Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 5 : Tokoh tokoh sakti berdatangan ke Lokyang

Jilid 5
“Benar, keretaku ini memang hendak menuju ke Lokyang,” akhirnya Han Ping menyahut.

Pengemis tua itu tertawa, “Apakah kereta ini milikmu sendiri?”

“Ah, begitulah,” sahut Han Ping, “dengan mengandalkan hasil kereta ini aku akan membiayai keluargaku lima jiwa!”

“Ah, kalau begitu sungguh kebetulan,” kata pengemis tua, “aku pengemis tua ini hendak meminjam keretamu untuk menghadiri upacara kematian besar-besaran di Lokyang. Entah apakah engkau setuju?”

Han Ping menggeleng, “Sayang, keretaku ini sudah disewa oleh lain penumpang.”

Pengemis tua itu tiba-tiba tertawa gelak-gelak.

“Para paderi yang mengembara, mencari makan di empat penjuru. Dan aku bangsa pengemis makan paderi itu. Orang yang mengembara hanya mengandalkan pada kenalan dan sahabat. Seperti aku, pengemis yang mencari makan dengan jalan meminta-minta, selalu mengandalkan kemurahan hati para tuan-tuan yang bermurah hati untuk memberikan sisa makanannya. Jika setiap orang pelit seperti engkau, aku si pengemis tentu dulu-dulu sudah mati kelaparan. Tak mungkin aku dapat hidup sampai detik ini. Biarlah aku minta izin kepada tuan penumpangmu itu. Aku takkan duduk dalam gerbong kereta melainkan sudah cukup berterima kasih kalau diberi tempat di sebelahmu yang masih kosong itu. Apalagi aku hanya seorang diri, kiranya tentu takkan mengganggumu ….”

Habis berkata pengemis itu terus menyingkap tenda kereta.

“Nanti dulu, sabarlah. Penumpangku ini kaum putri,” buru-buru Han Ping mencegah.

Pengemis tua itu tersenyum. Tahu-tahu kakinya memanjat roda dan terus menyelinap duduk di sebelah Han Ping.

“Uh, mengemudikan kereta juga suatu mata pencaharian. Sudah tentu engkau hanya memandang ongkos. Tetapi sekalipun aku si pengemis tua ini tak punya uang sepeser pun, tak nanti akan membikin engkau kecewa. Dahulu ketika mengembara di Pakkhia, aku telah menemukan sebutir kelereng mutiara air. Berpuluh tahun kubawa benda itu kemana-mana. Sekalipun kelaparan, aku tetap tak mau menukarkan benda itu dengan nasi. Tetapi hari ini terpaksalah. Apa boleh buat, harus kulepaskan ….”

Dalam pada berkata-kata itu si pengemis tua mengeluarkan dari dalam saku bajunya sebutir mutiara sebesar buah kelengkeng. Ditimpa sinar matahari, mutiara itu berkilau-kilauan. Benda itu cepat disusupkan ke tangan Han Ping lalu dia sandarkan kepalanya pada sandaran dan tidur mendengkur.

Han Ping hendak mendorongnya. Tetapi pengemis itu mendengkur keras sekali sehingga Han Ping kewalahan dan membiarkannya.

Setengah hari kemudian, tibalah kereta itu di luar kota Lokyang. Sebuah kota yang bertembok tinggi dan megah. Hanya sekejap Han Ping menengadahkan mata memandang keadaan tembok kota itu. Ketika berpaling lagi, astaga …. pengemis tua itu sudah lenyap!

Kejut Han Ping bukan kepalang. Pikirnya, “Ah, ilmu ginkang pengemis tua tadi bukan main hebatnya. Mengapa tak kudengar sama sekali gerakannya waktu pergi!”

Dan mutiara itu masih terletak di ujung tempat duduknya.

Tiba-tiba dari dalam gerbong kereta, Ting Ling berseru, “Lekas masuk ke dalam kota dan carilah rumah penginapan. Nanti kuberitahukan sejelasnya tentang diri pengemis tua itu!”

Sambil ayunkan cambuk, tangan kiri Han Ping mengambil mutiara dan menyusupkan ke dalam tenda kereta. Sebuah lengan halus menyambutinya. Entah siapa, Ting Ling atau sidara Ting Hong.

Lokyang itu sebuah bekas kota kerajaan kuno. Suasananya lain dengan desa dan kota kecil yang dilalui sepanjang perjalanan tadi. Di kedua tepi jalan besar penuh berjajar gedung-gedung besar yang bertingkat. Jalan penuh dengan orang berjalan sehingga kereta Han Ping tak leluasa jalannya.

Akhirnya berhasillah ia mencari sebuah rumah penginapan. Ketika memandang papan nama rumah penginapan itu, ia terkesiap. Rumah penginapan itu memakai merk Bang-seng-khek-cau atau Hotel Megah Ria.

Selintas ia teringat akan peristiwa semalam ketika bertempur dengan si Bungkuk. Bukankah kemunculan si kakek pendek yang membawa sehelai panji burung cenderawasih putih itu, menyuruh si Bungkuk datang ke hotel Megah Ria di kota Lokyang situ?

“Apakah paman hendak menginap disini?” tiba-tiba jongos hotel lari menghampiri dan menegurnya, “Masih ada sebuah ruangan kosong. Selama dua hari ini banyak sekali tetamu yang menginap disini. Jika paman hendak ….”

Han Ping terkejut mendapat penyambutan itu. Belum ia menyahut, tiba-tiba terdengar derap kuda menghampiri dan suara orang berseru dengan nada parau, “Hai, apakah masih ada kamar kosong?”

Jongos itu berputar tubuh ke arah pendatang itu. Tetapi belum ia membuka mulut, Han Ping sudah mendahului, “Ya, kami akan pakai kamar itu!”

Ternyata yang muncul itu dua orang penunggang kuda. Yang seorang, seorang lelaki berwajah hitam seperti pantat kuali dan pipinya terdapat bekas luka bacokan. Sedang kawannya seorang lelaki bertubuh kate. Si Hitam itulah yang tadi dijumpai dalam perjalanan.

Tiba-tiba si Hitam itu tertawa nyaring “Bagus, bagus, kebetulan sekali. Jongos, lekas mandikan kuda kami ini dan kasih makan yang kenyang ….”

Jongos ketakutan melihat sikap orang berwajah hitam itu. Dengan meringis, ia meratap, “Maaf, tuan. Kamar yang kosong hanya tinggal sebuah dan tuan yang berkereta ini sudah memesannya!”

Si Hitam deliki mata. Ketika hendak mendamprat, tiba-tiba si Kate mencegahnya, “Kalau sudah dipesan lain orang, tak boleh kita merebut. Mari cari lain hotel!”

Habis berkata si Katepun menarik lengan si Hitam. Keduanya loncat ke atas kuda masing-masing dan mencongklang pergi.

Setelah kedua orang itu jauh, barulah jongos hotel itu berpaling kepada Han Ping dan menyesalinya, “Jika engkau tak mau tinggal disini, akupun tak memaksa. Tetapi mengapa tak mau lekas-lekas menjawab sehingga hampir mencelakai aku. Menilik usiamu sudah cukup tua dan sering berpergian tentulah tahu tata cara. Mengapa sama sekali engkau tak dapat melihat gelagat….”

Han Ping tertawa lalu loncat turun dari keretanya, “Penumpangku ini kaum putri. Apakah kamarmu itu bersih?”

“Dalam kota Lokyang sini terdapat tak kurang dari 100an rumah penginapan. Hotel Megah Ria ini adalah yang nomor satu. Entah apakah peruntunganmu besar atau kami yang sial. Mengapa begitu keluar aku melihat keretamu berhenti disini.”

Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya dan matanya mendelik, mulut melongo karena melihat tenda kereta tersingkap dan turunlah dua orang gadis yang cantik jelita ….

Setelah sadar, buru-buru jongos itu menghampiri kedua gadis itu dan mengantarkannya masuk.

Hotel Megah Ria itu sebuah hotel yang besar. Luas tanahnya sampai beberapa bahu. Kamarnya beratus-ratus buah. Para tetamu terkesiap dan memandang kedua nona itu dengan terpesona.

Sesungguhnya sewaktu dalam gerbong kereta dari lubang tenda, Ting Ling telah memperhatikan keadaan tetamu-tetamu itu. Setelah tak melihat orang yang mengenalnya barulah ia turun dari kereta. Dengan gaya dan sikap seperti gadis yang lemah gemulai. Mereka berjalan bergandengan tangan sambil tundukkun kepala seperti gadis pingitan yang bersikap malu-malu. Sekalian tetamu makin terlongong-longong.

Setelah melintasi dua buah ruangan besar, jongos itu berpaling kepada kedua gadis, “Jnilah ruangan yang paling bagus dari hotel kami. Selain tenang pun hiasannya mewah sekali ….”

Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Memang Han Ping dapatkan ruangan itu tenang, bersih dan mewah. Temboknya terbuat dari batu marmer hijau, merupakan sebuah villa tersendiri. Di ruangan tetamu dihias dengan beberapa pot bunga seruni yang tengah mekar dan menyiarkan hawa yang harum. Di kanan kiri ruangan besar terdapat sebuah dua buah ruangan kecil.

“Jika masih ada yang kurang, nona boleh minta apa lagi,” kata jongos itu.

Ting Ling puas dengan keadaan tempat itu. Ia memberinya sekeping emas, “Titip dulu, besok kita perhitungkan lagi.”

Melihat keping emas yang ditaksir tak kurang dari dua tail itu, sikap sijongos makin menghormat, “Apakah nona hendak pesan hidangan?”

“Nanti saja kalau periu, tentu kupanggilmu,” sahut Ting Ling.

Jongos segera minta diri. Ketika berpaling ke arah Han Ping, wajah tawanya berganti kerut gelap. Menunjuk pada ruang kecil di samping, ia berkata, “Engkau tidur di ruangan itulah….”

Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh munculnya seorang lelaki berpakaian hitam yang tanpa bilang apa-apa terus hendak menerobos masuk ke dalam ruangan besar.

Cepat-cepat si jongos hadangkan lengannya mencegah, “Tuan, kamar ini sudah ditempati tetamu kaum putri ….”

Orang itu tertawa hina, “Sekalipun ratu, aku fak takut. Jangankan hanya perempuan biasa, Enyah!”

Ia ulurkan lengan kiri dan menjeritlah si jongos ketika tubuhnya terpelanting sampai beberapa langkah. Buk …. ia jatuh menyusur lantai. Tetapi keping emas masih digenggamnya.

Melihat keberandalan itu, Han Ping melangkah menghadang di muka pintu, bentaknya, “Siang hari bolong mengapa saudara main berandalan. Kamar ini dihuni tetamu putri, mengapa saudara hendak masuk?”

Sejenak orang berpakaian hitam itu memandang Han Ping. Tiba-tiba ia maju selangkah dan menampar dada Han Ping. Gerakannya cepat dan keras sekali.

Han Ping menyambar dengan tangan kiri. Ia gunakan ilmu Kin-na-liong-jiu atau ilmu tangan kosong merebut senjata musuh. Cret, siku lengan orang itu tercengkeram, sekali diayun ke muka dan didorong ke belakang, orang itu terlempar delapan langkah jauhnya dan jatuh terduduk di lantai ….

Payah juga keadaannya. Sampai beberapa saat baru ia dapat berdiri. Melirik kepada Han Ping, orang itu perdengarkan tertawa hina lalu melangkah keluar.

Sijongospun bangun. Buru-buru ia menghampiri Han Ping dan tertawa cengar cengir, “Ah, maaf, maaf, aku punya mata tetapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Sungguh tak kuketahui bahwa paman seorang berilmu!”

“Ah, jangan kelewat memuji. Aku ingin mendapat keterangan tentang seseorang, entah apakah engkau dapat membantuku?” Han Ping tersenyum tawar.

“Setiap tetamu hotel sini tentu aku tahu semua. Siapakah yang engkau tanyakan itu?”

“Seorang tua bertubuh kekar tetapi bungkuk dan seorang tua bertubuh kurus pendek, apakah mereka tinggal disini?” kata Han Ping.

Sejenak jongos itu merenung. lalu berkata, “Kedua orang itu tak pernah kulihat tinggal di hotel sini. Memang pada hari-hari terakhir ini banyak sekali orang-orang persilatan yang berkunjung ke kota sini. Semua hotel dan rumah penginapan penuh. Sekalipun mereka royal mengeluarkan uang tetapi mereka termasuk orang-orang yang sukar dilayani. Salah sedikit saja tentu turun tangan main tempeleng. Semalam aku tak tidur karena harus melayani mereka sehingga tadi pagi aku bangun kesiangan. Kemungkinan kedua orang itu datangnya pagi tadi dan aku tak melihatnya. Tetapi jangan kuatirlah. Nanti akan kucari mereka dan kuberimu keterangan.”

Sambil berkata, jongos itu terus pergi.

Tiba-tiba tangan Han Ping ditarik orang masuk ke dalam ruangan. Ternyata yang menarik itu adalah si dara Ting Hong.

Tampak Ting Ling duduk di sebuah kursi sambil bertopang dagu. Entah sedang memikir apa. Begitu melihat Han Ping masuk, kedengaran nona itu menghela napas.

“Ah, hari ini kita bertiga hampir saja kehilangan jiwa. Sungguh tak nyana, Pengemis sakti Cong To yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan, juga muncul di Lokyang sini. Melihat naga-naganya, Lokyang bakal menjadi arena pertempuran dahsyat!”

“Apa? Pengemis tua yang bonceng di kereta itu Pengemis sakti Cong To yang termahsyur itu?” Han Ping terkejut.

Tiba-tiba ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong, “Dikalangan tokoh-tokoh persilatan, hanya Pengemis sakti Cong To yang bermusuhan juga dengan musuhmu itu. Dia tak sudi berhubungan.”

Melihat sikap Han Ping ketika mendengar soal Pengemis sakti Cong To, Ting Ling tersenyum, “Eh, engkau kenal padanya?”

Han Ping menggeleng, “Tidak, hanya suhu pernah mengatakan tentang orang itu.”

“Kalau begitu suhumu tentu bersahabat baik dengan Pengemis sakti Cong To?”

“Juga tidak. Suhupun hanya mendengar cerita orang saja!”

“Menilik kepandaian ilmu silatmu, suhumu tentulah seorang tokoh termahsyur. Apakah engkau tak keberatan untuk memberitahukan nama gurumu?”

“Ah, suhu sudah meninggal. Maaf, tak perlu kuberitahukan.”

Sejenak Ting Ling kerutkan kening. Pada lain saat ia tertawa , “Baiklah, kalau engkau keberatan, kami berduapun takkan mendesak ….”

Kata-kata Ting Ling itu terputus oleh deburan daun pintu yang keras. Mengira kalau jongos sudah mendapat keterangan tentang diri si Bungkuk, buru-buru Han Ping keluar membuka pintu.

Tetapi yang tegak di luar pintu ternyata bukan jongos hotel, melainkan seorang pemuda dengan empat orang pengiring. Pemuda itu berusia 24an tahun, cakap dan gagah. Sedang salah seorang pengiringnya ternyata orang yang dilempar Han Ping tadi.

Pemuda yang mengenakan baju biru itu menatap Han Ping tajam-tajam lalu memberi hormat seraya bertanya, “Tolong tanya, apakah saudara datang dari gunung Hun-bong-san?”

“Aku hanya seorang sais, bukan dari Hun-bong-san.”

Pemuda itu tersenyum, “Lembah Raja setan di gunung Hun bong termahsyur dengan pembuatan kedok muka. Tolong saudara sampaikan pada kedua nona di dalam ruangan bahwa Ca Giok dari Ca-ke-poh di Ik-tang hendak mohon bertemu.”

Diam-diam Han Ping terkejut. Selama dalam perjalanan ia tak berjumpa dengan siapapun. Mengapa pemuda itu tahu akan kedatangannya di hotel situ?

Dipandangnya pemuda itu dengan lekat. Seorang pemuda yang cakap, sikap dan nada ucapannya halus dan sopan. Kecuali dari sinar matanya yang berkilat-kilat tajam, tidaklah tampak lain-lain ciri istimewa pada pemuda itu.

Han Ping tampak gelisah. Jika ia menyangkal, jelas pemuda itu sudah yakin bahwa kedua nona itu berada di kamar situ. Tetapi kalau ia meluluskan permintaannya, ia tak berani mengambil keputusan sendiri karena kuatir kedua nona itu akan marah.

Untunglah pada saat ia termangu-mangu dalam keraguan, sidara Ting Hong muncul dan menyambut pemuda itu dengan tegur tertawa.

“Taci sedang ganti pakaian, tak sempat menyambut. Mari, silahkan masuk,” kata Ting Hong.

Pemuda itu mengucap terima kasih. Ia suruh keempat pengiringnya kembali lalu ikut sidara masuk.

“Sungguh luar biasa sekali!” seru Ting Ling ketika menyambut pemuda itu. “Jarang sekali saudara berkunjung ke Tionggoan. Tentulah urusan ini penting sekali. Entah apakah saudara sudi memberitahukan hal itu?”

Ternyata pemuda itu Ca Giok, putra dari marga Ca yang memiliki Ca-ke-poh atau gedung keluarga Ca di Hopak. Ca-ke-poh menduduki tempat sejajar dengan Lembah Raja setan, Lembah Seribu racun dalam kemahsyuran di dunia persilatan.

Ca Giok tertawa, “Nona benar. Memang kedatanganku ke Lokyang ini mempunyai kepentingan. Mengingat antara marga Ca-ke-poh dan Lembah Raja setan mempunyai hubungan baik, maka aku memberanikan diri untuk bertamu di tempat nona sini.”

“Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Silahkan mengatakan saja. Asal kami mampu, tentu takkan menolak,” kata Ting Ling.

Sejenak pemuda cakap dan gagah itu tertawa lalu berkata, “Terima kasih. Maksudku hendak mempersatukan kekuatan Lembah Raja setan dengan Ca-ke-poh dalam menghadapi peristiwa ini. Apabila berhasil, kita bagi rata ….”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Sewaktu datang, setitikpun tak kubayangkan bahwa peristiwa ini akan menjadi begini besar. Baik golongan Hitam maupun Putih telah mengutus tokoh-tokohnya yang penting untuk ikut serta dalam hal ini. Menilik gelagatnya, kota Lokyang akan timbul prahara besar. Karena tak menyangka hal itu, maka aku hanya membawa sedikit pengiring. Kekuatan itu tak cukup untuk menghadapi peristiwa yang akan timbul nanti. Maka kuberanikan diri untuk mengutarakan maksudku tadi. Tetapi apabila nona berdua keberatan, akupun tak berani memaksa.”

Ting Hong merenung sejenak lalu berkata, “Saudara Ca berpandangan luas. Entah apakah selama dalam perjalanan ini pernah bertemu dengan Pengemis sakti Cong To?”

Seketika berobahlah wajah Ca Giok, serunya menegas, “Apa? Pengemis tua itu juga datang?”

Ting Ling tertawa, “Aku dan adik Hong melihatnya sendiri. Tak mungkin salah!”

Ca Giok berdiam sejenak. Katanya perlahan-lahan “Kepandaian dan pribadi pengemis tua itu, tentulah nona berdua sudah mengetahui. Jika dia benar-benar datang …”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya, tertawa dingin dan ayunkan tangannya. Seutas benang perak yang lembut seperti rambut, segera meluncur keluar dari ruangan itu. Dan menyusul tubuhnya melayang ke jendela ….

Ting Ling terkejut. Nona yang biasa berotak cerdas itu tak dapat menduga apa maksud Ca Giok.

Kepandaian Tangan geledek Ca Giok memang sakti. Dan kemahsyuran nama marga Ca-ke-poh sudah tersebar di seluruh dunia persilatan. Jika tiada sesuatu tak mungkin Ca Giok akan bertindak demikian.

Begitu tiba di belakang jendela, Ca Giok ulurkan tangan menyambar keluar, tertawa dingin lalu masuk ke dalam ruangan lagi. Dari jauh samar-samar terdengar suara orang tertawa mendengus ….

Ting Ling terperanjat. Ca Giok mencekal seekor ular kuning emas sepanjang setengah meter. Kepala ular itu dipijitnya hancur, darah bercucuran menyiarkan bau. yang anyir. Sedang tubuh ular itu masih bergeliatan kian kemari.

Kedua taci beradik itu sejak kecil dibesarkan di lembah pegunungan. Tahulah mereka bahwa ular kuning emas itu seekor ular yang amat berbisa sekali.

“Saudara Ca, cepat lepaskan! Ular itu berbisa sekali!” teriak Ting Hong.

Ca Giok memandang ular itu, tertawa, “Orang Lembah Seribu racun memang licik sekali. Sebelumnya mereka telah menyediakan ular-ular berbisa. Pada waktu hendak kutangkap orang itu menyongsong songsongkan ular berbisa ini. Ha, ha, binatang begini kecil, mampu berbuat apa terhadapku!”

“Ai, saudara benar-benar tak kecewa digelari orang sebagai Tangan geledek. Tangan saudara Ca benar-benar secepat kilat menyambar. Ah, aku sangat kagum.” Ting Ling tertawa memuji.

Wajah Ca Giok tampak tenang kembali. Ular itu dilemparkan keluar jendela.

“Jelas sudah, dewasa ini kota Lokyang penuh bertebaran maut. Bahwa orang Lembah Seribu racun berani bergerak di siang hari, tentulah mereka sudah mempunyai persiapan yang cukup tangguh!” kata jago muda dari marga Ca itu. “Terpaksa aku hendak minta diri dulu untuk melihat keadaan di luar. Hanya kumohon sukalah kedua nona mempertimbangkan usulku tadi. Nanti malam, aku berkunjung kemari lagi.”

“Maaf, saudara Ca, kami tak dapat mengantar. Sampai jam 10 malam nanti, tetap kutunggu kedatangan saudara,” kata Ting Ling.

Setelah memberi hormat, Ca Giok segera tinggalkan ruangan itu.

Selama itu, Han Ping berdiri di pinggir pintu. Setelah Ca Giok pergi, barulah ia berkata kepada kedua nona itu, “Pemuda itu hebat sekali. Tangannya cepat seperti kilat. Rasanya tak kalah dengan si Bungkuk!”

Ting Ling suruh Ting Hong menutup pintu lalu mempersilahkan Han Ping masuk. Tiba-tiba nona itu loncat ke tepi jendela dan melongok keluar. Kemudian ia menutup jendela itu lalu berkata bisik-bisik, “Saat ini, kita berada dalam daerah berbahaya. Orang-orang Lembah Seribu racun luar biasa licinnya. Ibarat liang semutpun mereka mampu memasuki. Sekali tak hati-hati, jiwa tentu melayang ….”

Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah Ting Hong diiringi seorang jongos. Jongos itu bukan jongos yang menyambut tadi. Memakai kopiah dan tundukkan kepala sambil membawa sepenampan teh. Setelah menuangkan teh ke dalam tiga buah cawan, jongos itupun pergi.

Sejenak Ting Hong memandang ke arah tacinya lalu mengikuti jongos itu.

Dengan matanya yang tajam, “Ting Ling mengamati warna teh dalam cawan itu. Ia tersenyum menyeringai tetapi tak berkata apa-apa. Setelah Ting Hong masuk lagi, barulah Ting Ling bertanya “Pintu sudah engkau tutup rapat?”

Ting Hong mengangguk.

Ting Ling mengangsurkan cawan teh kepada Han Ping, “Cobalah periksa teh ini, apakah ada yang mencurigakan?”

Han Ping memeriksa. Teh itu jernih kehijau-hijauan, baunya harum sekali. Seperti teh wangi yang kebanyakan.

“Eh, apakah ada sesuatu yang tak wajar pada teh ini?” tanyanya heran.

Ting Ling menghela napas perlahan . “Ah, kelicikan muslihat dunia persilatan, jika diceritakan tentu membuat nyali orang rontok. Sekalipun memiliki kepandaian sakti, suatu ketikapun masih lengah. Mungkin engkau menganggap kami berdua ini terlalu bercuriga kepada orang sehingga tampaknya gerak-gerik kami memang aneh. Tetapi sesungguhnya jika tak bertindak begitu, tentu mudah terkena siasat gelap orang. Misalnya seperti teh wangi dalam cawan ini. Memang baunya harum dan warnanya jernih seperti teh wangi yang kebanyakan. Sukar diketahui dimana ketidak wajarannya. Tetapi sebenarnya teh itu sudah dicampuri racun….”

Han Ping terbelalak, “Kalau begitu, jongos tadi juga ….”

“Jongos itu jika bukan orang Lembah Seribu racun, tentulah orang yang disuruh mereka. Tetapi mengapa pihak Lembah Seribu racun itu hendak mencelakai kita, benar-benar aku tak mengerti ….” kata Ting Ling lalu merenung.

Sejenak kemudian ia berkata pula, “Tetapi baiklah. Biarlah siasat mereka kita gunakan untuk menyiasati mereka. Kita lihat saja mereka akan berbuat apa terhadap kita.”

Ia mengambil ketiga cawan teh itu lalu dibawa masuk. Teh dituang ke bawah ranjang lalu ia keluar lagi. Diserahkannya cawan yang sudah kosong itu kepada Ting Hong dan Han Ping.

“Kita pura-pura minum cawan teh beracun ini. Aku dan adik Hong akan menggeletak di samping meja ini dan engkau berbaring di belakang pintu sana ….” katanya kepada Han Ping. “Jika tak berani masuk ke dalam sarang harimau, tentu takkan mendapat anak harimau. Jika tak terpaksa sekali, harap jangan turun tangan. Tunggu perintahku dulu ….”

Waktu mengatakan kata-kata ‘perintah’, Ting Ling sungkan sendiri. Dipandangnya Han Ping dengan tersenyum.

Walaupun setengahnya masih belum percaya penuh, tetapi Han Ping melakukan juga. Ia rebah di belakang pintu. Sedang Ting Hong selalu percaya penuh terhadap tacinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia terus menggeletak di atas kursi.

Setelah melihat kedua orang itu rebahkan diri di tempat yang ditunjuk, Ting ling lalu pindahkan letak cawan teh masing-masing. Setelah itu iapun rebahkan kepalanya di atas meja.

Lebih kurang seperempat jam kemudian, tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang. Hampir saja Han Ping hendak bangun tetapi dicegah dengan isyarat tangan oleh Ting Ling.

Karena pintu tak dibuka, tak berapa lama ketukan pintu itupun lenyap dan suasanapun sunyi kembali. Bahkan sampai malam tiba dan lewat makan malam, tetap belum tampak sesuatu yang mencurigakan lagi.

Han Ping tak sabar. Dipandangnya Ting Ling dengan pandang kesangsian. Tetapi nona itu hanya mengangguk kepala dan tersenyum, sebagai isyarat supaya pemuda itu suka bersabar beberapa waktu lagi.

Tiba-tiba terdengar suara musik yang halus. Suara itu berasal dari tempat yang jauh dan mengalun masuk ke dalam kamar. Dan ketika musik yang menyerupai bunyi seruling itu berhenti, terdengarlah suara mendesis-desis. Dan ketika Han Ping membukai mata, hampir saja ia melonjak bangun.

Dari belakang daun jendela, menyusup masuk dua ekor ular plonteng (kulitnya berkembang garis-garis), sebesar cawan teh. Ketika kedua ular itu mengangkat kepalanya, panjang tubuhnya tak kurang dari setengah meter.

Han Ping segera bersiap. Pada saat ia hendak menghantam ular itu, tiba-tiba dilihatnya kedua nona itu masih enak-enak tidur. Seolah-olah tak mengacuhkan kemunculan ular itu. Han Ping malu sendiri. Jika kedua gadis itu tak takut, masakan dia seorang anak lelaki begitu ketakutan setengah mati. Ia batalkan niatnya hendak menghantam ular. Diam-diam ia memperhatikan saja gerak-gerik binatang itu.

Kedua ular itu merayap ke samping Ting Ling. Salah seekor mengangkat kepala dan memagut sinona. Tetapi Ting Ling sudah siap. Secepat kilat ia menyambar kepala ular itu dan menjejak ular yang lainnya.

Seorang yang memiliki kepandaian silat memang mudah menangkap ular. Tetapi hal itu diperlukan keberanian yang mantap. Karena sekali sambarannya luput, ular itu tentu akan menggigitnya.

Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan dan ketangkasan Ting Ling.

Ular yang terjejak oleh ujung kaki sinona, terhempas ke lantai dan mati seketika. Sedang ular yang dipijit kepalanya itu masih berusaha untuk melilit tangan sinona. Tetapi sekali tangan Ting Ling menyurut dan menjulur, remuklah tulang ular itu.

Dengan cepat, Ting Ling menaruh kedua bangkai ular itu di bawah jendela. Setelah itu ia duduk di kursinya lagi. kepalanya dibaringkan di meja seperti orang yang pingsan.

Malampun tiba. Keadaan di luar ruangan sunyi senyap. Han Ping dan Ting Hong hampir tak sabar lagi. Tetapi Ting Ling tenang-tenang saja. Berulang kali nona itu memberi isyarat supaya mereka bersabar.

Lewat beberapa waktu kemudian, tiba-tiba terdengar suara halus di luar jendela dan tirai jendelapun bergetaran. Kemudian sesosok bayangan melesat masuk.

Han Ping menutupi mukanya dengan lengan ba ju tetapi ia masih dapat melirik ke sekeliling. Dilihatnya seorang lelaki kate, mukanya berkerudung kain hitam, melangkah perlahan-lahan ke dalam ruangan, Sikapnya tenang seperti masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Begitu tiba di dekat kedua nona, tiba-tiba ia berbalik tubuh dan secepat kilat kedua tangannya menutuk Ting Ling dan Ting Hong.

Saat itu barulah Han Ping menyadari. Cara orang kate itu melangkah dengan perlahan ternyata memang mempunyai maksud. Dia berhati-hati sekali memilih posisi mendekati tempat kedua nona. Kemudian secara tak terduga-duga dan secepat kilat turun tangan.

Tindakan orang kate itu memang tepat sekali. Ting Ling dan Ting Hong tak sempat lagi menangkis. Mereka kena tertutuk.

Kemudian orang aneh itu membuka kerudung mukanya dan tertawa perlahan, “Hm, silahkan kalian mengerahkan segala macam muslihat. Tetapi jangan harap mampu mengelabui aku!”

Han Pingpun tak dapat berbuat apa-apa kecuali tergetar hatinya. Diam-diam ia menilai kepandaian orang kate itu tak kalah dengan si Bungkuk serta Tangan geledek Ca Giok.

“Ah, apakah dunia persilatan penuh dengan orang-orang yang berilmu sakti begitu?” diam-diam timbul rasa rendah diri dalam hati Han Ping.

Belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba orang aneh bermuka panjang itu menyulut api. Seketika ruangan terang benderang.

Keheranan Han Ping makin memuncak. Masakan seorang penjahat berani berbuat sedemikian ugal-ugalan.

Orang aneh itu memandang kedua bangkai ular dan cawan teh di meja. Ia tersenyum, “Kedua budak perempuan ini memang lihay. Jika terlambat sedikit saja, kemungkinan akupun termakan siasat mereka!”

Saat itu pengerahan tenaga dalam Han Ping sudah memuncak. Pada saat ia hendak loncat menerjang, tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan memandangnya sambil tertawa dingin “Bangun! Kedua majikanmu sudah kututuk jalan darahnya. Mengapa engkau masih pura-pura pingsan?”

Han Ping terkejut. Perlahan-lahan ia kendorkan pengerahan tenaga dalamnya. Lalu bangun.

Orang aneh itu memandang Han Ping dari kaki sampai ke ujung kepala. Tegurnya, “Engkau juga dari gunung Hun-bong-san?”

“Aku sais kuda dan kedua nona itu menyewa keretaku .” kata Han Ping dengan sikap pura-pura ketakutan.

“Angkatlah kedua nona itu ke ranjang di dalam kamar!” seru orang aneh itu.

Han Ping tertegun. Ia gelisah karena harus memondong gadis remaja.

“Mengapa tak lekas-lekas mengerjakan perintahku? Apakah engkau sudah bosan hidup?” dengus orang itu.

Diam-diam Han Ping menimang. Orang aneh itu dekat sekali dengan kedua nona. Jika ia bertindak tetapi tak dapat sekali pukul merubuhkan orang itu, berbahayalah keselamatan jiwa kedua nona itu.

Dengan pertimbangan itu terpaksa ia menurut. Diangkatnya Ting Hong ke dalam ruang dan dibaringkan di tempat tidur. Orang aneh itu mengikuti di belakangnya dengan menyulut lilin.

Setelah merebahkan sidara, timbullah pikiran untuk mengangkat Ting Ling lagi. Ia hendak melihat apakah yang akan dilakukan orang itu terhadap kedua nona. Maka tanpa diperintah, ia terus memondong Ting Ling ke dalam kamar.

Sambil mengacungkan lilin, orang aneh itu memandang kedua nona dan tertawa dingin, “Untuk sementara biarlah kalian tidur nyenyak!”

Habis berkata ia melangkah perlahan-lahan keluar. Ketika melalui Han Ping, sekonyong-konyong orang itu berbalik diri dan menutuk jalan darah di dada Han Ping.

Saat itu sebenarnya Han Ping sedang menimang, apakah ia harus bertindak saat itu. Belum mengambil keputusan, ia sudah didahului orang itu. Karena jaraknya dekat dan tak menduga, Han Ping tak dapat menghindar atau menangkis lagi. Ia jatuh terkulai ke lantai.

Tetapi ia memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sekalipun tertutuk, tetap belum pingsan. Diam-diam pemuda itu menimang, “Orang ini kepandaiannya tinggi. Belum tahu aku dapat mengalahkannya atau tidak. Apalagi jalan darahku tertutuk lebih dulu. Jika dia tahu keadaanku, tentu akan menurunkan tangan ganas ….”

Dengan perhitungan itu, buru-buru ia menutup pernapasan dan pura-pura pingsan.

“Huh, budak hina, lwekangmu hebat juga. Hampir aku kena engkau kelabui,”dengus orang itu seraya ayunkan kakinya ke tubuh Han Ping. Pemuda itu mencelat dan membentur dinding, bluk…

Karena harus pura-pura pingsan, terpaksa ia menutup pernapasan. Dan kerena menutup pernapasan itu dia tak dapat mengerahkan tenaga dalam. Diam-diam ia mengeluh kesakitan. Tetapi pengorbanan itu berhasil menghilangkan kecurigaan orang itu.

Habis menendang, orang itupun meniup padam lilin lalu melangkah keluar.

Ruangan gelap gulita. Tetapi Han Ping tak mau gegabah bergerak. Setelah lama tiada mendengar suara apa-apa lagi, barulah ia membuka mata. Dan setelah mendapat kepastian orang itu sudah pergi, barulah ia berani menyalurkan pernapasan lagi.

Dadanya yang tertutuk itu terasa sakit sekali, darah tak dapat menyalur. Baru hendak melakukan semedhi, tiba-tiba terdengar pintu didebur dan masuklah dua orang lelaki dengan membawa api.

“Kabarnya kedua budak perempuan dari Lembah Raja setan itu cantik sekali. Sekarang kita dapat melihatnya dengan jelas,” kata salah seorang dengan tertawa perlahan.

Kawannya yang di belakang menyambut, “Kudengar kedua putra pemimpin kitapun menaruh hati kepada kedua budak perempuan itu. Sudah pernah mengutus orang untuk meminang tetapi ditolak.”

Orang di sebelah depan yang memegang korek itu menyulut lilin di meja dan menyuluhi kedua nona yang terbaring di ranjang.

“Ai, benar-benar sepasang juwita yang cantik seperti bidadari. Tak heran kalau kedua putra pemimpin kita tergila-gila,” katanya tertawa.

Tiba-tiba orang yang di belakang itu meniup padam lilin dan berbisik, “Besar sekali nyalimu. Siapa tahu kemungkinan pemimpin kedua kita berada di luar ruangan. Mengapa engkau berani nyalakan lilin? Apakah engkau tak sayang jiwamu?”

Tahulah Han Ping dari pembicaraan itu bahwa kedua orang tak dikenal itu disuruh untuk mengawasi keadaan kedua nona.

“Ah, kalau mereka disuruh jaga disini celakalah, aku tentu tak dapat melakukan penyaluran darah,” diam-diam Han Ping mengeluh.

Orang yang berdiri di belakang itu tertawa, “Kalau engkau suka melihat orang, silahkan masuk. Aku tetap menjaga di luar saja. Tetapi, awas, jangan berbuat yang tidak patut, jiwamu bisa amblas!”

Kawannya yang di muka tertawa, “Jangan kuatir, bung. Aku tentu dapat menjaga diri!”

Tetapi kalau melihat gerak-gerikmu, benar-benar aku curiga,” kata kawannya di belakang seraya mencabut golok dan duduk di pinggir ranjang. Ternyata dia tak mau keluar dan hendak menilik tingkah laku kawannya.

Pada waktu kedua orang itu masuk, Han Ping tak sempat merebahkan diri. Untung ia cepat mendapat akal. Buru-buru ia bersandar pada tembok dan kepalanya mengulai.

Kedua orang itu hanya mencurahkan perhatian kepada kedua nona. Mereka tak melihat bahwa Han Ping berada disitu juga. Sekalipun lolos dari perhatian, tetapi Han Ping tetap setengah mati karena tak dapat bergerak.

Dalam keheningan itu, terlintaslah ia akan ajaran mendiang Hui Gong siansu. Mulai ia mencari dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng tentu pelajaran membuka jalandarah.

Ia pusatkan seluruh perhatian untuk mengingat semua isi kitab itu. Memang sukar sekali untuk menelaah tulisan dalam kitab itu. Ia coba merangkainya dengan pelajaran lisan dari Hui Gong mengenai penggunaan secara praktek dari ilmu dalam kilab sakti itu. Akhirnya ia memperoleh kemajuan besar dalam menyelami inti sari kitab itu.

“Apakah nona berdua sudah tidur?” sekonyong-konyong di luar ruangan terdengar orang berseru.

Han Ping terkejut. jelas yang berseru itu adalah Ca Giok, sipemuda tampan yang gagah. Seketika pikirannya terganggu dan kacaulah pemusatannya tadi.

Kedua orang itupun terperanjat sekali. cepat mereka menghunus senjata dan berjingkat-jingkat menghampiri ke belakang pintu sebuah kamar di luar. Sedang kawannya bersembunyi di belakang pintu kamar kedua. keduanya siap mengacungkan golok. Begitu Ca Giok masuk, tentu segera ditabasnya.

Untunglah sebelum timbul gangguan itu, Han Ping sudah berhasil menemukan ilmu pelajaran tentang membuka jalan darah. Ketika kedua orang itu berada di luar, diapun lantas kerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.

Rupanya Ca Giok cerdik sekali. Ia seperti mendapat firasat bahwa di dalam kamar kedua nona itu seperti terjadi sesuatu. Pemuda itu tidak jadi masuk dan terus pergi.

Beberapa saat kemudian, Han Ping coba menjulurkan kaki dan tangannya. Ah, ternyata dapat digerakkan. Jalan darahnya yang tertutuk itu sudah berhasil dilancarkan kembali. Ketika ia hendak bangun menolong kedua nona, tiba-tiba pintu terbuka.

Orang yang berada di balik pintu, rupanya sudah berpengalaman. Dia tak mau cepat-cepat turun tangan. Golok tetap diacungkan ke atas, siap ditabaskan.

Saat itu Han Ping sudah membiasakan diri dalam ruangan yang gelap. Ia dapat melihat keadaan dalam ruangan situ. Dilihatnya orang yang di belakang pintu itu, turunkan goloknya dan mengambil keluar dua batang piau yang ujungnya runcing dan berwarna biru gelap.

Pada saat ia hendak menimpukkan piau itu, tiba-tiba segulung api melayang ke dalam ruangan. Seketika itu ruangan terang benderang.

Orang yang sembunyi di balik pintu terkejut sekali. Pada saat ia hendak memadamkan api itu, sesosok bayangan melesat masuk dan secepat kilat melayang ke sudut ruangan.

“Ho, kukira yang berada dalam ruangan ini makhluk ganas yang berkepala tiga bertangan enam. Kiranya hanya kawanan cinjil beracun. Kalau tahu begitu, tak perlu aku membuang banyak tenaga begini ….” terdengar suara pendatang itu tertawa nyaring.

Han Ping tak asing lagi. “Yang bicara itu adalah Tangan geledek Ca Giok. Ia mendapat akal. Buru-buru ia mengulai kepala dan bersandar ke tembok lagi.

Ca Giok melangkah tenang-tenang ke dalam ruangan dalam. Setitikpun ia tak menghiraukan bahaya yang akan diterima dari orang yang bersembunyi di balik pintu.

Orang itu memberi isyarat mata kepada kawannya yang bersembunyi dipintu kedua. Kemudian ia loncat menyerang Ca Giok.

Ca Giok tetap tenang-tenang saja. Sama sekali ia tak mengacuhkan serangan itu. Bahkan ia berpaling memandang ke arah pintu kedua.

Pada saat golok hampir mengenai kepalanya, barulah ia mencondong ke kanan lalu tangan kiri secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan penyerang itu.

Tring …. golok terlepas jatuh. Dan sebelum orang itu sempat menjerit, Ca Giok sudah menyusuli sebuah tendangan ke perut orang. Orang itu rubuh. Mulut, hidung, mata dan telinganya mengeluarkan darah. nyawanya melayang ….

Han Ping sempat melirik apa yang terjadi saat itu. Melihat keganasan Ca Giok membunuh orang, diam-diam ia merasa ngeri. Seorang pemuda cakap yang tampaknya halus pekerti seperti seorang sasterawan ternyata buas dan ganas. Demikian pikirnya.

Ca Giok melintangkan mayat orang itu ke muka sebagai perisai, lalu loncat menyerbu ke dalam pintu kedua.

Rupanya orang itupun tergetar menyaksikan kematian kawannya. Begitu Ca Giok tiba di ambang pintu, baru dia taburkan kedua piau beracun itu.

Ca Giok tampaknya tak mengacuhkan. Tetapi sesungguhnya diam-diam dia sudah siap. Begitu piau melayang, Ca Giokpun serempak menyongsongkan mayat orang tadi dan tangan kanannya balas menghantam.

Bluk!, terdengar orang itu terkapar rubuh. Dadanya termakan pukulan lwekang Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah dari keluarga Ca.

Ca Giok menyulut korek dan melangkah masuk. Lepaskan perisai mayat, ia melangkah ke meja dan menyalakan lilin. Ruangan terang benderang. Lebih dulu ia mengangkat kedua mayat itu ke sudut ruang kemudian menghampiri ke tempat tidur kedua nona. Setelah memeriksa, ia gelengkan kepala. Terpaksa ia mengurut bagian jalan darah mereka yang tertusuk lalu menamparnya perlahan-lahan. Kedua nona itu menguak napas lalu duduk. Ca Giok mundur dan berdiri di samping ranjang.

Ting Ling berkeliaran memandang keadaan ruangan lalu turun dari pembaringan. Sambil mengemasi rambutnya, ia tertawa, “Karena ketololan, Kami berdua saudara termakan serangan gelap musuh. Terima kasih atas pertolongan saudara Ca,” ia memberi hormat kepada pemuda itu.

Ca Giok tertawa, “Ketiga manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu, yang kesatu dan kedua jarang muncul keluar, yang rnencelakai nona berdua tentulah Manusia beracun nomor tiga yakni Leng Kong Ih!”

“Waktu mencelakai kami, dia mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak wajahnya. Sungguh memalukan sekali, walaupun ditutuk jalan darah kami tetapi kami tak sempat mengetahui Manusia beracun yang nomor berapakah yang rnencelakai kami itu?” Ting Ling tersenyum.

Ting Hong yang sudah sadar, tak tertarik dengan pembicaraan itu. Diam-diam ia melirik ke arah Han Ping yang rebah bersandar pada tembok.

Diam-diam Ting Lingpun menaruh perhatian atas keselamatan pemuda itu. Ia heran mengapa Han Ping begitu mudah ditutuk jalan darahnya. Padahal menilik kepandaiannya, walaupun pemuda itu tak dapat mengalahkan beberapa tokoh tua dari Lembah Seribu racun, tetapi paling tidak dia tentu dapat menempur mereka sampai 100an jurus. Walaupun tak menang tetapi masih dapat membela diri. Apalagi orang dari Lembah Seribu racun itu lebih dulu menutuk jalan darah kedua nona sehingga tentulah Han Ping mempunyai kesempatan untuk berjaga-jaga.

Memang sinona baju hitam Ting Ling itu cermat sekali. Secepat ditolong Ca Giok, ia sudah memperhatikan keadaan dalam ruangan situ. Ternyata tiada bekas-bekas terjadinya suatu pertempuran.

“Ah, mengingat tokoh Manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu tubuhnya mengandung racun, kemungkinan pemuda itu tentu lebih dahulu termakan senjata beracun mereka,” akhirnya nona itu menarik kesimpulan.

Ting Ling cepat berpikir dan cepat pula bertindak. Dengan tenang ia menghampiri ke tempat Han Ping. Sebelumnya lebih dahulu ia berpaling kepada Ca Giok dan berkata, “Orang Lembah Seribu racun itu memang ganas benar. Sekalipun terhadap seorang sais yang tak tahu apa-apa, merekapun tak mau memberi kelonggaran.”

Habis berkata ia lalu lekatkan tangannya ke dada Han Ping. Maksudnya untuk memeriksa denyut jantung pemuda itu. Tetapi di luar dugaan begitu tangannya menyentuh dada, Han Ping segera menguak, menggeliat dan berbangkit.

Ting Ling terkesiap. Tetapi cepat nona itu menyadari bahwa pemuda itu sebenarnya hanya berpura-pura pingsan. Ia kerutkan dahi, bersenyum memandang Han Ping lalu berputar tubuh.

Oleh karena teraling oleh tubuh sinona, Ca Giok tak dapat melihat jelas apa yang telah terjadi. Ia mengira kalau nona itu memang dapat membuka jalan darah Han Ping dengan cepat.

“Aha, ilmu kepandaian dari Lembah Raja setan benar-benar luar biasa. Cara nona membuka jalan darah orang itu dalam waktu yang singkat, benar-benar sangat mengagumkan sekali,” Ca Giok tertawa memuji.

Memang Ca Giok sudah tahu bahwa Han Ping tentulah bukan sais biasa. Tetapi ia tetap menduga salah. Karena pada sangkanya, Han Ping tentulah salah seorang anak buah Lembah Raja setan yang menyaru jadi sais.

“Ah, saudara Ca kelewat menyanjung,” Ting Ling tertawa hambar, “Siapakah orang persilatan yang tak mengetahui kebesaran nama dari It-kiong, Ji-kok dan Sam-tay-poh. Bagaimanapun juga, kepandaian kami berdua tetap kalah jauh dengan saudara Ca!”

“Ai, nona kelewat merendah diri,” sahut Ca Giok, “dalam 13 propinsi daerah Kanglam-Kangpak, siapakah yang tak kenal akan nama besar dari kedua bersaudara gunung Hun-bong?”

Karena melihat Han Ping tak kurang suatu apa, legalah perasaan Ting Hong. Dara itu segera menukas pembicaraan Ca Giok, “Menurut tata susila dunia persilatan, kami harus membalas budi pertolongan saudara Ca. Harap saudara Ca segera mengatakan, asal kami mampu tentu akan melakukan perintah saudara dengan sepenuh tenaga.

Ca Giok memandang sejenak kepada Han Ping, Ia hendak mengucap sesuatu tetapi tak jadi.

Ting Ling yang cerdas segera dapat mengetahui maksud Ca Giok, serunya, “Sais itu sebenarnya penyaruan dari seorang murid Lembah kami. Harap saudara Ca jangan ragu-ragu, silahkan mengatakan!”

Ca Giok tersenyum, “Maaf, aku hendak mohon tanya tentang keputusan usulku semalam itu. Adakah nona bersedia kerjasama dengan pihakku?”

“Pihak Lembah Seribu racun sudah jelas memusuhi kami. Dalam keadaan seperti ini, memang tiada lain pilihan lagi. Kalau saudara Ca sungguh bermaksud begitu, kami tentu akan menyambut dengan gembira,” sahut Ting Ling.

“Sudah tentu tawaran itu dengan itikad yang tulus. Berapakah anak buah yang nona bawa?”

Ting Ling tersenyum, “Terus terang sudah 3 bulan kami pergi dari Lembah Raja setan. Dan tiga hari yang lalu, aku mendapat surat dari ayah supaya ke Lokyang membantu pamanku mengurus suatu pekerjaan penting. Sayang dalam surat yang dibawa oleh seorang anak buah kami itu, ayah tak menceritakan sifat pekerjaan penting itu. Kamipun bergegas menuju ke kota ini tetapi tampaknya paman belum datang. Mungkin di tengah perjalanan mempunyai lain urusan. Tetapi kupercaya paman tentu tak berani melalaikan tugas. Kalau tidak hari ini tentu besok pagi dia pasti datang.”

Nona itu memang cerdik. Ia kenal akan pribadi Ca Giok yang berotak cerdas dan cermat. Jika memberi tahu dengan terus terang, tentu takkan dipercaya maka ia merangkai sebuah cerita lain yang dapat diterima.

Rupanya Ca Giok percaya.

“Kemungkinan Ting locianpwe sudah datang tetapi karena sedang menyelidiki urusan itu maka tak sempat menemui nona.”

“Mudah-mudahan begitulah agar aku jangan kehilangan pimpinan,” kata Ting Ling.

Ca Giok merenung. Sesaat kemudian ia tertawa, “Memang hal itu aku sendiripun kehilangan paham. Jangankah nona yang tak diberitahukan oleh ayah nona, sedang aku sendiri yang hendak ikut menyelidiki urusan itu, pun masih bingung!”

Mendengar itu, sidara Ting Hong tak dapat menahan diri dan bertanyalah ia, “Menilik tokoh-tokoh semacam Manusia beracun dan Pengemis sakti Cong To juga muncul sendiri di kota ini, urusan itu tentulah suatu peristiwa besar!”

Ca Giok tertawa “Malah bukan terbatas hanya Pengemis sakti Cong To dan Manusia beracun saja, bahkan semua tokoh-tokoh ternama dalam dunia persilatan berbondong-bondong datang kemari. Pendek kata, setiap orang persilatan yang mendengar berita, tentu akan ikut datang kemari.”

“Hm, seorang anak perempuan yang sudah dewasa, mengapa bicara masih tak menurut atur an!” Ting Ling mendamprat adiknya Ia memberi isyarat mata kepada Ting Hong dan pura-pura marah.

Ca Giok tersenyum, “Ah, janganlah nona memarahi adik nona. Memang jika aku menjadi adik nona, pun tentu akan menanyakan juga peristiwa itu. Apalagi peristiwa itu sudah menjadi rahasia umum. Entah apakah ayah nona pernah menceritakan tentang diri tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau pertempuran para tokoh-tokoh persilatan di gunung Heng-san?”

“Ka1au tak salah memang ayah pernah bercerita tentang hal itu. Tetapi mempunyai hubungan apakah hal itu dengan peristiwa di Lokyang ini?”

“Dunia persiatan walaupun terbagi menjadi beberapa partai persilatan dan masing-masing mempunyai ilmu pelajaran dan gaya keindahan sendiri-sendiri, tetapi dalam golongan Putih, partai Siau-lim-si yang dianggap orang paling terkemuka sendiri. Partai Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu kepandaian istimewa. Tetapi selama itu belum pernah terdapat tokoh Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 ilmu kepandaian itu.

Duaratus tahun yang lalu, paderi Hwat Seng taysu yang dianggap sebagai bintang cemerlang gereja Siau-lim-si, pun hanya mampu menguasai 49 macam ilmu kepandaian saja. Dan itu pun sudah dianggap sebagai satu-satunya murid Tat mo sucou yang paling istimewa ….”

“Benar, memang ayah sering menceritakan tentang paderi sakti itu?” Ting Ling tertawa, “tetapi pada jaman ini Siau-lim-si muncul lagi seorang paderi Hui Gong yang luar biasa. Enam puluh tahun yang lalu pada waktu ia masih mondar mandir di dunia persilatan, tokoh-tokoh dunia Rimba Hijau (penyamun) sama pontang panting menyembunyikan diri. Tetapi aneh sekali, paderi hebat itu tak lama kemudian melenyapkan diri dan tak ketahuan alas rimbanya. Pernahkah saudara Ca dengar peristiwa itu?”

Mendapat pertanyaan itu, Ca Giok hanya tersenyum. Ujarnya “Pengetahuan nona ternyata luas sekali. Ya, memang ayahku pernah bercerita. Tetapi karena kemunculan paderi sakti di dunia persilatan itu hanya singkat sekali waktunya, walaupun kemahsyurannya berkumandang memenuhi seluruh penjuru dunia persilatan, tetapi sayang tak banyak meninggalkan kesan-kesan peristiwa yang dilakukan. Maka saat ini hanya sedikit sekali orang yang tahu tentang diri paderi luar biasa itu. Masih kalah dengan Hwat Seng taysu yang namanya tetap harum sampai dua ratusan tahun lamany a ….”

“Ah, jika Hui Gong taysu mempunyai kesempatan 10 tahun berkelana saja, mungkin kemahsyuran namanya tak kalah dengan Hwat Seng taysu. Sayang paderi sakti itu telah …” karena tak sabar mendengar mendiang Hui Gong dipandang rendah, Han Ping cepat menyelutuk.

Sejenak Ca Giok memandang ke arah anak muda itu lalu bertanya pada Ting Ling apakah Han Ping itu juga anak murid ayah Ting Ling.

Nona yang cerdik itu cepat menangkap kata-kata Ca Giok. Pemuda itu dengan halus mendamprat Han Ping. Bahwa sebagai seorang murid biasa, tak patut turut campur bicara dengan orang yang tingkatnya lebih atas.

Sejenak merenung. Ting Ling memberi jawaban, “Ah, saudara Ca memang tajam sekali. Benar, memang dia adalah murid ayah yang paling disayang. Sebenarnya menurut tingkatan, kami berdua harus rnenyebutnya sebagai suheng.”

Mendengar Han Ping seorang murid kesayangan dari pemimpin Lembah Raja setan, buru-buru Ca Giok memberi hormat, “Maaf, aku telah berlaku kurang hormat kepada saudara!”

Sebenarnya mengkal sekali Han Ping kepada Ting Ling. Tetapi karena keadaan mendesak, terpaksa ia menahan diri. Namun wajahnya tetap mengunjuk kurang senang sehingga ia tak balas memberi hormat kepada Ca Giok dan hanya rnengucap beberapa patah kata yang bernada dingin “Saudara Ca hanya mendengar dari sumber berita dunia persilatan saja sehingga tak mengetahui pribadi Hui Gong taysu yang sesungguhnya. Ketahuilah, sejak sepeninggal Tat Mo cousu, hanya paderi Hui Gong yang dianggap sebagai penggantinya. Paderi itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa. Harap jangan sernbarangan meremehkannya!”

Mendengar kata-kata kasar dari Han Ping, meluaplah kemarahan Ca Giok. Tetapi sebagai seorang yang penuh toleransi, walaupun marah, wajahnya tetap tak berobah.

“Mohon tanya nama saudara yang mulia?” katanya dengan tertawa hambar.

“Ah, namaku yang rendah adalah Ih jin,” sahut Han Ping.

Tiba-tiba Ca Giok melangkah maju dua tindak dan menjabat tangan Han Ping, “Ah, sungguh beruntung sekali dapat berkenalan dengan saudara.”

Tampaknya Ca Giok menjabat dengan akrab. Tetapi sesungguhnya dia kerahkan tenaga untuk menguji orang.

Han Ping sudah siap ketika orang melangkah ke hadapannya. Dia kerahkan lwekang untuk menyambut. Kedua jago muda itu mengadu kesaktian tenaga dalam masing-masing. Dan berobahlah wajah Ca Giok seketika.

“Lembah Raja setan bersahabat dengan Ca-ke-poh. Selanjutnya harap saudara Ih jin suka sering-sering memberi pelajaran,” kata jago muda dari Ca-ke-poh itu dengan tersenyum seraya menarik tangannya dan mundur dua langkah.

“Hebat benar kepandaian orang ini. Mungkin lebih tinggi dari aku. Ah, kemahsyuran nama Lembah Raja setan benar-benar bukan nama kosong,” pikirnya.

Tiba-tiba terlintas lain pemikiran dalam benaknya. Jika benar sakti, mengapa tadi Han Ping begitu mudah dapat ditutuk oleh orang Lembah Seribu racun? Apakah kepandaian dari tokoh Manusia beracun itu lebih unggul dari Han Ping?

Ia terlongong-longong karena tak dapat memecahkan keanehan itu.

Kedua nona itu banyak pengalamannya. Cepat mereka dapat mengetahui bahwa dalam adu tenaga dalam tadi, Ca Gioklah yang menderita kerugian.

Ting Hong tersenyum, “Tentang tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau pertemuan para tokoh-tokoh persilatan di gunung Heng-san agaknya mempunyai hubungan dengan kemunculan para tokoh-tokoh persilatan di kota Lokyang saat ini. Maukah saudara Ca memberitahukan kepada kami?”

Ca Giok menghela napas perlahan.

“Pertemuan para tokoh-tokoh di gunung Heng-san pada 10 tahun yang lalu benar-benar merupakan peristiwa besar dalam dunia persilatan. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh dari pihak It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh, pun Ksatria tunggal dari Sin-ciu yakni Ih Thian heng juga datang. Para pemimpin dan tokoh terkemuka dalam golongan Hitam dan Putih, sama datang sendiri menghadiri. Karena tujuan pertemuan yang diselenggarakan oleh Ih Thian heng itu tak lain adalah untuk meredakan dendam permusuhan yang terjadi dalam golongan Hitam dan Putih. Juga pimpinan partai Siau-lim-si dan Bu-tong-pay datang menghadiri. Memang dalam hal itu nama Ih Thian heng mempunyai pengaruh besar akan berhasilnya pertemuan besar itu. Tetapi yang penting, tujuan pertemuan itu benar-benar akan merobah suasana dunia persilatan yang selalu kacau karena adanya pertentangan antara golongan Hitam dan Putih yang tak berkeputusan itu ….”

Ca Giok berhenti sejenak lalu melanjutkan.

“Keputusan pertemuan itu amat penting sekali bagi dunia persilatan. Jika kedua golongan itu tak dapat didamaikan, tiada lain jalan kecuali akan terjadi suatu pertemuan yang menentukan siapakah yang lebih berhak menancapkan kaki dalam dunia persilatan.

Pada saat pertemuan berjalan belum lama, tiba-tiba muncullah seorang tua bertubuh kurus dan rambutnya putih bersama seorang dara kecil. Ia mengatakan datang dari Laut Selatan. Di hadapan beratus-ratus tokoh persilatan, kakek itu berani memberi penilaian rendah terhadap ilmu kepandaian silat dari tionggoan. Bermula para hadirin mengira kakek itu seorang sinting. Mengingat kedudukan masing-masing sebagai ketua partai atau tokoh-tokoh yang ternama, hadirin itu tak mau meladeni si kakek. Tetapi setelah mendengar kata-kata lebih lanjut dari kakek berambut putih itu, seketika heninglah suasana pertemuan. Dalam penilaiannya terhadap ilmu silat dunia Tionggoan, kakek itu telah memberi tanggapan yang tajam dan tandas sekali.

Beberapa saat kemudian kakek itu mengeluarkan sebuah kitab bersampul kuning. Diacungkannya kitab itu ke atas lalu tertawa, “Dalam kitab ini, terdapat pelajaran untuk memecahkan semua ilmu silat dalam dunia persilatan Tionggoan. Begitu pula terdapat pelajaran lwekang Bu-siang-lwekang-sim-hwat dari perguruan Laut Selatan. Barang siapa yang hadir disini mampu menerima 10 jurus seranganku, akan kuhaturkan kitab ini kepadanya.

“Telah kuterangkan bahwa yang hadir dalam pertemuan besar itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh sakti pada masa itu ….”

Berkata sampai disitu, tiba-tiba Ca Giok mendengar suara dengusan tertahan dan suara itu seperti masuk ke dalam ruang. Sedemikian halus suara itu sehingga sukar didengar.

Ca Giok berhenti bercerita lalu mengangkat salah sebuah mayat. Ting Lingpun cepat meniup padam lilin. Ruangan gelap seketika.

Han Ping dan Ting Hong serempak menyelinap ke sudut ruangan. Ketika berbentur tubuh, Ting Hong terkejut. Didapatinya tubuh Han Ping agak gemetar.

“Adakah dia terluka waktu mengadu lwekang dengan Ca Giok tadi?” diam-diam dara itu cemas.

Buru-buru dara itu mencekal tangan Han Ping. Didapatinya tangan pemuda itu agak dingin. Ting Hong makin terkejut. Hampir ia menjerit.

Memang selain tubuh gemetar, tangan Han Pingpun terasa dingin. Untunglah dara itu banyak pengalaman. Dia masih dapat menguasai keterkejutannya.

Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Diletakkan tangan pemuda yang masih dicekalnya itu ke tangan Ting Ling. Juga Ting Ling tak kurang kejutnya. Buru-buru ia mengisar ke samping pemuda itu.

Han Ping terkejut karena tangannya dilekat Ting Hong ke tangan Ting Ling. Buru-buru ia menarik tangannya dan menyelinap ke samping Ca Giok.

Beberapa saat kemudian, keempat anak muda itu sudah dapat melihat keadaan dalam ruangan yang gelap itu.

Ting Ling kemalu-maluan karena Han Ping lolos ke samping Ca Giok. Namun nona itu tetap tenang.

“Menilik gerakannya masih begitu gesit, rupanya dia tak menderita luka apa-apa. Dan tadi jelas dalam adu lwekang dengan Ca Giok, dia lebih unggul. Kalau memang terluka tentu tak dapat bertahan lama. Ah, mungkin karena lain sebab.”

Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara orang tertawa dingin, “Mengingat perikemanusiaan, aku tak mau bertindak ganas. Lekas nyalakan lilin dan bukakan pintu untukku. Asal kalian tak melukai orang suruhanku itu, dengan memandang muka si Setan tua, aku takkan mengganggu kalian berdua budak perempuan. Tetapi jika kalian berani menggunakan siasat kepadaku, hm, jangan salahkan aku seorang kejam!”

Jago-jago muda yang berada dalam ruangan itu, memiliki indera pendengaran yang tajam. Mereka benar-benar heran mengapa mereka sama sekali tak mendengar kedatangan orang di luar jendela itu.

Sekonyong-konyong Ca Giok ayunkan tangan kanan. Sebuah jarum perak sehalus rambut, meluncur keluar jendela.

Senjata rahasia yang lembut itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Apalagi pada malam hari yang gelap. Tentu sukar dihindari. Memang senjata gelap jarum Sengat tawon dari keluarga Ca termahsyur di seluruh dunia. Sebagai putra keluarga Ca, sudah tentu Ca Giok mahir dalam ilmu timpukan jarum itu. Sekaligus ia mampu menimpukkan sampai 20 batang jarum. Pula ia dapat menimpukkan dengan berturut-turut.

Saat itu karena tangan kiri mencekal mayat, ia hanya sebelah tangan untuk menimpuk. Tetapi secepat taburan pertama dilepaskan, Ia sudah merogoh lagi segenggam jarum.

Tetapi di luar jendela tetap sunyi senyap. Beberapa saat kemudian terdengar orang tadi berseru sinis, “Kukira kalian berdua dapat membuka jalan darah sendiri, kiranya ditolong orang lain. Jarum Sengat tawon keluarga Ca memang hebat sekali tetapi mana mampu melukai diriku….”

Tiba-tiba suara orang itu berhenti. Terdengar angin mendesus perlahan dan rupanya orang itu sudah pergi dengan mendadak.

Saat itu Ting Ling, Ting Hong dan Han Ping sama berdiri merapat pada tembok. Sedang Ca Giok melindungi dirinya dengan perisai mayat dan tegak di tengah ruangan. Keempat jago muda itu siap menghadapi segala kemungkinan.

Kira-kira sepeminum teh lamanya di luar jendela tetap tak terdengar suara apa-apa. Karena tak sabar lagi, Han Ping melesat ke muka jendela dan merapat pada tembok. Ketika ia hendak ulurkan tangan membuka daun jendela, tiba-tiba Ca Giok berseru mencegahnya, “Saudara Ih, dunia persilatan penuh tipu muslihat, awas, jaga serangan mendadak dari musuh!”

Sejenak Ca Giok berhenti lalu sengaja berseru lagi dengan nyaring, “Ca Giok dari Ca-ke-poh berada disini. Siapakah kojin yang berada di luar jendela itu? Harap niemberitahukan narnanya!”

Sesungguhnya Ca Giok sudah menduga bahwa yang berada di luar itu tentu tokoh-tokoh Manusia beracun dari Lembah Seribu racun. Tetapi pemimpin yang nomor berapa, Ca Giok tak dapat meuduga. Maka sengaja ia bertanya demikian. Ia memperhitungkan ketiga Manusia racun dari Lembah Seribu racun itu adalah tokoh-tokoh ternama. Mereka tentu malu kalau tak mau memegang kelaziman dunia persilatan dan tentu menjawab.

Tetapi ternyata perhitungan jago muda itu melesat. di luar tetap tiada penyahutan suatu apa.

Melihat itu Han Ping tak dapat menahan diri. Setelah memandang kepada ketiga kawannya, sekonyong-konyong ia mendorong daun jendela. Sambil melindungi dada dengan tangan kiri, ia melayang keluar.

Ah, ternyata di luar tiada terdapat apa-apa. Hening lelap di empat penjuru.

Karena menguatirkan keselamatan Han Ping kedua nona itupun menyusul loncat keluar, begitu pula Ca Giok. Setelah melepaskan perisai mayat, ia loncat menyusul. Begitu berada di luar, ia terus loncat lagi ke atas rumah dan memandang ke sekeliling penjuru.

“Aneh, tak mungkin si tua beracun itu ketakutan melarikan diri ….” kata Ting Hong.

Tiba-tiba Ca Giok bertepuk tangan tiga kali. Dari empat penjuru berloncatan keluar tiga lelaki bersenjata golok. Mereka memberi hormat kepada Ca Giok.

Tetapi Ca Giok tak sempat bicara kepada mereka. Ia melayang turun keluar halaman lalu loncat lagi ke atas rumah sambil membawa sesosok tubuh orang dan melayang turun ke dalam ruangan tengah. Ketiga lelaki tadi cepat mengikuti.

Diam-diam Han Ping memuji kesaktian Ca Giok.

“Apakah masih dapat ditolong?” tanya Ting Ling.

Ca Giok tertawa hambar, “Aku menghantam mati dua anak buah mereka. Dia membunuh seorang anak buahku. Dua ditukar satu, masih untung.”

Ia menyerahkan mayat itu kepada salah seorang dari ketiga lelaki tadi, ujarnya, “Kemanakah larinya pembunuh itu?”

Karena tubuh mayat itu masih hangat, Ca Giok menduga kematian anak buahnya itu tentu belum berapa lama.

Salah seorang dari ketiga anak buahnya itu menyahut, “Pembunuh itu gesit sekali. Mengenakan jubah panjang, kepala dan mukanya memakai kain selubung hitam dan bertubuh pendek sekali ….

“Kutanyakan kemanakah larinya!” tukas Ca Giok.

“Karena Sau Poh-cu pesan kami tak boleh bergerak sebelum mendapat perintah maka kamipun tak berani gegabah mengejarnya. Bermula orang itu mendekam di luar jendela tetapi entah apa sebabnya mendadak loncat ke atas rumah dan melarikan diri.”

Anak buah Ca-ke-poh menyebut Ca Giok dengan panggilan Sau Poh-cu atau tuan muda. Dan memanggil ayahnya Ca Giok dengan sebutan Poh-cu atau pemimpin marga Ca-ke-poh.

Anak buah yang berdiri di sebelah kanan, menjawab, “Geiakan orang itu sepesat angin. Kalau tak salah lihat, dia menuju ke arah barat laut!”

Ca Giok tertawa seram. Belum mengucap apa-apa, ketiga anak buah itu ketakutan setengah mati dan tersipu-sipu berlutut, “Memang kami tak berguna sehingga melalaikan perintah sau-poh-cu. Kami bersedia menerima hukuman!”

Han Ping terkejut melihat kewibawaan Ca Giok terhadap anak buahnya. Tetapi bagi Ting Ling dan Ting Hong, hal itu tak mengherankan. Memang lima golongan yang termahsyur di dunia persilatan yakni It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh itu mempunyai peraturan yang keras sekali. Setiap anak buahnya yang melakukan kesalahan tentu dihukum mati.

Rupanya Ca Giok memang sengaja hendak memamerkan kewibawaan Ca-ke-poh di hadapan Han Ping dan kedua nona itu.

“Hm, walaupun kalian bertiga memiliki enam buah mata tetapi tak mampu melihat arah lolosnya pembunuh itu. Menurut peraturan, kalian harus dihukum mati. Tetapi mengingat saat ini tenaga kalian masih dibutuhkan, maka untuk sementara kalian hanya menerima hukuman potong sebuah jari tangan. Kelak akan dipertimbangkan lagi dengan jasa-jasa yang kalian lakukan!”

Bagaikan menerima titah dari raja, ketiga lelaki itu ulurkan tangan kiri dan masing-masing lalu memapas sebuah jarinya sendiri.

Karena baru pertama kali itu menyaksikan cara hukuman yang begitu kejam, Han Ping merasa ngeri juga. Tidak demikian dengan kedua nona. Mereka hanya ganda tertawa saja.

Setelah hukuman dilaksanakan, Ca Giok berpaling ke arah kedua nona dan Han Ping, serunya, “Ah, sungguh memalukan sekali orang-orangku itu. Terpaksa kuberi hukuman!”

Setelah itu ia berpaling kepada anak buahnya, “Lekas bawa kedua mayat musuh dan kawanmu ke hutan dan kuburlah mereka. Setelah itu kalian tunggu kedatanganku di hotel. Percuma kalian berada disini!”

Dengan laku hormat sekali ketiga lelaki itu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati tuan muda mereka. Mereka lalu mengerjakan perintah.

Setelah ketiga orang itu pergi, Ca Giok berkata pula kepada Ting Ling bertiga, “Sebenarnya hendak kututurkan peristiwa dalam kota Lokyang ini kepada nona bertiga. Agar nona bertiga mengetahui dan dapat memberi rencana tindakan yang akan kita lakukan. Tetapi ternyata muncul gangguan tadi. Menurut hematku, pendatang gelap itu tentulah salah satu dari ketiga tokoh Manusia racun dari Lembah Seribu racun. Tetapi anehnya, mengapa dia mendadak ngacir pergi? Tentulah dia melihat seseorang yang penting. Kemungkinan orang yang sedang dicari oleh sekalian tokoh-tokoh ke Lokyang itu sendiri! Harap nona bertiga suka ikut mengejar pembunuh itu. Lain waktu, tentu akan kuceritakan lagi sejelasnya. Walaupun berjumpa dengan Manusia racun tetapi kita berempat tentu dapat menghadapinya!”

“Baiklah,” kata Ting Ling seraya mendahului loncat ke atas rumah. Ting Hong, Han Ping dan Ca Giok segera menyusul. Di atas wuwungan rumah mereka memandang ke seluruh penjuru tetapi tak melihat sesuatu.

“Kita menuju ke barat laut,” kata Ting Ling.

“Ah, kemungkinan anak buahku itu salah. Lebih baik kita kembali saja,” ujar Ca Giok.

“Tetapi lebih baik kita coba dulu,” kata Ting Ling.

Sejak berada di atas wuwungan, Han Ping memandang cermat keempat penjuru. Tiba-tiba di sebelah muka beberapa tombak jauhnya, sesosok tubuh melambung ke atas sampai dua tombak tingginya lalu meluncur ke arah timur laut dan lenyap dalam kegelapan malam.

Han Ping terkejut “Huh, hebat sekali orang iiu. Dunia persilatan benar-benar penuh dengan orang-orang berilmu.”

“Ketiga Manusia racun itu sakti sekali. Kemungkinan kita tak dapat mengejar mereka. Lebih baik kita mengerjakan lain urusan yang penting ialah mencari ….”

“Ada orang datang, lekas sembunyikan diri,” tiba-tiba Han Ping menukas seraya mendekam dan sembunyi di balik wuwungan rumah.

Jika kedua nona itu cepat mengikuti tindakan Han Ping, adalah Ca Giok yang agak kurang percaya. Masakan Han Ping lebih tajam matanya dari dirinya. Diam-diam ia memperhatikan sekeliling penjuru. Ia terkejut ketika melihat dua sosok tubuh meluncur cepat dan pada lain kejap sudah berada di atas rumah sebelah muka, lalu loncat turun.

Diam-diam Ca Giok malu dalam hati karena kalah tajam dengan Han Ping. Ia mengajak Han Ping mengejar dan minta kedua nona itu untuk menjaga di belakang.

Ca Giok meloncat ke udara, berjumpalitan dengan gaya yang indah dan melayang turun ke bawah. Diam-diam Han Ping memuji ilmu kepandaian pemuda itu. Iapun menyusul dengan gaya lain. Tubuhnya dalam posisi rebah melambung ke udara, bergeliatan dan berputar-putar melalui sebuah rumah lalu melayang turun.

Melihat kedua pemuda itu mengunjuk kepandaian masing-masing, Ting Hong memberi penilaian, “Ilmu kepandaian Ca Giok memang hebat tetapi gayanya hanya biasa. Tetapi gerakan Han Ping itu benar-benar jarang terdapat. Entah dari perguruan manakah ilmu ginkangnya itu!”

“Memang menurut wawasanku selama ini, ilmu kepandaian pemuda itu sukar diukur tingkatnya. Misalnya ketika bertempur dengan si Bungkuk, bermula permainannya kacau tetapi makin lama malah makin mantap, hebat dan gagah. Seolah-olah dia memiliki sumber tenaga dalam yang tak pernah habis ….” kata Ting Ling.

“Adik Hong, kulihat selama ini engkau menaruh hati pada pemuda itu tetapi dia tak membalas perhatianmu. Dalam hal ini engkau harus lebih berhati-hati agar jangan kecewa sendiri.”

Muka dara itu merah, bantahnya, “Taci biasanya keras dan angkuh. Selamanya taci tak mau dirugikan orang, tetapi mengapa ….”

Sesungguhnya dara Ting Hong hendak bertanya mengapa tacinya mandah saja ditampar pipinya oleh Han Ping. Tetapi Ting Hong sungkan bertanya dan hentikan kata-katanya.

Ting Ling tertawa, “Nyalimu sekarang bertambah besar sehingga berani adu mulut dengan aku. Aku hanya memberi nasehat tetapi jika engkau tak mau mendengar, kelak segala akibat harus engkau pikul sendiri.”

“Ah, masakan aku berani menentang taci. Hanya kulihat Han Ping itu seorang pemuda baik. Sekalipun kepandaiannya sukar diukur, tetapi hatinya baik sekali. Tidak seperti pemuda yang berhati culas.”

Ting Ling cibirkan bibir, ucapnya, “Aku tak mengatakan dia pemuda licin tetapi kulihat hatimu memang sudah limbung!”

Kembali p’ipi dara itu memerah. Ditatapnya Ting Ling, “Sesungguhnya ada sesuatu yang kukandung dalam hati. Entah apakah layak hal itu kutanyakan pada taci.”

“Ah, bukankah kita ini saudara sekandung? Silahkan engkau hendak bertanya apa kepadaku!”

Ting Hong berhati baik. Ia selalu mendengar kata dan taat kepada tacinya.

Ting Hong merenung sebentar lalu susupkan kepalanya ke dada tacinya, “Jika pemuda itu keras kepala dan tak mau berhubungan dengan kita, bagaimanakah daya taci untuk menghadapinya?”

Ting Ling terkesiap. Ia menengadah memandang cakrawala, ujarnya, “Hanya ada dua garis, sahabat atau musuh. Jika tak mau berhubungan dengan kita, tiada lain jalan kecuali harus menghancurkannya!”

Tersirap darah Ting Hong mendengar kata-kata tacinya itu. Tetapi ia pura-pura mengulas senyum, katanya, “Cara itu memang baik agar jangan dimanfaatkan orang lain!”

“Adik Hong, apakah kata-katamu itu benar-benar keluar dari sanubarimu?” Ting Ling tersenyum lirih dan sebelum Ting Hong menjawab, Ting Ling sudah loncat ke atas wuwungan.

Ting Hong tahu bahwa tacinya itu cerdas. Setiap memperhitungkan sesuatu tentu tepat. Dara itu tak mau berbantah. Percuma saja dan lebih banyak bahayanya dari pada gunanya.

Sekilas dara itu mendapat pikiran. Diam-diam ia memutuskan siasat, “Aku takkan membicarakan hal itu lagi kepadanya. Biarlah taci tak dapat meraba keadaan kemudian diam-diam aku akan berusaha untuk memberi kisikan kepada pemuda itu supaya waspada ….”

Setelah menenangkan pikiran, Ting Hong segera menyusul tacinya.

Dilihatnya Han Ping bersembunyi di balik sebatang pohon dan tengah memandang ke arah rumah di sebelah muka. Sementara Ca Giok bersembunyi di belakang jambangan bunga, memandang ke arah rumah itu juga.

Ternyata rumah itu juga merupakan sebuah bangunan yang terpisah sendiri, menyerupai sebuah paviliun dari hotel Megah Ria. Selain dikelilingi pohon-pohon, pun penuh dihias dengan jambangan bunga seruni.

Kamar samping dari gedung paviliun itu, masih terang dengan penerangan lilin. Dari kaca jendela tampak bayangan dari kedua sosok tubuh tadi. Bayangan itu jelas menunjukkan perawakan mereka. Si Bungkuk dan si Kate yang tempo hari bertempur dengan Han Ping itu.

Ting Ling yang melihat kedua orang itu, diam-diam terkejut, “Kedua orang itu kalau tak salah adalah tokoh-tokoh Bungkuk dan Kate yang termahsyur dalam dunia persilatan. Tetapi mereka sudah 10an tahun tak pernah keluar. Apakah mereka juga akan ikut dalam ramai-ramai di Lokyang ini?”

Tampak kedua orang Kate dan Bungkuk itu menjura lalu berdiri tegak seperti menerima titah. Sayang karena jendela tertutup rapat, Ting Ling dan kawan-kawannya tak dapat mendengar apa yang dibicarakan mereka itu.

Tiba-tiba penerangan dalam rumah itu padam dan lenyaplah bayangan kedua orang Bungkuk dan Kate itu.

Terdengar pintu terbuka, empat lelaki bersarung pedang, keluar dari gedung itu. Kemudian kedua orang Bungkuk dan Kate itupun keluar.

Han Ping dan Ca Giok yang bersembunyi secara terpisah, memasang telinga. Kedengaran si Bungkuk tertawa, “Rupanya kota ini penuh dengan tokoh-tokoh persilatan yang mencari kita. Kalau bertempur secara terang, kita tak takut. Tetapi yang dikuatirkan adalah tipu muslihat gelap. Nona majikan kita walaupun pandai, tetapi sebagai seorang gadis, tentu tak leluasa untuk menghadapi mereka. Sedang Nenek Ih sudah lanjut usianya dan kurang leluasa memintanya turun tangan. Dengan begitu tugas menghadapi lingkungan berbahaya ini, tentu jatuh dibahu kita berdua. Walaupun orang itu mengaku sebagai murid dari majikan kita yang tua dan rnembuktikan pula dengan beberapa permainan ilmu istimewa partai kita, tetapi tak bolehlah kita percaya penuh. Kepergianmu ini memang untuk menilik apakah benar tempat yang ditinggali itu sesuai dengan keterangannya, sebuah gedung yang mewah dan tenang. Tetapi disamping itu, yang penting engkau harus dapat menyelidiki tentang kebenaran dirinya ….”

Rupanya siorangtua Kate tak sabar lagi mendengarkan ocehan si Bungkuk, cepat ia menukas “Bungkuk, maukah engkau jangan ngaco belo seperti itu!”

Tiba-tiba orang Kate itu mengendapkan tubuh dan pada lain saat melambung sampai 2-3 tombak tingginya. Pada saat kakinya menginjak atap rumah, ternyata jauhnya sudah beberapa tombak. Dan sekali loncat lagi, ia sudah tak kelihatan bayangannya.

Menyaksikan kepandaian orang kate itu, Han Ping, Ca Giok dan kedua saudara Ting terkejut.

Setelah melihat si Bungkuk pergi, tiba-tiba si Bungkuk mengacungkan tangannya. Keempat lelaki tadi serempak mencabut pedang dan loncat berpencaran ke samping. Masing-masing terpisah 4-3 langkah.

Setelah itu si Bungkuk tertawa dingin dan berseru, “Tengah malam tuan-tuan berkunjung kemari, aku Au Bungkuk merasa berterima kasih. Jika terdapat penyambutan yang kurang layak, harap dimaafkan!”

Han Ping menyadari bahwa dirinya telah diketahui orang. Baru ia hendak menyahut, tiba-tiba di atas puncak pohon yang dibuat tempat bersembunyi itu, menghambur suara tertawa sinis, “Ah, terima kasih. Sudah lebih dari 10 tahun saudara Bungkuk tak pernah muncul di dunia persilatan. Kukira saudara sudah pindah ke dunia baka atau bersembunyi mengasingkan diri di daerah pegunungan sepi. Sama sekali tak terduga bahwa kedua locianpwe Bungkuk dan Kate mau juga merendahkan diri berhamba pada lam-hay (Laut Selatan)? Benar aku ikut berduka atas kejatuhan nama kalian berdua!”

Diejek sedemikian rupa, si Bungkuk hanya ganda tertawa. Nadanya sedingin es di kutub sehingga membuat orang menggigil ….

Lama sekali si Bungkuk menghambur tertawanya yang luar biasa itu, baru ia berkata, “Amboi, tak kukira kalau engkau. Bagus, bagus, sudah lama kita tak berjumpa. Maka dalam perjumpaan ini baiklah kita manfaatkan untuk menyelesaikan hutang piutaug kita. Besok menjelang tengah malam, aku Au Thocu (Bungkuk) akan menunggu kedatanganmu dimakam kuburan lima li di luar kota sebelah utara. Jangan mengecewakan undanganku ini!”

Orang yang bersembunyi di atas pohon itu tertawa hina lalu melayang turun di hadapan si Bungkuk.

Han Ping terkejut. Orang yang muncul itu juga bertubuh kate. Tetapi mukanya berkerudung kain hitam. Ya, ya, tak salah lagi. Han Ping ingat orang itulah yang menutuk jalan darah kedua nona Ting.

Orang pendek itu perlahan-lahan membuka kain kerudungnya. Setelah sejenak memandang ke sekeliling penjuru, ia berkata, “Walaupun sudah berpisah 10 tahun tetapi saudara Bungkuk masih dapat mengenal suaranya. Sungguh hebat!”

“Jangan kata engkau masih dapat bicara, sekali sudah menjadi abu, tetapi aku tentu masih dapat mengenalimu!” sahut si Bungkuk.

Orang pendek itu tertawa hambar, “Malam ini banyak sekali tetamu-tetamu. Di sekitar tempat tinggal nona majikan saudara ini, tak kurang 10 tokoh persilatan yang menunggu.”

Tiba-tiba dari balik serambi rumah sebelah utara terdengar suara orang tertawa meloroh. Nadanya penuh ejek.

“Makhluk tua beracun, jangan main gertak. Kalau si Au Bungkuk sudah menantangmu, besok malam aku si pengemis tua tentu menyaksikan!” seru orang itu terus lenyap dalam kesunyian malam.

Sahut orang pendek itu, “Hm, pengemis tua, jangan jual kegarangan. Andaikata aku Leng Kong siau tak makan yang ini, tentu akan melayanimu!”

“Saudara Leng, tak perlu menghambur kemarahan. Saudara Cong sudah pergi, nah, sampai ketemu besok malam ….” tukas si Bungkuk seraya memberi hormat, “Sudah 10 tahun aku si Au Bungkuk tak menginjak tionggoan. Atas kunjungan saudara sekalian pada malam ini menghaturkan terima kasih. Sayang pada malam begini, tak leluasa kuganggu tuanku untuk menyambut keluar. Dengan ini aku menghaturkan maaf kepada tuan-tuan sekalian.”

Habis berkata, si Bungkuk terus masuk ke dalam ruangan.

Keempat pengawalnya tadi bergerak sambil membolang balingkan pedangnya. Mereka mengatur diri dalam bentuk barisan segi empat, menjaga pintu gedung.

Setelah melihat daun pintu gedung itu tertutup rapat, siorangtua pendek yang dipanggil Leng Kong siau itu tertawa dingin lalu berputar diri dan melangkah perlahan-lahan ke arah pohon.

“Awas, saudara Ih ….” baru Ca Giok berseru kepada Han Ping, sekonyong-konyong Leng Kong siau loncat menerkam Han Ping. Gerakannya laksana kilat dan arahnya tepat sekali

Setelah dalam dua hari menyaksikan betapa kotor dan licik orang-orang persilatan, Han Pingpun sudah bersiap-siap. Sekalipun Ca Giok tak memberi peringatan, iapun mengetahui juga serangan sipendek Leng Kong siau itu.

Begitu tangan kiri Leng Kong siau hampir mengenai tubuhnya, tiba-tiba ia mengisar ke samping mengitari batang pohon. Selekas itu terus memukul dengan jurus, Naga sakti keluar dari awan.

Sekalipun mengetahui setelah mendapat saluran ilmu lwekang dari Hui Gong siansu, sekarang tenaganya bertambah sakti. Namun Han Ping belum mengetahui sampai dimana kesaktian yang dicapainya itu. Dan oleh karena mengetahui bahwa orang pendek itu salah seorang dari ketiga Manusia racun yang termahsyur, mau tak mau ia agak berdebar juga. Pukulannya itu dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya.

Semula memang Leng Kong siau tak memandang mata kepada Han Ping. Ia yakin bahwa cengkeramannya tentu akan berhasil. Jago-jago silat yang ternama, jarang sekali mampu menghindari cengkeramannya. Apalagi dianggapnya Han Ping hanya seorang murid kerucuk dari lembah Raja setan.

Pada saat ia ulurkan tangan, tiba-tiba ia teringat akan gerakan orang itu ( Han Ping ) ketika melambung ke atas rumah. Buru-buru ia tambahi tenaganya.

Tetapi akhirnya cengkeramannya itu tetap luput juga. Diam-diam ia terkejut lalu kerahkan seluruh semangatnya. Ia hendak menghantam lawan dengan pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan Membelah angkasa supaya binasa.

Tetapi sebelum sempat bertindak, angin pukulan Han Ping sudah melandanya.

Leng Kong siau seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Begitu melihat pukulan orang sedemikian dahsyatnya, buru-buru ia menangkis dengan lwekang yang telah dikerahkan ke lengan kanannya.

Terdengar letupan keras dan hamburan debu seperti dilanda angin prahara.

Karena pukulan Han Ping datangnya cepat sekali maka Leng Kong siau dalam gugupnya, hanya dapat melancarkan setengah bagian dari pengerahan lwekangnya. Akibatnya ia tersurut mundur tiga langkah dan terlongong-longong ….

Han Ping sendiripun juga tertegun. Ia tak menyangka bahwa pukulannya dapat menyurutkan seorang tokoh kenamaan seperti Leng Kong siau, salah seorang dari Manusia racun Lembah Seribu racun!

Karena kuatir akan keselamatan Han Ping, maka pada saat kedua orang itu adu pukulan, Ca Giokpun loncat menghampiri.

Tetapi Leng Kong siau memang sakti. Mendengar desis sambaran angin, ia tahu bahwa salah seorang kawan dari pemuda lawannya itu tentu datang membantu. Tanpa berpaling kepala, ia ayunkan tangannya memukul ke belakang.

Walaupun tanpa melihat tetapi pukulan Leng Kong siau itu tepat sekali mengarah Ca Giok.

Tangan geledek Ca Giok, jago muda dari Ca-ke-poh juga banyak sekali pengalamannya. Sewaktu melambung di udara, dia sudah bersedia. Begitu Leng Kong siau menampar ke belakang, ia tamparkan kedua tangannya ke bawah. Dengan meminjam tamparan itu, tubuhnya melambung tinggi ke atas. Wut …. angin pukulan Leng Kong siau tadi melanda di bawah kakinya.

Karena pukulannya luput, Leng Kong siau menghindar ke kiri. Pada saat ia bergerak menghindar, Ca Giokpun melayang turun ke tanah. Melihat Han Ping mampu adu pukulan dengan Leng Kong siau, nyali Ca Giok bertambah besar.

“Jika kita berdua maju menghadapinya, walaupun belum tentu menang terhadap Manusia beracun itu, tetapipun tak mungkin kalah,” pikirnya.

Seketika ia tertawa nyaring, serunya, “Sudah lama nian aku mendengar kemahsyuran nama Leng locianpwe, sayang selama ini belum mempunyai kesempatan untuk menghadap. Maka perjumpaan malam ini, benar-benar suatu rezeki besar bagiku.”

Sepasang mata Leng Kong siau yang tajam, berkilat-kilat memandang Ca Giok. Kemudian tertawa sinis, “Kudengar Ca Cu-jing mempunyai seorang putra yang sakti seperti naga. Apakah eng kau ini putranya? Siapakah namamu?”

“Ah, sungguh kelewat tinggi locianpwe memuji. Aku yang rendah ini bernama Ca Giok. Harap locianpwe jangan percaya desas desus yang tersiar di dunia persilatan itu ….” baru jago muda dari Ca-ke-poh memberi jawaban sampai di situ, tiba-tiba dari arah gedung terdengar suara seorang gadis mendamprat halus.

“Hai, siapakah yang tengah malam buta berani ramai-ramai mengganggu orang tidur itu? Jika masih terus ribut-ribut membikin gaduh dan mengganggu tidurku, jangan persalahkan aku berlaku kejam. Akan kubuat kalian mati tanpa terkubur.”

Suara gadis itu garang sekali. Seolah-olah menganggap tokoh-tokoh yang berada di luar itu sebagai cacing belaka ....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar