalam, mendengar ia ajukan pertanyaan tersebut dengan hati jeri segera sahutnya, “Kami sedang mencari letak harta karun yang berada didalam lembah bukit ini!”

“Tadi kau bilang bahwa kau adalah salah seorang diantara empat orang mandor lainnya, beberapa banyak pekerja yang berada disini?”

“Tatkala untuk pertama kali memasuki lembah ini semuanya berjumlah dua ratus orang, tetapi sekarang tinggal seratus orang lebih.”

Siauw Ling yang menyaksikan pertanyaan-pertanyaan Pek li Peng yang diajukan secara terang-terangan dan gamblang ternyata dijawab pula oleh sikakek tua itu dengan jelas dan sempurna, diam-diam dalam hati kecilnya ia merasa geli, pikirnya, “Orang ini makin tua makin licik dan banyak akal, tetapi setelah bertemu dengan nona cilik yang binal ini habislah polahnya dan mati kutu sama sekali. Apa yang ditanya segera dijawabnya dengan cepat tanpa berani bicara bohong. Justru orang yang tidak punya rencanalah paling cocok untuk menghadapi manusia seperti ini, apa yang diancam bisa segera dilaksanakan tanpa memikirkan akibatnya. jelas pula orang yang cerdik belum tentu cerdik orang yang bodoh belum tentu bodoh….”

“Dimanakah orang-orang itu?” tanya Pek li Peng.

“Sudah mati semua!”

“Coba tanyakan siapa namanya?” bisik Siauw Ling dengan ilmu menyampaikan suara.

Pek li Peng berpaling memandang sekejap kearah Siauw Ling sambil tertawa, kemudian sambil memandang wajah sikakek itu kembali serunya ketus, “Siapa namamu? apa pula julukanmu didalam dunia persilatan?”

Teringat akan nama besarnya yang dipupuk selama banyak tahun dengan susah payah kakek tua ini tidak ingin untuk mengucapkannya keluar, takut kalau dikemudian hari nona cilik ini memperolok-oloknya didalam dunia persilatan hingga ditertawakan orang.

Pipinya mendadak jadi kaku, dan sebuah tusukan jarum telah bersarang dengan telak.

Pek li Peng segera membuka botol dan ambil keluar sebutir obat pemusnah, sambil dicekal ditangan katanya, “Kalau ingin meninggalkan nama harum, boleh coba-coba untuk tidak berkata, tetapi disini kecuali toako serta aku tidak ada orang lain lagi sekalipun kau mati sebagai seorang enghiong juga tiada yang tahu.”

Kakek berambut putih itu jadi gelisah buru-buru serunya, “Loohu Phoa Liong, orang kangouw menyebut diriku Coe Boe Poan si hakim siang tak bertemu malam!”

Pek li Peng angsurkan sebuah obat penawar itu kemulut Phoa Liong dan melemparkan sisanya jauh kedepan, serunya, “Kalau begini caranya terus terlalu merepotkan, lebih baik kau jangan coba-coba untuk merasakan tusukan yang terakhir….”

Nada suaranya berubah, dengan dingin dan ketus tambahnya, “Kalau memang didalam selat ini terdapat seratus orang lebih, mengapa tak sesosok bayangan manusiapun yang nampak? sudah berapa lama kalian bekerja disini? harta karun apa saja yang berhasil kalian gali? kalau coba membohong jiwamu segera kucabut.”

Menyaksikan jarum racun ditangannya bergerak kian kemari memancarkan cahaya biri buru-buru Phoa Liong menjawab, “Sudah empat tahun lebih kami bekerja disini, setiap orang yang masuk kedalam selat untuk bekerja kecuali kematian yang merenggut jiwa mereka, jangan harap bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup. Untuk menghindari pengamatan serta pengawasan orang, semua pekerja menyembunyikan diri didalam goa ketika siang hari, sedang malam hari setelah tiba maka mereka akan muncul untuk bekerja.”

“Bagaimanakah ilmu silat yang dimiliki ketiga orang mandor lainnya?”

“Mereka semua memiliki ilmu silat yang sangat lihay.”

“Siapa otak dari rencana besar ini?”

“Shen Bok Hong!”

Tercekat hati Siauw Ling sehabis mendengar perkataan itu, pikirnya, “Shen Bok Hong betul-betul sangat lihay ternyata ia berhasil menemukan letak dari istana terlarang. Orang ini cerdika dan banyak akal, hatinya keji dan telengas lagipula mata-matanya tersebar amat luas setiap partai terdapat kaki tangannya, orang ini memang termasuk salah seorang jagoan yang sangat lihay.”

“Toako, apakah kau masih akan menanyakan sesuatu?”

“Tanya kepadanya pemilik dari selat ini berdiam dimana? sekarang ketiga orang mandor lainnya berada dimana?”

“Tak usah suruh dia menyampaikan, cayhe akan mengaku terus terang….” kata Phoa Liong, setelah merandek sejenak terusnya, “Diatas dinding kedua belah samping bukit ini telah kami buat banyak goa, dipagi hari mereka semua bersembunyi didalam goa-goa itu….!”

“Berbicara dari kenyataan yang terbentang pada saat ini penjagaan didalam selat ini kurang begitu ketat. Sudah begini lama kami berhasil menawan dirimu tapi tak seorangpun yang kelihatan muncul disini untuk menolong jiwamu!”

“Selama empat lima tahun belakangan ini, belum pernah didalam selat terjadi suatu peristiwa apapun, karena itu didalam hal penjagaan lebih kendor dari tempo dulu, tetapi dimulut selat penjagaan tetap ketat dan keras, andaikata kalian berdua masuk lewat mulut selat, tidak nanti jejak kalian tak diketahui oleh pengawasan mereka.”

“Tetapi kami toh berhasil masuk ketempat lembah ini tanpa diketahui oleh siapapun!”

Mendadak Phoa Liong angkat kepalanya dan menjawab, “Kecuali kalian turun dari kedua belah sisi tebing bukit ini, tak mungkin kalau jejak kalian tidak diketahui oleh mereka!”

“Toako, lebih baik kita tanyakan persoalan lain saja” sela Pek li Peng dari samping.

“Coba tanya kepadanya, dimanakah ketiga orang mandor itu berdiam? disamping itu darimana pula datangnya para pakerja itu?”

“Kau sudah dengar bukan semua pertanyaannya?” sambung Pek li Peng sambil ayunkan jarum beracun. “Aku rasa tak usah kuulangi lagi bukan….?”

“Berhubung proyek menggali lembah gunung ini merupakan suatu pekerjaan yang besar dan berat, dan lagi bukan manusia biasa yang sanggup mengerjalannya maka semua pekerja yang ada disini seluruhnya merupakan orang-orang Bulim yang memiliki dasar ilmu silat, karena itulah setelah kematian mereka sulit untuk mencarikan penggantiannya sedangkan ketiga orang mandor lainnya tinggal didalam goa nomor tiga.”

“Toako, apakah pertanyaanmu telah selesai?”

“Tanya kepadanya dengan cara apakah kita baru bisa menyusup kedalam kelompok pekerja itu tanpa diketahui orang lain?”

“Tentang soal itu sulit untuk dikerjakan.”

“Toako, kalau memang ia tak tahu apa gunanya kita tetap memelihara bibit bencana bagi kita? bunuh saja beres!”

Phoa Liong tahu bahwa ancaman dari gadis tersebut bukanlah gertak sambil belaka, kemungkinan terjadi sungguh-sungguh amat besar sekali, buru-buru serunya, “Cara sih ada satu tetapi kalau dikatakan belum tentu kalian berdua mau mempercayai.”

“Coba katakan dulu apa caramu itu?”

“Pekerja yang ada didalam kelompok kerja masing-masing mandor memimpin satu kelompok dan tiap kelompok terdiri dari lima puluh dua orang, selama banyak tahun banyak pekerja yang mati atau terluka hingga jumlahnya tinggal seratus orang lebih. Dibawah pimpinan loohu semuanya masih ada tiga puluh satu orang, dan loohu dalam sekejap pandangan saja bisa mengenali ketiga puluh satu orang itu dengan jelas. Andaikata ada orang yang menyelundup masuk, jelas tak mungkin. Keadaan ketiga mandor lainnyapun sama saja, yaitu mereka kenal dan hapal betul terhadap setiap anggota pekerjanya tetapi terhadap kelompok pekerja lain karena pertemuan yang amat jarang maka tiada pandangan yang nyata. Andaikata kalian berdua ingin berdiam didalam lembah ini tanpa diketahui orang maka satu-satunya jalan hanyalah mencampur baurkan diri dengan para pekerja itu, sekarang lepaskanlah loohu agar dapat mengambil dua stel pakaian kuno, dengan begitu penyaruan kalian akan semakin gampang dan dibawah petunjuk loohu jejak kalian tak akan gampang diketahui orang.”

“Bagaimana kami bisa mempercayai perkataanmu?”

“Inilah satu-satunya cara bagi kalian untuk berdiam didalam lembah tanpa diketahui orang lain, kecuali ini aku tidak punya cara lain lagi.”

Ia memandang sedikit keadaan cuaca, lalu tambahnya, “Diantara empat orang mandor masing-masing punya jam tugasnya sendiri-sendiri untuk mengawasi seluruh lembah terutama sekali untuk mencegah ada pekerja yang melarikan diri serta serbuan dari musuh luar, waktu tugas cayhe sebentar lagi akan habis, sampai waktunya mandor lain akan menggantikan tugasku, bila ia tidak menjumpai diri cayhe maka hatinya akan menaruh curiga, tanda bahayapun mungkin akan dibunyikan. Waktu itu kalian berdua tentu sulit untuk menyembunyikan diri.”

“Andaikata kami lepaskan dirimu pada saat ini” ujar Pek li Peng. “Maka berita ini akan segera tersebar luas tanpa menbunyikan tanda bahaya, waktu itu bukankah aku serta toako bakal terjebak pula dalam kepungan kalian? daripada menanggung resiko, kenapa aku tidak bunuh lebih dulu dirimu?”

“Loohu akan pegang janji, setelah kusanggupi tentu saja tak akan gunakan akal licik untuk mencelakai kalian lagi.”

“Toako, aku punya satu akal bagus.” bisik gadis she Pek lo itu lagi. “Kalau ia berani menghianati kita, maka ia sendiripun tak akan bisa hidup lebih lama.”

“Apa akalmu itu?”

“Ayahku pernah mewariskan semacam kepandaian silat kepadaku, kepandaian itu mirip ilmu penotok jalan darah tetapi dengan ilmu Tiam hiat bisa jauh berbeda. Andaikata aku menotok sebuah jalan darahnya maka untuk menolong jiwanya aku harus mengurut jalan darah lain. Ayah pernah berkata kepadaku bahwa ilmu tersebut merupakan ilmu penunggal dari Pak hay, tak sebuah partaipun didalam dunia persilatan yang mengetahui. Bagi sang korban bilamana datang dua belas jam tidak cepat tertolong maka darahnya akan menggumpal didalam jalan darah itu yang mengakibatkan luka. Tujuh hari kemudian badan akan membusuk hingga akhirnya mati, walaupun kematiannya sangat lambat tapi sebelum mati akan merasakan penderitaan yang paling hebat….”

“Kalau aku betul-betul ada maksud menghianati kalian, toh aku bisa bersabar menunggu dua belas jam kemudian, menanti jalan darahku sudah dibebaskan barulah kulaksanakan rencana itu.”

“Sayang kau tiada kesempatan untuk berbuat begitu, sebab sebelum kubebaskan dirimu dari pengaruh totokan sebuah totokan lain akan menyusul!”

Siauw Ling yang telah berhasil mengetahui letak “istana terlarang” dalam hati menyadari bahwa usahanya tak akan berhasil bila ia tak menempuh bahaya maka segera ujarnya, “Peng jie, aku akan menuruti pendapatmu saja, lepaskanlah dia!”

Pek li Peng segera mengerahkan ilmu Tiam hiat keluarganya untuk melukai sebuah jalan darah Phoa Liong, kemudian setelah membebaskan dua jalan darahnya yang tertotok katanya, “Kami akan menantikan kedatanganmu disini, setengah jam kemudian bila kau belum kembali itu berarti bahwa kau telah ingkari janji tak akan kembali lagi.”

Phoa Liong bangkit berdiri, tanpa mengucapkan sepatah katapun segera berlalu dari situ.

Memandang sikap gusar dan mendongkol diatas wajah Phoa Liong sebelum meninggalkan tempat itu, Pek li Peng gelengkan kepalanya.

“Aku rasa ia tak akan kembali lagi.”

“Kalau memang begitu kita harus bersiap-siap untuk menghadapi musuh.”

Pek li Peng tersenyum.

“Sudah lama aku tak pernah berkelahi melawan orang, hari ini aku akan bertempur sampai puas” katanya.

Siauw Ling hanya memikirkan terus keselamatan dari Gak Siauw Cha, hatinya terasa murung dan kesal dengan mulut membungkam ia duduk tenang disitu.

Kurang lebih setengah batang hio kemudian, tampaklah Phoa Liong betul-betul muncul kembali disitu sambil membawa dua stel pakaian usang serta setengah mangkok abu, katanya, “Setelah kalian berdua tukar pakaian, lebih baik gosoklah tubuh kalian dengan abu ini agar berubah jadi hitam, sedang nona inipun harus menggulung rambutnya untuk menyaru sebagai seorang pria.”

Siauw Ling tidak banyak bicara, ia segera tukar pakaiannya dengan pakaian dekil tadi, sedang Pek li Peng masuk kebalik batu untuk tukar pakaian.

Dengan perawkan yang kecil memakai pakaian yang longgar keadaan Pek li Peng sehabis tukar pakaian nampak aneh sekali, apalagi sesudah mukanya dipolesi dengan abu potongannya kontan berubah jadi menyerupai seorang pengemis cilik.

Siauw Ling yang menyaksikan keadaan itu dalam hati merasa tidak tega ia menghela napas panjang.

“Aaaai….! Peng jie, aku telah menyiksa dirimu.”

“Asal toako merasa gembira dan senang hati, pekerjaan yang sulit dan menderita maka apapun akan kulasanakan dengan girang hati pula” sahut Pek li Peng sambil tertawa manis.

Beberapa patah kata ini diucapkan dengan mengandung rasa cinta yang mendalam, membuat Siauw Ling merasa amat terharu. Sementara ia hendak mengucapkan beberapa patah kata yang menyatakan rasa terima kasihnya, dengan suara ketus Phoa Liong sudah menyambung, “Nona, gigimu terlalu putih, lain kali lebih baik jangan tertawa….”

“Aku serta toako toh bukan tawananmu, kalau berbicara sedikitlah tahu diri” teriak Pek li Peng dengan gusar.

“Kalau kalian berdua tak ingin asal usulnya ketahuan, nasehat dari cayhe ini harus dituruti.”

Sementara Pek li Peng hendak mengumbar hawa amarahnya, Siauw Ling segera mencegah niatnya itu sambil berkata, “Peng jie apa yang diucapkan sedikitpun tidak salah.”

“Hmmm! agaknya kaum pria, lelaki sejati lebih mengerti keadaan dari pada kaum wanita….”

Ia merandek sejenak, lalu ujarnya kembali, “Kalian berdua ikutilah diriku!”

Habis berkata ia berjalan menuju ketempat luar.

Diam-diam Siauw Ling kenakan sarung tangan kulit ularnya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan, langkahnya dipercepat membuntuti dibelakang tubuh Phoa Liong.

Ia sudah mempersiapkan diri, asal keadaan dirasakan tidak menguntungkan maka dengan gerakan yang tercepat ia akan menaklukan Phoa Liong lebih dahulu.

Phoa Liong dengan membawa kedua orang itu berjalan kurang lebih puluhan tombak jauhnya, ketika tiba dibawah sebuah tebing ia segera mendorong dinding tebing disisinya…. Kreeeeek! sebuah pintu batu segera terbuka lebar.

Bau keringat yang busuk dan menusuk hidung dengan cepat berhembus keluar mengikuti terbukanya pintu tadi.

Siauw Ling sebagai seorang jago kangouw yang punya banyak pengalaman tidak langsung menyerbu kedalam ruangan, sinar matanya dengan tajam menyapu sekejap sekeliling tempat itu.

Terlihatlah diatas lantai ruang batu itu dilapisi dengan tikar berbaring puluhan orang pria kekar suara dengusan saling bersahutan memecahkan kesunyian.

Menyaksikan hal itu alisnya segera berkerut, pikirnya, “Bagi aku orang she Siauw seorang pria sejati bercampur gaul dengan manusia semacam ini masih mendingan, tetapi nona Pek li adalah seorang gadis, mana boleh berdiam jadi satu dengan orang-orang ini….?”

Rupanya Phoa Liong pun dapat menangkap rasa keberatan yang tercermin diwajah si anak muda itu, segera ujarnya, “Keadaan ditempat ini demikianlah. Aaaai….! selama banyak tahun mereka selalu hidup didalam lembah terpencil ini. Kecuali kematian setiap hari banyak pekerjaan berat yang harus dilakukan, hingga badan lelah dan kehabisan tenaga mereka baru dapat beristirahat, setiap kali berbaring merekapun tertidur pulas bagaikan orang mati….”

Timbul rasa iba dan kasihan dalam hati Siauw Ling, ia menghela napas panjang.

“Aaaai….! kenapa mereka musti banting tulang peras keringat?”

“Sebab mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali bekerja keras jalan kematian saja yang dapat ditempuh, kalau tidak ingin mati konyol maka mereka musti bekerja terus tanpa hentinya.”

“Tanpa mendapatkan anak kunci istana terlarang, Shen Bok Hong bisa mengetahui kalau istana terlarang berada disini bahkan mengirim begini banyak orang untuk bekerja keras selama banyak tahun untuk mencari istana tersebut, kekejian, keteguhan hati serta keyakinan benar-benar sulit ditandingi orang lain” pikir Siauw Ling.

Terdengar Pek li Peng dengan suara lembut telah berkata, “Asal aku bisa berada bersama toako, walaupun lebih menderitapun aku tidak takut, toakopun tak usah merisaukan diriku.”

“Peng jie, aku telah menyiksa dirimu!”

Pek li Peng tersenyum manis, ia tarik pergelangan kiri Siauw Ling dan diajak duduk disudut sebuah dinding, wajahnya sama sekali tidak nampak murung atau kesal.

“Kalian berdua duduklah disini, loolap akan pergi” kata Phoa Liong kemudian, ia segera berlalu dan menutup kembali pintu ruangan.

Walaupun diatas permukaan lantai dilapisi tikar tetapi karena dimakan tahun tikar itu sudah lapuk, baru saja Pek li Peng meluruskan kakinya tikar itu segera robek besar.

“Peng jie” bisik Siauw Ling kemudian. “Kita harus mencari akal untuk menolong orang-orang ini.”

“Asal kita bunuh keempat orang mandor itu, bukankah mereka bisa segera dibebaskan?”

ooooo0ooooo

“Kita tahan dulu satu hari disini, setelah memahami keadaan disekeliling tempat ini barulah bertindak lebih jauh.”

Pek li Peng tersenyum dan tidak berbicara lagi, ia pejamkan mata dan duduk bersandar didinding.

Entah berapa saat sudah lewat, mendadak pintu batu didorong orang dan segulung angin dingin berhembus masuk.

Siauw Ling membuka matanya melirik sekejap keluar, tampaklah Phoa Liong dengan membawa lampu lentera berwarna hijau membawa dua orang berjalan masuk kedalam.

Orang yang disebelah kiri memakai jubah warna biru langit, jenggot hitam terurai sepanjang lambung, wajahnya berwarna merah padam bagaikan bocah dan membawa sebuah peti emas sepanjang tiga depa dengan luas dua depa ditangannya, dia bukan lain adalah majikan dari pesanggrahan Sian kie soe loo, It Boen Han Too adanya.

Sedang orang yang berada disebelah kanan memakai pakaian perlente, dia adalah majikan kedua dari perkampungan Pek Hoa San cung, Cioe Cau Liong adanya.

Menyaksikan kehadiran gembong-gembong iblis itu, Siauw Ling segera tarik tangan Pek li Peng sambil bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara, “Peng jie, perlahan-lahan berbaringlah kelantai.”

Pek li Peng menurut sekali, ia benar-benar jatuhkan diri berbaring diatas lantai.

It Boen Han Too serta Cioe Cau Liong perlahan-lahan berjalan masuk kedalam, sambil berjalan mereka bercakap-cakap tiada hentinya, tak seorangpun yang memperhatikan mereka berdua.

Siauw Ling segera pusatkan pikiran pasang telinga, terdengarlah Cioe Cau Liong sedang berkata, “It Boen heng, terhadap persoalan ini Toa cung cu menaruh harapan yang amat besar. Bahkan setelah mengalami penyelidikan serta pemikirannya yang seksama dapat membuktikan bahwa istana terlarang benar-benar terletak ditempat ini. Beberapa kali Toa cung cu sudah meninjau dan melakukan penyelidikan disini, tetapi setiap kali gagal untuk mendapatkan sesuatu petunjuk apapun jua.”

It Boen Han Too tersenyum.

“Shen Toa cung cu toh sudah mengirim beratus-ratus orang Bulim untuk menggali lembah bukit ini selama beberapa tahun, apakah ia tak berhasil menemukan sesuatu apapun?”

“Mereka yang dikirim didalam lembah ini walaupun bukan terhitung jago lihay kelas satu tetapi rata-rata memiliki dasar ilmu silat yang kuat dan mempunyai perawakan badan yang kekar dan bertenaga besar, jerih payah serta usaha mereka jauh diluar kemampuan orang biasa. Kendati begitu setelah bekerja beberapa tahun separuh diantaranya telah mati, namun tak ada sesuatu petunjuk apapun yang berhasil ditemukan.”

“Cayhe sendiri walaupun hanya memandang sepintas lalu, tetapi dapat ketemui bahwa beberapa buah bukit ini merupakan batu-batu karang hitam yang keras dan padat. Jangan dikata hanya beberapa ratus orang tenaga pekerja, sekalipun mengumpulkan seratus ribu orang pekerjapun jangan harap bisa merubah kedudukan bukit ini didalam beberapa tahun, kehebatan serta keanehan yang terkandung didalamnya hanya bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan….”

“Tidak salah” sambung Cioe Cau Liong. “Oleh sebab itulah sengaja Toa Cung cu mengundang It Boen heng datang kemari dengan maksud meminjam tenagamu untuk menemukan letak istana terlarang tersebut.”

Sinar mata It Boen Han Too menyapu sekejap kearah puluhan pria kekar yang menggeletak didalam ruangan itu, lalu sambil menatap Phoa Liong tanyanya, “Dewasa ini masih ada beberapa orang pekerja didalam lembah ini?”

“Dari jumlah empat kelompok semuanya masih ada seratus dua puluh orang….!”

“Berapa banyak anak buahmu sendiri?”

“Tiga puluh tiga orang!”

Jumlah yang sebenarnya adalah tiga puluh satu orang, ditambah Siauw Ling serta Pek li Peng jumlahnya jadi tiga puluh tiga orang.

“Coba kau carilah dua orang yang ilmu silatnya rada baik diantara mereka untuk mengikuti aku melakukan pemeriksaan disekeliling tempat ini” titah It Boen Han Too.

“Dengan diri It Boen Han Too walaupun aku pernah berjumpa beberapa kali tetapi ingatannya terlalu tipis, ditambah pula aku sudah menyaru mungkin untuk sementara waktu masih dapat mengelabuhi dirinya” pikir Siauw Ling didalam hati. “Sebaliknya terhadap Cioe Cau Liong aku sudah bergaul agak lama,ingatannya terhadap dirikupun sangat dalam, salah-salah rahasiaku bisa ketahuan olehnya, semoga saja aku tidak terpilih.”

Tampaknya Phoa Liong berjalan menghampiri pria-pria kekar yang menggeletak diatas tanah itu dan membangunkan dua orang diantaranya.

“Apakah dapat dicarikan dua orang yang nampak gesit?” seru It Boen Han Too dengan alis berkerut.

Kiranya kedua orang yang terpilih itu walaupun memiliki perawakan tubuh yang tinggi kekar namun lagak lagunya bodoh dan ketolol-tololan.

Sinar mata Cioe Cau Liong dengan cepat menyapu sekejap wajah Siauw Ling serta Pek li Peng katanya, “Pakaian dari kedua orang ini jauh lebih bersih, suruh mereka bangun….!”

Walaupun Siauw Ling serta Pek li Peng juga memakai pakaian dekil, tetapi pakaian yang telah lama disimpan itu tetap nampak jauh lebih bersih dan baru dari pada lainnya.

Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Phoa Liong berjalan menuju kesisi pemuda itu, sambil mendorong mereka berdua serunya, “Ayoh bangun!”

Rupanya ia tak tahu nama mereka berdua maka tak bisa memanggil nama kedua orang itu.

Dengan keraskan kepala Siauw Ling terpaksa harus menarik Pek li Peng dan bangun berdiri.

Mimpipun Cioe Cau Liong tak pernah menyangka kalau Siauw Ling bisa menyusupkan diri kedalam kawanan pekerja itu. Setelah memandang sekejap kearah kedua orang itu ujarnya sambil tertawa, “Potongan badan kalian berdua jauh lebih gesit, cuma rada kotor sedikit, setelah cuci muka dan ganti pakaian baru mungkin masih rada mendingan….!”

“Yaaah, terpaksa kita musti berbuat demikian” sahut It Boen Han Too.

“Kau sijenggot panjang, hati-hati nanti!” maki Pek li Peng didalam hati. “Bun Kong cu adalah manusia apa? sekarang aku musti mendengarkan perintahmu, tapi lain kali kalau sampai kau terjatuh ketanganku, maka aku akan cambuk dirimu bagaikan budak belian.”

Siauw Ling amat kuatir kalau jejaknya diketahui oleh Cioe Cau Liong, selama ini dia hanya berdiri kaku dengan kepala tertunduk, sinar matanya tak berani saling membentur dengan dorot mata orang she Cioe itu.

Keadaan Phoa Liongpun tak berbeda, ia sangat kuatir kalau Cioe Cau Liong menanyakan asal usul dari kedua orang ini hingga membuat ia tak sanggup menjawab.

Siapa tahu Cungcu kedua dari perkampungan Pek Hoa san Cung ini sama sekali tidak memperhatikan kedua orang itu, bisiknya kepada It Boen Han Too, “It Boen heng, keinginan toa cungcu untuk menemukan istana terlarang sudah tak terkendalikan lagi, kepada siauwte ia telah berjanji bahwa tiga hari kemudian ia akan datang sendiri kemari, harap It Boen heng bisa menggunakan waktu yang amat singkat ini untuk menemukan sedikit keterangan hingga kita bisa memberikan pertanggungan jawab dikala Toa cung cu berkunjung kemari nanti.”

“Sekarang waktu sudah menjelang malam besok setelah fajar menyingsing kita baru bisa bekerja….”

Sinar matanya dialihkan kearah Phoa Liong dan melanjutkan, “Turunkan perintah, katakanlah atas titah dari Cioe jie cungcu pekerjaan malam ini untuk sementara waktu ditunda.”

“Hamba terima perintah” Phoa Liong segera menghunjuk hormat.

It Boen Han Too alihkan sinar matanya memandang sekejap kearah Siauw Ling serta Pek li Peng, kemudian sambungnya, “Kau bawalah mereka pergi cuci muka dan ganti seperangkat pakaian baru, kemudian berilah istirahat yang cukup bagi mereka berdua, esok pagi bawa menghadap diriku.”

Selesai berkata bersama Cioe Cau Liong, ia segera berlalu dari ruangan batu itu.

Memandang bayangan kedua orang itu hingga lenyap dari pandangan, Phoa Liong baru menggape sambil berkata, “Kalian berdua ikutlah aku.”

Siauw Ling serta Pek li Peng segera keluar dari ruangan, tampak bintang bertaburan diangkasa kiranya waktu itu sudah tengah malam….

Dengan membawa lampu lentera Phoa Liong membawa kedua orang itu masuk kedalam ruangan batu yang lain, dibawah sorot cahaya lampu tidak nampak sesosok bayangan manusiapun berada disana, ia segera menutup pintu berbisik lirih, “Simanusia berjenggot hitam yang membawa peti emas dan barusan kalian jumpai itu bukan lain adalah pemilik dari pesanggrahan Sian Kie soe loo yang amat tersohor dikolong langit….”

“It Boen Han Too bukan?” sambung Siauw Ling.

“Kau kenal dengan dia?”

“Sedang pemuda berpakaian perlente tadi adalah Jie cung cu dari perkampungan Pek Hoa San cung Cioe Cau Liong, betul bukan.”

Air muka Phoa Liong seketika berubah hebat.

“Siapakah sebetulnya dirimu?” tegurnya.

“Kau sudah terlalu lama berdiam didalam lembah bukit itu, terhadap perubahan situasi didalam dunia persilatan tentu tidak begitu tahu, mengertikah kau bahwa situasi telah berubah seratus delapan puluh derajat? para enghiong yang ada dikolong langit telah bangkit dari impiannya dan mulai menentang kekuatan dari perkampungan Pek Hoa San cung. Oleh sebab itu Shen Bok Hong buru-buru hendak membuka istana terlarang guna mendapatkan peninggalan dari beberapa orang cianpwee. Sedangkan mengenai nama cayhe, sekalipun kuucapkan belum tentu Phoa heng kenal, karena itu lebih baik tak usah kukatakan saja.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar