Po Kiam Kim Tjee Jilid 01


JILID 1

Buat Penduduk Kie-lok, Tit-lee, nama Jie Hiong Wan sudah tidak asing lagi Mulai umur delapan-belas tahun ia telah  masuk dikalangan piauw-su, dalam usia enam puluh lebih ia telah undurkan diri. Ia telah kunjungi banyak tempat, bertempur dengan banyak lawan, tetapi ia juga telah dapatkan banyak kenalan. Iapun terkenal manis-budi dan pemurah hati. Dikalangan Sungai Telaga orang panggil ia Tiat cie tiauw, si Garuda Sayap Besi, tetapi setelah usianya bertambah, dengan singkat ia dipanggil Lauw-Tiauw, si Garuda tua.

Mula2 piauwsu ini bekerja pada Tay Hin Piauw-hang di Pak- khia, dua puluh tahun lebih ia telah kerahkan tenaga dan kepandaiannya, hingga piauw-hang itu jadi piauw-hang yang kesatu dikota raja, tetapi setelah masuk umur empat puluh lebih, ia anggap ia tidak boleh terus jadi kuli orang, maka ia meletakkan jabatannya dan pulang kekampung halamannya sendiri, Kie lok, dan disitu mendirikan Hiong Wan Piauw-hang, yang dibawah pimpinannya sendiri, dapat kemajuan cepat, karena namanya telah menjadi tanggungan utama. Malah sekarang, bila menghantar piauw, ia tidak usah selalu menghantar sendiri, cukup asal benderanya ditancap dikereta barang2 yang dilindungi, dan karcis nama nya dibawa guna dihaturkan kepada orang yang berkepentingan. Sebegitu jauh ia belum pernah menghadapi rintangan apapun juga, sehingga banyak saudagar menaruh kepercayaan besar padanya.

Akan tetapi pada suatu hari datanglah saatnya Hiong Wan Piauw-hang ditutup secara mendadak, hingga orang heran, malah orang2 dalam rumahnya tidak terkecuali juga. Orang heran, karena orang tahu perusahaan berjalan baik dan sebab penutupannya merupakan suatu rahasia.

Pada suatu hari Jie Loo-piauw-tauw berangkat seorang diri ke Holam, ia pergi selama satu bulan lebih, kapan ia pulang, dengan lantas ia bubarkan perusahaannya, semua pegawai diberhentikan, dan sejak itu ia jadi lebih sabar daripada biasanya, bila tidak perlu ia tidak keluar. Putusan mendadak ini membikin orang heran apalagi sobat dan kenalan, hingga orang men-duga2. Ada orang bilang piauw terbegal ditengah jalan. orang lain bilang, bahwa diluaran ia sudah melakukan suatu pelanggaran, kendati demikian, sampai berselang lima atau enam tahun tidak pernah ada orang yang cari piauwsu ini, baik buat minta ganti kerugian, maupun buat bekuk dia. Jadi orang telah men-duga2 secara sembarangan saja.

Sementara itu kumisnya piauwsu ini telah berubah menjadi putih, tetapi tubuh nya tetap sehat walafiat, hampir setiap pagi, dengan tengteng kurungan burung gelatiknya, ia pergi kewarung teh buat minum teh sambil kongkouw sama kenalan kenalannya, hanya begitu lekas ia pulang, ia lantas kunci pintu dan sekap diri didalam rumah.

Keluarga Jie adalah satu keluarga, “kecil" sebagaimana Jie Hiong Wan cuma tinggal bertiga dengan isterinya, Lauw-sie, dan anaknya perempuan satu2 nya, Siu Lian. Namanya piauwsu ini tetap terkenal, hanya sekarang ia tidak jadi buah tutur sebagai mana dulu2, diwaktu ia masih buka piauw kiok. Tapi, seperti dia, seluruh kota kenal anak-daranya, nona Siu Lian, karena kecantikannya.

Siu Lian tidak seperti gadis remaja ke banyakan, yang jarang keluar rumah, ia adalah sebaliknya. Inipun disebabkan ia tidak punya bujang atau budak, hingga buat beli jarum dan benang umpamanya, ia mesti jalan sendiri. Begitulah, maka orang sering dapat lihat dia, hingga banyak pemuda yang tersengsam apabila sinona kebetulan pergi belanja........

Sampai sebegitu jauh, tidak pernah Siu Lian mengalami gangguan anak2 muda yang tertarik hati atau mengaguminya, kesatu sebab ia toapan, kedua karena orang malui ayahnya, si jago tua, si Garuda Bersayap Besi.

Didalam rumahnya, Siu Lian melainkan bantu ibunya didapur dan menjahit, tem po selebihnya ia lewatkan dengan berlatih ilmu silat dibawah pimpinan ayahnya, yang senggang seperti ia. Demikian penghidupan tenang tenteram dari keluarga ini, sampai pada suatu hari datang perubahan yang tidak diinginkan.

Waktu itu dipertengahan sepuluh bulan pertama, Jie Loo- piauwtauw telah kedatangan su-titnya Yok Thian Kiat dari Ciang-tek, Holam, yang katanya berkunjung buat sekalian mengaturkan selamat tahun baru.

Dua hari lamanya keponakan murid ini berdiam dirumah paman gurunya, selama itu mereka telah omong banyak, tetapi seperginya tuan rumah segera nampak nya berduka sekali, sebagai juga ada urusan penting yang menindih hatinya. Kendati demikian, Hiong Wan tidak omong suatu apa pada isteri dan anaknya.

Malamnya selagi hendak masuk tidur, Hiong Wan kunci pintu secara istimewa dan pada anak isterinya ia pesan :

„Mulai besok, apabila ada orang mengetok pintu, kau orang tidak boleh lantas membuka, kau mesti lebih dahulu memberi tahu padaku !"

Mendengar demikian, Siu Lian jadi heran.

„Ada apa, ajah ?" anak ini tanya. „Kenapa mesti berlaku demikian hati2 ?"

Tapi, seperti uring2an, sang ayah menjawab : “Anak perempuan tidak boleh tanya banyak2 !"

Siu Lian menjadi heran. Belum pernah ayahnya berlaku demikian kaku terhadap ia dan ini adalah yang pertama kali. Ia lantas diam, ia tidak berani menanya lagi.

Loo-piauwtauw turuni goloknya yang di gantung ditembok, dengan mengeluarkan suara golok itu dicabut keluar dari serangkanya. Golok itu berwarna hijau gelap. Itu adalah senjata yang telah dipakai puluhan tahun, yang pernah kecipratan darah orang2 yang dianggap jahat. Sudah lama senjata itu digantung saja, baru sekarang diturunkan. Dengan lantas piauw su tua ini merasakan goloknya itu berat, maka ia menghela napas.

„Benar2 aku telah berusia tinggi, aku tidak boleh banyak tingkah lagi " demikian ia ngoceh seorang diri. Orang tua ini masgul. ia ingat, setelah berusia enampuluh lebih, ia hanya punya seorang anak perempuan. Apakah artinya anak perempuan, kendati ilmunya tinggi.

Coba Siu Lian anak lelaki......Maka, lain lagi, ia menghela napas.

Lauw-sie tidak curigai suaminya, adat siapa ia telah  ketahui. Baginya, tertawanya dan helaan napasnya suami itu biasa saja.

Tidak demikian dengan Siu Lian, si anak, yang menjadi heran sekali. Anak ini menoleh pada ibunya, tetapi si ibu terus tunduk melajani jarum dan benangnya......

Berduka sendirinya, anak dara ini menjadi sedih, hingga air matanya menetes turun. Lantas juga ia menduga, bisa jadi ayahnya punya musuh dan sekarang si musuh hendak datang mencari balas. Bukan kah Yok Thian Kiat datang dengan warta tentang musuh ayahnya itu ? Jika tidak, tidak nanti si ayah jadi berduka dan begitu ber-hati2 !

Malam itu Siu Lian tidak bisa tidur nyenyak. Pada tengah malam ia masih dengar ayahnya menghela napas, sedang sang golok tua telah menjadi kawan dengan menggeletak terus disamping bantal.

Besoknya loo-piauwtauw bawa goloknya keluar, dengan itu ia bersilat. Sambil nyisir dikamarnya, dari jendela Siu Lian bisa awasi gerakannya si ayah. Golok menyambar kesana sini, kedua belah tajamnya ber kelebatan, tubuhnya orang tua itu gesit. Tapi belum seperempat jam, loo-piauw tauw telah berhenti bersilat, mukanya merah, keringatnya mengucur, napasnya memburu.

Air matanya Siu Lian meleleh apabila ia telah awasi ayahnya itu.

Hari itu jago tua ini tidak pergi kewarung teh, burung gelatiknya tetap tergantung ditempatnya. ia tidak gubris yang burung itu berbunyi taktak-tiktik tak berhentinya. Ia kelihatan lesu. Ia jalan mundar-mandir dengan tangan tergendong dibelakang. Ia nampaknya sedang berpikir keras, iapun sering kaget,asal dengar suara pintu lebih dulu ia lari kedalam buat ambil goloknya, baru keluar.

Oleh karena ini, beda dari biasanya, Siu Lian tidak lagi pakai bajunya yang gerombongan, ia hanya dandan dengan ringkas, seperti biasanya kapan ia sedang berlatih silat. Iapun sering memandang ketembok, di mana tergantung siangtoo, sepasang goloknya.

Didalam hatinya, anak dara ini telah berpikir: „Jikalau benar musuh ayah datang, dengan tidak tunggu sampai ayah turun tangan, aku nanti terjang dia ! Aku ingin unjuk pada ayah, bahwa tidak percuma ia ajarkan silat padaku!"

Jie Loo-piauwtauw telah jaga diri baik2 tetapi sampai liwat belasan hari, tidak ada terjadi suatu apa, malah tamu asingpun tidak ada yang datang berkunjung. Mengenai ini, hatinya Siu Lan menjadi lega, tetapi dipihak lain ia jadi berkuatir, kalau2 pikiran ayahnya terganggu.......

„Bisa jadi ayah menjadi begini, karena dulu ia telah rasai suatu gempuran pada batinnya," akirnya sang anak menduga.

Kelakuannya Jie Hiong Wan dengan polahan telah balik seperti sediakala, hingga kemudian orang bisa lihat ia diwaktu pagi pergi pula kewarung teh sambil tengteng kurungan dengan burung gelatik. Dirumah, dengan anak isterinya, iapun bisa kongkow sambil ter-tawa2 seperti biasa. Agaknya pikirannya telah terbuka pula.

Sang hari lewat dengan cepat, sekarang berada dibulan ketiga, waktu Ceng beng. Hiong Wan mau teecoa, buat itu ia telah panggil bekas pegawainya, Tee-lie-kui Cui Sam, untuk diminta tolong jaga rumahnya, karena ia mau pergi bersama anak dan isterinya. Untuk itu, ia telah sewa kereta.

Kapan kereta telah berangkat, Siu Lian dan ibunya duduk didalam dan ayahnya duduk diluar. Kereta keluar dari gang, menuju kejalan besar, ke Pak-mui, pintu kota utara. Jalanan ramai.

„Jie Loo-siok mau pergi tee-coa ?" demikian orang pada tanya jago tua itu. karena orang lihat ia bawa hio dan kertas. Banyak orang kenal piauwsu ini dan rata2 orang tegor dia. Dipihak lainpun ada orang2 yang ingin melihat kedalam kereta, akan pandang Jie Kouw-nio yang manis.......

Siu Lian pakai baju dadu, ia mirip dengan bunga toh dari bulan Shagwee itu.

Sekeluarnya dari pintu kota, kereta di tujukan ketimur. Kuburan keluarga Jie berada kira2 enam belas lie disebelah timur Pak-mui, maka itu keretapun ambil tempo cukup lama.

Diluar kota, pemandangan alam indah, rumput menghijau, bunga sedang mekar, semua segar, nampaknya menarik hati. Kupu2 pada berterbangan, sedang angin musim semi meniup dengan halus, seperti mengusap muka dan tangan orang.

„Lihat, ayah, gandum sudah tumbuh tinggi sekali " Siu Lian kata pada ayah nya. Ia melihat pemandangan yang merawankan hati itu, hingga ia tidak bisa cegah diri akan tidak utarakan perasaan hatinya itu.

„Ya," menyahut sang ayah dengan pelahan, „Tahun ini mestinya panen bagus!"

Hiong Wan memandang kesekitarnya,

Disebelah keindahan alam, ia pun tampak pemandangan yang menggetarkan hati! Kuburan banyak, sudah ada yang ditabur dengan kertas dan dipasangi hio. Disebelah mereka yang sambangi kuburan lama atau tua, ada juga yang berkabung, yang baru kematian dan mereka ini bersembahyang sambil menangis ter-sedu2. Ia sudah tua, ia pun tidak lama lagi akan pergi ke tanah baka, seperti mereka yang sekarang asyik rebah didalam tanah.......

Tapi Jie Siu Lian berpikir lain dari pada ayahnya. Ia hanya merasa kegembiraan usia muda. Ia kagumi kepermaian yang sekarang tersebar dihadapannya. Kemana saja ia menoleh, tampak kebesarannya musim cun!

Melainkan Lauw-sie, yang tidak unjuk roman seperti suami atau gadisnya, ia cuma mengharap bisa lekas sampai, buat pasang hio, kemudian pulang, buat bekerja pula, masak dan cuci....... Dan harapannya lekas juga terwujud, sebab segera juga mereka sudah sampai ditempat kuburan keluarga Jie, yang sederhana sekali, maklum keluarga biasa saja......

Tatkala itu sudah waktu lohor. Siu Lian pimpin ibunya turun, bersama ayahnya pergi kekuburan leluhur mereka, buat pasang hio, atur kertas dan paykui, kemudian mereka pergi kerumah penunggu kuburan, duduk mengaso sambil, minum teh dan tiamsim. Kemudian naik pula atas kereta, berjalan pulang.

Perjalan baru lima atau enam lie, dari kejauhan sudah tertampak lauwteng kota Pak-mui. Berbareng dengan itu tertampak juga empat penunggang kuda, yang sedang mendatangi dengan cepat. Dan penunggang kuda bulu hitam, seorang anak muda umur dua puluh lebih, mukanya merah, segera mendahului maju kedepan kereta dari jago tua kita, didepan siapa ia menghalang.

„Turun ! Turun !" demikian ia lantas memerintah, dengan suara bentakan.

Wajahnja Jie Hiong Wan berubah.

Empat penunggang kuda itu sudah lompat turun dari kudanya masing2 menghunus golok yang tajam. Kembali simuka merah buka mulut.

„Sekarang barulah sakit hati ajahku bisa terbalas!" kata ia sambil tertawa dingin.

Berempat mereka maju mendekati, di antaranya ada yang menahan kuda dan kereta, ada yang hendak betot turun piausu tua itu.

Jie Hiong Wan bingung. Ia berada bersama anak dan istrinya, ia tidak bekal senjata. Selagi ia bicara, mendadak Siu Lian mendahuluinya lompat turun dari kereta sambil ulapkan tangannya.

„Tahan, jangan kau orang turun tangan, dulu !" berseru nona kita. „Coba bilang, apakah artinya ini ?"

Empat orang itu awaskan si nona, lantas mereka menoleh pada si Garuda tua. „Eh, kau punya anak perempuan begini manis?" mereka tanya secara menghina. Hiong Wan menyelak didepan puterinya.

„Kau mundur dulu !" ia membentak. „Kau boleh hadapi aku

!”

Tapi seorang dengan muka kuning sudah lantas angkat

goloknya, mengarah jago tua kita. Menampak demikian Siu Lian lompat maju, akan pegang lengan orang sambil berbareng rampas galoknya, maka dengan golok rampasan itu, yang ia putar didepannya, ia bikin empat orang itu terpaksa mundur.

„Siu Lian, lekas serahkan golok itu pada ku!" Hiong Wan teriaki gadisnya. Suara-nya orang tua ini gembira.

Tetapi tiga penunggang kuda lainnya tidak mau berikan ketika si nona serahkan golok itu pada ayahnya, mereka maju menyerang. atas mana terpaksa nona Jie bikin perlawanan. Dan ia bersilat begitu rupa, baru saja lima-enam jurus, ia telah bisa kemplang punggung musuh yang tubuhnya besar dan gemuk, hingga ia itu menjerit: dan rubuh ! Dengan begitu sekarang jadi melajani hanya dua orang musuh.

Jie Loo-piauwtauw lompat pada musuh yang rubuh itu, rampas goloknya, dengan mana ia balas serang dua musuhnya.

„Siu Lian, mundur !" ayah ini teriaki gadisnya.

Siu Lian sebaliknya tidak mau mundur, malah dengan sengit ia terjang si muka merah, sedang ayahnya melayani penyerang yang kedua, hingga sekarang mereka jadi bertempur satu lawan satu.

Tandingan Tiat-cie-tiauw berkumis hitam, ia tidak sanggup melawan lama, ia lantas saja angkat kaki dan lari menyingkir, dari itu Jie Hiong Wan sekarang bisa bantu anaknya kepung simuka merah.

Sisa seorang musuh ini menjadi sibuk, karena ia berada sendirian dan kedua musuh kelihaiannya tangguh sekali. Ketika itu sudah berkumpul banyak Orang, sebab jalan besar itu hidup, mereka ini ber-teriak2 katanya : „Berhenti ! Berhenti ! Nanti terbit perkara jiwa ! . . . “

Tentu sekali teriakan itu tidak ada yang perdulikan, tiga golok terus ber-gerak2 dua antaranya mendesak yang satu.

Sesudah pertempuran berjalan belasan jurus, dari kumpulan orang banyak keluar seorang anak muda dengan membawa pedang, sambil melompat ia geraki pedangnya, hingga mereka itu jadi terpisah dua.

„Tahan ! Tahan ! Mari kita bicara dulu!” begitu ia serukan ber-ulang2

Orangnya simuka merah tak kepalang, ia segera lompat mundur dengan napas senin kemis, mukanya bersorot merah- biru.

Situkang kereta ketakutan, malah Lauw-sie pun berkuatir.

Dua penyerang, yang sudah kabur, kembali lagi buat membangunkan kawannya yang rebah.

Sekarang berkerumun dua hingga tiga puluh orang, diantaranya banyak yang kenal si jago tua.

„Jie Loo-siok, nona, kalian tentu banyak kaget.....” kata mereka.

„Tangkap saja orang jahat ini, serahkan pada pembesar negeri!" berkata beberapa yang lain. Mereka ini menyangka ada begal.

Jie Hiong Wan angkat tangannya memberi hormat pada orang banyak.

„Jangan tangkap mereka, saudara2!" berkata ia „Mereka bukannya penjahat, mereka adalah musuh2ku. Tujuanku adalah permusuhan harus dilenyapkan dan bukannya diperhebat! Cobalah tanya mereka, jikalau mereka tidak ingin berperkara, biarkanlah mereka pergi !"

Simuka merah dan dua kawannya tidak berani berkata apa2, dengan dukung kawannya yang luka, mereka samperi kuda mereka, yang terus tunggangi dan berlari menuju keutara. Mereka tinggalkan dua golok mereka, yang kena terampas. Oleh karena pertempuran sudah berhenti, orang banyak pun lantas bubar, cuma beberapa diantaranya yang tanya Jie Piauwsu, apa adanya permusuhan, sedang beberapa lagi telah puji nona Jie yang gagah.

Sianak muda, yang bersenjata pedang, yang pisahkan pertempuran, juga tanya jago tua kita tentang duduknya permusuhan.

„Ini adalah gara2 pekerjaanku," sahut Tiat-cie-tiauw. „Dulu aku jadi piauwsu, separoh dari usiaku dipakai mengembara saja, tidak heran bila aku punya musuh2, begitulah hari ini ada orang cari aku. Terima kasih buat kebaikan kau, tuan, hingga tidak sampai terbit bahaya jiwa. Sebenarnya, kendati mesti berperkara, aku tidak takut, aku hanya ingin lebih baik kurang sedikit perkara dari pada terbit banyak urusan !"

Setelah kata begitu, orang tua ini suruh gadisnya haturkan terima kasih pada orang banyak itu.

Siu Lian menurut, ia memberi hormat sambil haturkan terima kasih, kemudian ia lompat naik atas keretanya.

Hiong Wan juga unjuk hormat pada orang banyak, setelah mana ia susul anaknya naik kereta yang lantas dikasi jalan oleh kusirnya, yang tadi ketakutan sangat hingga ia ngelepot dalam keretanya.....

Sampai disitu, orang banyak pun pada lanjutkan perjalanan mereka.

Kapan Jie Hiong Wan sampai dirumah, ia suruh anaknya tolongi ibunya turun kereta, yang terus buka pintu dan masuk kedalam, ia sendiri lakukan pembayaran pada si tukang kereta, kemudian dengan bawa dua golok rampasan ia menyusul masuk.

„Oh, lauwsiok baru pulang!" kata Cui Sam, menyambut.

„Ya, kami baru pulang," sahut orang tua itu. „Terima kasih buat pertolongan kau sudah menjaga rumah. Sekarang kau boleh pulung, sebentar minta Sun Ceng Lee datang kemari!"

„Baik, loosiok," sahut Tee-lie-kui, si Hantu Tanah. Ia mengawasi dua golok itu, lantas ia pergi. Hiong Wan tutup pintu, yang ia kunci dan ganjal dengan batu besar. Siu Lian sudah lantas tuang teh untuk ayahnya.

„Sebenarnya bagaimana duduknya hal ini” baru sekarang Lauw-sie tanya. „Kenapa empat orang itu bersikap demikian bengis?"

Sang suami menghela napas.

„Kasihlah aku mengaso sebentar, nanti aku tuturkan duduknya perkara," ia menyahut.

Ia letakkan golok dipojok meja, ia samperkan kursi dan duduk disitu. Sekarang kelihatan napasnya sedikit memburu.

„Minum teh dulu, ayah," Siu Lian berkata.

Ayah itu sambuti cangkir teh yang di sodorkan, isinya ia irup kering.

„Baiknya kau ikut, anak, jikalau tidak pastilah aku akan jadi korban tangan jahat dari musuhku," kemudian kata Jie Hiong Wan.

Air mata Siu Lian mengetel kapan ia dengar ucapan ayah itu, ia terharu kapan ia ingat kejadian kejadian tadi, yang hebat.

Melihat anaknya menangis, mata ayah itu pun mengembeng air.

„Kau ingat kejadian enam tahun yang sudah?" kemudian si orang tua berkata, sambil menghela napas. „Waktu itu kau baru berusia sebelas tahun, kau tentu masih ingat itu. Ketika itu aku pergi ke Holam, pulangnya aku lantas tutup piauw- hang kita, aku berhenti berusaha. Nah, permusuhan itu telah dimulai sejak itu, permusuhan besar sekali!....." Karena terharu, jago tua ini menangis. „Kau dulu punya Ho Jie-siok," ia meneruskan, suaranya tidak lancar. Ia lalu menunjuk pada isterinya yang duduk didekat meja sambil menepas air mata juga, karena isteri ini turut terharu: „Ibumu pernah lihat encekmu itu, ibumu kenal dia. Ia adalah Potoo Ho Hui Liong, diwaktu mudanya, ia adalah sobatku yang paling kekal. Tatkala itu kami masih sama-sama tinggal di Pakkhia, aku bekerja di Tay Hin Piauw-hang, ia di Po An Piauw-hang, Selagi senggang kami senantiasa berada berduaan, pasang omong atau minum arak. Kami Seperti saudara kandung, Ia berkepandaian tinggi hatinya lurus, cuma cacatnya adalah ia terlalu gemar paras elok, buat itu ia sampai berani berbuat luar batas terhadap anak isteri orang baik2. Pernah aku beri nasehat padanya agar ia robah kesukaannya itu, tapi ia tidak dengar perkataanku. Karena ini, kemudian ia telah nampak bahaya."

Hiong Wan berhenti sebentar, kemudian menyambung ceritanya :

„Satu kali paman kau itu kepincuk oleh seorang perempuan, lantaran itu ia Kebentrok dengan lelaki lain, yang cemburuan, kesudahannya mereka jadi berkelahi, dengan berakhir lelaki itu kena dibinasakan. Tidak ada jalan lain, Ho Hui Liong mesti minggat dari kota raja. Aku telah bantu ia sambil membekalkan tiga puluh tail perak, Ia telah buron ke Holan, kabarnya disana dalam beberapa tahun ia telah tuntut penghidupan sebagai penjahat. Aku tidak tahu bagaimana duduknya hal, belakangan ia telah hidup beruntung.

namanya pun sudah lantas ditukar jadi Ho Bun Liang dikota Wee hui ia punya rumah, sawah dan kebun. Ia juga telah punya isteri dan anak. Selama itu diantara kami tidak pernah ada hubungan surat menyurat.

Pada enam tahun berselang, aku telah terima undangan dari Ouw Kiejin dari Sinho, untuk hantar ia ketempat jabatan nja di Bupouw di Holam, dimana ia diangkat jadi tiekoan. Aku perintah dua orangku pergi. Dua orang itu bawa karcis namaku. Apa celaka, sesampainya di Wee-hui, Ouw Keijin diganggu penjahat. Penjahat itu telah bersekongkol dengan Hui Liong. Uang dan barang tidak dirampas, yang dibawa lari melainkan isterinya Ouw Kiejin, seorang nyonya muda yang cantik romannya. Nyonya itu dikeram disebuah bio diatas bukit, baru dilepaskan pula sesudah berselang tiga hari. Ketika orangku pulang, ia bawa cerita itu. Tentu sekali, aku menjadi gusar, maka aku segera berangkat ke Wee-hui cari Hui Liong. Kami adalah sobat dari empat puluh tahun, maksudku adalah buat tegor sobat itu, siapa tahu ia bawa sikap keras, ia tidak mau kenal aku, lantaran itu kami jadi bertempur. Diluar keinginanku, aku telah membunuh dia.

Jie Hiong Wan berhenti bicara, nampak nya ia sangat berduka.

Siu Lian diam saja, penuturan itu sangat menarik hatinya.

Lauw-sie ingat Hui Liong, waktu itu si orang she Ho baru berusia dua-puluh lebih, romannya putih dan cakap, pakaiannya bersih dan perlente. Orang she Ho ini panggil ia enso, dia itu benar sering bergaul dengan suaminya la telah buron. Sekarang, sesudah berusia kira2 enam-puluh tahun, baru ia ingat pula orang she Ho itu. Dan ia tidak sangka, pada enam tahun yang lalu, sobat itu telah binasa ditangan suaminya......

„Kendati aku telah bunuh Hui Liong,' Jie Hiong Wan melanjutkan, ,,anak isterinya tidak berani bikin pengaduan pada pembesar negeri, sebabnya ialah perkaranya adalah suatu kejahatan. Juga Ouw Kiejin tidak berani bikin banyak ribut, karena isterinya telah menjadi korban kekejian. Dengan begitu, perkara dibikin beres sendiri secara perseorangan. Kecuali sutit Yok Thian Kiat dan beberapa pegawaiku, perkara ini tidak ada orang lain yang ketahui. Oleh karena ini, aku pulang dengan masgul, hilang kegembiraan. Bisa dibilang kegagalanku tidak ada yang ketahui, toh aku malu pada diri sendiri. Akupun menyesal, urusan mengenai Ho Hui Liong, sobat baik dari puluhan tahun, ia mesti binasa di tanganku sendiri. Ia memang jahat, dengan tidak indahkan aku, ia berlaku keterlaluan, tetapi dengan binasakan ia, aku merasa tidak enak sendiri. Begitulah maka aku tutup piauw-hang dan berhenti bekerja. Lima enam tahun telah lewat dengan tenteram, siapa tahu, ancaman bencana datang pada dua bulan berselang, ketika Yok Thian Kiat kunjungi aku. Ia telah sampaikan warta padaku, bahwa anak2nya Ho Hui Liong mau mencari balas, bahwa tiap waktu mereka bisa datang kemari.

Menurut Yok Thian Kiat, ketiga anak Ho Hui Liong sekarang telah menjadi besar. Anak sulungnya adalah Tiat-tah Ho Sam Houw, anak kedua Cie-lian-kui Ho Cit Houw, dan anak ketiga, perempuan, Lie-mo-ong Ho Kiam Go. Ia ini sudah menikah dengan Kim-chio Thio Giok Kin. Semua tiga saudara itu telah meyakinkan pelajaran silat dan semua berniat mencari balas. Menurut kabar, dalam tempo tiga bulan mereka akan datang ke Kie-lok, maka itu, seperginya Yok Thian Kiat, aku lantas jaga diri. Kau lihat sendiri, sampai dua bulan mereka tidak datang, lantaran itu, Penjagaanku jadi kendor sendiri, adalah diluar sangkaan, mereka telah pegat kita, selagi kita pulang habis teecoa !"

Baru sekarang ibu dan anak ketahui duduknya hal dengan jelas.

„Tapi, ayah," Siu Lian lantas hiburkan ayahnya, kejadian sudah lewat, baiklah kau jangan berduka. Akupun lihat, kepandaian mereka itu tidak seberapa, mereka sudah menyingkir, mereka tentu tidak akan berani datang pula."

Sang ayah geleng kepala, ia menghela napas.

„Kau seperti anak kecil," ia bilang, Diantara empat orang tadi, aku percaya dua adalah anaknya Ho Hui Liong. Tentu sekali, melihat kepandaian mereka, aku tidak usah kuatirkan mereka itu. Apa yang aku pikirkan adalah Kim-chio Thio sok Kin. "

„Thio Giok Kin itu sebenarnya orang macam apa?" sang anak menegaskan.

„Aku belum pernah lihat ia, hanya beberapa tahun yang  lalu aku pernah dengar orang omong, bahwa ia gagah, tumbaknya belum pernah ketemu landingan," Jie Hiong Wan sahuti anaknya. „Sekarang ia tentu berusia tigapuluh lebih. Aku tidak sangka, bahwa ia justeru menikah dengan anak perempuannya Hui Liong. Yok Thian Kiat memberi tahu aku, bahwa Thio Ciok Kin sangat benci aku, ia telah maki aku tidak jujur. Aku percaya siang atau malam ia akan datang cari aku, guna balaskan sakit hati mertuanya itu."

Mendengar ayahnya, Siu Lian tertawa secara tawar, air mukanya menunjukkan ke gusaran.

„Janganlah ayah ibu tidak keruan," ia kata. „Bila nanti betul Thio Giok Kin datang, kesihlah aku yang layani ia, jangan kata baru ia satu, kendati belasan, aku tidak takut ! Aku tidak ijinkan ia ganggu mesti selembar kumis ayah ! . . .

Tiat-cie-tiauw tertawa apabila ia dengar perkataan gadisnya itu. Buat mengaku terus terang, ia tadinya kurang perhatikan anak perempuan itu. karena ia pikir, sebagai seorang perempuan, dalam ilmu silat Siu Lian tidak akan peroleh kepandaian seperti orang lelaki, ia akan kalah tenaga dan kalah ulet tetapi tadi diluar kota ia telah saksikan kegesitan dan kegagahan anak itu. Sejak itu, ia telah robah sikapnya. Sekarang ia telah dengar suara anaknya, pikirannya lantas terbuka.

„Baiklah, aku tidak nanti berduka pula!" ia jawab anak- daranya. „Sudah pasti mereka hendak mencari balas, kemanapun aku singkirkan diri, percuma saja, mereka tentu bisa menyusul. Sekarang kita boleh tetap tinggal dirumah, asal kita berlaku hati2, siap sedia untuk sesuatu serangan. Andai- kata Kim-chio Thio Giok Kin betul datang, aku rasa kita berdua masih bisa pukul mundur dia." ,

Hatinya Siu Lian menjadi sedikit lega, apabila ia telah dengar pertanyaan ayahnya itu. Lantas dengan ayahnya ia bicarakan segala rupa hal.

Lauw-sie pergi kedapur, buat masak nasi.

Benar sehabisnya keluarga ini bersantap sore, Cui Sam datang ber-sama2 Sun Ceng Lee, seorang berusia tiga-puluh lebih, tubuhnya besar, seperti juga tenaganya, sedang kepandaian silatnya ia dapat antaranya dari pengunjukannya Jie Hiong Wan, hingga orang kasi ia julukan ,,Ngo-jiauw eng", si Garuda Berkuku Lima.

Pada mulanya, Sun Ceng Lee bekerja dalam piauwhang jago tua kita, ia pandai bekerja dan rajin, ia jadi disayang, maka Hiong Wan sering ajarkan ia silat, maka ia memanggil guru pada jago tua ini. Sekian lama, setelah piauwhang ditutup, Sun Ceng Lee bekerja selaku guru silat di-rumahnya hartawan she Lauw didalam kota.

Hari itu Cui Sam cari ia, apabila ia dengar gurunya perlu ia, bersama Tee-lie-kui ia terus pergi pada gurunya itu. Oleh karena rahasia tak dapat ditutup lagi, Jie Hiong Wan lantas tuturkan hal permusuhannya dengan keluarga Ho, bagaimana keluarga itu datang mencari balas. Diakhirnya, ia tambahkan ;

,,Aku sudah tua, semangatku sudah kendor, tenagaku sudah kurang, sudah begitu, anakku satu cuma seorang perempuan, meski kepandaiannya sudah boleh diandalkan ia toh tetap seorang perempuan. Disebelah itu, anakku, apabila terjadi suatu apa atas dirinya, bagaimana nanti aku bisa ke temui besanku? Maka itu, Ceng Lee, aku telah panggil kau, aku ingin kau bantu aku."

,.Jangan kuatir, suhu !" berkata Ceng Lee sambil tepok- tepok dada. ,,Aku sekarang mengajar silat pada dua orang murid, kecuali jam belajar, aku punya banyak tempo, maka baiklah aku pindah kesini, akan tinggal sama suhu. Siang atau malam, jikalau ada orang2 tidak tahu diri berani datang ganggu suhu, lihat, pasti aku nanti labrak mereka !"

Jie Hiong Wan serang mendengar suaranya murid itu, ia tahu murid ini beradat keras. Ia tahu, Sun Ceng Lee memang bernyali besar dan selama ini kepandaian-nyapun telah bertambah.

„Baiklah," ia lalu menjawab. „Bersama-sama Cui Sam kau boleh pindah kesini, kau boleh pakai kamar diluar itu."

Ceng Lee dan Cui Sam benar2 pindah, mereka bertempat dikamar barat. Maka sejak itu, kecuali sedang mengajar, Ceng Lee terus berada dirumah gurunya, goloknya ia telah asah tajam, setiap malam ia keluar meronda tiga sampai empat kali, Tapi, selang dua-tiga hari, tidak ada terjadi suatu apa.

Pertempuran diluar kota dengan tidak perdulikan sebabnya pertempuran itu sudah terbitkan kegemparan diantara orang banyak. Baru dua hari atau orang banyak telah ketahui kepandaiannya nona Jie, hingga ada yang mengatakan : „Oh, kiranya kegagahan nona Jie melebihi ayahnya!"

Disebelah kekaguman itu, ada beberapa anak muda yang sebaliknya jadi lesu. Mereka ini, bangsa hidung-belang, tadinya mengharap akan bisa dapati sinona, tapi sekarang harapan itu ludes sendiri. Nona begitu gagah, siapa yang berani permainkan? Bukankah empat orang, yang garang dan bersenjata, semua kena dipukul mundur ?

Demikian adanya kegemparan diluaran, adalah dirumahnya Lauw Tiauw, si Garuda Tua, keadaan tenteram seperti biasa.

Empat hari kemudian, baru saja lewat waktu santapan tengah hari, diluar rumah nya Jie Hiong Wan terdengar suara kelontongan. Siu Lian dengar itu, ia jadi dapat ingatan buat beli benang untuk bikin sepatu. Ia lari keluar dan terus membuka pintu.

„Ho long !" ia memanggil situkang kelontongan ber-ulang2.

Seorang tua dari usia limapuluh lebih adalah si ho-long atau tukang kelontong, yang bawa barang dagangan nya dalam peti kayu yang dipikul dipunggungnya, sedang tangannya memegang kelontongannya.

„Kau hendak beli apa, nona ?" ia menyahut seraja menghampiri. Ia letakkan petinya ditangga didepan pintu.

Dengan lonjorkan tangannya dari jeruji pintu, Siu Lian tunjuk macamnya benang yang ia inginkan, justeru Itu, mendadak ia dengar suava memanggil „Nona ", hingga ia menoleh dengan segera.

orang yang memanggil itu adalah searang anak muda umur tiga puluh kurang-lebih, kulit mukanya bersemu kuning langsat, alisnya tebal, dan disebelah kanan mukanya, nyata sekali tertampak tanda tahi lalat merah. Ia pakai baju biru dengan sepatu biru juga. Ia sudah lantas menghampirkan dan menjura dengan dalam.

„Nona, apa Jie Loo siok dirumah ? demikian ia menanya, sembari tertawa dengan sikap manis.

Siu Lian seperti kenal orang itu, cuma ia tidak ingat dimana ia pernah ketemu. Dengan mendadak, tampang mukanya jadi merah. Ia tidak menyahut, hanya, menoleh kedalam, ia lantas me-manggil2 :

„Engko Cui Sam ! Engko Cui Sam, ada orang cari ayah !" lekas 2 bayar harganya benang, lantas ia lari masuk.

Cui Sam sementara itu muncul dengan lekas. „Kau cari siapa, tuan ?" ia tanya apabila ia telah pandang sianak muda.

Sembari disatu fihak mengawasi si nona, yang lari kedalam, hingga kelihatan saja belakangnya dimana terpeta tubuh yang langsing, anak muda itu angkat kedua tangannya terhadap Cui Sam.

„Aku hendak cari Jie Loo-siok, lolong kau sudi kabarkan," ia kata.

Cui Sam mengawasi terus, ia merasa curiga.

,,Kau sebenarnya siapa, tuan ?" ia menegasi. „Aku ingin ketahui kau punya she, supaja aku bisa memberi kabar. Aku juga perlu ketahui, kau kerja apa dan apa perlunya maka kau hendak ketemu tuan rumah disini

„Aku orang she Nio," sahut si anak muda, yang kembali unjuk hormatnya. „Aku tinggal disana, sebelah barat, dengan Tay Tek Hoo, Jie Loo-siok kenal aku . .

Selagi Cui Sam belum kata apa2, Jie Hiong Wan telah mendatangi, tangannya menyekal goloknya yang tajam.

Menampak tuan rumah, si-anak muda lekas unjuk hormatnya sambil menjura.

„Jie Loo-siok !" demikian katanya.

Jago tua kita segera juga mengenali tamu itu, ialah si anak muda yang bersenjata pedang, yang kemarin diluar kota sudah menyelak memisahkan pertempuran mereka. Maka lekas2 ia membalas hormat, dengan manis ia undang tamu itu masuk kekamar sebelah barat.

Sun Ceng Lee kebetulan ada dikamar-nya, maka tuan rumah lebih dulu perkenalkan tamunya pada murid itu.

„Ini muridku, Sun Ceng Lee," ia kata. „Apakah she tuan yang mulia ?"

Tamu itu kasih hormat pada Sun Ceng Lee.

„Aku Nio Bun Kim," ia menjawab tuan rumah. „Toko barang makanan disebelah timur sana, Tay Tek Hoo, ada kepunyaanku. " „Oh, kiranya Nio Tauwkee!" kata Jie Hiong Wan. „Hari itu diluar kota syukur ada kau yang memisahkan, jikalau tidak, pasti akan terbit perkara darah hebat. "

Lantas ia letakkan goloknya dipinggir tembok dan minta Cui Sam menyuguhi teh.

„Siotit tinggal di Lam-kiong," Nio Bun Kim kemudian perkenalkan diri lebih jauh. „Disini siotit punya perusahaan, maka itu siotit jadi sering datang kemari.

Kemarin ini siotit pergi keluar guna mengunjungi sobat, dalam perjalanan pulang siotit saksikan pertempuran itu. Siotit kagumi kepandaian loo siok dan puterimu dalam memainkan golok, tetapi kalau sampai aku datang menyelak, itulah disebabkan kuatir nanti terbit perkara darah yang ber-ekor panjang. Sebenanya aku hendak bikin kunjungan hari itu juga, sayang karena ada sedikit urusan, aku telah mesti menundanya sampai hari ini. Aku harap loo-siok dan puterimu banyak baik."

„Terima kasih buat kebaikan kau tuan'

Jie Hiong Wan jawab. „Aku undurkan diri dari kalangan Sungai Telaga sudah hampir sepuluh tahun, aku tahu, aku adalah orang yang bersikap damai, tetapi kejadian hari itu hingga kini aku masih belum mengerti duduk hal, aku tidak tahu kenapa orang cari dan musuhkan aku. Bisa jadi mereka dulu diluar tahuku bersangkutan dengan aku dan baru sekarang mereka datang mencari. "

„Loo siok seorang yang terkenal, dulu loo-siok sering lakukan banyak kebaikan, tidak heran, karena perbuatan loo- siok itu, ada orang yang mendendam sakit hati," berkata si anak muda, yang sikapnya manis. „Rupanya karena sekarang loo-siok telah berusia tinggi, mereka jadi tidak pandang mata, begitulah mereka datang balas, tetapi, diluar sangkaan mereka, tinggi usia loo-siok, loo-siok masih gagah seperti sediakala, hingga maksud mereka gagal, sedang disebelah loo-siok, ada puterimu yang gagah! Aku percaja dibelakang hari mereka tidak akan berani datang pula kemari." „Itulah belum tentu!....." kata jago tua kita sambil geleng kepala.

„Tapi itu jangan loosiok buat pikiran!" kata si anak muda.

„Siotit juga

mengerti ilmu, andaikata kemudian orang2 itu datang pula, tolong loosiok kirim orang buat panggil aku .... Atau Aku

pun setiap hari boleh datang jalan2 kemari! Kalau mereka berani datang pula, loosiok, tidak perduli berapa besar jumlah mereka, kasi aku dan puterimu yang layani mereka, tidak usah loosiok sendiri turun tangan, kami tentu bisa hajar mereka!"

Mendengar ucapan itu, yang berbau ke-jumawaan, Jie Hiong Wan jadi kurang puas, hingga ia tidak mau meladeni tamu-nya lebih lama pula, hingga ketika orang bicara lebih jauh, ia cuma manggut2 saja.

Su Ceng Lee, yang sedari tadi diam saja, juga tidak puas terhadap sikap orang yang agak tinggi itu, hingga kalau boleh, ia hendak usir saja tamunya itu.

Nio Bun Kim sementara itu sudah lantas berbangkit.

„Tolong loosiok antar, aku ingin ketemu sama encim," ia kata.

Menampak demikian, Jie Hiong Wan jadi hilang sabar.

„Ia berpenyakitan, ia tidak suka ketemu orang," ia sahuti dengan kaku, „Maaf, aku tidak bisa antarkan kau, tuan !"

"Nio Bun Kim dapat lihat yang Orang tidak puas, sedang Sun Ceng Lee setiap saat mengawasi ia dengan mata seperti melotot, lantaran itu ia tidak berani diam lama2 disitu, ia lantas berbangkit untuk pamitan.

Tuan Tumah hantar tamunya itu, siapa masih melongok beberapa kali kedalam, baru ia ngelojor pergi. Sun Cun Lee memburu keluar, tangannya dikepal keras.

„Mahluk apa itu” katanya dengan sengit.

Dengan tidak menoleh lagi kebelakang, Nio Bun Kim jalan terus sampai diluar gang. Sun Ceng Lee kunci pintu, ia  kembali kedalam.

„Seharusnya suhu jangan ladeni orang itu!" ia kata. „Aku lihat ia datang bukan dengan maksud baik ,. " „Sudahlah,"" Jie Hiong Wan kata sambil goyang2kan tangan. „Aku tahu orang itu, ia tauwkeh muda dari Tay Tek Hoo, dari keluarga Nio Pek ban dari Lam-kiong yang ter sohor kaya, Anak2 muda keluarga itu mengerti ilmu silat, mereka biasanya tidak lakukan benar pekerjaan mereka dan kedatangannya, aku tahu, ditujukan pada sumoay kau. Tapi aku tidak ingin bersetori dengan anak muda itu, apa pula dulu, di waktu piauw-hang masih diusahakan, aku punya perhubungan dengan tokonya. .. "

Setelah kata begitu, jago tua ini lantas pergi kedalam. Masih saja Sun Ceng Lee tidak puas dan ia katakan,

gurunya yang sudah tua sudah tidak punya guna.....

„Anak2nya Ho Hui Liong berani menyerang, mereka seharusnya dibekuk dan diserahkan pada pembesar negeri, supaya mereka bisa dihukum," ia menggerutu seorang diri,

„siapa tahu mereka diantar pergi, ke sudahannya sahu ketakutan sendiri, sampai aku dipanggil datang buat tinggal disini ..... Sekarang muncul bocah she Nio ini, ia dikasi masuk kedalam rumah, berani kandung maksud jelek terhadap sumoay, dan kembali ia diantapi, dikasi pergi angkat kaki ....

Suhu, apa begini macamnya adatmu dulu2 ? Aku tidak nyana, Lauw Tiauw yang tersohor gagah, sekarang berbalik jadi begini lemah !. "

Bahna mendongkol Sun Ceng Lee sampai berniat terbitkan onar, akan uji semangat gurunya itu tetapi niat ini ia tidak sampai Wujutkan, hanya ia terus pergi ke Lauw-kee, rumah keluarga, akan mengajar murid2 nya, sampai sehabis bersantap sore ia baru pulang.

Begitu melihat orang datang, Cui Sam lantas berkata:

„Sun Toako, mari aku kasi tahu satu hal padamu. Tadi tauwkee muda dari Tay Tek Hoo telah datang pula kemari . .

."

„Ia datang pula? Apakah ia masuk?" tanya Sun Ceng Lee dengan cepat,

„Ia tidak masuk, ia hanya mundar-mandir didalam gang," Cui Sam terangkan, „cuma matanya senantiasa diincar kemari, kepintu kita. Kemudian dijalan besar aku lihat ia berkawan sama dua hidung belang, jalan sembari ter-tawa2, mereka pergi masuk di Keng-Kie Ciu-lauw . . ."

„Apa kau tidak dengar mereka bilang apa?"

„Aku berada dibelakang mereka, aku dengar nyata" Cui Sam tertawa, mereka pergi masuk di Keng bila ia tidak mampu dapatkan si nona she Jie, ia tidak mau datang ke Kielok sini!"

„Kurang ajar !" Sun Ceng Lee berseru. „binatang, bagus benar angan2mu ! Apa kau kira kau bisa wujutkan pengharapanmu itu? jangan kata memangnya si nona sudah ada tunangannya, kendati belum, dan diumpamakan guruku penuju pada kau, toh masih ada aku yang akan menentang!

Kau mesti ketahui, binatang, aku nanti kasi kau mengerti bahwa orang Kie-lok tidak boleh dibuat permainan !"

„Sudahlah, kau jangan persalahkan orang," Cui Sam membujuk. „Dengar sebenarnya, nona kita terlalu menyolok mata, terlalu menarik hati orang ! Gadis lain tidak ada yang keluar pintu, atau jarang sekali, tetapi sumoay satu hari tentu keluar sampai tiga atau empat kali? Lain dari itu, kecuali elok, cara dandan sumoaypun istimewa, hingga tentu saja ia menarik hatinya anak2 muda yang iman nya kurang kuat ! Coba sekarang pergi dengar2 didalam kota, siapakah yang tidak Ketahui yang sumoay kita gagah dan cantik? Suhu terlalu sayang puterinya, sedikitpun  ia  tidak  suka  tilik  gadisnya  itu. "

„Kau keliru," Sun Ceng Lee goyang kepala. „Sumoay benar cantik, pakaiannya benar rapi, tapi kelakuannya tidaklah seperti kau katakan itu. Sumoay berkelakuan baik Ia keluar beli benang atau jarum karena terpaksa! Kau tahu sendiri, disini tidak ada bujang yang boleh di-suruh2. Kita jangan sangsikan sumoay! yang celaka adalah kawanan pemuda hidung putih itu! Tunggu saja! Mereka mesti jaga, sapaya mereka jangan sampai kebentrok dengan aku!"

Kembali ia telah umbar kemendongkolan nya, Sun Ceng Lee masih belum bisa sabar kan diri. Tidak demikian dengan Cui Sam si Hantu Bumi ini lantas keluarkan botol arak dari sakunya dan kacang tanah, bergantian ia irup araknya dan gayem kacang tanah itu "

Sun Ceng Lee tetap tidak sabar, ia merasa percuma berdiam ber-hari2 dengan guru nya, tenaganya tidak terpakai, ilmunya tidak bisa dipertunjukan, kaki tangannya jadi gatel. Malam itu ia pale goloknya di bawah cahaja api, sedang Tee- lie-kui Cui Sam sudah rebah lantaran setengah mabok. . .

Tidak lama Jie Hiong Wan muncul, ia ajak muridnya pasang omong.

Selama beberapa tahun ini, Sun Ceng Lee telah dapat sejumlah sobat dikalangan Sungai Telaga, maka selagi bicara, ia sebut2 mereka itu. Begitulah ia omong hal nya Khu Kong Ciauw dari kota Pakkhia, yang orang julukkan Gin-Tjhio Ciang- kun si Jenderal Tumbak Perak, hanya Oey Kie Pok, orang dagang tapi digelarkan Siu Bie-to si Bieto Kurus, begitupun halnya Teng-ciu-hie Biauw Cin San, si Ikan Paus dari Holam, dan Kim-too Phang Bauw si Golok Emas dari Timciu. Ia kata, bahwa ia belum kenal semua mereka itu, maka ia ingin dapat ketika buat belajar kenal dengan mereka.

Diwaktu yang lampau adalah kebiasaan dari Jie Hiong Wan apabila ia dengar hal orang2 ternama dari kalangannya, ia ingin lantas kunjungi mereka itu, buat belajar kenal atau uji kepandaian, tetapi sekarang, mendengar ucapannya Sun Ceng Lee ia cuma bersenyum seraya urut2 kumisnya sikapnya menunjukkan ia tidak tertarik atau ia tidak lihat mata pada mereka itu ... .

Kemudian Sun Ceng Lee sebut2 lelakon nya gurunya tempo dulu, ia harap dengan begitu ia bisa bikin gurunya jadi gembira, diluar dugaannya, siguru melainkan bersenyum saja.

„Apa yang aku lakukan dulu2 adalah main2, itu adalah kesembronoan saja," ia kata. „syukur waktu itu  peruntunganku masih bagus, bila tidak, kalau ketemu lawan tangguh, niscaja sudah habis lelakon penghidupanku.

Mereka pasang omong sampai jam tiga.

„Mari kita kunci pintu, kemudian kau boleh tidur," kata sang guru, yang lantas berbangkit. Sun Ceng Lee masih mendongkol, akan tetapi ia menurut akan masuk tidur.

Jie Hiong Wan kunci semua pintu, tapi ia masih periksa segala pelosok, agaknya ia kuatir ada orang sembunyi didalam rumah, sikap yang hati2 ini bikin muridnya jadi lenyap mendongkolnya dan berbalik menjadi merasa kasihan, hingga Sun Ceng Lee mengeluh dalam hatinya : „Benar2, orang janganlah menjadi tua . . . Ia gagah, Tiat-cie-tiauw dimalui di- mana2, sekarang sesudah rambut dan kumisnya putih ia berobah menjadi begini lemah ... mirip dengan nenek2 . . ."

Sesudah periksa didepan, Jie Hiong Wan periksa didalam.

Sun Ceng Lee telah pergi kekamarnya buat terus rebahkan diri. Tadinya ia mendongkol, lantas perasaan itu lenyap sendirinya. Sekarang ia merasa, bahwa gurunya ketakutan sama bayangan sendiri. Musuh toh sudah tidak ada, musuh itu barangkali sudah tidak niat bermusuhan lagi, apalagi yang harus dibuat kuatir ? Oleh karena ini, ia jadi bisa tidur dengan tenang. Siapa tahu, entah berapa lama ia sudah menggeros, mendadak ia dibikin mendusin dengan terkejut oleh suara riuh.

Diatas genteng terdengar suara kaki bergerak kalang kabutan, diantara itu ter-campur juga suara beradunya senjata, golok atau pedang, maka dalam kagetnya, ia insyaf ada bahaja. Segera ia lompat bangun akan sambar goloknya, lantas ia lari buka pintu dan lompat keluar.

Adalah disaat itu dari atas genteng jatuh satu orang.

„Siapa?" menegor Ngo jiauw-eng.

Tapi orang itu, yang telah merajap bangun, tidak menjawab, sebaliknya, dengan pedangnya, ia menyerang.

Berbareng dengan itu, diatas genteng terdengar seruan :

„Sun Toako, minggir ! Kasilah aku bekuk dia !"

Seruan ini disusul dengan lompat turunnya Jie Siu Lian, yang bersenjata siang-too. Si nona terus terjang orang itu,

Yang sudah bertempur dengan Sun Ceng Lee, karena Ngo- jiauw-eng tidak diam saja yang ia dibacok, ia telah menangkis dan melawan. Setelah bertempur belasan jurus, musuh itu lari kepojok tembok.

„Sudah, sudah, aku merah kalah!" ia berteriak ber ulang2.

„Tidak cukup dengan kau menyerah saja!" Sun Tjeng Lee baliki. „Tidak bisa, aku inginkan jiwa anjing kau!"

Ceng Lee maju, akan menyerang pula. Tapi tiba-tiba dibelakang ia ada orang pegang lengan nya, seraya berkata:

„Ceng Lee, jangan serang dia!"

Itu adalah suaranya Jie Hiong Wan, si jago tua.

Ketika itu Tee-lie-kui Cui Sam muncul dengan bawa lentera, dengan itu ia menyuluhi orang yang bersenjata pedang itu, seorang anak muda, yang berdiri merengket dipojokan tembok, romannya harus dikasihani Ia ternyata Nio Bun

Kim. yang tadi siang datang bertemu.

„Bagus benar!" Ceng Lee mendamprat. „Putera dari Nio Pek ban dari Lamkiong yang tersohor, malam-malam datang kemari menjadi pencuri! Kenapa kau masih tidak mau lempar senjatamu?"

Nio Bun Kim kelihatannya takut benar pedangnya lantas saja ia lempar ke tanah. Ceng Lee menghampirkan, ia ayun tangannya dipakai menampar muka orang sampai beberapa kali, hingga muka orang itu jadi bengap dan dari hidung mengucur darah. Kendati dihajar demikian, anak muda itu diam saja.

Sebenarnya Jie Hiong Wan gusar, tetapi ia masih bisa berpikir;

„Keluarga Nio di Lam-kiong hartawan besar, dibanyak tempat ada tokonya, dikalangan piauwhang ia pun banyak kenalan, kalau sekarang anaknya dibikin celaka. ini berarti tambah satu musuh, dibelakang hari ekornya tentu akan sulit. Juga kedatangan nya pemuda ini pastilah bukan hendak mencuri, ia pemuda hartawan, siapa akan percaya ia mau mencuri dirumah ku? Pasti sekali ia datang buat coba ganggu anakku, maka jikalau noda itu ditumpahkan atas diri anakku itu, bagaimana itu bisa dibantah?" Oleh karena memikir begini, Hong Wan lantas serahkan goloknya pada Cui Sam dan gadisnya ia minta masuk, sambil tarik minggir pada Sun Ceng Lee, ia dekati anak muda itu.

“Tuan Nio. tengah malam buta rata kau datang kerumahku, kau bawa2 pedang, sebenarnya apakah maksud kau.'" ia tanya, dengan sabar.

Anak muda itu tunduk, ia tidak berani menyahut. Melihat orang diam saja, jago tua itu mendongkol.

„Kau masih muda, kenapa kau berani ber buat begini rupa?" ia menegur. „Apa kau tidak pikir, dengan kepandaianmu, apa kau bisa bikin dirumahnya Tiat-cie-tiauw?" Masih saja Bun Kim tunduk dan diam,

„Kau anak kurang ajar " tuan rumah menegor pula.

,.Jikalau aku tidak pandang orang tuamu, yang ada saudagar terkenal baik, tentu dengan tidak ampun aku . pasti bunuh kau! Sekarang hayolah kau pergi'"

Oleh karena ia tidak tahan sabar, Hiong Wan telah gaplok pipi orang.

Pukulannya jago tua itu lebih hebat daripada tamparannya Sun Ceng Lee, yang mana membikin ia sempojongan hampir rubuh pingsan.

„Bukai ia pintu!" Hiong Wan kata pada Cui Sam.

Sedang Ceng Lee, dengan Jiwir kuping orang, tarik pemuda itu sampai diluar, didepan pintu, setelah ia mendupak, Cui Sam segera kunci pintu dibelakangnya orang apes itu.

Nio Bun Kim jatuh ngusruk, ia mesti bangun dengan merayap. Ia merasa sangat sakit pada mukanya, yang telah bengkak-bengkak dan basah dengan darah dari hidung.

Pemuda ini dengan sebenarnya termasuk keluarga Nio dari Lamkiong, ia seorang siucay yang berbareng mengerti ilmu silat, maka dengan sendirinya, ia jadi bangga sekali. Dari Lamkiong ia telah datang ke Kielok bersama engkunya, Bouw Cu, dan teman sekolah, Sek Tiong Hauw, maksud-nya adalah menilik toko sambil sekalian pesiar, diluar dugaannya ia telah ketemu Sama Jie Siu Lian, yang bikin ia tergila-gila sendiri. Ia kagumi kecantikan dan ke gagahannya si nona, ia memikir buat coba ”piebu" dengan nona itu, agar si nona kagum dan sukai ia, dengan begitu dengan mudah ia bisa dapati nona itu. Dengan keinginan ini, ia harap bisa ikat tali persahabatan, supaya bisa sering sering datang kerumahnya simanis. Ia tidak sangka, bahwa ia telah disambut dengan dingin. Penyambutan ini bikin ia panas hati.

„Aku gagah dan cakap, aku berharta besar," demikian ia pikir, „orang lain malah sodor2kan gadisnya, supaya bisa bersanak dengan aku, tetapi kau, satu piauwsu, satu tua bangka, kenapa kau bertingkah? Apa itu disebabkan kau punya gadis cantik, yang mengerti silat juga, maka kau hendak pegang harga tinggi? Lihat, lihat bagaimana aku nanti dapati gadismu!"

Dengan memikir demikian, Nio Bun Kim jadi sudah beringatan jahat, sudah begitu, selagi bersantap dirumah makan, dua kawannya yang telah ketahui kegagalannya tadi siang sudah pukul sindir padanya, hingga ia jadi bertambah panas.

Bouw Cu Cun tahu yang Tiat-cie-tiauw tidak boleh dibuat permainan, ia merasa pasti Bun Kim tidak akan sanggup lawani jago tua itu, tetapi dengan sengaja, ia ojok2 cucu- keponakan itu.

Sek Tiong Houw adalah pemuda hartawan dari Lam-kiong, ia selamanya mau lebih menang daripada Bun Kim, akan terapi ia tahu betul siapa adanya Jie Hiong Wan, kendati iapun mengilar pada nona Jie, ia tidak berani main gila terhadap si Garuda Tua Dimata ia Siu Lian adalah laksana bunga mawar, indah dan wangi, melainkan harumnya hanya bisa dicium dari jauh, keindahannya cuma bisa dipandang, kalau diraba, durinya lantas menusuk jari karena ini ia mundur sendirinya. Iapun tidak percaya yang Bun Kim bisa dapati nona itu, tetapi ia jail seperti Bouw Cu Cun, ia sengaja sindirin kawan itu.

Sekalipun mereka menggoda, dua kawan itu tidak pernah menyangka bahwa Nio Bun Kim begitu berani mati, malam2 sudah satroni rumah keluarga Jie. Bun Kim pikir ia akan berhasil kalau sudah berhasil, ia mau pentang mulut lebar dimuka dua kawannya akan hinakan mereka itu, tetapi ia tidak pernah impikan, baru saja ia lompat naik keatas genteng, orang telah dengar suara gerakannya. Ia tidak tahu orang sedang ber-jaga2 diri. Apa mau, orang yang paling dulu lompat naik kegenteng adalah Jie Siu Lian, si nona yang ia impikan. Ia pun tidak berdaya terhadap sepasang golok dari nona gagah itu, diwaktu terdesak, ia kena ditendang hingga jatuh ketanah, dimana Sun Ceng Lee pegat ia, hingga akhirnya ia tidak bisa loloskan diri, hingga ia mesti rasai tangan, mendapat luka dan malu besar. Ia jadi mendongkol ber bareng menyesal.

,,Apa secara begini aku bisa pulang ?" kata ia dalam hatinya. ,,Sampai besok mukaku masih bengkak, bagaimana sekarang?"

Kendati demikian, akhirnya Bun Kim ngeloyor menuju ketokonya. Jalanan gelap dan sunyi, disitu tidak ada orang lain. Ia baru keluar dari gang atau didepan ia mendatangi beberapa orang, yang bawa lentera, ia tadinya pikir buat lekas menyingkir, apa mau orang telah dapat lihat ia yang segera dihampirkan. Seorang telah angkat lenteranya tinggi2.

“Lihat, lihat, inilah majikan muda kau!" kata seorang sambil tertawa. ,,Apa aku bilang, kita mesti mencari kemari, tentu kita akan ketemui ia, kau orang tidak mau pencaya” Lihat sekarang, bukankah kita dapat cari majikan kau ini? Lihatlah, majikanmu sedang beruntung dalam soal percintaan, sampai bunga toh telah memenuhi mukanya ! "

Orang itu adalah Sek Tiong Hauw, yang dengki dan jahil.

Nio Bun Kim jadi sangat gusar, hingga ia ayun kepalannya dan menyerang.

„Telor busuk, kau berani hinakan tuan mu?" ia mendamprat.

„Mulai hari ini aku tidak sudi kenal kau lagi!"

Tapi serangan itu tidak mengenai, karena orang telah lantas memisahkan. Di-antara mereka pun ada Bouw Cu Cun, si engku jahil. Tiga orang yang lain adalah pegawai toko Tay Tek Hoo.

„Kau tentu sudah mabuk, maka kau jatuh sampai terluka," kala Cu Cun. „Kau tahu, kami telah cari kau ubek2 an ! jangan kau tolak kebaikan orang."

Kendali demikian, Bun Kim masih memaki, hingga Tiong Houw sambil tertawa dingin berkata ;

„Kau boleh memaki kalang kabutan, aku tidak mau bilang apa2, tunggu sampai besok kita pulang, aku nanti pergi ketemu pehhu. "

Akhirnya mereka ini berjalan pulang ke toko Tay Tek Hoo, dengan bikin banyak ramai disepanjang jalan yang gelap gulita, cuma dua lentera yang menerangi jalanan. Kapan mereka sudah Sampai, Cu Cun perintah ambil air, buat si tauwkeh muda cuci muka. Kemudian Bun Kim rebah sambil sedot candu, mukanya ia rasai masih sakit sekali, hatinya bimbang karena ia jeri.

“Kejadian hebat sekali, aku terlalu sembrono," demikian ia berpikir. „Jikalau sinona Jie bunuh aku, atau si orang lelaki kemplang mampud aku, habis perkara, tetapi kapan si orang tua ringkus aku dan serahkan aku pada pembesar negeri, inilah hebat, sebab kendati juga bisa digunai pengaruh uang, buat loloskan aku, malunya bukan main ! Baiknya sinona ada belas kasihan dan si tua-bangka berhati murah, mereka suka merdekakan aku . . . .ya, ini adalah satu pengajaran bagiku .

..." Lantas setelah itu Bun Kim ingat dua kawannya.

„Cu Cun aku punya engku, ia tentu tidak akan uarkan rahasiaku ini," demikian ia pikir lebih jauh, „tetapi Tiong Hauw orang luar, ini berbahaya, kalau ia cerita diluaran, namaku akan ternoda."

Oleh karena memikir begini, ia lantas berbangkit, hampirkan sobat itu pada siapa ia menjura.

„Harap kau maafkan aku buat perkataan-perkataanku tadi," ia memohon.

Orang she Sek itu bawa aksi, ia tetap gusar dan tidak mau mengerti, adalah setelah Bun Kim mau tuturkan kejadian yang benar dirumahnya Jie Hiong Wan, baru ia tertawa.

„Baiklah, saudara, aku tidak tarik panjang tentang cacianmu padaku," kata ia. „Rahasia ini berada dalam genggamanku, mulai sekarang ingat, asal dibelakang hari kau tidak mau dengar perkataanku, aku akan uarkan ini! Itu waktu mau lihat, kau berani keluar buat menemui orang atau tidak”

Bun Kim merasa sangat malu dan mendongkol, kendati demikian, ia diam saja, sampai sobat itu naik kepembaringannya dan tidur. Ia sendiri tidak bisa pulas, terus seantero malam, sebab ia tetap mendongkol dan mukanya sakit.....

Besoknya, begitu terang tanah, Bun Kim perintah cari kereta, buat ber-sama2 Cu Cun dan Tiong Hauw lantas berangkat pulang ke Lam-kiong. Dirumahnya, pada ayah dan ibunya ia mendusta,. bahwa ia telah jatuh karena mabok arak, orang-tua itu tegur dan maki ia baiknya ada engku-nya, yang menyaksikan dan tetapkan bahwa benar ia telah jatuh terluka.....

Sekalipun demikian, Bun Kim keram dirinya dirumah, muka dan paha kiri nya sakit., bekas jatuh terbanting dari atas genteng, hanya selagi tidur, kadang2 ia impikan Siu Lian, bukan selagi si nona bersenyum manis, hanya sedang genggam siangtoo dan mata mendelik......Impian ini ada baiknya baginya, karena selanjutnya ia jadi bisa lupakan si nona dan tidak punya muka buat pergi pula ke Kielok.

Kepandaian silat Nio Bun Kim sudah terbukti tidak tinggi, akan tetapi gurunya adalah jago tua yang tersohor di propinsi Tiilee. Guru itu adalah Lauw-hiap Kie Kong Kiat si Jago Tua, asalnya siucay tetapi jadi ternama dalam kalangan ilmu silat. Ia gagah dan budiman, ia suka mengembara, pedangnya belum pernah ketemu tandingan. Adalah setelah berusia enam-puluh lebih, jago Tiilee ini undurkan diri, tinggal di Lam- kiong dengan tuntut penghidupan selaku guru silat. Ia punya banyak murid, dua antaranya adalah Bun Kim dan Tiong Houw, dua2nya anak hartawan yang doyan pelesiran, tidak heran jikalau mereka berdua tidak bisa peroleh hasil. Sedang juga cara mengajar silat Kie Suhupun istimewa. Biasanya, dalam satu hari, guru ini ajarkan serupa ilmu pukulan dengan tangan kosong atau dengan pedang, selanjutnya si murid harus yakinkan sendiri. Maka itu, bagaimana Bun Kim dan Tiong Hauw punya keteguhan hati akan yakinkan terus sendirian saja? Maka itu, sekalipun sudah belajar tiga tahun, kepandaian mereka belum berarti.

Tapi Hun Kim dan Tiong Hauw telah merasa puas, mereka bisa mainkan pedang, bisa lompat naik dan berlari-larian diatas genteng, mereka tidak ketahui yang sekali pun gurunya sendiri pandang mereka sebelah mata. Bun Kim baru tahu yang ia tidak punya guna sesudah ia dipecundangi sinona dari Kielok......

Kie Kong Kiat tinggal di Lamkiong kira-kira lima tahun, ia menutup mata di-tempat itu dan dikubur disitu juga. Sama sekali ia telah pimpin tiga-puluh murid lebih, akan telapi murid yang pandai melainkan satu, yalah Lie Bouw Pek, orang asal Lam-kiong juga. 

Sebagaimana gurunya, Lie Bouw Pek pun seorang siucay yang robah haluan. Ia tinggal di Ngo lie-cun diluar kota Lam- kiong, menumpang pada paman nya. Ia sudah tidak punya ayah dan ibu, yang telah meninggal dunia selagi ia masih kecil. Ayahnya adalah seorang dengan adat luar biasa.

Ayah itu, Lie Hong Kiat namanya, dimasa hidupnya, adalah seorang yang sederhana tetapi berambekan. Sebagai penasehat ia telah ikuti seorang jenderal, hingga ia bisa pergi kebanyak kota, kenal banyak sobat, diantaranya seorang jago dari Kanglam yang dipanggil Kang Lam Ho, hingga berdua mereka telah angkat saudara, malah Kang Lam Ho telah ajarkan Hong Kiat ilmu silat hingga ia ini dapati kepandaian silat yang tinggi, dengan demikian berdua mereka bisa sama 2 bekerja melakukan segala apa yang baik guna orang banyak yang menjadi korban dari orang jahat. hingga nama mereka terkenal. Kemudian Hong Kiat menikah di Kanglam dan peroleh anak lelaki jalah Lie Bouw Pek.

Ketika Bouw Pek baru berumur enam tahun, ayahnya  sudah mulai didik ia ilmu silat, tidak beruntung baginya, dalam umur delapan tahun ia ditinggal mati oleh ayah dan ibunya, yang dengan beruntun telah menjadi korban wadah kolera yang waktu ilu sedang mengamuk di Kanglam. Tatkala hendak tarik napasnya yang penghabisan, Lie Hong Kiat minta tolong pada Kang Lam Ho supaya anaknya dikirim ke Lamkiong, buat ditumpangkan pada saudara mudanya, Lie Hong Keng. Pesanan ini sudah dilakukan dengan baik oleh Kang Lam Ho, setelah kubur jenazah sobat dan isterinya, itu, ia bawa Lie Bouw Pek ke Lamkiong, buat diserahkan pada Lie Hong Keng. Tapi setelah itu, sobat saudara angkat yang baik ini lantas pergi mengembara seorang diri.

Lie Bouw Pek selanjutnya dirawat oleh enceknya. Paman ini hidup cukup, karena ia punya beberapa puluh bouw sawah, yang memberikan hasil baik, sedang ia juga tidak punya anak, baik lelaki maupun perempuan. Karena ini juga, sang keponakan terah dipandang sebagai anak sendiri.

Hong Keng adalah seorang yang memuja orang2 yang mengerti surat, ia kagumi segala kiejin dan hanlim, maka itu Bouw Pek sudah lantas disekolahkan, maka ketika dalam umur tiga belas tahun keponakan ini lulus sebagai siucay, ia girang bukan kepalang. Lantas encek ini harap2 keponakannya kemudian nanti menjadi kiejin dan cinsu.

Akan tetapi, setelah usianya mulai naik, pikiran Lie Bouw Pek berobah dengan lantas. Nyata ia telah wariskan sifat ayah nya, yang sederhana. Tidak lagi ia ketarik oleh ilmu surat, ia segan membaca kitab atau memegang pit. Disebelah itu berpetalah roman gagah dari ayahnya selagi si ayah bersilat dengan pedang. Ia ingat sikap-tegap dari ayahnya selagi si ayah ajarkan ia silat. Ia pun segera bayangkan kegagahan Kang Lam Ho, sang pehhu. Maka itu, ia lantas dapat keinginan buat lanjutkan pelajaran silat, supaja ia bisa menjadi seperti ayah dan pehhunya, buat kemudian merantau sebagai hiapsu. Kebetulan bagi Lie Bouw Pek, selagi ia berusia enam-belas tahun di Lamkiong datang Kie Kong Kiat, maka lantas ia belajar silat pada hiap-kek tua itu.

Kie Kong Kiat datang ke Lamkiong sebagian untuk penuhkan permintaan sobat-nya, jalah Kang Lam Ho, dengan siapa ia bertemu pada waktu ia belum berangkat pindah. Jago dari Kanglam ini kata padanya:

„Ada seorang anaknya sobatku almarhum yang bernama Lie Bouw Pek, ia sekarang tinggal di Lamkiong, apabila kau pergi kesana, aku minta dengan sangat supaya kau ambil ia sebagai murid, tolong kau dengan sungguh2 didik dia."

Maka itu ketika Kie Kong Kiat kedatangan Lie Bouw Pek, apabila ia sudah tanya terang asal-usul anak muda secara lain dari yang lain, ia bertambah girang ketika dapat kenyataan, disebelah otak terang, Bouw Pek belajar dengan rajin dan ulet. Maka belum sampai lima tahun, Lie Bouw Pek telah bisa wariskan kepandaian gurunya: ilmu silat dengan tangan kosong dan bersenjata.

Oleh karena perhatiannya diutamakan pada ilmu silat, ilmu suratnya jadi terlantar, dua kali ia pergi ke ibu kota propinsi turut ujian, untuk memenuhi keinginan enceknya, dua-dua kalinya ia gagal. Hal ini bikin hatinya jadi tawar betul dan berbareng pun enceknya jadi dingin hingga perhatiannya si encek terhadapnya turut berobah sedikit juga.

Sampai masuk umur duapuluh empat, Lie Bouw Pek masih belum menikah, anjuran encek dan encimnya akan ia cari pasangan tidak diperhatikan, dengan begini ia bikin kedua orang tua itu tidak puas. Tapi ia bukannya tidak mau menikah, ia hanya hendak cari isteri yang cocok dengan angan2nya. Ia inginkan isteri kecuali cantik pun pandai silat seperti ia, nona lainnya, tidak perduli bagaimana elok, ia tidak setuju.  Sikapnya ini bikin ia ditertawakan sekalipun oleh sobat nya sendiri.

Pada suatu hari sehabis terlatih, Bouw Pek pergi keluar pekarangan, dimana ia berdiri memandang pohon gandum yang sedang hijaunya dan diluar pohon, bunga toh sedang permainya, diantara sampokan halus dari angin musim Cun beberapa pasangan kupu2 berterbangan dari satu ke lain pohon. Hari itu indah sekali, cuaca nyaman. Dengan tidak merasa, Bouw Pek menghela napas........

Justeru anak muda ini hendak putar tubuhnya buat masuk kedalam, dijalanan ia lihat penunggang kuda lagi mendatangi ketika penunggang kuda itu sudah datang makin dekat, ia kenali dia itu adalah temannya belajar silat, Sek Tiong Hauw. Sobat ia pakai baju sutera ungu yang indah, sepalung hijau dan bagus, sedang kuncirnya yang hitam disisir dan dikepang licin mengkilap. Dandanan ilu menyatakan kerapian dan keperlentean.

Sebenarnya Lie Bouw Pek tidak suka dekatkan anak2 muda sebangsa orang she Sek ini, apa mau Tiong Hauw justru suka bersobat sama ia, oleh karena kepandaian-nya surat dan silat mendatangkan kekaguman dan Tiong Hauw biasa kunjungi ia, hingga ia tidak bisa menampik. Demikian pun ini kali.

„Sudah lama aku tidak lihat kau," kata Bauw Pek tatkala si sobat ulapkan tangan dan berhentikan kudanya didepannya. Malah sobat ini sudah lantas lompat turun dari kuda dengan binatang itu terus ditambat pada sebuah pohon angcoh.

„Aku baru balik dari perjalanan kemarin," sobat itu menjawab. „Buat beberapa hari aku ikut Nio Bun Kim pergi ke Kie lok."

„Bun Kim punya toko di Kie-lok," kata BAUW Pek. „Buat apa kau pergi kesana?"

„Melulu buat jalan2," Tiong Hauw sahuti. Lantas Bouw Pek undang sobat itu duduk didalam.

„Cobalah tebak, apa perlunya sekarang aku datang padamu?" kemudian Tiong Hauw tanya dengan sekonyong- konyong sambil tertawa.

Halaman 63 dan 64 ROBEK!!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar