Rahasia Istana Terlarang Jilid 04

Jilid 4

ILMU silat yang kalian bertiga miliki sangat lihay, pinto duga tabiat kalianpun pastilah sangat tinggi hati. Oleh sebab itu mau tak mau pinto harus menggunakan rantai emas yang di-buat secara istimewa untuk merantai kalian bertiga. Haruslah cuwi sekalipun ketahui. rantai emas yang kalian pakai saat ini merupakan rantai yang dibuat dari serat ulat sutera dicampur dengan besi baja, bukan amat kokoh dan ulet bahkan tempat dimana rantai tersebut membelenggu tubuh kalian merupakan sendi-sendi penting serta urat-urat nadi penting. Meskipun kalian punya kekuatan seribu katipun dan memliliki senjata pokiam jangan harap bisa mematahkan rantai itu.

“Ha…. ha…. ha…. sungguh licik perbuatan Too tiang, dan sungguh lihay siasat kalian.” sin-dir Sang Pat sambil tertawa terbahak bahak. Siauw Yauw-co tertawa hambar. “Koen-cu kami hanya mempunyai tiga buah rantai emas yang dibuat secara istimewa apabila dipihak kalian bertambah lagi dengan seorang saja maka kami akan kekurangan alat untuk merantai kalian-kalian….”

la merandek sejenak lalu menambah: “Ambil dan rampas semua senjata tajam yang mereka bawa!”

Bocah berbaju hijau serta dara berbaju bijau itu segera mengiakan, tanpa menimbulkan sedikit suarapun secara terpisah mereka menyerang pedang milik Siauw Ling serta senjata pit baja milik To Kioe.

Melihat datangnya serangan. Tu Kioe kesamping untuk menghindari diri dari cengkeraman kelima jari lawan, kemudian kakinya melancarkan sebuah tendang-an kilat menghajar tubuh bocah berbaju bi-jau itu.

Gerak-gerak bocah berbnju hijau amat ge-sit dan lincah sekali, badannya berkelit kesamping kemudian jari berkelebat menotok jalan daran “Sian Ciong-hiat” yang terletak dikaki kanan Tu Kioe.

“Tu Kioe merasa amat terperanjat melihat bocah itn mengancam jalan darahnya, Iaksana kilat ia tarik kebelakang kaki kanannya dan berpikir.

“Sungguh tak nyana kepandaian silat yang dimiliki bocah lni luar biasa sekali….” Tiba-tiba terdengar Siauw Ling berseru: “Saudara Tu, tak usah melawan, berikan saja senjata tajam kita kepada mereka.”

Tu Kioe selamanya tak berani membangkang” perintah Siauw Ling, mendengar ucapan tersebut iapun tidak mengadakan perlawanan lagi.

Bocah lelaki itu segera menyabut keluar senjata pit baja yang tersoren dipunggung Tu Kioe sementara dara berbaju yang hijau tersebut Sudan mengambil pedang milik Siauw Ling dan bergerak mendekati Sang Pat.

“Dimanakah senjata tajammu kau sim-pan??” tanyanya.

“Sengaja tajam sih ada cuma kurang leluasa bagimu untuk mengambilnya keluar Harap nona suka membuka lebih dalu senjata itu kemudian borgol itu baru dikenakan kembali???”

Jelas dara berbaju hijau itu sama sekali tak ada pengalaman didalam dunia persilatan, mendengar ucapan dari Sang Pat tersebut bungkam dalam seribu bahasa untuk beberapa saat lamanya sepatah katapun tak sanggup diutarakan keluar.

Tampaklah bocah berbaju hijau itu segera datang menghampiri mereka, dan tegur-nya, “Dimana anda simpan senjata tajammu? Cayhe suka mewakili dirimu untuk mengambilnya keluar.”

“Kalau begitu merepotkan saudara cilik untuk mengambil sendiri,” seru Sang Pat seraya sengaja menggembungkan perutnya.

Dari balik jubah Sang Pat yang lebar akhirnya bocah tersebut berhasil merampas senjata sie-poa emas tersebut, kemudian berpaling kearah Siauw Yauw-cu yang selama ini berdiri diujung perahu panca-warna dengan mulut membungkam, tenaknya.

“Semua senjata telah kami rampas semua!” ‘Baik sekali, kalian boleh naik keatas perahu!”

Kedua orang itu mengiakan. dengan membawa senjata tajam milik Siauw Ling merekapun meloncat keatas perahu.

Perlahan lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah Siauw Yauw-cu lalu seru-nya.

“Senjata tajam kami semua telah berhasil kau rampas. sekarang Tootiang masih ada petunjuk apa lagi?”

Sejak semnla aku sudah tahu kalau sihi-dung kerbau ini tak bisa dipercayn, dugaan ku ternyata tidak meleset,” sela Tu Kios dingin.

Siauw Yauw-co sama sekali tidak menja-di gusar karena sindiran itu, ia malab ter-tawa ha-mbar dan menyahut.

“Kalian bertiga telah memakai borgol emas, pinto rasa dalam gerak-gerik tentu kurang leluasa, biarlah pinto turunkan tangga untuk mempersilahkan kalian bertiga naik perahu.”

Tidak menantikan jawaban dari Siauw Ling lagi, ia berpaling dan memerintah-”Turunkan tangga!”

Siauw Ling tidak banyak bicara, ia berjalan lebih dahulu menaiki perahu pancawarna tadi disnsul Tiong Chiu Siang Ku dibela-kangnya.

Perahu pancawrrna tersebut amat luas sekali geladaknya, panjang kurang lebih tiga tombak dengan lebar mencapai satu tombak lebih dua tiga depa.

Diujung geladak terrdapat sebuah ruang perahu yang pintu ruang tersebut terukir dengan sebuah naga sakti serta burung Hong.

Dua belas orang lelaki kekar berbaju hitam dengan golok tersoren dipunggung berdi ri sejajar dibelakang Siauw Yauw-cn.

Tampak Siauw Yauw-cu ulapkan tangan-nya, dua belas orang lelaki berbaju bitam tadi laksana kilat menyebar kesamping dan membuka sebuah jalan untuk lewat para jago,

Samentara itu Sang Pat memperhatikan tiang layar diatas perahu itu dengan seksama, ia merasa bahwa perahu ini jauh berbeda bentuknya dengan perahu-perahu biasa, jelas bahan maupun bentaknya dibikin secara istimewa dan kokoh sekali.

“Harap kalian bertiga suka menanti sejenak diatas geladak,” ujar Siauw Yauw-cu sambil tersenynm.” Pinto segera akan masuk kedalam untuk memberi laporan kepada Koencu kami agar beliau dapat keluar untuk menyambut kedatangan kalian bertiga.”

“Kunjungan ini bukan muncul atas dasar hati kecil kami sendirl, aku rasa kalian tak usah banyak adat,” tukas Siauw Ling hambar.

“Pinto pernah menjanjikan hal itu kepada kalian bertiga, setelah kujanjikan mana bo-leh kuingkari kembali???”

Dengan langkah lebar ia lantas masnk ke dalam ruang perahu.

Pintu ruang perahu yang semula tertutup rapat tiba-tiba membuka dengan sendirinya, tapi setelah Siauw Yauw-cu melangkah ma-sok pintu tersebut kembali menutup sendiri-”Rantai emas ini amat kokoh dan kuat-nya luar biasa,” bisik Sang Pat dengan suara lirih. “Secara diam-diam siauw-te telah coba mengarahkan tenaga namun rantai tersebut gagal juga kupatahkan….”

“Pada saat ini kita sudah terpesosok ked lam jebakan orang. bila keadaan tidak terlalu memaksa aku harap saudara berdua suka bersabar diri!”

“Kami berdua pasti akan melaksanakan perintah toako dengan betul-betuL….”

“Walaupnn rantai emas ini sulit bagi kita untuk mematahkannya, tapi bukankah kita masih punya dua kaki untuk melakukan perlawanan?” selalu Tu Kioe dari samping.” Siauw-te rasa hal yang paling menyulitkan

Saat ini kita masih berada diatas perahu, sedangkan kami bersaudara tidak pandai akan ilmu dalam air, sekalipun berhasil menerjang keluar dari kepungan mereka belum tentu bisa lolos dari sungai ini.”

“Pendapat saudara Tu tepat sekali,oleh sebab itulah kita harus berusaha untuk sabar…. dan sabar.”

Tiba-ttba tampak pintu ruang perahu yang tertutup membentang lebar kembali diiknti munculnya dua orang bocab berbaju hijau itu adalah empat orang dara berbaju hijau pula, mereka semua sama-sama menyoren sebuah pedang panjang.

“Loo-toa!” Tu Kioe segera berbisik kepada Sang Pat dengan nada amat lirih, “Aku rasa Su Hay Koen-cu pastilah seorang lelaki hidung bangor yang gemar main prempuan.”

“Darimana kau bisa tahu “

Coba kau lihnt diantara atiak buahnya bocah perempuan jauh lebib banyak daripa-da bocah lelaki….

Sementara mereka sedang hercakap-cakap, tiba-tiba terdengar irama musik yang merdu berkumandang datang, ditengah iringan musik yang merdu merayu perluban-lahan muncul seorang lelaki berbaju kuning emas dengan sulaman seekor naga dari warna emas pula.

Usia orang itu tidak terlalu besar, kurang lebih diantara tiga puluh tahunan, wajah putih bersih tak berjenggot, langkahnya perla-han dan mantap seolah mengikuti irama musik.

“Hemmm! sungguh gede lagaknya, diang-gap setelah berlagak begitu lama mirip seorang kaisar? cisss! sungguh memuakkan,” maki Tu Kioe dsngun nada lirih.

Siauw Yauw-cu berjalan mengikuti dibelakang lelaki berjubah kuning emas itu. setelah keluar dari pintu ruang perahu mendadak ia percepat langkahnya mendahului orang berjubah kuning itu dan menuju kehadapan Siauw Ling serunya.

“Koen-cu telah keluar dari ruangan. harap kalian bertiga suka munyambut dengan segala penghormatan.”

“Hemmm, kenapa aku harus menyembah dirinya?” tukas Tu Kioe dingin. “Jangan di-kata dia bukan Kaisar sungguhan. sekalipun kaisar snngguhan yang berada dihadapanku pun belum tentu kami bersaudara sudi menyembah dirinya….”

Walaupun ucapan tersebut diutarakan tidak terlalu keras, tapi orang berjubah kuning itu dapat mendengarnya dengan amat jelas sekali, sepasang matanya yang bersinar tajam segera menyapu kearahnya.

Siauw Yauw cu ada…. maksud menasehati ketiga orang itu dengan beberapa patah kata tapi mendadak ia batalkan maksudnya itu.

Ternyata takut Sianw Ling sekalian masih mengucapkan kata yang semakin tak enak didengar, bukan kebaikan yang diterima sebaliknya malah kejelekan oleh sebab itu tat kala perkataannya Sudah meluncur hampir di bibirnya ia telan kembali mentah-mentah.

Sementara itu tampakhh dua orang bocah berbaju hijau serta dara berbaju hijau itu sudah berhenti kurang lebih tiga empat tombak didepan ketiga orang itu, mereka memecah diri kedua belah samping dan membuka satu jalan lewat buat mereka.

Perlahan-lahan orang berbaju kuning itu berjalan melampui bocah berbaju hijau iyu setibanya dihadapan para jago ujarnya perlahan, “Barusan cayhe dengar pujian dari Kok su kami tentang nama besar kalian bertiga, Sudan lama cayhe merasa kagum dan ingin berkenalan.

“Aaaah…. jadi dia benar-benar mau memberontak?’” pikir Siauw Ling dalam hati, “Kau menyebut dirimu sebagai Su Hay Koen cu dan menyebut pula sihidung kerbau itu sebagai Kok su…. cuma andalkan beberapa buah sampan serta perahu panca warna lni-pun kau ingin menyamakan dirimu sebagai kekuatan sesuatu kerajaan.”

Dalam hati memaki diluaran menjawab, “Terima kasih…. terima…. kasih…. Koen-cu terlalu memuji.”

“Silahkan kalian bertiga masuk kedalam ruangan dalam agar cayhe bisa menyampaikan rasa penghargaan kami terhadap kalian bertiga.”

“Hhhim, kami bersaudara adalah manusia-manusia kasar dari dunia persilatan.” sela Tu Kioe dingin, hatinya tnerasa panas sekali. “Tidak pantas bagi manusia macam kami untuk masuk kedalam ruang istana Kaisar, apabila tlngkah-laku kami kurang sesuai. bukankah hal ini malah akan merusak pemandangan disana?”

“Tidak mengapa ” Siauw Yauw-cu segera menyela. “Koen cu kami selalu bersikap besar juga, dan suka bakat-bakat yang baik. Cuwi sekalian adalah orang-orang tersohor dalam dunia persilatan, itulah manusia-manusia berbakat yang digemari Koen-cu kami, sekalipun sikap kalian agak kasarpun tidak akan jadi soal!”

“Perkataan Kok-su sedikitpun tidak salah, silahkan kalian bertiga masuk kedalam ruang’ an untuk berbicara!” sambung orang berjubah kuning itu. Mendengar tawaran itu. Siauw Ling segera berpikir didalam hatinya.

“Setelah kami berada diatas perahu Panca Warna ini, sudah sepantasnya kalau masuk

kedalam ruang perahu untuk mengadakan pembicaraan dengan mereka….”

Karena berpikir demikian ia lantas melangkah masuk kedalam ruang perahu itu.

Menyaksikan Toakonya masuk. Sang Pat serta Tu Kioe pun tarpaksa mengikuti dibe-lakangnya. Orang berjabah kuning itu berpaling memandang sekejap kearah Sianw Yauw Cu kemudian mengikuti dibelakang ketiga orang itn masuk kedalam ruang perahu.

Ruangan didalam perahu itu amat luas, perabot yang ada disanapun rata-rata merupakan benda berharga, membuat suasana kelihatannya megah, agung dan mewah.

Diatas lantai perahu dilapisi oleh sebuah permadani merah yang sangat tebal. sekeli-Iing dinding dilapisi oleh kain berwarna hijau, sebuah kursi emas berukiran naga dan burung hong terletak ditengah ruangan, sebuah meja panjang terbuat dari kayu cenda-na ada didepan kursi tersebut.

atas dinding dibelakang kursi kebesaran yang terbuat dari emas tadi tergantung sebuah lukisan raksasa yang panjangnya mencapai enam depa, diatas lukisan tersebut tertulis kata-kata yang berbunyi: “Peta situasi dunia persilatan” Tulisan itu bukan saja amat besar babkan diwarisi dengan warna yang menyolok sehingga menarik perhatian siapapun yang melihat.

Siauw Ling segera memperhatikan isi peta itu dengan seksama, tampaklah diatas pe ta tadi tergambarlah letak kekuatan setiap perguruan dan partai yang ada dikolong la-ngit. disamping itu tercatat pula ilmu silat andalan mereka serta jumlah anak muridnya.

Baik pihak Siauw-lim-sie maupun perkumpulan Pek-Hoa san-cang sama-sama tercantum disana, hanya bedanya satu pihak merupakan kekuatan Bu-lim yang berdiri sejak- jauh kala dibanding pihak lain

Jelas pengetahuan Su Hay Roencu terhadap kedua tempat itu terbatas sekali, hal ini dapat dilihat dan Catatan yang sama sekali tak ada diisi lukisan tersebut, mereka tidak cantumkan keistimewaan ilmu silat mereka terjumlah anggotanya.

“Su Hay Koencu betul-betul seorang manusia luar biasa,” diam-diam Siauw Ling berpikir. “Cukup untuk membuat peta Situasi dunia persilatan ini saja, entah ia sudah mem buang berapa banyak waktu?”

Dalam pada itu tampak orang berbaju kuning itu sudah naik keatas kursi kebesaran nya dan ambil tempat duduk, lain berseru.

Silahkan kalian bertiga ambil tempat duduk!”

“Kurang ajar!” pikir San Pat.

Terdengar Siauw Yanwtcu tertawa dan berseru pula.

“Silahkan kalian bertiga ambil tempat duduk.

“Setelah datang kenapa harus bertindak hati?” pikir Siauw Ling, ia segera melangkah depan dan ambil tempat duduk. Melihat Toakonya duduk, sepasang pedang dari Ting Chiu pada ikut ambil tempat isinya.

“Hidangkan air teh!” Teriak Sianw Yauw sambil tersenyum.

tampak dinding ruang perahu itu bergeser kesamping dan muncullah sebuah pintu rahasia, lima orang dayang caiitik berpakaian warna warni secara beruntun berjalan keluar, masing-masing orang membawa sebuah nampan kumala, diatas nampan terletak sebuah cawan dengan isi air wangi, masing-masing berjalan kehadapan Siauw Ling dan Tiong-chiu Siang Ku Iain menghindarkan air teh tersebut.

Meskipun sepasang tangan Siauw Ling serta Siong Chiu Siang Ku diborgol dengan rantai emas namun kelima jari tangan masih dapat digunakan secara leluasa, hanya saja gerak geriknya kurang leluasa.

Melihat hidangan tersebut diangsurkan kepada mereka, ketiga orang itu melirik sekejap kearah Siauw Yauw cu dengan pandangan dingin, lalu menyahut.

“Terima kasih nona, tak usah repot-repot!” Sedangkan Sepasang pedagang dari Tiong-chiu hanya tertawa dingin belaka, sepatah katapun tidak diucapkan.

Seorang berjubah kuning serta Siauw Yauw cu masing-masing mengulurkan tangannya menerima angsuran cawan dari atas nampan.

“Kalau memnng kalian bertiga tak mau minum lebih baik kamu segera mengundur-kan diri,” Seru Siauw Yauw-cu sambil ulap kan tangannya kearah para dayang tersebut.

Lima orang dayang cantik sama-sama putar badan dan mengundukan diri kebalik pintu rahasia diujung dinding tersebut.

Perlahau lahan Siauw Yauw cu meletakkan cawan air tehnya keatas meja. kemudian ke pada orang berbaju kuning bisiknya lirih.

“Bilamana Kocncu ada persoalan silahkan diutarakan kepada ketiga orang tamu terhormat kita ini.”

Orang berjjbah kuning itu tersenyum dan mengangguk.

“Sudah lama kudengar nama besar kalian berriga, sungguh beruntung ini hari Cayhe dapat berjumpa dengan kalian,” ujarnya. “Dewasa ini situasi dalam BuIim amat kalut, pertempuan terjadi dimana mana, budi dan dendam terus menerus berlangsung dijagad entah sarnpai kapan kesemuanya in akan berakhir, menyaksikan kesemuanya ini’ kian hari hatiku makin tidak tega. bicara terus terang puda saat ini cayhe ada niat untuk terjun kedalam dunia persilatan dan berusaha untuk mencegah pembunuhan. itu lebih lanjut dan berusaha untuk mewu-judkan keadilan serta kedamaian dalam dunia.” Ia merandek sejenak dan menambabkan.

Bagaimanakah pendapat kalian-bertiga mengenai persoaian ini?”

Sinar mata Siauw Ling segera beralih keatas wajah Sang Pat, ia bermaksud agar dialah yang buka Suara.

Sang Pat rnenerima maksud toakonya, ia mendehem ringan lalu tertawa terbahak-ba-hak.

Melihat Sang Pat tertawa, orang berjubah kuning itu mengkerutkan alisnya rapat-rapat, rupanya ia mau mengumbar amarah namns akhirnya ditahan juga niatnya itu.

“Ha…. haaa…. Koen-cu, jadi kau ingin muncul kedalam Bu-lim sebagai penengah? Wah…. kalau begitu dunia bakal tertolong nih!”

“Siapa nama kalian?” tegur orang berjubah knning itn dengan alis mengkerut.

“Cayhe adalah Sie-sie-poa emas Sang Pat.”

“Ouw…. kalau begitu kalian berdua adalah jago Bu-lim yang disebut Sepasang Pedagang dari Tiong-chiu bukan?” kata orang itu sam-bil menyapu pula kearah To Kioe, setelah itu ia memandang kearah Sianw Ling dan melanjutkan. “Sedang saudara ini pastilah Siauw Ling-heng, bukan begitu?”

“Sedikitpun tidak salah.”

Orang berjubah kuning itu mengangkat Cawan air tehnya untuk menghirup seteguk, lain berkata kembali, “Cayhe ada maksud untuk tampil kedepan sebagai penengah dan menyelesaikan segala peristiwa yang ada didalam Bu-lim. Untuk mewujubkan hal tersebut banyak sekali jago-jago lihay yang kubutuhkan tenaganya untuk membantu. tolong tanya apakah kalian sudi membantu citaku ini?”

“Kalau Koen-cu memang punya cita-cita luhur seperti itu, kami merasa amat kagum sekali,” sahut Sang Pat. “Ditambah pula ada Siauw Yauw tootiang yang selalu membantu, usaha ini pasti akan berhasil.

Aaaai berbicara terus terang saja, kami sekalian hanyalah kurcaci-kurcaci dalam Bu-lim, ilmu silat kami cetek, mungkin tak akan sanggup bagi kami untuk membantu cita-cita Koen-cu itu!”

“Kok-su kami telah perkenalkan ilmu silat kalian bertiga, disamping itu cayhe pun sudah lama mendengar nama besar kalian semua. bila kalian suka membantu, cayhe pasti akan menghargai tenaga-tenaga kalian ini. Bila mana dikemndian hari cayhe berhasil menduduki kursi Koen cu dalam Bu lim, ja-sa kalian bertiga pasti akan cayhe balas.”

“Kurang ajar…. ketahuan sekarang ambisinya yang gede itu.” maki Sang Pat d dalam hati. Walaupun begitu diluaran ia menyahut juga.

“Masalah ini menyangkut suatu persoalan yang maha besar. sulit bagi cayhe sekalian untuk mengambil keputusan dalam waktu singkat.

“Bagaimana menurut pendapat Kok-sn?” sinar mata orang berjubah kuning itu segera dialihkan keatas wajah Siauw Yauw-cu.

“Menurut pendapat pinto, persoalan ini sangat gampang sekali. Mau tidak mau bu-kanlah bisa diputuskan dengan sepatah kata saja? Apa gunanya dipikirkan lebih jauh?”

Perkataan ini boleh dibilang secara langsung mengenai sasaran membuat Sang Pat tak bisa berkutik lebih jauh. terpaksa ia berbisik lirih kepada diri Siauw Ling, “Toako lebih kau sajalah yang mengambil keputnsan!”

Siauw Ling termenung sejenak, setelah itu barn menjawab, “Seandainya cayhe sekalian tidak sudi mem baktikan diri kepada Koen-cu apa yang hendak kau lakukan7″

Rupanya orang berjubah kuning itu sama sekali tidak menyangka kalau si anak muda ini berani berbicara ketus walaupuu ditubuhnya dikenakan borgol, air mukanya kontan berubah hebat.

“Apabila kalian bertiga menampik permintaanku ini, bukankah hal ini sama artinya tidak memberi muka pada diri cayhe?”

“Siapakah yang tahu keadaan dialah ma-nusia pintar, menurut pandangan pinto lebih baik kalian bertiga kabulkau saja perminta-an kami ini,”sambung Siauw Yauw-cu.

“Apakah Tootiang heudak menggertak kami?”

“He…. heeeh…. pinto sama sekali tidak main gertak. apa yang kuucapkan tidak lain adalah nasehat baik yang mnncul dan dasar hati kecilku.”

Siauw Ling tahu pada saat ini kedudukan kedua belah pihak sudah jelas amat tegang, musuh atau sahabat hanya tergantung pada sepatah katanya. Ia tidak berani bertindak gegabah lagi. Setelah berpaling dan meman-dang sekejap kearah Tiong-chiu Siang Ku lijarnya, “Bagaimana kalau menurut pendapat kalian berdua?”

Hidup atau mati kami berdua selalu akan mengikuti toako, apa yang toako putuskan berarti sebagai keputusan pula dari kami berdua.”

Siauw L:ng mengangguk, sinar…. matanya kembali dialihkan keatas tubuh orang berjubah kuning itu, kemudian menjawab-

“Kalau Kun-cu ingin main gertak terhadap diri cayhe, sekalipun harus mati aku orang she Siauw tak akan menerima.”

“Tahukah kalian bertiga bahwa apa yang kau anda ucapkan saat ini segera akan menentukan mati hidup kalian bertiga?”

“Koen-cu, jangan marah.” Siauw Yauw cu yang menyaksikan majikannya marah buru-buru menukas. “Bagaimana kalau membiar_ kan pinto berusaha untuk menasebati mereka!”

“Baik! kalau mereka tidak disadarkan dengan nasehatmu, tak usah kita tinggalkan bi-bit bencana bagi dikemudian hari.”

Ucapan tersebut sudah amat jelas sekali, seandainya Siauw Yauw-cu gagal untuk mengubah jalan pikiran Siauw Ling sekalian maka mereka bertiga segera akan terancam oleh mara bahaya.

Dalam pada itu terdengar Sianw Yauw-cu mendehem ringan, lalu berkata, “Ada sepatah dua patah kata yang ingin pinto utarakan. pinto berbarap agar kalian bisa putar otak dan memikirkan secara baik. baik.”

“Ehmm, katakanlah!”

Sambil menjaWab diam-diam Siauw Ling Salurkan hawa murninya keseluruh badan dan coba mematahakan rantai diatas badan-nya.

Dari ucapan Tiong Chin Siang-Ku tadi dengan bahwasanya rantai emas yang kecil itu amat kokoh sekali. walaupun diluar tidak menyatakan apa-apa na,mun dalam hati ia merasa kurang percaya, maka secara diam. diam hawa murninya disalurkan untuk men cobanya

Tampak Siauw Yauw-cu angkat cawan air tehnya dan minuman setegukan lalu berkata kembali.

“Kalian bertiga sama-sama adalah manusia kuat yang lihay, kalau sampai kalian harus mati tanpa sebab yang besar, bukankah hal ini patut disayangkan sekali….”

Sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap wajah ketiga orang itu, lain menam-bahkan.”

“Bagaimauakah menurut pendapat kalian bertiga atas ucapan pinto barusan?….” -00O000-

Darimana kau bisa tahu kalau kami pasti mati? sela Tu Kioe dingin.

Sekarang ditubuh kalian bertiga memakai borgol, sekalipun ilmu silat yang kalian mi-liki lebih lihaypnn jangan harap bisa menan dingi diri pinto.

“Huuu…. itu sih belum betul!” jengek Tu Kioe.

“Tu-heng, kalau anda tidak percaya dengan perkataan pinto, maka pinto akan meng m-bil seseorang sebagai percobaan, akan kami perlihatkan sampai dimana kebenaran itu.”

“Kalau soal itu sih harus dilihat dulu siapa orangnya.”

“Kalau dibicarakan dari nama serta kedudukannyan didalam duuia persilatan, mungkin dia jauh berada diatas kalian bertiga.”

Bicara sampai disitu mendadak toosu itu bertepnk tangan satu kali dan berseru tangan.

Gusur kemari sipengemis tna itu!”

“Sipengemis tua??? kalau begitu orang yang dimaksud pastilah jagoan dari pihak Kay-pang,” pikir Siauw Ling didalam hati. “Kebanyakan anggota perkumpulan Kay-pang adalah manusia-manusia patriot dan lelaki sejati, tentu saja ia tak akan tundnk terha-dap So Hay Koen-cu….”

Sementara dalam hati ia masih berpikir tiba-tiba pintu rahasia diatas dinding terbu ka kembali.

Dua orang lelaki berbaju hijau dengan mencekal pedang telah munculkan diri sambil menggusur seorang kakek tua yang kurus kering dan berbaju compang camping.

Orang tua tidak mengenakan borgol emas

tapi tulang pie-Pa pada sepasang bahu-nya telah dilobangi dan ditembusi oleh otot kerban yang sangat kuat. Dua orang bocah berbaju hijau tersebut dengan tangan kanan mencekal pedang, tangan kirinya mencekal ujung otot kerbau tersebut.

Begitu menyaksikan kakek tua yang kurus kering tadi, Siauw Ling merasa amat terpe-ranjat sekali sehingga hampir-hampir saja berseru tertahan. tapi untung dengan cepat dicegah oleh Sang Pat.

Sinar mata pengemis tua berbadan kurus itupun menyapu sekejap wajah Siauw Ling bertiga diikuti air mnkanya menunjukkan rasa terperanjat pula, tapi hanya sebentar saja ia berhasil menguasahi diri.

Kiranya sipengemis tua yang berbadan ku rus kering ini bukan lain adalah Soen Put Shia-sang tiang-loo dari Kay Pang yang telah membantu Siauw Ling sekalian menerjang ke luar dari perkumpulan Pek Hoa san-cung. Terdengar Siauw Yauw-cu bertanya. Kenalkan Cuwi sekalian dengan pengemis tua itu???”

“Tidak kenal,” buru-buru Sang Pat menya-hut.

Perlahau lahan Siauw Yauw-cu alihkan sinar matanya keatas tubuh Siauw Ling kemu dian katanya

“Pinto rasa anda tentu kenal dengan diri nya bukan7??”

“Sang Pat menghalangi aku dan ia minta aku bersikap seolah-olah tidak kenal dengan pengemis tersebut, dengan pengalamannya yang luas perbuataannya ini pasti mengandung maksud lain pikir Sianw Ling didalam hati maka ia segera.

“Ditinjau dari raut wajahnya, aku rasa pernah mendengar dari orang lain.”

“Haaa…. haaa…. kiranya begitu tidak aneh kalan hatimu terdengar keras setelah menyak sikan wajahnya….”

Ia merandek sej nak kemudian berkata kernbali.

“Pinto rasa kalian bertiga tentu pernah mendengar bukan akan nama perkumpulan Kay-pang? Nah! orang ini bukan lain adalah salah satu Tiangloonya yang bernama Soen Put Shia.”

“Ilmu silat yang dimlliki Soen Put Shia sangat luar biasa, dari mana ia bisa tertawan

oleh Su Hay Koen-cu….?….” pikir Tu Kioe.

Mendadak sinar mata Siauw Yauw-cu yang tajam dialihkan keatas wajah si pit baja ber wajah dingin ini, lain tegurnya, “Tu-hang, kau pernah mendengar nama beSar dari Soen Put Shia bukan?”

“Tentu saja pernah mendengar!”

“Bagaimana ilmu silat yang dimiliki Soen Put s ia dibandingkan dengan kepandaian kalian sepasang pedagang dari Thio-chiu?”

“Tentu saja ilmu silatnya jauh lebih Tinggi!”

“Haaa—haaa.„haaa…. bagus. kalau Tu-heng tidak percaya aku,kekuatan dari borgol emas itu. maka piuto akan mencobanya dibadapan kalian agar pengetahuan yang kalian miliki pun bisa bertambah….”

la merandek sejenak kemudian melanjut kan, “Aku hendak melepaskan borgol emas atas badanmu itu dikenakan ditubuh Soen Put Shia kemudian membinasakan dirinya agar kalian bisa menyaksikan sendiri kehebatan dari borgol emas tersebut.”

“Kalau dia mau lepaskan borgol diatas tubuhku. inilah suatu kesempatan baik yang sukar didapatkan.” pikir Tu Kice,” sayang sekali kesempatan baik tidak ditangan toako.”

“Tetapi….” terdengar Siauw Yauw-cn ber-kata lebih jauh.” Sebelum pinto melepaskan slot borgol dari atas tubuhmu, mako kedua buah tulang pie pa kamu akan kutembusi dahuln dengan otot kerbau.”

Ucapan ini membuat Tu Kioe tertegun, kembali ia berpikir.

“Sungguh beruntung bejadian ini tidak sampai menimpa pada diri toako”

Sementara Itu Siauw Yauw cu telah ba-ngun berdiri dan berjalan menuju kearah Tu Kioe.

Leng Bin Thiat Pit tetap berdiri tak ber-kutik hanya saja sepasang matanya dialihkan keatas tubuh Siauw Ling, dibalik sinar matanya penuh mengandung nada pertanyaan.

Jelas ia tak sndi membiarkan orang lain melubangi tulang Pie-pa-kut nya dengan otot kerbau maka ia melakukan perlawanan. tetapi tidak mengetahui pula maksud hati Siauw Ling oleh sebab itulah ia memandang kearah si anak mnda itu dan menanyakan pen-dapatnya.

“Tahan!” tiba-tiba Siauw LiHg bangun ber diri.

“Heeeh…. heeeh…. anda ada petunjuk apa lagi?” jengek Siauw Yauw cu sambil tertawa seram.

“Tahukah kau diantara kami bertiga siapakah yang boleh mengambil keputnsan?”

“Hidup mati Tiong Chiu Siang Ku ber-bakti kepada Siang-heng. pinto rasa Siauw henglah pemimpin mereka.”

“Hmmm! apabila kau sudah tahu kalau akulah pemimpin dari kami bertiga, menga-pa kau tidak membicarakan persoalan itu dengan diriku?”

Siauw Yauw-cu tersenyum. “Pinto punya jalan pikiran sendiri, tak usah Sianw-heng menguatirkan tentang diriku.” serunya.

“Apakah Tootiang bermaksud mengguna-kan kekerasan untuk membereskan cayhe sekalian belaka

“Sebelum kulubangi tulang pie-pa-kut dari Tu-heng, pinto akan menotok jalan darahnya terlebih dulu.”

“Hmm.” Siauw Ling melangkah maju satu tindak kedepan: “Sebelum aku orang she Siauw mati. tak akan kubiarkan tootiang turun tangan melukai orang dengan sesuka hatinva.”

Rupanya sikap Siauw Yauw-cu terhadap Siauw Ling luar biasa sabarnya, segera ia tertawa hambar.

“Dengan kecepatan ilmu pedangmu Sianw-thay-hiap menjelajahi dunia persilatan, kini kau tidak berpegang, aku rasa kepandaianmn masih belum tandinganku.”

“Walaupun aku orang she Sianw tidak ber pedang ditangan, namun aku tidak ingin menyaksikan tootiang turun tangan melukai saudara-saudaraku.”

“Toako mundurlah kebelakang,” tiba-tiba Tu Kioe tampil ked pan, “Setelah sihidung kerbau ini ngotot hendak menghadipi siauw-te, biarlah aku saja yang menghadapi diri-nya.”

“Kalau kalian. bertiga sama Sama mengenakan borgol emas, siapapun bukan tandingannya,” terdengar Soen Put Shla menyela secara tiba-tiba.

Sampai dimanakah taraf kepandaiau silat yang dimiliki Soen Put Shia, baik Siauw Ling maupnn Tiong Chiu Siang Kn pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, maka mendengar perkataan tersebut mereka jadi tertegun.

“Aaaah, sungguh tak nyana akhirnya ja-lan pikiran Soen-heng berhasil ditembusi juga,” seru Siauw Yauw-cu sambil memandang wajah pengemis tua itu dan tersenyum.

Sepasang mata Soen Put Shia berkilat, rupanya ia ingin mengumbar hawa amarahnya, tapi dengan paksa ditahannya jnga. setelah menghela napas panjang, katanya, “Apabila aku sipengemis tua, Siauw tay-hiap serta Tiong-chiu Siang Ku benar-benar membantu kalian, nama besar Su Hay Koen cu dengan cepat akan tersohor dikolong langit.”

“Justru karena hal itulah selama ini pinto selalu bersabarkan diri dengan harapan agar kalian berempat sudi membantu usaha Koen-cu kami!”

“Haaati….! aku rasa tootiang tidak akan berhasil menundukan hati mereka.”

“Kalau keadaan situasi memang terlalu merasa diri pinto, mau tak mau terpaksa pinto harus turun tangan membunuh mereka semua. dengan paling sedikit kami dapat mengurangi sebagian tenaga penghalang cita-cita kami.”

“Apalagi tootiang suka mempercayai aku sipengemis tua….

“Selamanya pinto tak pernah sangsi menggunakan orang” tukasnya.

Siauw heng ada petunjuk, silahkan diutarakan keluar.”

“Aku sipengemis tua suka mewakili tootiang untuk menundukkan hati mereka, agar mereka sudi berbakti bagi Su Hay Koey-cu.”

Siauw Yauw cu termenung sejenak, tiba-tiba ia mendongak dan tertawa terbahak bahak.

“Apa yang kau tertawakan??” tegur Soen Put Shia dingin.

“Sejak Soen heng berhasil pinto tawan, sikap maupun tingkah lakumu dingin dan tinggi hati walaupun pinto sudah memberi nasehat dengan pelbagai cara kan tak suka menurut, kini secara tiba-tiba kau berubah pikiran bahkan hendak mewakili pinto untuk menundukkan hati mereka niatmu ini bukankah seketika membuat pinto jadi curiga???”

“Kalau tootiang tidak percaya kepada aku sipengemis itu. maka tak usah kita bicara-kan persoalan itu.”

Siauw Yanw-cu termenung sebentar, kemudian sahutnya, “Bukankah pinto tak man mempercayai diri Soen-heng, cuma saja persoalan ini harus mendapat persetujuan dahulu dari Koen-cu kami.” Ia berpaling segera berbisik-bisik lirih dengan orang berjubah kuning itu.

Soen Put Shia segera tertawa dingin, ia berpaling kesamping dan berbisik dengan ilmu menyampaikan suara.

“Siauw-heng pada saat ini usia anda masih muda. keamanan Bu-lim selama dua pu-luh tahun mendatang telah menjadi tanggung jawab serta kewajibanmu untuk mellndungi, aku minta siauw tayhiap bisa baik-baik menjaga diri, janganlah disebabkan mengikuti emosi hingga menjadikan satu masalah kecil jadi masalah besar….”

Terdengar Siauw Yauw-cu telah berkata, “Koen-cu kami merasa bahwa Soen-heng adalah seorang jagoan yang sudah banyak tahun tersohor dikolong langit, terhadap diri Soen-heng kami bisa menaruh kepercayaan.” ia pura pura lagi mendongkol sementara dengan ilmu menyampaikan suara ujarnya lebih jauh.

“Saudara Siauw berbeda sekali dengan aku sipengemis tua, aku sudah tua sedangkan kau masih muda, bagaimanapun juga kau tak dapat dibandingkan dengan diriku….”

“Koen-cu kami sudah mengabulkan permintaan Soen-heng, bagaimanakah pendapat Soen heng sendiri?” kembali Siauw Yanw-cu ber-teriak keras.” Harap kau cepat cepat mengambil keputusan.”

Perlahan-lahan Soen Put Shia berpaling, sahutnya.

“Apa sebabnya pula secara tiba-tiba too-tiang suka mempercayai aku sipengemis tua?”

“Aku cuma menyampaikan maksud hati Koen cu kami belaka, menurut pandangan pinto sekalipun Soen-heng benar-benar ada maksud berusaha, mungkin hasil yang kau dapatkan diluar sangkaan.”

Aku sipengemis tua punya hubungan yang sangat erat dengan guru Siauw Ling, sekali-pun tootiang tidak mampu namun aku sipengemis tua punya beberapa harapan untuk berhasil.

“Seandainya Soen-heng dapat menjelaskan kecurigaan yang terkandung dalam hati pinto tentu saja pinto berlega hati akupun akan merasa sangat kagum sekali terhadap dirimu,”

“Apakah kau menaruh Curlga bahwa aku sipengemis tua sedang menggunakan siasat untuk menipu kalian?

“Diatas tubuh cuwi sekalian telah dikenakan alat borgol tentu saja pinto tak akan menguatirkan serangan gabungan dari kalian, sedangkau mengenai soal siasat. Apabila kalian bisa menggunakannya dihadapan pinto…. hal ini bukankah berarti kalian sudah terlalu rendah menilai diri pinto?”

“Jadi kau ingin tahu apa sebabnya aku si pengemis tua secara tiba-tiba bisa berubah pikiran?”

“Kalau Soen-heng mau bicara, dengan segala senang hari akan pinto dengarkan.

“Aku sipengemis tua punya hubungan yang sangat erat sekali dengan suhu dari Siauw Ling, maka aku tidak tega menyaksikan ia mati muda.”

“Kau kenal dengan gurnnya, dus berarti kau pernah berjumpa dengan Siauw Ling bu kan?” kata Siauw Yauw-cu sambil tertawa hambar.

“Tentu saja aku pernah berjumpa dengan rdirinya, ketika loohn bertemu dengan dia waktu itu usia Siauw Ling masih kecil’ mungkin dia sendiripun sudah tak dapat mengingat kembali akan diri aku sipengemis tua lagi. Maka dari itu ketika ia bertemu dengan aku tadi. sekalipun wajahnya menunjukan rada kaget dan tercengang namun ia tak dapat mengenali diriku kembali.”

Siapakah guru dari Siauw Ling?”

“Tentang soal ini, harap maafkan aku sipengemis tua karena tak dapat kuutarakan.”

“Mengapa?”

“Sahabatku itu mempunyai banyak sekali mnsuh-musuh besar, tapi orang kang-ouw menganggap orang itu sudah lama mati. Kalau sampai mereka pada tahu kalau dia masih hidup…. waaah, aku takut akan mendatangkan banyak kerepotan bagi dirinya

“Ujung langit begini luas, asal kan tidak ‘ katakan tempat tingalnya. sekalipun ada orang tahu kalau dia masih hidup dikolong langit, tak akan berhasil menemukan dirinya.”

“Jadi Tootiang ingin sekali mengetahui namanya?”

“Kalau Soen-heng merasa keberatan, tentu saja pinto tak akan terlalu memaksa.”

“Baiklah, akan kuutarakan keluar nama orang itu, cuma tootiang jangan takut setelah mengetahuinya “

“Orang kang-ouw yang dapat menakutkan hati pinto dewasa ini, boleh dibilang hanya Soen-heng serta beberapa orang belaka.”

“Chung San Pek, tootiang pernah mendengar nama orang ini?”

Siauw Yau-cu tertegun beberapa saat kemudian perlahan lahan ia baru menyahut.

“Kecuali Chung san Pek. memang tak ada orang lain yang dapat mendidik seorang murid macam dia,”

Dalam pada itu diam-diam mengawasi perubahan sikap toosu tersebut, ia saksikan air muka Siauw Yauw-cu rada berubah setelah mendengar nama gurunya, jelas ia merasa rada jeri. Hatinya langsung bergerak pikir di-dalam hati.

, “Kalau begitu toosu tua hidung kerbau ini,jelas kenal dengan guruku….”

Terdengar Soen Put-shia telah menegur dengan nada dingin, “Apakah tootiang sudah percaya?”

“Percaya, kalau begitu terpaksa pintu ha-rus merepotkan diri Soen-heng untuk mewakili pinto guna menasehati Siauw sicu ini.”

“Tidak sulit bagiku untuk mewujutkan keinginanmu itu, tapi ada beberapa persoala harus totiang setuju lebih dahulu….

“Persoalan apa?”

“Aku sipengemis tua hendak menggunakan hubungan pribadi untuk melelehkau kekerasan hati Siauw Ling, maka lebih baik kalau tootiang jangan mengutus orang untuk mencuri dengar secara diam-diam,”

“Dengan tajamnya pendengaran cuwi sekalian, sekalipun pinto utus orang Untuk mencuri dengar pembicaraan kalian. Mungkin perbuatanku ini tak akan bisa mengelabui mata cuwi sekalian.

“Walaupun aku adalah Sahabat karib suhunya. tapi ingatannya mengenal aku sipengemis tua sudah samara-samar maka dari itu akupun harus membutuhkan waktu yang sangat panjang.”

“Berapa lama waktu yang Soen-heng inginkan?”

“Sehari semalam, rasanya tidak terlalu panjang bukan?”

“Baiklah, akan kupenuhi semua permintaan dari Soen-heng itu. entah kau masih ada syarat apa lagi yang hendak kau ajukan?”

“Pilihlah dua orang dayang yang paling cantik diatas perahu panca warna kalian ini ‘dan sediakan hidangan yang lezat komplit dengan arak wangi buat kami beberapa orang.”

“Persoalan ini gampang sekali untuk di-selesaikan?”

“Dan permintaanku yang terakhir pilihlah perahu yang paling tenang dari gangguan buat kami minum arak sambil bercakap-cakap.”

“Permintaanmu ini sudah menjadi kewajiban kami untuk menyediakan….” Toosu

itu segera berpaling kearah dua bocah ber-senjata pedang yang mengusur keluar Soen Put shia tadi dan perintahnya

“Bawa keempat orang tamu agung ini kedalam ruang penyambut perahumu!’

Dua orang bocah bersenjata pedang itu mengiakan, kepada Soen Put-shia serta Siauw Ling sekalian segera bentaknya, “Ayoh jalan!”

“Keempat orang tamu agung ini ada kemungkinan akan berbakti buat Koen-cu kita, kalian barus melayani mereka secara hati-hati.”

Kali ini kedua orang bocoh tersebut tak berani kurang ajar lagi terhadap keempat orang itu, mereka segera menjura dan berkata halus, “Kami berdua akan membawa jalan bagi kalian berempat.”

Soen Put-shia sekalian tidak banyak bica-ra, dibawah pimpinan kedua orang bocah tadi akhirnya sampailah mereka didalam sebuah ruang perahu yang diatur megah dan bersih.

“Silahkan kalian berempat duduk, hamba sekalian mohon diri.” Kata kedua orang bocah itu kemudian sambil menjura dan masuk kan kembali pedangnya kedalam sarung.

“Kalian tidak takut apabila aku sipengemis tua melarikan diri?_.” jengek Soen Put-shia dingin.

Kedua orang bocah tersebut tidak berani berbicara lagi, mereka membawa ujung otot kerbau itu dan berjalan keluar dari ruangan.

“Haaaa…. haaaa…. bagaimana? sikapmu terhadap diriku sangat jelek sekali, seumpama kata aku sipengemis tua benar takluk kepada Su Hay Koen-cu, maka persama yang akan kuhukum adalah kalian berdua.”

Pada waktu itu dua orang bocah tadi sudah berada diluar ruangan, mendengar ancaman tersebut buru-buru mereka menyahut, “Hamba sedang menjalankan tugas yang diberikan atasan kami kepada kami berdua, harap kau orang tua jangan marah dan menyalahkan kami.”

“Apakah kalian berdua hendak memegang ujung otot kerbau itu dan berjaga diluar ruangan?”

“Kami akan mengikat ujung otot kerbau ini diatas tiang besi diluar ruangan. harap kau orang tua legakan setelah toa-ya perintahkan hamba sekalian berempat.” ‘ Terdengar suara langkah kaki mereka kian lama kian jauh dan akhirnya lenyap dari pendengaran.

Dengan seksama Soen Put Shia tempelkan telinganya diatas dinding beberapasaat kemu dian ia baru berpaling dan berkata dengan nada serins.

“Siauw thay hiap aku sipengemis tua hendak menasehati dirimu dengau beberapa patah kita.”

“Silahkan cianpwe katakan, akan boanpwe dengarkan dengan seksama.

“Usiaaku sipengemis tua sudah lanjut. banyak kejadian yang pernah kualami dan ku rasakan banyak pula jago muda yang pernah kutemui namun tak seorangpun, diantara mereka mempunyai kehebatan seperti kau, ba-katmu yang bagus ditambah dengan pengalaman aneh yang kau jumpai menciptakan diri Loo te sebagai sekuntum bunga ajaib dida-lam dunia persilatan, sungguh luar biasa pula kau diberi jiwa serta semangat seorang pen-dekar, seorang eng-hiong hoohan, kejadian dalam tiga puluh tahun mendatang serta perjuangan uutuk melenyapkan kaum iblis telah terjatuh keatas pundakmu Demi kebahagiaan serta keamanan seluruh umat Bu-lim bagai manapun juga keadaannya nanti kau tak bo leh mati,”

“Cianpwe, kau terlalu memuji diri boan-pwe,” seru Siauw Ling sambil menghembus kan napas panjang.

“Haa…. haa…. haa…. sepanjang hldupku. aku si pengemis tua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan jalan pikiranku….”

“Perkataan Soen loocianpwe sedikitpun tidak salah,” Sang Pat menyambung dengan cepat.” Diatas sepasang bahu toako lah tugas serta tanggung jawab untuk membasmi para iblis sepanjang puluhan tahun kemudian di-pukul. bagaimanapun juga kan harus baik menjaga diri.”

Siauw Ling menghela napas panjang.

“Sekalipun borgol emas itu sukar dipatahkan, namun bukan persoalan yang seriuS.” ujarnya lirih.” Justru kita sekarang terkurung diatas sampan yang dikeliling oleh arus sungai yang deras, sekalipun kita berhasil meloloskan diri dari atas perahu ini?”

“Justeru disebabkan persoalan inilah maka aku sipengemis tua terpaksa harus lancang mulut dengan mengatakan aku sebagai Sahabat karib gurumu. dan ingin menasehati diri Loote agar takluk kepada mereka.”

Kini loocianpwe mempunyai akal bagus apa untuk lolos dari? silahkan kau utarakan dan boanpwe sekalipun pasti akan menjalankan tanpa membantah.”

“Akal bagus apa yang bisa kudapatkan? kini aku sipengemis tuapun sedang kelabakan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Hanya satu hal yang ingin kusampaikan kepada loo te, selama gunung masih tetap hijau. janganlah kuatir kehabisan kayu bakar.”

“Satu satunya jalan bagi kita dewasa ini adalah pnra-pura takluk, kemudian mencari kesempatan lagi untuk meloloskan diri “kata Sang-pat.

“Sepintas lalu tabiat Su Hay Koen-cu kelihatan berangasan dan gagabah padahal dia adalah seorang manusia yang luar biasa sekaIi, apalagi Siauw Yauw-cu sitoosu hidung kerban itu, akalnya banyak dan pikirannya licik bagaikan seekor ular berbisa. Tindakan kita untuk pnra-pura menyerah tentu Saja telah berada didalam dugaannya, mungkin dia telah mendapatkan akal untuk menghadapi siasat tersebut.”

“Jadi menurut pendapat loocianpwe jalan yang terbentang bagi kita dewasa ini hanya-lah jalan kematian belaka?” sela Tu Kioe dingia.

“Aku sipengemis tua sih punya satu akal, cuma Sianw thayhiap tudi melaknkannya atau tidak?”

“Apa akal dari loocinpwe Itu?” silahkan diutarakan.”

“Akalku ini kusebut akal menarik bangkai anjing, kita tak usah menyatakan sanggup

tapi jangan pula menyatakan menampik, kita ulur terus sedapat mungkin….”

“Tapi kita harus mengulur waktu sampai kapan???” tukas Sang Pat.

“Tentang SOal ini aku sipenge mis tua tidak berani memastikan kalau di-bicarakan dari situasi dewasa ini Su Hay Koen-cu memang benar-benar punya ambisi untuk menguasai Bu lim, ia berhasrat menggulung kita semua dalam cengkeramannya dan digunakan olehnya, maka dari itu mereka akan berusaha bersabar terhadap kita, untuk sesaat tak akan mereka laknkan tindakan kekerasan guna membinasakan kita “

Semenrara Sang Pat heudak menyabut, tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang datang.

“Siapa?” Sun Put-shia seera membentak.

“Budak sekalian mendapat perintah untuk datang menghidangkan sayur dan arak,” suara jawaban seorang gadis yang merdu dan bagus berkumandang datang dari luar ruangan

“Pintu ruangan tidak tertutup, kaliau boleh masuk sendiri kedalam.

Kraaak! diiringi suara yang nyaring, tampak dua orang dayang cantik berbaju hijau dengan langkah yang amat gesit berjalan ma suk kedalam,

Dayang yang berjalan dipaling depan membawa sebuah baki kayu, diatas baki tadi terletaklah empat macam masakan yang masih mengepulkan hawa panas sedangkan dayang kedua membawa pula sebuah baki, hanya saja diatas baki terletak sebuah poci arak seberat lima kati serta lima buah cawan arak.

Walanpun paras muka kedua orang dayang ini amat cantik, namun dandanan mereka amat menyolok dan genit sekali, membuat orang yang memandang mereka tanpa terasa timbui suatu perasaan muak.

Tampak dayang yang pertama meletakkan keempat macam hidangan tersebut keatas meja, kemudian mengambil sepasang sumpit dan menyumpit beberapa macam sayur tadi tadi satu persatu dan diletakkan kedalam sebuah mangkuk kecil dan melahapnya tanpa sungkan-sungkan, Menanti ia selesai makan ujarnya, “Harap saja sekalian bersantap dengan hati lega, didalam hidangan ini tidak dicampuri dengan racun.

“Ehmmm jalan piklran Sianw Yauw cu benarbenar amat teliti,” puji Soen Put-shia.

Dayang keduapun meletakkan poci serta Cawan arak itu keatas meja. diambilnya sebuah cawan untuk meneguk seteguk arak lalu ujarnya pula, “Didalam arak ini sama sekali tak ada racunnya!”

Meletakkan cawan itu keatas meja, mereka segera mengundurkan diri kebelakang.

“Nona berdua, harap tunggu sejenak? mendadak Soen Put-shia membentak keras.

Mendengar bentakan itu kedua orang dayang tadi segera berhenti dan berpaling kebelakang.”

“Kau orang tua masih ada petunjuk apa-lagi?” tanyanya hampir berbareng.

“Aku sipengemis tua minta kepada Sianw Yauw-cu untuk menyediakan dua orang da-yang yang tercantik diatas perahu panca warna ini untuk menghantarkan sayur dan arak bagi aku sipengemis tua. Setelah kalian datang kemari, mana boleh segera mengundurkan diri kembali?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar