Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 2 : Hui Gong Thaysu, mewariskan ke Han Ping

Jilid 2

Han Ping seorang pemuda cerdik. Ia cukup menyadari pentingnya pembicaraan itu. Berhasil atau gagalnya usaha untuk mendapat ilmu kesaktian tergantung pada pertaruhan itu. Ia membenam diri dalam kepukauan. Sampai beberapa saat, ia tak mau bicara.

Dalam pada saat itu karena diperlakukan begitu dingin oleh suhengnya, paderi Hui Ko tersinggung perasaannya. Ia masih teringat akan budi kebaikan suhengnya yang telah banyak tercurah kepadanya. Adakah budi kebaikan itu harus hapus dalam sekejap karena mentaati perintah pemegang Tongkat Kumala Hijau?

Ah… Beberapa butir airmata menitik dari sudut mata paderi itu. Dengan hati pedih, ia undurkan diri.

Han Ping memandang kesekeliling ruang dengan teliti. Mudah-mudahan ia dapat memperoleh sesuatu yang bisa membantunya memecahkan benda yang tergenggam di tangan paderi aneh itu.

Tiba-tiba segumpal debu berguguran dari atas. Ketika menengadah, Han Ping meilhat seekor kelelawar terbang melayang. Seketika timbullah pikiran Han Ping.

“Bukankah locianpwe menggenggam seekor kelelawar?” serunya serentak

Tubuh paderi aneh berambut panjang itu agak gemetar. Seketika ia membuka genggaman tangannya dan benarlah. Seekor kelelawar terbang melayang.

Melihat itu girang Han Ping bukan kepalang. Tetapi ketika berpaling memandang kea rah paderi aneh itu, ia melihat suatu perobahan pada wajahnya. Sambil merangkapkan kedua tangan, paderi tua itu tengah berdoa dengan suara perlahan. Entah apa yang diucapkan dalam doanya itu, Han Ping tak dapat menangkap.

Berapa saat kemudian, orang aneh itu turunkan kedua tangannya dan tertawa, “Nasib dan jodoh memang sudah suratan takdir. Karena engkau menang, silahkan mengatakan apa kehendakmu. Sedapat mungkin loni tentu akan melakukannya. Waktunya tinggal sedikit, loni hanya mengusahakan, gagal atau berhasil tergantung dari bakat dan rezekimu!”

Han Ping menyadari bahwa tak lama lagi, paderi Siau-lim-si tentu akan menyerang sanggar itu. Tempo tinggal sedikit sekali.

“Murid ingin belajar ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng,” sahutnya.

Seketika wajah orang aneh itu berubah muram. “Adalah karena sudah berjanji dalam pertaruhan tadi, maka loni akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Diantara kita tidak terikat hubungan guru dan murid. Kelak apabila engkau keluar didunia persilatan, engkau bebas menggunakan ilmu itu tetapi sekali-kali jangan mengatakan bahwa engkau anak murid Siau-lim-si!”

Han Ping tertegun, Akhirnya ia membenarkan pernyataan orang aneh itu. Memang ilmu kesaktian yang menjadi pusaka warisan kuil Siau-lim-si tentu takkan sembarangan diajarkan kepada orang luar. Hal itu tentu menjadi pantangan dalam peraturan kuil Siau-lim-si.

“Baiklah, locianpwe. Wanpwe akan mentaati pesan locianpwe itu,” sahutnya.

Wajah orang aneh itu tampak tenang kembali. Dengan tersenyum ia berkata, “Mari kita bertaruh lagi, setujukah engkau?”

Han Ping kerutkan dahi. Ia heran mengapa orang aneh itu gemar sekali bertaruh. Diam-diam ia menimang, “Tanpa terduga-duga, tadi aku telah beruntung menang. Tetapi kalau sekarang ini kalah, apakah dia hendak berganti haluan? Apakah dia hendak membatalkan keputusannya untuk memberi pelajaran ilmu silat kepadaku?”

Tiba-tiba orang aneh itu tertawa, “Jangan banyak prasangka. Pertaruhan tadi tetap berlaku dan loni tetap akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Pertaruhan kali ini lain lagi hadiahnya. Jika engkau menang, loni akan memberimu sebuah pusaka untuk engkau gunakan membalas dendam. Tetapi jika loni yang menang, loni hanya akan minta engkau supaya mencari jejak dari seorang sahabat loni. Beritahukan kepadanya tentang keadaan loni selama ini….”

Berkata sampai disini orang aneh itu berhenti dan pejamkan mata. Wajahnya menampil kerut kedukaan dan mulutnya segera mengucap doa dengan perlahan, “Buddha yang welas asih, maafkanlah dosa murid!”

Han Ping menduga, orang yang hendak dicari itu tentulah mempunyai hubungan yang luar biasa dengan orang aneh itu.

“Urusan semudah itu, mengapa locianpwe perlu mengajukan pertaruhan? Sudilah locianpwe memberitahu namanya. Jika wanpwe berhasil keluar dengan selamat dari kuil ini, wanpwe tentu akan mencarinya sampai ketemu!” cepat ia memberi pernyataan.

Orang aneh itu gelengkan kepala, “Seumur hidup loni belum pernah minta tolong pada orang. Apalagi dalam keadaan seperti yang kita hadapi sekarang ini. Maka hanya dengan jalan bertaruhlah, cara yang paling baik!”

“Kalau locianpwe tetap menghendaki begitu, silahkan mengatakan acara pertaruhan itu,” akhirnya Han Ping mengalah.

“Ah, tidak adil!” kata orang aneh itu, “tadi aku yang membuat acaranya, sekarang giliranmu yang mengatakan acaranya!”

Han Ping berpikir sejenak. Ia merogoh kedalam saku dan mengeluarkan dua buah uang, katanya, “Dua buah uang ini setelah masuk kedalam saku lagi, akan wanpwe rogoh. Silahkan nanti locianpwe menebak, berapa biji uang yang tergenggam dalam tangan wanpwe itu. Jika tepat, locianpwe menang.”

“Bagus, cara itu juga adil. Hayo, lekas mulai!” kata orang aneh itu serentak mengatupkan mata.

Sebenarnya Han Ping hendak sengaja member kesempatan agar gerakannya menggenggam uang itu dapat diketahui si orang aneh. Tetapi ia terkejut sekali ketika melihat orang aneh itu pejamkan mata.

“Ah, paderi tua ini benar benar aneh dan jujur sekali wataknya. Dengan tak mau melihat gerakan tanganku, pertaruhan ini hanya mengandal pada keberuntungan. Ah, bagaimana caranya agar dia sempat melihat gerakan tanganku nanti,” diam-diam ia membatin dan merancang rencana.

Tiba-tiba ia mendapat akal. Di waktu tangan kanannya merogoh uang disaku, ia akan sengaja membenturkan kedua uang logam itu agar berbunyi. Dengan demikian paderi aneh yang sakti itu tentu dapat menangkap suara benturan uang itu dan dapat menerka dengan tepat.

Rencana itu cepat dilakukan dengan cermat. Kemudian berseru, “Silahkan locianpwe menerka, berapa biji uang yang wanpwe genggam ini!”

Tanpa membuka mata, orang aneh itu berseru, “Hanya sebuah…”

“Benar, locianpwe menebak jitu…” dengan cepat ia mengembalikan uang ke dalam saku lagi. Padahal yang digenggam itu bukan sebuah uang logam melainkan dua buah.

Tiba-tiba orang aneh itu menyambar tangan kanan Han Ping. Seketika Han Ping rasakan tangannya kesemutan dan terbukalah genggamannya. Dua buah uang logam jatuh berkerincingan di lantai….

Wajah orang aneh itu berubah, ia menghela napas, “Ah, hatimu terlalu jujur, Loni telah memutar balik kenyataan…” ia lepaskan cengkramannya dan berkata pula, “Takdir sudah menentukan begitu. Tak perlu engkau memikirkan hal itu. Lekas pusatkan perhatian dan pikiranmu. Lenyapkan segala keresahan hatimu. Loni segera hendak memaparkan ilmu pelajaran Mengendorkan urat, Membersihkan tulang, dan Mengosongkan pikiran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”

Habis berkata orang aneh itu cepat mengangkat tangan kanan dan dilekatkan pada jalan darah di kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan suatu aliran hawa panas menyusup ke dalam ubun-ubun kepala terus menyalur keseluruh tubuh. Buru-buru ia kerahkan semangat untuk menyambut penyaluran itu. Tiba-tiba ia rasakan pikirannya jernih dan terang sekali.

Mulailah orang aneh itu mengajarkan pelajaran lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng secara lisan.

“Lima indra menengadah ke langit, semua perhatian dipusatkan satu. Salurkan dan lakukan pernapasan untuk menembus buku-buku tulang belulang, menguatkan urat-urat nadi, merobah yang lemah menjadi kuat….”

Baru orang aneh itu mengucap sampai disitu, tiba-tiba lonceng berdentang nyaring. Doa pujian bergema. Pemusatan pikiran Han Ping goyah lagi.

Orang aneh itu menghela napas, “Paderi Siau-lim-si dari empat angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian sudah siap diluar pondok ini. Menilik gelagatnya, sukar terhindar dari pertempuran dahsyat. Jika engkau tak mampu menenangkan pikiranmu dari gangguan gemerincing senjata, akupun sukar menjadikanmu!”

“Jangan kuatir, locianpwe,” buru-buru Han Ping memberi janji, “aku akan berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan pikiranku!”

Tetapi tugasmu berat sekali. Entah engkau mampu melaksanakan atau tidak. Tergantung dari bakat dan rezeki” kata orang aneh itu, “karena disamping harus melawan serangan mereka, engkaupun harus mampu menangkap pelajaran lisan yang kuberikan tentang ilmu Penguasaan Pikiran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Jika lengah atau keliru menangkap, bukan saja jerih payahku akan sia-sia, pun engkau sendiri, mungkin akan menderita akibat yang tak diinginkan!”

Tiba-tiba lonceng dan suara puji doa dari paderi sirap. Dan dari luar sanggar terdengar suara orang berseru lantang, “Ketua Siau-lim-si ke 32, bersama anakmurid empat angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, telah datang menghadap disanggar Hui-sim-sian-wan. Murid telah diutus untuk menyampaikan berita, mohon Hui Gong cousu sudi menyambut kedatangan ketua kita!”

Dengan tenang orang aneh itu menyahut, “Sudah 60 tahun lamanya gelaranku tiada orang yang menyebut.”

“Ah, apakah locianpwe yang bergelar Hui Gong siansu?” Tanya Han Ping. Samar-samar ingat ia akan keterangan seseorang. Nama itu amat berkesan dalam sanubarinya.

Paderi tua berambut panjang yang ternyata Hui Gong siansu, tidak menyahut pertanyaan si anak muda. Tetapi ia menjawab pertanyaan orang yang berseru diluar pondok, “Maaf, aku masih menjalani hukuman. Tak dapat menyambut kedatangan ketua!”

Diluar pondok tiada penyahutan. Kira-kira sepeminum teh lamanya, baru kedengaran suara orang berseru nyaring, “Atas nama tongkat Kumala Hijau, ketua membebaskan hukuman yang diberikan ketua Siau-lim-si ke 30 yang dahulu dan mengundang Hui Gong sucou supaya menyambut kunjungannya!”

Sambil masih duduk diatas tempat tidur, Hui Gong memberi hormat, “Aku tetap tak berani melanggar hukuman yang diberikan mendiang guru. Maka terpaksa tak dapat menyambut keluar, melainkan dari tempat tidur sini saja!”

Bum…. Tiba tiba pintu pondok Hui-sim-sian-wan yang selama 60 tahun tertutup, didobrak pecah.

Hui Gong berobah wajahnya. Ia membisiki Han Ping, “Lekas pusatkan pikiranmu. Jangan terpengaruh oleh keadaan di sekeliling. Dengarkan baik-baik uraianku tentang isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”

Memandang kemuka, Han Ping melihat sejumlah besar paderi menerobos masuk ke dalam ruangan.

“Lekas pejamkan mata!” tiba-tiba Hui Gong lekatkan tangannya ke punggung Han Ping. Anak muda itupun pejamkan mata dan pusatkan pikirannya.

“Mata dipejam, pikiran dikosongkan. Satukan perhatian, salurkan hawa. Setelah hawa mempersatukan semangat, salurkanlah ke seluruh jalan darah di tubuh. Kemudian kosongkan semangat dan pusatkan dalam pikiran ….”

Demikian Hui Gong mulai member pelajaran ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng secara lisan. Oleh karena kata-kata dalam kitab itu sukar dimengerti, Hui Gong mengulang dan menjelaskan setiap patah kata dan cara cara penggunaannya.

Han Ping memiliki dasar latihan lwekang yang baik dan otaknyapun cerdas. Dia dapat menangkap keterangan paderi tua itu dan mencatatnya dalam hati.

Hui Gong memberi penjelasan dengan cara yang mudah dimengerti. Ringkas, jelas.

Sekonyong-konyong dua buah tangan yang kuat, mencengkram kedua siku lengan pemuda itu. Karena sedang menumpahkan pikiran, baik Hui Gong maupun Han Ping, tak mengetahui sama sekali akan kemunculan orang yang tahu-tahu mencengkram siku lengannya itu.

Han Ping meronta tetapi cengkraman itu makin mengencang laksana capit baja yang kokoh. Makin meronta makin celaka.

Seketika Han Ping rasakan tubuh lunglai tiada bertenaga. Tulang sikunya serasa pecah….

Ketika mengamati, ternyata dua orang paderi mengapitnya di kanan kiri dan mencengkram lengannya.

“Nyalimu besar sekali, berani menyelundup ke daerah terlarang kuil ini….,” paderi yang di sebelah kanan mendengus.

Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Han Ping menampar kebelakang. Sudah dua kali ia mendapat bantuan dari Hui Gong siansu. Ia sudah mempunyai pengalaman.

Kedua tangan ditarik dan didorongkan. Seketika kedua paderi itu mendesah dan terhuyung-huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk….

Memandang ke pintu, Han Ping melihat ketua Siau-lim-si yakni Goan Thong taysu sedang tegak berdiri mencekal tongkat Kumala Hijau, tongkat kepemimpinan Siau-lim-si. Di sebelah kirinya tampak paderi tua alis putih yang dijumpai Han Ping semalam. Paderi yang memberi petunjuk untuk menjumpai Hui Gong siansu.

Sedang disebelah kanan ketua Siau-lim-si itu seorang paderi tua berjubah kelabu berumur 80-an tahun. Dia adalah adik seperguruan dari Hui Gong, yakni Hui Koh siansu, paderi yang disuruh menyampaikan berita kepada Hui Gong siansu tadi.

Sementara dibelakang ketua Siau-lim-si itu berjajar 4 orang paderi tua yang rata-rata berumur 60-an tahun mengenakan jubah warna merah tua.

Selain itu masih terdapat tiga deret rombongan paderi yang mengiringi disekeliling ketua Siau-lim-si itu. Setiap deret dengan lain deret, baik umur dan warna jubahnya berbeda satu sama lain.

Mereka adalah paderi paderi sakti dari tiga angkatan Goan, Pek dan Thian. Paderi angkatan Hui, karena sudah tua-tua dan banyak yang meninggal, hanya tinggal Hui Gong, Hui In, Hui Koh dan Hui Seng empat orang.

Karena Hui Gong dipenjara, Hui Seng menjadi kepala bagian Perpustakaan, maka hanya Hui In dan Hui Koh yang menemani ketua Siau-lim-si kesanggar tempat Hui Gong dipenjara situ.

Goan Thong ketua Siau-lim-si tertawa dingin, “Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ke 32, dengan hormat menghadap Supek!”

Ketua Siau-lim-si itu menjura memberi hormat.

Hui Gong si paderi aneh, tertawa, “Sudahlah, aku tak berani menerima penghormatan sedemikian besar!”

Hui In dan Hui Koh melangkah ke muka dan berlutut, serunya, “Hui In dan Hui Koh menghaturkan hormat kepada suheng!”

Hui Gong lambaikan tangannya berseru tawa “Pada waktu mendiang suhu menjebloskan aku di sanggar Hui-sim-sian-wan sini, kalian tentu menyaksikan, bukan?”

Hui In dan hui Koh berbangkit, “Kala itu suhu sedang murka, sute tak berani buka suara sehingga suheng harus mengalami penderitaan selama 60 tahun…”

“Titah guru tak boleh dilanggar. Sekalipun mendiang suhu telah menghukum diriku, tetapi sedikitpun aku tak mempunyai rasa dendam,” tukas Hui Gong.

“Pada waktu Ji Suheng diangkat jadi ketua, pernah kami berdua mohon kepadanya supaya membebaskan suheng. Tetapi Ji Suheng mengatakan tak berani melanggar keputusan almarhum suhu….”

Tiba-tiba Hui Gong tertawa gelak-gelak, “Adalah karena almarhum suhu kelewat cinta kepadaku maka dia menghukum aku seberat-beratnya. Ji Sute tak salah. Dia hanya mentaati perintah suhu…”

Paderi aneh itu berhenti sejenak lalu menghela napas, “Selama 60 tahun dalam penjara ini, sudah kuhapus segala rasa budi-dendam. Dalam hidupku sekarang, aku tak mau pergi dari pondok ini …”

Tiba-tiba sepasang mata paderi aneh itu berkilat-kilat memandang Goan Thong, katanya pula, “Pada waktu suhumu menyerahkan kedudukan ketua kuil kepadamu, apakah dia meninggalkan sesuatu pesan kepadamu?”

“Pada waktu itu almarhum suhu hanya menyerahkan Tongkat Kumala Hijau pada murid. Lain-lain pesan tidak ada!” kata Goan Thong.

Hui Gong tertawa dingin, “Pada waktu kakek gurumu menyerahkan kedudukan pimpinan kuil kepada gurumu, apakah engkau juga hadir?”

“Atas perkenan kakek guru, murid diizinkan hadir!”

“Jika begitu, engkau tentu mendengar apa pesan yang ditinggalkan kakek gurumu?”

Goan Thong merenung sejenak lalu menyahut dengan tegas, “Rasanya kecuali menyerahkan tongkat pusaka itu, kakek guru tak meninggalkan pesan apa-apa lagi.”

“Benarkah itu?” Hui Gong tertawa hambar.

“Murid tak berani membohong pada supek,” sahut Goan Thong.

Tiba-tiba Hui Gong tertawa panjang. Rambutnya bergetar-getar. Beberapa lama kemudian, baru ia berhenti tertawa dan menghela napas. Katanya seorang diri, “Kalau begitu, apakah suhu benar-benar melupakan aku?”

Heran Hui In melihat nada ucapan suhengnya itu. Segera ia bertanya, “Jika suheng mempunyai kesulitan dan kandungan hati, maukah memberitahukan kepada kami? Aku berjanji akan melaksanakan sekuat tenaga apa yang menjadi keinginan suheng!”

Dengan kata-kata itu, Hui In hendak memperingatkan Hui Gong, bahwa waktu tinggal sedikit sekali. Sekali Goan Thong memberi perintah dengan Tongkat Kumala Hijau maka paderi paderi sakti dari empat angkatan yang berada disitu tentu akan segera menyerang Hui Gong.

Peristiwa yang terjadi benar-benar diluar perhitungan Hui In. Maksudnya memberi tunjuk kepada Han Ping tentang sanggar penjara itu, adalah karena ia hendak meminjam tangan pemuda itu untuk menyingkirkan surat keputusan hukuman yang terpancang pada gedung penjara itu. Dengan demikian Hui Gong, kakak seperguruannya itu, mempunyai kesempatan melarikan diri.

Tetapi ternyata Hui Gong tak mau melarikan diri dan kini ketua Siau-lim-si dengan membawa tongkat Kumala Hijau telah memimpin paderi paderi sakti dari empat angkatan untuk mengurung sanggar penjara.

Dalam kedudukan sebagai angkatan Hui, sesungguhnya Hui In mempunyai kedudukan yang tinggi. Tetapi sekalipun begitu ia tak berani membangkang perintah yang diamanatkan oleh Tongkat Kumala Hijau. Tongkat itu merupakan lambang pusaka kekuasaan yang tertinggi dalam kuil Siau-lim-si. Barang siapa berani menentang akan dianggap murtad atau berhianat!

Hui Gong tertawa hambar, “Sejak mendiang suhu menjebloskan aku disanggar Hui-sim-sian-wan ini, tempat ini merupakan daerah terlarang dari kuil kita. Paderi paderi murid Siau-lim-si dilarang datang kemari. Walaupun Goan Thong sutit menjadi ketua Siau-lim-si, tetapi juga tak boleh melanggar larangan ini. Apalagi berani memberi perintah membobolkan pintu sanggar Hui-sim-sian-wan yang tertutup selama 60 tahun….”

Tiba-tiba Hui Gong berubah wajahnya dan berserulah ia dengan bengis, “Surat keputusan hukuman yang tertempel pada pintu pondok ini, harus dijaga baik-baik. Anak murid Siau-lim-si yang berani menghancurkannya berarti melanggar keputusan para leluhur pemimpin kuil!”

Nyaris dan tegas sekali Hui Gong melantangkan kata katanya itu sehingga para paderi yang berjajar diluar sanggar tampak berobah wajahnya.

Goan Thongpun terkesiap. Tetapi pada lain kejap ia berseru marah, “Setelah mendapat kepercayaan dari mendiang kakek guru untuk menjabat ketua yang ke – 32, sudah tentu murid tak dapat berpeluk tangan tak menghiraukan urusan penting yang terjadi dalam kuil ini. Dengan mengandalkan kedudukan sebagai angkatan tua, supek menghina murid dan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau. Supek melindungi dan membantu orang luar, melukai beberapa murid kuil. Tindakan supek itu merupakan tindak pidana yang belum pernah terjadi dalam sejarah berdirinya kuil ini. Oleh karena itu terpaksa murid memanggil para tetua dan kepala-kepala bagian untuk memusyawarahkan fasal-fasal pelanggaran dan hukumannya. Menurut keputusan permusyawarahan besar itu, supek ternyata dianggap bersalah karena melanggar empat macam larangan kuil. Salah satu yang paling berat adalah berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau. Kesalahan itu sudah cukup harus ditebus dengan tindakan bunuh diri di hadapan arwah para leluhur kakek guru. Bahkan saat ini dihadapan empat angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, Supek tetap berani menentang perintah pemimpin kuil dengan kata kata yang kasar. Suatu hal yang benar-benar menyedihkan dan benar benar layak dibasmi….”

“Tutup mulutmu!” Hui Gong membentak dengan keras. Nadanya yang begitu dahsyat sampai menggetarkan atap gedung Hui-sin-sim-wan!

Hui In si paderi alis putih menghela napas panjang, serunya, “Atas nama para tetua kuil, kuminta Ciangbujin (ketua) jangan marah. Hui Gong suheng termasuk tokoh yang tertua pada saat ini. Sekalipun mendiang suhu telah memenjarakannya dalam sanggar Hui-sim-sian-wan sini, tetapi suhu tak mengusirnya dari lingkungan kuil. Dengan demikian Hui Gong suheng masih tetap orang kita sendiri. Kuil kita, menjunjung dan menghormati angkatan tua. Sukalah Ciangbujin mendengar apa yang hendak dikatakan Hui Gong suheng. Mungkin terdapat sesuatu yang kita belum mengetahui.”

Walaupun kurang senang, tetapi mengingat Hui In itu tokoh angkatan tua yang berkedudukan tinggi pula berkepandaian sakti, terpaksa Goan Thong tak berani berlaku kurang adat. Cepat ia tindas kemarahannya dan berkata dengan tertawa, “Sudah tentu murid tak berani membantah petunjuk susiok. Jika susiok menganggap tindakan Hui Gong supek itu masih mengandung sesuatu yang dapat kita pertimbangkan, murid bersedia mendengarkan dengan segala kerendahan hati!”

Lemah lembut penuh rasa hormat ucapan ketua Siau-lim-si itu kedengarannya. Tetapi sesungguhnya ucapan itu bernada suatu sindiran yang tajam sehingga muka Hui Gong merah padam.

Sebagai tokoh dari angkatan Hui, selama ini Hui Gong sangat diindahkan oleh seluruh paderi Siau-lim-si. Sejak berpuluh-puluh tahun belum pernah ia mendengar orang yang berani menyindirnya. Saat itu, dihadapan sekian banyak paderi dari beberapa angkatan, Goan Thong telah menyentilnya dengan kata kata yang tajam. Betapa perasaan tokoh tua itu, benar benar sukar dilukiskan….

Tetapi sebagai seorang paderi tua yang tinggi kedudukannya, Hui In memiliki toleransi yang besar sekali, ia hanya tertawa hambar dan segera berseru kepada Hui Gong, “Siaute telah mendapat kemurahan hati Ciangbujin untuk mengajukan pertanyaan pada suheng. Jika suheng hendak mengatakan sesuatu, silahkan memberitahukan kepada siaute!”

Hui Gong menghela napas rawan, “Soal ini sudah 40 tahun lamanya terpendam dalam hatiku. Suatu soal yang sukar untuk kuterangkan. Tetapi dikala suhu hendak mukswa (meninggal), apakah beliau benar-benar berobah pendiriannya….?”

Hui Gong paderi tua yang bernasib malang itu, merenung beberapa saat. Kemudian ia baru melanjutkan kata-katanya pula, “Ah, mungkin didalam peristiwa itu tentu terselip sesuatu. Tetapi soal ini menyangkut kebesaran nama Siau-lim-si, lebih baik tak kukatakan saja!”

Hui In terkesiap, pikirnya, “Menilik ucapannya, agaknya telah terjadi suatu peristiwa rahasia didalam pengangkatan Ji Suheng sebagai ketua Siau-lim-si dahulu!”

“Omitohud!” tiba tiba Hui Koh yang sejak tadi berdiam diri, saat itu membuka suara, “Suheng adalah murid yang paling disayangi suhu. Walaupun karena kesalahan, suheng dipenjarakan dalam gedung Hui-sim-sian-wan sini dan tak diangkat sebagai ketua Siau-lim-si yang ke 31, tetapi dalam soal pelajaran ilmu silat, kepandaian suheng tetap jauh diatas kami bertiga. Aku, Hui In suheng dan Hui Seng sute, selalu teringat akan budi suheng yang mewakili suhu untuk memberi pelajaran silat kepada kami bertiga. Maka kami amat berduka sekali apabila terkenang akan penderitaan yang suheng alami dalam penjara ini. Tetapi karena tak berani melanggar pesan suhu, terpaksa kami jarang menjenguk suheng kemari. Ah, tak kira setelah 60 tahun kemudian, ternyata suheng menimbulkan kegoncangan yang belum pernah dialami kuil Siau-lim-si selama ini, sehingga Ciangbujin yang sekarang sampai perlu mengundang murid-murid dari empat angkatan untuk menyelesaikan perkara ini. Jika suheng tak dapat memberi penjelasan, persoalan ini tentu sukar mendapat penyelesaian secara memuaskan!”

Hui Koh berhenti sebentar lalu berkata pula, “Kalau dengan kebesaran jiwa, suheng dapat menahan penderitaan selama 60 tahun lamanya demi menjaga nama Siau-lim-si, kiranya tentulah suheng takkan mau menentang perintah Tongkat Kumala Hijau yang kita junjung itu. Bukankah sayang pengorbanan suheng selama berpuluh-puluh tahun dalam penjara ini, akan hancur musnah dalam sehari saja?”

Luka hati yang berpuluh tahun terpendam dalam sanubari Hui Gong saat itu seperti diungkit lagi oleh kata-kata sutenya, Hui Koh siansu. Paderi yang bernasib malang itu menghela napas.

“Karena sute berdua begitu mendesak, jika aku tetap berkeras tak mengatakan, tentulah akan menimbulkan kecurigaan pada sekalian murid Siau-lim-si angkatan sekarang dan yang akan datang,” katanya.

Setelah menghela napas lagi, ia berkata, “Pada waktu mendiang suhu memasukkan aku ke dalam sanggar Hui-sim-sian-wan ini, beliau telah memberi pesan kepadaku. Agar selama 20 tahun dalam penjara itu, kugunakan untuk menyelesaikan dua hal yang penting. Pertama, agar aku merenungkan, dan menyadari kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan selama itu. Dan kedua, agar aku memahami dan menghayati tulisan dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng …”

Berkata sampai disitu, tiba-tiba Hui Gong berhenti. Serentak sepasang matanya memancarkan sinar api yang mengerikan dan berserulah ia dengan nada keras, “Hui Im dan Hui Koh, majulah kalian kemari!”

Perintah yang penuh wibawa itu membuat Hui In dan Hui Koh tak dapat membantah.

Hui Gong tertawa dingin, “Pada waktu suhu menutup mata, kemanakah kalian?”

“Pada saat itu siaute sedang menjalankan titah suhu ke gunung Po Lo San di Lamhay,” sahut Hui In.

“Sedang siaute sedang menjalankan amal di daerah luar perbatasan,” kata Hui Koh.

Hui Gong merenung sejenak, katanya, “Aku menyangsikan suhu….”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Tetapi rambutnya yang panjang tampak bergetaran. Suatu petanda bahwa ia sedang berusaha untuk menindas kegoncangan hatinya.

Wajah Goan Thong ketua Siau-lim-si, berobah membesi. Tetapi diapun berusaha menguasai kemarahannya.

“Sejak kakek guru Tat Mo mendirikan kuil ini, sampai sekarang sudah turun pada ketua yang ke 32,” katanya kepada rombongan paderi yang berada di belakangnya, “Aku merasa bahwa diriku yang bodoh ini tentu tak sanggup menerima pimpinan kuil. Tetapi karena perintah mendian suhu, terpaksa aku tak berani menolak. Berkat bantuan para paman guru, beruntunglah selama belasan ini kuil tak tertimpa suatu peristiwa apa-apa…”

Ketua Siau-lim-si itu terhenti sejenak, lalu, “Ah, siapa tahu bahwa di lingkungan kuil ini sendiri telah timbul peristiwa yang tak terduga-duga. Paderi angkatan tertua dan paling tinggi kepandaian dalam kuil ini yakni Hui Gong taysu, telah bertindak tak benar. Membangkang amanat Tongkat Kumala Hijau, menghapus larangan yang diberikan mendiang kakek guru, membantu orang luar yang mengacau kuil dan melukai beberapa anak murid Siau-lim-si. Dan pada saat ini pula, berani memutar balikkan peristiwa yang lampau untuk memfitnah guru yang sudah wafat. Mempengaruhi pikiran lain-lain murid supaya kacau. Sebagai pucuk pimpinan kuil, tak dapat kubiarkan hal ini …..“

“Karena tindakan Hui Gong sudah tak dapat dibiarkan lagi menurut hokum kuil, harap Ciangbujin segera memberi perintah untuk menghukumnya!” serempak terdengar rombongan paderi di belakang itu memberi sambutan menggemuruh.

Goan Thong mengangguk, “Goan Thay taysu kepala bagian gedung Tat-mo-wan. Harap memimpin 4 orang murid untuk menangkap murid Siau-lim-si yang murtad Hui Gong!”

Seorang paderi yang berdiri pada ujung barisan empat paderi di samping Goan Thong, segera memberi hormat, “Goan Thay kepala dari gedung Tat-mo-wan, siap melakukan perintah!”

Sekali jubahnya tampak bergetaran, paderi Goan Thay sudah melesat kemuka pintu sanggar hukuman dan menjura, “Murid melakukan perintah Ciangbujin untuk menangkap supek. Harap supek suka maafkan!”

Serempak tiga paderi yang bertubuh perkasa, maju mendampingi Goan Thay.

Di dalam sanggar, terdengar Hui Gong tertawa nyaring, “Tempat yang terasing sini sudah ditetapkan sebagai daerah terlarang oleh mendiang suhu. Murid-murid Siau-lim-si harus mentaati. Barang siapa berani masuk tentu akan menerima hukuman!”

“Beberapa kali supek telah melanggar perintah ketua, berarti sudah tak mematuhi peraturan kuil!” seru Goan Thay dengan keras, “Melanggar perintah supek bukan berarti berani terhadap angkatan tua!”

Dalam pada itu, diam-diam dia sudah kerahkan lwekang. Sambil lintangkan kedua tangan melindungi dada, ia maju menyerbu ke dalam sanggar.

Hui Gong lekatkan tangan ke punggung Han Ping, bisiknya, “Lekas pusatkan semangat. Berikan perlawanan dan dengarkan penjelasanku mengenai pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Waktunya hanya tinggal sedikit, berhasil atau gagal tergantung pada kecerdasanmu!”

Pada saat itu juga Han Ping rasakan serangkum hawa murni telah menyalur ke dalam tubuh dan terus ke dada. Tak ayal lagi, ia segera menampar dengan tangan kiri kepada paderi Goan Thay. Berbaring dengan itu telinga Han Ping terngiang lengking suara macam nyamuk, “Dalam ayat pelajaran tentang Membersihkan Urat, jika sumbernya menderita, jika pokoknya kurang…”

Ternyata Hui Gong telah gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib mulai memberi pelajaran.

Belum kaki paderi Goan Thay menginjak lantai, segera ia dilanda oleh gelombang tenaga dahsyat. Dia termasuk salah seorang dari tiga serangkai paderi angkatan Goan yang berilmu tinggi. Ilmu lwekang yang dalam. Dan diapun telah menguasai dua belas macam ilmu sakti dari Siau-lim-si.

Cepat-cepat paderi itu mengempos semangat dan lintangkan kedua tangannya melindungi dada lalu tiba-tiba didorongkan ke muka. Bumm…!!

Terdengar ledakan keras. Debu bergulung-gulung menghitam di seluruh ruangan sehingga mata sukar melihat isi ruangan.

Kuatir Goan Thay akan menggunakan kesempatan keadaan yang gelap itu untuk menyerbu, Han Ping menyusuli pula dengan sebuah hantaman.

Betapa tinggi dasar latihan lwekang yang dimiliki Goan Thay, tetapi bagaimanapun ia tak mampu menahan tenaga lwekang dari Hui Gong yang disalurkan melalui tubuh Han Ping itu. Darah paderi ketua bagian gedung Tat-mo-wan itu bergolak-golak keras dan tenagapun habis.

Pukulan kedua yang disusulkan Han Ping telah membuat paderi itu batuk-batuk. Pada saat ia hendak menghindar mundur, tiba-tiba dari belakang serangkum tenaga dahsyat telah melandanya. Terpaksa ia menyelinap ke samping.

Ternyata angin dahsyat itu berasal dari pukulan yang dilontar kelima paderi anak buah Goan Thay. Paderi-paderi yang berjubah kelabu itu segera menyerbu kedalam ruang sanggar.

Kiranya Goan Thong sudah memperhitungkan bahwa Goan Thay tentu tak dapat menahan pukulan pembelah angkasa atau Biat-gong-ciang dari Hui Gong. Maka pada waktu Goan Thay maju. Ketua Siau-lim-si itu sudah perintahkan lima paderi tua bagian gedung Kian-si-wan untuk membantu.

Kelima paderi itu dari angkatan Goan. Tugasnya sebagai penilik dari aktifitas para paderi dalam menjalankan ibadahnya. Mereka mendapat pelajaran ilmu silat dari guru yang sama. Sejak kecil sudah dilatih untuk berkelahi secara maju berlima. Bukan hanya dalam ilmu permainan senjata, pun dalam melancarkan pukulan lwekang maupun memancarkan tenaga lwekang, mereka merupakan suatu kesatuan yang saling bantu membantu secara kompak sekali.

Kelima paderi itu masuk kedalam sanggar tepat pada saat Han Ping lontarkan pukulan kedua. Goan Kim taysu yang mempelopori dimuka, cepat menangkis seraya berseru Omitohud.

Seruan itu merupakan suatu kode. Dan keempat saudara seperguruannya segera kerahkan lwekang. Masing-masing segera lekatkan kedua tangan ke punggung kawannya yang berada di depannya. Mendapat saluran dari 4 orang saudara seperguruannya, tenaga pukulan Goan Kim taysu menjadi lipat empat kali dahsyatnya.

Tiba-tiba hui Gong mendengus. Sambil masih mengucapkan isi pelajaran kitab Tat-m-ih-kin-keng, ia tambahkan saluran lwekang ke punggung si anak muda. Seketika tubuh Han Ping yang sudah condong ke muka itu, dapat tegak kembali. Darahnya yang bergolakpun tenang lagi. Ketika memandang kemuka, kejutnya bukan kepalang. Kelima paderi itu sudah terdesak sampai satu meter kebelakang. Cepat ia menghantam lagi.

Sesungguhnya Goan Thay taysu dan saudara seperguruannya itu hendak loncat keatas. Tetapi karena melihat Han Ping menghantam, merekapun cepat-cepat bersatu menangkis.

Han Ping rasakan telapak tangan Hui Gong yang melekat di punggungnya itu, menyalurkan hawa hangat yang menyerap ke dadanya. Semangatnya memberingas dan tenaganya tambah penuh. Secepat kilat, ia mendorong ke muka.

Hm… Goan Thay dan kelima paderi Goan itu mendesah tertahan. Mereka tak kuasa lagi mempertahankan diri. Seketika tubuhnya terangkat dan terlempar keluar pintu…

Bum… Goan Thay dan Goan Kim terbentur dinding gedung penjara itu. Separuh dari dinding tersebut bengkah dan berantakan.

Han Ping hampir tak percaya bahwa dirinya memiliki tenaga yang begitu sakti. Ia tertegun.

“Lekas pusatkan semangatmu dan dengarkan uraian kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”

Tiba-tiba Hui Gong menampar ubun-ubun kepala Han Ping…

Karena tukar menukar pukulan itu, debupun membaur menggelapkan ruang penjara. Kawanan paderi itu tak dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Hui Gong.

Saat itu Goan Thay dan para penilik kuil, merangkak bangun dan masuk ke dalam barisan paderi lagi. Hanya Goan Kim taysu seorang yang menderita luka agak berat. Sampai saat itu ia tak dapat bangun.

Goan Thong ketua Siau-lim-si tak lekas-lekas memberi perintah supaya menolong Goan Kim taysu tetapi tegak terlongong longong. Rupanya dia tengah mempertimbangkan suatu keputusan yang penting.

Para paderipun tampak serius wajahnya. Suasana hening lelap. Paderi-paderi itu memang sudah mendengar bahwa paderi tua yang dijebloskan dalam penjara itu sesungguhnya tokoh yang paling tinggi kepandaiannya dalam kuil Siau-lim-si. Tetapi setitik pun mereka tak membayangkan bahwa kesaktian Hui Gong ternyata mencapai taraf yang sedemikian tingginya.

Tiba-tiba Goan Thong bolang balingkan Tongkat Kumala Hijau. Seketika rombongan paderi itu tegak menunduk siap mendengarkan amanat ketua mereka.

“Hui In, Hui Koh, berdua susiok, harap menyambut perintah Tongkat Kumala Hijau. Majulah berdua dan usahakan sekuat tenaga untuk menangkap murid penghianat. Goan, Pek dan Thian tiga angkatan supaya siapkan diri dalam barisan Lo-han-tin dan hentikan antaran makanan kepada murid hianat itu!”

Hui In sipaderi beralis putih, berkata bisik bisik, “Harap Ciangbujin jangan marah dahulu. Aku masih mempunyai daya…”

“Heh, heh,” ketua Siau-lim-si tertawa sinis, “Apakah susiok hendak membangkang perintah Tongkat Kumala Hijau?”

“Ah, tidak,” sahut Hui In.

“Karena Hui Gong telah melukai lagi paderi Siau-lim-si, membangkang perintah Tongkat Kumala Hijau dan meremehkan peraturan kuil. Kesalahannya tak dapat diampuni. Susiok berdua pasti sudah maklum bahwa Tongkat Kumala Hijau ini merupakan lambing kekuasaan kuil Siau-lim-si. Karena Hui Gong berani melanggar peraturan maka dia bukan lagi murid Siau-lim-si. Silahkan susiok berdua mencabut senjata dan kalau perlu bunuhlah murid penghianat itu!” seru Goan Thong pula.

Wajah ketua Siau-lim-si itu tampak meregang tegang. Rupanya dia tak mau berkompromi lagi.

Hui In dan Hui Koh tiba-tiba tertawa, serunya “Sudah tentu kami berdua akan melaksanakan perintah Tongkat Kumala Hijau!”

Sekali loncat, keduanya menyerbu ke dalam sanggar penjara.

Lebih dahulu Hui Koh mengangkat Goan Kim taysu yang masih menggeletak di lantai. Setelah dibawa keluar, ia masuk lagi.

Keadaan Goan Kim taysu cukup mengenaskan. Muka dan mulutnya berkumur debu kotoran. Walaupun tak mati tetapi lukanya amat berat.

Peraturan kuil Siau-lim-si memang keras sekali. Tiada seoarangpun yang berani menyatakan apa-apa. Dan karena yang diperintah menyerbu itu Hui In dan Hui Koh, rombongan paderi yang lain-lain tak berani turun tangan.

Saat itu debu kotoran yang berhamburan memenuhi ruang sanggar, sudah mulai menipis. Kini kawanan paderi Siau-lim-si itu dapat melihat jelas keadaan dalam ruang.

Hui Gong tengah duduk diatas bale-bale tempat tidur. Sambil lekatkan tangannya ke punggung Han Ping, paderi itu tampak berkomat kamit bibirnya.

Ternyata ia menggunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib-bi yang tinggi untuk melanjutkan uraiannya tentang pelajaran kitab Tat-mo-ih-kin-keng.

Tetapi karena menggunakan ilmu menyusup suara tingkat tinggi maka hanya Han Ping sendiri yang dapat menangkap sedangkan lain-lain orang sama sekali tak dapat mendengarkannya.

Karena tak dipedulikan, berserulah Hui In dengan nyaring, “Ciangbujin sudah mengeluarkan perintah Tongkat Kumala Hijau agar kami berdua menangkap Hui Gong suheng!”

Hui Gong tak menyahut melainkan memandang kepada kedua sutenya itu. Kemudian membisiki Han Ping, “Lekas pusatkan semangatmu. Akan kuberimu tenaga murni, plak…!”

Tiba-tiba paderi itu menampar kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan tubuhnya gemetar sehingga hilang tenaga.

Merasa tak diacuhkan, Hui Koh berseru pula, “Tongkat Kumala Hijau turun temurun merupakan lambing kekuasaan pimpinan Siau-lim-si. Kami tak berani melanggar perintah, harap suheng suka maafkan!”

“Harap kalian sampaikan pada Ciangbujin supaya suka memberi waktu tiga hari kepadaku. Nanti pada waktunya tentu aku menebus dosa. Tetapi jika saat ini aku tetap didesak, hm, jangan sesalkan aku bertindak ganas!” Hui Gong mendengus dingin.

Ucapan Hui Gong yang tegas itu membuat Hui In dan Hui Koh tertegun. Mereka berpaling ke arah ketua Siau-lim-si.

“Murid hianat itu sudah berturut-turut melukai anak murid kita. Tak mungkin permintaannya dikabulkan. Jika dia sampai berhasil lolos, Siau-lim-si tentu ditertawakan orang. Kami yang hadir disini merasa malu terhadap para leluhur kakek guru…”

Cepat-cepat Goan Thong mendahului seraya mengacungkan Tongkat Kumala Hijau dan berseru nyaring, “Atas nama Tongkat Kumala Hijau, kuminta dengan hormat agar Hui In dan Hui Koh berdua susiok, segera menangkap murid hianat itu!”

Hui Gong tiba-tiba rentangkan mata lebar-lebar dan tertawa tergelak-gelak, “Sekalipun aku dianggap menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, tetapi Ciangbujin juga melanggar keputusan mendiang suhu karena berani mendobrak pintu ruang penjara Hui-sim-sian-wan sini. Atas tindakan Ciangbujin itulah maka akupun berani menentang perintah…”

Kemudian paderi tua itu menatap kedua sutenya, Hui In dan Hui Koh, serunya tawar, “Silahkan kalian menilai kekuatan kalian berdua. Sekalipun kalian berdua maju berdua, apakah kalian yakin dapat menandingi aku?”

Kepandaian silat dari kedua paderi itu, sebagian besar dulu Hui Gong yang mengajarkan. Kedua paderi itu menganggap Hui Gong yang menjadi suhengnya itu, sebagai suhunya. Sudah tentu mereka sungkan untuk berkelahi dengan suhengnya itu. Tetapi dilain pihak, mereka tak berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau.

Hui In, Hui Koh tertegun beberapa saat.

“Untuk yang ketiga kalinya atas nama Tongkat Kumala Hijau, meminta Hui In dan Hui Koh berdua susiok supaya lekas menangkap murid hianat. Demi untuk membersihkan nama kuil Siau-lim-si!” tiba-tiba Goan Thong berseru bengis.

Hui In kerutkan alis. Tiba-tiba ia berseru seraya lontarkan pukulan, “Toa Suheng, maafkanlah kekurang ajaran siaute!”

Hui Gong ganda tertawa. Sambil masih lekatkan tangan kanan ke punggung Han Ping, kelima jari kiri melentik. Lentikan jari itu menimbul suara desis angin yang menyongsong pukulan Hui In.

Hui In terperanjat ketika angin pukulan pecah, dan lima aliran angin tajam melanda tubuhnya. Buru-buru ia perdahsyat pukulan seraya meloncat mundur.

Pada waktu Hui In melepas pukulan, diam-diam Hui Koh menimang dalam hati, “Selama 60 tahun ditawan dalam Hui-sim-sian-wan ini, ilmu kepandaian suheng Hui Gong tentu makin maju. Dengan mudah tentu dapat lolos. Tetapi ternyata ia rela menderita dan tak berani melanggar keputusan guru. Bahwa kali ini tiba-tiba ia menentang perintah Tongkat Kumala Hijau bukan lain karena disebabkan anak muda itu. Jika dapat menangkap pemuda itu, mungkin pendirian Toa Suheng akan berubah. Nama baik Toa Suheng harus diselamatkan dari noda tuduhan berhianat…”

Keputusan itu cepat melintas dalam benak Hui Koh. Ia kerahkan lwekang. Dengan ilmu silat istimewa Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah, ia menghantam ke dada Han Ping.

Sesungguhnya Hui Koh termasuk paderi angkatan tua yang memiliki pribudi tinggi. Tetapi demi melindungi nama baik suhengnya, terpaksa ia berlaku ganas.

Berkat penguasaannya ilmu pelajaran dalam Tat-mo-ih-kin-keng, mata dan telinga Hui Gong luar biasa tajamnya, ia terkejut melihat tindakan Hui Koh. Secepat kilat ia tutupkan tangan kiri ke dada Han Ping, lalu mendorong kemuka.

Hui Koh mendengus tertahan seraya melayang keluar dari ruangan. Waktu menarik mundur tangannya, ia menampar kepala pemuda itu.

Tamparan itu membuat Han Ping sadarkan diri. Ia rasakan kepalanya memancarkan tenaga hangat ke seluruh tubuh. Rasanya nyaman sekali. Tetapi beberapa saat kemudian tubuhnya menggigil, keringat mengucur deras dan tak sadarkan diri lagi.

Saat itu pukulan Hui In telah dipatahkan oleh ilmu Jari Sakti dari Hui Gong. Sebagai paderi angkatan Hui yang tinggi kedudukannya, serta menguasai 36 macam ilmu sakti Siau-lim-si, sudah tentu Hui In tahu bahwa ilmu jari sakti itu memang khusus untuk mematahkan pukulan Peh-poh-sin-kun, pukulan Biat-gong-ciang atau membelah angkasa dan lain-lain pukulan lwekang yang dahsyat.

Disadarinya pula bahwa Hui Gong masih kenal kasihan dan tak mau menggunakan lwekang penuh dalam melancarkan jari sakti Tan-ci-sinkangnya. Maka Hui In tahu diri dan cepat loncat mundur. Hui Koh pun mengikuti tindakannya.

Melihat kedua paman gurunya loncat keluar dari dalam sanggar penjara, diam-diam timbullah kecurigaan dalam hati Goan Thong taysu. Ia menuduh kedua paman gurunya itu tentu masih berat hati untuk menyerang Hui Gong dengan sungguh-sungguh.

Ketika ketua Siau-lim-si itu hendak menegur, tiba-tiba Hui Koh muntah darah. Terpaksa Goan Thong batalkan tegurannya.

“Apakah sute terluka berat?” seru Hui In.

Hui Koh menghela napas, sahutnya, “Aku terkena tenaga membal dari gerakan jarinya sehingga dadaku terluka…”

Sekonyong-konyong dari arah dalam sanggar penjara terdengar suara Hui Gong, “Lekas tutup mulut agar daya pukulan itu jangan sampai mengembang kemana-mana. Pejamkan mata, salurkan pernapasan. Jika tak mendengar nasehatku, dalam waktu 12 jam, lukamu tentu makin parah. Engkau akan muntah darah dan mati. Ketahuilah, bahwa pukulan Peh-poh-sin-kun yang engkau lepaskan tadi telah kupentalkan kembali kepadamu. Engkau sendiri yang cari penyakit, jangan sesalkan aku berlaku kejam!”

Buru-buru Hui In menasehati Hui Koh supaya lekas menuruti petunjuk Hui Gong. Setelah itu Hui In memberi penjelasan kepada ketua Siau-lim-si Goan Thong taysu.

“Bukan karena aku tak menyerang sungguh-sungguh. Tetapi memang kepandaian Hui Gong suheng itu terpaut jauh sekali dengan kami berdua. Jika tak lekas-lekas loncat keluar, kemungkinan akupun turut terluka karena ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang!” katanya.

“Apa? Tan-ci-sinkang?” Goan Thong terbeliak.

Hui In mengangguk, “Benar! Dari 72 ilmu kepandaian sakti kuil Siau-lim-si, ada 3 macam yang sukar dipelajari. Diantara ke 3 macam ilmu yang paling sukar dipelajari itu, salah satu adalah ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang itu. Sejauh pengetahuanku, sejak 300 tahun yang terakhir ini, belum lagi terdapat anak murid Siau-lim-si yang mampu mempelajari ilmu jari sakti itu. Hui Gong suheng…”

Sesungguhnya Hui In hendak menyanjung kesaktian Hui Gong. Tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa hal itu dapat menimbulkan salah paham kepada Goan Thong, murid keponakannya yang kini menjabat sebagai ketua Siau-lim-si.

Goan Thong tertawa dingin, “Karena murid hianat itu menghapus ketaatannya selama 60 tahun dengan tindakan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, terpaksa aku harus bertindak. Silahkan Hui Koh susiok beristirahat mengobati luka. Percayalah, aku tentu akan berusaha mencuci noda yang melumuri kuil kita!”

“Dia telah menyelami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng, Kesaktiannya sukar diukur. Pada hematku, lebih baik memberi kelonggaran waktu 3 hari kepadanya…” kata Hui In.

“Harap susiok jangan kuatir!” buru-buru Goan Thong menukas kata-kata paman gurunya dengan mengacungkan Tongkat Kumala Hijau, “Aku tak yakin kalau dia mampu menghadapi seluruh kekuatan dari paderi Siau-lim-si!”

Terdengar suara tertawa hina dari dalam sanggar penjara, “Aku telah minta waktu 3 hari lagi akan menebus dosa. Jika Ciangbujin tetap hendak mendesak, akibatnya hanya suatu malapetaka bagi kuil Siau-lim-si!”

Goan Thong merenung beberapa saat. Kemudian sahutnya, “Dengan memandang muka mendiang suhu, kululuskan waktu 3 hari kepadamu. Jika pada waktu itu engkau tidak menepati janji menebus dosa dengan membunuh diri, akan kubakar sanggar Hui-sim-sian-wan ini!”

Ia gerakkan Tongkat Kumala Hijau dan barisan paderi Siau-lim-si segera mengatur diri dalam formasi barisan Lo-han-tin. Sanggar Hui-sim-sian-wan tempat penjara paderi Hui Gong dikepung ketat.

Melihat itu, Hui Gong menghela napas panjang. Tangannya yang melekat di punggung Han Ping, ditariknya. Terdengar pemuda itu mendesah dan membuka mata.

Sambil menunjuk pada barisan anak murid Siau-lim-si, berserulah Goan Thong dengan perlahan, “Ruang Hui-sim-sian-wan ini telah dikepung oleh barisan Lo-han-tin. Dewasa ini mungkin hanya beberapa tokoh persilatan yang mampu menerobos dari kepungan Lo-han-tin. Tiga hari kemudian, engkau harus seorang diri menembus barisan itu.”

Ucapan itu jelas ditujukan kepada Han Ping. Sebelum menyelundup ke dalam kuil Siau-lim-si, pemuda itu memang sudah mendengar tentang kemahsyuran barisan Lo-han-tin itu. Sesudah masuk ke kuil dan bertempur dengan beberapa paderi, sesungguhnya nyali anak muda itu sudah buyar.

Kini mendengar ancaman Goan Thong, dia terbeliak kaget. Serunya gugup “Lo-han-tin termahsyur di seluruh jagad. Bagaimana aku mampu menerobosnya?”

Saat itu Goan Thong taysu bersama Hui In siansu dan lain-lain sudah tinggalkan sanggar Hui-sim-sian-wan. Di luar gedung itu tampak sunyi tetapi tegang. Seratus delapan paderi sakti Siau-lim-si yang tergabung dalam barisan Lo-han-tin, siap sedia di pos masing-masing.

Tampak wajah Hui Gong berobah-robah. Sebentar memancar kemarahan, sebentar berseri cerah. Rupanya dia tengah terbenam dalam mengenangkan masa yang lampau, mungkin sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang penting.

Tiba-tiba ia pejamkan mata dan rangkap kedua tangan ke dada. Mulutnya berkemak kemik mendoa. Dia tak menghiraukan pertanyaan Han Ping tadi.

Beberapa saat kemudian, ia membuka mata. Memandang kepada Han Ping, ia berkata, “Dalam keadaan sudah begini, terpaksa aku harus mengesampingkan segala keraguan!”

Han Ping tak mengerti apa yang dimaksud paderi tua itu. Ia memberanikan diri untuk meminta penjelasan.

Hui Gong tersenyum, ujarnya, “Terus terang, sebenarnya aku mengandung maksud takkan memberikan dua macam ilmu kepandaian pusaka dari Siau-lim-si kepada orang luar. Tetapi mengingat keadaan sudah begini, jika tak kuajarkan kedua ilmu itu kepadamu, engkau pasti tak dapat menerobos barisan Lo-han-tin itu!”

Serentak Han Ping berseru dengan tegang, “Jika lo suhu sungguh-sungguh mau membantu cita-citaku untuk membalas sakit hati, bukan saja seumur hidup takkan kulupakan budi lo suhu, pun …”

Dengan wajah dan nada yang serius, Hui Gong menukas, “Pelajaran yang kuberikan kepadamu ini, atas dasar karena aku kalah bertaruh. Siapa yang engkau sebut sebagai suhu itu? Ingat, Jika engkau masih memanggil dengan sebutan itu, tentu segera kuusir engkau dari sini!”

Han Ping terkesiap, tersipu-sipu ia mengiakan.

Hui Gong menghela napas perlahan. Wajahnya pun tenang kembali. Sekonyong-konyong tangan kirinya mengulur kebelakang. Ternyata ia mencabut sebatang pedang pendek dari punggungnya. Sekali menjentik perlahan, terdengar suara mendenging-denging dan merekahlah pancaran sinar yang menyilaukan mata. Serempak dengan itu serangkum hawa dingin menebar keseluruh ruangan sehingga Han Ping menggigil.

Sambil mencekal pedang itu, Hui Gong tertawa, “Dua kali kita bertaruh. Yang pertama, aku kalah bertaruh dengan pembayaran ilmu kepandaianku. Dan yang kedua, akupun kalah lagi dengan hadiah sebuah pusaka dunia persilatan. Pedang pendek ini sudah menemani aku selama 60 tahun dalam kesunyian. Untung aku kalah bertaruh dengan engkau. Kalau tidak, pedang pusaka yang menjadi incaran setiap kaum persilatan ini, pasti akan ikut aku terpendam selama-lama dalam penjara Hui-sim-sian-wan sini!”

Habis berkata, Hui Gong menyerahkan pedang itu kepada Han Ping. Pemuda itu tak berani menolak. Ia berlutut memberi hormat dan menyambut pemberian itu.

Seri wajah Hui Gong yang penuh welas asih lenyap berganti dengan kerawanan. Ia menghela napas, ujarnya, “Anak muda, walaupun pedang ini merupakan pusaka yang diincar setiap orang persilatan, tetapi bagiku benda itu merupakan kesialan….”

Tiba-tiba paderi yang bernasib malang itu berhenti. Menengadah memandang atap rumah yang tiris, seri wajahnya berobah-robah tak menentu. Tampaknya ia hendak menumpahkan rahasia kandungan hatinya tetapi akhirnya ia menindas keinginan itu.

“Kecuali menggunakan untuk membalas sakit hatimu, sebaiknya simpanlah pedang ini. Karena pedang ini mengandung rahasia dari sebuah pembunuhan yang menggoncangkan dunia persilatan. Mungkin beberapa tokoh sakti yang mengejar jejak pedang ini, masih hidup. Sekali mereka tahu dimana pedang itu berada, tentu akan terjadi huru hara….” Katanya pula.

Kemudian ia menjemput sarung pedang yang terbuat dari pada tembaga, katanya, “Pedang itu memang sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat membelah segala macam logam dan batu mustika. Tetapi sarung pedang ini, jauh lebih berharga dari pedang itu!”

Memandang sarung pedang itu, Han Ping tak melihat sesuatu yang luar biasa. Ia tak percaya tetapi sungkan untuk mengatakan.

Rupanya Hui Gong dapat membaca isi hati pemuda itu. Ia tersenyum, “Aku sudah berjanji kepada seseorang takkan membocorkan rahasia sarung pedang itu. Dikemudian hari, adalah engkau dapat menyingkap rahasia yang menggemparkan dunia persilatan itu atau tidak, tergantung dari rezekimu!” Habis berkata dengan tangan bergemetaran, paderi itu menyerahkan sarung pedang kepada Han Ping.

Ketika Han Ping memasukkan pedang ke dalam sarung tembaga itu, terdengarlah bunyi mendering yang bening. Diam-diam ia terkejut.

Hui Gong mulai menjelaskan isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng lagi. Malam itu ia menguraikan tentang pelajaran gerakan tangan. Menangkap musuh, menampar jalan darah, mencengkram urat nadi dan lain-lain. Sambil menjelaskan, sambil memberi contoh. Kesemuanya meliputi ilmu kesaktian yang jarang terdapat sehingga semangat Han Ping seperti terbenam dalam keasikan.

Berkat cara mengajar Hui Gong itu jelas sekali dan disertai dengan contoh gerakan yang gampang dimengerti, timbullah harapan Han Ping bahwa kelak ia tentu dapat menuntut balas kepada musuhnya.

Cepat sekali sang waktu berjalan. Tak terasa satu malam dan dua hari telah berlangsung. Boleh dikata selama itu Hui Gong seolah-olah berkejaran dengan waktu. Ia hamper tak meneguk setetes airpun juga. Sehabis ilmu gerakan tadi, ia menumpahkan seluruh pelajaran tentang isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Apabila tiba pada pelajaran ilmu yang luar biasa sukarnya, tak jemu-jemunya Hui Gong mengulang lagi sampai Han Ping mengerti benar-benar.

Dengan cara mengajar yang luar biasa gigihnya itu, pada hari ketiga pagi-pagi, dia telah dapat menguraikan isi Tat-mo-ih-kin-keng itu sampai selesai.

Ketika memandang ke langit di luar sanggar, dilihatnya matahari sudah naik sepenggalah tingginya. Sambil mengurut-urut jenggot, berkatalah paderi itu seraya tertawa, “Dalam waktu tiga hari tiga mala mini, telah kuberikan semua yang kuketahui dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Asal engkau mengingatnya baik dan giat berlatih tentu akan mencapai taraf yang sempurna. Pelajaran terakhir dalam kitab pusaka itu ialah tentang ilmu memecahkan barisan Lo-han-tin. Camkanlah, bahwa dewasa ini di dunia persilatan, orang yang mampu membobolkan barisan Lo-han-tin, hanyalah engkau seorang. Tindakanku ini, tiadalah mengecewakan perasaan saudara-saudara seperguruanku…”

Ia berhenti untuk menghela napas, lalu melanjutkan pula, “Kini dari waktu yang kujanjikan kepada ketua Siau-lim-si, kira-kira hanya tinggal sejam lagi. Dalam waktu yang singkat ini, akan kuberikan kepadamu seluruh tenaga sakti yang kuyakinkan selama 30 tahun, agar dapat membantumu memecahkan barisan Lo-han-tin itu!”

“Ha?” Han Ping terbelalak.

Hui Gong tertawa rawan, “Kebesaran agama tiada terbatas. Nanti sejam kemudian engkau tentu mengakui bahwa kata-kataku tadi bukan kata-kata kosong!”

Sekonyong-konyong paderi sakti itu menggembor sekuat-kuatnya sehingga debu bertebaran, atap berderak-derak. Han Ping merasa seperti disambar petir. Tubuhnya menggigil dan pingsanlah ia seketika.

Ketika ia sadarkan diri, dilihatnya diluar sanggar, Goan Thong taysu sambil mendekap Tongkat Kumala Hijau, tengah berjalan mendatangi dengan diiringi oleh 4 paderi kecil.

Han Ping terkejut dan cepat berpaling, “Locianpwe, ketua…”

Ia berhenti seketika karena melihat Hui Gong duduk bersila pejamkan mata seperti patung. Seketika sesosok bayangan ngeri melintas dalam benaknya. Serentak gemetarlah tubuhnya. Perlahan-lahan ia ulurkan tangannya untuk menjamah tubuh paderi yang telah melimpahkan budi besar kepadanya itu.

Dan… membanjirlah airmata Han Ping bercucuran membasahi mukanya.

“Locianpwe…” ia berlutut dihadapan paderi itu dengan menangis tersedu sedan.

Hui Gong siansu, paderi yang cemerlang kepandaiannya dan merupakan tokoh sakti nomor satu dalam kuil Siau-lim-si selama 300 tahun terakhir ini, telah mukswa atau meninggal.

Setelah menderita selama 60 tahun dipenjara, ia mati menebus dosa. Ia mati secara ksatria…

Ooo)*(ooO

Bagian 4 Pedang Pemutus Asmara

Keringlah sudah Han Ping menumpahkan airmatanya. Dipandangnya jenazah Hui Gong dengan terlongong-longong. Dalam kehidupan manusia, tiga hari hanya sekejap mata. Tetapi bagi Han Ping waktu yang singkat itu sangat besar sekali artinya. Dalam tiga hari itulah Hui Gong telah mencurahkan seluruh kepandaiannya kepadanya…

Diam-diam Han Ping memaki dirinya sendiri. Mengapa ia berlagak sok pintar sehingga ia memenangkan pertaruhan yang kedua. Dengan kemenangan itu ia telah memperoleh sebuah pedang pusaka dengan warisan latar belakang sejarah yang penuh diselubungi rahasia.

Bukan karena menyesal memikul beban warisan itu, tetapi menyesal karena hal itu telah membangkitkan pula riwayat duka dari seorang tua yang telah melimpahkan budi besar kepadanya…

Tiba-tiba terdengar suara genta kuil bertalu nyaring. Seketika tergugahlah ia dari lamunan kedukaan. Memandang keluar, tampak Goan Thong taysu berdiri diambang pintu dengan sikap yang seram.

Disebelah kiri tampak Hui In si paderi beralis putih dan disebelah kanan Hui Koh yang sudah sembuh dari lukanya. Di belakang mereka empat paderi kecil tegak berjajar dengan menghunus golok kwat-to.

Melihat rombongan paderi Siau-lim-si itu, berkobarlah kemarahan Han Ping. Setelah menyimpan pedang pendek pemberian Hui Gong, ia melangkah kepintu.

Goan Thong tak mengacuhkan anak muda itu. Matanya memandang lekat-lekat pada paman gurunya Hui Gong yang tengah duduk bersila seperti orang semedhi.

Setelah mencapai kesempurnaan dalam keyakinan ilmu silat, walaupun sudah mati namun tampaknya Hui Gong itu masih seolah-olah seperti orang yang sedang bersemedhi saja. Dan tambahan pula rambutnya yang memanjang terurai menutupi muka betapapun tajam pandangan mata ketua Siau-lim-si itu, namun sukar untuk mengetahui keadaan paman gurunya yang sebenarnya.

Melihat keadaan Hui Gong yang tak mengacuhkan perjanjiannya, Goan Thong memandang kelangit seraya berseru, “Batas waktu perjanjian tiga hari sudah tiba. Apakah supek masih hendak meninggalkan pesan kepada murid?”

Diulangnya beberapa kali pertanyaan itu namun Hui Gong diam saja. Akhirnya marahlah ketua Siau-lim-si itu.

“Waktu tiga hari yang supek minta untuk menebus dosa kini sudah sampai. Tetapi mengapa supek berlagak membisu….”

Tiba-tiba kata-kata ketua Siau-lim-si itu terputus oleh sebuah tertawa hina, “Hm, kaum persilatan selalu menjunjung tinggi pada guru. Tetapi engkau sebagai murid menghina angkatan tua, mendesak seorang paman guru supaya melakukan bunuh diri, masih berani bertindak garang…”

Dampratan itu ditutup dengan sebuah pukulan ke arah Goan Thong.

Sesungguhnya Goan Thong sudah tahu bahwa Han Ping sudah tiba dipinggir pintu. Adalah karena ia tak memandang mata kepada pemuda itu, maka ia tak bersiaga. Pada saat terkejut mengetahui kedahsyatan tenaga pukulan pemuda itu, ia sudah tak keburu menangkis lagi.

Tetapi ia seorang ketua kuil Siau-lim-si yang termahsyur. Sudah tentu ia tak mau kehilangan gengsi dihadapan murid-muridnya. Ia tak mau loncat menyingkir melainkan kerahkan lwekang ke bahu kiri untuk menahan pukulan itu.

Goan Thong tak menyangka sama sekali bagaimana perobahan pemuda itu sekarang. Dengan ilmu Hud-bun-gui-ting-hwat atau ilmu menyalurkan tenaga lwekang dari perguruan agama, Hui Gong telah memberikan peyakinan lwekangnya selama berpuluh-puluh tahun kedalam tubuh pemuda itu.

Pukulan Han Ping dahsyat sekali perbawanya. Hek… Goan Thong mendesah tertahan ketika tubuhnya mencelat keluar sampai beberapa langkah. Dan habis memukul Goan Thong. Han Ping memekik keras seraya loncat keluar menerjang barisan Lo-han-tin….

Walaupun terpukul rubuh namun Goan Thong seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti hebat. Sekali mengempos semangat, ia cepat menindas darah yang bergolak dalam tubuhnya dan terus loncat bangun, Serempak dengan itu delapan paderi loncat menghampiri, “Harap Ciangbujin beristirahat ke samping. Lo-han-tin segera akan bergerak.”

Walaupun berkedudukan sebagai ketua, namun Goan Thong tak berani membantah permintaan itu. Karena Lo-han-tin adalah barisan kebanggan Siau-lim-si yang paling diandalkan untuk menghadapi musuh yang tangguh. Dan sejak beratus-ratus tahun ini, belum pernah terdapat seorang musuh yang mampu lolos dari kepungan Lo-han-tin. Goan Thong segera mundur kesamping.

Peristiwa Han Ping dapat memukul rubuh ketua Siau-lim-si itu, benar-benar diluar dugaan Hui In dan Hui Koh. Oleh karena itu, walaupun berada di kanan kiri Goan Thong, namun kedua paderi tua itu tak keburu memberi pertolongan.

Serbuan Han Ping itu segera mendapat sambutan hangat dari barisan paderi yang tergabung dalam Lo-han-tin. Serentak pemuda itu dicecar dengan hujan pukulan deras dari tiga penjuru.

Hui In memerintahkan kepada keempat paderi kecil itu supaya mengawal ketua mereka keluar Lo-han-tin. Jangan sampai terlambat hingga tak dapat keluar. Habis itu ia ajak Hui Koh masuk ke dalam Hui-sim-sian-wan, menjenguk keadaan Hui Gong.

Han Ping lepaskan dua buah pukulan untuk mengundurkan barisan paderi yang menyerangnya. Kemudian ia hendak merintangi Hui In dan Hui Koh. Tetapi belum sempat ia bergerak, lapisan kedua dari barisan Lo-han-tin sudah menyerbunya. Pukulan yang serempak dilontarkan oleh barisan itu, menimbulkan gelombang tenaga prahara.

Barisan Lo-han-tin atau barisan malaikat itu, terdiri dari beberapa lapis. Setiap lapis mempunyai corak serangan sendiri-sendiri. Ada regu yang menyerang dengan pukulan, ada yang bertempur dengan tenaga dalam. Hal itu untuk membingungkan lawan agar tak mudah menduga.

Karena sedikit lengah hamper saja Han Ping terancam bahaya. Buru-buru ia kerahkan tenaga dan dorongkan kedua tangannya. Delapan paderi yang serempak menyerangnya itu, berhasil dapat dibendung. Akibat dari adu pukulan itu, Han Ping agak terhuyung. Tetapi kedelapan paderi itu mencelat ke belakang.

Tetapi secepat itu pula, lapisan ketiga sudah menyerangnya. Gaya serangan mereka pun berbeda. Kedelapan paderi yang menjadi anggota regu ketiga itu menyerang dari kanan dan kiri.

Han Ping kerutkan dahi. Dengan menggembor keras, ia siapkan kedua tangannya ke kanan kiri.

Sesaat dapat mengundurkan mereka, regu keempatpun sudah menyerang Han Ping. Deras dan dahsyat.

Memang sejak keluar dari sanggar penjara, Han Ping telah dilanda gelombang serangan yang tak putus-putusnya. Jangankan maju selangkah, sedang untuk bernapas saja rasanya tak sempat lagi.

Setelah berturut-turut dapat mengundurkan 12 regu barisan paderi, diam-diam Han Ping gugup juga. Pikirnya, “Jika terus menerus begini, entah sampai kapan serangan mereka akan berhenti. Aku hanya seorang diri dan mereka merupakan rantai yang tak putus-putus. Lama kelamaan tentu aku akan kehabisan tenaga. Daripada mati konyol, baiklah kugunakan serangan kilat untuk menerjang keluar!”

Baru ia hendak melaksanakan rencananya itu, tiba-tiba terdengar dua buah suitan nyaring dan barisan Lo-han-tin itu pun serentak berhenti serta mundur ke pos masing-masing.

Barisan Lo-han-tin keseluruhannya terdiri dari 108 paderi. Terbagi menjadi 12 regu. Setiap regu beranggotakan 9 orang. Begitu berhenti bergerak, mereka lintangkan tangan kanan kemuka dada. Garang dan rapi sekali.

“Ah, memang barisan Lo-han-tin itu tak bernama kosong maka dari itu Hui Gong locianpwe sampai perlu khusus memberi pelajaran cara untuk menerobosnya,” diam-diam Han Ping menimang, “Menilik gerak-geriknya barisan ini memang mempunyai daya ketahanan yang luar biasa kuatnya. Barang siapa menyerangnya tentu binasa. Tokoh sakti yang manapun juga, tentu akan gentar apabila berhadapan dengan barisan Lo-han-tin….”

Saat itu suasana hening lelap. Rupanya barisan Lo-han-tin itu sedang menunggu perintah. Dalam pada itu, sempatlah Han Ping untuk melanjutkan penimangannya, “Walaupun Hui Gong locianpwe telah memberikan pelajaran cara untuk membobolkan Lo-han-tin, tetapi mengapa sampai saat ini aku masih bingung? Apakah memang otakku yang tumpul sehingga tak mengerti inti pelajarannya itu? Atau apakah memang barisan Lo-han-tin itu sudah mengalami perobahan-perobahan yang lain dari dulu?”

Tengah ia terbenam dalam larutan renungan, tiba-tiba terdengar nyanyian doa yang menggemuruh berkumandang sampai jauh. Ke 108 paderi anggota barisan Lo-han-tin itupun serempak ikut menyanyi.

Han Ping saat itu rasakan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya serasa seperti menderita suata tenaga tekanan yang tak tertampak. Ia merasa dirinya seolah-olah berada dalam sebuah kisaran yang deras. Makin lama makin tenggelam…

Han Ping terkejut. Ia menyadari apa artinya gerakan ke 108 anggota barisan Lo-han-tin yang tak henti-hentinya mengibas-ngibaskan lengan jubah mereka. Kiranya mereka tengah melancarkan kebutan tenaga dalam ke arah dirinya. Buru-buru ia mengempos semangat dan kerahkan lwekangnya untuk bertahan.

Tiba-tiba barisan Lo-han-tin itu melantangkan doa nyanyian yang nyaring lagi. Han Ping tergetar hatinya dan menduga tentulah barisan itu akan bergerak pula.

Cepat ia mendapat pikiran. Tiba-tiba ia maju dua langkah dan siap hendak menghantam lapisan barisan yang terpisah satu tombak disebelah muka.

Cepat sekali ia bergerak. Baru musuh memperhatikan dia bergerak maju dua langkah atau dia sudah menyurut kembali ketempatnya semula. Dan pancingan itu ternyata berhasil. Ternyata benar seperti yang diduga. Dari belakang, melanda serangkum gelombang tenaga dahsyat.

Han Ping cepat berputar tubuh sambil dorongkan kedua tangannya ke muka. Tetapi alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa tiada seorang paderi pun yang maju menyerang dari belakang. Yang ada hanya sebuah regu terdiri dari 9 orang paderi, masing-masing tengah mendorongkan tangan kanan.

Plak… terdengar letupan ketika tenaga yang dipancarkan dari dorongan sepasang tangan Han Ping itu beradu dengan dorongan tangan kanan ke 9 paderi.

Secepat kilat, Han Ping menarik mundur sebelah tangannya untuk dihantamkan ke samping kanan dan berbareng dengan itu siku lengan kirinya mengendap kebawah lalu dibenturkan kebelakang!

Tetapi gerakan menyikut kebelakang itu hanya gertakan kosong. Namun karena sekarang lwekang nya maju hebat, gerakan siku lengan itu mampu memantulkan tenaga dahsyat yang dapat membendung angin pukulan musuh dibelakang.

Beberapa sosok tubuh berlincahan silih berganti. Regu barisan dimuka beralih, diganti oleh regu dibelakang. Mereka bergerak secara selapis demi selapis.

Melihat suasana pertempuran macam itu, tersadarlah Han Ping, “Celaka, mengapa aku tetap terpancing dalam adu lwekang begini? Bukankah cara ini akan memeras habis tenagaku? Sekalipun Lo-han-tin itu ketat dan sekokoh baja, namun harus kuterjang. Kalau toh mati, biarlah aku mati secara ksatria…”

Setelah melakukan beberapa gerakan untuk menahan serangan musuh, sekonyong-konyong Han Ping melambung ke udara. Uh… ia terkejut sendiri ketika mendapatkan dirinya dapat melayang sampai tiga tombak tingginya. Suatu hal yang belum mampu ia lakukan sebelum bertemu dengan Hui Gong.

Selagi masih melayang, ia mencuri lirik . Dilihatnya didepan dan samping pintu sanggar, penuh dengan beberapa paderi tua. Goan Thong taysu pun berada disitu. Tampak ketua Siau-lim-si itu mengikuti jalannya pertempuran dengan cemas.

Terjangan Han Ping dapat mengacaukan Lo-han-tin. Tetapi dengan cepat mereka dapat menutup lubang itu dan berjajar merapat, membentuk suatu tembok manusia. Ada suatu hal yang aneh dalam pandangan Han Ping. Yakni barisan paderi itu sama pejamkan mata. Wajah mengerut serius, bibir bergetar-getar seperti tengah mengucap doa.

Ketika Han Ping meluncur kebumi, dia tak mendapat sambutan apa-apa. Suasana hening lelap. Diam-diam iapun pusatkan pikiran untuk merenungkan pelajaran terakhir dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Sesaat ia teringat akan pelajaran yang menerangkan tentang cara untuk menghadapi musuh yang diam. Ketenangan harus dihadapi dengan ketenangan juga.

Semangatnya timbul pula. Tetapi pada saat hendak loncat lagi, tiba-tiba kawanan paderi itu serempak melantangkan doa dan dari 4 penjuru mereka serempak menyerang Han Ping.

Han Ping kerahkan lwekang lalu menghantam mereka. Regu paderi yang semula saling bercekalan tangan itu, cepat cepat lepaskan tangannya dan mengendap ke bawah. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan serempak, sehingga angin pukulan Han Ping tak mengenai mereka melainkan menyambar diatas kepala paderi-paderi itu. Angin langsung melanda ke regu kedua yang berada dibelakang.

Regu itupun serempak merapat ketengah lalu serempak menangkis pukulan pemuda itu.

Suatu cara bertempur yang baru. Ketika perhatian Han Ping terpikat oleh cara baru itu, tiba-tiba regu barisan kesatu tadi menyelinap kesamping dan menyerang pemuda itu lagi.

Dengan mengembor keras, Han Ping siakkan kedua tangannya seraya loncat ke udara. Uh… tiba-tiba ia mendengus kaget ketika kedua kakinya dicengkram orang.

Ternyata yang mencengkram itu adalah dua orang paderi yang menyerang dari belakang. Ketika Han Ping pusatkan perhatian melayani musuh dimuka, ia tak menyangka kalau kedua paderi itu loncat menyergapnya dari belakang.

Dalam keadaan seperti saat itu, Han Ping terpaksa harus bertindak. Jika tak melukai musuh, tentu dirinya sendiri yang akan celaka. Cepat ia gunakan ilmu Kin-na-jiu untuk mencengkram bahu kedua paderi itu.

Jurus yang digunakannya itu termasuk jurus yang paling lihay dari Kin-na-jiu atau ilmu menangkap dengan tangan kosong, ajaran Hui Gong siansu.

Sesungguhnya ia sudah paham akan uraian lisan yang diberikan Hui Gong itu. Tetapi baru pertama itu menggunakannya. Sekali menyambar, ia dapat mencengkram bahu kedua paderi itu lalu kakinya mendepak kedua paderi yang mencengkram kakinya itu.

Sebenarnya jika mau, ia dapat mendepak remuk kedua paderi itu. Tetapi ia masih ingat akan paderi yang telah memberi kesaktian kepadanya. Hui Gong adalah tokoh Siau-lim-si, ia harus ingat budi kepada gurunya itu dan sumber partainya.

Pertimbangan itu melintas cepat sekali pada benaknya. Tiba-tiba terdengar kedua paderi yang mencekal kakinya itu mengerang tertahan lalu terpelanting kebelakang.

Serempak dengan itu, dua paderi nyelonong maju dan dapat menghantam tubuh Han Ping. Duk, Han Ping terpental sampai beberapa langkah. Tetapi cepat-cepat ia dapat berdiri tegak tak kurang suatu apa.

Kedua paderi itu terbeliak kaget. Ternyata karena terburu oleh nafsu kedua paderi itu telah meninggalkan formasi barisan. Dan pukulan mereka tak mengenai jalan darah yang berbahaya.

Han Ping menggembor keras seraya berputar menerjang ke barisan musuh.

“Lekas mundur!” seru kepala regu barisan yang berada dibelakang Han Ping. Serempak regu itu menghantam.

“Hm, kalian terlambat!” kata Han Ping dalam hati. Segera ia keluarkan ilmu Kin-na-jiu yang terdiri dari 12 jurus. Cepat sekali ia sudah berhasil mencengkram jalan darah empat orang paderi. Keempat paderi itu tak dapat berkutik lagi.

Han Ping mendapat akal. Menyambar tubuh salah seorang dari keempat paderi yang kena ditutuknya itu, ia lemparkan kearah barisan yang paling dekat dari tempatnya. Habis melontar, ia menyambar seorang lagi dan dilemparkan ke arah regu sebelah kiri. Mereka kacau. Pemimpin regu itu cepat memberi perintah tetapi anak buahnya agak enggan. Mereka menyadari bahwa yang dilemparkan itu adalah kawan sendiri. Jika menghantam keras, paderi itu tentu akan remuk. Namun untuk tidak semata-mata membangkang perintah pemimpinnya, mereka pun ayunkan tangan juga. Hanya saja, pukulan mereka menggunakan tiga bagian tenaga.

Uh… akibatnya ke 9 paderi itu terdampar mundur setengah langkah.

Pengalaman itu menjadi pelajaran bagi barisan paderi yang lain. Ketika Han Ping melempar seorang paderi lagi, regu yang dilempari itu menyongsong dengan tenaga penuh…

Melihat itu Hui In tak dapat tinggal diam lagi, “Terpaksa aku harus maju…,” katanya.

Menderita lemparan manusia, barisan didepan dan disebelah menjadi kacau. Kekacauan itu disebabkan karena Han Ping melempar lebih keras dan habis melempar ia menyelinap maju menghantam lagi.

Dari 9 anggota regu, yang 4 orang menyambuti lemparan manusia tadi. Dan yang 5 menangkis serangan Han Ping. Lemparan Han Ping menggunakan tenaga kuat. Keempat anak buah barisan itu tak kuat menahan dan rubuh terlentang.

Han Ping hendak menggunakan siasat seperti tadi. Menutuk, menyambar dan melempar paderi itu ke lain barisan. Tetapi baru ia hendak ulurkan tangan tiba-tiba terdengar suara orang melantang doa Omitohud yang keras sekali. Menyusul serangkum angin kuat melandanya.

Han Ping siap-siap. Ia gunakan ilmu Kin-na-jiu ajaran Hui Gong siansu lagi. Ternyata yang menyerang itu adalah Hui In siansu sendiri. Dia tahu sumber ilmu silat yang digunakan Han Ping itu. Buru-buru ia tarik pulang tangannya tetapi tulang lengannya tertampar oleh ujung jari Han Ping.

Sekalipun hanya dengan ujung jari namun karena dilambari oleh tenaga dalam warisan Hui Gong mau tak mau tokoh paderi tua Hui In itu agak tergetar tubuhnya. Diam-diam ia terperanjat melihat kesaktian pemuda itu.

Kini ia tak berani memandang rendah lagi. Cepat ia salurkan lwekang ke arah kedua tangannya untuk siap dilancarkan.

“Apakah engkau benar-benar hendak menghancurkan Siau-lim-si dulu baru mau pergi?” tegur Hui In.

Han Ping terkejut dan buru-buru menyahut, “Ah, masakan murid berani…”

Tiba-tiba Hui In menggerung keras . Kedua tangan nya mendorong. Han Ping terkejut dan buru-buru menyongsong. Bum… terdengar letupan keras dan keduanya masing-masing mundur selangkah.

Paderi tua itu mengempos semangat. Terdengar tulang-tulang lengannya berkeretan. Han Ping cepat mendahului menyerang ke dada. Hui In mundur setengah langkah untuk mengurangi tekanan lawan, kemudian baru balas menghantam.

Dua pukulan saling beradu, menimbulkan letupan keras. Han Ping tiba-tiba menggembor dan melambung ke udara terus melayang kesebelah kanan dari sanggar penjara.

Saat itu barisan Lo-han-tin sudah menyusun formasinya lagi. Beberapa paderi yang ditutuk jalan darahnya dan dilemparkan oleh Han Ping, saat itu sudah diberi pertolongan. Mereka sudah dapat masuk dalam barisan lagi. Begitu melihat Han Ping melayang di udara, buru-buru barisan Lo-han-tin itupun bergerak memindah posisi.

Tetapi ternyata Han Ping melayang kedalam hutan bambu yang terletak disebelah kanan sanggar penjara itu. Walaupun mereka dapat mengejar kedalam hutan, tetapi tak mungkin membentuk barisan Lo-han-tin lagi.

“Sungguh cerdik sekali anak itu. Tak kecewa kuberinya petunjuk….” diam-diam Hui In siansu memuji.

Ia menghampiri ketua Siau-lim-si dan berseru nyaring, “Harap Ciangbujin memberi petunjuk. Apakah perlu mengirim beberapa jago sakti untuk mengejarnya? Jelas anak itu sudah terluka parah!”

Goan Thong taysu tertegun. Segera ia hujamkan Tongkat Kumala Hijau ketanah, serunya, “Tak usahlah! Biarkan dia pergi…”

Bukan melainkan ketua itu saja, pun sekalian anak murid Siau-lim-si tampak rawan semangatnya. Barisan Lo-han-tin yang tiada tandingannya di dunia ternyata dibobolkan oleh seorang pemuda tak dikenal…

Sementara Han Ping begitu melayang turun ke tanah, terus melambung lagi ke udara, melayang keatas pagar tembok. Berpaling kebelakang, tampak barisan Lo-han-tin masih tegak dalam formasinya. Garang dan rapi, sedikitpun tak mengunjukkan keadaan kacau.

Teringat akan pertempuran yang dialaminya beberapa detik berselang, diam-diam menggigillah perasaan Han Ping. Jika tiada dibantu Hui In dengan sebuah pukulan, Han Ping tak yakin kalau dirinya mampu menerobos kepungan barisan itu.

Diam-diam ia kerahkan peredaran darahnya. Jalan darah di seluruh tubuhnya terasa lancar. Kini ia baru yakin bahwa dirinya tak menderita suatu luka apapun.

Sesungguhnya karena sudah mendapat penyaluran lwekang dari Hui Gong, sekalipun Hui In memukulnya dengan sepenuh tenaga, iapun masih dapat bertahan diri. Tetapi maklumlah. Perobahan besar pada dirinya itu berlangsung dalam waktu yang sangat singkat sekali sehingga ia sendiri hampir tak percaya.

Setelah tertegun beberapa saat, barulah ia melayang turun keluar pagar tembok kuil. Dan karena Goan Thong melarang, maka tiada seorang paderi Siau-lim-si yang mengejarnya.

Selama dalam perjalanan keluar dari lingkungan Siau-lim-si itu, memang ia masih mendapat.

Memang saat itu kepandaiaan yang dimilikinya dapat digolongkan setaraf dengan jago kelas satu. Sekalipun paderi angkatan Hui dari Siau-lim-si belum tentu dapat merintanginya. Sayang ia sendiri tak menyadari akan hal itu.

Setelah beberapa lama berlari, tiba-tiba ia teringat bahwa selama tiga hari tiga malam ini, ia belum makan apa-apa. Kini perutnya terasa merintih-rintih minta diisi.

Tiba-tiba dihadapannya menjulang sebuah puncak yang tinggi. Jalan terbelah menjadi dua simpang. Yang sebelah kiri menuju ke sebuah lembah. Yang sebelah kanan menjurus kesebuah hutan. Karena tak faham jalanan disitu, ia mengambil jalan yang sebelah kanan dan tiba disebuah hutan.

Pikirnya didalam hutan ia tentu akan dapat mencari buah-buahan untuk pengisi perut. Siapa tahu, walaupun sudah menyusup sampai ratusan tombak kebagian dalam hutan itu, tetap ia tak berhasil menemukan pohon buah-buahan. Karena bingung, ia pesatkan larinya.

Hutan itu seluas 4-5 li. Disamping kanan dan kirinya, berdinding batu karang yang menjulang tinggi. Penuh ditumbuhi semak rumput setinggi lutut. Ia terpaksa tak dapat menggunakan ilmu lari. Maka sepenanak nasi lamanya baru ia dapat melintasi hutan itu. Kini ia berhadapan dengan sebuah mulut gunung dan mulailah ia lari lagi sekencang-kencangnya.

Tengah ia berlari tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara nyaring, “Omitohud!”

Dari balik sebatang pohon besar, muncullah seorang paderi tua yang bertubuh kurus, alisnya putih memanjang ke mata. Dia tegak berdiri dengan rangkapkan kedua tangannya kedada. Ah, kiranya paderi tua Hui In siansu.

Han Ping hentikan larinya dan menjura memberi hormat, “Jika locianpwe tak memberi bantuan, tak mungkin aku dapat menerobos keluar dari barisan Lo-han-tin yang termahsyur itu…”

Hui In menghela napas dalam. Pada seri wajahnya yang angker, memantul kerut kedukaan. Ujarnya, “Engkau beruntung telah mendapat ilmu kesaktian Siau-lim-si. Misalnya ilmu Kin-na-jiu yang terdiri dari 12 jurus itu, sudah cukup menggetarkan hatiku…”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan berkata, “Sebenarnya aku hendak pinjam tenagamu untuk membebaskan suhengku dari penderitaan 60 tahun didalam sanggar Hui-sim-sian-wan itu. Ah, siapa tahu, hal itu kebalikannya malah seperti mempercepat kepergiannya kealam kelanggengan.”

Wajah Han Ping berobah seketika. Airmatanya berlinang-linang. Sambil kepalkan tinjunya kiri ia berseru tandas, “Budi Hui Gong locianpwe lebih besar dari gunung Thaysan. Aku harus membalaskan sakit hatinya!”

Hui In menghela napas pula tegurnya, “Siapakah yang hendak engkau cari itu?”

Dirangsang oleh rasa kedukaannya tanpa banyak pikir lagi Han Ping menyahut, “Ketua Siau-lim-si yang sekarang, Goan Thong taysu!”

“Ah, jika menurut pertimbangan kedosaannya, seharusnya engkau mencari aku!”

“Losuhu bertujuan hendak menolong orang, mana aku berani mempersalahkan losuhu!” seru Han Ping.

Hui In tertawa hambar, ujarnya, “Sebab dan Akibat merupakan Hukum Karma yang tak dapat dipaksa dan dirobah. Hui Gong suheng, seorang yang berbakat gemilang. Sepak terjangnya memang sukar dinilai menurut pertimbangan orang biasa. Enam puluh tahun yang lalu, dia merupakan tokoh yang paling menonjol dari Siau-lim-si. Bahkan beberapa tokoh yang tergolong angkatan tua dalam kuil Siau-lim-si, juga kalah sakti. Suhu makin sayang sekali kepadanya. Tak nanti suhu mempunyai maksud untuk memenjarakan seumur hidup. Sayang karena suhu cepat meninggal dunia, maka Surat Keputusan hukuman yang dibuatnya itu masih melekat terus pada sanggar penjara. Akupun merasa curiga atas Surat Keputusan itu. Tetapi karena kekuasan seorang ketua itu besar dan mutlak, apalagi yang menjabat ketua kuil yang ke31 itu adalah suhengku yang nomor dua, sebelum mendapat bukti-bukti yang jelas, aku tak berani mengutak-atik Surat Keputusan itu ….”

Paderi tua itu berhenti dan tundukkan kepala merenung beberapa saat. Kemudian berkata lagi, “Ah, tetapi hal ini merupakan persoalan kuil Siau-lim-si. Jika engkau tak menerima suatu pesan apa-apa dari toa suheng, baiklah kita jangan membicarakan hal itu lagi!”

“Walaupun tidak memberi pesan apa-apa, tetapi budi Hui Gong locianpwe itu sebesar lautan. Selekas kuberhasil meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng, urusan itu tentu akan kuungkap sampai terang!” kata Han Ping.

Hui In kerutkan alis, “Urusan itu menyangkut nama baik kuil Siau-lim-si di dunia persilatan. Jangan engkau bertindak sembarangan. Saat ini aku hendak tinggalkan kuil mengembara keseluruh penjuru dunia. Dalam dunia yang begini luas, mungkin kita takkan berjumpa lagi. Maka sengaja kuperlukan mengejarmu sampai ditempat ini agar dapat bertemu muka sekali lagi”

Han Ping terkesiap. Ia percaya paderi tua itu tentu hendak menanyakan sesuatu hal yang penting. Ia segera mempersilahkannya.

Hui In tertawa, “Benar, memang aku hendak bertanya kepadamu. Tetapi tempat ini bukan tempat bicara yang tepat, mari ikut aku!”

Ia berputar tubuh ayunkan langkah kemuka. Han Ping pun mengikutinya. Kira-kira satu li jauhnya, mereka tiba disebuah lembah gunung yang sepi. Diatas sebuah batu marmer, tampak senampan kue bakpao. Hui Kok siansu tegak disamping batu itu.

Menunjuk makanan diatas marmer hijau, Hui In mempersilahkannya. Karena lapar, Han Ping pun tak sungkan lagi. Dalam beberapa kejab, bakpao pun sudah disapunya bersih.

Hui In memandang Hui Koh, tanyanya, “Apakah sute tahu pedang itu berada ditangan suheng?”

Hui Koh mengangguk, “Enam puluh tahun yang lalu kulihat sendiri toa-suheng bermain-main diatas puncak Sau-si-hong dengan membawa pedang itu. Tiga bulan kemudian dia dijebloskan kedalam Hui-sim-sian-wan. Pedang itu masih berada pada suheng!”

Hui In berpaling kearah Han Ping, “Engkau dengar sendiri betapa pentingnya pedang pendek itu. Jika berada padamu, aku hendak pinjam lihat!”

Han Ping tertegun tak dapat menjawab.

Hui In menghela napas tertahan, “Bukan hendak menakut-nakuti tetapi jika pedang itu benar berada padamu, bagimu tiada gunanya malah mendatangkan bahaya besar.”

“Benar, memang setiap pusaka tentu menimbulkan bahaya. Jika tak mendengar nasehat kami, dikuatirkan bahaya itu segera menimpa!”

Han Ping pemuda yang masih berdarah panas. Jika kedua paderi itu mengatakan hendak melihat pedang pusaka itu, tentu ia tak keberatan. Tetapi karena Hui In – Hui Koh melakukan tekanan, Han Ping penasaran.

“Terima kasih atas perhatian berdua losuhu kepadaku. Benar, memang Hui Gong locianpwe telah menghadiahkan sebatang pedang pendek kepadaku. Beliau pesan wanti-wanti, selain digunakan untuk membalas sakit hati, tak boleh sembarangan diperlihatkan orang. Tentang riwayat pedang itu, aku tak tahu. Jika losuhu sudi menceritakan, aku senang sekali mendengarkan!”

Han Ping tahu bahwa kedua paderi itu mempunyai maksud hendak merebut pedang pusaka. Tetapi dengan cerdik ia mengelak.

Hui Koh mengerut marah. Tetapi pada lain saat wajahnya tenang kembali. Katanya dengan wajah membesi, “Karena mendapat pelajaran dari toa suheng, engkaupun tergolong anakmurid Siau-lim-si. Sikap yang engkau unjuk terhadap angkatan yang lebih tua, merupakan suatu pelanggaran besar dalam peraturan Siau-lim-si!”

“Hui Gong locianpwe tak mau aku mengakui aku sebagai muridnya. Karenanya aku bebas dari ikatan peraturan Siau-lim-si!”

Hui Koh marah sekali.

“Jika bukan murid Siau-lim-si, bagaimana toa suheng mau memberikan ilmu kepandaiannya kepadamu!” bentaknya.

Wajah Hui Koh membara merah…
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar