Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 9 : Barisan Bambu Batu

Jilid 9
“Seumur hidup belum pernah pengemis tua menurut perintah orang. Tetapi malam ini, akan kuberi kecualian. Bilanglah apa yang hendak engkau katakan semua. Jangan satu demi satu sehingga membosankan telingaku!” seru pengemis sakti Cong To.

Han Ping berpaling ke arah kedua nona Ting dan berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku akan bertempur dengan Cong locianpwe. Entah mati entah hidup. Tetapi bagaimanapun kesudahannya, jangan ikut campur. Sekalipun aku mati, jangan kalian mengangkat mayatku!”

Ting Hong mengeluh keras dan pejamkan mata. Dalam pikirannya, tak mungkin pemuda itu menang. Sekilas terbayanglah dalam benaknya kematian Han Ping yang mengenaskan. Ah, tacinyapun terluka parah dan kini menyusul orang yang dicintainya juga akan mati. Ah, hancurlah hatinya….

Han Ping hanya tertawa hambar, serunya, “Urusanku sudah selesai, silahkan locianpwe turun tangan!”

Cong To tertawa, “Pengemis tua jauh lebih tua dari umurmu, masakan akan menyerang dulu!”

“Kalau begitu, terpaksa aku menurut perintah saja!” sahut Han Ping seraya maju tiga langkah dan menghantam.

Pengemis sakti loncat mundur. Tiba-tiba ia berpaling dan membentak ke arah pintu, “Hai, siapakah itu! Mengapa plintat plintut bersembunyi diluar pintu seperti setan!”

Han Ping terkejut. Ia hentikan serangan dan loncat mundur.

Dari balik pintu sebelah luar, terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Aku kebetulan tersesat kemari. Sama sekali tak sengaja hendak mencuri lihat. Harap kalian jangan salah paham!”

Seorang pemuda berjubah panjang dan sambil mencekal ujung lengan bajunya, melangkah masuk. Ah, kiranya jago muda dari marga Ca, ialah Ca Giok si Tangan Geledek.

Pengemis sakti Cong To kerutkan alis. Pada saat ia hendak membuka mulut, Han Ping sudah mendahului, “Sungguh kebetulan sekali saudara Ca datang. Aku hendak minta saudara menjadi saksi dari pertandinganku dengan Cong locianpwe, maukah?”

Mendengar kata-kata itu, Cong To tak jadi bicara melainkan memandang dingin kepada Ca Giok.

Sebagai seorang pemuda yang cerdas, tahulah Ca Giok bahwa pengemis sakti itu tak puas kepadanya karena dianggap mencuri dengar pembicaraan. Ca Giokpun menyadari bahwa Cong To itu amat sakti, maka ia tak mau menanggapi dan buru-buru berpaling muka ke arah Han Ping.

“Cong locianpwe seorang guru besar sebuah partai. Sedang saudara Ji seorang pendekar yang berilmu tinggi. Aku seorang bodoh, bagaimana berani menerima tugas seberat itu? Tetapi karena saudara Ji yang meminta, apa boleh buat terpaksa aku tak berani menolak….,” serunya.

“Terima kasih karena saudara Ca sudi memberi muka kepadaku,” kata Han Ping, “tetapi aku masih mempunyai sebuah permintaan lagi kepada saudara. Entah apakah saudara suka meluluskan?”

“Silahkan saudara mengatakan. Asal mampu saja tentu akan kukerjakan!”

Han Ping tertawa rawan, “Aku sungguh merasa berterima kasih sekali bahwa saudara Ca sudi memandang diriku. Terus terang, aku tentu bukan tandingan Cong locianpwe. Apabila aku mati, sukalah saudara mengantarkan kedua nona Ting pulang ke lembah Raja setan. Nona Ting Ling sudah terluka parah, ah, semoga Tuhan melindunginya agar dia dapat pulang dengan selamat ke lembah Raja setan….”

Ca Giok tertawa, “Hendaknya janganlah saudara mengandung pikiran begitu. Cong locianpwe adalah seorang tokoh besar pada jaman ini. Sekalipun saudara bukan tandingannya, diapun pasti tak akan membunuh saudara!”

Pengemis sakti Cong To tidak suka kepada Ji-koh (dua lembah) dan Sam-poh (tiga marga). Mendengar kata-kata Ca Giok, ia tertawa dingin, “Belum tentu, yang nyata pengemis tua ini selamanya memang ganas!”

Mendengar itu meluaplah amarah Han Ping, bentaknya, “Saudara Ca harus tahu, belum tentu kenyataan itu sesuai dengan kabar-kabar yang tersiar. Malam ini aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa hal yang ganjil. Karena tak tahan melihat, terpaksa aku bertindak. Dan sekali bertindak, hanya mati atau hidup yang akan kuperoleh. Saudara boleh menjadi saksi saja. Sekalipun aku terluka parah, jangan sekali-sekali membantu agar jangan ikut tertimpa bencana!”

Habis berkata ia terus melangkah maju setindak. Tangan kiri bergerak dalam jurus Tangan memetik lima senar. Tangan kanan menghantam dengan gerak Sekop melayang membentur lonceng. Sekaligus ia gunakan dua macam jurus untuk menyerang. Tangan kiri bergerak lincah, tangan kanan menyerang dengan tenaga dahsyat.

Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman luas tahulah Cong To bahwa pemuda itu menggunakan ilmu silat dari Siau-lim-si. Diam-diam ia tergetar hatinya. Tangan kiri menangkis dengan jurus Angin memecah ombak ke arah tangan kanan lawan. Sedang tangan kanan menangkis gerakan tangan kiri Han Ping dengan jurus Bunga guncang pohon condong, seraya menegur, “Hai, murid padri Siau-lim-si yang manakah engkau ini? Lekas bilang, agar jangan sampai aku salah tangan!”

Han Ping tetap memegang pesan mendiang Hui Gong yang melarangnya supaya jangan mengatakan bahwa ia adalah murid padri itu.

“Rasanya hal itu tak perlu locianpwe tanyakan. Yang di hadapan locianpwe ini adalah seorang pemuda tak dikenal, Ji Han Ping. Jika locianpwe mau membunuh, silahkan!” serunya.

Pengemis sakti Cong To marah, “Hm, engkau memang keras kepala. Jangan sesalkan kalau pengemis tua bertindak kejam kepadamu!”

Keduanya segera bertempur lagi. Pertempuran berikutnya jauh lebih seru dari babak permulaan tadi. Sepuluh jurus cepat sekali telah berlangsung. Tetapi masih belum dapat diketahui siapa kalah siapa menang. Bahkan sukar pula dibedakan mana Han Ping dan mana pengemis sakti Cong To.

Tiba-tiba Pengemis sakti membentak keras, “Cobalah engkau terima sebuah jurus Lima gunung menindih puncak ini!”

Kata-kata ini ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat.

Han Pingpun cepat salurkan tenaga dalam dan menangkis dengan jurus Sebatang tiang menyanggah langit. Begitu tangan kanan menangkis, secepat kilat tangannya kiri gunakan jurus Tali emas mengikat naga, salah sebuah jurus dari ilmu mencengkeram Kin-liong-chiu, menyambar siku lengan kiri si pengemis sakti.

Ilmu Kin-liong-chiu atau Menangkap naga, adalah sebuah ilmu sakti yang jarang tampak di dunia persilatan. Maka walaupun Cong To luas pengalaman, tetap ia tak mampu mengetahui ilmu aneh itu.

Pada saat ia terkejut, ia sudah tak keburu untuk menghindar lagi. Siku lengan kirinya tercengkeram lawan. Ciong To tertegun kaget. Tenaga pukulan tangan kanannyapun menyurut kurang.

Dengan siku tangannya, Han Ping menghalau pukulan si pengemis sakti. Lalu menggembor keras dan dengan sekuat tenaga ia memelintir siku lengan pengemis itu.

Karena siku lengannya dikuasai lawan, tenaga Cong Topun berkurang dan sekali didorong Han Ping, tubuh pengemis sakti itupun menjorok ke muka!

Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itulah Pengemis sakti Cong To jatuh sedemikian hina. Seketika murkalah ia. Diam-diam ia kerahkan segenap tenaga dalam ke siku lengan sehingga mengeras seperti besi. Kemudian ia meronta sekuat-kuatnya!

Tetapi pada saat pengemis sakti itu kerahkan tenaga dalam, Han Ping sudah merasa. Cepat-cepat iapun perkeras tenaga dalamnya ke arah jarinya.

Saat itu terjadilah pertempuran seru antara dua buah tenaga dalam. Hasilnya ternyata berimbang, sukar diketahui siapa yang kalah siapa yang menang.

Han Ping tak dapat menekan agar darah si pengemis sakti macet dan membalik jalannya ke dalam tubuh lagi. Tetapi Cong Topun tak mampu membebaskan lengannya dari cengkeraman pemuda itu….

Karena tak dapat lepas, pengemis sakti mengangkat lututnya kiri dihantamkan ke perut Han Ping. Dan serempak dengan itu ia benturkan bahunya ke dada pemuda itu.

Pertempuran secara merapat itu benar-benar jarang terjadi. Walaupun sudah mamiliki ilmu pelajaran Tat-mo-ih-kin-keng yang sakti, tetapi Han Ping masih kurang pengalaman. Termakan lutut dan benturan bahu Cong To, terpaksa Han Ping lepaskan cengkeramannya dan menyurut mundur.

Kini bebaslah Cong To. Ia menyadari bahwa pemuda itu memang sakti. Tak berani lagi ia memandang rendah. Segera ia melakukan serangan segencar hujan mencurah, tak mau ia memberi kesempatan pada pemuda itu lagi….

Selama beristirahat 3 hari itu, walaupun Han Ping menjalankan ajaran Hui Gone tentang ilmu menyedot hawa murni dan memancarkan ke seluruh tubuh, tetapi ia masih belum dapat menguasai seluruhnya. Maka dalam pertempuran itu, tenaga dalamnyapun hanya berimbang saja dengan Cong To.

Tetapi pengerahan tenaga murni itu tak dapat berlangsung terus. Segera kelihatan kelemahannya menghadapi seorang tokoh sakti semacam Cong To yang tinggi tenaga dalamnya itu. Hanya karena mengandalkan gerakan yang aneh dan jurus-jurus yang istimewalah maka ia dapat bertahan diri.

Betapapun cerdasnya Han Ping tetapi tak mungkin dalam waktu setengah bulan saja ia sudah dapat menguasai seluruh isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Yang dimainkan itu adalah jurus-jurus yang diberikan Hui Gong. Tetapi setelah 100 jurus, mulailah tenaga Han Ping makin lemah dan jurus permainannyapun makin ricuh.

Bukan suatu nama kosong Cong To diindahkan sebagai seorang guru besar sebuah partai persilatan itu. Selain sakti, diapun luas sekali pengalamannya. Mengerti akan segala jenis ilmu silat dari masing-masing partai persilatan.

Tetapi karena yang dimainkan Han Ping itu ilmu silat istimewa yang jarang tampak di dunia persilatan, maka Cong To yang luas pengalamannya itupun tak dapat mengenalnya. Dan karana itu, ia tak dapat cepat-cepat merubuhkan pemuda itu. Beberapa kali ia terpaksa harus mundur karena Han Ping menyerangnya dengan gerak tipu permainan yang aneh.

Setelah 100 jurus, habislah ilmu yang dipahami Han Ping. Selanjutnya setiap hendak memainkan jurus baru, ia harus mengingat-ingat dulu sampai beberapa saat. Dengan demikian permainannya makin lama makin lamban.

Tetapi tiada sebuah juruspun dalam kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng itu yang tidak istimewa. Meskipun lamban gerakannya, tetapi setiap kali menyerang, Han Ping tentu dapat memaksa lawan mundur.

Benar-benar suatu pertempuran yang aneh. Walaupun Cong To sudah menang angin tetapi tak henti-hentinya ia terkejut. Setiap pukulan yang dilancarkan pemuda lawannya itu tentu aneh dan belum pernah diketahuinya. Sebagai seorang tokoh silat, diam-diam ia tersengsam dan memperhatikan permainan pemuda itu. Dengan demikian karena perhatiannya tertarik untuk mengetahui gerakan lawan, ia malah lupa untuk memenangkan pertempuran itu.

Han Pingpun kerahkan seluruh perhatiannya untuk mengingat-ingat apa yang tertulis dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Berulang kali ia tampak kerutkan dahi sampai beberapa jenak baru lancarkan pukulan.

Keadaan yang aneh itu berlangsung sampai 20 jurus lebih. Kelambanan bergerak Han Ping makin lama makin panjang waktunya tetapi pukulan yang dimainkanpun makin lama makin aneh sekali. Bagian yang diarahnyapun diluar dugaan orang.

Pertempuran itu benar-benar suatu pertempuran yang aneh. Bukan melainkan Han Ping dan Cong To yang memperoleh manfaat, bahkan kedua nona Ting dan Ca Giok juga tersengsam melihatnya.

Dua jurus lagi, tiba-tiba Han Ping menimang, “Dengan cara bertempur semacam ini, tak mungkin aku dapat memenangkannya. Kan lebih baik kugunakan 12 gerak Menangkap naga (Kin-liong-chiu) agar dapat selekasnya menyelesaikan pertempuran ini!”

Memang ia tak menyadari bahwa andaikata Cong To tak tersengsam memperhatikan jurus-jurus permainannya yang aneh itu, tentu sejak tadi ia sudah jatuh di tangan pengemis sakti itu.

Setelah menentukan rencana, segera Han Ping hendak melaksanakannya. Tetapi sekonyong-konyong terdengar bunyi menggedebuk seperti tubuh orang terkapar rubuh ke tanah.

Serempak kedua orang itupun berhenti. Dan ketika berpaling ternyata yang rubuh menggeletak itu si pengemis kecil. Mulutnya tak henti-hentinya mengucurkan darah….

Ternyata ketika menyaksikan gurunya sedang bertempur dengan Han Ping dan banyak ilmu silat aneh-aneh yang dimainkan, si pengemis muda sampai lupa akan lukanya. Ia menggeliat bangun dan memperhatikan jalan pertandingan yang istimewa itu.

Sesungguhnya luka dalam yang diderita pengemis kecil itu parah sekali. Karena menumpahkan perhatian, tiba-tiba darah dan hawa dalam perutnya melonjak ke atas. Kepalanya pening mata berkunang-kunang dan bluk, akhirnya jatuhlah ia menggeletak di tanah.

Cong To mengeluh kaget. Ia teringat bahwa luka yang diderita muridnya perlu harus segera ditolong. Jika terlambat, tak mungkin murid itu dapat sembuh seperti sediakala. Tentu akan menjadi orang cacad seumur hidup.

Hati pengemis sakti itu bukan kepalang gelisahnya. Dipandangnya pengsmis kecil dengan pandang kecemasan.

Melihat keadaan si pengemis kecil, serentak Han Pingpun teringat akan Ting Ling yang terluka juga. Buru-buru ia berpaling dan kejutnya bukan main. Ting Ling rebah bersandar tembok dengan mata meram. Tanpa ayal lagi, ia loncat menghampiri dan meraba dahi nona itu. Hai, panasnya seperti air mendidih.

“Nona Ting, nona Ting!” teriaknya gugup.

Tetapi Ting Ling sudah tak sadarkan diri.

Karena terpikat perhatiannya, Ting Hong lepaskan pelukannya pada tubuh Ting Ling. Ketika Han Ping meneriaki, barulah ia menyadari dan terkejut ketika mengetahui tacinya pingsan. Menangislah dara itu tersedu-sedu.

Berkata Han Ping kepada si pengemis tua, “Locianpwe, murid locianpwe dan nona itu dalam keadaan terluka parah yang harus ditolong lebih dulu. Kita hentikan pertempuran untuk sementara, begitu mereka sudah sembuh, kita cari lain tempat untuk melanjutkan pertempuran ini sampai selesai!”

Cong To tertawa dingin, “Setiap waktu pengemis tua siap menunggu kedatanganmu!”- Nada pengemis tua itu tidak sesombong tadi.

Kemudian Han Ping meminta Ting Hong supaya memanggul tacinya dan diajaknya pergi dari situ.

Ca Giok loncat ke ambang pintu. Ia berpaling memberi hormat kepada Cong To, serunya, “Pertempuran Cong locianpwe dengan saudara Ji tadi, benar-benar telah membuka mata kita semua. Aku merasa beruntung sekali karena dapat menyaksikan pertempuran bernilai tinggi itu. Kini akupun hendak mohon diri!”

Pemuda itu segera menyusul Han Ping.

“Berhenti!” tiba-tiba Cong To berseru.

Karena mengira pengemis sakti itu telah merobah keputusannya, Han Ping masuk lagi ke dalam ruang. Tampak pengemis sakti itu tengah mencengkeram lengan kanan Ho Heng Ciu dan berdiri di ambang pintu. Begitu melihat Han Ping muncul lagi, segera pengemis itu bertanya kepada Heng Ciu, “Dimanakah susiokmu sekarang ini? Lekas bilang!”

Ternyata Han Ping salah raba. Ia kiranya teriakan pengemis sakti itu ditujukan kepadanya. Tetapi ternyata kepada Heng Ciu. Pada saat Han Ping bertiga keluar, pengemis sakti cepat membuka jalan darah Heng Ciu yang tertutuk dan memaksanya supaya memberitahukan tempat beradanya si wanita baju biru.

Karena kecele, Han Ping malu sendiri. Diam-diam ia mengagumi Cong To sebagai seorang pendekar besar yang berkepribadian.

Han Ping seorang yang cepat terangsang perasaan. Dalam menghadapi orang atau persoalan, dia tentu cepat-cepat menarik kesimpulan dari segi baik atau tidaknya. Misalnya, ketika pengemis sakti menolong Heng Ciu, ia anggap tindakan tokoh itu tidak pada tempatnya karena tidak dapat membedakan bagaimana tingkah laku Heng Ciu. Ia mendapat kesan bahwa Cong To itu seorang jahat yang berkedok baik. Seketika turunlah seratus derajat, kekagumannya terhadap pengemis sakti itu. Dan karena perobahan pandangan itu maka ia nekad menantang berkelahi tokoh itu.

Dan kini setelah tahu tindakan Cong To terhadap Heng Ciu, berobah lagilah pandangan Han Ping. Rasa kekagumannya terhadap pengemis itu, timbul kembali.

Kepala Heng Ciu bercucuran keringat dan menyahutlah ia dengan nada gametar, “Tempat tinggal susiok, kira-kira sepuluh li di sebelah tenggara biara ini!”

Cong To lepaskan cengkeramannya dan mengancam, “Awas, jika sepatah keteranganmu ada yang bohong, jangan sesalkan pengemis tua akan memberimu hukuman keras!”

“Murid tak berani berbohong”, sahut Heng Ciu.

Cong To mendengus, “Pengemis tua ini tetap seorang manusia jahat yang berpura-pura baik….” – habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.

Han Ping termangu. Sesaat kemudian iapun segera menyusul kawan-kawannya. Setelah melintasi lamping gunung dan tiba di bawah karang gunung, Ca Giok tiba-tiba berhenti dan berkata kepada Han Ping, “Sebaiknya saudara minta nona Ting supaya beristirahat dalam gua karang itu dan menjaga tacinya. Aku bersedia menemani saudara mencari wanita baju hijau itu. Tundukkan dia dulu dan paksa supaya mau menyerahkan obat kepada nona Ting!”

Ca Giok memang seorang yang cerdik dan cermat. Ketika mendaki ke atas ia sudah mengamati dengan teliti keadaan gunung itu. Ketika Han Ping berpaling, memang ia melihat sebuah gua di bawah sebatang pohon jati tua. Ia menyetujui saran Ca Giok.

“Silahkan saudara mengajak kedua nona itu kesana, biarlah kutunggu disini”, kata Ca Giok.

Han Ping segera mengajak Ting Hong ke gua itu. Ia mengatakan agar dara itu menjaga tacinya sedang ia bersama Ca Giok hendak mencari si wanlta baju hijau untuk memperoleh obat. Paling lambat sore nanti tentu sudah kembali.

Dengan menghela napas dara itu mengharap agar Han Ping cepat-cepat kembali.

“Jangan kuatir, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan obat dari wanita itu”, Han Ping menghibur lalu melangkah keluar.

Memandang bayangan pemuda itu, beberapa kali Ting Hong hendak berseru memanggilnya supaya kembali. Tetapi karena teringat akan luka tacinya, setiap kali ia batalkan keinginannya.

Entah bagaimana setelah pemuda itu lenyap di balik gerumbul, Ting Hong rasakan seperti kehilangan sesuatu. Ia merasa Han Ping amat penting baginya.

Memang tanpa disadari, dara itu makin tenggelam dalam jaring-jaring asmara yang erat….

Dara itu cepat mengangkat tubuh tacinya dibawa masuk ke dalam gua. Melihat keadaan Ting Ling, dara itu seperti disayat hatinya.

Dijamahnya kening Ting Ling. Ah, panasnya seperti api membara. Wajahnyapun merah padam, napas sesak dan tersendat-sendat. Rupanya luka nona itu sudah mencapai titik yang berbahaya.

Tiba-tiba Ting Ling mengerang perlahan, “Ah, haus sekali, tenggorokan seperti terbakar rasanya!”- sejenak menggeliat ia meramkan mata lagi.

Ting Hong tak tega. Buru-buru ia lari keluar mencari sumber air. Kemudian air itu diminumkan ke mulut tacinya. Tetapi mata nona itu tetap memejam.

Setelah itu, Ting Hong membawa tacinya masuk ke dalam gua lagi. Sekalipun ia ingin sekali lekas-lekas tinggalkan gua yang sepi itu tetapi ia tetap percaya pada kata-kata Han Ping. Maka ia tahankan hatinya.

Setelah tinggalkan gua, Han Ping dan Ca Giok mendaki sebuah puncak dan meninjau ke sekeliling penjuru. Puncak pegunungan itu amat luas sekali sehingga tak tampak ujung tepinya.

Melihat Han Ping gelisah, Ca Giok menasehatinya supaya tenang, “Ho Heng Ciu itu tentu tak mungkin berani membohongi gurunya. Kita turutkan keterangannya mencari ke arah tenggara sampai 10 li. Jika memang tidak ketemu, kita kembali lagi ke gua. Cong To tentu akan berusaha untuk menolong muridnya si pengemis kecil, tak mungkin dia akan meninggalkan biara itu!”

Han Ping mengiakan dan segera mengajak Ca Giok menuruni gunung. Demikianlah keduanya lari menuju ke arah tenggara.

Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah melintasi 6-7 buah puncak dan lari sejauh 7-8 li.

Kini mereka tiba di sebuah jalan liku yang menjurus ke sebuah lembah. Lembah itu penuh ditumbuhi rotan dan macam-macam pohon. Pada musim rontok, lembah penuh dengan hamburan daun-daun kuning.

Setelah memandang sejenak keadaan tempat ke sekeliling penjuru, Ca Giok tertawa, “Kalau menurut omongan Heng Ciu tadi, kita sudah berada dirawa daun kuning!”

“Tetapi lembah itu amat sepi tiada tampak sebuah rumahpun juga. Masakan wanita itu tinggal disitu?”

Ca Giok tertawa, “Memang tampaknya demikian, tetapi siapa tahu di dalam lembah terdapat suatu tempat yang lain keadaannya. Kita tinjau dulu kesana baru nanti kita bicara lagi!”

“Benar”, Han Ping mengiakan.

Ca Giok kerutkan dahi, “Apakah hubungan wanita baju hijau itu dengan pengemis sakti Cong To?”

“Sumoaynya!” sahut Han Ping.

Sejenak Ca Giok merenung, kemudian berkata, “Menilik kesaktian Cong To, tentulah sumoaynya itu juga sakti. Sekalipun aku tadi tak menyaksikan sendiri bagaimana dia melukai nona Ting Ling, tetapi menilik luka nona Ting, tentulah wanita itu menggunakan semacam tenaga dalam yang istimewa!”

Han Ping menghela napas, “Ah, saudara Ca benar-benar luas pengetahuan dan pengalaman. Memang menurut keterangan Cong locianpwe, nona Ting Ling telah dilukai dengan pukulan Sam-yang-khi-kang!”

“Sam-yang-khi-kang itu, sekalipun pernah kudengar orang mengatakan tetapi belum pernah kusaksikan sendiri. Tetapi kuduga tentulah suatu ilmu lwekang yang mengandung racun. Jika wanita itu memiliki tenaga dalam begitu, tentulah tak boleh dibuat main-main. Memang kepandaian saudara Ji amat tinggi, tetapi rasanya jika hendak menawan wanita itu hidup-hidup bukanlah mudah!”

“Memang aku tak yakin dapat menangkap wanita itu,” sahut Han Ping, “Tetapi karena keadaan sudah begini, aku tak peduli kalah atau menang. Jika aku kalah, harap saudara suka menyampaikan kepada kedua nona Ting agar mereka kembali pulang ke Lembah Raja setan….”

Ca Giok tertawa, “Harap saudara Ji jangan kuatir. Sedang Pengemis sakti Cong To saja tak mampu mengalahkan saudara, jangankan wanita itu yang hanya menjadi sumoay dari pengemis sakti. Mungkin untuk menawan wanita itu, memang sukar. Tetapi wanita itupun tak dapat berbuat apa-apa terhadap saudara.

“Ah, saudara Ca tak mengetahui kepandaian wanita itu. Menurut kesanku, dia tak di bawah kesaktian Pengemis sakti Cong To!”

Ca Giok terkejut. Tetapi dia tetap tenang, katanya, “Jangan saudara Ji lekas berkecil hati. Jika memerlukan bantuanku, tentu dengan sekuat tenaga akan kubantu saudara. Dengan kekuatan kita berdua, tentu dapat menangkapnya.”

Han Ping mengangkat muka memandang ke langit. Ia menghela napas panjang lalu ayunkan langkah-langkah perlahan-lahan kedalam lembah.

Setelah melintasi dua buah tikungan gunung, tiba-tiba keadaan berobah. Lembah yang bermula sempit, disitu merupakan sebuah padang tanah seluas 4-5 bahu. Empat penjuru dikelilingi oleh gunung dan 4-5 buah lembah melingkar-lingkar menyusup ke muka.

Han Ping berhenti dan bertanya kepada Ca Giok, “Saudara Ca, menghadapi simpang jalan yang bercabang sekian banyak, kita akan mengambil jalan yang mana?”

Sejenak Ca Giok memandang ke seluruh penjuru lalu katanya, “Gunung berjajar-jajar, lembah berlingkar-lingkar. Akupun tak tahu harus mengambil jalan yang mana….”- ia menunduk dan merenung.

Menurutkan arah pandangan Ca Giok, Han Ping melihat pada jalanan batu disitu terdapat bekas-bekas telapak kaki.

Kemudian Ca Giok memandang jauh ke gunung sebelah muka, bisiknya, “Tahukah saudara Ji telapak kaki apakah itu?”

Han Ping mengatakan tak tahu,

“ltulah telapak kaki kuda dan belum berapa lama membekas. Tentulah kuda yang menuju ke lembah, Apabila kita turutkan telapak kaki kuda itu, kemungkinan kita bisa menemukan jejak wanita itu”.

“Tetapi wanita itu bersama rombongannya tak menunggang kuda”, kata Han Ping,

“Mungkin telapak kuda itu berasal dari rombongan lain orang. Tetapi masih lebih baik kita turutkan telapak kuda itu daripada menunggu disini”.

Habis berkata, Ca Giok terus mendahului lari. Terpaksa Han Ping mengikutinya. Kira-kira tiga li, mereka tiba di sebuah tempat yang lebih luas lagi. Beberapa tombak jauhnya terdapat sebuah hutan. Samar-samar dalam hutan itu penuh dengan berkelebatnya bayangan orang,

Han Ping yang mencemaskan keadaan Ting Ling, cepat cepat mendahului Ca Giok lari ke arah hutan. Sebenarnya Ca Giok hendak meninjau keadaan hutan itu lebih dahulu. Tetapi karena Han Ping sudah menyerbu, terpaksa iapun mengikutinya,

Ketika memandang ke dalam hutan, mereka tertegun. Di tengah padang rumput seluas beberapa tombak, tegak seorang dara jelita. Berpakaian warna ungu, rambutnya dikuncir. Sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun, bermanja diri di atas pipi dara itu. Rupanya dara itu tak menghiraukan taburan sinar matahari. Ia tengah mengalirkan pandang matanya ke sekeliling penjuru, Empat penjuru penuh dengan rombongan orang gagah.

Keadaan itulah yang membuat Han Ping dan Ca Giok tercengang. Kemudian merekapun memandang barisan kaum gagah yang berkerumun memenuhi empat penjuru.

Ca Giok sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Banyak orang-orang gagah baik dari golongan Putih maupun golongan Hitam yang dikenalnya. Setelah selesai memandang sekeliling penjuru turunlah morilnya,

Kiranya yang hadir mengelilingi si dara ayu itu, sebagian besar adalah tokoh-tokoh persilatan yang termahsyur. Antara lain si Imam pencabut nyawa Ting Yan San dari Lembah Raja setan, Leng Kong Siau dari Lembah Seribu racun, Kim-leng Sam-hiap atau tiga jago dari Kim-leng serta pemimpin golongan Hitam dari wilayah Holam, Shoatang, Hopak dan Anwi. Juga tampak Ih Seng si Kipas besi pedang perak, para kepala dari ke 36 kubu telaga Thong-ting-oh Gun-hay-sin-liong atau Naga sakti dari laut Gun-hay, Cin An Ki. Semua berjumlah beberapa puluh orang.

Mereka merupakan tokoh-tokoh yang merajai di daerah masing-masing. Bertemunya tokoh-tokoh dalam lembah yang terpencil seperti itu, benar-benar merupakan suatu peristiwa yang jarang terjadi.

Tokoh-tokoh itu menjaga di tempat masing-masing. Melingkari dara jelita itu dalam kepungan. Tiada seorangpun yang membuka mulut menyatakan apa-apa,

Setelah memandang keadaan sekeliling penjuru, bertanyalah Han Ping dengan bisik-bisik, Apakah tujuan orang-orang itu hendak mendapatkan kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun?”

Mendengar sang kawan bicara dengan nada keras, Ca Giok gelisah. Buru-buru ia memberi peringatan, “Benar tetapi harap saudara jangan bicara keras-keras. Mereka adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Sekali kita tak hati-hati, mereka tentu mendengar kata-kata kita dan tentu akan menindak kita.”

“Jika mereka tokoh-tokoh yang ternama, mengapa mereka tak sungkan ramai-ramai mengepung seorang gadis?” tanya Han Ping pula.

“Memang tampaknya bersikap seperti mengeroyok tetapi sesungguhnya satu sama lain tiada hubungan. Adalah karena jumlahnya yang besar dan sama tujuan maka sepintas pandang mereka seperti mempersiapkan pengeroyokan. Yang benar-benar mereka saling curiga mencurigai satu sama lain….”

“Betapapun juga, sekian banyak tokoh-tokoh mengeroyok seorang dara itu, sungguh tidak patut. Hayo, kita maju melihat-lihat kesana!” seru Han Ping seraya melangkah maju.

Sebenarnya Ca Giok hendak memberitahu bahwa berkumpulnya sekian banyak tokoh-tokoh persilatan ke Lokyang itu adalah karena hendak memperebutkan kitab pusaka dari Lam-hay-bun. Tetapi setelah melihat Han Ping maju menghampiri rombongan tokoh-tokoh itu, tiba-tiba tergeraklah pikiran Ca Giok. Pikirnya, “Ah, rupanya dia tak mempunyai cita-cita untuk merebut kitab itu. Jika kuberitahukan tentang kitab itu, bukankah malah seperti ‘menjagakan ular tidur’? alias, membangkitkan nafsu keinginannya? Ah, lebih baik lain kesempatan saja kuberitahu kepadanya dan saat ini kugunakan tenaganya untuk membantu usahaku merebut kitab itu”.

Densen pemikiran itu, ia tak jadi memberitahu dan hanya mengikuti dari belakang.

Sesungguhnya rombongan tokoh-tokoh itu mendengar juga derap langkah Han Ping dan Ca Giok, tetapi mereka tak mengacuhkan. Mereka tumpahkan perhatian pada si dara baju ungu.

Ih Seng si Kipas besi pedang perak, kerutkan dahi ketika melihat jumlah orang yang menginginkan kitab kian lama kian banyak. Cepat ia mencabut kipas besinya lalu berkipas-kipas seraya berseru, “Ah, tak kira tempat ini mendapat kehormatan besar menjadi tempat pertemuan sekian banyak tokoh-tokoh termahsyur….”

Kepala dari ke 36 klompok telaga Tong-thing-ou si Naga sakti Gun hay Cin An Ki tertawa dingin, sambutnya, “Ucapan saudara Ih u keliwat terkebur. Memang aku jarang bermain-main ke daratan. Tetapi sudah belasan tahun juga aku berkelana di dunia persilatan. Selama itu tak pernah kudengar orang bicara sebesar itu, Saudara Ih mengangkat diri sebagai pemimpin dunia persilatan wilayah Holam, Hopak, Anwi dan Shoatang. Tetapi adakah saudara tak mengizinkan lain orang menginjak daerah ini? Misalnya, aku sendiripun menetap di telaga Tong-thong-ou. Asal tidak melanggar pantangan pada daerah terlarang yang ditetapkan oleh ke 36 Kelompok itu saja, akupun tak berani melarang orang tak boleh datang ke telaga Tong-thing-ou!”

Leng Kong Siau menyambut dengan batuk-batuk, serunya, “Benar, memang aku Leng loji juga tak percaya bahwa daerah lima gunung empat lautan di wilayah Kanglam-Kangpak itu tak boleh kukunjungi!”

Seketika berobahlah wajah Ih Seng, serunya, “Dengan mengatakan ucapan itu kepadaku, rupanya saudara berdua memang benar-benar hendak cari perkara di tanah ini?”

Ting Yan San tertawa sinis, “Si Bungkuk dan si Kate serta kepala desa gunung Bik-lo-san mungkin segera akan menyusul kemari. Jika belum-belum kita sudah gasak-gasakan dulu, orang lain yang akan memetik keuntungannya. Dan kalau terjadi begitu, sungguh bodoh sekali!”

“Keadaan saat ini”, kata Leng Kong Siau. “kiranya sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata. Entah bagaimana saudara Ting hendak menyelesaikan sengketa ini!”

Berpuluh-puluh mata rombongan jago-jago, mencurah ke arah Ting Yan San.

Ting Yang san tersenyum, “Walaupun kedatangan nona itu atas siasat yang dirancang saudara Ih, tetapi karena menyangkut kepentingan seluruh dunia persilatan maka setiap orang yang mengetahui tentu turut ambil bagian. Dan rasanya setiap orang yang hadir disini tentu tak mau mengundurkan diri dari persoalan ini….”

Ih Seng menukas hambar, “Walaupun menyangkut kepentingan luas, tetapi seharusnya terdapat pembagian antara tetamu dan tuan rumah. Dengan susah payah aku yang mengundang nona itu tetapi saudara sekalian hendak enak-enak memetik buahnya. Benar-benar tak memandang mata kepadaku!”

Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki tertawa gelak-gelak. “Kalau begitu tujuan saudara Ih adalah pada diri nona cantik itu?”

Mendengar kata-kata yang tak senonoh itu, si nona baju ungu merah padam mukanya.

Han Ping berpaling kepada Ca Giok, “Saudara Ca, mengapa tokoh-tokoh persilatan yang termahsyur itu bermulut kotor? Apakah mereka tak kuatir akan menurunkan martabat?”

Mendengar Han Ping memaki sekalian tokoh-tokoh yang hadir disitu, diam-diam marahlah Ca Giok. Tetapi ia tak berani tak menyahut pertanyaan pemuda itu, “Ah, mereka hanya bergurau, tak perlu saudara menganggapnya sungguh-sungguh”.

Cin An Ki acuh tak acuh memandang Han Ping. Ia merasa belum pernah melihat pemuda itu. Tetapi ia sungkan untuk bertanya. Kemudian ia kerlingkan mata dan ketika melihat Ca Giok ia tertawa dingin, “Apakah ayahmu tak datang?”

“Aku sedang berkelana. Ketika mendengar berita ini segera ikut datang kemari. Mungkin ayah tak mengetahui peristiwa ini!”

Menunjuk kepada Han Ping, bertanyalah Cin An Ki, “Saudara ini tentulah seorang kojin yang datang bersama Ca sau pohcu?”

“Saudara Ji ini adalah sahabatku dan sama sekali bukan orang dari marga Ca”, jawab Ca Giok.

Mendengar tanya jawab yang tak penting itu Ih Seng tak sabar lagi, tukasnya nyaring, “Pada saat dan tempat seperti sekarang ini, bukanlah waktunya saudara Cin dan Ca sau pohcu bicara soal-soal keadaan diri masing-masing, selesaikan dahulu soal besar yang kita hadapi ini, baru nanti saudara berdua boleh melanjutkan pembicaraan soal pribadi!”

Jawab Cin An Ki, “Silahkan saudara Ih mengusulkan apa saja, tentulah aku menurut!”

Melihat kedua orang itu sudah sama panas dan setiap saat tentu akan meletus perkelahian, buru-buru Ting Yan San menyelutuk, “Jika saudara berdua hendak saling memamerkan ilmu kepandaian, memang benar-benar suatu peristiwa yang menggemparkan sekali. Tetapi rasanya dalam saat dan tempat seperti sekarang, kurang tepat. Sekalian hadirin tentu tak tertarik untuk menyaksikan pertempuran itu. Tetapi jika saudara berdua memang tak dapat dicegah lagi, silahkan cari saja ke lain tempat yang sunyi agar disitu dapat bertempur sepuas-puasnya sampai salah satu ada yang mati!”

“Ah, jangan terlalu menyanjung”, kata Ih Seng, “sekalipun saudara Ih berusaha untuk menambahi minyak di atas api, tetapi rasanya takkan menarik keuntungan apa-apa dari air keruh itu!”

Leng Kong Siau batuk-batuk, katanya, “Harap saudara berdua jangan menyibukkan diri dalam pembicaraan yang tak berguna. Soal mati hidup, jangan dibebankan pada pikiran orang lain. Sekarang kuminta diam dulu untuk mendengar buah pendapat saudara lh”.

Ting Yan San tertawa menyeringai, “Yang penting pada saat ini ialah harus memindahkan penahanan gadis itu ke lain tempat yang jauh. Jangan sampai diketahui oleh anak buah Bik-lo-san. Kemudian kita memilih dua orang yang berilmu sakti menuju ke gunung Bik-lo-san, membicarakan soal tukar menukar antara orang dengan kitab!”

“Bagus, bagus!” Leng Kong Siau tertawa nyaring, “pendapat saudara Ih memang mengagumkan sekali”.

Cin An Ki sejenak memandang ke arah si Kipas pedang perak Ih Seng, serunya, “Jika kitab pusaka Lam-hay-bun itu berada pada gadis itu, bukankah tindakan kita itu berlebih lebihan?”

Cin An Ki memang licin. Melihat suasana para hadirin yang sangat bernafsu untuk mendapatkan kitab pusaka itu, ia menyadari bahwa suatu pertempuran dahsyat takkan dapat dihindari lagi. Diam-diam ia mencari akal.

Cin An Ki hendak menyulut api untuk membakar kemarahan para hadirin agar mereka lekas-lekas saja bertempur. Setelah mereka kehabisan tenaga, barulah ia nanti turun gelanggang untuk menyelesaikan mereka. Syukur kitab dari Lam-hay-bun itu berada pada si gadis baju ungu. Dengan begitu mudahlah ia merampasnya. Andaikata tidak berada pada nona itu, ia tetap akan menawan dan menahannya di telaga Tong-thing-ou. Setelah itu baru ia mengutus orang untuk berunding dengan pihak Bik-lo-san, mengadakan barter kitab dengan tawanan.

Setelah mendengar kata-kata Cin An Ki, cepat Kipas besi pedang perak Ih Seng menyahut, “Hilang atau didapatkan kitab pusaka dari Lam-hay-bun itu, menyangkut nasib dunia persilatan. Kira-kira para saudara yang hadir disini tentu menginginkan kitab itu. Agar jangan dikata seperti memancing di air keruh atau menarik keuntungan dari pertikaian yang berlangsung disini. Baiklah kunyatakan sekarang. Aku bersedia mengalah selangkah. Tetapi jika kitab itu berada pada si dara, aku tetap hendak menggunakan hakku sebagai tuan rumah untuk mengambilnya. Tetapi jika tidak berada pada gadis itu, aku setuju usul saudara Ih, memindahkan penahanan gadis itu ke tempat lain. Kemudian kita tetapkan wakil yang kita utus ke Bik-lo-san dan merundingkan penukaran kitab dengan diri si gadis itu”- Habis berkata ia terus menghampiri si nona baju ungu.

Leng Kong Siau mendengus lalu ayunkan langkah mengikuti. Ting Yan Sanpun kebutkan hudtim dan menyusul kedua orang itu.

Seketika suasana menjadi tegang sekali. Hanya Cin An Ki kepala dari 36 kelompok telaga Tong-thing-ou yang masih tegak di tempat semula bersama 5 orang anak buahnya.

Serentak para hadirinpun mulai bergerak maju ke tempat dara baju ungu yang tetap tegak di tengah gelanggang sambil pejamkan mata.

Sikapnya yang aneh itu malah menimbulkan keheranan para tokoh-tokoh itu. Mereka terpaksa berhenti. Tetapi sampai beberapa saat, dara itu tetap belum membuka mata. Hal itu membuat Ih Seng tak dapat bersabar lebih lanjut.

“Budak setan!” teriaknya dengan tertawa dingin, “Jangan main olok-olok!”- ia terus melangkah maju.

“Berhenti!” sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring dan menyusul sesosok tubuh loncat ke tengah gelanggang, menghadang jalan Ih Seng.

Ketika sekalian hadirin memandang orang itu, ternyata hanya seorang pemuda yang berumur kira-kira 19 tahun. Pemuda itu tegak berdiri dengan lintangkan tangan ke muka dada dan mata menghambur sinar kemarahan kepada sekalian tokoh.

Mendengar teriakan itu, si dara baju ungupun membuka mata.

lh Seng memandang pemuda itu dengan tajam. Sebagai seorang tokoh yang termahsyur sudah tentu ia murka sekali kepada pemuda yang berani mati menghadangnya itu.

“Budak yang cari mampus!” teriaknya seraya mengangkat kipas besi dan menaburnya.

Pemuda itu miringkan tubuh ke samping untuk menghindar lalu menampar dengan tangannya kanan.

Ih Seng terlalu memandang rendah pada pemuda itu. Tahu-tahu tubuhnya tersurut mundur sampai lima langkah….

Melihat sekali pukul, pemuda itu dapat mengundurkan Ih Seng yang terkenal bengis, dara baju ungu itu menutupi mulutnya yang tertawa dengan lengin baju. Sekalipun begitu, nadanya tetap terdengar bergemerincing laksana bunga mekar.

Sekalian tokoh-tokoh terlongong.

Kipas besi pedang perak Ih Seng seorang tokoh yang amat congkak. Bahwa dirinya dilempar oleh seorang anak muda yang tak terkenal di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, bukan kepalang malunya. Walaupun hal itu akibat dari rasa memandang rendah pada lawan, namun hal itu tetap suatu hinaan besar.

Laksana seekor harimau mencium darah, Ih Seng loncat menerjang. Tetapi pada saat tinjunya hendak berayun, tiba-tiba nada ketawa dara baju ungu itu berobah seperti ringkikan setan. Jantung Ih Seng seperti melonjak dan seketika tangannyapun lemas lunglai….

Sekalian yang hadir adalah tokoh-tokoh persilatan yang sudah termahsyur di dunia persilatan. Sepanjang hidup, mereka tentu sudah banyak berjumpa dengan gadis-gadis yang cantik rupawan. Pengalaman merekapun amat luas. Dalam menghadapi kecantikan si dara baju ungu yang gilang gemilang sekalipun, mereka tetap tak terpengaruh. Tetap tujuan mereka hendak merebut kitab pusaka dilaksanakan. Tetapi anehnya, gaya si dara tertawa sambil menutupi mulut itu, telah menggoncangkan kalbu sekalian hadirin. Semangat mereka serasa terbang dan nafsupun berkobar. Tertawa dara itu mengandung suatu kekuatan pemikat yang sukar dilawan, bagaikan khasiat arak yang memabukkan orang….

Hanya Han Ping karena berdiri membelakangi, maka tak melihat gaya yang menyengsamkan dari dara baju ungu itu. Begitu melihat Ih Seng mengulai tangan, cepat ia menyambar siku lengan kiri tokoh itu, lalu ditariknya. Tubuh Ih Seng menjorok ke muka.

Han Ping kurang pengalaman. Ia mengira tak mungkin semudah itu tokoh semacam Ih Seng dapat ditariknya ke muka. Tentulah orang itu sengaja menggunakan tipu muslihat, membiarkan dirinya ditarik agar begitu dekat dapat melakukan serangan secara tiba-tiba, Kuatir akan kemungkinan itu, Han Ping cepat menyurut kebelakang sembari mendorong balik.

Tenaga dorong itu membuat Ih Seng terlempar ke udara. Syukur dia cukup sakti. Di atas udara ia berjumpalitan dan melayang perlahan ke tanah. Sekalipun begitu, tetap ia terlempar dua tombak jauhnya.

Mimpipun tidak Han Ping bahwa pemimpin kaum persilatan wilayah Holam, Hopak, An-wi dan Shoa-tang, ternyata begitu tak berguna. Dengan penuh keheranan ia memandang ke sekeliling tokoh-tokoh yang mengepungnya. Tampak mereka terlongong-longong kesima. Dia makin heran dan tanpa merasa, berpalinglah ia kepada si dara di belakangnya. Dara itu sudah tak tertawa lagi tetapi tenang dan serius sikapnya.

Tepat pada saat Han Ping berpaling ke belakang itu, Kipas besi pedang perak Ih Sengpun sudah maju menerjang lagi. Sekalipun sudah dua kali menderita pil pahit dari Han Ping, tetapi ia tetap penasaran. Yang kesatu karena memandang rendah. Dan yang kedua kalinya, karena perhatiannya terpikat oleh sikap dara baju ungu itu. Dia tak percaya bahwa seorang anak muda yang baru berumur 18-19 tahun. dapat melawannya. Dan demi menjaga gengsinya sebagai tokoh yang diindahkan, ia tak mau menggunakan kipas besi lagi melainkan menyerang dengan tangan kosong. Pula ia tak mau menyerang secara menggelap. Begitu dekat, ia sudah berseru nyaring, “Budak, terimalah pukulanku ini!”

Tinju kanan menghantam ke arah dada dengan jurus Menjolok naga kuning. Ia gunakan sepenuh tenaga sehingga pukulannya menimbulkan deru tajam.

Adalah karena dua kali menghantam. Han Ping dapat mengundurkan orang maka iapun agak memandang rendah. Atas serangan yang ketiga kalinya itu, ia menangkis dengan tangan kiri saja. Pikirnya, kali inipun ia tentu dapat mengundurkan lawan.

Tetapi ternyata hasilnya tidak seperti yang disangka. Pada saat kedua tenaga saling berbentur. Han Ping segera rasakan sesuatu yang tak wajar. Buru-buru ia hendak menyalurkan tenaga murni untuk melawan namun sudah terlambat.

Han Ping terpental ke belakang sampai dua langkah.

Dengan pengalaman itu, masing-masing tak berani memandang rendah lawan lagi. Ih Seng menyadari bahwa pemuda itu memiliki ketangkasan yang hebat. Sekalipun pemuda itu dapat dipentalkan ke belakang, tetapi Ih Seng tak berani memburu, melainkan mundur dua langkah juga.

Jago kipas besi itu tegak terlongong-longong, benar-benar ia tak mengerti mengapa seorang pemuda yang masih begitu muda belia, memiliki tenaga dalam sedemikian hebat. Dalam pukulan yang dilancarkan tadi, ia telah menggunakan delapan bagian tenaga dalamnya. Maksudnya sekali pukul, biarlah pemuda itu hancur. Dengan demikian ia dapat melampiaskan penasarannya dan sekaligus dapat memulihkan mukanya di hadapan para tokoh persilatan.

Mimpipun tidak, bahwa peyakinannya selama 30 tahun, ternyata dapat ditangkis oleh pemuda itu. Ya, sekalipun pemuda itu tersurut mundur dua langkah tetapi jelas tak menderita luka apa-apa, Dan yang mengejutkan, pemuda itu jelas belum menggunakan seluruh tenaganya.

Keheranan Ih Seng itu tak terluput dari perhatian Ting Yan San dan Leng Kong Siau. Ketika di hotel Megah Ria di kota Lokyang, Leng Kong Siau pernah mengadu tenaga dengan Han Ping. Dan ia sudah mengetahui kesaktian pemuda itu. Diam-diam Leng Kong Siau sudah membayangkan. Jika lewat beberapa tahun lagi, pemuda itu tentu lebih hebat kepandaiannya dan bakal merupakan bencana di kemudian hari.

Iblis Leng Kong Siau tak dapat membiarkan hal itu. Timbullah pikirannya untuk melenyapkan pemuda itu. Maka ketika diluar desa Bik-lo-san berjumpa dengan Han Ping, ia segera akan turun tangan. Tetapi rencananya itu telah dihalangi oleh Ting Ling dengan siasat mengulur waktu. Dan karena memakan waktu lama dalam pembicaraan akhirnya sebelum ia sempat bertindak, muncullah, si orang aneh yang berwajah contrengan itu. Orang aneh itu selain memiliki ilmu silat yang aneh, pun tenaga dalamnya hebat sekali. Melihat gelagat, akhirnya Leng Kong Siau terpaksa angkat kaki.

Apa yang dibayangkan Leng Kong Siau ternyata berbukti. Dalam pertempuran dengan Ih Seng itu tadi, jelas kepandaian Han Ping maju pesat, “Ah, berbahaya”, demikian pikirnya. Seketika timbullah lagi nafsu membunuh anak muda itu.

Sepasang mata Ting Yan San yang berbentuk segitiga, pun menatap wajah Han Ping lekat-lekat. Diam-diam ia membatin, “Anak semuda itu mengapa sudah sedemikian hebatnya. Entah dari perguruan manakah dia?”

Walaupun ia pernah bertemu sekali dengan Han Ping tetapi waktu itu Han Ping menyaru sebagai kusir kereta dan mengenakan kedok muka. Sehingga saat itu ia tak kenal lagi siapa Han Ping,

Melihat gerak gerik Leng Kong Siau dan Ting Yan San yang hendak turun tangan kepada Han Ping itu, diam-diam Ca Giok kejut-kejut girang. Pikirnya, “Jika kedua tokoh itu sudah merencanakan hendak membunuh, sukar bagi Han Ping untuk lolos….”

Cin An Ki, kepala dari ke 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, diam-diam telah menetapkan rencana sendiri. Segera ia berseru kepada Ih Seng, “Saudara Ih, harap lekas menggeledah dara itu. Apakah dia benar-benar menyimpan kitab pusaka dari Lam-hay-bun. Kalau sampai orang-orang Bik-lo-san tiba kemari, urusan tentu akan runyam!”

“Saudara Cin benar”, Leng Kong Siau tertawa nyaring, “Jika mau menggeledah harap lekas saja!”

Dia sendiripuu segera melangkah maju ke tengah gelanggang.

“Bagus, bagus!” Ting Yan San tertawa sinis, “akupun ingin menambah ramai-ramai!”- Iapun segera mengikuti Leng Kong Siau.

Saat itu Han Ping masih berdiri di muka si dara, seolah-olah menjadi pelindung gadis itu. Leng Kong Siau. Ting Yan San dan ketiga jago dari Kim-leng masing-masing maju dari arah berbeda-beda. Diam-diam pemuda itu gelisah. Serangan dari berbagai jurusan itu dikuatirkan tak dapat dibendungnya.

“Hati-hatilah!” sekonyong-konyong dara baju ungu berseru memberi peringatan, “mereka hendak membunuhmu!”

Haa Ping berpaling. Dilihat sepasang mata dari Leng Kong Siau dan Ting Yan San masing-masing memancar sinar berapi-api kepadanya.

Tiba-tiba Han Ping mencium angin harum dan pada lain saat telinganya terngiang suara lembut, “Bawalah aku ke bawah karang di ujung barat gunung. Mereka tentu tak berani mengganggumu lagi!”

Han Ping berpaling. Ternyata dara itu sudah tak berada di tempat semula tetapi berada di sampingnya.

“Hm. sombong benar budak perempuan ini”, gerutu Han Ping dalam hati, “Jelas aku yang melindunginya mengapa ia berbalik hendak melindungi aku?”

Sekalipun begitu Han Ping menyahut juga, “Masih berapa jauh tempat itu?”

“Setelah keluar dari hutan ini tentu sudah kelihatan! Lebih kurang 5 li”, sahut si dara dengan nada dingin seperti menyesali Han Ping karena berani bertanya ini itu.

Han Ping makin penasaran atas sikap si dara yang tidak simpatik itu. Perlu apa harus membantu orang yang tak tahu berterima kasih. Pikirnya terus, berputar diri dan melangkah pergi.

“Saudara Ji, jangan takut, aku datang membantumu!” tiba-tiba Ca Giok berseru dan loncat di samping dara itu.

Melihat Han Ping berdiri jajar dengan si dara jelita, diam-diam timbul iri hati Ca Giok, Maka iapun lalu berseru dan loncat menghampiri.

Han Ping sebenarnya hendak pergi. Mendengar seruan Ca Giok, tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, pikirnya, “Baiklah, karena sudah terlanjur keluar membantu, tak boleh kepalang tanggung”

Ia batal pergi dan menghadapi lawan. Ia marah sekali melihat Ih Seng yang menyerbu dengan kipas besi.

“Mundur!” teriaknya seraya lepaskan sebuah hantaman kepada orang itu.

Pukulan itu dilambari dengan tenaga dahsyat. Ia tumpahkan kemarahannya kepada jago kipas besi itu.

Sesungguhnya setelah mengetahui kelihaian pemuda itu, Ih Seng tak berani memandang rendah lagi. Maka dalam penyerbuan ke arah si dara itu ia terus menggunakan kipas besi demi menjaga kemungkinan Han Ping mengganggunya.

Walaupun ia bergerak paling belakang, tetapi ternyata datangnya paling cepat. Begitu melihat Han Ping hendak tinggalkan si dara, secepat kilat ia terus mendahului menyerbu si dara. Tetapi tak diduga-duganya bahwa secara tiba-tiba Han Ping akan merobah keputusan dan berbalik lagi menghantamnya.

lh Seng benar-benar tersirap kaget ketika mengetahui pukulan Han Ping mengandung tenaga yang dahsyat. Buru-buru ia loncat ke samping. Tetapi ternyata terlambat. Dan pukulan Han Ping telah menyambar bahunya. Seketika jago she Ih itu terhuyung-huyung mundur sampai 6-7 langkah….

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekalian tokoh-tokoh yang berada disitu, yakni Imam pencabut nyawa Ting Yan San dan Leng Kong Siau. Mereka hentikan serbuannya.

Tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Ketiga jago dari Kim-leng yang menyerbu ke dalam hutan, serempak menerobos keluar lagi.

Ketika melihat Han Ping lontarkan pukulan dahsyat yang mengejutkan sekalian tokoh-tokoh, hati Ca Giok tak keruan rasanya. Diam-diam ia siap segenggam jarum Hong-wi-ciam dan terus ditaburkan ke arah ketiga jago Kim-leng itu.

Jarum Hong-wi-ciam atau Sengat tawon, halus seperti rambut dan sekali ditaburkan dapat menghambur berpuluh-puluh batang. Di waktu meluncur, jarum-jarum itu sedikitpun tak mengeluarkan suara apa-apa.

Ketiga jago Kim-leng itu termakan beberapa jaium. Dengan menanggung kesaktian hebat, mereka menerobos lari keluar dari hutan.

Sebenarnya Ca Giok itu seorang muda yang cerdik dan banyak akal. Setiap kesalahan, selalu ia berusaha untuk menimpakan pada lain orang. Jika tak terdesak sekali untuk membela diri, tak nanti ia mau menggunakan jarum yang seganas itu dan yang paling dibenci oleh kaum persilatan. Tetapi entah bagaimana, saat itu ia kehilangan ketenangan dan tanpa banyak pikir teius lepaskan jarum Hong-wi-ciam.

Han Ping berpaling ke arah Ca Giok, ujarnya, “Demi membela diriku yang suka usil campur tangan urusan lain orang, saudara telah menimbulkan keonaran. Sungguh membuat hatiku tak enak!”

Tiba-tiba terdengar suitan tajam memecah udara dan serangkum hawa keras melandanya dari belakang. Jelas seseorang telah menyerangnya secara menggelap, Tetapi Han Ping seorang pemuda yang berdarah panas. Hatinya masih diliputi mau menang sendiri. Tahu bahwa serangan dari belakang itu dahsyat sekali. namun dia tak mau menghindar. Dengan mengempos semangat. Ia kokohkan kuda-kuda kakinya dan secepat kilat berputar tubuh terus menyongsong serangan itu.

Ketika memandang ke muka, tampak Leng Kong Siau dan Ting Yan San tegak berjajar pada jarak beberapa langkah. Wajah kedua tenang sekali sehingga Han Ping agak bingung untuk menduga siapa yang menyerangnya tadi.

“Hubungan kita sudah seperti saudara, mengapa engkau masih berlaku begitu sungkan!” tiba-tiba Ca Giok menyelutuk dengan tertawa nyaring.

Mendengar pernyataan itu timbullah pikiran Han Ping. Kalau memang Ca Giok bersedia membantunya, bukankah dapat ia ajak untuk bersama sama mengantarkan dara biju ungu itu ke ujung gunung sebelah barat. Dan jika dara itu menghendaki demikian, ia duga tentulah di tempat itu telah bersembunyi orang-orang Bik-lo-san.

“Karena saudara bersedia membantuku membawa nona itu lolos dari kepungan, harap saudara yang melindunginya dan aku yang akan membuka jalan!” serunya kepada Ca Giok lalu dorongkan kedua tangannya ke muka dalam jurus Mendorong gunung menimbun laut.

Beberapa tokoh yang menghadang jalan itu, terpaksa menyisih ke samping karena gentar akan kedahsyatan pukulan pemuda itu. Dan begitu jalan terbuka, Han Ping segera menyusup maju. si darapun tak diperintah, terus mengikuti di belakangnya.

Sambil kedua tangan siapkan jarum Hong-wi-ciam, Ca Giok berteriak nyaring “Barang siapa berani mengejar, silahkan mencoba jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca!”

Jarum Sengat tawon itu memang termahsyur ganas. Selain orang yang berilmu tinggi dan memiliki lwekang sakti, setiap orang persilatan tentu akan runtuh nyalinya mendengar jarum beracun itu.

Ting Yan San dan Leng Kong Siau diam-diam geli melihat ketiga anak muda itu menuju ke sebelah barat, Pikirnya, “Jelas karang gunung di sebelah barat itu buntu. Mereka tentu terputus jalan dan mudah kita sergap, Sekarang biarlah mereka ke sana, tak perlu dihalangi!”

Kedua tokoh itu tak mau turun tangan ikut-ikut menghadang. Mereka hanya mengikuti ketiga pemuda itu menuju ke barat. Karena kedua tokoh itu diam saja, sudah tentu sekalian orangpun tak berani bertindak lebih dulu. Dengan demikian, diluar persangkaannya, dapatlah Han Ping mengantar ke tempat tujuan yang dikehendakinya.

Kiranya di antara kawanan jago silat yang mengepung itu, hanya Leng Kong Siau, Ting Yan San, Ih Seng, Cin An Ki dan beberapa orang saja yang berkepandaian tinggi, Begitu pula Ih Seng dan Cin An Ki paling banyak sendiri membawa rombongan anak buah. Oleh karena itu, dengan tidak bergeraknya beberapa tokoh itu, sekalian orangpun tak berani bertindak sembarangan.

Begitu keluar dari hutan menuju ke barat, Han Ping memang melihat sebuah karang yang menjulang curam. Ia berpaling ke arah si dara, Baru ia hendak membuka mulut, dara itu sudah mendahului, “Tak perlu bertanya, memang puncak karang itu!”

Dara itu cerdas dan tangkas sekali. Begitu melihat Han Ping berpaling. Cepat ia sudah dapat menduga apa yang dikandung hati pemuda itu.

Han Ping terkesiap, ia berpaling ke muka lagi dan lanjutkan langkah. Sedang Ca Giok tetap mengawal di belakang si dara. Beberapa kali ia lontarkan pandangan ke arah rombongan jago-jago yang mengikuti pada jarak setombak jauhnya di belakang.

Kira-kira satu li jauhnya, tiba-tiba dara baju ungu itu berseru “Perlahan sedikitlah!”

Ketika berpaling, Han Ping melihat dara itu tertinggal setombak di belakang. Diam-diam ia kerutkan dahi. Ia tak puas dengan nada si dara yang congkak tetapi entah bagaimana, ia menurut juga permintaan dara itu, Terpaksa ia lambatkan langkahnya.

Ca Giok hanya terpisah setengah meter dari si dara baju ungu. Dilihatnya dara itu merah mukanya dan agak terengah-engah, menunjukkan sikap seorang gadis yang lemah. Serentak timbullah rasa kasihannya.

“Apakah engkau tak dapat berjalan?” tegumya.

Tanpa berpaling kepala, dara itu menyahut, “Karena mereka tak mengejar perlu apa aku harus terburu-buru?”

Ca Giok tak dapat menjawab lagi. Tetapi diam-diam ia berpikir, “Dahulu dalam pertemuan besar di gunung Heng-san, di hadapan seluruh tokoh-tokoh persilatan Tionggoan. Lam-hay Ki-soh telah mendebat ilmu pelajaran silat dari Tionggoan sehingga tokoh-tokoh persilatan itu menjadi patah hati. Sejak itulah maka ilmu pelajaran dari Lam-hay-bun dan kitab pusakanya menjadi buah bibir dunia persilatan. Sebagai anak murid perguruan Lam-hay-bun, dara ini tentu memiliki kepandaian yang sakti. Mengapa baru berjalan beberapa langkah saja, ia sudah tampak begitu payah? Apakah ia memang sengaja pura-pura bersikap begitu?”

Diam-diam Ca Giok melirik. Dilihatnya dara itu tenang sekali. Sedikitpun tak mengunjuk ketakutan. Dugaan Ca Giok makin keras.

Para jago-jago yang mengikuti ketiga pemuda itu, pun lambatkan langkahnya. Mereka tetap menjaga jarak setombak jauhnya dari ketiga anak muda itu.

Perjalanan sedekat itu, jika Han Ping sendiri, hanya memerlukan waktu sebentar saja. Tetapi karena harus mengawal si dara, lama sekali baru ia dapat mencapai karang gunung itu.

Memandang ke atas, puncak karang yang menjulang itu terdapat sebuah cekung yang dalamnya hampir 5 tombak dan lebar setombak. Seperti gua bukan gua, lembah bukan lembah. Kecuali cekung karang itu, tiada lain tempat lagi yang dapat dibuat meneduh.

Diam-diam Han Ping juga dibuatnya, “Aneh, tempat ini tiada dapat menembus ke lain tempat. Dan tiada tampak orang-orang Bik-lo-san sama sekali. Tetapi mengapa dia minta diantar kemari?”

Dara itu melirik sebentar ke arah Han Ping lalu menyuruhnya, “Carikan ranting-ranting bambu, mereka tentu pergi!”

Han Ping tertegun, ujarnya, “Baiklah! Harap saudara Ca melindunginya, aku hendak mencari ranting bambu. Setelah itu baru kita lanjutkan perjalanan lagi!”- ia berputar diri terus melangkah ke arah kiri.

Mata dara itu berkeliaran memandang Ca Giok, ujarnya, “Ambillah batu-batu di sekitar tempat ini kemari!”

Sejak kecil, Ca Giok seorang anak yang manja. Ia hanya tahu memerintah bujang-bujangnya tak pernah diperintah. Sudah tentu janggal telinganya mendengar perintah dara itu. Tetapi entah bagaimana, ia menurut juga untuk mengumpulkan batu-batu itu dan ditaruh di samping si dara.

Oleh karena melihat dara itu tak bergerak kemana-mana, para jago-jago itupun tetap tinggal menjaga di tempat masing-masing.

Tak berapa lama Han Pingpun muncul membawa seonggok batang bambu. Si dara menyatakan sudah cukup. Lalu ia menjemput dua batang bambu dan ditancapkan ke tanah.

Han Ping tak tahu apa maksud dara itu. Ia hanya mengawasi di samping saja. Tetapi lain dengan Ca Giok. Begitu memperhatikan letak bambu itu, segera ia menyadari bahwa dara itu tengah membentuk sebuah barisan. Tetapi ia sendiri tak tahu apa nama barisan itu. Karena susunannya bukan seperti barisan Pat-kwa, bukan pula mirip Kiu-kiong-tin.

Selesai menancapkan bambu, dara itu mengambil batu dan ditancapkan pada sela-sela bambu satu dengan bambu lain. Selesai itu, ia membawa empat batang ranting, menghampiri kedua pemuda itu, tanyanya, “Apakah kalian berdua kepingin masuk ke dalam barisan?”

Sahut Han Ping, “Jajaran batang bambu dan batu-batu itu, masakan dapat merintangi orang? Karena sudah berjanji hendak melindungimu, tak nanti kita tinggalkan setengah jalan. Tak kulihat seorangpun orang-orangmu berada disini. Selagi hari masih siang, marilah kami antarkan engkau pulang ke Bik-lo-san!”

Dara baju ungu itu gelengkan kepala, “Datang memang mudah tetapi perginya sukar. Asal aku pergi selangkah saja. Tentu akan timbul pertempuran besar. Sekalipun kalian sakti, tak mungkin dapat memenangkan sekian banyak orang. Kalian tak kenal padaku tetapi kalian telah membantu diriku. Aku merasa berterima kasih. Jika kalian suka bersama aku berada dalam barisan, silahkan masuk. Tetapi jika mau pergi, akupun tak dapat mencegah….”- dalam pada berkata-kata, ia tancapkan dua batang bambu lagi ke tanah.

“Karena nona yakin bambu dan batu itu mampu menolak musuh, akupun terpaksa minta diri saja”, kata Han Ping terus berputar diri dan melangkah ke muka.

Sesungguhnya Ca Giok ingin menemani dara itu di dalam barisan. Tetapi demi melihat sinar mata para tokoh-tokoh berapi-api menumpah kepadanya dan Han Pingpun pergi, ia gentar juga. Jika saja barisan Bambu-batu itu tak dapat menahan serbuan mereka, jelas ia akan ikut celaka. Ah, lebih baik ia tinggalkan tempat itu saja.

“Karena nona percaya barisan ini dapat menolak musuh, kamipun tiada gunanya lagi berada disini….” katanya kepada dara itu. Lalu dengan suara nyaring ia berseru kepada Han Ping, “Saudara Ji, tunggulah, aku juga ikut pergi!”

Han Ping berhenti dan berpaling, “Jika saudara Ca ingin tinggal, silahkanlah, Aku akan pergi dulu….”

Tiba-tiba ia teringat akan keadaan Ting Ling. Kedua nona itu tentu menunggu dengan cemas. Karena membantu si dara baju ungu, sampai ia tertahan disitu beberapa lama, Entah bagaimana dengan Ting Ling yang terluka itu.

Pada saat itu Ca Giokpun sudah loncat ke sampingnya. Melihat Han Ping termenung-menung seperti merenungkan sesuatu, bertanyalah Ca Giok, “Apakah yang saudara pikirkan? Jika saudara ingin tinggal dalam barisan menemani si dara baju ungu itu, akupun bersedia menunggu disini”.

Ca Giok benar-benar tersengsam dengan kecantikan dara baju ungu itu sehingga ia cemburu pada Han Ping yang dikiranya tentu sayang meninggalkan si jelita itu. Tapi karena tadi ia sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan Han Ping, maka ia terpaksa gunakan kepandaian lidahnya untuk memutar omongan sedemikian rupa. Mempersilahkan Han Ping masuk sedang ia akan menunggu diluar saja. Memang licinlah Ca Giok itu….

Han Ping gelengkan kepala tertawa hambar, “Aku tengah mempertimbangkan, apakah keadaan nona Ting Ling yang terluka itu, perlu kita beritahukan pada pamannya?”

Walaupun kedua pemuda itu bicara dengan perlahan tetapi telinga Ting Yan San tajam sekali, ia dapat menangkap pembicaraan mereka.

Maju selangkah, berkatalah jago she Ting itu, “Siapakah yang kalian katakan itu?”

Ca Giok terseuyum, sahutnya, “Pada saat bertemu locianpwe, seharusnya kami memberitahuKan kepada locianpwe tentang nona Ting Ling yang terluka parah karena diserang senjata beracun oleh orang. Keadaan nona Ting benar-benar berbahaya….”

Ia sengaja berhenti sebentar untuk menyelidiki reaksi Ting Yan San.

Tetapi Ting Yan San si Imam pencabut nyawa itu juga seorang rase yang licin, Ia sengaja tenang-tenang saja. Beberapa saat kemudian baru ia bertanya dengan nada hambar, “Siapakah manusia yang bernyali begitu besar, berani melukai putri dari Lembah Raja setan?”

“Luka nona Ting Ling amat parah sekali, apakah locianpwe tak menjenguknya?” tanya Han Ping.

Mata jago tua itu berkeliaran memandang sekalian hadirin. Akhirnya menumpah pada diri si dara baju ungu. Dengan langkah gemulai, dara itu melangkah ke dalam karang gunung.

Ca Giok tahu Ting Yan San tak dapat melepaskan hasratnya untuk merebut kitab pusaka Lam-hay-bun. Diam-diam Ca Giok menimang, “Setan tua Ting ini berilmu tinggi, jika berada disini, menambah bahaya bagi dara itu. Lebih baik kuperolok supaya dia mau menjenguk anak keponakannya. Dengan demikian dapat mengurangkan bahaya disini”.

Entah bagaimana Ca Giok sudah jatuh hati pada dara cantik itu. Tanpa disadari ia sudah berusaha untuk kepentingan dara itu.

“Nona itu telah menderita pukulan lwekang sakti dari seseorang”, ia berkata kepada Ting Yan San, “Badannya panas sekali, jiwanya dalam bahaya. Bersama saudara Ji, aku telah mencari penyerang itu, tetapi diluar dugaan kami tiba disini….”

Kata-kata pemuda itu benar-benar telah membuat Ting Yan San gugup. Sekalipun dia seorang yang ganas dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, tetapi dalam hati kecilnya ia amat menyayangi kedua kemanakannya itu. Terutama terhadap Ting Ling ia lebih menyayangi. Tetapi karena memang perangainya dingin dan angkuh, ia tak mau mengunjukkan rasa kesayangannya itu kepada sang keponakan. Dan karena sikapnya yang dingin itu, Ting Ling maupun Ting Hong menganggap pamannya itu memperlakukan mereka seperti memperlakukan orang luar saja.

“Dimanakah mereka sekarang ini?” seru Ting Yan San dengan tegang.

“Dalam sebuah gua tak jauh dari sini”, sahut Ca Giok.

Sambil gentakkan kebut hudtim, Ting Yan San segera minta kepada Ca Giok mengantarkannya ke tempat Ting Ling.

Dengan sikap yang menghormat Ca Giok segera meminta jago she Ting itu berjalan lebih dulu.

Ting Yan San sejenak memandang ke arah sekalian tokoh-tokoh lalu menatap Han Ping. Pada saat ia hendak membuka mulut, Ca Giok sudah mendahului, “Locianpwe, waktu sangat berharga, silahkan mengikuti kami!”- ia memberi isyarat mata kepada Han Ping. Kedua pemuda itu segera menuju ke gua tempat kedua nona Ting.

Sekalian tokoh memang heran atas sikap Ting Yan San yang mendadak hendak tinggalkan gelanggang mengikuti kedua pemuda itu. Padahal saat itu, suasana sedang mencapai puncak ketegangan. Sekalian tokoh sedang bersiap-siap menyerbu si dara….

Ketika berpaling dan melihat Ting Yan San mengikuti, Ca Giok cepatkan langkahnya. Sebagai seorang yang cermat, ia sudah dapat memahami seluk beluk jalanan di gunung itu. Dengan berloncatan dalam waktu yang singkat saja ia sudah tiba di gua tempat persembunyian kedua nona itu. Sambil menunjuk ke gua, ia berseru, “Nona Ting berada dalam gua ini, silahkan locianpwe masuk!”

Sejenak Ting Yan San memperhatikan keadaan di sekeliling tempat lalu baru kemudian ia melangkah masuk.

Saat itu Ting Hong gelisah setengah mati. Keadaan tacinya makin payah, napasnya makin lemah. Sekonyong-konyong ia melihat sesosok tubuh kurus tinggi menyelinap masuk. Bermula ia terkejut sekali tetapi setelah melihat siapa yang datang, berlinang-linanglah airmatanya, “Paman….”

Tetapi Ting Yang San tetap bersikap dingin. Ia tak menghiraukan dara itu, melainkan menjamah dahi Ting Ling. Panasnya tinggi sekali. Kemudian ia memeriksa denyut pergelangan tangan, pun lemah sekali. Ting Ling dalam keadaan tak sadar.

“Tacimu parah sekali lukanya! Siapakah yang melukainya? Lekas bilang!” serunya kepada Ting Hong.

Segera Ting Hong menuturkan peristiwa tacinya dilukai oleh si wanita baju hijau.

“Panggul tacimu dan ikutlah aku!” bentak Ting Yan San dengan bengis.

Ting Hong melakukan perintah itu lalu mengikuti pamannya keluar gua.

“Bagaimanakah luka nona Ting? Apakah menurut pendapat locianpwe, nona Ting masih ada harapan ditolong?” seru Ca Giok demi melihat Ting Yan San keluar dari gua.

“Sau-pohcu paham sekali akan jalanan disini. Maukah sekali lagi engkau menjadi penunjuk jalan?” tanya Ting Yan San.

Ca Giok terkejut namun pura-pura ia bersikap tenang, sahutnya, “Sesungguhnya baru pertama kali ini aku datang kemari. Tetapi karena locianpwe yang memberi perintah, akupun tak berani nolak. Tetapi entah hendak menuju kemanakah locianpwe ini?”

Sepasang mata Ting Yan San memancar api dan hidungnya mendengus. Ia berteriak keras, “Aku hendak mencari dan membikin perhitungan dengan si tua bangka Cong To!”

Baru Ca Giok hendak berkata, Han Ping sudah mendahului, “Saat ini kurang tepat untuk mencari Cong locianpwe. Menurut pendapatku yang bodoh, jika locianpwe merasa tak dapat mengobati luka nona Ting, rasanya lebih baik kita melakukan pengejaran pada wanita yang telah melukainya itu!”

Gundu mata Ting Yang san membalik, sahutnya bengis, “Apa yang kulakukan, apa sangkut pautnya dengan engkau? Harap jangan banyak omong!”

Han Pingpun seorang pemuda yang berhati keras. Sudah tentu tak taham mendengar kata-kata yang begitu angkuh. D engan busungkan dada ia menyahut lantang, “Aku sendiripun pernah menderita luka dari Cong locianpwe. Dan untuk itu aku harus beristirahat di dalam gua. Banyaklah kedua nona Ting itu membantu aku. Bahwa sekarang nona Ting Ling menderita luka parah, sudah tentu aku tak dapat berpangku tangan. Dan kini setelah locianpwe bertemu dengan nona Ting, tanggung jawabkupun sudah selesai. Maaf, akupun hendak minta diri,” Han Ping terus berputar diri dan melangkah pergi.

Diam-diam Ca Giok terkejut. Ia sungkan untuk meninggalkan tempat itu, mengingat hubungan baik Lembah Raja setan dengan marga Ca. Tetapi pada saat itu, ia masih membutuhkan tenaga Han Ping.

Tengah dia gelisah mencari daya, tiba-tiba Ting Yan San berseru memanggil Han Ping, “Hai, anak muda, kembalilah, aku hendak bicara!”

Sesungguhnya, hati kecil Han Ping tak tega meninggalkan Ting Ling yang parah itu. Tetapi karena sudah terlanjur bilang, terpaksa ia harus pergi. Mendengar panggilan Ting Yan San itu, cepat ia lari menghampiri dan berdiri di atas karang.

“Silahkan locianpwe memberi pesan,” serunya.

Imam pencabut nyawa itu seorang yang keras dan ganas. Terhadap orang, ia tak pernah berkata merendah. Begitu tak menyukai sikap orang, ia terus turun tangan menghantamnya. Hanya terhadap Han Ping, karena diam-diam mengagumi kegagahan dan bakat pemuda itu, ia mau bicara dengan ramah.

“Aku si orang tua ini sudah kenyang berkecimpung dalam dunia persilatan. Bagaimana watak dan pribadi, mungkin engkau sudah mendengar. Kulihat engkau berbakat bagus dan cerdas. Tetapi belum mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan- Aku sayang akan bakat kepandaianmu maka dengan kesungguhan hati aku hendak memberi sepatah dua patah kata nasehat. Engkau mau menerimanya atau tidak, terserah saja.

Kini banyak bermunculan jago-jago muda yang suka menonjolkan diri, memamerkan kepandaian, suka main jago-jagoan. Tak menghiraukan undang-undang negara dan peraturan persilatan. Mereka gemar menimbulkan onar, mengikat permusuhan, mengagungkan diri sehingga akhirnya menemui kebinasaan. Mereka bernafsu besar, tetapi berkepandaiankecil. Ingin memeluk gunung, tetapi tangan tak sampai dan akhirnya hanya menemui kesudahannya yang mengenaskan. Jika tidak cacad seumur hidup tentu mati tak terurus. lnilah yang hendak kuhaturkan kepadamu, anak muda. Engkau mempunyai harapan besar dan hari depan yang gemilang. Harap engkau suka menjaga diri dan tahu menempatkan diri. Pepatah mengatakan, “Bahagia dan Celaka itu. orang yang akan menentukan sendiri. Dalam hal itu perbuatan kitalah yang akan menentukan apa yang kita terima. Begitulah yang hendak disampaikan kepadamu. Nah, sampai berjumpa lain waktu!”

Habis berkata jago dari Lembah Raja setan itu berputar tubuh terus lari menyusul Ting Hong yang memanggul tacinya.

“Nasehat yang berharga dari locianpwe itu akan kuukir dalam sanubariku. Akan kujadikan pedoman dalam setiap langkahku. Saat ini Cong locianpwe sedang mengobati muridnya dalam biara. Jika locianpwe kesana hendak membuat perhitungan, bukankah akan memberi kesan yang tak baik bagi kewibawaan locianpwe? Karena menantang oraag yang sedang menderita, tentu dikatakan orang, kurang layak!”

Ting Yan San berpaling dan memandang Han Ping dengan marah, “Sudah kukatakan kepadamu, hal ini tiada sangkut pautnya dengan engkau. Apakah engkau belum mengetahui watakku!”

Han Ping mendengus, “Pada waktu di hotel Megah Ria tempo hari, aku sudah pernah menerima pelajaran locianpwe!”

Mendengar kata-kata hotel Megah Ria, seketika tahulah Ting Yan San kemana arah kata-kata Han Ping itu.

“Jika engkau tak lekas tinggalkan tempat ini aku akan bertindak diluar batas!” serunya bengis.

“Langit di atas. Bumi di bawah. Orang bebas hendak pergi atau datang. Jika locianpwe memang bermaksud begitu, terpaksa akupun akan melayani!”

Sepasang Mata Ting Yan San memancar api. Ia hendak maju menghampiri tetapi sekonyong-konyong Ting Hong menjerit keras. Sekalian orang terkejut dan buru-buru menghampiri. Ternyata Ting Ling rebah di dada Ting Hong. Wajahnya pucat, tangan melentuk. Dari mulutnya mengalir darah anyir membasahi dada Ting Hong.

Karena dipanggul keluar oleh adiknya dan terhembus angin segar, Ting Ling tersadar dari pingsannya. Tetapi saat itu ia mendengar pamannya cekcok dengan Han Ping. Ia gugup. Seketika darahnya meluap keluar dan pingsan lagi.

Ting Yan San yang sudah naik darah, karena mendengar jeritan Ting Ling, cepat berputar diri dan menghampiri nona itu. Ditutuknya dua buah jalan darah Ting Ling kemudian berkata kepada Ting Hong “Tacimu menderita luka begini berat, mengapa tak engkau bawa pulang tetapi malah engkau bawa keluyuran kemana-mana?”

Selain berangasan, Ting Yan San juga seorang pemarah. Melihat Ting Ling muntah darah, ia tumpahkan kemarahannya kepada Ting Hong.

Biasanya Ting Hong memang takut kepada pamannya yang bengis itu. Apalagi saat itu Ting Yan San deliki mata kepadanya. Dia makin takut sehingga menyurut mundur dua langkah.

“Menilik luka taci yang begitu parah, aku kuatir tak keburu mencapai Lembah kita, maka….”

Sambil memandang dingin-dingin ke arah Han Ping dan Ca Giok, Ting Yan San cepat menukas, “Maka engkau lantas menurut kata-kata mereka, menjaga tacimu dalam gua ini….”

Tiba-tiba ia berteriak sengit sekali, “Tacimu tidak mati di tangan wanita baju hijau itu tetapi di tanganmu….”

Sekonyong-konyong Han Ping loncat ke muka Ting Hong, serunya kepada Ting Yan San, “Karena aku sudah berjanji hendak mencari wanita baju hijau itu untuk mencarikan obat nona Ting Ling. Biar bagaimanapun juga, aku pasti akan menyelesaikan hal itu. Harap locianpwe jangan mendakwa yang tidak-tidak kepada nona Hong. Kalau benar nona Ling mati karena keterlambatan nona Hong membawa pulang, aku sanggup mengganti dengan jiwaku….”

Ting Yan San tertawa dingin, “Ucapan seorang lelaki kokoh kekar seperti gunung. Pada saatnya, jangan engkau menyesal!”

“Sepatah kata, seribu tail emas harganya. Harap locianpwe jangan kuatir!” sahut Han Ping.

Melihat sikap melindungi yang ditunjukkan Han Ping, dua tetes airmata menitik dari kelopak mata Ting Hong. Hatinya besar, nyalinya tumbuh kembali.

“Harap sam siok jangan menumpahkan kemarahan padaku lagi. Jika taci Ling sampai mati, akupun tak mau hidup lagi. Aku akan bunuh diri di hadapan jenazah taci!” katanya kepada Ting Yan San.

Ting Yan San tertegun, serunya, “Bagus, bagus!” Ia berputar tubuh terus ayunkan langkah.

Saat itu Ting Hong merasa hampa. Dia tak menghiraukan segala urusan di dunia lagi. Berpaling ke arah Han Ping ia tertawa rawan. Airmatanya membanjir turun. Memanggul tacinya, ia segera berjalan mengikuti pamannya.

Han Pingpun berpaling kepada Ca Giok, lalu ayunkan langkah mengikuti dibelakang Ting Hong. Ca Giok terpaksa mengikuti.

Walaupun tampaknya tenang, tetapi sesungguhnya Ting Yan San cemas sekali memikirkan keadaan gadis kemenakannya itu.

Dia berjalan tanpa sadar dan tahu-tahu tiba lagi di tempat barisan Bambu batu dari si dara baju ungu tadi. Seketika timbullah keinginannya untuk merebut kitab pusaka itu lagi.

Tetapi ketika memandang keadaan barisan itu, tersiraplah darahnya. Dilihatnya dara baju ungu itu tengah duduk di atas sebuah batu karang besar di tepi barisan, sambil tertawa hina melihat Leng Kong Siau dan Ih Seng sedang terkurung dalam barisan.

Juga Han Ping merasa aneh. Mengapa tokoh-tokoh macam Leng Kong Siau dan Ih Seng sampai tak mampu keluar dari barisan semacam itu.

Memang sepintas pandang. Barisan itu hanya seperti anak-anak bermain-main saja. Batang bambu ditancapkan disana sini dengan diberi gunduk batu-batu. Sama sekali tak tampak sesuatu yang mencurigakan. Tokoh-tokoh semacam Leng Kong Siau dan Ih Seng dengan dua tiga kali loneatan saja tentu sudah dapat menerobos keluar.

Tetapi apa yang terjadi pada saat itu, ternyata mengejutkan orang. Kedua tokoh itu tetap terkurung dalam barisan itu.

Setelah mengawasi barisan beberapa jenak, berkatatah Ting Yan San kepada Ca Giok, “Ayahmu tersohor mahir dalam ilmu barisan dan ilmu siasat. Rasanya kaupun mewarisi kepandaian itu bukan?”

Ca Giok tersenyum, ujarnya, “Aku seorang bodoh, sukar menyamai kepandaian ayah. Sekalipun ayah mengajarkan juga ilmu itu, tetapi yang kumengerti hanya kulit luarnya saja”.

“Ah, di dunia persilatan siapakah yang tak kenal akan kepandaian ilmu barisan dari marga Ca? Silahkan mengamat-amati barisan bambu dan batu dari anak perempuan itu. Apakah terdapat jalan untuk membobolkannya. Jika engkau menemukan jalan itu, sekarang juga kita boleh menerjangnya dan memaksa anak perempuan itu menyerahkan kitab pusaka. Leng loji dan Ih Seng sudah terkurung, hanya tinggal Cin An Ki seorang. Tak nanti dia mampu merintangi maksudku mendapatkan kitab pusaka itu. Walaupun masih ada lain-lain tokoh yang berjumlah besar, tetapi mereka tak berguna semua. Kesempatan sebagus ini, sukar untuk kita peroleh lagi”.

Ca Giok mengawasi barisan itu dengan seksama. Ia merasa barisan itu berbentuk seperti Ngo-heng-tin (barisan Lima Unsur). Tetapi di tengahnya ditambah dengan beberapa gunduk batu. Tak tahu ia apa kegunaan batu itu.

Melihat pemuda itu terlongong memandang barisan. Diam-diam Ting Yan San membatin, “Orang menyohorkan pemuda itu mahir dalam ilmu barisan. Ah, jika tak kujanjikan sesuatu kepadanya, dia tentu tak mau memberitahukan sejujurnya”.

“Bagaimana, apakah sau pohcu sudah mengetahui rahasia barisan itu?” tanyanya kepada Ca Giok.

Ca Giok gelengkan kepala, “Memang mengetahui sedikit rahasia masuknya. Barisan itu bentuknya mirip barisan Ngo-heng-tin, tetapi berbeda dengan Ngo-heng-tin yang kebanyakan. Sampai saat ini, aku belum dapat meneropong keseluruhannya….”

Ting Yan San tertawa hambar, “Sau pohcu, jika engkau dapat menemukan jalan masuk dari barisan itu, aku tentu takkan melupakan jasamu. Setelah mendapatkan kitab pusaka itu, kita bagi dua, masing-masing separuh bagian”.

“Ah, locianpwe terlalu sungkan. Mana aku berani mengharapkan hal itu”, kata Ca Giok merendah.

“Sepanjang hidup, Aku tak pernah bohong dan tak pernah menjilat kata-kataku lagi!”

“Hubungan antara Lembah Raja setan dengan marga Ca, adalah seperti bibir dengan gigi. Masakan aku berani menyangsikan locianpwe?” sahut Ca Giok.

Ting Yan San mendengus, katanya, “Anak muda, jangan banyak cakap yang tak berguna. Saat ini waktu berharga sekali. Lekas antarkanlah aku masuk ke dalam barisan itu!”

Ca Giok tertegun, pikirnya, “benar-benar sampai detik ini aku belum dapat mengetahui rahasia barisan itu. Jika nekad masuk, dikuatirkan akan menemui nasib seperti Leng Kong Siau dan Ih Seng. Tentu tak dapat keluar lagi. Tetapi kalau kukatakan kesulitanku ini, dia tak mau percaya….”

Karena hal itulah maka sampai beberapa jenak Ca Giok diam saja.

Sekonyong-konyong Ting Yan San melesat ke samping Ca Giok terus mencengkeram siku kanan pemuda itu, katanya dengan tertawa. Mari kita bersama masuk! Dan jangan pikiranmu terganggu memikirkan diriku….”

Ca Giok tertawa hambar, “Karena locianpwe tak percaya pada omonganku, jika sampai terkurung tak dapat keluar, harap jangan salahkan aku”.

Tetapi Ting Yan San tetap tak percaya. Ia tahu ayah Ca Giok seorang ahli ilmu barisan. Masakan putranya tak pandai ilmu itu.

“Asal engkau mau menemani aku, tak apalah kalau nanti sampai terkurung”, katanya tertawa seraya menyeret pemuda itu diajak masuk ke dalam barisan.

Memang walaupun tidak menyamai ayahnya, tetapi karena sejak kecil telah mempelajari ilmu itu dengan tekun, Ca Giok memiliki dasar ilmu pengetahuan itu dengan luas. Sekalipun ia tak tahu apa guna tumpukan batu-batu itu, namun ia sudah mengetahui bahwa bambu-bambu yang ditancapkan si dara itu merupakan bentuk barisan Ngo-heng-tin, Maka ia tak gugup waktu diseret Ting Yan San ke dalam barisan.

Ting Yan San seorang rase tua yang berpengalaman. Sambil menarik si pemuda, diam-diam ia memperhatikan perobahan air muka Ca Giok. Ketika melihat wajah pemuda itu tenang-tenang saja, diam-diam ia puas. Tentulah pemuda itu sudah mengetahui rahasia barisan. Demikian dugaannya.

Sebenarnya pada saat Ting Yan San mencengkeram lengan Ca Giok, Han Ping sudah mau bergerak menolong. Tetapi melihat Ca Giok tenang-tenang saja, diapun batalkan niatnya.

Tiba-tiba Ting Hong menghela napas dan melangkah ke tempat Han Ping. Ujarnya rawan, “Mungkin taciku sudah tiada harapan lagi….”

Han Ping berpaling memandang ke arah Ting Ling yang berada dalam pelukan Ting Hong. Tampak wajah nona itu pucat lesi, mata memejam dan napasnya lemah sekali. Han Ping kerutkan dahi.

“Jika taci meninggal, kami berduapun takkan hidup juga,” Ting Hong tersenyum redup.

“Benar”, desus Han Ping, “aku telah berjanji kepada pamanmu, jika dia sampai meninggal, akupun akan menebus dengan jiwaku juga”.

“Juga aku begitu, Taci mati, aku tak mau hidup lagi”, sahut Ting Hong

Baru Han Ping hendak bicara, tiba-tiba terdengar Ting Yan San memekik keras. Cepat ia berpaling. Ternyata saat itu Ting Yan San menyeret Ca Giok masuk ke dalam barisan.

Pada saat hendak masuk, Ting Yan San bersemangat sekali. Tetapi setelah masuk ke dalam barisan, tiba-tiba ia seperti seorang tawanan yang kebingungan. Tetapi ia masih tetap mencekal lengan Ca Giok.

Beberapa jenak kemudian, tiba-tiba Ca Giok mengisar tiga langkah ke sebelah kanan.

Sedang Ting Yan San yang mencurahkan seluruh perhatian, begitu melihat Ca Giok bergerak, diapun segera gerakkan kakinya. Gerak geriknya mirip dengan orang buta yang mengandalkan ketajaman telinganya.

Sudah tentu Han Ping heran, Pikirnya, “Hanya beberapa batang bambu dan beberapa butir batu saja, masakan mempunyai pengaruh yang sedemikian dahsyat. Biarlah kucobanya sendiri….”

Han Pingpun ayunkan langkah menuju barisan itu.

“Engkoh….mau kemana engkau?” Ting Hong berseru cemas.

“Tunggu dan jagalah tacimu diluar sini, aku hendak melihat-lihat barisan itu!” sahut Han Ping.

“Marga Ca termahsyur pandai dalam ilmu barisan. Pamanku telah mengajak Sau pohcu masuk ke dalam barisan itu. Mereka tentu tak sampai menderita sesuatu. Mengapa engkau hendak masuk seorang diri?”

“Karena aku tak percaya barisan bambu dan batu itu mampu mengurung orang. Apalagi aku tak mau masuk ke bagian yang dalam. Asal sudah beberapa langkah, aku akan keluar lagi!” sahut Han Ping.

“Tetapi kalau engkau sampai terkurung tak dapat keluar, bagaimana nanti?” Ting Hong makin cemas.

“Ah, tak perlu kuatir. Kalau lain orang tak takut, masakan aku tak berani!”

Selama bergaul beberapa hari itu, Ting Hong kenal akan perangai Han Ping yang keras kepala. Dara itu makin gelisah.

“Kalau kalian banyak masuk ke dalam barisan itu, bukankah kalian sudah tak mau menghiraukan taciku lagi?” serunya.

Tergerak hati Han Ping mendengar pernyataan dara itu. Berpaling ke sekeliling, dilihatnya Naga sakti Gun-hay Cin An Ki, kepala dari ke 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, dengan diiring oleh anak buahnya, perlahan-lahan maju menghampiri. Diam-diam Han Ping menimang dalam hati, “Ah, jika aku benar-benar terkurung dalam barisan itu, tak mungkin Ting Hong mampu menghadapi sekian banyak orang-orang persilatan. Apalagi dia harus menjaga tacinya yang sedang terluka parah itu.”

Mengingat kemungkinan itu. Han Ping mundur kembali. Memandang ke arah barisan, dilihatnya Ca Giok sedang membawa Ting Yan San berbelok ke kanan kiri dan menyusup ke dalam barisan. Mereka berhasil menyusup sampai setombak lebih.

Melihat itu, si dara yang semula enak-enak duduk di atas batu menikmati Leng Kong Siau dan Ih Seng terkurung dalam barisan, terkejut lalu buru-buru turun dan menyambar sebatang bambu, terus masuk ke dalam barisan.

Pada saat mulai memasuki barisan, memang Ca Giok tak menemui kesulitan. Dengan langkah tepat ia membelok ke kanan dan menikung ke kiri. Tetapi setelah menyusup setombak jauhnya tiba-tiba ia bingung. Ia menyusup ke kanan dan menyelinap ke kiri namun sampai beberapa saat lamanya, tetap masih berputar-putar dalam lingkaran dua tiga meter saja.

Melihat itu, Han Ping merasa cemas buru-buru ia meneriaki, “Saudara Ca, maju terus ke muka tentu dapat keluar!”

Dengan tenaga dalam yang tinggi, teriakan Han Ping itu menggeledek, berkumandang ke selurub pelosok penjuru. Tetapi anehnya, Ca Giok seperti tuli. Dia tetap membawa Ting Yan San berputar-putar hilir mudik….

Saat itu si dara baju ungu sudah tiba di samping kedua orang itu. Dengan mencekal batang bambu, ia tenang-tenang mengawasi kedua orang itu.

Makin lama Ca Giok makin terburu-buru. Dan Ting Yan Sanpun mengikuti gerakan pemuda itu, berputar melingkar-lingkar dengan cepat.

Lebih kurang sepenanak nasi lamanya, Ca Giok mandi keringat. Ia letih sekali. Tiba-tiba sebelah kakinya menginjak sebuah batu dan rubuhlah ia terkapar di tanah!

Tetapi karena jatuh itu, pikirannyapun mulai sadar kembali. Ia menggeliat dan duduk di tanah. Tak mau ia berlari-lari seperti orang kemasukan setan lagi.

Si dara baju ungu tundukkan kepala merenung, Kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju dua tindak lalu ulurkan batang bambu pada Ca Giok, “Lepaskan dirimu dari cengkeraman Imam busuk itu. Kubantu kau keluar dari barisan!” serunya perlahan.

Pada waktu Ca Giok terkapar jatuh, Ting Yan Sanpun ikut jatuh. Tetapi tangannya kiri tetap mencekal erat-erat lengan pemuda itu.

Memang mengherankan sekali. Teriakan Han Ping yang sekeras halilintar memecah bumi tadi, Ca Giok tak mendengar. Kebalikannya, kata-kata si dara yang diucapkan dengan bisik-bisik itu, dapat didengarnya jelas. Diam-diam pemuda itu kerahkan tenaga dalam. Tangan kiri nyambuti batang bambu si dara, sekali loncat bangun dengan secara tiba-tiba, tangan kanannya serempak meronta dari cengkeraman Ting Yan San.

Betapapun hebat pengalaman Ting Yan San, tetapi benar-benar ia tak menduga sama sekali bahwa Ca Giok yang jatuh ke tanah itu akan berontak. Gerakan tak terduga-duga itu, menyebabkan cengkeramannya lepas.

Tetapi betapapun, Ting Yan San memang seorang jago tua yang berilmu tinggi. Dia dapat memberi reaksi secara cepat. Begitu cengkeramannya lepas ia teruskan tangannya mencengkeram ke muka.

Brat….Baju Ca Giok bagian bawah, robek sampai setengah meter panjangnya. Tetapi pemuda itu secepat kilat sudah ditarik oleh bambu si dara. Dia melompati tiga gunduk batu dan empat batang bambu. Sesaat keluar dari lingkaran tadi, mata Ca Giok seperti terang kembali, pikirannyapun jernih.

Ia berpaling ke arah barisan. Dilihatnya Ting Yan San tengah duduk bersemedhi menyalurkan napas. Sebagai seorang tokoh yang banyak pengalaman ia menyadari keadaan yang dihadapi saat itu. Karena tak mampu menerobos keluar dari barisan, ia terpaksa duduk bersemedhi memulangkan semangat. Setelah nanti pikiran dan semangatnya segar kembali, barulah ia akan mencari jalan untuk keluar.

Dalam pada itu, Ca Giok yang kenal lihai, tetap mencekal erat-erat batang bambu si dara itu dan mengikutinya berjalan di belakang. Setelah keluar dari barisan, barulah ia lepaskan bambu itu.

Setelah menolong Ca Giok, tanpa menghiraukan pemuda itu lagi, si dara terus melangkah ke karang gunung, duduk bersandar pada karang itu dan pejamkan kedua mata….

Ca Giok memandang ke arah Han Ping yang berdiri di muka barisan. Jaraknya dengan pemuda itu antara empat tombak.

“Bagus saudara Ca. Kuhaturkan selamat atas keluar dari barisan itu dengan selamat,” seru Han Ping dengan nyaring. “Aku bersama nona Ting Hong hendak mencari si wanita baju hijau yang melukai nona Ting Ling. Akan kuminta wanita itu menyerahkan obat untuk nona Ting Ling. Setelah selesai, aku akan kembali kemari menemui saudara!”

Tiba-tiba dara baju ungu itu membuka mata dan bertanya kepada Ca Giok, “Apakah nona itu menderita luka?”

Sesungguhnya Ca Giok bermaksud hendak memaksa dara itu menyerahkan kitab pusaka. Tetapi ketika beradu pandang dengan mata dara itu, entah bagaimana luluhlah keinginannya yang rakus itu. Dan diluar kesadarannya, ia menjawab dengan hormat, “Benar, nona itu telah dilukai dengan pukulan lwekang ganas dari seseorang!”

Melihat tingkah laku Ca Giok yang begitu sopan santun, tertawalah dara itu, tegurnya, “Waktu bersama dengan imam busuk itu, engkau tampak bernyala-nyala. Mengapa sekarang engkau berubah begini menghormat kepadaku?”

Ca Giok seorang pemuda yang pintar dan banyak akal. Tetapi entah bagaimana, di hadapan dara itu, dia berubah jinak seperti domba. Ketika mendengar sindiran tajam dari si dara, merahlah selembar wajahnya. Dengan tersendat-sendat ia menyahut, “Ini…. ini….”

“Jangan meng ini-ini saja! Suruh dia membawa nona itu masuk ke dalam barisan sini. Asal belum mati saja, aku tentu dapat mengobatinya!” seru dara itu dengan nada yakin.

Ca Giok berpikir sejenak lalu berseru menyuruh Han Ping berhenti. Saat itu Han Ping sudah ayunkan langkah. Terpaksa ia berhenti dan menyahut, “Nona Ting sedang terancam maut, maaf, lain kali saja kita bicara lagi!”

“Nona itu mengatakan dapat mengobati Ting Ling. Harap saudara Ji membawa nona Ting masuk kesini!” Ca Giok berseru gugup.

Han Ping berpaling memandang Ting Ling. Dilihatnya wajah nona itu sudah pucat seperti mayat. Kaki tangannyapun sudah mulai kaku. Setiap saat, malaikat Elmaut akan merenggut jiwanya….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar