Rahasia Istana Terlarang Jilid 25

JILID 25

Dua ekor burung elang segera dilepaskan dari jendela dan meleset ketengah udara.

Baru saja kedua ekor burung elang itu terbang melewati atap rumah, mendadak terdengar suara desiran tajam memekikkan telinga dibawah sorot lampu terlihat beribu-ribu buah jalur cahaya perak yang amat menyilaukan mata melesat ketengah udara menyambar kedua ekor burung elang tadi.

Jelas senjata rahasia itu bukan saja rapat bagaikan hujan, bahkan telah dipolesi dengan racun yang amat keji.

Dari dalam ruangan sebelah utara kembali berkumandang suara teguran yang dingin, “Diantara kamu semua siapakah yang bernama Siauw Ling?”

Siauw Ling tertegun, untuk sesaat lamanya ia tidak mengerti harus mengaku atau tidak.

Dikala ia masih sangsi, Sang Pat telah tertawa terbahak-bahak.

“Haah…. haah…. haah…. diantara rombongan kami tiada yang bernama Siauw Ling, seandainya Siauw thayhiap berada disini, mungkin sedari tadi kamu semua sudah mati diujung pedang serta telapaknya.”

Tu Kioe sambar tubuh Pek Bwee dan dihadangkan dihadapannya, lalu berseru, “Pada bagian selatan dan utara masing-masing bersembunyi musuh tangguh. Mari kita terjang kedalam ruangan tersebut, mungkin saja dengan menjebol dinding kita masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri.”

Sang Pat yang selalu punya akal dan berotak cerdik, pada saat ini sama sekali tak bisa menggunakan kelebihannya itu untuk memecahkan persoalan, dengan wajah serius dia bungkam dalam seribu bahasa.

Walaupun begitu dalam hati kecil keempat orang itu sama-sama mengerti, seandainya kerapatan senjata rahasia yang dipancarkan dari empat penjuru ruangan adalah sama, maka sulitlah bagi mereka untuk menerjang keluar dari sana.

Yang aneh setelah terjadi tanya jawab tadi, ternyata tiada pembicaraan lain yang berlangsung, ditengah kegelapan masing-masing pihak saling menanti dengan mulut membungkam.

Lama sekali Sang Pat baru berbisik dengan suara lirih, “Toako, rupanya mereka sedang menanti orang, waktu bagi kita tidak menguntungkan. Aku lihat dalam keadaan seperti ini satu-satunya jalan hanya mundur kembali kedalam ruangan. Diantara kita berempat hanya toakolah yang harus tetap hidup dikolong langit, oleh sebab itu toako tak usah memusingkan keselamatan kami lagi….”

“Serangan senjata rahasia mereka rapat bagaikan hujan badai, burungpun sukar untuk melewati daerah sekitar sini. Siauwte rasa akupun tiada keyakinan untuk berhasil meloloskan diri dari tempat ini….”

“Maksud Sang Loo jie?” sambung Tu Kioe. “Adalah diantara kita berempat, tiga orang boleh mati karena kematiannya tidak akan mempengaruhi perkembangan dunia persilatan, sebaliknya mati hidup toako sangat mempengaruhi keselamatan Bulim pada umumnya, maka dari itu seandainya diantara kita berempat andaikata ada seseorang bisa hidup maka orang itu haruslah diri toako.”

“Tidak bisa jadi, tidak bisa jadi” tampik Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya. “Kita masing-masing orang mempunyai kesempatan untuk mempertahankan hidup, kenapa diantara kita berempat hanya aku seorang yang harus hidup?”

Ceng Yap Chin menghela napas panjang.

“Aaai, mungkin Siauw thayhiap masih belum memahami maksud hati dari Tiong Chiu Siang Ku maksud mereka berdua adalah dalam keadaan yang bagaimana gawatpun kita sekalian bisa berusaha dengan segala kemampuan kami untuk melindungi keselamatan jiwa Siauw thayhiap.”

“Bagaimana cara kalian hendak melindungi diriku? senjata rahasia toh tak bermata. Apakah benda-benda itu bisa menghindari aku orang she Siauw….”

“Bila keadaan memaksa kita bertiga bisa bersatu padu untuk melindungi keselamatan Siauw thayhiap, meskipun tubuh kami bertiga ditembusi oleh senjata-senjata rahasia itu, kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri Siauw thayhiap dari ancaman tersebut.”

“Hmm, perkataan macam apakah itu?” tegur Siauw Ling dengan alis berkerut. “Mati hidup kita berempat harus sama-sama dipertahankan. Sudahlah kalian tak usah banyak bicara lagi, cayhe yang akan membuka jalan buat kalian semua. Ayo kita terjang dulu keruang sebelah utara, disitu baru kita membuat perundingan lagi.”

Sinar matanya berputar, tiba-tiba ia saksikan Pek Bwee melototkan matanya bulat-bulat memandang kearahnya, seakan-akan dara itu ada sesuatu perkataan yang hendak disampaikan kepadanya.

Satu ingatan berkelebat dalam benak si anak muda itu, seraya ujarnya, “Saudara Sang, apakah kau telah totok jalan darah bisunya….?”

“Benar karena aku takut kedua orang dayang berteriak yang bukan-bukan, maka aku sudah totok jalan darah bisu mereka.”

“Bebaskan jalan darah ditubuh nona Pek Bwee ini!”

Selamanya Sang Pat selalu menuruti setiap perkataan dari Siauw Ling, tanpa banyak bertanya lagi ia segera tepuk jalan darah Pek Bwee.

Dayang itu menghembuskan napas panjang kemudian sambil memandang kearah Siauw Ling bisiknya lirih, “Apakah kau adalah Siauw thayhiap?”

“Sedikitpun tidak salah, cayhe adalah Siauw Ling.”

“Apakah kau kenal dengan seorang nona yang bernama Giok Lan?”

Teringat nasib Kiem Lan serta Giok Lan yang lenyap berikut orang tuanya, Siauw Ling merasa bersedih tapi ia segera mengangguk.

“Tidak salah, apakah nona juga kenal dengan nona Giok Lan?”

“Aku dengan Giok Lan sudah lama bersahabat, hubungan kami sudah bagaikan saudara sendiri….”

Mendadak ia memperendah suaranya.

“Kalian tak boleh menerjang kesebalah utara sebab dibawah kurungan senjata rahasian yang rapat bagaikan hujan badai, tiada kesempatan bagi kalian untuk meloloskan diri.”

“Apakah nona mempunyai akal bagus?” tanya Siauw Ling setelah tertegun sejenak.

“Aku mempunyai satu akal, cuma…. apa Siauw thayhiap mau mempercayai diriku?”

“Apa akalmu itu?”

“Lepaskan aku serta adik Liok Hoo….”

Mendengar permintaan itu Sang Pat segera tertawa dingin.

“Budak licik benar akalmu…. Sudah berulang kali aku si Sang Loojie mengalami gelombang dahsyat disamudra luas, apa kau suruh aku terjungkal dari perahu dalam selokan yang dangkal.”

“Kalian takkan mempunyai kesempatan lain kecuali berbuat demikian….”

“Kami akan menahan kamu berdua sebagai sandera, agar mereka dikala melepaskan senjata rahasia jadi lebih was-was dan ragu.”

Dengan cepat Pek Bwee gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu kau masih belum memahami bagaimanakah watak serta tabiat dari Djen Bok Hong, jangan dikata nasib dua orang dayang seperti kami, sekalipun seseorang yang mempunyai kedudukan sepuluh kali lipat lebih tinggi dari kamipun akan tetap dikorbankan demi kesuksesan cita-citanya. Mereka tak nanti akan memikirkan nasib kami yang kalian jadikan sandera….”

“Sang heng te!” bisik Siauw Ling dengan suara lirih. “Bebaskan jalan darah mereka, dan lepaskan mereka pergi!”

“Kita benar-benar akan melepaskan mereka?” tanya Sang Pat melengak.

“Tentu saja sungguh-sungguh!”

Sang Pat tidak banyak bicara lagi, dia segera membebaskan jalan darah ditubuh Pek Bwee, kemudian tanyanya, “Apakah nona Liok Hoo juga kita lepaskan?”

“Eehm, sekalian lepaskan semua!”

Sang Pat menurut, setelah membebaskan jalan darah kedua orang dayang itu ia berkata, “Nah, sekarang kalian sudah bebas dan silahkan berlalu dari sini!”

“Tidak bisa kalau cuma begini saja!” seru Pek Bwee.

“Lalu apa yang kalian inginkan?”

“Kalian tak bisa lepaskan kami dengan begini saja sehingga mereka tahu kalau kami dilepaskan oleh kalian dengan begitu saja.”

“Apakah kalian mau pura-pura meronta dari cekalan kami kemudian melarikan diri?” jengek Tu Kioe dengan suara dingin.

“Sedikitpun tidak salah, untuk mengelabui mereka maka terpaksa aku harus merepotkan kalian berdua untuk bergebrak beberapa jurus dengan kami berdua.”

“Baiklah…. mengantar Budha harus diantar sampai langit barat, bila kalian telah berjumpa dengan mereka, katakanlah agar mereka lepaskan senjata rahasia yang lebih banyak kepada kami.”

Sreeet! sie poa emas dari Tiong Chiu ini segera melepaskan satu pukulan dahsyat kearah Pek Bwee.

Dengan gesit dayang itu mengigos kesamping bisiknya, “Siauw thayhiap, bila kau mendengar jeritan lengking dariku maka segeralah menerjang keruang sebelah utara!”

“Baik, akan kuingat selalu.”

“Perkataan orang perempuan tak boleh dipercaya seratus persen” seru Sang Pat memperingatkan, sepasang telapak menyerang lebih gencar lagi, secara beruntun dia lepaskan empat buah serangan berantai.

Serangkaian pembicaraan tadi dilangsungkan dengan suara yang amat lirih, sudah tentu orang-orang yang bersembunyi disekitar sana tak dapat mendengarkan dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan.

Dalam pada itu Liok Hoo sudah ayunkan telapaknya menyerang Ceng Yap Chin, ujarnya, “Beranikah kau melawan sebuah seranganku dengan keras lawan keras….?”

Ceng Yap Chin tertawa dingin, dia ayunkan telapaknya menyambut serangan itu dengan keras lawan keras.

Rupanya dalam hati kecil jago muda dari Bu tong pay ini merasa amat tidak puas dengan tindakan Siauw Ling melepaskan kedua orang dayang itu, tetapi setelah melihat Sang Pat bertindak menuruti kemauan si anak muda itu, ia merasa sungkan untuk menghalanginya. Meski demikian hawa gusar dan dongkolnya masih terpendam dalam hati.

Kini menyaksikan Liok Hoo melancarkan sebuah serangan kearahnya, hawa gusar serta rasa dongkol yang mengganjal dalam dadanya segera disalurkan keluar kearah dayang tersebut.

Telapak kanannya dengan cepat diayun melancarkan sebuah serangan dengan sepenuh tenaga.

Blaaam….! bentrokan keras itu menimbulkan suara getaran yang memekikkan telinga.

Liok Hoo berseru tertahan, badannya tergetar mundur empat lima langkah kebelakang.

Pek Bwee segera meloncat mundur kebelakang sambil menegur dengan suara keras, “Adikku, apakah lukamu parah?”

Sambil berkata ia segera mengundurkan diri keruang sebelah utara.

“Siauw heng, tindakanmu melepaskan kedua orang dayang itu benar-benar hebat sekali” terdengar Ceng Yap Chin menjengek dengan suara sinis. “Keramah tamahan serta belas kasihanmu membuat siauwte merasa sangat kagum!”

Siauw Ling mengerti bahwasanya jago muda dari Bu tong pay ini pasti merasa tidak puas karena dia telah melepaskan kedua orang dayang itu, maka ia cuma tersenyum belaka tanpa menanggapi ucapannya.

“Cuma saja…. kelicikan serta kejahatanmu sudah merajalela dikolong langit” ujar jago muda dari Bu tong pay itu lebih jauh. “Kebajikan serta welas kasih dari Siauw thayhiap itu, sama sekali tidak sesuai bagi tindakan seorang calon pemimpin Bulim.”

“Walaupun kita tetap menahan kedua orang dayang itupun tiada gunanya, bahkan mereka hanya bakal merepotkan kita saja, apa salahnya kalau dilepaskan saja?” ujar Siauw Ling.

“Siauw heng mengasihani musuh belum tentu pihak lawan mengasihani dirimu melepaskan kedua orang dayang itu bukanlah berarti melepaskan harimau pulang gunung….”

Belum habis dia berkata tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking berkumandang datang.

“Cepat terjang kesana!” seru Siauw Ling sambil menerjang lebih dahulu. Ceng Yap Chin, Sang Pat serta Tu Kioe tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti dari belakang menerjang keruang sebelah utara.

Terdengar suara desiran tajam berkumandang datang dari ruang sebelah selatan senjata rahasia bagaikan hujan badai meluncur ketengah lapangan.

Siauw Ling seger putar mayat yang berada ditangannya sebagai tameng teriaknya, “Cepat terjang kedalam!”

Gerak gerik keempat orang cepat laksana kilat, dalam sekejap mata mereka sudah jauh meninggalkan daerah jangkauan yang sanggup dicapai senjata rahasia yang dilepaskan dari arah selatan itu. Meskipun serangan senjata rahasia masih tiada hentinya namun sudah tidak seberapa lagi.

Siauw Ling segera putar mayat ditangannya untuk membendung senjata rahasia itu, sedangkan Ceng Yap Chin sekalian dengan meminjam kesempatan itu naik keatas undak-undakan batu.

Dalam keadaan begini seandainya dari dalam ruangpun melepaskan senjata rahasia dalam jarak tidak mencapai satutombak itu sekalipun ilmu silat Siauw Ling sekalian lebihpun niscaya akan terluka dibawah serangan senjata rahasia beracun itu.

Tapi suasana dalam ruangan itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, tak sebatang senjata rahasiapun yang disambit keluar. Setelah membendung datangnya senjata rahasia itu, Siauw Ling cepat-cepat ikut meloncat naik keatas undak-undakan.

Tampaklah Sang Pat, Tu Kioe serta Ceng Yap Chin dengan senjata terhunus masing-masing berdiri sejajar ditepi ruangan.

“Kenapa cuwi sekalian tidak segera masuk kedalam ruangan?” tegur Siauw Ling.

“Kami menanti diri Siauw thayhiap!”

Si anak muda itu tidak membuang waktu sekali lagi, ia tendang jebol pintu ruangan itu dan segera menerobos masuk kedalam.

Terdengar suara bisikan seorang gadis yang lirih dan lemah berkumandang datang, “Silahkan cuwi sekalian masuk kedalam!”

Suara itu dipancarkan oleh Pek Bwee tapi lirih dan lemah, jelas ia sudah menderita luka parah.

Dengan telapak kiri disilangkan didepan dada Siauw Ling segera menyelinap masuk kedalam ruangan, diikuti Sang Pat serta Tu Kioe dibelakangnya.

Tu Kioe segera membuat obor untuk menerangi suasana dalam ruangan tersebut.

Tampaklah empat orang lelaki berpakaian ringkas menggeletak mati ditengah ruangan sekujur tubuh Liok Hoo pun tertancap jarum-jarum beracun, napasnya telah berhenti sejak tadi, sedangkan Pek Bwee menggeletak disisinya, iapun berada dalam keadaan kritis.

Pandangan yang terbentang didepan mata saat ini benar-benar mengenaskan sekali, kedua orang dayang itu telah menggunakan jiwa serta darahnya untuk menyelamatkan jiwa Siauw Ling berempat.

Dengan cepat Siauw Ling berjongkok keatas tanah untuk membopong tubuh Pek Bwee, ujarnya, “Nona, parahkah luka yang kau derita?”

“Aku sudah tak berguna” jawab pek Bwee sambil gelengkan kepala. “Aku harap Siauw thayhiap tak usah memikirkan diriku, dikemudian hari aku hanya berhadap kau bisa membinasakan Djen Bok Hong untuk membalaskan dendam sakit hatiku.”

Siauw Ling menghela napas panjang.

“Aaai…. andaikata nona tidak membantu kami sekalian tidak nanti kau menderita luka yang demikian parahnya, aku orang she Siauw pasti akan membantu dengan segenap tenaga untuk menyelamatkan jiwa nona.”

Kembali Pek Bwee menggeleng.

“Tak ada gunanya…. aai. alat rahasia yang dipasang dalam ruangan ini sudah kuhancurkan semua. Kalian larilah dari jendela belakang dan berjalanlah mengikuti serambi samping, jangan sampai tersorot oleh cahaya lampu diluar. Asal kalian telah sampai diujung serambi dan melewati tembok penghalang, maka jiwa kalian pasti selamat.”

Bicara sampai disana ia berhenti. Sementara napasnya makin tersengkal-sengkal.

Melihat gadis itu sudah pejamkan matanya rapat-rapat, seolah-olah sudah tak sanggup mempertahankan diri lagi, ia segera salurkan hawa murninya lewat punggung dara tersebut. Segulung aliran panas dengan cepat menerjang masuk ketubuh Pek Bwee lewat jalan darah Beng Boen Hiatnya.

Pek Bwee menghembuskan napas panjang.

“Benarkah kau adalah Siauw Ling, Siauw thayhiap?” tiba-tiba ia bertanya kembali.

“Sedikitpun tidak salah.”

“Bolehkan aku menyaksikan wajah Siauw thayhiap yang asli sebentar?”

“Tentu saja!” sambil berkata si anak muda itu segera melepaskan topeng yang ia kenakan diwajah.

Pek Bwee mengepos segenap tenaganya untuk memandang beberapa saat wajah Siauw Ling kemudian bisiknya lirih, “Baik-baiklah menjaga adik Giok Lan ku itu!”

Habis berkata badannya melayang mengejang kencang…. diikuti matanya terpejam dan melayanglah jiwa dara itu kembali keakherat.

Dengan sedih, Siauw Ling menghela napas panjang, ia baringkan jenasah Pek Bwee keatas tanah kemudian berkata, “Setelah menerjang masuk kedalam ruang ini, ia pasti telah melancarkan serangan mautnya secara tiba-tiba. Dua orang itu berhasil dia hadapi sekalian sementara dua orang lainnya tentu sudah melepaskan tabung senjata rahasianya untuk melukai Liok Hoo, dalam keadaan luka kedua orang itu berhasil dibunuh dayang tadi sehingga akhirnya dia sendiri mati karena keracunan, sedang Pek Bweepun terluka parah dalam pertarungan itu….”

“Kegagahan nona berdua amat mengagumkan hati aku orang she Sang” kata Sang Pat secara tiba-tiba. “Disini aku ucapkan banyak terima kasih atas budi yang telah kalian lepaskan untuk menolong jiwa kami.”

Habis berkata ia segera jatuhkan diri berlutut didepan jenasah kedua orang dayang tadi kemudian menjalankan penghormatan besar.

Ceng Yap Chin melirik sekejap kearah Siauw Ling rasa jengah dan sesal terlintas diatas wajahnya, beberapa saat kemudian ia baru berkata, “Siauwte telah salah memandang perbuatan mulia nona bedua, atas pertolongan kalian berdua disini aku minta maaf dan ucapkan banyak terima kasih” kepada kedua sosok jenasah itu, diapun memberi hormat dalam-dalam.

ooooo0ooooo

Perlahan-lahan Siauw Ling menghela napas panjang.

“Suatu saat kita berhasil membinasakan Djen Bok Hong, harap kalian berdua jangan lupa bersembahyang untuk arwah kedua orang nona itu….!”

“Siauwte akan mengingatnya selalu.”

“Aaai, mari kita berlalu, kita tak boleh menyia-nyiakan pertolongan dari kedua orang nona itu yang mana telah mengorbankan jiwanya!”

Habis berkata ia segera berlalu lebih dahulu.

Demikianlah beberapa orang itu segera membuka jendela belakang sesuai dengan pesan terakhir dari Pek Bwee, disana mereka benar-benar menjumpai sebuah serambi panjang.

Dengan mengerahkan hawa murninya Siauw Ling menjebol terali besi diatas jendela itu kemudian bergerak menuju kearah barat.

Ketika tiba disudut ruangan, mendadak terasa sekilas cahaya tajam menyambar datang, tahu-tahu sebilah golok telah membabat kearah tubuhnya.

Dengan cepat Siauw Ling ayun tangan kanannya menyambar golok tadi,sekali betot bersama orangnya segera diseret keluar dari tempat persembunyiannya.

Ceng Yap Chin yang ada didekat si anak muda itu cepat mencabut keluar pedangnya sekali tebas lengan kanan orang itu seketika tertebus kutung jadi dua bagian.

Orang itu menjerit kesakitan cepat-cepat badannya berputar dan menubruk kearah dinding…. duk, dinding tadi berputar dan mendadak bayangan tubuhnya lenyap tak berbekas.

Rupanya dibalik dinding tersebut terdapat sebuah alat rahasia yang bisa memutar dinding tadi.

Sekarang Sang Pat baru jadi paham duduknya perkara, ia lantas berseru, “Oh kiranya begitu, tidak aneh kalau lenganku terbacok oleh senjata lawan tanpa kujumpai musuhnya, ternyata mereka mengirim bacokan dari balik dinding rahasia….”

Sementara berbicara mereka sudah tiba diujung ruangan, Siauw Ling segera enjotkan badan melayang keluar dari dinding pemisah.

Tampaklah diluar dinding tadi merupakan sebuah kebun bunga yang tenang dan indah.

Bayangan manusia berkelebat lewat, Sang Pat, Tu Kioe serta Ceng Yap Chin pun secara beruntun telah melayang keluar.

“Ehm, tempat ini agak kurang beres” bisik Sang Pat. “Lebih baik kita segera berlalu dari sini.”

Dengan menempel disisi dinding ia lantas bergerak menuju kearah barat.

“Kalau ditinjau keadaan dari kebun ini jelas kebun bunga milik seorang hartawan atau orang berpangkat” batin Siauw Ling. “Tapi…. apa sebabnya ia bertetangga dengan gedung Sam Kang Soe Gie? sungguh aneh.”

Setibanya diujung tembok sebelah barat mereka segera melayang keluar, tampak cahaya lampu terang benderang. Orang yang berlalu lalang masih ramai sekali, ternyata mereka sudah tiba kembali didepan gedung Sam Kang Soe Gie tersebut.

Dalam beberapa kali loncatan beberapa orang itu sudah tiba disisi kereta berkerudung, dengan cepat mereka berloncatan masuk kedalam, sementara kereta itupun cepat-cepat berlalu meninggalkan tempat itu.

“Kita mau pergi kemana?” ditengah jalan Siauw Ling bertanya.

“Mereka akan kemana?” keempat orang itu sama-sama tak bisa menjawab.

Perubahan yang terjadi digedung Sam Kang Soe Gie jauh berada diluar dugaan keempat orang itu, maka rencana yang telah disusun sebelumnyapun rasanya tak bisa dipergunakan lagi.

Setelah hening kurang lebih seperminum teh lamanya, Ceng Yap Chin baru berkata, “Sekarang kita telah dapat membuktikan bahwa gedung Sam Kang Soe Gie adalah markas dari Djen Bok Hong untuk mengumpulkan mata-matanya, menurut pendapat siauwte lebih baik kita berjumpa dahulu dengan Soen Loocianpwee sekalian kemudian baru singkirkan gedung Sam Kang Soe gie ini dari permukaan bumi.”

“Walaupun dalam gedung itu telah dipasang alat rahasia, tidak terlalu sulit untuk menghancurkannya” sahut Siauw Ling. “Yang jadi persoalan bagi kita sekarang adalah andaikata gedung tersebut kita hancurkan. Apakah Djen Bok Hong tidak dapat membangun lagi sepuluh buah gedung seperti Sam kang Soe gie? orang itu licik dan berbahaya, perbuatannya jauh diluar perikemanusiaan, maka satu-satunya jalan adalah berusaha melenyapkan gembong iblis itu dari permukaan bumim setelah dia lenyap rasanya tidak sulit bagi kita untuk membasmi anak buahnya.”

“Memang tepat sekali ucapanmu itu, tapi gampangkah kita melawan apalagi membinasakan Djen Bok Hong?”

Mendadak Sang Pat melancarkan sebuah totokan kilat kearah lelaki yang bertindak sebagai kusir itu.

Ceng Yap Chin dapat mengikuti gerakan itu dengan jelas, ia jadi terperanjat, buru-buru tangan kanannya menyapu kearah urat nadi Sang Pat, bentaknya, “Sang heng, apa maksudmu?”

Tampak lelaki itu putar badan melancarkan sebuah pukulan kilat, kemudian sekali genjot badan melayang ketengah udara dan lenyap dibalik kegelapan.

“Oooh sayang…. sayang….” seru Sang Pat sambil geleng kepala.”

Ceng Yap Chinpun sudah menyadari apa yang telah terjadi, ia jadi melengak.

“Orang itu adalah….”

“Anggota perkampungan Pek Hoa San cung yang menyaru sebagai kusir.”

“Aah, kalau begitu murid partai kami yang menyaru sebagai kusir tentu sudah mengalami bencana?”

“Sekalipun tidak mati, paling sedik jalan darahnya telah tertotok!”

“Aaai…. pengalaman Sang heng benar-benar amat luas, siauwte merasa menyesal dan malu sendiri….”

Sang Pat tidak menanggapi ucapan tersebut ia kirim satu pukulan menghajar lubang penutup kereta setelah itu serunya, “Ayoh kita segera berangkat keluar dari kereta ini” sambil berkata ia loncat lebih dulu.”

Siauw Ling, Tu Kioe serta Ceng Yap Chin secara beruntun ikut meloncat keluar.

Tampaklah kereta tadi dengan cepatnya masih meneruskan larinya menuju kearah depan.

Memandang bayangan sang kereta yang lepas ditengah kegelapan, Sang Pat menghela napas panjang.

“Setelah kukatakan keluar sebenarnya banyak titik kelemahan yang kita dapatkan, bila Ceng heng perhatikan lebih seksama maka kaupun akan menemukan pula tanda-tanda yang mencurigakan….”

“Bagi siauwte rasanya kecuali memberikan raut wajahnya dengan cermat untuk mengetahui siapakah dia, rasanya tiada cara lain untuk menemukan tanda-tanda yang mencurigakan.”

“setelah kita naik kedalam kereta, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia sudah kabur kekereta, hal ini merupakan kecurigaan yang pertama, kemudian siauwte melihat rute yang diambil adalah jalan gunung yang sepi, dalam hati aku lantas punya dugaan bahwa delapan puluh persen dia pasti mata-mata, maka aku lantas melancarkan serangan totokan, siapa tahu Ceng heng telah menghalangi tindakanku itu.”

“siauwte merasa amat menyesal atas kesalahanku itu.”

“Seandainya Ceng heng tidak menghalangi. Rasanya cayhe pasti akan menghalangi perbuatan saudara Sang” sela Siauw Ling. “Kesalahan yang tak disengaja ini apa gunanya disesalkan.”

Dalam pada itu Tu Kioe telah memeriksa keadaan disekeliling tempat itu. Ia jumpai tempat mana bukan saja sunyi dan sepi, bahkan dari kejauhan secara lapat-lapat terdengar deburan ombak menggulung ketepian, alisnya kontan berkerut.

“Aku rasa orang itu melarikan keretanya datang kemari. pasti bukannya tanpa disadari oleh alasan.”

“Benar, dia pasti mempunyai suatu maksud yang tertentu!”

Mendadak…. dari arah depan jalan berkumandang datang suara langkah manusia.

“Ada orang datang!”

Ceng Yap Chin segera mencabut keluar pedangnya.

“Mungkin orang itu telah balik kembali sambil membawa bala bantuan, bila kita berhasil tangkap merek. Aku rasa duduknya tidak sukar untuk diketahui.”

Rupanya setelah merasa menyesal karena ia menghalangi tindakan Sang Pat untuk menotok jalan darah mata-mata itu, sekarang ia berharap bisa memberi jasanya untuk menawan kembali orang tadi.

Tampak dua sosok bayangan manusia dalam waktu singkat telah tiba dihadapan beberapa orang itu.

Sekilas memandang Siauw Ling segera mengenali beberapa orang itu sebagai anggota perkumpulan Kay pang, sebab mereka memakai pakaian pengemis dan masing-masing membawa sebuah toya.

Setelah mengalami pengalaman pahit tempo dulu, Siauw Ling jauh lebih waspada terhadap setiap orang. Walaupun orang-orang itu memakai pakaian pengemis namun kewaspadaannya sama sekali tidak kendor.

Tampak pengemis yang ada disebelah kiri menegur, “Apakah kau adalah Siauw thayhiap?”

Sebelum si anak muda itu menjawab, Sang Pat telah tampil kedepan sambil bertanya, “Ada urusan apa?”

Pengemis itu memperhatikan diri Sang Pat kemudian sahutnya, “Aku sipengemis kecil mendapat perintah dari Soen tiangloo untuk mengundang Siauw thayhiap pergi menolong seseorang.”

“Menolong siapa?” tanya Siauw Ling tertegun.

“Empat pujangga besar dunia persilatan terjebak dalam perangkap Djen Bok Hong karena keadaan yang sangat memaksa Soen tiangloo serta Boe Wie Tootiang telah berangkat kesana untuk memberi bantuan, tapi karena takut kekuatan mereka tidak memadahi, maka kami segera diutus pergi kegedung Sam Kang Soe Gie untuk kabarkan kepada Siauw thayhiap agar segera pergi memberi bantuan!”

“Oooh, ternyata telah terjadi perubahan diluar dugaan” batin Sang Pat didalam hati. “Tidak aneh kalau tak seorang manusiapun datang menyambut kami….!”

Dalam pada itu terdengar Ceng Yap Chin telah menegur dengan nada dingin, “Bukankah kalian berdua diperintahkan untuk pergi kegedung Sam Kang Soe Gie? kenapa kamu sekalian tahu kalau kami berada disini.”

Setelah keteledorannnya mengakibatkan mata-mata musuh terlepas, kali ini jago muda dari partai Bu tong pay ini bertindak jauh lebih berhati-hati.

Pengemis berusia setengah baya itu tersenyum jawabnya, “Sewaktu kami tiba diluar gedung Sam Kang Soe Gie telah berjumpa dengan seorang tukang ramai, dialah yang memberi petunjuk kepada kami untuk menyusul kemari.”

“Ooh, orang itu pastilah Suma Kan” batin Siauw Ling. “Jelas mereka tidak berbohong” maka segera tanyanya, “Sekarang mereka berdua dimana?”

“Dalam kuil keluarga Loo sie!”

“Baik, harap kalian berdua suka membawa jalan buat kami.”

Kedua orang pengemis itu segera menggerakkan badannya berkelebat menuju kearah sebelah tenggara.

Begitulah keempat orang itupun dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh menyusul dari belakang.

Setelah berjalan kurang lebih tujuh delapan li, mendadak kedua orang pengemis tadi berhenti.

Orang yang ada disebelah kiri segera menuding kearah bangunan rumah disebelah depan katanya, “Itulah kelenteng keluarga Loo sie!”

“Kalian tidak sekalian ikut kesitu?”

“Kami harus segera kembali keloteng Oen Hok Loo untuk menjalankan perintah lain” jawab kedua orang pengemis itu dengan hormat. “Lagipula Soen tiangloo telah melarang lami untuk ikut masuk kedalam kuil tersebut.”

Tanpa menanti jawaban dari Siauw Ling lagi, mereka segera berlali dari sana.

“Bagaimana? apakah kita perlu masuk kedalam?” tanya Siauw Ling kemudian.

“Rasanya kita harus masuk kedalam kuil itu, dan pakaian-pakaian pernyaruan kitapun rasanya sudah tak berguna lagi.”

Maka para jagopun melepaskan pakaian luar mereka kemudian meneruskan perjalanannya menuju kebangunan rumah itu.

Setelah menaiki undak-undakan yang terdiri dari tujuh tingkat, sampailah mereka didepan pintu kuil yang tertutup rapat, suasana dalam kuil itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, hal ini membuat hati mereka jadi tercengang, segera pikirnya, “Aneh, kenapa suasananya sepi? jangan-jangan empat pujangga besar dari dunia persilatan telah dicelakai orang?”

Berpikir demikian pintu kuil segera didorongnya kebelakang.

Kraak….! pintu besar itu terbuka lebar, dibalik pintu adalah sebuah halaman yang ditumbuhi oleh rumput ilalang, keadaannya kotor dan sama sekali tidak terawat.

Setelah melewati tanah ilalang itu sampailah mereka didepan sebuah ruangan dengan dua pintu.

Sang Pat segera berebut berjalan lebih dahulu didepan Siauw Ling, katanya, “Keadaan disini sedikit tidak beres, harap toako suka bertindak lebih hati-hati!”

Sambil berkata telapaknya bergerak menghantam pintu kayu dihadapannya…. duuk! serangan yang dilancarkan dengan sekuat tenaga ini membuat pintu itu terpentang lebar.

Suasana dalam ruangan gelap gulita, namun tidak terlihat juga tanda-tanda yang mencurigakan.

“Toako!” bisik Sang Pat. “Menurut laporan pengemis anak murid perkumpulan Kay pang tadi, Soen loocianpwee serta Boe Wie Tootiang telah tiba disini, kenapa sampai sekarang belum juga nampak gerak gerik mereka, lagipula empat pujangga besar dunia persilatan sudah lama mengasingkan diri dari dunia persilatan, meski tak pernah mencampuri urusan keduniawian namun ilmu silat mereka jauh lebih sempurna, sekalipun Djen Bok Hong berhasil mengurung mereka belum tentu dapat membinasakan mereka sekaligus, apa sebabnya merekapun tak kedengaran?”

“Benar, keadaan ditempat ini memang sangat mencurigakan….” sahut Siauw Ling dengan alis berkerut.

Setelah merandek sejenak ujarnya lagi, “Harap cuwi sekalian suka menanti sejenak disini, biarlah cayhe masuk kedalam lebih dahulu.”

“Biarlah siauwte yang akan membukakan jalan bagi toako!” sambung Tu Kioe cepat, tanpa menunggu persetujuan dari Siauw Ling lagi, ia berjalan lebih dahulu kedalam ruangan.

Siauw Ling tahu bahwa tindak tanduknya itu tidak lain lalu demi keselamatannya, ia tidak tega untuk menghalangi maksud baik orang, maka dengan cepat diapun menyusul dari belakang.

“Delapan depa setelah mereka berlalu kita baru menyusul” bisik Ceng Yap Chin. “Hati-hati dengan serangan senjata rahasia.”

Sesudah mengalami pertempuran sengit digedung sam Kang Soe Gie, Sang Pat telah menyadari bahwa musuh tangguh yang mereka hadapi sekarang adalah manusia-manusia sadis yang kejam, tidak berperikemanusiaan berakal cerdik serta berkepandaian silat tinggi. Tentu saja ia tak berani bertindak gegabah, dari dalam sakunya dia merogoh keluar senjata sie poa emasnya.

Ceng Yap Chin sendiri mengalihkan pedangnya ketangan kiri, sedang tangan kanannya mempersiapkan dua bilah pedang Chiet Siauw Kiam.

Sementara mereka berdua telah mempersiapkan diri, Siauw Ling serta Tu Kioe telah berada kurang lebih delapan depa jauhnya.

Begitulah dengan penuh kewaspadaan dan berhati-hati keempat orang itu perlahan-lahan bergerak kedalam, namun sedemikian jauh belum juga nampak sesuatu gerakan apapun.

Tu Kioe mengirim satu tendangan kilat menghajar pintu ditengah ruangan, hingga membuat dinding disekelilingnya bergetar keras.

Pintu itu meski kuat namun tak tertahan oleh tendangan Tu Kioe, diiringi suara keras segera terpentang lebar.

Setelah menerjang masuk kedalam ruangan, Tu Kioe membuat api sebagai penerangan.

Dibawah sorot cahaya obor, tampaklah ruangan itu kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Hal ini membuat hati Tu Kioe menjadi mendongkol, makinya, “Pengemis-pengemis bau itu betul-betul manusia keparat kalau aku Tu Loo sam berhasil menemukan mereka kembali, pasti akan kusuruh mereka rasakan penderitaan yang paling hebat.”

Siauw Ling sendiripun merasaamat mendongkol ketika dijumpainya dalam ruangan itu sama sekali tidak tertinggal tanda-tanda berkelahi, pikirnya, “Entah, apa maksud tujuan kedua orang pengemis itu memancing kami kemari, seandainya dia adalah anak buah Djen Bok Hong, seharusnya setelah memancing kita kemari, sekitar ruangan ini pasti sudah dipersiapkan jebakan, tapi disini tiada pula jebakan entah apa maksudnya.”

Dalam pada itu Sang Pat serta Ceng Yap Chin pun telah tiba pula dalam ruangan.

“Apakah perbuatan mereka merupakan siasat memancing harimau turun gunung….” gumam Sang Pat sambil memandang kelangit.

Mendadak…. terdengar suara rintihan lirih berkumandang datang memecahkan kesunyian yang mencekam sekeliling tempat itu.

Air mata Tu Kioe berubah hebat, dengan cepat dia alihkan cahaya obor itu kearah mana berasalnya suara rintihan tadi.

“Siapa disitu?” bentak Siauw Ling.

“Aa…. aku…. aku…. sii…. sipengemis ci…. cilik.”

Siauw Ling merasa sangat mengenal suara tadi, segera teriaknya tertahan, “Apakah kau adalah saudara Peng?”

“Benar…. aku…. aku adalah Peng Im!”

“Dia ada dibelakang meja” bisik Tu Kioe.

“Biarlah aku yang menyambut dirinya” seru Siauw Ling sambil melampaui diri Tu Kioe dengan langkah lebar ia berjalan kebelakang meja kemudian menyeret keluar seseorang.

Tapi dengan cepat ia berdiri tertegun, sebab orang yang diseretnya keluar tadi memakai pakaian Boesu perkampungan Pek Hoa San cung.

“Siapakah kau?” bentak Siauw Ling.

“Peng Im” rupanya orang itu menderita luka parah, suasananya lemah dan lirih sekali.

Dari nada suara tersebut Siauw Ling dapat mengenali bahwa suara itu memang suaranya Peng Im, maka ia bertanya lebih jauh, “Kalau kau adalah saudara Peng, kenapa memakai pakaian boesu perkampungan Pek Hoa San cung?”

“Lukaku sangat parah dan tiada bertenaga untuk bicara…. cepat…. cepat kebelakang untuk menolong orang.”

“Menolong siapa?”

“Empat pujangga besar dunia persilatan serta Boe Wie Tootiang….”

“Sekarang mereka berada dimana?” Siauw Ling merasa amat terperanjat sekali.

“Tidak jauh dibelakang kuil….” bicara sampai disitu Peng Im jatuh tidak sadarkan diri.

Siauw Ling segera alihkan sinar matanya kearah Tu Kioe, ujarnya, “Kau tetap tinggal disini menjaga Peng heng. Gunakanlah tenaga dalammu untuk menyembuhkan luka dalam yang ia derita, sedang aku akan memeriksa keadaan belakang.”

Sambil berseru ia putar badan mengundurkan diri dari ruangan.

Ceng Yap Chin serta Sang Pat yang berdiri didepan pintu dapat mendengar pembicaraan itu dengan jelas, begitu mendengar suhengnya menemui kesukaran, tanpa mengundang diri Sang Pat lagi buru-buru ia menyusul dibelakang Siauw Ling.

“Tu Loo sam” pesan Sang Pat dengan suara lirih. “Setelah pengemis cilik ini rada baikan, bawalah dia meninggalkan tempat ini dan tunggulah kami dikedai penjual tahu.”

Tu Kioe mengangguk, sambil membopong tubuh Peng Im sigulung angin ia mengundurkan diri kesudut ruangan, disana ia salurkan hawa murninya untuk menguruti dada pengemis itu.

Sedangkan Sang Pat sendiri segera menyusul dibelakang Ceng Yap Chin.

Sementara itu Siauw Ling yang bergerak lebih dahulu, dalam sekejap mata sudah tiba dibelakang kuil.

Dibelakang kuil merupakan sebuah kolam yang besar, air beriak dibawah sorot bintang namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun.

Siauw Ling jadi tercengang pikirnya, “Kalau kedua orang pengemis Kay pang itu mungkin bohong, tapi apakah sigulung Peng Impun membohongi aku?”

“Saudara Siauw!” terdengar Ceng Yap Chin berbisik dari samping. “Suhengku sekarang ada dimana?”

“Cayhepun sedang mencari!”

“Kecuali Djen Boh Hong telah menunjuk seseorang untuk berlatih menirukan logat bicara sisegulung angin Peng Im, rasanya tak mungkin ada orang mempunyai logat yang sama seperti dia” kata Sang Pat.

“Jadi orang itu pasti Peng Im?”

“Tak bakal salah lagi.”

“Peng Im adalah seorang enghiong, tidak nanti dia membohongi kita, ayoh kita cari lagi dengan seksama.”

“Sepanjang pandangan cuma air kolam kemana kita musti cari orang?” pikir Ceng Yap Chin.

Mendadak terdengar gelak tertawa yang sangat panjang berkumandang datang dari tengah kolam, suara itu serak dan dingin menyeramkan membuat orang mendengar jadi bergidik, seluruh bulu ruma pada bangun berdiri.

“Aah, Djen Bok Hong!” seru Siauw Ling.

“Sedikitpun tidak salah!” terdengar dari tengah kolam berkumandang datang suara sahutan.

“Orang ini benar-benar mempunyai banyak akal licik” pikir si anak muda itu didalam hati. “Entah bagaimana ia bisa berada ditengah kolam….?”

Sementara dalam hati berpikir demikian, diluaran ia telah berseru dengan nada dingin, “Bersembunyi didalam air bukan satu perbuatan yang sukar, rasanya tak berharga bagimu untuk main setan.”

“Apakah saudara Siauw ingin juga mengunjungi keatas sampan siauw heng….?” seru Djen Bok Hong bergema lagi.

Siauw Ling memandang lurus kedepan, ia rasa keadaan ditengah kolam gelap gulita tiada nampak bayangan manusia, maka sahutnya, “Kita sudah saling berjumpa muka, rasanya kaupun tak perlu main petak dengan diriku lagi….”

Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, dari tengah kolam tiba-tiba muncul cahaya lampu disusul tampaklah sebuah sampan.

Perahu itu bentuknya aneh, seluruh kapal berbentuk persegi empat, berkelebatnya bayangan manusia diatas sampan kelihatan amat jelas sekali.

“Ooh kiranya begitu” tiba-tiba Sang Pat berbisik. “Setelah menghentikan sampan ditengah kolam lalu menggunakan kain minyak yang tebal untuk menutupi cahaya bintang dengan sendirinya keadaan mereka jadi amat samar. Hmm, sebelumnya tak sampai pikiranku kesitu sehingga dengan gampangnya berhasil dikelabuhi….”

Tampak Djen Bok Hong berdiri diujung geladak, serunya lantang, “Bagaimana kalau cuwi sekalipun dipersilahkan naik keatas sampan?”

“Aku rasa diatas sampan Djen Toa cungcu tentu sudah hadir banyak orang?”

“Haah…. haah…. hanya seorang pengemis tua, seorang toosu tua hidung kerbau serta empat orang tamu agung yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan walaupun mereka tak pernah muncul dalam Bulim.”

“Empat pujangga besar dunia persilatan?” tanya Siauw Ling.

“sedikitpun tidak salah, berkat bantuan orang-orang Kay pang ternyata ketajaman mata serta pendengaran saudara Siauw betul-betul hebat.”

“Heem, siauwte dengan senang hati ingin sekali berkunjung keatas sampan Djen toa cungcu!”

Diam-diam Siauw Ling mengukur jarak sampan dengan tepian. Ia rasa jarak sejauh lima enam tombak tidak gampang dilalui orang kalau tidak dibantu ditengah jalan, meski baginya dengan ilmu ginkang “Teng Peng Tok swie” masih sanggup untuk melewati jarak sebegitu jauh, tapi ia tak tahu apakah Sang Pat serta Ceng Yap Chin sanggup mengikuti jejaknya.

Karena berpikir demikian, ia lantas berseru dengan suara keras, “Apabila Djen Toa cungcu mau mengirim sampan untuk menyambut kami, hal ini jauh lebih bail lagi.”

“Harap saudara Siauw menanti sejenak!” habis berkata ia ulapkan tangannya.

Terdengar dayung membelah air, sebuah sampan kecil dengan cepatnya bergerak menuju ketepian.

“Harap kalian berdua hati-hati sedikit.” bisik Siauw Ling kepada Sang Pat berdua. “Makanan serta minuman yang ada diatas sampan jangan disentuh.”

Sementara itu sampan kecil tadi sudah tiba ditepi pantai.

Diatas sampan duduk dua orang lelaki berpakaian ringkas, meskipun badannya kekar namun tiada senjata tajam yang digembol.

“selamat datang Sam cungcu!” kata kedua orang lelaki itu sambil memberi hormat.

“Hmm, cayhe Siauw Ling sudah bukan Sam cungcu kalian lagi!”

“Toa cungcu berpesan agar hamba sekalian menyebut demikian, hamba tidak berani membangkam.”

Siauw Ling tidak menggubris kedua orang itu lagi, ia segera melangkah naik keatas sampan.

Sang Pat serta Ceng Yap Chinpun dengan cepat mengikuti dibelakang si anak muda itu.

Demikianlah kedua orang lelaki berbaju hitam itu segera mendayung sampan tadi menuju kearah perahu besar.

Djen Bok Hong yang tinggi besar dan bongkok itu dengan serius bediri diujung geladak, ketika sampan kecil bergerak mendekat, ia segera ulurkan tangannya kedepan.

“Samte baik-baikkah dirimu selama ini?” dia menyapa.

Siauw Ling berkelit kesamping lalu loncat naik keatas perahu.

“Aku tidak berani merepotkan diri Djen Toa cungcu!”

Ia mengerti bagaimana wataknya Djen Bok Hong yang keji dan tidak kenal malu. Ia takut dalam sentuhan jari-jari tangan mereka kemungkinan besar iblis itu melepaskan racun.

Sementara kemudian Ceng Yap Chin serta Sang Patpun telah meloncat naik keatas perahu membuntut dibelakang si anak muda itu.

Berhadapan dengan Djen Bok Hong gembong iblis yang paling disegani dalam dunia persilatan, hati ketiga orang itu sama-sama terasa berat, rasa was-was selalu menyelimuti benak mereka, karena mereka takut secara mendadak orang itu melancarkan bokongan.

perlahan-lahan Djen Bok Hong memutar tubuhnya dua sorot cahaya tajam memancar keluar dari matanya dan menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam.

“Saudara Siauw!” katanya. “Aku merasa sikapmu terhadap diriku rupanya asing sekali.”

“Cayhe tidak berani terlalu meninggalkan derajatku.”

“Hmm, kau harus tahu bahwa kesabaran seseorang ada batasnya, kalau saudara terlalu memaksa diriku terus menerus, jangan salahkan kalau akupun akan melupakan hubungan persaudaraan kita tempo dulu.”

“Sudah berulang kali Djen Toa cungcu melancarkan serangan keji terhadap diriku, rasanya aku orang she Siauwpun tidak semestinya bertindak sungkan-sungkan lagi kepadamu.”

Djen Bok Hong mendengus dingin.

“Hmm! manusia yang tak tahu diri….” ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi. “Namun aku orang she Djen selamanya menganggap bahwa keputusan manusia jauh bisa menangkan takdir!”

“Kecerdikan Djen Toa cungcu melebihi manusia biasa, kepandaian silatmu tiada tandingan dikolong langit, mungkin saja kau mempunyai kemampuan itu!”

“Kau terlalu memuji, sahabat karibmu Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang semuanya ada didalam ruang perahu, aku rasa saudara Siauwpun semestinya masuk kedalam ruang perahu untuk memeriksa keadaan mereka.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar