Rahasia Istana Terlarang Jilid 30

JILID 30

“Hal itu harus dilihat dari sebab musabab orang itu memberi pertolongan, andaikata pertolongan ini diberikan tanpa didasari pikiran apapun jua, maka budi kebaikan itu tentu saja berat bagaikan bukit dan dalam bagaikan samudra.”

“Aaaai…. mula-mula pertolongan tentu saja muncul dengan hati yang bersih dan iklas, tapi kemudian disusul dengan pelbagai permintaan, apa yang akan kau lakukan dalam keadaan begini?”

“Asal dia bukan seorang penjahat yang berhati keji dan kejam setelah menerima budi kebaikannya sudah sewajarnya kalau kita balas budi kebaikannya itu.”

Dengan sorot mata yang aneh Gak Siauw Cha memperhatikan diri Siauw Ling beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata, “Saudaraku, perduli apa permintaannya apakah kita harus mengabulkannya….?”

“Asal permintaannya tidak merugikan masyarakat, rasanya sudah sewajarnya kalau….”

Mendadak ia mendapatkan satu firasat dengan cepat perkataannya diputus ditengah jalan.

“Kenapa tidak kau lanjutkan perkataannya?”

“Cici, kau ajukan pertanyaan seperti itu kepada siauwte, sebenarnya siapakah yang kau maksudkan?”

“Tak usah kau tanyakan siapakah orang itu pokoknya seseorang!”

“Apakah cici kenal dengan dirinya?”

“Kalau kenal kenapa?” ujar Gak Siauw Cha tertawa hambar.

Siauw Ling termenung sejenak, kemudian berkata, “Cici, rupanya kau mempunyai banyak perkataan yang diutarakan menuruti perasaan hatimu, bukankah begitu?”

Gak Siauw Cha menghela napas panjang, bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu namun kemudian diurungkan kembali.

Siauw Ling melirik sekejap kearah gadis itu, dan sambungnya lebih lanjut, “Siauwte telah teringat akan suatu persoalan, andaikata aku salah berbicara harap cici jangan marah.”

“Persoalan apa?”

“Seseorang yang cici maksudkan bukankan Lan Giok Tong?”

Mula-mula Gak Siauw Cha tertegun, diikuti ia segera menggeleng.

“Apakah disebabkan kemarin malam Lan Giok Tong titip sebuah kantong sutera kepadamu untuk sisampaikan kepadaku maka kau lantas mencurigai dirinya?”

“Seandainya apa yang cici katakan adalah persoalan hatimu sendiri, muka orang yang telah melepaskan budi kepadamu….”

“Tidak bisa” mendadak terdengar Soh Boen yang ada diluar menjerit keras. “Nona sedang berbicara dengan tetamu, kau tak boleh masuk kedalam….”

Blaam! terdengar suara getaran keras berkumandang memecahkan kesunyian, pintu kayu yang semula tertutup rapat tiba-tiba ditendang orang hingga terbentang lebar, Giok Siauw Lang Koen dengan seruling terhunus berdiri seram didepan pintu.

Ketika Siauw Ling angkat kepalanya memandang, ia lihat Giok Siauw Lang Koen berdiri disana dengan wajah pucat kehijau-hijauan, matanya memancarkan cahaya berapi-api dan melototi wajah Siauw Ling tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan beralih keatas wajah Gak Siauw Cha dan tertawa terbahak-bahak.

“Nona Gak, kau batalkan janjimu untuk bertemu dengan cahye apakah disebabkan karena kau hendak berjumpa dengan Siauw Ling?”

Melihat wajah lelaki tampan berseruling kumala itu diliputi kegusaran, dalam hati Siauw Ling merasa tidak tenang, setelah tertegun sejenak pikirnya, “Ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw Lang Koen sangat lihay, andaikata ia melancarkan serangan secara tiba-tiba, pastilah serangan tersebut amat dahsyat dan mematikan…. aku harus berjaga diri!”

Berpikir begitu, hawa murninya segera dihimpun menjadi satu dan diam-diam melakukan persiapan.

Gak Siauw Cha sendiri mula-mula merasa kaget menjumpai kehadiran Giok Siauw Lang Koen ditempat itu secara mendadak, tapi sebentar saja ia telah berhasil menenangkan hatinya, sambil tertawa hambar ia balik bertanya, “Kalau benar kau mau apa?”

Siauw Ling tahu watak Giok Siauw Lang Koen sangat berangasan, sikap ketus yang diperlihatkan Gak Siauw Cha kemungkinan besar dapat membangkitkan hawa amarahnya. Tanpa sadar ia maju selangkah kedepan dan menghadang didepan tubuh gadis she Gak tersebut.

Siapa tahu kejadian yang kemudian berlangsung jauh diluar dugaan Siauw Ling. Bukan saja Giok Siauw Lang Koen sama sekali tidak turun tangan malahan hawa amarahnya sirap sama sekali, perlahan-lahan ia berjalan masuk kedalam ruangan dan tertawa hambar.

“Maaf, kalau aku sudah mengganggu kegembiraan kalian berdua!”

“Tidak mengapa!”

Tanpa menanti dipersilahkan duduk oleh tuan rumah, Giok Siauw Lang Koen tarik sebuah kursi dan segera duduk, ujarnya, “Sewaktu berada dirumah besar tadi siauwte sudah mengganggu dirimu, harap Siauw heng suka memaafkan.”

“Heran, orang ini sombong dan jumawa kenapa secara tiba-tiba malah bersikap begitu sungkan terhadap diriku” batin pemuda kita dengan hati tercengang.

Berpikiran demikian, diluaran segera sahutnya, “Aaaa…. saudara terlalu merendah….”

“Apakah beberapa orang sahabat Siauw heng masih menunggu dihalaman gedung besar itu?”

“Sedikitpun tidak salah!” karena tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan yang aneh itu, pemuda she Siauw itu terpaksa mengangguk.

“Beberapa orang sahabatmu itu pasti sangat kuatir akan keselamatan Siauw heng, kalau kau tidak segera kembali mungkin mereka bakal menyusul datang kemari.”

Untuk sesaat Siauw Ling tak mengerti apa yang sedang ia maksudkan, setelah melengak ia bertanya, “Kalau mereka menyusul kemari, lalu kenapa?”

“Nona Gak tidak suka bertemu dengan orang asing seandainya teman-temanmu itu sampai menyusul kemari semua, bukankah hal ini malah akan mengganggu ketentraman nona Gak?”

“Ehmmm, ucapannya memang tidak salah” pikir Siauw Ling setelah termenung sejenak. “Kedudukan Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang didalam dunia persilatan sangat tinggi, seandainya mereka sampai menyusul kemari entah bagaimana sikap aneh, Gak? bukankah hal ini malah akan menyusahkan kedua belah pihak?”

Karena itu lantas ujarnya, “Menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?”

Giok Siauw Lang Koen tersenyum.

“Semestinya Siauw heng mengabarkan dulu kepada mereka agar mereka tidak sampai menyusul kemari.”

“Betul juga, apa salahnya aku memberi kabar dulu kepada mereka?” pikir si anak muda itu, maka diapun lantas melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Tampaklah Soh Boen yang berdiri diluar ruangan mengedipkan matanya berulang kali memberi bisikan kepadanya agar dia jangan tinggalkan tempat itu.

Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, setibanya didepan pintu mendadak ia berhenti lagi.

Ketika menoleh kebelakang tampaklah Gak Siauw Cha berdiri disamping sambil tundukkan kepalanya rendah-rendah, alisnya berkerut dan wajahnya sedih seolah-olah ada sesuatu persoalan yang mengganjal dalam hatinya, ia jadi semakin tercengang, pikirnya, “Kalau dilihat gelagat ini rupanya enci Gak tidak begitu senang berjumpa muka dengan Giok Siauw Lang Koen. Tapi rupanya iapun rada jeri terhadap lelaki ini, jangan-jangan dibalik persoalan itu masih ada masalah lain….”

Karena berpikir begitu, maka diapun berjalan kembali kedalam ruangan.

“Kenapa kau tidak jadi pergi?” tegur Giok Siauw Lang Koen dengan suara dingin, wajahnya berubah hebat.

“Aku tidak pernah mengatakan kalau aku hendak pergi!”

“Hmm, andaikata mereka menyusul kemari, apa yang hendak kau lakukan….?”

“Tentang persoalan ini tak usah kau kuatirkan.”

Mendadak Giok Siauw Lang Koen mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

“Haaah…. haaah…. haaah…. Siauw Ling! benarkah kau hendak memusuhi aku orang she Thio?”

“Tidak, kenapa aku harus memusuhi diriku cepat-cepatlah tinggalkan tempat ini.”

Makin didengar Siauw Ling merasa semakin keheranan, segera pikirnya, “Entah apa sebabnya enci Gak bisa bersikap demikian terhadap Giok Siauw Lang Koen, rupanya ia merasa amat jeri kepadanya, apakah enci Gak sudah terkena bokongan hingga setiap saat kematiannya berada digenggamannya mengakibatkan ia tak berani membangkang setiap perintahnya? andaikata begitu, aku harus tetap tinggal disini untuk melindungi enci Gak.”

Saking seriusnya berpikir sampai lupa untuk menjawab pertanyaan dari lelaki tampan berseruling kumala.

Ketika Giok Siauw Lang Koen tidak mendengar jawaban dari Siauw Ling, mendadak ia tertawa dingin.

“Siauw Ling” serunya. “Kalau kau benar-benar hendak memusuhi diriku maka ini hari hanya ada satu jalan yang bisa kau tempuh.”

“Satu jalan yang bagaimana?”

“Kita andaikan kepandaian silat masing-masing untuk menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus mati.”

Siauw Ling mencuri lihat sekejap kearah Gak Siauw Cha, dia lihat diantara sepasang mata gadis itu secara lapat-lapat terlihat genangan air mata yang menetes keluar, wajahnya murung dan bimbang, jelas ia sedang merasakan sesuatu penderitaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Terdengar Giok Siauw Lang Koen berkata lagi, “Siauw Ling, kalau kau tidak berani berduel dengan diriku, cepat-cepatlah tinggalkan tempat ini. Sejak ini hari jangan kau temui lagi nona Gak Siauw Cha.”

“Ilmu silat yang dimiliki orang ini sangat lihay” pikir Siauw Ling. “Andaikata aku harus berduel melawan dirinya, siapa menang siapa kalah sulit untuk diduga mulai sekarang. Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kacau, aku Siauw Ling harus pertahankan selembar jiwaku untuk menyelamatkan sesama Bulim. Orang ini jumawa dan sombong tapi tidak jahat, apa salahnya kalau aku mengalah setindak kepadanya….?” maka ia lantas berkata, “Ilmu silat yang kau miliki sangat lihay, aku orang she Siauw merasa bukan tandinganmu, lagipula antara kita berdua tiada dendam atau sakit hati. Kenapa kita mesti berduel untuk menentukan siapa hidup siapa mati….”

“Kalau kau tidak ingin berduel melawan diriku, maka berjanjilah lebih dulu. Mulai ini hari jangan kau temui nona Gak Siauw Cha.”

“Saudara, janganlah kau mendesak orang keterlaluan. hubungan enci Gak dengan aku orang she Siauw intim bagaikan….”

“Tutup mulut!” bentak Giok Siauw Lang Koen dengan gusarnya.

Lama kelamaan Siauw Ling tak tahan juga, ia balas membentak, “Saudara terlalu jumawa dan sombong, jangan kau anggap dikolong langit tiada manusia lain. Kau harus tahu aku orang she Siauw sengaja mengalah kepadamu, bukan disebabkan aku jeri kepadamu.”

Mendadak Giok Siauw Lang Koen mengebaskan seruling kumala ditangannya dan menantang, “Dibelakang gubuk sana terdapat sebuah tanah berumput yang luas, mari kita duel disitu, sebelum salah satu diantara kita mati jangan berhenti….”

“Saudara, sudah berulang kali aku mengalah kepadamu, bagus, kalau memang kau menantang terus aku orang she Siauw akan melayani keinginanmu.”

“Bagus, ayoh jalan!” tanpa menanti lagi ia melangkah lebih dulu keluar dari gubuk itu.

Siauw Ling menoleh kesamping, dia lihat Giok Siauw Lang Koen masih duduk termangu-mangu ditempat semula, rupanya ada satu masalah yang sedang dipikirkan. terhadap peristiwa yang telah terjadi didepan mata ternyata sama sekali tidak merasa.

Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang, pikirnya, “Rupanya antara enci Gak serta Giok Siauw Lang Koen mempunyai suatu hubungan yang sangat aneh….”

Sembari berpikir iapun melangkah keluar mengikuti dibelakang lelaki tampan berseruling kumala itu.

Dengan termangu-mangu Soh Boen memandang bayangan punggung kedua orang itu. Rupanya ia hendak mencegah kepergian Siauw Ling tapi akhirnya ia urungkan niat tersebut.

Dengan mengikuti dibelakang Giok Siauw Lang Koen sampailah Siauw Ling disebuah tanah lapang yang luas dibelakang rumah gubuk tersebut.

Saat itu lelaki tampan berseruling kumala tersebut telah siapkan senjata ditengah kalangan.

Tanpa sadar Siauw Lingpun meraba gagang pedangnya sambil selangkah demi selangkah maju kemuka.

“Cabut keluar senjatamu!” seru Giok Siauw Lang Koen sambil ayun seruling kumalanya. “Harus kau ketahui, pertarungan ini berbeda dengan pertarungan biasa, kau boleh gunakan segenap kemampuanmu, sebelum salah satu ada yang mati jangan berhenti bertempur.”

“Setelah kau ucapkan kata-kata tersebut, sudah tentu cayhe akan mengiringi keinginanmu itu tapi sebelum kita bertarung harus kutanyakan lebih dahulu beberapa persoalan yang membingungkan hatiku.”

“Katakanlah tapi harus sesingkat mungkin. Aku tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.”

“Bukankah diantara kita berdua tiada ikatan dendam atau sakit hati, kenapa kau tantang aku untuk berduel sampai salah satu diantara kita mati….?”

Giok Siauw Lang Koen segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

“Haah…. haah…. haah…. sebetulnya cayhe tiada bermaksud untuk memusuhi dirimu. Tetapi keadaan pada saat ini jauh berbeda, sehari kau orang she Siauw tidak mati, maka cayhe tak akan makan dengan tenang dan tidur dengan nyenyak!”

“Secara lapat-lapat akupun merasa sikapmu terhadapku seolah-olah mengandung rasa benci yang sangat mendalam, justru inilah yang menyebabkan cayhe tidak mengerti, kenapa kau begitu membenci diriku?”

“Rupanya disebabkan karena nona Gak?”

“Tidak salah, memang dikarenakan Gak Siauw Cha!”

“Aku Siauw Ling sudah kenal dengan enci Gak sejak lima tahun berselang, hubungan kami hanya bagaikan enci dan adik belaka.”

“Heeh…. heeh…. justru karena hubungan batin kalian yang terlalu mendalam itulah memaksa aku harus membinasakan dirimu.” seru Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa dingin.

“Ehmm, kiranya begitu!” ia merandek sejenak dan tambahnya. “Mungkin kau telah menaruh salah paham terhadap diriku.”

“Sudah, tak usah banyak bicara lagi, cabut keluar senjatamu!”

Sambil membentak serulingnya segera meluncur kedepan menotok dada lawan dengan jurus “Kim Liong Tan Jiauw” atau naga emas unjukkan cakar.

Siauw Ling angkat tangan kanannya secepat kilat mencabut keluar pedang panjangnya, sambil mengunci datangnya ancaman ia berkata, “Hanya disebabkan aku kenal lebih dahulu dengan nona Gak Siauw Cha, kau lantas tidak ijinkan aku hidup dunia? Hmmm…. belum pernah kujumpai kejadian semacam ini.”

Giok Siauw Lang Koen sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari si anak muda itu, serulingnya berkelebat berulang kali, dan….

Halaman 22-23 hilang

yang terdesak tak ingin gunakan senjata rahasianya….”

Teringat akan keanehan serta kekejiannya dalam melepaskan senjata rahasia, bergidik juga hatinya, segera ia tarik napas dalam-dalam dan menjawab, “Kalau memang saudara bermaksud ajak aku orang she Siauw adu jiwa, kejadian itu memang suatu kejadian apa boleh buat. bila kau memiliki kepandaian yang mengerikan silahkan kerahkan semua.”

Sementara mulutnya berbicara, tangan kirinya merogoh kedalam saku dan secepat kilat mengenakan sarung tangan berkulit ular, sedang tangan kanannya yang mencekal pedang siap menghadapi semua serangan musuh.

Perlahan-lahan Giok siauw Lang Koen angkat seruling kumalanya keatas, dengan pandangan tajam ia awasi lawan tanpa berkedip.

Kedua belah pihak sama-sama mengerahkan segenap tenaganya kedalam senjata, sedetik kemudian pasti akan terjadi suatu pertarungan yang menggetarkan jagad.

Air muka kedua orang itupun berubah jadi keren dan serius, jelas dalam hati masing-masing tak ada yang merasa yakin sanggup menangkan pertarungan itu.

Mendadak tampak bayangan manusia berkelebat lewat, diiringi desiran tajam Gak Siauw Cha yang mengenakan pakaian berwarna ungu telah berdiri keren ditengah-tengah antara kedua orang ini.

Dalam pada itu baik Siauw Ling maupun Giok siauw Lang Koen telah menghimpun tenaga dalamnya hingga mencapai sepuluh bagian, mereka sudah bersiap sedia melakukan suatu pertarungan adu jiwa.

Setelah bergerak beberapa jurus tadi, masing-masing pihak telah paham bahwa lawannya adalah musuh tangguh yang belum pernah dijumpai sebelumnya, karena itu merekapun tahu bahwa dalam bentrokan ini salah satu diantaranya pasti ada yang roboh, atau mungkin malahan kedua belah pihak akan sama-sama terluka.

Tapi untung Gak Siauw Cha muncul pada saat yang cepat, hingga pertarungan yang mengerikanpun segera dapat dihindari.

Perlahan-lahan Giok siauw Lang Koen turunkan kembali seruling kumalanya kebawah, ujarnya, “Apakah nona tidak merasa bahwa salah satu diantara kami harus mati….?”

“Apa gunanya berbuat begitu?” bisik Gak Siauw Cha dengan suara lembut, sementara air matanya telah bercucuran membasahi pipinya yang halus dan cantik itu. “Bukankah diantara kalian berdua tiada ikatan dendam atau sakit hati apapun jua?”

Sekilas pantulan cahaya yang menunjukkan kekerasan hatinya melintas diatas wajah Giok siauw Lang Koen, ia menjawab, “Justru dikarenakan dalam kolong jagad tidak mengijinkan kita bertiga untuk hidup bersama, maka terpaksa salah satu diantara kami berdua harus disingkirkan dari muka bumi!”

Waktu mengucapkan kata-kata tersebut wajahnya tenang dan kalem tapi suaranya tegas dan mantap.

Dengan wajah bingung tak habis mengerti siauw Ling melirik sekejap kearah lawannya, kemudian bergumam seorang diri, “Dunia jagad toh luasnya bukan kepalang, mengapa kita berdua tak bisa hidup bersama dikolong langit?”

“Haaah…. haaah…. haaah…. Siauw Ling, kau benar tidak tahu, ataukah sedang pura-pura berlagak pilon?”

“Cayhe benar-benar tidak tahu, kenapa kita tak dapat hidup bersama dikolong langit?”

Tiba-tiba Gak Siauw Cha menghela napas panjang dan menyela dari samping kalangan.

“Siauw moay merasa berhutang budi kepada diri Thio heng, kebaikan ini pasti akan kubalas, tapi persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan saudara Siauw ku itu, kau tak usah menggusarkan hati lagi.”

“Jadi maksud nona?” seru Giok siauw Lang Koen dengan wajah berubah hebat.

“Harap Thio heng suka memberi sedikit kelonggaran waktu bagi Siauw moay untuk berpikir.”

“Baik, berapa lama yang kau butuhkan untuk mempertimbangkan persoalan ini?”

“Bagaimana kalau setahun?”

Giok siauw Lang Koen segera menggeleng.

“Setahun? terlalu lama, cayhe merasa tak punya kesabaran sebesar itu untuk menanti selama itu.”

“Lalu bagaimana menurut pendapat Thio heng?”

“Paling lama tak bisa lewat dari tiga bulan!”

“Tiga bulan….” Gak Siauw Cha termenung dan berpikir keras.

“Tidak salah, tiga bulan mungkin bagi perasaan nona cepat bagaikan kilatan petir, tapi bagi cayhe mungkin lamanya bagaikan tiga tahun.”

Dengan pandangan bingung Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling, akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah kita tetapkan tiga bukan, cuma…. akupun ada satu permintaan yang hendak kuajukan kepadamu!”

“Asal aku bisa laksanakan pasti akan cayhe kabulkan, nah, katakanlah.”

“Selama tiga bukan ini siauw moay tidak ingin mendengarkan irama serulingmu yang menyedihkan itu lagi, dan akupun tidak ingin Thio heng sering muncul disekitar diriku.”

Giok siauw Lang Koen tertawa sedih.

“Baiklah aku kabulkan permintaanmu itu tapi setelah batas tiga bulan penuh. Kita akan berjumpa dimana?”

Gak Siauw Cha termenung sebentar, lalu menjawab, “Setelah batas wkatu tiga bulan penuh kita berjumpa didasar tebing Toan Hoen Gay digunung Heng san!”

Sekali lagi Giok siauw Lang Koen tertawa sedih.

“Sejak dahulu hingga sekarang belum pernah ada seseorang manusiapun yang pernah menuruni tebing pemutus sukma, nona mengendong aku untuk berjumpa didasar tebing Hoan Gay, agaknya kau suka sekali dengan hal yang sok rahasia….”

“Kalau kau merasa takut, lebih baik kita tak usah bertemu lagi.”

“Nona tak usah kuatir, sampai waktunya cayhe pasti akan tiba duluan!”

“Janji telah dibuat, aku rasa kaupun boleh segera tinggalkan tempat ini!”

“Baik, cayhe akan berpisah dulu sampai disini!” ia putar badan dan dalam sekejap mata ia lenyap ditengah kegelapan.

Siauw Ling merasa banyak masalah yang membingungkan hatinya memenuhi seluruh benak dengan termangu-mangu ia berdiri kaku ditempat semula.

Gak Siauw Cha memandang hingga bayangan Giok siauw Lang Koen lenyap dari pandangan, kemudian ujarnya dengan nada sedih, “Saudara Siauw tahukah kau mengapa pada malam itu aku tak mau bertamu dengan dirimu?”

Siauw Ling merasa seakan-akan telah memahami sesuatu, tetapi setelah dipikir seksama ia merasa makin bimbang dan tidak habis mengerti, maka iapun berkata, “Siauwte merasa agak mengerti, tetapi setelah kupikir lebih seksama kurasakan rada tidak paham lagi.”

Dalam pada itu Gak Siauw Cha sedang berada dalam keadaan murung dan kesal. Tapi sesudah mendengar beberapa patah kata dari si anak muda ini ia tak dapat menahan rasa gelinya dan tertawa cekikikan.

“Saudaraku, selama hampir setahun belakangan ini cici selain hidup ditengah kesulitan serta kekesalan. Aaai….! lama kelamaan aku jadi terbiasa juga dengan keadaan seperti ini.”

Siauw Ling semakin bingung lagi dibuatnya.

“Cici! kalau kau ada urusan perintah saja kepada siauwte, kenapa kau musti murung dan kesal….!” serunya.

Mendadak teringat olehnya akan bantuan dari Gak Siauw Cha terhadap dirinya yang dilakukan berulang kali, membicarakan soal ilmu silat serta kecerdikan mungkin gadis itu jauh lebih hebat beberapa kali lipat dari pada dirinya segala persoalan yang dapat diselesaikan olehnya sudah pasti telah dilakukan sendiri, dan bila persoalan itu dia sendiripun tak bisa mengatasi dirinya mana bisa membantu? berpikir demikian merah jengah selembar wajahnya, ia segera membungkam.

Terdengar Gak Siauw Cha berkata dengan nada sedih, “Persoalan ini nampaknya gampang dan sederhana sekali. Ini hari aku sengaja mengundang kau datang kemari adalah disebabkan karena setelah kupikir lama sekali, aku merasa daripada persoalan ini diundur-undur lebih jauh lebih baik kalau diberitahukan kepadamu saja. Aaaai….! persoalan yang ada dikolong langit, kadangkala tak dapat diselesaikan hanya mengandalkan ilmu silat belaka….”

Ia merandek sejenak, dan sambungnya lebih jauh, “Tempat ini bukan tempat yang baik untuk berbicara, mari kita kembali kedalam ruangan gubuk! Giok Siauw Lang Koen selalu pegang janji dengan apa yang sudah ia ucapkan, setelah ia menyanggupi untuk tidak datang mengganggu dalam tiga bulan mendatang. Ia pasti tak akan mengingkari janjinya! cici masih ada banyak persoalan yang hendak dibicarakan dengan dirimu, mungkin saja aku harus merepotkan dirimu untuk melakukan banyak pekerjaan!”

“Cici, maksudmu….” seru Siauw Ling melengak.

“Kita berbicara didalam ruangan saja!” tukas gadis she Gak itu, ia segera putar badan dan berlalu.

Siauw Ling merasa kaget dan curiga, tanpa mengucapkan kata-kata lagi iapun mengikuti dari arah belakang Gak Siauw Cha kembali kedalam gubuk.

Soh Boen setelah menghidangkan air teh buat mereka berdua, diam-diam segera mengundurkan diri.

Siauw Ling tidak sabar untuk menanti lebih lama, ia segera berkata memecahkan kesunyian, “Cici, sebenarnya apa maksudmu mengutarakan kata-kata seperti tadi? jelaskan kepada siauwte!”

Agaknya pada saat ini Gak Siauw Cha telah berhasil memenangkan hatinya, mendengar pertanyaan itu dia tertawa.

“Tak usah tegang cici mengundang kau datang kemari justru adalah bermaksud hendak membicarakan persoalan ini dengan dirimu.”

“Cici! saat ini hati siauwte telah penuh diliputi rasa sangal, bingung dan tidak habis mengerti, cepatlah kau utarakan keluar kata-katamu itu!”

Gak Siauw Cha termenung sebentar untuk berpikir, lalu berkata, “Cici pikir sepasang pedagang dari Tiong ciu pasti sudah memberi tahukan kepadamu….”

“Tidak salah” tukas Siauw Ling. “Mereka sudah mengurung cici didalam sebuah ruang rahasia tetapi cici berhasil melarikan diri, disebabkan oleh peristiwa ini mereka selalu merasa berdosa dan tidak tenteram….”

Gak Siauw Cha tertawa, selanya, “Tak usah kau mintakan ampun bagi mereka andaikata aku ada maksud hendak membinasakan sepasang pedagang dari Tionbg ciu sekalipun mereka mempunyai cadangan jiwa sebanyak sepuluh lembarpun sedari dulu mereka sudah mati binasa diujung telapakku pada dasarnya aku memang tidak mendendam terhadap mereka, apalagi setelah mereka anggap dirimu sebagai Liong Tauw toako, urusan dendam sakit hati ini sudah terhapus sama sekali dari benakku….”

“Sekalipun cici berjiwa besar dan tidak mendendam terhadap mereka lagi, tetapi siauwte tetap akan membawa mereka datang menghadap kepada cici untuk minta maaf.”

“Tidak usah, mereka bukanlah termasuk manusia yang sangat jahat….” setelah menghela napas panjang terusnya, “Waktu itu ilmu silat yang cici miliki sangat terbatas, sudah tentu tak bisa kuperhatikan dirimu lagi. Aaaai! aku yang mengajak kau tinggalkan rumah, membuat kau dari seorang putra pembesar berubah menjadi seorang gelandangan Bulim yang terjerumus didalam persoalan dunia persilatan, siang malam aku selalu menguatirkan dirimu, aku kuatir kau telah ketimpa oleh suatu peristiwa yang menakutkan.”

********

“Bukankah sekarang aku berada dalam keadaan baik-baik?” kata Siauw Ling sambil tertawa. “Andaikata cici tidak membawa aku tinggalkan rumah, dari mana siauwte bisa mencapai karier seperti hari ini? lagipula pada waktu itu akulah yang ngotot ingin mengikuti cici pergi tinggalkan rumah kenapa cici mesti merasa sedih karena persoalan ini? dan kini yang ingin siauwte cepat ketahui adalah persoalan mengenai diri cici.”

“Setelah cici dikurung oleh sepasang pedagang dari Tiong Chiu didalam kamar rahasia, tidak lama kemudian aku telah ditolong orang….”

“Apakah Giok Siauw Lang Koen yang telah menyelamatkan dirimu?” tukas Siauw Ling dengan hati bergerak.

“Sedikitpun tidak salah, orang ini memiliki ilmu silat yang sangat lihay, punya watak yang angkuh, jumawa dan tidak memandang sebelah matapun terhadap orang lain, tapi terhadap diriku ia menaruh kasih sayang yang amat tebal, ia sangat memperhatikan diriku….”

“Ehmm, sekarang aku rada mulai mengerti” gumam Siauw Ling seorang diri.

Gak Siauw Cha tertawa sedih, sambungnya, “Setelah menolong cici lolos dari penjara, maka aku dibawa menuju kegubuk pencuci hati….”

Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan jenasah dari Gak Im Kauw, peristiwa lima tahun berselang terbayang kembali didalam benaknya. (Untuk mengetahui kisah Gak Im Kauw silahkan membaca RAHASIA KUNCI WASIAT oleh penyadur yang sama).

Terbayang kembali oleh pemuda ini akan gubuk pencuci hati yang terletak disudut gunung Heng san, sinenek berambut putih berbadan kurus kering yang sama sekali tidak menyenangkan, kegagahan Gak Siauw Cha seorang diri melawan serangan dahsyat musuh tangguh…. iapun lantas berkata, “Cici, apakah kau sudah menjumpai jenasah dari Bibi Im masih berada didalam gubuk itu?”

Gak Siauw Cha mengangguk.

“Aaai….! sungguh tak nyana orang itu benar-benar berhati bijak, walaupun semula ia hanya mengijinkan aku menitipkan jenasah itu selama tujuh hari dan mengancam bila tujuh hari kemudian aku belum mengambil jenasah tersebut maka ia tak mau bertanggung jawab, siapa tahu walaupun sudah terpaut banyak waktu, bukan saja ia merawat jenasah ibuku dengan seksama bahkan keadaannya masih seperti sedia kala saja.”

Siauw Ling teringat kembali kasih sayang bibi Im terhadap dirinya yang melebihi rasa sayang seorang ibu terhadap anaknya. Sungguh tak disangka pergaulan selama beberapa bulan harus diakhiri dengan perpisahan untuk selama-lamanya, saking sedihnya ia sampai mengucurkan air mata.

“Sekarang jenasah bibi Im berada dimana? siauwte harus pergi bersembahyang dihadapan layonnya.”

“Aku serta Giok Siauw Lang Koen berangkat menuju kegubuk pencuci hati, melihat jenasah ibuku masih tetap utuh seperti sedia kala legakah hatiku. Sebenarnya aku hendak mengangkut jenasah menuju keselat Seng Yan Kok seperti apa yang tercantum dalam surat wasiatnya, tetapi maksud hatiku ini telah dicegah oleh pemilik gubuk pencuci hati….”

“Sekarang? jenasah bibi Im telah kau semayamkan dimana?” sela Siauw Ling.

“Sekarang masih berada dalam gubuk pencuci hati.”

“Cici, kenapa kau tidak mengebumikan saja jenasah dari bibi Im?”

“Walaupun itu keadaan cici sangat berbahaya, semua jago Bulim yang ada dikolong langit sama-sama sedang mencari jejakku. Setiap saat kemungkinan besar bisa bergebrak melawan musuh tangguh, berhubung aku kuatir jenasah ibuku sampai rusak maka setelah pemilik gubuk pencuci hati memaksa aku untuk tetap tinggalkan jenasah ibu disana, akupun dengan senang hati mengabulkan permintaannya.”

“Kemudian?”

“Cici kembali berhasil disusul oleh gerombolan jago Bulim yang menemukan jejakku, tetapi mereka semua telah dilukai oleh Giok Siauw.”

“Kalau begitu sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap diri cici termasuk baik sekali.”

Gak Siauw Cha menghela napas panjang.

“Kalau dibicarakan dari hati sanubari yang sejujurnya, cinta kasih serta rasa sayang yang ia limpahkan terhadap diri cici tak ternilai besarnya, berkat perlindungan serta bantuannya itulah setiap kali cici berhasil lolos dalam keadaan selamat. Aaai….! andaikata tiada perlindungan darinya, mungkin saat ini sulit bagi cici untuk berjumpa muka lagi dengan saudara Siauw.”

Siauw Ling melirik sekejap kearah Gak Siauw Cha, bibirnya bergerak seperti mau mengatakan sesuatu tapi akhirnya ia batalkan maksud itu dan tundukkan kepalanya rendah-rendah.

Terdengar Gak Siauw Cha melanjutkan kembali kisahnya, “Ketika Giok Siauw menemukan bahwasanya ilmu silat yang cici miliki sangat cetek, berkelana didalam dunia persilatan setiap kali jiwanya bisa terancam bahaya maut, maka ia segera mengajak cici untuk pergi menjumpai seorang loocianpwee yang sudah banyak tahun mengasingkan diri, setelah membuat banyak pikiran dan tenaga serta memohon beberapa hari lamanya terakhir loocianpwee itu mengabulkan juga permintaannya dan menerima aku menjadi muridnya.”

“Aaah, sungguh aneh sekali?” seru pemuda itu. “Ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw Lang Koen toh sangat lihay sekali, kenapa ia tidak langsung mewariskan ilmu silatnya kepada cici, sebaliknya malah pergi memohon kepada orang lain.”

“Berhubung aliran ilmu silat yang dipelajarinya jauh berbeda dengan aliran ilmu silatku. Ia merasa bahwa kalau ia wariskan ilmu silatnya kepadaku maka bukan saja untuk mempelajarinya sulit bahkan hasil yang diperolehnya juga terbatas, karena itulah setelah peras otak beberapa saat lamanya ia mengambil keputusan untuk mohon kepada loocianpwee itu untuk menerima diriku.”

“Ilmu silat yang dimiliki cici sekarang agaknya jauh melebihi Giok siauw Lang Koen sendiri, aku pikir tokoh sakti yang mewariskan ilmu silatnya kepada diri cici pastilah seorang manusia yang luas biasa sekali….!”

“Tentang persoalan ini maafkanlah cici karena tak dapat memberitahukan kepada dirimu.”

“Kenapa?”

“Sebab sebelum orang itu menerima diriku, ia telah mengajukan tiga syarat yang harus dijalankan olehku. Pertama, ia hanya akan mewariskan ilmu silatnya saja kepadaku tetapi tidak mengijinkan aku angkat guru secara resmi, dan iapun tak akan mengakui diriku sebagai anak murid perguruannya.”

“Sungguh aneh orang itu, lalu apakah syaratnya yang kedua?”

“Kedua, ia melarang aku untuk membicarakan soal namanya, serta alamatnya. Ketiga, ia tidak memperkenankan diriku untuk mewariskan beberapa macam kepandaian sakti yang telah ia wariskan kepadaku itu kepada orang lain.”

“Para partai besar yang ada didalam dunia persilatan semuanya berharap agar ilmu silatnya bagi tersebar luas dimana-mana menarik orang berbakat sebanyak-banyaknya untuk mewariskan ilmu sakti tersebut kepada mereka, sebaliknya orang itu tidak memperkenankan cici untuk mewariskan ilmu silatnya kepada orang lain, tindakannya ini sangat membingungkan hati orang.”

“Dulu cicipun pernah mempunyai pikiran seperti ini, tapi akhirnya aku dapat memahami keadaannya dan tidak menyalahkan dirinya lagi.”

“Apa sebabnya ia berbuat begitu?”

“Karena ada beberapa macam ilmu silatnya tergolong dalam kepandaian yang sangat keji dan telengas dan tak boleh sampai tersiar diluaran, bila orang yang mempelajarinya termasuk manusia tidak kenal wataknya maka ia bakal mencelakai umat manusia karena itulah loocianpwee tersebut telah mengambil keputusan untuk melarang ilmu silatnya tersiar didalam dunia persilatan.”

Siauw Ling segera teringat akan tindakan Gak Siauw Cha dikala memantekkan jarum emas didalam otak besar Lam Hay Ngo Hiong, kepandaian yang keji dan belum pernah terdengar sebelumnya dalam hati iapun berpikir, “Hati manusia mudah berubah, apa yang ditakutkan loocianpwee itu memang beralasan sekali.”

Maka ia lantas tertawa.

“Seandainya loocianpwee itu bisa menggunkan akal cerdiknya untuk menghilangkan bagian-bagian ilmu silatnya yang ganas….”

“Setiap ilmu silat mempunyai keistimewaan yang berada, kalau inti sari serta kelihayannya dibuang, apa harganya untuk diwariskan kedalam dunia persilatan?”

“Perkataan cici tepat sekali.”

Gak Siauw Cha menghembuskan napas panjang.

“Begitulah selama hampir empat tahun lamanya aku tinggal disana, siang malam aku berjuang dan berlatih dengan tekun dan sangat beruntung aku berhasil mendapatkan sedikit kemajuan, suatu hari mendadak loocianpwee itu memaksa aku tinggalkan tempat itu dan melarang aku tinggal disana lebih jauh.”

“Apa sebabnya ia berbuat demikian?”

“Hingga kini persoalan itu masih merupakan suatu teka teki bagiku, cici sudah memikirkannya selama banyak hari tetapi belum berhasil juga memecahkan rahasia tersebut….” ia membereskan rambutnya yang kusut dan melanjutkan, “Setelah terjun kedalam dunia persilatan, persoalan pertama yang kulakukan adalah mencari kabar mengenai dirimu, setelah mengetahui bahwa kau jatuh kesungai mati, hatiku amat sedih hingga terasa diiris-iris kucari tempat kau terjatuh kedalam sungai, bersembahyang disana dan menangis tiga hari tiga malam mengenangkan nasibmu yang jelek, kalau aku tidak teringat bahwa aku masih mempunyai tugas untuk membalaskan dendam bagi kematian ibuku, mungkin sudah terjun kedalam sungai untuk bunuh diri….”

Mendengar ucapan tersebut Siauw Ling segera menghela napas panjang.

“Aaai….! cinta kasih cici yang demikian mendalam terhadap diriku, membuat siauwte tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”

“Setelah tahu kemudian.” Gak Siauw Cha melanjutkan. “Tiba-tiba aku mendengar kabar berita yang mengatakan kemunculanmu didalam dunia persilatan, cici merasa terkejut dan kegirangan setengah mati, kukejar jejakmu keujung langit tapi akhirnya kuketahui bahwa Lan Giok Tonglah yang menyaru sebagai dirimu, hilang lenyap rasa girangku berubah jadi kekesalan dan kekecewaan….”

Mendadak Siauw Ling teringat akan suatu persoalan, segera ujarnya, “Apakah cici pernah menitipkan sepucuk surat kepada orang untuk disampaikan kepadaku?”

Sambil memandang langit diluar jendela Gak Siauw Cha mengangguk.

“Tidak salah, aku sering kali menolong orang, setiap kali orang yang berhasil kutolong pasti kutitipkan sepucuk surat untuk disampaikan kepadamu….”

Ia menghela napas panjang, terusnya setelah merandek sejenak.

“Ketika berjumpa dengan Lan Giok Thong yang menggunakan namamu aku merasa amat mendongkol bercampuran gusar, aku telah memberi pelajaran yang pedas terhadap dirinya, sungguh tak nyana dikarenakan persoalan itu aku telah mengundang kesulitan bagi diriku sendiri.”

“Apakah Lan Giok Thong tertarik oleh….”

Sebenarnya si anak muda ini hendak mengatakan apakah Lan Giok Thong telah tergiur kecantikan cici akhirnya mengejar dirimu kemana-mana, tapi ucapan selanjutnya terasa sulit diutarakan maka terpaksa iapun membungkam.

Terdengarlah Gak Siauw Cha meneruskan kisahnya, “Perasaan cici yang telah mulai tenang terjadi pergolakan hebat kembali, aku merasa telah mengingkari pesan terkahir ibuku, merasa malu pula terhadap ayah serta ibumu, hatiku jadi pedih, menyesal dan amat sakit hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata. Malam itu seorang diri aku menginap didalam sebuah kuil yang terpencil, karena kesedihan yang kelewat batas membuat ketajaman telingaku terganggu, aku sudah terpulas dengan nyenyaknya tanpa terasa menanti aku sadar kembali, kutemui bahwa jalan darahku sudah tertotok.”

“Siapakah yang berani berbuat kurang ajar terhadap cici?” teriak Siauw Ling dengan gusarnya.

Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling, melihat perubahan air muka si anak muda itu dimana seakan-akan dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan dirinya tertotok, dalam hati merasa amat terharu, segera jawabnya, “Mereka adalah dua orang peronda bermata tikus dari perkampungan Pek Hoa San cung. Ketika melihat aku telah mendusin mereka segera menggoda dan berbuat kurang ajar terhadap diriku, meskipun cici merasa gusar bercampur cemas tapi jalan darah yang tertotok membuat diriku sama sekali tak sanggup melawan, terpaksa aku hanya pejamkan mata tidak memperdulikan mereka.”

Mendadak ia menundukkan kepalanya dan tak berbicara lagi.

“Bagaimana selanjutnya?” seru Siauw Ling dengan hati gelisah.

“Kemudian dia berdua ternyata mulai berbuat kurang ajar terhadap diriku, keadaan pada saat itu benar-benar menyiksa batin, cici ingin mati tapi tak dapat, ingin hiduppun susah dalam keadaan begitulah tiba-tiba Giok Siauw Lang Koen telah munculkan diri dalam sekali gebrakan ia telah membinasakan kedua orang itu.”

“Jadi kalau begitu Giok siauw Lang Koen sekali lagi telah menyelamatkan cici?”

“Tidak salah, justru karena pertolongannya berulang kali terhadap diriku dan mengajak pula diriku untuk belajar silat dibawah bimbingan seorang guru yang lihay, budi kebaikan yang ia limpahkan terhadap diriku sudah menumpuk setinggi gunung….”

Mendadak ia membungkam, mendongak dan memandang wajah Siauw Ling dengan tajam katanya, “Saudaraku, kini kau telah dewasa, banyak persoalan yang telah kau pahami. Rasanya cicipun tak usah merahasiakan sesuatu dan mengutarakan semua perkataan yang ingin kuutarakan kepadamu.”

“Silahkan cici berkata, siauwte pasti akan memperhatikan dengan seksama.”

Gak Siauw Cha ragu-ragu sejenak, kemudian ujarnya, “Setelah Giok Siauw Lang Koen menyelamatkan diriku kali ini dan menemukan hatiku kusut dan selain murung, karena takut aku menemui marabahaya lagi ternyata ia tak mau tinggalkan diriku seorang diri, ditemaninya aku berpesiar ketempat-tempat kenamaan, seringkali ia meniup serulingnya memainkan lagu yang merdu untuk menghibur hatiku yang lara, semenjak kecil cicipun sudah belajar ilmu memetik khiem dari ibuku, kemudian setelah belajar silat dari loocianpwee lihay tadi, akupun memperoleh banyak petunjuk mengenai ilmu memetik khiem….”

Ia merandek sejenak untuk berpaling memandang sekejap kearah Siauw Ling, kemudian sambungnya, “Waktu itu meskipun Giok Siauw Lang Koen amat menyayangi diriku, tapi ia selalu bersikap demikian karena timbul dari sanubarinya dan terbatas dalam batas-batas kesopanan, ia pandang aku seperti adiknya sendiri.”

“Setiap hari ia menemani cici berpesiar menikmati pemandangan alam, bermain seruling untuk melepaskan kemurungan cici, ditambah pula tiada maksud lain, ia terhitung seorang koencu yang sejati.”

“Saudaraku, ingatkah kau akan suatu perkataan yang terkenal….?”

“Perkataan apa?”

“Pergaulan yang terlalu intim bisa menimbulkan rasa cinta, setelah Giok Siauw Lang Koen menemani aku setiap hari berpesiar ditempat-tempat keamanan, tanpa sadar cici telah menaruh rasa cinta terhadap dirinya hanya saja pada waktu itu belum sampai terpikirkan olehku.”

Siauw Ling menghembuskan napas panjang sepertinya ia mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya ia batalkan maksud tadi.

“Suatu malam bukan purnama” Gak Siauw Cha melanjutkan. “Giok Siauw Lang Koen mengajak aku menikmati rembulan dipuncak gunung Kioe Hoa san, rupanya ia tahu kalau cici memiliki kepandaian memetik khiem, entah sejak kapan ternyata ia telah menyediakan sebuah khiem bagiku.”

“Dibawah sorotan bulan purnama ia mainkan serulingnya membawakan nada yang merdu dan indah, cici jadi gatal tangan dan tanpa sadar telah memetik tali khiem untuk mengiringi permainan serulingnya, seketika itu juga gabungan permainan musik kami menggetarkan seluruh puncak.”

“Oooh, rupanya Giok Siauw Lang Koen adalah seorang manusia yang cerdik ia sediakan cici sebuah khiem tapi tidak mohon kepada cici untuk memainkan khiem tersebut baginya, sebaliknya memancing keinginan cici dengan permainan serulingnya, ia betul-betul hebat sekali.”

“Aaai…. kau benar-benar sudah dewasa, banyak persoalan yang telah kau ketahui.”

Ia mendadak diam sebentar dan kemudian sambungnya, “Entah mulai kapan mendadak permainan seruling Giok Siauw Lang Koen telah berubah membawakan irama lagu yang bernadakan cinta kasih ditengah bergemanya seruling tadi tanpa sadar permainan khiem cici terpancing olehnya dan ikut berubah, lama kelamaan aku jadi lupa daratan dan terjerumus didalam alunan cinta kasih yang menggelorakan hati.”

Gak Siauw Cha merandek sejenak.

“Lalu…. lalu….” ia ulangi perkataan itu sebanyak beberapa kali, namun ternyata tak sanggup diteruskan.

“Lalu bagaimana?”

“Lalu?” sambung Gak Siauw Cha sambil menggigit bibir. “Entah sejak kapan permainan khiem dan seruling itu telah terhenti, waktu cici mendusin kutemui bahwa diriku sedang duduk didalam pangkuan Giok Siauw Lang Koen.”

Mendadak Siauw Ling merasakan suatu kesedihan yang sangat aneh menyerang hatinya kepala kontan jadi pening dan kakinya limbung hampir saja ia jatuh terpelanting keatas tanah.

Buru-buru dia angkat tangannya dan menabok keatas batok kepala sendiri.

“Saudara, kenapa kau?” Gak Siauw Cha segera menegur.

“Aku sangat baik! Giok Siauw Lang Koen apakah pernah….”

“Ia menggenggam tangan cici dan mohon kepada cici untuk mengawini dirinya, ia berkata bahwa dikolong langit hanya dia Giok Siauw Lang Koen seorang yang pantas mengawini cici sebagai isterinya dan hanya cici seorang yang pantas mendapat Giok Siauw Lang Koen.”

“Huuh! sungguh besar amat bacot orang itu, apakah cici telah mengabulkan permintaannya?”

“Agaknya telah kusanggupi, cuma akupun pernah mengajukan dua syarat kepadanya.”

“Apakah syaratmu itu?”

“Pertama aku suruh dia membantu diriku untuk membalas dendam.”

“Apakah ia menyanggupi?”

“Sudah tentu ia menyanggupi!”

“Lalu syarat yang kedua?”

Dengan tajam Gak Siauw Cha menatap wajah Siauw Ling, kemudian sepatah demi sepatah katanya, “Syarat yang kedua? aku suruh dia menunggu tiga tahun, andaikata didalam tiga tahun ini aku tidak berhasil memperoleh kabar berita mengenai dirimu, maka cici akan melakukan pembalasan dendam dibawah bantuan dari Giok Siauw Lang Koen, setelah berhasil membalas dendam barulah aku kawin dengan dirinya.”

“Sekarang bukankah aku masih hidup baik-baik dikolong langit?”

“Yaah! harus disalahkan cici kenapa tak menambahkan sepatah dua patah kata pada waktu itu, hingga kini urusan jadi sulit dijelaskan.”

“Bukankah perkataanmu pada waktu itu sudah amat jelas sekali? kau suruh dia menunggu selama tiga tahun untuk mencari tahu tentang mati hidupku, sekarang belum batas waktu tiga tahun penuh fakta membuktikan bahwa aku masih hidup dikolong langit. Andaikata cici tidak mencintai dirinya tentu saja janji sebelumnya boleh dibatalkan.”

“Waktu itu aku hanya berkata bahwa ia harus menunggu selama tiga tahun karena aku hendak mencari dirimu, tetapi aku tidak menerangkan bagaimana seandainya aku berhasil temukan dirimu.”

“Sudah tentu janjimu yang terdahulu dibatalkan!” seru Siauw Ling dengan tegas.

“Cici memang ingin berbuat begitu, tetapi Giok Siauw Lang Koen adalah seorang manusia yang tak tahu malu!”

“Jangan kau salahkan dirinya, sudah terlalu banyak cici berhutang budi kepadanya.”

Ia merandek sejenak untuk tukar napas kemudian sambungnya, “Saudaraku, ada suatu persoalan sudah lama terpendam didalam hatiku, cici selalu belum sempat mengatakannya kepadamu. Aaaai…. waktu itu usiamu masih terlalu kecil sekalipun cici utarakan kepadamu belum tentu kau mengerti.”

“Persoalan apa?”

“Didalam surat wasiat bibi Im mu telah tercantum pula petunjuk mengenai soal perkawinan cici, beliau minta cici….”

Mendadak wajahnya berubah jadi merah padam, dengan sikap yang amat kikuk dara itu tundukkan kepalanya rendah-rendah.

“Bibi Im sangat cinta dan menyayangi diriku, dalam hati kecilku beliau sudah kuanggap ibuku sendiri!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar