Po Kiam Kim Tjee Jilid 05

Jilid 5

,,KENAPA aku tidak berani lewat disini?" dia tanya. „Ini jalan besar yang rata dan setiap hari entah berapa banyak orang berlalu-lintas disini?."

Si kurus yang berkipas tertawa.

„Memang juga banyak orang yang tiap hari lewat disini "  dia kata. „Kendati demikian, kaum saudagar mesti lewat disini dengan dapat bantuan pihak piauwtiam, sedang orang pelancongan biasa mesti jalan sesudah dia menunggu kawan hingga merupakan rombongan empat atau lima-puluh orang. Siapa tak berombongan, dia tidak nanti berani ambil jalan ini. Kau beruntung, tuan, kau ketemu rombongan piauw kami, jikalau tidak, kuda kau, buntalan kau, sudah pasti akan kena dirampas habis, malah jiwamu jangan2 tidak akan tertolong !."

„Dengan sesungguhnya, jalan seorang diri kau terancam bahaya besar," berkata orang yang pertama bicara „Sekarang, dengan jalan sama kami, kau boleh mengaku saja sebagai pegawai kami !"

Bagaimana juga. Bouw Pek mendongkol mendengar ucapan2 itu. dia bisa mengerti yang rombongan piauw ini bermaksud baik, tetapi caranya mereka bicara dia rasakan sebagai suatu hinaan bagi dirinya.

„Sebenarnya Sin-chio Yo Kian Tong orang macam bagaimana sih ?" pikir dia. „Mustahil aku Lie Bouw Pek mesti mengandal pada pengaruhnya ?"

Oleh karena mendongkol, lalu dia kata:

“Tidak usah aku mengandal pada kau, tuan ! Seorang diri aku berani jalan disini, itu sudah terang menyatakan yang aku tidak takut ! Kenapa aku mesti takuti segala begal atau berandal ? Sukur jikalau kawanan penjahat itu tidak keluar dan mengganggu aku, andai kata mereka berani main gila, tidak bisa tidak aku tentu akan basmi mereka sampai habis !"

Bouw Pek tutup perkataannya sambil bersenyum dan tangannya menepok-nepok pedangnya seraya dia tambahkan:

„Ini adalah pelindungku !"

Dua orang diatas kereta, yang menjadi piauwsu, tercengang atas perkataan itu.

„Sobat, kau she dan nama apa ?" tanya orang yang usianya empat puluh tahun „Kau bekerja dipiauwtiam mana ?"

„Aku Lie Bouw Pek, aku bukannya piauwsu," sahut Bouw Pek dengan terus terang „Aku hanya mengerti sedikit ilmu menggunai pedang."

Nama itu belum pernah masuk dikuping dua piauwsu itu, maka, mendengar nama orang mereka lantas saja memandang enteng.

„Sobat, aku kasi ingat pada kau, baik kau jangan bersikap galak!" berkata satu diantaranya. „Kau baik dengar2 dulu, siapa yang menjadi cee cu diatas gunung Kieyong-kwan, jangan kata baru kau, kendatipun piauwtauw kami, Sin-Chio Yo Samya, dia masih tidak berani lakukan kesalahan terhadap ceecu itu!"

Lie Bouw Pek tidak gubris nasehat itu.

„Coba kasi tahu padaku, siapa namanya kepala berandal dari atas Kieyong-kwan ?" dia tanya.

,,Disini, tuan, janganlah kau main sebut sebut berandal, barandal saja !" mengasi ingat orang yang berumur kira2 empat puluh. ,,Jikalau perkataan kau ini sampai terdengar oleh ceecu dari Kieyong-kwan San, kami sendiri akan turut terembet-rembet! ceecu itu Say Lu Pou Gui Hong Siang, asalnya piauwsu yang tersohor dikota Pak-khia Sebatang pedangnya sebatang hoakek nya, yaitu tumbak cagak sudah terkenal tidak ada tandingannya Gui Ceecu telah pindah tinggal digunung sebab suatu kejadian. Didalam kota Pakkhia. Gui Ceecu telah berbentrok dengan Siu-Bie-To Oey Su-ya. Sudah tiga kali mereka berdua bertempur, tiga tiga kalinya berkesudahan seri. Belakangan Oey Su-ya telah undang Gin- chio Ciangkun Khu Kong Ciauw, yang punya gelaran  raja muda turun menurun An-teng-houw, maka setelah dikepung ber dua baru Gui Ceecu kena dikalahkan. Oleh karena dia gusar dan mendongkol, dia lantas saja pergi ke Kieyong-kwan San dan lantas duduki gunung ini. Oleh karena dia asal piauwsu, Gui Ceecu tidak mau ganggu kalangan perusahaan piauw, sedang maksudnya terutama menjadi berandal adalah buat satrukan Oey Su-ya, buat rampas barang barangnya. Orang2nya Oey Su-ya atau barangnya, asal lewat di Kieyong- kwan San, tentu diganggu !"

Bouw Pek tertawa besar mendengar keterangan itu.

„Sungguh suatu adat yang liehay !" dia kata. „Kalah piebu dan tidak sayang buat masuk menjadi berandal, sungguh luar biasa ! Coba sekarang kasih tahu aku, Oey Su-ya itu orang macam apa ? Dan siorang she Ku, seorang raja muda, kenapa dia sudi membantu orang she Oey itu ?"

,,Rupa-rupanya kau baru pertama kali ini datang ke Pakkhia

?" kata si orang berumur empat puluh tahun. „Kalau bukannya orang asing, bagaimana kau tidak kenal namanya dua hoohan terkenal dari kota Pakkhia ? Baiklah, aku nanti kasi keterangan pada kau, Oey Su-ya beri nama Ke Pok, dia biasa berdagang ke Bongkouw Di Thio-kee-kauw, di Kui-hoa, dia punya toko besar. Maka itu dia hartawan besar. ilmunya juga liehay, senjatanya sepasang gaetan Hok-chiu Siang kauw. Kecuali Gui Hong Siang, dia sebenarnya belum pernah ketemui tandingan. dia pemuja Budha, dari itu dia sering keluarkan uang untuk mengamal, terutama untuk perbaiki rumah2 berhala. Ia bisa menderma bubur, uang dan pakaian musim dingin. Oleh karena ini, orang kasihkan julukan Siu Bie To Khu Kong Ciauw benar turunan raja muda An teng-houw Khu Lip Tek. Rumahnya berada di Pakkauw-yan, disebelah barat kota. dia putera bangsawan, akan tetapi sedari masih kecil dia sudah gemar ilmu silat, ilmu tumbaknya melebihi kepandaiannya Tio Cu Liong dijaman Han. Orang bilang, dia lebih liehay daripada Oey Su-ya, tetapi mereka berdua belum pernah piebu, sebab mereka adalah sobat-sobat kekal. Bila nanti kau sudah sampai di Pakkhia, baru kau ketahui baik tentang dua sobat itu. Dengar2 sesungguhnya mereka berdua orang2 tersohor dari kelas nomor satu di Pakkhia !" Bagaimana juga, Lie Bouw Pek senang mendengar keterangan itu.

„Sesampainya di Pakkhia, apabila aku punya waktu senggang, aku akan temui dua orang itu, pikirnya. Tentu sekali aku mesti ketahui jelas mereka orang2 golongan mana"

„Jiewie," kemudian dia kata, „Sudah sekian lama kita bicara, tetapi aku belum belajar kenal dengan kau Jiewie she apa?"

„Terima kasih " kata yang satu. „Aku Sun Cit, orang juluki aku Thi-lauw-tay si Polo Besi. Dan ini saudara angkatku, Say Gouw Kong Lauw Go. Kami semua asal Chong-ciu, sudah lama juga kami tinggal di Yang-keng membantu Sin-chio Yo Sam ya mengurus piauwkiok." „Rupanya ilmu silat Yo Sam-ya tidak bisa dicela?" Bouw Pek tanya.

„Ha, sampaipun Yo Sam-ya kau tidak ketahui ?" berseru Sun Cit. ,,Aku tanya kau, kau sebenarnya orang asal mana ?" Bouw Pek tertawa.

„Aku asal Titlee Selatan," dia jawab.

„Sekalipun kau asal Titlee Selatan, seharusnya kau kenal baik namanya Yo Sam-ya !" Sun Cit kata pula. „Yo Sam-ya adalah piauwtauw paling terkenal di Sunthian-hu. kota utama propinsi Titlee. Ilmu tumbak-nya tersohor bukan main! Kau tahu, juga ilmu tumbak dari Gin Chio Cangkun Khu Kong Ciauw kebanyakan adalah buah pelajarannya Yo Sam-ya itu." Bouw Pek manggut2.

„Heran, kenapa semua orang pada jakinkan ilmu tumbak?" pikirnya. „Coba disini ada ahli2 pedang, seperti sin-kiam atau gin-kiam, bukankah aku pun boleh coba2 mereka itu. Demikian mereka pasang omong, selagi kereta dan kuda jalan terus.

Sun Cit dan Lauw Go agaknya berlaku sangat baik hati.

„Sobat, lekas juga kita akan sampai di Kieyong-kwan, aku minta kau suka berlaku hati2," demikian kata Thie-lauw tay.

„Kapan sebentar kita umpama-kata ketemu Say Lu-Pou Gui Hong Siang dan kau lakukan suatu kesalahan terhadapnya, kau harus tanggung jawab sendiri, karena kami berdua pasti tidak mampu berbuat apa2"

Bouw Pek tertawa pada dua orang itu.

„Aku minta jiwie jangan kuatir apa2," dia bilang. „Umpama kata sampai mesti terbit perkara, pasti sekali aku tidak akan rembet2 kau berdua!"

Mereka sekarang sudah sampai dimulut gunung. Dari situ orang bisa melihat nyata tembok besar dan panjang. Menarik akan pandang tembok yang beriwayat itu, orang jadi ingat jaman pembuatannya, banyak pengorbanan uang, tenaga dan jiwa diminta oleh tembok itu !

Apabila mereka sudah jalan sekian lama lagi, kereta2 disebelah belakang mendadak berhenti, maka Sun Cit lantas perintah yang didepan berhenti juga.

Bouw Pek tahan kudanya, dia menoleh ke belakang. dia lantas dapat lihat datangnya lima orang, yang berpakaian baju pendek dan dada terbuka, yang dua pakai tudung rumput, yang tiga pakai pelangi yang dilibat dikepala mereka. Dan mereka semua membawa golok. „Tentu mereka orang2nya Gui Hong Siang," dia pikir.

Sun Cit dan Lauw Go sudah lompat turun dari kereta mereka, hampirkan lima orang itu dengan air muka ber-seri2, mereka angkat tangan buat unjuk hormat.

„Apakah tuan2 dari pihaknya Gui Jie-ya?" Sun Cit tanya. „Benar," sahut satu diantara lima orang itu „Kau dari piauwtiam mana?"

„Kami dari Sin-chio Yo Sam-ya dari Yankeng," Sun Cit menyahut „Aku Thie lauw-say Sun Cit." Lima berandal itu lantas saja tekapi tangan mereka.

„Kiranya jiewie dari Sin-chio Yo Sam ya," kata mereka

„Nah, tolonglah jiewie kasikan kami kartu nama jiewie." Sun Cit pergi kekeretanya buat ambil karcis nama.

„Tolong tuan sampaikan ini pada Gui Jie-ya," kata dia seraya serahkan karcis itu pada berandal yang menjadi pemimpin „akupun minta tuan2 sukalah sampai kan hormatnya Yo Sam-ya”. Berandal itu menyambut karcis nama itu.

.,Baiklah ," dia kata. „Silahkan jiewie berangkat."

Selagi kata begitu, dia menoleh pada Bouw Pek, tapi dia sangka anak muda itu orangnya Yo Kian Tong, maka dia tidak tanya apa lagi, dengan angkat kedua tangan dia mengasi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh empat kawannya. Kemudian dengan putar tubuh mereka, mereka bertindak pergi.

Baru saja Sun Cit dan Lauw Ga hendak naik atas kereta mereka, atau Lie Bouw Pek mendadak turun dari kudanya sambil bawa pedangnya yang terhunus anak muda ini teriaki lima orang itu „Tahan!" Lima orang itu heran, mereka berpaling dengan segera.

Sun Cit dan kawannya terkejut, hingga mereka melongo.

„Kau belum minta kartu namaku, tuan2!" kata Bouw Pek sambil kasi senyuman tawar „Kenapa kau sudah lantas berangkat saja?"

Lima orang itu mengawasi satu pada lain dalam keheranan.

„Apakah kau bukan orangnya Yo Sam-ya ?" tanya yang jadi kepala. Bouw Pek geleng kepalanya.

„Aku tidak kenal Yo Sam-ya !" dia jawab. „Aku orang she Lie, orang biasa panggil aku Lie Toaya!" Sun Cit dan Lauw Go kaget, tetapi mereka lantas mengerti yang orang hendak terbitkan gara2, maka dengan hampir berbareng, mereka kata dengan keras :

„Kami tidak kenal anak muda ini ! Kami bertemu baru saja tadi, ditengah jalan! dia bukannya orang dari piauwtiam kami!"

„Itu betul !" Bouw Pek benarkan dua piauwsu itu, yang nyalinya kecil „Aku Lie Bouw Pek, aku laki2 sejati, aku tidak mau pakai namanya Yo Sam-ya, aku tidak mau dikasi lewat oleh berandal sebab pakai nama orang lain! Sekarang sudah menjadi terang, maka, kawanan berandal, terserah pada kau ! Jikalau kau niat begal aku, silahkan maju, asal kau mampu layani pedang ini !"

Lima berandal itu menjadi gusar dengan mendadak.

„Kalau benar kau bukan orangnya Yo Sam-ya, kami memang tidak bisa kasi kau lewat!" berteriak mereka. „Lekas, lepaskan pedangmu, lantas serahkan pauwhok dan kudamu"

Sembari ber-kata2 demikian, mereka angkat golok mereka dan maju pada si anak muda.

Lie Bouw Pek tidak takut, sebaliknya dia tersenyum sindir. dia tunggu sampai orang sudah datang dekat padanya, secara mendadak dia serang orang yang menjadi kepala.

„He, kau berani geraki tangan akan cari mampus ?" menegor si kepala berandal, yang telah menangkis dengan goloknya. Tidak tempo lagi, dia terus menyerang. Perbuatannya sudah lantas ditelat oleh empat kawannya, dengan begitu pemuda kita jadi kena dikepung berlima.

Bouw Pek layani kelima musuhnya dengan sedikitpun tidak takut, sebentar saja dua musuh telah rubuh karena tusukan pedangnya, sedang tiga yang lain dia bikin kewalahan, hati mereka jadi ciut, dengan tidak membuang tempo, dengan tinggalkan dua kawan mereka, mereka putar tubuh seraya terus buka langkah seribu ! Dalam mendongkolnya, Bouw Pek memburu, maka lagi satu berandal dia bikin terguling !

„Pergilah kau cari Say Lu Pou Gui Hong Siang !" dia teriaki dua pecundangnya, yang dia tidak mau kejar lebih jauh. „Kasi tahu, bahwa aku akan tunggui dia dimulut Kieyong-kwan, andai-kata dia tidak puas, dia boleh cari aku disana "

Karena musuh kabur terus, dia samperi tiga korbannya. seorang Korban terluka hebat, rebah dengan tidak ingat apa. Dua orang yang lari, sangat kesakitan, sedang merintih dan ber-aduh2.

„Ampun, ampuni kami, begitu mereka memohon, karena mereka kuatir nanti dibunuh apabila mereka lihat si anak muda menghampirkan mereka dengan pedang masih terhunus.

„Aku tidak inginkan jiwa kau” Bouw Pek bilang. „Kau orang jahat, hari ini sudah seharusnya kau dapatkan penderitaan ini

! Kau dengar atau tidak ? Aku Lie Bouw Pek, aku tidak punya hubungan apa juga dengan Sin chio Yo Kian Tong. Sekarang aku hendak pergi kemulut Kieyong-kwan, disana aku akan singgah buat menanti sebentaran, maka anda-kata Say Lu Pou berpikir buat membalas sakit hati, dia boleh susul aku disana! dia mesti datang dengan lekas, apabila dia ayalan aku nanti keburu pergi, karena aku tidak punya banyak tempo akan menunggu lama !"

Setelah kata begitu, anak muda ini bersihkan pedangnya dan memasukkannya kedalam serangkanya, kemudian lompat naik atas kudanya, dia kasi binatang itu kabur menuruti tujuan yang dia ambil.

Sun Cit dan Lauw Go lihat pemuda itu terbitkan onar, mereka ketakutan, siang2 mereka telah titahkan kereta2 berangkat dengan segera, dengan cepat, maka bisa dimengerti yang semua kelenengan telah terbitkan suara sangat riuh, semua keledai lari seperti terbang cepatnya !.

Bouw Pek lanjutkan perjalanan dengan anteng, sebentar kemudian dia sampai di-mulut Kieyong-kwan, disitu dia cari dusun dimana dia bisa singgah. Benar seperti dia sudah janjikan, dia hendak tunggui datangnya Gui Hong Siang. dia mampir pesan teh buat minum sambil mengaso.

”Jalanan ini jalanan penting, bagaimana kawanan penjahat itu bisa diantap mengganas orang2 pelancongan ?" pikir anak muda ini, „Aku tidak mengerti, kenapa pembesar negeri dan tentara disini membiarkan saja bersarangnya kawanan berandal itu ?'

Sekian lama Bouw Pek duduk, dia tidak lihat Gui Hong Siang datang atau konco-nya yang tadi dia telah hajar sampai kabur, maka dia lalu pikir.

„Boleh jadi Gui Hong Siang ketahui aku tidak boleh dibuat pemainan, ia jadi tidak berani datang menyusul, Ia tidak berani datang, apa perlunya aku menunggu lama2 ? Tidakkah aku jadi sia2-kan tempo saja ?"

Begitulah dia bayar uang teh dan lantas lanjutkan perjalanannya.

Hawa udara panas sekali, malah makin panas. Tapi dijalanan, dibagian ini orang yang lalu-lintas banyak. Hawa udara panas dan mengkedus, karena mega2 hitam tetapi melayang menutupi sang langit. Kemudian lagi suara guntur terdengar ber-ulang2.

,,Mau hujan, mari hujan! kata beberapa orang, yang terus saja cepatkan tindakan, sedang beberapa yang lain sudah mulai lari.

Bouw Pek tidak bawa baju minyak buat lawan hujan, iapun kasi kudanya lari. Baru melalui sepuluh lie, langit telah jadi gelap betul dan suara guntur makin hebat Selama itu, dijalan sudah tidak kelihatan orang lagi atau kereta, karena mereka semua telah pada cari tempat untuk berlindung. Hujan besar segera turun.

Bouw Pek nampak kesukaran ketika air hujan serang dia, tudungnya yang lebar tidak menolong, la mesti jalan terus, karena didekatnya tidak ada rumah orang atau kampung.

Tatkala itu dibulan kelima, maka sang hujan asal turun tentu turun secara besar2an. Air hujan lebat luar biasa.

Sebentar saja Bouw Pek sudah kuyup sekujur badan, topinya telah merupakan air mancur. la memandang kesekelilingnya, dia lihat ladang gandum ber-gerak?, karena pohon2 gandum telah memain diantara serangan hujan dan angin. Keadaan disekitarnya juga tidak tertampak tegas, lantaran sang hujan seperti halimun saja.

Selokan ditepi jalan telah kebanjiran hingga air mengalir kejalan besar, tidak heran apabila jalan itu telah menjadi becek sekali, lumpur dalamnya dua cun lebih. Keadaan jalanan ini mendatangkan kesukaran bagi sang kuda, yang empat kakinya telah melesak didalam lumpur.

Sambil sebelah tangan gunai saputangan menyapu air dimukanya, Bouw Pek terpaksa gunai tangan yang lain akan cambuk kudanya, buat bikin kudanya itu jalan dengan cepat. Dalam hujan besar itu dia ingin dapatkan tempat berhenti, akan melindungi diri terhadap air langit itu.

Apa mau, kuda yang ditunggangi tua dan kurus, dibelinyapun dengan harga hanya emput puluh tail, sedang perjalanan dari Kie-cu ke Soanhoa jauh, sekarang perjalanan selainnya jauh pun sangat sukar, maka bisa dimengerti binatang yang lemah itu jadi setengah mati.

Bagaimana juga, Bouw Pek bisa lihat penderitaan binatang itu, maka, kuatir kuda itu rubuh dan terluka, hingga dia tidak bisa andalkan lagi, akhirnya dia biarkan binatang itu jalan pelahan, dia tidak lagi gunakan cambuknya.

Sekarang anak muda ini telah kuyup sekujur badan, hujan masih saja turun, akan tetapi dia tidak menjadi kedinginan sebaliknya, karena tadi hawa sangat panas, dia merasa segar sekali. dia sudah jalan jauh juga, barulah air langit berhenti turun. Cuma sekarang, sebagai gantinya sang siang, cuaca telah mulai gelap. Beruntung disebelah depan lantas tertampak tembok kota.

Dengan hati merasa tetap, sebab tidak usah kuatirkan lagi tempat mondok, dengan jalan pelahan2 Bouw Pek menuju ke- tembok kota, selagi mendekatkan tembok, dia berhenti ditempat dimana ada rumah2 dan rumah penginapan. Tindakan yang pertama adalah singgah, minta kudanya  diurus, dia sendiri lalu cari kamar. dia buka  seluruh pakaiannya buat diperas, lalu salin pakaian yang kering, dia minta teh panas buat hangatkan tubuh. Cepat sekali dia merasa sehat betul.

Sebentar kemudian jongos datang dengan lampu sambil tanya tamunya hendak dahar nasi atau lainnya.

„Bawakan aku sepiring tauwhu dan beberapa biji bahpauw," kata Bouw Pek minta. „Tapi eh, tempatmu ini apa namanya dan dari sini kekota raja masih terpisah berapa jauh

?"

„Tempat kami dipanggil Seeho," sahut jongos itu. „Buat sampai ke Pakkhia, asal kudanya bisa lari keras, dalam tempo satu harian sudah sampai."

Keterangan ini bikin hatinya si anak muda menjadi tenteram. Satu hari itulah perjalanan tidak jauh.

„Tapi aku telah gunai terlalu banyak tempo ditengah jalan, jangan-jangan sesampainya dikota raja, piauwcek sudah tidak sabar menantikan aku pikirnya. ,,Ia pasti sekali tidak ketahui, bahwa aku usilan ditengah jalan dan telah terlalu banyak campur tahu urusan orang lain.

Ingat hal itu, Bouw Pek jadi ingat Siu Lian, malah tampang mukanya si nona yang manis menarik sudah lantas terbayang dihadapannya. Lebih menarik adalah tampangnya sinona yang sedang menangis, yang datangkan rasa kasihan. dia jadi duduk menjublek, hingga tidak ketahui jongos datang dengan tauwhu dan bahpauw, dia baru sadar kapan jongos itu tanya dia perlu apa lagi.

„Tidak, ini sudah cukup !" dia menyahut separoh gelagapan. Dengan gunai sepasang sumpitnya, anak muda ini sudah lantas mulai makan. „Kelihatannya aku sudah jadi angot" pikirnya seraya mulutnya menggayem. Kenapa aku mesti pikirkan Siu Lian ? Aku suka dia, malah mencinta, tetapi jodoh kita tidak ada ! Kenapa aku mesti sering-sering kehilangan semangat dengan tak ada perlunya ? Dengan angot seperti ini, tidak saja aku berlaku bodoh, malah aku seperti bikin turun darajat sendiri, malah semangatku jadi bisa mengasi akibat tidak baik ! Maka gangguan semacam ini baiklah aku babat putus ! Sebentar kemudian, sehabis bersantap, Bouw Pek kunci pintu kamarnya dan naik dipembaringan akan rebahkan diri. Diluar jendela dia dengar suara menetes dari sang hujan, yang kembali turun menambahkan beceknya jalanan, seperti juga disengaja buat bikin orang mengaso lebih lama.

„Ah, sudahlah !" pikir anak muda ini. dia padamkan api dan rebah pula, akan coba dapat tidur dengan segera.

Adalah esoknya pagi, kapan anak muda ini mendusin, kupingnya segera dengar suara ramai diluar hotel, suara mana rupanya menyebabkan dia sadar dari tidurnya yang nyenyak.

Bab 8

MENOLEH KE JENDELA, Bouw Pek dapat kenyataan langit telah memperlihatkan cahaya putih bersih. Suara hujan sudah tidak terdengar pula. Sekarang nyata kedengaran suara riuh diterbitkan oleh beberapa orang dan suara itu masih belum mau berhenti. Seorang, dengan suara ditenggorokan yang menyalakan kemurkaan besar menanya :

„Aku tanya kau, kemarin kau ada kedatangan seorang she Lie atau tidak?"

„Kami buka rumah penginapan, kami tiap hari kedatangan banyak tamu yang datang dan pergi, mana kami ingat si orang she Thio atau si orang she Lie ?" kedengaran suaranya jongos, yang menyahut dengan penuh rasa mendongkol.

„Telor busuk !" membentak orang dengan suara ditenggorokan itu. „Bukankah tadi aku sudah terangkan, si orang she Lie itu pemuda umur kurang lebih dua puluh tahun, dia menunggang kuda dan membawa bawa pedang !"

„Kalau disini tidak ada tamu yang dicari itu, baiklah kau pergi cari dirumah penginapan lain," kata suaranya beberapa orang lain.

„Di-rumah2 penginapan lain tidak ada orang yang aku cari itu," orang itu kasi tahu. „Sebenarnya umpama kata didalam rumah penginapan ini tidak ada orang itu, tidak apa, tetapi kau sebagai jongos hotel tidak seharusnya bicara dengan sikap begini macam ! Sekarang pagi-pagi hari, aku tidak ingin umbar napsu amarahku, jikalau tidak, pastilah aku sudah bacok kau ! Jongos itu ternyata seorang yang berani, sebagaimana terdengar suaranya tertawa menyindir.

„Alasan apa kau punya, maka kau hendak bacok aku?" demikian katanya secara menantang. „Sekalipun kau berandal, kau masih tidak boleh berlaku demikian tidak tahu aturan !". Mendengar sampai disitu, Bouw Pek menduga pada Say-Lu- Pou atau Gui Hong Siang si Melebihi Lu Pou yang lagi mencarinya.

„Nyalinya berandal itu benar2 besar pikir ia. Bagaimana dia berani cari aku sampai disini ?" Ia lantas buka pintu kamarnya dan bertindak keluar, jalannya sambil angkat dada. „Ada apa, he? dia menegor. Apakah kau cari aku ?" '

Tatkala itu didalam pekarangan berdiri empat jongos bersama belasan tamu lainnya, menghadapi mereka ada tiga orang. Mereka ini pada menoleh dan semua nampaknya merasa heran, karena ada orang yang muncul dengan sikap berani itu!

Semua mata ditujukan pada anak muda kita, siapa sebaliknya memandang tiga tamu itu. Orang yang berdiri didepan rupanya yang menjadi kepala, dia pakai thungsha warna hijau, kuncirnya besar dan longgar. dia berusia dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, dia punya tubuh yang tinggi serta muka yang hitam dia mestinya Gui Hong Siang kepala berandal dari Kie-yong kwan San. Dua yang lain berbaju biru, mereka berlepotan lumpur, kuncir mereka digelung dikepala, terang mereka merupakan bangsa begal. Berdua mereka mecekal golok dan pedang masing2.

Orang yang pakai thungsha awasi anak muda kita, lantas dia menghampirkan.

„Apakah kau siorang she Lie ?" dia menegor.

„Benar," sahut Bouw Pek dengan sedikit juga tidak merasa takut. „Aku orang she Lie bernama Bouw Pek. Aku adalah orang yang dijalanan Kieyong kwan telah rubuhkan dan lukai tiga berandal !'

„Kau jadinya Lie Bouw Pek, bagus !’ kata orang itu sambil manggut. „Tentang kau lukai orang, itulah bukan urusan yang aku perlu campur tahu. Tapi aku dengar kau sangat jumawa, dari itu sekarang aku datang mencari kau, buat minta pengajaran dari kau !"

Bouw Pek jawab ucapan itu sambil tertawa secara terbuka :

„Kau bilang aku jumawa, tetapi aku tidak merasakan yang aku sombong !" dia kata dengan tingkah sewajarnya. „Tapi kalau kau sebut2 perkara piebu, itulah lain, buat itu aku bersedia akan temani kau buat itu. aku ingin kau beritahukan dulu she dan namamu, sebab aku tidak mau piebu dengan segala bu beng siauw-pwee !"

Ditegor begitu, orang itu menjadi terguguh, kendati terang dari romannya dia sangat mendongkol atau gusar. Rupanya dia dalam kesangsian !

Tapi juga Lie Bouw Pek bisa mengetahui hati orang, dia segera tambahkan :

„Kau jangan kuatir! Aku bukan orang memakan gaji dari negeri, tidak nanti aku bekerja untuk pembesar negeri dengan menangkap segala bajingan ! Aku hendak tanya, kau betul siorang she Gui atau bukan ?" Gui Hong Siang bersenyum ewah.

„Betul, aku siorang she Gui ! dia jawab. iapun tidak kurang beraninya.

„Bagus !" tertawa Bouw Pek. Tentu saja dia tertawa secara menantang, „Kau boleh keluarkan hong-thian hoa-kek kau, aku mau ambil pedangku, yang aku taruh didalam kamarku ! Pekarangan ini luas, baiklah kita main2 disini saja !"

Gui Hong Sang masih punyakan dua kawan lain, yang menunggu diluar menjagai kuda mereka dan tumbak cagak- nya, maka itu disatu pihak dia perintah salah satu orang ambil senjatanya itu dipihak lain dia kiongchiu pada orang disekitarnya.

„Sobat2, aku adalah si orang she Gui” dia berkata. „Hari ini aku cari Lie Bouw Pek bukan karena permusuhan, hanya itu disebabkan dia orang yang sangat jumawa, yang diluaran telah buka mulut terlalu besar, hingga aku merasa tidak puas, maka sekarang aku datang buat adu kepandaian !" Dari belasan tamu hotel itu tidak ada satu orang yang menyahut, mereka tadinya niat pergi karena urusan tidak mengenai mereka, tetapi kapan ketahui orang hendak piebu, mereka jadi ketarik hati, maka mereka lantas berdiri diam, buat nonton.

Adalah beberapa jongos, bersama tuan rumah, yang sudah lantas menghampirkan

„Aku minta jangan kau orang piebu di dalam rumah penginapan kami ini," kata pengurus hotel, „Diluar, didepan pintu, ada pekarangan luas, jikalau kau hendak bertanding, baiklah kau pergi kesana saja ! Disana kau boleh piebu sesukanya !"

Mendengar perkataan itu, Gui Hong Siang tolak tubuhnya si pengurus hotel, seraya tangannya yang lain dikasi melayang pada muka orang.

„Kau jangan takut, tidak nanti terbit perkara jiwa!" dia kata dengan tenang, tetapi romannya sangat bengis, sedang tuan rumah terpelanting dan meringis, karena tangannya Gui Hong Siang keras dan panas !

Bouw Pek sementara itu sudah keluar pula, dia telah dandan dengan ringkas dan tangannya memegang pedang.

Hong Siang sudah lantas singsatkan pakaiannya, dia sambuti dia punya tumbak hong thian hoakek dari orangnya yang dia perintah ambil.

„Orang she Gui, sekarang aku ingin kau lebih dulu memberi penyelasan," berkata Lie Bouw Pek seraya maju mendekatkan.

„Aku ingin kau terangkan, sekarang ini kita bertanding buat adu jiwa atau piebu biasa saja ! Umpama kau ingin kan pertandingan yang meminta jiwa, marilah kita pergi keluar, kita jangan nanti bikin orang kerembet rembet dan mendapat susah karenanya!"

,Benar, benar, Lie Toaya omong benar !” berseru seorang jongos.

„Baiklah kau main2 diluar saja!.'

Tapi Gui Hong Siang goyang2 kepala. „Tidak, tidak usah pergi keluar !" dia kata dengan penolakannya. „Diluar tanah becek, tidak leluasa buat bersilat ditanah penuh lumpur !' Lalu dia kata pada anak muda kita :

„Diantara kita tidak ada permusuhan besar, tidak usah kita adu jiwa, maka lebih baik kita piebu secara biasa saja. Umpama kata aku bisa menangkan kau dihadapannya orang banyak ini kau mesti menjalankan kehormatan padaku dengan manggut2, atau kau mesti ikut aku, nanti aku berikan putusanku lebih jauh !"

”Jikalau aku menangkan kau, kaupun mesti berbuat padaku seperti barusan kau inginkan aku berbuat terhadap kau !" Lie Bouw Pek balas berkata.

„Sudah tentu !" sahut Gui Hong Siang muka siapa tapinya menjadi merah padam, bahna mendongkol dan jengah. dia terpaksa mesti berikan pernyataannya itu, apabila dia tidak mau mendapat malu! Kemudian, dengan tidak kata apa apa lagi, dengan tombaknya dia menikam dada orang. Tentu sekali itu adalah suatu serangan mendadak yang sangat berbahaya!

Anak muda kita tidak menjadi kaget atau gugup, sebaliknya, dia sangat tenang. dia angkat pedangnya dengan sebat dan sampok ujung tombak, setelah mana dia lompat maju seraya teruskan menusuk dengan ujung pedangnya !

Gui Hong Siang lompat kesamping berkelit, tusukannya dimajukan ber-ulang2 begitu lekas yang kedua kali tidak mengasi hasil.

Lie Bouw Pek berlaku gesit juga, dia sampok sesuatu serangan, hingga dia bikin musuh tidak mampu wujudkan niatannya akan bikin dia rubuh dan celaka.

Terang Gui Hong Siang penasaran yang tumbaknya tidak mampu mengenai musuh, dia telah robah caranya bersilat, satu kali ujung tumbak mendadakan menyambar ketenggorokan musuh.

Bouw Pek bisa lihat perobahan sikap orang, dia bergerak mengimbangi, kapan ujungnya hoakek menyambar kelehernya dia segera berkelit, berbareng dengan mana pedangnya dipakai menyabat akan tabas kutung ujung tumbak musuh ! Kepala berandal dari Kieyong kwan San mau tolong tombaknya, dia mundur sambil tarik pulang senjatanya itu. ini justeru maksudnya Bouw Pek, maka begitu lekas musuh mundur, dia balik merangsak, menusuk kekiri dan kekanan, membikin Gui Hong Siang mesti egos sana dan egos sini untuk tolong diri dari bahaya! dia menjadi repot karena rangsakan itu. sedang tadi Bouw Pek tidak bingung lantaran desakannya. Penonton sudah lantas bisa lihat yang si anak muda akan dapat kemenangan, mereka lantas bersorak , tetapi hampir berbareng dengan itu Hong Siang dengan tumbaknya

menahan pedang orang seraya berseru: „Tahan!"

“Apa kau mau?" tanya Bouw Pek, yang tarik pulang pedangnya. „Apa kau nyerah?"

„Putusan belum terdapat, kenapa aku mesti menyerah?" sahut Gui Hong Siang, tapi dia telah bernapas sengal2 „Aku lihat pekarangan ini terlalu kecil, sedang penonton banyak, hingga aku kuatir nanti kena bikin mereka terlukai dimana tumbak panjang tidak leluasa digunainya, aku ingin tukar itu dengan pedang. Apa kau berani layani aku, dengan aku menggunai pedang juga?" Lie Bouw Pek tertawa geli buat tantangan itu.

„Kau tergelar Say-Lu Pou, dengan gunai bongthian hoakek aku tidak takuti kau, apa pula kau gunai pedang, itu berarti bahwa segera aku akan menang!" dia kata. „Baiklah kau timbang2 dulu sebelumnya kau ambil pedang! Atau kau pilih saja senjata sesukamu!"

Hong Siang sangat mendongkol, tetapi dia tidak bisa bilang suatu apa, dia lemparkan tombak nya dan tukar itu dengan pedang, yang orangnya sudah lantas sodorkan padanya. Dia tidak mau banyak omong lagi, malah waktu maju menerjang dia pun tidak mengasi tanda apa juga.

Bouw Pek sudah siap, dia tangkis serangan musuh, karena musuh berlaku kasar juga segera balas menyerang, dengan begitu keduanya jadi bertempur dengan seru. Menarik buat dilihat adalah mereka sekarang gunai senjata yang serupa. Hong Siang berkelahi dengan sengit, dia penasaran, dia telah keluarkan antero kepandaiannya, oleh karena keinginannya adalah untuk rubuhkan musuhnya yang dia benci. dia malu yang musuh telah hinakan dia, karena tiga orangnya luka atau binasa, dan sekarang dimuka orang banyak dia di-ejek2,

Bouw Pek ladeni kesengitan orang dengan ketenangan istimewa, tetapi disebelah itu dia tidak berlaku alpa, sedang serangan pembalasannya tidak kurang hebatnya ! dia dirangsak, tapi dia tidak kasi dirinya terdesak mundur.

Dengan cepat tiga-puluh jurus telah lewat, kedua pihak kelihatan masih sama tangguhnya. Kejadian ini membikin kuatir pihak tuan rumah dan tamu2nya. Bagaimana juga, mereka ini kuatir si orang she Lie nanti kalah.

Bertempur lebih jauh, kelihatannya kedua pihak merangsak lebih rapat satu sama lain. Tentu saja karena ini, orang tidak bisa lihat tegas jalannya pedang mereka, sedang kebanyakan penonton itu bukan ahli silat.

Lagi beberapa jurus telah dikasi lewat, ketika Gui Hong Siang tertampak lompat nyamping, dari lengan nya yang kiri ada darah hidup yang ngucur keluar, sedang dua orangnya segera memburu buat pegangi dia!

Bouw Pek telah berhenti bersiku, dia awaskan lawannya sambil bersenyum, dengan unjuk roman sangat sombong dan katak.

„Apakah kau masih belum mau menyerah?" dia tanya dengan sengaja. dia memang bawa sikapnya itu buat kocok musuh.

Hong Siang malu berbareng murka dan mendongkol, mukanya menjadi pucat dan merah padam dengan berbareng juga, se-konyong2 dia menyerit keras, pedangnya terlepas, tubuhnya rubuh, karena dengan mendadak dia pingsan. Sukur buat ia, dua orangnya telah pegangi dia, dengan begitu tubuhnya tidak sampai jatuh ketanah.

„Sudahlah, kau jangan ber-pura2 mampus!" Bouw Pek masih saja mengocok. „Aku kasi tahu kau, tidak usah kau kasi hormat padaku dengan manggut2kan kepalamu, sebab orang dengan kepandaian semacam kau sebenarnya masih mesti cari guru lagi akan belajar pula!"

Sudah tentu hinaan itu hebat, tetapi Gui Hong Siang tidak dapat dengar.

Si tuan rumah dan orang2nya sedari tadi telah tutup mulut, karena mereka lihat orang she Gui itu Sangat galak, sedang si tuan rumah juga telah rasai tangan orang, hingga dia ketahui tenaganya, tetapi sekarang, setelah dapatkan si galak itu mati kutunya, mereka rubah sikap.

„Kenapa kau tidak mau lekas bawa dia pergi?" demikian mereka tegor dua berandal itu. „Apakah kau hendak tunggu sampai dia betul2 mampus disini?'

Tegoran itu belum dapat jawaban, atau salah seorang tamu telah berkata.

„Lukanya tidak hebat dia rupanya takut manggut2kan kepala, maka dia ber-pura2 mampus!" Tapi ini belum semua, seorang jongos pun kata: “Dengan kepandaian seperti ini, kenapa sih mau banyak lagak?”

Tapi semua jengekan itu percuma saja, kedua berandal hanya lebih perlu pepayang tay ong mereka buat dibawa keluar, sedang satu berandal dari luar segera masuk buat ambil tumbak dan pedang orang, buat dibawa pergi. Sebelum berlalu dia tanya Bouw Pek: „Kau kerja apa, dimana kau tinggal?"

Sebelum sianak muda menyahut, beberapa jongos, malah beberapa tamu juga sudah beraksi.

„Lekas pergi, lekas!" demikian mereka menghina, tangan dan kaki mereka dikasi bekerja atas tubuh orang. „Lekas  pergi, buat apa tanya2 !"

Dengan begitu berandal ini mesti ngeloyor pergi dengan mendongkol dan malu. Tapi, malu atau gusar, dia toh mesti lekas angkat kaki kalau tidak mau terima hinaan lebih jauh.

Bouw Pek pandang semua itu sambil tersenyum, kemudian dia kasi hormat pada tuan rumah serta sekalian tamu lainnya. „Maafkan aku, pagi2 aku telah ganggu kau," kata dia dengan manis dan merendah kemudian dia kembali kekamarnya.

Bouw Pek tadinya pikir mau berangkat pagi supaya bisa sampai dikota Pakkhia pada hari itu juga diwaktu masih siang, tetapi karena ada urusan ini, dia robah putusannya, dia pikir baik dia dahar dulu. andaikata dari pihaknya Gui Hong Siang ada lagi orang yang datang, dia boleh bikin penyambutan, dengan begitu dia jadi tidak usah bikin susah tuan rumah. iapun sudah pikir akan kasi uang sewa kamar dan makanan lebih dari biasanya, supaya tuan rumah puas. Tapi disaat dia mau berduduk akan mengaso, diluar kamarnya dia dengar satu suara lagu Pakkhia yang menanya:

„Apakah tuan Lie ada didalam kamar?"

„Siapa?" dia segera menyawab. Iapun ber bangkit, buat buka pintu.

Orang diluar itu seorang dengan usianya kira2 tigapuluh tahun, tubuhnya kate tetapi bajunya gerombongan, dia ternyata salah satu tamu hotel, yang tadi jadi penonton seperti yang lain2, malah yang bersorak paling gembira.

„Silahkan masuk," Bouw Pek mengundang. „Duduklah."

Tamu itu bersikap merendah dan manis budi, dia perkenalkan diri, katanya :

„Tuan Lie, aku Tek Siauw Hong. Aku seorang Boan dari golongan Pek Ke, Bendera Putih, dan sekarang aku bekerja didalam kantor Lwee-bu-hu. Bicara sebenarnya aku gemar ilmu silat, kusuka sekali bergaul dengan saudara2 dari kalangan piauw kiok, dengan mereka yang biasa menjadi pahlawan. Begitulah, karena kegemaran pergaulanku, orang telah julukan aku Thie-ciang Tek Ngoya."

Bouw Pek lekas2 angkat tangannya membalas hormat.

„Itulah nama yang telah lama aku dengar," dia kata. Lalu dia sambungi „Rupanya Tek Ngoya meyakinkan tenaga kie- kang, terutama ditangan?"

„Apa sih yang dibilang kiekang dan tenaga ditangan?" Tek Siauw Hong tertawa. „Apa yang aku pelajarkan adalah hanya beberapa jurus pukulan. Tapi, Lie Lauw hia apa kau sudi beritahukan padaku namamu yang besar di Titlee dimana kau tinggal ? Apa lauwhia suka juga kasi tahu, apa keperluan kau berangkat ke-Pakkhia?"

Bouw Pek beritahukan namanya seraya tambahkan:

„Aku asal Lam kiong di Kie-ciu, aku mau pergi ke Pakkhia akan tengok paman misanku, yang bekerja menjadi cusu di dalam Heng-pou." Agaknya Tek Siauw Hong tidak mengerti.

„Lauwhia asal Lamkiong, tetapi sekarang kau datang dari jurusan Kieyong?" dia menegasi.

„Itulah sebab aku telah lebih dulu pergi pada sobatku di Soan-hoa," menerangkan anak muda kita.

”Itulah lain," berkata orang Boan itu, yang lalu tuturkan hal dirinya. dia kata „Aku punya tanah disini, tanah itu dikasi sewa, oleh karena ada sedikit keruwetan, aku sengaja datang sendiri kemari buat membereskan. Boleh jadi lagi satu dua hari aku sudah akan bisa kembali ke Pakkhia Aku tinggal di Samtiauw Hoo-tong di Su pay-lauw, rumahku letaknya disebelah utara, yang pintu gerbangnya besar. Lauw-hia, bila nanti kau sudah sampai di Pakkhia dimana kau punya tempo senggang, aku girang sekali apabila kau suka datang berkunjung kerumahku itu."

”Kalau nanti aku sudah sampai di Pakkhia, pasti sekali aku akan bikin kunjungan," sahut Lie Bouw Pek, yang terima undangan itu „Aku menghaturkan terima kasih buat kebaikan Tek Ngo-ya."

„Terima kasih, aku girang sekali," Tek Siauw Hong kata.

Kemudian dia tanyakan duduknya hal mengenai piebu tadi.

Bouw Pek lihat orang Boan ini jujur, oleh karena dia percaya, dia jelaskan lebih jauh tentang dirinya dan kemudian ceritakan bagaimana dia saksikan sikapnya berandal, maka dengan maksud men-coba2 Say Lu Pou, dia sengaja sudah ganggu berandal itu, Gui Hong Siang benar bernyali besar, dia telah susul aku kemari dan mencoba bikin pembalasan atas diriku." Tek Siauw Hong kagum bukan main apa bila telah dengar keterangan itu

„Terang sekali, Lie Liauwhia, kau pemuda bun bu coan cay!" kata dia dengan pujiannya, „maka tidaklah kecewa akan panggil kau Jie-hiap, seorang terpelajar yang gagah perkasa!"

„Yang benar adalah Tek Toako yang terlalu puji aku !" kata anak muda itu sambil tertawa. „Mana aku bisa dipanggil Jie hiap? Memang aku telah pelajarkan kitab dan silat dengan berbareng, akan tetapi tidak ada satu yang aku akhirkan hingga sempurna. Ini juga sebabnya kenapa aku hendak cari sanak dikota raja, untuk bekerja. Tapi aku telah dengar dikota raja ada sejumlah enghiong, apabila ada ketikanya, aku ingin sekali berkunjung buat berkenalan dengan mereka itu."

„Bicara tentang kepandaian, memang kami dikota raja punya beberapa orang yang bisa dibilang mengerti itu" Siauw Hong kata. „Salah satu diantaranya, yang paling ternama, adalah Siauw-houwya Gin-chio Ciangkun Khu Kong Ciauw, tidak ada seorang yang tidak ketahui. Disebelah siauw houwya ini ada keluarga Oey yang dipanggil Gwa kun Oey-kee, yaitu Siu Bie-To Oey Kie Pok, si Bie-To Kurus! Mereka budiman. Hiapsu lainnya, yang sama terkenalnya, adalah Tiat Pweelekhu punya pweelek muda Tiat Jie ya, yang orang gelarkan Siauw- Hong-jiam, si Hong-jiam-kek Kecil. Aku kenal mereka secara seliwatan saja, sebab kami tidak punya hubungan yang menyebabkan adanya pergaulan kekal. Sebabnya yang utama adalah mereka itu orang2 bangsawan dan hartawan besar”

,,Mereka yang banyak hartanya memang gampang mengundang guru, juga punya banyak tempo senggang, tidak heran bugee mereka bagus, "berkata Bouw Pek, „cuma lah, jikalau mereka pergi mengembara, masih belum bisa diketahui apa kepandaiannya itu bisa digunai atau tidak?"

„Tetapi Khu Siauwhouwya pernah ikut ayahnya pergi kemedan perang," Tek Siauw Hong kasi tahu, Dia pernah dirikan jasa, cuma dia tak suka pangku pangkat, kalau dia mau, sedikitnya dia sudah jadi congpeng. Siu-Bie-To Oey Suya pernah pergi keluar Thio-kee-kauw, disana sekalian penjahat, apabila dengar namanya, tiada-satu yang tidak singkirkan diri jauh2. Dari sini, Lie Lauwhia, sudah bisa dinyatakan tentang ilmu silat mereka, yang bukan kosong belaka dan hanya namanya saja!"

Mendengar begitu, Pouw Pek jadi makin ketarik dengar dua orang ternama dari Pakkhia itu.

„Kalau besok-lusa aku sampai di Pakkhia, tak bisa tidak, aku mesti ketemukan dua orang itu," dia pikir. Tek Siauw Hong masih bicara pula, kemudian baru dia pamitan akan kembali ke kamarnya.

Lie Bouw Pek lalu dandan buat teruskan perjalanan, tetapi lebih dulu dia minta makanan untuk bersantap pagi, apabila sudah dahar cukup, dia sediakan pauwhok dan pedangnya. Pada jongos dia minta supaya kudanya disiapkan. Sebelum keluar dari hotel, dia pergi kekamarnya Tek Siauw Hong, buat pamitan dari sobat baru itu.

„Jangan salah, mampirlah padaku nanti," Siauw Hong kata.

„Pasti, Ngo-ya" kata anak muda ini. Tek Siauw Hong antar sobatnya sampai diluar hotel.

“Biarlah sampai nanti dikota raja kita bertemu pula!" kata si orang Boan, dengan sikapnya yang sungguh2.

„Sampai nanti, Ngo-ya!"

Mereka unjuk hormat satu pada lain, kemudian Bouw Pek lompat naik atas kudanya, yang dia terus kasi lari meninggalkan rumah penginapan, malahpun meninggalkan See-ho menuju ke Pakkhia.

Hujan sudah berhenti, akan tetapi jalanan masih becek, maka Bouw Pek tidak bisa kasi kudanya lari, sedang kemudian dengan sang pagi menjadi siang dan tengah hari, hawa udara berubah dari sejuk menjadi panas, panas sekali, hingga lumpur jadi legit hingga jalanan tetap sukar ditempuh. Oleh karena ini, hari itu anak muda ini tidak bisa sampai dikota raja, sebagaimana tadinya dia inginkan. Ketika sudah sore, dia baru sampai di Ceng-ho. terpaksa didusun ini dia singgah buat liwat kan sang malam didalam hotel. Adalah esoknya pagi2 dia berangkat pula menuju keselatan. Baru kira2 jam sembilan, Bouw Pek telah lihat tembok kota Pakkhia jauh didepannya dia dapat kenyataan, tembok kota benar kelihatannya angker seperti ceritanya banyak orang. Itu sebuah kota tua dan banyak riwayat, karena disitu telah bertahta beberapa kerajaan. dia juga dengar hal penduduk Pakkhia paling suka senda-gurau dengan omongan, bahwa ada beberapa tempat dimana orang dilarang lewat dengan menunggang kuda, dari itu begitu lekas dia telah sampai dipinlu Tek-seng-mui, dia lantas lompat turun dari kudanya, buat jalan kaki sambil tuntun binatang tunggangan itu. dia sekarang pakai baju luarnya, merapikan tudungnya.

„Encek Kie Thian Sin tinggalnya di Poan-cay Hootong disebelah selatan, aku pasti mesti menuju kejurusan itu,"Dia berpikir sembari jalan. Tapi dia tahu, Pakkhia kota besar dan luas, mencari gang itu seorang diri dia tentunya tidak mampu, maka ditengah jalan, bila dia ketemu orang, dia lantas tanya dimana letaknya Poancay Hootong selatan.

”Itu jalan besar dari Tek-seng-mui," kata seorang yang ditanya, yang manis budi bahasanya „Poan-cay Hootong selatan adanya diluar Sun-tie-mui, terpisahnya dari sini masih jauh. Sebenarnya sukar buat terangkan pada kau, karena pasti kurang jelas dan kau sukar cari jalanan itu. Kau jalan terus saja kesana, keselatan, nanti kau ketemu gang Chio-yang- pong. Dari gang itu kau maju terus, begitu lekas kau keluar dari mulut jalanan sebelah barat, kau telah sampai dimulutnya jalan baru, Sin-kay-kauw. Dari sini menuju terus keselatan, kau akan sampai di Sun-mui. Perjalanan ini, kira2 sepuluh lie jauhnya."

Bouw Pek benar2 merasa dia tidak dapat mengerti penyelasan orang itu, maka setelah haturkan terima kasih, dia jalan terus menuruti pengunjukan orang, dia terus tanya orang disepanjang jalan. Masih saja dia tuntun kudanya, saban2 dia tanya orang dia dikasihkan keterangan. dia telah sampai dijembatan Tek Seng Kio. disini dia tanya orang, kemudian dia sampai di Chio yang-pong. Sekeluarnya dari jalanan ini, dia tampak perhubungan lalu lintas lebih ramai, dikiri kanan terdapat banyak warung dan toko. Tapi disini ada orang jalan sambil menunggang kuda, maka menurut contoh dia juga lompat naik atas kudanya. Dengan ikuti jalan besar dia menuju keselatan.

Akhir2nya Bouw Pek bisa lewatkan Su pay-lauw barat, dari sini didepannya, dia tampak rangon tembok kota yang besar dan kelihatannya angker.

„Ini tentu pintu Sun-tie-mui dia men-duga2. Kemudian dengan langsung dia menuju kepintu kota dia mesti gunai banyak tempo buat bisa masuk ke dalam pintu kota itu dia turun dari kudanya, yang dia tuntun, sembari jalan, dia coba minta keterangan lebih jauh dari orang-orang yang dia temui dijalanan.

Nyata Toan cay hoo-tong selatan sudah tak jauh lagi letaknya.

Dengan roman dan dandanan bekas korban angin dan es, Lie Bouw Pek anggap dia tidak pantas lantas temui paman misannya, maka itu dia tanya orang apa di-dekat2 situ ada hotel atau rumah penginapan.

„Gang ini dipanggil Kan-louw-sie," terangkan seorang,

„kalau kau jalan terus kesana, ketimur, kau akan sampai di See-ho-yan, disana ada beberapa puluh hotel."

Bouw Pek mengucap terima kasih, dia lantas menuju ketempat yang ditunjuk. Benar saja, dijalanan ini dia tampak banyak rumah, malah rumah2 yang besar dan tinggi, Yang beda daripada rumah2 di-kota2 kecil. Merek, dengan huruf besar, juga tertulis dengan air emas, antaranya ada yang diperuntukkan pembesar2 negeri.

„Aku bukan orang berpangkat, aku tidak perlu dengan pondokan2 istimewa seperti ini," pikir anak muda kita. „Juga, kalau piauw-cek ketahui aku sewa kamar dirumah rumah penginapan besar ini, dia nanti kata kan aku royal tidak keruan."

Begitulah dia cari hotel yang kecil merek Goan Hong. dia serahkan kudanya pada jongos buat dirawat, dia masuk kedalam akan cari sebuah kamar yang kecil. dia cuci muka dan ganti pakaian, sebagai baju luar dia pakai thungsha hijau, kepalanya ditutup dengan kopiah kecil dan tangannya memegang kipas. Begitu lekas sudah tanya tegas pada jongos dimana letaknya Poan-cay Hoo-tong selatan, dia lantas pergi cari rumah encek misannya.

Sampai waktu itu tidak sukar buat Bouw Pek cari Poan-cay Hoo tong selatan, begitu lekas dia masuk kedalam gang dan tanya orang yang pertama diketemukan, dia segera ditunjukkan rumahnya Kie Cu-su. Di muka lauwteng dipasang merek „Sian Tek Tong Kie", hurufnya dari air emas. Merek itu memastikan dia bahwa dia tidak salah kenalkan. dia segera samperkan rumah itu, yang daun pintunya tertutup separoh, dia lalu mengetok.

Dari dalam ada suara orang menyahuti, lantas keluar seorang umur kira2 dua puluh tahun, yang pakai baju warna gwee peh.

Menduga orang itu bujang atau pengikut pamannya, Bouw Pek perkenalkan diri.

„Aku orang she Lie dari Lam-kiong " demikian dia kasi tahu.

„Kie Looya disini ada lah piauw-cekku. Mendengar itu hamba itu lantas saja bersenyum.

„Kiranya Lie Sauwya." dia kata. „Selama beberapa hari ini, looya dan thaythay memang selalu harap datangnya siauwya, Silahkan masuk!"

la mundur akan mengasi jalan, kemudian sembari jalan dia kata dengan sedikit keras : ,Lie Siauwya dari Lamkiong telah datang !" Ucapan ini ditujukan pada orang dipedalaman.

Sesampainya dithia untuk terima tamu, Lie Bouw Pek dapat kenyataan yang rumahnya pamannya, dari perabotannya, tidak menandakan rumah orang hartawan. Kursi meja dan gambar2 tapinya cukup banyak. Dari sini dia dapat perasaan, yang pamannya sebagai pembesar adalah putih bersih.

Si pengikut minta anak muda ini duduk, dia lalu masuk kedalam, kesebelah utara, tetapi belum lama dia sudah kembali seraya terus berkata : ,Lie Siauwya, looya dan thaythay minta kau suka masuk kedalam saja."

Bouw Pek berbangkit, dia rapikan pakaiannya, lantas dia ikut pelayan itu masuk keruangan sebelah utara. Disini perabotan tertampak jauh lebih mentereng.

Kie Cu su, sang paman, sedang duduk disebuah kursi hitam. Bouw Pek menghampirkan buat unjuk hormatnya seraya sampaikan pengharapan encek dan encim nya atas kesehatan paman ini sekeluarga. Justru itu Kie Thaythay atau Yo sie baru keluar, lantas saja dia menegor:

„Keponakanku, kenapa baru sekarang kau sampai? Kapan kau berangkat dari rumah?"

Di tanya begitu air mukanya Bouw Pek berubah, tetapi dia lekas2 kasi hormat pada bibi itu seraya sahuti pertanyaan itu. Katanya.

„Aku berangkat bulan yang lalu, karena dapat sakit dijalan, aku jadi terlambat

”Ya, aku pun lihat tampangmu sedikit pucat," kata Kie Cu- su. „Kau duduklah."

Dengan minta berkenan, Bouw Pek lalu duduk dibangku dipinggiran. dia dapat kenyataan yang pamannya tidak gembira, boleh jadi sedikit kurang senang.

„Empat tahun yang lalu aku pernah pulang dan lihat kau," kata paman itu seraya goyang2 kipasnya, „sekarang kau ternyata lebih tinggi daripada duluan, cuma tubuh mu lebih kurus. Boleh jadi ini disebabkan kau jarang keluar rumah. Sudah sejak tahun yang lalu aku terima surat, minta aku carikan kerjaan untuk kau, sayang waktu itu aku tak bisa berdaya. Kau harus ketahui, benar aku pangku pangkat dalam Heng pou, tetapi pangkatku rendah dan aku tidak bisa bekerja seperti orang lain yang pandai mengumpul uang. Maka itu, namanya aku jadi cu-su, sebenarnya aku miskin. Sekarang ini dengan semua pembesar diistana, asal yang melek, aku tidak punya perhubungan kekal, maka itu buat cari pekerjaan untuk kau sukainya terlebihi, sedang kau sendiri bukannya sengwan dan kau belum pernah lulus sebagai kiejin !" Bouw Pek menyahut „Ya"" atas perkataan paman itu, dia merasa tidak enak hati.

Sang paman sudah lantas sambungkan perkataannya :

,Baru-baru ini seorang juru tulis telah meninggal dunia, aku anggap kau sanggup ambil lowongannya itu, begitulah aku kirim surat pada pamanmu. Pembawa surat itu kebetulan mau pergi ke Taybeng. Adalah harapanku supaya kau segera datang begitu lekas kau terima suratku, apa mau sampai setengah bulan ia nanya, kau masih belum muncul, maka kemarin ini lowongan itu sudah diisi oleh orang lain, Dasar peruntunganmu masih belum terbuka, ketika yang baik itu telah lewat !”

Bouw Pek kerutkan alis. Tidak dapat pekerjaan itu, buat dia tidak berarti banyak. Tapi kesukaran adalah bagaimana dia bisa berdiam lama lama dikota raja ini, sedang buat pulang dengan tangan kosong dia merasa malu. Pasti dia tidak bisa menumpang lama lama pada pamannya ini, yang bukannya seorang senang.

,,Apakah kau bawa pauwhok ?" Kie Cu-su tanya.

„Ya, satu bungkusan dan seekor kuda, sekarang dipondokan," dia jawab.

„Pondokan mana itu?" sang paman tanya.

„Hotel Goan Hong di Seehoyan," dia kasi tahu.

„Buat sementara waktu baiklah kau tetap tinggal dihotel," kata Kie Cu-su kemudian, sesudahnya dia berpikir sebentar.

„Disini aku tidak punya kamar kosong, sedang adanya dua adik perempuan kau pasti akan bikin kau kurang  leluasa. Kalau kau senggang, coba kau menulis karangan, aku ingin lihat tulisan dan hurufmu, supaya aku bisa pikir jabatan apa yang kau bisa kerjakan. Andaikata kau tidak punya uang, kau boleh kasi tahu padaku."

„Terima kasih, piauwcek," kata Bouw Pek sambil tersenyum, sedang hatinya melainkan Thian yang ketahui.

Kemudian Bouw Pek, tuan dan nyonya rumah lalu bicarakan urusan2 lain, sampai Bouw Pek lihat pamannya menguap beberapa kali. „Hawa udara begini panas, piauwcek tentunya mau tidur tengah-hari," pikirnya. Lantas dia minta ijin buat undurkan diri. “Baiklah," kata sang paman, yang tidak mencegah. „Besok kau boleh datang pula, lebih baik pada kira-kira jam tiga atau empat lohor, waktu itu aku pasti ada dirumah."

Bouw Pek berikan janjinya, dia mengasi hormat dan lantas berlalu. Si pengikut antar ia, malah sesampainya diluar, dia itu kata : „Siauw-ya, harap besok datang pula.”

Ia manggut. dia keluar dari rumah dengan tindakan berat, dia menuju keutara. Sembari jalan, otaknya bekerja.

„Kenapa sih peruntunganku begini malang? Tentu sekali, kendatipun dikasi aku pekerjaan juru tulis di Hengpou itu aku tidak sudi terima. Sekarang aku sudah berada dikota raja, apa aku mesti kerjakan ? Tidak selajaknya aku berdiam saja dengan nganggur. Piauwcek bilang, kalau aku perlu uang aku boleh minta padanya, tetapi apakah dengan sesungguhnya aku bisa sodorkan tangan. akan minta uang ?"

Ketika itu dia sampai di Cay-sie-kauw, dia masuk disatu toko kertas buat beli kertas tulis dan pit, tempo dia angkat dua rupa barang itu, dia rasai kertas dan pit itu lebih berat daripada pedangnya .

„Kertas dan pit ini benar benar bikin aku celaka !" dia berkata didalam hatinya. „Coba aku seperti ayah, yang dengan sebatang pedangnya telah rantaukan dunia, tidakkah itu jauh lebih menggembirakan ? Kalau aku bekerja, tidak lebih tidak kurang aku akan mendekam didalam kantor, kerjaanku tak lain daripada menulis dan menulis saja! Dengan menulis surat melulu, dalam beberapa tahun saja tidakkah semangatku akan menjadi gempur dan musnah ?"

Maka itu waktu dia sampai dikamarnya didalam hotel, pit dan kertas itu dia lemparkan keatas meja. Dia duduk menulis, hanya dia teriaki jongos buat minta barang makanan, setelah bersantap tengah hari dia lempar tubuhnya keatas pembaringan.

Dalam kekeruhan pikiran anak muda ini bisa tidur pulas, tatkala dia mendusin sudah magrib, maka itu tidak lama lagi dia sudah duduk pula menghadapi barang makanan untuk bersantap malam. Sehabis makan dia pergi keluar akan jalan- jalan di jalanan2 yang berdekatan dimana ada banyak toko dan orang yang berlalu lintas seperti bikin sesak jalanan. Pemandangan ini membuka juga sedikit hatinya. Tapi ketika kemudian dia balik kehotel, duduk sendirian menghadapi lampu, pikirannya pepat pula, hingga ia berduka berbareng mendongkol. Matanya sudah lantas kebentrok dengan pit dan kertas.

„Tidak bisa tidak aku toh mesti menulis," pikir dia akhirnya.

„Piauwcek ingin lihat  tulisanku, jikalau aku  tidak iringi kehendaknya, mana aku punya muka buat ketemui dia pula ?" Ia menghela napas, dia berbangkit buat hampirkan pauwhoknya, buka itu dan keluarkan bak dan bakhie, yang mana dia letakkan diatas meja, apabila kemudian dia telah gosok bak itu, dengan paksakan diri dia beber kertas akan mulai menulis. Baru saja angkat pit atau diluar kamarnya ia dengar suara riuh dari tamu2 lain, ada yang suaranya besar, ada  yang  tertawanya  nyaring.  Ada  juga  orang  yang  telah

nyanyikan lagu „Jie Hong."

„Benar-benar gila!." pikir anak muda ini, yang menjadi uring-uringan. Mana hawa udara sangat panas, dia kegerahan, keringatnya menggobyos. Akhir-akhirnya dia berbangkit.

”Biarlah aku menulis besok saja !" kata dia dalam hatinya. dia ambil kipas, dia padamkan api, kemudian sambil rebahan, dia kipaskan tubuhnya Segera juga dihadapan matanya terbayang Siu Lian, si Nona Jie yang manis.

„Entah bagaimana dengan si nona sekarang." demikian dia ngelamun. Justru itu terdengar suara orang menyanyi dengan nyata sekali.

„Tuan rumah penginapan telah bawa kuda Oey-piauw-ma, hingga Cin Siok Po menangis dengan air mata bercucuran ."

Suara itu mengharukan, hatinya Bouw Pek tergerak, hingga anak muda ini jadi bersedih

„Baik aku berdiam beberapa hari disini," pikir dia akhirnya.

„Apabila selama itu aku tetap tidak peroleh pekerjaan, aku nanti jual kudaku dan merantau dengan sebatang pedangku ! Aku merdeka, aku boleh pergi kemana aku suka !"

Lama-lama Bouw Pek menjadi lelah sendirinya, karena rupa-rupa pikiran tidak keruan juntrungan telah hinggapi ia, maka akhirnya dia bisa juga jatuh pulas. Sekali tidur, dia bisa tidur dengan nyenyak, sampai esok pagi dia baru mendusin. Sekarang dia mesti paksakan diri duduk menghadapi meja akan menulis, karena sebentar lohor dia mesti pergi pada pamannya akan serahkan tulisannya yang sang paman minta. Tapi dia merasa puas, apabila dia sudah pandang tulisannya begitu lekas dia sudah menulis selesai.

„Tapi, selama sepuluh tahun, pit ini telah bikin gagal aku." demikian ia ngelamun pula dengan masgul. dia berduka bukan main. Berat buat dia menunggui sang waktu. Maka ketika  sang lohor tiba, lekas-lekas dia dandan, dengan bawa tulisannya dia bertindak ke Poan-cay Hootong selatan kerumah pamannya.

Diluar dugaan, Kie Cu su telah penuhi suatu undangan, maka tempo Bouw Pek sampai paman itu tidak ada dirumah, dari itu dia telah diterima oleh encimnya. Nyonya ini suka bicara. dia telah omong perihal kesukaran suaminya yang berpangkat kecil, hingga sukar untuk melewati hari dengan leluasa. Cu-su berniat cari lowongan lain, atau pindah ketempat lain, dalam hal ini dia terhalang oleh kantong kosong. Buat dapat perubahan nasib, dia membutuhkan uang untuk membuka jalan.

„Paman dan bibi kau tidak bisa urus kau," kata encim ini kemudian, bicara tentang Lie Hong Keng dan isteri. „Kau sudah berusia cukup, kenapa soal pernikahanmu masih dialpakan ? Apa mereka mau antap kau terus hidup sebatang kara ?"

Mukanya Bouw Pek menjadi merah. dia tidak berani kasi tahu, bahwa encek dan encimnya bukan tidak pikir tentang perjodohannya, hanya adalah dia sendiri yang menyebabkan itu terlambat. dia tidak lulus dalam ujian, dia jadi tidak niat beristeri, demikian dia kasi alasan. „Jikalau begitu, kau punya semangat," kata piauwcim ini lebih jauh. „Sekarang kau boleh sabar saja, tunggu sampai encekmu telah dapatkan pekerjaan untuk kau, nanti baru kita pikir tentang perjodohanmu. Tentang jodoh, kau boleh serahkan padaku. Aku tahu satu nona, yang terhitung orang asal satu kampung dengan kita.

Bouw Pek tidak puas mendengar dibicarakan urusan perjodohannya, tetapi supaya tidak rewel dia simpangkan soal itu.

Sampai mau sore, Kie Cusu masih belum pulang, maka supaya tidak usah menunggu lebih lama Bouw Pek pamitan dari piauwcimnya, pada siapa dia tinggalkan tulisannya. dia mau ditahan buat bersantap malam, dia menampik sambil haturkan terima kasih.

Sesampainya didalam kamarnya, Bouw Pek jadi bertambah masgul. Karena sang bibi sebut2 perkara jodoh, dia ingat Siu Lian. la jadi serba salah, dia coba tenggak arak guna legakan pikiran. Arak mendatangkan hawa panas luar biasa, selagi hawa udara mengkedus, sangat beringsang untuk berdiam terus didalam kamar Maka dengan pakai tung-sha, anak muda ini keluar dari hotel akan jalan2. dia lewat, beberapa gang dan dapatkan tempat ramai dan makin ramai, hingga tanpa merasa dia jalan lebih jauh, sampai berada disuatu gang dimana ada beberapa rumah dengan pintu pekarangan yang kecil tetapi banyak tengloleng, yang apinya telah dinyalakan. Didepan pintu juga terdapat beberapa buah kereta, yang kudanya bagus, keretanya indah. Digang itu juga banyak orang mundar mandir, pakaiannya kebanyakan mentereng, tampangnya berseri, terang mereka orang berpangkat atau saudagar hartawan. Rumah2 itu berhadap2an dengan yang lain, yang pun sama macamnya.

Menampak orang lain begitu gembira sedang dia sendiri berduka, mau tidak mau anak muda ini menghela napas. Kendati begitu dia terus perhatikan rumah-rumah itu, sampai matanya kebentrok dengan huruf-huruf yang tertulis ditengloleng. dia baca „Hok Sian Pan", „Lee Cun Koan", „Peh Bie Pan" dan lain-lain. Tiba-tiba dia seperti tersadar.

„Mestinya ini gang yang tersohor di Pakkhia yang dipanggil gang Peng-kong, gang dimana terdapat rumah-rumah pelesiran," pikir ia. „Aku seorang miskin dan aku telah datang kegang ini yang penuh dengan impian, apakah ini lucu ?"

Oleh karena tidak cocok dengan hatinya, lekas-lekas Bouw Pek buka tindakan-nya menyingkir dari gang itu, tetapi baru saja dia jalan beberapa tindak, dari sebuah rumah hina keluar dua tamu, yang rupanya baru habis bersenang-senang. Mereka ini mau naik atas sebuah kereta, ketika satu diantaranya dapat lihat anak muda kita, lantas saja dia memburu buat menghampirkan seraya berseru.

„Saudara Bouw Pek ! Ha ha-ha-ha, siapa nyana kita bisa bertemu disini ! Jangan kau menyingkir, saudara !"

Bab 9

Sekalipun dia terkejut, Bouw Pek toh menoleh. Orang itu ialah Tek Siauw Hong, si orang Boan yang dia ketemu di See- ho. Bahna jengah, mukanya menjadi merah. Pakaiannya Siauw Hong berwarna biru, dari kain mahal dan indah, sedang ma-kwanya dari cita hijau. Iapun lihat kuncir orang, yang disisir licin sampai mengkilap sedang tangannya memegang kipas yang bagus.

„Saudara Bouw Pek," kata pula Tek Siauw Hong sambil tertawa. „Ketika hari itu aku ketemu kau, aku anggap kau seorang Jie-hiap maka aku sungguh tidak sangka, bahwa sekarang kaupun seorang hongliu hiapkek l"

Hongliu hiapkek berarti orang gagah yang romantis, maka itu, mendengar demikian anak muda kita menjadi bertambah jengah. dia tidak tahu, bahwa dia telah masuk kegang tempat pelesiran, siapa tahu, disini dia justeru bertemu dengan sobat baru, yang belum kenal sifat dan adat tabiatnya, hingga mudah saja dia dicap sebagai tukang mogor. celakanya buat ia, dia tidak bisa buka mulut akan bersihkan diri. Tapi dia paksakan diri akan berlaku sabar dan sambil tertawa dia tanya

: „Tek Toako, kapan kau pulang ?"

„Ketika hari itu kau pulang, kebetulan urusanku juga selesai, maka dengan tidak ayal-ayalan lagi aku berangkat pulang," sahut Tek Siauw Hong. „Kau tahu, aku menyesal yang hari itu aku tidak beritahukan alamatku yang lengkap, hingga aku kuatir kau akan tidak dapat cari rumahku. Sekarang kita bertemu disini, sungguh kebetulan !"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar