Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 6 : Villa misterius yang penuh jebakan

Jilid 6

Leng Kong Siau tertawa hina. Seketika meluaplah kemarahannya. Tetapi pada lain saat ia tertegun. Dua musuh dari Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh sudah cukup berat. Jika tambah seorang lagi tentu payah.

Akhirnya ia menahan kemarahan dan loncat keatas rumah seraya tertawa : “Seluruh tokoh-tokoh persilatan sudah berdatangan ke Lokyang untuk mengepung kalian dari Laut Selatan. Aku tak berani melancangi mereka maka untuk sementara kuberimu hidup beberapa hari. Nah, sampai lain kali !”

Sekali loncat jago pendek dari Lembah Seribu racun itu loncat menghilang dalam kegelapan.

Berkata Ca Giok dengan bisik-bisik kepada Han Ping, “Tokoh-tokoh Lembah Seribu racun rata-rata sakti dan licin. Walaupun malam ini mereka mundur dengan membawa kekalahan tetapi kita tak perlu mengejar.

Demikian kedua jago muda itu segera loncat turun. Kedua nona Ting menyambut kedatangan mereka dengan senyum berseri.

Ca Giok menyulut lilin, katanya dengan tertawa : “Saudara Ih benar-benar sakti, mampu menghadapi salah seorang tokoh Lembah Seribu racun. Jarang sekali orang persilatan yang mampu bertahan terhadap pukulan Manusia racun itu. Kali ini benar-benar mataku terbuka lebar !”

“Ah, saudara Ca kelewat memuji. Siapakah yang tak kenal akan kemahsyuran saudara ?” Han Ping merendah.

Mendengar itu diam-diam si dara Ting Hong terkejut dan berseru kepada Han Ping : “Suheng habis mengadu pukulan dengan si Tua beracun. Apakah saat ini merasakan sesuatu yang kurang wajar pada tubuh suheng ?”

“Apa ?” Han Ping terkejut juga.

“Sekujur tubuh ketiga tokoh tua dari Lembah Seribu racun itu berlumuran racun. Dikuatirkan dia memiliki ilmu pukulan yang mengandung ratiun. Cobalah engkau melakukan pernapasan agar jangan sampai terkena tipu mereka !”

Han Ping menurut. Setelah melakukan pernapasan ia menyatakan tak kurang suatu apa.

“Kalau begitu aku dan taci baru lega”, kata Ting Hong.

Ting Ling melirik adiknya dan tertawa : “Cerita saudara Ca tentang tokoh It Ki dari Laut Selatan mengacau pertemuan di gunung Heng-san tadi, benar-benar menarik perhatian kami. Sayang dikacau tua bangka beracun itu. Entah apakah saudara Ca masih mempunyai selera untuk melanjutkan cerita itu lagi ? Kami gembira sekali mendengarkannya !”

Ca Giok tersenyum, ucapannya : “Ketika Manusia racun tadi pergi dan mengucapkan beberapa patah kata untuk menutupi rasa malunya, bukankah nona berdua dan saudara Ih mendengar juga ?”

“Yang disebut majikan kecil oleh si Bungkuk tadi jika bukan anak murid dari It Ki, tentulah mempunyai hubungan yang rapat dengan tokoh dari Laut Selatan itu. Bahkan kemungkiran adalah anaknya. Soal itu sudah jelas”, kata Ting Ling, “tetapi yang kuherankan, mengapa hampir seluruh tokoh persilatan dan bahkan tokoh-tokoh yang jarang muncul, semua berbondong-bondong datang ke Lokyang. Apakah tujuan mereka benar seperti yang dikatakan Leng Kong Siau itu ialah hendak menyerang orang-orang dari Laut Selatan ?”

“Nona Ting Ling benar cerdas sekali”, puji Ca Giok, “tetapi janganlah nona percaya akan kata-kata orang tua beracun itu. Kata-kata itu hanya untuk menutupi rasa malunya. Bagaimana mungkin terjadi perserikatan itu ? Yang datang ke Lokyang, pada umumnya adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Sebelumnya mereka tak pernah mengadakan pertemuan, bagaimana mungkin mereka bersekutu. Taruh kata mereka mengadakan pertemuan, pun juga akan terbentur pada pemilihan pimpinan. Kecuali Ih Thian heng yang bergelar Ksatria tunggal dari Sin-ciu itu datang sendiri, berkat kedudukan dan kemahsyuran namanya, mungkin pertemuan itu baru berhasil . . . .”

“Hai !” tiba-tiba Ting Hong menjerit dan serentak loncat ke tempat Han Ping : “Suheng, apakah engkau merasa tak enak badan ?”

“Tidak apa-apa”, sahut Han Ping dengan nada gemetar karena tergetar hatinya.

Ca Giok kerutkan dahi, serunya : “Manusia racun itu memang berlumuran racun ganas. Jika saudara !h merasakan sesuatu yang kurang wajar, harap bilang terus terang”.

Han Ping menghaturkan terima kasih tetapi ia mengatakan tak kurang suatu apa.

Atas permintaan Ting Ling, Ca Giokpun melanjutkan ceritanya lagi.

“Sesungguhnya kedatangan para tokoh persilatan itu hanya secara kebetulan saja dan sebelumnya tidak saling berjanji. Terus terang, mereka masing-masing mempunyai tujuan untuk mencari untung sendiri-sendiri . . . .”

“Hai, apakah orang-orang Laut Selatan itu membawa benda permata yang berharga ?” tanya Ting Hong.

“Kalau hanya benda permata yang betapapun berharganya, tak mungkin Manusia-manusia racun dari Lembah Seribu Racun akan datang sendiri. Bahkan aku sendiripun takkan jauh-jauh datang kemari”, kata Ca Giok.

“Kalau begitu mereka tentu membawa pusaka dunia persilatan yang tak ternilai harganya. Karena pusaka-pusaka begitulah yang dapat menarik para tokoh-tokoh persilatan itu datang ke Tionggoan”, kata Han Ping.

“Saudara Ih benar”, jawab Ca Giok “dalam dunia persilatan memang terdapat beberapa partai yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kepandaian istimewa. Tetapi yang paling banyak dan luar biasa adalah dari partai Siau-lim-si. Sayang, tunas yang berbakat sukar dicari. Walaupun partai Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu pusaka, tetapi sampai sekian ratus tahun, tiada seorang murid Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 macam kepandaian sakti itu. Ilmu kepandaian itu tiada batasnya tetapi umur manusia terbatas. Mungkin sampai matipun tak dapat memahami ke 72 macam ilmu kesaktian dari Siau-lim-si itu. Ilmu silat terbagi menjadi dua dasar, luar dan dalam. Ahli tenaga dalam mementingkan latihan hawa murni dalam tubuh. Sedang ahli tenaga luar, menitikberatkan pada latihan kekuatan.

Sesungguhnya diantara kedua dasar itu, sukar ditarik garis pemisah yang tajam. Setiap partai masing-masing mempunyai cara sendiri untuk memberi pelajaran pada anak muridnya. Dan karena itu. masing-masing partai mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.

Seluruh partai persilatan menganggap Siau-lim-si merupakan sumber ilmu kesaktian yang paling lama dan paling banyak. Pelajaran yang diberikan oleh partai Siau-lim-si itu menurut cara yang berdasar pondamen yang kuat. Ilmu silatnya lebih mantap dan kaya dengan perobahan yang sukar diduga orang. Kesemua pelajaran ilmu silat sakti itu tercantum dalam sebuah buku yang disebut Tat-mo-ih-kin-keng. Beratus-ratus tahun lamanya kitab pusaka dari Siau-lim-si itu menjadi incaran kaum persilatan. Banyak nian jago silat yang coba-coba hendak mengambil kitab itu tetapi selama ini belum pernah seorangpun yang berhasil. Karena tempat simpanan kitab itu dirahasiakan. Hanya beberapa paderi tua yang mengetahui tempatnya. Ada suatu keistimewaan pula dalam gereja Siau-lim-si. Masing-masing murid, karena jumlahnya yang terlampau banyak, mempunyai tingkat kepandaian sendiri-sendiri. Tergantung dari hasil latihan mereka. Memang kalau satu lawan satu, nona berdua dan saudara Ih tentu dapat mengalahkan mereka. Tetapi apabila paderi-paderi Siau-lim-si itu bersatu dalam sebuah barisan, jangan harap kita mampu lolos dari kepungan mereka.

Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang harus membayar dengan jiwa dalam usaha mereka hendak mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng itu . . . .”

Baru Ca Giok bercerita sampai disitu, tiba-tiba di luar jendela terdengar orang tertawa : “Hebat, sungguh hebat ! Meskipun masih muda tetapi pengalaman sau pohcu luas sekali. Aku benar-benar iri kepada Ca Cu Jing yang beruntung mempunyai putra seperti engkau !”

Ca Giok serentak berbangkit dan memberi hormat ke arah jendela : “Ah, locianpwe akhirnya datang juga. Sudah lama kutunggu”.

Ting Ling dan Ting Hong tampak agak berobah wajahnya. Setelah memandang Han Ping, merekapun menghampiri ke jendela.

Jendela terbuka, lampu menyala dan di dalam ruangan muncul seorang imam bertubuh tinggi kurus. Tangan mencekal kebut pertapaan, punggung menyanggul pedang.

Diam-diam Han Ping tergetar hatinya. Imam itu bukan lain adalah orang yang mencari kedua saudara Ting di padang rumput, yakni paman ketiga mereka yang bernama Ting Yan San bergelar Soh-hun-ih-su atau Imam Pencabut nyawa.

Mata Ting Yan San yang berkilat-kilat memandang kedua nona, lalu beralih pada Ca Giok dan terakhir tertuju kepada Han Ping.

Pemuda itu menyadari berhadapan dengan seorang manusia ganas. Diam-diam ia bersiap-siap.

Melihat kerut wajah pamannya tak senang, teganglah kedua nona itu. Tetapi mereka tak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan Ting Ling yang biasanya cerdas, pun kehilangan paham.

Kedua nona itu cukup kenal perangai pamannya yang sukar diraba dan gemar membunuh. Asal tak menyenangkan matanya, tentu dilenyapkan. Dan yang menyulitkan kedua nona itu ialah mereka tahu Han Pingpun berwatak keras kepala. Tak gampang ditundukkan.

Pada saat Ca Giok dan kedua nona itu tersipu-sipu menyongsong dan memberi hormat kepada Ting Yan San, Han Ping hanya tegak berdiam diri saja.

Ting Hong yang gelisah segera menarik ujung baju tacinya. Tetapi Ting Ling tak memberi reaksi apa-apa. Sesungguhnya Ting Ling juga tak kurang gelisahnya tetapi ia benar-benar tak tahu bagaimana harus bertindak. Untung Ca Giok tak mengetahui ketegangan itu.

Sekonyong-konyong si Pencabut nyawa tertawa mengekeh. Nadanya seseram burung hantu mengukuk di tengah malam.

Ting Ling dan Ting Hong berdebar keras. Mengira kalau pamannya hendak turun tangan, kedua nona itu serempak berseru : “Paman !”

Sepasang alis panjang menegak dari Ting Yan San mengerut. Ia melirik kedua nona itu lalu tiba-tiba berpaling kepada Ca Giok : “Apakah dari Ca-ke-poh hanya engkau seorang ?”

Ca Giok menjura, sahutnya “Karena ada urusan, ayah tak dapat datang dan suruh aku bersama beberapa murid kemari untuk menambah pengalaman !”

Ting Yan San tersenyum : “Di kalangan Rimba Hijau (kaum penyamun) daerah Kangpak, sering terdengar berita tentang jejakmu. Benar-benar tak nyana seorang muda yang berumur 23an tahun temyata sudah termahsyur di dunia persilatan !”

“Ah, locianpwe kelewat memuji. Aku masih hijau. Adalah karena melaksanakan perintah ayah maka aku datang kemari. Harap locianpwe suka memberi petunjuk .”

“Peristiwa ini besar sekali artinya. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang jarang muncul, saat ini sama berada di Lokyang. Apalagi mereka dijaga oleh si Bungkuk dan si Kate. Kepandaian kedua orang tua itu, yang satu memiliki tenaga dalam lunak dan yang satu ahli tenaga dalam keras. Jika satu lawan satu, memang masih dapat diperhitungkan kemungkinan menang. Tetapi kalau kedua orang itu bersatu, tenaga dalam lunak dan keras saling bantu membantu, hebatnya bukan kepalang. Untuk memperoleh benda pusaka itu, tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Dan andaikata berhasil, pun masih harus menjaga kemungkinan akan timbulnya perebutan di antara sesama kaum persilatan dunia tionggoan sendiri. Masing-masing tentu tak mau mengalah. Barang siapa yang memperoleh kitab pusaka itu, tentu akan menjadi bulan-bulan sasaran sekalian orang !”

Kata Ca Giok : “Terima kasih atas petunjuk locianpwe yang berharga. Apabila locianpwe hendak memberi perintah, aku bersedia melakukan. Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh mempunyai hubungan yang erat. Mohon locianpwe suka memberi rencana apa yang harus kulaksanakan !”

“Hm, pintar benar pemuda itu merangkai kata-kata yang sedap didengar telinga. Pantas kalau dalam usia semuda itu ia dapat menjagoi dunia persilatan. Dikuatirkan paman akan terjebak dalam jerat yang halus”, diam-diam Ting Ling membatin.

Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa meloroh : “Heh, heh, sudah beberapa malam ini kupikirkan hal Itu dan akhirnya kutemukan suatu rencana. Tetapi . . . .”, ia berhenti dan tiba-tiba wajahnya mengerut serius kemudian tertawa sinis, “tetapi akibatnya tidak kecil. Baiklah untuk sementara ini tak kukatakan dulu”.

“Rase tua yang licik”, diam-diam Han Ping mendamprat dalam hati. Karena bicara sekian lama, ternyata tak ada hasilnya.

Ca Giok tersenyum : “Akupun telah mempersiapkan rencana, tetapi entah sesuai atau tidak.”

“Apa ? Engkau juga punya rencana merebut kitab itu ? Bolehkah kudengar rencanamu itu !” tiba-tiba Ting Yan San merah mukanya. Kalau tadi ia mengatakan tak mau bilang bagaimana rencananya, mengapa ia minta orang suruh mengatakan rencananya ?

“Jika locianpwe ingin mengetahui, sudah tentu aku tak berani menyembunyikan. Tetapi jika kukatakan, dikuatirkan akan bocor terdengar orang lain.”

Habis berkata ia menghampiri meja dan menulis diatas meja dengan air teh. Begitu membaca, si Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa gelak-gelak “Hebat, hebat, walaupun masih muda tetapi engkau sungguh cerdik. Apa yang engkau katakan itu, hampir sama dengan pikiranku.”

Ting Ling mencuri lirik ke arah meja. Dilihatnya tulisan air teh itu berbunyi :

“Mengadu domba dan menarik keuntungan dari air keruh.”

Nona itu tertawa : “Rencana yang hebat tetapi hanya mudah ditulis di atas kertas !”

Ca Giok terkesiap, ujarnya tertawa : “Ai, memang lama nian kudengar kecerdasan nona yang cemerlang. Bolehkah kuminta petunjuk nona ?”

“Huh, apakah engkau benar-benar mempunyai lain rencana yang lebih baik”, Ting Yan San kerutkan dahi.

“Aku sendiri tak punya rencana apa-apa. Tetapi kuberani pastikan rencana saudara Ca itu tentu sukar dilaksanakan”, sahut Ting Ling.

“Sebabnya ?” tanya Ca Giok.

“Bukankah sau pohcu mengatakan bahwa yang berkumpul di Lokyang ini adalah benggolan-benggolan dunia persilatan. Apakah mereka juga tak punya rencana juga ? Untuk mengadu domba mereka, masakan begitu mudah ?”

“Benar, benar,” Ca Giok mengiakan.

Ting Ling tersenyum, lanjutnya : “Rencana sau pohcu kebetulan akan terlaksana malam nanti. Bukankah sau pohcu mendengar juga tentang tantangan si Bungkuk kepada si Manusia racun Leng Kong Siau ? Tetapi rencana sau pohcu itu baru berhasil apabila benar-benar kedua pihak telah mengikat dendam permusuhan yang hebat. Kalau pertentangan mereka itu hanya berlandaskan merebut kitab pusaka itu, rencana sau pohcu tetap sukar berhasil. Benar kesempatan itu dapat kita kembangkan menjadi suatu tindakan untuk bantu menghancurkan pihak yang kuat. Tetapi yang kita hadapi adalah gembong-gembong yang mahir dalam pengalaman, bukan anak kemarin sore. Mereka tentu cepat mencium bau dan akibatnya kita sendiri yang runyam !”

“Hebat, sungguh hebat buah pikiran nona. Tak kecewa orang mengagumi kecerdikanmu, nona Ting”, Ca Giok memberi pujian terhadap analisa Ting Ling yang tajam dan tepat.

Ting Ling tertawa hambar : “Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Sekalipun aku dapat menunjukkan kelemahan dari rencana itu tetapi aku tak mampu melahirkan lain rencana yang lebih bagus dari itu. Harap sau pohcu maafkan”

“Ah, jangankan aku memang sudah tak punya siasat lain, sekalipun punya, juga tak berani gegabah menonjolkan ketololanku”.

Ting Yan San menyeringai : “Hal ini memang harus dipikir secermat-cermatnya, tak perlu terburu-buru. Besok kita bicarakan lagi”.

Kata-kata bernada mempersilahkan tetamu pergi itu cepat dapat ditanggapi Ca Giok. Ia berbangkit dan tertawa : “Hari sudah larut malam, tak enak aku mengganggu disini. Besok pagi kita bertemu lagi”, katanya seraya memberi hormat kepada Ting Yan San lalu melangkah keluar.

Ting Yan San tertawa meloroh : “Selamat tidur. Maaf, aku tak mengantar sau pohcu' .

Sekali lagi pemuda itu memberi hormat lalu keluar. Setelah pemuda itu pergi, tiba-tiba wajah Ting Yan San mengerut gelap dan memandang Han Ping : “Siapakah engkau !” katanya seraya maju menghampiri.

Melihat itu cepat Ting Ling maju ke muka Han Ping seraya berseru : “Paman . . .”

“Enyah !” bentak Ting Yan San murka, “kalian berdua budak perempuan memang bernyali besar !”

“Harap paman jangan marah dulu. Dengarkanlah aku hendak memberi penjelasan”, seru Ting Ling.

Ting Yan San tertawa sinis. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan menghantam.

Sebenarnya Han Ping sudah tak tahan. Tetapi karena Ting Ling melindungi di mukanya, terpaksa ia bersabar. Tetapi karena Ting Yan San menghantam, dia tak mau bersabar lagi. Tetapi ketika ia hendak menangkis, tiba-tiba Ting Hong loncat menerjang pukulan yang diarahkan kepada Han Ping itu seraya berseru : “Paman !”

Pukulan Ting Yan San itu dilancarkan dengan dahsyat. Ia menghendaki sekali pukul, dapat membinasakan pemuda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa anak kemenakannya akan nekad menyongsong pukulan itu. Karena sudah terlanjur dilontarkan, tak mungkin ia menariknya kembali.

Namun betapapun halnya, karena ia tak sampai hati memukul anak kemenakannya yang disayangi itu, sedapat mungkin ia berusaha untuk mengempiskan perut, menyedot kembali tenaga dalam yang menghambur pada pukulannya itu.

Ting Hong menjerit tetapi serempak dengan itu Ting Yan San rasakan suatu tenaga dalam melancar balik kepadanya. Ia terkejut. Dengan geram tenaga dalam yang hendak disedot tadi, dilancarkan kembali.

Karena posisi si dara Ting Hong berada di tengah-tengah antara Han Ping dan Ting Yan San, maka Ting Honglah yang menjadi sasaran tenaga dalam Ting Yan San itu. Dan kali ini, benar-benar Ting Yan San tak dapat menarik kembali.

Suatu keajaiban timbul. Tenaga pukulan Ting Yan San telah terhapus oleh aliran tenaga dalam yang tak tampak.

“Paman . . . .” teriak Ting Hong dengan nada meratap lalu berlutut memberi hormat.

Melihat dua kali menerima pukulannya, dara itu tak kurang suatu apa, kejut Ting Yan San bukan alang kepalang. Dia termangu-mangu lalu bertanya : “Hai, budak perempuan, apakah engkau tak terluka ?”

“Ah, bukankah paman telah berlaku murah kepadaku tadi ?” dara itu balas bertanya.

Ting Yan San kerutkan alis dan berputar ke arah Ting Ling. Buru-buru nona itu memberi keterangan : “Tadi aku dan adik Hong telah ditutuk jalan darahku oleh Manusia racun dari Lembah Seribu racun. Untunglah saudara Ji ini menolong. Setelah menghalau pergi Manusia racun itu, dia lalu membuka jalan darah kami”.

“Apa ? Masakan dia mampu menandingi kesaktian si Tua beracun itu !” teriak Ting Yan San.

“Masakan aku berani membohongi paman. Saudara Ji itu memang yang menolong kami berdua,” Ting Ling memberi penegasan.

Dan si dara Tingpun menambahi : “Jika tiada saudara Ji itu, tentulah paman takkan berjumpa lagi dengan Hong dan taci !”

Mendengar kesungguhan kedua kemenakannya itu, Ting Yan San hampir percaya. Namun dia mendenguskan hidung dan memandang Han Ping sampai beberapa saat. Ujarnya : “Bukalah kedok mukamu !”

Han Ping tertawa dingin. Tanpa menjawab, ia melangkah keluar. Secepat kilat Ting Yan San mencengkeram bahu pemuda itu : “Mau pergi ? Hm, mungkin tak semudah itu !”

Han Ping agak miringkan tubuh kesamping, tangan kiri menebas lengan kanan Ting Yan San dengan jurus Thui-jong-pit-gwat (Mendorong jendela menutup bulan), seraya berseru : “Belum tentulah. . . .!”

Melihat serangan yang cepat dan tepat mengarah sasaran yang berbahaya itu, diam-diam Ting Yan San terperanjat. Cepat pula ia menyurutkan tangan kanannya sehingga tebasan Han Ping tak berhasil.

“Paman !” teriak Ting Ling. Tetapi saat itu Ting Yan San sudah kebutkan hudtimnya menyerang lawan.

Jarak dekat dan kebutan dahsyat. Namun Han Pingpun tak mau unjuk kelemahan. Sembari kedua kakinya masih tetap terpancang ditempat semula, separoh tubuhnya menelentang ke belakang. Dan secepat tamparan kebut lewat di atas kepalanya, ia segera luruskan tinjunya kanan menghantam dada Ting Yan San.

“Hm,” dengus si Pencabut Njawa Ting Yan San seraya menangkis dengan tangan kiri. Walaupun tak percaya kalau anak muda itu sanggup menandingi salah seorang Manusia racun dari Lembah Seribu racun seperti yang dituturkan Ting Ling tadi. Namun diam-diam iapun tak berani memandang rendah. Ia gunakan tiga perempat bagian tenaga dalam untuk menangkis pukulan Han Ping.

Begitu kedua pukulan beradu, seketika itu juga Ting Yan San rasakan tangannya kesemutan dan tubuhnya bergetar hampir tak kuat berdiri. Bukan kepalang kejut Pencabut nyawa itu.

Menggunakan kesempatan lawan tertegun, Han Ping loncat ke luar jendela. Melihat gerakan orang itu sedemikian pesat seperti tak menderita luka, kejut si Pencabut nyawa makin membesar. Ia berpaling memandang Ting Ling dan Ting Hong. Ting Hong hanya termangu memandang ke luar jendela dan mendengus dingin.

Sementara Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya : “Paman telah mendesak orang itu pergi. Ibarat telah melepaskan harimau. Jika pihak lain dapat menggunakannya, bukan saja kita akan kehilangan tenaga yang kuat, tetapi kita bakal tambah musuh yang berat !”

Sebenarnya Ting Yan San hendak memaki kedua gadis itu tetapi didahului kata-kata Ting Ling yang tajam itu, kemarahannyapun berkurang. Sesaat ia tak dapat bicara apa-apa.

Ting Hongpun menambahi ucapan tacinya : “Tindakan paman mengusirnya itu, selain menghapus jerih payah taci selama ini, juga akan berakibat besar dalam usaha kita untuk merebut kitab pusaka itu . . . .”

Disesali oleh kedua kemenakannya itu, Ting Yan San kerutkan dahi dan mendengus : “Bagaimana kalian kenal padanya ? Mengapa dia menolong kalian ?”

Ting Hong terkesiap tetapi Ting Ling hanya tersenyum simpul, ucapnya : “Betapapun besar nyali kami berdua, tetapi kami tetap tak berani melanggar pantangan lembah kita. Orang itu selain berkepandaian tinggi, pun memiliki pedang Pemutus Asmara yang termahsyur di dunia persilatan.”

“Apa ?” Ting Yan San terbeliak, “Pedang Pemutus Asmara ? Hm, mengapa siang-siang kalian tak mau memberitahukan kepadaku. . . .” lapun memandang ke luar jendela.

“Nanti dulu, paman,” buru-buru Ting Ling berseru, “Jangankan sekarang dia sudah pergi, taruh kata dapat paman kejar, belum tentu paman mampu mengalahkannya. Harus diperoleh dengan kecerdikan akal, bukan dengan kekerasan !”

Teringat bagaimana hasil pertempurannya dengan Han Ping tadi, ragulah hati si Pencabut nyawa. Ia bertanya kepada Ting Ling : “Benarkah kesaktian pamanmu ini tak mampu mengalahkannya ?”

“Menurut apa yang kusaksikan, kemungkinan tipis paman dapat mengalahkan orang itu. Dan bahayanya jika sekali pukul gagal, berarti akan mengejutkan si ular. Lebih baik untuk sementara ini biarkan dia pergi. Untunglah soal pedang Pemutus Asmara itu hanya kami berdua yang mengetahui. Karena lain orang tiada yang tahu, tak perlulah kiranya kita buru-buru mengejarnya. Dengan siasat yang sempurna, perlahan-lahan kita tentu berhasil mendapatkannya.

Memang dalam Lembah Raja setan, Ting Ling terkenal sebagai nona yang pandai menyusun siasat. Setiap kali Lembah Raja setan menghadapi persoalan besar, tentulah Ting Ling ikut campur. Dan setiap pendapat nona itu tentu dianggap tepat. Bukan melainkan semua anak murid Lembah Raja setan mengindahkan, bahkan tokoh ketiga dari Lembah Raja setan yakni Ting Yan San itu, pun menaruh kepercayaan kepadanya. Nafsu amarah yang menyala di dada si Pencabut nyawa itu, hilang lenyap bagaikan awan terhembus angin ketika mendengar kata Ting Ling.

Jika dalam ruang rumah penginapan itu terjadi percakapan antara Ting Yan San dan kedua kemenakannya, adalah Han Ping setelah loncat ke luar jendela terus lari menuju ke barat. Dia marah sekali sehingga lari pesat dan tak berapa lama sudah berada di luar kota.

Malam makin dingin. Dihembus oleh angin dingin itu, kemarahan Han Pingpun mereda. Tiba-tiba ia teringat bahwa sarung pedang pemberian Hui Gong taysu masih ditangan Kim lokoay. Jika ia memanjakan diri dalam nafsu kemarahan, bukankah ia termakan siasat kedua nona Ting itu ? Bukankah ia tak kenal dengan Kim lokoay itu ? Bagaimanakah ia hendak mencarinya !

Memikirkan hal itu diam-diam ia menyesal. Tetapi ia seorang yang keras kepala. Ia segan kembali ke rumah penginapan untuk bertanya kepada kedua nona Ting. Tetapi iapun tak rela kalau sarung pedang itu sarnpai jatuh ke tangan orang. Beberapa saat ia kehilangan paham. Tak tahu bagaimana harus bertindak. Akhirnya ia berjalan tanpa arah.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menegur perlahan : “Malam begini larut, mengapa saudara Ih masih berjalan-jalan di tempat yang begini sunyi ?”

Han Ping terkejut. Sambil bersiap ia berpaling ke belakang. Beberapa langkah di sebelah muka, tegak seorang pemuda gagah. Ah, kiranya si Tangan geledek Ca Giok. Memang pada putra dari Ca-ke-poh itu, Han Ping mengaku bernama Ih jin.

“Ah, apakah saudara Ca belum pulang ke rumah penginapan ?” Han Ping tersipu-sipu menjawab.

Agak merah wajah jago muda dari Ca-ke-poh itu. Ia tertawa : “Malam indah dan tenang, mata sukar dibawa tidur. Terpaksa kukeluar mencari angin. Dan kebetulan berjumpa dengan saudara Ih. Baru saja kita berpisah di hotel, tahu-tahu saat ini sudah berjumpa di luar kota. Hidup manusia itu memang aneh . . . . “

Ca Giok menutup kata-katanya dengan tertawa lebar dan menghampiri maju.

Setelah menyaksikan kekejaman orang-orang Lembah Seribu racun dan Lembah Raja setan, diam-diam Han Ping mempunyai rasa tak suka kepada mereka. Begitu pula terhadap apa yang disebut Sam-poh diantaranya ialah marga Ca-ke-poh itu.

Tetapi karena kurang pengalaman, maka tak senang itu cepat terunjuk pada kerut wajahnya. Segera ia berseru dengan nada dingin.

“Ucapan saudara Ca tentulah mempunyai sebab. Tetapi maaf, karena malam ini aku mempunyai urusan penting, terpaksa tak dapat menemani saudara menikmati keindahan malam indah ini . . .” habis berkata Han Ping terus berputar diri dan melangkah pergi.

Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur dan memang sejak masih muda sudah mengangkat nama dalam dunia persilatan, Ca Giok mempunyai gengsi yang tinggi. Biasanya ia hanya tahu memerintah dan setiap perintahnya harus dijalankan. Bahwa saat itu dia disambut dengan sikap yang tak acuh dari Han Ping, benar-benar membuatnya kesima sehingga untuk beberapa saat ia tertegun.

Tetapi dia seorang pemuda yang kuat menyimpan dendam. Menerima hinaan semacam itu, ia tetap dapat mengendalikan diri. Setelah Han Ping lenyap dalam kegelapan malam, ia tertawa dingin dan melangkah pergi perlahan-lahan.

Han Ping lari menurutkan langkah kakinya. Setelah 5-6 li baru ia berhenti. Dan ketika tak mendapatkan Ca Giok mengejar, ia berjalan lagi perlahan-lahan. Pikirannya hanya terpusat pada dua hal.

Pertama, harus lekas-lekas merebut kembali sarung pedang itu agar jangan menodai nama baik Hui Gong taysu. Dan kedua, mencari tempat yang sunyi untuk meyakinkan ilmu pelajaran yang diberikan mendiang Hui Gong taysu. Setelah itu baru ia menyelidiki kematian ayah bundanya dan membalas dendam. Mengenai berkumpulnya tokoh-tokoh persilatan di Lokyang itu, ia tak perduli.

Sekarang yang harus dikerjakan dahulu ialah mencari Kim lokoay untuk merebut sarung pedang. Tetapi dengan cara bagaimana, walaupun ia sudah memeras otak, namun belum berhasil memperoleh daya yang tepat. . . .

Tiba-tiba terdengar anjing menyalak dan menyusul segelombang angin melandanya. Ketika menengadah ke langit ternyata hari sudah fajar. Mentari pagipun mulai menyingsing. Seekor anjing hitam yang besar tubuhnya, berlari-lari menyerangnya.

Han Ping terkejut melihat anjing sebesar itu. Ia menghindar ke samping dan memukulnya. Tetapi dengan gesit, anjing hitam itu menyurut ke belakang dan menghindari pukulan.

“Bagus !” malah timbullah kegembiraan Han Ping melihat anjing hitam itu dapat menghindari pukulannya. Secepat kilat tangan kiri menyambar kaki belakang binatang itu. Sambaran itu menggunakan jurus Merogoh kantong mengambil mutiara. Salah sebuah jurus istimewa dari Siau-lim-si.

Ilmu menyambar dengan tangan kosong itu, hebatnya bukan kepalang. Jarang orang persilatan yang mampu menghindar.

Diluar dugaan anjing hitam itu rupanya mengerti gerak silat. Tiba-tiba anjing itu memutar kepala dan menggigit paha kiri Han Ping.

Han Ping terkejut. Cepat ia endapkan tangan dan gunakan salah sebuah jurus ajaran Hui Gong taysu. Menyambar kaki anjing terus diputar-putar seperti kitiran. Tatkala hendak dilempar, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa nyaring : “Bagus, jurus Menjaring angin menangkap bayangan yang indah . . . .”

Han Ping terkejut. Ia kenal akan suara itu. Buru-buru ia kendorkan tenaganya dan lemparkan anjing itu perlahan-lahan. Anjing terhampar beberapa langkah.

Memandang ke muka tampak seorang pengemis tua yang bermuka mesum tegak berdiri setombak jauhnya. Pakaiannya compang camping, sepatu rumput dan rambutnya terurai kusut masai. Punggungnya menyanggul sebuah buli-buli arak besar. Ai, kiranya si pengemis yang kemarin membonceng keretanya . . . .”

Tiba-tiba bibir pengemis tua itu bergerak dan terdengarlah suitan nyaring. Anjing hitam berbulu bundel itu menyalak lalu lari pergi.

Diam-diam Han Ping heran menyaksikan larinya si anjing yang sepesat angin. Sesaat ia teringat akan si pengemis tua dan buru-buru berputar tubuh memberi hormat : “Locianpwe . . . .”

Terdengar suara sepatu rumput diseret dan pengemis tua itupun sudah berada dua tombak jauhnya. Sudah tentu Han Ping gugup dan berseru nyaring : “Locianpwe, harap berhenti dulu sebentar. Aku hendak mohon petunjuk.”

Han Ping ingat bahwa mendiang Hui Gong taysu pernah mengatakan. Di kalangan persilatan golongan Putih, hanya Pengemis sakti Cong To seorang yang tak mau berhubungan dengan pembunuh ayah bunda Han Ping.

Sejak kecil ia belum pernah melihat wajah kedua orangtuanya. Dendamnya terhadap musuh itu menyebabkan ia menaruh perindahan kepada pengemis tua yang tak sudi berhubungan dengan pembunuh itu. Ia hendak mendekati pengemis tua itu untuk mencari keterangan tentang jejak musuh besarnya. Untuk itu, ia rela menerima sikap dingin dari si pengemis.

Buru-buru ia mengejar. Tetapi pengemis tua itupun makin pesat. Han Ping penasaran. Ia gunakan ilmu meringankan tubuh ceng-ting-sam-tiam-cui atau Kecapung tiga kali menyambar air. Dengan tiga kali loncatan, dapatlah ia menyusul di samping pengemis tua itu.

“Apakah paman yang disebut Pengemis sakti Cong locianpwe ?” tegurnya.

Tanpa berpaling muka, pengemis tua itu tertawa dingin : “Bagus, budak kecil. Engkau hendak menantang pengemis tua adu lari ?”

Sekali kedua bahunya bergetar, pengemis tua itu tiba-tiba loncat dua tombak jauhnya.

Han Ping kerutkan dahi, pikirnya : “Kalau kuhadang di mukamu, coba saja engkau mau mempedulikan aku atau tidak . . . .”

Ia empos semangat dan gunakan ilmu meringankan tubuh sakti. Bagaikan bintang jatuh di angkasa, tubuhnya meluncur jauh ke muka.

Walaupun tidak berpaling tetapi rupanya pengemis tua itu dapat mengetahui gerak gerik Han Ping. Begitu Han Ping bergerak, iapun pesatkan larinya . . . .

Demikianlah keduanya tanpa terasa telah terlibat dalam balapan lari yang sengit. Sedemikian serunya balapan itu berlangsung sehingga walaupun di bawah sinar matahari, tetapi yang tampak hanya dua sosok benda hitam saling kejar mengejar . . .

Dalam beberapa kejap, mereka telah menempuh jarak 5-6 li. Jarak keduanya tetap terpisah dua tombak. Setapakpun Han Ping tak dapat lebih maju dari jarak itu. Sedang si pengemis tuapun tak dapat lebih maju lagi dari jarak tersebut.

Sekonyong-konyong pengemis tua itu kebaskan kedua tangannya dan tubuhnya segera melambung setombak tingginya. Melampaui sebuah gunduk tanah tinggi lalu menghilang di baliknya !

Han Ping terpaksa hentikan larinya. Ternyata gunduk tanah tinggi itu merupakan sebuah hutan buah hutan kecil di luar kota Lokyang. Sejenak meragu, akhirnya Han Ping mendaki bukit kecil itu juga. Sedesir angin pegunungan mengantar bau arak yang wangi. Menurut arah hembusan angin itu, Han Ping melihat di bawah bukit itu, sebuah kuil kecil yang luasnya hanya sebesar sebuah kamar. Gulung-bergulung asap, meluncur keluar dari kuil kecil itu.

Memandang ke sekeliling penjuru, sunyi senyap tiada tampak apa-apa. Si pengemis tua seolah-olah hilang lenyap ditelan bumi.

Sejenak merenung, terlintaslah suatu kesadaran dalam benak Han Ping yang cerdas. Pikirnya : “Selama balapan lari tadi, dia selalu mempertahankan jarak dua tombak, tidak lebih tidak kurang. Jelas dia tentu sengaja hendak membikin panas hatiku supaya aku mengikutnya kemari. . . .”

Tanpa ragu-ragu lagi Han Ping segera menuju ke kuil kecil itu.

Ternyata dugaannya tepat. Pengemis tua itu memang berada dalam kuil kecil. Tetapi bukan seorang diri melainkan bersama seorang pemuda yang berpakaian bagus. Mereka tengah duduk berhadapan, menghadapi sebuah kuali besi yang tengah ditaruh di atas tungku batu. Kuali itu menghamburkan uap bergulung-gulung. Tetapi entah apa yang sedang dimasak itu.

Sikap pemuda itu sangat hati-hati sekali. Dengan sebilah bambu, ia mengipasi api di dalam tungku. Sebentar-sebentar menambahi kayu bakar.

Sementara si pengemis tua, tangannya kiri mencekal sebuah kaki ayam dan tangan kanan menggenggam buli-buli araknya. Sambil menggerogoti paha ayam itu, sambil meneguk arak. Enak-enak saja tampaknya dia menikmati hidangan itu. Seolah-olah tak mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Walaupun sudah beberapa saat Han Ping berdiri di ambang pintu, namun kedua orang itu tetap tak mengetahui.

Tiba-tiba pengemis tua itu tertawa dingin, ujarnya : “Ing, lekas carilah, dari mana datangnya bau busuk ini !” - Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan paha ayam yang tinggal tulangnya itu ke arah Han Ping. Hebat, walaupun hanya tulang paha ayam, tetapi dapat menimbulkan deru angin yang tajam sekali.

Han Ping miringkan kepala untuk menghindari lontaran itu.

Si pemuda berpakaian bagus berpaling dan mengamati Han Ping, serunya : “Guru, ternyata seorang setan kecil yang asing. Perlukah diringkusnya ?”

Mendengar dirinya dihina, bukan main marah Han Ping. Tetapi pada lain kilas ia teringat. Bahwa karena bergaul dengan kedua nona Ting, tentulah orang mengira dia anak buah Lembah Raja setan.

Han Ping menghapus kemarahannya dan melangkah masuk, memberi hormat kepada pengemis tua itu : “Atas petunjuk locianpwe, aku . . . .”

Pengemis tua itu menukas dingin : “Aku paling muak bicara dengan manusia yang berbau hawa setan. Lenyapkan dulu semua hawa setan tubuhmu itu baru engkau datang kemari lagi !”

Han Ping terbeliak. Kini ia tersadar. Buru-buru ia keluar dan menanggalkan kedok mukanya serta pakaian sais. Setelah barang-barang itu dibuang, barulah ia masuk ke dalam lagi. Kini yang masuk itu bukan seorang sais berwajah jelek tetapi seorang pemuda cakap yang perkasa.

“Bagus, ternyata masih dapat diajar !” pengemis tua itu tertawa meloroh.

Han Ping menjura memberi hormat lagi sahutnya : “Aku yang rendah bernama Ji Han Ping. Baru pertama ini berkelana di dunia persilatan sehingga masih hijau dalam pengalaman. Maka mohon locianpwe sudi memberi petunjuk. Kudengar keksatriaan locianpwe maka dengan memberanikan diri, aku hendak mohon petunjuk.”

Pengemis tua itu kerutkan alis, ucapnya : “Jika hendak bicara dengan si pengemis tua, jangan memakai bahasa yang bertele-tele !”

Merahlah muka Han Ping, sahutnya : “Benarkah locianpwe ini Pengemis sakti Cong locianpwe yang termahsyur itu ?”

Tiba-tiba pemuda berpakaian bagus itu mengangkat kepala dan deliki mata kepada Han Ping : “Tokoh-tokoh dunia persilatan dewasa ini, belum pernah melihat guruku. Engkau tentu mendengar cerita orang bahwa tanda pribadi guruku itu adalah buli-buli araknya yang berwarna merah. Hm, apakah engkau buta ? Kalau tak kenal guruku, masakan engkau tak dapat melihat buli-buli arak warna merah itu ?”

Han Ping melirik. Dilihatnya pemuda itu memiliki sepasang alis yang melengkung tajam seperti pedang. Matanya berkilat-kilat tajam. Seorang pemuda yang cakap dan gagah. Sayang sedikit, kulitnya hitam.

Kluk, kluk, kluk . . . . terdengar pengemis tua itu tiga kali meneguk buli-buli araknya. Lalu tertawa meloroh : “Benar, memang si pengemis tua ini Cong To. Apakah engkau masih penasaran dalam adu lari tadi ?”

“Ah, masakan aku berani berlaku kurang ajar begitu,” sahut Han Ping.

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : “Mata si pengemis tua ini menyaksikan sendiri engkau beradu pukulan dengan si Tua racun dari Lembah Seribu racun. Dan tadipun engkau telah mengeluarkan jurus Menjala angin menangkap bayangan yang hebat. Rupanya engkau tentu bukan budak sembarangan, ho. Tetapi mengapa engkau galang gulung dengan kedua budak perempuan anak setan itu ? Karena engkau mengaku telah sesat dan hendak kembali ke jalan terang, dan hendak mengikat persahabatan dengan pengemis tua ini, engkau harus terlebih dulu menceritakan tentang tiga angkatan leluhurmu. Lebih dulu bilanglah, siapa gurumu. Coba saja, apakah telinga pengemis tua ini sedap mendengar namanya atau tidak ?” Habis berkata kembali pengemis tua itu meneguk buli-buli araknya.

Mendengar bicara si pengemis itu tak keruan, timbullah keraguan dalam hati Han Ping “Konon kabarnya Pengemis sakti Cong To itu seorang datuk persilatan yang termahsyur. Tetapi mengapa pengemis ini bicaranya tak keruan. Adakah dia bukan Pengemis sakti itu . . . . ?”

Dengan keraguan itu, ia tertawa hambar dan menjawab : “Maaf, perintah locianpwe ini sukar kululuskan . . . .”

Serentak pemuda berpakaian bagus itu berbangkit dan mengangkat batang bambu ke atas. Dengan batang bambu yang ujungnya terbakar itu, ia rnemberingas memandang Han Ping. Pada saat ia hendak turun tangan, tiba-tiba si pengemis tua tertawa gelak-gelak : “Ing, duduklah. Engkau tak menang dengan dia !”

“Aku benar-benar tak leluasa mengatakan hal itu, bukan sengaja hendak menolak permintaan locianpwe,” kata Han Ping pula.

Pengemis tua tersenyum serunya : “Baiklah, karena engkau tak mau menuturkan asal usulmu jangan harap engkau mendapat keterangan sepatahpun dari mulut pengemis tua ini !”

Baru Han Ping hendak membuka mulut, tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk dan tahu-tahu muncul seorang pengemis kecil berumur sekitar 18 tahun. Pakaiannya mirip dengan si pengemis tua. Hanya tidak menyanggul buli-buli arak.

Sejenak memandang ke arah Han Ping, pengemis muda itu berbisik-bisik kepada pengemis tua : “Mereka sudah memilih hotel Megah Ria di Lokyang. Tokoh-tokoh persilatan yang berbondong-bodong ke Lokyang itu terus memburu jejaknya. Dan tak lama lagi tentu akan tiba di kaki bukit sini !”

Wajah pengemis tua itu serentak berobah serius. Sepasang matanya berkilat-kilat memancar. Ditatapnya Han Ping : “Hai, engkau akan pergi sendiri atau membantuku ?”

“Aku bersedia melakukan perintah locianpwe apa saja,” Han Ping berseru gugup.

Pengemis tua itu tersenyum, ujarnya : “Kalau begitu ikutlah dengan pengemis kecil ini. Tetapi engkau harus mendengar perintahnya. Jika suka engkau boleh ikut, jika tidak aku pengemis tuapun tak mau memaksamu. Baiklah kita saling membelakangi pantat, engkau ke timur. sipengemis tua ke barat !”

“Guru, dia terlalu bernafsu, mungkin ada udang di balik batu !” teriak si pemuda berpakaian bagus.

Pengemis sakti tertawa : “Mata pengemis tua ini belum pernah salah melihat. Mungkin kali ini akan termakan satu kali, tetapi biarlah dapat merasakan bagaimana rasanya tipu siasat itu !”

Habis berkatas, si pengemis sakti lambaikan tangannya. Tiba-tiba rasakan lengan bajunya ditarik orang dan tahu-tahu ketika berpaling ternyata pengemis kecil tadi sudah berada setombak jauhnya di luar pintu. Diam-diam Han Ping memuji kepandaian pengemis muda itu. Iapun segera menyusul.

Pengemis kecil itu tersenyum. Tampak sebaris giginya kecil-kecil dan putih. Suatu perbedaan yang menyolok dengan mukanya yang mesum kotor dan rambutnya yang morat marit.

Tiba-tiba Han Ping merasa angin menghembus dari sampingnya. Ketika memandang ke muka, kiranya pengemis tua dan pemuda berpakaian bagus itu lari berlomba-lomba rnelintasi puncak bukit dan lenyap.

Melihat itu si pengemis kecil berhenti termangu-mangu. Han Ping yang berdiri di samping pengemis kecil itu, merasa heran. Mengapa tadi pengemis kecil itu begitu ngotot lari tetapi sekarang diam-diam tegak seperti patung ?

Tiba-tiba pengemis kecil itu menghela napas perlahan. Ia berpaling kepada Han Ping dengan wajah rawan. Mulut hendak bicara tetapi tak jadi. Setelah tertegun beberapa lama, barulah ia berkata dengan bisik-bisik : “Apakah engkau kenal dengan guruku itu ?”

Han Ping menggeleng : “Belum !”

“Habis, mengapa engkau menurut perintahnya ?” tanya pengemis kecil itu pula.

Han Ping tertegun, ujamya : “Walaupun tak kenal orangnya tetapi sudah lama kukagumi namanya yang harum !”

Pengemis muda itu tertawa rawan : “Tetapi umur orang tua itu hanya tinggal setengah bulan . . .”

“Apa ?” teriak Han Ping terkejut.

Pengemis muda itu memandang gumpalan awan putih di langit. Dua butir airmata menitik dari sudut matanya. Mulutnya berkemak-kemik mendoa : “Oh, Allah yang Maha Kuasa, guru selalu menjalankan dharma hidup yang bersih. Menengadahpun lapang dada, menundukpun tak malu. Entah sudah berapa banyak menteri-menteri setia dan anak-anak berbakti yang telah diselamatkan. Dia selalu menyibukkan diri untuk menolong orang. Tetapi ah, pada saat ia tertimpa bahaya, tiada seorangpun yang dapat menolongnya . . . .”

Kata-kata yang diucapkan dengan nada lemah dan rawan itu benar-benar memilukan hati orang.

Seketika bergeloralah darah Han Ping. Serentak ia berkata : “Siapakah yang hendak mencelakai gurumu itu. Walaupun aku seorang bodoh, tetapi aku bersedia untuk menghadapi orang itu !”

Tiba-tiba pengemis muda itu berpaling menatap Han Ping, serunya : “Guruku seorang yang amat sakti, di dunia ini siapakah yang mampu mencelakainya ?”

Han Ping termangu. Ia tak mengerti bagaimana maksud ucapan pengemis muda itu. Tegurnya : “Benar-benar aku tak mengerti maksudmu.”

Pengemis muda itu menghela napas : “Kecuali guru memang rela menyerahkan diri dicelakai orang ....”

“Ah, masakan di dunia terdapat orang yang berpikiran semacam itu. Aku benar-benar bingung !” kata Han Ping.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara cambuk menggeletar nyaring dan pengemis muda itu melonjak kaget, terus berlari ke atas bukit.

Han Ping cepat menyusul. Tampak dari kejauhan sebuah kereta yang ditarik 4 ekor kuda, tengah mencongklang di sepanjang jalan. Dan menuju ke barat laut. Kereta itu dicat warna kuning emas. Di muka kereta terdapat 4 penunggang kuda yang mempelopori jalan. Dan di belakang kereta dikawal belasan penunggang kuda.

Han Ping terkesiap ketika samar-samar melihat si Bungkuk dan si Katepun ikut dalam rombongan itu. Tetapi diantara rombongan pengawal berkuda itu, yang paling menonjol adalah seorang lelaki setengah tua yang menunggang seekor kuda putih. Pelana kudanya tertabur dengan emas dan batu permata sehingga tampak bergemerlapan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar matahari.

Rombongan kereta itu mencongklang pesat maka Han Ping tak dapat melihat jelas. Tetapi dari jenggotnya yang menjulai panjang kedada, dapatlah ditaksir usia lelaki penunggang kuda putih itu.

Tiba-tiba pengemis muda itu tertawa hambar. Ia berpaling kepada Han Ping : “Sekalian tokoh-tokoh persilatan sedang bersiap-siap untuk merebut kitab pusaka. Tetapi aku, demi kepentingan mati hidupnya guru, harus mendapatkan kitab pusaka yang diidam-idamkan oleh tokoh-tokoh persilatan itu. Memang tipis sekali harapannya. Sudah tentu tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di Lokyang itu tak mau berpeluk tangan. Juga kedua tokoh Kate dan Bungkuk dengan rombongan berkuda itupun tak mudah kuhadapi !”

Pengemis muda itu tundukkan kepala seperti putus asa.

Sejenak Han Ping pertajam pandangan mata memandang rombongan kereta itu. Rombongan berkuda itu mengawal ketat kereta itu seperti laku panglima yang dijaga keselamatannya oleh para pengawalnya.

“Sebenarnya siapakah yang berada di dalam kereta itu ?” akhirnya ia bertanya, “mengapa sampai menggerakkan seluruh tokoh-tokoh persilatan datang ke Lokyang ?”

Pengemis muda itu menghela napas perlahan ujarnya : “Panjang sekali kalau hendak diceritakan. Maaf, saat ini tiada tempo untuk memberi tahu kepadamu secara jelas. Kita pecah diri mengejar jejak kereta itu. Jika tak perlu, jangan sekali-sekali bertempur !”

Sekali loncat, pengemis muda itu sudah berada setombak jauhnya. Dan dua tiga kali loncatan lagi, iapun menghilang.

Melihat pengemis muda itu tak mau memberitahukan tentang rahasia kereta, Han Ping merasa dipandang rendah. Seketika timbullah darah mudanya, pikirnya : “Hm, engkau begitu tak memandang mata kepadaku. Baik, aku hendak melakukan sesuatu yang mengejutkan orang. Setelah engkau menyaksikan, barulah kutinggalkan rombonganmu !”

Han Ping seorang pemuda yang tinggi hati. Adalah karena mengagumi nama Pengemis sakti Cong To, maka ia menahan kesabaran menerima perlakuan Cong To yang memanaskan hati. Tetapi ia benar-benar tak sudi diperlakukan sedemikian rupa oleh si pengemis muda.

Han Ping tak mempedulikan segala apa lagi. Ia loncat turun dari puncak bukit dan terus lari mengejar rombongan kereta misterius itu.

Pemuda itu tak mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan. Hanya karena dirangsang oleh darah muda, maka ia bertindak. Tanpa tedeng aling-aling lagi, ia langsung mengejar kereta itu. Oleh karena memiliki tenaga dalam yang hebat, maka larinyapun pesat sekali. Hanya kurang lebih sepenanak nasi lamanya, ia sudah dapat mengejar di belakang rombongan kereta.

Pikirnya, rombongan pengawal kereta itu tentu akan menghadangnya. Dan kesempatan itu hendak ia gunakan untuk alasan menempur mereka. Tetapi diluar dugaan, rombongan pengawal itu tak mengacuhkannya sama sekali.

Setelah berjalan 4-5 li, tiba-tiba kereta itu membelok menuju ke sebuah lembah.

Han Ping tertegun. Pada lain saat ia lanjutkan langkahnya lagi. Sudah terlanjur, ia tak mau kepalang tanggung. Dengan terang-terangan ia melangkah mengikuti rombongan kereta itu.

Jalanan di lembah tak rata sehingga kereta itu acapkali berderak-derak bergoncangan. Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya kereta itu menuju ke sebuah bangunan gedung yang besar dan mewah. Di sekeliling gedung yang berpagar tembok batu merah itu, penuh ditumbuhi pohon siong yang rindang sekali. Sehingga seluruh bentuk bangunan itu tak dapat terlihat jelas.

Kereta indah itu melintasi gerumbul hutan siong, berbelok-belok beberapa kali dan tiba-tiba lenyap dari pemandangan. Tetap derap lari kuda penariknya masih terdengar.

Si Kate dan si Bungkuk dan rombongan pengawal berkuda, ikut lenyap. Hanya tinggal lelaki berkuda putih yang masih berada di luar hutan.

Saat itu jarak Han Ping dengan penunggang kuda putih hanya 3-4 tombak. Mereka dapat melihat jelas muka masing-masing. Ternyata penunggang kuda putih itu seorang lelaki setengah tua yang kepala, mata, telinga dan alis serba besar dan tebal. Jenggotnya yang menjulai sampai ke dada makin menambah perkasa perbawanya.

Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring, serunya : “Apakah saudara tak merasa terlalu menyolok sekali cara saudara mengikuti kami itu ?”

Han Ping mendengus : “Jalanan besar adalah milik rakyat. Apakah yang kalian boleh tempuh aku tak boleh melaluinya ?”

Lelaki yang bajunya disulam benang-benang emas itu terkesiap mendengar jawaban Han Ping. Tetapi pada lain kejap ia tertawa nyaring lagi, serunya : “Bagus, walaupun masih muda ternyata memiliki kegagahan yang mengesankan. Sungguh kagum. Memang sikapmu ini lebih ksatria dari pada kawanan tikus yang main sembunyi itu !”

Habis berkata, lelaki itu memutar kudanya dan masuk ke dalam hutan siong.

Han Ping tak dapat berbuat apa-apa. Ia hendak cari perkara tetapi karena orang tak mau melayani, iapun tak dapat melaksanakan rencananya. Kalau nekat menyerbu ke dalam gedung, ia masih sungkan. Beberapa saat lamanya ia tegak termangu-mangu . . . .

Tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa perlahan : “Bukankah itu saudara Ih jin ?”

Han Ping berpaling. Setombak jauhnya tampak seorang tua yang memakai caping. Berpakaian biru, sepatu kain dan memelihara jenggot kambing, Han Ping tak kenal dengan orang itu.

Orang itu tertawa : “Ah, masakan saudara tak kenal lagi dengan aku Ca Giok ?”

Sejak mendapat perlakuan dingin dari Pengemis sakti Cong To, timbullah keraguan Han Ping dalam menilai orang baik maupun buruk. Bukankah Pengemis sakti Cong To yang dikaguminya itu ternyata berlaku sinis kepadanya ? Sebaliknya orang-orang yang sebenarnya tak disukai seperti Ca Giok, malah berlaku hormat dan mengindahkan kepadanya.

Beberapa saat lamanya timbul pertentangan dalam batin Han Ping sehingga ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Ca Giok yang sudah berada disampingnya : “Apakah yang sedang saudara pikirkan sedemikian asyiknya itu ? Sumoaymu berduapun tiba di tempat ini, mari kuantarkan saudara kesana . . . .”

Han Ping gelengkan seperti dibangunkan dari mimpi. Buru-buru ia membuka mulut : “Ah, terima kasih atas kebaikan saudara Ca. Tetapi aku benar-benar tak berani membikin repot saudara !”

Ca Giok tersenyum : “Disini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Jika saudara tak jemu padaku, marilah kita bicara ke samping kiri gunung ini.”

Melihat orang bersikap sedemikian manis, diam-diam Han Ping malu sendiri karena teringat akan sikapnya yang dingin kepada Ca Giok tadi malam. Ia menghaturkan terima kasih dan menerima tawaran Ca Giok.

Demikian mereka mendaki ke puncak gunung. Kata Han Ping : “Dengan mendaki puncak gunung ini kecuali akan dapat melihat seluruh keadaan gedung itu, pun akan dapat menikmati pemandangan di sekeliling penjuru dan tahu segala gerak gerik yang akan terjadi. Saudara Ca sungguh tepat sekali !”

Ca Giok tersenyum : “Saudara Ih jangan kelewat memuji diriku. Mungkin setelah naik di puncak, saudara akan kecewa !”

Ca Giok mendahului mendaki dengan gerakan segesit kera. Diam-diam Han Ping memuji tetapi disamping itu iapun berkata dalam hati : “Orang ini licin dan congkak sekali. Tetapi entah mengapa dia berlaku sedemikian ramah kepadaku . . . .”

Sengaja ia perlambat larinya dan menjaga jarak dua tombak di belakang Ca Giok. Dan supaya jangan dicurigai, ia pura-pura seperti sukar mengejar Ca Giok.

Sebenarnya Ca Giok hendak menggunakan kesempatan mendaki itu untuk menguji kepandaian Han Ping. Maka sengaja ia tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk berlincahan bagai kecapung menyambar air. Dalam beberapa kejap saja ia sudah mencapai puncak.

Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Han Ping masih berada tiga tombak jauhnya. Dan caranya mendakipun menggunakan kedua tangan dan kaki. Diam-diam Ca Giok kerutkan dahi, batinnya : “Aneh, mengapa kalau dia mampu menahan pukulan Pembelah angkasa dari Manusia racun tetapi ilmu meringankan tubuh begitu rendah . . . .”

Saat itu Han Pingpun sudah tiba di puncak. Napasnya terengah-engah seperti orang yang kehabisan napas.

Tetapi Ca Giok seorang pemuda yang cerdik. Tidaklah begitu mudah Han Ping hendak mengelabuinya. Mendengar suara napas Han Ping, tahulah dia bahwa pemuda itu sedang bermain sandiwara : “Hm, jika engkau tak berlebih-lebihan bernapas terengah-engah, mungkin aku kena engkau kelabui. Tetapi dengan pura-pura terengah-engah itu, engkau malah membuka kedokmu. Masakan mendaki puncak yang hanya beberapa tombak tingginya ini saja, engkau sudah kehabisan tenaga. Bahkan orang yang kepandaiannya rendahpun juga takkan kehabisan tenaga seperti engkau. . . .”

Ca Giok membuka caping bambunya lalu mengusap mukanya. Wajah seorang tua segera berganti dengan wajah yang asli, seorang pemuda yang cakap dan gagah.

“Entah bagaimana sejak bertemu dengan saudara Ih, aku mempunyai rasa kagum dan kesan yang tak mudah kulupakan. Maka begitu melihat tubuh saudara, cepat sekali dapat kukenali. Jika saudara tak menampik, ingin sekali aku bersahabat dengan saudara.”

Memang Han Ping masih bodoh. Ia tak tahu bahwa Ca Giok sudah mengetahui sandiwaranya mendaki ke puncak tadi. Karena orang bersikap mengindah sekali, hilanglah kesan buruk Han Ping terhadap pemuda itu. Ia mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Ca Giok.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berkata dengan nada dingin : “Hm, bagaimana engkau tahu orang-orang sama berkumpul ?”

Seketika wajah Ca Giok berobah. Tetapi ia tetap berlaku setenang mungkin. Ia alihkan pandang matanya ke bawah bukit.

Ketika Han Ping berpaling, tampak setombak dari tempatnya, tegak si pengemis muda yang beberapa saat telah berpisah dengan dia tadi. Pengemis muda yang tak diketahui kemunculannya itu, mengunjukkan wajah marah dan memandang Han Ping dingin-dingin lalu perlahan-lahan berpaling muka.

Sesungguhnya Han Ping hendak menegur. Tetapi karena pengemis muda bersikap begitu dingin, marahlah Han Ping. Iapun mendengus dan palingkan muka kepada Ca Giok.

“Bangunan gedung yang hebat ! Tak kalah dengan istana raja muda. Pemiliknya kalau bukan bangsa pembesar dan penguasa daerah, tentulah kepala kaum rimba hijau disini,” katanya kepada Ca Giok.

Sesungguhnya hanya sembarangan saja Han Ping berkata itu. Tetapi diam-diam Ca Giok tergetar juga. Namun sebagai seorang cerdas, dia selalu dapat menguasai getaran perasaannya. Katanya sambil tersenyum : “Harap saudara Ih suka mengamati dengan jelas, apakah ada sesuatu yang luar biasa dalam gedung itu ?”

Tiba-tiba pengemis muda yang berada di belakang itu tertawa dingin : “Hm. makhluk yang tak dapat diangkat derajatnya !”

Dimaki begitu, marahlah Han Ping. Serentak berputar tubuh ia balas membentak : “Berhenti ! Siapa yang engkau maki tadi !”

Saat itu sebenarnya si pengemis rnuda sudah berputar diri hendak pergi. Mendengar bentakan Han Ping, iapun berhenti : “Maki siapapun, apa pedulimu !”

“Hak apa engkau memaki orang ? Apakah engkau kira aku takut padamu, pengemis busuk !” damprat Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan diri Cong To yang juga seorang pengemis. Diam-diam ia menyesal karena kelepasan bicara.

Milihat Han Ping berhenti, pengemis muda itu tertawa dingin dan lanjutkan langkahnya perlahan-lahan.

Ca Giok menarik lengan Han Ping, ujarnya sambil tertawa: “Memang orang yang berkelana di dunia persilatan, tentu berjumpa dengan macam-macam gangguan. Harap saudara Ih jangan terlalu bersungguh-sungguh !”

Han Ping hanya tertegun memandang bayangan pengemis muda itu. Melihat sikap Han Ping seperti ada hubungan dengan pengemis muda itu, diam-diam Ca Giok curiga. Selintas memancar hawa pembunuhan dalam keriput dahinya. Namun mulutnya tetap tertawa : “Eh, apakah saudara Ih kenal dengan pengemis kecil itu ?”

Han Ping mengangguk : “Memang pernah berjumpa tetapi tak berhubungan !”

Ca Giok menghibur agar Han Ping jangan terlalu memusingkan diri pengemis kecil itu.

Melihat Ca Giok begitu memperhatikan dirinya, Han Ping tergerak hatinya. Ia menghaturkan terima kasih atas nasehat pemuda itu.

Memandang kearah gedung yang berada di tengah hutan siong itu, Han Ping melihat daun jendela salah sebuah ruang di tingkat atas, terbuka lebar. Sesosok wajah cantik tersembul keluar dari balik kain tirai.

Buru-buru Ca Giok menarik tangan Han Ping diajak bersembunyi di balik pohon siong.

Bagian 12

Bendera berkibar.

Kedua pemuda itu sama-sama memiliki mata yang tajam sekali. Walaupun tempat mereka bersembunyi jauh dengan gedung besar itu tetapi mereka dapat melihat jelas bahwa yang melongok keluar dari jendela ruang di tingkat atas itu seorang nona.

Rambutnya yang dikundai menurut style istana, agak mencondong ke sebelah kanan. Ting Ling dan Ting Hong memang cantik. Tetapi jika dibanding dengan gadis itu, amat kentaralah perbedaannya. Gadis itu benar-benar bagaikan dewi di istana bulan. Jika tak melihat sendiri orang tentu tak percaya bahwa gadis itu seorang insan manusia. Orang tentu mengira sebuah lukisan.

Sebesar itu jejaka Han Ping tak suka dengan wanita. Tetapi melihat kecantikan gadis itu, hatinya berdetak keras juga.

“Sungguh cantik sekali,” diam-diam ia memuji dalam hati.

Angin berhernbus menyiak daun-daun pohon siong kian kemari sehingga mengelilingi pandang mata Han Ping dan Ca Giok.

Rupanya jelita itu takut angin. Ia menurunkan kain tirai. Setelah angin berlalu, ternyata jelita itu sudah tak menampakkan diri lagi.

Ca Giok menghela napas : “Saudara Ih, bagaimana pandanganmu terhadap gadis itu ?”

Sesungguhnya saat itu benak Han Ping masih tercengkam dengan bayangan si jelita. Ia gelagapan mendapat pertanyaan Ca Giok. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri : “Ji Han Ping, ah, dendam sakit hatimu masih belum terimpas, mengapa engkau terpikat oleh wajah cantik ? Ingat jangan sampai semangatmu melempem !”

Serentak ia mengempos semangat dan menghela napas panjang. Setelah menghapus bayangan si jelita, ia tertawa : “Benar, memang cantik sekali !”

Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur, Ca Giok menikmati penghidupan yang serba mewah. Rumahnya memelihara banyak bujang-bujang gadis yang cantik-cantik. Jika bukan yang membeli, tentu merupakan barang antaran dari tokoh-tokoh Rimba Hijau kepada ayahnya. Jelita-jelita dari daerah Kanglam dan Kangpak bahkan dari Se-gak ( daerah perbatasan barat), rombongan penari dan penyanyi-penyanyi, semua tersedia. Karena mereka merupakan gadis pilihan, maka rata-rata tentu cantik sekali.

Ca Giok memperhitungkan Han Ping tentu terpikat oleh paras cantik. Tetapi ternyata pemuda tu bersikap dingin-dingin saja. Diam-diam Ca Giok mengaguminya.

Beberapa saat kemudian dari gedung yang megah itu berkibar sehelai bendera merah. Pada bendera itu terdapat beberapa tulisan berbunyi.

MASUK SELANGKAH, MATI JANGAN PENASARAN.

Melihat tulisan itu teringatlah Han Ping akan pengemis muda yang menghinanya. Serentak mengeloralah darah Han Ping : “Mari kita kesana !”

Ca Giok tertawa : “Kalau mau kesana, pun jangan sekarang. Aku bersedia menemani saudara, tetapi harus nanti malam saja kita pergi. Sekarang kita cari tempat untuk beristirahat dulu. Kemungkinan nanti malam kita akan menghadapi pertempuran !”

Han Ping mengiakan. Kedua anak muda itu segera mencari sebuah tempat yang sunyi di dalam lembah. Setelah malam tiba, merekapun kembali ke puncak bukit tadi.

Ternyata bendera merah tadi siang kini sudah berganti dengan sebuah lentera merah yang besar. Sedang jendela dari ruang di tingkat atas itu, terbuka lagi. Seorang nenek berambut putih bersandang tongkat bambu, tengah menyisir rambut seorang gadis baju ungu. Ruangan itu diterangi dengan sebuah lentera besar yang indah.

Ca Giok heran. Mengapa hanya di ruang tingkat atas itu saja yang diberi penerangan terang benderang. Sedang semua tempat gelap gulita.

“Hm, tentu sebuah perangkap untuk memancing orang ke sana !” diam-diam Ca Giok menimang.

Han Pingpun mendapat kesan yang sama. Ia berpaling kepada Ca Giok. Dilihatnya pemuda itu tengah memandang ke arah kamar di atas loteng. Diam-diam Han Ping tertawa. Karena yang dipandang sedemikian asyiknya oleh Ca Giok itu bukan lain ialah si gadis jelita yang tengah bersolek itu.

Ketika mendengar Ca Giok menghela napas dan mengisar pandang matanya, buru-buru Han Ping palingkan muka pura-pura melihat keadaan di sekeliling gedung itu.

“Hai, apakah saudara dapat melihat keadaan di sekeliling gedung yang gelap gulita itu ?” Ca Giok bertanya heran.

“Sekalipun tidak jelas tetapi karena di langit bertabur bintang, samar-samar masih dapat melihat juga” sahut Han Ping.

Walaupun dalam hati terkejut tetapi Ca Giok tetap tertawa berseri : “Apakah yang luar biasa dalam lingkungan gedung itu ?”

“Bermula aku malu Karena tak dapat menemukan apa-apa dalam gedung itu. Pada hal tadi siang saudara Ca mengatakan bahwa gedung itu bukanlah bangunan biasa. Akhirnya setelah menyusuri pandang ke segenap sudut dengan seksama, memang saudara benar. Ruang tingkat atas yang sekian banyak, ternyata tiada sebuahpun yang selesai dibangun. Kemungkinan gedung itu tentu penuh dilengkapi alat-alat rahasia !” kata Han Ping.

Mendengar itu diam-diam Ca Giok terperanjat. Seorang yang memiliki pandangan sedemikian tajam tentulah memiliki tenaga dalam yang tinggi. “Aneh, pada hal dia lebih muda dari aku, mengapa sudah mencapai kepandaian yang sedemikian tingginya. Tetapi kalau menilik bicara dan gerak geriknya, dia bukan seorang persilatan” ia menimang dalam hati.

Akhirnya ia memutuskan. Setelah melakukan penyelidikan ke dalam gedung yang misterius itu, hanya dua tindakan. Kalau memang mungkin, ia hendak menggunakan tenaga Han Ping dalam kelanjutan perjuangan merebut kitab pusaka. Tetapi jika pemuda itu ternyata membahayakan, dalam kesempatan masuk ke dalam gedung itu nanti, lebih baik dia dibunuh saja.

Setelah mengambil ketetapan, ia tersenyum, tanyanya : “Kudengar ilmu meramal dari Lembah Raja setan itu termahsyur sekali. Sebagai murid kesayangan, saudara tentu mempelajari ilmu itu. Maka dalam memasuki gedung itu nanti, harap saudara memberi bantuan sepenuhnya !”

“Atas kepercayaan saudara, sudah tentu aku tak berani mengecewakan”, kata Han Ping terkesiap,”tetapi terus terang, sebenarnya aku ini bukan anak murid Lembah Raja setan. Kedua nona Ting itu hanya sembarangan memberi keterangan dan akupun sungkan menyangkal !”

Ca Giok yang cerdas sesungguhnya memang sudah curiga. Tetapi ia pura-pura tak tahu hal itu. Dan pura-pura pula ia terkejut mendengar keterangan Han Ping : “Kalau begitu kedua nona itu tentu berbohong. Lalu siapakah nama saudara yang sebenarnya ?”

“Namaku sebenarnya Ji Han ping !”

“Dan tentu bukan murid Lembah Raja setan ?” tanya Ca Giok pula.

“Perjumpaan ku dengan kedua nona Ting itu hanya secara kebetulan saja. . . .”

Kata-kata Han Ping itu terputus oleh suara orang mendengus dingin dan sesosok tubuh yang melambung ke udara, melampaui kepala kedua pemuda itu, terus meluncur turun ke bawah puncak.

Ca Giok terperanjat. Walaupun puncak bukit itu tidak seberapa tinggi, tetapi paling tidak tentu ada 10an tombak tingginya.

Kepandaian yang diunjuk orang itu, benar-benar mengejutkan sekali. Dan dalam beberapa kejap orang itupun sudah lenyap dalam kegelapan malam.

“Hm, siapakah yang memiliki kepandaian sesakti itu ?” kata Ca Giok.

“Pengemis sakti Cong To !” sahut Han Ping.

“Apa ? Pengemis sakti Cong To ? Apakah saudara tak salah lihat ?” Ca Giok terkejut.

“Benar, memang dia.”

Ca Giok menghela napas : “Saudara benar-benar tajam sekali, aku sangat kagum !” - Diam-diam ia terkejut dalam hati : “Kalau menilik gerak geriknya, anak ini tidak seperti orang persilatan. Tetapi mengapa ia kenal akan Pengemis sakti Cong To ? Apakah dia memang pura-pura berlagak bodoh ?”

Tiba-tiba Han Ping teringat akan perlakuan Pengemis sakti Cong To dan muridnya kepadanya. Seketika menggeloralah darah mudanya. Ia mengajak Ca Giok turun bukit mengejar. Dan bahkan tanpa menunggu pernyataan Ca Giok, ia terus loncat ke bawah bukit.

Ca Giok cemas. Ia kuatir tak mampu menyamai ilmu ginkang pemuda itu. Tetapi karena Han Ping sudah bergerak, terpaksa ia mengikuti juga.

Begitu tubuh hampir tiba di bumi, ia berjungkir balik untuk mengurangi daya berat gerakannya. Dengan cara itu dapatlah ia tegak berdiri di tanah, tak tampak mendapat malu karena terhuyung.

Memandang ke muka, tampak Han Ping tengah memandang lekat-lekat pada gerumbul hutan siong di hadapannya. Diam-diam Ca Giok bersyukur karena dirinya tadi tak diperhatikan pemuda itu.

Tetapi pada lain kejap, Ca Giok terkesiap kaget ketika melihat dua orang lelaki bersenjata golok, tengah berputar-putar kian kemari dalam hutan siong itu. Tingkahnya seperti orang yang tersesat jalan. Tetapi anehnya, mereka hanya berputar-putar seluas dua tombak saja.

“Pernahkah saudara Ji mempelajari tentang ilmu barisan yang disebut Ngo-heng-tin ?” tanya Ca Giok.

Han Ping menggeleng : “Belum pernah. Apakah saudara Ca mengerti ilmu itu ?”

“Pernah kudengar ayah menceritakan tentang barisan Pat-kwa, barisan Kiu-kiong beserta cara-cara pemecahannya. Sayang otakku tumpul sehingga hanya sedikit sekali yang kumengerti,” kata Ca Giok. Tetapi diam-diam pemuda itu menghitung jarak pohon siong itu satu dengan lainnya.

Melihat pemuda itu tengah menghitung-hitung pohon siong, Han Pingpun tak berani bertanya apa-apa lagi. Ia menunggu di samping.

“Hm, kecuali berkepandaian tinggi, pemuda ini juga pandai tentang ilmu barisan. Benar-benar pantas kujadikan sahabat,” diam-diam Han Ping menilai.

Beberapa saat kemudian, wajah Ca Giok mengerut serius. Tetapi tiba-tiba ia tertawa : “Amboi, pemilik gedung itu hebat benar. Dia dapat menyatukan barisan Pat-kwa dengan Kiu-kiong sehingga hampir saja aku terkelabui.”

“Oh, kalau begitu saudara sudah menemukan cara untuk memecahkannya ?” tanya Han Ping.

“Di hadapan ayah, kedua macam barisan itu tak berarti apa-apa. Sekalipun aku tak dapat memahami ajaran ayah seluruhnya, tetapi rasanya masih mampu menjadi petunjuk jalan saudara. Harap saudara mengikuti di belakangku dan turutkan saja langkah kakiku agar jangan terperosok dalam perangkap mereka !”

“Saudara Ca pintar dan banyak pengalaman. Aku menurut sajalah,” kata Han Ping.

Ca Giok hanya tertawa merendah lalu loncat ke udara dan melayang ke tepi hutan siong. Han Pingpun segera mengikuti. Begitu Han Ping meluncur ke tanah, Ca Giok segera melangkah ke dalam hutan. Han Ping tetap mengikutinya.

Sembilan langkah masuk ke dalam barisan Kiu-kiong, tiba-tiba Ca Giok melangkah ke kanan tiga tindak. Dan ternyata, tak menemui suatu rintangan apa-apa. Dalam beberapa kejap, keduanya telah melintasi lima buah gerumbul pohon siong.

Kini mereka berhadapan dengan sebuah padang rumput yang menyerupai sebuah taman. Beraneka warna pobon-pohon bunga tengah mekar dengan megah. Disana sini terdapat beberapa guguran daun dan ranting, entah dari mana asalnya.

Ca Giok mendapatkan bahwa pohon-pohon bunga itu berlainan jaraknya dengan pohon-pohon siong tadi. Tidak mirip barisan Pat-kwa, juga bukan barisan Kiu-kiong.

“Aneh, mengapa pohon-pohon bunga ini seperti ditanam tak teratur letaknya,” pikirnya. Ia coba melangkah maju lima tindak. Ah, ternyata tak terdapat perobahan apa-apa. Nyalinyapun besar. Ia terus melangkah maju.

Karena Ca Giok sudah membuktikan dapat melintasi barisan pohon siong, kepercayaan Han Ping makin besar. Ia segera mengikuti langkah pemuda itu.

Ketika mencapai 4-5 tombak jauhnya, tiba-tiba terdengar bunyi suitan yang nyaring sekali. Di atas sebatang pohon besar di sebelah muka, muncul sebuah lentera merah.

Melihat itu, timbullah kecurigaan Ca Giok. Tiba-tiba dengan menggembor keras, ia melambung ke udara seraya menghantam lentera itu dengan pukulan Peh-poh-sin-kun. Sebuah ilmu silat istimewa warisan marga Ca.

Bum . . . lentera itu terdampar ke udara dan padam jatuh ke tanah.

Tiba-tiba dari dalam hutan muncul beratus-ratus lampu merah yang bergerak-gerak memecah diri dalam suatu bentuk barisan.

Bermula kedua pemuda itu tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Tetapi beberapa saat kemudian, mereka mulai merasa aneh. Barisan lampu merah itu makin lama makin berkurang jumlahnya. Sepeminum teh lamanya, hanya tinggal belasan buah jumlahnya, tak henti-hentinya bergerak kira-kira empat lima tombak dari tempat Ca Giok dan Han Ping.

“Saudara Ca, lampu-lampu merah itu tentu digerakkan orang. Mari kita tangkap seorang dua orang”, kata Han Ping yang tak sabar lagi.

Sesungguhnya Ca Giok juga heran. Tetapi sampai saat itu belum juga ia mengetahui rahasia lampu-lampu merah itu. Percaya atas pengetahuannya tentang barisan Ngo-heng dan Kiu-kiong, ia menerima ajakan Han Ping.

Tetapi begitu kedua pemuda itu loncat menerjang ke muka, belasan lampu merah itu serentak padam. Tetapi dari samping kiri tiba-tiba muncul tiga buah lampu merah.

Ca Giok tertawa hina. Selagi masih melayang di udara ia empos semangat dan hentikan diri. Tangan kanan cepat merogoh dua buah mata uang terus disambitkan ke arah ketiga lampu merah di samping kiri itu.

Sambitan itu tepat sekali. Dua buah lampu segera padam dan menyusul lampu yang ketigapun padam.

Hutan bunga itu kembali sunyi. Pikiran kedua pemuda itu terganggu oleh barisan lampu merah tadi. Ketika melihat ke sekeliling, ternyata mereka tersesat kehilangan arah jalan.

Sebagai seorang yang banyak pengalaman, Ca Giok insyaf bahwa ia tak boleh gugup. Sekali pikiran kacau, kalau tidak terkepung dalam barisan bunga, tentu akan termakan serangan gelap dari musuh.

“Tenanglah, saudara Ji”, katanya, “kita tak boleh gugup agar jangan kehilangan kewaspadaan. Inti dari pada barisan Bunga yang aneh itu tak lain tak bukan tentu suatu perangkap. Marilah kita bersemedi menenangkan pikiran. Setelah itu baru kita pikirkan lagi cara untuk menghancurkan barisan itu !”

Ca Giok terus duduk pejamkan mata dan menyalurkan tenaga dalam. Han Ping terpaksa mengikutinya.

Pelajaran semedhi yang dimiliki Han Ping berasal dari persemedhian kaum paderi yang berlandaskan pada tenaga dalam. Begitu melakukan semedhi, indra pendengarannya menjadi tajam luar biasa.

Begitu bersemedhi, telinga Han Ping terngiang suatu bunyi mendengung-dengung dari kejauhan datangnya.

Ia membuka mata dan melirik. Tampak Ca Giok masih tetap tenang seperti tak terjadi suatu apa. Han Ping malu sendiri. Walaupun ia mendengar bunyi itu namun ia sungkan untuk mengganggu Ca Giok.

Bunyi mendengung itu makin lama makin keras dan disambut pula oleh bunyi dari empat penjuru. Han Ping bertindak sendiri. Ia kerahkan indra penglihatannya untuk memandang ke sekeliling. Dalam kegelapan malam, samar-samar ia melihat beribu-ribu titik hitam tengah beterbangan menyerbu datang.

Saat itu Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia menjagakan kawannya ,”Saudara Ca, lekas bangunlah !” serunya seraya loncat berdiri.

Ca Giokpun loncat bangun. Celaka, saat itu belasan tawon yang luar biasa besarnya dan beracun, berhamburan ke samping mereka.

Han Ping menggembor keras dan menghantam. Belasan tawon besar itu berguguran jatuh. Tetapi pada lain saat terdengar pula suara bergemuruh mirip ombak laut. Beribu-ribu ekor tawon beracun membanjir datang dari empat penjuru. Betapapun saktinya kedua pemuda itu, namun mereka gugup juga dibuatnya.

Ca Giok merobek lengan bajunya. Dengan mencekal robekan kain itu, sepasang tangannya bergerak cepat untuk rnenampar serbuan binatang itu.

Han Pingpun meneladani cara kawannya itu. Ia merobek lengan baju dan menggunakannya untuk menghalau kawanan tawon. Dengan cara itu, mereka berbasil menghancurkan beribu ekor tawon.

Patah tumbuh hilang berganti. Demikian rupanya tekad kawanan tawon itu. Seekor tawon jatuh, muncul sepuluh ekor. Sepuluh hancur, muncul seratus ekor. Seratus ekor remuk, muncul seribu ekor. Angkasa seolah-olah tertutup oleh gumpalan awan gelap dari ratusan ribu tawon-tawon beracun.

Ca Giok memeras otak untuk mencari cara menghalau serbuan tawon itu. Tetapi sampai sekian lama, belum juga ia berhasil mendapat akal.

“Entah berapa ratus ekor tawon yang menyerbu ini. Jika terus menerus begini, sekali lengah, tawon itu tentu akan menyusup dan mematikan diriku dengan sengatannya yang beracun”, diam-diam Ca Giok mengeluh. Ia kuatir, sekalipun mampu menjaga serbuan binatang itu, tetapi lama kelamaan tenaganya tentu habis dan akhirnya akan menjadi sasaran binatang beracun itu.

“Dari pada mati konyol cara begini, lebih baik aku menerjang ke dalam padang bunga. Sekalipun tentu terdapat alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri serbuan tawon ini”, akhirnya ia memutuskan rencana.

Serentak ia kerahkan tenaga untuk menghalau gerombolan tawon yang menyerbunya. Setelah dapat mengundurkan mereka, ia segera berseru : “Saudara Ji. entah sampai kapan kita akan menyudahi pertempuran ini. Kurasa lebih baik kita menerjang ke dalam padang bunga itu. Biar ada alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri begini. Bagaimana pendapat saudara ?”

Han Ping setuju, sahutnya : “Malah lebih baik kita serbu saja ke dalam gedung itu dan menempur mereka. Mati pun lebih puas !”

“Baik, marilah kubukakan jalan !” Ca Giok tertawa seraya memutar robekan kainnya untuk menghalau kawanan tawon.

Melihat itu Han Pingpun tak mau berpeluk tangan. Sambil menggembor keras, ia loncat ke udara dan menyapu dengan kedua robekan kain. Sejak menerima pelajaran dari Hui Gong taysu, baru pertama kali itu Han Ping benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya. Ternyata perbawanya memang hebat. Angin tamparannya itu mirip prahara berhembus. Seluas dua tombak jauhnya, kawanan tawon itu berguguran hancur ke tanah.

Han Ping kesima sendiri menyaksikan kedahsyatan tenaganya itu sehingga ia lupa bahwa saat itu ia masih terapung di udara. Bluk, tahu-tahu ia jatuh terbanting ke tanah !

Ca Giok terkejut : “Saudara Ji, bagaimana . . . .”

Han Ping cepat loncat bangun, sahutnya : “Karena asyik menghantam tawon sampai aku lupa menahan napas hingga jatuh ke tanah !”

Walaupun dalam hati terkejut namun mulut Ca Giok tetap menyungging tawa dan memuji : “Sekali pukul dapat menghancurkan ribuan ekor tawon dalam jarak lingkaran 10 langkah, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini hanya terdapat beberapa orang saja. Benar-benar kali ini aku mendapat pengalaman yang berharga sekali !”

Sekalipun mulut memberi pujian tetapi batin Ca Giok merasa heran. Jelas Han Ping itu memiliki kepandaian sakti tetapi mengapa berpura-pura seperti tak tahu pengalaman apa-apa. Apakah maksudnya ?

Dalam pada keduanya bicara itu, kawanan tawon yang tak kenal mati itu kembali menyerbu dari empat penjuru. Malah mereka sekarang terbang lebih rendah.

Ca Giok menamparkan robekan kain seraya berseru : “Saudara Ji, mari kita serbu gedung bertingkat itu. Coba saja kita buktikan sampai dimanakah keistimewaan dari perguruan Laut Selatan itu !”

Memang Han Ping sendiripun mempunyai niat untuk menjajal kepandaiannya. Sekalian untuk menghapus hinaan dari pengemis sakti Cong To dan muridnya.

“Bagus memang paling bagus kita dapat mengobrak-abrik mereka !” serunya dengan gembira dan mendahului menerjang maju.

Tiba-tiba terdengar suara harpa mengiang. Diseling dengan tiupan seruling yang melengking tajam. Datangnya dari jauh namun cukup jelas nadanya. Serta mendengar seruling berbunyi, kawanan tawon itu menggila saling berlomba untuk menyerbu kedua pemuda itu. Dari bawah dan atas, kanan kiri.

Han Ping dan Ca Giok memutar robekan bajunya semakin gencar. Tetapi kawanan tawon itu laksana air bah. Makin lama makin banyak dan deras.

Setelah menghalau kawanan tawon yang hendak maju merapat, Han Ping kembali hendak mempertunjukkan kepandaiannya seperti tadi. Loncat ke udara dan menyapu. Tetapi tiba-tiba dua ekor tawon yang berada di udara, menukik ke atas kepala Ca Giok.

Saudara Ca, hati-hatilah !” teriaknya kaget seraya menyapukan robekan baju.

Sebenarnya Ca Giok sudah mengetahui ancaman itu. !a cepat miringkan kepala ke samping dan memberi kesempatan Han Ping menghantam mati kedua ekor tawon itu.

Tetapi betapapun, hal itu merupakan suatu kelambatan. Dan kawanan tawon itu sudah cukup mendapat keluangan untuk menyerbu ke bawah.

Dalam gugupnya, Han Ping menghantam dengan jurus Membakar awan menarik bulan. Kawanan tawon itu terhalau mundur. Baru ia hendak bernapas longgar, tiba-tiba lengan kanannya terasa kesemutan. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan darahnya. Sementara tangannya kiri menampar-nampar untuk menghalau serbuan tawon dari sebelah kanan dan kiri.

Kiranya waktu Ca Giok miringkan tubuh ke samping tadi, seekor tawon telah menyelinap ke bawah. Dan karena Han Ping tengah menghalau kawanan tawon yang menyerbu dari atas, ia tak memperhatikan tawon yang menyelundup itu dan menyengat tangan kanannya.

Tawon itu sejenis tawon yang besar dan mengandung racun hebat. Usaha Han Ping untuk menutup jalan darahnya, tetap tak berhasil penuh. Ia tetap rasakan suatu kesakitan yang nyeri menusuk ke jantungnya. Tangannya kanan sama sekali tak dapat digerakkan lagi.

“Saudara Ca, tanganku kanan tersengat racun tawon, tak dapat digerakkan lagi. Racun itu mulai bekerja di tubuhku. Lekas engkau berusaha menyerbu keluar, jangan menghiraukan diriku lagi !” serunya.

Diam-diam Ca Giok kerahkan tenaga dalam. Setelah dapat mengundurkan kawanan tawon ia melirik ke arah Han Ping.

“Hai . . . . !” diam-diam ia berteriak kaget melihat keadaan Han Ping saat itu.

Lengan kanan Han Ping membengkak sebesar dua kali dari semula.

“Celaka, tawon apakah yang memiliki racun begitu ganas ? Padahal ratusan ribu ekor tawon tengah menyerang. Kalau pemuda yang lebih sakti kepandaiannya dari diriku, masih kena terserang, apalagi aku ! Rasanya malam ini kita berdua tentu celaka !” pikirnya.

Sekonyong konyong jago muda dari marga Ca-ke-poh itu tertawa nyaring . . . .
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar