Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 4 : Pertempuran sengit dengan Si Bungkuk

Jilid 4

Sekalipun baru pertama kali itu Han Ping menggunakan, tetapi karena ilmu Kin-na-jiu ajaran mendiang Hui Gong siansu itu suatu ilmu kesaktian yang jarang terdapat didunia persilatan, maka selagi sinona baju hitam terlongong-longong, tahu-tahu tangannya kena dicengkeram.

Mengingat kepentingan mencari sarung pedang, tak mau Han Ping cari perkara dengan kedua nona itu. Ia hanya gunakan dua bagian tenaganya untuk mencekal lalu mendorongnya sampai tiga langkah. Sedang ia sendiri tetap tegak ditempat semula.

Nona baju hitam itu termangu. Kemudian menghela napas, ujarnya : “Adikku benar, kepandaianmu memang lebih tinggi dari kami berdua, Jika kita bertiga bersatu, mungkin dapat menghadapi Kim lokoay itu!”

Sesungguhnya tak puas hati Han Ping mendengar kedua taci beradik itu tak habis-habisnya memuji kepandaian Kim lokoay. Namun ia tak mau membantah. Apabila salah ucap, salah-salah dapat menyebabkan kedua nona itu ngambek, tak mau membantu mencari sarung pedang.

Saat itu sidara baju putih sandarkan kepala kedada tacinya dan bertanya manja : “Kalau begitu, cici suka meluluskan, bukan?”

Nona baju hitam tersenyum. Ia mengangguk : “Karena dia sudah memberi pertolongan pada kita, sudah selayaknya kitapun harus membantu kesukarannya. Tadi aku masih menyangsikan kepandaiannya dan kuatir kita tak mampu menghadapi tua bangka Kim itu ....”

Sidara baju putih tertawa mengikik : “Adakah cici sekarang sudah percaya ?”

Tiba-tiba nona baju hitam itu mengerut tegang dan berkata dengan dingin : “Belum yakin sekali. Karena kalau dia seorang diri yang menghadapi Kim lokoay, tentu tetap kalah !”

Si Baju putih takut pada tacinya dan tak berani berkata apa-apa lagi.

Setelah menyaksikan sikap dan pembicaraan kedua taci beradik itu, diam-diam Han Ping mendapat kesan. Kedua nona itu mempunyai perangai yang mudah berobah dan sukar diduga. Ia harus hati-hati terhadap mereka. Jangan sampai seperti kata pepatah 'Yang dikejar tak tercapai, yang dikandung berceceran'. Sarung pedang tak dapat diketemukan, pedang pusakapun ikut hilang.

Tampak sinona baju hitam berdiam diri merenung. Pada lain saat ia melonjak, serunya : “Lekas, jika terlambat, Kim lokoay tentu sudah pergi jauh. Sukar kita mengejarnya !”

Sidara baju putih dan Han Ping tak mengerti maksud nona baju hitam itu. Sidara baju putih segera menanyakan.

Sinona baju hitam tertawa dingin. Tiba-tiba ia meniup padam penerangan kamar. Sudah tentu Han Ping terkejut. Dalam kegelapan, sukarlah untuk menjaga kemungkinan kedua nona itu menggunakan bubuk bius. Ia mundur dua langkah.

“Mengapa takut ?” tegur sinona baju hitam, “tanpa memadamkan lampu, jika memang hendak menaburkan bubuk bius, bukankah tetap dapat kulakukan ?”

Tersipu-sipu Han Ping mendengar sinona menyindirnya. Karena tak dapat menjawab, ia hanya tertawa menyeringai.

“Kim lokoay selalu bekerja dengan teliti. Dia tak mau membunuh kami berdua saudara karena takut akan pembalasan ayah. Walaupun dia sakti, tetapi tetap takut juga kepada pihak Lembah Setan. Maka dia menggunakan siasat pinjam tangan orang. Pada saat adikku menyaru jadi setan, dia telah menutuk jalan darahku lalu menimbuni tubuhku dengan rumput kering ...” kata sinona baju hitam.

“Waktu mengajak kami supaya membantunya merebut pedang pusaka itu, diam-diam Kim lokoay telah menyiapkan rencana untuk mencelakai kami”, sinona baju hitam melanjutkan ceritanya pula. “Dalam tumpukan rumput kering itu ia menyulut sebatang dupa yang ditancapkan diatas obat pasang. Begitu dupa itu terbakar habis, apinya tentu menjilat obat pasang dan terbakarlah rumput kering itu. Rupanya ia ngotot sekali untuk membakar aku. Untuk menjaga kemungkinan hal itu gagal, ia membuat sumbu yang panjang dan dililitkan pada tumpukan rumput yang menutup diriku....”

“Apakah saat itu cici belum pingsan ?” tanya sidara baju putih.

“Pertama kali dia tak menggunakan tutukan berat sehingga aku masih dapat melihat apa yang dilakukan. Saat itu aku masih mengejeknya mengapa dia begitu takut kepadaku. Diam-diam aku yakin, dalam setengah jam lagi tentu dapat bergerak. Hatikupun lengah. Siapa tahu ternyata bangsat tua itu licik sekali. Setelah selesai mengatur persiapan, dia menutuk lagi dua buah jalan darahku !”

Han Ping menghela napas : “Hm, dunia persilatan memang berbahaya. Kawan makan kawan sendiri,” pikirnya.

“Eh, mengapa menghela napas ?” tegur nona baju hitam itu,” banyak pengalamanku yang jauh lebih hebat dari itu !”

Han Ping tertegun. Dengan gadis yang berwatak dingin dan aneh itu, sukarlah diajak berkawan. Diam-diam timbul kesan tak senang. Tetapi karena masih membutuhkan tenaganya untuk mencari sarung pedang itu, terpaksa ia menahan perasaannya.

“Tetapi sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali tentu jatuh juga,” kata sinona baju hitam pula, “kukira setelah terbit, kebakaran, Kim lokoay tentu akan kembali meninjau lagi kesitu. Kalian berdua harus pura-pura menggeletak ditempat tadi, pura-pura masih pingsan. Dan aku nanti akan bersembunyi didekat tempat kalian. Begitu Kim lokoay muncul dan berjongkok hendak mencelakai, moay-moay cepat gunakan bubuk bius menaburnya supaya pingsan. Dengan demikian tanpa bertempur kita dapat merebut kembali sarung pedang itu. Tetapi apabila rencana itu gagal, aku akan keluar membantu. Dengan tenaga kita bertiga, walaupun tak dapat menang tetapi sekurang-kurangnya dapat bertahan. Hanya saja harapan untuk merebut sarung pedang itupun tipis !”

Habis berkata ia terus menyuruh adiknya dan Han Ping supaya lekas pergi.

Tiba ditempat tadi, sidara baju putih terus rebahkan diri ditanah. Han Ping meragu sebentar lalu ikut menggeletak disebelahnya. Pedangpun diletakkannya disamping.

Memandang keangkasa, kedengaran nona baju hitam itu menghela napas : “Kukira Kim lokoay tentu tak mau datang kemari !”

“Mengapa ?” tanya Han Ping.

Dara baju putih itu tertawa hambar : “Jika dia berani datang kembali, tentu takkan lolos dari taburan bubuk biusku dan engkau tentu dapat mengambil kembali sarung pedangmu !”

“Benar, memang sarung itu pemberian dari seorang locianpwe yang tak boleh kuhilangkan !” sahut Han Ping.

“Apakah setelah mendapat sarung pedang itu, engkau akan berpisah dengan kami berdua ?” tanya sidara.

Tak terduga Han Ping akan menerima pertanyaan yang diucapkan dengan nada beriba itu. Sebelum ia sempat mencari kata-kata untuk menyahut, tiba-tiba terdengar suara bentakan bengis : “Apa itu berpisah atau tidak berpisah, sudahlah jangan membicarakan soal itu !”

Yang membentak itu sinona baju hitam dan sidara baju putih rupanya takut kepada tacinya itu. Dia tak mau berkata apa-apa lagi. Kemudian ia mengenakan kedok muka lagi. Seketika seorang dara yang cantik jelita segera berobah menjadi seorang makhluk yang berwajah seram.

Sekalipun tahu kalau hanya memakai kedok, tetapi karena bentuk wajah kedok itu seram sekali, Han Ping segera palingkan muka.

Saat itu sudah menjelang tengah malam. Suasana ditempat itu makin sunyi dan seram.

Hanya desir angin dan bunyi burung hantu yang terdengar menambah keseraman suasana.

Tengah Han Ping tertegun memandang kebakaran dipadang rumput itu, tiba-tiba tangannya terasa disambar sebutir pasir. Ketika berpaling dari arah selatan tampak sesosok bayangan lari mendatangi. Cepat sekali bayangan itu tiba ditempat kedua pemuda itu menggeletak.

Orang itu menunduk dan mengamat-amati Han Ping serta sidara baju putih. Dia tertawa sinis lalu memandang kearah kebakaran.

Dalam pada itu diam-diam Han Ping sempat memperhatikan bahwa orang itu tak membekal senjata, mengenakan baju biru, jenggot putih bertubuh kekar tetapi agak bungkuk. Dengan tajam Han Ping memandang keseluruh tubuh orang itu tetapi ia tak melihat sarung pedang.

Kemudian Han Ping melirik kearah sidara baju putih untuk mencari keterangan apakah orang itu yang mencuri sarung pedangnya.

Celaka, sidara baju putih tampak malah pura-pura tak tahu. Kerut wajahnya bergemerucutan. Suatu tanda bahwa ia sendiri juga tak kenal dengan orang tua bungkuk itu.

Sementara sinona baju hitam yang bersembunyi, juga tak meperlihatkan suatu tanda apa-apa.

Sudah tentu Han Ping bingung. Jika pendatang itu memang bukan sipencuri sarung pedang, kiranya tak perlu harus pura-pura pingsan lagi. Tetapi celakanya ia tak dapat menghubungi kedua gadis itu dan merekapun tak memberi isyarat suatu apa, ia sungkan bertindak sendiri.

Sebelum tahu apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba Han Ping dikejutkan oleh suitan nyaring dari si Bungkuk. Suaranya melengking dahsyat menembus awan sehingga kesunyian malam seolah-olah dipecahkan.

Han Ping tergetar hatinya. Ia cemas ilmunya lwekang kalah dengan orang itu.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suitan berulang kali dan tak lama bermunculanlah beberapa sosok tubuh orang.

Han Ping terperanjat. Ia heran mengapa dalam tempat sedemikian sunyi muncul sekian banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi.

Suitan dari empat penjuru itu makin lama makin dekat dan pada beberapa saat mereka tiba disamping si Bungkuk. Empat lelaki baju hitam muncul dan berdiri setombak jauhnya dari si Bungkuk.

Belasan mata mereka mencurah kearah Han Ping dan sidara baju putih yang menggeletak ditanah. Mereka tegak menjulur tangan. Sikapnya amat menghormat sekali kepada si orang tua Bungkuk,

Tiba-tiba si Bungkuk menghentakkan kakinya ketanah dan hentakan itu menyebabkan pedang pusaka mencelat keatas !

Han Ping terkejut sekali. Dalam pengamatannya sejak muncul, si Bungkuk itu tak memandang kearah pedang pusaka. Seolah-olah seperti tak tahu. Maka gerakannya itu, benar-benar diluar dugaan Han Ping.

Pedang pusaka adalah merupakan janjinya kepada Hui Gong siansu. Dan janji baginya adalah kehormatan dan nyawanya. Saat itu Han Ping tak mau berpeluk tangan lebih jauh. Dalam gugupnya, ia segera melenting keatas menyambar pedang pusaka itu.

Tepat pada saat itu si Bungkukpun tengah julurkan tangan kanan untuk menyambar pedang. Keduanya bergerak cepat sekali. Ujung jari tangan Han Ping menyentuh tangkai pedang. Tangan si Bungkukpun tiba. Semula hendak menyambar tangkai pedang tetapi karena kedahuluan orang, tangannya dirobah menjadi gerak serangan. Dengan jari telunjuk dan tengah, menutuk siku lengan Han Ping.

Tutukan itu cepat dan tak terduga-duga. Betapapun tinggi kepandaian Han Ping, namun ia terpaksa harus melindungi siku lengannya. Cepat ia balikkan tangan untuk menabas siku lengan orang.

Akibat perobahan serang menyerang itu, keduanya gagal untuk meraih tangkai pedang. Dan jatuhlah pedang pusaka itu ketanah lagi....

Kepandaian si Bungkuk itu ternyata mengejutkan orang. Ia surutkan lengan yang hendak ditebas tangan Han Ping, maju merapat, ia menusuk lambung lawan. Sekaligus dua gerakan telah dilancarkan. Masih ditambah lagi dengan sebuah tendangan kearah pedang pusaka.

Karena batang pedang Pemutus Asmara itu berkilat-kilat tajam dan memancarkan hawa dingin, maka kedua orang itu tak berani sembarangan mencengkeram dibagian batang.

Han Ping miringkan tubuh untuk menghindarkan lambungnya dari tutukan si Bungkuk. Bukannya mundur dia bahkan maju selangkah dan menusuk dengan kedua jari kearah jari lawan. Kemudian kakinya kanan diayun untuk menyongsong tendangan orang. Dengan demikian tusukan jari disongsong dengan tusukan jari. Tendangan disambut dengan tendangan.

Si Bungkuk terkejut melihat gerakan lawan yang sedemikian luar biasa. Cepat-cepat ia mundur dua langkah.

Pertarungan secara merapat itu memang tampaknya tiada sesuatu yang mengagumkan. Tetapi bagi pandangan seorang ahli, pertempuran itu merupakan pertempuran maut yang ganas. Sedikit lambat bergerak saja tentu akan berakibat kematian. Adalah karena keduanya bergerak cepat sekali maka keempat lelaki baju hitam dan sidara baju putih tak sempat berbuat suatu apa.

Adalah karena takut si Bungkuk menendang pedang pusaka ketempat anak buahnya, Han Ping menendang keras sekali. Tetapi karena tendangannya luput, tubuhnya agak menjorok kemuka. Hal ini disebabkan karena ia masih belum dapat menguasai gerak permainannya dengan sempurna.

Cepat-cepat ia berputar tubuh hendak meraih pedangnya tetapi saat itu juga dua batang pedang telah menyerangnya dari atas dan bawah. Ternyata penyerangnya itu adalah dua dari keempat baju hitam yang berdiri dibelakang si Bungkuk.

Kehilangan sarung pedang dirasakan suatu pukulan berat pada batin Han Ping. Sudah tentu dia tak mau kehilangan batang pedangnya.

Dengan menggembor keras ia miringkan diri menghindar kesamping. Kemudian gerakkan sepasang tangannya. Yang sebelah kiri menabas musuh sebelah kanan. Tangan kanan gunakan ilmu Kin-na-jiu atau dengan tangan kosong merebut senjata, menyambar pedang musuh yang menyerang dari kiri.

Adalah karena gugup maka Han Ping menghantam sekeras-kerasnya sehingga lawan terpaksa loncat kebelakang. Dan tangan kanan secepat kilat menyambar lengan musuh disebelah kiri. Sekali memelintir dan mendorong, pedang orang itupun sudah berpindah ketangannya.

Dua belas jurus ilmu Kin-na-liong-jiu merupakan salah satu pelajaran dari kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang jarang terdapat didunia persilatan. Dalam masa itu hanya beberapa tokoh saja yang mampu memecahkan gerakan luar biasa itu.

Mendapat hasil yang cemerlang, semangat Han Ping makin berkobar. Segera ia putar pedang rampasannya itu untuk menangkis pedang dari dua lawan yang menyerangnya.

Karena melihat kedua kawannya, yang satu dihantam murdur dan yang satu direbut pedangnya, kedua lelaki baju hitam yang lain segera maju menyerang.

Setelah berhasil menangkis, kaki kiri Han Ping maju setengah langkah. Dengan tangan kiri ia lepaskan sebuah pukulan dan dengan pedang yang dicekal ditangan kanan, ia menyongkel pedang pusaka yang menggeletak ditanah.

Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang pusaka Pemutus Asmara yarg sudah berhasil dicongkel keatas itu tiba-tiba jatuh lagi ketanah. Ah, kiranya pedang yang diperuntukkan mencongkel itu telah kutung sendiri karena tertindih pedang Pemutus Asmara ....

Han Ping terlongong kaget. Tiba-tiba tiga batang pedang menusuknya dari tiga jurusan.

Dan serempak dengan itu dari arah belakang terdengar jerit lengkingan yang tajam.

Keempat lelaki berpakaian hitam itu ternyata bukan tokoh-tokoh lemah. Setelah mendapat pengalaman pahit dari Han Ping, kini mereka maju dengan hati-hati. Ketiga lelaki berpakaian hitam itu masing-masing mencari tempat untuk mengadakan hubungan kerjasama dalam menyerang Han Ping.

Dengan pedang kutung Han Ping melayani ketiga penyerangnya. Disamping itu ia harus menjaga pedang pusaka jangan sampai terambil musuh. Karena melakukan tugas rangkap, Han Ping menahan diri sehingga hanya menangkis dan menghalau serangan saja.

“Berhenti !” sekonyong-konyong terdengar bentakan bengis. Dan ketika lelaki baju hitam itupun hentikan serangannya dan mundur.

Menggunakan kesempatan itu Han Ping membungkuk hendak menjemput pedang pusakanya. Tetapi tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh. Ketika berpaling dilihatnya si Bungkuk tengah mencengkeram pergelangan tangan kanan sidara baju putih. Sedang tangannya kanan dilekatkan pada punggung dara itu.

“Jika engkau berani mengambil pedang itu, budak perempuan ini tentu akan kuhancurkan tubuhnya !” seru si Bungkuk dengan nada bengis. Tergetarlah hati Han Ping, Ia tegak berdiri dan berteriak murka : “Hm, seorang tua bangka tak malu menyakiti seorang gadis !”

Si Bungkuk tertawa gelak-gelak, serunya: “Jika sungguh-sungguh hendak kubunuh adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya. Yang penting, aku hendak meminta engkau meluluskan sebuah hal !”

Han Ping termangu, serunya : “Engkau hendak menekan aku dengan menjadikannya seorang Sandra ? Hm, hm ....”

Si Bungkuk marah sekali : “Engkau tak kenal siapa diriku ini ? Hm, masakan aku sudi melakukan perbuatan semacam itu !”

“Lalu apa maksudmu, silahkan menerangkan saja. Jika tenagaku mampu, aku tentu akan melakukannya !”

Wajah si Bungkuk berobah tenang bahkan menyungging senyum. “Sudah berpuluh-puluh tahun aku berhadapan dengan musuh-musuh yang lihay tetapi aku benar-benar kagum atas kepandaianmu. Terus terang aku merasa penasaran. Ingin aku menguji kepandaian lagi denganmu. Bagaimana ?”

Sejenak memandang kearah, keempat lelaki baju hitam. Han Ping hendak berkata tetapi telah didahului si Bungkuk lagi : “Jangan kuatir. Pertandingan itu hanya terbatas kita berdua saja. Dalam pertempuran satu lawan satu itu, tak boleh ada yang membantu. Jika engkau yang menang, aku segera angkat kaki dari sini. Tetapi jika aku menang, engkaupun harus tinggalkan pedang itu !”

“Jangan termakan tipunya ! Lekas jemput pedang itu !” tiba-tiba sidara baju putih melengking.

Si Bungkuk kerutkan alis, serunya marah : “Kita mengadu kepandaian secara terang-terangan. Siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mengapa engkau menuduh suatu tipu?”

“Pedang pusaka itu adalah milik kami. Engkau menang, engkau hendak mengambilnya tetapi kalau engkau kalah engkau hanya angkat kaki saja. Ih, masakan didunia terdapat hal yang seenak begitu !” sahut sidara.

Si Bungkuk tertawa gelak-gelak: “ Pedang itu merupakan pusaka kuno yang jarang terdapat didunia. Setiap pusaka harus mempunyai pemilik yang tetap. Jika pedang itu dikuasai orang yang tak pandai ilmu silatnya, tentu akan menimbulkan keonaran besar...”

Ia berhenti sejenak. Ditatapnya Han Ping dengan tajam lalu berkata pula : “Sekali aku tak bermaksud hendak merampas barang orang dengan sewenang-wenang. Karena melihat tadi engkau mengeluarkan beberapa jurus permainan yang luar biasa, tergeraklah seleraku untuk mengadu kepandaian. Siapa yang menang, dialah yang layak memiliki pedang pusaka itu. Memang orang yang mempunyai kepandaian seperti aku banyak sekali jumlahnya didunia persilatan. Maka jika dengan seorang tua semacam aku saja engkau tak mampu mengalahkan, percuma saja engkau memiliki pedang itu. Karena hal itu berarti mengundang kematianmu saja. Pun andaikata nanti aku menang, aku tak berani menggunakannya sendiri. Hendak kuserahkan pedang pusaka itu kepada orang yang lebih hebat kepandaiannya. Agar pusaka itu benar-benar mendapat tuan yang sepadan. Dengan demikian dunia persilatan akan mendapat seorang anggota yang benar-benar cemerlang!”

Sebagai seorang muda, sudah tentu Han Ping masih berdarah panas. Mendengar kata-kata si Bungkuk itu, seketika bergeloralah semangatnya. Ia tertawa nyaring.

“Pedang ini pemberian dari seorang locianpwe yang telah banyak melepas budi kepadaku. Jika aku tak mampu menjaga pedang itu, perlu apa aku hidup dalam dunia ? Usul tuan memang baik sekali. Jika aku kalah, biarlah aku segera mati saja untuk menghapus rasa malu ....” tiba-tiba ia hentikan bicara. Ia merasa telah kelepasan omong.

Si Bongkok tersenyum, ujarnya : “Pedang pusaka itu tentu mempunyai sejarah hebat. Yang menyimpan pedang itu, tentulah seorang tokoh yang luar biasa. Menurut kesimputan dari pengalamanku selama berpuluh-puluh tahun dalam dunia persilatan, tentulah takkan jauh dari dugaanku itu .... “

Berkata sampai disini tiba-tiba ia alihkan pandang matanya kearah pedang pendak Pemutus Asmara. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat tajam dan cepat-cepat memandang kepada Han Ping lagi. Diamati pemuda itu dari ujung kaki sampai keatas kepala. Seolah-olah hendak mencari sesuatu.

Tergetarlah hati Hanping. Diam-diam ia telah membulatkan tekad. Pedang itu menyangkut kehormatan mendiang Hui Gong siansu. Tak nanti ia mau menuturkan riwayat paderi yang berbudi itu kepada siapapun juga.

“Jika engkau memang berminat sungguh-sungguh hendak memiliki pedang ini, mengapa tak lekas turun tangan !” serunya. Sekonyong-konyong ia loncat kemuka. Menghantam dengan tangan kiri, kaki kanan mengungkit batang pedang pusaka keatas lalu cepat-cepat disambar dengan tangan kanan.

Gerakan menghantam dan meraih pedang pusaka itu seolah-olah dilakukan dengan serempak. Dan hanya dalam sekejab mata, pedang itupun berhasil berada dalam tangannya lagi.

Tetapi tiba-tiba si Bungkuk memutar tubuhnya kesamping, menghindari pukulan lalu memelintir tangan sidara sekeras-kerasnya. Dara itu mengerang kesakitan....

Marah Han Ping bukan kepalang.

“Sudah berjanji mengadu kepandaian untuk memenangkan pedang pusaka itu, mengapa masih menganas seorang anak perempuan ? Hm, jika engkau hendak menekan aku dengan menjadikan nona itu sebagai sandra, jangan sesalkan aku bertindak kejam padamu !” serunya.

Si Bungkuk tertawa dingin : “Jika engkau sudah setuju merebut pedang itu dengan kepandaian, mengapa engkau menyambar pedang itu lebih dulu ?”

“Kamu berjumlah banyak, lebih baik kuambil pedang itu lebih dulu. Terus terang, aku merasa sulit bertempur sambil mengawasi pedang itu. Harap jangan kuatir, jika engkau benar-benar mampu mengalahkan aku, tak nanti aku ingkar janji !” jawab Han Ping.

Si Bungkuk tertawa sinis : “Akupun tak takut engkau mengingkari janji !”

Ia lepaskan lengan sidara baju putih, lalu maju menyerang. Sekaligus dua buah serangan dilancarkan. Tangan kiri menghantam dengan jurus Mendorong ombak membantu alun. Tangan kanan memukul dengan jurus Menabas awan puncak gunung. Kedua pukulan itu disaluri dengan dua macam tenaga dalam.

Sejak digembleng oleh Hui Gong siansu, beberapa kali Han Ping telah mengalami pertempuran maut. Sekalipun tahu bahwa kepandaiannya sudah bertambah maju namun ia belum jelas sampai dimana tingkat kemajuan yang telah dicapainya.

Mengempos semangat, ia siap menanti serangan musuh. Begitu melihat serangan lawan sedemikian hebat, ia tak berani memandang rendah. Ia gerakkan tangan kiri menahan pukulan dan sambil miringkan tubuh ia menghindari serangan tangan kanan, lalu mengirim tendangan berantai ....

Si Bungkuk meraung marah. Rambut dan jenggotnya menjungkat tegak. Dengan sepasang tangan ia menyongsong kedua kaki Han Ping. Gerakan itu telah menimbulkan tamparan angin yang keras sekali.

Han Ping terkejut. Diam-diam ia memutuskan untuk menghindari adu kekerasan. Ternyata tenaga dalam si Bungkuk itu hebat sekali. Cepat ia menjejak tanah dan berjumpalitan diudara lalu melayang turun dua tiga meter jauhnya.

Si Bungkuk tertawa dingin. Ia menyerbu lagi, menyerang dengan kedua tangannya.

Han Ping kerahkan tenaga dalam kearah lengan kiri sedang tangan kanan tetap menjaga pedang pusaka. Dengan tangan kiri itu ia mainkan ilmu pukulan cap-pik-lo-han-ciang atau 18 jurus pukulan malaikat.

Ilmu pukulan isttmewa itu berlambarkan tenaga keras. Memang bukan olah-olah dahsyatnya. Tetapi apabila orang yang memainkan tenaganya kurang sempurna, kebalikannya malah akan mencelakakan dirinya sendiri. Karena ilmu pukulan itu paling memeras tenaga dalam. Setiap pukulan harus dilambari dengan tenaga dalam yang besar. Kedahsyatan pukulan itu dapat menghancurkan batu.

Adalah karena melihat si Bungkuk melancarkan pukulan dahsyat, seketika teringatlah Han Ping akan ajaran mendiang Hui Gong tentang ilmu cap-pik-lo-han-ciang-hwat itu. Dan tanpa banyak pikir lagi, ia terus memainkannya.

Untunglah sebelumnya, mendiang Hui Gong sudah menyalurkan tenaga dalam yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun. Dengan begitu tenaga dalam yang dimiliki Han Ping sudah setingkat dengan tokoh kelas satu.

Selekas ia mainkan ilmu pukulan keras itu, bukan melainkan si Bungkuk saja yang terkejut, bahkan ia sendiripun terkesiap kaget. Benar-benar ia tak mengira bahwa dirinya telah memiliki tenaga dalam yang sedemikian hebat.

Pukulan keras disambut dengan pukulan keras telah menimbulkan deru angin yang luar biasa hebatnya sehingga pada jarak beberapa meter, pasir dan debu guguran batu berhamburan kemana-mana. Keempat lelaki baju hitam dan sidara baju putihpun terlongong-longong ....

Memang dalam permulaan, gerak pukulan Han Ping masih kaku. Karena disamping belum pernah menggunakan, iapun harus mengingat kelanjutan jurus pukulan itu beserta perobahannya. Tetapi setelah beberapa waktu bertempur, gerak pukulannyapun makin mantap dan paham. Seketika timbullah kepercayaan pada dirinya. Pukulannyapun makin bertambah dahsyat perbawanya.

Si Bungkuk memang seorang tokoh ahli tenaga keras. Pukulannya terkenal dahsyat. Setiap orang yang bertempur melawannya tentu tak mau mengadu kekerasan. Kebanyakan tentu menggunakan kelincahan untuk menghadapinya.

Tetapi kali ini ia ketemu batunya. Diluar dugaan, anak yang masih muda belia itu ternyata berani mengimbangi adu kekerasan. Padahal Han Ping tak menyadari tetapi anggapan si Bungkuk tentulah pemuda itu memang sengaja hendak mengadu kekerasan.

Si Bungkuk penasaran sekali. Ia kerahkan seluruh tenaga dalam. Pukulannyapun bertambah dahsyat. Diibaratkan setiap gerak pukulannya itu dapat membelah gunung ...

Melihat si Bungkuk makin lama makin perkasa, diam-diam Han Ping terkejut juga. Tetapi dasar anak muda yang masih berdarah panas. Bukannya ia berganti siasat, kebalikannya malah penasaran. Iapun kerahkan tenaga dalam untuk menghadapinya.

Beberapa saat kemudian, diam-diam si Bungkuk mencuri lirik kearah Han Ping. Tampak pemuda itu tetap gagah. Sama sekali tak menampakkan tanda-tanda kesukaran dan kepayahan.

Diam-diam ia merasa heran : “Menilik umurnya paling banyak dia baru 19 tahun. Sekalipun sejak lahir terus berlatih tenaga dalam, pun tetap tak mungkin mencapai tingkat yang sedemikian hebatnya. Aneh, aneh! Ha, adakah dia juga serupa dengan pemimpin kita yang memiliki bakat luar biasa itu ?”

Adalah karena menimang itu maka konsentrasi pikirannya agak terganggu. Sekonyong-konyong serangkum gelombang angin pukulan dahsyat melandanya. Dia terkejut dan cepat loncat kesamping.

Bobolnya perlawanan si Bungkuk itu tak disia-siakan Han Ping. Dia tak mau memberi kelonggaran lagi. Memburu maju, ia mencecer lawan dengan tiga buah pukulan.

Dalam adu pukulan keras itu, setitik lubang kelemahan berarti kerugian besar. Begitu kehilangan posisi, si Bungkuk menjadi terdesak dibawah angin.

Untung si Bungkuk sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Sekalipun terancam bahaya, ia tetap tak kalut. Segera ia gerakkan kedua tangannya dengan jurus Memindah gunung menimbun laut. Seluruh tenaga dalam dikerahkan kearah kedua tangannya.

Krak . . . . karena hanya menggunakan tangan sebelah kiri, begitu saling beradu pukulan, Han Ping tersurut mundur tiga langkah.

Si Bungkuk berhasil merebut kembali kedudukannya yang telah kacau itu. Tampak keempat lelaki baju hitam sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka mencemaskan kedudukan si Bungkuk yang berbahaya tadi. Apabila terjadi sesuatu pada si Bungkuk, mereka sudah siap membantu. Untunglah keadaan berobah sehingga legalah hati mereka.

Pertempuran berlangsung lagi. Tetapi suasananya sudah berobah : “Jika Han Ping tampak bersemangat sekali karena sudah mendapat kepercayaan atas kepandaian yang dimiliki saat itu. Kebalikannya si Bungkuk sudah gentar nyalinya. Dia terkejut dan tak habis mengagumi kesaktian pemuda yang masih begitu muda umurnya tetapi memiliki kesaktian yang sedemikian mengejutkan.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba terlintaslah pikiran Han Ping untuk menyusupkan ilmu Kin-na-liong-jiu-hwat yang ilmu menangkap musuh dengan tangan kosong, dalam ilmu pukulan cap-pik-lo-han-ciang yang tengah dilancarkan itu. Lo-han-ciang keras, Kin-na-liong-jiu aneh dan sukar diduga musuh. Suatu kombinasi yang serasi !

Setelah mendapat pikiran itu, segera ia hendak melaksanakannya. Tetapi pada saat ia hendak merobah gerak permainannya, tiba-tiba terdengar suara parau dari seorang tua yang membentak dari samping : “Au Bungkuk, lekas berhenti . . . .”

Menyusul dengan bentakan itu, tiba-tiba serangkum gelombang tenaga lunak, melanda kearah kedua orang yang sedang bertempur itu.

Si Bungkuk cepat menarik pukulannya. Demikianpun Han Ping. Ketika berpaling kesamping, tampak seorang tua bertubuh kate tegak berdiri tak jauh dari gelanggang pertempuran, Orang tua kate itu mengenakan pakaian hitam. Kurus kering, rambutnya putih dan jenggotnya menjulai panjang sampai kedada.

Melihat si Kate, si Bungkuk deliki mata dan mendamprat : “Oh kate, mengapa engkau mengacau ? Kalau tak terima, silahkan coba-coba kemari !”

Orang kate itu hanya tertawa dingin; “Engkau kira aku Oh kate ini takut padamu ? Sayang saat ini aku tak ada tempo melayani engkau. Tuan telah memberi perintah, menunggu kedatanganmu dirumah penginapan Ban-seng-can di kota Lokyang sampai besok siang. Jika terlambat datang, jangan tanya dosa !”

“Hm, setan kate, besar sekali nyalimu! Engkau berani memalsu perintah tuan kita. Tetapi huh, jangan harap engkau dapat menipu aku !” seru si Bungkuk.

Sambil tertawa jemu, si Kate merogoh baju dan mengeluarkan sehelai panji kecil yang bersulam burung cendrawasih putih. Melihat panji itu, si Bungkuk dan keempat lelaki baju hitam serta merta tundukkan kepala dan memberi hormat.

“Hai, Au Bungkuk, apakah setelah melihat pertandaan tuan kita ini, engkau tak mau segera berlutut menerima perintah ?” seru si Kate seraya mengangkat panji cendrawasih putih tinggi-tinggi keatas.

Diam-diam Han Ping menduga, si Bungkuk yang berwatak keras itu tentu marah karena dipermainkan si Kate. Tetapi diluar dugaan, ternyata si Bungkuk menurut perintah dan segera berlutut menghadap panji itu.

Si Kate tersenyum : “Au Bungkuk, sampai jumpa lagi di Lokyang !” - ia menyimpan lagi panji itu terus lari pergi.

Si Bungkuk cepat berdiri dan berteriak memaki si Kate : “Oh kate, hutangmu ini, lain hari pasti akan kuselesaikan !”

Si Bungkuk melambaikan tangan kiri lalu mendahului lari tinggalkan tempat itu.

Keempat lelaki baju hitampun segera mengikuti si Bungkuk. Gerakan mereka pesat sekali. Dalam beberapa kejab, bayangan mereka sudah tak tampak lagi.

Menyaksikan peristiwa itu, Han Ping tak habis mengerti. Ia mendapat kesan bahwa kesaktian si Bungkuk itu tak dibawah Hui Koh taysu.

Diam-diam ia heran. Siapakah gerangan orang tua bungkuk itu?

Bagian 8

Putri Lembah Setan

Selintas terdengarlah ia akan sikap keempat lelaki baju hitam yang begitu menghormat kepada si Bungkuk. Apakah si Bungkuk itu seorang ketua partai persilatan ?

Tetapi dugaan itu cepat terhapus ketika membayangkan sikap si Kate terhadap orangtua bungkuk itu. Meskipun si Kate itu belum berkelahi dengan si Bungkuk tetapi jelas bahwa yang melerai dengan pukulan tadi adalah orang kate itu. Kepandaian orang kata itu jelas tak dibawah si Bungkuk. Tetapi pun tak terpaut jauh. Hanya bedanya si Bungkuk memiliki lwekang keras dan si Kate lwekang lunak.

Siapakah orang tua bertubuh pendek itu ? Dan siapakah tuan atau majikan yang mereka sebut itu ?

Dan mengapa pula si Bungkuk begitu hormat sekali kepada panji burung cendrawasih putih ? Ah, kesemuanya itu merupakan teka teki yang pelik tetapi menarik hati.

“Ah, mengapa aku tak menuju Lokyang melihat mereka ?” akhirnya ia bertanya pada diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara helaan napas rawan dan disusul teguran halus : “Apakah yang tengah engkau pikirkan ?”

Han Ping terkejut dan berpaling. Ternyata yang bertanya itu sidara baju putih. “Aku tengah memikirkan diri si Bungkuk itu”, sahutnya.

Saat itu sidara sudah menanggalkan kedok mukanya dan tersenyum : “Orang tua bungkuk itu memang sakti. Tetapi dia tetap kalah dengan engkau!”

Mendengar pujian, kebalikannya Han Ping malah menghela napas : “Kemanakah tacimu tadi ?”

“Ih, aku kan tak pergi kemana-mana dan tetap berada disini menyaksikan kalian bertempur !” tiba-tiba dari arah samping terdengar lengking seorang gadis. Merdu tetapi dingin nadanya.

“Saat ini sudah menjelang fajar, rasanya Kim loji tentu tak kembali kesini”, kata Han Ping sambil memandang langit.

Terdengar derap langkah kaki dan muncullah sinona baju hitam sambil membuka kedoknya.

“Siapa bilang dia tak datang ?” serunya. “Datang ?” Han Ping terkejut.

“Hm, sudah lama dia datang . . . .”

Han Ping memandang kesekeliling penjuru tetapi tak melihat seseorang. Buru-buru ia menegas “Dimana ?”

Sinona baju hitam menyahut jemu : “Sudah siang-siang ngacir, perlu apa engkau cari kemana-mana ?”

Han Ping makin gugup : “Sarung pedang itu penting sekali bagiku. Mengapa engkau tak mau memberitahukan kedatangannya kepadaku ?”

Seenaknya saja nona itu membereskan rambutnya yang terurai kemudian baru tertawa acuh tak acuh : “Engkau sedang berkelahi, perlu apa kuberitahu ? Bukankah engkau tak dapat melepaskan diri dari pertempuran itu ?”

Han Ping banting-banting kaki : “Ah, kalau begitu tentu tak mungkin mencarinya lagi !”

“Bukan sarung pedang milikku, perlu apa aku ngotot mencarinya ?” jawab sinona baju hitam.

Han Ping terkesiap, serunya : “Apa ? Engkau tak peduli ?”

Nona baju hitam itu tersenyum : “Habis apakah aku diharuskau mengurusnya ?”

Han Ping tertegun beberapa jenak lalu berkata : “Benar, memang sarung pedang itu milikku. Jika nona tak sudi menghiraukan, akupun tak dapat memaksa !”

Habis berkata ia berputar tubuh terus melangkah pergi.

Sidara baju putih kejapkan mata kepada tacinya dan berbisik : “Ci, benarkah engkau tak mau menghiraukan ?”

Nona baju hitam itu tak mengacuhkan pertanyaan adiknya. Ia tertawa dingin dan sengaja berseru nyaring : “Menghilangkan benda pemberian seorang cianpwe dan tak mampu mencarinya lagi, tentulah tiada muka muncul didunia persilatan. Hm, lebih baik kita pulang saja tak perlu berkeliaran diluar !”

Han Ping berjalan setombak jauhnya. Begitu mendengar ucapan sinona, tergeraklah hatinya. Diam-diam ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong siansu supaya jangan sampai sarung pedang itu hilang

Tentulah sarung pedang itu mengandung rahasia yang penting sekali. Rahisia yang menyangkut diri Hui Gong siansu dan kehormatannya.

Memikir sampai disitu, ia berhenti.

“Adik, mari kita pergi !” kembali terdengar sinona baju hitam mengajak adiknya. “kurasa Kim loji tentu belum jauh. Jika mengetahui kita berdua belum mati, dia tentu takut kita memberitahukan ayah. Maka dia pasti akan mencari kita. Kita berdua bukan tandingannya. Jika sampai bertemu dengannya, dia tentu akan membunuh kita. Daripada mati sia-sia, lebih baik kita lekas pulang ke Lembah Setan saja !”

Tampaknya kata-kata itu ditujukan kepada sidara baju putih tetapi sesungguhnya sengaja diperdengarkan kepada Han Ping.

Namun pemuda itu berhati tinggi. Walaupun tahu akan mengalami kesukaran mencari Kim loji, tetapi ia tetap tak mau meminta pertolongan kedua gadis itu. Jika menuruti suara hatinya ia tetap tinggalkan kedua gadis itu. Namun kalau mengingat pesan mendiang Hui Gong siansu, ia terpancang.

Saat itu Han Ping merasa serba salah. Hendak kembali kepada sinona atau teruskan langkahnya !

Tiba-tiba sidara baju putih melesat dari sisinya dan berpaling kepadanya seraya tertawa : “Taci memang benar. Engkau sedang berkelahi, bagaimana ia dapat memanggilmu ? Jika Kim loji tahu taciku belum meninggal, Kim loji tentu akan ngacir pergi. Dia sahabat baik ayahku. Jika kami berdua saudara pulang kedalam lembah dalam keadaan tak kurang suatu apa, apabila kami melaporkan perbuatan Kim loji kepada ayah, ayah tentu tak percaya. Taruh kata percaya, pun karena kami berdua tak kurang suatu apa, ayah tentu takkan menarik panjang urusan itu !”

“O ..... “ baru Han Ping mendesus, sidara sudah mendahului bicara lagi : “Tetapi tadi Kim loji tak melihat taciku. Dengan demikian keadaannya lain. Karena tak tahu bagaimana nasib taciku, dia tentu cemas dan berusaha untuk menyelidiki. Jika taciku mati, dia tentu akan membunuhku juga untuk menghilangkan jejak perbuatannya . . . .”

Tiba-tiba sinona baju hitam menyelutuk; “Lekas cari tempat bersembunyi ! Sam-siok mencari kita !”

Habis berkata nona itu terus mendahului menyusup kedalam kegelapan.

Han Ping memandang keseluruh penjuru. Kecuali nyala api kebakaran padang rumput itu, tiada seorangpun yang dilihatnya. Dimanakah yang disebut sam-siok atau paman nomor tiga oleh sinona baju hitam itu?

“Ah, dia banyak tipu muslihatnya. Aku harus hati-hati jangan sampai termakan siasatnya” diam-diam Han Ping berjanji dalam hati.

Sidara baju putihpun cepat lari kesebelah kiri tetapi ketika berpaling dan melihat Han Ping masih tegak ditempatnya, ia gugup. Ia berputar tubuh dan loncat kesamping pemuda itu terus menyambar lengannya : “Lekas bersembunyi ! Jika sam-siok sampai tahu kami berdua bersamamu dislni, ah, jangan harap engkau hidup . . . .”

Dalam berkata-kata itu, sidara menarik Han Ping kedalam sebuah gerumbul semak yang lebat.

Sebelum bersembunyi, kedengaran sidara menghela napas panjang : “Engkau ini bagaimana ? Apakah engkau benar-benar tak pernah terdengar cerita orang tentang sam-siok kami itu ?”

Melihat dara dalam kemengkalannya masih seperti kanak-kanak, Han Ping tersenyum : “Siapakah sam-siok kalian itu ? Aku belum pernah melihatnya, bagaimana dapat mengetahui ?”

Tiba-tiba mulut dara itu merekah tawa : “Memang kalau kukatakan sam-siok, engkau mungkin tak kenal. Tetapi kalau kubilang Ting Yam sam Imam pencabut nyawa, kiranya engkau tentu sudah mendengar ....”

“Ting Yam sam si Imam pencabut nyawa ? Han Ping mengulang.

“Ya, siapakah tokoh persilatan yang tak kenal akan nama itu ? Hm, jika dia datang lebih pagi, tak mungkin Kim loji dapat melarikan diri . . . .”

Han Ping tertegun beberapa jenak. Katanya sesaat kemudian : “Aku memang jarang mengembara didunia persilatan. Karena tak pernah mendengar nama sam-siokmu itu.”

Dara itu berkata setengah tak percaya : “Menilik kepandaianmu, engkau tergolong tokoh kelas satu. Dan tentu murid sebuah partai ternama. Jika dugaanku tak keliru, kalau bukan murid Siau-lim-si, engkau tentu murid Bu-tong-pay. Masakan sebelum meninggalkan perguruan, suhumu tak pernah memberi pesan apa-apa kepadamu. Misalnya tentang tiga marga besar yang menguasai dunia persilatan yakni It-kiong dan ji-koh ?”

It-kiong artinya Istana kesatu. Ji-koh artinya dua lembah.

“Yang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku bukan tokoh Siau-lim-si pun juga bukan dari Bu-tong-pay. Aku seorang persilatan liar, tak tergolong murid suatu partai persilatan yang manapun juga. Karenanya tak mempunyai guru yang memberi pesanan semacam itu,” sahut Han Ping. Dia tetap memegang pesan Hui Gong siansu untuk tak mengatakan dirinya murid Siau-lim-si. Sekalipun menjawab begitu tetapi diam-diam ia mengagumi pandangan sidara yang jitu,

Sidara gelengkan kepala lalu menghela napas : “Ai, tanpa pengalaman apa-apa berani berkelana didunia persilatan, benar-benar amat berbahaya sekali. Orang yang memberi pelajaran kepadamu itu, benar-benar kelewat lengah. Masakan tentang seluk beluk keadaan dunia persilatan. dia tak mau memberitahukan kepadamu. Ketahuilah, dunia persilatan itu penuh ranjau maut dan perangkap tipu muslihat. Banyak persoalan yang tak selalu harus diselesaikan dengan kepandaian silat. Apalagi engkau memiliki pedang pusaka yang jarang terdapat. Sudah tentu akan menjadi intaian orang !”

Tergerak juga hati Han Ping. Ia tak menyangka bahwa dara yang sering masih menunjukkan sifat kekanak-kanakan itu, ternyata dapat bicara seperti seorang yang sudah berpengalaman.

Diam-diam ia menimang : “Walaupun aku telah memperoleh rezeki besar sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat sekali telah dicipta menjadi seorang tokoh kelas satu, tetapi karena dendam sakit hatiku belum tertumpas, takkan sembarangan kukeluarkan pedang pusaka itu. Musuhku besar itu seorang tokoh sakti dan licin.

Lahiriah ia membawa sikap yang baik dan ksatria sehingga tokoh-tokoh persilatan menaruh perindahan besar kepadanya. Tetapi batinnya, dia seorang momok yang ganas. Andaikata saat itu suhuku tak mengorbankan puteranya sendiri yang dikatakan sebagai putera keluargaku, aku tentu sudah dihabiskan oleh jahanam itu. Ah . . . aku memang selamat tetapi suhu menjadi korban. Setelah mengorbankan puteranya, jahanam itu tetap membunub suhuku juga . . . .”

Teringat akan peristiwa pembunuhan keluarganya dahulu, hati Han Ping seperti disayat sembilu.

Syukurlah pemuda itu segera tersadar bahwa ia masih menghadapi tugas yang berat. Ia harus menghadapi musuhnya itu seorang diri. Karena untuk mengajak orang membantunya, tipis sekali harapannya. Seluruh tokoh-tokoh persilatan amat menghormati musuhnya besar itu.

Menilik bicaranya, tentulah sidara baju putih itu lebih paham tentang seluk beluk keadaan didunia persilatan. Maka timbullah pikirannya untuk meminta keterangan-keterangan yang diperlukan guna memudahkan usahanya mencari balas pada musuhnya itu.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang menggenggam tangan kanannya dan serentak terdengar suara bisikan menegur : “Lekas sembunyi ! Sam-siokku segera datang !”

Kali ini Han Ping melepaskan pandang matanya dengan tajam. Tetapi kecuali padang rumput yang terbakar itu, tetap ia tak melihat seseorangpun jua.

Tengah ia merasa heran, tiba-tiba sebuah aliran api berwarna hijau meluncur belasan tombak diudara dan lenyap. Menyusul terdengarlah suitan aneh yang menusuk telinga.

Genggaman tangan sidara makin kencang : “Itulah pertandaan sam-siok memanggil kami berdua. Mudah-mudahan dia tak datang kemari !”

Han Ping diam-diam geli mengapa dara itu begitu ketakutan setengah mati kepada pamannya “Andaikata pamanmu memergoki engkau, kan tak apa-apa. Mengapa engkau seperti melihat setan . Diam-diam ia berkata dalam hati. Dan karena geli, iapun tertawa.

Sidara terkejut dan berpaling. Karena ia berada dekat sekali, maka ketika berpaling itu hidungnya hampir berbentur dengan pipi Han Ping. Serentak Han Ping terbaur hawa yang harum-harum menyegarkan.

Han Ping mengisar mundur dan lepaskan genggaman sidara. Ia tertawa : “Eh. mengapa engkau begitu takut sekali kepada pamanmu itu ?”

Sidara mengangguk. Ia menghela napas perlahan : “Sam-siokku itu berwatak aneh dan berangasan. Sekali tangannya bergerak tentu membunuh. Jika melihat kami melanggar pantangan lembah, meskipun anak kemenakannya sendiri, pun tentu dibunuhnya !”

“Apa ?” Han Ping terkejut.

“Engkau takut ?” dara itu tertawa.

“Bukan karena takut kepada pamanmu hanya merasa heran mengapa seorang paman sampai hati membunuh anak kemenakannya sendiri. Ah, kalau begitu pamanmu ketiga itu tentu benci kepada kamu taci beradik, bukan ?”

Dara itu melongok keluar. Wajahnya tampak tegang sekali : “Bukan begitu. Dia memang bengis sekali terhadap orang tetapi amat menyayang kami berdua”.

“Kata-katamu sungguh membingungkan”, Han Ping bersungut-sungut, “kalau dia menyayang kalian mengapa engkau begitu takut kepadanya ?”

Dara itu menatap wajah Han Ping. Bibirnya hendak bicara tetapi tak jadi. Ia hanya menghela napas rawan. Dua butir airmata tampak meredup diujung matanya.

Sejak kecil Han Ping mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Dia merasa malu atas sepak terjang ayahnya yang tak baik. Begitu pula kelakuan ibunya yang melanggar adat susila, telah menyebabkan dia menderita rasa rendah diri terhadap orang. Hidup dalam keluarga yang tak layak jalan hidupnya itu telah menyebabkan batin Han Ping berobah. Ia mempunyai rasa benci kepada kaum wanita.

Sejak berangkat dewasa dan setelah mempunyai perasaan kedewasaan, ia tak pernah bicara dengan anak perempuan. Han Ping tumbuh sebagai pemuda yang suka menyendiri, acuh tak acuh, dingin dan angkuh.

Sekalipun ia mendapat seorang guru yang menyayang dan menggemblengnya dengan ilmu silat dan budi pekerti, namun kesan semasa kecilnya itu tetap melekat disanubarinya ....

Adalah setelah ia mengetahui bahwa ternyata ayahnya telah dibunuh orang secara penasaran, barulah timbul perobahan dalam sikap dan perangainya. Perasaan rendah diri karena kecewa itu, telah berobah menjadi rasa dendam kesumat yang menyala-nyala.

Dengan bekal tujuan hidup itu ia nekad menyelundup kedalam gereja Siau-lim-si untuk mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng. Syukur nasibnya baik sehingga dalam keadaan yang tak terduga-duga ia telah mendapatkan peruntungan yang luar biasa. Bertemu Hui Gong siansu dan digemblengnya dengan ilmu kesaktian yang hebat....

Merenung sampai hal itu, timbullah pertanyaan dalam hatinya : “Mengapa setiap orang yang sayang padaku tentu akan pendek usianya. Orang tua yang melahirkan aku, guru yang mengasuhku, suheng yang menemani aku bermain-main dan Hui Gong siansu yang menurunkan seluruh kepandaiannya kepadaku ... Mereka semua sayang kepadaku tetapi mengapa mereka meninggalkan aku ? Apakah aku Ji Han Ping benar-benar seorang manusia yang sial ?”

Han Ping berwatak keras. Namun mengenangkan orang-orang berbudi yang telah tiada itu airmatanya pun bercucuran ....

Tiba-tiba sebuah tangan halus menyongsongkan sehelai saputangan kepadanya dan disertai dengan ucapan berbisik yang merdu : “Eh, mengapa engkau menangis ?”

Han Ping gelagapan. Buru-buru ia mengusap airmatanya. Diam-diam ia memaki dirinya : “Hm, seorang lelaki jantan tak boleh menangis. Mana boleh aku mengucurkan airmata dihadapan seorang gadis ?”

Seketika ia busungkan dada dan tertawa : “Siapa bilang aku menangis ?”

Dara itu menghela napas : “Akulah yang salah karena menangis sehingga menyebabkan engkau turut sedih . . .”

Han Ping gugup : “Mana bisa . . .”

“Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku sudah tahu,” tukas dara itu, “rahasia Lembah Setan sebenarnya tak boleh dibilangkan orang. Tetapi biarlah kuberitahukan kepadamu secara diam-diam. Setelah engkau tahu bagaimana pantangan Lembah Setan, tentu engkau akan memaklumi mengapa aku takut kepada pamanku !”

Han Ping hendak membantah tetapi tiba-tiba terdengar suitan aneh melengking diudara. Wajah sidara berobah tegang dan buru-buru menarik tangan Han Ping diajak mendekam didalam gerumbul semak. Tangannya mendekap mulut sipemuda. Maksudnya meminta Han Ping tahan napasnya.

Cepat sekali suitan itu mendekat dan pada lain saat tiba ditempat Han Ping dan si Bungkuk bertempur tadi.

Han Ping meluluskan permintaan sidara. Ia menahan pernapasannya dan meninjau keluar. Memandang dengan seksama, tampaklah seorang imam setengah tua, mengenakan jubah hitam tegak berdiri sambil menggendong kedua tangannya kepunggung. Tubuhnya kurus kering tetapi tinggi. Punggungnya menyanggul sebatang pedang. Tangannya mencekal sebatang hud-tim atau kebut kaum paderi. Matanya memandang kesekeliling penjuru seperti mencari sesuatu.

Sekonyong-konyong ia berbalik tubuh dan memandang gerumbul semak tempat Han Ping dan sidara bersembunyi. Tiba-tiba tangannya kiri mengayun dan segunduk api melayang. Begitu jatuh ditanah, api itu menebar menjadi segenggam sinar kehijau-hijauan yang cukup menerangi seluas setombak jauhnya....

Untung tempat yang dipilih sidara untuk bersembunyi itu sebuah gerumbul semak yang lebat. Sekalipun dipancari sinar api hijau tetap meremang dan sukar ditembus mata.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, api hijau itupun padam. Tiba-tiba imam aneh itu bersuit lagi lalu melambung dua tombak tingginya dan melayang turun empat tombak jauhnya. Ketika terdengar suitan lagi ternyata sudah jauh.

Han Ping menggeliat duduk. Ia menghela napas untuk melonggarkan kesesakan dadanya.

“Apakah imam jubah hitam itu pamanmu ?” tanyanya.

Sidara mengangguk : “Benar, Dia adalah Soh Hun Ih su atau Imam Pencabut nyawa yang merontokkan nyali setiap tokoh golongan Hitam maupun Putih. Entah berapa banyak jumlahnya tokoh-tokoh persilatan yang binasa ditangannya . . .”

Han Ping menghela napas : “Manusia yang ditakuti orang karena ganas dan penuh berlumuran darah pembunuhan, bukanlah manusia yang baik. Tetapipun masih lebih baik setingkat dari manusia yang lahirnya baik tetapi hatinya kejam melebihi serigala !”

Ia menghamburkan rasa penasarannya atas kematian kedua ayah bunda dan suhunya.

Sidara tertawa mengikik : “Orang yang selalu dirundung kecemasan seperti engkau ini, jika berkelana didunia persilatan, kemungkinan akan mati karena belum-belum sudah dicekik kecemasan. Ketahuilah, dunia persilatan penuh beraneka ragam manusia-manusia yang aneh. Kelak jika engkau bertemu dengan orang dari Lembah Seribu Racun, engkau tentu akan mengakui kebenaran ucapanku ini”.

“Lembah Seribu Racun ? Ah, benar-benar ngeri nama itu !” seru Han Ping.

Tiba-tiba dari luar gerumbul terdengar suara menyelutuk : “Mengapa ngeri ? Bukankah Lembah Raja Setan itu juga menyeramkan ? Huh, kurang pengalaman tentu banyak keheranan !”

Sidara cepat loncat keluar, serunya : “Ci, apakah sam-siok takkan kembali kesini lagi ?”

Sinona baju hitam tertawa dingin : “Sukar dikata. Kita keluar bersamanya. Jika dia pulang sendirian dan ditegur ayah, dia tentu sukar menjawab !”

Sidara tertegun, serunya : “Kalau begitu, mari kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini !”

“Ah, kemanapun sama saja,” sahut sinona baju hitam, “jika paman tetap mencari, tak mungkin kita dapat lolos !”

Han Pingpun keluar dari tempat persembunyiannya dan menyelutuk : “Pamanmu sendiri, mengapa kalian takut diketemukan ...”

Sinona baju hitam menukas : “Rahasia Lembah Raja setan, hanya sedikit sekali orang yang mengetahui. Apalagi pemuda hijau semacam engkau. Bagaimana engkau berani sambung lidah !”

Han Ping tertegun. Mukanya merah padam tak dapat bicara.

Melihat itu sinona baju hitam tertawa, serunya : “Huh, anak sudah berumur 19an tahun mengapa masih bermalu-malu !”

Melihat sikap sinona yang sebentar-sebentar berobah, dingin, sinis, gembira lalu dingin lagi, benar-benar membuat Han Ping muak. Tetapi karena masih memerlukan bantuannya mencari sarung pedang, ia terpaksa menahan perasaannya.

Sidara mengisar kesamping Han Ping, Ia tertawa dan berbisik : “Memang watak taciku begitu. Jangan engkau taruh dihati !”

Han Ping tertawa hambar. Diam-diam ia berkata dalam hati : “ Huh, kalian orang-orang Lembah Raja setan ini, gerak gerik dan bicaramu sungguh tak menurut garis-garis keumuman. Aku tak dapat bergaul lama-lama dengan kalian. Begitu sarung pedang sudah kutemukan, tentu segera kutinggalkan kalian selama-lamanya,

Tiba-tiba terkilas lain pikiran : “Dahulu sebelum suhu menutup mata, pernah juga menceriterakan

tentang peraturan-peraturan golongan Hitam dan Putih. Sayang saat itu aku tak menaruh perhatian sehingga aku tak tahu apa-apa dan menjadi buah tertawaan orang . . . .”

Kemudian ia terbayang akan saat dimana suhunya telah ditutuk orang dan pada saat hendak menghembuskan napas masih dapat paksakan diri meninggalkan pesan,

“Nak, ayahbundamu telah dicelakai orang secara penasaran. Hutang darah ini memang harus engkau impaskan. Tetapi kemungkinan tipis sekali engkau dapat melaksanakan pembalasan itu karena seluruh kaum persilatan golongan Putih dewasa ini, bersahabat baik dengan musuh ayahmu itu . . . .” suhunya tak dapat melanjutkan kata-katanya karena napasnya keburu berhenti untuk selama-lamanya.

“Karena segenap kaum persilatan golongan Putih bersahabat baik dengan orang itu, terpaksa aku harus mencari hubungan dengan golongan Hitam. Menilik gerak geriknya yang aneh dan serba tak menurut garis peraturan orang-orang, Lembah Raja setan itu tentulah bukan manusia baik . . . .” ia menimang lebih lanjut. Sesungguhnya hal itu berlawanan dengan hati nuraninya. Tetapi apa boleh buat . . . . Ia menghela napas.

Sinona baju hitam tertawa dingin, tegurnya : “Ih, mengapa menghela napas ? Hm, sungguh bukan anak laki-laki !”

“Siapa yang engkau maki ?” Han Ping marah dan loncat kemuka gadis itu.

“Mau apa engkau ?” nona itu tertawa mengekeh.

“Sekali lagi engkau berani menghina semau-maumu sendiri, biarpun kehilangan sarung pedang itu, aku akan memberimu hajaran !” seru Han Ping.

“Huh, aku tak percaya engkau berani memukul aku l” ejek sinona.

“Mengapa tak berani !” Han Ping menutup kata-katanya dengan sebuah tamparan.

Plak .... sebelah pipi gadis itu begap dan merah seketika. Ujung mulutnya mengucur beberapa tetes darah . . . .

Han Ping tahu bahwa nona itu berkepandaian tinggi. Tamparannya tentu tak mungkin mengenai. Diluar dugaan nona itu tak mau menghindar sama sekali. Seolah-olah rela menerima tamparan.

Sambil mengusap darah dimulutnya, diluar dugaan, nona baju hitam itu malah tersenyum.

“Bagus ! Jika engkau gunakan tenaga lebih besar lagi gigiku pasti rontok !” nona itu berseru memuji. Tak tampak marah sama sekali.

Sidara baju putih tercengang. Ia paham bagaimana perangai tacinya itu. Dingin dan angkuh dan gemar memukul orang. Ia kira tacinya tentu akan menyerang Han Ping yang berani menamparnya itu. Namun diluar dugaan ternyata tacinya tidak marah bahkan kebalikannya malah memuji ....

Han Ping merasa tak enak dalam hati karena sinona baju hitam tak mau menghindari tamparannya itu dan tak mau balas menyerang. Dengan jujur ia segera menghaturkan maaf : “Karena kalap, aku telah kelepasan tangan. Harap nona suka maafkan. Apakah nona terluka berat ?”

“Tidak ringan tidak berat, cukupan saja. Ayo, kita pergi !” seru sinona baju hitam.

“Kemana ?” sidara terkejut.

“Membantunya mencari Kim loji dan merebut kembali sarung pedangnya !” sahut sinona baju hitam sambil tertawa melengking.

Heran Han Ping tak kunjung habis. Pikirnya : “Biasanya nona itu angkuh dan sinis. Tetapi mengapa setelah kutampar malah mau membantuku ?”

Tiba-tiba nona baju hitam itu menghela napas perlahan dan berkata kepada adiknya : “Ah, tak perlu engkau katakan akupun sudah tahu apa isi hatimu !”

Merahlah selebar wajah dara itu. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala.

Walaupun cerdik tetapi Han Ping kurang pengalaman. Ia tak tahu ada yang sedang dikasak-kusukkan oleh kedua taci-beradik itu. Melihat sinona baju putih tundukkan kepala kemalu-maluan, buru-buru ia menyelutuk : “Atas kesediaan nona berdua membantuku mencari sarung pedang itu, Han Ping mengucapkan beribu terima kasih. Dan lebih dulu terimalah penghormatanku !” - Habis berkata pemuda itu terus membungkukkan memberi hormat.

“Eh, dimana saja engkau mempelajari adat istiadat yang menjemukan itu ?” tegur sinona baju hitam.

Sedangkan sidara lain sikapnya dengan tacinya. Ia buru-buru balas memberi hormat kepada Han Ping seraya tertawa mengikik.

Tiba-tiba sinona baju hitam berpaling kepada adiknya : “Apakah engkau sudah memberitahukan nama kita kepadanya ?”

“Belum, silahkan taci yang bilang kepadanya,” sahut sidara.

Menunjuk pada sidara, nona baju hitam itu memperkenalkan kepada Han Ping : “Dia bernama Ting Hong. Dirumah panggilannya adalah ji-atau!”

Kemudian nona baju bitam itu merogoh keluar sebutir pil dan terus ditelannya. “Kemudian tertawa : “Engkau memikir apa lagi ? Lekas berangkat !”

Sejenak sidara memandang Han Ping lalu memandang tacinya : “Apakah kita akan mengajaknya bersama ?”

“Sudah tentu bersamanyalah ! Kalau tidak, walaupun dapat menemukan Kim lokoay, kitapun tentu kalah.” sahut sinona baju hitam.

Bukan girang karena perobahan sikap tacinya itu bahkan diam-diam malah kuatir : “Watak taci selama tentu kejam dan tak mau menerima hinaan orang. Mengapa saat ini tiba-tiba berobah lain sekali ? Apakah karena menyadari kalah sakti dengan pemuda itu, ia lantas pura-pura membantu tetapi apabila mempunyai kesempatan lalu mencelakainya ? Jika benar begitu, berbahaya kiranya keadaan pemuda itu. . .”

“Adik Hong, apa yang engkau pikirkan ?” tiba-tiba sinona baju hitam menegur.

“Aku tengah memikirkan . . . kita . . .”, karena tak dapat menemukan jawaban, sidara tersekat-sekat.

“Nona Hong memang tajam pikiran, pandai...”

“Sudahlah, jangan menimbun pujian terlalu tinggi !” tukas sidara mengerat kata-kata Han Ping. Kemudian menunjuk kepada sinona baju hitam, dara itu memperkenalkan : “Taciku itu bernama Ting Ling”.

Han Ping tersenyum : “Sesuai dengan namanya yang indah, nona berdua memang jauh berlainan dengan orang biasa ...”

“O, o, tak nyana engkau juga pandai merangkai kata-kata sanjungan yang indah. Sudahlah jangan berkepanjangan, kita lekas berangkat !” seru sinona baju hitam atau Ting Ling seraya menarik Ting Hong diajak lari.

Han Ping mengikuti dari belakang. Hatinya bergolak tak keruan. Sejak kecil dia hanya berteman dengan suhengnya dan jarang berkumpul orang. Sekarang ia mengadakan perjalanan dengan dua orang gadis cantik yang aneh perangainya. Tak tahu ia bagaimana perasaannya.

Ketika muda mudi itu menggunakan ilmu lari cepat. Pada waktu fajar, mereka tiba disebuah kota.

“Celaka !” tiba-tiba Han Ping berteriak.

“Mengapa ?” tanya Ting Hong.

“Kemarin rekening rumah penginapan berikut makanan, belum kubayar !”

“Itu biasa saja, perlu apa engkau berkaok-kaok seperti melihat setan ?” tegur Ting Ling.

Han Ping terkesiap ketika melihat pipi nona baju hitam itu masih begap. Menilik kepandaian sinona, dalam waktu sejam saja luka itu tentu sudah pulih. Tentulah kemarin ia terlalu keras menamparnya.

Melihat pemuda itu memandang pipinya yang begap. Ting Ling sinona baju hitam tertawa menyeringai. Buru-buru ia mengenakan kedok muka lagi. Seketika gadis itu berobah menjadi seorang wanita setengah tua yang berwajah hitam.

Bagian 9

Lembah Seribu racun.

Han Ping tertawa dan berpaling kearah sidara. Ternyata dara itupun sudah berobah menjadi seorang wanita setengah tua karena memakai kedok kulit yang sukar dibedakan dengan wajah yang asli.

Sambil berjalan menuju kekota, diam-diam Han Ping menduga. Kedua nona itu tentu membekal beberapa macam kedok muka sehingga setiap saat dapat berganti wajah.

“Hai, jika aku juga memiliki beberapa perangkat kedok muka, tentu berguna sekali dalam usahaku menuntut balas !” diam-diam timbullah suatu keinginan dalam hatinya.

Matahari baru mulai menampakkan diri diufuk timur. Toko-toko, warung-warung dan kedai-kedai dalam kota itu belum sama buka. Rupanya kedua nona itu paham akan jalanan dalam kota itu. Setelah melintasi beberapa tikungan dan gang, mereka tiba disebuah rumah penginapan.

Jongos rupanya baru bangun dan mulai membersihkan meja. Kedua nona itu tanpa menyapanya terus melangkah masuk kedalam. Jongos itu gelagapan. Tetapi ketika mengetahui kedua nona yang masuk, ia tak mencegahnya.

Han Ping mengikuti masuk. Setelah melintasi dua buah halaman, mereka tiba disebuah ruangan yang sunyi. Ting Ling sinona baju hitam segera mendorong pintu ruangan dan menanggalkan kedok mukanya.

“Semalam engkau tentu letih sekali bertempur melawan si Bungkuk. Beristirahatlah dulu disini. Setelah makan, nanti kita lanjutkan perjalanan mencari Kim lokoay lagi !” kata nona itu.

Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : “Ah, aku tidak letih. Sehabis makan, kita teruskan mencari orang itu”.

“Perlu apa engkau terburu-buru begitu ?” tukas Ting Ling tersenyum, “Jika tak dapat menemukan bagaimana keadaan kami berdua saudara, Kim lokoay tentu takkan lekas-lekas pergi jauh. Sekalipun kita tak mencarinya, dia tentu akan mencari kita juga. Jangan kuatir, silahkan beristirahat memulangkan tenagamu ! Dalam waktu lima hari, kutanggung tentu dapat menemukan Kim lokoay”.

Seumur hidup belum pernah Han Ping mendapat pelayanan yang begitu ramah dari seorang wanita. Sejak kecil ibunya sudah meninggal. Ia tak ingat lagi bagaimana wajah ibunya. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang baik hati tetapi karena mengalami nasib malang dan ngeri, dia berobah menjadi keras wataknya. Tujuan hidupnya hanya membalas dendam kepada musuh.

Tetapi musuhnya seorang yang termahsyur dalam dunia persilatan. Hal itu menyebabkan ia mempunyai perasaan muak terhadap kaum persilatan golongan Putih.

Sekalipun merasa bahwa kedua nona itu termasuk golongan bukan Putih, tetapi karena kedua nona itu memperhatikan kepentingannya, ia pun tak dapat menjauhi. Mungkin hal itu disebakan karena sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Dari lingkungan hidup sejak kecil itulah maka telah melahirkan perangai yang campur aduk.

Saat itu sidara Ting Hongpun sudah membuka kedok mukanya dan tertawa melengking, serunya : “Taci seorang yang cermat. Perhitungannya selalu tak meleset. Jika ia mengatakan dalam tempo 5 hari dapat menemukan Kim loji, tentulah takkan meleset. Lepaskan kekuatiranmu dan beristirahatlah !”

Habis berkata ia mengambil secawan teh wangi dan diberikan kepada pemuda itu.

Han Ping menurut. Memang telah menghabiskan tenaganya dalam pertempuran melawan dua tokoh sakti : Hui Koh taysu dan si Bungkuk.

Han Ping segera bersemedhi menurut ajaran Hui Gong. Seketika pikirannya kosong dari segala keresahan dan gangguan.

Sejenak memandang kearah pemuda itu, Ting Ling memesan adiknya : “Adik Hong, jagalah dia baik-baik. Walaupun kepandaiannya tinggi tetapi dia tak mempunyai pengalaman. Ah, jika kita memang hendak mencelakainya, saat ini juga kita dapat merenggut jiwanya !” - nona itu terus melangkah keluar.

Bermula sidara Ting Hong berdebar ketika melihat tacinya melirik pemuda itu. Ia kuatir tacinya akan membalas tampaian dari Han Ping. Diluar dugaan ternyata tacinya tidak berbuat apa-apa.

Dara itu terlongong-longong memandang bayangan tacinya. Ia benar-benar heran atas perobahan sikap tacinya itu.

Sejak menerima pelajaran semedhi dari Hui Gong, baru pertama kali itu Han Ping menggunakannya. Dan ternyata hasilnya memang hebat. Menjelang tengah malam, ia merasa semangatnya segar dan tenaganya pulih kembali.

Ketika membuka mata dilihatnya sidara masih duduk ditepi ranjang sambil memandang keatap wuwungan dengan terlongong-longong. Rupanyi dara itu tengah memikirkan sesuatu yang sulit.

Tiba-tiba dara itu menghela napas dan berkata seorang diri ?”Ah, adakah taci yang berwatak dingin dan angkuh itu juga jatuh hati kepadanya . . .”

Mendengar itu tersiraplah darah Han Ping. Segera ia berbatuk-batuk kecil. Sidara terkejut dan berpaling.

“Ih, engkau ini benar-benar membikin orang mati kaget. Mengapa sudah bangun tak mau memanggilku ?” Ting Hong tertawa lalu loncat dari pembaringan.

Tepat pada saat itu pintu terpentang dan masuklah Ting Ling seraya membuka kedok mukanya.

“Entah apakah yang terjadi dikota Lokyang sini. Banyak sekali orang-orang persilatan dari golongan Hitam datang”, serunya.

“Hai, kalau begitu sam-siok tentu juga belum pergi dari kota itu !” Ting Hong terkejut.

Sinona baju hitam Ting Ling merenung sejenak lalu menyahut : “Semalam sam-siok tak sayang melontarkan pertandaan Api Hijau untuk mencari kita. Kemungkinan tentu ada apa-apa yang penting...”

“Apakah Kim lokoay itu juga belum pergi dari kota itu ?” buru Han Ping menukas.

Ting Ling menghela napas : “Tadi aku keluar untuk mencari keterangan tentang jejak Kim Lo ji. Tetapi begitu keluar dari rumah penginapan aku hampir kesompokan dengan Kimleng Sam hiong. Tiga jago dari Kimleng itu biasanya mondar mandir didaerah Kanglam dan jarang muncul didaerah Tionggoan. Kalau kali ini mereka bertiga muncul, tentulah ada sebabnya. Timbul kecurigaanku dan hendak kuikuti. Tetapi mereka berkuda sehingga aku tak mampu mengejar Ketika tiba di Se-kwang ternyata ketiga orang itu sudah lenyap. Menurut keterangan dari beberapa orang yang kutanya, kemungkinan ketiga jago itu tentu menuju kekota Lokyang !”

“Selain Kim-leng Sam-hiong, siapa lagikah yang taci jumpai ?” tanya sidara.

“Memang kalau bersua dengan Kimleng Sam hiong saja, aku tentu tak heran. Tetapi selain mereka, akupun melihat anak buah Lembah Seribu racun dan si Tangan geledek Ca Giok ketua muda dari Ca-ke-poh. Kalau orang-orang Lembah Seribu racun itu muncul di Tionggoan, tidaklah begitu mengherankan. Karena mereka memang sering keluyuran didaerah ini. Tetapi kemunculan ketua muda dari Ca-ke-poh itu, bukanlah suatu peristiwa yang biasa. Jika tiada urusan yang penting, dia tentu tak muncul di Tionggoan. Mengenai orang-orang Lembah Seribu racun, walaupun belum kulihat beberapa tokoh-tokohnya yang penting, tetapi jumlah orang-orang Lembah Seribu racun itu banyak sekali. Lebih kurang 20an orang. Suatu hal yang belum pemah terjadi selama ini . . .”

“Menurut dugaanku, tokoh-tokoh penting dari Lembah Seribu racun tentu berada disini juga. Yang mengherankan, orang-orang itu semua menuju kebarat . . .” kata Ting Ling seraya berhenti merenung.

Ting Hong kenal watak tacinya. Jika memikir hal-hal yang berat, tentu menengadahkan kepala. Ia memberi isyarat mata kepada Han Ping supaya jangan mengganggu.

Setelah lewat beberapa jenak, tiba-tiba Ting Ling memandang kearah Han Ping : “Mengapa Kim Lokoay mengajak kami berdua bersekutu merampas sarung pedangmu, tentulah bukan suatu hal yang kebetulan melainkan tentu mengandung suatu rahasia besar. Tetapi untuk beberapa waktu, masih sukar kuungkap ...”

Berhenti sejenak, nona baju hitam itu melanjutkan pula : “Menilik kedudukan Kim lokoay dalam dunia persilatan, jika bukan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dia tentu tak mau turun tangan merebutnya. Pedangmu yang begitu hebat, dia tak mau dan hanya mengambil sarungnya saja. Tentulah sarung pedang itu jauh lebih berharga dari pedangnya. Dan untuk mencapai maksudnya itu, ia tak segan membunuh kami berdua. Mungkin dia kuatir kami akan membocorkan hal itu. Ah, dia sahabat baik ayah. Diapun takut kepada kemahsyuran nama Lembah Raja setan. Tetapi jika ia tetap berani mencelakai kami berdua saudara, tentulah sarung pedang itu benda yang luar biasa nilainya. Jika tidak mengandung rahasia dendam atau pembunuhan besar yang menyangkut kepentingan dunia persilatan, tentulah mempunyai lain nilai yang tiada taranya.”

Diam-diam Han Ping terkejut. Ia tak menduga bahwa seorang gadis yang baru berumur 18-19 tahun ternyata mempunyai kecerdasan dan pandangan yang sedemikian luas. Diam-diam Han Ping mengaguminya.

Sejenak mata-mata sinona baju hitam itu menyapu kearah Han Ping dan Ting Hong, kemudian berkata lagi : “Juga kedatangan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan didaerah Lokyang ini, tentulah bukan suatu peristiwa yang biasa. Jika dugaanku tak salah, kemungkinan tokoh-tokoh penting dari Ji-koh dan Sam-poh, tentu datang juga. Hal ini benar-benar suatu peristiwa yang luar biasa. Dalam beberapa hari ini tentu akan timbul peristiwa yang menggemparkan Suatu pertempuran yang ramai dan layak disaksikan. Karena kita berada disini, kita pun harus melihat juga. Menilik pedangmu itu mudah merangsang keinginan orang, sebaiknya engkau sembunyikan saja agar jangan mengandung kesulitan. Begitu pula kita bertigapun harus menyamar supaya jangan menarik perhatian orang.

Ting Hong merenung sejenak lalu tertawa.

“Kami berdua taci beradik sering keluar kedunia persilatan dengan mengenakan kedok muka. Dikuatirkan orang-orang Ca-ke-poh dan Lembah Seribu racun itu tetap akan mengenali kami. Maka menurut hematku, kali ini kita menyaru saja sebagai anak laki dan mengenakan kedok muka. Dengan demikian kemungkinan orang tak mudah mengenali !” sidara tertawa.

Ting Ling menggeleng.

“Betapapun kita menyaru dengan cara apa saja, hanya orang biasa yang dapat terkelabuhi. Tetapi terhadap tokoh-tokoh lihay itu, jangan harap kita dapat lolos dari mata mereka yang tajam....”

Ia berhenti sejenak, memandang Han Ping dan berkata pula : “Aku sudah menyediakan suatu rencana. tetapi tentu akan memberatkan engkau!”

“Silahkan bilang, asal tidak kelewat sukar, aku tentu bersedia” sahut Han Ping.

“Karena sering keluar kedunia persilatan, kami kenal banyak tokoh-tokoh persilatan. Terutama orang-orang dari Lembah Seribu racun, mereka ganas dan licin. Anak buah dari Tangan geledek Ca Giok itu benar-benar seperti setan siluman. Kami berdua sudah beberapa kali berjumpa dengan mereka. Walaupun dengan menyaru apa saja, sukar untuk lolos dari mata mereka. Siasat yang paling tepat ialah begini : kita dapat mengetahui mereka tetapi jangan mereka melihat kita.”

“Ho, bagaimana mungkin ?” kata Han Ping, “kalau kita dapat mengetahui mereka, masakan mereka tak dapat mengetahui kita !”

Ting Ling tertawa melengking : “Hal itu kedengarannya memang ganjil. Tetapi jika sudah kuterangkan tentu biasa juga. Engkau seorang baru dalam dunia persilatan. Walaupun memiliki kepandaian sakti, tetapi orang tentu belum mengetahui. Asal berhati-hati, jangan terlalu menonjolkan diri, dan lagi memakai kedok muka tentulah sukar orang mengetahui . . . .”

“Benar, memang aku baru pertama kali ini mengembara. Sekalipun tak memakai kedok muka, tentu tak dikenal orang. Hanya bagaimana dengan nona berdua . . . .”

“Ah, paling tidak seorang Kim lokoaypun sudah kenal padamu. Begitu pula si Bungkuk itu. Jika engkau tak mau mengenakan kedok muka, mereka tentu akan mengenalimu”.

Mendengar kata-kata nona itu beralasan juga, mau tak mau Han Ping memuji dalam hati. Dia mengagumi nona itu cermat dan teliti sekali. Hal-hal kecil yang orang tak memperhatikan, pun tak terlepas dari penelitiannya.

“Sekarang ini keadaan memaksa. Terpaksa sementara akan menyulitkan dirimu. Tetapi apabila keadaan sudah mengizinkan, kami taci berdua akan bersedia menyaru jadi budakmu, untuk mernbayar terima kasih atas jerih payahmu dalam beberapa hari ini,” Ting Ling tertawa.

“ Hampir setengah hari tetapi nona belum mengatakan jelas bagaimana rencana itu,” Han Ping tertawa.

Ting Ling tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kedok muka dari kulit lalu menghampiri Han Ping dan memasangkannya.

“Kuminta engkau menyaru jadi sais (kusir) kereta kami berdua taci beradik,” katanya dengan tertawa.

Sidara Ting Hong tertawa mengikik : “Bagus, rencana taci hebat sekali ! Asal tenda kereta kita tutup tapi diberi sedikit lubang kecil, kita tentu dapat melihat keadaan diluar.

Ting Ling mengangguk : “Selama beberapa tahun ini memang banyak tambah pengalaman. Akupun sudah menyediakan kereta. Jika engkau tak keberatan menyaru sebagai sais, marilah kita berangkat sekarang.”

“Nona memang cerdik sekali. Tetapi entah apakah penyamaranku ini bakal dapat mengelabuhi orang-orang itu ?” tanya Han Ping.

Ting Ling mengeluarkan sebuah cermin : “Coba saja engkau lihat sendiri apakah mirip tidak dengan seorang sais kereta ?”

Ketika berkaca, ternyata Han Ping dapatkan dirinya saat itu berobah menjadi seorang lelaki tua yang berumur 40an tahun. Dahinya penuh keriput.

“Hai, mirip juga !” ia tertawa.

“Memang kedok muka yang kubawa itu, halus semua buatannya sehingga sukar diketahui kalau kedok. Yang penting sekarang ini, engkau harus membiasakan diri untuk mengurangi pancaran sinar matamu agar jangan menimbulkan kecurigaan orang bahwa engkau memiliki tenaga dalam yang tinggi. Nah, marilah kita berkemas,” kata Ting Ling.

Setelah membayar rekening rumah penginapan, mereka keluar. Ternyata dimuka rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta dengan dua ekor keledai tegar. Ting Ling memberi topi dan pakaian warna biru kepada Han Ping.

Demikianlah sais Han Ping dengan kedua penumpangnya dua orang gadis cantik, segera berangkat menuju kedalam kota Lokyang.

Disepanjang jalan, beberapa kali Han Ping melihat penunggang-penunggang kuda yang melarikan kudanya dengan pesat. Dari dandanan dan gerak geriknya, Han Ping menduga bahwa penunggang-penunggang kuda itu tentulah tokoh-tokoh persilatan.

Ditilik dari sikapnya yang tergopoh-gopoh, rupanya mereka sedang mengejar waktu. Tentulah mempunyai urusan yang sangat penting.

Ada beberapa penunggang kuda yang berpaling memandang kearah kereta Han Ping, tetapi mereka terus melanjutkan perjalanan lagi. Agaknya mereka tak menaruh kecurigaan terhadap kereta itu.

Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan Ting Ling mengatur siasat penyamaran itu. Orang tak menaruh perhatian pada kereta yang ditarik keledai.

Sekonyong-konyong seekor kuda mencongklang pesat dan melampaui kereta. Dan entah bagaimana penunggangnya tiba-tiba ayunkan cambuk kearah tenda kereta yang tertutup itu.

Bukan main marah Han Ping saat itu. Hampir saja ia tak dapat menahan diri. Untung sesaat ia teringat akan pesan Ting Ling tadi. Maka pura-pura ia terkejut dan mengisar kesamping.

Saat itu sipenunggang kuda itu berada beberapa meter dimuka kereta. Ia tertawa nyaring, serunya : “Ho, budak kedua perempuan yang pintar, sayang aku mempunyai urusan penting . . .!

Han Ping mengawasi penunggang kuda itu dengan tajam. Seorang lelaki berumur 31an tahun. Wajahnya hitam seperti pantat kuali, pipinya kiri terdapat bekas luka. Setelah berpaling memandang kearah Ting Ling dan Ting Hong, ia mencongklang pesat.

Ting Ling mmutup tenda yang tersingkap itu dan berbisik kepada Han Ping : “Engkau telah memainkan perananmu bagus sekali. Menyaru naga untuk menangkap naga. Menyamar harimau untuk menangkap harimau!”

Han Ping hanya tertawa dan melarikan kereta menuju ke Lokyang.

Dalam perjalanan itu, Han Ping berusaha untuk menyembunyikan diri. Terutama ia tak mau memandang setiap penunggang kuda yang lari melampaui keretanya. Memang tak henti-hentinya tokoh-tokoh

persilatan sakti yang membanjiri jalan menuju ke Lokyang.

Tiba-tiba dari samping kereta terdengar suara orange tertawa perlahan “Tolong tanya, apakah kereta ini juga menuju ke Lokyang ?”

Hari Ping terperanjat. Didapati yang bertanya itu seorang pengemis tua yang berambut gimbal dan wajah kotor. Pakaiannya putih, bersepatu rumput dan menggendong sebuah buli-buli arak dipunggungnya.

Tetapi ada sesuatu yang aneh. Walaupun mukanya mesum dan rambutnya tak keruan, pengemis tua itu memiliki sebaris gigi yang kecil-kecil dan bersih. Suatu hal yang berbeda dengan keadaan seorang pengemis tua.

Han Ping kerutkan kening ....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar