Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 25 : Gajah, harimau dan ular

Jilid 25

“Sekali saudara Cong pernah melepas budi kepadaku,” tiba-tiba terdengar suara Ca Cu-jing, “tetapi dalam keadaan seperti saat ini, terpaksa aku tak dapat mengorbankan kepentingan umum….”

Cong To hentikan gerakannya. Ia berdiri diam dan mendengus dingin, “Ca Cu-jing, apakah engkau merasa yakin tentu dapat melukai pengemis tua ini?”

Ca Cu-jing tertawa, “Sama sekali aku tak bermaksud melukai saudara Cong, asal saudara suka lepaskan diri dari campur tangan urusan ini!”

Sekalipun mulut Cong To bernada garang, tetapi diam-diam ia menyadari. Bahwa sekali ketua Marga Ca itu perkeras tenaganya, urat2 jantungnya tentu akan putus. Maka iapun diam saja dan mencari akal untuk lepaskan diri.

Terdengar, Leng Kong-siau dan Ting Yan-san tertawa gelak-gelak seraya menghampiri. Leng Kong-siau sudah berdiri di belakang Ih Thian-heng sedang Ting Yan-San cepat lekatkan tangan ke punggung Han Ping.

Mata Ih Thian-heng berkeliaran memandang ke sekeliling tetapi tubuhnya tetap berdiri tak bergerak.

Han Ping pun tetap pejamkan mata, seolah-olah tak tahu kalau punggungnya dilekati tangan Ting Yan-san.

Ca Cu-giok berdiri dua tiga tombak jauhnya untuk melihat perobahan perkembangannya. Sementara Ting Ling walaupun tampaknva acuh tak acuh tetapi sesungguhnya ia sedang gelisah mencari akal untuk memecahkan ketegangan saat itu.

Kim loji masih jeri terhadap Ih Thian-heng dan berdiri terpukau.

Angin pegunungan pada musim rontok, meniup menderu-deru. Pohon2 jati berderak-derak, makin menambah ngeri suasana tempat itu …

Suasana yang berlangsung saat itu benar-benar penuh diliputi dengan berbagai pertentangan. Masing-masing fihak mempunyai rasa takut tetapipun saling mendendam permusuhan. Dan adalah karena saling memburu keuntungan maka keadaan pun bertambah makin ruwet. Rasa persahabatan dilumuri rasa untuk memiliki keuntungan. Dendam permusuhan diselipi rasa persahabatan.

Tiba-tiba Leng Kong-siau mengangkat tangan kanannya terus diletakkan pada jalan darah Beng-bun-hiat di punggung Ih Thian-heng, serunya, “Jika aku bersama saudara Nyo bersatu untuk menekan dari muka belakang, entah apakah mampu untuk merubuhkan saudara Ih?”

Sambil memandang ke arah Han Ping, Ih Thian-heng tertawa tak acuh. Jika umurku memang masih panjang, apakah tenaga saudara berdua itu dapat membunuh diriku? Aku sendiri tak tahu entah apakah saudara Leng sudah memperhitungkan hal itu?”

Leng Kong-siau tertegun tak dapat menjawab. Saat itu Nyo Bun-giau sudah kerahkan seluruh tenaga dalam ke arah telapak tangannya. Ia siap untuk menggempur dada Ih Thian-heng dengan sekuat tenaga. Dia memperhitungkan, jika mengerahkan seluruh tenaga, paling tidak daya kekuatannya tentu dapat mencapai 3000 kati. Betapapun Ih Thian-heng hendak melawan, rasanya tentu sukar. Sekalipun tidak sampai binasa, tetapi pasti terluka parah. Ia yakin bahwa ilmu sakti Pasir Emas yang dimilikinya itu, merupakan ilmu tunggal yang istimewa dalam dunia persilatan. Dan setelah terluka itu, apabila nanti Ih Thian-heng nanti mengamuk, ia tentu masih dapat menghadapinya. Apabila perlu, ia dapat meminta bantuan Leng Kong-siau dan Ting Yan-San untuk mengeroyok.

Tetapi sekalipun sudah dapat memperhitungkan kekuatan lawan dengan kekuatannya sendiri tetapi pada saat itu punggungnya telah dikuasai Cong To. Ia kuatir kalau mengerahkan tenaga dalam menekan Ih Thian-heng, Cong To pun akan bertindak demikian kepada dirinya. Oleh karena kalau menghamburkan tenaga dalam menekan Ih Thian-heng itu berarti tenaga penjagaan dirinya kosong, maka asal Cong To menggunakan sedikit tenaga saja, iapun pasti akan mati.

Diam-diam orang she Nyo itu hanya mengharap agar Ca Cu-jing turun tangan lebih dahulu untuk menghancurkan si Pengemis sakti. Dengan demikian ia tentu longgar dari bahaya.

Tetapi Ca Cu-jing masih mengingat akan budi dari Pengemis sakti. Ia menekan punggung pengemis itu dengan maksud agar pengemis itu segera lepaskan tangannya yang menekan punggung Nyo Bun-giau. Ia belum tiba pada rencana untuk melukai pengemis sakti itu.

Namun Ca Cu-jing sungkan untuk menyatakan keinginanya kepada pengemis Cong To. Maka ia segera gunakan ilmu Menyusup-suara, “Saudara Cong, keadaan saat ini, hanyalah untuk menghadapi Ih Thian-heng dan budak itu. Jika saudara Cong suka meluluskan untuk tidak ikut campur tangan, segera akan kutarik tanganku yang melekat pada punggung saudara ini!”

Cong To tertawa gelak-gelak, “Tak apalah. Karena aku toh takkan menderita kerugian apa-apa. Bahkan akan kupinjam tenaga saudara dan kugabungkan dengan tenagaku untuk memberi tekanan yang lebih dahsyat pada punggung Nyo Bun-giau ini!”

“Tetapi sekalipun dapat meremukkan urat jantung Nyo Bun-giau tetapi saudara Cong sendiri juga takkan hidup!” seru Ca Cu-jing.

Cong To tertawa, “Lambat atau cepat pengemis tua ini toh akan mati juga. Jiwa pengemis tua ditukar dengan sebuah jiwa….”

Nyo Bun-giau cepat menukas, “Kalau menurut keinginan saudara Cong, aku harus meminjam tenagamu dan tenaga saudara Cong, untuk menghancurkan Ih Thian-heng!”

Cong To tertawa nyaring, “Bagus, bagus! Itulah yang dinamakan mati habis-habisan….”

Ih Thian-heng deliki mata kepada Nyo Bun-giau, “Dalam waktu seperminum teh lamanya, kukuatir saudara Nyo tentu terpaksa melepaskan tangan saudara yang melekat pada punggungku!”

“Ah, belum tentu!” jawab Nyo Bun-giau.

Cong To tertawa gelak-gelak lagi, serunya, “Jika kita hari ini harus mati semua, dan selanjutnya dunia parsilatan tentu aman dari pergolakan berebut….” tiba-tiba ia berpaling ke arah Ting Ling dan berseru, “Setan perempuan yang besar, selagi pengemis tua belum mati, lekas engkau sebut aku dengan panggilan ayah angkat! Agar kelak ada yang menyambangi kuburanku.”

Sejenak merenung, Ting Ling terus berlutut di tanah dan berseru, “Puteri angkat Ting Ling memberi hormat kepada ayah angkatnya!”

Cong To tertawa lepas. “Sebenarnya pengemis tua benci akan adat istiadat manusia. Tetapi keadaan saat ini berbeda. Ya, tak apalah!”

Melihat anak kemanakannya benar-benar menyebut pengemis tua sebagai ayah angkat, Ting Yan-san menguak-nguak marah sekali, “Bagus! Budak setan, kulihat engkau sudah berkhianat. Lebih dulu akan kubereskan jiwa budak laki-laki ini, dan baru nanti membuat perhitungan dengan engkau!”

Ia terus kerahkan tenaga dalam untuk menghancurkan tubuh Han Ping, Tetapi alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa punggung pemuda itu berobah seperti segumpal kapas yang lunak.

Tepat di kala Ting Yan-san terpaku itu secepat kilat Han Ping pun sudah menyelinap dan merapat ke samping Ca Cu-jing lalu luruskan tiga buah jarinya dengan jurus tiga-matahari-menyinari-Thaysan, menutuk tiga buah jalan darah tubuh Ca Cu-jing.

Sebelum jari tiba, anginnya sudah menampar tajam.

Ca Cu-jing kaget sekali. Diam-diam ia memuji, “Angin gerakan jari yang lihay sekali!”

Cepat ia miringkan tubuh menghindar. Tetapi jarinya yang melekat pada punggung Cong To tetap tak berkisar. Dengan gerak Memutar-balik-Im-yang, ia gerakkan tangan kiri untuk menyambar pergelangan tangan Han Ping.

Han Ping tertawa dingin. Tutukan ketiga jarinya itu mendadak dirobah menjadi gerak Kim-liong-jiu atau menangkap naga. Begitu membalik telapak tangannya, ia menang cepat mencengkeram siku lengan Ca Cu-jing.

Apabila tokoh-tokoh sakti bertempur, menang kalah hanya berlangsung pada beberapa kejab mata saja. Ca Cu-jing telah menderita kekalaban. Seketika ia rasakan siku lengannya kesemutan. Ia kalah cepat dengan lawan.

Tetapi ketua dari Marga Ca itu memiliki kepandaian yang hebat serta kaya akan segala pengalaman. Dalam ancaman bahaya, ia tak cepat gugup. Meskipun telah dikuasai lawan, ia tetap tak mau melepaskan tangannya yang melekat pada punggung Cong To. Ia tebarkan jari tangan kiri untuk balas mencengkeram siku lengan kanan Han Ping.

Maksud Han Ping hanyalah memaksa Ca Cu-jing supaya lepaskan tekanannya pada punggung Cong To. Tetapi oleh karena Ca Cu-jing ngotot hendak mengadu jiwa, marahlah Han Ping. Cepat ia memperkeras cengkeramannya.

Tetapi sebagai seorang jago tua yang berpengalaman, Ca Cu-jing sudah siap. Karena kalah cepat sehingga siku lengannya dicengkeram lawan, diam-diam ia sudah memperhitungkan kemungkinan Han Ping akan menambah keras tenaga cengkeramannya itu. Maka ketika ia hendak balas mencengkeram siku lengan Han Ping, diam-diam ia sudah kerahkan tenaga dalam untuk menjaga kemungkinan Han Ping akan memijat lebih keras.

Seketika Han Ping dan Ca Cu-jing sama-sama merasa siku lengannya seperti dijepit besi keras.

Saat itu Ting Yan-sanpun sudah memburu tiba terus hendak memukul punggung Han Ping. Pemuda itu mendadak menarik lengan kirinya ke belakang diserempaki dengan memutar tubuh setengah lingkaran. Dengan jurus Awan-berarak-menutupi-bulan, ia ayunkan tangan kirinya untuk melindungi diri.

Karena tak melihat suatu lubang kelemahan pada Han Ping, diam-diam Ting Yan-san terkejut dan cepat menyurut mundur dua langkah.

Sambil perkeras cengkeramannya pada siku lengan Han Ping, Ca Cu-jing berbisik, “Saudara Ting, lekas bereskan orang ini!”

Ting Yan-san mengiakan. Sekaligus ia gerakkan kedua tangannya untuk menghantam ke atas dan ke bawah.

Cepat Han Ping gunakan Jurus Burung-belibis-kebaskan-sayap untuk menampar lambung Ting Yan-san. Karena harus menyelamatkan diri, Ting Yan-san terpaksa menyingkir ke samping dua langkah sehingga serangannya pun percuma saja.

Dua kali tokoh dari Lembah Raja Setan menyerang, semua dapat dihalau oleh Han Ping. Ting Yan-san geram dan marah. Dengan menggerung keras, ia menyerang lagi dengan pukulan Air-terjun-mengaliri-sumber.

Karena tangan kanannya sedang adu cengkeram melawan Ca Cu-jing, maka Han Ping hanya gunakan tangan kiri untuk menghadapi Ting Yan-san. Sekalipun begitu, hampir 14 jurus lamanya tetap masih bertahan.

Melihat Han Ping dapat memberi perlawanan sampai sekian lama, kejut Ting Yan-san bukan kepalang. Ia merasa malu dan marah. Pikirnya, “Hm, budak ini ketika pertama bertemu dengan aku, masih belum begini lihay. Rupanya ia telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kalau sekarang tak dapat melenyapkannya, bukan hanya aku akan kehilangan muka, pun kelak tentu menimbulkan bencana padaku.”

Setelah mengambil keputusan, seketika menyalalah nafsu pembunuhannya. Setelah melontarkan dua buah pukulan, ia cepat menyurut mundur. Tegak berdiri pejamkan mata, kedua tangannya diacungkan ke atas dalam gaya mencengkeram.

Melihat gerakan aneh dari orang she Ting itu, diam-diam Han Ping heran. Timangnya, “0rang2 Lembah Raja Setan itu memang semua serba misterius!”

Ting Ling yang sejak tadi mengikuti pertempuran itu dengan penuh perhatian, diam-diam ia terkejut ketika melihat pamannya sedang menyiapkan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan. Cakar Setan Hian-im yang terdiri dari 24 gerak, merupakan ilmu kebanggaan dari kaum Lembah Raja Setan. Ilmu itu luar biasa gerakannya dan sukar sekali diduga gerak perobahannya. Setiap gerak cengkeramannya mengandung ilmu tenaga sakti Hian-im-gi-kang. Ilmu itu walaupun termasuk aliran ganas tetapi merupakan ilmu pamungkas. Selalu untuk berhadapan dengan musuh yang sakti, tak boleh sembarangan dalam penggunaannya.

Jika tangan kanan Han Ping tak terikat adu tenaga dalam dengan Ca Cu-jing. tentulah anakmuda itu masih dapat menghadapi Ting Yan-san. Tetapi karena Han Ping tak bebas, mungkin ia tak dapat bertahan serangan tenaga sakti Cakar-setan-hian-im yang ganas sekali itu.

Tetapi betapapun Ting Ling gelisah, ia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya bingung dan mengucurkan keringat dingin.

Ca Giok memandang ke arah Ting Ling dan sengaja menghela napas, serunya, “Jika saudara Ji tidak adu tenaga dengan ayahku, aku tentu akan membantunya!”

Ting Ling tertawa, “Hm, kalau tidak membantu Han Ping, seharusnya engkau membantu ayahmu!”

Ca Giok tertegun, “Ayahku bagaimana?”

Cepat ia memandang ke arah ayahnya.

“Dikuatirkan ayahmu tak dapat bertahan lama,” sahut nona itu.

Sesungguhnya ia hanya sembarangan saja berkata, tetapi ketika melirik, didapatinya wajah pemuda itu tampak serius. Diam-diam ia heran sendiri. Benarkah kepandaian Han Ping saat ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa hebatnya?

Sejenak memandang ke arah ayahnya. Ca Giok tiba-tiba maju menghampiri. Melihat itu Ting Ling terkejut dan cepat memburunya, “Mau apa engkau?”

Sekonyong-konyong Ca Giok loncat ke muka ayahnya dan berseru pelahan, “Ayah!”

Tetapi Ca Cu-jing membentaknya, “Lekas mundur!”

Belum Ca Giok menyahut, tiba-tiba Nyo Bun-giau berteriak keras dan menarik tangannya yang dilekatkan pada dada Ih Thian-heng lalu mengisar ke samping.

“Sabuk Putih!” Ting Ling menjerit.

Ca Cu-jing menunduk. Seekor ular ganas yang disebut Pek-sian-nio atau Sabuk Putih telah melingkar di bawah kakinya. Ular itu merupakan ular yang paling ganas di antara jenisnya. Sebenarnya ia dapat menendang kepada ular itu.

Karena Nyo Bun-giau menyusur ke samping maka tangan Cong To yang melekat pada punggung Nyo Bun-giau itupun ikut terseret ke samping. Pada saat itu Ca Cu-jing sedang mengangkat kaki kiri untuk menginjak ular Sabuk Putih. Karena gerakan Cong To, tubuh Ca Cu-jing telah kehilangan keseimbangannya dan terpaksa ikut bergeser ke samping juga.

Sekalipun gerakan tokoh itu susul menyusul berturut-turut, tetapi karena amat cepatnya, sepintas pandang seperti dilakukan dalam waktu serempak.

Pada saat tubuh Ca Cu-jing bergerak, Cong To cepat menggunakan kesempatan itu untuk membebaskan punggungnya dari lekatan tangan Ca Cu-jing.

Waktu itu Ting Yan-san pun sudah selesai menyalurkan tenaga-ganas Cakar-setan-hian-im dan segera akan dihantamkan kepada Han Ping. Pertama, untuk melenyapkan bahaya di kemudian hari. Dan kedua untuk mempamerkan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan di hadapan tokoh tokoh persilatan yang berada di situ.

Tetapi alangkah kejutnya ketika membuka mata, ia dapatkan keadaan sudah berobah. Diam-diam ia membatin, “Ketua Lembah pesan wanti2, kalau tak menghadapi musuh tangguh tak boleh menggunakan ilmu Cakar-setan itu.

Karena situasi sudah berobah dimana ia masih belum tahu fihak mana yang kalah dan menang, maka terpaksalah ia tak jadi lepaskan pukulan ganas itu. Sejenak memandang situasi gelanggang pertempuran, kembali ia pejamkan mata dan pura-pura masih mengerahkan tenaga.

Tokoh-tokoh yang berada itu, masing-masing terdiri dari bangkotan tua yang julig, licik dan licin. Masing-masing tak mau menderita kerugian untuk dijadikan korban lebih dulu. Begitu melihat gelagat tak baik, yang penting mereka cepat-cepat berusaha menjaga diri. Setelah itu baru melihat perkembangannya lagi.

Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. “Apakah saudara Leng masih tetap tak mau menyingkir?”

Agaknya Lang Kong-siau mau mendengar kata. Sambil mengiakan, ia melesat ke samping.

Suasana yang tegang regang, saat itu tampak reda kembali.

Cong To yang lepaskan cengkeraman tangannya pada punggung Nyo Bun-giau, mundur dua langkah, serunya, “Pengemis tua tak mau mencuri kesempatan untuk mencelakakan orang. Silahkan saudara Nyo mengambil pernapasan dulu. Setelah engkau merasakan tenaga murnimu sudah pulih, kita nanti bertempur lagi!”

Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Cong tak perlu kuatir. Nyo Bun-giau sudah kulukai dengan tenaga sakti Thay kek-gi-kang. Dalam dua jam ini, ia tak punya kekuatan bertempur lagi.”

Cong To tertawa dingin, “Saudara Ih tak usah mengobral kemurahan hati. Pengemis tua tak ingin bantuanmu.”

Jenggot panjang orang she Ih itu tampak tergetar. Jelas ia tersinggung oleh kata-kata pengemis sakti itu. Tetapi ia benar-benar seorang tokoh yang kuat menahan perasaan. Sejenak merenung, ia tertawa hambar, “Tak peduli bagaimana hati saudara Cong, tetapi aku tetap akan membantumu!”

Saat itu Ca Cu-jing pun sudah menendang ular Sabuk putih sampal beberapa langkah. Lalu ia loncat ke samping.

Han Ping pun menarik pukulannya dan tak mau mengejar. Suasana kembali seperti semula lagi.

Ting Yan-san tiba-tiba membuka mata dan berseru keras, “Ling-ji, kemari engkau!”

Cong To ternyata menyambar ular Sabuk Putih yang ditendang Ca Cu-jing tadi. Serunya tertawa Ular beracun ini telah menolong jiwa pengemis tua. Sungguh tak kira kalau binatang begini ada juga gunanya!”

Karena dicekal sirip kepalanya, ular itu tak dapat berkutik. Cong To segera melingkarnya lalu dimasukkan ke dalam kantong hitam yang diambil dari saku bajunya.

Leng Kong-siau berteriak nyaring, “Ular Sabuk Putih itu ular yang luar biasa ganasnya. Sekali menggigit, tiada obatnya lagi. Harap saudara Cong berhati-hati!”

Cong To tersenyum, “Tak usah saudara Leng kuatir, aku mempunyai ilmu untuk menundukkan ular!”

Pengemis sakti itu lalu alihkan pandang ke arah Ting Ling. Tampak nona itu maju menghampiri ke tempat Ting Yan-san dengan wajah ketakutan.

Tiba-tiba Ih Thian-heng memberi hormat kepada Cong To, “Selagi di hadapan saudara Cong, kunyatakan bahwa mulai sejak saat ini aku takkan menarik panjang tindakan khianat dari Kim loji!”

Cong To hanya tertawa dingin, “Dalam hal ini pengemis tua tak minta belas kasihan saudara Ih!”

Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng tertawa dan mengalihkan pertanyaan, “Ada sebuah hal yang hendak kuminta saudara Cong suka menjadi saksi. Entah apakah saudara suka meluluskan atau tidak?”

Sekalipun tak suka akan pribadi Ih Thian-heng, tetapi Cong To mengakui bahwa orang she Ih itu memang lebih tenar dari dirinya. Mendengar permintaan orang, terpaksa ia tak dapat menghindar. Setelah batuk-batuk kecil ia berkata ; “Ah, saudara begitu memandang tinggi kepada pengemis tua. Kalau begitu silahkan bilang saja. Asal mengenai hal yang tak melanggar kepentingan umum, pengemis tua tentu akan mempertimbangkannya!”

Kata Ih Thian-heng, “Kecuali fihak It-kiong, orang? dari Dua Lembah dan Tiga Marga telah berkumpul termasuk Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing, dua tokoh terkemuka dari kalangan mereka. Peristiwa itu merupakan suatu pertemuan yang luar biasa.”

Setelah merenung Cong To mengiakan.

“Harap saudara Cong bersama saudara muda itu (Han Ping ) suka menjadi saksi di samping, sekalian untuk beristirahat. Setelah kuberi pelajaran kepada mereka berempat, barulah kita nanti membereskan urusan kita berdua lagi. Bagaimana, setujukah saudara Cong?”

Cong To tak mengira bahwa yang akan dikatakan Ih Thian-heng itu ternyata mengenai urusan begitu. Sesaat ia tak dapat menemukan jawabannya.

“Dalam soal ini engkau harus memberi waktu kepada pengemis tua untuk berpikir,” akhirnya Cong To menyahut.

“Ih Thian-heng!” teriak Ca Cu-jing marah, “apakah engkau yakin tentu dapat menghadapi kami berempat?”

Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya, “Asal saudara Cong meluluskan nntuk menjadi saksi saja, kalian berempat boleh maju coba-coba!”

Diam-diam Cong To menimang; “Mengapa Ih Thian-heng begitu mengindahkan kepadaku? Apakah dia benar-benar takut kepadaku? Ataukah kepada Han Ping? Betapapun juga, nyata ia hendak memperalat diriku. Tetapi orang Lembah Raja-setan, Lembah Seribu-racun, marga Nyo dan marga Ca itu juga bukan manusia baik-baik. Lebih baik biarkan Ih Thian-heng bertarung dengan mereka. Betapapun tinggi kepandaian Ih Thian-heng tentu tak mudah memenangkan keroyokan keempat orang itu!”

“Pengemis tua tak menghiraukan kedua belah fihak, pun tak akan menjadi saksi!” seru Cong To dengan nada dingin.

“Cukup kalau saudara meluluskan tak ikut campur sajalah!” kata Ih Thian-heng.

Karena memperhatikan Ting Ling maka Han Pingpun tak mendengar pembicaraan kedua orang itu.

Tampak saat itu si nona sedang berjalan dengan langkah yang berat menghampiri ke tempat pamannya, Ting Yan-san. Lebih kurang satu setengah meter dari tempat pamannya, ia berhenti.

“Ada pesan apakah paman memanggil aku?” katanya.

“Maju dua langkah lagi, engkau!” seru Ting Yan-san dingin.

Ting Ling menurut, serunya, “Paman…”

“Maju lagi sedikit!”

Sejenak Ting Ling bersangsi, tiba-tiba ia cepat maju dua langkah dan berdiri di hadapan pamannya.

Plak…. tiba-tiba Ting Yan-san tamparkan tangan kanannya sehingga Ting Ling berputar-putar sampai tiga kali lalu jatuh terduduk di tanah. Separoh pipinya membengkak merah, mulut bercucuran darah.

Ting Yan-san menampar keras dan Ting Ling tak mau menghindar maupun kerahkan tenaga dalam untuk menahan. Sudah tentu nona itu tak kuat menderitanya.

“Paman, mengapa engkau memukul aku. ..?” teriak Ting Ling terus pingsan.

Han Ping marah sekali. Ia melesat ke muka Ting Yan-san, “Mengapa engkau menamparnya!”

“Mengapa aku tak bisa menamparnya?” Ting Yan-san balas menyahut.

Han Ping tertegun. Ia teringat bahwa Ting Yan-san itu adalah paman dari Ting Ling. Sudah tentu berhak menghajar. Sejenak merenung, Han Ping terus mundur lagi.

“Hai, siapa yang berani memukul anak perempuan angkatku itu!” teriak Cong To seraya loncat dan mengangkat tubuh Ting Ling.

Ih Thian-heng tertawa nyaring, serunya, “Biarlah kulonggarkan kemengkalan hati saudara Cong untuk puterimu itu!”

Dalam pada berkata itu, Ih Thian-heng pun sudah loncat ke hadapan Ting Yan-san terus menamparnya.

Ting Yan-san menyurut mundur. “Apakah saudara Ih hendak berkelahi dengan aku?”

Ih Thian-heng tertawa, “Leng Kong-siau, Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing boleh maju sekalian!” ia ulurkan tangan mencengkeram bahu kanan Ting Yan-san.

Walaupun dalam hati agak gentar terhadap Ih Thian-heng, tetapi karena saat itu terdesak. terpaksa Ting Yan – san gunakan gerak Kuda-besi – melonjak, untuk menangkis.

Entah karena Ih Thian-heng hendak mempamerkan kepandaiannya atau karena kuatir Ca Cu-jing akan mengeroyoknya, maka ia gunakan serangan kilat. Sambil menggembor keras, ia balikkan tangan untuk mencengkeram pergelangan tangan Ting Yan – san.

Serangan itu dilakukan secepat kilat dan dengan gerak yang tak terduga-duga. Ting Yan – san terkejut dan hendak endapkan tangannya tetapi sudah terlambat. Seketika ia rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan seluruh tenaganya hilang.

Serangan pertama berhasil, Ih Thian-heng hendak menyusuli dengan hantaman di dada.

Ting Yan – san miringkan tubuh untuk menghindar. Tetapi di luar dugaan tangan kiri Ih Thian-heng itu diserempaki dengan gerakan kaki kanannya untuk menendang lutut orang.

Pruk….terdengar dengus orang tertahan dari Ting Yan – san. Lututnya termakan tendangan dan ia terhuyung – huyung mundur 5 – 6 langkah baru dapat berdiri tegak.

Ternyata setelah dapat menendang lutut, Ih Thian-heng lepaskan cengkeramannya sebingga Ting Yan – san dapat terhuyung mundur.

Menyaksikan itu, diam – diam Han Ping kerutkan dahi ; “Ih, mengapa Ting Yan – san begitu tak berguna? Pukulan dan tendangan itu kecuali hanya mengutamakan kecepatan, tiada hal yang luar biasa lagi. Mengapa menghadapi serangan begitu saja Ting Yan – san sudah kalah.”

Kiranya pada saat diserang Ih Thian-heng itu, dalam hati Ting Yan – san sudah mempunyai rasa takut. Begitu lengannya dapat dicengkeram, hatinya makin panik, nyalinya pecah. Karena tekanan – tekanan moril itu maka tangannyapun lentuk kaku.

Jika saat itu Ih Thian-heng mau turun tangan sungguh-sungguh, Ting Yan – San tentu terluka parah tetapi setelah menendang, Ih Thian-heng tak mau menyusuli serangan lagi. Dengan demikian sekalian orang yang berada disitu mendapat kesan bahwa orang she Ih itu memang berlaku murah hati.

Melihat dalam satu gebrak saja Ih Thian-heng dapat melukai Ting Yan – san, Leng Kong – siau menggigil. Memang seperti Ting Yan – san, iapun sudah gentar terhadap Ih Thian-heng.

Terdengar Ih Thian-heng tertawa, “Lama kudengar bahwa marga Ca itu termasyhur dengan ilmu pukulan Peh – poh – sin – kun dan jarum maut Hong – wi – ciam. Hari ini aku hendak minta pelajaran ilmu itu!”

Di hadapan sekian banyak orang, sesungguhnya Ca Cu – jing tak mau bertempur dengan Ih Thian-heng. Tetapi karena terdesak dan apalagi Ih Thian-heng terang-terangan menantang, maka ia bersikap tenang, serunya tertawa, “Bagus, bagus! Akupun memang lama mengagumi nama saudara Ih. Sungguh beruntung sekali hari ini bisa menerima pelajaran!” ia melirik ke arah Leng Kong – siau.

Leng Kong – siau dapat menangkap isyarat mata itu. Ca Cu – jing mengundangnya untuk bersama – sama mengeroyok Ih Thian-heng. Maka majulah ia ke muka.

“Bagus!” seru Ih Thian-heng, “kalian berdua boleh maju serempak agar dapat menghemat tenagaku!”

Dalam pada itu Ting Yan – san tetap pejamkan mata tak mau menyatakan apa-apa.

Sedang Pengemis – sakti Cong To sambil mengurut urat2 Ting Ling, memperhatikan keadaan disekelilingnya. Diam-diam ia heran melihat sikap Ih Thian-heng yang begitu garang. Pikirnya, “Hm, apakah orang – orang itu sungguh takut kepada Ih Thian-heng?”

Ih Thian – hong tertawa nyaring sehingga kumandangnya sampai menembus jauh ke hutan. Kemudian serunya, “Harap kalian lekas bersiap karena akupun segera akan mulai!”

Ca Cu – jing dan Lang Kong – siau saling bertukar pandang dan berdiri berjajar. Tiba-tiba Nyo Bun-giaupun rentangkan matanya yang meram tadi. Berkilat – kilat memandang Ih Thian-heng.

Sebenarnya saat itu Ih Thian-heng sudah melangkah pelahan tetapi melihat mata Nyo Bun-giau berkilat, timbullah pemikiran lalu. Pikirnya, “Menilik sinar matanya yang begitu tajam, masakan dia menderita luka. Apakah orang-orang itu memiliki ilmu kepandaian yang istimewa?”

Tiba-tiba ia hentikan langkah, serunya nyaring ; “Nyo Bun – giau!”

Nyo Bun – giau mendengus dingin. Serunya, “Bagaimana?”

Ih Thian-heng tersenyum. “Engkau pandai sekali bersandiwara” habis menjawab Nyo Bun-giau, sekonyong – konyong Ih Thian-heng melangkah maju dan menghantam Ca Cu – jing dengan jurus Mendorong – gunung – menimbun – laut.

“Hati-hati saudara Leng!” Ca Cu – jing berseru pelahan seraya menggerakkan tangan kanan menangkis.

Leng Kong – siaupun segera bergerak. Ia condongkan tubuh dan menghantam punggung Ih Thian-heng dengan jurus Angin-kisaran-meniup.

Ih Thian-heng tak mengira kalau Ca Cu-jing berani menangkis. Ia hendak menambahi tenaga pukulannya tetapi sudah terlambat. Krak… secepat beradu tinju, Ih Thian-heng terus loncat beberapa langkah ke samping untuk menghindari pukulan Leng Kong – siau.

“Sin-ciu-it-kun, hanya begitu saja!” teriak Ca Cu-jing seraya menghantam ke udara.

Itulah pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan-sakti-seratus-langkah dari marga Ca yang termasyhur di dunia persilatan. Setiup angin dahsyat berhamburan melanda.

Ih Thian-heng kenyang pengalaman. Setelah mengetahui Nyo Bun-giau, ternyata tak menderita luka, ia tak mau menghamburkan tenaga untuk melayani Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau. Ia tetap hendak mempertahankan tenaga dalam untuk menghadapi Ca Cu-jing.

Pada saat Ca Cu-jing lepaskan pukulan Peh-poh-sin-kun, tiba-tiba Ih Thian-heng mendapat siasat. Ia cepat melesat menghindar dua langkah ke samping lalu balas menghantam dari jauh.

Tokoh-tokoh itu telah mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu pengerahan tenaga dalam. Maka dapatlah mereka menghantam menurut saat dan jarak yang dikehendakinya.

Setelah adu pukulan dengan Ih Thian-heng, Ca Cu-jing merasa bahwa Ting Yan-san dan Long Kong-siau takut terhadap Ih Thian-heng, Maka ia bersikap gagah dan garang, menangkis pukulan lawan dengan tangan kiri. Semula ia hendak mengembalikan nyali kedua kawannya yang sudah runtuh itu agar bangkit kembali. Dan ternyata ia dapatkan pukulan orang she Ih itu tidaklah biasa hebatnya. Nyalinya makin besar. Cepat ia susuli lagi dengan pukulan Peh – poh – sin – kun.

Ih Thian – hong berlincahan menghindar, lalu ayunkan kedua tangannya menghantam Leng Kong-siau dan Ca Cu-jing.

Melihat Ca Cu -jing berani menangkis pukulan Ih Thian-heng. Leng Kong – siaupun kerahkan tenaga-dalam dan menangkis sekuat-kuatnya. ia membentur tempat kosong sehingga tubuh menjorok ke muka.

Ia telah tertipu Ih Thian-heng, Ih Thian-heng banya menggunakan tenaga sedikit sekali. Kebalikannya Long Kong-siau menumpahkan seluruh tenaganya. Akibatnya ia kehilangan keseimbangan tubuh.

Pada saat itu Ca Cu – jing kembali lepaskan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun. Tetapi kali ini Ih Thian-heng diam-diam telah kerahkan tenaga dalam untuk menghalau.

Ca Cu – jing rasakan lengannya tergetar. Serentak ia menggembor keras dan lontarkan sebuah Peh-poh-sin-kun pula.

Oleh karena ia menduga Ih Thian-heng pasti akan kerahkan tenaga untuk menangkis, maka kali ini Ca Cu-jing gunakan sembilan bagian tenaganya.

Tetapi di luar dugaan, Ih Thian-heng tak mau adu kekerasan. Mendadak ia melesat menghindar ke samping. Wut… angin pukulan Ca Cu-jing yang dahsyat itu melanda ke arah Nyo Bun – giau!

Memang Ih Thian-heng selalu sakti pun pintar sekali. Ia memperhitungkan arah sambaran angin pukulan dari Ca Cu – jing serta tempat kepala marga Ca itu berdiri. ternyata tetap menjurus ke arah Nyo Bun – giau. Dengan begin], asal ia menghindar ke samping, angin pukulan Ca Cu-jing itu pasti akan mendampar ke tempat Nyo Bun – giau.

Ca Cu – jing menggunakan tenaga penuh dan pukulan Peh – poh – sin – kun itu merupakan pemusatan dari tenaga dalam. lalu dari pukulan biasa. Begitu dilepas, sukar untuk ditarik secara mendadak.

Ca Cu – jing terkejut dan cepat-cepat berteriak, “Saudara Nyo, awas angin pukulanku!”

Sesungguhnya walaupun tak diteriaki, Nyo Bun – giaupun sudah waspada. Cepat ia loncat menghindar ke samping.

Celaka! Pada saat Ca Cu – jing tumpahkan perhatian untuk memberi peringatan kepada Nyo Bun – giau, Ih Thian-heng menggunakan kesempatan kosong itu untuk menyerang. Dalam beberapa kejab saja ia sudah lancarkan lima buah pukulan dan empat buah tutukan jari. Kesemuanya merupakan pukulan dan tutukan yang mengandung tenaga – dalam hebat.

Ca Cu – jing berlincahan menghindar mundur sampai delapan sembilan langkah.

Untunglah saat itu Leng Kong – siau segera menyerang Ih Thian-heng dari belakang. Dengan demikian dapatlah Ca Cu – jing terlepas dari taburan serangan.

Ih Thian-heng tertawa lepas. “Nyo Bun – giau, mengapa engkau tak ikut maju?”

Nyo Bun – giau melirik Ca Cu-jing lalu menyahut dingin, “Yang melakukan kejahatan memang tak pantas hidup. Mengapa saudara Ih mendesak kami bertiga supaya mengeroyok? Kalau nanti saudara terluka, itu berarti saudara cari penyakit sendiri!”

Ih Thian-heng merobah pukulannya. Setelah berturut – turut melancarkan empat pukulan untuk mengundurkan Leng Kong – siau, ia tertawa, “Jika saudara Nyo tak ikut, mereka berdua tentu tak mampu melayani aku sampai 100 jurus!”

Melihat Nyo Bun – giau ternyata tak menderita luka, semangat Ca Cu – jing makin besar. Berteriaklah ia sekerasnya, “Tak perlulah kiranya saudara Nyo omong ceng – li (nalar) kepada orang semacam dia! Dia berulang kali menantang kita bertiga supaya mengeroyoknya. Saudara Cong menjadi saksinya. Jika hari ini kita tak dapat mengalahkannya, sungguh kita bakal tak punya muka lagi ketemu dengan sahabat – sahabat persilatan.”

Dengan kata-kata itu, Ca Cu – jing hendak menganjurkan kepada Nyo Bun – giau dan Leng Kong-siau, supaya bertempur dengan sepenuh tenaga untuk menghancurkan Ih Thian-heng.

Tiba-tiba Nyo Bun – giau tertawa nyaring, serunya, “Saudara Ca memang benar. Bila hari ini tak memberinya sedikit hajaran, tentulah Tiga Marga dan Dua Lembah akan menjadi buah tertawaan orang persilatan.”

Rupanya Leng Kong – siau tergugah semangatnya mendengar pembicaraan itu. Ia tertawa nyaring, “Saudara berdua benar.JiAka hari ini Ih Thian-heng tak dilenyapkan, Dua Lembah dan Tiga Marga tentu takkan hidup tenang!”

Ih Thian – hang tertawa congkak ; “dalam berkelahi, mata dan kaki tak kenal kasihan. Harap kalian bertiga hati-hati!” ia terus loncat menyerang Nyo Bun – giau.

Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau serempak menggembor dan maju menyongsong.

Pertempuran saat itu benar-benar merupakan sebuab peristiwa yang jarang terjadi dalam dunia persilatan. Beberapa tokoh terusama telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat.

Dalam tahuran pukulan tiga orang tokoh tangguh, Ih Thian-heng berlincahan menghindar dan setiap kalipun balas menyerang.

Dalam sekejab mata, mereka berempat sudah bertempur sampai 20 jurus lebih.

Sambil menyerang, Nyo Bun – giau tak henti-hentinya berseru, “Saudara Ca dan Leng, harap pertahankan kedudukan, aku hendak mencobanya dengan beberapa jurus!”

Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau makin lama makin bersemangat, seru mereka serempak, “Silahkan saudara Nyo turun tangan!”

Mendadak Nyo Bun – giau merobah serangannya. Ia mengeluarkan ilmu pukulan Kim – sat-san-jiu atau Pukulan Pasir Emas yang termasyhur. Ditingkah sinar matahari, gerakan tangan Nyo Bun – giau itu memancarkan sinar berkilat dan deru angin yang tajam.

Gerakan pukulan itu tak berapa cepat tetapi dahsyatnya bukan main. Getarannya sampai meliputi seluas beberapa meter.

Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau diam-diam terkejut, pikirnya, “Orang ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat tetapi dunia persilatan tak pernah mendengarnya!”

Rupanya Ih Thian – hang juga terkesiap menyaksikan kehebatan pukulan Pasir Emas itu. Ia tak berani menangkis dan tiba-tiba menghindar kesamping.

Arah penghindarannya itu tepat menuju kemana penjagaan Ca Cu- jing. Sambil memukul, Ih Thian-heng berseru pelahan, “Pulanglah!”

Setelah menangkis pukulan Ca Cu -jing, Ih Thian-heng mundur selangkah.

Tepat pada saat itu, pukulan Nyo Bun – giau mengancam kepala orang she Ih itu. Sedangkan Leng Kong – siau tanpa bicara apa-apa terus maju menghampiri dan menghantam punggung Ih Thian-heng.

Wajah Ih Thian-heng berobah tegang. Ia merapatkan kedua tangan untuk menyambut pukulan Nyo Bun – giau.

Melihat Ih Thian-heng tumpahkan seluruh perhatiannya ke arah pukulan Nyo Bun – giau, dam seolah – olah tak mengacuhkan dirinya, diam-diam Leng Kong – siau girang. Ia percepat pukulan ke punggung Ih Thian-heng.

Bum…. terdengar bunyi macam kulit tambur terpukul. Ih Thian-heng pelahan-lahan menyurut mundur selangkah. Leng Kong-siau mendengus dingin dan menyurut mundur.

“Bagaimana saudara Leng?” seru Ca Cu-jing terkejut.

Leng Kong – siau tak menjawab melainkan mundur sampai tujuh delapan langkah baru ia berdiri tegak.

Saat itu terjadilah benturan pukulan Nyo Bun – giau dengan Ih Thian-heng. Di luar dugaan, pukulan Nyo Run – giau yang begitu dahsyat ternyata ketika beradu dengan lengan Ih Thian-heng yang digerakkan pelahan – lahan itu, keduanya sama melangkah mundur.

Peristiwa Leng Kong-siau memukul punggung Ih Thian-heng lalu menyurut mundur dan adu pukulan antara Ih Thian-heng dengan Nyo Bun-giau walaupun berlangsung susul menyusul tetapi tampaknya seperti terjadi pada waktu berbareng.

“Saudara Nyo, apakah engkau terluka?” teriak Ca Cu – jing tertegun.

Nyo Bun – giau deliki mata dan berseru, “Luka Ih Thian-hengpun tak lebih ringan dari aku!” Ca Cu – jing tergerak hatinya. Ia tertawa nyaring, “Lihatlah, aku hendak melampiaskan dendam saudara Leng dan saudara Nyo!”

Wut… ia terus menghantam Ih Thian-heng.

Saat itu wajah Ih Thian-heng tampak pucat.

Tiba-tiba ia membuka mata dan secepat kilat dorongkan tangannya untuk menangkis pukulan Leng Kong – siau.

Benturan itu telah menimbulkan angin keras Ca Cu – jing mendengus pelahan-lahan mundur dua langkah. Walau pun tubuh Ih Thian-heng tak bergoyang tetapi wajahnya makin pucat. Keringat bercucuran deras.

Cong To yang memperhatikan keadaan jago2 itu menghela napas, “Mereka berempat telah menderita luka berat. Menilik gelagatnya, mereka sudah tak mampu bertempur lagi!”

Ca Giok yang sejak tadi berdiri di pinggir berdiam diri, saat itu menyelutuk, “Benarkah itu Cong lo-ciaupwe?”

Cong To tersenyum, “Mengapa? Apakah engkau hendak memungut keuntungan?”

“Ah, tidak. Aku hanya memikirkan keadaan ayahku,” sahut Ca Giok.

Cong To tertawa, “Tak jadi apa. Mereka berempat walaupun menderita luka – dalam tetapi tak sampai membahayakan jiwanya. Sekalipun begitu apabila sekarang ini ada orang yang hendak menyerang mereka, memang gampang sekali untuk membunuhnya.”

Sambil kerahkan tenaga – dalam, Ca Giok berkata, “Bagaimana kalau kuperiksa luka ayah?”

Saat itu Ting Lingpun sudah tersadar. Tetapi ia pura-pura masih pingsan dan rebahkan diri di haribaan Cong To. Begitu melihat Ca Giok hendak menghampiri ke tempat ayahnya, Ting Ling berbisik ; “Yah, Ca Giok hendak menyerang Ih Thian-heng….”

Cong To kerutkan dahi lalu berteriak, “Ca Giok, lekas kembali! Ilmu Thay kek-gi-kang dari Ih Thian-heng, tiada yang menandingi. Kalau engkau hendak menyerangnya secara diam-diam, engkau akan cari penyakit buat diri sendiri!”

Ca Giok hentikan larinya dan berpaling. “Urusan apa?” tanyanya pura-pura tak mengerti.

Cong To mendengus, “Binatang merayap seratus kaki, matipun masih bergeliatan. Sekalipun saat ini Ih Thian-heng sudah tak mempunyai kemampuan untuk bertempur tetapi dengan modal kepandaianmu yang hanya begitu itu, sukar untuk melukainya. Pengemis tua memberi tahu kepadamu agar menghapus saja pikiran untuk mencelakainya agar engkau jangan cari penyakit buat diri sendiri!”

Ca Giok tersenyum kecil, “Kebaikan lo-cianpwe pasti kuingat selamanya!” – ia terus lanjutkan langkah ke muka.

Sekonyong-konyong terdengar derap langkah orang. Sesaat kemudian muncullah Hud Hoa Kongcu berlari – lari mendatangi dengan pakaian kusut dan berlumuran debu.

“Yah, apakah Hud Hoa kongcu itu dapat membuka jalandarahnya yang tertutuk itu?” bisik Ting Ling kepada Cong To.

Sepanjang hidupnya, Cong To berkelana tiada empat menetap yang tertentu. Kecuali hanya dengan sumoaynya, seumur hidup ia belum pernah bergaul dengan anak perempuran. Tak pernah ia mengenyam kebahagiaan menjadi ayah. Pada saat itu ia benar-benar tersentuh perasaannya karena dipanggil ‘ayah’ oleh Ting Ling.

“Ha, ha, jangan kuatir,” katanya tertawa riang, “kalau pengemis tua disini, siapapun jangan harap dapat mengganggumu!”

Kiranya dengan membopong Ting Ling, Hud hoa kongcu membawanya lari melintasi beberapa gunduk kuburan lalu berhenti. Dia bagaikan seekor harimau yang kelaparan. Menggondol seorang mangsa yang cantik, ia benar-benar lupa daratan. Darahnya mengalir deras, nafsunya menyala keras. 3egitu meletakkan Ting Ling, ia terus hendak nelampiaskan nafsunya. Tetapi Cong To dapat nengejar dan menutuk jalandarah pemuda yang gemar wanita itu.

Karena sedang dibakar api kenafsuan, maka dengan mudah dapatlah Hud Hoa kongcu tertutuk jalandarahnya.

Setelah tertolong oleh Cong To, Ting Ling marah sekali. Ia menghajar pemuda itu sepuasnya. Karena tertutuk jalandarahnya, Hud Hoa kongcu tak dapat berbuat apa-apa. Mukanya bengap2, pakaian compang camping tak keruan.

Walaupun mulut Cong To menghibur Ting Ling begitu, tetapi diam-diam hatinya terkejut mengetahui pemuda itu mampu membuka jalandarahnya yang tertutuk itu.

“Hm, boleh juga pemuda itu. Sungguh seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan,” pikirnya.

Dengan dua kali loncatan, tibalah Hud Hoa kongcu di samping Ih Thian-heng, serunya, “Saudara Ih,” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat Ih Thian-heng pejamkan mata dan pucat wajahnya.

Tiba-tiba Ih Thian-heng membuka mata dan tersenyum ; “Aku terluka!”

Sesungguhnya Hud Hoa kongcu geram sekali karena Ih Thian-heng tak memberi pertolongan kepadanya. Tetapi demi melihat orang itu terluka, lenyaplah kemarahannya.

Memandang ke muka, Hud Hoa kongcu melihat Ca Giok sedang berjalan mendatangi. Seketika kemarahan yang tersumbat tadi ditumpahkan kepada Ca Giok. Dengan menggembor keras ia lampiaskan kemarahan yang tersumbat tadi, ditumpahkan menghantam pemuda itu.

Ca Giok terkejut. Ia hendak menghindar tetapi kuatir Hud Hoa kongcu akan menyerang ayahnya. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam dan lepaskan pukulan Peh-poh-sin-kun.

Ketika kedua pukulan itu saling beradu, timbullah angin kisaran yang deras. Hud Hoa kongcu tetap tegak tak bergetar. Kebalikannya Ca Giok tersurut mundur selangkah.

Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing serentak memandang ke arah Ca Giok tanpa berkata apa-apa.

Saat itu, tokoh-tokoh yang habis bertempur itu sedang berusaha untuk menyembuhkan lukanya. Mereka seolah-olah berlomba. Siapa yang sembuh lebih dulu, dialah yang bakal memenangkan pertempuran itu. Maka setiap detik, sangat berharga sekali bagi mereka.

Setelah lepaskan hantaman tadi, tiba-tiba telinga Hud Hoa kongcu terngiang oleh suara Ih Thian-heng dalam ilmu Menyusup-suara, “Harap saudara Siong jangan turun tangan lagi. Cepat tinggalkan tempat ini. Pergilah ke arah barat, lima li jauhnya, segeralah engkau lepaskan obat pasang yang kuberikan kepada saudara itu, untuk memanggil orang-orang kita. Jika mereka datang tepat pada waktunya, tentu dapat menyelesaikan orang-orang ini sampai ludas!”

Hud Hoa kongcu terkesiap. Dengan geram ia deliki mata kepada Cong To lalu cepat berputar tubuh dan melakukan perintah Ih Thian-heng.

Jika dia tak deliki mata begitu rupa kepada Cong To, mungkin takkan menimbulkan kecurigaan Ting Ling. Tetapi karena ia tak dapat menahan getaran perasaannya, Ting Ling cepat menduga jelek.

Sambil memandang pemuda yang tergopoh-gopoh lari itu; Ting Ling membisiki Cong To, “Yah, lekas suruhlah Ji siangkong mengejar dan menangkapnya. Kukuatir pemuda itu akan melakukan siasat jahat kepada kita.”

Cong To tertegun. Cepat ia berpaling ke arah Han Ping. ternyata saat itu Han Ping tengah menengadah memandang langit. Seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu yang penting.

Sejenak bersangsi, berserulah Cong To memanggilnya, “Han Ping!”

Han Ping cepat mengiakan dan menghampiri, “Apakah lo-cianpwe memanggil aku?”

“Lekas kejar dan bawa kemari Hud Hoa kongcu itu!”

Memandang ke muka ternyata bayangan Hud Hoa kongcu sudah tak kelihatan. Han Ping terkesiap, serunya, “Kemanakah dia?”

Ting Ling menghela napas perlahan; “Ah, terlambat!”

“Apakah yang terlambat?” seru Cong To.

“Tempat ini sebuah belantara yang dapat menembus ka seluruh penjuru. Entah kemanakah larinya Hud Hoa kongcu itu. Untuk mengejarnya memang tak mudah!” kata Ting Ling.

Nona itu berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Tetapi masih ada akal. Tanyakan pada Ih Thian-heng mungkin dapat kita ketahui tujuan pemuda itu.”

Cong To lepaskan tubuh Ting Ling, katanya, “Engkau tunggu di sini, aku hendak bertanya kepada Ih Thian- heng.”

Rupanya pengemis sakti itu menyadari gentingnya suasana saat itu. Cepat-cepat ia lari menghampiri dan berseru nyaring, “Ih Thian-heng!”

Ih Thian-heng membuka mata dan menjawab, “Saudara Cong perlu apa?”

“Kemanakah perginya Hud Hoa kongcu tadi?”

Jawab Ih Thian-heng, “Mungkin karena mengetahui aku terluka herat, ia tak mau tinggal lebih lama di sini dan terus pergi!”

Diam-diam Cong To mengakui jawaban itu memang beralasan. Maka bertanyalah ia pula, “Apakah ia hendak pulang ke Kwan gwa?”

“Entahlah, aku kurang jelas!” kata Ih Thian-heng. Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Jika sekiranya saudara Cong tak bermaksud mencelakai. Harap jangan tanya apa-apa lagi kepadaku. Karena apabila Nyo Bun- giau dan Ca Cu-jing dapat sembuh lebih dulu,” aku tentu sukar mempertahankan jiwaku.”

Cong To tertegun lalu mundur. Diam-diam ia menimang, “Mereka sama menderita luka parah. Jika pengemis tua turun tangan, mereka tentu akan remuk binasa semua. Tetapi apakah aku dapat berbuat begitu?”

Tengah ia merenung tiba-tiba terdengar letusan hebat. Sebagai seorang persilatan yang kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, tahulah ia bahwa letusan itu berasal dari obat pasang yang disulut orang. Ia kerutkan dahi.

Nyo Bun giau tiba-tiba membuka mata dan berseru nyaring, “Saudara Ting, apakah engkau terluka berat?”

Sejenak Ting Yan-san merenung. Seketika ia dapat menangkap apa maksud pertanyaan Nyo Bun-giau itu. Secepat kilat ia loncat bangun dan menghampiri Ih Thian heng seraya menjawab Nyo Bun giau, “Tenaga-murniku sudah pulih kembali.”

Diantara tokoh-tokoh yang berada di situ, kecuali Ih Thian-heng, Nyo Bun-giaulah yang paling cerdas dan licin. Begitu melihat Hud Hoa kongcu pergi dan tak berapa lama kemudian terdengar letusan, cepat ia dapat menduga bahwa Ih Thian-heng sedang melakukan rencana jahat. Seketika meluaplah nafsu pembunuhannya. Maka cepat Ting Yan-san diberi isyarat agar menggunakan ke-sempatan selagi Ih Thian-heng sedang melakukan pernapasan itu, segera turun tangan.

Ih Thian-heng deliki mata dan berseru nyaring, “Kim loji, aku takkan mengurus lebih lanjut tentang penghianatanmu. Tetapi kuminta engkau suka membantuku untuk yang terakhir kalinya. Layanilah Ting Yan-san sampai 50 jurus!”

Kim loji merenung sejenak lalu menyahut, “Jika engkau mau mencabut jarum beracun pada tulangku, aku tentu akan membantumu!”

Ih Thian- heng tersenyum, “Baiklah, engkau mau tawar menawar dengan aku….”

Pada saat itu Ting Yan-san sudah melesat ke samping Ih Thian-heng dan menghantamnya.

Ih Thian-heng mengempos semangat dan loncat menghindar seraya berseru kepada Kim loji, “Baiklah, tetapi jika engkau tak mampu menahan Ting Yan-san sampai 50 jurus. jangan sesalkan aku akan menarik kembali janjiku!”

Kim loji mengiakan lalu loncat menghantam punggung Ting Yan-san.

Ca Giok tiba-tiba melangkah maju merintangi, “Kim lo-cianpwe, harap pelahan dulu. Maukah mendengarkan sepatah kataku dulu?”

Dalam pada itu, Ting Yan-san sudah lancarkan serangan sampai belasan jurus sehingga Ih Thian-heng yang menderita luka itu harus berlincahan menghindar. Tubuhnya bermandi keringat.

Kim loji ayunkan tangan membentak Ca Giok, “Menyingkirlah, kalau mau omong nanti saja!”

Tetapi Ca Giok tak mau menyingkir malah menangkis seraya berseru, “Urusan ini menyangkut soal mati hidup. Tak boleh ditunda lagi. Asal lo-cianpwe suka menunggu sebentar saja, urusan yang akan kukatakan tentu sudah selesai!”

Kim loji sudah kenyang pengalaman. Ia tahu bahwa Ca Giok hendak memperpanjang waktu agar Ting Yan-san mempunyai kesempatan untuk melukai Ih Thian-heng.

Han Ping yang menyaksikan peristiwa itu, menjadi bingung. Ia anggap orang-orang itu tak layak ditolong. Ia tak tahu siapa di antara mereka yang baik dan yang buruk. Akhirnya ia berpaling ke arah Cong To, “Cong lo cianpwe, kita perlu turun tangan atau tidak?”

“Lebih baik jangan membantu siapa saja dan hanya menonton bagaimana kesudahannya nanti,” sahut Cong To.

Ketika Han Ping berpaling ke muka lagi, dilihatnya Kim loji sedang bertempur mati-matian melawan Ca Giok.

Dengan lengannya yang tinggal satu, Kim loji menyerang dengan seru. Setiap serangannya ditujukan pada jalandarah berbahaya di tubuh lawan. Sedang Ca Giok tampaknya tak mau melukainya. Kecuali untuk menghindari serangan yang berbahaya, barulah ia mau menggunakan tenaga keras.

Ting Ling menghampiri ke samping Han Ping, bisiknya, “Engkau sudah dipandang sebagai tokoh persilatan yang ternama.”

“Mengapa?” Han Ping tertegun heran.

“Kim loji masih belum biasa bertempur dengan sebuah tangan. Gerakannya masih kaku. Jika Ca Giok sungguh-sungguh mau menyerang keras seperti lawannya, mungkin Kim loji tak dapat bertahan lagi!” kata si nona.

Han Ping mengangguk, “Benar!”

“Tahukah engkau apa sebab Ca Giok tak mau menyerang sungguh-sungguh?” tanya si nona pula.

Tiba-tiba Han Ping seperti tersadar. Ia tersenyum tetapi tak menyahut.

Ting Lingpun tertawa juga, “Kalau sampai melukai Kim loji, dia takut kepadamu. Itu masih belum mengherankan. Tahukah engkau pula bahwa Ih Thian-heng juga takut kepadamu?”

Tiba-tiba saja ia merasa ucapannya itu kurang tepat maka buru-buru ia batuk-batuk lalu menambahi lagi, “Juga terhadap ayah-angkatku….”

Cong To tertawa gelak-gelak, “Kalau takut kepadanya itu benar tetapi kalau takut kepada pengemis tua ini, ah belum tentu!”

“Sekalipun ayah belum tentu mampu menandingi Ih Thian-heng, tetapi ayah memiliki peribadi yang tulus jujur. Dalam hati, sesungguhnya Ih Thian-heng sudah gentar tiga bagian dan tiga bagian jerih terhadap keberanian ayah. Dengan beberapa ketakutan itu, turunlah moril Ih Thian-heng dan berkuranglah gaya permainan silatnya. Itulah sebabnya mengapa Ih Thian-heng berani memandang rendah Tiga Marga dan Dua Lembah tetapi tak berani memandang rendah kepada ayah.”

Cong To tertawa meloroh, “Bagus, ho engkau memberi topi kebesaran kepada kepala ayah-angkatmu ini!”

“Apa yang kukatakan itu memang suatu kenyataan. Namun kalau ayah tak percaya akupun tak dapat berbuat apa-apa,” kata Ting Ling.

Han Pingpun membenarkan pernyataan nona itU.

“Keadaan saat ini hanyalah suatu ketenangan sementara dari datangnya suatu prahara,” kata Cong To, “dalam waktu sejam lagi tentu akan terjadi perobahan besar. Jika dalam saat2 mereka belum sembuh dari lukanya, pengemis tua turun tangan, jangan harap mereka dapat hidup. Ai, tetapi dalam hidup pengemis tua, tak pernah mencelakai orang yang sedang menderita!”

“Ayah, aku menyangsikan sebuah hal….” tiba-tiba Ting Ling berkata.

“Soal apa?”

“Sekalipun dari kerut wajah Ih Thian-heng belum dapat kuketahui jelas apakah dia benar – benar terluka atau tidak, tetapi kurasa tenaganya masih belum habis, masih menyimpan tipu muslihat!”

Cong To menghela napas, “Ih Thian-heng memang manusia hebat. Tiada seorangpun yang dapat menduga setiap gerak geriknya. Tetapi apa yang terjadi saat ini, memang tak mungkin selesai begitu saja. Pengemis tua pun mempunyai perasaan begitu juga.”

“Entah apa yang sedang dirancang Ih Thian-heng tetapi kita lebih baik berjaga – jaga. Lebih baik kalau ayah dapat berusaha untuk memperoleh sedikit pegangan darinya, agar jangan sampai….”

Cong To gelengkan kepala tertawa, “Penge-mis tua dapat membunuhnya, demi melenyapkan sebuah bencana besar dalam dunia persilatan .”

“Kalau begitu harap segera turun tangan saja! Malam panjang impian berobah, dikuatirkan akan terjadi perobahan lagi!” kata Ting Ling.

“Tak perlu engkau mendesak,” kata Cong To, “sekalipun kutahu bahwa apabila kesempatan saat ini sampai hilang, tentu sukar untuk membunuh Ih Thian-heng. Tetapi pengemis tua tiba-tiba menyadari bahwa apabila tak ada Ih Thian-heng, tentulah dunia persilatan takkan timbul peristiwa seperti sekarang ini. It – kiong. Si -Loh dan Sam – poh tentu tetap akan menjagoi dan memperluas pengaruhnya. Keadaan dunia persilatan tentu lebih banyak kesulitan lagi. Memang dalam soal keganasan, Ih Thian-heng lebih unggul dari Dua Lembah dan Tiga Marga. Tetapi Ih Thian-heng dapat dijadikan imbangan kekuatan yang bagus. Dengan adanya orang itu dapatlah Dua Lembah, Tiga Marga dan Sembilan partaipartai persilatan tak sampai saling bermusuhan. Dalam hal itu memang ada juga jasa Ih Thian-heng.”

Ting Ling tertawa hambar, “Sekalipun ucapan ayah benar, tetapi dengan racun mengobati racun, bukanlah cara yang benar. Sekali imbangan kekuatan itu hilang, maka timbullah kekacauan, pembunuhan dan pertikaian!”

“Tetapi dewasa ini dalam dunia persilatan belum terdapat lain orang yang mampu menggantikan kedudukan Ih Thian-heng sebagai imbangan kekuatan,” bantah Cong To.

Han Ping hanya berdiri di samping mendengari pembicaraan kedua orang itu. Diam – diam ia termakan oleh ucapan Cong To yang mengatakan bahwa dalam dunia persilatan dewasa itu tiada tokoh yang dapat menggantikan peranan Ih Thian-heng.

Tiba-tiba terdengar suara dengusan tertahan menukas pembicaraan Cong To dan Ting Ling.

Ketika Han Ping mengangkat muka tampak Kim Loji berturut – turut mundur sampai empat lima langkah. Han Ping kerutkan kening dan cepat loncat ke samping pamannya itu, tanyanya, “Apakah paman terluka?”

Belum Kim Loji menjawab, Ca Giok sudah mendahului. “Maaf, aku telah kelepasan tangan memukul Kim lo-cianpwe,” serta merta ia menjura memberi hormat.

Han Ping goyangkan tangan sebagai balas hormat. Dipandangnya Kim Loji dengan cermat, lalu katanya, “Apakah paman terluka berat?”

“Tak apa-apa…” kata Kim Loji lalu tiba-tiba berseru nyaring, “Ih Thian-heng, kalau kuminta lain orang untuk menahan Ting Yan-san sampai 20 jurus, engkau anggap atau tidak?”

Saat itu memang Ih Thian-heng sudah kalang kabut menghadapi serangan Ting Yan – san. Tetapi ia tetap rangkapkan kedua tangannya tak mau balas menyerang. Mendengar seruan Kim Loji, ia tersenyum, “engkau berani memanggil namaku begitu saja….”

Tiba – tiba ia menghindari dua buah pukulan Ting Yan- san lalu berseru, “Baiklah! Kerena aku memang bermaksud hendak memberi kebebasan kepadamu, maka siapa saja yang mewakilimu, boleh juga. Asal yang penting dapat menahan serangan Ting Yan – san ini sampai 50 jurus!”

“Anak Ping, lekas engkau tahan Ting Yan-san sampai 50 jurus saja,” kata Kim Loji kepada Han Ping.

Han Ping tertegun, “Apa? Apakah paman suruh aku membantu Ih Thian-heng?”

“Bukan suruh engkau membantunya. Tetapi mewakili aku menahan serangan Ting Yan – san sampai 50 jurus dan segeralah engkau mundur!”

Melihat wajah sang paman begitu ketakutan, Han Ping tak mau mendesak lebih lanjut. Ia terus loncat ke samping Ih Thian-heng seraya ayunkan tangan kiri untuk menangkis serangan Ting Yan – san.

“Huh, engkau hendak menempur aku?” Ting Yan – san marah sekali.

“Aku hendak menahan seranganmu hanya untuk 50 jurus saja,” jawab Han Ping.

“Cobalah saja!” seru Ting Yan san Liu menahan hatinya.

Han Ping menangkis. Setelah pukulan orang tersiak, ia tak mau balas menyerang.

Bemula Ting Yan – san masih kuatir kalau pemuda itu akan balas menyerang. Tetapi setelah berlangsung beberapa jurus, barulab ia yakin kalau pemuda itu takkan membalas. Segera ia lancarkan pukulan yang ganas.

Han Ping gunakan ilmu mengerat jalandarah dan memukul urat. Dengan ilmu itu ia dapat memaksa Ting Yan – san menarik pulang setengah jalan serangannya. Tetapi ia tetap tak mau meneruskan gerakannya itu untuk balas menyerang Ting Yan-san.

Tigapuluh jurus Ting Yan-san menyerang, tiba-tiba timbullah rasa takutnya kepada pemuda itu. Ia hentikan serangan dan loncat mundur. Serunya dingin, “Mengapa engkau tak balas menyerang?”

Ternyata sebagai orang tokoh persilatan ia cepat dapat mengetahui bahwa gerak tangkisan pemuda itu sesungguhnya, apabila dilanjutkan, merupakan suatu jurus serangan yang berhahaya sekali. Walaupun setiap kali pemuda itu selalu menarik kembali gerakan tangannya. tetapi Ting Yansan tetap kuatir kemungkinan pada suatu saat pemuda itu akan berobah pendiriannya dan benar-benar mau menyerangnya.

Itulah maka ia loncat mundur untuk mengatur langkah lagi bagaimana harus menghadapi pemuda itu.

“Telah kukatakan tadi, bahwa aku hanya akan menyambut seranganmu sampai 50 jurus,” sahut Han Ping tawar.

“Huh, engkau anggap aku ini orang apa mau menerima kemurahan dari seorang bocah ingusan seperti engkau.”

Han Ping kerutkan dahi lalu membentak marah, “Habiskan sisa 20 jurus itu, baru aku nanti mau membalas!”

Diam-diam saat itu Ting Yan-san kerahkan tenaga-dalam Han-im-gi-kang. Ia hendak lancarkan ilmu cakar setan Hian-im-kui-cau yang terdiri dari 24 jurus. Ia hendak menghajar Han Ping.

Melihat wajah Ting Yan-san berobah seperti warna besi dan tulang belulangnya ber-derak2 sena kulitnya menyusut kerut, diam-diam Han Pingpun meningkatkan kewaspadaannya dan siap menjaga setiap kemungkinan.

Setelah mempersiapkan tenaga-dalam Han-im- gi- kang, Ting Yan-sanpun tertawa seram, “Engkau sendiri yang tak mau balas menyerang. Jika sampai terluka, janganlah engkau sesalkan aku l”

Selama beberapa bulan ini memang makin bertambah luas pengalaman Han Ping tentang seluk beluk dunia persilatan. Ia tertawa dingin, “Tak usah engkau membakar hatiku. Sekali kukatakan tak mau balas menyerang, ilmu apapun yang hendak engkau gunakan untuk menyerang diriku, aka tetap takkan membalas!”

Diam-diam bersoraklah hati Ting Yan-san, pikirnya, “Tenaga- dalam Han-im gi-kang dan ke 24 jurus cakar setan Hian-im kui cau itu, merupakan ilmu simpanan dari Lembah Raja Setan. Kecuali kalau didahului musuh sehingga aku tak herdaya menggunakan ilmu itu, sekali mendapat kesempatan melancarkan, musuh yang bagaimana saktinyapun tak mungkin mampu menghadapinya. Hm, budak gila engkau cari sakit sendiri!”

Ting Ling yang berada di belakang, cepat dapat menyadari keadaan yang berbahaya itu. Ia tahu bahwa pamannya sudah mempersiapkan Han-im- gi-kang dan hendak menyerang dengan Hian-im-kui-cau. Diam-diam nona itu gelisah dan cepat berseru pelahan, “Paman….”

Ting Yan-san mendengus dingin. “Mengapa?”

“Apakah paman hendak menggunakan Hian-im-kui-cau dari kaum kita?”

“Siapa suruh engkau banyak mulut? Lekas menyingkir!”

Tetapi Ting Ling tetap tak gentar, ujarnya pula, “Tetapi ayah pernah menandaskan bahwa kecuali menghadapi bahaya maut, barulah boleh menggunakannya. Hal itu demi menjaga agar jangan sampai ilmu kebanggaan kaum Lembah Raja Setan itu diketahui orang. Apabila ayah tahu paman hendak menggunakan ilmu itu saat ini, kemungkinan beliau tentu tak senang….”

Ting Yan-san bahwa anak kemenakannya itu sengaja hendak memperdengarkan pembicaraan itu kepada Han Ping. agar pemuda itu dapat berjaga-jaga. Maka bukan mainlah marahnya ia. Ia tertawa dingin, “Bagus, pamanmu sendiripun hendak engkau jual. Benar-benar engkau memang bosan hidup!”

“Aku berkata dengan sunggguh hati dan maksud baik. Jika paman tak mau percaya, aku-pun tak dapat berbuat apa-apa!”

Ting Yan-san tahu bahwa apabila ia melayani bicara dengan anak perempuan itu tentu makin banyak rahasia yang akan dibocorkan. Maka cepat ia berpaling muka dan tak menghiraukan Ting Ling lagi. Serunya nyaring kepada Han Ping, “I1mu Hian-im-kui-cau dari Lembah Raja Setan jarang sekali orang persilatan yang mampu menahan. Sebelum turun tangan, aku hendak memberimu kesempatan. Jika sekarang engkau mengatakan mau balas menyerang, masih belum terlambat!”

Dengan garang Han Ping tertawa, “Jika sampai terluka ditanganmu, salahku sendiri karena kepandaianku yang masih dangkal. Tetapi setelah 24 jurus itu, aku bebas dari janjiku ini!”

“Jika engkau mampu bertahan pada 24 jurus seranganku itu, akupun akan menyatakan kalah dengan ikhlas hati!” sahut Ting Yan-san.

“Baiklah, kita setujui perjanjian itu. Tetapi apabila nanti engkau kalah, engkau harus meluluskan sebuah permintaanku!” kata Han Ping.

Tanpa banyak pikir lagi karena yakin pemuda itu tentu kalah, Ting Yan-san cepat menyahut, “Jika aku kalah denganmu, aku rela melakukan perintahmu.”

“Baik, silahkan mulai!” seru Han Ping.

Ting Ling memandang ke arah pemuda itu dengan sebuah helaan napas, pikirnya ; “Ah, apakah engkau bukannya mencari kematian sendiri? Sekalipun engkau bebas menangkis, belum tentu dapat menahan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan. Apalagi engkau tak balas menyerang….”

Rupanya pengemis sakti Cong To tahu apa yang diresahkan nona itu. Ia tertawa gelak-gelak, “Tak usah engkau mencemaskan dia, kembalilah kemari. Dengan kepandaian yang tak berarti dari Lembah Raja Setan, tak nanti dapat melukainyal”

Sejak terjeblus dalam penjara – air bersama Han Ping, barulah ia mengetahui bahwa pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.

Memastikan bahwa dalam 10 jurus saja pemuda itu pasti terluka atau mati, Ting Yan – san tertawa garang; “Hati – hatilah, aku segera turun tangan!”

Han Ping mengempos semangat, mengerahkan tenaga murni dan menyahut, “Silahkan!”

Ting Yan – san mengangkat tangan kirinya, jarinya setengah ditekuk lalu cepat-cepat mencengkeram dada Han Ping.

Han Ping dapatkan bahwa kelima jari tokoh Lembah Raja Setan itu mengandung hawa Im-han atau hawa dingin – jahat. Diam-diam tergetarlah hatinya. Cepat ia menghindar kesamping.

Ting Yan-san tertawa dingin lalu mencengkeram dengan tangan kanan. Cengkeraman itu lebih ganas. Seketika Han Ping rasakan dirinya dilanda oleh hawa dingin. Terpaksa ia putar tangan kanannya untuk menghalau serangan ganas itu. Pikirnya Karena aku terikat janji tak boleh balas menyerang maka dia menyerang seganas-ganasnya dengan bebas.”

Dalam pada itu Ting Yan – sanpun sudah lan-carkan ke 24 jurus Hian – im – kui – cau. Udara disekelilingnya seolah – olah penuh dengan tahuran jari dan hamburan angin dingin.

Han Ping cepat dapat menyadari bahwa saat itu ia sedang berhadapan dengan sebuah ilmu kepandaian istimewa yang amat ganas. Apalagi hamburan jari yang sukar ditangkis itu, sedangkan hawa dingin yang berhamburan itu saja sudah membuat orang tak kuat bertahan.

Saat itu Ting Ling dan Cong To sudah merasa sesuatu yang tak lancar. Kiranya saat itu Han Ping kena terkurung oleh bayang-bayang dari Ting Yan – san.

Sejenak memandang Cong To, berkatalah Ting Ling dengan geram, “Kubilang dia tak dapat bertahan tetapi engkau tetap tak percaya! Sekarang, bagaimana, percaya atau tidak!”

Jawab Cong To seenaknya. “Ting Yan- san sudah menyerang 10 jurus, asal dia dapat bertahan 10 jurus lagi, tentu boleh balas menyerang!”

“Sekalipun tak dapat menggunakan ilmu Hian – im – kui – cau itu tetapi kutahu bagaimana kehebatan ilmu itu. Apabila pamanku tak mau berhenti setelah 10 jurus lagi, lalu bagaimana?”

“Kedua tangan pengemis tua ini belum pernah memutus tahu. Jika Ting Yan – san melanggar janji, pengemis tua segera akan turun tangan!”

Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi datam hati pengemis sakti itu sudah menyadari. Kalau Han Ping saja sampai terluka dari serangan Hian – im – kui – cau, sia2 saja ia akan maju.

Tiba-tiba terdengar Han Ping menggembor keras, “Duapuluh jurus sudah lewat, aku hendak balas menyerang sekarang!” ia menutup kata-katanya dengan sebuah hantaman.

Serangkum hawa dahsyat melanda dan membobol lingkaran bayangan jari. Han Pingpun cepat loncat keluar sampai setombak jauhnya.

Rupanya Ting Yan – san tergetar nyalinya. Ia tak berani mengejar lawan.

“Ting losam, ke 24 jurus Hian – im – kui – cau itu memang hebat. Hanya saja penuh dengan hawa setan. Semestinya tak layak digunakan oleh manusia hidup!” seru Cong To lalu berpaling memandang ke arah Han Ping.

Dilihatnya wajah pemuda itu pucat lesi, bibirnya agak biru seperti orang yang habis mandi dari sungai es. Diam-diam pengemis sakti itu terkejut, pikirnya, “Tak kira kalau Hian – im – kui – cau begitu hebatnya!”

Sejenak memandang ke arah pamannya, Ting Ling berpaling memandang Han Ping lalu berbisik kepada Cong To, “Yah, bolehkah aku minta tolong kepadamu.”

Cong To terkesiap, sahutnya, “Ah, tentu soal yang sulit sekali. Kalau tidak masakan engkau mau minta tolong kepada pengemis tua!”

Ting Ling tertawa rawan, katanya dengan berbisik, “Sekalipun paman memperlakukan aku tidak baik tetapi bagaimanapun dia adalah orangtuaku.”

Cong To tersenyum, “Bukankah engkau hendak minta pada pengemis tua supaya menasehati Han Ping jangan sampai melukai pamanmu?”

“Dia dan Ji siangkong sama-sama terluka!” seru Ting Ling.

“Apa?” Cong To terkejut, “Ting Yan – san juga terluka?”

“Benar,” Ting Ling mengiakan, “tetapi karena tenaga – dalam Han – im – gi – kangnya masih belum buyar, sukar untuk diketahui bagaimana lukanya itu.”

“Ah, sungguh tak nyana bahwa pengemis tua yang sudah berkecimpung dalam dunia persilatan selama berpuluh – puluh tahun ini, ternyata masih kabur matanya. Apakah pamanmu terluka berat?”

“Tak mungkin lebih ringan dari Ji siangkong,” sahut Ting Ling.

Tiba-tiba Kim loji berseru keras, “Ih Thian-heng, aku sudah memenuhi janji untuk menahan 50 jurus serangan dari Ting Yan-san. Setelah itu engkau berjanji hendak mengambil jarum beracun yang melekat pada tulangku. Entah apakah engkau mau memenuhi janji itu atau tidak?”

Ih Thian-heng tersenyum, “Sudah tentu aku akan memenuhi perjanjian itu. Kemarilah engkau!”

Kim loji menghampiri dengan pelahan. Ditingkah cahaya matahari tampaklah kepalanya bercucuran keringat. Rupanya ia tegang sekali.

Dalam pada itu karena jalandarah vital yang disebut Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Han Ping sudah tembus, maka cepatlah ia dapat memulihkan tenaganya. Setelah beristirahat beberapa saat, wajahnya yang pucat tadi menebar merah lagi.

Begitu membuka mata dan melihat pamannya menghampiri Ih Thian-heng, diam-diam Han Ping terkejut. cepat ia loncat memburunya dan mengikuti di belakangnya.

Makin dekat pada Ih Thian-heng, makin teganglah hati Kim loji. Keringat di kepalanya makin berhamburan seperti banjir. Dua tiga langkah di muka Ih Thian-heng, ia berhenti.

Ih Thian-heng tersenyum. Dengan nada ramah ia berkata, “Jika menghendaki kuambil jarum2 beracun pada tulangmu, engkau harus menekuk kedua lututmu. Di hadapan beberapa tokoh persilatan. mungkin….”

“Sudah berpuluh tahun aku menjadi orang bawahanmu. Sekalipun dilihat orang banyak aku memberi hormat kepadamu, juga bukan suatu hal yang menghilangkan mukaku!” – habis berkata ia benar-benar berlutut di hadapan Ih Thian-heng.

Han Ping yang berada di belakangnya, kerutkan dahi. Ia hendak mencegah tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran, “Hm, hendak kulihat bagaimana dia hendak mencabut jarum beracun itu.”

Sejenak memandang Han Ping, pelahan-lahan Ih Thian-heng menaangkat tangan kanannya dan menampar tubuh Kim loji.

Saat itu mata Han Ping berkilat mengawasi perobahan muka Ih Thian-heng. Sekali diketahuinya Ih Tnian-heng hendak main curang, ia segera akan turun tangan.

Setelah menampar jalandarah Kim loji, Ih Thian-heng pun tertawa, “Sudah kututup tiga buah jalandarah- tubuhmu. Harus menunggu satu jam lagi, baru dapat kucabut jarum itu. Silahkan engkau kembali ke tempatmu semula dan beristirahat.

Han Ping tertawa dingin, “Ih Thian-heng, apakah kata-katamu itu boleh dipercaya?”

“Selamanya aku tak pernah bohong!” Ih Thian-heng tertawa hambar.

“Dalam waktu sejam itu, engkaupun juga harus beristirahat memulihkan tenagamu….”

Ih Thian-heng tertawa, “Terus terang saja, saat ini tenagaku sudah pulih delapan bagian.”

“Akan kututuk jalandarahmu. Jika engkau sampai mencelakai pamanku, jangan harap engkau bisa hidup juga!” kata Han Ping.

Wajah Ih Thian- heng mengerut tegang, sahutnya, “Jika hendak membunuh Kim loji, perlu apa aku harus banyak acara seperti ini?”

Jawab Han Ping, “Hati orang sukar diduga. Bagaimana aku dapat menaruh kepercayaan?”

“Tetapi kalau engkau gagal menutuk jalan-darahku, jarum beracun pada tulang Kim loji itupun sukar keluar selama-lamanya!”

Han Ping terkesiap, pikirnya, “Omongannya itu memang benar….”

Tengah ia merenung tiba-tiba terdengar derap orang berlari gopoh, Han Ping cepat mengangkat muka. Belasan sosok tubuh tengah berlari lari mendatangi. Cepat sekali mereka sudah tiba di tempat itu. Yang paling depan ternyata Hud Hoa kongcu sendiri. Dan di belakangnya terdapat belasan orang, tua muda, tinggi pendek, semua sama membekal senjata.

“Anak Ping, lekas menyingkir, jangan mengurusi aku!” seru Kim loji kepada Han Ping.

Saat itu Cong Topun mengetahui bahwa situasi telah berobah buruk. Segera ia maju ke muka. Sedaugkan Ih thian-heng sejenak berpaling ke arah rombongan Hud Hoa kongcu lalu berpaling lagi memandang ke arah tokoh-tokoh yang berada disitu. Mulutnya tak berkata apa-apa kecuali tersenyum simpul.

Begitu tiba di lapangan situ, Hud Hoa kongcu dan rombongannya segera berdiri tegak seperti menunggu komando.

Kembali Kim loji melambaikan tangan dan berteriak keras, “Saudara-saudara, lekas tinggalkan tempat ini. Kalau terlambat, tentu sukar….”

Oleh karena tiga buah jalandarahnya tertutuk, Kim loji tak dapat bergerak lagi. Maka ia hanya dapat gunakan tangan memberi isyarat.

Tepat pada saat itu dari empat penjuru terdengar derap kaki orang berhamburan mendatangi.

Han Ping keliarkan pandang matanya ke sekeliling. Tampak empat penjuru tempat itu bermunculan berpuluh-puluh orang.

Yang di sebelah utara, 6 orang berbaju dan mencekal pedang pandak. Di belakang mereka terdapat 4 orang tua yang masing-masing mencekal batang tongkat berkepala ular-ularan.

Di sebelah timur, selatan dan barat masing-masing dijaga oleh 12 orang aneh yang berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan kain kerudung warna hitam.

Munculnya berpuluh-puluh prang aneh itu makin menambah suasana tanah lapang di hutan itu menjadi seram.

Tiba-tiba Ting Ling berseru nyaring kepada Cong To, “Yah. harap lekas bantu Nyo Bun-giau dan kawan2nya supaya lekas pulih tenaganya ..”

Cong To terkesiap. cepat ia lekatkan telapak tangannya ke punggung Nyo Bun-giau lalu menyalurinya dengan tenaga-murni. Seketika jalandarah di pusar Nyo Bun-giau terasa hangat.

Sebetulnya Nyo Bun-giau memang sudah cukup lama beristirahat. Apalagi mendapat bantuan dari Cong To. Cepat sekali tenaga-murninya memancar ke kaki tangan dan seluruh tubuhnya. Begitu membuka mata ia segera mengucap terima kasih kepada Cong To.

Cong To hanya mendengus dingin lalu menghampiri ke tempat Leng Kong-siau.

Ting Ling melihat Han Ping diam saja, cepat memberi perintah, “Jangan keenakan menganggur! Lekas bantu Ca Cu-jing dan pamanku untuk memulihkan tenaga. Lebih pulih tenaga mereka, lebih banyak kita mempunyai kesemapatan untuk menyelamatkan diri!”

Sebenarnya dalam hati Han Ping merasa segan. Tetapi ia juga tak enak hati menolak perintah nona itu. Dengan kerutkan kening, ia melangkah pelahan-lahan lalu lekatkan tangannya ke pusar Ting Yan-san.

Sebenarnya tadi Ting Yan-san hendak melukai Han Ping dengan ilmu Hian-im-kui-cau. Tetapi di luar dugaan, pemuda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Setelah jalandarahnya Seng-si-hian-kwan tembus, dengan mudah ia dapat melakukan pernapasan menurut ajaran mendiang Hui Gong siansu. Dan selama satu btdan dijebluskan dalam penjara air itu, ia bahkan mempunyai kesempatan untuk memperdalam mempelajari ilmu yang diturunkan Hui Gong siansu. Baik tangan kosong, tenaga-dalam, ia telah memperoleh kemajuan yang menakjubkan orang.

Pada saat Ting Yan-san menyerang dengan tenaga-jahat Han-im-gi-kang, karena tak kuat bertahan, Han Ping telah mengerahkan tenaga-murninya untuk melawan. Dan celakanya, pengerahan tenaga-murni itu selain untuk bertahanpun mengandung daya mengembalikan serangan tenaga lawan.

Setelah 24 jurus selesai, barulah Ting Yan-san menyadari kalau dirinya menderita luka-dalam yang berat.

Han Ping juga menderita luka tetapi setelah beristirahat beberapa saat, dapatlah ia memulihkan tenaga-murninya lagi. Kebalikannya, Ting Yan-san tetap terluka parah.

Karena tenaga-murninya sudah pulih, sekali lekatkan tangan, Han Ping segera dapat menyalurkan tenaga-murninva itu. Ting Yan-san menyadari bahwa bantuan pemuda itu merupakan satu-satunya jalan dimana ia akan pulih tenaga-dalamnya dalam waktu yang singkat. Maka ia tak mau memberi reaksi apa-apa kecuali segera kerahkan tenaga dalam untuk menyambutnya.

Setelah sepeminuman teh lamanya, barulah ia dapat mempersatukan tenaga-murninya dengan tenaga-murni Han Ping.

Han Ping memang kurang pengalaman. Merasa Ting Yan-san tak memberi reaksi suatu apa, ia terus giat menyalurkan tenaga-murni. Tetapi pada saat Ting Yan-san dapat menyatukan tenaga-murninya, Han Ping merasa lelah sekali!

Dalam pada itu Cong To pun masih giat membantu Leng Kong-siau dan Ca Cu-jing untuk memulihkan tenaganya.

Ih Thian-heng hanya melihati dengan tak acuh. Beberapa kali Hud Hoa kongcu hendak menggunakan kesempatan turun tangan tetapi selalu dicegah Ih Thian-heng.

Setelah Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing, Ting Yan-san Leng Kong-siau pulih tenaganya, Ih Thian-heng tampak tersenyum.

“Apakah tenaga saudara-saudara sudah pulih? Siapa ang belum harap bilang. Aku masih dapat menunggu lagi.”

Saat itu Han Ping dan Cong To amat letih sekali. Badannya mandi keringat. Keduanya berdiri di samping memulangkan napas.

Nyo Bun- giau pelahan-lahan ayunkan langkah. Wajahnya tenang sekali seperti tak terjadi suatu apa. Ia memandang ke sekeliling. Begitu tiba di samping Kim loji, tiba-tiba ia ayunkan tangan kanan untuk membuka jalandarah Kim loji.

Ih Thian-heng kerutkan alis. Dari jauh ia segera lepaskan hantaman.

Entah bagaimana, tiba-tiba saja Nyo Bun-giau merasa sayang kepada Kim loji. Ia maju dua langkah, menjaga di muka Kim loji. Ia gunakan tangan kanan untuk menangkis pukulan Biat-gong-ciang dari Ih Thian-heng seraya menyuruh Kim loji, “Saudara Kim, lekas mundur ke tempat saudara Cong saja!”

Kim loji menurut. Ifa lari ke samping Cong To. ternyata Ih Thian- heng tak mau menyusuli pukulan yang kedua lagi. Nyo Bun-giaupun juga mundur kembali.

Ca Cu jing, Leng Kong-siau Ting Yan-san-pun mundur ke sebelah kiri Cong To. Mereka tegak berjajar dan siap bertempur.

Beberapa tokoh itu membentuk diri dalam formasi bundar dan menempatkan Cong To di tengah sebagai poros barisan.

Hanya Han Ping yang berdiri kira2 dua tombak jauhnya dari rombongan tokoh-tokoh itu. Seorang diri ia berdiri tegak sambil pejamkan mata.

Ting Ling memandang ke sekeliling. Dilihatnya berpuluh musuh yang mengepung itupun sudah menghunus senjatanya masing-masing. Mereka hanya menunggu komando dari Ih Thian-heng untuk se- Cap scat meneijang maju. Melihat Han Ping berdiri seorang diri, diam-diam Ting Ling kuatir. Apalagi pensuda itu masih melakukan pernapasan.

Bertanya Nyo Bun-giau kepada Kim loji. “Apakah saudara Kim tahu siapa kawanan orang baju hitam itu? Tabung emas pada pinggang mereka itu?”

Memang kawanan baju hitam yang berbaris pada empat penjuru itu, sama menyanggul bungkusan hitam di punggungnya. Dari bungkusan itu mereka mengambil sebatang tahung emas yang panjangnya setengah meter dan besarnya sama dengan langan orang.

Dengan nada gemetar Kim loji menjawab, “Tahung emas itu bukan senjata….”

“Senjata rahasia?” tanya Nyo Bun-giau.

“Juga bukan,” jawab Kim loji, “kemungkinan mereka adalah 36 macam barisan Thian-kong-tin yang telah dilatih dengan susah payah oleh Ih Thian-heng.”

Nyo Bun-giau tertegnm, “Apakah barisan Thian-kong-tin itu?”

“Kabarnya mereka dapat bergabung diri dalam sebuah bentuk barisan yang disebut Thian-kong-tin.”

“Segala macam barisan, kiranya tiada yang menandingi kehebatannya dari barisan Lo-han-tin partai Siau-lim-si. Aku rasa Thian-kong-tin itu tak perlu digentarkan!” kata Ca Cu-jing.

“Anehnya anakbuah barisan itu sama memegang tahung emas. Jika dalam tabung itu tersimpan senjata rahasia beracun yang dapat ditembakkan. Tigapuluh enam buah tabung menghambur dalam waktu berbareng, tentu bukan olah-olah hebat-nya!” kata Nyo Bun-giau.

Kata Ca Cu-jing, “Jika Ih Thian-heng menggunakan cara sekeji itu, rasanya kitapun tak usah sungkan lagi dan balas menggunakan senjata rahasia untuk menghadapi mereka!”

Nyo Bun-giau tertawa, “Ah, benarlah. Alt] sampai tuelupakan jarum beracun Hong-wi-ciam dari saudara Ca. Jarum itu terkenal sebagai alat pengantar ke Akhirat yang ampuh!”

Sementara itu tampak Ih Thian-heng masih tegak berdiri diam. Setelah mendengar pembicaraan beberapa tokoh sampai pada soal jarum Hong wi-ciam, barulah ia tertawa dingin, serunya, “Tak usah saudara Nyo bersusah-susah menduga. Jib engkau memang berani, silahkan maju dua tombak untuk mencoba tabung emas itu!”

Saat itu tiba-tiba Han Ping membuka mata dan memandang kepada Ih Thian-heng, serunya, “Bagaimana kalau aku yang mencoba? — ia terus melangkah maju satu setengah meter.

Ih Thian-heng tersenyum, ujarnya, “Baiklah, saudara-saudara yang berada disini, mungkin tiada seorangpun yang dapat hidup lagi. Cepat mati atau lambat mati, hanya terpaut tak lama. Kalau engkau ingin mencoba, akupun tak keberatan.”

Pelahan-lahan Ih Thian-heng alihkan pandang matanya ke arah salah seorang baju hitam yang berbaris disebelah barat, serunya, “Pakailah tahung emasmu untuk melayani pendekar muda Ji ini!”

Orang berpakaian hitam itu mengiakan seraya maju menghampiri Han Ping.

Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing, Ting Yan-san dan kawan2 mencurahkan perhatian kepada Han Ping dan orang baju hitam itu. Sikap mereka seperti penonton yang sedang menunggu situkang sulap membuka benda yang ditutupi.

Tiada seorangpun yang tahu apakah isi tabung emas itu. Tetapi mereka hanya dapat men-duga, isinya tentu benda yang berbahaya.

Ting Lingpun gelisah resah. Ia menghela napas panjang. Nadanya penuh kerawanan.

Nyo Bun-giaupun menghela napas. Diam-diam ia menyadari bahwa kalah menangnya Han Ping akan membawa akibat besar pada rombongan tokoh itu.

Maka diam-diam ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Ditingkah sinar bulan remang, tiba-tiba matanya tertumbuk akan tiga batang pohon jati tua yang menjulang tinggi. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya. Cepat ia membisiki Ca Cu-jing, “Saudara Ca, apabila tabung emas itu benar-benar berisi serjata rahasia yang amat ganas, kita harus cepat-cepat menerjang ke timur untuk berlindung pada tiga batang pohon jati tua itu!”

Ca Cu jing memandang ke arah pohon jati yang dikatakan Nyo Bun-giau. Ia anggukkan kepala lalu mengeluarkan serangkum jarum Hong-wi clam.

Saat itu sibaju hitampun sudah berhenti satu meter di hadapan Han Ping. Tiba-tiba ia mengangkat tahung emas terus ditutukkan ke dada Han Ping….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar