Rahasia Istana Terlarang Jilid 19

Jilid 19

Sementara itu pelajar bertangan dingin telah tiba dipinggang gunung. Siauw Ling sadar apabila ia biarkan orang itu menyusup kedalam semak belukar maka sulit baginya untuk menyusul manusia licik itu. Hatinya jadi sangat gelisah, mendadak ia mengepos tenaga ilmu meringankan tubuh. “Pat Poh Kan san” dikerahkan hingga mencapai pada puncaknya…. dalam beberapa tombak saja dibelakang tubuhnya.

Ilmu meringankan tubuh dari Thian Tiong Goan memang lihay. Tetapi kalau dibandingkan nomor wahid dari kolong langit dia masih kalah satu tingkat, apalagi pada punggungnya harus menggendong Boe Wie Tootiang, semakin sulit lagi posisinya.

Maka setelah saling menerjang beberapa tombak lagi, Siauw Ling telah berada tujuh delapan depa dibelakangnya.

Siauw Ling segera siapkan pedangnya untuk mengirim tusukan maut, mendadak terdengar gelak tertawa yang amat nyaring berkumandang ditengah angkasa, diikuti seseorang berseru lantang, “Saudara Siauw, jangan kuatir. Orang ini tak akan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kita!”

Bersamaan dengan munculnya bentakan nyaring, tiba-tiba dari balik bukit meloncat keluar seorang pengemis tua berambut kusut.

Sekilas pandangan Siauw Ling segera kenali orang itu sebagai Soen Put Shia yang dikuatirkan selama ini, ia jadi tercengang, pikirnya, “Aneh…. kenapa mereka semua telah mengundurkan diri keatas gunung?”

Dalam pada itu tampaklah Soen put Shia teah ayunkan telapaknya mengirim satu pukulan dahsyat, sambil menghadang jalan pergi Thian Tiong serunya ketus, “Lepaskan toosu tua itu!”

“Hmm, tidak semudah itu kawan” sambil berseru orang she Thian inipun ayunkan tangan kanannya menyambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras.

Braak….! sepasang telapak saling beradu satu sama lainnya, Thiong Tiong Goan segera terdesak mundur satu langkah kebelakang.

Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah Siauw Ling menyusul kedepan, tangannya diayunkan dan segera melancarkan totokan dengan ilmu Siuw loe sin cian menghajar jalan darah Hoei Yang Hiat pada kaki kiri Thiong Tiong Goan.

Ilmu jari Sin Loo Cie merupakan salah satu ilmu kebanggaan Liuw San Cu. Selama puluhan tahun berdiam dalam lembah tiga rasul boleh dibilang segenap kemampuan serta pikirannya dipusatkan pada ilmu jari ini. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya ilmu tersebut setelah diajarkan sendiri kepada Siauw Ling.

Serentetan tenaga totokan tanpa mengeluarkan sedikit suarapun menyambar kedepan dan menghantam jalan darah Hoei Yang Hiat dikaki Thiong Tiong Goan orang itu secara mendadak merasakan kaki kirinya jadi kaku dan hampir-hampir saja roboh tertunduk diatas tanah.

Siauw Ling bertindak cepat tangan kirinya segera menyambar tubuh Boe Wie Tootiang dari tangannya. Sementara pedang ditangan kanannya menghantam kemuka…. Plaak! dengan telak menghajar sikut kanannya.

Tenaga kweekang yang dimiliki Thiong Tiong Goan benar-benar amat sempurna, meskipun jalan darah dikaki kirinya tertotok oleh ilmu Siuw Loo cie dari Siauw Ling namun lukanya bukan ditempat yang penting maka dia masih bisa mempertahankan diri. Tetapi setelah Siauw Ling menghajar sikutnya dengan pedang, dimana dalam hantaman tadi telah digunakan tenaga yang sangat besar. Ia tak sanggup mempertahankan diri lagi…. Blukk! tidak ampun lagi badannya segera jatuh keatas tanah.

Pedang Siauw Ling berkelebat memutuskan tali yang membelenggu tubuh Boe Wie Tootiang, sambil bekerja ujarnya, “Loocianpwee orang ini adalah salah satu dari manusia laknat yang bermukim di Lam Hay. Ilmu silatnya sangat lihay dan otaknya licik sekali. Baik-baiklah jaga dirinya agar jangan salah melarikan diri, aku hendak bebaskan dulu Boe Wie Tootiang dari pengaruh totokan.”

Selesai bicara tanpa menunggu jawaban lagi Siauw Ling letakkan Boe Wie Tootiang keatas tanah, dengan ilmu Tui Kiong Kok Hiat ia urut sekujur tubuh toosu tua itu.

Kurang lebih seperminum teh kemudian Boe Wie Tootiang baru membuka matanya dan menghembuskan napasnya panjang.

“siauw thayhiap, terima kasih atas pertolonganmu” bisiknya.

“Aaai….! Tootiang tak perlu sungkan-sungkan.”

Perlahan-lahan Boe Wie Tootiang bangkit berdiri, sambil melirik sekejap kearah Soen Put Shia katanya, “Apakah diantara rombongan Loocianpwee ada yang terluka?”

“Kecuali aku sipengemis tua, semua orang berada dalam keadaan terluka!” jawab Soen Put Shia dengan wajah serius.

Sepasang alis Siauw Ling segera berkerut sementara dia mau bicara Soen Put Shia telah keburu bicara lebih dahulu, “Ada satu persoalan yang belum kujelaskan yaitu simacan tutul berkepala sembilan Ong Hong telah dihajar orang sampai terjungkal kedalam jurang, dia mati dengan badan hancur lebur.”

“Bukankah Loocianpwee mengikuti terus dibelakang boanpwee?” tanya Siauw Ling.

“Ketika aku sipengemis tua melihat kalian masuk kedalam gubuk dan lama sekali tak ada sesuatu gerak gerik apapun aku lantas menggape Tiong Cho Siang Ku untuk bersama-sama memeriksa keadaan disitu, mendadak sebuah senjata rahasia menyambar datang dari empat penjuru bagaikan titiran hujan gerimis. Karena perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini hampir saja membuat aku sipengemis tua terhajar pula oleh senjata rahasia itu….”

“Jadi mereka semua terluka karena serangan senjata rahasia itu?”

“Yang terluka dalam hujan senjata rahasia itu adalah Suma Kan siperamal sakti dari timur serta Ong Hong dua orang. Sepasang pedagang dari Tiong chin benar-benar tidak malu disebut jagoan yang berpengalaman luas. Kewaspadaan mereka sangat tinggi melebih aku sipengemis tua, walaupun mereka berhasil meloloskan diri dari serangan senjata rahasia gelombang pertama. Namun disebabkan hendak melindungi Thio Kie An maka dalam serangan gelombang kedua mereka masing-masing terluka pula oleh senjata rahasia lawan! Aaaai….! dengan kemajuan yang dimiliki kedua orang itu. Seandainya bukan karena harus melindungi keselamatan Thio kie An, tidak mungkin mereka terluka oleh senjata-senjata itu.

“Senjata rahasia apakah yang digunakan pihak musuh? begitu lihaykah serangan tersebut?”

“Datangnya bagaikan hujan badai, semuanya merupakan senjata rahasia kecil semacam On Boe Tin, Bwee Hoa Ciam serta sebangsanya.”

Siauw Ling menghela napas panjang.

“Aaai….! dibawah hujan senjata rahasia yang demikian kejinya, sekalipun cuma satu dua orang yang melalukan seranganpun sudah sukar untuk menghindarkan diri, apabila terjebak dalam perangkap yang telah sengaja mereka atur benar-benar sulitnya bukan kepalang.”

“Begitu menyaksikan situasi tidak menguntungkan aku sipengemis tua segera turunkan perintah untuk mengundurkan diri keatas gunung tempat dimana terjadi pertarungan hanya terpaut enam tujuh tombak saja daerah pegunungan, setelah tiba diatas bukit mula-mula Suma Kan yang tak sanggup mempertahankan diri, dia roboh keatas tanah. terpaksa aku sipengemis tua harus membopong tubuhnya untuk mengundurkan diri!”

“Untung mereka tidak kirim orang untuk melakukan pengejaran” sela Siauw Ling.

“Siapa bilang tidak….” Soen Put Shia merandek sejenak, lalu terusnya: “Setelah kuperiksa keadaan luka dari Suma Kan, segera kuketahui bahwa ia sudah terkena senjata rahasia beracun, maka aku lantas punya pikiran, yaitu semua senjata rahasia yang telah dipergunakan pada hari itu semuanya telah dipolesi racun. mereka tidak beritahu aku pengemis tua dan akupun ogah banyak bertanya, dengan memimpin jalan kubawa mereka mundur terus kegunung dengan harapan bisa mendapatkan goa atau selat yang sempit untuk mereka beristirahat, dalam keadaan seperti ini aku tak bisa berpikir panjang lagi…. Aaaai! siapa tahu bukan saja goa dan selat tak berhasil kutemukan para pengejarpun telah tiba!”

“Siapa saja yang munculkan diri?”

“Belasan orang lelaki kekar baju hitam, ditangan mereka masing-masing membawa sebuah tabung yang berisi senjata rahasia Bwee Hoa Ciam serta sebangsanya serta sebilah senjata tajam yang beraneka ragam. Aku pengemis tua yang mula-mula memimpin perjalanan sekarang terpaksa harus berada dipaling belakang untuk membendung serangan musuh. Tu Kioe yang keracunan paksakan diri untuk menggendong Suma Kan yang berada dipunggungku. Tapi sayang racun yang mengeram didalam tubuh mereka telah bekerja, sehingga gerakan kami lambat sekali. Aku sipengemis tua tidak enak memaksa mereka lagi pula dipaksapun percuma maka baru saja mundur puluhan tombak musuh tangguh telah kami temui, dengan seorang diri aku harus bergebrak melawan belasan orang. Sedikit meleng pada suatu saat Ong Hong telah dihajar orang sampai masuk jurang….”

“Situasi terlalu mendesak, dalam peristiwa ini tak dapat salahkan diri Loocianpwee” hibur Siauw Ling.

“Walaupun begitu, namun dalam hati kecilku tetap terdapat semacam perasaan malu dan menyesal yang tak terhingga.”

Siauw Ling, tak tahan segera serunya, “Lalu bagaimana selanjutnya?”

Soen Put Shia menyapu sekejap Boe Wie Tootiang, kemudian sahutnya, “Kalau dibicarakan, mau tak mau aku sipengemis tua harus mengagumi perhitungan serta dugaan yang sempurna dari Tootiang!”

“Aaai! seandainya pinto adalah orang yang punya pikiran sempurna. Tidak nanti pada hari ini kita alami kekalahan total semacam ini” ujar Boe Wie Tootiang sambil menghela napas sedih. “Seluruh kekuatan inti dari partai Bu tong telah mengalami penjagalan yang mengerikan.”

“Apa? jadi orang yang menyambut kedatangan aku sipengemis tua dan bantu pukul mundur kaum bajingan itu bukanlah anak murid partai Bu tong….?”

“Pinto tak berani menerima jasa tersebut!”

“Waah, kalau begitu aneh sekali!”

“Sebenarnya apa yang telah terjadi?” tanya Siauw Ling.

“Tatkala aku sipengemis tua saksikan Ong Hong dihantam orang sampai masuk kedalam jurang tanpa bisa menolong. Hatiku gelisah bercampur gusar, beruntun kulepaskan beberapa pukulan maut, meskipun dua orang lawan berhasil kulukai namun aku tak sanggup membendung serangan mereka yang begitu gencar dan dahsyat. Aaai! bilamana aku harus bertahan terus dalam keadaan begini tanpa datangnya bala bantuan, mungkin setengah jam kemudian akupun bakal roboh terluka. pada saat itulah kami kena didesak hingga tersudut, ada seseorang yang memiliki kepandaian silat agak tinggi berhasil melewati aku pengemis tua, dan langsung mengejar kearah Tiong Cho Siang Ku sekalian.”

“Loocianpwee” teriak Siauw Ling terperanjat. “Jadi kalau begitu kedua orang saudaraku telah mati dibunuh orang?”

Soen Put Shia menggeleng.

“Seandainya mereka berdua sampai terbunuh aku sipengemis tua tak akan punya muka untuk unjukkan diri bertemu dengan kalian berdua.”

“Sebetulnya apa yang telah terjadi?”

“Hatiku benar-benar gelisah ketika menyaksikan situasi yang amat kritis itu, diriku terkepung rapat dalam desakan musuh dan tak mungkin pisahkan diri untuk menolong mereka, sementara racun dalam tubuh merekapun telah bekerja. Tak ada tenaga dalam tubuh mereka untuk melawan, bayangkan saja betapa kritisnya situasi waktu itu. Dikala maut hampir tiba itulah mendadak terdengar suitan panjang berkumandang datang. Empat orang manusia berbaju hitam membawa poo kiam laksana tentara langit yang turun kebumi segera menyerang kesana kemari dengan dahsyatnya, empat rentetan cahaya perak menggulung keempat penjuru laksana ombak ditengah samudra. Tidak sampai seperminum teh lamanya sebagian besar para pengejar telah mereka lukai atau mereka bunuh, sisanya karena melihat situasi tidak menguntungkan segera melarikan diri terbirit-birit.”

“Apakah loocianpwee telah tanyakan asal usul keempat orang itu?” tanya Boe Wie Tootiang.

“Sementara aku sipengemis tua siap bertanya, keempat orang itu telah putar badan dan berlalu dari situ, dalam sekejap mata bayangan mereka sudah lenyap tak berbekas.”

“Apakah loocianpwee melihat jelas bagaimanakah raut mukanya?”

Soen Put Shia termenung sejenak, kemudian baru menjawab, “Keempat orang itu sama-sama mengenakan kain kerudung berwarna hitam sehingga sulit bagiku untuk melihat raut wajahnya.”

Ia merandek sejenak lalu tambahnya, “Aaaah, kalau bukan pertanyaanmu barusan hampir saja aku pengemis tua lupa mengutarakannya keluar, diantara keempat bayangan itu dua orang mempunyai perawakan yang istimewa kecil dan rampingnya, potongan tubuhnya tidak mirip perawakan tua.”

“Waduh…. aku jadi semakin bingung.”

“Rupanya mereka sudah mengetahui lebih dahulu kalau Djen Bok Hong telah kirim orang untuk mencegat kita disitu” ujar Boe Wie Tootiang. “Tapi dengan sendirinya mereka sungguh ada maksud menolong, kenapa tidak memperingatkan kita jauh sebelumnya?”

“Aku sipengemis tuapun merasakan banyaknya kecurigaan serta kesangsian didalam persoalan ini, sungguh membuat orang jadi bingung dan tidak habis mengerti.”

“Mereka suka turun tangan membantu kita bahkan melukai pula begitu banyak jago dari perkampungan Pek Hoa San cung. Jelas keempat orang itu adalah kawan bukan lawan….”

Seandainya mereka datang dengan tujuan membantu, kenapa tidak meninggalkan nama?”

“Benar!” Boe Wie Tootiang menyambung. “Seandainya sudah mengetahui dahulu rencana dari Djen Bok Hong dan benar-benar ada maksud menolong kita sekalian. Kenapa tidak beri kabar lebih dahulu kepada partai kami sehingga mengakibatkan kekuatan ini dari partai Bu tong serta beberapa orang sahabat Bulim yang sedang merawat luka mati binasa semua.”

“Tadi, cayhe telah perhatikan keadaan disekeliling gubuk dan kurasa tiada tana pernah terjadi suatu pertempuran disana. Mungkin saja Im Yang Tootiang dengan membawa segenap anggota partai Bu tong telah menyingkir dari sini.”

“Kenapa tidak kita kompas saja orang ini?” tiba-tiba Soen Put Shia menyela sambil menyapu sekejap wajah Thian Tiong Goan.

“Sedikitpun tidak salah!” seru Siauw Ling dengan langkah lebar ia segera mendekati orang she Thian itu, telapaknya berkelebat membebaskan jalan darahnya yang tertotok setelah ia menotoknya jalan darahnya diatas lengan serta kakinya. Kemudian ia berkata dengan suara dingin, “Kau menyaru sebagai Im Yang cu, tentu mengetahui bukan kabar berita mengenai Im Yang tootiang?”

Perlahan-lahan Thian Tiong Goan melirik sekejap wajah Siauw Ling, lalu tertawa hambar dan mengangguk.

“Sedikitpun tidak salah!”

“Sekarang Im Yang Tootiang berada dimana?”

“Kalau cayhe tidak ingin jawab?”

Sepasang mata Soen Put Shia kontan melotot bulat-bulat serunya ketus, “Telah lama aku sipengemis tua mendengar akan nama besar dari Lam Hay Ngo Hiong. Namun aku tidak percaya kalau kau adalah lelaki jantan yang terdiri dari baja yang kuat. Siauw thayhiap tidak tega turun tangan terhadap dirimu, namun aku sipengemis tua tega untuk melakukan siksaan macam apapun akan kutotok lebih dahulu jalan darah Nge Im Ciat Hiatmu agar kau rasakan bagaimana kalau aliran darah harus terkumpul didalam paru-paru.”

Thian Tiong Goan tertawa dingin.

“Kau anggap kami lima manusia laknat dari Lam Hay adalah kawanan tikus yang takut mati??”

“Bagus! kalau kau tidak percaya, segera akan kusuruh kau cicipi bagaimana rasanya” sambil berseru pengemis tua segera mendekati tubuh Thian Tiong Goan, angkat tangan kanannya dan berkata lagi, “Bagaimana kalau aku pengemis tua memberi waktu seperminum teh lagi bagimu untuk pikir-pikir?”

“Seandainya cayhe katakan kabar berita mengenai Im Yang cu, apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku??” tanya Thian Tiong Goan setelah termenung sebentar.

“Tentang soal ini harus diputuskan sendiri oleh Tootiang!” jawab Soen Put Shia sambil berpaling kearah toosu tua itu.

Sepasang mata Boe Wie Tootiang memancarkan cahaya tajam, seraya menatap wajah orang she Thian itu katanya perlahan-lahan, “Kami dari partai Bu tong sama sekali tidak pernah mengikat tali permusuhan apapun dengan kalian lima manusia laknat dari Lam Hay pinto benar-benar tidak mengerti apa sebabnya kalian Lam Hay Ngo Hong memusuhi partai kami.”

Meskipun berada dipinggir maut Thian Tiong Goan sama seklai tidak jadi gugup, ia tetap tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun setelah mendehem jawabnya, “Setelah munculkan diri dalam dunia persilatan kami lima bersaudara dari Lam Hay pernah menjelajahi seluruh dunia persilatan selama sembilan kali. tetapi boleh dibilang baru ini hari untuk pertama kalinya jatuh ditangan orang.”

“seandainya cuwi sekalian betul-betul ada maksud mengikat tali permusuhan. kami lima bersaudara dari Lam Hay silahkan turun tangan keji diri cayhe, tapi jangan harap cuwi sekalian bisa menyiksa diriku, sebab dalam sekejap mata aku bisa putuskan napasku. Tapi kalian harus ingat setelah aku mati maka berhati-hatilah kalian semua, setiap saat keempat orang saudara angkatku bisa datang untuk mencari balas. Selama salah satu diantara mereka masih hidup, dengan cara dan tipu muslihat macam apapun dendam berdarah ini pasti akan dituntut balas.”

“Itu urusan dari kalian lima manusia laknat” sela Siauw Ling. “Sekarang yang kami tanyakan adalah kabar berita mengenai Im Yang Tootiang serta anak murid partai Bu tong lainnya.”

“Bebaskan dulu jalan darahku, maka segera kukatakan jejak mereka!”

“Lima manusia laknat dari Lam Hay sudah terkenal akan kelicikan, kekejian serta kebuasannya sudah lama aku sipengemis tua mengetahui nama kalian….”

“Tidak salah” tukas Thian Tiong Goan. “Meskipun kami lima bersaudara dari Lam Hay seringkali melakukan perbuatan jahat dan seringkali main akal-akalan, namun setiap janji yang telah diutarakan tak pernah kami ingkari.”

“Nanti dulu kawan!” tiba-tiba Siauw Ling berseru dengan ketus. “Apakah kau sudah lupa akan tipu muslihat yang telah kau gunakan untuk membohongi aku sewaktu berada didalam rumah gubuk tadi?”

“Tadi aku cuma menipu dirimu toh janji yang kuucapkan tak pernah diingkari? mengenai urusan tadi harus salahkan usiamu yang terlalu muda dan kurang berpengalaman menghadapi masalah dunia persilatan, asalkan sebelum bertaruhan tadi kau tambahkan dengan sepatah kata dan tentunya batas waktunya, mau tak mau angka yang terakhir harus kuucapkan juga dan pertaruhan itu kaulah yang menang.”

Siauw Ling termenung pikirnya, “Ucapannya sama sekali tidak salah, sebelum angka yang kesepuluh diucapkan dia memang tak bisa terhitung kalah!”

Berpikir begitu, mendadak tangannya berkelebat membebaskan jalan darah Thian Tiong Goan yang tertotok, serunya lantang, “Nah sekarang katakanlah.”

Thian Tiong Goan tidak langsung menjawab, ia pejamkan matanya lebih dulu untuk mengatur pernapasan menunggu hingga hawa murni telah menjadi beredar dengan lancar dia baru buka matanya kembali menyapu Siauw Ling sekalian.

“Waktu cayhe tiba ditempat ini, beberapa buah rumah gubuk itu telah berada dalam keadaan kosong tanpa penghuni” katanya kemudian.

“Sungguhkah ucapanmu?”

“Setelah cayhe berjanji untuk menjawab, tentu saja setiap patah kataku adalah kata-kata yang sejujurnya.”

Alis Siauw Ling kontan berkerut.

“Dalam melaksanakan tugasmu kali ini bukan saja kau gagal peroleh saja bahkan sebagian besar anak buahmu mati ataupun terluka, bagaimana tanggung jawabmu bila bertemu dengan Djen Bok Hong nanti?”

“Soal ini tak perlu kau risaukan” sahut Thian Tiong Goan. “Djen toa Cungcu pernah beritahu kepada cayhe tentang kelihayan ilmu pedangmu yang dikatakan luar biasa setelah perjumpaan hari ini kuakui bahwa ucapan sama sekali tidak bohong. Pemberianmu pada hari ini akan cayhe ingat selalu didalam hati. Semoga dikemudian hari kami lima bersaudara dari Lam Hay bisa mendapat petunjuk lagi akan ilmu silat Siauw thayhiap yang lihay.”

“Setiap saat aku orang she Siauw akan menantikan kedatanganmu.”

Tiba-tiba Soen Put Shia tertawa dingin.

“Eeeei…. bagaimana? setelah mengucapkan beberapa patah kata yang tak berguna itu. Kau lantas mau pergi?” tegurnya.

“Heee…. heee…. mungkin cayhe tak sanggup mengalahkan kalian bertiga. Namun untuk pergi dari sini rasanya masih lebih dari cukup!”

Seraya berkata badannya melayang ketengah udara. Pada saat yang bersamaan tangan kirinya menyerang Soen Put Shia, kaki kanannya menendang Boe Wie Tootiang sedang tangan kanannya diayun kearah Siauw Ling, dimana serentetan cahaya perak segera menyambar keempat penjuru.

Berada dalam jarak yang demikian dekatnya sekalipun Siauw Ling sudah bersiap siaga tak urung dibikin gelagapan juga. Dalam keadaan terdesak dan kritis cepat-cepat telapaknya melancarkan satu pukulan sementara tubuhnya dengan gerakan Jembatan Gantung menjatuhkan diri kebelakang!

Soen Put Shia membentak keras, telapaknya disapu keluar mengirim satu serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Boe Wie Tootiang mendendam atas bokongannya tadi, melihat datangnya tendangan ia tidak menghindar. Jarinya laksana batang tombak langsung menotok jalan darah “Hian Ciong” diatas kaki Thian Tiong Goan.

Dalam pertarungan antara jago-jago Bulim siapapun diantara mereka tak mau membuang kesempatan baik yang diperoleh, dalam sekali gerakan Thian Tiong Goan telah menyerang ketiga orang musuhnya dengan senjata rahasia, tendangan serta serangan telapak. Namun dengan perbuatannya ini justru telah mengundang serangan balasan dari Soen Put Shia serta Boe Wie Tootiang.

Siapa sangka serangan dari Thian Tiong Goan cuma serangan tipuan belaka. Setelah melancarkan tendangan dan pukulan tadi badannya segera jumpalitan kebelakang, begitu mencapai permukaan tanah badannya segera melesat satu tombak jauhnya dari tempat semula, serunya sambil tertawa terbahak-bahak, “Haaah…. haah…. haah…. maaf cayhe tak dapat melayani lebih lama lagi, kesempatan dikemudian hari masih banyak, sampai bertemu lagi!”

Habis bicara badannya segera melayang tujuh delapan tombak jauhnya dari tempat semula.

Siauw Ling enjotkan badannya siap mengejar, namun segera dicegah oleh Boe Wie Tootiang.

“Biarlah dia pergi! yang penting kita harus menolong mereka yang terluka!”

Siauw Ling merandek dan ia segera ingat kembali kalau Tiong Cho Siang Ku sekalian telah terkena senjata rahasia beracun, buru-buru kepada Soen Put Shia tanyanya, “Loocianpwee, dimana mereka berada?”

“Aaaai….! dimana semak tidak jauh dari sini. Djen Bok Hong betul-betul manusia luar biasa, walau aku sipengemis tua memusuhi dirinya tetapi tak bisa dikagumi kelihayannya. Jangan dikata jago-jago biasa sampai lima manusia laknat dari Lam Haypun berhasil ia taklukan, benar-benar luar biasa.”

Sementara bercakap-cakap mereka sudah tiba didepan sebuah semak. Soen Put shia segera masuk lebih dahulu.

Siauw Ling, Boe Wie Tootiang dengan ketat mengikuti dibelakang pengemis tua itu, setelah berjalan dua tiga tombak sampailah mereka dibawah sebuah tebing terjal.

Tampak Suma Kan serta Tiong Cho Siang Ku duduk bersila diatas tanah, rupanya mereka sedang mengatur pernapasan sedangkan Thio kie An pejamkan mata untuk bersandar disisi batu besar. Dua ekor anjing raksasapun berada disisi majikannya.

“Aneh!” tiba-tiba Soen Put Shia berseru dengan alis berkerut. “Rupanya luka beracun yang mereka derita sudah sembuh semua!”

Si sie poa emas Sang Pat yang sedang bersemedhi segera membuka matanya memandang sekejap ketiga orang itu, lalu sambil tertawa sahutnya, “Setelah loocianpwee berlalu, seorang manusia berbaju hitam menghampiri kami, dengan sebatang besi ia berani isap jarum beracun yang bersarang ditubuh kami kemudian menghadiahkan sebutir pil pemusnah pada kami tiap-tiap orang. Setelah selesai bekerja iapun berlalu lagi dengan langkah cepat. Lihay sekali orang itu dikala menyembuhkan luka kami. Bukan saja hapal bahkan cepatnya luar biasa.”

“Kalian tidak menanyakan siapa namanya?”

“Tanya sih sudah cuma ia tidak menyahut barang sekecappun!”

“Setiap kali mereka membantu kita selain saja tak suka tinggalkan nama mereka, entah apa maksud tujuannya?” kata Siauw Ling menunjukkan rasa tercengannya.

“Bagaimanakah raut wajah orang itu?” tanya Boe wie Tootiang.

“Menurut pendapat siauwte rupanya dia adalah seorang nona” jawab Suma Kan tiba-tiba sambil membuka matanya.

“Seorang gadis?”

“Potongan tubuhnya kecil dan ramping, sepuluh jarinya panjang-panjang dari mulus dan dari tubuhnya menyiarkan bau harum semerbak, delapan bagian dia pasti seorang gadis.”

Siauw Ling tidak memberikan komentar apa-apa namun dalam hati ia merasa tercengang, pikirnya, “Dari mana datangnya perempuan-perempuan itu? sungguh bikin hati orang jadi tak habis mengerti!”

Sementara itu terdengar Boe Wie Tootiang telah berkata, “Dalam separuh hidupku belum pernah pinto berhubungan dengan patriot wanita, partai Bu tong pun tidak pernah bersahabat dengan suatu aliran perguruan dalam dunia persilatan yang dipimpin seorang wanita. pinto rasa mereka datang membantu pasti bukanlah disebabkan Bu tong pay kami.”

“Aku sipengemis tuapun tidak pernah berhubungan dengan kaum wanita dalam hidupku, jelas merekapun bukan datang menolong karena aku sipengemis tua!”

“Cayhe sendiripun tak dapat menemukan enghiong perempuan manakah yang diam-diam datang membantu” ujar Siauw Ling, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya. “Mungkinkah dia.”

“Siapa?” Soen Put Shia segera bertanya.

“Boanpwee hanya menduga-duga saja. Belum tentu dugaan itu tepat dan benar.”

“Katakanlah agar semua orang mendengar dengan begitu kamipun bisa ikut memikirkan persoalan itu.”

“Putri dari Pek thian Coen cu, nona Pek li!”

“Hahh…. haa…. pasti dia! kalau bukan dia siapa lagi yang memiliki ilmu silat sedemikian dahsyatnya dan bertindak laksana naga sakti yang kelihatan kepalanya tak tampak ekornya.”

Namun dengan cepat Boe Wie Tootiang menggeleng.

“Pendapat pinto jauh berbeda dengan kalian berdua enghiong perempuan yang secara diam-diam membantu kita pasti bukan nona Pek Li.”

“Kenapa?”

“Seandainya dia adalah nona Pek li. Mungkin sejak dulu-dulu ia sudah unjukkan diri untuk berjumpa dengan kita. Bukankah dia melarikan diri dari rumah karena ingin berjumpa dengan Siauw thayhiap? Kenapa setelah berjumpa dia tak unjukkan diri?”

“Ehmm, ucapanmu sedikitpun tidak salah tetapi kalau bukan dia lalu siapa?”

“soal itu pintopun sukar menduga” seraya menyahut toosu tua ini melirik sekejap kearah Siauw Ling.

“Saudara Siauw” seru Soen Put Shia tiba-tiba. “Kau tak usah berlagak pilon lagi, siapakah orang itu harap cepat kau katakan?”

“Tentang soal ini…. boanpwee sendiripun benar-benar tak tahu.”

Dari perubahan air mukanya Soen Put Shia mengerti bahwa si anak muda ini tidak senang berbohong. Maka ia menghela napas panjang.

“Aaai! kalau begitu sunggu aneh, sudah puluhan tahun lamanya aku sipengemis tua berkelana didalam dunia persilatan tetapi belum pernah kujumpai pihak tidak saling mengenal tetapi secara diam-diam selalu membantu kita dan lagi setiap kali tentu secara kebetulan kita sedang menghadapi situasi yang krisis. Setelah membantu tanpa tinggalkan nama segera berlalu kembali…. aneh…. aneh sungguh aneh!”

“Rupanya untuk beberapap saat kita akan berhasil menemukan kunci rahasia ini, tetapi pinto rasa teka teki ini tak akan berlangsung terlalu lama, dalam sepuluh hari atau paling lambat dua bulan kemudian jawabannya pasti berhasil kita peroleh.”

“Mungkinkah mereka berbuat demikian karena mempunyai satu rencana busuk, seperti misalnya minta balas budi dari kita?” tiba-tiba Soen Put Shia mengajukan pendapatnya.

“Soal ini sukar untuk dikatakan!”

“Aaai! kita semua telah menerima budi pertolongannya. Suatu saat bila mereka ajukan syarat untuk membalas budi yang pernah mereka lepaskan…. wah, saat itulah kita akan mengalami kesulitan coba menurut kalian haruskah kita terima syaratyang diajukan??”

“Seandainya syarat yang mereka ajukan tidak akan mengganggu ketentraman umat manusia, tentu saja harus kita terima. Sebaliknya kalau syarat yang mereka ajukan membahayakan umat dan manusia merugikan masyarakat kita harus menolaknya mentah-mentah.”

Tu Kioe yang selama ini pejamkan matanya mengatur pernapasan tiba-tiba buka matanya dan berkata dengan suara dingin bagaikan es, “Ada satu persoalan yang hendak cayhe sampaikan kediri Tootiang!”

“Persoalan apa?”

“Sebelum meninggalkan tempat ini orang yang menyembuhkan luka racunku tadi telah beritahukan satu persoalan yang mohon cayhe sampaikan kepada diri Tootiang!”

“Apa yang dia katakan?”

“Dia bilang anak murid partai Bu tong dibawah pimpinan Im Yang Tootiang telah mengundurkan diri dua puluh li kearah barat, sekarang mereka sedang menanti didalam sebuah kuil kuno dan minta kita segera berangkat kesitu untuk berkumpul dengan mereka.”

Boe Wie Tootiang jadi kaget bercampur girang. Sekalipun dia punya iman yang tebal tak urung rasa gembiranya sukar disembunyikan dibalik wajahnya yang ramah itu.

“Benarkah ucapanmu itu?”

“Benar atau tidak cayhe kurang begitu tahu, tetapi orang itu berkata demikian dan cayhe pun sekarang sampaikan kepada diri Tootiang tanpa cayhe kurangi sepatah katapun.”

Boe Wie Tootiang kerutkan dahinya. Ia bungkam dalam seribu bahasa.

Dari perubahan air muka toosu tua itu Soen Put Shia mengerti betapa gelisahnya hati Boe Wie Tootiang saat ini, tentu dia ingin buru-buru berangkat kekuil kuno yang dimaksudkan untuk mengecek kebenaran kabar ini, maka dia lantas bertanya, “Orang itu suruh kita berangkat bersama ataukah hanya suruh Boe Wie Tootiang seorang diri berangkat kesitu?”

“Orang itu suruh kita berangkat kekuil kuno tersebut untuk berkumpul dengan mereka. Kata “kita” disini sudah tentu bukan dimaksudkan Boe Wie Tootiang!”

“Lalu bagaimana keadaan luka yang cuwi sekalian derita? apakah sudah sanggup untuk meneruskan perjalanan?”

“Cayhe rasa sudah lebih cukup!” serasa berkata si pit besi berwajah dingin ini bangkit berkata, “Kamipun sudah sanggup melanjutkan perjalanan!” Sang Pat serta Suma Kan bersama-sama bangun berdiri.

“Kalau begitu mari kita berangkat!” kata Siauw Ling dengan langkah lebar ia dekati Thio Kie An dan siap membopongnya.

“Toako, tak usah kau repot-repot sendiri” cepat Tu Kioe loncat kedepan dan menyambar tubuh orang she Thio itu untuk kemudian dibopongnya.

“Saudara, janganlah terlalu memaksa….”

“Tidak mengapa, aku sudah sehat kembali!”

Begitulah para jagopun meneruskannya kedepan, sepanjang jalan yang tampak cuma pegunungan dengan tebing yang curam, tak nampak sosok bayangan manusiapun disitu.

Kurang lebih dua puluh li kemudian, tampaklah sebuah kuil kuno berdiri angker dibawah sebuah bukit yang tinggi.

Boe Wie Tootiang perhatikan sejenak suasana disekeliling kuil tadi meskipun bangunannya sudah rusak namun berdiri diatas tanah yang luas, segera ujarnya, “Janganlah kita mempercayai ucapan orang itu seratus persen, harap cuwi sekalian menanti sejenak diluar kuil, biar pinto memeriksanya lebih dahulu!!”

“Mari, biar aku sipengemis tua yang menemani!!”

Tanpa banyak bicara kedua orang itu segera berjalan mendekati kuil tersebut.

Ketika tiba didepan pintu, terlihatlah Im Yang cu dengan membawa Cheng Yap Cing munculkan diri menyongsong kedatangan mereka.

Sesudah mengalami pahit getir sewaktu ada didalam gubuk tadi Boe Wie Tootiang bertindak lebih hati-hati segera membentaknya.

“Berhenti!”

Waktu Im Yang cu sedang bersiap-siap memberi hormat suhengnya, mendengar bentakan itu dia tertegun dan berdiri mendelong.

“Apabila siauwte ada kesalahan, harap ciangbun suheng suka jatuhi hukuman kepada diriku!” segera berkata ia merangkap tangannya memberi hormat.

“Aaai….! kalian datanglah kemari” bisik Boe Wie Tootiang sambil menghela napas panjang. “Baru saja siauw heng ditipu orang, maka dari itu sikapku masih was-was selalu.”

“Suheng ditipu siapa?”

“Ada orang menyaru jadi dirimu dan membokong aku dengan cara yang licik, jalan darahku tertotok dan hampir saja aku melayang. Seandainya Siauw thayhiap serta Soen Loocianpwee tidak turun tangan, mungkin pada saat ini Siauw heng sudah berada didalam cengkeraman musuh.”

“Aaai, sudah terjadi peristiwa macam begini?” teriak Cheng Yap Chin.

Boe Wie Tootiang mengangguk, diapun lantas menceritakan bagaimana sipelajar bertangan dingin Thian Tiong Goan menyaru sebagai Im Yang cu…. kemudian bagaimana ia ditawan dan dibebaskan oleh Siauw Ling serta Soen Put Shia….

Akhirnya dia menambahkan, “Bagaimana keadaan luka dari Be Cong Piauw Pacu?”

“Sudah rada baikan, sekarang dia sudah bisa bersantap dan bicara….” bicara sampai disitu Im Yang cu merandek sejenak, lalu tambahnya: “Dia menanyakan diri Siauw thayhiap!”

“Apa yang dia katakan?”

“Ucapannya kurang jelas dan bicaranya masih sukar, hanya pertanyaan itu saja yang sempat diutarakan.”

Seakan-akan teringat sesuatu yang aneh tiba-tiba Soen Put Shia bertanya, “Darimana kalian bisa tahu kalau Djen Bok Hong telah kirim orang untuk melancarkan serangan bokongan dan bersembunyi disini?”

“Siauwte sendiripun bingung tak habis mengerti. Justru kami hendak tanyakan persoalan ini kepada suheng” sahut Im Yang cu seraya mengalihkan sinar mata kearah Boe Wie Tootiang.

“Apa yang terjadi?”

“Tidak lama setelah ciangbun suheng sekalian berangkat tiba-tiba siauwte temukan secarik kertas ditancapkan orang didepan pintu gubuk kita, diatas surat tadi tertulis dengan jelas kata-kata yang mengatakan bahwa Djen Bok Hong telah kirim banyak jago lihaynya untuk bersiap-siap membasmi segenap anggota Bu tong pay. Dalam surat itu meminta siauwte segera kumpulkan segenap anak murid Bu tong pay dan membawa beberapa orang yang terluka untuk menghindarkan diri dari bencana ini. Bahkan dalam surat ini tercantum pula dengan jelas keterangan mengenai letaknya kuil dibawah bukit ini, menurut surat itu disinilah tempat yang paling aman untuk menyelamatkan diri.”

“Apakah diatas surat itu ada tanda tangan atau tidak mengenai sipenulis surat itu?”

“Tidak ada, bahkan tanda atau kode apapun tidak ada, sekarang surat itu disimpan oleh dua orang imam bocah yang mengawal suheng.”

“Apakah kalian lakukan perintah diatas surat itu begitu setelah menerima surat tadi?”

“Lama sekali siauwte rundingkan persoalan ini dengan samte, kami merasa bahwa dari pada bertahan disana memang jauh lebih baik untuk menyingkir, maka sambil mengutus dua orang anggota partai kita untuk mencari kuil kuno seperti yang dimaksudkan dalam surat itu. Dan kamipun mengundurkan diri keatas gunung.”

“Siapakah orang itu?” seru Soen Put Shia dengan nada tercengang dan tidak habis mengerti. “Rupanya dia selalu bersembunyi ditempat kegelapan dan terus menerus membantu kita.”

Dalam pada itu Siauw Ling beserta Suma Kan dan Tiong Cho Siang Ku sekalian telah turun kebawah, mengikuti dibelakang Soen Put Shia merekapun masuk kedalam kuil.

“Bukan saja orang itu sudah membantu kita secara diam-diam bahkan menolong pula partai Bu tong dari kemusnahan” ujar Boe Wie Tootiang setibanya didalam ruang kuil. “Rupanya dia begitu paham dan tahu akan setiap gerak gerik dari Djen Bok Hong, sungguh aneh sekali….”

Tiba-tiba Siauw Ling menimbrung dari samping, “Mungkinkah orang itu adalah tokoh sakti yang telah memukul mundur Djen Bok Hong dengan irama musiknya itu?”

Boe Wie Tootiang termenung sebentar kemudian baru menyahut, “Gerak geriknya bukan saja bagaikan naga sakti dalam kabut yang nampak kepala tak kelihatan ekornya, bahkan diapun mempunyai banyak sekali bawahan yang memiliki ilmu silat sangat lihay. Dibawah komandonya mereka bergerak kesana kemari dengan leluasa.”

“Tidak salah, dia memang terhitung manusia misterius dikolong langit dewasa ini.”

“Yang aneh lagi, apa sebabnya orang itu selalu membantu kita?” sambung Siauw Ling.

“Sudah banyak kejahatan serta kemunafikkan yang dilakukan Djen Bok Hong dalam dunia musuh yang menaruh dendam dengan dirinyapun kian lama bertambah banyak, mungkin saja orang itu mempunyai ikatan dendam sedalam lautan dengan diri Djen Bok Hong.”

“Kalau ucapan dari Soen Loocianpwee tidak salah, maka menurut pinto orang itu bukanlah manusia yang berhasil pukul mundur Djen Bok Hong dengan irama musiknya.”

“Kenapa?”

“Begitu mendengar irama musik tersebut dengan penuh rasa takut tergopoh-gopoh Djen Bok Hong melarikan diri. Hal itu menerangkan bahwasanya Djen Bok Hong menaruh rasa amat takut dengan orang itu, atau paling sedikit dia takut mendengar suara bagungan dari irama Khiem serta seruling itu.”

“Sedikitpun tidak salah!”

“Seandainya Djen Bok Hong sangat jeri terhadap orang itu sedang orang itu terikat dendam sedalam lautan dengan Djen Bok Hong, bukankah dia bisa secara langsung mencari diri ketua dari perkampungan Pek Hoa San cung ini?”

Sementara masih bercakap-cakap, mereka sudah tiba dipendopo tengah.

Kuil kuno itu meski secara lapat-lapat bisa tertampak kemegahannya pada masa yang silam namun berhubung sudah termakan waktu yang lama maka sebagian besar sudah rusak. Satu-satunya bangunan yang masih utuh hanyalah pendopo tengah kuat dan megah. Karena itulah Be Boen Hoei serta beberapa orang yang terluka semuanya berkumpul disitu.

Dua puluh orang anggota partai Bu tong dengan terbagi jadi dua rombongan, satu rombongan beristirahat dalam pendopo tengah sambil melindungi yang luka, rombongan lain tersebar disekeliling kuil itu menjaga keamanan. Sekalipun sepintas lalu tempat itu kelihatan tak ada penjagaan tetapi setiap manusia yang berada lima li dari kuil itu sudah diketahui oleh mereka.

Perlahan-lahan Siauw Ling masuk kedalam ruang pendopo. Disitu ia temui patung arca ditengah ruangan telah hancur namun suasananya amat bersih dan kering.

Pada sudut ruangan berbaringlah tiga orang manusia, rupanya mereka sudah pulas semua. Ketika Siauw Ling sekalian masuk kedalam ruangan tak seorangpun diantara mereka yang tahu.

“Tootiang” ujar Siauw Ling sambil memandang sekejap kearah Im Yang cu.

“Bolehkah cayhe memeriksa keadaan luka yang mereka derita?”

“Tentu saja boleh….”

Ia merandek sejenak, lalu sambungnya, “Luka yang diderita tiga orang ini sangat parah, sekalipun hingga kini jiwanya masih bisa diselamatkan tetapi kesadarannya belum sama sekali jernih, mungkin mereka sulit untuk kenali kembali diri Siauw thayhiap.”

“Tidak mengapa, aku cuma ingin melihat keadaan luka mereka saja. Pokoknya aku tak akan mengganggu ketenangannya” perlahan-lahan ia maju kemuka.

Dimana ketiga orang itu berbaring dialasi dengan sebuah selimut yang sangat tebal. Badan mereka ditutupi pula dengan sebuah selimut warna putih, Be Boen Hoei pejamkan matanya seperti sudah tertidur pulas, sedangkan dua orang lainnya sukar dilihat raut wajahnya karena kepala mereka kecuali sepasang matanya telah dibalut dengan kain putih.

Menyaksikan keadaan mereka, Siauw Ling menghela napas panjang.

“Apakah ilmu silat yang mereka miliki bisa dipertahankan?” tanyanya kemudian.

“Ilmu silatnya mungkin tidak sampai musnah. Namun dua diantara mereka bertiga mungkin bakal cacad seumur hidup.”

Boe Wie Tootiang yang berdiri disisi kalanganpun ikut menghela napas panjang.

“Pinto telah berusaha menolong dan mengobati luka mereka dengan obat paling mujarab dari partai Bu tong kami. Dapatkah menolong mereka terhindar dari badan yang cacad masih sulit bagi pinto untuk terangkan.”

“Seandainya siraja obat bertangan keji ada disini, badan mereka pasti akan tetap utuh” pikir Siauw Ling, teringat akan kehebatan ilmu pertabiban yang dimiliki orang itu timbul rasa kagum dalam hatinya.

Tiba-tiba terdengar Thio Kie An menghela napas dan berkata, “Cayhe benar-benar merasa sangat lapar, apakah disini terdapat sedikit makanan untuk menangsal perutku yang sudah tak tahan ini?”

Kiranya setibanya dalam ruang pendopo Tu Kioe telah turunkan Thio Kie An dibelakang pintu. Kakinya masih terikat diatas kaki kursinya maka ia tak dapat bangun dan harus berbaring dipintu.

Boe Wie Tootiang segera berpaling kearah sutenya sambil berkata, “Suruh mereka siapkan makanan!”

“Siauwte telah perintahkan mereka untuk menyiapkan makanan, mungkin sebentar lagi bakal dihantar kemari.”

Dalam pada itu terlihatlah dua orang bocah berbaju hijau muncul ditengah pendopo sambil membawa sayur dan nasi.

Setelah melakukan pertempuran sengit sehari semalam dan harus melanjutkan pula perjalanan jauh. Boleh dibilang para jago sudah mulai merasa sangat lapar sekali hanya beberapa orang memiliki ilmu silat lihay saja yang masih sanggup bertahan, tidak aneh begitu nasi dan sayur dihidangkan mereka segera melahapnya dengan penuh bernapsu.

Setelah bersantap sambil memandang kearah Siauw Ling ujar Boe Wie Tootiang, “Tempat ini tak bisa didiami terlalu lama menurut pendapat pinto sesudah beristirahat sebentar dan pulihkan tenaga kita harus segera melanjutkan perjalanan….”

Belum habis dia berkata, tampak seorang tootiang berusia pertengahan dengan napas tersengal-sengal lari masuk kedalam. Sesudah memberi hormat kepada Boe Wie Tootiang katanya, “Lapor ciangbun suhu, diluar kuil telah muncul jejak manusia!”

Boe Wie Tootiang kerutkan dahinya, belum sempat dia menjawab Im Yang cu telah bangun berdiri sambil lari keluar dari ruangan.

“Biar aku yang pergi menengok!”

“Seandainya ada orang dari perkampungan Pek Hoa San cung yang membuntuti kita dari tempat kejauhan, tidak sukar bagi mereka untuk menemukan kuil kuno ini” gumam Soen Put Shia.

“Kalau begitu biarlah siauwte hitungkan nasib kita, apakah kita bakal temui rejeki atau bencana?” sambung Suma Kan cepat.

Begitu berkata tanpa memperdulikan orang itu lagi dia ambil keluar sebuah kulit kura-kura dari sakunya. Enam buah mata uang emas dimasukkan kedalam kulit kura-kura tadi, sesudah digoyangkan beberapa kali mata uang tersebut segera disebarkan keatas tanah.

Para jago bungkam dalam seribu bahasa, sinar mata mereka dipusatkan keatas wajah Suma Kan sambil menantikan hasil ramalannya.

Siapa sangka sudah lama mereka menunggu namun belum juga kedengaran Suma Kan menjawab. Hal ini membuat hati para jago jadi heran dan tercegang.

Mereka segera menoleh, tampak Suma Kan dengan mata terbelalak dan wajah termangu-mangu sedang mengawasi hasil ramalannya.

“Bagaimana dengan hasil ramalanmu?” tiba-tiba Soen Put Shia tak kuat menahan diri dan bertanya. “Apakah kita bakal bertemu dengan rejeki atau bencana?”

“Kalau menurut perhitunganku ramalan ini termasuk bencana, namun diantara bencana inilah yang membuat cayhe jadi bingung dan tidak habis mengerti. Harus kukatakan ramalanku ini sebagai bencana atau rejeki.”

“Jadi menurut perhitunganmu mula-mula ramalanmu ini menunjukkan bencana lebih dulu kemudian baru rejeki?”

“Ramalan ini merupakan ramalan yang paling aneh, biarlah siauwte pikirkan lebih dulu!”

“Waah…. kalau kita harus menunggu sampai kau berhasil mengetahui ramalanmu ini bencana atau rejeki, mungkin musuh tangguh telah menerjang kedalam kuil ini” omel Soen Put Shia.

Mendadak tampak Im Yang cu lari masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru, begitu tiba didalam segera serunya, “Celaka! musuh tangguh telah tiba didepan mata bahkan kedatangan mereka cepat sekali, sekarang mereka sudah berada kurang lebih tiga li dari kuil ini.”

“Berapa banyak musuh yang telah datang?” seru Siauw Ling sambil bangkit berdiri.

“Sepintas lalu, agaknya berada diatas belasan orang!”

“Cayhe rasa kita tidak boleh bertindak sungkan-sungkan lagi terhadap orang-orang dari perkampungan Pek Hoa San cung. Ketemu satu kita basmi satu ketemu sepuluh kita habisi sepuluh orang itu.”

“Kalau cuma belasan orang rasanya kita masih sanggup untuk menghadapinya” Soen Put Shia menambahkan pula.

“Aku telah kirim tanda rahasia untuk tarik kembali segenap anggota partai Bu tong yang tersebar diempat penjuru untuk berkumpul dalam kuil ini.”

Boe Wie Tootiang mengangguk.

“Betul, setelah kita basmi para kawanan bajingan itu dengan cepat kita tinggalkan tempat ini” katanya.

“Kalau begitu biarlah cayhe membantu para murid yang bertahan didepan pintu besar” seru Cheng Yap Cing selesai berkata ia lantas enjotkan badannya melayang keluar dari pendopo itu.

Sepeninggalnya pemuda she Cing itu, Boe Wie Tootiang alihkan sinar matanya kearah Soen Put Shia seraya berkata, “Loocianpwee harap kau pegang tampuk pimpinan dan segera mengatur pertahanan!”

“Haaah…. haaah…. haaah…. aku rasa lebih baik tootiang saja yang memegang tampuk pimpinan biar loohu serta saudara Siauw yang bertugas menghadapi musuh tangguh.”

Tanpa menantikan jawaban dari toosu tua itu lagi, bersama Siauw Ling ia lantas keluar dari ruangan.

Dalam pada itu anak murid dari partai Bu tong yang tertinggal dalam kuil telah menyebarkan diri disekeliling pendopo tersebut, pedang telah dicabut dan mereka berada dalam keadaan siap siaga.

Boe Wie Tootiang menyapu sekejap wajah para jago yang ada diruang pendopo lalu ujarnya, “Masalah yang paling penting dewasa ini adalah melindungi serta mempertahankan keselamatan Be Cong Piauw Pacu bertiga, karena itu pinto rasa kecuali anak murid Bu tong pay yang telah dibagi jadi dua orang serombongan menjaga dipintu dan jendela. Pinto harap cuwi sekalian bersama kami bertahan diluar pendopo, entah bagaimana menurut pendapat cuwi sekalian?”

Si sie poa emas Sang pat termenung sejenak kemudian jawabnya, “Rencana dari tootiang memang sempurna tetapi entah apa maksud kedatangan pihak lawan?”

“Kalau menurut pendapat pinto lebih baik kita duduk disini sambil menantikan kedatangan musuh. Kita berusaha pancing mereka masuk kedalam kuil kemudian baru dibasmi sampai habis, entah apakah pendapat Soen loocianpwee sesuai dengan pendapat pinto?”

“Ucapan Tootiang tepat sekali, akan siauwte sampaikan pesan ini kepada Soen Loocianpwee!” sahut Sang Pat, dengan langkah lebar dia lantas melangkah keluar.

Sementara itu Soen Put Shia serta Siauw Ling berjalan keluar dari pendopo. Baru saja mereka tiba didepan pintu tampaklah belasan lelaki kekar berbaju hitam laksana kilat telah meluncur datang.

Cheng Yang Cing dengan memimpin empat orang anak murid partai Bu tong, dengan pedang terhunus berdiri sejajar didepan pintu.

Suatu ingatan tiba-tiba berkelebat dalam benak Soen Put Shia, pikirnya, “Kenapa aku tidak bersembunyi dahulu dibelakang pintu sambil memeriksa siapakah yang datang? kalau musuh yang datang cuma beberapa orang kurcaci rasanya aku tak usah muncul sendiri, secara diam-diam kubantu saja Cheng Yap Cing dari dalam….”

Selama apa yang telah dipikirkan segera dilakukan, tanpa memperdulikan apakah Siauw Ling setuju atau tidak ia tarik tanga si anak muda itu untuk diajak bersembunyi dibelakang pintu.

Ketika menengok lagi keluar, tampaklah tiga orang lelaki kekar dengan cepatnya telah tiba lebih dulu disana.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar