Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 8 : Lencana Emas Perguruan Kim Pay Bun

Jilid 8
Gerakan orang aneh itu memang aneh. Perobahannyapun sukar diduga. Pada saat Leng Kong siau balas mencengkeram, orang aneh itupun sudah merobah cengkeramannya menjadi gerak menebas.

Setelah dapat menghindari cengkeraman, jari orang aneh itu cepat menutuk ke bahu Leng Kong siau.

Diam-diam Leng Kong siau terperanjat. Ia menengok ke belakang dan mundur tiga langkah, bentaknya : “Menyembunyikan muka menyaru seperti setan, bukanlah tingkah seorang jantan. Jika tak mau mengunjuk diri, jangan salahkan aku, Leng loji ini akan menurunkan tangan ganas !”

Tetapi orang aneh itu tak menggubris. Tegak di samping, ia berdiam diri. Dalam kegelapan malam, benar-benar menyerupai setan jejadian.

Leng Kong siau makin marah, bentaknya : “Benarkah engkau ini setan? Masakan aku takut !”- majukan langkah, ia menabur orang itu dengan serangan gencar. Tiga buah pukulan dan dua kali tendang, dihamburkan.

Leng Kong siau adalah tokoh yang sudah lama termahsyur di dunia persilatan. Serangan yang berlambar kemarahan itu, dilancarkan dengan dahsyat dan cepat. Dan yang diarah adalah jalan darah lawan.

Tetapi orang aneh itu tampaknya tak terkejut. Tubuhnya bergeliatan ke kanan kiri. Tiga pukulan dua tendangan dari Leng Kong siau itu, dapat dihindarkan semua !

Ca Giok yang menyaksikan pertempuran itu, mendapat kesan bahwa kepandaian orang aneh itu tidak di bawah Leng Kong siau. Paling tidak berimbang. Tentu dapat melayani Leng Kong siau sampai 100an jurus. Diam-diam pemuda licin itu menimang. Jika ia bersama kedua nona Ting, menempur Leng Kong siau, tidaklah sukar untuk mengalahkan.

Cepat pemuda itu menetapkan rencana. Ia harus memanfaatkan situasi malam itu untuk melenyapkan Leng Kong siau . . . .

Ca Giok seorang pemuda yang kuat menahan perasaannya. Sekalipun hatinya penuh nafsu pembunuhan tetapi sikapnya tetap tenang sekali. Ia membisiki Han Ping supaya berhati-hati menjaga diri. Setelah itu ia maju dua langkah ke samping kedua tokoh yang sedang bertempur itu. Diam-diam kerahkan tenaga dalam, siap untuk dilancarkan setiap saat. Namun untuk menghapus kecurigaan, ia tetap mengulum senyum seperti tak terjadi apa-apa. Matanya memandang kian kemari sehingga orang tak mengetahui keadaannya.

Tiga kali serangannya dapat digagalkan si orang aneh, Leng Kong siau tetap belum mengetahui dari aliran partai persilatan manakah orang aneh itu. Diam-diam ia terkejut : “Kepandaian orang ini memang hebat. Sekalipun bukan tandinganku, tetapi sukar juga untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kedua budak perempuan dari Lembah Raja setan itu walaupun tak seberapa lihai, tetapi mereka mahir menggunakan tipu siasat. Dan ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun dari marga Ca, termahsyur sekali. Jika mereka bersatu menggempur aku, sungguh berat sekali . . . .”

Dengan perhitungan itu, segera Leng Kong siau mundur beberapa langkah dan tertawa gelak-gelak.

“Masakan aku mempunyai waktu untuk main-main dengan kalian anak-anak muda ini !” berputar tubuh, ia terus melangkah pergi.

Ca Giok memberi hormat dan tertawa nyaring : “Bagaimana ? Apakah locianpwe begitu saja hendak pergi ?”

Leng Kong siau berhenti dan berpaling. Belum sempat ia membuka mulut, Ting Ling sudah mendahului tertawa : “Aku ingin menghaturkan selamat jalan kepada paman Leng . . . .”

Kerja sama rangkaian kata-kata yang diucapkan Ting Ling dan Ca Giok itu, membuat Leng Kong siau maju mundur serba salah. Sebagai seorang tokoh tua dalam dunia persilatan, kedudukannya cukup tinggi. Jika malam itu sampai diejek oleh anak-anak saja, benar-benar ia akan kehilangan muka. Bila hal itu sampai tersiar di luaran bukan saja akan merugikan nama Tiga manusia racun, pun tentu menjadi buah tertawaan orang.

Terlintasnya renungan itu, cepat membakar lagi api kemarahannya. Ia tertawa dingin lalu berseru sinis “Apakah kalian suka mengantar aku ?”

Dalam pada berkata-kata itu, diam-diam Leng Kong siau kerahkan tenaga dalam, siap dilancarkan setiap saat.

Ca Giok berpaling ke arah orang aneh itu. Dilihatnya orang itu berdiri diam. Diam-diam pemuda itu memperhitungkan : “Jika orang itu tak ikut turun tangan, sekalipun aku dan kedua nona itu bersatu, mungkin masih sukar mengalahkan si Tua beracun itu.

Segera ia tersenyum, ujarnya : “Locianpwe adalah sahabat ayahku. Seharusnya aku mengantar locianpwe. Tetapi sayang, aku masih mempunyai lain urusan penting dan terpaksa tak dapat menghormat perjalanan locianpwe”.

Karena mengetahui orang aneh itu tampaknya takkan menyerang Leng Kong siau, buru-buru Ca Giok beralih nada. Ia setengahnya meminta agar Leng Kong siau segera pergi saja. Agar jangan menimbulkan kesulitan yang tak diinginkan.

“Bagus, bagus !” Leng Kong siau tertawa gelak-gelak, “kalau ketemu ayahmu, sampaikan salamku - ia berputar tubuh dan melangkah perlahan-lahan, lenyap dalam kegelapan malam.

Setelah Leng Kong siau pergi, barulah Ting Ling memandang ke arah orang aneh yang mukanya bercontrengan itu. Ia memberi hormat : “Atas bantuan saudara, kami taci beradik menghaturkan terima kasih . . . .”

Tiba-tiba orang aneh itu loncat dua tombak jauhnya. Begitu menginjak tanah terus ayunkan tubuh lagi loncat ke dalam kegelapan.

Kedatangan orang itu secara tak terduga-duga, kepergiannyapun mendadak. Tanpa mengucap sepatah kata, tanpa menghiraukan terima kasih Ting Ling, ia terus melenyapkan diri. Sampaipun Ting Ling yang biasanya cerdas, saat itu benar-benar tak dapat mengetahui arah menghilangnya orang itu . . . .

“Cici, mengapa dia lenyap ?” tanya Ting Hong.

Ting Ling tersadar dari keterlongongannya. Dia gelagapan : “Apa ?”- ketika memandang ke empat penjuru, ternyata Han Pingpun tak tampak lagi.

Kiranya ketika Ca Giok dan kedua nona itu tengah menumpahkan perhatiannya kepada Leng Kong siau dan si orang aneh, diam-diam Han Ping telah menyelinap pergi.

Ca Giok menghela napas, ujarnya “Orang itu memang angkuh wataknya. Tak mau menerima budi orang. Karena dia memang hendak menyingkiri kita, sekalipun kita mencarinya, pun akan sama saja sikapnya !”

Ting Ling merenung sejenak : “Sau pohcu benar, jika dia tak mau bersama kita, percumalah kalau kita mencarinya !”

“Tetapi cici, dia sedang terluka parah”, Ting Hong berseru cemas. Tetapi cepat Ting Ling mengejapkan matanya kepadanya : “Tak apalah. Kalau dia tak mau bersama kita, habis, apa daya kita ?”

Ting Hong selalu mengindahkan tacinya. Mendengar kata-kata Ting Ling begitu, iapun tak berani membantah lagi.

Ca Giok memberi hormat dan menyatakan hendak minta diri. Setelah pemuda itu pergi, Ting Ling segera mengajak adiknya lari melanjutkan perjalanan. Kira-kira belasan tombak jauhnya, mereka berhenti.

“Apakah engkau sungguh-sungguh hendak mencarinya?'' tanya Ting Ling kepada adiknya.

“Tetapi sekarang kemanakah hendak mencarinya, ah . . . .” Ting Hong menghela napas.

Ting Ling membelai-belai rambut adiknya dan menghiburnya dengan tertawa : “Adikku, janganlah engkau marah kepadaku. Bilakah taci pernah mencelakaimu dan membohongimu ? Tadi terpaksa kutampar mukamu, pun juga demi kepentinganmu. Apakah engkau masih marah ?”

Ting Hong tertawa rawan : “Ah, masakan aku berani kepada taci . . . .”

Ting Ling menghela napas : “Banyak orang mengatakan bahwa aku, seorang taci yang julig. Kerap kali membohongimu. Maka memang tak dapat dipersalahkan jika engkau menaruh kekuatiran kepadaku. Padahal kita ini saudara sekandung. Bahwa sebagai taci aku tak dapat merawatmu, masakan aku masih tegah untuk menipumu. Memang ada kalanya kumaki dan bahkan di hadapan orang kutampar mukamu, tetapi kesemuanya itu demi kebaikanmu, Biarlah tacimu ini yang dianggap galak dan engkau lebih lemah lembut . . . .”

Bicara sampai disitu, Ting Ling mengucurkan beberapa butir airmata. Tubuhnya agak getar seperti orang yang menahan kesedihan.

Belum pernah Ting Hong mendapatkan tacinya yang keras itu menangis di hadapannya seperti saat itu, buru-buru ia memegang tangan Ting Ling : “Cici jangan banyak pikiran. Tak nanti aku mengandung hati dendam kepadamu . . . .”

Dara itu benar-benar tak tahu apa sebab tacinya tiba-tiba menangis itu. Setelah menangis beberapa saat, Ting Ling mengusap airmatanya dan tertawa : “Asalkan engkau sudah tahu bagaimana perasaanku menyayang kepadamu, sekalipun aku menderita sedikit, tetapi hatiku girang”

“Ah, memang kutahu kalau cici sayang kepadaku”, Ting Hongpun tertawa. Tetapi diam-diam dara itu masih ingat bagaimana Ting Ling telah memaki dan menamparnya di hadapan Han Ping.

“Hm, bukan engkau tetapi akulah yang menderita . . . .” dengus Ting Hong dalam hati.

Ting Ling menghela napas, serunya : “Budak tolol, apakah engkau benar-benar tak mengerti ?”

Ting Hong gelengkan kepala : “Aku . . . . aku memang tak begitu mengerti maksud cici”.

Ting Ling tertawa rawan : “Sudahlah, jangan memikir lagi. Kelak kalau engkau berjumpa dengan Ji Han Ping, tentu mengerti sendiri !”

“Ci, aku semakin tak mengerti !”

“Memang orang limbung paling beruntung. Jika engkau sepandai tacimu, mungkin engkau akan menderita”'. Ting ling mencekal tangan adiknya diajak ke lereng gunung yang agak gelap, “Lekas sembunyi, Han Ping segera akan keluar !”

Sekalipun tak mengerti maksudnya, karena percaya kepada tacinya, Ting Hong terus bersembunyi di belakang tacinya.

Tak berapa lama, dari arah kegelapan muncul sesosok tubuh orang yang berjalan perlahan-lahan menuju ke utara.

Ketika mengawasi dengan seksama, Ting Hong tersirap kaget. Orang itu memang Han Ping.

“Cici, mengapa engkau tahu dia belum pergi ? Mari kita mengejarnya !” bisiknya.

“Jangan keburu bergirang dulu. Jika dia mengetahui kita, dia tentu akan menghindari lagi !” kata Ting Ling.

“Lalu bagaimana ? Apakah kita biarkan saja dia berlalu ?” tanya Ting Hong.

Ting Ling tertawa : “Apa yang hendak engkau kejar ? Budak perempuan yang sudah berumur 17 an tahun, mengapa engkau tak malu mengucap begitu ?”

Merahlah muka Ting Hong, bantahnya : “Dia telah menolong jiwamu, masakan engkau sampai hati tak menghiraukannya ?”

Ting Ling tertawa : “Siapa bilang tak menghiraukan ? Kita ikuti saja dari kejauhan dan lihat saja hendak kemana dia itu”.

“Benar, nanti apabila dia sudah rubuh, baru kita tolong,” seru Ting Hong dengan tertawa dan terus mendahului ayunkan langkah.

Setelah diam-diam meninggalkan Ca Giok dan kedua nona Ting, Han Ping menyembunyikan diri dalam kegelapan. Ia tahu kalau terluka parah, jika berjalan tentu mudah ketahuan.

Kedua nona itu tahu pula bahwa Han Ping lebih sakti dari mereka. Alat pendengaran pemuda itu tajam sekali. Mereka tak berani mengikuti secara dekat.

Tetapi persangkaan itu salah. Karena saat itu Han Ping benar-benar terluka parah sekali. Akibat dari hantaman si Pengemis sakti Cong To tenaga murninya telah berhamburan tetapi untunglah kesadaran pikirannya masih cukup terang. Ia berjalan terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabuk. Ia tak mengetahui bahwa di belakangnya diikuti kedua nona Ting.

Setelah melintasi sebuah puncak bukit, tibalah ia di sebuah kuil gunung. Saat itu lukanya semakin berat, Darahnya makin panas, kedua kakinya serasa tak dapat digerakkan lagi. Akhirnya ia harus menyerah dan beristirahat. Dengan langkah sarat ia paksakan diri masuk ke dalam kuil itu, jika tak dapat menyembuhkan lukanya, biarlah ia mati disitu.

Karena pikirannya mulai limbung maka apa yang dikandung dalam hati itu tanpa disadari, diucapkan dengan mulutnya, Untung kata-kata itu tak terdengar oleh kedua nona yang mengikuti dari jauh. Sekalipun begitu ketika melihat Han Ping masuk ke dalam kuil, kedua nona itu segera pesatkan langkahnya untuk menyusul, cepat sekali Ting Hong loncat ke belakang Han Ping. Ketika ia ulurkan tangan hendak menyambar tangan Han Ping, tiba-tiba ia ditarik orang.

Ting Hong tak mau berpaling karena tahu yang mencegah itu tentulah tacinya sendiri. Ia mundur dua langkah dan miringkan kepala memandang tacinya : “Cici . . . .”

Ting Ling gelengkan kepala memberi isyarat supaya Ting Hong jangan bicara. Kemudian menarik adiknya ke samping di tempat gelap.

Pendengaran Han Ping sudah tak tajam lagi. Ia tak dapat mendengar gerak gerik kedua nona yang mengikuti di belakang. Dengan mendekap dada ia melangkah terhuyung-huyung ke dalam biara.

Kuil itu, sebuah kuil tua yang sudah rusak. Penuh ditumbuhi rumput tinggi. Di waktu malam keadaannya makin menyeramkan.

Dengan kerahkan sisa tenaganya, Han Ping lari ke dalam ruang kuil. Huak . . . . ia muntah darah dan rubuh tak sadarkan diri.

Dia rubuh di depan meja sembahyangan. Darahnya menyembur ke arah arca yang rusak. Dan ketika rubuh, tubuhnya menghantam meja terus terkapar ke belakang meja itu.

Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan, tetapi ketika membuka mata, ia rasakan mukanya tersiram air dingin. Berulang kali ruang kuil itu terpancar oleh pancaran kilat dan deru dari guruh di angkasa.

Kiranya malam itu hujan turun dengan lebat. Karena atap kuil banyak yang tiris, airpun masuk ke dalam dan mencurah ke muka Han Ping. Kini pikiran pemuda itupun sadar lagi.

Setelah mendapat penyaluran tenaga murni dari mendiang Hui Gong taysu, sesungguhnya tenaga murni Han Ping itu mempunyai dasar yang kokoh sekali. Adalah karena setelah terluka tak mempunyai kesempatan untuk beristirahat, maka lukanya makin berat. Kini setelah beristirahat, karena pingsan tadi, darahnya yang bergolak itupun mulai tenang dan kesadaran pikirannya bertambah. Ia menggeliat duduk.

Suasana kuil yang sunyi dan seram, membangkitkan kenangan Han Ping. Ia teringat akan kematian kedua orangtuanya, gurunya yang merawatnya sampai dewasa dan paderi Hui Gong yang telah menurunkan ilmu kesaktian. Kepada merekalah Han Ping merasa berhutang budi. Dan kepada merekalah ia telah dibebani hutang darah yang harus diimpaskan semua . . . .

Tiba pada kesimpulan lamunan itu, tersiraplah hatinya seketika. Diam-diam ia menimang : “Ji Han Ping, Ji Han Ping ! Bagimu sendiri, mati itu memang tak penting. Tetapi bagaimana dengan dendam sakit hati orangtuamu ? Dan bagaimana pula janjimu di hadapan Hui Gong taysu tempo hari ? Walaupun beliau tak mengucapkan dengan jelas, tetapi engkau tentu sudah mengetahui apa yang dimaksudkannya Betapa besarlah harapan dari orang tua dan Hui Gng taysu yang diletakkan pada bahumu ! Mengapa engkau begitu pengecut hendak menghindari tanggung jawab dengan jalan mati secara sia-sia begini . . . .”

Mengenangkan hal itu, seketika lenyaplah keputus-asaan Han Ping. Gelora hidup menyala pula dalam hatinya !

Ia menenangkan hati dan mulailah ia memikirkan daya untuk hidup. Berkat pikirannya yang cerdas, dengan cepat ia teringat akan ajaran Hui Gong taysu tentang Tat-mo-ih-kin-keng. Mulailah ia mengingat dan menghafalkan apa yang diajarkan Hui Gong taysu.

Tat-mo-ih-kin-keng merupakan sebuah kitab pusaka tentang ilmu silat sakti. Selain luas isinya, pun sastra yang digunakan, amatlah dalam sekali artinya.

Setalah merenung keras, barulah Han Ping teringat akan bagian pelajaran untuk mengobati sendiri luka yang dideritanya. Tetapi pengobatan itu memerlukan waktu tiga hari dan harus dijaga oleh tokoh-tokoh sakti. Karena kalau sewaktu melakukan pengobatan itu diganggu musuh, tentu akan celakalah.

Kuil itu rasanya tepat sekali. Sunyi dan seram. Hanya sayang tak ada yang jaga. Karena sekali melakukan pengerahan tenaga untuk mengobati itu, tiga hari tiga malam sukarlah pengerahan itu dihentikan. Sekali ada seorang musuh muncul, tak mungkin lagi ia melawan.

Sejenak Han Ping bersangsi. Tetapi hasrat untuk hidup lebih menyala keras. Dan ia merasa tak banyak mempunyai musuh. Tanpa banyak pikir lagi, Han Ping segera duduk bersila dan mulailah ia menyalurkan tenaga dalam menurut ajaran Hui Gong taysu. Seketika ia rasakan tenaga murni mulai mengumpul dan hawa hangat mulai merangsang ke dada lalu mengalir ke arah tangan dan kakinya. Pada lain saat, hati, perasaan dan semangat serta pikiran Han Ping manunggal satu, menjelang kehampaan . . . .

Setelah sekali berhasil menjalankan peredaran darah, semangatnya makin segar. Pada saat hendak menjalankan penyaluran yang kedua kalinya untuk mengenyahkan darah bercampur racun yang mengeram dalam dada, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkata setengah meratap.

Jika suheng tak mau mengingat budi suhu yang telah mengajar kepandaian kepada suheng, sukalah suheng memandang mukaku seorang adik seperguruan yang telah melayani dan mempunyai ikatan batin sebagai saudara seperguruan dengan suheng. Mohon suheng suka membebaskan suhu dari hukuman. Aku bersedia untuk menggantikan suhu menerima hukuman perguruan kita !” demikian kata-kata orang itu.

Darah Han Ping tersirap seketika. Ia kenal suara orang itu. Karena tak tahan, ia membuka mata dan memandang keluar. Tampak pengemis sakti Cong To sedang berlutut di hadapan meja sembahyangan Sedang di sampingnya berlutut si pengemis kecil sambil mengacungkan sebatang obor. Pemuda berpakaian bagus, Ho Heng Ciu tampak berdiri di hadapan mereka sambil tangan kanannya mengangkat lencana emas dari perguruan Kim-pay-bun. Wajahnya memberingas, memancar sinar pembunuhan.

Terhadap ratapan si pengemis kecil, tampaknya Heng Ciu tak mengacuhkan. Dipandangnya Cong To lekat-lekat dan tertawalah ia dengan dingin, serunya : “Suhu telah melepas budi padaku selama 10 tahun lebih. Hatiku berterima kasih tak terhingga . . . .”

Cong To menghela napas : “Yang lalu biarlah berlalu. Lebih baik jangan diungkit lagi !”

Heng Ciu tertawa keras, ucapnya : “Pada permulaan masuk dalam perguruan, memang suhu memperlakukan aku dengan baik. Tetapi sejak menerima sute, mulailah suhu pilih kasih dan mengabaikan diriku. Banyak sekali ilmu kepandaian perguruan Kim-pay-bun yang istimewa, secara diam-diam telah diberikan kepada sute. Hal itu benar-benar tak dapat kuderita lagi. . . .”

Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To mengangkat kepala. Matanya berkilat-kilat memandang ke muka Heng Ciu dan tertawa dingin.

Heng Ciu menggigil. Buru-buru ia mengangkat lencana emas makin tinggi dan makin nyaringlah ia berteriak : “Peraturan yang telah dicanangkan oleh pendiri perguruan Kim-pay-bun mengatakan. Orang yang memegang Kim-pay ini, bagaikan wakil pribadi dari kakek guru pendiri perguruan. Tak peduli tinggi atau rendah, semua murid harus tunduk pada perintah . . . .”

Tiba-tiba kilat memancar menerangi seluruh ruang sehingga obor yang dipegang pengemis kecil itu suram seketika dan terkeratlah kata-kata Heng Ciu tadi.

Mendadak si pengemis kecil menengadahkan muka dan tertawa gelak-gelak. Nadanya melengking tinggi, menusuk anak telinga.

“Mengapa engkau tertawa !” bentak Heng Ciu marah.

Pengemis kecil itu berhenti tertawa dan menyahut perlahan-lahan : “Suheng mengatakan bahwa suhu diam-diam telah mengajarkan padaku ilmu kepandaian istimewa. Apakah suheng menyaksikan sendiri atau hanya dugaan saja? Ketahuilah, hormat bakti kepada guru merupakan peraturan yang diutamakan kaum persilatan. Bagaimana kita dapat sembarangan menghina suhu. Aku, pengemis kecil belum pernah bohong seumur hidup. Memang benar ada beberapa ilmu kepandaian yang suheng belum mempelajari. Tetapi ketika suhu mengadiarkan kepadaku, kala itu suheng sudah meninggalkan perguruan. Jika sepatah saja pengemis kecil bohong, biarlah Tuhan mengutukku !”

Tiba-tiba kilat memancar lagi. Halilintar memecah bumi. Heng Ciu terkejut. Ia memandang ke arah wuwungan kuil.

Cong To menghela napas perlahan, serunya : “Apa yang hendak kau jatuhkan kepada si pengemis tua, silahkan segera menyatakan. Aku sudah tua, tak begitu menghiraukan lagi soal mati atau hidup.”

Heng Ciu tertawa dingin : “Rupanya suhu ingin sekali segera mati agar impas segalanya, bukan ?”- ia menengadah tertawa nyaring lalu : “tetapi, tidak semudah yang suhu inginkan . . . .”

“Lalu bagaimana maksudmu ?” Cong To menggeram.

“Urusan suhu belum selesai, jika mati, sungguh mengecewakan sekali”, kata Heng Ciu.

Cong To tertawa tawar : “Benar, pamanmu guru masih selalu ingat akan kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun. Ingin sebelum pengemis tua dan kecil mati, supaya mengambil kitab pusaka itu dulu. Setelah menyerahkan kitab pada kalian barulah kalian menghukum mati. Benar atau tidak ?”

“Menilik kepandaianmu, dewasa ini tiada tandingannya lagi dalam dunia persilatan. Jika mengambil secara diam-diam gagal, dapatlah merebutnya secara terang-terangan !” Heng Ciu tertawa.

“Nama dan kewibawaan suhu, setiap orang persilatan amat mengindahkan. Jika suheng benar-benar tak mau membebaskan suhu, lebih baik segera menyempurnakannya saja agar jangan sampai menodai namanya !” kata si pengemis muda.

Sahut Heng Ciu dingin : “Aku sedang bicara dengan suhu. Mengapa engkau berani sambung mulut? Kuberimu hukuman 20 kali menampar mulut !”

Pengemis kecil itu memandang sejenak ke arah Cong To. Obor dipindah ke tangan kiri dan mulailah ia ayunkan tangan kanan untuk menampar mukanya sendri. Tar, tar, tar, tar. . . . hingga 20 kali baru berhenti.

Rupanya pengemis kecil itu menampar mukanya sendiri dengan sungguh-sungguh. Kedua belah pipinya merah begap dan mulut mengucur darah.

Ho Heng Ciu tersenyum : “Peraturan perguruan Kim-pay-bun amat keras sekali. Terutama terhadap guru dan angkatan tua harus hormat dan taat. Tetapi engkau berani banyak usil mulut. Jika tak mengingat sebagai saudara seperguruan malam ini tentu akan kujatuhkan hukuman potong kedua belah tanganmu . . . .”

Cong To tertawa nyaring : “Sudahlah, tak perlu membikin susah sutemu. Pengemis tua sudah tak sabar menunggu lagi. Jika engkau tak lekas menurunkan amanat Kim-pay untuk menjatuhkan putusan terhadap pengemis tua, aku segera akan menghantam ubun-ubun kepalaku sendiri sampai binasa di hadapan Kim-pay sebagai bakti terima kasihku terhadap kakek guru !”

Ucapan itu mempunyai pengaruh besar sekali. Heng-ciu tertegun. Diam-diam pemuda itu menimang “Ah, jika dia benar-benar bunuh diri, sekalipun sebuah duri dalam daging sudah lenyap, tetapi kitab pusaka Lam-hay-bun itu tentu sukar diperoleh. Tujuan susiok (paman guru) adalah untuk mendapat kitab pusaka itu. Jika aku tak dapat mempersembahkan kitab itu, dikuatirkan ia akan marah !”

“Kali ini tindakan murid kepada suhu, adalah atas perintah susiok. Kiranya suhu tentu sudah memaklumi”, katanya dengan tersenyum.

Cong To menghela napas dan tundukkan kepala tak menyahut.

“Susiok telah menyerahkan benda lambang kekuasaan tertinggi dari Kim-pay-bun kepadaku. Beliau menegaskan, asal suhu dapat menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun itu kepadaku, beliau bersedia untuk bertemu muka lagi dengan suhu.”

“Benarkah itu ?” mata Cong To berkilat-kilat.

“Bagaimana murid berani membohongi suhu ?” sahut Heng Ciu.

Tiba-tiba Cong To menghela napas pula, ujarnya : “Pengemis tua akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi orang-orang Lam-Hay-bun itu tinggi-tinggi kepandaiannya. Akan berhasilkah usahaku, sukar untuk diramalkan”.

“Murid tahu betul bahwa kepandaian suhu sangat tinggi. Jika memang mau berusaha sungguh-sungguh, tentu tiada kesukarannya”, kata Heng Ciu.

Tiba-tiba wajab Cong To berobah bersungguh, katanya serius : “Tiga hari lagi, undanglah dia ke kuil ini. Jika pada waktu itu pengemis tua tak mampu menyerahkan kitab Lam-hay-bun, aku akan menebus dosa di hadapan Kim-pay . . . .”

“Beliau mau menerima undangan itu atau tidak, murid belum tahu. Tetapi murid pasti akan menyampaikan pesan suhu itu kepada beliau”, kata Heng Ciu.

“Jika dia tak datang, andaikata aku berhasil merebut kitab Lam-hay-bun, juga takkan kuserahkan kepadamu. Asal kuusir sutemu sebelum aku mati dihadapan Kim-pay, dia tentu bebas dari peraturan Kim-pay-bun !” kata Cong To.

Gentarlah hati Heng Ciu mendengar ucapan itu. Pikirnya : “Setan tua ini benar-benar berwibawa sekali. Setiap orang persilatan jeri kepadanya. Satu-satunya yang paling ditakuti hanyalah terhadap susiok saja. Jika beliau tak datang, pengemis tua ini tentu tak mau menyerahkan kitab itu kepadaku. Dan kalau dia mengeluarkan pengemis kecil dari perguruan dan menyuruhnya membawa kitab itu pergi, selain susiok akan menubruk angin, pun akan menimbulkan bahaya di kemudian hari”

Cepat ia mengambil kesimpulan dan tersenyum : “Kalau suhu benar-benar ingin berjumpa susiok, murid akan berusaha keras untuk membujuk agar beliau suka datang kemari . . . .”

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula : “Dalam usaha untuk mengambil kitab pusaka itu, suhu tentu akan menghadapi pertempuran seru. Maka kali ini murid dapat membebaskan hukuman kepada suhu. Tiga hari menjelang tengah malam kita bertemu lagi disini !”

Cong To berbangkit dan memberi hormat ke arah Kim-pay, katanya : “Tiga hari lagi pengemis tua akan menunggu kedatangan kalian disini !”

Sekali bahunya menggeliat, ia meluncur keluar dan lenyap.

Pengemis kecilpun berdiri : “Terima kasih atas budi suheng sehingga pengemis kecil masih memiliki sepasang tangan !”

Obor dilemparkan keluar, ruangan gelap dan kedua saudara seperguruan itupun loncat keluar dari ruang kuil.

Saat itu hujan sudah berhenti. Tetapi cakrawala masih diliputi awan tebal. cuaca gelap.

Sejak mengikuti peristiwa itu, Han Ping menahan napas. Dia menyadari bahwa saat itu tenaga murninya masih belum pulih. Jangankan tokoh persilatan, bahkan seorang biasa saja dapat memukulnya mati. Setelah memastikan bahwa Cong To, Heng Ciu dan pengemis kecil itu sudah pergi barulah ia berani membuka napas dan melanjutkan pengobatan dengan penyaluran tenaga murni.

Tetapi pikirannya tak tentram. Ia masih mempunyai kesan terhadap persoalan Pengemis sakti Cong To dengan muridnya si pemuda baju biru itu. Ia menaruh perindahan kepada Pengemis sakti maka tanpa disadari perhatiannyapun menumpah kepada Cong To.

Lama sekali baru ia dapat menindas dan mengosongkan pikirannya. Kala itu haripun sudah terang tanah. Ia memperoleh pengalaman baru dalam hal penyembuhan dengan penyaluran tenaga dalam. Ia berhasil menyatukan pikiran, mengerahkan tenaga murni ke seluruh tubuh dan menghampakan keakuan . . . .

Ilmu ajaran tenaga dalam dari Hui Gong taysu, berasal dari aliran perguruan agama. Padri sakti itu telah menyalurkan seluruh tenaga murni ke tubuh Han Ping sehingga ia sendiri kehabisan tenaga murni itu dan meninggal. Sekalipun Han Ping belum dapat mengembangkan tenaga murni setaraf dengan Hui Gong, tetapi sekurang-kurangnya ia telah mencapai 5-6 bagian. Suatu tingkat yang belum mampu untuk menggerakkan tenaga murni menurut sekehendak hati, namun sudah cukup untuk menyerapkannya ke dalam urat-urat nadi tubuhnya.

Ketika ia melakukan penyaluran tenaga dalam untuk yang kedua kalinya, saat itu sudah tengah hari. Telinganya terngiang oleh lengking tertawa yang tak henti-hentinya. Ia terkejut dan membuka mata. Ah, ternyata kedua nona Ting tengah duduk di tengah ruang dan bercakap-cakap dengan riang tertawa.

“Adikku, sekarang sudah menjelang tengah hari, kita harus mengisi perut”, kata Ting Ling.

“Benar, memang perutku sudah lapar !” Ting Ling mengambil bakul yang terletak di samping dan ditaruhkan di hadapan mereka. Ternyata bakul itu berisi kue bakpau.

“Perut kosong, bakpaupun enak juga,” katanya sambil melahap kue itu.

“Ci, arak dan sayuran itu tentu sudah dingin. Biarlah kutambahi kayu bakar untuk memanasinya,” kata Ting Hong.

“Bagus, patung-patung arca penunggu kuil ini entah sudah berapa puluh tahun tiada orang yang menyembahjangi. Baiklah, kita akan melakukan hajat baik. Arak dan sayuran itu kita hidangkan dulu kepada malaikat penunggu disini baru kita makan”, kata Ting Ling.

Ting Hong tertawa dan berbangkit sedang Ting Lingpun segera mengeluarkan isi bakul. Ternyata mereka sudah mempersiapkan bekal yang lengkap.

Sehari semalam tak makan, walaupun berkat tenaga dalam yang tinggi Siu-lam dapat tahan lapar, tetapi karena hidungnya terbaur bau arak yang wangi dan masakan yang sedap, berontaklah isi perutnya merintih-rintih . . . .

Tak berapa lama muncullah Ting Hong dengan membawa kayu bakar. Kedua nona itu membuat api di ujung ruang. Memanasi arak dan masak sayur. Ternyata Ting Ling pandai masak. Han Ping hampir tak tahan mencium bau masakan yang lezat. Hampir saja ia hendak memanggil kedua nona itu untuk minta hidangan. Tetapi setiap kali mulut hendak berteriak, ia dapat menelannya kembali. Ia tahu bahwa kedua nona itu memang sengaja hendak memperolok-olok dengan bau masakan lezat. Walaupun lapar sekali, ia tetap tak mau minta makan. Dengan sekuat tenaga ia tahan rasa lapar dan pejamkan mata menyalurkan tenaga dalam.

Pada waktu untuk yang ketiga kalinya ia menyalurkan peredaran darah, saat itu hari sudah menjelang petang. Ketika membuka mata, tampak kedua nona itu tegak di samping sambil mengulum senyum tawa.

Ting Ling berjongkok perlahan-lahan, ujarnya : “Sehari semalam tak makan, apakah tidak lapar ? Makanlah, mumpung arak dan sayurnya masih hangat !”

Han Ping menundukkan kepala. Ia terkesiap. Di hadapannya terhidang beberapa pinggan masakan lezat.

“Eh, kalian tahu aku berada disini ?” tanyanya sesaat kemudian.

“Mengapa tidak ? Sekalipun engkau bersembunyi di ujung langit, kami tetap dapat mencarimu !” Ting Hong tertawa.

Ting Ling menarik adiknya supaya ikut berjongkok, kemudian berkata kepada Han Ping : “Ih, jangan angkuh-angkuhlah. Sama sekali engkau tak tahu hidangan yang kami sediakan di hadapanmu. Jika kami bermaksud jahat, sekalipun engkau mempunyai nyawa rangkap sepuluh lembar, pun tak mungkin engkau dapat menjaga . . . .”

Nona itu menghela napas, katanya pula : “Engkau memang gegabah sekali. Masakan di tempat yang begini sunyi engkau berani melakukan persemedian tanpa penjagaan suatu apa. Jangankan orang jahat, sedang apabila muncul binatang buas kemari, katakan misalnya ular berbisa, bukankah jiwamu terancam bahaya maut ? Memang kutahu engkau berani mati. Tetapi mati dalam mulut harimau atau ular berbisa, adalah suatu kematian yang mengecewakan. Mengecewakan harapan orang tua dan budi suhumu yang telah menggemblengmu dengan jerih payah !”

Kata-kata itu diucapkan Ting Ling dengan lemah lembut dan bersungguh-sungguh. Diam-diam Han Ping malu hati dan merasa bersyukur. Akhirnya ia menghela napas : “Ah, terima kasih atas nasehat nona . . .”

Ting Hong menyelutuk tertawa : “Kalau sekarang sih tak mengapa. Ada ciciku yang menjagamu, engkau boleh menyalurkan tenaga dalam mengobati lukamu !”

“Ah, bagaimana aku berani menyuruh . . . .”

“Sudahlah, lekas makan dan yang penting segera mengobati luka.”

Han Ping menurut, setelah makan, ia mulai bersemedhi pula menyalurkan tenaga dalam.

Cepat sekali tiga hari telah berlalu. Di bawah penjagaan dan rawatan kedua nona itu, dapatlah Han Ping menjalankan pengobatan dengan tenaga dalam, Ia merasa semangatnya segar kembali.

Pada petang itu ketika terjaga dari persemedhian, Han Ping benar-benar rasakan tenaga murninya sudah mulai mengokoh, urat-urat nadinya lancar.

“Sebelum tengah malam, lukaku tentu sembuh sama sekali. Tak tahu bagaimana aku harus menghaturkan terima kasih atas kebaikan nona berdua . . . .”

Ting Ling tertawa : “Sudahlah, jangan mengatakan soal kebaikan. Kita hanya membantu merawatmu sekedarnya. Jangan banyak memikir yang bukan-bukan . . . .”

“Hai, celaka !” tiba-tiba Ting Hong menjerit.

“Mengapa ?” Han Pingpun terkejut. Ting Ling pun menegur adiknya.

Ting Hong mengeluarkan obat pemberian dari penjaga gedung bertingkat tempo hari : “Aku lupa untuk menyuruhkan minum obat penawar ini !”

Han Ping geleng-geleng kepala tertawa : “Ah, tak perlu minumlah. Aku sudah hampir sembuh !”

“Dunia persilatan penuh dengan akal muslihat yang tak diduga. Tetapi obat itu kemungkinan memang bermanfaat juga”, kata Ting Ling, “mungkin karena tertindas oleh tenaga dalam, racun dalam tubuhmu itu tak dapat bekerja. Tetapi jika dalam tubuh masih mengandung racun juga suatu bahaya. Lebih baik minum sajalah !”

Diambilnya obat itu dari Ting Hong lalu dituang sebutir dan dibaunya dan dijilatnya : “Minumlah, jangan kuatir !”

Han Ping terpaksa menurut. Tetapi begitu masuk ke dalam perut, ia rasakan sesuatu yang tak wajar : “Siapakah yang memberikan pil itu kepadamu. . . .”- ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu tubuhnya panas seperti dibakar sehingga sukar untuk mengerahkan tenaga dalamnya.

“Ci, bagaimana ini ?” Ting Hong gugup.

Ting Ling sendiripun kaget. Tetapi ia tetap tenang. Dirabanya kening Han Ping. Diam-diam nona itu menimang dalam hati : “Jika pil tadi beracun, setelah obat itu mereda khasiatnya, dia tentu marah kepada kami berdua. Dengan tenaga dalamnya yang tinggi, tentu ia dapat menekan lukanya itu dan pada saat-saat masih dapat bernapas, ia tentu akan menyerang kami berdua. Sekalipun kami berdua tak bermaksud hendak mencelakainya, tetapi karena urusan berbalik begini, dia tentu akan membunuh kami. Baiklah aku berjaga-jaga menghadapi kemungkinan itu”.

Ting Ling seorang nona yang licin dan kaya dengan tipu muslihat. Sekalipun terhadap pemuda yang dicintainya, dalam detik-detik terakhir ia tetap memperhitungkan laba rugi. Dan terkilaslah cita-cita membunuh apabila keadaan perlu diam-diam ia kerahkan tenaga dalam. Begitu Han Ping hendak bergerak, akan ia dahului lebih dulu menghancurkannya.

Ternyata setelah tubuhnya membara, keringat deras mulai membasahi sekujur badan Han Ping, Ia pejamkan mata dan mulailah terlintas rasa kecurigaannya terhadap kedua nona itu.

Keringat Han Ping menyiarkan bau busuk tetapi Ting Ling malah lega perasaannya, ia membisiki adiknya : “Racun dalam tubuhnya telah dikeluarkan oleh daya obat tadi. Sediakan saja air untuk membasuh muka”.

Dugaan Ting Ling memang benar. Tak sampai sepeminum teh, Han Ping membuka mata dan menegur Ting Hong : “Siapa yang memberi obat itu kepadamu. Hendak kutamparnya !”

“Eh, mengapa engkau hendak memukul orang yang bermaksud baik menolongmu ?”Ting Ling tertawa.

“Dia memberi racun kepadaku !”

Ting Ling tertawa : “Salahmu terlalu kesusu meminum hingga obat itu bekerja serentak. Tetapi ada baiknya juga. Karena keras, racun dalam tubuhmu cepat didesak keluar melalui keringat. Sekarang lukamu baru sembuh benar-benar. Lekas menyalurkan napas lagi, malam ini mungkin terjadi sesuatu”.

Teringat serentak Han Ping akan Heng Ciu yang malam itu hendak mengundang paman gurunya ke kuil untuk berjumpa dengan Pengemis sakti Cong To. Jika kedua belah pihak terjadi perselisihan paham tentu akan timbul pertempuran.

“Kuharap nona berdua suka bersembunyi di luar. Siapa tahu dalam kuil ini akan terjadi pertempuran dahsyat. Kalian berada disini tiada banyak bermanfaat padaku tetapi sebaliknya membahayakan kalian”.

Ting Ling tertawa : “Kamipun sudah tahu. Lekas salurkan peredaran tenaga dalammu, siapa tahu engkau akan ikut campur dalam pertempuran itu”.

“Aku sudah menguji kepandaian Pengemis sakti Cong To. Memang lihai sekali. Ho Heng Ciupun tak menang dengan pengemis kecil itu. Meskipun belum pernah mengetahui kesaktian paman guru pemuda itu, tetapi tentulah seorang tokoh hebat juga. Andaikata mereka melihat aku disini sedang mengobati luka, mereka tentu takkan berbuat apa-apa. Tetapi kalau nona berdua juga berada disini, tentulah lain keadaannya. Jika terbit perkelahian, saat ini kita bukan tandingan mereka !”

Sejenak Ting Ling merenung : “Memang beralasan juga”, katanya, jika kami berdua disini tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka. Tetapi, pun kalau tinggalkan engkau seorang diri, juga berbahaya. Jika ketahuan mereka tentu takkan membiarkan saja !”

Han Ping tertawa. Ia menerangkan bahwa mereka tentu menduga bahwa ia datang ke kuil situ tanpa sengaja karena hendak merawat luka.

Ting Ling menghela napas : “Mencuri lihat pelajaran dari lain partai, merupakan pantangan besar. Kecuali mereka tak mengetahui dirimu, engkau tentu selamat. Tetapi sekali mereka tahu, jangan harap mau memberi ampun. Sekalipun tidak dibunuh tentu akan dicungkil biji matamu atau dipotong lidahmu, kedua tanganmu dan yang paling ringan dipapas dua buah jari tanganmu. Meskipun perguruan Kim-pay-bun tidak tergolong partai besar, tetapi juga seorang partai persilatan. Sudah tentu mereka menjalankan juga peraturan dunia persilatan dalam hal memberi hukuman. Kiranya yang paling selamat, kita segera angkat kaki dari sini sebelum mereka datang”.

“Tidak”, Han Ping menolak, “pengalamanku yang terakhir kali, menyangkut kepentingan dunia persilatan, menang atau kalah. Jika menggunakan kekerasan, tentu akan sia-sia saja”.

“Bagaimana kalau kupakai sebilah papan untuk menggotohgmu. Engkau dapat menyalurkan tenaga dalam sembari memberi petunjuk jalan. Kami yang memanggul papan itu”. Ting Hong tertawa.

Han Ping gelengkan kepala : “Tidak, pada saat menyalurkan hawa murni tubuh, tak boleh berguncang. Sebaiknya kalian tinggalkan tempat, jangan mengurus aku lagi !”

Memandang ke langit, Ting Ling berkata : “Sekarang masih banyak waktu, Mungkin dalam waktu singkat ini engkau dapat menyelesaikan pengobatanmu terakhir. Sekarang setiap detik berharga sekali. Lekas gunakan sebaiknya agar nanti jangan menyesal !”

“Jika pengobatanku ini dapat selesai sebelum tengah malam, keadaannya menguntungkan. Tetapi kalau tak dapat selesai, tentu lain keadaannya,” kata Han Ping.

Ting Ling mendesak supaya pemuda itu lekas mulai bersemedhi. Han Pingpun menurut. Karena tubuhnya sudah bersih dari racun, kini darahnya menyalur lancar. Dalam waktu singkat saja ia sudah dapat mengosongkan pikirannya.

Ketika membuka mata, ternyata ruang kuil sudah diterangi oleh lilin. Melongok ke arah luar, tampak Pengemis sakti Cong To dan si pengemis kecil, sudah datang. Keduanya tegak berdiri di tengah ruang menghadapi Ho Heng Ciu yang tengah mencekal Kim-pay. Muka pemuda itu tampak gelisah.

Pengemis sakti Cong To mengulum senyum dingin. Wajahnya sayu muram. Sedang wajah si pengemis kecilpun tampak gelisah. Ia berdiri di samping gurunya dengan kepala menunduk . . . .

Perlahan-lahan Han Ping menghela napas . Ia berpaling ke belakang. Tampak Ting Ling dan Ting Hong, bersembunyi di belakang. Ia kerutkan dahi dan hendak mendamprat. Tetapi tiba-tiba Ting Ling memberi isyarat dengan lekatkan jari ke mulutnya. Han Ping terpaksa menelan kembali kata-kata ucapannya.

Tempat persembunyian Han Ping dan kedua nona itu terletak di belakang meja arca. Suatu tempat yang teraling oleh bayangan permukaan meja. Jika tak memperhatikan dengan seksama, sukar untuk melihat ketiga anak muda itu. Dan Ting Ling memang cermat sekali. Sebelumnya ia memang sudah menghilangkan semua bekas yang dipergunakannya. Oleh karena Cong To dan si pengemis kecil sedang ditimpa masalah tegang merekapun tak sempat memperhatikan keadaan di sekeliling ruang itu. Sedangkan Heng Ciu jarang keluar ke dunia persilatan. Dia tak dapat menduga tentang kemungkinan itu. Dengan demikian dapatlah Han Ping dan kedua nona Ting bersembunyi dengan aman.

Pengemis sakti Cong To menghela napas panjang, tanyanya kepada pengemis kecil : “Jam berapakah sekarang ini ?”

Pengemis kecil melongok ke cakrawala dan mengatakan bahwa saat itu kurang lebih jam setengah sebelas malam.

Heng Ciu tertawa dingin, ucapnya : “Jika susiok sudah berjanji datang, tentu akan menetapi janjinya !”

Kembali Cong To menghela napas dan perlahan-lahan duduk bersila, pejamkan mata bersemedhi. Dengan lwekangnya yang tinggi dapatlah ia sekejap mata saja sudah mengosongkan pikirannya.

Baru beberapa saat, tiba-tiba ia mendengus dan membuka matanya lagi. Belum sempat ia membuka mulut, terdengarlah bunyi harpa dan pada lain saat masuklah seorang wanita cantik berpakaian sutra hijau, diiring oleh empat dayang saja berpakaian warna merah . . . .

Heng Ciu menyingkir dua langkah ke samping dan membungkuk tubuh memberi hormat : “Murid Ho Heng Ciu dengan hormat menyambut kunjungan susiok”.

Wanita cantik berpakaian sutra hijau itu tersenyum. Sejenak ia memandang pemuda itu lalu melangkah ke tempat Pengemis sakti Cong To.

Cong To berbangkit memberi hormat dengan ucapan tertawa ramah : “Sudah 10 tahun lebih kita tak berjumpa. Keadaan sumoay masih serupa dulu.”

Wanita cantik itu tertawa hambar : “Suheng mencari aku kemari, entah hendak memberi petunjuk apa saja ?”

Pengemis sakti Cong To termahsyur di daerah Kanglam-Kangpak. Tiada seorang tokoh persilatan yang tak mengindahkan kepadanya. Tetapi anehnya, ia seperti kehilangan kewibawaannya ketika berhadapan dengan wanita cantik itu. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat membuka mulut dengan tergugu-gugu : “Dalam hal ini, sesungguhnya aku tak berani menerima kehormatan sumoay, tetapi . . . .”

Cukup lama kiranya wanita cantik itu memberi waktu Cong To untuk bicara. Tetapi karena sampai sekian jenak belum juga Cong To mengatakan kelanjutan dari perkataannya itu, akhirnya wanita cantik itu kerutkan alis dan menukas : “Karena ternyata tiada sesuatu yang penting, lebih baik aku kembali saja . . . .”- habis berkata wanita cantik itu berputar tubuh dan melangkah pergi.

“Harap sumoay berhenti dulu. Aku hendak bicara”, buru-buru Cong To berseru mencegah.

Tampak wajah wanita cantik itu mengerut kurang senang, ucapnya : “Lekas katakanlah, aku tak punya waktu berada disini lama-lama”.

Cong To menghela napas : “Peristiwa yang lampau, kini sudah lalu. Apakah sumoay masih mendendam dalam hati ?”

Wanita cantik baju hijau itu tertawa mengekeh : “Ah, suheng terlalu sungkan. Bagaimana aku berani mendendam padamu ? Hm, hm, aku tiada tempo lagi untuk mengenangkan peristiwa yang sudah lapuk !”

“Kalau begitu, baiklah kuberanikan diri untuk bicara lebih lanjut. Demi memandang wajah mendiang suhu kita, sudilah kiranya sumoay menyerahkan Kim-pay itu kepadaku. Agar ilmu kepandaian dari partai Kim-pay-bun kita tak sampai musnah di dunia persilatan. Tentang diriku, terserah saja bagaimana sumoay hendak memberi keputusan. Aku sudah tua, sudah tak menghiraukan lagi soal mati atau hidup !”

Wanita cantik itu menyahut tawar : “Kakek guru pendiri partai Kim-pay-bun, sudah meninggalkan pesan. Siapa yang berhasil mendapatkan Kim-pay itu, dialah yang menjadi ahli waris partai. Karena Kim-pay itu berada di tanganku, sudah tentu kuanggap diriku menjadi ketua Kim-pay-bun. Kata-kata suheng tadi benar-benar menghina pesan yang ditinggalkan kakek guru pendiri partai. Dan ternyata suheng masih berani mengucapkannya !”

Mendapat dampratan itu, Cong To tertegun diam. Pada saat ia hendak membuka mulut, wanita cantik itu sudah mendahului : “Dan lagi suheng kan sudah mempunyai angan-angan mati. Jika kuserahkan Kim-pay itu, dikuatirkan muridnya yang tak becus itu, tak mampu melindungi Kim-pay kita. Jika Kim-pay sampai jatuh ke tangan orang atau direbut lain orang, hal itu tentu merupakan hinaan maha besar bagi kakek guru kita turun menurun !”

Heng Ciu mengeluarkan pandang ke arah Cong To dan si pengemis kecil, ujarnya : “Setelah membenam diri dalam gunung terpencil, susiok telah berhasil mempelajari berbagai ilmu kepandaian Kim-pay-bun yang sakti. Kali ini keluar dengan membawa cita-cita hendak mencanangkan diri kepada dunia persilatan. Partai-partai persilatan dan tiga marga It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh yang termahsyur itu akan diajak untuk mengukur kepandaian !”

“Apa ?” Cong To terbeliak kaget, “Menurut peraturan yang digariskan kakek guru, turun temurun jabatan ahli waris itu hanya diberikan kepada dua murid. Memang boleh saja menjalankan dharma kebaikan di dunia persilatan. Tetapi jika hendak meningkatkan sepak terjang untuk menguasai dunia persilatan, tentu harus memperluas menerima murid-murid. Hal itu bertentangan dengan pesan kakek guru. Mengapa hendak dilaksanakan ?”

Tiba-tiba wajah si cantik itu mengerut gelap, ujarnya dingin-dingin : “Mengapa hal itu tak boleh? Walaupun turun temurun hanya diwariskan pada dua orang, tetapi tidak ada peraturan yang membatasi jumlah penerimaan murid. Jika kuterima murid secara luas, akan kubagi tingkatan mereka menurut tinggi rendahnya kepandaian. Dengan demikian tidak menyimpang dari garis ketentuan perguruan kita tetapi dapat pula mengembangkan kemajuan partai Kim-pay-bun”.

“Dengan demikian sumoay sudah memutuskan untuk memperbesar perguruan kita dan tak menghiraukan segala apa lagi !”

“Karena Kim-pay berada dalam tanganku, akulah ketua partai Kim-pay-bun. Engkau berani menghina aku, masakan aku tak berani menjatuhkan hukuman kepadamu ?” seru wanita cantik itu dengan murk a.

Cong To menengadahkan muka dan tertawa nyaring : “Selama malang melintang di dunia persilatan, pengemis tua itu tak pernah mengedipkan mata menghadapi musuh yang bagaimana saktinya. Hanya sebuah hal yang paling mengecewakan hidupku yakni tak dapat merebut kembali Kim-pay perguruan kita. Jika malam ini menghadap Kim-pay, rasanya matipun tak menyesal . . . .”

Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat lengan baju menutupi mulutnya yang merekah tawa : “Memang kemunculanku di dunia persilatan kali ini, telah kudengar sanjung pujaan orang terhadap kemahsyuran nama suheng. Dan ternyata apa yang kusaksikan, memang suatu kenyataan. Nama suheng amat menggetarkan di seluruh wilayah Kanglam-Kangpak !”

“Ah, ah, jangan terlalu menjunjung pengemis tua . . . .”

“Tentulah kemahsyuran nama suheng itu bukan jatuh dari langit”, tukas si wanita cantik, “melainkan dengan modal keberanian yang menyala-nyala dan kesaktian yang gilang gemilang. Apabila karena hal itu, suheng binasa begitu saja, apakah tak sayang akan kemahsyuran nama suheng ?”

Ting Ling berbisik ke dekat telinga Han Ping : “Wanita itu luar biasa licinnya. Entah ia hendak memasang jerat apa kepada Pengemis sakti . . . .”

Pengemis sakti tertawa nyaring : “Pengemis tua memang bodoh sehingga tak mengerti apa maksud ucapan sumoay itu . . . .”

Setelah menghadapi pembicaraan beberapa saat, rupanya Pengemis sakti itu mendapat pulang keberaniannya lagi.

Wanita cantik itu tiba-tiba mengisar langkah, menatap si pengemis sakti. Wajahnya berseri-seri laksana bunga segar mekar.

Rupanya Cong To tak berani beradu pandang dengan seri wajah si wanita yang riang. Ia tundukkan kepala dan menyurut mundur dua langkah.

Melihat itu, pengemis kecil kerutkan alis dan mengisar ke samping gurunya. Sedang Heng Ciupun cepat beringsut di belakang si wanita cantik, menjamah bahu wanita cantik dan ditariknya mundur tiga langkah.

Heng Ciu dahulu adalah murid Pengemis sakti. Karena wanita cantik itu adik seperguruan dari Pengemis sakti. Dengan demikian Heng Ciu adalah murid kemenakan dari wanita cantik itu. Tetapi perbuatan Heng Ciu menarik bahu wanita yang menjadi bibi gurunya itu, benar-benar merupakan tingkah laku yang liar.

Melihat itu berobahlah wajah Pengemis sakti. Ia mendengus dingin dan serentak mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepalanya.

Heng Ciu cepat mengangkat Kim-pay dan membentak : “Hayo, berlutut !”

Melihat itu Pengemis sakti terpaksa berlutut. Pengemis kecilpun segera ikut berlutut.

Waktu ditarik mundur tadi, si wanita cantik hanya kerutkan alis tetapi tak marah. Ia melirik Heng Ciu tetapi tak mencegah perbuatan Heng Ciu yang mengacungkan Kim pay itu. Wanita cantik itu menyisih ke samping. Ia memandang ke sekeliling.

Sepasang mata Heng Ciu memancar penuh dendam kemarahan kepada Cong To : “Murid telah melaksanakan perjanjian yakni mengundang susiok kemari bertemu dengan suhu. Entah apakah tugas yang telah kita sepakati dalam perjanjian itu, telah suhu lakukan ?”

Pengemis sakti sapukan matanya kepada Heng Ciu, lalu memandang kepada si wanita cantik, serunya : “Dalam peraturan perguruan kita tercantum bahwa Kim-pay kita itu tak boleh dijabat oleh dua orang. Orang yang memegang Kim pay harus dianggap sebagai pribadi kakek guru, Sumoay mengatakan bahwa sumoay memiliki Kim-pay, karenanya sumoaylah yang menjadi ketua partai. Tetapi apa sebab sumoay membiarkan Kim-pay itu berada di tangan orang lain ? Kepada siapakah aku harus tunduk perintah ?”

Wanita cantik itu tertawa : “Dalam kedudukan sebagai ketua partai Kim-pay-bun, kuangkat Heng Ciu mewakili aku mengeluarkan amanat. Apakah hal itu tak boleh ?”

Pengemis-sakti Cong To menghela napas : “Ya, ya, sudahlah . . . . Pengemis tua tak ingin melihat Kim-pay perguruan kita dihina orang. Lebih baik dari pada menjadi buah tertawaan orang, pengemis tua mati saja di bawah perintah Kim-pay. Hm, lebih baik mati dari pada mata tak kuat memandang hal-hal yang kotor . . . .”

Heng Ciu tertawa dingin : “Sekalipun engkau kepingin mati tetapi dikuatirkan tak semudah itu . . . .” - tiba-tiba ia mengangkat Kim-pay tinggi-tinggi, serunya : “Tiga hari yang lalu telah kuberi amanat Kim-pay. Engkau harus dapat merebut kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun. Kini saat perjanjian itu sudah penuh. Mengapa engkau tak lekas-lekas menghaturkan kitab pusaka itu ? Apakah maksudmu ?”

“Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga untuk merebut kitab itu, tetapi tokoh-tokoh Lam-hay-bun merintangi keras. Oleh karena mereka sakti-sakti, terpaksa sampai detik ini aku belum berhasil merebut kitab mereka. Atas kesalahan itu, pengemis tua bersedia menerima hukuman partai !”

Heng Ciu berpaling kepada wanita cantik itu : “Cong To belum berhasil mendapatkan kitab pusaka. Bagaimana kita akan menindaknya ?”

Wajah wanita itu berobah, kebutkan lengan baju dan menlesat ke hadapan Cong To. Tegurnya dingin : “Jika belum mendapatkan kitab itu, perlu apa engkau suruh aku datang kemari ?”

Tiba-tiba pengemis kecil menyelutuk : “Meskipun suhu belum berhasil mendapat kitab itu, tetapi beliau telah berusaha dengan sekuat tenaga. Beliau telah bertempur sehari semalam sehingga habis tenaga. Sejak ikut pada suhu, belum pernah pengemis kecil menyaksikan suhu bertempur dengan orang sampai begitu hebat. Karena seorang diri, suhu tak dapat menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan menggunakan siasat bergilir. Pengemis kecil tidak punya kepandaian, meskipun ingin membantu tetapi tak mampu turun tangan . . .”

Wanita cantik itu tertawa sinis dan membentaknya : “Tutup mulutmu ! Dalam urusan besar ini, bagaimana engkau berani turut campur mulut !”

Cong To tertawa gelak-gelak : “Untunglah pengemis tua tak dapat merebut kitab itu. Jika dapat, tentu akan berdosa terhadap arwah para kakek pendiri perguruan Kim-pay-bun”.

Wanita cantik itupun tertawa mengikik : “Engkau sangka kalau tak mendapat kitab pusaka dari Lam-hay-bun itu aku tak berani memperluas perguruan kita . . . . ?”

Nadanya agak gentar dan tiba-tiba ia berganti dingin : “sikap suheng memandang kematian seperti pulang ke rumah itu, benar-benar membuat aku kagum. Tetapi kita tunggal seperguruan dan mengingat budi suheng yang telah banyak membantu kepadaku ketika sedang menuntut pelajaran, jika suruh aku turun tangan sungguh hatiku tak sampai”.

Mendengar itu, berseri rianglah wajah si pengemis kecil. Serta merta ia berlutut memberi hormat : “Sejak berpisah dengan susiok, tak seharipun suhu tak mengenangkan . . . .”

Tiba-tiba wanita cantik ulurkan tangan mendorong Cong To lalu bertanya sambil tertawa : “Benarkah siang malam suheng mengenangkan diriku ?”

Cong To menghela napas : “Jika sumoay hendak menghukum diri pengemis tua ini, silahkan turun tangan saja. Cara menyiksa batin begini, sungguh membuat pengemis tua tak dapat mati dengan meram !”

Tiba-tiba teringatlah si pengemis kecil bahwa makin susioknya itu tertawa manis, makin ganaslah tindakannya. Diam-diam hatinya tergentar. Serentak ia berbangkit dan loncat melindungi si Pengemis sakti seraya berseru : “Jika hendak menghukum, silahkan susiok menghukum pengemis kecil ini ! Tetapi mohon sudilah rnembebaskan suhu. Sekalipun pengemis kecil menderita siksaan yang bagaimana hebatnya, tetap pengemis kecil berterima kasih atas budi susiok !”

Wanita cantik itu perlahan-lahan mengangkat kaki sehingga tampak celana warna merah dan telapak kaki yang mungil.

Dengan merekah senyum tawa yang menyengsamkan, berkatalah ia : “Seorang murid yang begitu menghormat gurunya, sungguh jarang sekali kujumpai di dunia !”- perlahan-lahan kakinya menjulur dan mendepak dada si pengemis kecil.

Tampaknya gerak kakinya itu seperti orang menari, perlahan dan indah sekali. Tetapi ternyata pengemis kecil itu menjerit dan muntah darah terus rubuh di tanah, mencelat beberapa langkah ke belakang,

Pengemis sakti Cong To menyaksikan peristiwa itu dengan mata berapi-api. Serentak ia membentak : “Tindakan sumoay terhadap seorang angkatan muda begitu apakah tidak terlalu kejam ?”

Wanita cantik itu tertawa riang : “Aku mendapat kesan, hubungan kalian guru dan murid tak ubah seperti ayah dan anak saja. Jika suheng binasa, diapun tentu berduka dan ingin menemani suheng. Maka lebih baik kusempurnakan keinginannya sekali agar kalian dapat tetap berkumpul di alam baka !”

Cong To tertawa. Ia berpaling kepada muridnya si pengemis kecil, serunya : “Kau Ji, mulai saat ini, engkau sudah bukan anak murid Kim-pay-bun lagi . . . . !”

Pengemis kecil itu bergeliat duduk, sahutnya : “Budi suhu terhadap murid adalah melebihi gunung besarnya. Sekalipun murid harus mati disini, tetapi murid tak mau keluar dari perguruan !”

“Pengemis tua mengucap perkataan tentu harus dilaksanakan. Bagaimana engkau berani membantah ! Lekas enyah dari sini !”

Wanita cantik itu tertawa : “Jalan darahnya telah kututuk, sekalipun tidak mati tetapi takkan sembuh dalam waktu yang singkat. Sesungguhnya mengingat kepandaian suheng yang tinggi, tentu suheng dapat menyembuhkannya. Tetapi sayang suheng sendiripun akan kehilangan kemampuan untuk mengobatinya . . . .”

Habis berkata, wajah wanita itu mengerut gelak. Tiba-tiba ia ulurkan dua buah jari tangan kanannya ke arah dada Cong To.

Dalam detik-detik elmaut hendak merenggut jiwa si Pengemis sakti, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras : “Tahan !”

Serangkum angin pukulan menghambur keluar dari belakang meja arca. Wanita cantik itu menyisih ke samping. Ketika berpaling, ia melihat seorang pemuda cakap yang gagah dan dua orang nona cantik muncul dari belakang meja sembahjang.

Kiranya Han Ping mengetahui semua pembicaraan dan peristiwa yang berlangsung di ruangan kuil itu. Ting Ling dan Ting Hong kuatir Han Ping tak tahan dan menerobos keluar. Kedua nona itu berusaha keras untuk mencegahnya jangan mencampuri urusan si Pengemis sakti dengan sumoaynya.

Tetapi tindakan kedua nona itu kebalikannya malah menimbulkan semangat kegagahannya.

Lebih-lebih ketika melihat kecabulan si wanita yang begitu mesra dengan Ho Heng Ciu. makin merahlah mata Han Ping. Darahnya meluap-luap . . . .

Pada saat si wanita genit hendak menutuk dada Cong To, tak dapat lagi Han Ping menahan kesabarannya. Serentak ia loncat membentak dan lontarkan pukulan Biat-gong-ciang atau Pembelah angkasa. Kedua nona Ting itu terpaksa mengikuti tindakan Han Ping.

Ternyata setelah sempat menyalurkan darah untuk mengobati lukanya selama tiga hari itu, luka Han Ping boleh dikata sudah hampir sembuh sama sekali. Tenaganyapun pulih kembali. Ia tak menyadari hal itu tetapi bagi si wanita cantik, pukulan pemuda itu mengejutkan sekali kedahsyatannya. Wanita cantik itu tak mau adu kekerasan melainkan menghindar ke samping.

Kedua nona Tingpun terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga pukulan Han Ping. Diam-diam mereka girang juga.

Marah sekali wanita genit itu karena diserang dari belakang. Tetapi ketika berpaling dan melihat Han Ping seorang pemuda cakap, redalah amarahnya. Sepasang matanya berkaca minyak dan mulutnya mengulum senyum manis seraya berseru : “lh, siapakah engkau ? Tahukah engkau bahwa mencuri lihat atau mencuri dengar urusan dalam suatu partai, merupakan larangan besar ?”

Han Ping tertawa hambar : “Sudah lebih dulu tiga hari yang lalu aku berada disini mengobati luka. Adalah salahmu sendiri mengapa tak mau memeriksa tempat ini hingga pembicaraanmu sampai terdengar orang. Hal itu tak boleh menyalahkan aku !”

Han Ping benar-benar tak punya pengalaman sehingga jujur sakali bicaranya. Sampai sedang mengobati luka, pun dikatakan.

Sepasang mata yang tajam dari wanita cantik itu menatap wajah Han Ping. Ia geleng-geleng kepala tertawa : “lh, tak nyana orang muda seperti engkau dapat mengatakan kebohongan dengan wajah tak berobah . . . .”

“Tutup mulutmu ! Aku seorang anak laki-laki, masakan mau membohongimu !” bentak Han Ping murka.

Wanita cantik itu tersenyum : “Baiklah, anggap saja engkau bicara sejujurnya ! Siapakah kedua budak perempuan itu ?”

“Apakah pedullmu dengan mereka ?” balas Han Ping.

“Kalau tak boleh peduli, apakah tak boleh bertanya ?” wanita cantik itu tertawa.

Melihat wanita cantik itu bertingkah genit terhadap Han Ping, marahlah Ting Hong. Ia cepat mendamprat : “Huh, sungguh tak sedap dipandang mata tingkah laka yang berbau cabul itu !”

Mata wanita cantik menggeliar, memancarkan sinar pembunuhan. Namun mulutnya masih tenang-tenang berkata : “Siapakah yang nona maki itu ?”- ia melangkah menghampiri Ting Hong.

“Bagaimana engkau tahu siapa yang kumaki itu. Huh, siapa yang berbuat tentu tersinggung !” sahut Ting Hong.

Sedangkan Ting Ling yang bermata tajam, telah memperhatikan bahwa wanita genit itu mengandung maksud jahat. buru-buru ia meneriaki adiknya supaya mundur. Tetapi gerakan wanita itu cepat sekali. tiba-tiba ia mengendap, melesat ke samping dan menampar bahu Ting Hong.

Rupanya lengan baju wanita genit itu memang khusus untuk menampar musuh. Karena lengan baju itu dapat merentang panjang.

Ting Hong terkejut sekali. Daiam gugup, ia menyelinap ke samping dua langkah.

Tamparannya luput, tanpa berpaling kepala, wanita cantik itu kibaskan lengan baju ke belakang menghantam Ting Hong.

Ting Hong tak menyangka bahwa lengan baju wanita itu dapat menjulur panjang dan dapat pula mengarah sasaran dengan tepat. Ia tak keburu menghindar lagi.

Pada saat Ting Hong terancam bahaya, tiba-tiba Han Ping membentak keras dan menghantam punggung wanita itu.

Wanita itu cepat berputar diri. Tangan kanannya yang menampar Ting Hong tiba-tiba ditarik pulang untuk menyingkap rambutnya yang longsor. Sedang tangan kiri menampar Han Ping.

Berjaga diri sambil menyerang, dilakukannya serempak dalam sebuah gerak yang indah sekali. Setitikpun tak mirip gerak orang berkelahi, melainkan seperti orang sedang menari.

Walaupun mengetahui bahwa tamparan lengan baju wanita itu mengandung tenaga dahsyat, tetapi Han Ping tak mau menghindar. Ia menangkis dengan tangan kiri. Hal itu mengejutkan si wanita genit. Ia tak menyangka pemuda itu berani adu kekerasan. Buru-buru ia endapkan tangannya ke bawah untuk menghindari benturan seraya tertawa. “lh, cara berkelahi yang nekad ! Apakah engkau tak takut terluka ?”

Wanita itu berputar tubuh, menyingkir tiga langkah ke samping.

Kesempatan itu dimanfaatkan Han Ping, ia menyusup maju. Tangan kiri memukul, tangan kanan gunakan ilmu Kin-liong-chiu untuk menangkap siku lengan orang.

Tangan kiri menghambur tenaga, tangan kanan melincah tangkas. Tenaga dan kelincahan serempak digunakan. Tangan kiri seperti palu godam menghantam karang, tangan kanan segesit ular meluncur . . .

Karena menyingkir ke samping itu, si wanita cantik kehilangan posisi. Ditambah dengan gerakan Han Ping yang luar biasa anehnya, membuat si wanita terbeliak kaget. Buru-buru tubuhnya mencondong ke samping untuk menghindari pukulan. Tetapi siku lengannya yang kiri tak dapat lolos dari cengkeraman Han Ping. Seketika ia rasakan lengannya kesemutan . . . .

Peristiwa itu selain mengejutkan Ho Heng Ciu dan kedua nona Ting, pun Pengemis sakti Cong To juga terkesiap kaget. Ia mengetahui ilmu menyambar dengan tangan kosong itu, jauh berlainan dengan ilmu menyambar yang terdapat di dunia persilatan. Gerakannya aneh, perobahannya sukar diduga.

Si wanita genit diam-diam terkejut. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke arah lengannya. Seketika lengan si wanita yang halus itu berobah keras seperti batu. Tetapi ketika ia hendak meronta dari cekalan Han Ping, ternyata pemuda itu sudah melepaskannya dan mundur tiga langkah.

“Untuk membayar penarikan lengan bajunya yang mengebut bahuku tadi, akupun melepaskan cengkeramanku. Kita tak saling berhutang !” seru Han Ping.

Mendengar itu Ting Ling kerutkan dahi : “Wanita baju hijau itu jelas memiliki kepandaian sakti. Belum tentu Han Ping seorang diri mampu mengalahkannya. Apalagi sebagai ketua Kim-pay-bun, ia dapat menyuruh Cong To untuk turun tangan. Hm, benar-benar goblok sekali Han Ping itu. Pura-pura menjadi ksatria perwira tetapi telah menghilangkan kesempatan yang bagus. Tak mungkin dia mampu menangkap wanita itu lagi . . . .”

Begitupun Heng Ciu. Dia juga tak puas melihat susioknya, si wanita cantik itu, batalkan tamparannya kepada Han Ping. Begitu pula ketika melihat Han Ping lepaskan cengkeramannya selama membalas budi, makin besarlah cemburu hati Heng Ciu. Tanpa menunggu perintah si wanita cantik lagi, Heng Ciu terus mengangkat Kim-pay dan berseru keras : “Cong To, murid tingkatan kedua belas dari Kim-pay bun, sambutlah amanat Kim pay !”

Cong To mengangkat kedua tangannya memberi hormat : “Murid Cong To dengan hormat menerima perintah !”

“Dalam 100 jurus engkau harus dapat membunuh pemuda she Ji itu. Tidak boleh gagal !”

Cong To berbangkit dan berputar diri menghadapi Han Ping. Melihat Han Ping tegak berdiri dengan gagah parkasa dan tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun juga, tersiraplah darah Cong To. Pikirnya : “Jelas dia bukan tandinganku tetapi dia tak takut sama sekali. Keangkuhan dan keberaniannya benar-benar mengagumkan . . . .”

“Diam-diam timbul rasa sayang kepada pemuda itu.

Melihat si Pengemis sakti tak lekas turun tangan, Heng Ciu mengangkat Kim-pay makin tinggi dan mendesak Cong To supaya lekas bertindak.

Tiba-tiba wanita genit itu melesat ke samping Heng Ciu dan ulurkan tangan kanan, ujarnya : “Berikan Kim-pay itu kepadaku. Urusan malam ini, serahkan padaku !”

Heng Ciu terkesiap : “Mengapa ?” Wanita cantik itu tertawa : “Aku dan gurumu, adalah saudara seperguruan. Sejak kecil bergaul sampai besar. Begitu berjumpa, tentu harus melakukan penghormatan . . . .”

Nadanya lemah lembut tetapi wajahnya memancarkan hawa pembunuhan yang ganas. Dan Heng Ciu yang cukup mengetahui tentang perangai susioknya itu tak berani membantah lagi. Segera ia menyerahkan Kim-pay.

Setelah menyambuti Kim-pay, berpalinglah wanita baju hijau itu ke arah Cong To : “Tak peduli engkau setuju atau tidak terhadap tindakanku untuk mengembangkan perguruan kita, tetapi aku sudah mengambil ketetapan. Apalagi belum tentu akan menggunakan nama Kim-pay-bun itu. Jika engkau dapat memperoleh kitab pusaka dari Lam-hay bun, akupun bersedia menukarkan Kim pay yang kuperoleh dengan jerih payah selama bertahun-tahun ini, kepadamu !”

Cong To menghela napas : “Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi ilmu kepandaian orang-orang Lam-hay-bun itu memang hebat. Kim-pay perguruan kita itu adalah barang peninggalan dari kakek guru pendiri Kim-pay bun. Asal Pengemis tua masih hidup, tentu akan berusaha untuk mendapatkannya. Jika sumoay mengembalikan Kim-pay itu berarti sumoay telah mengembalikan kedudukan pengemis tua ini . . . .”

Wanita baju hijau itu tersenyum : “Setelah memperoleh kedudukan sebagai pimpinan engkau tentu menjalankan peraturan perguruan. Yang pertama kali tentu akan menangkap aku atas tuduhan menghianati perguruan. Kemudian menghukumku nenurut peraturan perguruan, benar tidak ?”

“Benar,” sahut Cong To tegas, “itu memang sudah menjadi peraturan yang ditetapkan oleh kakek guru. Setiap murid Kim-pay-bun harus taat !”

“Jika aku tak mentaati perintah Kim-pay ? Bagaimana tindakanmu ?” tanyanya sambil tertawa.

Sahut cong-To dengan tandas : “Atas budi kakek guru, pengemis tua ini telah diangkat menjadi ketua Kim-pay-bun angkatan ke 12. Sudah tentu pengemis tua akan berusaha sekuat tenaga untuk menjamin dan melaksanakan segala peraturan perguruan. Asal sumoy suka menyerahkan Kim-pay itu kepadaku, tentu segera akan kuatur pelaksanaannya !”

Wanita cantik itu tertawa : “Mengatur pelaksanaan peraturan perguruan adalah urusanmu. Mentaati atau tidak, terserah kepadaku. Tetapi yang jelas, sekarang engkau belum mendapatkan Kim-pay itu. Tak perlu engkau membayangkan hal yang tidak-tidak. Sebelum mendapatkan kitab pusaka Lam-hay-bun, jangan mimpi untuk memperoleh Kim-pay. Kim-pay ditukar dengan kitab, masing-masing mempunyai kepentingan dan kebutuhan sehingga tak saling rugi. Berpuluh tahun aku menderita untuk mendapatkannya. Kalau engkau menggunakan tenaga untuk merebut kitab pusaka, itu sudah selayaknya !”

Cong To menghela napas : “Pengemis tua sudah kehilangan kepercayaan untuk merebut kitab itu. Tetapi tetap akan kuusahakan sekuat tenagaku.”

Wanita cantik itu merenung beberapa jenak, tiba-tiba ia tertawa : “Dalam hal itu aku bersedia membantumu, tetapi engkaupun harus berjuang sungguh-sungguh . . . .” - wanita itu berhenti lalu berpaling ke arah Han Ping, ucapnya : “Mengapa engkau kerutkan dahi ? Jika hendak menantang adu kesaktian dengan aku, mari kita cari sebuah tempatyang sunyi. Disitu kita dapat bertanding dengan sepuas-puasnya dan menentukan siapa yang lebih unggul !”

Han Ping menyambut tantangan itu dengan tertawa dingin : “Sudan tentu akan kulayani !”

Wanita cantik berpaling lagi kepada Cong To, katanya : “Murid kesayanganmu itu telah kututuk jalan darahnya. Telah kuberinya kelonggaran, walaupun lukanya berat, tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dengan kepandaianmu tidaklah sukar untuk mengobatinya. Biar Ho Heng Ciu kutinggal disini. Jika engkau memerlukan bantuanku, biarlah dia memberitahukan kepadaku, aku pasti segera datang . . . .”

Tiba-tiba wanita cantik itu tertawa melengking serunya : “Suheng, selamatlah. Sumoay hendak mohon diri . . . .”- ia terus melangkah perlahan-lahan keluar dari ruang kuil.

Demi kepentingan susiok, murid sanggup berkorban sampai mati, tetapi . . . .” teriak Heng Ciu.

Wanita cantik itu kerutkan alis dan tertawa : “Kalau sedia berkorban sampai mati, mengapa engkau takut-takut lagi ? Jangan kuatir, tinggallah disini !”

“Murid . . . .”

“Tak perlu banyak bicara !” bentak wanita cantik itu dengan marah, “dua tiga hari lagi akan kukirim orang untuk menjemputmu !” - habis berkata ia terus lanjutkan langkah.

Ke empat gadis baju merah pengiringnya, pun segera berputar tubuh dan mengikuti di belakang si wanita genit.

Ting Ling seperti ditusuk jarum. Apa yang lain orang tak memperhatikan, nona itu selalu cermat. Melihat gerakan ke empat gadis dayang-dayang itu, tahulah ia bahwa mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Dan memandang ke arah Ho Heng Ciu, ternyata pemuda itu seperti orang yang kehilangan ibunya. Wajahnya berduka sekali, tegak berdiri terlongong-longong memandang bayangan wanita cantik tadi. Diam-diam Ting Ling geli dalam hati.

Karena Han Ping tak ikut menyusul, wanita genit itu berpaling menuding Han Ping, serunya tertawa : “Bukankah engkau hendak menantang berkelahi ? Mengapa engkau tak menyusul kemari ?”

“Huh, apa engkau sangka takut padamu !” teriak Han Ping murka seraya ayunkan langkah keluar ruang.

“Tunggu !” cepat-cepat Ting Hong meneriakinya.

Han Ping terkejut, serunya : “Engkau memanggil aku ?”

“Ya,” sahut Ting Hong, “wanita itu licin seperti siluman rase. Perlu apa engkau mendengar kata-katanya ? Kalau mau bertanding, perlu apa harus mencari tempat yang sepi . . . .”

“Benar, wanita itu memang bukan sesungguhnya hendak adu kepandaian dengan engkau. Dia tentu mempunyai maksud lain !” seru Ting Ling.

Dahi wanita cantik itu mengerut hawa pembunuhan. Sekali ayunkan tubuh, ia melayang ke dalam ruangan lagi. Sambil tertawa mengikik ia menegur Ting Ling : “Adik ini mengatakan kalau aku mempunyai lain maksud. Cobalah katakan, maksud apa itu ?”- Sambil berkata-kata, si wanita genit perlahan-lahan mengisar mendekati Ting Ling.

Ting Ling seorang nona yang cerdas. Tetapi betapapun, dia tetap seorang gadis. Atas pertanyaan si wanita genit, wajahnya tersipu merah.

“Siapa yang tahu isi hatimu. Hm, jelas sudah hatimu tentu mempunyai rencana lain !” ia mendamprat wanita itu.

Sesungguhnya amarah wanita itu sudah menyala. Tetapi wajahnya tetap tenang dan malah tertawa riang : “Kata-kata adik ini, sukar dimengerti. Seorang anak perempuan yang masih begitu muda, mengapa mempunyai pikiran yang tak keruan? Mulut adalah cermin hati . . . .”

Cong To tak mengira bahwa sumoay yang sudah tak berjumpa selama 20 tahun itu, kini ternyata berobah menjadi seorang wanita yang cabul. Malunya bukan kepalang. Cepat-cepat pengemis sakti itu mendengus dan berpaling muka.

Ting Ling yang lincah pikiran, serta mendengar dengusan si pengemis sakti, ia segera tersadar dan cepat melesat beberapa langkah ke samping.

“Hm, budak yang licin !” diam-diam wanita itu memaki.

Sambil membungkuk badan seperti orang memberi hormat, wanita genit itu berseru tertawa : “Mengapa engkau lari ?”

Sekali tubuh menjulur keatas lagi, tiba-tiba wanita itu melesat serta menampar.

Wanita genit itu memang sakti. Apalagi serangan itu dilancarkan dengan nafsu kemarahan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang.

Baru Ting Ling menginjak tanah, segera ia merasa dilanda oleh serangkum hawa panas, seperti air mendidih. Seketika tubuh nona itu menggigil. Keringat bercucuran membanjir keluar . . . .

Setelah melepaskan pukulan, wajah si wanita genit yang semula berseri merah segar, saat itu berobah pucat lesi. Ia loncat keluar ruang lagi lalu lari pesat.

Sesungguhnya Han Ping memang kurang pengalaman. Walaupun ia tahu bahwa pukulan yang diderita Ting Ling itu bukan ilmu pukulan biasa, tetapi ia tak tahu caranya mencegah tindakan si wanita genit.

Agaknya Ting Ling sudah merasa sesuatu yang tak wajar pada dirinya. Ia tertawa hambar, ujarnya : “Aku terkena pukulan gelap dari wanita itu . . . .”

“Apa ? Taci terluka ?” Ting Hong terkejut. Dilihatnya muka tacinya membegap merah dan dahinya penuh butir-butir keringat.

“Aku segera akan mati terbakar . . . .” kata Ting Ling seraya mengusap dahinya. Dari seorang gadis yang biasanya keras dan angkuh, saat itu nada suara Ting Ling lemah lembut. Napasnyapun sesak seperti tengah menderita kesakitan hebat.

Han Ping terkejut. Ia tak sangka wanita genit itu memiliki ilmu pukulan yang sedemikian ganasnya. Ia tak sampai hati melihat Ting Ling menderita kesakitan begitu. Dihampirinya nona itu dan dirabanya kening Ting Ling. Ia berjingkat kaget. Kening Ting Ling membaurkan hawa yang panas sekali.

“Hai, ilmu pukulan apa ini . . . ?” diam-diam ia terkejut dalam hati. Tiba-tiba ia teringat bahwa Pengemis sakti Cong To adalah suheng dari wanita baju hijau tadi. Mungkin pengemis tua itu dapat menolong.

“Sebagai suheng dari wanita baju hijau tadi, kiranya locianpwe tentu mengetahui pukulan apa yang digunakan untuk memukul nona Ting ini ?” katanya kepada Cong To.

Sebagai tokoh yang termahsyur, setiap orang persilatan tentu mengindahkan sekali kepada Cong To. Han Ping kurang pengalaman apalagi dalam keadaan bingung. Ia tak menghiraukan segala peraturan lagi.

Pengemis sakti Cong To kerutkan dahi lalu menjawab dengan dingin : “Pukulan itu, pengemis tua sendiri pun tak tahu !”

Betapapun juga sebagai seorang gadis, Ting Ling merasa malu keningnya dijamah seorang pemuda dan dilihat oleh orang. Ia tersenyum dan menolak dengan halus : “Ah, sudahlah, aku masih dapat bertahan sendiri. Tak perlu engkau sibuk-sibuk.”

Sejenak Han Ping berpaling memandang nona itu lalu berpaling lagi menatap Cong To : “Locianpwe seorang tokoh yang harum namanya dan sangat kukagumi. Melihat seorang nona sedang menderita kesakitan hebat dan tak menolong. Apakah hal itu berkenan dalam hati locianpwe ?”

Serangkai ucapan yang keras tetapi beralasan sekali. Mau tak mau Cong To tergerak juga hatinya. Ia maju menghampiri ke tempat Ting Ling. Setelah memeriksa sejenak, ia berpaling kepada Han Ping.

“Dia terkena pukulan lwekang Sam-yang-cin-gi !” serunya.

Han Ping tertegun.

“Apakah locianpwe dapat menolongnya ?”

Cong To merenung diam. Beberapa saat kemudian ia berkata : “Pukulan lwekang Sam-yang-cin-gi, merupakan ilmu pukulan yang paling sukar dari perguruan kami. Pengemis tua tak mampu menolongnya !”

“Kalau begitu, pukulan Sam-yang-cin-gi itu tiada obatnya lagi ?” Han Ping menegas.

Tiba-tiba Heng Ciu menyelutuk : “Memang bisa ditolong tetapi harus susiokku yang turun tangan. Kecuali dia, tiada seorangpun di dunia ini yang mampu menolongnya !”

Mendengar tacinya tak dapat tertolong lagi, hati Ting Hong berduka sekali. Air matanya bercucuran. Ia berlutut memeluk tubuh tacinya : “Ci, mari kita pulang. Kemungkinan ayah dapat menolongmu !”

Ting Ling memegang lengan adiknya, gelengkan kepala tertawa : “Mungkin aku tak kuat bertahan lagi. Engkau pulang sendiri saja. Apabila berjumpa ayah bilanglah kalau aku mati di tengah jalan karena menderita sakit. Jangan bilang karena terkena pukulan Sam-yang-cin-gi !”

“Jangan kuatir !” tiba-tiba Han Ping berseru, “tentu akan kutangkap wanita baju hijau itu dan kupaksanya supaya mengobati engkau !”

Tiba-tiba pemuda itu melesat ke samping Heng Ciu, sekali menyambar ia mencengkeram siku lengan pemuda she Ho itu.

Ho Heng Ciu pernah merasakan kelihaian Han Ping serta menyaksikan pemuda itu bertempur dengan susioknya yakni si wanita baju hijau itu. Ia menyadari kalau kepandaiannya kalah unggul dengan Han Ping. Cepat-cepat ia loncat menghindar ke samping.

Tetapi Han Ping sudah siapkan rencana untuk meringkus pemuda itu. Begitu Heng Ciu menghindar ke samping, secepat itu pula Han Ping menghantam dengan tangan kiri.

Pukulan itu tepat sekali waktunya sehingga anginnya tepat menyambar di belakang Heng Ciu. Pemuda itu terpaksa loncat balik ke tempatnya semula. Disitu Han Ping sudah menunggu menerkamnya. Ilmu menangkap dengan tangan kosong Kin-liong-chiu ajaran mendiang padri Hui Gong merupakan ilmu simpanan gereja Siau-lim-si yang jarang dimainkan. Oleh karenanya walaupun jago-jago kelas satu, juga tak pernah melihat ilmu sambaran dengan tangan kosong semacam itu.

Dalam keadaan terdesak, Heng Ciu nekad hendak menghantam tetapi tiba-tiba ia rasa siku lengannya kesemutan dan tenaganya lenyap. Tahu-tahu pergelangan tangannyapun telah dicengkeram Han Ping.

Cong To deliki mata kepada Han Ping. Tampaknya pengemis sakti itu hendak turun tangan. Tetapi entah bagaimana ia malah berputar tubuh dan menghampiri muridnya, si pengemis kecil.

Sekali Han Ping keraskan cengkeramannya, Heng Ciu rasakan darah pada lengan kirinya itu melancar balik ke atas lagi, terus menyusup ke jantung.

Pergelangan tangannya serasa pecah tulangnya.

Keringatpun bercucuran seperti hujan.

Saat itu Cong To sudah berjongkok hendak menolong si pengemis kecil. Tetapi serta melihat wajah Heng Ciu mengerut derita kesakitan, serentak ia berbangkit lagi dan membentak Han Ping : “Dalam perguruan pengemis tua, selamanya tak membenarkan orang luar turut campur dalam perguruan. Lekas lepaskan cekalanmu !”

Hanya sejenak Han Ping berpaling memandang Cong To lalu bertanya garang kepada Heng Ciu : “Dimanakah tempat wanita baju hijau itu ?”

Heng Ciu deliki mata kepada Cong To. Ia marah sekali karena pengemis sakti itu tak mau menurun tangan. Tetapi ia percaya, pengemis sakti itu pasti menolongnya. Seketika nyalinya timbul. Dengan keras hati ia tahan kesakitan dan menyahut angkuh : “Tidak tahu !”

Han Ping tertawa dingin. Ia keraskan cengkeramannya. Saat itu Heng Ciu rasakan tulang tangannya seperti terpisah. Sakitnya sampai menusuk ke ulu hati sehingga ia mengerang tertahan.

Dengan marah Han Ping menggeram : “Engkau mau mengatakan atau tidak . . . .”

“Lepaskan !” tiba-tiba Cong To membentak seraya menerjang.

Tetapi Han Ping sudah siap. Lebih dulu ia menutuk iga Heng Ciu lalu mendorongnya ke muka. Kemudian tangan kirinya menyongsong pukulan Cong To. Begitu pukulan pengemis sakti itu tertahan, Han Pingpun cepat mundur tiga langkah.

Sesungguhnya walaupun pukulan Cong To itu dahsyat sekali tampaknya, tetapi karena ia tak mau sungguh-sungguh melukai pemuda itu, maka pukulan itupun tak disaluri tenaga penuh. Tujuannya hanya menolong Heng Ciu saja.

Pada saat Han Ping mundur ke belakang itu, ia pun lepaskan cengkeramannya pada lengan Heng Ciu. Karena jalan darahnya tertutuk, begitu digoyangkan sedikit saja, Heng Ciu sudah rubuh ke belakang. Untung Cong To cepat menyambutnya dan segera mengurut jalan darah yang tertutuk itu.

“Karena locianpwe bertindak begitu, jangan sesalkan aku berlaku kurang hormat !” bentak Han Ping seraya dorongkan tangan ke arah Cong To.

Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman, tahulah Cong To bahwa dorongan tangan pemuda itu mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Ia heran mengapa dalam waktu yang singkat, pemuda itu telah mencapai kemajuan yang sedemikian pesatnya.

Cong To cepat bertindak. Dengan tangan kiri ia dorong tubuh Heng Ciu supaya keluar dari lingkaran dorongan Han Ping. Sedangkan tangannya kanan menampar ke belakang, menangkis pukulan Han Ping.

Han Ping pernah menelan pil pahit dari pengemis sakti itu. Ia tahu tenaga dalam pengemis itu melebihi dirinya. Jika adu kekerasan, ia tentu kalah. Cepat ia mundur ke belakang.

Pada waktu terjadi benturan angin tenaga dalam dari kedua orang itu, Cong To terpental empat langkah. Bukan karena ia kalah tinggi tenaga dalamnya tetapi karena pukulannya tadi hanya menggunakan enam bagian dari tenaga dalamnya.

Selekas mundur ke belakang, ternyata Han Ping loncat melayang kehadapan Cong To lagi, serunya : “Locianpwe seorang tokoh perwira dan berbudi luhur. Tetapi mengapa bukan menolong gadis yang terluka itu kebalikannya malah merintangi aku ? Tindakan locianpwe itu dikuatirkan akan menodai nama baik locianpwe !”

Cong To murka : “Dalam setiap tindakan, aku tak perlu bertanya lagi kepada siapapun juga. Meskipun Ho Heng Ciu itu seorang murid murtad, tetapi dia tetap masih murid perguruan Kim-pay-bun. Pengemis tua terpaksa tak dapat membiarkan siapa saja mencelakainya di hadapanku !”

“Apakah sekalipun murid Kim-pay-bun itu bersalah melanggar peraturan perguruan, locianpwe juga tetap hendak melindunginya ?” Han Ping menegas.

“Itu kami sendiri yang akan memberi hukuman, orang luar tak perlu mengurusi !”

Han Ping tertawa hambar : “Kim-pay berada di tangan wanita baju hijau itu. Kedudukan locianpwe tak lebih hanya seorang murid Kim-pay-bun. Dengan hak apa locianpwe hendak menghukum seorang murid yang berhianat ?” tajam sekali ia mengajukan pertanyaan itu.

Sahut Cong To dengan tandas : “Pengemis tua ini adalah ahli waris Kim-pay-bun yang ke 12. Sekalipun tidak memegang Kim-pay, tetapi tetap menguasai perguruan dan anak-anak murid. Siapa bilang pengemis tua ini tak berhak ?”

Marahlah Han Ping, serunya : “Engkau begitu berkeras hendak melindungi murid hianat, seluruh orang gagah tentu akan menistamu. Dahulu aku sangat mengagumi pribadi locianpwe, tetapi melihat tindakan locianpwe malam ini, aku amat kecewa sekali !”

Han Ping bicara dengan jujur. Apa yang dikandung dalam hati terus ditumpahkan keluar semua. Ia tak peduli orang akan tersinggung atau tidak.

Biasanya Cong To amat disegani dan dihormati orang. Baru pertama kali itu ia berhadapan dengan orang yang berani terus terang memakinya. Ia termangu-mangu tak tahu apa yang harus dilakukan. . . .

Habis mendamprat, Han Ping berputar tubuh ke arah Ting Ling, tanyanya : “Apakah engkau masih dapat bertahan ?”

Sesungguhnya Ting Ling sudah payah sekali. Tubuhnya serasa hangus dibakar api. Tetapi demi melihat sikap Han Ping yang begitu memperhatikan dirinya, tergeraklah hati nona itu. Ia kerutkan geraham menahan kesakitan lalu menyahut dengan tertawa : “Tak jadi apa. aku masih dapat bertahan.”

Han Ping meminta Ting Hong supaya memanggul tacinya. Melihat pemuda itu merah padam karena marah, Ting Hong takut juga sehingga tangannya gemetar. Ia cepat melakukan perintah Han Ping. Ting Ling dipanggulnya terus dibawa keluar.

“Minta dia supaya ikut bersama kita ! Cong To amat sakti, bukan tandingannya”, walaupun terluka parah tetapi pikiran Ting Ling masih sadar. Ia suruh adiknya menyampaikan pada Han Ping.

Ting Hong mengiakan dan menyampaikannya kepada Han Ping. Tetapi Han Ping kerutkan alis dan minta kedua nona itu berjalan dulu. Setelah ia menyelesaikan urusan, segera akan menyusul mereka.

“Cici, dia tak mau ikut pergi, bagaimana ?” tanya Ting Hong kepada Ting Ling.

“Kalau begitu, tak perlu kita pergi. Kita tetap disini melihat dia menempur Cong To. Bila perlu kita dapat memberi bantuan”, kata Ting Ling.

Melihat kedua nona itu berhenti di ambang pintu, tahulah Han Ping maksud mereka. Sejenak merenung, berserulah ia kepada Cong To dengan lantang : “Tiga hari yang lalu locianpwe telah memberi hadiah pukulan kepadaku sehingga aku terpaksa merawat luka dalam selama tiga hari . . . .”

“Untunglah pengemis tua masih belum mati. Jika engkau penasaran, silahkan menagih hutang kepadaku !” sahut Cong To.

Han Ping tertawa tawar. Sejenak ia sapukan pandang ke ambang pintu, kemudian berkata : “Dalam sepanjang hidupku, aku paling membenci manusia culas yang pura-pura berbuat kebaikan. Karena mendengar centa orang tentang sepak terjang locianpwe yang luhur perwira, aku sangat menghargai sekali kepada locianpwe. Tetapi apa lacur. Peristiwa yang kusaksikan malam ini, benar-benar mengecewakan hatiku. Rupanya kabar dalam dunia persilatan itu hanya kosong belaka, tidak sesuai dengan kenyataan !”

Cong To menengadahkan kepala tertawa nyaring : “Bagus, makian yang bagus sekali ! Berpuluh-puluh tahun ini pengemis tua belum pernah dimaki orang !”

Han Ping tertawa dingin. Dengan nada yang gagah ia berseru : “Kutahu kepandaianku masih belum mampu menandingimu. Tetapi jika tak menempurmu, dendam penasaran dalam hatiku tak mungkin lenyap. Hanya sebelum bertempur, lebih dulu aku hendak bicara. Harap engkau memegang janji !”

Berpuluh tahun Pengemis sakti Cong To malang melintang di dunia persilatan. Jago-jago sakti dari golongan Hitam dan Putih, banyak yang dikalahkannya. Selama itu belum pernah terdapat seorang manusia yang berani menantangnya berkelahi. Kegagahan Han Ping, benar-benar membuat tokoh yang jarang terdapat tandingannya itu seperti ditusuk jarum ulu hatinya.

Ia menghela napas : “Mengingat keberanianmu menantang aku, kuterima segala tuntutanmu !”

“Sebenarnya bukan soal penting,” kata Han Ping, “hanya mengenai pertempuran kita ini nanti. Kalah atau menang tak boleh menyangkut orang lain. Jika aku kalah, tindaklah diriku seorang. Tak boleh menyangkut kawan-kawanku itu. Dan jika aku menang, akupun hanya menindakmu seorang !”

Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring . . . .
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar