Jilid 17
Setibanya disitu sinar mata Kiem Hoa Hujien mulai bekerja keras mencari tempat yang dianggapnya strategis, namun sudah setengah harian lebih dia mencari tanpa berhasil menemukan goa atau lubang bisa digunakan untuk menyembunyikan diri. Terpaksa ia pilih sebuah sudut buntu dan duduk disana.
“Hujien, apakah tempat ini bisa digunakan untuk menahan serangan Lalat darah?” terdengar Sang Pat bertanya sambil melirik sekejap kearah perempuan itu.
“Mungkin saja dapat!”
“Baiklah! kalau begitu kitapun boleh kasih kabar buat Boe Wie Tootiang sekalian untuk sama-sama berkumpul disini!”
Seraya berkata ia lantas bersuit panjang. Suaranya keras dan nyaring laksana pekikkan naga, tinggi dan lengking membumbung ketengah angkasa.
Lewat sepertanak nasi kemudian, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing yang santar berkumandang datang.
“Aaah, mereka berhasil menemukan jejak kita” teriak Sang Pat kegirangan. Kembali ia mendongak dan bersuit panjang.
Beberapa saat kemudian tampaklah seekor anjing besar berlari cepat menuju ketepi tebing tersebut dibelakang anjing tadi mengikuti Tu Kioe serta Suma Kan.
“Saudara Tu, toako berada disini. Cepat kau datang kemari” teriak Sang Pat.
Tu Kioe dan Suma Kan mengiakan mereka segera merambat turun kebawah tebing untuk bergabung dengan rekan-rekan lainnya.
“Dimana Soen loocianpwee serta Boe Wie Tootiang?” Siauw Ling menegur tatkala ia tidak menjumpai kedua orang tokoh silat itu ada bersama mereka.”
“Dibawah petunjuk anjing yang lain mereka telah masuk kedalam hutan untuk mencari jejak kalian” jawab Tu Kioe.
“Aduh celaka, seandainya mereka sampai bertemu dengan orang-orang dari Goa Hitam, niscaya mereka tak bisa menghindarkan diri dari serangan lalat darah itu.”
“Lalat darah? binatang apakah itu?”
“Pada saat keadaan seperti ini tak ada waktu untuk menerangkan persoalan ini kepadamu, kau tunggulah disini menemani toako, dengan andalkan kekuatan anjing ini biarlah kukejar mereka untuk kembali.”
“Menurut pendapat cayhe” sela Thio Kie An. “Percuma saja pergi kesana, seandainya mereka bertemu dengan lalat darah. Sekalipun kau berada disitu apa yang bisa kau lakukan?”
“Thio heng, kau tidak mengerti dengan urusan orang-orang Bulim!” tukas Sang Pat. Ia segera loncat bangun dan menepuk kepala anjingnya. “Kali ini terpaksa aku harus merepotkan dirimu lagi!”
“Sang heng berhenti!” mendadak terdengar Ong Hong membentak keras.
“Ada urusan apa?”
“Lalat darah telah tiba?”
Dengan cepat Sang Pat pasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat, sedikitpun tidak salah ia dengar ada suara dengusan yang amat nyaring dan ramai berkumandang datang.
“Aaah tidak salah, suara Lalat darah!” serunya kemudian dengan alis berkerut.
Dengan cepat ia bopong anjingnya dan loncat balik kedalam rombongan.
Kiem Hoa Hujien segera bangun berdiri, kepada rekan-rekan yang lain ia berseru, “Harap kalian semua segera mengundurkan diri kesudut tebing sebelah sana!”
Siauw Ling sekalian mengerti akan kelihayan lalat darah tersebut, maka begitu mendengar seruan tadi mereka sama-sama menyembunyikan diri kesudut tebing.
Tu Kioe serta Suma Kan tidak tahu macam apakah makhluk yang disebut lalat darah itu namun menjumpai Siauw Ling sekalian telah mengundurkan diri kesudut tebing maka merekapun sama-sama ikut mundur.
Perlahan-lahan dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien ambil keluar sebuah kotak porselen. Ia buka tutup kotak itu kemudian mendorongnya kemuka. Empat ekor laba-laba sebesar buah Thio yang berwarna hijau muda segera meloncat keluar dari dalam kotak itu.
Disekitar sudut tebing itu penuh tumbuh pohon pendek. Tampaklah keempat ekor laba-laba itu berputar beberapa kali disekeliling sana dan dalam sekejap mata saja sekitar tempat itu sudah dilapisi oleh sarang laba-laba yang tebal.
Melihat sarang laba-laba itu sudah berbentuk. Kiem Hoa Hujien baru tersenyum dan berseru, “Saudara Siauw, kendati sarang laba-laba ini amat rapat namun jumlah lalat darah itu sangat banyak. Tak urung satu dua ekor binatang itu pasti berhasil menerobos masuk kedalam. Kalian harus hati-hati memperhatikannya!”
Semua orang harus mengiakan. Ong Hongpun lantas mematahkan sebuah ranting kayu dan dicekalnya erat-erat siap menghadapi segala kemungkinan.
Sang Pat sendiri tak berani gegabah, diapun mengikuti jejak rekannya mematahkan ranting kayu untuk dicekal sebagai senjata.
Tu Kioe serta Suma Kan saling bertukar pandangan, mereka tetap berdiri tak berkutik ditempatnya masing-masing.
Setelah semua orang siap Kiem Hoa Hujien baru ambil tempat duduk dan pejamkan matanya, ia berpesan kembali, “Kalian harus berhati-hati, jari tangan kalian jangan sampai menyentuh sarang laba-laba itu.”
“Kenapa?” tanya Sang Pat. “Apakah diatas sarang laba-laba itupun mengandung racun yang keji?”
Semangat Kiem Hoa Hujien telah layu, air mukanya pucat pias bagaikan mayat namun ia tetap tersenyum simpul, seolah-olah soal mati hidup dirinya sudah tidak dipikirkan lagi didalam hatinya.
Terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu menyahut, “Meskipun daya kerja racun yang terkandung diatas sarang laba-laba itu tidak parah, namun sentuhan kalian akan memberikan perasaan yang tajam bagi laba-laba beracun itu asal kalian sentuh sarang laba-laba maka laksana sambaran kilat laba-laba beracun itu akan menubruk datang. Tatkala jari tangan atau kulit tubuh kalian menyentuh sarang laba-laba tadi, badanmu akan jadi linu dan kaku. Dan disaat itu kau kehilangan daya rasa jadilah laba-laba beracun itu akan menggigit dirimu.”
“Seandainya tergigit oleh laba-laba beracun itu, apakah masih ada harapan untuk ditolong?”
Kiem Hoa Hujien termenung sejenak, kemudian menjawab, “Racun yang terkandung dalam lambung laba-laba beracun itu luar biasa kejinya, seandainya kau sampai tergigit olehnya mungkin tipis sekali harapannya untuk ditolong!”
“Jadi maksudmu jiwanya tiada harapan lagi untuk diselamatkan?”
“Kecuali didalam waktu yang relatif amat singkat aku dapat memberikan obat-obatan yang bisa mencegah menjalarnya daya kerja racun tersebut, tapi kesempatan untuk berbuat demikian kecil sekali. Maka dari itu barang siapa yang tergigit oleh laba-laba beracun itu, jiwanya niscaya akan melayang!”
Mendengar sampai disitu. Sang Pat segera berseru dengan suara lantang, “Aku rasa cuwi sekalian sudah dengar dengan jelas bukan uraian dari Hujien? hati-hati jangan sampai menyentuh sarang laba-laba itu bila kalian masih sayang dengan jiwa kamu semua.”
Demikian dengan penuh kewaspadaan dan hati kebat kebit Siauw Ling serta Sang Pat sekalian menantikan serangan dari Lalat darah, siapa sangka walaupun sudah ditunggu seperminum teh lamanya belum nampak juga ada lalat darah yang menyerang mereka. Sedangkan sarang laba-laba disekeliling tempat itu makin lama makin tebal dan makin rapat.
“Eeeeei…. kenapa tidak nampak lalat darah itu menyerang datang?” seru Tu Kioe dengan suaranya yang dingin.
Ong Hong segera memperhatikan situasi disekeliling sana dengan seksama, sedikitpun tidak salah suara dengusan yang terdengar tadi kini sudah lenyap tak berbekas. Seakan-akan lalat darah itu sudah terbang kembali setelah mendekati beberapa orang.
“Aduh celaka!” mendadak Siauw Ling berteriak. “Mungkin lalat darah itu sudah berjumpa dengan Soen Loocianpwee serta Boe Wie Tooiang. Kita harus segera memberi kabar kepada mereka berdua!”
“Aaaaai….! tidak sempat lagi” sahut Thio Kie An sambil menghela napas panjang. “Seandainya mereka berdua telah berjumpa dengan lalat darah mungkin pada saat ini darah mereka telah kering dan daging mereka telah hancur, bahkan mayat mereka sukar dikenal lagi.”
“Apakah kita hendak pergi mencari mereka berdua atau tidak, itu bukan persoalan” sambung Tu Kioe dengan nada hambar. “Bagaimanapun juga toh kita dapat bersembunyi terus didalam kepungan sarang laba-laba yang makin lama semakin tebal dan rapat. Jangan-jangan sebelum dipagut lalat darah kita sudah mati lebih dulu disini. Sekalipun tidak mati kesempatan mungkin akan mati kelaparan. Lebih baik kita coba menempuh bahaya!”
“Soal ini harap cuwi sekalian tak usah kuatirkan, menanti malam telah menjelang tiba kita boleh segera melanjutkan perjalanan.”
Dalam hati Siauw Ling merasa amat sedih, ia menghela napas dan berkata, “Sungguh tak kunyana seorang lelaki sejati macam aku harus terkurung oleh kawanan lalat darah yang ganas dan harus minta perlindungan laba-laba beracun untuk menyelamatkan jiwaku. Aaaai….! peristiwa ini benar-benar memalukan sekali.”
“Saudara Siauw, kau tidak usah menyesal atau sedih karena persoalan kecil seperti itu. Kau harus tahu persoalan yang ada dikolong langit tidak semuanya harus mengandalkan ilmu silat untuk membereskannya. Contohnya seperti cici, sepanjang hidupnya paling suka mengumpulkan makhluk berbisa, aku percaya kepandaianku menggunakan racun sekalipun belum bisa disebut nomor satu dalam dunia. Tapi racun yang dilepaskan Djen Bok Hong kedalam tubuhku, bukan saja cici tak dapat dapat punahkan bahkan walaupun sudah kugunakan segenap pikiran dan tenaga untuk menyelidiki belum berhasil juga kutemukan racun apakah yang telah dia gunakan.”
“Jika kudengar ucapan Hujien, rupanya kau tidak berhasil mendapatkan bahan racun yang digunakan Djen Bok Hong untuk mencelakai orang?” sela Sang Pat.
“Tidak salah, aku berusaha mencari obat racun yang digunakan Djen Bok Hong namun gagal kuperoleh perincian mengenai bahan apa yang sudah dia gunakan, maka hingga kini akupun belum berhasil menciptakan bahan obat untuk memusnahkan racun tersebut” ia merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian tambahnya lagi, “Menurut apa yang kudengar, katanya dikolong langit dewasa ini kecuali Djen Bok Hong yang bisa membuat obat penawar racun itu. Hanya siraja obat bertangan keji saja yang bisa.”
“Aaai…. sayang siraja obat bertangan keji telah mengasingkan diri bersama putrinya. Untuk menemukan jejak orang itu mungkin bukan suatu urusan gampang.”
Kiem Hoa Hujien tidak meneruskan ucapannya mengenai masalah itu lagi. Ia alihkan sinat matanya keatas wajah Thio Kie An dan bertanya, “Apakah kau berani memastikan bahwa lalat darah itu tidak akan munculkan diri lagi dalam satu jam mendatang?”
“Sudah banyak tahun cayhe memelihara lalat darah serta kelabang bersayap emas, tentu saja aku berani memastikan!”
“Baik! kalau begitu aku turuti saja omonganmu itu. Seandainya lalat darah muncul lagi secara mendadak maka akan kujagal dirimu lebih dulu untuk diberikan kepada lalat darah.”
“Hujien tak usah kuatir, cayhe tidak menghadapi kematian!”
“Hujien!” Sang Pat berseru. “Makin lama sarang laba-laba ini mengurung kita semakin rapat sampai waktunya bagaimana mungkin kita bisa keluar dari sini?”
Mendengar perkataan itu Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Tentang soal ini harap cuwi sekalian tak usah kuatirkan. Kendati cara menggunakan racun dari Raja Obat Bertangan Keji jauh lebih lihay dari pada aku Kiem Hoa Hujien, namun dalam kepandaian memelihara makhluk beracun belum tentu ia bisa menangkan diriku.”
“Aaaai….! perebutan nama bagi orang-orang Bulim memang terlalu penting….” pikir Siauw Ling. “Dalam keadaan serta situasi macam beginipun, perempuan ini masih punya kegembiraan untuk mengunggulkan kepandaian sendiri….”
Terdengar Kiem Hoa Hujien berkata lagi sambil tertawa, “Lahir ada tempat mati ada tanah. Itulah perkataan yang seringkali diucapkan kalian bangsa Han. Bukankah cuwi semua dalah seorang lelaki sejati yang tulen? kenapa begitu jeri menghadapi kematian? bukan begitu saja bahkan keberanianpun tidak menang dari aku Kiem Hoa Hujien yang berasal dari suku bangsa liar….”
“Bukan cayhe merasa takut menghadapi kematian, yang penting adalah berharga atau tidakkah kematian yang akan kami dapatkan. Seandainya kami harus mati terhisap darahnya oleh lalat-lalat darah itu atau mati karena tergigit oleh laba-laba beracun milik cici, bukankah mekatian itu akan membuat kami mati dengan mata tidak meram?”
“Soal itu kau tak usah kuatir. Harapan bagi kita untuk hidup sudah besar sekali. Sudah sepantasnya kalau kita rayakan kemenangan ini sambil tertawa terbahak-bahak.”
Habis berkata perempuan itu mulai tertawa lebih dulu dengan kerasnya.
Mendengar Kiem Hoa Hujien tertawa, Sang Pat tidak mau kalah diapun pentang mulutnya tertawa keras.
“Sedikitpun tidak salah” serunya. “Sebagai seorang lelaki jantang, lelaki sejati. Sekalipun mati harus harus mati dengan hati lapang….”
Dalam sekejap mata suara gelak tertawa berkumandang saling susul menyusul. Para jago sama-sama tertawa keras kecuali Tu Kioe dengan wajahnya yang adem ayem serta Siauw Ling yang pejam mata sambil duduk bersila.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tidak lama kemudian malam haripun menjelang tiba.
“Thio heng!” seru Sang Pat tiba-tiba sambil memandang udara. “Bintang mulai berhamburan diangkasa, apakah kita boleh segera berangkat!”
“Boleh, segera kita berangkat!”
Sang Pat lantas berpaling kearah Kiem Hoa Hujien dan berkata, “Hujien, bukankah jaring sarang laba-laba ini!”
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Tidak bakal salah bukan?” katanya sambil memandang kearah Thio Kie An.
“Tidak bakal salah!”
Dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien ambil keluar sebuah kotak kumala, kemudian ia berseru, “Siapakah diantara cuwi yang membawa korek api?”
“Cayhe ada!” sahut Suma Kan. “Apakah Hujien hendak melepaskan api, membakar sarang laba-laba ini?”
“Tak dapat kita bakar dengan api. Gerak gerik laba-laba beracun itu sangat cepat. Seandainya mereka sampai melarikan diri maka orang bakal jatuh korban. Maka kita harus musnahkan lebih dulu keempat ekor laba-laba beracun itu kemudian baru membakar sarang laba-labanya.”
“Lain dengan sara apakah Hujien akan melenyapkan keempat ekor laba-laba beracun itu?”
“Silahkan cuwi sekalian menikmati suatu keajaiban alam!” seraya berkata perempuan itu lantas membuka kotak pualamnya dan menggetarkan sang pergelangan kemuka.
Sekilas cahaya putih meluncur kemuka dan langsung menyambar laba-laba beracun yang ada didalam sarangnya.
Tatkala para jago memandangnya lebih seksama maka mereka lihat bahwasannya cahaya putih yang menyambar kedepan tadi kiranya adalah seekor ular kecil berwarna putih.
Begitu berjumpa dengan ular putih, keempat ekor laba-laba beracun itu secara tiba-tiba bersama-sama meluncur kearah ular putih tadi, bahkan langsung masuk kedalam mulut ular kecil itu.
Suma Kan yang angkat tinggi obornya membuat suasana disana jadi terang benderang, dengan sendirinya para jagoanpun dapat menyaksikan peristiwa tadi dengan hati kaget bercampur tercengang.
Perawakan tubuh ular putih itu kecil lagi pendek, sehabis menelan empat ekor laba-laba beracun bagian lambungnya segera melembung besar sekali.
Tampak Kiem Hoa Hujien angkat kembali kotak pualamnya. Ular tadi segera putar kepala dan menyusup balik kedalam tempatnya semula.
Perlahan-lahan Kiem Hoa Hujien menutup kembali kotaknya, setelah itu ia baru berseru, “Sekarang kalian boleh bakar sarang laba-laba itu hingga habis.”
Suma Kan mengiakan, dalam sekejap mata sarang laba-laba disekeliling tempat itu terbakar musnah dan lenyap tak berbekas.
Begitu sarang itu lenyap, para jago sambil menghembuskan napas panjang serentak berjalan keluar, mereka rasakan sekujur badan jadi lega dan segar.
Sang Pat lantas menggendong tubuh Thio Kie An seraya berseru, “Thio heng, kau tidak leluasa untuk bergerak sendiri, lebih baik siauwte bopong dirimu untuk meneruskan perjalanan!”
Pada saat itu Siauw Ling pun sudah bangkit berdiri, kepada Kiem Hoa Hujien tanyanya, “Cici, apakah kau bisa berjalan sendiri.”
“Tidak bisa!” sahut Kiem Hoa Hujien sambil menggeleng. “Paling sedikit aku harus beristirahat tiga hari lebih dulu sebelum meneruskan perjalanan, rupanya terpaksa aku harus merepotkan saudara untuk membopong diriku.”
Teringat akan budi pertolongan yang telah diberikan perempuan itu kepada dirinya, tanpa banyak bisara lagi Siauw Ling bongkokkan badan dan membopong tubuh Kiem Hoa Hujien.
Begitulah, dibawah pimpinan Tu Kioe mereka segera berjalan keluar dari tebing buntu itu dan naik keatas.
Ditengah perjalanan tiba-tiba Siauw Ling berhenti lalu berseru, “Saudara Tu, biarlah mereka berjalan lebih dulu, kau temani aku pergi mencari jejak dari Soen Loocianpwee serta Boe Wie Tootiang!”
Selamanya nada suara Tu Kioe tidak enak didengar, kepada siapapun dia merasa tidak takluk, tetapi terhadap Siauw Ling sikapnya amat menghormat. Mendengar seruan itu ia lantas mengiakan.
Siauw Ling kembali berpaling kearah Suma Kan.
“Suma heng, terpaksa siauwte harus merepotkan dirimu untuk….”
“Kau hendak suruh dia menggendong aku untuk meneruskan perjalanan?” Tukas Kiem Hoa Hujien tiba-tiba.
“Siauwte memang bermaksud begitu.”
“Tidak bisa jadi! aku mau tetap tinggal disini untuk membantu dirimu!”
“Cici, gerak gerikmu tidak leluasa mana mungkin bisa membantu diriku? aku takut malahan siauwtelah yang harus merawat dirimu.”
“Walaupun gerak gerikku tidak leluasa tetapi sekujur badanku penuh dengan binatang berbisa, seandaianya kau berjumpa lagi dengan lalat darah mungkin saja laba-laba racun yang kumiliki bisa menghadapinya, aku lebih baik bawalah serta diriku.”
“Ilmu silat yang dimiliki Ling touw toako cayhe amat lihay, seandainya dia harus menggendong dirimu mana bisa hadapi serangan musuh tangguh….” sambung Tu Kioe ketus. “Apabila hujien bersikeras hendak ikut, terpaksa aku harus menodai dirimu.”
“Apa yang kau maksudnya dengan menodai diriku?”
“Cayhe harus menggendong dirimu, bukankah itu seperti juga harus menodai dirimu?”
“Ah, kalau soal itu sih tidak mengapa?”
Tu Kioepun tidak sungkan-sungkan lagi, ia maju kedepan untuk menggendong Kiem Hoa Hujien kemudian sambil memandang kearah Suma Kan pesannya, “Suma heng, bawalah mereka berlalu dari sini dan tunggulah kami dibawah sepasang pohon-pohon Pak sepuluh li dari sini.”
Suma Kan mengiakan, dengan membawa Sang Pat sekalian ia berlalu lebih dulu.
Sepeninggalnya mereka. Siauw Ling menghembuskan napas panjang dan mengeluh.
“Bagaimana mungkin kita bisa temukan jejak mereka berdua?”
“Menurut pendapat siauwte, lebih baik kita bertahan disuatu tempat kemudian biarlah siauwte dnegan membawa anjing raksasa itu pergi mencari jejak mereka.”
Siauw Ling termenung sejenak, akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah! kalau begitu kuturuti saja pendapatmu!”
Sambil membopong Kiem Hoa Hujien dan menggandeng anjingnya Tu Kioe berjalan keatas sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia berjongkok sambil menepuk anjingnya dan bersuit rendah.
Tiba-tiba anjing itu menggonggong, laksana kilat ia lari kedepan.
Sungguh cepat lari anjing itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Kurang lebih seperminum teh kemudian, mendadak terdengar suara gonggongan anjing berkumandang.
“Aaaah, sudah ada kabar beritanya” seru Tu Kioe.
“Kabar berita soal apa?”
“Dua ekor anjingku telah saling berjumpa, anjing itu berada dalam keadaan sehat itu berarti baik Soen loocianpwee maupun Boe Wie Tootiang berada dalam keadaan sehat walafiat pula.”
“Sungguh?”
“Siauwte tidak berani membohongi toako.”
Seperempat jam kemudian dari kegelapan segera terlihatlah beberapa sosok bayangan hitam laksana kilat meluncur datang.
Pertama-tama dua ekor anjing itulah yang tiba lebih dulu disusul Soen Put Shia serta Boe Wie Tootiang dibelakangnya.
Buru-buru Siauw Ling maju menyongsong sambil menegur, “Apakah kalian berdua tidak berjumpa dengan lalat darah?”
“Kau maksudkan makhluk berbisa seperti tawon raksasa itu?” sahut Soen Put Shia.
“Waduuuh…. lihay! lihay….! sungguh luar biasa…. seandaianya Boe Wie Too heng tidak miliki otak yang encer, mungkin selembar jiwa aku sipengemis tua telah musnah ditangan makhluk terkutuk itu….!”
Didengar dari nada ucapan tersebut Siauw Ling yakin kedua orang tokoh besar dunia persilatan ini telah berjumpa dengan lalat darah, namun ketika dilihatnya mereka berada dalam keadaan sehat tanpa kekurangan sesuatu apapun, dalam hatinya heran.
Terdengar Boe Wie Tootiang telah berkata, “Kalau bukan loocianpwee melepaskan dua buah pukulan yang maha dahsyat, mungkin kami berdua tidak punya kesempatan untuk menghindari serangan maut lalat-lalat darah itu….” ia merandek dan menghela napas panjang. “Aaaai…. sungguh kasihan dua orang manusia yang melepaskan lalat darah itu, mereka mati konyol terhisap darahnya oleh lalat itu sendiri….”
“Apanya yang patut dikasihani?” mereka hendak habisin nyawa kita berdua, syukur kalau mereka sendirilah yang akhirnya harus mati konyol” gerutu Soen Put Shia.
“Mereka semua sedang menantikan kedatangan cianpwee berdua” tukas Siauw Ling. “Mari kita berjalan sambil bercerita!”
Tu Kioe membenarkan pendapat toakonya, maka ia bergerak lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Ditengah perjalanan Soen Put Shia berpaling kearah Siauw Ling dan menegur sambil tertawa, “Bagaimana? apakah kalianpun telah berjumpa dengan lalat darah?”
“Aaaai! kalau dibicarakan sungguh panjang sekali, sekarang boanpwee sedang hidup dengan nyawa cadangan!” maka diapun segera menceritakan kisah pengalamannya yang telah ia alami selama ini.
Selesai mendengar cerita itu, dengan alis berkerut Soen Put Shia berkata, “Jika demikian adanya, Kiem Hoa Hujien telah melepaskan jalan yang sesat dan kembali kejalan yang benar?”
“Pendapat pinto jauh berbeda!” seru Boe Wie Tootiang sambil tersenyum.
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Berulang kali Kiem Hoa Hujien menolong kita semua. Hal ini bukan lain disebabkan karena Siauw Ling….”
Ia berpaling memandang sekejap kearah si anak muda itu, lain sambungnya, “Sejak banyak tahun berselang pinto sudah banyak mendnegar tentang nama besar Kiem Hoa Hujien, orang ini bukan saja kejam dan sadis diapun berhati racun, separuh hidupnya sebagian besar dihabiskan untuk membuat keonaran dan kejahatan. Seandainya Djen Bok Hong tidak memahami betul-betul tabiat serta sepak terjangnya, bagaimana mungkin dia undang perempuan itu untuk hadir ditengah daratan Tionggoan.”
“Tapi Djen Bok Hong telah melepaskan racun keji kedalam tubuhnya” seru Siauw Ling dari samping.
“Gembong iblis tersebut bisa berbuat begini hal ini bukan lain karena dia punya hubungan yang erat dengan Siauw thayhiap….”
“Djen Bok Hong punya rasa curiga yang luar biasa terhadap setiap orang” kata si anak muda itu. “Semua orang dicurigainya bahkan sampai-sampai siraja obat bertangan kejipun sudah diracun pula. Aku rasa setiap insan manusia yang hidup dalam perkampungan Pek hoa San tjung, tak seorangpun yang lolos dari tangan jahatnya.”
“Meskipun ucapanmu itu benar, tetapi seandainya Djen Bok Hong tidak saksikan sikap Kiem Hoa Hujien yang istimewa terhadap diri Siauw thayhiap, meski dia turun tangan jahat, tidak nanti sekeji dan sedalam itu, apalagi memberitahukan hal ini secara terang-terangan kepadanya.”
Siauw Ling masih ingin coba membantah, namun Soen Put Shia sudah keburu tertawa tergelak.
“Haaa…. haaa…. haaa…. Siauw thayhiap tak usah coba mungkir lagi, aku pengemis tuapun dapat merasakan betapa kasih dan sayangnya Kiem Hoa Hujien terhadap dirimu. Perempuan ini sudah lama angkat nama, kalau dihitung-hitung usianya mungkin sudah setengah abad lebih” mendadak ia rasakan ucapan selanjutnya terlain kasar didengar, cepat-cepat ia membungkam.
Siauw Ling takut mereka membicarakan persoalan itu lebih mendalam, buru-buru ia tukas ditengah jalan.
“Cianpwee berdua belum menceritakan kisah perjalanan kalian. Boanpwee pingin mendengarnya!”
Soen Put Shia tersenyum dan mengangguk.
“Kami jauh masuk kedalam hutan untuk mencari saudara Siauw sekalian. Tapi sudah setengah lamanya kami berputar kayuh disini tanpa berhasil menemukan sesuatu jejak apapun, suatu ketika rupanya anjing itu mencurigakan, tiba-tiba ia putar badan dan lari keluar hutan. Aku serta tootiang sama-sama tidak paham bagaimana caranya memanggil balik anjing itu. Maka terpaksa kami ikuti saja anjing kemuka….”
Dia menghembuskan napas panjang, sesudah merandek sejenak sambungnya lebih jauh, “Setibanya diluar hutan, aku sipengemis tua saksikan anjing itu mendekam diatas tanah tanpa berkutik barang sedikitpun, sepasang matanya memandang kemuka dengan mata melotot. Aku sipengemis tua yang selamanya berangasan kali ini bisa tenangkan hati, mungkin itulah takdirku untuk mati. Aku cepat-cepat berhenti dan segera ikut menengok kemuka….”
Bicara sampai disitu ia melirik sekejap kearah Boe Wie Tootiang lalu tambahanya, “Pada saat itulah kebetulan Boe Wie Too heng tiba disana!”
“Benar. Waktu itu kebenaran pinto tiba disana, menyaksikan sikap loocianpwee yang aneh. Maka pinto segera pertingkat kewaspadaan terhadap keadaan disekeliling tempat itu.”
Soen Put Shia tertawa terbahak-bahak.
“Haaa…. haaa…. lama sekali aku sipengemis tua perhatikan keadaan dimuka, tapi tidak berhasil menemukan sesuatu walau sudah kuperiksa disitu berulang kali….”
“Kenapa?”
“Ternyata orang itu pada memakai baju berwarna hitam serta memakai kain kerudung berwarna hitam pula. Berdiri ditengah kegelapan malam keadaan mereka tak ada bedanya dengan pepohonan.”
“Oooooooow, kiranya begitu.”
“Seandainya Boe Wie Too heng tidak patahkan sebatang ranting kemudian disambit sebagai senjata rahasia. Aku pengemis tua masih tidak sadar kalau disitu berdiri manusia!”
“Dan seandaianya bukan pinto melepaskan senjata rahasia itu hingga merubuhkan salah satu diantaranya mungkin orang itu tidak akan melepaskan lalat darah” sambung Boe Wie Tootiang.
“Boe Wie Too heng berhati ramah dan penuh welas kasih. Kendati ia timpuk orang itu dengan ranting kayu namun serangannya enteng sekali hingga luka yang diderita tidak terlalu parah, siapa sangka pada saat itulah orang tadi putar badan sambil melepaskan lalat darah. untung aku sipengemis tua merasakan situasi tidak menguntungkan, buru-buru kulepas dua buah pukulan dahsyat untuk membendung serangan lalat darah itu, saat itulah Boe Wie Too heng menyeret aku sipengemis tua mengundurkan diri kedalam. Sementara itu segerombolan lalat darah sudah mengejar sampai, suara dengusan mereka amat keras memekikkan telinga….”
Ia sapu sekejap anjing raksasa disisinya lain menyambung lebih jauh, “Aaaai…. kalau dibicarakan ternyata kecerdasanku kalah dengan cerdiknya anjing, rupanya anjing itu merasa bahwa makhluk kecil yang sedang menyerang datang adalah makhluk berbisa, dengan cepat ia lari masuk kedalam sebuah pohon kering. Menyaksikan hal itu aku sipengemis tua serta Boe Wie Too heng pun buru-buru ikut bersembunyi disitu sambil siap melancarkan serangan untuk menahan serangan lalat darah itu.”
“Ditengah malam yang buta suasana remang-remang tidak jelas lagipula gerakan lalat darah itu sangat cepat, mereka berdua tidak sampai terluka oleh lalat darah itu boleh dibilang merupakan suatu keberuntungan” pikir Siauw Ling.
Terdengar Soen Put Shia lanjutkan ceritanya, “Pada saat itu aku sipengemis tua telah dapat menyaksikan bentuk makhluk yang terbang mendekat itu menyerupai tawon raksasa bahkan terbangnya sangat cepat melebihi binatang lain, bukan begitu saja makin lama jumlahnya semakin banyak. Dalam sekejap mata ribuan ekor sudah berkumpul disekitar situ. Meskipun aku sipengemis tua untuk sementara bisa memaksa mereka menjauh dengan angin pukulan, tapi lama kelamaan pasti akan roboh kehabisan tenaga. Untunglah pada saat yang kritis Boe Wie Too heng telah melepaskan dua bilah pisau belati melukai dua orang musuh yang melepaskan lalat darah itu. begitu mencium bau darah, lalat-lalat darah itu segera berganti arah dan mengerubuti kedua orang itu. Dalam sekejap mata darah mereka dihisap sampai kering. Menggunakan kesempatan dikala lalat-lalat darah itu sedang berpest. Boe Wie Too heng segera tarik aku sipengemis tua serta anjing itu dengan gerakan yang tercepat melarikan diri dari hutan tersebut.”
Bicara sampai disitu ia menghembuskan napas panjang, tambahnya, “Pengalaman yang kujumpai hanya begini sederhana namun mara bahaya yang kualami saat itu betul-betul amat kritis bila kukenang kembali…. Hiiiii…. badanku jadi merinding dan bulu kuduk pada bangun berdiri. Aaaai….! sepanjang hidupku entah berapa banyak kejadian seram yang kualami, berapa banyak makhluk berbisa yang kejumpai namun belum pernah kutemui ada orang menggunakan lalat darah semacam itu untuk melukai musuhnya.”
Tatkala ia menyelesaikan ceritanya, beberapa orang itupun sudah dibawah pohon Pak.
“Kalian berdua tentu mengalami kejadian yang mengejutkan bukan?” tegurnya.
Soen Put Shia tidak langsung menjawab sinar matanya berputar menyapu sekejap kearah para jago kemudian serunya, “Bagus sekali! bukan saja tak seorangpun diantara kalian terluka, bahkan malah bertambah lagi dengan dua orang.”
“Hey pengemis tua! kenapa kau tidak sekalian menghitung diriku? bukankah terang-terangan tambah tiga orang? mengapa kau bilang cuma dia orang?” tegur Kiem Hoa Hujien.
Soen Put Shia tertawa hambar.
“Aaah sungguh sempit dunia ini, sungguh tak disangka kita harus berjumpa lagi disini.”
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh.
“Eeei, pengemis tua. Setelah nyaris lolos dari kerubutan lalat darah, aku nasehati dirimu lebih baik jagalah baik-baik selembar jiwa tuamu. Aku dengar Djen Bok Hong telah bersumpah, dalam tiga bulan mendatang dia akan tebas batok kepalamu untuk kemudian dipamerkan didepan umum.”
“Selama hidup belum pernah aku pengemis tua takut digertak orang. Terima kasih atas peringatanmu itu.”
“Hmm! kalau Djen Bok Hong merasa tidak punya keyakinan, tidak nanti dia ucapkan kata sesumbar seperti itu, aku lihat kau harus lebih berhati-hati.”
Untuk sesaat suasana jadi sunyi senyap tak terdengar sedikit suarapun…. tiba-tiba terdengar Boe Wie Tootiang berseru, “Soen Loocianpwee. Coba kau dengar suara apa itu.”
Para jago sama-sama pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama. Secara lapat-lapat mereka dengar irama musik mengalun dengan merdunya ditempat kejauhan.
Suara itu aneh sekali, seperti seruling tapi tidak mirip seruling, seperti suara khiem tapi tidak mirip khiem. Tatkala didengar lebih jauh irama musik itu seolah-olah merupakan gabungan dari dua jenis alat musik.
“Suaranya mirip sekali dengan irama musik yang pernah mengundurkan Djen Bok Hong!” seru Soen Put Shia.
“Sedikitpun tidak salah, pintopun punya perasaan seperti itu.”
“Biarlah cayhe pergi memeriksa manusia macam apa dia itu” seru Siauw Ling tiba-tiba loncat bangun.
Gerakan tubuhnya sangat cepat, dalam sekejap mata dia sudah berada kurang lebih dua tombak dari tempat semula.
“Tootiang harap kau tetap tinggal disana. Aku sipengemis tua akan ikuti diri saudara Siauw!” seru Soen Put Shia cepat.
“Loocianpwee, kau harus hati-hati, lebih baik jangan bentrokan dengan orang lain!”
“Eeei…. apa yang telah terjadi?” tegur Kiem Hoa Hujien.
Boe Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Aaai…. kalau dibicarakan sungguh membuat orang merasa tidak percaya, seandainya pinto tidak saksikan sendiri, mungkin tidak akan kupercaya ada kejadian seperti itu. Sungguh tak kunyana dikolong langit benar-benar terdapat kejadian seaneh ini….”
“Tootiang, kau tak usah putar kayuh lebih jauh, terangkanlah sejelas-jelasnya!”
“Pada suatu malam Djen Bok Hong dengan memimpin para jago-jago lihaynya dari perkampungan Pek Hoa San tjung mengurung pinto serta Soen Loocianpwee sekalian. Kalau dibicarakan dari situasi pada saat itu. Seandainya sampai terjadi pertarungan pinto maupun Soen Loocianpwee pasti akan mati atau tertawan oleh kerubutan para jago dibawah pimpinan Djen Bok Hong itu. Disaat suasana diliputi ketegangan itulah tiba-tiba berkumandang datang suara irama musik yang sangat aneh, begitu mendengar irama musik itu dengan hati gugup dan gelisah Djen Bok Hong segera tarik seluruh jagonya dan melarikan diri dari sana. pertarungan sengitpun bisa terhindar dan nyaris pinto dan Soen Loocianpwee mati ditangan mereka.”
Terdengar Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh memutuskan ucapan Boe Wie Tootiang yang belum selesai diutarakan.
“Apa yang kau tertawakan?” tegur Tu Kioe ketus.
“Kalau didengar cerita itu mirip dengan igauan disiang hari bolong. Sungguh membuat orang sukar untuk mempercayainya.”
“Pinto alami sendiri kejadian itu, tidak nanti aku bicara bohong! kalau Hujien tidak percaya, pintopun tak bisa berbuat apa-apa…. untung disaat itu berlangsung, kecuali pinto masih ada Soen Loocianpwee ikut hadir ditengah kalangan.”
“Dalam kolong langit memang seringkali terjadi peristiwa yang aneh dan tidak masuk diakal” ujar Sang Pat sambil menghela napas. “Contohnya saja toako kami. Pada lima tahun berselang dia masih merupakan seorang pemuda yang lemah dan berpenyakitan tapi lima tahun kemudian dia sudah menjadi seorang pahlawan. Seorang enghiong dan pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan dunia persilatan.”
Untuk sementara waktu kita tinggalkan dulu Sang Pat sekalian, marilah kita ikuti Siauw Ling yang berlari menuju kearah berasalnya suara musik tadi dengan gerakan cepat. Dalam sekejap mata lima lie sudah terlampaui dan tiba didepan sebuah rumah gubuk.
Cahaya lampu lapat-lapat menyorot keluar dari balik rumah gubuk itu, sementara suara musik yang aneh tadi sudah sirap dan tidak terdengar lagi.
Dengan langkah perlahan dan hati-hati Siauw Ling maju beberapa langkah lagi kedepan kemudian berhenti dan awasi rumah gubuk itu dengan seksama.
Terdengar ujung baju tersampok angin berkumandang tiba disusul munculnya Soen Put Shia disisi pemuda itu.
“Saudara Siauw, apakah sudah berhasil menemukan sesuatu?” bisiknya.
“Jika dianalisa dari dengusan suara irama musik itu, rupanya musik aneh tadi berasal dari rumah gubuk ini.”
“Kalau memang begitu, mengapa tidak kita periksa isi gubuk tersebut?”
“Baik! mari kita ketuk pintu untuk mohon berjumpa dengan tuan rumah gubuk ini.”
Gubuk itu berdiri menunggal ditengah hutan alas yang sunyi dan terpencil, empat penjuru merupakan rumput alang-alang setinggi lutut sepintas lalu kelihatan sekali betapa seram dan liarnya tempat itu.
Pintu gubuk itu tertutup rapat, perlahan-lahan dengan langkah waspada kedua orang itu maju mendekat kemudian memeriksa dengan seksama, namun dari balik ruangan sama sekali tidak kedengaran suara apapun jua.
“Adakah orang didalam?” terdengar Soen Put Shia menegur sambil menggaplok pintu rumah dengan telapaknya. Pengemis tua ini meski usianya telah lanjut namun tabiatnya yang berangasan dan tidak sabaran tak dapat berubah juga.
“Siapa? kenapa tak tahu adat?” suara sahutan yang dingin lagi ketus menyahut dari dalam.
Soen Put Shia ingin mengumbar napsunya, tapi seraya pikirannya tidak bergerak, diam-diam ia berpikir, “Aaah, aku tak boleh bertindak gegabah, apalagi kalau orang yang berada didalam gubuk itu adalah manusia yang mainkan alat musik aneh tadi. Aku harus bertindak semakin hati-hati” karena berpikir ia lantas mendehem dan menyahut, “Cayhe adalah Soen Put Shia.”
“Kau laki-laki atau perempuan?” kembali pertanyaan yang bernada dingin lagi ketus berkumandang keluar.
“Kurang ajar orang ini….” batin sang pengemis tua dalam hati kecilnya. “Sekalipun generasi yang muda muncul dalam dunia persilatan dewasa ini sebagian besar tidak kenali aku orang she Soen. Semestinya nama ini pernah mereka dengar dari angkatan yang lebih tua, atau paling sedikit ia seharusnya bisa membedakan aku adalah seorang lelaki sejati dari suaraku yang serak lagi kasar….”
Berpikir begitu, dengan hati mendongkol ia lantas berseru, “Haaah masa untuk membedakan aku adalah laki-laki atau perempuanpun kau tidak sanggup.”
Orang didalam gubuk itu segera tertawa dingin.
“Hemm, coba kau dengar suaraku? terkalah aku adalah lelaki atau seorang perempuan?”
Ucapan ini membuat Soen Put Shia seketika ini juga berdiri tertegun, pikirnya didalam hati, “Jika didengar dari nada jelas dia adalah seorang lelaki tulen, tapi apa sebabnya ia ajukan pertanyaan seperti ini?”
Kendati pengetahuan serta pengalaman Soen Put Shia amat luas, untuk sesaat ia dibikin bingung juga oleh pertanyaan itu. Akhirnya ia berpaling kearah Siauw Ling dan bertanya: “Saudaraku, menurut pandanganmu dia adalah seorang pria atau seorang wanita?”
“Rupanya seorang lelaki!”
“Lookiauw hoa (Aku pengemis tuapun) merasa begitu!” sahut Soen Put Shia dia lantas pertinggi suaranya dan menyambung: “Aaah, bukankah terang-terangan suara anda adalah suara seorang laki-laki?”
“Hmmm! dugaanmu sama sekali meleset!”
“Tapi…. jika didengar dari nada suaramu barusan, terang kau adalah seorang pria. Masa dugaanku meleset?” teriak sipengemis tua dengan alis berkerut.
Tangan kanan mengerahkan tenaga dan segera melepaskan pukulan satu pukulan dahsyat…. Bium! palang pintu terhantam patah menyebabkan pintu gubuk itupun segera terpentang lebar.
Melihat pukulannya berhasil pengemis tua itu segera bertindak maju kedepan, namun sebelum ia sempat melangkah masuk kedalam pintu segulung angin pukulan yang maha dahsyat menggulung keluar.
Angin pukulan yang menggulung datang itu bukan saja luar biasa hebatnya bahkan cepat laksana sambaran kilat. Sebelum Soen Put Shia sempat melihat jelas pemadangan dalam ruangan itu, pukulan sudah melanda tiba.
Dalam keadaan gugup dan terpopoh-popoh tidak sempat lagi pengemis tua itu untuk berpikir lebih jauh sebisanya diapun melancarkan sebuah pukulan untuk membendung datangnya ancaman.
Blumm…. dua angin pukulan yang maha dahsyat saling bertemu ditengah udara menimbulkan pusaran angin puyuh yang hebat. Soen Put Shia merasakan sekujur badannya bergetar keras. Tanpa bisa dikuasai lagi ia terdorong mundur kebelakang.
Braak! pintu besar gubuk itupun secara tiba-tiba menutup kembali.
Siauw Ling yang menyaksikan berlangsungnya peristiwa itu dari samping meski tidak sambut serangan lawan secara langsung, namun dengan mata kepala sendiri ia saksikan Soen Put Shia seorang tokoh maha sakti dari dunia persilatan terdorong mundur kebelakang, dalam hati ia lantas berpikir, “Entah jagoan dari mana yang punya kepandaian serta tenaga kweekang begitu dahsyat.”
Dalam hati berpikir begitu, diluaran ia lantas menegur, “Loocianpwee, berhasil melihat wajah musuh?”
“Tidak….!” suaranya berubah jadi lirih. “Saudaraku rupanya kita sudah berjumpa dengan musuh tangguh, lebih baik kita jangan turun tangan secara gegabah.”
“Apakah kita harus mengundurkan diri dengan begini saja?”
“Tentu saja tidak!” dengan suara lantang ia lanjutkan. “Aku sipengemis tua mempunyai satu persoalan mohon petunjuk saudara, apakah kau suka membantu?”
“Persoalan apa?” suara dingin ketus tadi kembali berkumandang keluar dari dalam gubuk.
“Tadi lookiauw hoa mendengar adanya suara irama musik yang sangat aneh, apakah irama musik tadi adalah hasil karyamu?”
“Bukan, orang yang memainkan irama musik itu sudah pergi meninggalkan tempat ini sejak tadi.”
“Kemanakah ia pergi?”
“Jagad begitu luas, siapa tahu ia pergi kemana?”
Perlahan-lahan Siauw Ling mengulurkan tangannya meraba pintu gubuk itu, sedang dalam hati pikirnya, “Dengan kekuatan angin pukulan dari Soen loocianpwee, ia berhasil menghancurkan pintu kayu ini. Kecuali orang yang ada didalam ruangan itu bisa melepaskan angin pukulan yang seimbang dengan kekuatanku rasanya pintu ini masih bisa dipertahankan. Tapi orang itu begitu hebat, ia bisa menyesuaikan diri dengan keadaan disekelilingnya aku tak boleh pandang enteng dirinya….”
Pada saat itu Soen Put Shia pun rupanya telah merasakan bahwa dia telah berjumpa dengan musuh paling tangguh selama hidupnya setelah kejadian tadi ia tidak melepaskan serangan lagi. Lama sekali pengemis tua termenung akhirnya ia berkata, “Tenaga pukulan saudara benar-benar hebat dan jarang sekali ditemui dalam kolong langit, meski begitu lookiauw hoa rasa kaupun tak usah unjukkan tindak tanduk yang aneh dan kukoay. Atau mungkin anggap aku sipengemis tua belum sesuai untuk berjumpa dengan tokoh lihay macam kau….”
Jelas maksud sipengemis tua ini adalah memanaskan hati orang dalam gubuk itu agar dia membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Siapa tahu bukan saja tiada gerak gerik apapun bahkan setelah ditunggu lamapun tidak kedengaran suara jawaban berkumandang keluar.
Soen Put Shia tak dapat menahan sabar lagi, dengan gusar teriaknya, “Hey….! saudara betul-betul terlalu menghina orang lain!”
Blam! sebuah pukulan dahsyat segera dilepaskan menghantam pintu kayu itu.
Diiringi suara gemuruh yang amat keras, pintu rumah gubuk kayu itu terhantam hancur oleh angin pukulan Soen Put Shia yang lihay dan berantakan diatas tanah.
Kejadian ini sungguh berbeda diluar dugaan kedua orang jago itu. Untuk sesaat mereka berdiri tertegun, tapi sebentar kemudian Siauw Ling sudah mendusin, dia segera loncat masuk kedalam ruangan gubuk itu.
Suasana dalam ruangan sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Bahkan tidak nampak sesosok bayangan manusiapun ada disitu jelas penghuninya telah melarikan diri.
Soen Put Shia segera pasang lampu untuk menerangi seluruh ruangan, tiba-tiba mereka saksikan adanya secarik kertas menggeletak diatas meja.
Dengan cepat Siauw Ling menyerbu kedepan mengambil kertas tadi dan dibacanya dibawah sorotan cahaya lampu.
Terbacalah surat itu berbunyi demikian, “Dipersembahkan kepada Siauw thayhiap.”
“Djen Bok Hong adalah gembong iblis yang kejam dan mempunyai ketajaman mata serta pendengaran yang luar biasa. Demi keselamatan ayah ibumu maka bagaimanapun juga terpaksa kami harus merahasiakan jejak kami.”
Membaca sampai disitu Siauw Ling tertegun dan berdiri termangu-mangu.
“Rupanya dia adalah jago lihay yang berdiri dipihak kita” gumamnya seorang diri.
“Benar” Soen Put Shia menyahut. “Djen Bok Hong memang manusia yang punya banyak akal licik, sebelum mengetahui duduknya perkara kita tak boleh percaya seratus persen.”
“Ucapan loocianpwee sedikitpun tidak salah.”
Maka diapun menernakan membaca isi surat itu.
“Ayah ibumu sudah tua, tidak mungkin bagi mereka berdua untuk melakukan perjalanan lagi, untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan maka kami harus mencari suatu tempat yang cocok dan sesuai bagi mereka untuk beristirahat, tapi situasi terus menerus mendesak. Jari tangan iblis Djen Bok Hong telah alihkan keatas tubuh dua orang tua yang tidak mengerti akan ilmu silat itu. Untuk menyelamatkan jiwa mereka terpaksa kami harus bertindak cepat. Djen Bok Hong mempunyai mata-mata yang luas dipelbagai tempat, posisimu berada ditempat terang sedang dia berada ditempat kegelapan. Dalam pertarungan ini jelas kau sudah menderita rugi terlebih dahulu. Dalam keadaan seperti ini tentu kau tidak punya kekuatan untuk melindungi kedua orang tuamu lagi bukan? untuk membantu meringankan bebanmu, serahkan saja tanggung jawab ayah ibumu kepada kami, kami jamin kesehatan serta keselamatan kedua orang tuamu tidak kekurangan sesuatu apapun juga.”
“Sehabis membaca surat ini bakarlah sampai hancur. Suatu saat bila kau ingin berjumpa dengan mereka. Aku pasti kirim orang untuk mencari dirimu. Sekianlah harap kau legakan hati.”
Dibawah surat itu tidak nampak ada nama orang atau tanda tangan sipenulis surat itu.
“Apakah kau hendak menyimpan surat itu?” tanya Soen Put Shia.
Siauw Ling berpikir sebentar kemudian geleng kepala.
“Aku lihat tak usah!” sahutnya.
Surat itu segera dibakar dan dalam sekejap mata telah hancur jadi abu.
“Kalau didengar dari nada surat itu, agaknya dia kenal sekali dengan dirimu” ujar sang pengemis kemudian.
“Tidak salah, tapi aku tidak bisa menduga siapakah orang itu meski sudah putar otak sekian lama.”
“Berbicara lagi situasi yang kita hadapi sekarang ini, agaknya tak mungkin lagi bagi kita untuk menemukan jejak ayah ibumu.”
“Aaaai…. ia tidak tinggalkan nama, tidak jelaskan pula kedudukan serta asal usulnya. Darimana cayhe berlega hati tidak memikirkan persoalan itu?”
“Saudara Siauw, lookiauw hoa terpaksa harus menasehati dirimu dengan beberapa patah kata. Dalam keadaan serta situasi seperti ini kendati kau gelisah dan cemas macam apapun rasanya percuma saja. Seandainya tujuan orang itu menawan kedua orang tuamu adalah hendak memaksa kita memenuhi sesuatu permintaannya. Isi hati mereka pasti telah dicantumkan dalam surat tersebut, atau paling sedikit mereka tentu akan menyinggungnya sepintas lalu. Tapi dalam suratnya barusan lookiauw hoa sama sekali tidak menemukan sepatah atau dua patah kata yang bernada kearah situ maka menurut pengalamanku, orang itu pasti tidak mengandung maksud jahat.”
Sementara itu obor yang dibawa Soen Put Shia telah padam, suasana dalam ruang gubuk itupun jadi gelap kembali.
Siauw Ling angkat kepalanya dan menghembuskan napas panjang.
“Aaaai…. hingga kini, akhirnya kita berhasil bikin terang satu persoalan!”
“Persoalan apa?”
“Orang yang mukul mundur Djen Bok Hong dengan irama musiknya serta orang yang menculik ayah ibu boanpwee kiranya adalah hasil perbuatan seseorang yang sama.”
“Haaa! sedikitpun tidak salah, enghiong memang kebanyakan kaum muda. Lookiauw hoa benar orang yang bodoh, kenapa aku tidak bisa berpikir sampai kesitu….”