Rahasia Istana Terlarang Jilid 31

JILID 31

Perlahan-lahan Gak Siauw Cha angkat kepalanya, dengan mata terpejam rapat-rapat katanya, “Dalam surat wasiat ibuku, beliau suruh aku kawin dengan dirimu dan menjadi istrimu!”

“Oooooh! benarkah ada kejadian seperti ini?” seru Siauw Ling tertegun.

Seluruh wajah Gak Siauw Cha berubah semakin merah padam, tapi ia lanjutkan juga kata-katanya, “Didalam surat wasiat itu bukan saja memerintahkan cici untuk kawin dengan dirimu serta menjadi istrimu, bahkan diterangkan pula apa yang harus cici lakukan.”

Ia berhenti sejenak.

“Perkataan seperti ini walaupun cici merasa malu untuk mengutarakannya keluar, tetapi setelah kejadian berubah jadi begini terpaksa aku harus bicara terus terang kepadamu, semoga kau jangan mentertawakan diri cici yang terlalu tak tahu diri.”

“Dalam pandangan siauwte, cici jauh lebih agung dari seorang bidadari dilangit, mana aku berani memandang rendah diri cici.”

“Aaaa….! bagaimanapun juga akhirnya cepat atau lambat persoalan ini harus kuberitahukan kepadamu, bila tidak kuterangkan pada saat ini mungkin dikemudian hari sudah tak ada kesempatan lagi….”

Terutama sekali beberapa patah kata yang terakhir jelas mengandung alamat jelek, membuat Siauw Ling yang mendengar jadi tertegun dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Sementara ia hendak menanyakan persoalan itu, Gak Siauw Cha telah berkata kembali, “Dalam surat wasiatnya ibuku telah menerangkan dengan jelas, katanya kau telah mengidap suatu penyakit yang sangat aneh didalam urat nadi, meskipun berhasil mempelajari ilmu silat yang sangat lihay, belum tentu urat nadi terpenting itu berhasil ditembusi, dapatkah usiamu melampaui batas dua puluh tahun masih merupakan suatu tanda tanya yang besar. Oleh karena itu dalam surat wasiat itu ibuku memerintahkan kepada cici untuk kembali lagi kedusun Tan Kwoe Cung ditepi telaga Tiang Pek Ouw sehabis mengantar jenasahnya pergi, untuk sementara waktu soal membalas dendam jangan dibicarakan dahulu dan aku harus kawin dulu dengan dirimu….”

Siauw Ling yang mendengar perkataan itu wajahnya seketika menjadi panas, ia tundukkan kepalanya rendah-rendah dan tak berani memandang wajah Gak Siauw Cha lagi.

Terdengar gadis itu menghela napas panjang sambungnya, “Ibuku suruh aku melahirkan putra putri bagi keluarga Siauw untuk menyambung keturunannya, kemudian baru membalaskan dendam baginya, didalam surat wasiatnya diterangkan pula dengan jelas bagaimana caranya untuk membalaskan dendam sakit hatinya itu. Aaaa….! siapa tahu peristiwa yang kemudian terjadi jauh diluar dugaan ibuku. Saudaraku! andaikata tiada surat wasiat dari ibuku, tidak nanti cici berani membawa kau keluar dari rumah.”

Siauw Ling angkat kepalanya kembali, dengan air mata bercucuran ia menghela napas panjang.

“Dibalik kejadian ini masih terselip banyak persoalan yang sama sekali tak terduga, darimana siauwte bisa berpikir….”

Air muka Gak Siauw Cha mendadak berubah jadi serius, ujarnya, “Kini situasi sama sekali telah berubah, keadaan cici sudah lain dari pada keadaan dahulu sedangkan kaupun sudah berhasil melepaskan dari ancaman bahaya maut bahkan berhasil mempelajari pula serangkaian ilmu silat yang sakti. Dengan ketampanan wajahmu serta kegagahan, cici percaya banyak gadis yang tertarik kepadamu. Perintah ibuku mendiangpun hanya akan jadi suatu kenangan, rasanya cici tak usah menurut pesan terakhirnya lagi.”

Siauw Ling merasakan hatinya jadi kacau. Ia tak dapat melukiskan bagaimanakah perasaannya pada saat itu, setelah termenung sebentar sahutnya lirih, “Perintah dari cici, siauwte tidak berani membangkang!”

Gak Siauw Cha mendongak memeriksa cuaca diluar jendela, kemudian bertanya, “Saudaraku, bagaimanakah menurut penilaianmu tentang ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw Lang Koen.”

Siauw Ling yang lagi uring-uringan dan gelagapan tidak tahu apa yang musti dilakukan segera berdiri menjuplak setelah mendapat pertanyaan dari Gak Siauw Cha, lama sekali ia baru sanggup menjawab, “Kepandaian silatnya sangat lihay, dan sulit ditemui sepanjang sejarah dewasa ini.”

“Bagaimanakah kalau kepandaian silatmu dibandingkan dengan dirinya….?”

“Sulit untuk ditentukan siapa menang siapa kalah.”

“Rasa cintanya terhadap diriku dalam bagaikan samudra, dan budinya yang telah ia lepaskan terhadap diriku berat bagaikan gunung, menurut pendapatmu apa yang harus cici lakukan?”

“Tentang soal ini…. tentang soal ini….” saking tertegunnya untuk sesaat si anak muda itu tidak tahu apa yang musti dijawab.

“Kejadian indah berubah jadi begini, kaupun tak usah ragu-ragu lagi katakanlah sejujurnya!”

Dengan sinar mata berkilap Siauw Ling menatap wajah Gak Siauw Cha dalam-dalam kemudian dengan nada serius katanya, “Hal ini harus kunilai dari sikap cici terhadap dirinya. Andaikata cici mencintai dirinya sudah tentu kau boleh menikah dengan dirinya, sebaliknya kalau cici tidak suka kepadanya dan siauwtepun belum mati, tentu saja kau dapat menghapuskan janji itu….”

“Masih ada satu persoalan, cici belum sempat menerangkan kepadamu!”

“Persoalan apa?”

“Andaikata aku menghapuskan janji tersebut, mungkin saja ia tak berani mengapa-apakan diriku, tetapi rasa benci dan dendamnya pasti akan dialihkan ketubuhmu, ia pasti akan mencari dirimu untuk diajak beradu jiwa….!”

“Walaupun ilmu silatnya sangat lihay tetapi siauwte tidak jeri terhadap dirinya!”

“Aku tahu! tetapi kalau dua ekor harimau saling bertempur, maka akhirnya salah satu diantaranya pasti terluka….”

“Demi cici sekalipun siauwte harus matipun rela!”

“Pada saat ini namamu sudah tersohor diseluruh kolong langit, umat Bulim yang ada didalam dunia persilatan dewasa ini telah menganggap dirimu sebagai pelita ditengah kegelapan dan merekapun memandang kau sebagai satu-satunya orang yang sanggup menghadapi serangan Shen Bok Hong, saudaraku sebagai seorang lelaki sejati kau harus lebih berat memandang pada karier dan bukannya mengorbankan jiwa demi seorang gadis….”

Siauw Ling merasakan darah panas didalam rongga dadanya bergelora keras, serunya dengan suara kaget, “Seandainya dalam hati kecil siauwte ada seorang kekasih, maka orang itu adalah cici seorang. Bukan saja aku sangat mencintai diri cici bukankah kau kupandang melebihi bidadari yang ada dilangit, siauwte masih muda dan tidak banyak persoalan yang kuketahui tetapi selama banyak tahun aku merasa suara dari cici, senyuman dari cici sering kali muncul didalam benakku, sekalipun ini hari cici tidak menerangkan siauwtepun merasa bahwa aku menaruh rasa cinta dan rindu terhadap diri cici, hanya satu untuk sementara siauwte belum merasakan tumbuhnya bibit cinta, sekalipun siauwte tahu juga tak berani kuutarakan keluar sehingga menyinggung perasaan cici.”

“Aaai….! selama banyak tahun akupun siang malam selalu merindukan dirimu, terhadap kau aku menurut rasa sesal yang tak terkirakan disamping rasa kesalahan yang tebal dalam pandanganku. Aku merasa bahwa seharusnya kau selain berada disisiku, aku hendak mengurusi soal makanmu serta pakaianmu, dalam lima tahun belakangan kau didalam bayanganku masih seperti seorang bocah seperti waktu berpisah dahulu menanti secara diam-diam kuawasi dirimu dewasa ini, barulah kuketahui bahwa kau telah meningkat dewasa.”

“Apakah siauwte sama sekali tidak memiliki potongan wajah seperti dahulu?”

“Dulu kau lemah dan banyak penyakit, membikin orang yang memandang merasa kasihan, tapi kini kau tampan dan mempesonakan setiap orang.”

“Tetapi siauwte toh masih tetap merupakan Siauw Ling yang dahulu….?” perlahan-lahan si anak muda itu tundukkan kepalanya.

“Tidak salah, dalam tingkah laku secara lapat-lapat masih tersisa keadaan dimasa kecilmu….”

Ia menghela napas panjang.

“Seorang Shen Bok Hong sudah cukup memusingkan kepalamu, kalau ditambah dengan seorang Giok Siauw Lang Koen lagi, dari mana kau sanggup menghadapinya? untuk melepaskan genta, harus mencari siorang yang tersangkut genta, persoalan pribadi cici lebih baik aku selesaikan sendiri saja….”

“Cici, betapa sayang dan cintanya diri cici kepadaku pada masa yang silam, kini aku telah dewasa, mengapa kau tidak memperkenankan diriku untuk melindungi cici?”

Diatas wajah yang murung mendadak tersungging satu senyuman manis, terdengar Gak Siauw Cha berkata, “Saudaraku, kemarilah!”

Perlahan-lahan Siauw Ling maju kedepan dengan sangat hormat tanyanya, “Cici, kau ada perintah apa?”

Gak Siauw Cha tidak berbicara, mendadak ia putar badan dan berjalan masik keruang dalam. Beberapa saat kemudian sambil membawa sebuah kotak kayu cendana yang panjangnya tiga coen lebarnya dua coen gadis itu munculkan dirinya kembali.

Kepada Siauw Ling ia berkata dengan wajah serius, “Saudaraku, baik-baiklah kau simpan kotak kayu ini!”

“Cici, apakah isi dari kotak kayu ini?” tanya Siauw Ling sambil menerima benda tadi.

“Anak kunci istana terlarang yang diidam-idamkan setiap jago Bulim dikolong langit!”

“Apa? anak kunci istana terlarang?” jerit pemuda itu dengan terperanjat.

“Tidak salah, ini hari cici serahkan benda ini kepadamu, semoga kau bisa memasuki istana terlarang.”

Buru-buru si anak muda itu gelengkan kepalanya.

“Benda yang demikian berharganya mana bisa siauwte simpan secara baik-baik? lebih baik cici menyimpan sendiri saja!”

“Apakah kau masih ingat akan janjiku dengan Giok siauw Lang Koen….?” tanya Gak Siauw Cha tertawa getir.

“Ucapan itu baru saja mendengung disisi telingaku, tentu saja siauwte masih mengingatnya baik-baik.”

“Nah, itulah dia, batas waktu tiga bulan dalam sekejap mata saja akan tiba pertemuanku dibawah tebing Toan Hoan Gay sulit diramalkan tentang mati hidupku, andaikata tiga bukan kemudian kau tidak berhasil memperoleh kabar mengenai diri cici, anggaplah anak kunci istana terlarang itu sebagai milikmu.”

Setelah merandek sejenak, terusnya, “Berusahalah melakukan perjalanan untuk memasuki istana terlarang. Bila kau ingin menangkan Shen Bok Hong, maka satu-satunya jalan adalah memasuki istana terlarang tersebut.”

“Cici, beritahukan kepadaku tentang satu persoalan, janganlah membohongi diriku” pinta si anak muda itu serius.”

“Persoalan apa?”

“Kau telah mengadakan janji dengan Giok Siauw Lang Koen untuk berjumpa didasar tebing Toan Hoan Gay pada tiga bulan kemudian, sebenarnya apa maksudmu?”

“Tentang persoalan ini cici tak bisa mengatakan, sebab harus dilihat bagaimana sikap Giok Siauw Lang Koen nanti.”

“Seandainya ia selalu mendesak cici hingga kelewat batas, apakah cici bakal bergebrak melawan dirinya?”

“Aku tidak tahu, persoalan ini baru bisa dibicarakan setelah meninjau situasi pada waktu itu.”

“Aku lihat dia terlalu picik pandangannya sedangkan terhadap cici rasa cintanya sudah sangat mendalam, andaikata cici tidak menyetujui perkawinannya mungkin dia tak akan melepaskan cici dengan begitu saja, kecuali kalau cici rela menyerah begitu saja, siauwte rasa suatu pertarungan sengit tak akan terhindar.”

Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling, mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.

“Cici, apakah kau mengijinkan siauwte untuk ikut serta pergi memenuhi janji?”

“Tidak bisa jadi, kau tak boleh bermusuhan dengan Giok Siauw Lang Koen….!”

“Mengapa?”

“Dibelakang Giok Siauw Lang Koen masih berdiri selapis kekuatan yang amat besar. Andaikata kau membinasakan Giok Siauw Lang Koen, maka orang-orang itu pasti tak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja, sebaliknya kalau kau sampai terluka ditangan Giok Siauw Lang Koen. Oooh…. saudaraku, terlalu tidak berharga bagimu untuk mengorbankan diri demi diriku!”

“Demi cici, sekalipun badanku harus hancur lebur siauwtepun rela….!”

“Saudaraku, kau jangan melupakan akan satu persoalan” seru Gak Siauw Cha dengan alis berkerut.

“Persoalan apa lagi?”

“Aku telah menerima pinangan dari Giok Siauw Lang Koen, kenapa aku tidak boleh sungguh-sungguh menikah dengan dirinya?”

Siauw Ling tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

“Saudaraku, masih ada persoalan apa lagi yang hendak kau katakan kepada cici?” gadis itu kembali bertanya.

“Dalam hati siauwte mempunyai beribu-ribu patah kata yang hendak kukatakan, tetapi aku tidak tahu harus dari mana untuk mulai berbicara….!”

“Kalau memang begitu, lebih baik tak usah kau katakan lagi….”

Air mukanya berubah, mendadak dengan suara ketus serunya, “Cici telah mengutarakan semua isi hatiku, kalau memang kau tiada persoalan lagi. Rasanya sudah sampai pada saatnya bagimu untuk mohon diri dari sini!”

Mimpipun Siauw Ling tidak menyangka kalau secara tiba-tiba Gak Siauw Cha bisa mengusir dirinya pergi, ia tertegun.

“Cici suruh aku pergi?” bisiknya setengah tidak percaya.

“Ehmm, saudaraku kini kau sudah dewasa antara lelaki dan perempuan ada batas-batasnya, aku rasa tidak pantas bagimu untuk berdiam terlalu lama disini.”

“Kalau memang begitu, siauwte mohon diri lebih dulu!” selesai berkata ia lantas menjura.

“Maaf cici tidak bisa mengantar lebih jauh” sahut Gak Siauw Cha sambil balas memberi hormat, kemudian berjalan masuk keruang dalam.

Siauw Ling yang menyaksikan keputusan dari gadis she Gak itu, disamping merasa heran iapun merasa sangat bersedih hati, darah panas didalam rongga dadanya bergelora keras dan air mata tanpa sadar jatuh berlinang.

Berdiri ditengah kesedihan entah berapa waktu sudah lewat tanpa terasa.

“Siangkong!” mendadak terdengar suara teguran yang halus dan merdu berkumandang datang memecahkan kesunyian.

Bagaikan baru saja sadar dari impian, buru-buru Siauw Ling membasuh air mata yang membasahi pipinya lalu berpaling. Tampaklah Soh Boen dengan wajah diliputi kesedihan telah berdiri didepan pintu.

Ia berusaha keras menenangkan hatinya, setelah melirik sekejap kearah horden yang memisahkan ruang tengah dengan ruang dalam, pemuda itu bergumam seorang diri, “Yaah…. aku memang harus segera pergi!”

Tanpa berkata-kata ia berjalan menuju keluar.

Hatinya diliputi kesedihan yang kelewat batas, cinta kasih yang bersemi didalam hatinya dahulu kini telah berubah jadi air mata kesedihan, pemuda itu tak kuat menahan air matanya lagi, titik-titik air mata jatuh berlinang membasi pipinya.

Dengan langkah limbung ia berjalan kedepan, pemuda itu tak tahu kemanakah ia telah pergi.

Terdengar suara air berkumandang memecahkan kesunyian, sebuah selokan dengan air yang bersih menghadang didepan matanya.

Dalam kepedihan hatinya ternyata si anak muda itu telah salah mengambil arah dan tersesat.

Perlahan-lahan Siauw Ling berjalan kesisi selokan, duduk diatas sebuah batu besar ia bertopang dagu dan memandang awan diangkasa dengan pandangan mendolong.

Mendadak angin berhembus lewat, awan diudara membuyar keempat penjuru, dilangit yang udara terasa amat cerah.

Pemuda itu gelengkan kepalanya, setelah berhasil menenangkan hatinya yang kacau ia berjongkok ketepi selokan dan membasahi wajahnya yang kusut.

Rasa dingin yang menyegat badan segera menembalikan pikirannya yang kacau, ia teringat kembali akan rekan-rekannya yang masih menanti didalam bangunan besar.

Setelah mengempos tenaga dan menentukan arah, akhirnya Siauw Ling kembali kearah bangunan besar.

Bangunan tersebut masih tetap berdiri ditengah kelilingan pohon bambu, tapi didalam pandangan pemuda itu semuanya telah berubah, dalam beberapa jam yang singkat semuanya terasa asing baginya….

Dalam pada itu Soen Put shia sambil bergendong tangan sedang berdiri dipintu depan ketika menyaksikan Siauw Ling munculkan diri, ia segera menyongsong dengan langkah lebar.

Siauw Ling angkat kepala dan melirik sekejap kearah pengemis tua itu lalu tertawa hampa.

“Benar, aku sudah kembali!” sahutnya lirih.

Dari sikap serta ucapan tersebut Soen Put shia dengan cepat dapat menangkap kesedihan hati si anak muda itu, wajahnya seolah-olah sudah mengalami perubahan yang amat besar, perpisahan selama beberapa jam bagaikan perpisahan selama beberapa tahun lamanya.

Tampaklah alis yang selalu cerah kini diliputi kekesalan serta kemurungan yang tebal, matanya yang semula jeli kini berubah jadi merah. Keadaannya bagaikan seseorang yang baru saja mengalami pertarungan yang seru, seperti pula seseorang yang kehabisan tenaga dan kelewat lelah.

Kegagahan serta keteguhan iman dihari-hari biasa kini lenyap tak berbekas bagaikan terdapat suatu tenaga misterius yang merubah sama sekali watak serta perangai Siauw Ling dalam beberapa jam yang singkat.

Soen Put shia segera mendehem ringan dan menegur, “Saudara Siauw, apakah kau sudah bertemu dengan musuh tangguh yang belum pernah kau jumpai serta telah berlangsung suatu pertempuran yang amat seru?”

Siauw Ling menggeleng dan tetap membungkam.

“Apakah kau merasa sangat lelah?” kembali pengemis itu menegur dengan alis berkerut.

Siauw Ling mengangguk dan tertawa sedih.

“Ehmm, aku merasa lelah sekali.”

Sinar mata Soen Put shia segera dialihkan kebawah, mendadak ia temukan sebuah kotak kayu muncul separuh bagian diluar sakunya. Dibawah sorot cahaya sang surya terlihatlah diatas kotak itu terdapat banyak sekali urik-urikan, diam-diam pikirnya didalam hati, “Belukm pernah kujumpai kotak semacam ini, jelas benda tersebut baru saja didapatkan olehnya….”

Maka kembali ia menegur, “Saudara Siauw, benda apakah yang terdapat didalam kotak kayu itu….?”

Siauw Ling menunduk dan mengambil kotak tadi setelah dilihat sekejap sahutnya, “Oooh, benda ini? aku toh tidak menerimanya! kenapa bisa berada didalam sakuku?”

Kiranya waktu Gak Siauw Cha mengusir si anak muda itu, Siauw Ling merasakan hatinya bergetar keras dan kesadarannya banyak berkurang, disaat itulah gadis she Gak tadi telah memasukkan kotak kayu itu kedalam sakunya.

Soen Put shia sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman luas, ketajaman matanya benar-benar luar biasa, menyaksikan sikap si anak muda itu ditambah pula kesadaran yang jauh berkurang. Dalam hatinya ia mengerti bahwa pemuda ini pastilah sudah mendapatkan pukulan batin yang sangat besar, sehingga dari seorang jago yang memiliki ilmu silat lihay berubah jadi manusia biasa.

Sementara itu Boe Wie Tootiang, Ceng Yap Chin serta Suma Kan sekalian telah berkumpul datang.

Rupanya para jagopun menemukan keadaan Siauw Ling yang lain dari pada keadaan biasa, semua mereka jadi gelagapan dibuatnya.

“Soen Loocianpwee” sitoosu tua dari Bu Tong Pay itu segera berbisik lirih. “Agaknya keadaan siauw thayhiap rada tidak beres.”

“Betul….”

“Menurut apa yang cayhe ketahui” timbrung Suma Kan. “Didalam Bulim terdapat semacam kepandaian pembingung sukma, jangan-jangan ia sudah terkena ilmu hitam tersebut.”

“Kalau menurut pandangan aku sipengemis tua, agaknya batinnya mendapat pukulan yang berat sehingga sifatnya jadi begini.”

Terdengar Siauw Ling berbisik, “Aku harus mengembalikan kepadanya!” seraya berkata ia segera putar badan dan berlalu.

“Agaknya keadaan tidak beres” bisik Soen Put shia, sekali enjotkan badan ia sudah menghadang didepan si anak muda itu, tegurnya, “Saudara Siauw, kau hendak pergi kemana?”

“Aku hendak mengembalikan kotak kayu ini.”

“Hendak kau kembalikan kepada siapa?”

“Gak Siauw Cha! Aaaai…. isi dari kotak ini terlalu berharga, aku orang she Siauw mana boleh menerimanya?”

“Apa sih isi dari kotak kayu itu?”

“Anak kunci istana terlarang!”

Kesadarannya yang berangsur-angsur merosot rupanya mengalami sedikit kemajuan.

Beberapa patah kata yang singkat cukup menggetarkan setiap orang, beberapa patah kata tadi bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong memaksa Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang sekalian berdiri menjublak dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Didalam dunia persilatan seringkali tersiar berita yang mengatakan didalam istana terlarang telah terkubur belasan orang tokoh silat yang amat lihay, mati hidupnya hingga kini masih merupakan suatu teka teki, dan untuk memecahkan teka teki itu maka orang harus mendapatkan anak kunci istana terlarang.

Benda itu mempengaruhi kehidupan seluruh umat Bulim dan merupakan benda yang paling berharga berjuta-juta orang dunia persilatan.

Entah sudah berapa banyak tokoh sakti dunia persilatan yang harus mengucurkan darah demi memperebutkan benda itu, sudah berapa banyak pembunuhan serta kematian yang diakibatkan benda itu….

Dengan sinar mata yang sayu Siauw Ling menyapu setiap wajah para jago, kemudian katanya, “Harap cuwi sekalian suka menanti sebentar disini, setelah mengembalikan kotak kayu itu aku akan segera kembali kesini.”

“Saudara Siauw” seru Soen Put shia sambil menghadang jalan pergi pemuda itu. “Apakah nona Gak telah mengucapkan sesuatu sewaktu menyerahkan kotak kayu itu kepadamu?”

Perlahan-lahan Siauw Ling mendongak dan menghela napas panjang.

“Tidak salah, agaknya ia telah mengucapkan banyak sekali perkataan.”

“Loocianpwee” Boe Wie Tootiang segera membisik. “Agaknya kesadaran Siauw thayhiap rada terganggu, kita harus menghadang jalan perginya!”

Soen Put shia mengangguk.

“Apa yang telah dikatakan nona Gak? saudara Siauw, bolehkah kami mengetahui?” katanya.

“Banyak perkataan yang telah ia ucapkan agaknya anak kunci istana terlarang ini sangat mempengaruhi kehidupan dunia persilatan….”

“Bukan saja sangat besar, bahkan boleh dikata disitulah letaknya kunci bagi keselamatan seluruh umat Bulim.”

“Betul, agaknya iapun beritahu kepadaku, kalau aku ingin menangkan Shen Bok Hong maka aku harus memasuki istana terlarang.”

“Tidak salah….” sahut Soen Put shia serius.

“Aaaai…. tetapi anak kunci istana terlarang bukan milikku!”

“Kalau memang nona Gak menyerahkan anak kunci istana terlarang kepadamu, sudah tentu itu berarti bahwa ia berharap agar Siauw thayhiap bisa memasuki istana terlarang. Kalau kau mengembalikan kunci ini kepada nona Gak, bukankah itu berarti telah menyia-nyiakan harapannya….?” seru Boe Wie Tootiang.

Memandang kotak kayu dalam genggaman Siauw Ling menghela napas panjang.

“Mungkin kotak kayu ini mempengaruhi keselamatan dari nona Gak!” bisiknya.

“Mempengaruhi keselamatan nona Gak?”

“Tidak salah, setelah ia serahkan anak kunci istana terlarang kepadaku, dan berarti bahwa ia tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa lagi, dengan sendirinya ia bisa cepat mengambil keputusan pendek terhadap kehidupannya.”

“Aaaah…. kalau begitu urusan menyangkut mati hidup nona Gak” pikir Soen Put shia. “Jika demikian adanya tidak baik kalau aku sipengemis tua terlalu banyak komentar.”

Rupanya Boe Wie Tootiang sekalipun berpendapat demikian, maka siapapun tidak berbicara lagi.

Sekali lagi Siauw Ling menghela napas panjang, lalu berkata, “Harap kalian suka menunggu sebentar disini, aku hendak mengembalikan dulu kotak kayu ini.”

“Loocianpwee” Boe wie Tootiang segera berbisik kepada Soen Put shia. “Keadaan Siauw thayhiap rada tidak beres, lebih baik kau ikuti dirinya saja….”

Soen Put shia mengangguk, dengan langkah lebar ia segera maju kedepan dan berkata, “Saudara Siauw, bagaimana kalau aku sipengemis tua menemani dirimu….?”

“Aku tak berani merepotkan dirimu!”

“Haaah…. haah…. apakah kau tidak mengijinkan aku sipengemis tua ikut serta?”

“Kalau memang loocianpwee ingin ikut marilah kita segera berangkat….!” tanpa banyak bicara lagi ia segera berlalu.

Meskipun Soen Put shia mengetahui bahwa Siauw Ling tidak ingin dirinya ikut serta, tetapi demi menjaga keselamatan si anak muda itu terpaksa ia tebalkan muka untuk mengikuti dibelakang pemuda tersebut.

Tampaklah Soh Boen dengan menggembol buntalan serta menyoren pedang berdiri dimuka gubuk.

Ketika menyaksikan dandanan dari dayang tersebut, Siauw Ling seketika berdiri tertegun.

Sekalipun didalam hati kecilnya ia memang bermaksud mengembalikan kotak kayu itu, tapi dalam kenyataan ia berharap bisa berjumpa sekali lagi dengan Gak Siauw Cha.

Terdengar Soh Boen dengan suara yang merdu berseru, “Siauw siangkong, nona telah berangkat!”

“Sudah berapa lama ia pergi? kemana ia berlalu?”

“Siangkong tak usah menyusul nona lagi. Sebelum pergi ia telah serahkan segala sesuatunya kepada budak, bagaimanapun juga aku harus menasehati diri siangkong untuk tidak menyusul dirinya.”

Siauw Ling menghela napas sedih.

“Nona, katakanlah kepadaku ia telah berangkat menuju kearah mana! aku harus menyusul dirinya dan mengembalikan kotak kayu ini, dalam kotak tersebut berisikan anak kunci istana terlarang yang mempengaruhi mati hidup dunia persilatan.”

“Aku tahu dan nona telah beritahu kepadaku, ia suruh aku menyampaikan kepada siangkong agar baik-baik merawat kotak ini, kecuali kotak tersebut berisikan anak kunci istana terlarang, terdapat pula peta rahasia istana tersebut, peta itu adalah hasil karya dari ibu nona.”

Mendadak Siauw Ling merasakan suatu perasaan sedih yang aneh, tanpa sadar air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.

Perlahan-lahan dari saku Soh Boen mengambil keluar sepucuk surat, sambil diangsurkan kedepan katanya, “Sebelum berlalu tadi nona telah meninggalkan sepucuk surat yang minta aku untuk serahkan kepadamu. Seandainya keadaan siangkong tetap tenang maka surat ini tak perlu diserahkan kepadamu.”

“Kenapa?” tanya si anak muda itu sambil menyambut surat tersebut.

“Tidak tahu nona suruh budak berkata demikian dan budakpun seperti apa yang aslinya telah menyampaikan kepada diri siangkong.”

Siauw Ling menerima surat itu dan hendak dirobek sampulnya, tapi kembali dihalangi oleh Soh Boen.

“Jangan kau buka sekarang, nona berpesan agar siangkong menyimpan dahulu surat itu, kemudian carilah tempat yang tenang. Duduklah baik-baik dan surat itu baru boleh dibaca.”

“Ooooh begitu banyak perkataannya.”

“Nona suruh budak menyampaikan kata-jatanya itu, budak telah menyampaikan kepada siangkong, dan sekarang budak masih ada beberapa patah kata yang hendak diberitahukan kepada siangkong.”

“Silahkan nona berkata, aku seorang she Siauw akan mendengarkan dengan seksama.”

“Sejak budak mengikuti nona, belum pernah kusaksikan dia meneteskan air mata, tapi kali ini setelah menghantar pergi siangkong nona telah menangis sejadi-jadinya….”

“Sungguhkah itu?”

“Kenapa aku musti membohongi dirimu?”

“Teguran nona tepat sekali, bagaimana selanjutnya?”

“Isak tangisnya memecahkan kesunyian, air matanya mengalir deras bagaikan bendungan yang ambrol, setelah budak sekalian berlutut sambil memohon-mohon agar nona suka menjaga kesehatan, ia baru perlahan-lahan berhenti menangis!”

Siauw Ling mendongak dan menghela napas panjang.

“Aaaai…. kemudian, apakah nona Gak meninggalkan gubuk ini?”

“Tidak” Soh Boen menggeleng. “Setelah nona berhenti menangis, ia menulis sepucuk surat untukmu.”

Siauw Ling mendesis lirih, dia angkat suratnya keatas siap dibuka atau secara tiba-tiba ia teringat pesan dari Soh Boen, maka niatnya itu dibatalkan kembali.

“Diatas surat itu kecuali terdapat tulisan dari nona kami, terdapat pula air mata yang sangat berharga dari nona kami, aku menyaksikan dengan mata sendiri banyak air matanya menetes diatas kertas surat tersebut, kau harus baik-baik menyimpan surat ini” Soh Boen melanjutkan.

“Cayhe tidak akan menyia-nyiakan surat ini.”

“Pada saat ini nona kami mungkin sudah berada puluhan li jauhnya. Siangkong tak usah menanti lebih lanjut, sedang budakpun tidak nanti memberitahukan kepadamu kemana arah yang dituju nona, lebih baik cepat-cepatlah kembali!”

“Sebelum nonamu meninggalkan tempat ini apakah ia sudah berpesan sesuatu?” tanyanya Siauw Ling sedih.

“Tidak….” ia merandek sejenak. “Kau ini…. jadi orang benar-benar rada tolol.”

“Kenapa?” pemuda itu tertegun.

“Andaikata nona kami ada perkataan yang hendak disampaikan kepadamu, apakah dia tak bisa menulisnya didalam surat itu?”

“Ehmmm, ucapan ini sedikitpun tidak salah” pikir Siauw Ling, maka ia lantas berkata, “Terima kasih banyak atas petunjuk nona.”

“Tak perlu sungkan-sungkan cepatlah pergi!”

Siauw Ling segera angsurkan kotak kayu dari tangannya kearah dayang lain katanya, “Tolong nona suka menyampaikan kotak ini kepada nona Gak!”

“Soh Boen segera gelengkan kepalanya berulang kali.”

“Aku tidak berani menerima kotak tersebut!” katanya.

“Kenapa?”

“Sebelum nona berlalu dari sini, ia telah berpesan agar budak untuk menanti siangkong disini, kalau sang surya sudah hilang dibalik gunung dan siangkong belum datang juga, budak baru diijinkan berlalu dari sini. Menunggu orang disuruh menanti setengah harian lamanya, itu berarti nona sudah menduga bahwa siangkong pasti akan datang, dan ternyata siangkong benar-benar telah datang kemari….”

Ia tersenyum dan melanjutkan, “Dia beritahu kepada budak, seandainya surat ini diserahkan kepada siangkong dikala kau sedang menangis, maka siangkong segera akan tenang kembali, dan ternyata keadaan yang sebenarnya memang begitu.”

“Aaaaai…. selamanya dugaan enci Gak ku memang selalu tepat sekali!”

“Dia memang jauh lebih hebat dari seorang dewasa!”

“Dia bukan dewa tetapi manusia, bahkan seorang manusia yang punya rasa cinta dan setia kawan, siangkong! penderitaan serta siksaan batin yang dialami nona kami selama beberapa bulan terakhir mungkin sepuluh kali lipat jauh lebih berat daripada apa yang kau alami sekarang.”

Siauw Ling menghela napas panjang dan membungkam.

Dengan sepasang mata jeli dan tajam Soh Boen menatap wajah si anak muda itu tajam-tajam, ujarnya lagi, “Siangkong, nona kami berkata bahwa kau adalah seorang koen cu, seorang lelaki sejati, anak kunci istana terlarang pasti akan dikembalikan kemarin, eeei…. ternyata dugaannya kembali jitu!”

Air mukanya berubah menjadi serius, sambungnya kemudian, “Siauw siangkong, tahukah kau sebenarnya apa yang dipikirkan nona kami dikala menyerahkan anak kunci istana terlarang kepadamu? ia tidak ingin memperoleh dirimu, sebaliknya justru menitipkan keselamatan jiwanya kepadamu….”

“Apakah nonamu menyelesaikan lebih lanjut kata-katanya ini?” seru Siauw Ling tertegun.

“Kau ini kalau dipandang sepintas lalu nampaknya amat cerdik, kenapa dalam kenyataan tolol sekali?”

“Bagaimana tololku?”

“Andaikata kau sangat cerdik, kenapa kau tidak berhasil menangkap maksud yang sebenarnya dari perkataan nona kami?”

“Ilmu silat yang dimiliki enci Gak jauh lebih ampuh daripada diriku sedangkan kepandaian silat dari Giok Siauw Lang Koen hanya berada dalam keadaan seimbang saja dengan diriku, andaikata sampai terjadi pertarungan aku rasa enci Gak tidak bakal sampai menderita kalah ditangan Giok Siauw Lang Koen kecuali kalau enci Gak dengan rela hati menyerahkan diri.”

“Sedikitpun tidak salah, andaikata membicarakan soal ilmu silat saja nona kami mungkin masih jauh lebih ampuh daripada Giok Siauw Lang Koen, dalam ratusan gebrakan ia masih sanggup untuk mencabut jiwanya, tetapi kau jangan lupa Giok Siauw Lang Koen adalah tuan penolong yang telah berulangkali menyelamatkan jiwa nona kami!”

Siauw Ling menghela napas panjang.

“Aaaai…. karena itu, enci Gak ku baru rela menerima penghinaan serta siksaan batin dan rela dianiaya olehnya?”

“Kembali kau salah menduga!”

“Kenapa?”

“Kalau dibicarakan sesungguhnya sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap nona kami amat terhormat dan selamanya tidak berani berbuat keras” ia termenung sebentar kemudian melanjutkan. “Aaaai…. bicara pulang pergi, kesemuanya adalah disebabkan karena dirimu.”

“Karena aku?”

“Tidak salah sebelum aku munculkan diri didalam dunia persilatan, nona kami sering kali mengadakan pertemuan dengan Giok Siauw Lang Koen, mereka sering kali berpesiar dan menikmati pemandangan alam sambil bergandengan tangan. Waktu itu meski nona kami sering kali mengerutkan dahi menunjukkan kemurungan, tetapi senyuman serta wajah yang berseri-seri sering kali terlihat juga ditampilkan….”

“Bagaimana setelah mendengar kemunculanku didalam dunia persilatan?” sela Siauw Ling.

“Sejak mendengar berita yang mengatakan kemunculanmu didalam dunia persilatan, situasi seketika berubah hebat. Mulai kau terjun kedalam dunia persilatan itulah budak tak pernah melihat nona kami menampilkan senyumannya lagi, bahkan berulang kali menampik ajakan Giok Siauw Lang Koen untuk mengadakan pertemuan. Coba bayangkan, apakah kesemuanya ini bukan disebabkan karena dirimu?”

“Aaaah, mungkin saja dibalik persoalan ini masih ada kesalahan paham yang belum diketahui” sahut Siauw Ling kemudian dengan alis berkerut setelah berpikir sejenak.

“Salah paham? salah paham yang bagaimana?”

“Untuk sesaat sulit bagiku untuk menerangkan hingga jelas, lebih baik tak usah aku katakan saja….” ia merandek sebentar. “Tadi, bukankah nona pernah berkata bahwa nona Gak telah menitipkan keselamatannya kepadaku, sebenarnya apa maksudmu?”

“Bukan keselamatan nona kami saja, sampai keselamatan budak sekalipun telah dititipkan semua kepadamu.”

“Tolong nona suka menerangkan sejelasnya!”

“Andaikata Giok Siauw Lang Koen berhasil membuktikan bahwa nona kami tak sudi memperdulikan dirinya lagi, dan kejadian itu disebabkan karena kau Siauw Ling, maka dalam pandangannya kau akan dianggap sebagai paku didepan mata. Andaikata kalian sampai saling berduel, bukankah nona kami akan dibikin serba salah? yang satu adalah saudara yang hidup bersama sejak kecil, sedang yang lain adalah kekasih hatinya, yang satu adalah tuan penolong yang seringkali menyelamatkan jiwanya, sedangkan yang lain adalah sobat karib yang amat erat hubungannya….”

“Nona kau tidak tahu, enci Gakku pernah menerima pinangan dari Giok Siauw Lang Koen!”

“Siapa bilang aku tidak tahu, sebelum nona mengabulkan permintaannya telah mengajukan dua syarat terlebih dahulu, apakah kau tahu akan hal ini?”

“Enci Gak telah menjelaskan kepadaku.”

“Nah itulah dia, asal kau Siauw Ling belum mati dan masih hidup dikolong langit, maka perkawinan itu tentu saja tidak berlaku lagi.”

“Kalau memang begitu, bukankah enci Gak tidak usah malu terhadap dirinya, kenapa ia masih jeri terhadap Giok Siauw Lang Koen?”

“Pertama, karena budi pertolongannya berulang kali sukar dilupakan, membuat ia tak bisa memusuhi dirinya. Kedua, demi keselamatan dari kau Siauw Ling.”

“Aku tidak takut terhadap Giok Siauw Lang Koen.”

“Walaupun kau tidak takut terhadap dirinya, namun belum tentu bisa menangkan dirinya, dua ekor harimau yang saling bertarung akhirnya salah satu pasti terluka, bila yang terluka adalah kau Siauw Ling, bukankah nona kami akan bersedih hati sepanjang masa dan selalu merasa tidak tentram, sebaliknya kalau yang terluka adalah Giok Siauw Lang Koen, suatu badai dahsyat pasti akan melanda seluruh kolong langit keluarganya pasti tak akan membiarkan Giok Siauw Lang Koen terluka ditanganmu. Dan andaikata keluarganya melakukan pembalasan dendam terhadap dirimu, bukan saja kau seorang tak mampu bertahan, bahkan seluruh dunia persilatan akan terlanda suatu pergolakan yang mengakibatkan bajir darah….”

“Cayhe dengar dari enci Gak berkata bahwa guru yang memberi pelajaran ilmu silat kepadanyapun akan tersangkut pula didalam persoalan ini, entah apa sebabnya?”

“Karena guru yang mewariskan ilmu silatnya kepada nona mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Giok Siauw Lang Koen.”

“Ooooh, kiranya begitu.”

“Sekarang seharusnya kau paham bukan, kenapa nonaku mengatakan bahwa keselamatannya telah dititipkan kepadamu. Perlu kau ketahui keluarga dari Giok Siauw Lang Koen jauh mengasingkan diri ditempat yang terpencil dan jauh dari pergaulan masyarakat. Kecuali sanak keluarga sendiri mereka sangat jarang berhubungan dengan orang luar, kecuali Giok Siauw Lang Koen, Lan Giok Tong serta seorang nona she Thio, tiada seorangpun diantara keluarga mereka yang melakukan perjalanan ditempat luaran.”

“Terima kasih atas petunjuk dari nona” sahut Siauw Ling sambil mengangguk.

“Baik, kalau memang kau sudah memahami keadaan dari nona kami, tentunya kau tahu bukan apa yang harus dikerjakan, semoga kau sukses selalu, budak serta nona kami selalu mendoakan bagi keselamatan siangkong….!”

“Jadi enci Gak menyerahkan anak kunci istana terlarang itu kepadaku adalah suruh aku memasuki istana terlarang….”

“Tidak salah, masuk kedalam istana terlarang bukan berarti pasti berhasil mempelajari ilmu silat sakti yang dapat mengalahkan keluarga Giok Siauw Lang Koen, tetapi hanya inilah satu-satunya kesempatan bagimu untuk mengalahkan keluarga dari Giok Siauw Lang Koen.”

“Cayhe mengerti, tolong nona suka menyampaikan kepada enci Gak, katakanlah aku Siauw Ling pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga.”

“Budak tidak berani menerima penghormatan dari siangkong….” buru-buru Soh Boen berkelit kesamping. “Oooh yaaah, masih ada satu persoalan budak lupa untuk memberitahukan kepada siangkong.”

“Nona masih ada persoalan apalagi?”

“Ayah, ibumu serta kedua orang nona itu telah dibawa nona kami untuk berdiam disuatu tempat yang terpencil serta aman letaknya, harap siangkong suka berlega hati.”

Teringat akan kesehatan ayah ibunya yang terganggu akibat terseret oleh persoalannya Siauw Ling merasa tidak tenteram katanya dengan nada sedih, “Dapatkah nona beritahu kepadaku, sekarang kedua orang tuaku berdiam dimana?”

Soh Boen termenung sejenak, kemudian menjawab, “Tak dapat kuberitahukan kepadamu, nona kami sudah mempunyai rencana yang masak, bila waktunya bagimu untuk bertemu dengan mereka sudah tiba, pasti ada orang yang datang memapak dirimu. Harap siangkong berlega hati.”

“Baiklah, kalau memang begitu aku orang she Siauw mohon diri terlebih dahulu.”

“Siangkong, kau harus ingat, kakek dari Giok Siauw Lang Koen bernama siraja seruling Thio Hong.”

“Kenapa? apakah siraja seruling Thio Hong pun terkurung didalam istana terlarang?’

“Benar. Silahkan siangkong berlalu, budakpun harus segera melakukan perjalanan.”

Sembari berkata ia berkelebat dan tinggalkan tempat itu.

Menanti bayangan punggung dari Soh Boen sudah lenyap dari pandangan, si anak muda itu baru menghela napas panjang dan berlalu.

Soen Put shia yang selama ini menanti pada jarak beberapa tombak jauhnya dari tempat pertemuan itu sudah tidak sabar menanti lagi, dengan susah payah ia berhasil juga menunggu hingga Soh Boen berlalu dari situ, melihat Siauw Ling berjalan mendekat ia segera maju menyongsong, serunya, “Saudara Siauw, apa saja yang diucapakan dayang cilik itu?”

“Ia telah memberikan banyak persoalan kepadaku, membuat dalam hati kecilku bertambah dengan banyak tanggung jawab.”

“Persoalan apa? bolehkah diberitahukan kepada aku sipengemis tua….?”

“Mengenai persoalan dengan enci Gak.”

“Persoalan hati kaum gadis? Aaai…. selamanya aku sipengemis tua paling tidak memahami persoalan seperti itu, lebih baik tak usah runding dengan diriku.”

Siauw Ling menghela napas panjang.

“Loocianpwee, apakah kau mengetahui akan siraja seruling Thio Hong….?”

“Haaah…. haaah…. tentu saja tahu, dia adalah salah seorang diantara sepuluh manusia aneh yang terkurung didalam istana terlarang!”

“Bagaimana ilmu silat yang dimiliki siraja seruling Thio Hong….?”

“Ilmu silat yang dimiliki sepuluh orang manusia aneh yang terkurung didalam istana terlarang mempunyai keistimewaan yang berbeda-beda, andaikata mereka bisa menentukan siapa menang siapa kalah Ciauw Sioe Sin Kang siahli bangunan sakti Pouw It Thian tidak akan mendirikan istana terlarang untuk mengurung kesepuluh orang jago lihay itu.”

Seperti ada yang dipikirkan Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya, kemudian berkata, “Loocianpwee, seandainya untuk sementara waktu kita tinggalkan dahulu persoalan mengenai Shen Bok Hong, apakah dunia persilatan bakal terjadi perubahan besar?”

“Sebenarnya Shen Bok Hong ada maksud menarik saudara Siauw untuk membantu pihaknya, tapi apa yang diharapkan tidak terkabul sebaliknya malah menunjukkan ambisinya untuk merajai dunia persilatan, aku rasa karena persoalan ini mungkin terpaksa ia harus percepat gerakannya….” berbiara sampai disini mendadak ia merandek dan seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian sambungnya, “Tetapi kekuatannya tidak berjalan lancar, setiap kali pihaknya mengalami kehancuran yang mana ada hubungannya pula dengan dirimu, hal ini membuat dia beranggapan bahwa kau adalah paku didalam matanya, dengan kelicikan serta kecerdikannya sebelum melakukan gerakan ia pasti menyusun rencana terlebih dahulu. Menurut penglihatan aku sipengemis tua, sebelum dia berhasil membinasakan dirimu, mungkin rencana besarnya tidak akan dijalankan lebih dahulu.”

“Kalau memang begitu, bagus sekali!”

“Apanya yang bagus?”

“Enci Gak pernah berkata, apabila aku ingin menangkan Shen Bok Hong dalam hal ilmu silat maka aku harus melakukan perjalanan memasuki istana terlarang. Oleh sebab itu cayhe telah mengambil keputusan untuk sementara meninggalkan dahulu urusan dunia kangouw dan masuk kedalam istana terlarang terlebih dahulu.”

“Tentang soal ini? aku sipengemis tua merasa sulit juga untuk mengutarakan pendapatnya. Dewasa ini kalangan dunia persilatan telah memandang dirimu sebagai panji pemberontakan untuk melawan kekuatan serta pengaruh Shen Bok Hong. Seandainya dalam waktu singkat mendadak kau lenyap dari dunia kangouw dan tiada kabar beritanya, mungkin kekuatan yang baru saja muncul untuk melawan Shen Bok Hong bakal lenyap atau tidak sulit diduga mulai sekarang. Istana terlarang sebagai tempat yang diidam-idamkan setiap umat Bulim tentu saja tepat sekali bila saudara Siauw bisa mengunjunginya, cuma…. yaaah masalahnya terlalu berat aku sipengemis tua tak berani mengutarakan pendapat secara sembarangan” sementara pembicaraan berlangsung, mereka sudah kembali kedalam bangunan rumah itu.

Ketika menyaksikan kembalinya kedua orang itu, Boe Wie Tootiang segera maju menyongsong, tegurnya, “Siauw thayhiap, apakah kau telah berjumpa dengan nona Gak?”

“Tidak….” sahut Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.

“Nona Gak hanya meninggalkan seorang dayangnya saja” sambung Soen Put shia. “Ia berhasil menaklukkan saudara Siauw kita untuk menerima anak kunci istana terlarang itu. Bahkan suruh dirinya segera melakukan perjalanan menuju keistana terlarang tersebut.”

“Aaaai…. setiap umat Bulim pada mengetahui bahwa dikolong langit terdapat sebuah istana yang disebut istana terlarang” kata Boe Wie Tootiang sambil menghela napas panjang. “Tetapi merekapun hanya tahu bahwa istana terlarang berada ditengah gunung Boe Gie san, namun gunung tersebut luasnya ribuan li, sebetulnya istana terlarang berada didaerah mana tak seorangpun yang tahu.”

“Tidak mengapa, didalam kotak kayu itu tertera pula peta yang menunjukkan letak istana terlarang.”

“Persoalan yang aku sipengemis tua kuatirkan adalah lenyapnya Siauw Ling secara mendadak dari dunia persilatan mungkin dapat meruntuhkan pula semangat para umat Bulim yang baru saja tumbuh untuk bersama-sama melawan kekuasaan serta kebrutalan Shen Bok Hong.”

Boe Wie Tootiang mengangguk.

“Tidak salah, setelah Shen Bok Hong berulang kali menderita kerugian besar, kejadian itu mempengaruhi tumbuhnya semangat memberontak dikalangan umat Bulim. Apabila Siauw thayhiap secara tiba-tiba melenyapkan diri, memang ada kemungkinan bisa mendatangkan pengaruh yang besar bagi mereka. Untuk mengatasi masalah yang pelik ini kita musti carikan satu akal yang bagus untuk mengatasinya.”

“Siauw Ling toh cuma ada satu, setelah masuk kedalam istana terlarang masa dapat muncul diri pula didalam dunia persilatan.”

“Menghadapi musuh yang licik, kita musti gunakan akal yang cerdik dan licik pula.”

“Perkataan toa suheng sedikitpun tidak salah” sambung Ceng Yap Ching dengan cepat. “Didalam dunia persilatan dapat muncul seorang Lan Giok Tong yang menyaru sebagai Siauw Ling, kenapa kita tak dapat menyaru pula sebagai Siauw Ling yang lain.”

“Tidak salah” Soen Put shiapun ikut menimbrung. “Asal kita mencari seseorang untuk menyaru sebagai Siauw Ling dan sering kali munculkan diri didalam dunia persilatan maka untuk sementara waktu semangat juang untuk melawan pengaruh Shen Bok Hong yang baru saja muncul bisa dipertahankan lebih jauh. Disamping itu dapat pula menghilangkan rasa curiga dari gembong iblis she Shen itu, cara ini memang tepat dan sekali timpuk dapat dua berhasil.”

“Yaaah…. akal itu memang bagus, tapi persoalan yang paling menyulitkan kita dewasa ini adalah siapa yang mampu menyaru seperti Siauw Ling?”

Sementara semua orang sedang dibikin sulit oleh persoalan itu, Tu Kioe sambil memayang Sang Pat telah berjalan masuk kedalam.

Siauw Ling menengok sekejap kearah saudaranya dan segera menegur, “Sang Heng, apakah keadaanmu rada baikkan?”

“Anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu meskipun mengandung racun yang sangat keji, namun obat penawar racun itupun sangat mujarab, saat ini siauwte sudah merasa rada baikan.”

“Kalau begitu bagus sekali….” sinar matanya mendadak dialihkan kearah Ceng Yap Ching dan sambungnya. “Saudara Ceng, bagaimana kalau kau saja yang menyamar sebagai diri siauwte?”

“Aku sih bersedia saja, cuma takutnya kekuatanku tidak mengimbangi kenyataannya.”

“Asalkan kau dilindungi oleh Soen Loocianpwee serta suhengmu, kemudian tak usah secara langsung bentrok dengan Shen Bok Hong. Rasanya pelbagai kesulitan dapat diatasi.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar