Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 26 : Pertempuran dahsyat

Jilid 26
Diam-diam Han Pingpun sudah siap. Sesaat menyadari bahwa tabung emas itu tentu mengandung alat berbahaya, ia tak mau sembarang menempuh bahaya. Cepat ia menghindar ke samping.

Gerakan orang baju hitam itu tak cepat. Begitu Han Ping menghindar, iapun pelahan-lahan baru menarik kembali tabung emasnya.

Han Ping kerutkan dahi lalu mengangkat tangan dan lepaskan pukulan dari jauh. Serangkum hawa berisi tenaga dahsyat, segera berhamburan melanda orang itu.

Tiba-tiba orang baju hitam itu mengisar 2 langkah ke kanan, setelah menghindari pukulan, cepat ia meluncur ke samping Han Ping. Kali ini gerakannya amat cepat, lain dari yang tadi.

Han Ping agak terkesiap lalu balikkan tangan menghantamnya.

Orang baju hitam itu berputar tubuh dan melangkah setengah meter ke samping kiri, lalu dorongkan tabung emas kemuka. Segumpal asap te-bat menghambur keluar.

Tetapi karena Han Ping sudah berjaga-jaga, begitu melihat sesuatu yang tak wajar, cepat ia loncat melambung ke udara.

Asap yang menyembur keluar itu amat kuat sekali gerakannya. Sesaat Han Ping melambung ke atas, tempat ia berdiri tadipun sudah dihambur oleh semburan asap tebal itu.

“Apakah asap itu?” tanya Nyo Bun-giau kepada Kim Loji.

Kim Loji gelengkan kepala, “Entahlah, tetapi sudah 10-an tahun yang lalu Ih Thian-heng melatih barisan Sa-cap-lak-kong. Dia melatih dengan giat sekali. Maka dapat diduga kalau barisan itu tentu sukar dihadapi.”

Melihat semburan asap tak mendapat hasil, si Baju Hitam cepat menarik tabung emas lalu tangan kirinya memutar bawah tabung dan diarahkan kepada tubuh Han Ping.

Ditingkah sinar matahari tampak belasan utas benang putih meluncur ke arah Han Ping. Kecepatannya melebihi segala senjata rahasia yang manapun juga. Demikian pula dengan jarak yang dapat dicapai, juga lebih jauh dari senjata rahasia lainnya.

Melihat itu gentarlah hati Ca Cu- cing. Diam-diam ia menimbang, “Menilik bentuknya yang begitu halus dan kecil, teranglah kalau benda itu sejenis jarum beracun. Kecepatan dan jaraknya yang dapat dicapai, tak mungkin jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca dapat menang. Menilik naga2nya, jarum Hong-ci-cin yang menggetarkan dunia persilatan itu bakal diganti dengan senjata tabung emas itu…..”

Han Ping pun terkejut. Baru setombak menghambur, benar-benar warna perak dari tabung itu sudah berhamburan semeter luasnya sehingga sukar dilihat lagi. Maka dengan mengempos semangat, Han Ping rentangkan kedua tangan dan tiba-tiba melambung setombak tingginya lagi.

Ia tak tahu apakah gerakan melambung lebih tinggi itu dapat terhindar dari sasaran senjata rahasia yang aneh itu. Maka setelah mencapai ketinggian setombak itu, cepat ia berjumpalitan dua kali dan meluncur turun sampai 4 – 5 tombak jauhhya.

Ilmu meringankan tubuh yang diunjukkan Han Ping, melambung keatas lalu diudara melambung lagi setombak tingginya, kemudian berjumpalitan sampai dua kali dan meluncur empat lima tombak, benar suatu kepandaian yang jarang terdapat di dunia persilatan. Bahkan Ih Thian-heng sendiripun terkesiap heran.

Sedangkan Nyo Bun-giau, Ca Cu -jing, Ting Yan – san, Leng Kong- siau, wajahnya berubah.

Sebentar gelisah resah, sebentar cerah gembira tak menentu.

Dalam hati mereka kecuali mengagumi kepandaian Han Ping, pun terkejut melihat tabung emas yang menghamburkan asap tebal itu. Diam-diam mereka bersyukur bahwa bukan merekalah yang menghadapi senjata rahasia istimewa itu. Kalau saja salah seorang diantara mereka yang lebih dulu menghadapi tabung emas itu, tentulah akan berbahaya akibatnya. Kalau tidak tertahur asap tentu akan termakan ber-untai2 benang halus yang berbahaya itu.

Setelah menghambur setombak luasnya, asap tebal itupun berhenti bergerak cepat. Gumpal asap itu rupanya menghambur pelahan sekali. Tak ubah seperti gumpal awan yang berarak diatas langit.

Dua kali serangannya gagal. si Baju Hitam tampak terkejut dan tegak terlongong. Beberapa kejab kemudian baru ia loncat ke tempat Han Ping.

Tetapi kali ini Han Ping tak mau memberi kesempatan pada orang itu untuk menyemburkan senjata asap itu lagi. Dengan mengempos semangat, ia siap menunggu kedatangan orang itu.

Selekas si Baju Hitam itu menyerbu ia terus menggembor keras dan ayunkan pukulan. Segelombang angin pukulan dahsyat, segera melanda Han Ping.

Begitu melihat si Baju Hitam menyerbu, cepat sekali Han Ping menggembor keras dan menyongsongnya dengan sebuah pukulan dahsyat.

Gelombang angin pukulan dahsyat, segera melanda orang itu. Karena dia masih dalam melayang diudara, maka sukarlah untuk menghindari pukulan Han Ping. Seketika dadanya terasa sesak, pandang matanya gelap. Dan tubuhnyapun terpental jatuh dua tiga meter ke belakang.

Pukulan Biat- gong- ciang atau Pembelah Angkasa yang dilancarkan Han Ping itu dapat mencapai jarak sampai 2 tombak jauhnya. Dan masih mempunyai sisa tenaga yang cukup keras.

Seluruh jago2 yang hadir disitu, terperanjat benar-benar, Ih Thian-heng kerutkan alis lalu mengangkat tangan menyapu ubun-ubun kepalanya. Melihat itu kawanan baju hitam yang mengepung lapangan itu, segera cepat-cepat menyingkir untuk menduduki posnya masing-masing. Mereka serempak mengacungkan tabung emas, siap hendak maju menyerbu.

Si Baju Hitam yang terpukul rubuh oleh Han Ping tadi muntah darah. Ia bergeliatan bangun lalu songsongkan tabung emasnya ke arah Han Ping. Dua butir pelor warna biru segera meluncur ke arah Han Ping.

Han Ping sudah menyadari bahwa tabung emas itu tentu berisi ber-macam2 senjata rahasia yang amat lihay sekali. Oleh karena tak keburu menghantam dengan pukulan, terpaksa ia loncat melambung keudara lagi dan melayang dua tombak jauhnya.

Bum…. terdengar letupan kecil ketika kedua butir pelor biru itu meledak berbareng dan pecah menjadi dua lingkaran asap biru sebesar roda kereta. Begitu tiba di tanah, berkobar lagi menjadi api dan menghamburkan asap yang berhamburan sampai dua tombak luasnya.

Sekitar tanah pekuburan ita walaupun penuh ditumbuhi rumput tetapi karena api itu panas luar biasa maka rumput dan batu2pun ikut terbakar.

Diam-diam Han Ping bersyukur, pikirannya, “Jika tadi kutangkis dengan tangan, tentu celakalah diriku. Aku tentu akan mau terbakar. Tabung emas itu ternyata penuh berisi dengan beberapa macam senjata rahasia yang ganas. Itu kalau hanya seorang yang membawa. Padahal ada 36 orang yang membekal senjata semacam itu. Tentulah mereka mampu mengacau dunia persilatan!”

Dalam pada berpikir itu dilihatnya si Baju Hitam lawannya tadi tiba-tiba lepaskan tabung emas dan terkulai rubuh mati di tanah.

Tiba-tiba Nyo Bun-giau loncat melayang ke tempat si Baju Hitam itu. Tepat pada saat itu, keenam bocah baju putihpun juga loncat menghampiri. Tetapi Nyo Pun-giau lebih cepat. Begitu tiba ia terus menyambar tabung emas itu.

“Hai, Nyo Bun-giau, apakah engkau sudah bosan akan jiwamu?”

Mendengar itu Nyo Bun-giau tertegun. Tepat pada saat itu keenam bocah baju putih sudah tiba dan mengepung Nyo Bun-giau. Mereka mengacungkan pedang, siap menyerang apabila Nyo Bun-giau bergerak.

Tetapi Nyo Bun-giau hanya memadang keenam bocah itu dengan tenang lalu tertawa dingin, “Hm, kiranja hanya 6 bocah yang masih ingusan!”

Tetapi sekalipun mulut mengucap begitu, dalam hati, Nyo Bun-giau tergetar juga. Dilihatnya pedang pendak ditangan kawanan bocah itu memancar sinar ber-kilat2 yang menyilaukan mata. Ia menyadari bahwa pedang mereka itu tentu bukan senjata biasa. Bahwa Ih Titian heng telah memperlengkapi dengan senjata pedang pusaka begitu, tentu dikarenakan kawanan bocah itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

Keenam bocah itu kecuali sama memiliki alis dan mata yang bagus, pun pakaiannya hampir sama semua, Begitu pula kerut wajah mereka tampak garang dan bengis.

Nyo Bun-giau tak berani lengah. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam dan ber-siap2. Kiranya dengan cepat Nyo Bun-giau dapat mengetahui bahwa keenam bocah yang mengepungnya itu memiliki ilmupedang yang hebat. Tandanya, sikap dan gerak-gerik mereka diwaktu mencekal pedang itu amat serius sekali.

Diam-diam Nyo Bun giaupun terkejut. Ia tak menyangka bahwa anakbuah Nyo Bun giau, bahkan yang masih bocahpun, ternyata lihay semua,

Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa nyaring. Nadanya berkumandang jauh sampai ke hutan. Rupanya dia tengah menghamburkan tenaga murni sehingga Leng Kong-siau, Ting Yan-san dan lain-lain tergetar hatinya.

Tenaga-dalam yang dipancarkan dalam tertawa Ih Thian-heng itu ternyata amat tinggi dan kuat sekali. Bukan seperti orang yang sedang menderita luka dalam. Tokoh-tokoh itu mengkeret nyalinya karena mereka merasa tak dapat menandingi tenagadalam Ih Thian-heng.

Dari nada tertawa itu, mereka menarik kesimpulan bahwa tadi Ih Thian-heng hanya pura-pura terluka. Dia sengaja bersikap seperti orang terluka hanya untuk menjalankan siasat mengulur waktu saja untuk memikat perhatian sekalian musuh2nya supaya tetap tinggal disitu. Kemudian diam-diam ia memanggil seluruh anakbuah-datang mengepung dan membasmi sekalian orang gagah itu.

Sekonyong-konyong ia hentikan tertawa, Sisa kumandang tertawanya masih menggema diangkasa.

“Saudara-saudara tentu sudah menyaksikan apa yang terisi dalam tabung emas itu. Tetapi itupun masih hanya sebagian saja, belum semua yang berada dalam tabung emas itu digerakkan keluar. Maka siapa saja diantara saudara yang yakin mampu lolos dari serangan ke 36 tabung emas itu, silahkan tampil ke muka mencObanya!” tiba-tiba Ih Thian-heng berseru nyaring.

Sunyi senyap, tiada seorangpun yang berani memberi jawaban. Rupanya tiada yang merasa mampu menghadapi ke 36 tabung maut itu.

Ih Thian-heng menghela napas. ujarnya pula, “Apabila saudara sudah menyadari takkan mampu meloloskan diri, apakah saudara-saudara tetap hendak menunggu kedatangan maut?”

Kata-kata itu menyadarkan sekalian orang. Pikiran mereka, “Ya, memang benar. Apakah kita ini hanya berdiam diri menunggu maut datang merenggut?”

Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To merentang mata memandang Ih Thian-heng tajam, serunya, “Sepanjang hidup entah sudah berapa banyak kali pengemis tua ini menghadapi bahaya maut. Tetapi toh sampai sekarang masih segar bugar seperti saat ini. Soal mati hidup, masakan tergantung pada gertakan orang?”

Mendengar ucapan yang gagah dari pengemis itu, Ih Thian-heng tertegun. Tetapi cepat sekali ia sudah tenangkan diri lalu tertawa nyaring, serunya, “Ucapan saudara Cong memang tepat sekali. Tetapi bagi kaum persilatan seperti kita ini, siapakah dan berapakah jumlah tokoh-tokoh yang masih hidup dari bahaya maut dalam peristiwa2 yang pernah dihadapinya? Bahwa saudara Cong termasuk salah seorang yang beruntung dapat selamat dari sekian banyak bahaya, memang jarang terdapat. Tetapi hendaknya hal tak boleh dibanggakan….”

Berhenti sejenak tersenyum, ia melanjutkan berkata, “Mungkin diantara para hadirin, banyak juga yang mempunyai pengalaman lebih berbahaya dari saudara Cong?”

Cong To tertawa dingin, “Apakah saudara Ih sudah memastikan bahwa hari ini pasti dapat membasmi kami semua?”

Ih Thian-heng tertawa, “Hal itu sukar kujawab, Terserahkan bagaimana kepercayaan saudara-saudara. Bila saudara percaya mampu menghadapi. silahkan saja mencobanya!”

Sepasang mata pengemis sakti yang bundar ber-kilat2 memancar sinar, mencurah pada Ih Thian-heng. Ia tertawa nyaring lalu berseru, “Soal mati hidup, pengemis tua tak pernah menaruh dihati. Silahkan saudara Ih memberi perintah anakbuah saudara untuk turun tangan!” — habis berkata ia terus melangkah keluar.

Ih Thian-heng tersenyum, serunya, “Keberanian saudara Cong, sungguh mengagumkan!”

Tiba-tiba wajahnya berobah dan berkatalah ia dengan nada dingin kepada Ca Cu-jing, “Rupanya saudara Cong hendak coba2 membobolkan barisan Thian kong tin yang kusiapkan. Entah bagaimana pendapat saudara Ca, saudara Leng, dan Ting dan lain-lainnya?”

Ketiga prang itu walaupun termasuk tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Tetapi diantara mereka bertiga, Ca Cu-jing merasa lebih tinggi kedudukannya karena ia seorang ketua Marga.

Maka setelah memandang ke kanan kiri, ia segera berseru, “Saudara memang seorang yang luar biasa cerdasnya sehingga dapat menciptakan senjata rahasia yang begitu luar biasa hebatnya. Turut apa yang kusaksikan tadi, memang sukar untuk menghadapi hamburan ke 36 tabung emas itu. Tetapi sekalipun begitu, akupun tetap ingin mencobanya. Soal mati hidup atau kalah menang, itu di luar perhitunganku. Tetapi ada sebuah permintaan yang hendak kuajukan, entah apakah saudara Ih dapat meluluskannya?”

“Harap saudara Ce mengatakan lebih dulu. Setelah kupertimbangkan barulah aku dapat menjawab,” kata Ih Thian heng.

“Puteraku itu masih belum cukup kepandaiannya,” kata Ca Cu jing, “sudah tentu tak mungkin mampu lolos dari senjata saudara yang istimewa itu. Aku hendak mohon saudara Ih…..”

“Bukankah saudara Ca hendak minta supaya aku memberi kelonggaran untuk melepaskannya pergi lebih dulu?”tukas Ih Thian heng tersenyum.

Wajah Ca Cu jing berobah. Ia hendak bieara tetapi hatinya menimbang. Soal itu menyangkut nasib Ca Giok. Ia harus dapat menahan diri agar puteranya selamat. Maka ia menghela napas panjang, ujarnya, “Betapapun saudara Ih hendak mengejek dan menghina aku, tetapi kuharap saudara suka lepaskan puteraku lebih dulu!”

Ih Thian-heng merenung sejenak lalu menjawab tersendat, “Ini…..” — ia menghela napas, “Dalam dunia persilatan terdapat sepatah ujar2 termasyhur. Entah apakah saudara Ca masih ingat?”

“Pepatah yang mana?”

Kata Ih Thian-heng dengan tak ragu2, “Memotong rumput harus sampai akarnya. Karena kalau tidak, begitu angin musim semi bertiup, rumput itu pasti tumbuh lagi…. Pada masa akhir2 ini, dalam dunia persilatan telah berkembang luas sekali. Dua lembah, Tiga Marga kabarnya hendak berserikat untuk menghadapi aku. Entah kabar itu benar atau tidak?”

“Aku sendiri belum pernah mendengar berita itu. Tetapi dari mana saudara Ih mendenganya?” Ca Cu-jing balas bertanya.

Ih Thian-heng tertawa hambar, “Tetapi tak peduli saudara mendengar atau tidak namun ada api tentu ada asap, Maka dalam tempat pekuburan yang terpencil seperti ini, dapat melukai seorang berarti mengurangi seorang lawan kuat. Oleh karena sudah terlanjur berhadapan sebagai dua kekuatan yang harus hancur salah satu. maka sukarlah untuk menghindari suatu pertempuran mengadu jiwa.”

Mendengar ucapan itu, Ca Cu -jing menyadari bahwa maksudnya hendak menyelamatkan puteranya sia2 saja, jika ia memohon lagi pasti akan mendapat hinaan yang lebih besar. Seketika berubahlah wajah ketua marga Ca itu dan menyahut dengan dingin, “Memang keadaan saat ini, belum dapat dipastikan dalam tangan siapakah rusa itu akan mati. Harap saudara Ih jangan buru-buru mengucap terlalu penuh harapan dulu!”

“Baik, mari kita coba saja!” – ia melambaikan tangan kanan dan berseru nyaring, “Lawan yang berada disini, satupun tak boleh diberi kebebasan!”

Kawanan Baju hitam yang mengepung di empat peniuru itu segera berputaran untuk menjaga pos masing-masing. Dalam beberapa kejap mereka telah menyusun diri dalam sebuah barisan dan mengepung tokoh-tokoh itu di tengah. Melihat kawan2nya terkepung dan ia sendiripun masih dikepung oleh keenam anak baju butih, Nyo Bun -giau mulai gelisah. Ia anggap keadaan dirinya lebih berbahaya dari kawan2nya maka ia harus berusaha secepatnya untuk menerobos kepungan kawanan bocah itu. Seketika hawa pembunuhan timbul pada kerut wajahnya. Diam-diam ia menimang, “Oleh karena jelas Ih Thian-heng sudah merencanakan untuk membasmi sekalian yang gagah, maka ia harus bertempur mati2an, ia harus bertindak cepat dan ganas untuk melukai seorang orang bocah agar mengurangi kekuatan mereka.”

Setelah mengambil keputusan, tiba-tiba ia melambung keudara seraya lontarkan pukulan Air terjun-berhamburan-ke ember, ke arah bocah yang mengepung disebelah selatan.

Dia gunakan delapan bagian tenaganya. Pikirnya, betapa tinggi kepandaian bocah itu, tenth tetap sukar lolos dari serangannya itu.

Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar di luar dugaannya. Tepat pada saat Nyo Bun-giau loncat keatas. keenam bocah baju putih itupun bergerak dengan serempak juga.

Bocah yang berkedudukan di selatan tadi, cepat menghindar ke samping. Bocah yang disebelah timur dan barat, secepat kilatpun sudah menyerbu Nyo Bun-giau dengan menabaskan pedangnya yang ber-kilat2 memancarkan hawa dingin. Belum pukulan Nyo Bun-giau mengena, barisan bocah itupun sudah bergerak. Bukan kepalang marahnya. Dengan menggembor keras ia membentak, “Hanya setengah lusin bocah yang masih ingusan masakan dapat mengepung aku…….!”

Belum selesai ia mengucap, secercah sinar pedang menusuknya dari muka. Belum pedang tiba, anginnya yang dingin sudah menyambar.

Nyo Bun-giau menggembor keras seraya lontarkan pukulan.

Bocah baju putih itu tiba-tiba condongkan pedang diikuti dengan gerakan tubuhnya, melesat ke samping. Dan bocah yang berdiri di sebelah barat diam-diam segera menusuk ke lambung Nyo Bun-giau

Gerakan bocah itu teramat cepat sekali.

Nyo Bun-giau kaya pengalaman dan tak berani memandang rendah lawan. Setelah meneliti keadaan barisan musuh, tahulah ia bahwa keenam bocah itu memang lihay. Maka sangatlah ia ber-hati-hati menghadapi mereka. Sekalipun begitu gerakan bocah yang nyelonong menyerang kesamping itu, benar-benar tak di-duga2. Untung ia memang sudah waspada. Secepat berpaling ke belakang dan melihat ujung pedang hampir menyentuh tubuhnya, tetapi tetap kalah cepat dengan bocah itu. Lengan bajunya tetap terpapas ujung pedang sehingga menimbulkan lubang sepanjang 3 dim. Kemudian darahnya mencucur keluar….

Nyo Bun-giau terkejut tetapi secepat itu berkobarlah amarahnya. Dengan menggembor keras ia segera lontarkan hantaman. Hampir sembilan bagian tenaganya yang digunakan karena sekali pukul ia ingin membunuh anak itu.

Tetapi bocah disebelah barat yang menusuknya itu, setelah berhasil melukai, terus berkisar ke selatan sehingga pukulan Nyo Bun-giau tak mendapat sasarannya. Dalam pada itu bocah yang berada diutara dan baratlaut, cepat maju menyerang. Oleh karena Nyo Bun-giau diburu nafsu hendak menghancurkan bocah yang melukainya tadi, ia telah memukul dengan lepas sehingga kehilangan posisi pertahanan diri. Cepat sekali ia dapat didesak oleh keenam bocah itu. Dia dikurung dalam lingkaran sinar pedang kawanan bocah itu.

Betapapun lihay kepandaian Nyo Bun-giau tetapi begitu terdesak dibawah angin, ia menjadi kelabakan. Terpaksa ia tumpahkan semangat dan perhatiannya, berlaku tenang untuk menghadapi barisan pedang keenam bocah yang mencurah sederas hujan. Tetapi ia tetap tak dapat mencari lubang kelemahan lawan, Terpaksa ia tak mau gegabah menyerang melainkan memperketat penjagaan saja dengan mengeluarkan ilmu istimewa Kim-sat-san-jiu atau Tangan Pasir-emas.

Belasan jurus kemudian barulah ia berhasil mengimbangi permainan lawan.

Keenam bocah itu karena tak berhasil mengalahkan lawan, merekapun tenangkan diri tak mau mendesak keras. Dengan ilmu permainan pedang yang aneh, mereka mengepung Nyo Bun-giau untuk menunggu kesempatan melukainya lagi.

Terdengar Ih Thian-heng tertawa, “Sandara Nyo, engkau benar-benar tak bernama kosong! Dapat bertahan sampai begitu lama menghadapi kepungan barisan pedang Liok-hap-tin!”

Ca Cu-jing, Ting Yan-san dan Leng Kong-siau diam-diam mencemaskan Nyo Bun-giau. Kalau tak lekas menolong orang she Nyo itu dari kepungan keenam bocah, tentu mereka akan kehilangan seorang tenaga yang berharga.

Karena mempunyai pikiran sama, setelah saling bertukar pandang sejenak, Ca Cu-jing berseru, “Kita harus berusaha untuk menolong saudara Nyo keluar dari barisan anak itu!”

“Ya, akupun mempunyai pikiran begitu juga,” sahut Leng Kong slaw

“Tidak! Jangan bersikap sok-pintar?” Ting Ling menyeletuk dingin.

“Siapa suruh engkau campur mulut, budak setan!” bentak Ting Yan-san marah.

Cong To yang berdiri beberapa meter dari tempat mereka kedengaran mendengus dingin, serunya, “Ting losam, mungkin selamanya engkau gemar menghina anak keponakanmu saja. Telinga pengemis tua gatal juga. Karena Ting Ling sudah menjadi puteri angkatku, kelak janganlah engkau sembarangan menghinanya didepanku….”

Juga Ca Cu-jing menyeletuk, “Keponakanmu itu amat cerdas sekali. Karena ia mencegah, tentu mempunyai alasan yang kuat!”

Ting Yan-san berpaling memadang Ting Ling tetapi tak bicara apa-apa. Hanya dalam hati ia menimang, “Kalau begitu, nama budak perempuan itu tak kalah tenar dengan aku!”

Berkata Ca Cu-jing kepada Ting Ling, “Nama nona yang termashyur, sudah lama kudengar. .”

Ting Ling tertawa hambar. “Ah, pujian yang terlalu tinggi. Toh kita semua takkan dapat tinggalkan tempat pekuburan ini dengan selamat. Mati sekarang atau nanti, sama saja. Sekalipun kalian mau mendengar kata-kataku dan menolong Nyo Bun-giau, tetapi waktupun sudah terlambat.”

Ih Thian-heng tertawa nyaring, “Kedua nona dari lembah Raja Setan itu memang tak bernama kosong. Sayang mereka kawanan manusia yang tak mengerti maksud nona. Silahkan engkau memberi penjelasan kepada mereka!”

Ca Cu-jing, Leng Kong siau, Ting Yan-san dan lain-lain tak mengerti apa yang dikatakan Ih Thian-heng. Serempak mereka berpaling dan menegas, “Apa yang dikatakan Ih Thian heng itu?”

Ting Ling tertawa tawar, “Aku tak percaya kalau dia sungguh-sungguh tahu apa yang kupikirkan maka dia pura-pura suruh aku mengatakan ..

Ih Thian-heng tertawa, “Kalau engkau tak percaya, bagaimana kalau kuterangkan?”

“Silahkan!” sambut Ting Ling.

Ih Thian-heng mengusap jenggot seraya tertawa. Pelahan-lahan ia sapukan pandang mata memandang ke arah Ca Cu-jing dan kawan2nya, lalu berkata, “ Aku sungguh merasa kasihan terhadap kalian ini. Karena dalam kepandaian dan kecerdasan otak ternyata tak dapat menyamai seorang anak perempuan.”

Tiba-tiba ia mengangkat kedua tangannya dan menampar dua kali. Teriaknya kepada keenam bocah, “Hai, kalian mundur semua!”

Barisan keenam bocah itupun segera menyurut mundur. Tetapi kawanan Baju Hitam yang meajaga diempat penjuru itu cepat mengisi tempat yang ditinggalkan keenam bocah tadi.

Berkata Ih Thian-heng pula, “Walaupun karena Nyo Bun-giau terkepung dalam barisan Liokhap-tin kalian telah berkurang seorang tenaga yang hehat, tetapi dalam barisan Thian-kong- tin ini pun tetapi kutinggalkan sebuah lubang tabung emas yang berisi bermacam senjata rahasia yang ganas pun tak mampu untuk menyerang. Jika kalian dapat menyerbu ke Liok hap tin pada waktu yang tepat. bukan saja dapat menolong Nyo Bun- giau, pun akan lobos juga dari kepungan ini. Jika dalam keadaan begitu, akupun sukar untuk mengepung kalian lagi!”

Ih Thian-heng tersenyum lalu memandang Ting Ling, “Jika nona mau berlaku jujur, nona tentu mau mengakui bahwa kata-kata itu adalah merupakan isi hati nona, bukan?”

“Engkau menduga tepat,” Ting Ling mengangguk. Ih Thian-heng tertawa. “Akupun harus berterima-kasih atas peringatan nona.”

“Ah, jangan keliwat sungkan.”

Sekalian orang gagah yang mendengar percakapan kedua orang itu hanya ter-longong2 tak dapat bicara.

Kemudian Nyo Bun-giau pe-lahan2 menghampiri ke tempat rombongan orang gagah dan berkata dengan berbisik, “Baiklah kita berpencar diri untuk menghadapi musuh. Sebaliknya setiap orang mencari sebuah kuburan untuk melindungi diri dari taburan senjata rahasia musuh!”

Ca Cu jing memaudang kesekeliling penjuru. Ternyata tempat mereka berada diantara gunduk2 kuburan yang tak jauh satu sama lalu. Segera ia mengangguk, “Cara itupun baik sekali. Asal kita dapat menghindari tahuran senjata rahasia mereka, tentu kita tak sampai kalah dalam pertempuran ini….” – tiba-tiba ia lantangkan suara berteriak, “Ih Thian-heng mempunyai rencana untuk membasmi habis kita semua. Sekalian orang yang hadir disini, sebaiknya bersatu padu, menghapuskan segala dendam permusuhan. Karena yang kita hadapi saat ini adalah suatu pertempuran mati hidup. Hanya dengan bersatu-padu, barulah kita dapat menghadapi musuh. Jika kita masih terpecah-belah mengandung dendam sendiri-sendiri, tentulah akhinya kita akan mati satu demi satu .”

Kembali ia batuk-batuk, lalu bertanya, “Entah bagaimana pendapat saudara Cong kepada usulku itu?”

Cong To tersenyum, “Dalam sepanjang hidupku. pengemis tua ini hanya membedakan garis2 yang salah dan yang benar. Dan aku selalu berdiri di tempat yang penuh Kebajikan dan Keluhuran. Sekalipun tulang belulangku hancur lebur, aku tetap tak sayang. Soal mati atau hidup, sudah tak kupikirkan lagi….”

Ih Thian-heng tertawa panjang untuk memutus kata-kata Cong To yang belum selesai itu, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, memang saudara Conglah yang paling kukagumi sendiri. Sebenarnya tak layaklah kalau saudara harus mati bersama mereka. Kalau saudara Cong ingin meninggalkan tempat ini, akupun takkan merintangi.”

Cong To menyahut dingin, “Bahwa pertolongan yang kulakukan kepadamu tadi. sama sekali bukan bermaksud untuk mengikat persahabatan dengan engkau. Melainkan karena kupikir engkau belum mengunjukkan seluruh kejahatanmu belum waktunya harus ditumpas….”

“Betapapun saudara Cong mengandung pikiran macam2 kepadaku, tetapi aku tetap berterimakasih. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membalas budi, namun kalau saudara tetap berkeras kepala, apa boleh buat, akupun terpaksa harus meluluskan keinginan saudara itu….”

Chong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Jangan buru-buru bermulut besar dulu! Saat ini belum dapat diketahui siapa yang menang dan siapa kalah. Walaupun pengemis tua tak puas akan orang-orang Dua Lembah dan Tiga Marga itu namun dalam saat dan tepat seperti ini, pengemis tua pun tak dapat meninggalkan mereka….”

“Karena saudara Cong berkeras hendak menentang aku, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Nah, barisan Thian-kong-tin sudah akan bergerak, harap saudara Cong ber-hati-hati!” – sekali tangan diangkat, maka kawanan orang Baju Hitam yang mengepung di empat penjuru itu segera maju merapat dalam bentuk lingkaran.

Nyo Bun-giau cepat miringkan tubuh dan terus menyurut di balik sebuah kuburan. Ca Cu-jing, Leng Kong-siau, Ting Yan san dan beberapa orangpun segera meniru langkah itu. Hanya Cong To dan Han Ping yang tetap tak bergerak dari tempat dan tak mau bersembunyi dibalik makam Saat itu barisan Thian-kong tin sudah bergerak. Kawanan Baju Hitam diempat penjuru pun sudah maju merapat.

Cong Co ber-kilat2 matanya. Tiba-tiba ia ulurkan tangan menjemput sebatang ranting kering di tanah. Sambil di-putar2 ia tertawa “Sudah sejak ber-puluh2 tahun pengemis tua tak menggunakan senjata….”

Melihat itu Ih Thian-hengpun berseru, “Bah.”

“Bahwa hari ini saudara Cong mau mempertunjukkan kepandaian ranting kering untuk mengganti pedang, itu berarti memandang tinggi terhadap diriku.”

“Berhenti! Berani melangkah maju lagi, aku tentu turuntangan!” tiba-tiba Han Ping membentak keras. Oleh karena dia yang paling dekat jaraknya maka ketika kawanan Baju Hitam itu menghampiri, ia cepat membentak mereka.

Baju Hitam yang maju menghampiri itu dari kaki sampai ke ujung kepala, dibungkus dengan kain hitam. Hanya pada bagian mata yang diberi berlubang. Tangannyapun memakai sarung tangan istimewa. Bentakan Han Ping itu tak dihiraukan. Mereka tetap melangkah maju.

Pada tempat kuburan yang sunyi senyap, tampak kawanan Baju Hitam bergerak maju pelahan2. Benar-benar menimbulkan suatu pemandangan yang seram sekali. Se-konyong2 sesosok tubuh muncul dari balik segunduk makam terus lari menghampiri Han Ping.

Saat itu sebenarnya Cong To sudah ber-siap2 hendak membantu Han Ping. Karena munculnya orang itu dengan lengking teriakan yang nyaring, membuat pengemis tua terkesiap kaget. Begitu mengetahui siapa orang itu, iapun cepat membentaknya ; “Ling-ji, lekas mundur kembali!”

Pendatang yang bukan lain Ting Ling, menyahut, “Yah, jangan menguatirkan diriku. aku toh takkan hidup lama!”

Tergopoh Han Ping berseru, “Tidak, racun pada lukamu itu sudah disembuhkan oleh ular berbisa. Jangan bicara yang bukan2….”

Belum ia selesai bicara, Ting Lingpun sudah tiba disampingnya dan berkata dengan lembut, “Menghadapi musuh yang begitu tangguh, mengapa engkau tak menggunakan pedang?”

Han Ping tertegun., “Aku tak punya senjata.” tiba-tiba ia teringat akan Pedang Pemutus Asmara yang disimpan dalam bajunya.

Maka tersenyumlah ia. “Ya, aku menyimpan pedang dalam baju, silahkan engkau kembali ke tempatmu lagi.”

Ting Ling sejenak memandang keempat penjuru, serunya, “Ah, terlambat….aku sudah tak dapat kembali lagi!”

Ketika Han Ping berpaling, dilihatnya kawanan Baju Hitam itu sudah tiba dua meter didekatnya. Mereka berhenti lalu pe- lahan2 mengambil kuda2 untuk menyerang.

Ting Ling bersikap tenang-tenang saja. Sambil mengulum senyum, ia menghampiri kesamping Han Ping.

Saat itu Han Ping sedang mencurahkan semangat dan perhatiannya kepada kawanan Baju Hitam. Tiba-tiba hidungnya terbaur angin wangi.

Cepat ia berpaling dan membentak, “Mengapa engkau masih berada disini?”

Ting Ling tertawa rawan, “Kupercaya engkau tentu mampu melindungi keselamatanku. Makin dekat kepadamu, nyaliku makin besar.!”

Han Ping tertegun. Tiba-tiba ia menengadah ke langit dan tertawa nyaring, “Baiklah? Jika aku tak dapat melindungimu, biarlah kuburan ini menjadi tempatku bunuh diri!”

Kiranya memang Ting Ling hendak mempunyai rencana untuk mati disamping Han Ping. Beberapa patah ucapannya tadi telah membangkitkan kegagahan hati Han Ping.

Dan jauh terdengar Kim Loji berseru, “Ping-ji, mati hidup itu soal besar. Bukan barang permainan anak2. Engkau harus hati-hati!”

Han Ping cepat mengelurkan pedang pusaka Pemutus Asmara dari dalam bajunya lalu berseru nyaring, “Harap paman jangan kuatir. Jika aku sampai mati disini, Ih Thian-hengpun jangan harap dapat pergi hidup dari sini!”

Walaupun tak keras tetapi karena menggunakan tenaga dalam, kata-kata Han Ping itu bagai dering paku dihantam pukul besi. Telinga sekalian orang mendengar jelas setiap patah yang diucapkan.

Ih Thian heng terbeliak. Ia berhenti lalu mengangkat tangan dan bertepuk tiga kali.

Kawanan Baju Hitam itupun segera melolos tabung emas dan siap menyerang. Tetapi ketika mendengar tepuk tangan Ih Thian-heng, merekapun serempak berhenti.

Memandang ke arah pedang Pemutus Asmara di tangan Han Ping, Ih Thian-hengpun tersenyum, serunya, “Pedang yang engkau cekal itu, berkilau-kilauan sinarnya. Tentulah pedang pusaka Pemutus Asmara, bukan?”

Han Ping terawa dingin, “Benar, jika hari ini engkau dapat membunuhlcu, hari ini juga pedang pusaka ini tentu engkau miliki….”

Ia berhenti sejenak lalu berseru lantang, “Tetapi kupercaya sekalipun engkau beruntung mendapatkan pedang pusaka ini tetapi engkaupun harus membayar dengan pengorbanan besar!”

“Benar,” sahut Ih Thian-heng, “tokoh-tokoh yang berada disini telah dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Tetapi yang kupandang benar-benar sebagai lawan berat hanya engkau seorang!”

Ting Ling tertawa hambar, “Kiranya tak mudah bagi seorang persilatan yang sakti untuk mendapatkan lawan yang seimbang. Oleh karena engkau menganggapnya sebagai lawan setimpal, mengapa mumpung di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, engkau tak mau bertanding satu lawan satu dengan dia? Dengan begitu, biarlah sekalian tokoh-tokoh menyaksikan kepandaian yang tiada lawannya itu!”

Ih Thian-heng tertawa tawar. “Boleh dikata setiap orang persilatan tentu ingin menantang aku. Jika setiap kali harus melayani sendiri, bukankah takkan habis2nya kubunuh mereka?”

Ting Ling tertawa dingin, “Bukankah engkau mempunyai perasaan takut dalam hatimu?”

“Hm, tak mudah engkau membakar hatiku!” dengus Ih Thian heng.

Setelah memandang ke sekeliling, Ting Ling lalu membisiki ke dekat telinga Han Ping, “Tak perlu engkau memperhatikan aku. Lekas engkau menyelinap kesamping Ih Thian-heng dan terus melibatnya, jangan sampai ia sempat lolos. Walaupun kawanan Baju Hitam itu membekal senjata rahasia yang lihay, tetapi mereka tak dapat bergerak tanpa mendapat perintah!”

Han Ping tersenyum, “Siasat itu memang tepat, tetapi siapakah yang akan melindungi dirimu?”

Ting Ling menghela napas. “Tak perlu memikirkan Aku hanya seorang anak perempuan yang lemah, selemah burung seriti di bawah – dahan pohon yang-liu itu. Asal melihat pohon yang-liu tentu akan melihat burung itu. Lain dengan engkau seorang pemuda yang gagah perwira. Seorang pendekar yang cemerlang dalam jaman ini. Mungkin keadilan, kebenaran dan ketenteraman dalam dunia persilatan, akan terletak dibahumu. Janganlah engkau karena aku….”

Berkata Han Ping dengan serius, “Jangan berkata begitu. Aku sudah berjanji hendak melindungi dirimu. Janji itu terpateri dalam hatiku. Kecuali mati, tak nanti aku ingkar pada janji itu. ..”

Ia menghela papas pelahan, “Akupun juga menyadari bahwa kali ini tipis kemungkinannya kita dapat keluar dari tanah kuburan sini. Namun aku percaya dalam pertempuran kali ini barisan Thian-kong-tin yang diandalkan Ih Thian-heng itu tentu juga hancur….”

Tiba-tiba pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Benar, benar! Dengan hancurkan barisan Thian-kong-tin yang dibanggakan Thian-heng itu, juga merupakan suatu langkah untuk membasmi bahaya dalam dunia persilatan. Kiranya untuk itu, matipun kita tak menyesal!”

Rupanya ucapan yang gagah dari Han Ping dan Cong To itu telah membangkit nyali Ca Cu jing, Nyo Bun-giau dan lain-lain. Tampak dari balik gunduk tanah2 makam itu, mereka serempak berdiri.

Berserulah Nyo Bun-giau, “Ucapan saudara Cong memang tepat. Tetapi kita tak boleh hanya mengandalkan kegagahan dan memburu ambisi untuk menghadapi senjata mereka .”

Diam-diam Ih Thian-heng terkejut mengetahui keadaan tokoh-tokoh itu. Dalam saat2 berbahaya, mereka telah bersatu. Jika dibiarkan mereka berunding lebih lanjut, tentu Han Ping dan Cong To akan sadar bahwa mereka tak boleh mengandalkan kegagahan saja. Untuk mencegah terjadinya perobahan yang tak menguntungkan, cepat Ih Thian-heng mengangkat tangan kanannya dan berseru nyaring, “Karena sekalian saudara hendak menjual jiwa untuk kepentingan dunia persilatan, akupun terpaksa akan membantu keinginan saudara-saudara itu!”

Sekali tangannya melambai, dari empat penjuru, kawanan Baju Hitam itupun segera maju menerjang. Han Ping menggembor keras sambil menghantam dengan tangan kiri. Seorang Baju Hitam yang berada paling depan, tersurut mundur dua langkah.

Barisan Thian-kong-tin itu merupakan barisan yang bergerak ber-putar2, bergantian tempat. Karena salah seorang anggotanya menderita luka, maka gerakan barisan itupun agak lambat jalannya, Han Ping cepat mendorong tubuh Ting Ling, serunya, “Lekas engkau bersembunyi agar jangan sampai berkorban sia2 .” – habis berkata pemuda itu terus melambung ke udara dan menerjang ke tengah barisan.

Tempat persembunyian Ca Cu jing paling dekat dengan tempat Han Ping menyerbu. Diam-diam Ca Cu-jing kerahkan tenaga-dalam dan lepaskan pukulan Peh-poh- sin kun dari tempatnya.

Pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan-sakti seratus-langkah dari marga Ca, merupakan ilmu sakti yang tiada keduanya dalam dunia persilatan. Apabila sudah mencapai tataran tinggi, dari jarak seratus langkah, pukulan itu dapat membunuh korban. Peh-poh-sin-kun jauh lebih hebat dari pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang.

Ca Cu-jing mempelajari ilmu pukulan itu ber-puluh2 tahun. Tenaga-dalamnya mencapai tataran yang tinggi. Dan pukulan Peh-poh-sin-kun yang dilontarkan saat itu, dilambari dengan tenaga penuh. Dapat dibayangkan betapa kedahsyatannya.

Segera terdengar seorang Baju Hitam menjerit ngeri. Dia termakan dadanya oleh pukulan maut itu. Setelah beberapa kali muntah darah, orang itupun rubuh ke tanah.

Nyo Bun-giau tertawa nyaring, “Ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum sekali….” – tiba-tiba segulung asap tebal melanda dari arah betakang. Cepat ia berjongkok lalu menyelinap ke balik makam dan lontarkan sebuah pukulan.

Terlanda pukulan Nyo Bun- giau, gulungan asap tebal itu segera berhamburan buyar.

Pada saat itu terdengar beberapa jeritan ngeri.

Ketika Nyo Bun giau berpaling dilihatnya Han Ping sedang mengamuk dengan pedang pusaka. Tiga orang Baju Hitam terkapar mati.

Melihat Han Ping menerjang kedalam barisan dan unjuk kegagahan, Ih Thian-heng terkejut. Pemuda itu mengamuk tanpa dapat ditahan. Dan karena jaraknya amat dekat, kawanan Baju Hitam itupun tak dapat menggunakan tabungnya. Jika beberapa anggota Baju Hitam terluka lagi, barisan kong-tin tentu akan kacau balau.

Belum Ih Thian-heng sempat membuat rencana. Pengemis-sakti Cong To sudah loncat menyerangnya dengan batang bambu. Ih Thian-heng tertawa dingin seraya kebutkan lengan baju menamparnya. Setelah sambaran angin mdanda, menyusul baru pukulannya. Cong To terpaksa menarik pulang bambu untuk melindungi diri dan mundur selangkah.

Cong To merasa bahwa tenaga pukulan Ih Thian-heng hebat bukan kepalang. Diam-diam ia membenarkan kata-kata Ting Ling tadi bahwa Ih Thian-heng itu hanya pura-pura terluka. Ia memutuskan, sekalipun tak dapat mengalahkan tetapi se-kurang2nya ia pasti dapat melayani Ih Thian-heng sampai empat lima ratus jurus.

Dengan keputusan itu, mantaplah hatinya. Ia kerahkan semangat untuk menempurnya.

Kebalikannya, Ih Thian- heng tak begitu menghiraukan tingkah laku Cong To. Memandang ke sekeliling, ia berseru lantang, “Hai, jangan mendesak maju lagi. Lekas gunakan senjata rahasia. Baik mati atau hidup, dengan cara apa saja, yang penting harus melukai musuh!”

Ternyata, bermula Ih Thian-heng sudah mempunyai rencana tertentu. Ia hendak gunakan kewibawaan barisan Thian-kong-tin untuk memaksa sekalian tokoh-tokoh gagah itu menyerah padanya.

Setelah mendapat tambahan tenaga mereka, barulah ia akan menghadapi fihak Lam-hay-bun. Oleh karena itu maka ia memberi pesan rahasia kepada barisan Thian-kong-tin, sedapat mungkin supaya menghindari pembunuhan. Jika tak terpaksa karena terdesak, jangan sampai melukai mereka.

Tetapi ternyata situasi saat itu berobah.

Turunnya Han Ping ke gelanggang dan matinya beberapa anggota barisan Thian- kong-tin telah mengacaukan rencananya. Dalam kebingungan, Ih Thian heng telah merobah rencana. Ia menyerukan kepada. kawanan Baju Hitam dari barisan Thian-kong-tin, bahwa larangannya melukai musuh sudah dihapus.

Setelah mendapat perintah itu, kawanan Baju Hitam tak mau berkukuh menjaga pos kedudukannya lagi. Mereka segera berpencar mundur kesamping. Adalah Ting Ling yang cepat merasakan sesuatu yang tak wajar pada gerakan musuh. ia segera memanggil Han Ping, “Ji siangkong,lekas tendanglah gundukan tanah itu!”

Han Ping percaya apa yang diperintah nona itu. Cepat ia menendang gundukan tanah merah di sebelahnya. Bluk….. tanah muncrat berhamburan sampai tiga tombak tingginya sehingga mengaburkan pandang mata orang.

“Ji siangkong, cepatlah kemari…” tiba-tiba Ting Ling berseru pula.

Han Ping terkejut. Ia duga nona itu tentu menghadapi bahaya. Maka cepat ia loncat melambung ketempat sinona.

Untung arah yang dituju itu tepat. Ketika meluncur ketanah, ia hanya terpisah semeter dari tempat Ting Ling.

Begitu pemuda itu tiba, Ting Lingpun cepat meraih tangannya dan berseru. “Lekas rebahkan diri….”

Han Ping memberi reaksi yang cepat sekali.

Begitu Ting Ling berkata, ia sudah cepat memeluk nona itu terus bergelundungan di tanah untuk menghindari taburan jarum yang sehalus rambut. Setelah itu, ia loncat bangun lalu membawa loncat nona itu ke sebuah makam. Dalam saat2 yang berbahaya itu, ia kerahkan seluruh tenaganya, Maka walaupun membawa tubuh Ting Ling tetap ia dapat melesat dengan pesat.

Se-konyong2 terdengar bunyi mendesis di udara. Belasan benda ber-kilat2. berhamburan ke tempatnya. Kiranya benda2 berkilat itu adalah pelor perak beracun yang dilepas oleh dua orang Baju Hitam. Oleh karena gerakan Han Ping sedemikian pesatnya, mereka tak dapat mengejar, maka menggunakan senjata rahasia itu untuk menyerangnya.

Han Pingpun cepat taburkan Pedang Pemutus Asmara. Terdengar bunyi bergemerincingan. Pelor2 beracun itu berhamburan tersapu bersih.

Saat itu Ting Ling tetap memeluk pinggang Han Ping. Sepasang mata nona itu meram2 melek, pipinya ditempelkan lekat2 kedada Han Ping. Mulutnya menyungging senyum bahagia. Rupanya ia sudah tak menghiraukan soal mati atau hidup lagi.

Setelah menyapu pelor2 beracun, Han Ping lanjutkan gerakannya meluncur ke belakang makam itu.

Dengan memanggul Ting Ling, Han Ping loncat keudara untuk menghindari taburan jarum beracun dari kedua orang Baju Hitam . .

Saat itu Cong To yang sudah kerahkan tenaga-dalam, tiba-tiba ayunkan batang bambu menyabat kepala Ih Thian-heng.

Saat itu Ih Thian-heng sedang gelisab karena melihat Han Ping membawa Ting Ling ke balik gundukan makam. Pikirnya, “Jika mereka dapat menggunakan siasat berlindung dibalik makam, tentu sukar untuk melukai mereka….”

Belum sempat mencari akal, tiba-tiba Cong To sudah menyerangnya. Ih Thian-heng marah dan kebutkan lengan bajunya menangkis lalu lanjutkan menampar dada Cong To, seraya berseru, “Selama berpuluh tahun ini, aku selalu mengalah terhadap saudara. Tetapi rupanya saudara Cong selalu hendak memusuhi aku saja. Dalam pertempuran hari ini, kalau bukan aku yang terluka ditangan saudara Cong, tentu saudara Cong yang terluka ditanganku.”

Cong To lintangkan bambunya untuk menghalau pukulan Ih Thian- heng, “Bagus, bagus, hari ini kita dapat menyelesaikan budi dan dendam yang sudah ber-tumpuk2. Suatu peristiwa yang menggembirakan dalam kehidupan kita. Hanya saja pengemis tua mengharap agar dalam menentukan siapa yang berhak hidup dalam dunia supaya menggunakan ilmu kepandaian yang sesungguhnya. jangan memakai tipu muslihat untuk menyerang secara gelap!”

Dalam pada berkata-kata. itu, Cong To pun bolang balingkan bambu dan lancarkan empat jurus serangan. Ih Thian-heng menangkis dengan kedna tangannya, serunya, “saudara Cong mempunyai selera, aku tentu senang untuk menemani.” – Lima jurus serangan ber-turut2 dilancarkan kepada lawan. Kelima jurus itu cepat dan dahsyat sekali sehingga memaksa Cong To mundur dua langkah.

Tiba-tiba Nyo Bun- giau berteriak nyaring, “Ih Thian-heng berhati ganas, kata-katanya tak dapat dipercaya. Harap saudara Cong jangan kena dikelabuinya. Lekas saudara mundur ke balik makam. Kalau kita masing-masing menduduki sebuah makam dan saling bantu membantu, kita tentu dapat bertahan lama. Setelah malam tiba, barulah kita daya untuk menghancurkan barisan Thian-kong-tin mereka!”

Dalam pada Nyo Bun-giau ber-kata-kata itu, Ih Thian-heng dan Cong To sudah bertempur sampai 20 jurus lebih. Pukulan Ih Thian-heng makin lama makin keras dan yang diarah selalu jalan darah yang berbahaya. Dalam keadaan seperti itu, Cong To tak berdaya untuk menghindar mundur lagi.

Barisan Baju Hitampun tak mau mendesak main lagi. Mareka berpencar diri dan menempati tempat2 tersendiri untuk menunggu kesempatan menyerang

Sementara itu Han Ping dan Ting Lingpun sudah selamat menyelinap kebalik sebuah makam, Ting Ling tetap memeluknya erat2.

Han Ping kerutkan alis dan berkata, “Harap nona suka lepaskan diriku, aku hendak menghadapi musuh!”

Ting Ling pe-lahan2 membuka mata dan tertawa kecut. “Apa? Apakah kita masih hidup?”

Han Ping tertegun. Pada saat ia hendak bicara, Ting Ling tertawa dan beranjak bangun, ujarnya, “Pedang Pemutus Asmara yang engkau pegang itu, benar-benar tak bernama kosong Sekali dimainkan, dapat menghambur hawa dingin yang menyeramkan.”

Melihat nona itu tertawa riang seperti biasanya, tahulah Han Ping bahwa nona itu tidak menderita ketakutan. Dan jelas kalau tadi memang sengaja hendak memeluknya. Karena mendongkol, Han Ping palingkan muka tak mau melihat nona itu lagi. Begitu berpaling, ia melihat Cong To dan Ih Thian-heng sedang bertempur seru sekali.

Walaupun Cong To membawa sebatang bambu tetapi jelas masih terdesak oleh lawan.

Pertempuran itu benar-benar dahsyat sekali. Setiap gerak serangan dan tangkisan, selalu dilakukan dengan cepat dan keras serta membawa maut,

Tiba-tiba Ting Ling berteriak dan timpukkan sebutir batu.

Saat itu Han Ping tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti pertempuran dahsyat dari Cong To lawan Ih Thian-heng. Pada saat mendengar jeritan Ting Ling ia tersadar. Ketika berpaling ternyata ketiga Baju Hitam itu tengah arahkan tabung emasnya kepadanya dan Ting Ling. Kejut Han Ping tak terkira. Diam-diam ia bersyukur kepada Ting Ling. Jika nona itu tak menjerit, tentu saat itu ia sudah termakan senjata rahasia dari Baju Hitam yang ganas dan tak bersuara.

Han Pingpun cepat menarik Ting Ling, loncat menghindar kesamping. Tiba-tiba salah seorang Baju Hitam itu tersurut mundur dua langkah seperti terkena timpukan suatu benda. Begitupun tabung emasnnya juga jatuh ketanah.

“Orang itu terkena pukulan Peh-poh-sin-kun dari Ca Cu-jing!” bisik Ting Ling.

Walau makam tempat Han Ping dan Ting Ling bersembunyi itu cukup besar. tetapi empat penjuru sudah dikepung oleh kawanan Baju hitam yang siap dengan tabung emasnya. Hendak bersembunyi kemanapun tetap dapat ditahur mereka. Han Ping menghela napas, “Melihat keadaan saat ini, jika kita tak menggabungkan diri pada Nyo Bun-giau untuk melawan mereka, kita tentu sukar lolos dari ancaman Baju Hitam!”

“Benar,” sahut Ting.Ling, “Pendekar besar, pahlawan besar, tidak hanya mengandalkan kegagahannya saja. Tetapi harus dapat mengetahui kekuatan lawan dan dirinya sendiri, mengenal situasi dan kondisi, baru dapat mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi. Bahwa engkau telah mempunyai pertimbangan itu tadi, sudah…..” – tiba-tiba nona itu merasa bahwa ucapannya itu bernada seperti mengajari orang, maka buru-buru ia beralih nada, “Harap jangan marah, aku . ..”

Han Ping cepat menukas, “Kecerdasan dan kepandaianmu memang telah termasyhur didunia persilatan. Walaupun ada beberapa pandanganmu yang masih berbau aliran Hitam, tetapi pada umumnya memang tepat dengan keadaan.”

Ting Ling tertawa, “Jika lain orang memuji aku, aku hanya ganda tertawa. Tetapi karena engkau juga memuji begitu, benar-benar aku merasa gembira sekali . ..”

Tiba-tiba terdengar Nyo Bun-giau berseru, “Keadaan saat ini, sukar diketahui bagaimana kesudahannya. Harap saudara Ca tak perlu memikirkan soal budi lagi…..”

Mungkin karena diserang musuh, maka Nyo Bun-giau tak melanjutkan kata-katanya.

Ting Ling kerutkan alis tertawa, “Rupanya Nyo Bun-giau itu memperingatkan Ca Cu-jing supaya menggunakan jarum beracun Hong wi-ciam untuk menghadap barisan Thian-kong-tin.

Tiba-tiba Han Ping menggembor keras dan beranjak keatas seraya taburkan pedang Pemutus Asmara. Terdengar beberapa suara mendering halus dari beberapa batang jarum yang berhamburan jatuh ke tanah. Tiba-tiba Ting Ling juga mendapat pikiran. Segera ia melolos sabuk pinggangnya lalu dilipat dua dan dipegang dalam tangannya.

Tetapi serempak dengan itu, serangkum angin menyambar belakang kepalanya. Buru-buru ia mengendap dan condongkan tubuh kesamping.

Tring….dua butir pelor perak menyambar di sisi rambutnya dan terhantam pedang Han Ping.

Dalam pada itu dari jauh terdengar bentakan Leng Kong-siau dan Ting Yan-san. Rupanya kedua orang itu juga sedang menghadapi serangan musuh.

Menyusul Ca Cu-jingpun membentak keras, “Giok-ji, lekas mengendap kebawah. Biar ayah yang menahan serangan musuh!”

Dari balik segunduk makam, muncullah ketua marga Ca itu. Tangan kanan menghantam dengan Peh-poh-sin-ciang. Tangan kiri menabur serangkum jarum Hong-wi-ciam.

Ting Ling menghela napas, “Dalam saat dan tempat seperti ini, memang paling tepat menggunakan senjata rahasia. Sayang kita tak membawa senjata rahasia . ..”

Tepat pada waktu ia berkata sampai disitu, terdengar angin mengaum diudara, segerumbul pelor melayang ke arahnya.

Ting Ling segera menyambutnya dengan sabetan sabuk pinggangnya. Beberapa batang jarum memang dapat disabatnya jatuh tetapi karena tenaga-dalamnya masih belum pulih hingga ia tak dapat memainkan sabuk pinggangnya dengan gencar, maka diantara ber-puluh2 pelor perak itu, ada sebuah yang lolos dan menghantam lengan kirinya. Ting Ling rasakan lengannya seperti terbakar api, sakitnya bukan kepalang. Dan seketika itu lengannya membegap sebesar biji kelengkeng yang berwarna biru matang.

Karena sakitnya, Ting Ling hampir menjerit. Tetapi karena kuatir mengganggu perhatian Han Ping, terpaksa ia tahankan.

Han Ping berpaling dan melihat luka nona itu ia kerutkan kening, “Bagaimana? Apakah lukamu parah?”

Ting Ling tersenyum, “Tak apa, tidak begitu parah. Tetapi kalau terus menerus begini saja menghadapi musuh, bukan cara yang tepat. Dalam waktu sejam, mungkin kita semua akan terluka oleh kawanan Baju Hitam itu.”

“Benar,” sahut Han Ping. “memang cara ini tidak tepat. Lebih baik kita menyerbu barisan mereka. Sekalipun tak dapat menghancurkan barisan Thian-kong-tin, tetapi paling tidak tentu dapat melukai mereka sebagian. Kalau duduk menunggu kematian, lebih baik kita bertempur mengadu jiwa!”

Kata Ting Ling, “Saat ini memang sudah terlambat. Musuh dengan mengandalkan tabung senjata rahasia itu telah mengepung kita. Betapapun kepandaian kita, tetap tak mampu menerobos dari hujan senjata rahasia mereka. Ai, tadi waktu engkau berada dalam barisan Thian-kong-tin, jika Nyo Bun-giau dan lain-lain dapat menggunakan kesempatan untuk menerobos keluar, mungkin masih ada setitik harapan. Tetapi sekarang sudah terlambat……”

Kata-kata nona itu terputus oleh sebuah jeritan ngeri yang rupanya berasal dari mulut Ca Giok.

“Nona Ting, apakah itu bukan suara Ca Giok?” tanya Han Ping.

“Benar, dia tentu terluka!”

Han Ping kerutkan kening lalu berbisik kepada Ting Ling, “Harap engkau menjaga diri disini, aku hendak menerjang Thian-kong-Tin.”

Ting Ling gelengkan kepala, “Saat ini janganlah menuruti nafsu kegagahan dan bertindak secara gegabah .”

“Apakah kita harus menunggu kematian disini?” balas Han Ping.

“Keadaan saat ini…..” tiba-tiba segulung asap tebal melayang ketempat kedua anak muda itu. Han Ping cepat menyambar tubuh Ting Ling terus dibawa loncat menuju ke lain makam, “Tutup.”

Ia gunakan sepenuh tenaga untuk loncat. Maka ketika musuh hendak menyusuli menabur senjata rahasia lagi, Han Ping sudah tiba dibelakang makam marmar hijau. Dilihatnya Ca Cu-jing sedang memeluk Ca Giok. Wajah ketua marga Ca itu merah padam, sepasang matanya berkilat2 memancar api.

Begitu angin menyambar, dengan kalap Ca Cu-jing terus hendak menghantam. Ting Ling buru-buru berseru, “Paman Ca, akulah!”

Mendengar itu Ca Cu-jing buru-buru menarik pulang tangannya. Sedang begitu tiba di tanah, Han Ping terus berseru menanyakan keadaan Ca Ciok.

Ca Giok memandang Han Ping, “Terima kasih, saudara Ji. Aku telah menderita dua batang jarum beracun!”

Memandang ke arah kedua anak muda itu. Ca Cu-jingpun berseru kaget, “Hai, apakah nona Ting juga terluka?”

“Dia terkena sebuah pelor perak!” jawab Han Ping.

“Harap saudara ji menjaga serangan nmsuh, aku hendak mengobati mereka,” kata Ca Cujing.

Han Ping mengangguk lalu berdiri. Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebotol pil, manuang dua butir lalu diberikan masing-masing sebutir kepada Ting Ling dan Ca Ciok. katanya, “Lekas minumlah pil pemunah racun ini. Senjata rahasia dari tabung emas itu mungkin mengandung racun….”

Belum ia selesai berkata, tiba-tiba terdengar Han Ping menggembor keras dan menghantam. Menyusul gulung api meluncur ke arah tempat mereka. Ca Cu-jing cepat bertindak. Tangan kin memeluk Ca Giok dan tangan kanan memeluk Ting Ling, Ia ber-guling2 di tanah, menghindar kesamping.

Bum….tepat pada saat mereka menyingkir, gulungan api itupun jatuh ketanah, meletup dan menghamburkan percikan api yang me-nyala2.

Han Ping lepaskan sebuah hantaman untuk menghalau api yang hendak melandanya. Kemudian ia berbalik tubuh dan loncat kesamping Ca Cu-jing. Ia putar pedang Pemutus Asmara untuk mengenyahkan segerombol pelor perak yang melayang ke arah ketiga orang itu.

Ca Cu-jing beranjak loncat ke balik sebuah akam marmar hijau. Disitu dilihatnya separuh tubuh Nyo Bun-giau bersembunyi dibalik makam to dan separuh tubuhnya berada di luar untuk menempur kedua bocah baju putih. Disebelah makam itu terdapat dua buah makam lagi, Disitu Leng Kong-siau dan Ting Yan-san sedang berlindung untuk melakukan perlawanan.

Cepat Ca Cu-jing letakkan Ca Giok dan Ting ing, Ketika mengangkat muka memandang ke depan, seorang Baju Hitam menerobos masuk, tabung emas diangkat dan diarahkan ke punggung Nyo Bun-giau. Melihat itu Ca Cu-jing segera lepaskan pukulan Peh-poh-sin-ciang. Belum si Baju Hitam itu sempat menekan tabungnya, lengannya sudah tersambar angin pukulan Peh-poh-sin-ciang. tabung terpental jatuh dan orangnyapun tersurut mundur dua langkah ke belakang. Melihat pukulannya berhasil, Ca Cu-jing segera menyerhu maju dan menghantam dengan jurus Awan turun dari langit.

Oleh karena termakan pukulan Ca Cu-jing tangan si Baju Hitam itu terluka dan gerakannyapun tidak leluasa lagi. Untuk hantaman Ca Cu – jing yang terakhir itu, ia tak dapat menghindar lagi. Maka terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis.

Krak .. . tenaga-dalam dari Ca Cing jing yang keras membuat si Baju Hitam terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Apabila Ca Cu-jing menyusuli pukulan lagi, terang Baju Hitam itu tentu binasa. Tetapi ketua marga Ca itu menggunakan siasat. Ia ulurkan tangan kiri gunakan ilmu Kinna-jiu untuk menyengkeram siku kanan orang itu.

Pada saat itu Nyo Bun-giau kebetulan berpaling. Ia berseru girang. “Bagus saudara Ca, engkau dapat menangkap hidup seorang!”

Ca Cu-jing tertawa nyaring, “Pernahkah saudara Nyo melihat seorang tawanan hidup? Hendak kulihat orang yang telah dilatih dengan susah payah oleh Ih Thian-heng, apakah….”

Belum habis berkata, tiba-tiba dua sosok tubuh putih melayang tiba seraya menghantam dengan pedang.

Ca Cu-jing mengangkat tubuh si Baju Hitam tadi terus diputar untuk menangkis serangan pedang. ternyata yang menyerang itu adalah dua bocah baju putih. Oleh karena takut akan melukai si Daju Hitam, kedua bocah baju putih itupun segera hentikan serangannya. Mereka adalah kedua bocah yang menyerang Nyo Bun-giau tadi.

Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. Ia putar tubuh Baju Hitam dengan jurus Menyapu ribuan-pasukan dan memaksa kedua bocah baju putih itu mundur dua langkah.

Terdengar Leng Kong-siau berteriak dengan suara yang brengsek macam tambur pecah, “Saudara Ting, hati-hatilah. Aku sudah terkena empat batang jarum beracun, mungkin sudah tak dapat melawan lagi!”

Ting Yan-san mencekal kebut hud-tim di tangan kiri dan tangan kanan memegang pedang. Ia putar kedua senjata itu sederas hujan mencurah untuk menghalau hamburan senjata rahasia musuh. Mendengar teriakan Leng Kong -siau itu, semangatnya terganggu, gerakannya agak lamban, Sebatang jarum telah lolos dan menyusup untuk menghalau hamburan senjata rahasia musuk ketika mendengar teriakan Leng Kong-siau, perhatiannya terganggu. Sebatang jarum lobos dari hantamannya dan menyusup ke lengan kirinya. Seketika ia rasakan kesakitan hebat sehingga pedangnya jatuh dan buru-buru ia menyurut bersembunyi dibalik makam.

Melihat itu musuh segera menyerbu. Empat atau lima orang Baju Hitam segera menerobos. Begitu berada dibelakang makam, cepat mereka pencar diri lalu mengacungkan tabung emas kepada musuhnya. Ca Cu-jing mengempos semangat_ Waktu ia hendak lepaskan pukulan Peh-poh-sinkun. tiba-tiba terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin, “Harap saudara Ca jangan buru-buru turun tangan dulu. Perhatikan dulu keadaan saat ini baru nanti melanjutkan pertempuran mati2an lagi!”

Ca Cu -jing tertegun dan hentikan tangannya. Tetapi ia tetap bersiap menghadapi serangan kawanan Baju Hitam.

“Berhenti!” Tiba-tiba Ih Thian-heng berseru nyaring.

Saat itu Nyo Bun-giau masih sibuk bertempur dengan kawanan bocah baju putih. Mendengar teriakan Ih Thian-heng, kawanan bocah itu segera loncat mundur. Nyo Bun-giaupun berhenti. Berpaling ke belakang. seketika semangatnya menurun. Diam-diam ia menghela napas, keluhnya dalam hati, “Celaka, habislah sekarang….”

Ternyata situasi dalam gelanggang pertempuran sudah dikuasai oleh kawanan Baju Hitam. setiap orang telah dikuasai oleh dua orang Baju hitam yang mengarahkan tabung emas. Asal orang Baju hitam itu menekan alat dibawah tabung, tentu beratus-ratus batang senjata rahasia akan menabur. Tokoh-tokoh itu sudah melihat sendiri betapa kedahsyatan senjata rahasia tabung emas itu! Dan betapa banyak macam senjata rahasia itu. Setiap macam tentu mengandung racun yang ganas. Tokoh yang bagaimana tinggi kepandaiannyapun sukar untuk meloloskan diri.

Ih Thian-heng segera turun ke gundukan makam marmar hijau itu dan berkata dengan suara yang serius, “Jika saudara-saudara tetap tak mau menyerah, harap jangan salahkan aku bertindak ganas ..”

Nyo Bun-giau menyahut dingin, “Dalam pertempuran hari ini, walaupun kami kalah tetapi karena saudara Ih bukan menggunakan kepandaian yang sejati, maka kami kalah secara penasaran. Kemenangan saudara Ih itupun bukan kemenangan yang gemilang.”

Ih Thian heng menengadah tertawa gelak-gelak, serunya, “Ucapan saudara Nyo itu memang benar. Tetapi kita bukanlah orang yang baru keluar dari gundukan dan sudah mempunyai nama dalam dunia persilatan. Cita-cita dan berebut nama kosong, bukanlah langkah yang akan kita ambil….”

Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Jika saudara Nyo merasa kepandaian saudara lebih tinggi dari aku, baiklah kita cari lain kesempatan untuk mengadu kepandaian. Tetapi pada saat ini keadaannya memang berbeda sehingga aku tak sempat lagi untuk menemani saudara.”

Mata Nyo Bun-giau berkeliar kesekeliling. Dilihatnya Leng Kong-siau sedang duduk bersila mcnyalurkan napas dan tenaga dalam. Ting Yan-san duduk bersandar pada makam sambil memegang lengan kanan dengan tangan kirinya. Ting Ling dan Ca Giok duduk bersandar disamping makam, tubuhnya setengah telentang. Kim Loji herjongkok dua tombak jauhnya ditepi gerumbul rumput. Diapun terluka dan tiada berdaya lagi. Hanya Ca Cu-jing seorang sekalipun masih segar bugar tetapi sudah dikepung rapat oleh musuh apabila ketua marga Ca itu berani bergerak, tentu akan digenjot oleh musuh2nya yang bersenjata tabung emas.

Melihat keadaan itu, Nyo Bun-giau menghela napas, “Sebelum aku menyatakan menyerah, ingin aku meminta penjelasan sedikit.”

Ih Thian-heng tersenyum, “Ah, jangan sungkan, sekiranya saudara Nyo hendak memberi pesan apa-apa. asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan dengan senang hati.”

Kata Nyo Bun-giau, “Boleh dibunuh tetapi tak boleh dihina….”

“Hal itu akupun mengerti, tetapi….”

“Jika saudara Ih hendak memperbudak aku untuk mengerjakan segala perintah, itu tak mungkin sama sekali!” cepat Nyo Bun-giau menukas.

“Aku bukan bermaksud demikian,” kata Ih Thian-heng.

“Walaupun karena terpaksa oleh keadaan, hari ini aku menyerah dengan tak puas, tetapi akupun tak mau mengecewakan keinginan saudara….” Nyo Bun-giau tiba-tiba hentikan kata-katanya.

Mengerling ke samping, tampak Han Ping dan Cong To masih bertempur mati2an melawan anak buah Ih Thian-heng. Ih Thian-heng memandang kelangit, tertawa, “Sekarang masih pagi. Jika saudara Nyo mau bekerja sama dengan aku. Sebelum hari petang. kita dapat memasuki makam tunggal itu…..” – ia memandang Ca Cu-jing lalu melanjutkan kata-kata, “Di dunia persilatan telah tersiar luas bahwa partai2 persilatan, Dua Lembah dan Tiga Marga, telah bersatupadu menghadapi aku.”

“Sekalipun terdapat hal itu tetapi aku dan saudara Nyo tak ikut serta,” tiba-tiba Ca Cu-jing menyeletuk.

Ih Thian-heng tersenyum, “Ucapan saudara Ca, meskipun boleh dipercaya, tetapi aku tak menghiraukan soal itu. Sesungguhnya desas desus itu tetap desas desus. Aku memang tak percaya bahwa partai2 persilatan besar dapat bersatu dengan Dua Lembah dan Tiga Marga. Tetapi aku ingin bersama saudara Nyo dan saudara Ca, bersatu membentuk suatu pimpinan. Saudara Nyo mahir dalam ilmu Bangunan, saudara Ca memiliki kepandaian yang tinggi, jika giat berlatih ilmu barisan Pat-kwa-kiu -kiong, tentu akan hebat. Dan aku sendiri, sudah sejak berpuluh tahun tekun mempelajari ilmu kepandaian istimewa dari berbagai partai persilatan. Kupercaya hasilku tentu memadai. Jika kedua saudara mau bekerja sama dengan aku, rencana itu tentu akan berhasil. Apalagi dalam makam besar itu terdapat harta permata yang tiada tara besarnya. Jika saudara berdua mau kerja sama aku membagi rata harta benda itu. Bagaimana maksud saudara, harap lekas memberi keputusan!”

Ca Cu-jing memandang Nyo Bun-giau, tanyanya dengan bisik2, “Bagaimana pendapat saudara?”

“Aku menurut saja bagaimana keputusan saudara Ca,” sahut Nyo Bun-giau. Dia memang seorang rase tua yang licin. Dia meletakkan soal yang sulit itu pada Ca Cu-jing.

Ca Cu-jing berpaling memandang Ca Giok, lalu Ting Yan-san, Leng Kong-siau. Dia benar-benar merasa sukar untuk mengambil keputusan.

Ih Thian-heng melambaikan tangan kirinya. Seorang Baju Hitam tiba-tiba getarkan tabung emasnya. Segulung api segera menyembur ke arah Ting Yan-san, Ting Yan-san terkejut dan buru-buru loncat ke atas. Tetapi api itu cepat sekali. Belum tiba ada tubuh orang, sudah pecah berhamburan dua meter luasnya. Sudah tentu Ting Yan san tak berdaya menghindar lagi. Tubuhnya disambar gulungan api itu. Melihat itu Ting Ling menjerit dan bergeliat bangun terus lari menghampiri pamannya. Tetapi Ih Thian-hengpun segera melangkah maju menghadang seraya ulurkan tangan kanan mencekal tubuh nona itu, terus diangkatnya ke atas. Melihat itu Nyo Bun-giau berseru gopoh, “Harap saudara Nyo bermurah hati, jangan mencelakai nona itu!”

Saat itu Ting Yan-san sedang ber-guling2 di tanah. Tetapi api yang menyambar tubuhnya pun keras sekali. Pada waktu ia tengkurap, api di dadanya padam, tetapi pada saat ia membalikkan tubuh, api pun menjilatnya lagi. Sedang Leng Kong-siau yang saat itu sedang mengobati lukanya, menggigillah hatinya melihat keaaan Ting Yan-san yang begitu mengerikan. Diam-diam ia berpikir, “Tadi Ih Thian-heng hanya menawarkan kerja sama kepada Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing. Tetapi tidak kepadaku. Mungkin setelah Ting Yan-san, tentu giliranku yang akan dibakarnya. Dari pada dibakar hidup2an. lebih baik aku bunuh saja….”

Tetapi sekalipun sudah mengambil keputusan begitu, ia tetap tak rela mati seorang diri. Sejenak mengeliarkan mata, ia memperhitungkan jarak seorang Baju Hitam yang paling dekat dari tempatnya. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap untuk menyerang orang itu. Matipun ia tak rugi karena mendapat ganti jiwa.

Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat serempak dengan pancaran sinar biru.

Saat itu Nyo Bun-giau tertawa menjawab permintaan Ca Cu-jing tadi, “Kalau saudara Nyo suka pada anak perempuan ini, sudah tentu akan kulepaskan….” – belum selesai berkata, ia diserang oleh sosok bayangan dengan sinar biru tadi. Dalam gugup ia putar tubuh Ting Ling sebagai senjata untuk menangkis serangan sinar biru yang berasal dari pedang.

Dan gumpalan sinar pedang itu, tiba-tiba menghambur angin pukulan yang keras. Tubuh Ting Ling tersiak dan sinar pedang itupun menyusup ke dada Ih Thian-heng. Belum benda itu mengenai dada Ih Thian-heng sudah tertampar oleh hawa dingin.

Ih Thian-heng cepat menghindar kesamping tetapi orang itu tetap membayanginya. Dalam sekejap saja, ia sudah menyerang lima kali tabasan pedang.

Tiba-tiba sinar pedang itu lenyap dan sebagai gantinya tampaklah Han Ping tegak berdiri dengan marah sekali. Ujung Pedang Pemutus Asmara ditujukan ke arah dada Ih Thian-heng.

Mereka terpisah tiga empat langkah. Kawanan Baju Hitam yang mengepung disekeliling, karena melihat jarak Han Ping dengan Ih Thian-heng itu begitu dekat sekali, tak berani menaburkan tabung emasnya.

Saat itu wajah Ih Thian-heng menampir kebengisan yang belum tampak selama ini. Pelahan-lahan ia lemparkan tubuh Ting Ling.

Kiranya saat itu Han Ping sedang melakukan posisi menurut ilmupedang yang paling tinggi tingkatannya. Dia sedang salurkan seluruh tenaga-murni dalam tubuhnya ke batang pedang. Tadi ketika ia melayang untuk menyerang Ih Thian-heng, dia telah menghancurkan semua musuh yang hendak merintanginya.

Sedikitpun Ih Thian-heng tak mengira bahwa anak yang semuda itu, telah mencapai tataran yang begitu tinggi dalam ilmupedang. Diam-diam ia tergetar juga. Pedang Pemutus Asmara itu akan lebih dahsyat lagi apabila mendapat saluran tenaga-murni pemuda itu.

Saat itu Ting Lingpun menghampiri Ting Yan-san. Melihat itu Kim Loji berseru, “Nona Ting, lekas suruh dia rebah dan timbunlah dengan pasir!”

“Paman, jangan bergerak!” cepat Ting Ling meneriaki pamannya. Walaupun Ting Yan-san sudah arahkan seluruh tenaga-dalamnya untuk melawan api, tetapi karena sekujur tubuhnya terbakar, ia menderita kesakitan sekali. Untunglah kesadaran pikirannya masih belum hilang. Mendengar teriakan anak kemanakannya, iapun menurut tak mau bergerak.

Ting Ling dengan tahankan rasa sakit, paksakan diri untuk menyibak pasir dan dilemparkan ke tubuh pamannya.

Kawanan Baju Hitam yang mengepung tempat itu, memancarkan sinar mata kemarahan. Tetapi karena belum mendapat perintah, mereka tak berani bertindak sendiri.

Tiba-tiba Ca Cu-jing berpaling dan melambari, “Saudara Nyo, harap kemari. Aku hendak mohon petunjuk saudara.”

Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil. Sejenak memandang ke arah kawanan Baju Hitam, ia melangkan pelahan-lahan ke tempat Ca Cu-jing Kuatir kalau kawanan Baju Hitam itu akan melepas senjata rahasia atau turun tangan merintangi, maka diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam siap sedia.

Di luar dugaan, kawanan Baju Hitam itu tak bertindak apa-apa kecuali memandangnya dengan mata berapi-api.

Begitu tiba lebih kurang setengah meter dari tempat Ca Cu-jing, tiba-tiba Nyo Bun-giau berhenti. Dia memandang kesekeliling, tiba-tiba ia menghela nanpas dan mengeluh. “Ah .. .. untuk menerobos keluar dari tempat ini, rasanya lebih sukar dari mendaki tangga kelangit…..”

ternyata ia dapatkan bahwa tempat itu sudah dikepung rapat sekali oleh kawanan Baju Hitam yang masing-masing mencekal tabung emas. Menurut perhitungannya, seluas 10 tombak telah dikepung rapat oleh kawanan Baju Hitam. Sekalipun burung, juga sukar untuk terbang keluar dari situ.

Ca Cu-jing menghela napas pelahan, “Apakah saudara Nyo tahu tentang asal usul pemuda itu?”

Nyo Bun-giau menyatakan tak jelas.

“Aku teringat sesuatu yang menimbulkan kesangsian hatiku,” kata Ca Cu-jing pula.

Nyo Bun-giau batuk-batuk lagi, katanya, “Apakah saudara Ca kuatir pertempuran kedua orang itu kali ini….”

“Jika Ih Thian-heng kalah di tangan pemuda itu, kita semua tentu akan berkubur di tanah kuburan sini. Asal saudara Nyo meneliti keadaan sekeliling tempat ini tentu mengetahui bahwa kata-kata- ku ini tidak bohong….”

Sahut Nyo Bun-giau, “Jika yang menang Th Thian-heng, kita tentu mempunyai harapan hidup, benarkah begitu?”

“Karena itulah maka aku bimbang,” kata Ca Cu-jing.

Nyo Bun giau tiba-tiba melangkah dua tindak dan berjajar dengan Ca Cu-jing. Dengan gunakan ilmu Menyusup-suara, ia berkata, “Situasi saat ini, memang suram. Untung kita belum memberikan persetujuan pada Ih Thian-heng. Apabila Ih Thian-heng kalah, kawanan Baju Hitam itu tentu tumpahkan senjata rabasia pada pemuda she Ji itu. Pada saat itu, mungkin ada kesempatan bagi kita!”

Ca Cu jing juga menyahut dengan ilmu Menyusup-suara. “Memang keadaan saat ini genting sekali. Sekalipun Ih Thian-heng itu amat sakti, tetapi pemuda she Ji itu mungkin tak dibawah kepandaiannya. Jika dia menang, di kemudian hari dunia persilatan tentu timbul suatu bahaya besar. Dia seorang pemuda yang keras kepala dan tinggi hati. Ditambah pula dengan penasehatnya si pengemis tua itu, kemudian hari dia tentu akan berdiri sebagai suatu pimpinan lain dalam dunia persilatan. Maka siapa saja dari kedua orang itu yang menang, bagi kita sama saja, tiada kebaikan suatu apa!”

“Benar,” Nyo Bun-giau mengiakan, “tetapi yang penting, baik siapapun yang menang, tatap akan merupakan penghalang bagi rencana kita memasuki makam besar itu!”

Oleh karena menggunakan ilmu Menyusup suara, maka lain orang tak dapat menangkap pembicaraan kedua orang itu.

Memandang ke arah pertempuran yang akan dilakukan oleh Ih Thian-heng dan Han Ping. Ca Cu-jing lanjutkan berkata, “Mereka sudah sama siap, tentu pertempuran segera berlangsung!”

Kata Nyo Bun-giau, “Jika kita menggunakan kesempatan selagi mereka bertempur untuk menerobos kepungan kawanan Baju Hitam itu, kita mempunyai harapan setengah-setengah.”

“Jika saudara yo dapat menangkap hidup seorang Baju Hitam seperti yang kulakukan ini, kita dapat menggunakannya sebagai senjata. Dengan begitu harapan kita makin besar.”

Nyo Bun-giau tersenyum, “Benar, kelinci mati si rase menangis atau serupa dengan Tanaman makan pagar. Dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai perisai, tentulah mereka akan gentar!”

Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, “Walaupun kita dapat menggunakan kesempatan kedua orang itu bertempur untuk menerjang kepungan musuh, namun tindakan itu bukanlah suatu rencana yang terbaik….”

Nyo Bun-giau keliarkan mata, lalu berkata, “Apakah saudara Ca menguatirkan putera saudara?”

“Itu hanya salah satu sebab,” kata Ca Cu-jing, “yang panting jika sampai melewatkan kesempatan saat ini. kita tentu sukar untuk membunuh Ih Thian-heng dan pemuda she Ji itu. Keduanya merupakan penghalang bagi kita memasuki makam besar itu. Dalam pertempuran itu, siapapun yang menang, sama tak menguntungkan kita. Jika kita gunakan kesempatan ini untuk turun tangan, tentulah akan memperoleh hasil.”

Merenung beberapa saat, Nyo Bun-giau berkata, “Pandangan saudara Ca itu telah membuka pikiranku. Tetapi jika yang menang Ih Thian-heng, mungkin rencana kita tentu akan gagal. Tak mungkin kita dapat menghancurkan anakbuah Ih Thian-heng yang sekian banyaknya.”

Berkata Ca Cu-jing, “Ular takkan jalan tanpa kepala. Burung tak dapat terbang tanpa sayap. Jika Ih Thian-heng terluka oleh pemuda itu. kawanan Baju Hitam tentu akan pecah nyalinya. Dengan gunakan kata-kata, kita dapat mempengaruhi. mereka supaya ikut kita.”

“Benar, perhitungan saudara Ca memang tepat tetapi resikonya besar sekali. Jika sampai gagal, bukan saja kawanan Baju Hitam itu menolak ajakan kita, pun bahkan mereka tentu akan menyerang kita habis-habisan. Dengan begitu, bukankah kita akan mati dibawah taburan hujan senjata rahasia mereka….”

Berhenti sejenak, Nyo Bun-giau tak mau memberi kesempatan bicara pada Ca Cu-jing, ia terus berkata, “Bukan aku hendak membangaakan diri, tetapi kecuali aku, walaupun orang dapat memasuki makam tua itu, tetapi mereka tentu akan celaka oleh alat2 perkakas rahasia dalam makam itu. Daripada kita menempuh bahaya mengurusi mereka, lebih baik biarkan mereka celaka sendiri dalam makam tua itu!”

Ca Cu-jing berpaling memandang Nyo Bun-giau katanya, “Menurut sepengetahuanku kotak pedang Pemutus Asmara itu sudah jatuh di tangan orang Lam-hay-bun yalah si dara baju ungu. Kabarnya, diatas kotak pedang itu terdapat guratan peta tempat penyimpan harta pusaka dalam makam, dan gambar2 alat2 rahasia makam itu. Saudara Nyo jika tak memiliki gambar itu, apakah tak sukar memasuki makam?”

Jawab Nyo Bun-giau, “Dalam soal itu harap saudara Ca tak perlu kuatir. Asal dapat melenyapkan musuh tangguh itu, soal masuk ke dalam makam, serahkan saja padaku.”

“Maksudku, lebih dulu kita basmi musuh.” kata Ca Cu-jing, “begitu sudah tampak siapa yang menang. Kita terus saja menyerbunya dengan seluruh kepandaian kita agar sekali pukul dapat memperoleh kemenangan.”

Sejenak merenung, Nyo Bun-giau menyetujui.

Tepat pada saat itu tampak tangan Han Ping bergerak. Pedang Pemutus Asmara bergemerlapan menabur Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng pun sudah siap. Pada saat Han Ping bergerak. iapun juga menyerempaki bergerak. Tangan kanannya menodong ke muka. Segulung angin tenaga-dalam melanda ke muka. Kemudian ia condongkan tubuh ke belakang sampai melekat tanah, sehingga menyerupai bentuk busur. Kemudian tiba-tiba ia ayunkan tubuh keatas lagi. Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busur, tubuhnyapun melesat sampai tiga tombak jauhnya.

Disongsong oleh pukulan Ih Thian-heng itu gerak serangan Han Ping pun agak macet dan saat itu Th Thian-hengpun sudah lolos.

Tetapi serangan Han Ping itu, dilambari dengan seluruh tenaga-dalamnya. Pedang pusaka itu menghamburkan angin yang dahsyat dan sinar biru yang menebar seluas satu tonbak. Walaupun Ih Thian-heng lolos tetapi batu nisan dari kuburan tempat ia beralih tempat, itu, hancur berantakan dan dua orang Baju Hitam yang berada pada jarak dekat dengan tempat Han Pingpun terbelah jadi empat tubuhnya. Darah segar muncrat berhamburan ke empat penjuru.

Memang dalam hal menguasai tenaga-dalam, Han Ping masih belum mencapai tataran apa yang disebut dapat mengendalikan tenaga-dalam menurut sekehendak hatinya. Oleh karena ia tak dapat menahan lagi tenaga-dalamnya yang dipancarkas melalui gerakan pedangnya itu.

Selekas pancaran sinar pedang lenyap, tampak Han Ping berdiri tegak ditempatnya sambil pejamkan mata untuk memulangkan napas.

Jelas serangannya itu telah menghabiskan tenaganya.

Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing diam-diam kerahkan tenaga-dalam bersiap. Asal Han Ping dan Ih Thian-heng sudah ada penyelesaian, siapa yang menang tentu akan diserangnya.

Tetapi di luar dugaan telah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka. Ca Cujing berpaling kepada Nyo Bun giau, katanya, “Saudara Nyo, harap jangan berburu-buru dulu….”

Nyo Bun-giau menghela napas pelahan, tanyanya, “Apa yang terjadi saat ini, sungguh di luar dugaan kita. lalu bagaimana tindakan kita.”

“Tunggu perkembangan lebih lanjut,” sahut ketua marga Ca.

“Menurut pendapat saudara Ca, perobahan apakah yang akan terjadi nanti? Apakah Ih Thian-heng akan menyuruh kawanan Baju Hitam itu untuk menaburkan senjata rahasia kepada pemuda itu?”

“Hal itu sukar dikata,” jawab Ca Cu-jing,”Sekalipun Ih Thian-heng memang mempunyai selera untuk membunuh pemuda itu, tetapi ia tak sampai akan memberi perintah kepada anakbuahnya untuk melepas senjata rahasia….”

Tiba-tiba saat itu Han Ping membuka mata. Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam memandang ke sekeliling, serunya, “IhThian-heng, hunuslah senjatamu. Keadaan saat ini tentu berakhir dengan menyedihkan. Sekalian orang yang berada disini tentu tak mungKin meninggalkan tempat dengan masih bernyawa….”

Tiba-tiba terdengar derap langkah orang berlari mendatangi sehingga kata-kata Han Ping terputus. Ketika memandang ke muka tampak si Bungkuk dan si Pendek berlari mendatangi, mempelopori sebuah tandu bercat ungu. Sedang di belakang tandu itu tampak diiring si nenek rambut putih Bwe Nio.

Rombongan tandu dan kedua pengawal si Bungkuk dan si Pendek itu segera berhenti di tempat Han Ping dan Ih Thian-heng. Begitu tandu berhenti, si Bungkuk dan si Pendek segera agak menyisih kesamping untuk menjaga tandu itu.

Yang memikul tandu adalah dua orang lelaki bertubuh kekar dan bercelana pendek. Setelah si Bungkuk dan si Pendek melindungi dikedua samping, barulah kedua tukang tandu itu menurunkan tandunya,

Nenek Bwe Nio cepat menyelinap kemuka untuk membuka tenda tandu. Seorang dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan kerudung hitam, pelahan-lahan melangkah keluar.

Sekalian yang hadir, kecuali kawanan Baju Hitam, semua sudah kenal akan si dara baiu ungu dan romboogan orang Lam-hay-11u. Mereka mengagumi kecaniikan dara itu. Tetapi entah apa sebabnya, tiba-tiba saat itu si dara mengenakan kerudung muka.

Tiba-tiba kerudung muka dara itu tampak bergerak-gerak dan tangannya melambai, “Ca Giok, apakah engkau terluka?”

Ca Giok gembira sekali. Entah bagaimana sakit pada lukanyapun terasa berkurang. Cepat ia berdiri dan menjawab, “Terima kasih atas perhatian nona. Hanya luka sekecil ini, tak apa!”

Berkata si dara baju ungu kepada Ih Thian-heng, “Ca Giok tentu anakbuahmu yang melukai, lekas berikan obat penawarnya kepadaku!”

Ih Thian-heng tersenyum ia mengeluarkan sebuah botol kumis, menuang dua butir pil lalu diserahkan kepada si dara.

Setelah mengucap terima kasih, dara itu menghampiri Ca Giok. Waktu berjalan, pakaiannya bertebaran menyambar ke samping Han Ping. Serangkum hawa yang harum, menabur hidung Han Ping. Di luar kesadarannya, Han Ping cepat berpaling memandang bayangan punggung dara itu.

Dilihatnya dara itu berjalan dengan Iangkah gontai ke tempat Ca Giok. Kemudian dengan suara lembut berkata, “Inilah obat dari Ih Thian-heng, tak mungkin dia akan menipu aku. Harap jangan kuatir dan minumlah!”

Dengan tersendat-sendat Ca Ciok berkata, “Apapun yang nona berikan, sekalipun racun, tentu akan kuterima!” — ia terus menyambuti pil itu.

Karena muka tertutup sutera hitam maka tiada seorangpun yang tahu bagaimana mimik wajah dara itu. Tetapi yang jelas, betapa mesra dan lembut ia mengucapkan kata-katanya kepada Ca Giok.

Kembali dara itu berseru, “Eh, engkau benar-benar terluka berat! Harap jangan bergerak, biarlah aku yang meminumkan kepadamu.”

Habis berkata dengan tanpa malu2 lagi dara itu terus menyusupkan obat itu ke mulut Ca Giok.

Pada jaman itu sekalipun di antara suami isteri, pun dianggap melanggar kesusilaan apabila bermesra-mesraan di depan umum. Paling tidak harus di tempat yang sepi tak dilihat orang.

Tetapi ternyata dara baju ungu itu dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang telah memberikan obat ke mulut seorang pemuda. Menurut norma kesusilaan, dara itu sudah melanggar tata kesopanan……
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar