Rahasia Istana Terlarang Jilid 27

JILID 27

Sipeniup seruling itu kembali mendengus tiba-tiba ia loncat bangun dan berjalan menghampiri Lan Giok Tong.

Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu sambul mencekal seruling kumala dalam waktu singkat ia sudah berada kurang lebih empat lima langkah dihadapan Lan Giok Tong.

Sementara itu angin berhembus lewat membuyarkan awan hitam diangkasa, kerlipan bintang sayup-sayup muncul lagi diawang-awang.

Tampak orang berseruling itu saling berpandangan lama sekali dengan Lan giok Tong kurang lebih seperminum teh kemudian ia baru menggerakkan serulingnya membuat sebuah guratan diatas tanah katanya, “Mulai sekarang aku telah memutuskan segala ikatan serta hubungan persaudaraan dengan dirimu, dikemudian hari bilamana kau berani menguntit diriku lagi, jangan salahkan kalau aku akan bertindak keji terhadap dirimu.”

Habis berkata mendadak ia putar badan dan berkelebat pergi, sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan.

Menjumpai peristiwa aneh itu dalam hati Siauw Ling merasa tercengang, pikirnya, “Bukankah mereka berdua adalah sesama saudara misan? mengapa satu sama lain takkan saling mengalah….?”

Menanti bayangan orang tadi sudah lenyap dari pandangan. Lan Giok Tong menghela napas panjang dan perlahan-lahan jalan menghampiri diri Siauw Ling.

Pemuda itu sadar akan kecepatan gerak pedangnya, maka sambil perhatikan gerak gerik orang itu diam-diam ia salurkan hawa murninya membuat persiapan, pikirnya, “Setelah dibikin mendongkol oleh Piauw ko nya, jangan-jangan ia hendak salurkan rasa mangkel itu terhadap diriku?”

Sementara ia masih berpikir, Lan Giok Tong telah berada dihadapan mukanya.

“Siapa kau?” tegur Lan Giok Tong sambil menuding kearah si anak muda itu. “Mau apa ditengah malam buta datang kemari?”

“Kurang ajar amat pertanyaan ini” batin Siauw Ling. “Dianggap tempat ini miliknya.”

“Hmm, kau boleh datang kemari kenapa aku tak boleh datang pula kesini?”

Walaupun dalam hati pikirnya demikian, tapi tidak sampai diutarakan keluar.

Tidak mendengar jawaban dari pihak lawan, Lan Giok Tong jadi mendongkol bercampur gusar, sambil tertawa dingin suaranya kembali, “Kalau kau tak mau bicara sejenak kini tiada kesempatan lagi bagimu untuk bicara.”

“Hmm, belum tentu!”

Lan Giok Tong segera meraba gagang pedangnya, sedang sepasang matanya dengan tajam mengawasi wajah lawan.

Jarak antara kedua belah pihak saat ini hanya terpaut dua tiga langkah, masing-masing mempunyai ketajaman mata yang luar biasa dan bisa terlihat amat jelas sekali.

Ketenangan serta ketajaman mata Siauw Ling lama kelamaan menimbulkan firasat dalam hati Lan Giok Tong. Ia sadar bahwa orang itu adalah seorang musuh tangguh, maka untuk sesaat ia malahan tak berani bertindak dengan gegabah.

Setelah saling berhadapan beberapa saat lamanya, mendadak Lan Giok Tong mengendorkan cekalannya pada gagang pedang lalu bertanya, “Apakah kau ada pesuruh dari nona Gak?”

“Enci Siauw Che lebih tua beberapa tahun dariku” batin Siauw Ling dalam hati. “Rasanya jadi pesuruh cicipun tak mengapa!”

Karena itu dia lantas mengangguk sebagai jawaban.

Kecongkakan serta kejumawaan Lan Giok Tong kontan lenyap tak berbekas, ia menghela napas sedih lalu sakunya merogoh keluar secarik sampul surat berwarna putih bersih, sambil diangsurkan ketangan Siauw Ling katanya, “Tolong kau sampaikan surat ini kepada nona Gak Siauw Cha, katakanlah sepanjang aku orang she Lan masih hidup dikolong langit, hatiku tak akan berubah. Aku hanya ingin sekali agar ia sudi memberi sedikit peluang kepadaku sehingga aku dapat berjumpa muka dengan dirinya!”

Menyaksikan raut wajahnya yang sedih dan murung hampir saja Siauw Ling hendak mengutarakan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tapi ketika teringat bahwasanya bila ia buka mulut maka suaranya akan segera dikenali pihak lawan, terpaksa niat tersebut ditahannya kembali dalam hati.

Lan Giok Tong sendiri, sewaktu dilihatnya Siauw Ling tidak mengucapkan sepatah katapun meski surat itu sudah diterima olehnya, terpaksa rangkap tangannya memberi hormat.

“Aku mengerti bahwa heng thay tak bisa mengambil keputusan, tentu saja dewasa ini siauwte tidak akan memaksa” bisiknya.

Setelah merandek sejenak, ia menambahkan, “Semoga heng thay bisa membantu diriku untuk mengutarakan sepatah dua patah kata yang manis dihadapan nona Gak nanti, atas bantuan itu siauwte akan merasa sangat berterima kasih sekali.”

“Hmm, siapa tahu permainan setan apakah yang sedang kau jalankan dengan kakak misanmu” pikir Siauw Ling. “Dan kau suruh aku mengucapkan kata-kata manis yang bagaimana?”

Walau banyak yang dia pikirkan dalam hati, namun tak sepatah katapun dapat diutarakan keluar.

Tampak Lan Giok Tong kembali menghela napas panjang, lambat-lambat dia putar badan dan berlalu.

Memandang bayangan punggungnya yang semakin menjauh, pemuda kita merasakan betapa murung dan kesalnya orang itu diam-diam iapun menghela napas gumamnya, “Ilmu silat yang dimiliki orang ini sangat lihay, wataknya tinggi hati dan suka menyendiri. Entah apa sebabnya tingkah laku orang itu sekarang bisa begitu layu dan murung….?”

Dalam pada itu bayangan punggung Lan Giok Tong sudah lenyap dari pandangan.

Perlahan-lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya keatas sampul surat itu terbaca olehnya diatas sampul tertuliskan beberapa patah kata yang berbunyi: “Dipersembahkan kepada nona Gak Siauw Cha.”

Ia lantas menoleh dan menyapu keadaan disekeliling sana, tampak ditengah kegelapan tak sesosok bayangan manusiapun ada disitu. Hatinya jadi gelisah, pikirnya, “Tadi dengan amat jelas sekali aku mendengar suara dari Gak cici yang memperingatkan diriku agar jangan memperlihatkan asal usul sendiri, kini orang sipeniup seruling serta Lan Giok Tong telah berlalu semua, apa sebabnya enci Gak belum juga menampakkan diri??”

Ingin sekali dia berteriak memanggil, tapi si anak muda itu takut suaranya mengejutkan Lan Giok Tong, maka dengan perasaan apa boleh buat ia hanya dapat menekan kegelisahannya dalam hati.

Ternyata dari tindakan sipeniup seruling yang memutuskan hubungan persaudaraan dengan Lan Giok Tong tadi, serta sikap dan tingkah laku Lan Giok Tong yang kesal, murung dan sedih. Secara lapat-lapat pemuda kita berhasil menebak sedikit duduknya perkara.

Dengan termangu-mangu Siauw Ling berdiri ditengah kegelapan, kurang lebih sepertanak nasi kemudian tatkala ia tak menjumpai pula Gak Siauw Cha menampakkan diri rasa sabarnya sudah tak terbendung lagi segera teriaknya keras, “Enci Siauw Cha! kau berada dimana?? mengapa kau tak munculkan diri untuk bertemu denganku??”

Terdengar suara tertawa cekikikan berkumandang dari balik kegelapan, suara itu kedengaran nyaring sekali. Siauw Ling tertegun dengan cepat ia dapat membedakan bahwa suara itu berasal dari balik batu cadas kurang lebih empat tombak dibelakangnya, tanpa mengucapkan sepatah katapun diam-diam ia salurkan hawa murninya lalu dengan gerakan “Hay Yan In Poh” atau burung manyar menembusi ombak melayang kedepan.

“Oooh cici….” teriaknya. “Aku….”

Dari balik batu muncul seorang gadis berusia lima enam belas tahun yang memakai baju ringkas, rambutnya dikepang jadi dua dan wajahnya masih kekanak-kanakan.

“Siauw siangkong” tukasnya cepat. “Budak tidak berani menerima sahutanmu itu.”

Siauw Ling tertegun kemudian buru-buru menjura.

“Nona, kau adalah….!”

“Aku adalah dayangnya nona Gak Siauw siangkong! kau benar-benar pelupa, bukankah kita pernah saling berjumpa muka?”

Dengan seksama Siauw Ling perhatikan wajah dara berbaju ringkas itu namun bagaimanapun juga dia putar otak sama sekali tak teringat akan wajah nona ini, maka ia berdiri melengak dan membungkam.

“Eeei…. semua orang sudah pergi, apa gunanya kau kenakan terus-terus topengmu itu” kembali terdengar dara tadi menegur.

Siauw Ling segera melepaskan topengnya.

“Dimana sih kita pernah saling berjumpa? maaf kalau aku orang she Siauw sudah tidak teringat kembali.”

Dara baju ringkas itu tersenyum.

“Ditengah sebuah lembah bukit sewaktu lima manusia laknat dari Lam Hay….!”

“Aaah, benar! bukankah kau adalah sang dara yang menyaru sebagai bocah berbaju hijau yang selalu mendampingi lima manusia laknat dari Lam Hay?”

“Bagus amat daya ingatmu!”

“Ooh…. ketika itu nona memakai baju lelaki, tidak aneh kalau cayhe tak bisa mengingatnya kembali….” kata Siauw Ling seraya menjura, setelah merandek sejenak, tambahnya: “Kemanakah enci Gak itu sekarang….?”

“Dia telah pergi….”

“Ia pergi kemana? nona tahukah kau?”

“Tahu sih tahu, cuma maukah dia menjumpai dirimu atau tidak aku tak berani memutuskan.”

“Enci Gak pasti mau menemui diriku cepat bawa aku kesitu. Aaai….! sudah hampir lima enam tahun lamanya aku tak pernah berjumpa muka dengan enci Siauw Cha!”

“Belum tentu” sahut dara berbaju ringkas itu seraya menggeleng. “Lan Giok Tong serta Giok Siauw Lang Koe (sipemuda tampan seruling kumala) entah sudah menggunakan berapa banyak tenaga dan pikiran untuk menguntil terus dibelakang nona Gak, entah sudah berapa ratus kali mereka mohon untuk berjumpa dengan dirinya, tetapi nona Gak tak mau berjumpa dengan mereka. Mengapa kau bisa begitu yakin mengatakan bahwa ia pasti mau bertemu dengan dirimu?”

Beberapa saat lamanya Siauw Ling tertegun, akhirnya ia menjawab, “keadaanku jauh berbeda dengan mereka selama Gak cici selalu menyayangi diriku, sering kali dia ajak aku bermain, merawat diriku, melayani aku makan minum dan berpakaian, aku rasa diapun pasti rindu denganku karena akupun asngat rindu kepadanya.”

“Lain dulu lain sekarang, dulu usiamu masih kecil sedang sekarang kau telah menginjak dewasa.”

“Aku yakin dia pasti mau berjumpa dengan diriku” seru Siauw Ling sangat gelisah. “Kenapa kau tak mau percayai perkataanku? cepat sampaikan dengannya dan tanyakan sendiri dengan enci Gak.”

Dara berbaju ringkas itu termenung beberapa saat lamanya, akhirnya dia mengangguk.

“Baiklah, akan kusampaikan perintahmu itu, tapi kau tak boleh pergi dari sini lho.”

“Kenapa tak bawa serta diriku?”

Dara manis itu segera menggeleng.

“Kalau aku ajak kau pergi kesitu dan seandaiya nona tak mau menemui dirimu bukan saja aku bakal kena dimaki kaupun akan dibikin tersipu-sipu.”

“Maka alangkah baiknya jika kau tetap berdiam disini saja sambil menanti kabar dariku, aku segera akan melaporkan kedatanganmu ini kepada nona.”

“Kalau nona sudi berjumpa dengan dirimu aku segera datang mengabarkan kepadamu, sebaliknya kalau tak mau bertemu denganku rasanya kaupun tak usah menyesal.”

“Baiklah, aku akan menantikan kedatanganmu disini.”

Sementara dalam hati pikirnya, “Sungguh tak kusangka begitu sulitnya untuk berjumpa dengan diri enci Gak!”

Tampak dara berbaju ringkas itu putar badannya lalu loncat kedepan sekali enjot badan ia sudah berada kurang lebih tiga tombak dari tempat semula, mendadak ia berhenti dan berpaling serunya, “Kau tak boleh mengikuti dibelakangku….”

“Jangan kuatir nona, enci Gak pasti akan mengijinkan diriku untuk segera berjumpa dengan dirinya.”

Dara berbaju ringkas itu tidak banyak bicara lagi, dalam beberapa kali kelebatan ia sudah lenyap dari pandangan.

Siauw Lingpun lantas duduk diatas batu cadas untuk menantikan kedatangan dara tadi.

Kurang lebih sepertanak nasi kemudian dara itu belum nampak juga munculkan diri, ia jadi gelisah, pikirnya, “Andaikata ia tak melaporkan kedatanganku ini, apa yang harus kulakukan??”

*******

Sementara ia masih berpikir tampaklah sesosok bayangan manusia perlahan-lahan munculkan diri dari balik kegelapan.

Dengan langkah lebar Siauw Ling segera maju menyongsong, sedikitpun tidak salah orang itu adalah dara berbaju ringkas tadi tidak sabar lagi segera serunya, “Apakah enci Gak suruh kau datang menyambut diriku?”

Dara berbaju ringkas itu gelengkan kepalanya.

“Kau terlalu yakin dengan dirimu sendiri!” bisiknya.

“Apa? jadi enci Gak tak mau berjumpa dengan diriku?”

“Ehm….” dara itu mengangguk.

“Apa yang dia katakan?”

“Ketika aku menyampaikan kepada nona bahwa kau hendak menemui dirinya, nona lantas termenung dan lama sekali tidak bicara…. entah sudah lewat beberapa saat lamanya, ia baru berkata kepadaku bahwa nona tak ingin bertemu dengan dirimu.”

“Mengapa?” teriak Siauw Ling dengan hati cemas.

“Sssst…. jangan keras-keras!” tegur nona itu dengan alis berkerut kencang.

Siauw Ling ayun tangan kanannya menabok batok kepala sendiri, bisiknya, “Tidak mungkin…. tidak mungkin, mengapa ia tak sudi berjumpa dengan diriku?”

“Darimana aku bisa tahu.”

“Bawalah aku kesana, bagaimanapun juga aku harus berjumpa dengan dirinya.”

“Percuma! kalau dia sudah berkata tak mau menemui dirimu, sekalipun kau memaksa juga tak ada gunanya.”

Siauw Ling angkat kepalanya menghembuskan napas panjang, setelah berhasil menenangkan hatinya yang kacau, katanya lagi, “Benarkan kau telah sampaikan permohonanku ini kepada nonamu?”

“Hmmm, kenapa? kau tidak percaya kepadaku?”

“Sungguh membuat orang merasa kurang percaya.”

“Bukan hanya kau seorang” hibur dara tadi dengan nada halus. “Banyak orang ingin berjumpa dengan nonaku tapi mereka semua ditolak mentah-mentah. Aku harap agar kau jangan bersedih hati karena persoalan ini….”

Siauw Ling gelengkan kepalanya dan mendongak memandang keangkasa, kembali dia bergumam, “Sungguh membuat orang merasa tak habis mengerti…. sungguh membingungkan hatiku….!”

Tiba-tiba ia depakkan kakinya keatas tanah, sambil angsurkan sebuah sampul putih ketangan dara tadi ujarnya, “Benda ini adalah titipan dari Lan Giok Tong yang meminta agar aku sampaikan kepada enci Gak, aku harap nona suka mewakili diriku untuk menyampaikannya.”

Sambil menerima sampul tadi dara itu bertanya, “Apakah kau ada persoalan yang hendak disampaikan kepada nona kami?”

Siauw Ling gelengkan kepalanya dengan sedih.

“Aku tak mengerti, apa sebabnya ia tak sudi berjumpa dengan diriku….? aku benar-benar tak mengerti!”

“Ia tak mau bertemu dengan dirimu sudah tentu ada sebab-sebabnya, cuma saja kau tidak mengetahuinya.”

“Apakah kau mengerti?”

“Tidak, aku sendiripun tidak mengerti.”

Siauw Ling tertawa getir.

“Baiklah! sampaikan kepadanya, lain kali akupun tak berani merepotkan dirinya untuk selalu membantu diriku, budi pertolongannya pada masa yang silam disini kuucapkan banyak terima kasih.”

Habis berkata dia lantas menjura dalam.

Dengan cepat dara berbaju hijau ringkas itu berkelit kesamping.

“Bukan kau berterima kasih kepada nonaku? mengapa kau menjura kepadaku?” serunya.

“Aku harap nona suka sampaikan penghormatanku ini kepadanya.”

“Ehm, apa yang kau ucapkan sepatah demi sepatah pasti akan kusampaikan kepadanya.”

“Cayhe telah mengganggu diri nona terlalu lama, disinipun aku ucapkan banyak terima kasih.” sekali lagi dia menjura.

“Terima kasih, kau tak usah sungkan!”

Siauw Ling menghembuskan napas panjang ia tidak berbicara lagi, sambil putar badan dengan langkah lebar segera berlalu dari situ tanpa berpaling barang sekejappun si anak muda itu langsung kembali kekuil keluarga Loo sie.

Tampak Sang Pat serta Ceng Yap Chin sedang menanti didepan halaman, ketika menyaksikan Siauw Ling berjalan datang mereka segera maju menyongsong.

“Waaah, kami sedang merasa gelisah karena lama menanti dirimu, apakah Siauw thayhiap telah bertempur dengan orang?” tegur Ceng Yap Chin.

“Tidak, bagaimana dengan keadan Soen Loocianpwee sekalian??”

“Jalan darah mereka sudah bebas bahkan sudah makan obat penawaran racun….!”

“Sungguh??” seru Siauw Ling tercengang.

Terdengar suara Soen Put shia berkumandang keluar dari balik ruang tengah.

“Sedikitpun tak salah! saudara Siauw cepat masuk kedalam, dalam hati aku sipengemis tua terdapat banyak masalah yang ingin kutanyakan kepadamu.”

Dengan langkah lebar Siauw Ling masuk kedalam ruangan, sedikitpun tak salah, bukan saja Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang telah mendusin bahkan empat pujangga besar dunia persilatanpun telah sadar dari pingsannya.

“Saudara Siauw, sebenarnya apa yang telah terjadi?” terdengar pengemis tua itu berseru.

“Apa yang terjadi? aku sendiripun tidak habis mengerti….” ia berpaling kedepan Sang Pat kemudian tanyanya, “Siapa yang telah membebaskan jalan darah mereka?”

“Lhoo? apakah toako sendiripun tak tahu?”

“Aku toh selama ini tak ada disini, dari mana bisa tahu?”

“Kalau begitu sungguh aneh sekali!”

“Bagaimana anehnya? cepat katakan apa yang sebenarnya telah terjadi….”

“Tidak lama setelah toako pergi, muncullah seorang manusia berbaju hitam dalam kuil ini, katanya datang atas perintah dari toako untuk menyembuhkan luka dari Soen Loocianpwee.”

“Bagaimanakah macam orang itu? pria atau wanita?”

“Rupanya memakai topeng diatas wajahnya dan memakai baju kaum pria….”

“Suaranya?”

“Sama sekali suara orang pria!”

“Bagaimana selanjutnya?” tanya Siauw Ling lebih jauh dengan alis berkerut.

“Sebetulnya aku serta Ceng heng hendak menghalangi jalan perginya, siapa tahu secara tiba-tiba dia telah turun tangan menotok jalan darah kami berdua….”

“Kemudian??”

“Setelah jalan darah kami tertotok sudah tentu perjalanan orang itu tak bisa dihalangi lagi, kami lihat dia masuk kedalam ruang tengah dan membebaskan jalan darah Soen Loocianpwee sekalian berenam yang tertotok, setelah itu memberikan pula sebutir pil pada masing-masing orang. Sebelum meninggalkan tempat ini dia bebaskan kembali jalan darah siauwte serta Ceng heng yang tertotok.”

“Apakah dia sudah menerangkan asal usulnya??”

“Tidak!”

“Apakah kalian tidak bertanya?”

“Sesaat sebelum meninggalkan tempat ini ia suruh kami sekalian menyampaikan kepada Siauw thayhiap, katanya ia selama hidup paling benci mencampuri urusan dunia persilatan pembunuhan, penjagalan serta mati hidup dunia kangouw sama sekali tiada sangkut pautnya dengan dia, katanya ia pernah melihat seseorang secara beruntun membunuh delapan belas orang jago Bulim namun ia tetap tidak mencampuri urusan itu.”

“Ooooh, kalau begitu watak orang ini benar-benar dingin dan suka menyendiri!”

“Benar dan suaranya dan sikapnya sangat hambar dan dingin membuat orang yang mendengar jadi bergidik, tetapi sikapnya terhadap Siauw thayhiap ternyata begitu menghormat dan kagum.”

“Kalau didengar dari nada ucapannya, mungkin dia ada persoalan yang ingin mohon bantuan dirimu!” sambung Soen Put shia.

“Minta bantuan?” si anak muda itu melongo.

“Mungkin tidak salah” Ceng Yap Chin meneruskan kata-katanya. “Dia bilang mati hidup Soen Loocianpwee, suhengku serta empat pujangga besar dunia persilatan sama sekali tiada sangkut pautnya dengan dia, tapi sekarang dia mau turun tangan menolong adalah disebabkan karena memandang keatas wajah Siauw heng. Katanya kita tak usah berterima kasih kepadanya sebab ia jual budi hanya untuk Siauw heng seorang, dikemudian hari ia masih membutuhkan bantuan yang besar dari dirimu.”

Siauw Ling yang mendengar pembicaraan itu jadi bingung dan tak habis mengerti, tapi ketika dilihatnya beberapa puluh mata sama-sama diarahkan kepadanya, dalam hati ia lantas berpikir, “Kenapa peristiwa yang terjadi pada malam ini sangat aneh sekali? Aaaai…. bukan saja mereka dibikin kebingungan, aku sendiripun dibuat tidak habis mengerti….”

Maka dia lantas mengangguk.

“Apa yang dia katakan lagi?”

“Hanya beberapa patah kata itu saja, selesai berbicara dia lantas berkelebat lenyap ditengah kegelapan.”

Sejak ditampik permohonannya untuk berjumpa dengan Gak Siauw Cha, sebenarnya Siauw Ling sedang merasa mangkel bercampur sedih, ia ada maksud memuntahkan semua rasa mangkel dan sedihnya itu setelah berjumpa dengan Sang Pat sekalian, siapa tahu disinipun sudah terjadi satu peristiwa yang membingungkan hati, maka rasa sedih dan murungnya itu terpaksa hanya dipendam didalam hati.

“Bagaimana perasaan Soen Loocianpwee saat ini?” tanyanya lirih.

“Sungguh manjur pil pemusnah racun dari orang itu, rupanya racun yang dicekokkan kedalam perut aku sipengemis tua oleh Shen Bok Hong berhasil dipunahkan sama sekali.”

“Kalau begitu bagus sekali….” sinar matanya beralih keatas wajah Boe Wie Tootiang. “Dan bagaimana perasaan dari Tootiang?”

“Pinto merasa jauh lebih baikan.”

Akhirnya Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah empat pujangga besar dunia persilatan.

“Bagaimana keadaan saudara berempat?”

Kakek berbaju hijau pertaman segera menjura sambil berkata, “Coe Boen Ciang dari kota Lok Yang mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan dari Siauw thayhiap!”

“Chin Soe Teng dari kota Kie Lim menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya keapda thayhiap” sambung kakek kedua.

“Yoe Cu Ching dari kota Kim Leng mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda” kakek yang ketiga menyambung.

Akhirnya kakek keempatpun berkata, “Kho sie Thong dari kota Kang Chiu merasa berhutang budi kepada Siauw thayhiap!”

Dari nada ucapan serta tingkah laku keempat orang itu yang berbicara tanpa disertai emosi, diam-diam Siauw Ling berpikir dalam hatinya, “Nama besar empat pujangga besar dunia persilatan benar-benar bukan nama kosong belaka, dengan susah payah Shen Bok Hong nyaring mereka dari utara hingga selatan untuk dikumpulkan jadi satu, kemudian menotok jalan darahnya, meracuni mereka hingga mati, namun sikap maupun nada keempat orang ini sama sekali tidak disertai rasa dendam atau sakit hati, kebesaran jiwa serta keteguhan iman keempat orang ini boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan!”

Berpikir demikian, dia lantas berkata, “Bukankah Hian jien berempat tak pernah mencampuri urusan dunia persilatan? apa sebabnya kalian bisa mengikat tali permusuhan dengan Shen Bok Hong?”

“Kami dengan Shen Bok, sama sekali tidak dendam sakit hati apapun jua” sahut Coe Boen Ciang dari Lok Yang sambil tersenyum.

“Kalau tiada permusuhan apa sebabnya dia hendak membinasakan mereka berempat?” pikir Siauw Ling, sementara diluar ia balik bertanya, “Lalu apa sebabnya Shen Bok Hong hendak mencelakai kalian berempat….?”

“Yang kotor biar kotor, yang bersih tetap bersih, antara kami dengan Shen Bok Hong tak bisa dikatakan punya dendam atau budi” Chin Soe Teng dari Kie Lam menyambung.

“Bagus sekali” kembali si anak muda itu membatin. “Mereka berempat benar-benar berhati sosial.”

Ia menghela napas dan berkata, “Kalau begitu kejadian ini adalah kesalahan dari pihak Shen Bok Hong, yang mana tanpa alasan telah mengumpulkan kalian berempat lalu menotok jalan darah kalian dan meracuni tubuh kalian semua.”

“Selama hati kecil tak pernah berbuat salah, apa gunanya memikirkan nasib mujur atau jelek” sela Yoe Coe Ching dari Kim Long.

“Hmm, dalam ucapan itu jelas dia mengatakan bahwa asal mereka tak pernah menyalahi Shen Bok Hong, bakal mujur atau sial mereka tak pernah pikirkan dalam hati” pikir pemuda kita.

“Justru karena kalian berempat terlalu baik itulah maka Shen Bok Hong hendak mencelakai kalian” katanya.

“Kebebasan jiwa seorang koen cu bagaikan angin segar ditengah hari, hidup tidak jeri mati kenapa harus takut” kata Kho Soe Thong dari Kang Chin.

“Keempat orang ini benar-benar membingungkan, merekapun belum tentu mereka mendendam” pikir Siauw Ling.

Terdengar Soen Put shia mendengus dingin.

“Kalian berempat benar-benar agung dan saleh bagaikan Nabi atau Pujangga besar, aku sipengemis tua serta Boe Wie Tootiang susah payah dengan menempuh bahaya datang menolong. Eeei, siapa tahu sikap kalian begitu tawar. Huuu…. anggap saja pertolongan kami cuma sia-sia belaka, tahu begini lebih baik kalian berempat dibunuh mati saja oleh Shen Bok Hong hingga aku sipengemis tuapun tak usah ikut menderita seperti kalian.”

Coe Boen Ciang dari Lok Yang tersenyum.

“Menerima budi orang harus dibalas, menumpuk sakit hati harus dilenyapkan, sudah tentu kami tak akan melupakan budi pertolongan dari Soen thayhiap serta Boe Wie Tootiang kepada diri kami berempat.”

“Sayang aku sipengemis bukan tuan penolongmu!”

“Selama puluhan tahun kalian berempat tak pernah mencampuri urusan dunia kangouw sehingga mendapat julukan empat pujangga besar dunia persilatan” tiba-tiba Boe Wie Tootiang menimbrung. “Jadi orang memang harus bijaksana dan saleh dimana terasa perlu, namun keadaan kalian yang tidak pandang bulu benar-benar aneh dan luar biasa sekali….”

Sementara itu Siauw Ling sedang berpikir didalam hati, “Sudah lama kudengar bahwasanya ilmu silat yang dimiliki empat pujangga besar dunia persilatan sangat lihay, apabila malam ini aku bisa menasehati mereka agar mau berjuang demi keadilan serta kebenaran dalam dunia kangouw, kejadian ini bukan saja menambah kekuatan pihak kami dalam perjuangannya melawan pengaruh serta kekuasaan Shen Bok Hong, bahkan dengan tindakan ini pula aku bisa memancing lebih banyak jago-jago lihay yang telah lama mengasingkan diri untuk muncul kembali dalam dunia kangouw dan bersama-sama menentang Shen Bok Hong….”

Terdengar Chin Soe Teng berkata, “Benar atau salah hanya dua keadaan yang saling berlawanan, apa salahnya kalau kami melepaskan diri dari keadaan tersebut?”

Soen Put shia tertawa dingin.

“Kalau memang cuwi sekalian melepaskan diri dari keadaan itu, lalu apa sebabnya Shen Bok Hong memaksa kalian berempat untuk menelan obat racun dan ingin membinasakan kalian?”

“Kalian berempat menonton kemusnahan dunia persilatan sambil berpeluk tangan dan bersenang-senang sendiri, coba bayangkan apakah tindakan kamu itu bijaksana atau saleh?” Boe Wie Tootiang menambahkan.

Coe Boen Ciang dari kota Lok Yang jadi melengak, ia mau bicara tapi batal kembali niat itu.

Ternyata untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup menemukan jawaban yang tepat.

“Kalian berempat disebut orang-orang Bulim sebagai empat pujangga besar adalah disebabkan kalian tak mau mencampuri urusan dunia kangouw terutama sekali dalam perebutkan nama besar dan kedudukan” kata soen Put shia lagi. “Kalian berempat bisa membuang jauh sifat keduniawian hal ini memang patut dipuji dan disanjung, tetapi berbeda jauh keadaannya setelah kali ini Shen Bok Hong hendak mencelakai jiwa kamu berempat….”

“Apa bedanya??”

“Tujuan Shen Bok Hong adalah untuk menguasai seluruh dunia persilatan, ia tidak pandang bulu dan melakukan tindak apapun dengan hati yang keji dan telengas. Kejahatan yang dilakukan telah bertumpuk-tumpuk bukan saja jago kangouw dijaring bahkan kalian berempat yang tak pernah mencampuri urusan dunia persilatanpun akan dibunuh. Tak usah dipikir lebih jauh sudah amat jelas tertera apa tujuannya. Kalian berempat memang boleh meninggalkan sakit hati pribadi untuk tak dipikir, tapi keadaan dalam Bulim serta mati hidup kaum lurus apakah tak pernah kalian pikirkan?”

“Menurut pandanganmu, apa yang harus kami lakukan?” tanya Yoe Coe Ching dari kota Kiem Leng.

“Tampil kedepan berjuang demi keadilan serta keamanan dunia persilatan, mari kita singsingkan baju berjuang bersama-sama menentang angkara murka Shen Bok Hong.”

“Maksudmu apakah kami diminta terjun kedalam kancah pertumpahan darah dalam dunia persilatan?” Kho Soe Thong dari Kang Chiu menegaskan.

“Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kacau, kaum iblis lebih berkuasa dari kaum lurus, sebagai orang yang selalu dihormati sesama umat Bulim dan sebagai orang yang saleh dan bijaksana, apakah tiada niat untuk membasmi kejahatan bahkan malah memberi kesempatan bagi kaum iblis untuk meraja lela? benarkah kalian ingin berpeluk tangan belaka menyaksikan dunia persilatan jatuh ditangan kaum durjana yang suka berbuat sewenang-wenang dan menginjak-injak keadilan?”

Biji mata Coe Boen Ciang perlahan-lahan berputar menyapu sekejap wajah Chin Soe Teng, Yoe Coe Ching serta Kho Soe Thong kemudian katanya, “Hian te bertiga, aku rasa ucapan dari Soen Put shia dari Kay pang serta Boe Wie Tootiang sangat masuk akal, entah bagimana menurut pandangan Hian te bertiga?”

“Ucapan mereka sangat beralasan” Chin Soe Teng mengangguk. “Cuma saja kalau suruh siauwte menerjunkan diri kedalam kancah pertumpahan darah dalam Bulim, sedikitpun banyak hatiku merasa sedih.”

“Siauwte rasa ucapan dari Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang memang masuk diakal” kata Yoe Coe Ching pula. “Kita memang boleh tak usah menuntut diri Shen Bok Hong yang telah memaksa kita menelan racun, tapi bagaimanapun juga tak boleh membiarkan Shen Bok Hong berbuat sewenang-wenang dalam dunia persilatan.”

“Setelah puluhan tahun lamanya bertindak menuruti cara sendiri dan tak pernah mencampuri urusan dunia kangouw, kalau sekarang suruh siauwte tukar suasana…. wah…. siauwte merasa sedikit rada kelabakan.”

Melihat separuh dari empat pujangga besar berhasil digerakkan hatinya oleh ucapan mereka Boe Wie Tootiang sadar bila keadaan ini terlalu dipaksakan maka akibatnya malah tidak baik, karena itu segera ujarnya, “Silahkan kalian berempat rundingkan persoalan ini dengan hati tenang, mungkin suatu hari bisa memperoleh satu pendapat yang seragam. Pinto sekalian tak berani terlalu memaksa.”

“Baiklah” kata Coe Boen Ciang kemudian sambil bangkit berdiri. “Selesai kami rundingkan persoalan ini, keputusan kami berempat segera akan kami sampaikan kepada cuwi!”

“Kita berjumpa lagi ditempat ini tiga hari kemudian” sahut Soen Put shia. “Rasanya waktu selama tiga hari lebih dari cukup bagi cuwi sekalian untuk membicarakan persoalan ini.”

“Cukup…. cukup…. tiga hari memang sudah cukup” jawab Coe Boen Ciang cepat. “Baiklah, kita tetapkan begini saja, entah bagaimanakah hasil perundingan kami nanti, tiga hari kemudian kami pasti akan datang memenuhi janji.”

Selesai berkata ia lantas melangkah pergi.

Chin Soe Teng, Yoe Coe Ching serta Kho Soe Thong segera bangkit berdiri dan berlalu mengikuti dibelakang saudara angkatnya.

Memandang bayangan punggung empat pujangga besar dunia persilatan itu, Soen Put shia gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang, katanya, “Keempat orang ini betul-betul kolot dan keras kepala, meskipun aku sipengemis tua sudah banyak menjumpai manusia-manusia yang bertabiat-tabiat kukoay, tapi belum pernah kujumpai manusia seaneh empat pujangga besar dari dunia persilatan ini.”

Siauw Ling pun menghela napas panjang.

“Tingkah laku keempat orang pujangga besar itu membuat akupun dibikin jadi bingung dan tidak habis mengerti, perbedaan antara baik dan busuk, mulia dan jahatpun ternyata sudah mereka campur baurkan tidak karuan. Aaai….! kita bicarakan mengenai keempat orang itu saja, bukan saja mereka menjauhkan diri dari persilatan Bulim bahkan tiada minat sama sekali untuk mencari nama maupun kedudukan, tetapi kepandaian silat mereka amat lihay, justru karena itulah mereka disebut empat pujangga besar dunia persilatan….”

Ia mendongak dan tarik napas panjang-panjang, kemudian terusnya, “Ditinjau dari mereka yang tidak terlalu membedakan antara budi dan dendam, serta tindakannya yang jauh berbeda dengan kaum persilatan pada umumnya mengenai pandangan terhadap sakit hati. Mereka memang pantas kalau disebut sebagai pujangga besar, tetapi sikap mereka yang tidak bisa membedakan terhadap mana yang penting dan mana yang tidak, apakah juga termasuk tindakan seorang pujangga.”

“Nama kosong hanya akan menjerumuskan orang saja” kata Boe Wie Tootiang dari samping. “Andaikata mereka tidak mempunyai julukan sebagai empat pujangga besar, maka nanti tingkah laku mereka begitu sabar dan tahan penderitaan. Persoalan ini merupakan satu kejadian yang rumit, sekalipun dipandang dari luaran mereka berempat tidak membutuhkan nama atau kedudukan, namun dalam kenyataannya tindak tanduk serta langkah-langkah yang diambil keempat orang itu bukan lain adalah untuk melindungi nama baik empat pujangga besar itu!”

“Tidak salah, pendapat tootiang memang tepat sekali!”

Perlahan-lahan Boe Wie Tootiang bangkit berdiri tiba-tiba tanyanya, “Sekarang sudah jam berapa?”

“Kurasa lebih kentongan keempat!” sahut Ceng Yap Chin.

“Sudah sepantasnya kita segera berlalu, jangan biarkan mereka menanti terlalu lama.”

“Saudara Siauw” tiba-tiba Soen Put shia menoleh dan bertanya. “Ada sedikit persoalan aku sipengemis tua mohon keterangan darimu.”

“Apa yang hendak loocianpwee tanyakan?’

“Dari mulut Sang Pat tadi aku sipengemis tua dengar katanya kau pergi mengejar sipeniup seruling, bagaimana akhirnya? apakah kau berhasil menjumpai orang itu?”

Teringat pertemuannya dengan Gak Siauw Cha si anak muda itu seketika merasa hatinya jadi sedih.

Ia menghela napas panjang-panjang.

“Aku telah berjumpa dengan orang itu.”

Jawab yang singkat membuat semua orang jadi terkejut, sampai-sampai Boe Wie Tootiang yang biasanya paling tenangpun kini dibikin jadi tegang dan segera alihkan sinar matanya keatas wajah Siauw Ling.

“Benarkah kau telah bertemu dengan sipeniup seruling itu?”

Sekali lagi Soen Put shia mengulangi pertanyaannya.

“Sedikitpun tidak salah.”

“Manusia macam apakah dia itu?”

“Seorang pemuda berjubah panjang!”

“Apa? seorang pemuda?” seru Boe Wie Tootiang dengan wajah tertegun.

“Ehm! ditengah kegelapan meski cayhe tidak dapat melihat jelas raut wajahnya tetapi apa yang kulihat dan kusaksikan memang betul-betul membuktikan bahwa dia adalah seorang pemuda berwajah bersih dan memakai seperangkat pakaian panjang.”

Toosu tua dari Bu tong pay itu segera menoleh kearah Soen Put shia, lalu tanyanya, “Loocianpwee, tahukah kau kalau dunia persilatan dewasa ini siapakah yang memiliki kepandaian meniup seruling paling baik?”

“Siauw Ong atau siraja seruling Thio Sioe.”

Bicara sampai disitu pengemis tua itu merandek sejenak, lalu terusnya lagi, “Cuma, menurut apa yang aku ketahui siraja seruling Thio Sioe telah terkurung didalam istana terlarang!”

“Tidak salah menurut apa yang pinto ketahui dalam dunia persilatan dewasa ini hanya permainan seruling dari siraja seruling Thio Sioe saja yang terbaik, katanya irama serulingnya bisa memancing burung yang terbang diangkasa melayang turun, dapat pula memainkan irama pelbagai macam kicauan burung, karena kehebatannya itulah ia dijuluki siraja seruling.”

“Sejak siraja seruling terjerumus kedalam istana terlarang, dalam dunia kangouw tidak kedengaran lagi adanya seorang jago lihay yang pandai memainkan seruling. Sungguh tak nyana orang itu munculkan diri secara mendadak….” sambung Soen Put shia.

Mendadak Ceng Yap Chin menimbrung dari samping, “Sayang aku dilahirkan rada terlambat sehingga tidak sempat mendengarkan irama permainan seruling siraja seruling Thio Sioe yang merdu, tapi permainan seruling tadi telah kudengar dengan telinga sendiri permainannya memang benar luar biasa sekali, dikala memainkan bagian yang sedih tanpa terasa membuat orang ikut melelehkan aar mata, dapat pula membuat orang menghela napas panjang, tapi yang membuat cayhe tidak megerti adalah kenapa permainan serulingnya selalu membawakan nada sedih dan sama sekali tak kedengaran adanya irama gembira atau riang?”

“Apakah ada irama khiem yang mengiringi permainan seruling itu?” buru-buru Boe Wie Tootiang menambahkan.

“Irama khiem bergetar lebih dulu baru kemudian disusul oleh irama seruling, permainan mereka berdua sama-sama sedih dan membawakan irama pedih.”

“Nah, itulah dia, irama masuk yang berhasil mengusir pergi Shen Bok Hong waktu ada ditepi telagapun merupakan gabungan dari permainan khiem dan seruling.”

“Tapi siapakah orang itu?” tanya Soen Put shia setelah termenung sebentar. “Aku sipengemis tua benar-benar tak bisa menebak siapakah orang itu!”

“Aku tahu siapakah dia” pikir Siauw Ling dalam hati. “Orang yang memetik khiem adalah enci Siauw Cha sedangkan sipeniup seruling akupun telah bertemu dengan dirinya, sekalipun aku tak tahu siapakah namanya tapi aku tahu dia adalah kakak misan dari Lan Giok Tong!”

Penampikkan Gak Siauw Cha untuk bertemu dengan dirinya membuat Siauw Ling diliputi rasa murung dan sedih, ia sudah putar otaknya untuk memikirkan persoalan ini tapi belum berhasil juga ditemukan apa sebabnya enci Siauw Chanya tak mau bertemu dengan dia, sebetulnya si anak muda ini akan mengutarakan isi hatinya tapi setelah dipikir sebentar maka niat tersebut diurungkan kembali.

Terdengar Boe Wie Tootiang menghela napas panjang, lalu katanya, “Soen Loocianpwee, kau tak usah putar otak memikirkan persoalan ini lagi, kalau memang sipemetik khiem dan peniup seruling selalu membantu kita secara diam-diam. Aku rasa mereka pastilah sahabat kita dan bukan lawan, pada saat ini walaupun mereka tak mau menjumpai kita, rasanya satu saat kita pasti akan bisa bertemu.”

“Tidak salah, walaupun Shen Bok Hong telah mengundurkan diri, belum tentu ia segera tinggalkan kota Ooh Chiu, lebih baik kita cepat-cepat memenuhi janji.”

Selesai berkata tanpa menanti yang lalu lagi ia segera menuju ketempat luaran dengan langkah lebar.

Para jago terpaksa mengikuti jejaknya dan meninggalkan kuil nenek moyang keluarga Loo itu.

Karena dalam hati ada persoalan maka Siauw Ling ogah untuk menanyakan pengalaman Soen Put shia hingga menemui mara bahaya, sebaliknay sipengemis tua itulah yang mendampingi pemuda kita sepanjang jalan dan mengisahkan pengalamannya.

Kiranya Soen Put shia serta Boe Wie Tooiang telah mendapat laporan dari seorang murid anggota perkumpulan Kay pang yang mengatakan bahwa empat pujangga besar dunia persilatan berhasil dipancing Shen Bok Hong untuk mendatangi perahu kayi ditengah kolam belakang kuil keluarga Loo, teringat akan kekejian sigembong iblis itu mereka menduga empat orang pujangga besar itu pasti akan menemui kerugian besar.

Mereka sadar meskipun keempat orang ini jarang sekali mengadakan hubungan kontak dengan dunia persilatan tetapi dengan nama besar mereka dalam Bulim serta kepandaian silat mereka yang lihay, seandainya sampai dipaksa oleh iblis she Shen itu sehingga tenaganya digunakan, maka dunia kangouw tentu geger dan akan memperngaruhi keadaan situasi.

Dengan cepat mereka berdua mengejar sampai kesitu dan naik keatas perahu, tampaklah cahaya lilin menerangi seluruh ruangan secara terpisah keempat orang itu duduk disekeliling sebuah meja persegi empat, sementara bayangan tubuh Shen Bok Hong sama sekali tidak kelihatan.

Boe Wie Tootiang yang menjumpai keadaan tersebut sebagai orang yang teliti segera mengusulkan untuk bertindak hati-hati, tapi Soen Put shia yang jauh lebih berangasan merasa menolong orang jauh lebih penting. Tanpa menggubris peringatan toosu tua itu segera loncat masuk kedalam ruangan.

Suasana tetap hening sedang bayangan tubuh Shen Bok Hong belum juga ketahuan.

Ketika dilihatnya sipengemis tua itu sudah masuk kedalam ruangan, terpaksa Boe Wie Tootiang mengikuti dari belakang.

Mereka berdua langsung menghampiri keempat orang pujangga besar itu dan mulai memeriksa tubuh mereka, sekalipun pelbagai usaha pertolongan telah diduga tapi keempat orang itu tetap tak berkutik ditempatnya.

Pada saat itulah mendadak pintu samping terbuka lebar dan muncul seorang manusia aneh berbaju merah mendekati mereka.

Melihat datangnya ancaman dari tempat kejauhan Soen Put shia segera mengirim satu pukulan yang dengan telak bersarang didada orang berbaju merah itu.

Tetapi orang aneh itu hanya merandek sejenak untuk kemudian maju lagi kedepan.

Boe Wie Tootiang segera cabut keluar pedangnya dan mengirim satu babatan yang mana dengan telak bersarang diatas bahu lawan.

Siapa tahu ujung pedangnya terasa bagaikan menusuk diatas batu keras sedangkan orang berbaju merah itu sama sekali tidak menderita luka apapun juga.

Dikala kedua orang itu sedang merasa terperanjat itulah, Shen Bok Hong munculkan diri dari tempat persembunyian dan menotok jalan darah mereka berdua.

Bercerita sampai disini Soen put shia segera menghela napas dan menambahkan, “Kemudian kami lantas dicekoki racun, aku rasa saudara siauwpun sudah bukan.”

“Akupun bertemu dengan orang aneh berbaju merah itu, andaikan tidak ditolong orang mungkin pada saat ini akupun sudah ditawan Shen Bok Hong dalam keadaan hidup” sementara pembicaraan masih berlangsung mereka telah tiba didepan kedai tahu.

Gilingan tahu masih berputar dengan menimbulkan suara berisik dibawah sorot cahaya lampu, seorang kakek tua berbaju kumal sedang menggiling tahu.

Ketika menjumpai datangya Soen Put shia dan Boe Wie Tootiang, kakek tua memandang sekejap kearah mereka lalu katanya, “Orang kalian ada diruang dalam!”

Para jago segera masuk keruang dalam tampaklah Suma Kan, Tu Kioe serta anak murid partai Bu tong telah berkumpul semua disitu.

Sisegulung angin Pang Im masih berbaring diatas tandu kayu.

Siauw Ling segera menghampiri sisi tandu dan menegur dengan suara lirih, “Peng heng, apakah keadaanmu rada baikkan?”

Peng Im buka matanya dan tersenyum.

“Aku rasa tidak sampai modar!”

Perlahan-lahan ia bangun berdiri siap memberi hormat kepada tiang loonya Soen Put shia.

“Tak usah banyak adat, kau lebih baik berbaring saja!” tukas sang pengemis tua cepat.

Peng Im tak berani membangkang, ia menurut dan berbaring lagi.

“Lukamu ada dibagian mana?”

“Diatas dada sebelah kiri, untung ada Tu loocianpwee yang menolong dengan seksama, sekarang keadaanku berangsur membaik.”

“Tidak berani, lebih baik kita saling menyebut sebagai saudara saja” tukas Tu Kioe dari samping.

Peng heng tersenyum.

“Berada dihadapan sucouw ku, aku sipengemis cilik terpaksa harus berlaku rada sungkan terhadap dirimu.”

“Kau tak usah berbuat begitu, toh kita berkawan? lebih baik kita berkawan sendiri saja!”

“Ehmm, ucapan ini memang tidak salah” pikir Soen put shia dalam hati. “Dia panggil Sucouw, kalau dibicarakan dari tingkatan maka kedudukannya jauh lebih rendah dua tingkat daripada orang-orang yang hadir disini!”

Dalam pada itu Boe Wie Tootiang sudah periksa denyutan jantung Peng Im terdengar ia berkata, “Sudah tidak berbahaya lagi, besok pagi asal menelan dua macam obat maka kesehatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”

Sang Pat melihat ruangan itu sempit sedang jumlah orangnya banyak sehingga jangan dibilang untuk duduk, untuk sendiripun harus berdempet-dempetan, maka segera juranya, “Tempat ini tidak sesuai bagi kita untuk berdiam, lebih baik cari tempat lain saja.”

“Aku sipengemis cilik tahu akan suatu tempat yang tersembunyi letaknya….!”

“Dimana?”

“Lima li diluar kita, disitu terdapat sebuah bangunan rumah yang tak berpenghuni letaknya dikelilingi hutan bambu dan luas sekali, peralatan dalam rumah komplit bersih.”

“Begitu besar bangunan rumah yang kau maksudkan, kenapa tiada orang yang menempati?” tanya Ceng Yap Chin heran.

“Tentang soal ini aku sipengemis cilik kurang tahu, mungkin dikarenakan gangguan setan!”

“Kalau memang ada tempat yang begitu bagus, aku rasa kita tak perlu berdiam terlalu lama lagi disini, ayoh segera berangkat….” ajak Soen put shia.

Sinar matanya beralih keatas wajah Peng Im dan tanyanya, “Apakah kau sudah bisa berjalan sendiri?”

“Perlahan-lahan, aku rasa masih sanggup!”

“Aku lihat lebih baik aku Tu loo Sam yang menggendong dirimu saja” Tu Kioe menawarkan jasanya.

Peng Im tidak membantah lagi, begitulah dibawah petunjuk sipengemis cilik itu berangkatlah mereka menuju keluar kota.

“Siauw thayhiap” ditengah jalan Ceng Yap Chin berbisik. “Apakah kau percaya dengan segala macam cerita setan dan malaikat?”

“Tidak percaya!”

“Cayhe sebenarnya juga tidak percaya dengan macam setan dan malaikat, tapi cerita yang turun temurun sejak ribuan tahun berselang sedikit banyak membuat cayhe sangsi juga. Kalau bisa melihat setan ingin sekali aku menambah pengetahuanku.”

Sepanjang jalan Siauw Ling hanya memikirkan soal Gak Siauw Cha saja yang telah menolak untuk bertemu dengan dirinya, dalam keadaan begini ia tak ada minat sama sekali untuk membicarakan soal setan dengan Ceng Yap Chin, beberapa patah katanya yang terakhir boleh dibilang sama sekali tak terdengar lagi olehnya.

Melihat Siauw Ling acuh tak acuh terhadap dirinya seperti ada yang sedang dipikirkan, Ceng Yap Chin pun tidak bicara lagi, ia teruskan perjalanannya kedepan.

Dalam sekejap mata beberapa li sudah dilewati, ketika itu fajar baru saja menyingsing dari tempat kejauhan tampaklah sebuah bangunan rumah yang amat besar muncul dihadapan mereka dikelilingi oleh pepohonan yang hijau dan rindang.

Soen Put shia segera kerutkan dahinya, dengan suara lirih bisiknya kepada diri Peng Im, “Bangunan besar itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berpenghuni, apa kau tidak keliru melihat?’

“Tak bakal salah lagi, aku sipengemis cilik masih mengingatnya dengan jelas.”

“Setelah tiba disini rasanya tiada halangan untuk meninjau kedalam” ujar Boe Wie Tootiang. “Andaikata rumah ini ada penghuninya maka kita segera angkat kaki, bukankah beres?”

“Rasanya memang harus berbuat begini” pikir Sang Pat, ia segera berebut berjalan dipaling depan, katanya, “Baiklah, biar cayhe yang memeriksa dulu keadaan disitu.”

Setelah melewati hutan bambu, sampailah didepan pintu bangunan rumah besar itu.

Tampaklah pintu besar yang berwarna hitam tertutup rapat-rapat, melihat itu sie poa emas tertegun, pikirnya, “Andaikata bangunan ini tiada berpenghuni, kenapa pintu dengan tertutup rapat? jangan-jangan karena baru sembuh dari luka parahnya kesadaran pengemis cilik ini rada kurang beres dan mungkin sudah salah menunjukkan tempat?”

Untuk beberapa saat lamanya ia jadi tertegun didepan pintu dan tak tahu apa yang harus dilakukan….

Terdengar Peng Im yang ada dibelakang berseru kembali, “Aku sipengemis cilik masih ingat jelas tempat ini. Tak bakal salah lagi, Sang heng silahkan mendorong pintu untuk periksa keadaan didalamnya.”

Sang Pat masih sangai tapi setelah mendengar perkataan dari Peng Im, terpaksa ia maju dan mendorong pintu tersebut.

Siapa tahu pintu itu tetap tak bergeming barang sedikitpun juga, jelas pintu tadi dipalang dari dalam.

Si sie poa emas ini segera gelengkan kepalanya berulang kali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar