Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 21 : Dari Harimau ke Buaya.

Jilid 21

Sinar pedang berhamburan dalam biara Hian-bu-kwan. Han Ping duga Pengemis sakti Cong To tentu sudah terlibat dalam pertempuran. Cepat anak muda itu melayang ke bawah.

Tetapi belum kakinya menginjak bumi, dua sosok bayangan sudah menyambut, menabas dada dan membabat kaki.

Han Ping baru saja menyelami inti rahasia dari apa yang disebut 'lambat tetapi cepat, sekali gerak dua serangan'. Salah satu dari isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng ajaran mendiang Hui Gong taysu.

Cepat ia gerakkan tangan kanan dan kiri. Tangan kiri untuk mencengkeram pergelangan tangan penyerang yang membabat kakinya. Selekas mencengkeram terus dipijat sekeras-kerasnya dan cepat merebut pedang itu.

Kemudian tangan kanannya disongsongkan untuk menjepit pedang lawannya yang menabas muka, mendorongnya ke belakang dan menendang lututnya.

Penyerang yang ternyata imam dari biara Hian-bu-kwan, mendesus tertahan lalu rubuh terlentang.

Han Ping berhasil mempraktekkan inti ajaran 'lambat tetapi cepat, sekali gerak dua serangan'.

Saat itu Pengemis sakti Cong To memang sedang diserang oleh dua imam. Melihat dalam sekali gebrak Han Ping dapat merobohkan dua imam, timbullah semangat Pengemis sakti itu. Dua buah pukulan segera dilayangkan sehingga kedua lawannya terpaksa harus mundur 3 langkah.

Cong To tak mau melukai orang. Setelah mengundurkan lawan, iapun cepat gunakan ilmu Pat-poh-teng-gong melambung sampai 3 tombak tingginya dan hingga di atas wuwungan rumah.

Han Pingpun segera menyusul.

Kedua imam yang menyerang Cong To tadi, yang seorang loncat mengejar yang seorang segera meniup seruling pertandaan.

Para imam biara Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi. Dalam sekali dua kali loncatan, imam tadi dapat mengejar ke atas wuwungan.

“Awas, pedang !” teriak Han Ping seraya lontarkan pedang rampasannya tadi ke arah imam itu.

Belum kaki imam itu menginjak atap, taburan pedang Han Ping sudah tiba. Dalam gugup itu menangkis. Tetapi lontaran pedang itu bukan kepalang dahsyatnya. Sambil menjerit 'Celaka', imam itu terdorong jatuh ke bawah lagi. Bahunya termakan pedang dan rubuhlah ia ke tanah.

Han Ping cepat menyusul Pengemis sakti. Rupanya telinga pengemis tua itu tajam sekali. Segera ia menegur : “Engkau melukai orang ?”

“Entahlah !” sahut Han Ping.

Tepat pada saat itu belasan sosok tubuh orang melesat tiba terus menyerang.

“Hati-hati menghadapi mereka !” pesan Pengemis sakti seraya hantamkan tangan kanan menyongsong 3 imam yang menyerbu dari sebelah timur.

Sedang Han Pingpun hantamkan tangan kanan dengan jurus Naga sakti menggeliat kepala untuk menghalau musuh dari arah barat. Sedang tangan kiri menampar seorang imam yang menyerang dari selatan.

Pukulan Cong To yang keras dapat mengundurkan penyerang dari sebelah timur dan utara. Sedang pukulan Han Ping dapat menyurutkan 4 orang imam yang menyerang dari barat. Ternyata anak muda itu gunakan lwekang lemah2 keras. Tampaknya pukulan Han Ping lak mengeluarkan deru angin keras. Tetapi begitu mengenai orang, barulah orang itu terkejut. Mereka terkejut tetapi terlambat. Tubuh mereka seperti dilanda gelombang tenaga yang bukan olah-olah dahsyatnya.

Serempak dengan gerakan tangan kanan tadi, tangan kiri Han Pingpun gunakan jurus Kin-liong-jiu atau menyambar naga, untuk meraih dan merebut pedang imam yang menyerangnya. Setelah mendapat pedang, Han Ping tambah garang. Terdengar dering senjata beradu dan kedua imam dihalaunya mundur.

Dua belas imam yang menyerang dari empat jurusan, dapat dihalau mundur oleh Pengemis sakti dan Han Ping.

Memandang ke muka, mereka melihat paseban besar sudah tak berapa jauh. Tampak di bawah sinar lentera merah yang menerangi paseban itu, berpuluh-puluh imam berhamburan memburu datang. Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang.

“Lawan berjumlah sekian banyak. Jika kita terpancang tak boleh melukai orang, entah sampai kapan dapat mengakhiri pertempuran ini !” Han Ping kerutkan dahi.

Cong To juga tak mengira kalau imam Hian-bu-kwan berjumlah sekian banyak. Ia tertegun. Diam-diam ia membenarkan keluhan pemuda itu. Kalau tak melukai mereka, tentu sukar.

Kedua belas imam yang menyerang tadi menyadari bahwa kedua orang yang datang itu, berkepandaian tinggi. Cepat mereka menyusun diri dalam sebuah barisan pedang, untuk menghadang jalan. Mereka tegak berdiri diam. Tak mau menegur, pun tak mau menyerang.

Melihat suasana makin genting, baik di atas genteng maupun di bawah penuh dengan imam Hian-bu-kwan, diam-diam Han Ping gelisah. Apalagi Thian Hian totiang berada di luar biara. Jika dia datang, tentu makin sukar . . . .

“Locianpwe, mari kita serbu ke dalam paseban besar untuk melihat keadaan di situ !” serunya kepada Pengemis sakti sesaat ia mendapat keputusan.

Saat itu di atas wuwungan rumah di mana Han Ping dan Cong To berdiri, sudah dikepung lebih dari 20an imam. Begitu Han Ping bergerak, merekapun segera menyerang.

Sambil lepaskan hantaman, Cong To melambung ke udara, melampaui kawanan imam dan melayang turun ke bawah. Pukulan pengemis tua itu memang bukan olah-olah dahsyatnya. Kawanan penyerangnya berhamburan mundur.

Han Pingpun segera putar pedangnya untuk membuka jalan pada barisan pedang lawan.

Pada waktu ia ditutuk oleh Thian Hian totiang tempo hari, tenaga murni dari mendiang Hui Gong taysu yang disalurkan ke tubuhnya, membeku pada urat nadinya. Jika dibiarkan begitu, tak berapa lama. Han Ping tentu mati. Tetapi karena Thian Hian totiang menendangnya lagi, tanpa disengaja telah mengenai jalan darah Yim dan Tok dalam tubuhnya. Dan seketika menyalurlah tenaga murni yang membeku itu ke seluruh jalan darah penting yang terdiri dari 12 buah. Selekas ke 12 buah jalan darah itu mengalir maka terbukalah saluran Yim dan Tok itu. Dengan terbukanya saluran Yim dan Tok itu, maka seluruh jalan darah di tubuh Han Ping dapat disaluri dengan tenaga murni.

Dengan penganiayaan Thian Hian totiang itu, Han Ping malah mendapat suatu berkah besar. Karena tanpa harus bersusah payah selama 3 tahun bersemedhi melakukan ilmu pernapasan, jalan darah yang terakhir dan yang paling sukar ditembus yakni Yim dan Tok, kini sudah terbuka. Hal itu berarti tenaga dalamnya bertambah hebat sampai berlipat ganda.

Mendapat serangan pemuda itu, barisan pedang imam Hian-bu-kwan, pecah dan menyisih mundur. Beberapa pedang imam itu dapat ditabas jatuh oleh Han Ping.

Han Ping tertegun ia tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga dalam yang begitu dahsyat.

Kawanan imam Hian-bu-kwan memang sudah terlatih dan berpengalaman sekali. Walaupun menghadapi musuh yang bagaimana tangguhnya, mereka tetap tak panik. Pada saat Han Ping tertegun, mereka segera bersatu dan membentuk barisannya lagi.

Han Ping terkejut ketika melihat Cong To dikepung kawanan imam. Diam-diam ia memutuskan. Jika harus menghindari supaya jangan sampai melukai lawan, tentu sukar. Terpaksa ia harus bertindak tegas.

“Siapa merintangi pasti mati !” serunya seraya menerjang.

Kawanan imam itu tak berani memandang rendah. Setelah menyisih ke samping, mereka menyerang lagi dari dua arah.

Tring, tring, tring. Han Ping putar pedang menangkis serangan mereka. Sekonyong-konyong tangan kirinya menyambar lengan seorang imam terus ditariknya ke samping. Kemudian pedang di tangan kanan digerakkan dalam jurus Awan menutup sinar emas, menangkis serangan di belakang lalu menghalau empat pedang yang menyerang dari samping. Setelah itu ia enjot tubuh melayang turun.

Karena pergelangan tangannya dicengkeram Han Ping, imam itu tak dapat berkutik. Serta dibawa loncat Han Ping, tubuh imam itupun ikut meluncur ke bawah.

Begitu tiba di atas atap bagian bawah, Han Ping rasakan tubuh imam itu amat berat. Cepat ia kuatkan kuda-kuda kakinya dan menarik tubuh imam itu supaya jangan menghancurkan genteng. Dan usahanya itu berhasil. Ia dapat menahan tubuh imam itu tetapi karena mengerahkan tenaga kaki, genteng yang diinjaknya itupun remuk dan tubuhnya amblong ke bawah.

Di bawah ternyata sudah siap menyambut delapan batang pedang. Dalam gugupnya, Han Ping menarik tubuh si imam ke bawah sebagai perisai. Sudah tentu kedelapan penyerangnya terkejut dan buru-buru menarik pulang pedangnya.

Han Ping empos semangat lalu bergeliatan melambung ke atas lagi. Ketika berpaling, dilihatnya imam yang ditawan itu biru wajahnya dan napasnyapun lemah. Ia tak sampai hati lalu melepaskannya ke bawah.

Saat itu dilihatnya Pengemis Sakti Cong To sedang dikepung ketat oleh kawanan imam. Bertempur di atas tanah, kawanan imam itu dapat bergerak dengan leluasa. Barisan mereka seolah-olah menyerupai gunung pedang yang lebat.

Han Ping tak mau buang waktu. Cepat ia putar pedang menerjang barisan pedang lawan. Terdengar dering gemerincing yang riuh dan berhasillah ia membuka sebuah jalan, pada barisan lawan.

Melihat kegagahan anak muda itu, seketika menyalalah semangat Cong To. Ia lontarkan dua buah hantaman ke arah penyerangnya di sebelah barat.

Habis menyapu lima batang pedang musuh, Han Ping berseru : “Aku yang membuka jalan, locianpwe yang menjaga belakang. Kita terjang masuk ke dalam paseban besar itu !”

Sebenarnya diam-diam Cong To sedang menimang dalam hati. Kawanan imam Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi dan berjumlah banyak. Sukarlah untuk menghadapi mereka. Belum ia memperoleh daya untuk bertindak, tiba-tiba ia mendegar teriakan Han Ping. Seketika ia mendapat akal dan berseru keras : “Baiklah !”

Han Ping menggembor keras. Ia menerjang ke arah utara. Kini tenaga dalam pemuda itu memang hebat sekali. Dalam adu pedang, jika tidak terbabat kutung tentulah pedang lawan mencelat jatuh. Han Ping benar-benar seperti harimau mengamuk sehingga barisan pedang lawan kacau dan terpaksa menyingkir.

Sedang Cong Topun terus menerus lepaskan pukulan untuk menghalau lawan yang menyerang dari belakang dan samping.

Dalam waktu singkat, kedua orang itu telah berhasil menerobos barisan pedang dan menuju ke paseban besar. Saat itu mereka tiba di bawah titian paseban. Tiba-tiba Han Ping enjot tubuhnya melayang ke atas atap paseban. Dalam pada itu setelah dapat mengundurkan dua orang imam yang menyerangnya, Cong Topun enjot tubuh, berjumpalitan di udara dan melayang di atas atap paseban.

Tiba-tiba mereka melihat seorang imam tua sedang duduk di puncak wuwungan sembari memegang sebuah lentera mereh. Wajahnya amat tenang, mata meram seolah-olah tak menghiraukan suatu apa.

Han Ping tertarik atas ketenangan imam itu. Dipandangnya dengan seksama. Jenggotnya yang putih menjulai panjang. Wajahnya penuh keriput, punggung agak bungkuk.

Sambil kiblatkan pedang, Han Ping berseru perlahan : “Locianpwe . . . .”

Imam tua itu membuka mata dan memandang Han Ping serta Cong To, serunya : “Kalian memakai kerudung muka, apakah ada sesuatu yang tak leluasa dilihat orang ?”

Mendengar ucapan yang tajam itu, Han Ping terkesiap, sahutnya : “Kami bermusuhan dengan biara locianpwe. Oleh karena itu kami tak ingin dilihat mereka. Pun pemimpin biara ini Thian Hian totiang, juga memakai kedok kulit, apakah dia juga malu dilihat orang ?”

Imam tua itu tertawa gelak-gelak : “Tetamu mendesak tuan rumah ! Tidak menyahut pertanyaanku, tak apalah. Tetapi mengapa berani mendesak pertanyaan padaku !”

Han Ping tak mau berlaku sungkan lagi, serunya : “Aku tak ada tempo mengadu lidah denganmu ! Kuhormati engkau sebagai seorang tua maka kusebutmu sebagai ' locianpwe'. Sebenarnya dalam kedudukan sebagai lawan, tak perlu aku harus berlaku sungkan kepadamu !”

Imam tua itu tetap tertawa : “Engkau membawa pedang. Kalau kita bermusuhan mengapa tak segera membunuhku saja !”

“Umurmu yang sudah begitu tua, tak sampai hatiku membunuh . . . .”

Tiba-tiba imam tua itu hentikan tertawa dan berseru keras : “Hm, baik benar hatimu ! Akupun akan membiarkan mayat kalian tetap utuh !”

“Apa ?” teriak Han Ping.

Tiba-tiba imam tua itu lepaskan lentera merah dan lentera itu terus meluncur ke arah Han Ping.

“Huh, mencekal lentera saja ia sudah tak kuat . . . .” baru Han Ping membatin begitu, tiba-tiba kakinya terperosok dan tubuhnyapun terjerumus ke bawah.

“Celaka . . .” diam-diam Han Ping mengeluh kaget dan cepat-cepat ia kerahkan tenaga untuk melenting ke atas. Tetapi tiba-tiba sebuah arus tenaga melanda di atas kepalanya dan serempak terdengar gelak tawa si imam tua tadi : “Dalam kamar rahasia penuh dengan alat-alat jebakan. Harap kalian jangan sembarangan bergerak . . . .”

Pandang mata Han Ping berubah gelap dan tubuhnya tetap meluncur ke bawah. Ia julurkan tangan meraba-raba. Ternyata ia sedang meluncur dalam sebuah lubang yang keempat dindingnya licin sekali. Sedikitpun tiada terdapat bagian yang dapat untuk cekalan tangan.

Blung . . . kira-kira empat lima tombak ke bawah, Han Ping tercebur dalam air dan terus meluncur ke bawah. Ketika tiba di dasar, barulah ia dapat berdiri tegak, lepaskan kerudung muka lalu enjot kakinya melambung ke permukaan air.

Ketika mengangkat muka, dilihatnya Cong To duduk di atas sebuah batu besar yang terapung di pemukaan air. Mengambil buli-buli arak dan siap hendak meneguk isinya.

Kiranya pengemis tua itu kaya akan pengalaman dunia persilatan. Begitu tubuhuya terperosok ke bawah, cepat ia mencabut kerudung muka. Begitu melihat sebuah batu besar, ia terus bergeliatan hinggap di atasnya. Dengan begitu ia tak usah masuk ke dalam air.

Han Ping segera berenang menghampiri lalu merayap ke atas batu. Diam-diam ia kagum melihat Cong To. Walaupun menghadapi maut, masih tetap enak-enak meneguk arak.

Setelah meneguk beberapa kali, tertawalah pengemis tua itu : “Di tempat ini amat dingin sekali. Minum arak dapat menghangatkan badan !”

Han Ping tak mempedulikan ocehan pengemis itu. Ia rnemandang ke sekeliling penjuru. Ternyata saat itu ia berada di sebuah empang seluas satu tombak. Empat penjuru dipagari dengan dinding batu. Di sebelah atas gelap sekali. Kecuali batu yang hanya setengah meter lebarnya itu, semuanya air yang dingin.

“Pernahkah engkau melihat penjara air ?” tegur Cong To tertawa.

Han Ping gelengkan kepala : “Belum.”

Cong To tertawa gelak-gelak : “Sekarang engkau boleh menikmati peagalaman baru ! Menilik kokohnya penjara air ini, mungkin kita tak dapat keluar selama-lamanya . . . .”

“Cong locianpwe, apakah engkau gembira ?” tanya Han Ping setengah mendongkol.

Cong To tertawa : “Pengemis tua sudah kebanyakan umur, matipun tak menyesal !”

Tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa Cong To itu memang membantunya untuk membebaskan Kim Loji. Ah, tak seharusnya ia bersikap getas terhadap pengemis itu. Ia menghela napas, ujarnya : “Penjara air semacam ini, belum tentu dapat menahan kita sampai mati.”

“Menurut penilaian pengemis tua, tipis sekali kemungkinannya kita dapat lolos !”

“Hm, aku pernah terkurung dalam makam tua yang penuh alat-alat maut itu, lebih berbahaya beberapa kali dari tempat ini. Bukankah aku tetap dapat meloloskan diri ?”

“He, jadi engkau pernah masuk ke dalam makam tua itu ?” Cong To terkejut.

“Sampai beberapa hari aku terkurung dalam makam tua itu. Alat-alat dan jebakan dalam makam itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari Penjara air ini . . . .” Han Ping berhenti sejenak , lalu : “Kukira dalam Penjara air ini tentu ada alat pemutar air. Asal kita dapat menyalurkan air air, tentu dapat lolos keluar dan sini !”

Cong To membenarkan.

“Sayang alat pemutar air itu berada di luar penjara air ini. Sudahlah, jangan mengharapkan hal itu lagi !” tiba-tiba dari arah samping terdengar sebuah suara bernada dingin.

Cong To tertawa lepas : “Sekalipun terkurung dalam penjara air, tetapi dalam 10 hari sampai setengah bulan, belum tentu kami berdua akan mati !”

Kembali suara bernada dingin itu berseru : “Jika menghendaki kalian cepat mati, asal batu penutup lubang perjara ini diturunkan ke bawah, kalian tentu terdesak ke dalam air dan mati kelelap !”

“Aku mampu selulup selama tiga hari tiga malam dalam bengawan Tiangkang. Makan ikan mentah untuk mengisi perut. Masakan takut dengan penjara air semacam ini saja ?” Cong To menyahut dengan ejekan.

Rupanya orang itu marah dengan ejekan itu. Dengan tertawa dingin ia berseru : “Jika kalian tak percaya akan kehebatan penjara air ini silahkan mencobanya. Hm, kami tak ada waktu untuk mengadu lidah.

Cong To tetap tertawa dan menantang : “Kalau tak percaya pada kemampuan ilmu selulup kami. silahkan turunkan batu penutup itu !”

Tetapi sampai diulang beberapa kali, Cong To tak mendapat penyahutan lagi.

“Apakah locianpwe benar-benar mampu selulup selama tiga hari tiga malam dengan hanya makan ikan mentah saja ?” tanya Han Ping dengan berbisik.

“Engkau bisa atau tidak ?” balas bertanya Cong To.

“Aku tak dapat berenang !”

Cong To meneguk buli-buli araknya lagi, ujarnya : “Pengemis tua sendiri juga tak pemah belajar berenang !”

Han Ping terbeliak : “Jika orang itu marah karena ejekan locianpwe tadi lalu menurunkan batu penutup terowongan ini, bukankah kita benar-benar akan mati terbenam ?”

Pengemis sakti gelengkan kepala tertawa : “Tadi pengemis tua mengejeknya karena ingin menyelidiki apakah mereka benar-benar hendak membunuh kita dengan segera. Tetapi karena mereka tak menurunkan batu penutup penjara air, berarti kita harus hidup disini selama beberapa hari lagi !”

Han Ping heran dan menanyakan apa sebab orang itu tak segera menurunkan batu penutup.

Jawab Pengemis Sakti : “Dalam hal ini banyaklah alasannya. Tak dapat kuterangkan sejelas-jelasnya saat ini. Tetapi cukup kalau engkau tentramkan hatimu. Paling sedikit kita masih mempunyai waktu satu setengah hari untuk hidup.”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi : “Sayang arak dalam buli-buli ini tak banyak. Mungkin tak cukup untuk sehari.”

Mendengar pengemis tua itu mengoceh tak keruan, Han ping tak mau menghiraukan. Ia mulai bersemedhi.

Entah berapa lama, ketika membuka mata, Han Ping melihat pengemis tua mencekal seekor benda semacam ikan belut. Sudah tentu ia heran dan menanyakan.

“Ular air,” Pengemis sakti Cong To.

“Untuk apa ?”

“Jika sampai 8 atau 10 hari mereka tak membinasakan kita, kita terpaksa harus mengisi perut juga. Imam hidung kerbau itu rupanya sengaja hendak membikin kita kelaparan sampai lemas baru akan menangkap kita hidup-hidup. Tetapi perhitungan mereka meleset. Dalam penjara air itu ternyata terdapat sarang ular air. Kalau tak salah, ada lebih kurang 32 ekor isinya. Tetapi kita harus hemat agar kuat bertahan sampai 10an hari.”

Seumur hidup Han Ping tak pernah makan ular. Sudah tentu ia terkesiap : “Ah, apakah daging ular boleh dimakan ?”

“Empuk dan harum sekali. Enaknya bukan alang kepalang.” Cong To tertawa.

Han Ping menghela napas : “Sekalipun dimakan tetapi tempat ini tak ada angin. Masakan kita makan mentah-mentah saja ?”

Pengemis sakti tertawa riang : “Pengemis tua mempunyai 28 macam resep masakan ular. Tanpa apipun tetap dapat membuat hidangan daging ular yang lezat. Ah, sayang arak dalam buli-buli ini sudah tak cukup banyak !”

“Bagaimana kalau kawanan ular itu kita makan habis tetapi kita belum dapat keluar dari sini ?” tanya Han Ping.

“Apa boleh buat kita harus menderita mati kelaparan,” sahut Cong To dengan seenaknya sendiri.

Saat itu barulah Han Ping menyadari bahwa tokoh pengemis tua benar-benar seorang yang tak takut mati. Bermula kenal padanya, ia anggap pengemis tua itu congkak sekali. Tetapi. ternyata seorang tokoh yang periang. Sikap Cong To yang begitu tenang menghadapi bahaya maut telah membangkitkan semangat Han Ping.

“Locianpwe, kita benar-benar kesepian disini . . .”

“Selama ada ular, pengemis tua senang tinggal disini sampai 5 tahun dan takkan merasa kesepian !”

“Maaf, aku tak mempunyai selera untuk main-main dengan ular. Tetapi aku mempunyai cara untuk menghilangkan kesepian.”

“Permainan yang engkau gemari, belum tentu pengemis tua suka. Katakanlah lebih dulu apa itu !”

“Aku paham beberapa pelajaran ilmu silat secara lisan, sayang aku tak dapat memahami intinya. Mumpung saat ini kini berada dalam penjara maut, jika dapat membuang soal mati, pikiran kita tentu lebih tenang. Akan kukatakan pelajaran lisan itu agar locianpwe dapat membantu memecahkannya !”

Cong To tertawa : “Sudah jamsa kalau pelajaran lisan dari suatu ilmu yang sakti itu, tentu sukar dimengerti. Jika meminta pengemis tua turut membahasnya, bukankah berarti engkau membocorkan rahasia ilmu pelajaran itu ?”

Han Ping tersenyum. Diam-diam ia menimang : “Tokoh ini memang berhati perwira dan luhur. Ilmu kepandaian makin tinggi, makin berguna pada umat manusia. Dengan alasan sama-sama memecahkan rahasia pelajaran lisan itu, kuberikan ilmu pelajaran itu kepadanya. Selain tindakan itu tak meninggalkan bekas, pun dapat kuperuntukkan membalas budinya.

Tak menyahut pertanyaan Cong To, Han Ping terus mulai menghafal dengan suara berbisik : “Semua gerak perubahan bersumber pada Kelambatan, meskipun lambat tetapi sesungguhnya cepat . . . .”

Cong To memiliki kepandaian yang tinggi. Mendengar kata-kata itu tergeraklah hatinya. Ia rasakan rangkaian kata-kata yang sederhana itu, telah menyentuh isi hatinya yang selama ini belum terpecahkan. Tanpa disadari tangannyapun mengendor dan lepaslah ular air itu ke dalam air.

Han Ping berseru tersenyum : “Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam rangkaian kata-kata pelajaran itu ?”

Cong To mrnghela napas : “Rangkaian kata-kata yang sederhana itu, sebenarnya mengandung sumber dari ilmu silat yang tinggi. Terus terang, sebelum engkau melantangkan kata-kata itu, akupun sudah mengetahui tetapi sampai saat ini belum menyelaminya.”

“Adakah kata-kata itu dapat diterapkan pada semua pelajaran ilmu silat ?” tanya Han Ping.

“Jika ilmu kepandaiannya masih terbatas, tentu sukar menyelami inti sari kata-kata itu. Walaupun seluruh umurku kuabdikan untuk belajar ilmu silat tetapi dengan terus terang aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata 'Segala gerak perubahan bersumber pada Kelambatan' . . . .”

Sejak bersua dengan wanita Heng-Thian-It-ki, diam ia memperhatikan gerak gerik wanita sakti itu dan dapat meraba makna dari pelajaran lisan yang dikatakan tadi. Tetapi berhubung ia merasa pengalamannya kurang dan tempo yang digunakan belajar silat selama ini hanya terbatas. Ia menjadi bimbang lagi ketika mandengar jawaban Cong To tadi. Ia merasa banyak sekali hal-hal yang tak dimengertinya.

“Locianpwe mendengar satu saja sudah mengetahui sepuluh. Tentulah locianpwe sudah dapat memahami seluruh maksud kata-kata tadi. Maukah locianpwe memberi petunjuk padaku ?”

Pengemis sakti hanya ganda tertawa : “Berpuluh puluh tahun pengemis tua memikirkan soal itu, walaupun otakku tak cerdas sehingga belum mampu menyelami intinya, tetapi pengemis tua sudah berhasil mengetahui lapisan kulit luarnya. Mendengar kata-kata yang engkau hafalkan tadi, pengemis tua seperti melihat lentera terang . . . .”

“Harap locianpwe suka menjelaskan.”

“Manusia itu walaupun memiliki kemampuan berpikir yang tak terbatas tetap kemampuannya untuk mengetahui ilmu, tetap terbatas. Apabila memiliki ilmu silat yang telah mencapai tingkat tinggi, untuk memperdalam lebih lanjut, sukarnya seperti naik tangga ke langit . . . .”

Han Ping mendesak supaya pengemis tua itu segera mulai memberi penjelasan .

Sahut Cong To : “Orang yang sudah tinggi ilmunya jika hendak mencari kemajuan yang lebih tinggi lagi, haruslah mencari jalan lain. Mengembangkan kecerdasan otak untuk menghapus kemampuan mengertinya yang terbatas itu. Tetapi kemampuan berpikir kita apabila sudah mencapai titik tinggi yang tertentu haruslah mengarah ke lain perubahan . . . .

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung beberapa saat. Ujarnya pula : “Ilmu pelajaran silat, memang menghendaki cepat. Tetapi apabila kecepatan itu sudah tiba pada titik tertentu, tentunya tak dapat cepat lagi. Tetapi ketangkasan dan tenaga dalam ilmu silat itu, segala gerak perubahannya terdapat pada waktu kita bergerak. Tampaknya memang lambat tetapi sesungguhnya gerakan itu cepat sekali. Makin lambat tampaknya gerakan itu . . . .”

“Terima kasih, locianpwe. Aku sudah mengerti sekarang,” kata Han Ping tersenyum.

Dalam pembicaraan selanjutnya, Han Ping pun menumpahkan banyak sekali jurus-jurus dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang selama ini mengeram tak terjawab dalam hatinya.

Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas, Cong To bantu memecahkan soal-soal itu. Apabila lelah, mereka lalu pejamkan mata bersemedhi. Dengan begitu, entah berapa lama mereka bercakap-cakap memperbincangkan soal-soal dalam ilmu pelajaran silat yang pelik dan rumit.

Bermula masuk, mereka rasakan penjara air itu dingin sekali. Tetapi beberapa hari kemudian, mulailah mereka terbiasa.

Hal itu disebabkan secara tak sengaja. Pada waktu Han Ping menghidangkan ilmu pelajaran tentang bagian tenaga dalam untuk 'mencuci' urat-urat tubuh yang terdapat pada kitab Tat-mo-ih-kin-keng, keduanya segera mulai mempraktekkan.

Berkat sudah memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang tinggi, dalam waktu beberapa hari saja, tenaga dalam mereka makin bertambah maju pesat. Hawa dingin dalam penjara air itu tak terasa lagi.

Hari itu setelah Cong To membuka mata dari persemedhiannya, ia ulurkan tangan ke dalam air. Tetapi ah . . . tangannya tak mendapat suatu apa. Barulah ia gelagapan sadar bahwa persediaan ular-air dalam liang, sudah habis dimakan mereka berdua. Dihitung-hitung, mereka sudah 20 hari lebih, berada dalam penjara air di situ. Karena persediaan makanan sudah habis, Pengemis sakti pun menghela napas.

Kala itu Han Ping masih bersemedhi. Mendengar helaan napas Cong To, cepat ia membuka mata dan bertanya : “Mengapa locianpwe menghela napas ?”

“Pengemis tua sudah kehabisan ular. Mulai saat ini kita akan meyakinkan ilmu pelajaran dengan perut kosong !” sahut Cong To.

Diam-diam Han Ping merenung. Dalam beberapa hari makan daging ular mentah, rasanya lebih baik mati saja. Tetapi dikarenakan tenggelam dalam lautan ilmu pelajaran silat yang tinggi, ia seperti tak ingat segala apa lagi. Tetapi kini setelah tak ada persediaan makanan, tentu sukar untuk bertahan hidup.

Dari pada hanya meyakinkan ilmu silat dan akhirnya harus ditawan musuh, mengapa tak mencoba untuk membobolkan penjara air itu ?

Han Ping meraba bajunya dan menjamah bungkusan pedang Pemutus Asmara yang selama ini belum pernah digunakannya. Setelah membuka kain bungkusannya, pedang itu memancarkan sinar kemilau yang menyilaukan air.

Cret, cret, mulailah ia membobol dinding terowongan itu.

“Ah, tak salah kalau orang persilatan memuji setinggi langit pedang Pemutus Asmara itu. Ternyata memang sesuai dengan kenyataannya. Dengan memiliki pedang itu, harapan kita untuk keluar dari penjara air ini, makin besar !” Cong To memuji.

Pengemis tua itu terus berbangkit dan loncat ke pinggir dinding lalu gunakan ilmu Cicak merayap, lekatkan punggung pada dinding, sambil merayap sambil menunjuk dan menutuki dinding.

Han Ping tahu kalau pengemis sakti itu memberi petunjuk bagian dinding mana yang harus dibobol. Tiba-tiba setelah sepeminum teh berkeliaran merayapi dinding, pengemis itu berhenti.

Han Ping heran dan hendak bertanya. Tetapi tiba-tiba didengarnya suara seseorang menyusup ke dalam telinganya : “Aneh, kemanakah perginya pengemis tua itu . . . ?”

Han Ping cepat mendapat akal. Disembunyikannya pedang Pemutus Asmara lalu rebah miring di atas batu menonjol.

Terdengar pula lain suara berkata : “Kedua orang itu benar-benar tahan dingin dan lapar. Sudah 25 hari menjebloskan mereka dalam penjara air, tetap tak mati . . . .”

Kembali orang pertama yang berkata tadi, berseru pula : “Di dunia tak mungkin terdapat keajaiban semacam itu, Tentu mereka sudah membekal bahan makanan.”

“Tadi apakah suara bergerudukan itu ?” tanya pula kawannya.

Kiranya bunyi bergerudukan itu berasai dari ketukan tangan Cong To yang hendak mencari lubang. Dan bunyi itu terdengar oleh penjaga di atas.

Dalam pada rebah mendengarkan pembicaraan kedua penjaga itu, diam-diam Han Pingpun memperhitungkan letak tempat suara orang itu. Jelas tentu terdapat lubang angin sehingga pembicaraan penjaga itu dapat terdengar ke bawah.

Belum sempat ia menentukan langkah, tiba-tiba segumpal penerangan lentera menyorot ke bawah Karena sudah beberapa hari berada dalam kegelapan, ia tak dapat melihat jelas keadaan dalam penjara air itu. Begitu penjaga menggunakan lampu sorot, barulah ia mengetahui bahwa dinding terowongan penjara air itu tak berapa tebalnya. Timbullah harapannya untuk membobol dinding.

Tiba-tiba lampu sorot itu padam. Ia heran dan serentak bangun.

Tiba-tiba Cong To berseru tertawa : “Ada perubahan besar !” - serunya seraya melayang turun.

Atas pertanyaan Han Ping, pengemis sakti itu menyahut : “Sukar dikatakan. Kalau tidak berubah baik tentu berubah celaka !”

Han Ping mendongkol mendengar kata-kata yang tak karuan itu. Sudah tentu setiap hal kalau tak jadi baik tentu jadi buruk.

Tiba-tiba air menyurut ke bawah sampai beberapa meter. Terdengar air itu mengalir ke sebuah saluran. Dan beberapa saat, airpun kering semua dan seketika tampaklah sebuah pintu batu terbuka lebar. Empat orang imam menghunus pedang, menerobos masuk.

Salah seorang yang berada di muka, segera berseru : “Hai, kalian berdua harap turun !”

Cong To melayang turun dan tertawa : “Menyurutkan air dan membuka pintu, apakah tak takut kalau pengemis tua akan menerobos keluar ?”

Wajah imam itu mengerut serius : “Kepala biara kami mengundang kalian bertemu di paseban besar,” - ia terus berputar diri dan melangkah keluar.

Perubahan yang tak disangka-sangka itu sungguh mengejutkan Cong To. Dengan pandang tak mengerti, ia berpaling ke arah Han Ping lalu mengikuti rombongan imam itu keluar.

Di luar penjara air itu ternyata merupakan sebuah titian yang kecil dan melanda rubuh ke atas. Penerangan bersinar dari atas.

Diam-diam Han Ping menghitung. Titian itu berjumlah 128 buah. Menilik itu jelas kalau penjara air itu dibangun dengan megah dan kokoh.

Ketika tiba di belakang paseban, Han Ping menghela napas longgar untuk menghirup udara segar.

Keempat imam itu berjalan perlahan tetapi tak pernah berpaling ke belakang. Setelah mengitari sebuah padang bunga, tibalah mereka dipintu paseban. Imam itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru nyaring : “Tawanan penjara air sudah datang !”

Cong To tertawa keras : “Imam hidung kerbau, mulutmu besar sekali. Sedang gurumu, Thian Hian totiang itupun tak berani menyebut begitu kepada pengemis tua ini !” - ia cepat melangkah ke atas batu titian.

Imam itu hendak mencegah dengan hadangkan tangannya tetapi cepat lengannya dicengkeram Han Ping lalu didorong mundur. Pemuda itu terus melangkah mengikuti Cong To.

Ketika mengangkat muka memandang ke muka, Han Ping terkesiap. Kiranya di tengah ruang paseban besar itu, sudah menyambut Thian Hian totiang. Tetapi saat itu dia tak mengenakan topeng muka. Wajahnya bundar seperti bulan purnama. Jenggot menjulai sampai ke dada. Dengan jubah pertapaan yang berkibar-kibar, sepintas pandang dia menyerupai dewa yang turun ke bumi . . . .

Di belakang tampak berdiri pengemis kecil murid Pengemis sakti Cong To dan si Tangan kilat Ca Giok !

Di sebelah kanan tampak kedua nona Ting. Ting Ling berpakaian hitam, Ting Hong tetap berpakaian putih. Wajah keduanya tetap secantik seperti biasa.

Pengemis kecil cepat lari dan berseru : “Suhu . . . .” - tetapi Pengemis-sakti menolakkan tangannya seraya berkata : “Jangan meributi pengemis tua dulu. Akulah yang hendak menanyakan bagaimana engkau ini !”

Ca Giok segera memberi hormat dan berkata dengan tertawa : “Kami mendengar Cong locianpwe mendapat kesukaran dalam penjara air maka sengaja datang hendak menolong . . . .”

Cong To gelengkan kepala, tukasnya : “Apakah begitu sederhana sekali ? Jangan membuat lemah hatiku !”

Ca Giok tersenyum lari menghampiri dan terus mencekal tangan Han Ping, serunya : “Saudara Ji tetap gagah seperti biasa. Mengapa tersiar berita kalau saudara sudah meninggal ?”

Han Ping melirik ke arah Thian Hian totiang. Tampak wajah imam yang semula berwibawa itu, berubah terkejut. Han Ping tersenyum hambar, sahutnya : “Aku memang manusia dari dua dunia. Sudah tentu kabar burung itu hilang kenyataannya !”

Ting Hong tertawa : “Ci, bukanlah telah kukatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati ! Lihatlah, bukankah dia tak kurang suatu apa !”

Thian Hian menatap Han Ping dan bertanya, dengan nada dingin : “Apakah engkau benar-benar orang yang malam itu bertempur dengan aku ?”

Han Ping tertawa : “Kita telah bertempur sampai 100 jurus. Aku engkau lukai dengan tenaga dalam daya mental. Lalu engkau tutuk jalan darah maut Sin-hong-hiat tubuhku.”

Thian Hian mengangguk : “Aku selalu bertanggung jawab apa yang kulakukan. Tak perlu engkau ungkit peristiwa itu lagi !”

“Tetapi aku masih belum mempunyai rencana untuk menuntut balas kepadamu,” kata Han Ping.

Thian Hian mendengus dingin : “Sekalipun engkau mempunyai rencana itu, kiranya sukar juga untuk melaksanakannya !”

Han Ping tertawa hambar : “Tetapi ada suat hal yang benar-benar aku tak tahan . . . .” bicara sampai disitu wajahnya serentak berubah bengis katanya : “Apakah luka beracun pamanku Kim itu sudah baik ?”

“Sekali aku sudah berjanji hendak menyembuhkannya, biarkan menderita luka yang lebih hebat dari itu, tetap dapat menyembuhkan . . . “ tiba-tiba ia berhenti karena merasa jawaban seperti dikarenakan rasa takut kepada pemuda itu. Serentak ia lantangkan suaranya : “Setelah kututuk jalan darah maut tubuhmu, mengapa engkau masih hidup dan dapat datang ke biara sini !”

Mendengar pamannya Kim Loji sudah sembuh, legahlah hati Han Ping. Ia tersenyum menyahut : “Hal itu harus kuhaturkan terima kasih atas tendangan yang locianpwe berikan kepadaku saat itu. Tendanganmu itu telah membuka jalan darah bagian Yim dan Tok dalam tubuhku. Sekali tenaga murni melancar, jalan darah maut yang engkau tutuk itupun dapat terbuka sendiri !”

“Benarkah itu ?” seru Thian Hian heran.

“Jika tendanganmu itu tak tepat mengenai jalan darah bagian Yim dan Tok, tentu saat ini aku sudah menjadi tumpukan tengkorak !”

Thian Hian menghela napas ringan lalu berpaling memberi pesan kepada seorang imam kecil supaya mengundang Kim Loji keluar.

Setelah imam kecil itu pergi, Thian Hian berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To, serunya dingin : “Kedatangan saudara Cong kemari dan melukai beberapa orang di sini, entah dengan cara bagaimana saudara Cong hendak mempertanggung jawabkan ?”

Pengemis sakti tertawa : “Tetamu harus menurut kehendak tuan rumah. Silahkan toheng mengatakan, pengemis tua tentu akan menurut saja !”

Mata Thian Hian berkilat ke arah pengemis kecil, ujarnya : “Untuk sementara kita catat saja rekening itu. Kelak kita perhitungkan lagi . . . .”

“Aneh !” seru Cong To, “tak pernah selamanya saudara begitu sungkan terhadap orang . . .”

“Benar, memang bicara kami tak pernah menumpuk hutang orang sampai lama. Tetapi terhadap engkau si pengemis tua, akan kuberi pengecualian,”

Cong To memandang ke arah puncak wuwungan paseban tertawa : “Hal itu sungguh mengejutkan pengemis tua.”

Ting Hong tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Cepat ia lari menghampiri Han Ping : “Apakah engkau tak melihat kami berdua ?”

“Melihat . . . .”

“Kalau melihat mengapa tak menegur ?”

Merah muka Han Ping. Tersipu sipu ia memberi hormat dan berseru : “Nona berdua . . .”

Tiba-tiba Ting Hong menutup hidungnya dengan ujung lengan baju, serunya : “Sudah berapa lama engkau tak ganti pakaian ?”

“Kira-kira sudah satu bulan !” sahut Han Ping. memang selama terkurung dalam penjara air hampir satu bulan itu, pakaiannyapun sudah menjamur, baunya apek sekali.

Mendengar adiknya bicara yang tak genah, buru-buru Ting Ling berseru : “Hai, budak liar, sudah berumur 16 17 tahun masih tak tahu adat. Hm, apakah tak mau ditertawai orang, hayo, lekas kembali ke sini !”

Malulah Ting Hong karena dimaki tacinya di depan orang banyak itu. Ia tundukkan kepala dan mundur ke tempat Ting Ling lagi.

Menatap Han Ping, berkatalah Thian Hian : “Benar-benar aku tak mengerti, kalian makan apa saja selama dalam penjara air itu ? Spakah sebelumnya kalian memang sudah membawa bekal makanan ?”

Mendengar pertanyaan itu, perut Han Ping serentak menguak dan huak . . . Ia muntah air masam.

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : “Adalah engkau sendiri yang menyediakan makanan lezat itu ! Masakan engkau sendiri tak tahu ?”

Thian Hian tahu bahwa pengemis itu memang tak pernah bohong. Mau tak mau ia terbeliak, serunya : “Apakah yang kami sediakan di situ ?”

“Engkau merencanakan untuk membikin kami berdua lemas lalu menawan, bukan ?” tanya Cong To.

Setiap orang yang terjeblos dalam penjara air itu memang harus menderita kelaparan selama 10 sampai 15 hari,” jawab Thian Hian.

“Sayang kehendak Tuhan itu tak seperti yang dikehendaki manusia. Ternyata engkau tak mampu membikin kami kelaparan . . . .”

“Engkau kan bukan manusia baja, bukan ? Kalau lapar sampai 15 hari, tentu kalian tak dapat bergerak lagi !”

Cong To tertawa gelak-gelak, serunya : “Perhitunganmu kali ini meleset, imam hidung kerbau ! Engkau tentu tak pernah menduga bahwa dalam penjara air itu terdapat sarang ular air. Tuhan selalu murah. Kawanan ular air itu cukup memberi makan pengemis tua sampai sebulan lamanya !”

Thian Hian tertegun, serunya : “Penjara air itu luar biasa dinginnya. Sekalipun kalian membawa bahan api, tetap tak dapat menahan haw a dingin di situ. Apakah engkau makan mentah mentah saja ular itu ?”

“Pengemis tua mempunyai 28 resep makan ular. Untuk makan ular mentah, pengemis tua mempunyai 12 macam resep. Tentulah engkau imam hidung kerbau tak pernah mengetahui . . .”

Huak . . . . kembali Han Ping muntah lagi. Mendengar ucapan Cong To tadi, seketika perutnya seperti dipelintir pelintir. Ia merasa perutnya tentu masih ada sisa daging ular. Tetapi ketika dimuntahkan ternyata hanya air saja.

Cong To tetap tertawa bebas dan menuturkan tentang pengalamannya makan ular mentah dalam penjara air. Dia benar-benar seorang ahli bicara. Dalam penuturannya itu, ia memberi nama yang berlain- lainan pada 12 resep makan ular mentah itu. Setiap nama, sedap sekali didengarnya.

Makin Cong To bicara dengan riang gembira, makin Han Ping muntah-muntah dengan hebat. Yang kedengaran seolah-olah tertawa Cong To sahut menyahut dengan muntah Han Ping.

Melihat itu Ting Hong tak kuat menahan perasaannya lagi. Segera ia berseru nyaring : “Pengemis tua, sudahlah, jangan terus menerus bicara tentang makan daging ular mentah, bising telingaku mendengarnya !”

Ting Lng terkejut. Ia hendak mencegah tetapi sudah tak keburu. Diam-diam ia memaki adiknya itu : “Hm, budak yang tak tahu tingginya langit. Siapakah Cong To itu, mengapa engkau benani memanggil dengan sebutan 'Pengemis tua' . . . .”

Siapa tahu, ternyata Cong To tak marah melainkan tersenyum dan diam.

Thian Hian totiang berpalmg ke arah Ting Hong, serunya : “Budak perempuan, nyalimu sungguh besar sekali ! Mau engkau menjadi murid per guruanku ?”

Sekalian orang terkejut dan memandang Ting Hong, menunggu apa jawab dara itu. Mereka anggap tawaran Thian Hian totiang itu benar-benar suatu hal yang tak terduga-duga.

Tetapi Ting Hong termangu saja. Wajahnya tegang tetapi tak berkata suatu apa.

Kata Thian Hian pula : “Apakah engkau takut ayahmu Raja Setan itu tak setuju ? Hm, jika dia berani tak setuju, Lembah Raja setan tentu akan kubumi-hanguskan !”

“Bangunan Lembah kami terbuat dari batu karang semua, tak mempan dibakar api yang bagaimanapun besarnya . . . .”

“Kalau api tak mempan akan kubongkar tanahnya supaya sebuah bangunanpun tak sisa lagi . . . .”

“Persiapan lembah kami ketat sekali. Belum kalian mencapai ke tengah lembah, tentu sudah dipergoki . . . .”

“Dipergoki lalu akan diapakan ?”

“Obat penyesat jiwa dari Lembah Raja setan termahsyur di seluruh dunia. Siapa yang berani masuk ke dalam lembah tentu tak dapat keluar lagi . . . .”

Cepat Thian Hian mengerat kata-kata Ting Hong : “Aku tak punya waktu adu lidah dengan engkau ! Pendek kata, engkau suka tidak menjadi murid perguruanku ?”

Sejenak merenung, Ting Hong menyahut : “Walaupun hati suka, tetapi aku harus minta izin dulu kepada ayah.”

“Kuterima engkau menjadi murid dan kuberikan ilmu pelajaran kepadamu. Apakah sangkut pautnya dengan ayahmu ?”

Ting Ling berpaling ke arah adiknya dan berbisik : “Adik Hong, engkau terimalah saja ! Nanti aku yang mengatakan kepada ayah, Karena ayah tentu takkan melarang !”

Ting Hong tahu bahwa tacinya itu amat cerdas dan tepat sekali memperhitungkan segala kemungkinan. Ia tak akan sangsi lagi dan tersenyum-senyum berpaling ke arah Thian Hian, serunya : “lt kiong, Dua Lembah dan Tiga Marga, sama-sama terkenal di dunia persilatan. Kepandaianmu berimbang dengan ayahku. Ilmu apa lagi yang hendak kauberikan kepadaku ?”

Ting Hong seorang dara yang polos hati dan suka bicara terus terang. Apa yang dipikir dalam hati, tentu segera diucapkan.

Thian Hian tertegun : “Kepandaian dan pengetahuan ayahmu, masakan dapat disejajarkan dengan aku. Berbicara tentang ilmu silat saja, mana dia dipersamakan dengan diriku . . . .”

Tiba-tiba Cong To menyelutuk : “Ilmu silat dari Lembah Raja setan mana bisa dibandingkan dengan ilmu pedang dari imam hidung kerbau Thian Hian ? Sudahlah, baik engkau mengangkat guru kepadanya. Jika ayahmu si Raja Setan tahu, dia tentu girang setengah mati. Masakan dia akan mempersalahkan engkau !”

Thian Hian mengelus-elus jenggotnya seraya tertawa : “Entah apakah saudara Cong percaya pada kata kataku atau tidak. Dalam waktu tiga tahun akan kugembleng dia menjadi pendekar wanita kelas satu dan dapat diadu dengan beberapa tokoh kelas satu dalam dunia persilatan. Saudara Cong sendiri, dalam tiga tahun belum tentu mampu mengalahkannya !”

Cong To tertawa : “Dalam hal itu, pengemis tua hanya percaya setengah bagian saja !”

Thian Hian berseru heran : “Mau percaya, harus percaya penuh. Kalau tak percaya, cobalah buktikan saja nanti tiga tahun kemudian. Masakan percaya hanya separuh bagian . . .”

Berhenti sejenak, imam itu melanjutkan ucapannya pula : “Saudara Cong tentu merasa bahwa ilmu silat dan ilmu pedangku terpaut tak berapa banyak dengan engkau. Maka engkau hanya mau percaya setengah-setengah saja !”

“Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang memang pengemis tua merasa harus tahu diri . . . .”

“Bukan terbatas pada saja, pun dalam ilmu Meringankan tubuh, ilmu pedang dan pelajaran tenaga sakti Hian-bun-kong-gi, di dunia rasanya tiada terdapat keduanya lagi !”

Diam-diam Han Ping membatin : “Hm, imam ini luar biasa congkaknya. Masakan memuji kepandaiannya sendiri setinggi langit !”

Cong To hanya ganda tertawa : “Dalam waktu tiga tahun engkau mampu menjadi budak setan itu seorang pendekar wanita kelas satu, pengemis tua memang percaya. Bahkan pengemis tua pun yakin, jika engkau sungguh-sungguh hati mendidiknya, dalam waktu 10 tahun dia tentu menjadi pendekar wanita yang amat cemerlang . . . .”

Thian Hian tertawa dan memuji akan ketajaman pandangan pengemis Cong To. Cong To mengucap beberapa kata merendah.

Mendengar percakapan kedua tokoh itu, Ting Hong berpaling ke arah tacinya lalu berpaling kepada Thian Hian totiang lagi, serunya : “Engkau hanya menerima aku seorang, apakah taciku tak dapat engkau terima sekali ?”

Thian Hian sejenak memandang Ting Ling, ujarnya : “Kalau soal kecerdasan dan bakat, engkau kalah jauh dengan tacimu. Tetapi sayang, aku hanya dapat menerima seorang murid saja !”

Ting Ling tertawa : “Bahwa kwan-cu (kepala biara) mau menerima adikku sebagai murid, aku sudah sangat berterima kasih sekali . . . .”

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan muncullah si imam kecil membawa Kim Loji.

“Paman, apakah lukamu sudah sembuh ?” teriak Han Ping seraya lari menyongsong.

“Baik,” kata Kim Loji tertawa, “dimana saja engkau selama sebulan ini ?”

Han Ping tertawa : “Aku berada dalam penjara air selama 25 hari. Tetapi karena paman sudah sembuh, sedikit penderitaan itu tak kuanggap apa-apa.”

Entah girang entah karena teringat sesuatu, maka dua butir airmata menitik turun dari kelopak Kim Loji. Ia tertawa : “Nak, hanya membuat sengsara engkau saja !” - ia maju menghampiri. Lebih dulu memberi hormat kepada Cong To kemudian kepada Thian Hian totiang, ujarnya : “Terima kasih atas budi pertolongan kwancu yang telah menyembuhkan lukaku.”

Tiba-tiba tampak Thian Hian totiang gembira, serunya sambil mengurut jenggot : “Berpuluh tahun ini. orang yang minta pertolongan rnenyembuhkan lukanya padaku dan dapat keluar dengan tak kurang suatu dari biara Hian-bu-kwan ini, baru engkau seorang !”

Kembali Kim Loji menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.

Han Ping berpaling dan bertanya kepada Pengemis sakti : “Cong locianpwe, apakah masih ada urusan lain lagi ?”

Sahut Cong To : “Selama hidup, jarang aku bicara dengan imam hidung kerbau sampai begini lama. Baik, mari kita pergi.”

Ting Hong hendak membuka mulut tetapi didahului Thian Hian totiang : “Jangan buru-buru dulu, pengemis tua. Kita masih belum selesai bicara !”

“Soal apa lagi ?” tanya Cong To.

“Kata-katamu tadi bertentangan sendiri dan belum engkau jelaskan,” kata Thian Hian.

“Sebulan yang lalu, engkau mengatakan bahwa perempuan itu dalam tiga tahun tentu dapat mengalahkan pengemis tua. Pengemis tuapun percaya penuh. Tetapi saat ini bukanlah seperti saat itu. Pengemis tua tak dapat dibandingkan dengan keadaannya sebulan yang lalu !”

Thian Hian merenung sejenak. Tiba-tiba ia berseru marah : “Engkau ngoceh sesukamu sendiri saja. Selama sebulan ini engkau berada di biara sini. Masakan engkau mendapat rezeki lain yang luar biasa !”

Cong To tertawa : “Hal ini maaf, pengemis tua tak dapat memberitahukan. Jika tak percaya, nanti 3 tahun lagi kita boleh dicoba. Pada saat itu mungkin engkau imam hidung kerbaupun tak dapat menandingi pengemis tua ini !”

Dua puluh lima hari bersama Han Ping sama-sama meyakinkan ilmu dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng, Cong To telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Thian Hian totiang tahu bahwa Pengemis sakti Cong To itu selalu bicara terus terang. Hitam bilang hitam, Putih bilang putih. Sekali pengemis itu menolak memberitahukan, percuma saja untuk mendesaknya.

“Kalian telah masuk ke Hian-bu-kiong tanpa izin, terpaksa aku tak dapat mengantar keluar. Kecuali kalian mau menghadap dan memberi hormat kepada patung cousu pendiri biara ini, untuk mengaku menjadi murid secara simbolis . . .”

“Ah, pengemis tua ini sudah biasa hidup bebas. Sukar kiranya kalau harus ganti cara hidup terikat oleh peraturan biara . . . .”

“Memang sudah kuduga engkau tentu tak mau,” tukas Thian Hian totiang, “di luar paseban itu terdapat tujuh lapis pintu yang dijaga oleh barisan pedang. Kalian dengan cara bagaimana tadi masuk kemari, silahkan dengan cara itu kalian keluar !”

Mendengar ucapan kepala Hian-bu-kiong itu, seketika berubahlah wajah Han Ping. Melihat sikap Han Ping, Cong To kuatir kalau pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang keras. Buru-buru ia mendahului : “Tujuh buan barisan pedang tentu bukan olah-olah hebatnya. Entah pengemis tua mampu menerobosnya atau tidak tetapi yang jelas tentu sukar menghindari korban-korban yang menderita luka.”

Thian Hian tertawa : “Harap kalian bermurah hati sedikit sajalah. Nah, silahkan !”

Cong To menyadari bahwa kata-kata Thian Hian itu memang merupakan kenyataan dari aturan biara Hian-bu-kwan. Sekali-kali bukan karena sengaja hendak membikin susah. Maka iapun segera memberi hormat dan minta diri. Sekali melesat, pengemis tua itu sudah berada di luar paseban,

Ca Giokpun juga ikut memberi hormat dan pamitan.

“Silahkan kalian tinggalkan tempat ini,” sahut Thian Hian totiang tertawa.

Ting Ling mencekal tangan Ting Hong dan mengucapkan kata-kata selamat berpisah dengan menghiburnya : “Adikku, tenangkanlah hatimu belajar ilmu kepandaian di sini. Nanti beberapa waktu lagi, aku tentu datang ke mari menjenguknya !”

“Luka cici masih belum sembuh sama sekali. Harap baik-baik menjaga diri dalam perjalanan. Maaf, aku tak dapat mendampingi cici,” kata Ting Hong.

“Tak apalah,” Ting Ling tertawa, “dari sini aku terus langsung pulang ke lembah.”

Ting Hong memandang ke arah Thian Hian totiang lalu minta izin untuk mengantarkan tacinya.

“Hanya boleh sampai di luar paseban ini,” kata Thian Hian.

“Terima kasih suhu,” kata Ting Hong seraya menggandeng tangan tacinya berjalan keluar.

Pengemis kecil dan Kim Loji mengikuti di belakang kedua nona itu. Sedang Han Ping berjalan paling belakang.

Tiba di luar paseban besar, pengemis kecil dan Ca Giok cepat menyusul Cong To. Ting Ling dan Ting Hong masih saling bercekalan tangan seperti berat untuk berpisah.

Dengan menghela napas, Han Ping berjalan di sisi kedua nona itu.

Tiba-tiba Ting Hong berseru memanggilnya : “Ji siangkong . . . .”

“Nona hendak pesan apa ?” Han Ping berhenti.

Ting Hong tertawa rawan : “Engkau begitu sungkan kepada kami. Beberapa bulan tak bertemu, kita seperti orang yang belum kenal.”

“Nona berdua telah memperlakukan diriku amat baik sekali. Sudah tentu takkan kulupakan seumur hidup,” sahut Han Ping.

“Kuharap nanti beberapa waktu kemudian, engkau bersama taci Ling suka datang menjenguk aku kemari,” kata Ting Hong.

Han Ping merenung sejenak, ujarnya : “Orang luar tak diizinkan masuk ke dalam Hian-bu-kiong sini. Jika aku datang menjengukmu, tentu tak lepas dari rintangan para imam disini . . . .”

“Jika engkau sungguh mau datang, sudah tentu akan kusambutmu di luar pintu biara,” Ting Hong tertawa.

“Masih banyak beban yang harus kutunaikan. Sekalipun aku meluluskan permintaan nona untuk menjenguk kemari tetapi tak dapat ditentukan entah kapan . . . .”

“Tak peduli pada tanggal, bulan dan tahun berapa, asal engkau benar-benar mau kemari, aku tentu tetap akan menunggumu,” sahut Ting Hong.

Ting Ling menghela napas, serunya tertawa : “Adik Hong, Ji siangkong mempunyai banyak urusan yang penting. Mengapa engkau hendak menyulitkan dirinya . . . .”

Ting Hong tertegun, sahutnya : “Ah, cici benar . . . .”

Kata Ting Ling lebih lanjut : “Thian Hian totiang merupakan seorang tokoh yang jarang terdapat dalam dunia persilatan dewasa ini. Dia mau menerima engkau menjadi murid, sudah suatu keberuntungan yang tak terduga-duga. Engkau harus belajar dengan sepenuh hatimu agar supaya jangan sampai mengecewakan harapan gurumu.”

Tiba-tiba Han Ping menyelutuk : “Setahun lagi, jika Ji Han Ping masih hidup, tentu akan datang kemari menyambangi nona,” ia memberi hormat terus melangkah keluar.

Juga Ting Ling segera lepaskan cekalan tangan adiknya dan berseru dengan tertawa : “Adikku, lekaslah engkau kembali masuk ke dalam paseban !”

Ting Hong mengangguk lalu berjalan perlahan-lahan ke dalam paseban.

Ting Ling cepatkan langkah menyusul kawan-kawannya. Menikung ujung paseban, ternyata Pengemis sakti Cong To menunggunya.

“Harap nona berjalan di tengah, Cong locianpwe yang mempelopori di muka dan aku di belakang,” kata Han Ping.

Ting Ling menurut.

Cong To berpaling memberi pesan : “Dalam menembus barisan pedang, hindarilah supaya jangan sampai melukai orang.”

Cepat mereka tiba di pintu pertama yang dijaga oleh 8 imam pertengahan umur. Mereka menghadang di tengah jalan dengan menghunus pedang.

Cong To acungkan tangan kiri dan berseru nyaring : “Hati-hatilah, pengemis tua hendak menerobos !”- ia menutup kata-katanya dengan gerakan sebuah hantaman.

Ke 8 imam itu tiba-tiba menyisih ke samping.

Gerakan mereka teratur dan amat rapi. Pada saat itu juga, Cong To melesat ke ambang pintu lalu rentangkan kedua tangan ke kanan dan kiri dalam jurus Hun-hoa-hud-liu atau Membagi bunga menyiak pohon liu.

Pedang ke 8 imam itupun serempak berhamburan untuk menutup jalan. Tetapi pukulan Cong To itu bukan kepalang dahsyatnya. Baru pedang mereka bergerak, orangnyapun sudah terpental rnundur. Oleh karena tubuh ke 8 imam itu terdorong ke belakang sampai dua langkah, pedang merekapun tak berdaya lagi untuk menutup jalan. Cong To cepat-cepat melangkah keluar dari pintu itu.

Ca Giok yang mengikuti di belakang Cong To, diam-diam pun sudah siap sedia. Teiapi di luar dugaan ke 8 imam itu tak mau mengganggu rombongan di belakang Cong To lagi. Dengan begitu Ca Giok, Kim Loji, Ting Ling dan Han Ping dapat melalui pintu pertama itu dengan aman.

Selanjutnya dalam melewati enam lapis pintu dan menerobos 6 buah barisan pedang, keadaannyapun hampir sama. Barisan pedang pada setiap pintu itu tentu menghadang Cong To. Tetapi setelah Cong To dapat menghalau mereka, merekapun segera menyisih mundur dan tak mau merintangi rombongan yang ikut di belakang pengemis sakti itu.

Cara yang begitu mudah dalam melalui enam lapis pintu, menimbulkan keraguan Pengemis sakti Cong To. Diam-diam ia berpikir : “Imam hidung kerbau itu walaupun mengandung maksud untuk membiarkan kita keluar, tetapi tak mungkin dengan cara yang semudah itu . . . .”

Dalam pada menimang nimang itu, Cong Topun tiba di pintu terakhir. Ialah pintu besar dari biara Hian-bu-kiong. Setelah melalui pintu besar itu, mereka benar-benar sudah keluar dari lingkungan biara.

Memandang ke muka, Cong To melihat berpuluh imam menghunus pedang tengah berkerumun menjaga pintu. Begitu melihat kehadiran Cong To dan rombongannya, mereka segera pencarkan diri dalam sebuah barisan pedang. Formasi barisan pedang itu, tak banyak bedanya dengan barisan-barisan pedang yang menjaga pada setiap pintu.

Tetapi ketika Han Ping condongkan tubuh ke samping untuk melihat keadaan di sebelah muka, ia menjerit tertahan.

Ternyata ia terkejut karena melihat dua orang imam tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih, duduk bersila di tengah barisan pedang. Di muka kedua imam tua itu masing-masing terletak sehelai panji merah dan sebatang pedang panjang.

Bisik Han Ping : “Cong locianpwe, apakah di antara kedua imam tua yang duduk di tengah barisan pedang itu terdapat salah seorang yang tempo hari menjerumuskan kita ke dalam penjara air ?”

Cong To tertawa : “Bermula kukira imam hidung kerbau itu sungguh-sungguh bermaksud hendak membebaskan kita. Tetapi ternyata dia telah tumpahkan seluruh kekuatan biara pada barisan pedang di pintu terakhir. Jelas keenam lapis pintu yang kita lampaui tadi, bukan karena mereka bersikap sungkan kepada kita. Melainkan karena imam-imam anggota barisan pedang itu, termasuk murid-murid yang kepandaiannya tergolong kelas 3 atau 4. Jika berani menempur kita, mereka kuatir akan mendapat malu !”

“Jadi menurut pandangan locianpwe, apabila kita mampu melintasi barisan pedang terakhir ini, barulah kita dianggap betul-betul memiliki kepandaian yang berarti ?” tanya Han Ping.

“Thian Hian si imam hidung kerbau itu, sekalipun tak mengandung maksud untuk merintangi kita keluar dari biara ini, tetapi paling tidak dia tentu hendak suruh kita merasakan sedikit hidangan pahit”

Kata Han Ping dengan nada gelisah : “Jika mereka sudah mengerahkan kekuatan dan kita tak boleh melukai orang, tentulah kita akan menderita kerugian. Apalagi pamanku Kim dan nona Ting masih belum sembuh benar . . . .”

Cong To tiba-tiba berpaling, ujarnya : “Yang paling menguatirkan adalah kedua imam tua berambut putih yang duduk bersila di dalam barisan itu. Pada malam kita terpikat ke dalam penjara air. Pengemis tua telah merasakan sebuah pukulannya. Walaupun belum sepenuh tenaga, tetapi tenaga pukulannya tak di bawah pengemis tua. Seorang saja sudah cukup menyulitkan apalagi tambah seorang lagi. Kali ini kita betul-betul berhadapan dengan musuh berat. Lebih baik kita berunding dulu !”

Mendengar keterangan pengemis tua, Ca Giok, Kim Loji dan Ting Ling anggap persoalannya tentu serius. Tokoh semacam Cong To, biasanya tak pernah sembarangan memuji kepandaian musuh. Perhatian mereka tertumpah seluruhnya kepada kedua imam itu.

Ting Ling seorang nona yang teliti sekali. Melihat pedang kedua imam itu berbentuk istimewa, seketika timbullah kecurigaannya. Diam-diam ia menimang : “Biasanya orang yang menggunakan pedang itu tentu unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Tetapi pedang kedua imam itu kecuali panjangnya luar biasa, pun lebih berat dari pedang biasa. Entah apa maksudnya.”

Ting Ling memang cermat sekali. Sebelum ia dapat meneropong rahasia sesuatu hal yang dicurigai, tak mau ia sembarangan bicara.

Han Pingpun memandang barisan pedang itu dengan seksama. Diam-diam ia terkejut.

Tampak semua imam yang membentuk barisan pedang itu meramkan mata dan tundukkan kepala.

Cara memusatkan perhatian dan semangat itu, benar-benar suatu persiapan dari ilmu barisan pedang yang bermutu tinggi.

Diam-diam Han Ping menghitung. Kecuali kedua imam tua itu, barisan pedang terdiri dari 36 orang imam. Sesuai dengan jumlah ke 36 daya alam. Tetapi dengan ditambah 2 orang imam tua, agaknya sudah tak sesuai lagi.

“Cong locianpwe, aku mendapat akal, entah sesuai digunakan atau tidak ?” tiba-tiba Han Ping berseru.

“Bagaimana ?” tanya Cong To.

“Biarlah aku seorang diri yang menggempur barisan mereka. Jika dapat menembus, ya sudah. Tetapi jika gagal, locianpwe dan saudara-saudara tentu dapat mengamati gerak perubahan dari barisan dan menemukan daya untuk memecahkannya !”

Cong To merenung. Sesaat kemudian ia berkata : “Cara itu memang tepat. Tetapi barisan pedang itu merupakan pengerahan tenaga kekuatan Hian-bu-kiong. Kecuali setiap anggotanya tentu berkepandaian tinggi, pun barisan itu tentu mempunyai gerak perubahan yang hebat. Lebih baik aku si pengemis tua saja yang mencobanya !”

“Locianpwe luas pengalaman. Jika locianpwe yang berada di luar dan memperhatikan perubahan mereka, tentulah berhasil. Tetapi kalau locianpwe yang menyerbu dan kami yang tinggal di luar, tentu kurang waspada !”

“Biarlah kutemani saudara Ji menyerbu barisan itu,” seru Ca Giok sambil mengangkat dada.

Cong To tertawa : “Marga Ca memang termahsyur dalam ilmu barisan yang aneh-aneh. Tentulah engkau sudah mempunyai pegangan untuk menghadapi barisan pedang itu.”

“Sedikit-sedikit memang telah kuketahui rahasia barisan itu. Tetapi karena ditambah dengan dua orang imam tua, kukuatir barisan itu mempunyai lain perubahan lagi . . . .” Ca Giok tertawa.

“Kedua imam tua itu ?” tanya Cong To.

Ca Giok mengiakan.

Tiba-tiba Ting Ling menyeletuk : “Aku mempunyai pendapat. Entah benar atau tidak ?”

“Uh, dunia persilatan siapakah yang tak kenal pada nona Ting. Silahkanlah,” kata Ca Giok.

Han Pingpun ikut memuji : “Nona Ting selalu dapat membuat penilaian yang tepat, aku . . .”

Ting Ling tersenyum : “Sudahlah, jangan kelewat menyanjung . . . tahukah kalian apa sebab kedua imam tua itu duduk bersila seperti patung ?”

“Entahlah !” Han Ping gelengkan kepala.

“Kedua imam tua itu orang cacad ! Kalau tidak sebelah kaki tentu kedua belah kaki mereka buntung semua !” kata Ting Ling.

Mendengar itu Cong To, Ca Giok bahkan si pengemis kecil yang licin, terbeliak kaget.

“Bagaimana engkau tahu ?” tanya Cong To.

“Aku memang sudah curiga mengapa mereka berdua duduk bersila tak bergerak. Kalau mereka berdua yang memegang pimpinan barisan, tak perlu duduk begitu dan tentu berdiri di tempat tertentu memberi aba-aba. Dua helai panji merah dan dua batang pedang yang istimewa panjangnya, memang aneh sekali. Jika Thian Hian locianpwe menaruh kepercayaan kepada kedua imam tua itu akan mampu menghalangi perjalanan kita, tentulah beliau tak perlu lagi menyertakan barisan pedang untuk memperkuat kedua imam itu . . . .”

Cong To mengangguk : “Dunia persilatan memuji budak perempuan yang besar dari Lembah Raja Setan itu, cerdas dan cermat. Rupanya memang benar. Tetapi dengan sedikit ulasan itu, kiranya masih belum cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kedua imam tua itu cacad kakinya !”

“Locianpwe benar.” Ting Ling tertawa, “karena curiga kepada kedua imam tua itu, maka diam-diam kuperhatikan gerak geriknya. Tadi tiba-tiba angin berhembus agak keras dan jubah kedua imam tua itu tersingkap naik . . . .”

“Cukup ! Cukup !” Cong To menghela napas, “hampir separuh umur pengemis tua gentayangan di dunia persilatan tetapi tetap tak mampu memikirkan hal-hal yang sekecil itu.”

Juga Ca Giok ikut memuji. Berkatalah Ting Ling sambil merendah diri : “Siapapun juga, asal mau memperhatikan tentu dapat. Soal itu sesungguhnya amat sederhana sekali . . . .”

Tiba-tiba kedua imam tua itu membuka mata dan berkilat-kilat memandang ke arah Ting Ling. Rupanya mereka menangkap pembicaraan nona itu.

Melihat itu Ting Ling malah sengaja lantangkan suaranya : “Karena tak dapat bergerak dengan leluasa maka kedua imam tua itu sengaja membuat pedang yang istimewa panjang dan berat. Kedua helai panji merah itu tentulah untuk memberi aba-aba pada barisan.

Han Ping membenarkan pendapat nona itu. Karena ketika pada malam itu ia bersama Cong To dijebak dalam penjara air, pun imam tua yang menjebaknya itupun menggunakan lentera merah.

Berkata Ting Ling : “Saudara Ca, ilmu silat Peh-poh-sin-kun dari keluarga Ca, yang mampu melakukan serangan dari jarak jauh maupun dekat, ditambah pula dengan pengetahuan saudara Ca tentu ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong, kiranya tepat kalau saudara yang maju menggempur lebih dulu !”

Ca Giok tidak menyahut. Tetapi diam-diam ia mengeluh mengapa nona itu hendak menganjurkan ia yang menjadi pelopor. Apakah ia harus maju seorang diri ?

Melihat perubahan muka Ca Giok, Ting Ling tertawa : “Dengan Ca saupohcu yang mendampingi Ji siangkong, kiranya tentu dapat menghadapi barisan mereka. Karena ilmu silat sakti didampingi dengan pengetahuan tentang gerak perubahan barisan. Tetapi perhitungan itupun ada kalanya meleset juga. Lalu bagaimana pendapat Cong locianpwe andaikata ia sampai gagal ?”

“Sudahlah, engkau toh sudah mengaturnya dengan cermat. Tak perlu memberi muka lagi pada pengemis tua ini,” Cong To tertawa.

“Tetapi aku hanya rnemberi usul saja. Hak memutuskan tetap pada locianpwe,” Ting Ling tertawa juga.

“Engkau boleh merencanakan dengan teliti, jauh lebih luas dari pemikiran pengemis tua. Terserahlah saja padamu !”

Han Ping berpaling dan mengajak Ca Giok segera menyerbu.

“Apakah kalian tak membawa senjata ?” tanya Ting Ling.

“Sayang tak seorangpun dari kita yang membekal senjata” sahut Ca Giok.

“Tak apalah, kita nanti dapat merebut senjata salah seorang imam,” kata Han Ping seraya melangkah ke arah barisan. Ca Giok terpaksa mengikuti.

Selekas tiba di muka barisan, secepat kilat Han Ping terus menyerbu. Ternyata walaupun sedang pejamkan mata, tetapi anggota barisan itu memiliki reaksi yang tajam sekali. Begitu Han Ping menerjang, barisan pun segera bergerak. Empat batang pedang segera menyongsong Han Ping dari empat jurusan.

Sekonyong-konyong Han Ping menarik diri. Tubuhnya ditekuk ke belakang sehingga hampir rebah telentang ke tanah. Itulah jurus Thiat-poan-kio yang sederhana. Tetapi karena Han Ping bergerak dengan luar biasa cepatnya, jurus itu lain juga gerakannya.

Selekas keempat pedang menusuk angin, dengan gerak secepat kilat, Han Ping sambarkan kedua tangannya untuk merebut pedang dua orang imam.

Tetapi saat itu barisan sudah bergerak. Imam-imam itu mulai berlincahan melalu lintas. Kiblatan pedang merekapun tampak seperti pagar yang rapat.

Pada saat tangan Han Ping menjamah jubah kedua imam, empat batang pedang telah menusuknya dari samping.

Gerak saling mengisi dan saling mem bantu dari barisan itu, memaksa Han Ping harus menyelamatkan diri lebih dulu. Cepat ia menarik kedua tangannya lalu menggeliat ke samping. Tetapi baru kaki berdiri tegak, kembali 4 pedang sudah menusuknya lagi. Sampai empat lima kali ia harus berpindah tempat karena serangan pedang.

Diam-diam Han Ping menimang. Tiap kali ia selalu bergerak pindah ke sebelah kiri dan setiap kali itu pula dirinya tentu diserang oleh 4 pedang.

Diperhatikan juga bahwa ia telah terdesak ke tengah barisan. Jaraknya dengan kedua imam tua itu hanya satu setengah meteran.

Ca Giok masih berhenti di luar barisan. Rupanya ia hanya mengawasi gerak perubahan barisan itu dan tengah mempelajarinya.

Tetapi Ting Ling gelisah. Ia tahu bahwa beberapa kejap lagi Han Ping tentu akan bertempur dengan kedua imam tua itu. Maka cepat ia mendorong Ca Giok supaya lekas masuk ke dalam barisan.

Mendengar seruan si nona, terpaksa Ca Giok bertindak. Dengan menggembor keras lebih dulu ia lepaskan sebuah hantaman Peh-poh-sin-kun lalu baru menerjang.

Menerima pukulan Ca Giok. Salah satu bagian barisan kacau. Ca Giok cepat gunakan kesempatan itu untuk loncat ke dalam barisan. Begitu berada dalam barisan, ia segera merasakan hebatnya tekanan lawan. Pedang berkiblatan menyerang dari empat penjuru.

Untung, sekalipun ilmu silat Ca Giok tak setinggi Han Ping, tetapi ia tahu akan rahasia perubahan barisan. Dalam menghadapi serangan barisan. Ia dapat bertahan dengan tenang.

Imam-imam anggota barisan itu sudah terlatih dengan sempurna. Sekalipun Ca Giok tahu akan perubahan barisan, tetapi ia tetap tak mampu menghadapi tekanan yang dahsyat dari serangan mereka. Berturut-turut ia terdesak ke tengah barisan.

Terdesaknya Ca Giok ke tengah barisan, menyebabkan tekanan pada Han Ping agak kendor. Ketika Han Ping sempat berpaling, dilihatnya Ca Giok pontang panting setengah mati. Rupanya pemuda Ca itu kewalahan. Melihat itu, Han Pingpun segera lontarkan dua buah hantaman seraya menerjang.

Peristiwa-peristiwa aneh yang merupakan rezeki luar biasa bagi Han Ping selama beberapa bulan ini, menyebabkan ilmu silatnya maju luar biasa pesatnya. Dua buah pukulan yang dilepaskannya itu, laksana damparan gelombang laut dahsyatnya. Barisan pedang yang ketat, tersiak mundur. Dua imam yang berada paling muka mencelat ke belakang dan pedangnyapun terlepas.

Han Ping sendiri juga terkejut. Ia tak nyana kalau tenaga dalamnya sekarang berubah begitu dahsyat.

Ca Giok menggunakan kesempatan untuk cepat memungut pedang yang jatuh itu. Lalu lemparkan yang sebatang kepada Han Ping. “Saudara Ji, terimalah !”

Pada saat Han Ping menyambuti pedang, Ca Giokpun sudah loncat ke samping nya. Tetapi barisan pedang yang kacau itupun sudah menyusun diri pula. Kedua imam yang kehilangan pedangnya tadi, cepat mundur ke belakang. Serangan pedang kembali melancar deras.

Dengan mencekal pedang, semangat Ca Giok pun bertambah besar. Berkatalah ia dengan tertawa kepada Han Ping : “Saudara Ji, marilah kita sambut pedang mereka untuk menguji sampai dimana tenaga kawanan imam itu. Kemudian baru kita cari akal untuk membobol barisan . . . .”

Tring, tring . . . . Ia sudah mendahulul menangkis dua batang pedang yang menyerangnya.

“Aku tak paham akan barisan itu. Cara membobolkannya, harap saudara Ca yang memberi petunjuk . . .” - pedang diobat-abitkan ke kanan kiri untuk menghalau tiga pedang lawan.

Kini kedua pemuda itu tak mau menghindar lagi. Bahu membahu, mereka mulai menangkis serangan lawan.

Pada saat itu jelas dapat diketahui bagaimana tingkat kepandaian kedua pemuda itu. Han Ping tegak laksana sebuah karang. Gerakan pedangnya mantap dan keras. Setiap imam yang beradu pedang dengannya, kalau tidak pedang imam itu tersiak ke samping tentulah orang dengan pedangnya terpental mundur.

Tetapi Ca Giok dalam menghadapi serangan para imam itu kuda-kuda kakinya tak tenang. Jika punggungnya tak saling bertekanan dengan punggung Han Ping, tentulah ia sudah tak kuat bertahan lagi.

Saat itu kedua imam tua yang duduk bersila tadi, sudah mulai membuka mata untuk melihat gerakan barisannya. Rupanya mereka gelisah juga melihat barisannya macet. Salah seorang segera mengambil panji merah lalu digoyang-goyangkan dua kali,

Sekonyong konyong barisan berhenti serempak. Dan terdengarlah imam tua yang satunya, batuk-batuk berkata : “Sungguh hebat sekali kalian dapat bertahan dalam barisan ini sampai sekian lama. Sekarang apabila kalian mampu melintasi penjagaan kami berdua saudara seperguruan ini. Kami segera akan membukakan pintu biara untuk mengantar para tetamu keluar.”

Barisan itupun membubarkan diri. Ke 36 imam segera tegak berjajar-jajar di samping kedua imam tua.

Cong To tertawa gelak-gelak, serunya : “Kukira kalian berdua imam hidung kerbau hendak pinjam kewibawaan barisan untuk merintangi pengemis tua . . . .”

Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin : “Hanya dengan kekuatan kami berdua saudara seperguruan saja, dikuatirkan kalian tak mampu melintasi !”

Han Ping memperhatikan kedua imam tua itu. Umur mereka jauh lebih tua dari Thian Hian totiang. Diam-diam ia meragu jangan-jangan kedua imam itu kedudukan angkatannya lebih tinggi dari Thian Hian !

“Jika benar, tentulah kepandaian kedua imam tua itu hebat sekali. Tentu lebih tinggi dari Thian Hian totiang. Menilik gelagat, tak mudah untuk melintasi rintangan yang terakhir ini.” Diam-diam Han Ping menimang.

Tiba-tiba terdengar Ting Ling melengking : “Entah bagaimanakah kedudukan lo-cianpwe dengan Thian Hian totiang !”

Rupanya nona itu juga mengandung kecurigaan seperti pikiran Han Ping. Ia duga kedua imam tua itu tentulah imam golongan angkatan yang lebih tinggi dari Thian Hian.

Tetapi begitu mendengar disebutnya nama Thian Hian totiang, kedua imam tua itu berubah tegang wajahnya. Dengan sikap menghormat, menyahut : “Thian Hian totiang adalah guru kami !”

Ting Ling terbalik lalu tertawa : “Suheng berdua. apakah baik-baik saja ?”

Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, serunya mendamprat : “Gadis yang masih begitu muda belia, mengapa mengucap kata-kata begitu tak tahu aturan.”

Sahut Ting Ling dengan serius juga : “Adikku sekarang menjadi murid dari Thian Hian totiang. Jika menurut urut-urutan, apakah tak pantas kalau kupanggil kalian dengan sebutan 'suheng' itu ?”

Kedua imam tua itu terkesiap : “Benarkah itu ?”

Apakah engkau tak dapat menghitung jumlah rombongan kami ini ?” sahut Ting Ling.

Kedua imam tua itu saling berpandangan satu sama lain, lalu berkata : “Kalau begitu, silahkan sumoay lewat !” - tanpa berganti tempat duduk, tiba-tiba kedua imam tua itu menyisih ke samping.

Begitu pula ke 36 imam anggota barisan itu, sama turunkan pedangnya dan memberi hormat kepada Ting Ling seraya menyebut bibi guru.

Sudah tentu Ting Ling risih sekali. Umur mereka rata-rata 20 tahun lebih tua dari dirinya. Walaupun banyak pengalaman tetapi tak urung, Ting Ling merah juga wajahnya. Sejenak tertegun baru ia membalas hormat kepada mereka lalu berpaling ke arah kedua imam tua, serunya : “Siapakah nama gelaran kalian ?”

“Aku Hoan In,” sahut yang duduk di sebelah kiri.

“Aku Goay Jiu,” sahut yang kanan.

Ting Ling kerutkan dahi. 'Hoan In' artinya membayar budi. Goay Jiu artinya dendam tajam. Benar-benar suatu gelaran yang aneh. Ia tertawa : “O, kiranya Hoan In dan Goay Jiu berdua suheng. Aku hendak mengajukan permohonan entah kedua suheng suka meluluskan atau tidak ?”

“Silahkan bilang !” seru Hoan In.

“Apa yang kami dapat melakukan, tentu meluluskan,” sahut Goay Jiu.

Ting Ling tersenyum : “Aku hendak mohon supaya suheng berdua suka memberi jalan kepada rombonganku ini.”

“lni . . . .” Hoan In kerutkan alis.

“Eh, engkau ini bagaimana,” tukas Goay Jiu, sumoay kita baru pertama kali mengajukan permintaan kepada kita, sekalipun harus menerima dampratan suhu, kitapun tak boleh membikin kecewa hati sumoay.”

Hoan In tertawa gelak-gelak : “Engkau benar, suto . . . ., !”- ia memberi isyarat dengan tangan kepada anggota barisan : “lekas antarkan paman gurumu keluar biara.”

Ke 36 imam anggota barisan mengiakan dengan sikap menghormat.

Ting Ling memberi hormat kepada kawanan imam itu lalu menghaturkan terima kasih kepada kedua imam tua dan terus berjalan keluar biara.

Cong To tertawa gelak-gelak : “Berpuluh - puluh tahun mengembara di dunia persilatan, baru pertama kali ini pengemis tua mengalami peristiwa yang seaneh ini !”

“Aku sendiri juga belum pernah . . . .” Ting Ling tersenyum.

“Meskipun umurnya sudah begitu tua, tetapi kedua imam itu masih seperti kanak-kanak,” kata Han Ping.

“Kurasa mereka agak linglung . . . .” kata Ca Giok.

Tiba-tiba Ting Ling menghela napas : “Ah, sekarang aku mengerti !”

“Mengerti apa ?” tanya Cong To.

“Cong locianpwe luas pengalaman. Daya berpikir tentu jauh lebih hebat dari aku. Tahukah locianpwe apa sebab kedua imam itu mau melepaskan kita keluar ?”

“Kalau pengemis tua mengetahui, tentu tak perlu bertanya kepadamu. Hm, budak perempuan, jangan banyak tingkah !”

Ting Ling sengaja menghela napas panjang : “Perasaan hati orang, tak dapat dikatakan habis dalam sepatah kata. Perutku amat lapar, mana bisa bercerita ? Nanti saja kita lanjutkan bicara lagi !”

Mendengar kata-kata itu, seketika Cong To dan Han Ping seperti diingatkan. Perut mereka seperti berontak.

“Huh, engkau mengili perutku !” Cong To bersungut.

Ting Ling mengemasi rambutnya yang kusut. Lalu mengeluarkan sebungkus dendeng sapi, serunya “Ah, sayang dendeng ini hanya sedikit, cuma cukup untuk seorang saja . . .” - ia menjiwir sekerat lalu dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyahnya dengan mengeluarkan suara keras.

Cong To batuk-batuk kecil, serunya : “Budak setan, kelak apabila sudah menyelesaikan pelajarannya pada Thian Hian, adikmu itu jauh lebih sakti dari engkau !”

Sambil memakan dendeng, berkatalah Ting Ling seenaknya : “Benar ! Memang nasibku yang sial. Tiada orang yang menaruh kasihan kepadaku. Uh, apa daya ?”

Kata Cong To : “Pengemis tua ingat akan sejurus ilmu pukulan. Ilmu pukulan itu merupakan salah sebuah dari 9 jurus ilmu simpanan perguruan Kim-pay-bun. Paling cocok untuk anak perempuan dan mudah pula dipelajari. Tak perlu menggunakan banyak waktu . . . .”

Sambil mengeluarkan sekerat dendeng, Ting Ling tertawa : “Jika locianpwe mau mengajarkan ilmu itu kepadaku, tentu akan kuberi locianpwe sepotong dendeng ini.”

Cong To tertawa : “Jika tak kepingin makan, tak nanti pengemis tua sudi mengajarkan kepadamu !” - menyambar dendeng sapi, terus dimasukkan ke dalam mulut.

Han Ping berpaling, memandang sejenak pada dendeng yang masih berada di tangan Ting Ling, lalu cepat-cepat berpaling muka lagi.

Habis makan, Cong To berseru : “Budak setan, sepotong dendeng ditukar dengan sejurus ilmu pukulan. Pengemis tua benar-benar rugi besar !”

“Jika engkau meluluskan untuk mengajar sejurus lagi, tentu akan kuberi dua iris lagi !”

“Bagus ! Akan kuajarkan sejurus lagi !” seru Cong To.

Ting Ling mengambil dua iris dendeng lalu diberikan kepada Cong To.

Ca Giok hanya menghela napas, serunya : “Sayang aku lupa membekal dendeng kering.”

Memeriksa dua potong dendeng itu, berserulah Cong To : “Budak setan kecil, dua iris dendeng ini terpaut tak berapa besar dengan sepotong dendeng yang tadi ! Orang mengatakan engkau pintar menyiasati, rasanya memang benar.”

“Locianpwe sendiri yang menghendaki, apa peduliku !” Ting Ling tertawa.

Sekali telan habislah dua iris dendeng itu. Dikata iris kiranya kurang tepat. Lebih sesuai kalau dikatakan butir, karena dendeng itu tidak dipotong berlapis melainkan digelindingi bundar seperti buah kelengkeng.

“Akan kuberimu ajaran sejurus lagi entah berapa butir dendeng engkau mau memberikan ?”

“Sepuluh butir, masih ada sisa 15 butir. . .”

“Jadi !” teriak Cong To, “lekas serahkan padaku . . . .”

Setelah menghitung 10 butir dan diserahkan kepada Cong To, sisanya lalu diberikan kepada Han Ping : “Harap Ji siangkong suka menerimanya !”

Menyambuti dendeng, berkatalah Han Ping : “Nona sendiri masih lapar, bagaimana suruh aku makan ?”

Ting Ling tertawa mengikik : “Ah, mana aku lapar ? Aku memang sengaja hendak membohongi Cong locianpwe supaya suka memberi pelajaran ilmu silat kepadaku.”

Cong To tertawa keras : “Huh, apakah engkau kira pengemis tua ini kena engkau tipu ?”

“Adakah locianpwe bermaksud hendak memberi gemblengan padaku ?” tanya Ting Ling.

“Bukan begitu,” sahut Cong To, “memang pengemis sungguh-sungguh hendak makan dendeng. Walaupun hanya makan 13 butir dendeng dan harus kutukar dengan 3 jurus ilmu pukulan. Rugi sekalipun tetapi aku tak berhutang apa-apa padamu. Kelak di dunia persilatan, tak ada orang yang mengejek pengemis tua !”

Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, serunya : “Nona Ting, karena makan 15 butir dendeng, aku pun hendak memberimu 5 jurus ilmu silat !”

tiba-tiba wajah Ting Ling berubah rawan, ia menghela napas : “Ah, terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi rasanya percuma saja aku mendapat ilmu pelajaran silat dari kalian berdua.”

Han Ping heran : “Mengapa engkau senang menerima pelajaran silat dari Cong locianpwe, tetapi keberatan menerima pelajaran dari aku .”

“Apakah engkau lupa bahwa luka dalam tubuhku masih belum sembuh sama sekali ? Dalam waktu beberapa hari ini, sesungguhnya kurasakan terjadi suatu perubahan dalam tubuhku. Tetapi selalu kutahan supaya adikku tak tahu. Setelah sampai di jalan besar, kita akan segera berpisah. Aku harus lekas-lekas pulang ke Lembah. Jika terlalu lama berkeliaran di luar, mungkin aku tak sempat pulang dalam keadaan bernyawa.”

Han Ping merenung lalu berkata : “Aku telah berjanji untuk mengobati luka nona sampai sembuh. Selama hal itu belum terlaksana janjiku tetap berlaku. Jika nona suka percaya kepadaku sukalah nona pertangguhkan dulu jangan pulang ke Lembah agar aku dapat kesempatan untuk mengusahakan sekuat tenaga.”

Ting Ling tertawa : “Sudah kelewat lama aku dan adikku pergi dari rumah. Banyak sekali hal-hal yang perlu kulaporkan kepada ayah. Jika sampai mati di luaran, bukankah dendam itu akan kubawa mati ?”

Han Ping tertegun. Diam-diam ia merenung : “Untuk mengobati lukanya, harus minta pertolongan kepada si dara baju ungu itu. Aku sudah sekali tebalkan muka minta kepadanya untuk menyembuhkan paman Kim. Apakah aku harus minta sekali lagi kepadanya . . . Ah, tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Selama lukanya belum sembuh aku tak dapat ingkar janji . . . .”

Tiba-tiba Cong To tertawa keras : “Budak kecil apakah engkau sungguh hendak mengobati luka budak setan itu ?”

Sekonyong-konyong Han Ping seperti disadarkan : “Goblok ! Wanita cantik baju Hijau yang melukai Ting Ling itu, adalah adik seperguruan dari Pengemis sakti ini. Sama seperguruan, tentu pengemis tua ini dapat juga menyembuhkan !”

“Sekali seorang laki-laki berkata, tak boleh dijilat kembali ! Aku sudah berjanji kepada nona Ting, betapapun juga, aku harus berusaha menyembuhkan lukanya !”

Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk : “Nona Ting, selama tempo hari kita bersama-sama seperjalanan, mengapa aku tak mengetahui sama sekali kalau engkau menderita luka dalam ?”

“Kalau engkau tahu, kemungkinan kita tak akan selamat seperti saat ini !” sahut Ting Ling.

“Ah, nona masih mencurigai diriku . . . .”

“Dunia persilatan penuh jerat dan bahaya. Kepada siapapun aku tak dapat percaya penuh !”

“Benar !” seru Cong To, “pengemis tuapun tak percaya kalau kalian ke Hian-bu-kiong itu karena hendak membantu pengemis kecil menolong diriku !”

Kemudian Cong To berpaling kepada muridnya : “Hm, mengapa engkau membisu saja ?”

“Di tengah perjalanan ke Hian-bu-kiong, murid berjumpa dengan Ca saupohcu dan kedua nona Ting . . .”

“Mengapa engkau tahu aku terkurung dalam Hian-bu-kiong ?” bentak Cong To.

Pengemis kecil itu terbeliak dan menyahut tersendat-sendat.

“Murid . . . murid . . .”

Sinar pedang berhamburan dalam biara Hian-bu-kwan. Han Ping duga Pengemis sakti Cong To tentu sudah terlibat dalam pertempuran. Cepat anak muda itu melayang ke bawah.

Tetapi belum kakinya menginjak bumi, dua sosok bayangan sudah menyambut, menabas dada dan membabat kaki.

Han Ping baru saja menyelami inti rahasia dari apa yang disebut 'lambat tetapi cepat, sekali gerak dua serangan'. Salah satu dari isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng ajaran mendiang Hui Gong taysu.

Cepat ia gerakkan tangan kanan dan kiri. Tangan kiri untuk mencengkeram pergelangan tangan penyerang yang membabat kakinya. Selekas mencengkeram terus dipijat sekeras-kerasnya dan cepat merebut pedang itu.

Kemudian tangan kanannya disongsongkan untuk menjepit pedang lawannya yang menabas muka, mendorongnya ke belakang dan menendang lututnya.

Penyerang yang ternyata imam dari biara Hian-bu-kwan, mendesus tertahan lalu rubuh terlentang.

Han Ping berhasil mempraktekkan inti ajaran 'lambat tetapi cepat, sekali gerak dua serangan'.

Saat itu Pengemis sakti Cong To memang sedang diserang oleh dua imam. Melihat dalam sekali gebrak Han Ping dapat merobohkan dua imam, timbullah semangat Pengemis sakti itu. Dua buah pukulan segera dilayangkan sehingga kedua lawannya terpaksa harus mundur 3 langkah.

Cong To tak mau melukai orang. Setelah mengundurkan lawan, iapun cepat gunakan ilmu Pat-poh-teng-gong melambung sampai 3 tombak tingginya dan hingga di atas wuwungan rumah.

Han Pingpun segera menyusul.

Kedua imam yang menyerang Cong To tadi, yang seorang loncat mengejar yang seorang segera meniup seruling pertandaan.

Para imam biara Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi. Dalam sekali dua kali loncatan, imam tadi dapat mengejar ke atas wuwungan.

“Awas, pedang !” teriak Han Ping seraya lontarkan pedang rampasannya tadi ke arah imam itu.

Belum kaki imam itu menginjak atap, taburan pedang Han Ping sudah tiba. Dalam gugup itu menangkis. Tetapi lontaran pedang itu bukan kepalang dahsyatnya. Sambil menjerit 'Celaka', imam itu terdorong jatuh ke bawah lagi. Bahunya termakan pedang dan rubuhlah ia ke tanah.

Han Ping cepat menyusul Pengemis sakti. Rupanya telinga pengemis tua itu tajam sekali. Segera ia menegur : “Engkau melukai orang ?”

“Entahlah !” sahut Han Ping.

Tepat pada saat itu belasan sosok tubuh orang melesat tiba terus menyerang.

“Hati-hati menghadapi mereka !” pesan Pengemis sakti seraya hantamkan tangan kanan menyongsong 3 imam yang menyerbu dari sebelah timur.

Sedang Han Pingpun hantamkan tangan kanan dengan jurus Naga sakti menggeliat kepala untuk menghalau musuh dari arah barat. Sedang tangan kiri menampar seorang imam yang menyerang dari selatan.

Pukulan Cong To yang keras dapat mengundurkan penyerang dari sebelah timur dan utara. Sedang pukulan Han Ping dapat menyurutkan 4 orang imam yang menyerang dari barat. Ternyata anak muda itu gunakan lwekang lemah2 keras. Tampaknya pukulan Han Ping lak mengeluarkan deru angin keras. Tetapi begitu mengenai orang, barulah orang itu terkejut. Mereka terkejut tetapi terlambat. Tubuh mereka seperti dilanda gelombang tenaga yang bukan olah-olah dahsyatnya.

Serempak dengan gerakan tangan kanan tadi, tangan kiri Han Pingpun gunakan jurus Kin-liong-jiu atau menyambar naga, untuk meraih dan merebut pedang imam yang menyerangnya. Setelah mendapat pedang, Han Ping tambah garang. Terdengar dering senjata beradu dan kedua imam dihalaunya mundur.

Dua belas imam yang menyerang dari empat jurusan, dapat dihalau mundur oleh Pengemis sakti dan Han Ping.

Memandang ke muka, mereka melihat paseban besar sudah tak berapa jauh. Tampak di bawah sinar lentera merah yang menerangi paseban itu, berpuluh-puluh imam berhamburan memburu datang. Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang.

“Lawan berjumlah sekian banyak. Jika kita terpancang tak boleh melukai orang, entah sampai kapan dapat mengakhiri pertempuran ini !” Han Ping kerutkan dahi.

Cong To juga tak mengira kalau imam Hian-bu-kwan berjumlah sekian banyak. Ia tertegun. Diam-diam ia membenarkan keluhan pemuda itu. Kalau tak melukai mereka, tentu sukar.

Kedua belas imam yang menyerang tadi menyadari bahwa kedua orang yang datang itu, berkepandaian tinggi. Cepat mereka menyusun diri dalam sebuah barisan pedang, untuk menghadang jalan. Mereka tegak berdiri diam. Tak mau menegur, pun tak mau menyerang.

Melihat suasana makin genting, baik di atas genteng maupun di bawah penuh dengan imam Hian-bu-kwan, diam-diam Han Ping gelisah. Apalagi Thian Hian totiang berada di luar biara. Jika dia datang, tentu makin sukar . . . .

“Locianpwe, mari kita serbu ke dalam paseban besar untuk melihat keadaan di situ !” serunya kepada Pengemis sakti sesaat ia mendapat keputusan.

Saat itu di atas wuwungan rumah di mana Han Ping dan Cong To berdiri, sudah dikepung lebih dari 20an imam. Begitu Han Ping bergerak, merekapun segera menyerang.

Sambil lepaskan hantaman, Cong To melambung ke udara, melampaui kawanan imam dan melayang turun ke bawah. Pukulan pengemis tua itu memang bukan olah-olah dahsyatnya. Kawanan penyerangnya berhamburan mundur.

Han Pingpun segera putar pedangnya untuk membuka jalan pada barisan pedang lawan.

Pada waktu ia ditutuk oleh Thian Hian totiang tempo hari, tenaga murni dari mendiang Hui Gong taysu yang disalurkan ke tubuhnya, membeku pada urat nadinya. Jika dibiarkan begitu, tak berapa lama. Han Ping tentu mati. Tetapi karena Thian Hian totiang menendangnya lagi, tanpa disengaja telah mengenai jalan darah Yim dan Tok dalam tubuhnya. Dan seketika menyalurlah tenaga murni yang membeku itu ke seluruh jalan darah penting yang terdiri dari 12 buah. Selekas ke 12 buah jalan darah itu mengalir maka terbukalah saluran Yim dan Tok itu. Dengan terbukanya saluran Yim dan Tok itu, maka seluruh jalan darah di tubuh Han Ping dapat disaluri dengan tenaga murni.

Dengan penganiayaan Thian Hian totiang itu, Han Ping malah mendapat suatu berkah besar. Karena tanpa harus bersusah payah selama 3 tahun bersemedhi melakukan ilmu pernapasan, jalan darah yang terakhir dan yang paling sukar ditembus yakni Yim dan Tok, kini sudah terbuka. Hal itu berarti tenaga dalamnya bertambah hebat sampai berlipat ganda.

Mendapat serangan pemuda itu, barisan pedang imam Hian-bu-kwan, pecah dan menyisih mundur. Beberapa pedang imam itu dapat ditabas jatuh oleh Han Ping.

Han Ping tertegun ia tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga dalam yang begitu dahsyat.

Kawanan imam Hian-bu-kwan memang sudah terlatih dan berpengalaman sekali. Walaupun menghadapi musuh yang bagaimana tangguhnya, mereka tetap tak panik. Pada saat Han Ping tertegun, mereka segera bersatu dan membentuk barisannya lagi.

Han Ping terkejut ketika melihat Cong To dikepung kawanan imam. Diam-diam ia memutuskan. Jika harus menghindari supaya jangan sampai melukai lawan, tentu sukar. Terpaksa ia harus bertindak tegas.

“Siapa merintangi pasti mati !” serunya seraya menerjang.

Kawanan imam itu tak berani memandang rendah. Setelah menyisih ke samping, mereka menyerang lagi dari dua arah.

Tring, tring, tring. Han Ping putar pedang menangkis serangan mereka. Sekonyong-konyong tangan kirinya menyambar lengan seorang imam terus ditariknya ke samping. Kemudian pedang di tangan kanan digerakkan dalam jurus Awan menutup sinar emas, menangkis serangan di belakang lalu menghalau empat pedang yang menyerang dari samping. Setelah itu ia enjot tubuh melayang turun.

Karena pergelangan tangannya dicengkeram Han Ping, imam itu tak dapat berkutik. Serta dibawa loncat Han Ping, tubuh imam itupun ikut meluncur ke bawah.

Begitu tiba di atas atap bagian bawah, Han Ping rasakan tubuh imam itu amat berat. Cepat ia kuatkan kuda-kuda kakinya dan menarik tubuh imam itu supaya jangan menghancurkan genteng. Dan usahanya itu berhasil. Ia dapat menahan tubuh imam itu tetapi karena mengerahkan tenaga kaki, genteng yang diinjaknya itupun remuk dan tubuhnya amblong ke bawah.

Di bawah ternyata sudah siap menyambut delapan batang pedang. Dalam gugupnya, Han Ping menarik tubuh si imam ke bawah sebagai perisai. Sudah tentu kedelapan penyerangnya terkejut dan buru-buru menarik pulang pedangnya.

Han Ping empos semangat lalu bergeliatan melambung ke atas lagi. Ketika berpaling, dilihatnya imam yang ditawan itu biru wajahnya dan napasnyapun lemah. Ia tak sampai hati lalu melepaskannya ke bawah.

Saat itu dilihatnya Pengemis Sakti Cong To sedang dikepung ketat oleh kawanan imam. Bertempur di atas tanah, kawanan imam itu dapat bergerak dengan leluasa. Barisan mereka seolah-olah menyerupai gunung pedang yang lebat.

Han Ping tak mau buang waktu. Cepat ia putar pedang menerjang barisan pedang lawan. Terdengar dering gemerincing yang riuh dan berhasillah ia membuka sebuah jalan, pada barisan lawan.

Melihat kegagahan anak muda itu, seketika menyalalah semangat Cong To. Ia lontarkan dua buah hantaman ke arah penyerangnya di sebelah barat.

Habis menyapu lima batang pedang musuh, Han Ping berseru : “Aku yang membuka jalan, locianpwe yang menjaga belakang. Kita terjang masuk ke dalam paseban besar itu !”

Sebenarnya diam-diam Cong To sedang menimang dalam hati. Kawanan imam Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi dan berjumlah banyak. Sukarlah untuk menghadapi mereka. Belum ia memperoleh daya untuk bertindak, tiba-tiba ia mendegar teriakan Han Ping. Seketika ia mendapat akal dan berseru keras : “Baiklah !”

Han Ping menggembor keras. Ia menerjang ke arah utara. Kini tenaga dalam pemuda itu memang hebat sekali. Dalam adu pedang, jika tidak terbabat kutung tentulah pedang lawan mencelat jatuh. Han Ping benar-benar seperti harimau mengamuk sehingga barisan pedang lawan kacau dan terpaksa menyingkir.

Sedang Cong Topun terus menerus lepaskan pukulan untuk menghalau lawan yang menyerang dari belakang dan samping.

Dalam waktu singkat, kedua orang itu telah berhasil menerobos barisan pedang dan menuju ke paseban besar. Saat itu mereka tiba di bawah titian paseban. Tiba-tiba Han Ping enjot tubuhnya melayang ke atas atap paseban. Dalam pada itu setelah dapat mengundurkan dua orang imam yang menyerangnya, Cong Topun enjot tubuh, berjumpalitan di udara dan melayang di atas atap paseban.

Tiba-tiba mereka melihat seorang imam tua sedang duduk di puncak wuwungan sembari memegang sebuah lentera mereh. Wajahnya amat tenang, mata meram seolah-olah tak menghiraukan suatu apa.

Han Ping tertarik atas ketenangan imam itu. Dipandangnya dengan seksama. Jenggotnya yang putih menjulai panjang. Wajahnya penuh keriput, punggung agak bungkuk.

Sambil kiblatkan pedang, Han Ping berseru perlahan : “Locianpwe . . . .”

Imam tua itu membuka mata dan memandang Han Ping serta Cong To, serunya : “Kalian memakai kerudung muka, apakah ada sesuatu yang tak leluasa dilihat orang ?”

Mendengar ucapan yang tajam itu, Han Ping terkesiap, sahutnya : “Kami bermusuhan dengan biara locianpwe. Oleh karena itu kami tak ingin dilihat mereka. Pun pemimpin biara ini Thian Hian totiang, juga memakai kedok kulit, apakah dia juga malu dilihat orang ?”

Imam tua itu tertawa gelak-gelak : “Tetamu mendesak tuan rumah ! Tidak menyahut pertanyaanku, tak apalah. Tetapi mengapa berani mendesak pertanyaan padaku !”

Han Ping tak mau berlaku sungkan lagi, serunya : “Aku tak ada tempo mengadu lidah denganmu ! Kuhormati engkau sebagai seorang tua maka kusebutmu sebagai ' locianpwe'. Sebenarnya dalam kedudukan sebagai lawan, tak perlu aku harus berlaku sungkan kepadamu !”

Imam tua itu tetap tertawa : “Engkau membawa pedang. Kalau kita bermusuhan mengapa tak segera membunuhku saja !”

“Umurmu yang sudah begitu tua, tak sampai hatiku membunuh . . . .”

Tiba-tiba imam tua itu hentikan tertawa dan berseru keras : “Hm, baik benar hatimu ! Akupun akan membiarkan mayat kalian tetap utuh !”

“Apa ?” teriak Han Ping.

Tiba-tiba imam tua itu lepaskan lentera merah dan lentera itu terus meluncur ke arah Han Ping.

“Huh, mencekal lentera saja ia sudah tak kuat . . . .” baru Han Ping membatin begitu, tiba-tiba kakinya terperosok dan tubuhnyapun terjerumus ke bawah.

“Celaka . . .” diam-diam Han Ping mengeluh kaget dan cepat-cepat ia kerahkan tenaga untuk melenting ke atas. Tetapi tiba-tiba sebuah arus tenaga melanda di atas kepalanya dan serempak terdengar gelak tawa si imam tua tadi : “Dalam kamar rahasia penuh dengan alat-alat jebakan. Harap kalian jangan sembarangan bergerak . . . .”

Pandang mata Han Ping berubah gelap dan tubuhnya tetap meluncur ke bawah. Ia julurkan tangan meraba-raba. Ternyata ia sedang meluncur dalam sebuah lubang yang keempat dindingnya licin sekali. Sedikitpun tiada terdapat bagian yang dapat untuk cekalan tangan.

Blung . . . kira-kira empat lima tombak ke bawah, Han Ping tercebur dalam air dan terus meluncur ke bawah. Ketika tiba di dasar, barulah ia dapat berdiri tegak, lepaskan kerudung muka lalu enjot kakinya melambung ke permukaan air.

Ketika mengangkat muka, dilihatnya Cong To duduk di atas sebuah batu besar yang terapung di pemukaan air. Mengambil buli-buli arak dan siap hendak meneguk isinya.

Kiranya pengemis tua itu kaya akan pengalaman dunia persilatan. Begitu tubuhuya terperosok ke bawah, cepat ia mencabut kerudung muka. Begitu melihat sebuah batu besar, ia terus bergeliatan hinggap di atasnya. Dengan begitu ia tak usah masuk ke dalam air.

Han Ping segera berenang menghampiri lalu merayap ke atas batu. Diam-diam ia kagum melihat Cong To. Walaupun menghadapi maut, masih tetap enak-enak meneguk arak.

Setelah meneguk beberapa kali, tertawalah pengemis tua itu : “Di tempat ini amat dingin sekali. Minum arak dapat menghangatkan badan !”

Han Ping tak mempedulikan ocehan pengemis itu. Ia rnemandang ke sekeliling penjuru. Ternyata saat itu ia berada di sebuah empang seluas satu tombak. Empat penjuru dipagari dengan dinding batu. Di sebelah atas gelap sekali. Kecuali batu yang hanya setengah meter lebarnya itu, semuanya air yang dingin.

“Pernahkah engkau melihat penjara air ?” tegur Cong To tertawa.

Han Ping gelengkan kepala : “Belum.”

Cong To tertawa gelak-gelak : “Sekarang engkau boleh menikmati peagalaman baru ! Menilik kokohnya penjara air ini, mungkin kita tak dapat keluar selama-lamanya . . . .”

“Cong locianpwe, apakah engkau gembira ?” tanya Han Ping setengah mendongkol.

Cong To tertawa : “Pengemis tua sudah kebanyakan umur, matipun tak menyesal !”

Tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa Cong To itu memang membantunya untuk membebaskan Kim Loji. Ah, tak seharusnya ia bersikap getas terhadap pengemis itu. Ia menghela napas, ujarnya : “Penjara air semacam ini, belum tentu dapat menahan kita sampai mati.”

“Menurut penilaian pengemis tua, tipis sekali kemungkinannya kita dapat lolos !”

“Hm, aku pernah terkurung dalam makam tua yang penuh alat-alat maut itu, lebih berbahaya beberapa kali dari tempat ini. Bukankah aku tetap dapat meloloskan diri ?”

“He, jadi engkau pernah masuk ke dalam makam tua itu ?” Cong To terkejut.

“Sampai beberapa hari aku terkurung dalam makam tua itu. Alat-alat dan jebakan dalam makam itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari Penjara air ini . . . .” Han Ping berhenti sejenak , lalu : “Kukira dalam Penjara air ini tentu ada alat pemutar air. Asal kita dapat menyalurkan air air, tentu dapat lolos keluar dan sini !”

Cong To membenarkan.

“Sayang alat pemutar air itu berada di luar penjara air ini. Sudahlah, jangan mengharapkan hal itu lagi !” tiba-tiba dari arah samping terdengar sebuah suara bernada dingin.

Cong To tertawa lepas : “Sekalipun terkurung dalam penjara air, tetapi dalam 10 hari sampai setengah bulan, belum tentu kami berdua akan mati !”

Kembali suara bernada dingin itu berseru : “Jika menghendaki kalian cepat mati, asal batu penutup lubang perjara ini diturunkan ke bawah, kalian tentu terdesak ke dalam air dan mati kelelap !”

“Aku mampu selulup selama tiga hari tiga malam dalam bengawan Tiangkang. Makan ikan mentah untuk mengisi perut. Masakan takut dengan penjara air semacam ini saja ?” Cong To menyahut dengan ejekan.

Rupanya orang itu marah dengan ejekan itu. Dengan tertawa dingin ia berseru : “Jika kalian tak percaya akan kehebatan penjara air ini silahkan mencobanya. Hm, kami tak ada waktu untuk mengadu lidah.

Cong To tetap tertawa dan menantang : “Kalau tak percaya pada kemampuan ilmu selulup kami. silahkan turunkan batu penutup itu !”

Tetapi sampai diulang beberapa kali, Cong To tak mendapat penyahutan lagi.

“Apakah locianpwe benar-benar mampu selulup selama tiga hari tiga malam dengan hanya makan ikan mentah saja ?” tanya Han Ping dengan berbisik.

“Engkau bisa atau tidak ?” balas bertanya Cong To.

“Aku tak dapat berenang !”

Cong To meneguk buli-buli araknya lagi, ujarnya : “Pengemis tua sendiri juga tak pemah belajar berenang !”

Han Ping terbeliak : “Jika orang itu marah karena ejekan locianpwe tadi lalu menurunkan batu penutup terowongan ini, bukankah kita benar-benar akan mati terbenam ?”

Pengemis sakti gelengkan kepala tertawa : “Tadi pengemis tua mengejeknya karena ingin menyelidiki apakah mereka benar-benar hendak membunuh kita dengan segera. Tetapi karena mereka tak menurunkan batu penutup penjara air, berarti kita harus hidup disini selama beberapa hari lagi !”

Han Ping heran dan menanyakan apa sebab orang itu tak segera menurunkan batu penutup.

Jawab Pengemis Sakti : “Dalam hal ini banyaklah alasannya. Tak dapat kuterangkan sejelas-jelasnya saat ini. Tetapi cukup kalau engkau tentramkan hatimu. Paling sedikit kita masih mempunyai waktu satu setengah hari untuk hidup.”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi : “Sayang arak dalam buli-buli ini tak banyak. Mungkin tak cukup untuk sehari.”

Mendengar pengemis tua itu mengoceh tak keruan, Han ping tak mau menghiraukan. Ia mulai bersemedhi.

Entah berapa lama, ketika membuka mata, Han Ping melihat pengemis tua mencekal seekor benda semacam ikan belut. Sudah tentu ia heran dan menanyakan.

“Ular air,” Pengemis sakti Cong To.

“Untuk apa ?”

“Jika sampai 8 atau 10 hari mereka tak membinasakan kita, kita terpaksa harus mengisi perut juga. Imam hidung kerbau itu rupanya sengaja hendak membikin kita kelaparan sampai lemas baru akan menangkap kita hidup-hidup. Tetapi perhitungan mereka meleset. Dalam penjara air itu ternyata terdapat sarang ular air. Kalau tak salah, ada lebih kurang 32 ekor isinya. Tetapi kita harus hemat agar kuat bertahan sampai 10an hari.”

Seumur hidup Han Ping tak pernah makan ular. Sudah tentu ia terkesiap : “Ah, apakah daging ular boleh dimakan ?”

“Empuk dan harum sekali. Enaknya bukan alang kepalang.” Cong To tertawa.

Han Ping menghela napas : “Sekalipun dimakan tetapi tempat ini tak ada angin. Masakan kita makan mentah-mentah saja ?”

Pengemis sakti tertawa riang : “Pengemis tua mempunyai 28 macam resep masakan ular. Tanpa apipun tetap dapat membuat hidangan daging ular yang lezat. Ah, sayang arak dalam buli-buli ini sudah tak cukup banyak !”

“Bagaimana kalau kawanan ular itu kita makan habis tetapi kita belum dapat keluar dari sini ?” tanya Han Ping.

“Apa boleh buat kita harus menderita mati kelaparan,” sahut Cong To dengan seenaknya sendiri.

Saat itu barulah Han Ping menyadari bahwa tokoh pengemis tua benar-benar seorang yang tak takut mati. Bermula kenal padanya, ia anggap pengemis tua itu congkak sekali. Tetapi. ternyata seorang tokoh yang periang. Sikap Cong To yang begitu tenang menghadapi bahaya maut telah membangkitkan semangat Han Ping.

“Locianpwe, kita benar-benar kesepian disini . . .”

“Selama ada ular, pengemis tua senang tinggal disini sampai 5 tahun dan takkan merasa kesepian !”

“Maaf, aku tak mempunyai selera untuk main-main dengan ular. Tetapi aku mempunyai cara untuk menghilangkan kesepian.”

“Permainan yang engkau gemari, belum tentu pengemis tua suka. Katakanlah lebih dulu apa itu !”

“Aku paham beberapa pelajaran ilmu silat secara lisan, sayang aku tak dapat memahami intinya. Mumpung saat ini kini berada dalam penjara maut, jika dapat membuang soal mati, pikiran kita tentu lebih tenang. Akan kukatakan pelajaran lisan itu agar locianpwe dapat membantu memecahkannya !”

Cong To tertawa : “Sudah jamsa kalau pelajaran lisan dari suatu ilmu yang sakti itu, tentu sukar dimengerti. Jika meminta pengemis tua turut membahasnya, bukankah berarti engkau membocorkan rahasia ilmu pelajaran itu ?”

Han Ping tersenyum. Diam-diam ia menimang : “Tokoh ini memang berhati perwira dan luhur. Ilmu kepandaian makin tinggi, makin berguna pada umat manusia. Dengan alasan sama-sama memecahkan rahasia pelajaran lisan itu, kuberikan ilmu pelajaran itu kepadanya. Selain tindakan itu tak meninggalkan bekas, pun dapat kuperuntukkan membalas budinya.

Tak menyahut pertanyaan Cong To, Han Ping terus mulai menghafal dengan suara berbisik : “Semua gerak perubahan bersumber pada Kelambatan, meskipun lambat tetapi sesungguhnya cepat . . . .”

Cong To memiliki kepandaian yang tinggi. Mendengar kata-kata itu tergeraklah hatinya. Ia rasakan rangkaian kata-kata yang sederhana itu, telah menyentuh isi hatinya yang selama ini belum terpecahkan. Tanpa disadari tangannyapun mengendor dan lepaslah ular air itu ke dalam air.

Han Ping berseru tersenyum : “Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam rangkaian kata-kata pelajaran itu ?”

Cong To mrnghela napas : “Rangkaian kata-kata yang sederhana itu, sebenarnya mengandung sumber dari ilmu silat yang tinggi. Terus terang, sebelum engkau melantangkan kata-kata itu, akupun sudah mengetahui tetapi sampai saat ini belum menyelaminya.”

“Adakah kata-kata itu dapat diterapkan pada semua pelajaran ilmu silat ?” tanya Han Ping.

“Jika ilmu kepandaiannya masih terbatas, tentu sukar menyelami inti sari kata-kata itu. Walaupun seluruh umurku kuabdikan untuk belajar ilmu silat tetapi dengan terus terang aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata 'Segala gerak perubahan bersumber pada Kelambatan' . . . .”

Sejak bersua dengan wanita Heng-Thian-It-ki, diam ia memperhatikan gerak gerik wanita sakti itu dan dapat meraba makna dari pelajaran lisan yang dikatakan tadi. Tetapi berhubung ia merasa pengalamannya kurang dan tempo yang digunakan belajar silat selama ini hanya terbatas. Ia menjadi bimbang lagi ketika mandengar jawaban Cong To tadi. Ia merasa banyak sekali hal-hal yang tak dimengertinya.

“Locianpwe mendengar satu saja sudah mengetahui sepuluh. Tentulah locianpwe sudah dapat memahami seluruh maksud kata-kata tadi. Maukah locianpwe memberi petunjuk padaku ?”

Pengemis sakti hanya ganda tertawa : “Berpuluh puluh tahun pengemis tua memikirkan soal itu, walaupun otakku tak cerdas sehingga belum mampu menyelami intinya, tetapi pengemis tua sudah berhasil mengetahui lapisan kulit luarnya. Mendengar kata-kata yang engkau hafalkan tadi, pengemis tua seperti melihat lentera terang . . . .”

“Harap locianpwe suka menjelaskan.”

“Manusia itu walaupun memiliki kemampuan berpikir yang tak terbatas tetap kemampuannya untuk mengetahui ilmu, tetap terbatas. Apabila memiliki ilmu silat yang telah mencapai tingkat tinggi, untuk memperdalam lebih lanjut, sukarnya seperti naik tangga ke langit . . . .”

Han Ping mendesak supaya pengemis tua itu segera mulai memberi penjelasan .

Sahut Cong To : “Orang yang sudah tinggi ilmunya jika hendak mencari kemajuan yang lebih tinggi lagi, haruslah mencari jalan lain. Mengembangkan kecerdasan otak untuk menghapus kemampuan mengertinya yang terbatas itu. Tetapi kemampuan berpikir kita apabila sudah mencapai titik tinggi yang tertentu haruslah mengarah ke lain perubahan . . . .

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung beberapa saat. Ujarnya pula : “Ilmu pelajaran silat, memang menghendaki cepat. Tetapi apabila kecepatan itu sudah tiba pada titik tertentu, tentunya tak dapat cepat lagi. Tetapi ketangkasan dan tenaga dalam ilmu silat itu, segala gerak perubahannya terdapat pada waktu kita bergerak. Tampaknya memang lambat tetapi sesungguhnya gerakan itu cepat sekali. Makin lambat tampaknya gerakan itu . . . .”

“Terima kasih, locianpwe. Aku sudah mengerti sekarang,” kata Han Ping tersenyum.

Dalam pembicaraan selanjutnya, Han Ping pun menumpahkan banyak sekali jurus-jurus dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang selama ini mengeram tak terjawab dalam hatinya.

Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas, Cong To bantu memecahkan soal-soal itu. Apabila lelah, mereka lalu pejamkan mata bersemedhi. Dengan begitu, entah berapa lama mereka bercakap-cakap memperbincangkan soal-soal dalam ilmu pelajaran silat yang pelik dan rumit.

Bermula masuk, mereka rasakan penjara air itu dingin sekali. Tetapi beberapa hari kemudian, mulailah mereka terbiasa.

Hal itu disebabkan secara tak sengaja. Pada waktu Han Ping menghidangkan ilmu pelajaran tentang bagian tenaga dalam untuk 'mencuci' urat-urat tubuh yang terdapat pada kitab Tat-mo-ih-kin-keng, keduanya segera mulai mempraktekkan.

Berkat sudah memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang tinggi, dalam waktu beberapa hari saja, tenaga dalam mereka makin bertambah maju pesat. Hawa dingin dalam penjara air itu tak terasa lagi.

Hari itu setelah Cong To membuka mata dari persemedhiannya, ia ulurkan tangan ke dalam air. Tetapi ah . . . tangannya tak mendapat suatu apa. Barulah ia gelagapan sadar bahwa persediaan ular-air dalam liang, sudah habis dimakan mereka berdua. Dihitung-hitung, mereka sudah 20 hari lebih, berada dalam penjara air di situ. Karena persediaan makanan sudah habis, Pengemis sakti pun menghela napas.

Kala itu Han Ping masih bersemedhi. Mendengar helaan napas Cong To, cepat ia membuka mata dan bertanya : “Mengapa locianpwe menghela napas ?”

“Pengemis tua sudah kehabisan ular. Mulai saat ini kita akan meyakinkan ilmu pelajaran dengan perut kosong !” sahut Cong To.

Diam-diam Han Ping merenung. Dalam beberapa hari makan daging ular mentah, rasanya lebih baik mati saja. Tetapi dikarenakan tenggelam dalam lautan ilmu pelajaran silat yang tinggi, ia seperti tak ingat segala apa lagi. Tetapi kini setelah tak ada persediaan makanan, tentu sukar untuk bertahan hidup.

Dari pada hanya meyakinkan ilmu silat dan akhirnya harus ditawan musuh, mengapa tak mencoba untuk membobolkan penjara air itu ?

Han Ping meraba bajunya dan menjamah bungkusan pedang Pemutus Asmara yang selama ini belum pernah digunakannya. Setelah membuka kain bungkusannya, pedang itu memancarkan sinar kemilau yang menyilaukan air.

Cret, cret, mulailah ia membobol dinding terowongan itu.

“Ah, tak salah kalau orang persilatan memuji setinggi langit pedang Pemutus Asmara itu. Ternyata memang sesuai dengan kenyataannya. Dengan memiliki pedang itu, harapan kita untuk keluar dari penjara air ini, makin besar !” Cong To memuji.

Pengemis tua itu terus berbangkit dan loncat ke pinggir dinding lalu gunakan ilmu Cicak merayap, lekatkan punggung pada dinding, sambil merayap sambil menunjuk dan menutuki dinding.

Han Ping tahu kalau pengemis sakti itu memberi petunjuk bagian dinding mana yang harus dibobol. Tiba-tiba setelah sepeminum teh berkeliaran merayapi dinding, pengemis itu berhenti.

Han Ping heran dan hendak bertanya. Tetapi tiba-tiba didengarnya suara seseorang menyusup ke dalam telinganya : “Aneh, kemanakah perginya pengemis tua itu . . . ?”

Han Ping cepat mendapat akal. Disembunyikannya pedang Pemutus Asmara lalu rebah miring di atas batu menonjol.

Terdengar pula lain suara berkata : “Kedua orang itu benar-benar tahan dingin dan lapar. Sudah 25 hari menjebloskan mereka dalam penjara air, tetap tak mati . . . .”

Kembali orang pertama yang berkata tadi, berseru pula : “Di dunia tak mungkin terdapat keajaiban semacam itu, Tentu mereka sudah membekal bahan makanan.”

“Tadi apakah suara bergerudukan itu ?” tanya pula kawannya.

Kiranya bunyi bergerudukan itu berasai dari ketukan tangan Cong To yang hendak mencari lubang. Dan bunyi itu terdengar oleh penjaga di atas.

Dalam pada rebah mendengarkan pembicaraan kedua penjaga itu, diam-diam Han Pingpun memperhitungkan letak tempat suara orang itu. Jelas tentu terdapat lubang angin sehingga pembicaraan penjaga itu dapat terdengar ke bawah.

Belum sempat ia menentukan langkah, tiba-tiba segumpal penerangan lentera menyorot ke bawah Karena sudah beberapa hari berada dalam kegelapan, ia tak dapat melihat jelas keadaan dalam penjara air itu. Begitu penjaga menggunakan lampu sorot, barulah ia mengetahui bahwa dinding terowongan penjara air itu tak berapa tebalnya. Timbullah harapannya untuk membobol dinding.

Tiba-tiba lampu sorot itu padam. Ia heran dan serentak bangun.

Tiba-tiba Cong To berseru tertawa : “Ada perubahan besar !” - serunya seraya melayang turun.

Atas pertanyaan Han Ping, pengemis sakti itu menyahut : “Sukar dikatakan. Kalau tidak berubah baik tentu berubah celaka !”

Han Ping mendongkol mendengar kata-kata yang tak karuan itu. Sudah tentu setiap hal kalau tak jadi baik tentu jadi buruk.

Tiba-tiba air menyurut ke bawah sampai beberapa meter. Terdengar air itu mengalir ke sebuah saluran. Dan beberapa saat, airpun kering semua dan seketika tampaklah sebuah pintu batu terbuka lebar. Empat orang imam menghunus pedang, menerobos masuk.

Salah seorang yang berada di muka, segera berseru : “Hai, kalian berdua harap turun !”

Cong To melayang turun dan tertawa : “Menyurutkan air dan membuka pintu, apakah tak takut kalau pengemis tua akan menerobos keluar ?”

Wajah imam itu mengerut serius : “Kepala biara kami mengundang kalian bertemu di paseban besar,” - ia terus berputar diri dan melangkah keluar.

Perubahan yang tak disangka-sangka itu sungguh mengejutkan Cong To. Dengan pandang tak mengerti, ia berpaling ke arah Han Ping lalu mengikuti rombongan imam itu keluar.

Di luar penjara air itu ternyata merupakan sebuah titian yang kecil dan melanda rubuh ke atas. Penerangan bersinar dari atas.

Diam-diam Han Ping menghitung. Titian itu berjumlah 128 buah. Menilik itu jelas kalau penjara air itu dibangun dengan megah dan kokoh.

Ketika tiba di belakang paseban, Han Ping menghela napas longgar untuk menghirup udara segar.

Keempat imam itu berjalan perlahan tetapi tak pernah berpaling ke belakang. Setelah mengitari sebuah padang bunga, tibalah mereka dipintu paseban. Imam itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru nyaring : “Tawanan penjara air sudah datang !”

Cong To tertawa keras : “Imam hidung kerbau, mulutmu besar sekali. Sedang gurumu, Thian Hian totiang itupun tak berani menyebut begitu kepada pengemis tua ini !” - ia cepat melangkah ke atas batu titian.

Imam itu hendak mencegah dengan hadangkan tangannya tetapi cepat lengannya dicengkeram Han Ping lalu didorong mundur. Pemuda itu terus melangkah mengikuti Cong To.

Ketika mengangkat muka memandang ke muka, Han Ping terkesiap. Kiranya di tengah ruang paseban besar itu, sudah menyambut Thian Hian totiang. Tetapi saat itu dia tak mengenakan topeng muka. Wajahnya bundar seperti bulan purnama. Jenggot menjulai sampai ke dada. Dengan jubah pertapaan yang berkibar-kibar, sepintas pandang dia menyerupai dewa yang turun ke bumi . . . .

Di belakang tampak berdiri pengemis kecil murid Pengemis sakti Cong To dan si Tangan kilat Ca Giok !

Di sebelah kanan tampak kedua nona Ting. Ting Ling berpakaian hitam, Ting Hong tetap berpakaian putih. Wajah keduanya tetap secantik seperti biasa.

Pengemis kecil cepat lari dan berseru : “Suhu . . . .” - tetapi Pengemis-sakti menolakkan tangannya seraya berkata : “Jangan meributi pengemis tua dulu. Akulah yang hendak menanyakan bagaimana engkau ini !”

Ca Giok segera memberi hormat dan berkata dengan tertawa : “Kami mendengar Cong locianpwe mendapat kesukaran dalam penjara air maka sengaja datang hendak menolong . . . .”

Cong To gelengkan kepala, tukasnya : “Apakah begitu sederhana sekali ? Jangan membuat lemah hatiku !”

Ca Giok tersenyum lari menghampiri dan terus mencekal tangan Han Ping, serunya : “Saudara Ji tetap gagah seperti biasa. Mengapa tersiar berita kalau saudara sudah meninggal ?”

Han Ping melirik ke arah Thian Hian totiang. Tampak wajah imam yang semula berwibawa itu, berubah terkejut. Han Ping tersenyum hambar, sahutnya : “Aku memang manusia dari dua dunia. Sudah tentu kabar burung itu hilang kenyataannya !”

Ting Hong tertawa : “Ci, bukanlah telah kukatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati ! Lihatlah, bukankah dia tak kurang suatu apa !”

Thian Hian menatap Han Ping dan bertanya, dengan nada dingin : “Apakah engkau benar-benar orang yang malam itu bertempur dengan aku ?”

Han Ping tertawa : “Kita telah bertempur sampai 100 jurus. Aku engkau lukai dengan tenaga dalam daya mental. Lalu engkau tutuk jalan darah maut Sin-hong-hiat tubuhku.”

Thian Hian mengangguk : “Aku selalu bertanggung jawab apa yang kulakukan. Tak perlu engkau ungkit peristiwa itu lagi !”

“Tetapi aku masih belum mempunyai rencana untuk menuntut balas kepadamu,” kata Han Ping.

Thian Hian mendengus dingin : “Sekalipun engkau mempunyai rencana itu, kiranya sukar juga untuk melaksanakannya !”

Han Ping tertawa hambar : “Tetapi ada suat hal yang benar-benar aku tak tahan . . . .” bicara sampai disitu wajahnya serentak berubah bengis katanya : “Apakah luka beracun pamanku Kim itu sudah baik ?”

“Sekali aku sudah berjanji hendak menyembuhkannya, biarkan menderita luka yang lebih hebat dari itu, tetap dapat menyembuhkan . . . “ tiba-tiba ia berhenti karena merasa jawaban seperti dikarenakan rasa takut kepada pemuda itu. Serentak ia lantangkan suaranya : “Setelah kututuk jalan darah maut tubuhmu, mengapa engkau masih hidup dan dapat datang ke biara sini !”

Mendengar pamannya Kim Loji sudah sembuh, legahlah hati Han Ping. Ia tersenyum menyahut : “Hal itu harus kuhaturkan terima kasih atas tendangan yang locianpwe berikan kepadaku saat itu. Tendanganmu itu telah membuka jalan darah bagian Yim dan Tok dalam tubuhku. Sekali tenaga murni melancar, jalan darah maut yang engkau tutuk itupun dapat terbuka sendiri !”

“Benarkah itu ?” seru Thian Hian heran.

“Jika tendanganmu itu tak tepat mengenai jalan darah bagian Yim dan Tok, tentu saat ini aku sudah menjadi tumpukan tengkorak !”

Thian Hian menghela napas ringan lalu berpaling memberi pesan kepada seorang imam kecil supaya mengundang Kim Loji keluar.

Setelah imam kecil itu pergi, Thian Hian berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To, serunya dingin : “Kedatangan saudara Cong kemari dan melukai beberapa orang di sini, entah dengan cara bagaimana saudara Cong hendak mempertanggung jawabkan ?”

Pengemis sakti tertawa : “Tetamu harus menurut kehendak tuan rumah. Silahkan toheng mengatakan, pengemis tua tentu akan menurut saja !”

Mata Thian Hian berkilat ke arah pengemis kecil, ujarnya : “Untuk sementara kita catat saja rekening itu. Kelak kita perhitungkan lagi . . . .”

“Aneh !” seru Cong To, “tak pernah selamanya saudara begitu sungkan terhadap orang . . .”

“Benar, memang bicara kami tak pernah menumpuk hutang orang sampai lama. Tetapi terhadap engkau si pengemis tua, akan kuberi pengecualian,”

Cong To memandang ke arah puncak wuwungan paseban tertawa : “Hal itu sungguh mengejutkan pengemis tua.”

Ting Hong tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Cepat ia lari menghampiri Han Ping : “Apakah engkau tak melihat kami berdua ?”

“Melihat . . . .”

“Kalau melihat mengapa tak menegur ?”

Merah muka Han Ping. Tersipu sipu ia memberi hormat dan berseru : “Nona berdua . . .”

Tiba-tiba Ting Hong menutup hidungnya dengan ujung lengan baju, serunya : “Sudah berapa lama engkau tak ganti pakaian ?”

“Kira-kira sudah satu bulan !” sahut Han Ping. memang selama terkurung dalam penjara air hampir satu bulan itu, pakaiannyapun sudah menjamur, baunya apek sekali.

Mendengar adiknya bicara yang tak genah, buru-buru Ting Ling berseru : “Hai, budak liar, sudah berumur 16 17 tahun masih tak tahu adat. Hm, apakah tak mau ditertawai orang, hayo, lekas kembali ke sini !”

Malulah Ting Hong karena dimaki tacinya di depan orang banyak itu. Ia tundukkan kepala dan mundur ke tempat Ting Ling lagi.

Menatap Han Ping, berkatalah Thian Hian : “Benar-benar aku tak mengerti, kalian makan apa saja selama dalam penjara air itu ? Spakah sebelumnya kalian memang sudah membawa bekal makanan ?”

Mendengar pertanyaan itu, perut Han Ping serentak menguak dan huak . . . Ia muntah air masam.

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : “Adalah engkau sendiri yang menyediakan makanan lezat itu ! Masakan engkau sendiri tak tahu ?”

Thian Hian tahu bahwa pengemis itu memang tak pernah bohong. Mau tak mau ia terbeliak, serunya : “Apakah yang kami sediakan di situ ?”

“Engkau merencanakan untuk membikin kami berdua lemas lalu menawan, bukan ?” tanya Cong To.

Setiap orang yang terjeblos dalam penjara air itu memang harus menderita kelaparan selama 10 sampai 15 hari,” jawab Thian Hian.

“Sayang kehendak Tuhan itu tak seperti yang dikehendaki manusia. Ternyata engkau tak mampu membikin kami kelaparan . . . .”

“Engkau kan bukan manusia baja, bukan ? Kalau lapar sampai 15 hari, tentu kalian tak dapat bergerak lagi !”

Cong To tertawa gelak-gelak, serunya : “Perhitunganmu kali ini meleset, imam hidung kerbau ! Engkau tentu tak pernah menduga bahwa dalam penjara air itu terdapat sarang ular air. Tuhan selalu murah. Kawanan ular air itu cukup memberi makan pengemis tua sampai sebulan lamanya !”

Thian Hian tertegun, serunya : “Penjara air itu luar biasa dinginnya. Sekalipun kalian membawa bahan api, tetap tak dapat menahan haw a dingin di situ. Apakah engkau makan mentah mentah saja ular itu ?”

“Pengemis tua mempunyai 28 resep makan ular. Untuk makan ular mentah, pengemis tua mempunyai 12 macam resep. Tentulah engkau imam hidung kerbau tak pernah mengetahui . . .”

Huak . . . . kembali Han Ping muntah lagi. Mendengar ucapan Cong To tadi, seketika perutnya seperti dipelintir pelintir. Ia merasa perutnya tentu masih ada sisa daging ular. Tetapi ketika dimuntahkan ternyata hanya air saja.

Cong To tetap tertawa bebas dan menuturkan tentang pengalamannya makan ular mentah dalam penjara air. Dia benar-benar seorang ahli bicara. Dalam penuturannya itu, ia memberi nama yang berlain- lainan pada 12 resep makan ular mentah itu. Setiap nama, sedap sekali didengarnya.

Makin Cong To bicara dengan riang gembira, makin Han Ping muntah-muntah dengan hebat. Yang kedengaran seolah-olah tertawa Cong To sahut menyahut dengan muntah Han Ping.

Melihat itu Ting Hong tak kuat menahan perasaannya lagi. Segera ia berseru nyaring : “Pengemis tua, sudahlah, jangan terus menerus bicara tentang makan daging ular mentah, bising telingaku mendengarnya !”

Ting Lng terkejut. Ia hendak mencegah tetapi sudah tak keburu. Diam-diam ia memaki adiknya itu : “Hm, budak yang tak tahu tingginya langit. Siapakah Cong To itu, mengapa engkau benani memanggil dengan sebutan 'Pengemis tua' . . . .”

Siapa tahu, ternyata Cong To tak marah melainkan tersenyum dan diam.

Thian Hian totiang berpalmg ke arah Ting Hong, serunya : “Budak perempuan, nyalimu sungguh besar sekali ! Mau engkau menjadi murid per guruanku ?”

Sekalian orang terkejut dan memandang Ting Hong, menunggu apa jawab dara itu. Mereka anggap tawaran Thian Hian totiang itu benar-benar suatu hal yang tak terduga-duga.

Tetapi Ting Hong termangu saja. Wajahnya tegang tetapi tak berkata suatu apa.

Kata Thian Hian pula : “Apakah engkau takut ayahmu Raja Setan itu tak setuju ? Hm, jika dia berani tak setuju, Lembah Raja setan tentu akan kubumi-hanguskan !”

“Bangunan Lembah kami terbuat dari batu karang semua, tak mempan dibakar api yang bagaimanapun besarnya . . . .”

“Kalau api tak mempan akan kubongkar tanahnya supaya sebuah bangunanpun tak sisa lagi . . . .”

“Persiapan lembah kami ketat sekali. Belum kalian mencapai ke tengah lembah, tentu sudah dipergoki . . . .”

“Dipergoki lalu akan diapakan ?”

“Obat penyesat jiwa dari Lembah Raja setan termahsyur di seluruh dunia. Siapa yang berani masuk ke dalam lembah tentu tak dapat keluar lagi . . . .”

Cepat Thian Hian mengerat kata-kata Ting Hong : “Aku tak punya waktu adu lidah dengan engkau ! Pendek kata, engkau suka tidak menjadi murid perguruanku ?”

Sejenak merenung, Ting Hong menyahut : “Walaupun hati suka, tetapi aku harus minta izin dulu kepada ayah.”

“Kuterima engkau menjadi murid dan kuberikan ilmu pelajaran kepadamu. Apakah sangkut pautnya dengan ayahmu ?”

Ting Ling berpaling ke arah adiknya dan berbisik : “Adik Hong, engkau terimalah saja ! Nanti aku yang mengatakan kepada ayah, Karena ayah tentu takkan melarang !”

Ting Hong tahu bahwa tacinya itu amat cerdas dan tepat sekali memperhitungkan segala kemungkinan. Ia tak akan sangsi lagi dan tersenyum-senyum berpaling ke arah Thian Hian, serunya : “lt kiong, Dua Lembah dan Tiga Marga, sama-sama terkenal di dunia persilatan. Kepandaianmu berimbang dengan ayahku. Ilmu apa lagi yang hendak kauberikan kepadaku ?”

Ting Hong seorang dara yang polos hati dan suka bicara terus terang. Apa yang dipikir dalam hati, tentu segera diucapkan.

Thian Hian tertegun : “Kepandaian dan pengetahuan ayahmu, masakan dapat disejajarkan dengan aku. Berbicara tentang ilmu silat saja, mana dia dipersamakan dengan diriku . . . .”

Tiba-tiba Cong To menyelutuk : “Ilmu silat dari Lembah Raja setan mana bisa dibandingkan dengan ilmu pedang dari imam hidung kerbau Thian Hian ? Sudahlah, baik engkau mengangkat guru kepadanya. Jika ayahmu si Raja Setan tahu, dia tentu girang setengah mati. Masakan dia akan mempersalahkan engkau !”

Thian Hian mengelus-elus jenggotnya seraya tertawa : “Entah apakah saudara Cong percaya pada kata kataku atau tidak. Dalam waktu tiga tahun akan kugembleng dia menjadi pendekar wanita kelas satu dan dapat diadu dengan beberapa tokoh kelas satu dalam dunia persilatan. Saudara Cong sendiri, dalam tiga tahun belum tentu mampu mengalahkannya !”

Cong To tertawa : “Dalam hal itu, pengemis tua hanya percaya setengah bagian saja !”

Thian Hian berseru heran : “Mau percaya, harus percaya penuh. Kalau tak percaya, cobalah buktikan saja nanti tiga tahun kemudian. Masakan percaya hanya separuh bagian . . .”

Berhenti sejenak, imam itu melanjutkan ucapannya pula : “Saudara Cong tentu merasa bahwa ilmu silat dan ilmu pedangku terpaut tak berapa banyak dengan engkau. Maka engkau hanya mau percaya setengah-setengah saja !”

“Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang memang pengemis tua merasa harus tahu diri . . . .”

“Bukan terbatas pada saja, pun dalam ilmu Meringankan tubuh, ilmu pedang dan pelajaran tenaga sakti Hian-bun-kong-gi, di dunia rasanya tiada terdapat keduanya lagi !”

Diam-diam Han Ping membatin : “Hm, imam ini luar biasa congkaknya. Masakan memuji kepandaiannya sendiri setinggi langit !”

Cong To hanya ganda tertawa : “Dalam waktu tiga tahun engkau mampu menjadi budak setan itu seorang pendekar wanita kelas satu, pengemis tua memang percaya. Bahkan pengemis tua pun yakin, jika engkau sungguh-sungguh hati mendidiknya, dalam waktu 10 tahun dia tentu menjadi pendekar wanita yang amat cemerlang . . . .”

Thian Hian tertawa dan memuji akan ketajaman pandangan pengemis Cong To. Cong To mengucap beberapa kata merendah.

Mendengar percakapan kedua tokoh itu, Ting Hong berpaling ke arah tacinya lalu berpaling kepada Thian Hian totiang lagi, serunya : “Engkau hanya menerima aku seorang, apakah taciku tak dapat engkau terima sekali ?”

Thian Hian sejenak memandang Ting Ling, ujarnya : “Kalau soal kecerdasan dan bakat, engkau kalah jauh dengan tacimu. Tetapi sayang, aku hanya dapat menerima seorang murid saja !”

Ting Ling tertawa : “Bahwa kwan-cu (kepala biara) mau menerima adikku sebagai murid, aku sudah sangat berterima kasih sekali . . . .”

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan muncullah si imam kecil membawa Kim Loji.

“Paman, apakah lukamu sudah sembuh ?” teriak Han Ping seraya lari menyongsong.

“Baik,” kata Kim Loji tertawa, “dimana saja engkau selama sebulan ini ?”

Han Ping tertawa : “Aku berada dalam penjara air selama 25 hari. Tetapi karena paman sudah sembuh, sedikit penderitaan itu tak kuanggap apa-apa.”

Entah girang entah karena teringat sesuatu, maka dua butir airmata menitik turun dari kelopak Kim Loji. Ia tertawa : “Nak, hanya membuat sengsara engkau saja !” - ia maju menghampiri. Lebih dulu memberi hormat kepada Cong To kemudian kepada Thian Hian totiang, ujarnya : “Terima kasih atas budi pertolongan kwancu yang telah menyembuhkan lukaku.”

Tiba-tiba tampak Thian Hian totiang gembira, serunya sambil mengurut jenggot : “Berpuluh tahun ini. orang yang minta pertolongan rnenyembuhkan lukanya padaku dan dapat keluar dengan tak kurang suatu dari biara Hian-bu-kwan ini, baru engkau seorang !”

Kembali Kim Loji menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.

Han Ping berpaling dan bertanya kepada Pengemis sakti : “Cong locianpwe, apakah masih ada urusan lain lagi ?”

Sahut Cong To : “Selama hidup, jarang aku bicara dengan imam hidung kerbau sampai begini lama. Baik, mari kita pergi.”

Ting Hong hendak membuka mulut tetapi didahului Thian Hian totiang : “Jangan buru-buru dulu, pengemis tua. Kita masih belum selesai bicara !”

“Soal apa lagi ?” tanya Cong To.

“Kata-katamu tadi bertentangan sendiri dan belum engkau jelaskan,” kata Thian Hian.

“Sebulan yang lalu, engkau mengatakan bahwa perempuan itu dalam tiga tahun tentu dapat mengalahkan pengemis tua. Pengemis tuapun percaya penuh. Tetapi saat ini bukanlah seperti saat itu. Pengemis tua tak dapat dibandingkan dengan keadaannya sebulan yang lalu !”

Thian Hian merenung sejenak. Tiba-tiba ia berseru marah : “Engkau ngoceh sesukamu sendiri saja. Selama sebulan ini engkau berada di biara sini. Masakan engkau mendapat rezeki lain yang luar biasa !”

Cong To tertawa : “Hal ini maaf, pengemis tua tak dapat memberitahukan. Jika tak percaya, nanti 3 tahun lagi kita boleh dicoba. Pada saat itu mungkin engkau imam hidung kerbaupun tak dapat menandingi pengemis tua ini !”

Dua puluh lima hari bersama Han Ping sama-sama meyakinkan ilmu dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng, Cong To telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Thian Hian totiang tahu bahwa Pengemis sakti Cong To itu selalu bicara terus terang. Hitam bilang hitam, Putih bilang putih. Sekali pengemis itu menolak memberitahukan, percuma saja untuk mendesaknya.

“Kalian telah masuk ke Hian-bu-kiong tanpa izin, terpaksa aku tak dapat mengantar keluar. Kecuali kalian mau menghadap dan memberi hormat kepada patung cousu pendiri biara ini, untuk mengaku menjadi murid secara simbolis . . .”

“Ah, pengemis tua ini sudah biasa hidup bebas. Sukar kiranya kalau harus ganti cara hidup terikat oleh peraturan biara . . . .”

“Memang sudah kuduga engkau tentu tak mau,” tukas Thian Hian totiang, “di luar paseban itu terdapat tujuh lapis pintu yang dijaga oleh barisan pedang. Kalian dengan cara bagaimana tadi masuk kemari, silahkan dengan cara itu kalian keluar !”

Mendengar ucapan kepala Hian-bu-kiong itu, seketika berubahlah wajah Han Ping. Melihat sikap Han Ping, Cong To kuatir kalau pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang keras. Buru-buru ia mendahului : “Tujuh buan barisan pedang tentu bukan olah-olah hebatnya. Entah pengemis tua mampu menerobosnya atau tidak tetapi yang jelas tentu sukar menghindari korban-korban yang menderita luka.”

Thian Hian tertawa : “Harap kalian bermurah hati sedikit sajalah. Nah, silahkan !”

Cong To menyadari bahwa kata-kata Thian Hian itu memang merupakan kenyataan dari aturan biara Hian-bu-kwan. Sekali-kali bukan karena sengaja hendak membikin susah. Maka iapun segera memberi hormat dan minta diri. Sekali melesat, pengemis tua itu sudah berada di luar paseban,

Ca Giokpun juga ikut memberi hormat dan pamitan.

“Silahkan kalian tinggalkan tempat ini,” sahut Thian Hian totiang tertawa.

Ting Ling mencekal tangan Ting Hong dan mengucapkan kata-kata selamat berpisah dengan menghiburnya : “Adikku, tenangkanlah hatimu belajar ilmu kepandaian di sini. Nanti beberapa waktu lagi, aku tentu datang ke mari menjenguknya !”

“Luka cici masih belum sembuh sama sekali. Harap baik-baik menjaga diri dalam perjalanan. Maaf, aku tak dapat mendampingi cici,” kata Ting Hong.

“Tak apalah,” Ting Ling tertawa, “dari sini aku terus langsung pulang ke lembah.”

Ting Hong memandang ke arah Thian Hian totiang lalu minta izin untuk mengantarkan tacinya.

“Hanya boleh sampai di luar paseban ini,” kata Thian Hian.

“Terima kasih suhu,” kata Ting Hong seraya menggandeng tangan tacinya berjalan keluar.

Pengemis kecil dan Kim Loji mengikuti di belakang kedua nona itu. Sedang Han Ping berjalan paling belakang.

Tiba di luar paseban besar, pengemis kecil dan Ca Giok cepat menyusul Cong To. Ting Ling dan Ting Hong masih saling bercekalan tangan seperti berat untuk berpisah.

Dengan menghela napas, Han Ping berjalan di sisi kedua nona itu.

Tiba-tiba Ting Hong berseru memanggilnya : “Ji siangkong . . . .”

“Nona hendak pesan apa ?” Han Ping berhenti.

Ting Hong tertawa rawan : “Engkau begitu sungkan kepada kami. Beberapa bulan tak bertemu, kita seperti orang yang belum kenal.”

“Nona berdua telah memperlakukan diriku amat baik sekali. Sudah tentu takkan kulupakan seumur hidup,” sahut Han Ping.

“Kuharap nanti beberapa waktu kemudian, engkau bersama taci Ling suka datang menjenguk aku kemari,” kata Ting Hong.

Han Ping merenung sejenak, ujarnya : “Orang luar tak diizinkan masuk ke dalam Hian-bu-kiong sini. Jika aku datang menjengukmu, tentu tak lepas dari rintangan para imam disini . . . .”

“Jika engkau sungguh mau datang, sudah tentu akan kusambutmu di luar pintu biara,” Ting Hong tertawa.

“Masih banyak beban yang harus kutunaikan. Sekalipun aku meluluskan permintaan nona untuk menjenguk kemari tetapi tak dapat ditentukan entah kapan . . . .”

“Tak peduli pada tanggal, bulan dan tahun berapa, asal engkau benar-benar mau kemari, aku tentu tetap akan menunggumu,” sahut Ting Hong.

Ting Ling menghela napas, serunya tertawa : “Adik Hong, Ji siangkong mempunyai banyak urusan yang penting. Mengapa engkau hendak menyulitkan dirinya . . . .”

Ting Hong tertegun, sahutnya : “Ah, cici benar . . . .”

Kata Ting Ling lebih lanjut : “Thian Hian totiang merupakan seorang tokoh yang jarang terdapat dalam dunia persilatan dewasa ini. Dia mau menerima engkau menjadi murid, sudah suatu keberuntungan yang tak terduga-duga. Engkau harus belajar dengan sepenuh hatimu agar supaya jangan sampai mengecewakan harapan gurumu.”

Tiba-tiba Han Ping menyelutuk : “Setahun lagi, jika Ji Han Ping masih hidup, tentu akan datang kemari menyambangi nona,” ia memberi hormat terus melangkah keluar.

Juga Ting Ling segera lepaskan cekalan tangan adiknya dan berseru dengan tertawa : “Adikku, lekaslah engkau kembali masuk ke dalam paseban !”

Ting Hong mengangguk lalu berjalan perlahan-lahan ke dalam paseban.

Ting Ling cepatkan langkah menyusul kawan-kawannya. Menikung ujung paseban, ternyata Pengemis sakti Cong To menunggunya.

“Harap nona berjalan di tengah, Cong locianpwe yang mempelopori di muka dan aku di belakang,” kata Han Ping.

Ting Ling menurut.

Cong To berpaling memberi pesan : “Dalam menembus barisan pedang, hindarilah supaya jangan sampai melukai orang.”

Cepat mereka tiba di pintu pertama yang dijaga oleh 8 imam pertengahan umur. Mereka menghadang di tengah jalan dengan menghunus pedang.

Cong To acungkan tangan kiri dan berseru nyaring : “Hati-hatilah, pengemis tua hendak menerobos !”- ia menutup kata-katanya dengan gerakan sebuah hantaman.

Ke 8 imam itu tiba-tiba menyisih ke samping.

Gerakan mereka teratur dan amat rapi. Pada saat itu juga, Cong To melesat ke ambang pintu lalu rentangkan kedua tangan ke kanan dan kiri dalam jurus Hun-hoa-hud-liu atau Membagi bunga menyiak pohon liu.

Pedang ke 8 imam itupun serempak berhamburan untuk menutup jalan. Tetapi pukulan Cong To itu bukan kepalang dahsyatnya. Baru pedang mereka bergerak, orangnyapun sudah terpental rnundur. Oleh karena tubuh ke 8 imam itu terdorong ke belakang sampai dua langkah, pedang merekapun tak berdaya lagi untuk menutup jalan. Cong To cepat-cepat melangkah keluar dari pintu itu.

Ca Giok yang mengikuti di belakang Cong To, diam-diam pun sudah siap sedia. Teiapi di luar dugaan ke 8 imam itu tak mau mengganggu rombongan di belakang Cong To lagi. Dengan begitu Ca Giok, Kim Loji, Ting Ling dan Han Ping dapat melalui pintu pertama itu dengan aman.

Selanjutnya dalam melewati enam lapis pintu dan menerobos 6 buah barisan pedang, keadaannyapun hampir sama. Barisan pedang pada setiap pintu itu tentu menghadang Cong To. Tetapi setelah Cong To dapat menghalau mereka, merekapun segera menyisih mundur dan tak mau merintangi rombongan yang ikut di belakang pengemis sakti itu.

Cara yang begitu mudah dalam melalui enam lapis pintu, menimbulkan keraguan Pengemis sakti Cong To. Diam-diam ia berpikir : “Imam hidung kerbau itu walaupun mengandung maksud untuk membiarkan kita keluar, tetapi tak mungkin dengan cara yang semudah itu . . . .”

Dalam pada menimang nimang itu, Cong Topun tiba di pintu terakhir. Ialah pintu besar dari biara Hian-bu-kiong. Setelah melalui pintu besar itu, mereka benar-benar sudah keluar dari lingkungan biara.

Memandang ke muka, Cong To melihat berpuluh imam menghunus pedang tengah berkerumun menjaga pintu. Begitu melihat kehadiran Cong To dan rombongannya, mereka segera pencarkan diri dalam sebuah barisan pedang. Formasi barisan pedang itu, tak banyak bedanya dengan barisan-barisan pedang yang menjaga pada setiap pintu.

Tetapi ketika Han Ping condongkan tubuh ke samping untuk melihat keadaan di sebelah muka, ia menjerit tertahan.

Ternyata ia terkejut karena melihat dua orang imam tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih, duduk bersila di tengah barisan pedang. Di muka kedua imam tua itu masing-masing terletak sehelai panji merah dan sebatang pedang panjang.

Bisik Han Ping : “Cong locianpwe, apakah di antara kedua imam tua yang duduk di tengah barisan pedang itu terdapat salah seorang yang tempo hari menjerumuskan kita ke dalam penjara air ?”

Cong To tertawa : “Bermula kukira imam hidung kerbau itu sungguh-sungguh bermaksud hendak membebaskan kita. Tetapi ternyata dia telah tumpahkan seluruh kekuatan biara pada barisan pedang di pintu terakhir. Jelas keenam lapis pintu yang kita lampaui tadi, bukan karena mereka bersikap sungkan kepada kita. Melainkan karena imam-imam anggota barisan pedang itu, termasuk murid-murid yang kepandaiannya tergolong kelas 3 atau 4. Jika berani menempur kita, mereka kuatir akan mendapat malu !”

“Jadi menurut pandangan locianpwe, apabila kita mampu melintasi barisan pedang terakhir ini, barulah kita dianggap betul-betul memiliki kepandaian yang berarti ?” tanya Han Ping.

“Thian Hian si imam hidung kerbau itu, sekalipun tak mengandung maksud untuk merintangi kita keluar dari biara ini, tetapi paling tidak dia tentu hendak suruh kita merasakan sedikit hidangan pahit”

Kata Han Ping dengan nada gelisah : “Jika mereka sudah mengerahkan kekuatan dan kita tak boleh melukai orang, tentulah kita akan menderita kerugian. Apalagi pamanku Kim dan nona Ting masih belum sembuh benar . . . .”

Cong To tiba-tiba berpaling, ujarnya : “Yang paling menguatirkan adalah kedua imam tua berambut putih yang duduk bersila di dalam barisan itu. Pada malam kita terpikat ke dalam penjara air. Pengemis tua telah merasakan sebuah pukulannya. Walaupun belum sepenuh tenaga, tetapi tenaga pukulannya tak di bawah pengemis tua. Seorang saja sudah cukup menyulitkan apalagi tambah seorang lagi. Kali ini kita betul-betul berhadapan dengan musuh berat. Lebih baik kita berunding dulu !”

Mendengar keterangan pengemis tua, Ca Giok, Kim Loji dan Ting Ling anggap persoalannya tentu serius. Tokoh semacam Cong To, biasanya tak pernah sembarangan memuji kepandaian musuh. Perhatian mereka tertumpah seluruhnya kepada kedua imam itu.

Ting Ling seorang nona yang teliti sekali. Melihat pedang kedua imam itu berbentuk istimewa, seketika timbullah kecurigaannya. Diam-diam ia menimang : “Biasanya orang yang menggunakan pedang itu tentu unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Tetapi pedang kedua imam itu kecuali panjangnya luar biasa, pun lebih berat dari pedang biasa. Entah apa maksudnya.”

Ting Ling memang cermat sekali. Sebelum ia dapat meneropong rahasia sesuatu hal yang dicurigai, tak mau ia sembarangan bicara.

Han Pingpun memandang barisan pedang itu dengan seksama. Diam-diam ia terkejut.

Tampak semua imam yang membentuk barisan pedang itu meramkan mata dan tundukkan kepala.

Cara memusatkan perhatian dan semangat itu, benar-benar suatu persiapan dari ilmu barisan pedang yang bermutu tinggi.

Diam-diam Han Ping menghitung. Kecuali kedua imam tua itu, barisan pedang terdiri dari 36 orang imam. Sesuai dengan jumlah ke 36 daya alam. Tetapi dengan ditambah 2 orang imam tua, agaknya sudah tak sesuai lagi.

“Cong locianpwe, aku mendapat akal, entah sesuai digunakan atau tidak ?” tiba-tiba Han Ping berseru.

“Bagaimana ?” tanya Cong To.

“Biarlah aku seorang diri yang menggempur barisan mereka. Jika dapat menembus, ya sudah. Tetapi jika gagal, locianpwe dan saudara-saudara tentu dapat mengamati gerak perubahan dari barisan dan menemukan daya untuk memecahkannya !”

Cong To merenung. Sesaat kemudian ia berkata : “Cara itu memang tepat. Tetapi barisan pedang itu merupakan pengerahan tenaga kekuatan Hian-bu-kiong. Kecuali setiap anggotanya tentu berkepandaian tinggi, pun barisan itu tentu mempunyai gerak perubahan yang hebat. Lebih baik aku si pengemis tua saja yang mencobanya !”

“Locianpwe luas pengalaman. Jika locianpwe yang berada di luar dan memperhatikan perubahan mereka, tentulah berhasil. Tetapi kalau locianpwe yang menyerbu dan kami yang tinggal di luar, tentu kurang waspada !”

“Biarlah kutemani saudara Ji menyerbu barisan itu,” seru Ca Giok sambil mengangkat dada.

Cong To tertawa : “Marga Ca memang termahsyur dalam ilmu barisan yang aneh-aneh. Tentulah engkau sudah mempunyai pegangan untuk menghadapi barisan pedang itu.”

“Sedikit-sedikit memang telah kuketahui rahasia barisan itu. Tetapi karena ditambah dengan dua orang imam tua, kukuatir barisan itu mempunyai lain perubahan lagi . . . .” Ca Giok tertawa.

“Kedua imam tua itu ?” tanya Cong To.

Ca Giok mengiakan.

Tiba-tiba Ting Ling menyeletuk : “Aku mempunyai pendapat. Entah benar atau tidak ?”

“Uh, dunia persilatan siapakah yang tak kenal pada nona Ting. Silahkanlah,” kata Ca Giok.

Han Pingpun ikut memuji : “Nona Ting selalu dapat membuat penilaian yang tepat, aku . . .”

Ting Ling tersenyum : “Sudahlah, jangan kelewat menyanjung . . . tahukah kalian apa sebab kedua imam tua itu duduk bersila seperti patung ?”

“Entahlah !” Han Ping gelengkan kepala.

“Kedua imam tua itu orang cacad ! Kalau tidak sebelah kaki tentu kedua belah kaki mereka buntung semua !” kata Ting Ling.

Mendengar itu Cong To, Ca Giok bahkan si pengemis kecil yang licin, terbeliak kaget.

“Bagaimana engkau tahu ?” tanya Cong To.

“Aku memang sudah curiga mengapa mereka berdua duduk bersila tak bergerak. Kalau mereka berdua yang memegang pimpinan barisan, tak perlu duduk begitu dan tentu berdiri di tempat tertentu memberi aba-aba. Dua helai panji merah dan dua batang pedang yang istimewa panjangnya, memang aneh sekali. Jika Thian Hian locianpwe menaruh kepercayaan kepada kedua imam tua itu akan mampu menghalangi perjalanan kita, tentulah beliau tak perlu lagi menyertakan barisan pedang untuk memperkuat kedua imam itu . . . .”

Cong To mengangguk : “Dunia persilatan memuji budak perempuan yang besar dari Lembah Raja Setan itu, cerdas dan cermat. Rupanya memang benar. Tetapi dengan sedikit ulasan itu, kiranya masih belum cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kedua imam tua itu cacad kakinya !”

“Locianpwe benar.” Ting Ling tertawa, “karena curiga kepada kedua imam tua itu, maka diam-diam kuperhatikan gerak geriknya. Tadi tiba-tiba angin berhembus agak keras dan jubah kedua imam tua itu tersingkap naik . . . .”

“Cukup ! Cukup !” Cong To menghela napas, “hampir separuh umur pengemis tua gentayangan di dunia persilatan tetapi tetap tak mampu memikirkan hal-hal yang sekecil itu.”

Juga Ca Giok ikut memuji. Berkatalah Ting Ling sambil merendah diri : “Siapapun juga, asal mau memperhatikan tentu dapat. Soal itu sesungguhnya amat sederhana sekali . . . .”

Tiba-tiba kedua imam tua itu membuka mata dan berkilat-kilat memandang ke arah Ting Ling. Rupanya mereka menangkap pembicaraan nona itu.

Melihat itu Ting Ling malah sengaja lantangkan suaranya : “Karena tak dapat bergerak dengan leluasa maka kedua imam tua itu sengaja membuat pedang yang istimewa panjang dan berat. Kedua helai panji merah itu tentulah untuk memberi aba-aba pada barisan.

Han Ping membenarkan pendapat nona itu. Karena ketika pada malam itu ia bersama Cong To dijebak dalam penjara air, pun imam tua yang menjebaknya itupun menggunakan lentera merah.

Berkata Ting Ling : “Saudara Ca, ilmu silat Peh-poh-sin-kun dari keluarga Ca, yang mampu melakukan serangan dari jarak jauh maupun dekat, ditambah pula dengan pengetahuan saudara Ca tentu ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong, kiranya tepat kalau saudara yang maju menggempur lebih dulu !”

Ca Giok tidak menyahut. Tetapi diam-diam ia mengeluh mengapa nona itu hendak menganjurkan ia yang menjadi pelopor. Apakah ia harus maju seorang diri ?

Melihat perubahan muka Ca Giok, Ting Ling tertawa : “Dengan Ca saupohcu yang mendampingi Ji siangkong, kiranya tentu dapat menghadapi barisan mereka. Karena ilmu silat sakti didampingi dengan pengetahuan tentang gerak perubahan barisan. Tetapi perhitungan itupun ada kalanya meleset juga. Lalu bagaimana pendapat Cong locianpwe andaikata ia sampai gagal ?”

“Sudahlah, engkau toh sudah mengaturnya dengan cermat. Tak perlu memberi muka lagi pada pengemis tua ini,” Cong To tertawa.

“Tetapi aku hanya rnemberi usul saja. Hak memutuskan tetap pada locianpwe,” Ting Ling tertawa juga.

“Engkau boleh merencanakan dengan teliti, jauh lebih luas dari pemikiran pengemis tua. Terserahlah saja padamu !”

Han Ping berpaling dan mengajak Ca Giok segera menyerbu.

“Apakah kalian tak membawa senjata ?” tanya Ting Ling.

“Sayang tak seorangpun dari kita yang membekal senjata” sahut Ca Giok.

“Tak apalah, kita nanti dapat merebut senjata salah seorang imam,” kata Han Ping seraya melangkah ke arah barisan. Ca Giok terpaksa mengikuti.

Selekas tiba di muka barisan, secepat kilat Han Ping terus menyerbu. Ternyata walaupun sedang pejamkan mata, tetapi anggota barisan itu memiliki reaksi yang tajam sekali. Begitu Han Ping menerjang, barisan pun segera bergerak. Empat batang pedang segera menyongsong Han Ping dari empat jurusan.

Sekonyong-konyong Han Ping menarik diri. Tubuhnya ditekuk ke belakang sehingga hampir rebah telentang ke tanah. Itulah jurus Thiat-poan-kio yang sederhana. Tetapi karena Han Ping bergerak dengan luar biasa cepatnya, jurus itu lain juga gerakannya.

Selekas keempat pedang menusuk angin, dengan gerak secepat kilat, Han Ping sambarkan kedua tangannya untuk merebut pedang dua orang imam.

Tetapi saat itu barisan sudah bergerak. Imam-imam itu mulai berlincahan melalu lintas. Kiblatan pedang merekapun tampak seperti pagar yang rapat.

Pada saat tangan Han Ping menjamah jubah kedua imam, empat batang pedang telah menusuknya dari samping.

Gerak saling mengisi dan saling mem bantu dari barisan itu, memaksa Han Ping harus menyelamatkan diri lebih dulu. Cepat ia menarik kedua tangannya lalu menggeliat ke samping. Tetapi baru kaki berdiri tegak, kembali 4 pedang sudah menusuknya lagi. Sampai empat lima kali ia harus berpindah tempat karena serangan pedang.

Diam-diam Han Ping menimang. Tiap kali ia selalu bergerak pindah ke sebelah kiri dan setiap kali itu pula dirinya tentu diserang oleh 4 pedang.

Diperhatikan juga bahwa ia telah terdesak ke tengah barisan. Jaraknya dengan kedua imam tua itu hanya satu setengah meteran.

Ca Giok masih berhenti di luar barisan. Rupanya ia hanya mengawasi gerak perubahan barisan itu dan tengah mempelajarinya.

Tetapi Ting Ling gelisah. Ia tahu bahwa beberapa kejap lagi Han Ping tentu akan bertempur dengan kedua imam tua itu. Maka cepat ia mendorong Ca Giok supaya lekas masuk ke dalam barisan.

Mendengar seruan si nona, terpaksa Ca Giok bertindak. Dengan menggembor keras lebih dulu ia lepaskan sebuah hantaman Peh-poh-sin-kun lalu baru menerjang.

Menerima pukulan Ca Giok. Salah satu bagian barisan kacau. Ca Giok cepat gunakan kesempatan itu untuk loncat ke dalam barisan. Begitu berada dalam barisan, ia segera merasakan hebatnya tekanan lawan. Pedang berkiblatan menyerang dari empat penjuru.

Untung, sekalipun ilmu silat Ca Giok tak setinggi Han Ping, tetapi ia tahu akan rahasia perubahan barisan. Dalam menghadapi serangan barisan. Ia dapat bertahan dengan tenang.

Imam-imam anggota barisan itu sudah terlatih dengan sempurna. Sekalipun Ca Giok tahu akan perubahan barisan, tetapi ia tetap tak mampu menghadapi tekanan yang dahsyat dari serangan mereka. Berturut-turut ia terdesak ke tengah barisan.

Terdesaknya Ca Giok ke tengah barisan, menyebabkan tekanan pada Han Ping agak kendor. Ketika Han Ping sempat berpaling, dilihatnya Ca Giok pontang panting setengah mati. Rupanya pemuda Ca itu kewalahan. Melihat itu, Han Pingpun segera lontarkan dua buah hantaman seraya menerjang.

Peristiwa-peristiwa aneh yang merupakan rezeki luar biasa bagi Han Ping selama beberapa bulan ini, menyebabkan ilmu silatnya maju luar biasa pesatnya. Dua buah pukulan yang dilepaskannya itu, laksana damparan gelombang laut dahsyatnya. Barisan pedang yang ketat, tersiak mundur. Dua imam yang berada paling muka mencelat ke belakang dan pedangnyapun terlepas.

Han Ping sendiri juga terkejut. Ia tak nyana kalau tenaga dalamnya sekarang berubah begitu dahsyat.

Ca Giok menggunakan kesempatan untuk cepat memungut pedang yang jatuh itu. Lalu lemparkan yang sebatang kepada Han Ping. “Saudara Ji, terimalah !”

Pada saat Han Ping menyambuti pedang, Ca Giokpun sudah loncat ke samping nya. Tetapi barisan pedang yang kacau itupun sudah menyusun diri pula. Kedua imam yang kehilangan pedangnya tadi, cepat mundur ke belakang. Serangan pedang kembali melancar deras.

Dengan mencekal pedang, semangat Ca Giok pun bertambah besar. Berkatalah ia dengan tertawa kepada Han Ping : “Saudara Ji, marilah kita sambut pedang mereka untuk menguji sampai dimana tenaga kawanan imam itu. Kemudian baru kita cari akal untuk membobol barisan . . . .”

Tring, tring . . . . Ia sudah mendahulul menangkis dua batang pedang yang menyerangnya.

“Aku tak paham akan barisan itu. Cara membobolkannya, harap saudara Ca yang memberi petunjuk . . .” - pedang diobat-abitkan ke kanan kiri untuk menghalau tiga pedang lawan.

Kini kedua pemuda itu tak mau menghindar lagi. Bahu membahu, mereka mulai menangkis serangan lawan.

Pada saat itu jelas dapat diketahui bagaimana tingkat kepandaian kedua pemuda itu. Han Ping tegak laksana sebuah karang. Gerakan pedangnya mantap dan keras. Setiap imam yang beradu pedang dengannya, kalau tidak pedang imam itu tersiak ke samping tentulah orang dengan pedangnya terpental mundur.

Tetapi Ca Giok dalam menghadapi serangan para imam itu kuda-kuda kakinya tak tenang. Jika punggungnya tak saling bertekanan dengan punggung Han Ping, tentulah ia sudah tak kuat bertahan lagi.

Saat itu kedua imam tua yang duduk bersila tadi, sudah mulai membuka mata untuk melihat gerakan barisannya. Rupanya mereka gelisah juga melihat barisannya macet. Salah seorang segera mengambil panji merah lalu digoyang-goyangkan dua kali,

Sekonyong konyong barisan berhenti serempak. Dan terdengarlah imam tua yang satunya, batuk-batuk berkata : “Sungguh hebat sekali kalian dapat bertahan dalam barisan ini sampai sekian lama. Sekarang apabila kalian mampu melintasi penjagaan kami berdua saudara seperguruan ini. Kami segera akan membukakan pintu biara untuk mengantar para tetamu keluar.”

Barisan itupun membubarkan diri. Ke 36 imam segera tegak berjajar-jajar di samping kedua imam tua.

Cong To tertawa gelak-gelak, serunya : “Kukira kalian berdua imam hidung kerbau hendak pinjam kewibawaan barisan untuk merintangi pengemis tua . . . .”

Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin : “Hanya dengan kekuatan kami berdua saudara seperguruan saja, dikuatirkan kalian tak mampu melintasi !”

Han Ping memperhatikan kedua imam tua itu. Umur mereka jauh lebih tua dari Thian Hian totiang. Diam-diam ia meragu jangan-jangan kedua imam itu kedudukan angkatannya lebih tinggi dari Thian Hian !

“Jika benar, tentulah kepandaian kedua imam tua itu hebat sekali. Tentu lebih tinggi dari Thian Hian totiang. Menilik gelagat, tak mudah untuk melintasi rintangan yang terakhir ini.” Diam-diam Han Ping menimang.

Tiba-tiba terdengar Ting Ling melengking : “Entah bagaimanakah kedudukan lo-cianpwe dengan Thian Hian totiang !”

Rupanya nona itu juga mengandung kecurigaan seperti pikiran Han Ping. Ia duga kedua imam tua itu tentulah imam golongan angkatan yang lebih tinggi dari Thian Hian.

Tetapi begitu mendengar disebutnya nama Thian Hian totiang, kedua imam tua itu berubah tegang wajahnya. Dengan sikap menghormat, menyahut : “Thian Hian totiang adalah guru kami !”

Ting Ling terbalik lalu tertawa : “Suheng berdua. apakah baik-baik saja ?”

Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, serunya mendamprat : “Gadis yang masih begitu muda belia, mengapa mengucap kata-kata begitu tak tahu aturan.”

Sahut Ting Ling dengan serius juga : “Adikku sekarang menjadi murid dari Thian Hian totiang. Jika menurut urut-urutan, apakah tak pantas kalau kupanggil kalian dengan sebutan 'suheng' itu ?”

Kedua imam tua itu terkesiap : “Benarkah itu ?”

Apakah engkau tak dapat menghitung jumlah rombongan kami ini ?” sahut Ting Ling.

Kedua imam tua itu saling berpandangan satu sama lain, lalu berkata : “Kalau begitu, silahkan sumoay lewat !” - tanpa berganti tempat duduk, tiba-tiba kedua imam tua itu menyisih ke samping.

Begitu pula ke 36 imam anggota barisan itu, sama turunkan pedangnya dan memberi hormat kepada Ting Ling seraya menyebut bibi guru.

Sudah tentu Ting Ling risih sekali. Umur mereka rata-rata 20 tahun lebih tua dari dirinya. Walaupun banyak pengalaman tetapi tak urung, Ting Ling merah juga wajahnya. Sejenak tertegun baru ia membalas hormat kepada mereka lalu berpaling ke arah kedua imam tua, serunya : “Siapakah nama gelaran kalian ?”

“Aku Hoan In,” sahut yang duduk di sebelah kiri.

“Aku Goay Jiu,” sahut yang kanan.

Ting Ling kerutkan dahi. 'Hoan In' artinya membayar budi. Goay Jiu artinya dendam tajam. Benar-benar suatu gelaran yang aneh. Ia tertawa : “O, kiranya Hoan In dan Goay Jiu berdua suheng. Aku hendak mengajukan permohonan entah kedua suheng suka meluluskan atau tidak ?”

“Silahkan bilang !” seru Hoan In.

“Apa yang kami dapat melakukan, tentu meluluskan,” sahut Goay Jiu.

Ting Ling tersenyum : “Aku hendak mohon supaya suheng berdua suka memberi jalan kepada rombonganku ini.”

“lni . . . .” Hoan In kerutkan alis.

“Eh, engkau ini bagaimana,” tukas Goay Jiu, sumoay kita baru pertama kali mengajukan permintaan kepada kita, sekalipun harus menerima dampratan suhu, kitapun tak boleh membikin kecewa hati sumoay.”

Hoan In tertawa gelak-gelak : “Engkau benar, suto . . . ., !”- ia memberi isyarat dengan tangan kepada anggota barisan : “lekas antarkan paman gurumu keluar biara.”

Ke 36 imam anggota barisan mengiakan dengan sikap menghormat.

Ting Ling memberi hormat kepada kawanan imam itu lalu menghaturkan terima kasih kepada kedua imam tua dan terus berjalan keluar biara.

Cong To tertawa gelak-gelak : “Berpuluh - puluh tahun mengembara di dunia persilatan, baru pertama kali ini pengemis tua mengalami peristiwa yang seaneh ini !”

“Aku sendiri juga belum pernah . . . .” Ting Ling tersenyum.

“Meskipun umurnya sudah begitu tua, tetapi kedua imam itu masih seperti kanak-kanak,” kata Han Ping.

“Kurasa mereka agak linglung . . . .” kata Ca Giok.

Tiba-tiba Ting Ling menghela napas : “Ah, sekarang aku mengerti !”

“Mengerti apa ?” tanya Cong To.

“Cong locianpwe luas pengalaman. Daya berpikir tentu jauh lebih hebat dari aku. Tahukah locianpwe apa sebab kedua imam itu mau melepaskan kita keluar ?”

“Kalau pengemis tua mengetahui, tentu tak perlu bertanya kepadamu. Hm, budak perempuan, jangan banyak tingkah !”

Ting Ling sengaja menghela napas panjang : “Perasaan hati orang, tak dapat dikatakan habis dalam sepatah kata. Perutku amat lapar, mana bisa bercerita ? Nanti saja kita lanjutkan bicara lagi !”

Mendengar kata-kata itu, seketika Cong To dan Han Ping seperti diingatkan. Perut mereka seperti berontak.

“Huh, engkau mengili perutku !” Cong To bersungut.

Ting Ling mengemasi rambutnya yang kusut. Lalu mengeluarkan sebungkus dendeng sapi, serunya “Ah, sayang dendeng ini hanya sedikit, cuma cukup untuk seorang saja . . .” - ia menjiwir sekerat lalu dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyahnya dengan mengeluarkan suara keras.

Cong To batuk-batuk kecil, serunya : “Budak setan, kelak apabila sudah menyelesaikan pelajarannya pada Thian Hian, adikmu itu jauh lebih sakti dari engkau !”

Sambil memakan dendeng, berkatalah Ting Ling seenaknya : “Benar ! Memang nasibku yang sial. Tiada orang yang menaruh kasihan kepadaku. Uh, apa daya ?”

Kata Cong To : “Pengemis tua ingat akan sejurus ilmu pukulan. Ilmu pukulan itu merupakan salah sebuah dari 9 jurus ilmu simpanan perguruan Kim-pay-bun. Paling cocok untuk anak perempuan dan mudah pula dipelajari. Tak perlu menggunakan banyak waktu . . . .”

Sambil mengeluarkan sekerat dendeng, Ting Ling tertawa : “Jika locianpwe mau mengajarkan ilmu itu kepadaku, tentu akan kuberi locianpwe sepotong dendeng ini.”

Cong To tertawa : “Jika tak kepingin makan, tak nanti pengemis tua sudi mengajarkan kepadamu !” - menyambar dendeng sapi, terus dimasukkan ke dalam mulut.

Han Ping berpaling, memandang sejenak pada dendeng yang masih berada di tangan Ting Ling, lalu cepat-cepat berpaling muka lagi.

Habis makan, Cong To berseru : “Budak setan, sepotong dendeng ditukar dengan sejurus ilmu pukulan. Pengemis tua benar-benar rugi besar !”

“Jika engkau meluluskan untuk mengajar sejurus lagi, tentu akan kuberi dua iris lagi !”

“Bagus ! Akan kuajarkan sejurus lagi !” seru Cong To.

Ting Ling mengambil dua iris dendeng lalu diberikan kepada Cong To.

Ca Giok hanya menghela napas, serunya : “Sayang aku lupa membekal dendeng kering.”

Memeriksa dua potong dendeng itu, berserulah Cong To : “Budak setan kecil, dua iris dendeng ini terpaut tak berapa besar dengan sepotong dendeng yang tadi ! Orang mengatakan engkau pintar menyiasati, rasanya memang benar.”

“Locianpwe sendiri yang menghendaki, apa peduliku !” Ting Ling tertawa.

Sekali telan habislah dua iris dendeng itu. Dikata iris kiranya kurang tepat. Lebih sesuai kalau dikatakan butir, karena dendeng itu tidak dipotong berlapis melainkan digelindingi bundar seperti buah kelengkeng.

“Akan kuberimu ajaran sejurus lagi entah berapa butir dendeng engkau mau memberikan ?”

“Sepuluh butir, masih ada sisa 15 butir. . .”

“Jadi !” teriak Cong To, “lekas serahkan padaku . . . .”

Setelah menghitung 10 butir dan diserahkan kepada Cong To, sisanya lalu diberikan kepada Han Ping : “Harap Ji siangkong suka menerimanya !”

Menyambuti dendeng, berkatalah Han Ping : “Nona sendiri masih lapar, bagaimana suruh aku makan ?”

Ting Ling tertawa mengikik : “Ah, mana aku lapar ? Aku memang sengaja hendak membohongi Cong locianpwe supaya suka memberi pelajaran ilmu silat kepadaku.”

Cong To tertawa keras : “Huh, apakah engkau kira pengemis tua ini kena engkau tipu ?”

“Adakah locianpwe bermaksud hendak memberi gemblengan padaku ?” tanya Ting Ling.

“Bukan begitu,” sahut Cong To, “memang pengemis sungguh-sungguh hendak makan dendeng. Walaupun hanya makan 13 butir dendeng dan harus kutukar dengan 3 jurus ilmu pukulan. Rugi sekalipun tetapi aku tak berhutang apa-apa padamu. Kelak di dunia persilatan, tak ada orang yang mengejek pengemis tua !”

Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, serunya : “Nona Ting, karena makan 15 butir dendeng, aku pun hendak memberimu 5 jurus ilmu silat !”

tiba-tiba wajah Ting Ling berubah rawan, ia menghela napas : “Ah, terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi rasanya percuma saja aku mendapat ilmu pelajaran silat dari kalian berdua.”

Han Ping heran : “Mengapa engkau senang menerima pelajaran silat dari Cong locianpwe, tetapi keberatan menerima pelajaran dari aku .”

“Apakah engkau lupa bahwa luka dalam tubuhku masih belum sembuh sama sekali ? Dalam waktu beberapa hari ini, sesungguhnya kurasakan terjadi suatu perubahan dalam tubuhku. Tetapi selalu kutahan supaya adikku tak tahu. Setelah sampai di jalan besar, kita akan segera berpisah. Aku harus lekas-lekas pulang ke Lembah. Jika terlalu lama berkeliaran di luar, mungkin aku tak sempat pulang dalam keadaan bernyawa.”

Han Ping merenung lalu berkata : “Aku telah berjanji untuk mengobati luka nona sampai sembuh. Selama hal itu belum terlaksana janjiku tetap berlaku. Jika nona suka percaya kepadaku sukalah nona pertangguhkan dulu jangan pulang ke Lembah agar aku dapat kesempatan untuk mengusahakan sekuat tenaga.”

Ting Ling tertawa : “Sudah kelewat lama aku dan adikku pergi dari rumah. Banyak sekali hal-hal yang perlu kulaporkan kepada ayah. Jika sampai mati di luaran, bukankah dendam itu akan kubawa mati ?”

Han Ping tertegun. Diam-diam ia merenung : “Untuk mengobati lukanya, harus minta pertolongan kepada si dara baju ungu itu. Aku sudah sekali tebalkan muka minta kepadanya untuk menyembuhkan paman Kim. Apakah aku harus minta sekali lagi kepadanya . . . Ah, tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Selama lukanya belum sembuh aku tak dapat ingkar janji . . . .”

Tiba-tiba Cong To tertawa keras : “Budak kecil apakah engkau sungguh hendak mengobati luka budak setan itu ?”

Sekonyong-konyong Han Ping seperti disadarkan : “Goblok ! Wanita cantik baju Hijau yang melukai Ting Ling itu, adalah adik seperguruan dari Pengemis sakti ini. Sama seperguruan, tentu pengemis tua ini dapat juga menyembuhkan !”

“Sekali seorang laki-laki berkata, tak boleh dijilat kembali ! Aku sudah berjanji kepada nona Ting, betapapun juga, aku harus berusaha menyembuhkan lukanya !”

Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk : “Nona Ting, selama tempo hari kita bersama-sama seperjalanan, mengapa aku tak mengetahui sama sekali kalau engkau menderita luka dalam ?”

“Kalau engkau tahu, kemungkinan kita tak akan selamat seperti saat ini !” sahut Ting Ling.

“Ah, nona masih mencurigai diriku . . . .”

“Dunia persilatan penuh jerat dan bahaya. Kepada siapapun aku tak dapat percaya penuh !”

“Benar !” seru Cong To, “pengemis tuapun tak percaya kalau kalian ke Hian-bu-kiong itu karena hendak membantu pengemis kecil menolong diriku !”

Kemudian Cong To berpaling kepada muridnya : “Hm, mengapa engkau membisu saja ?”

“Di tengah perjalanan ke Hian-bu-kiong, murid berjumpa dengan Ca saupohcu dan kedua nona Ting . . .”

“Mengapa engkau tahu aku terkurung dalam Hian-bu-kiong ?” bentak Cong To.

Pengemis kecil itu terbeliak dan menyahut tersendat-sendat.

“Murid . . . murid . . .”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar