Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 19 : Keluar dari desa Bik lo san

Jilid 19

Ca Cu Jing, ketua marga Ca, heran mengapa dara baju ungu itu bertemu dengan Siangkwan Ko. Padahal jago tua Siangkwan Ko yang merajai dunia persilatan Se-pak itu, jarang sekali datang ke Tionggoan.

Adalah karena tak sabar lagi mendengar percakapan yang kurang perlu maka Han Ping segera menyelutuk dengan hormat : "Maafkan kedatangan kami kemari hendak mohon keterangan nona. Kita tak saling bermusuhan dan hendaknya jangan sampai menimbulkan hal-hal yang tak menyenangkan."

Tanpa menunggu jawaban si dara, Han Ping meminta surat dari Pengemis sakti, lalu diberikan kepada dara itu : "Harap nona suka membaca surat ini . . . ."

Sejenak memandang surat itu, si dara terus berpaling muka dan berkata dengan dingin : "Bagaimana engkau tahu kalau aku tentu mau membaca surat itu ?"

"Surat itu menyebut bahwa saudara Ca Giok dan murid dari Cong locianpwe, tertawan dalam gedung ini. Kami datang untuk keperluan itu dan lebih dulu menunjukkan surat ini agar nona suka memberi keterangan."

Perlahan-lahan dara itu berpaling ke muka. Dengan wajah marah, ia ulurkan tangan menyambuti, terus merobek-robeknya lalu dilempar ke lantai.

Pucat seketika wajah Ca Cu Jing. Serentak ia maju mencengkeram dara itu. Tetapi cepat-cepat Han Ping mencegahnya.

"Engkau berani mencegah !" bentak Ca Cu Jing dengan deliki mata.

Han Ping terkejut bingung. Buru-buru ia menjelaskan : "Ca pohcu seorang tokoh ternama, bagaimana mungkin hendak menghajar seorang anak perempuan."

Melihat Han Ping melerai, dara itu berseri riang wajahnya. Tetapi setelah mendengar kata-kata Han Ping, tiba-tiba wajahnya membeku dingin lagi. Lalu deliki mata dan mendamprat pemuda itu : "Siapa suruh engkau menolong aku ? Huh, tak malu !"

Bermula Ca Cu Jing tak puas atas tindakan Han Ping. Tetapi pada lain saat ia mengatai kata-kata pemuda itu memang benar. Sambil tersenyum ia berkata : "Engkau benar. saudara. Memang orang semacam Ca Cu Jing ini tak pantas melayani seorang anak perempuan . . . ."

Tiba-tiba dara baju ungu itu mengangkat tangan dan kain layar warna ungu perlahan melambung ke atas.

Sekalian orang berpaling ke samping. Tampak pengemis kecil diikat tubuhnya, mulut disumbat kain sutra. Dua orang lelaki baju hitam berdiri di kanan kirinya sambil memegang kedua bahu pengemis kecil itu. Pada bahu kanan kiri pengemis kecil itu dilekati dengan tiga batang pedang. Sekali digerakkan, bahu pengemis kecil pasti akan terbelah.

Melihat muridnya dalam keadaan begitu rupa, marahlah Pengemis sakti Cong To. Tetapi ia tak berani bertindak.

Dara baju ungu tertawa dingin. Sekarang ia mengacungkan tangan kirinya. Layar di sebelah kanan pun perlahan tersingkat ke atas.

Sebenarnya Han Ping sudah hampir tak dapat menahan kemarahannya melihat keadaan pengemis kecil itu. Serentak ia sudah akan menyerbu untuk menolong. Tetapi karena kuatir jika kalah cepat kebalikannya malah akan mencelakakan jiwa pengemis kecil itu, terpaksa ia termangu di tempatnya.

Dan ketika berpaling ke sebelah kanan, ia tersirap kaget. Seorang lelaki yang kedua matanya menutup, wajah pucat lesi dan lengan kutung sebelah, diikat pada sebilah papan kayu. Dua lelaki baju hitam dengan bersenjata tombak, berdiri pada jarak dua meter. Ujung tombak, yang berkilat-kilat tajam, dilekatkan pada bahu orang itu. Sekali mereka gerakkan tangan, tubuh orang itu pasti akan tersusup tombak.

Kejut Han Ping bukan kepalang. Jelas orang yang diikat itu adalah pamannya Kim Loji. Seketika meluaplah darahnya, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung mau jatuh.

Tiba-tiba terdengar Ca Cu Jing berseru lantang : "Lekas angkatlah layar di belakang itu. Aku hendak melihat adakah putraku masih hidup atau sudah mati . . . ."

Ketua marga Ca itu amat tegang sekali hatinya. Setelah menyaksikan kedua orang tawanan itu, ia duga layar di belakang itu tentu berisi Ca Giok.

Tenang-tenang saja dara baju ungu itu memandang Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia mengangkat kedua tangannya dan layar di belakangnya itupun segera menyingkap ke atas . . . .

Ca Cu Jing memandang dengan tegang sekali. Wahai . . . . ternyata di balik layar itu bukan berisi Ca Giok tetapi hanya tiga buah kursi besar.

Kursi di sebelah kiri diduduki seorang nenek berambut putih, mencekal sebatang tongkat. Kursi di tengah, duduk seorang lelaki bertubuh gagah perkasa, mengenakan pakaian Kim-ih atau pakaian yang biasa dipakai oleh pengawal istana. Sedang kursi sebelah kanan, ditempati oleh seorang lelaki baju merah. Lelaki itu buntung sebelah kakinya.

Begitu layar tersingkap, mereka serentak berbangkit dan melangkah ke dalam ruangan.

Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring, serunya : "Cara penyambutan yang saudara berikan ini, sungguh membuat pengemis tua sungkan setengah mati !" - tiba-tiba ia melesat ke samping si dara baju ungu.

Tetapi secepat itu juga, nenek rambut putih tertawa dingin dan loncat ke samping si dara seraya hadangkan tongkatnya ke arah Cong To.

"Hai, kemanakah putraku !" teriak Ca Cu Jing kalap. Karena tak melihat Ca Giok, ia duga anak itu tentu sudah tertimpa bahaya.

Dara baju ungu tersenyum dan bertanya dengan lembut : "Adakah putramu itu yang bernama Ca Giok ?"

Sekalipun marah tak karuan, tetapi Ca Cu Jing tak berani bertindak sembarangan. Karena selama belum mengetahui pasti nasib putranya, kalau turun tangan ia kuatir bahkan akan mencelakai anak itu.

Dan ketika mendengar pertanyaan si dara, hatinya serasa longgar. Bergegas ia menyahut : "Benar, benar, anakku itu bernama Ca Giok. Adakah nona mengetahuinya ?"

Dara itu tersenyum : "Sekalipun dia tak berada di sini tetapi kutahu dia masih hidup. Harap jangan gelisah !"

Ucapan dara itu dirasakan Ca Cu Jing bagaikan hujan sejuk di musim panas. Ketua marga Ca itu mengerang lalu berkata pula : "Jika nona suka memberitahukan dimana anakku berada, aku segera tinggalkan tempat ini !"

"Tak perlu terburu-buru. Karena sudah datang kemari, mengapa tergesa-gesa hendak pergi." kata si dara yang kemudian berpaling ke arah Cong To, serunya : "Pengemis tua, apakah engkau kenal pada orang yang duduk disana itu ?"

"Hm, kalau kenal lalu bagaimana ?" dengus Pengemis sakti.

Si dara tertawa : "Kalian berdua kakak dan adik seperguruan sebenarnya sejak kecil sudah menjadi kawan sepermainan. Tetapi mengapa lantas tak mau campur seperti minyak dengan air ? bagaimana kalau kudamaikan kalian ini ?"

Kata-kata si dara itu bagaikan halilintar menyambar di tengah hari sehingga Cong To termangu tak dapat menjawab apa-apa.

Si dara lalu berpaling ke arah Ih Seng, ujarnya dengan tertawa : "Karena sudah terkena racun ganas dari Ih Thian Heng, mungkin engkau tak dapat hidup lama. Tetapi tak apalah. Aku mempunyai daya untuk mengobatimu. Dalam tiga hari saja, racun dalam lukamu itu pasti sembuh !"

Lalu ia melambai pada wanita cantik baju hijau. Ia tertawa : "Kemarilah !"

Wanita cantik baju hijau itu mengiakan lalu menghampiri. Pengemis sakti Cong To memandang wanita itu dengan sikap agak gelisah.

Berkatalah wanita cantik itu dengan lemah lembut : "Kita sama belajar dalam seperguruan. Sejak kecil mula sampai dewasa selalu bersama. Adakah suheng sungguh-sungguh bermaksud hendak memusuhi siaumoay ?"

Siaumoay artinya adik kecil. Sebuah sebutan untuk membahasakan diri sendiri terhadap saudara yang lebih tua.

Cong To kerutkan alis tak menjawab. Biasanya ia selalu bersikap gagah dan periang. Tetapi pada saat berhadapan dengan wanita cantik baju hijau itu, ia tak ubah seperti anjing yang mengepit ekor karena takut digebuk.

Sampai beberapa saat, pengemis itu tak dapat berkata apa-apa . . . .

Suasana yang semula tegang regang, pada saat itu berubah amat sunyi rawan. Wanita cantik baju hijau itu seolah-olah telah memberi angin segar pada sekalian orang.

Rombongan tamu itu masing-masing mempunyai harapan sendiri-sendiri. Ca Cu Jing ingin lekas melihat putranya. Ih Seng merenungkan si dara baju ungu yang menjanjikan akan mengobati lukanya. Pengemis sakti Cong To terbenam dalam kenangan kepada wanita cantik baju hijau itu.

Han Ping dapat menyelami perasaan kawan-kawan serombongannya. Sesaat ia merasa terpencil seorang diri . . . .

Terdengar wanita cantik baju hijau itu berkata pula : "Jika suheng mau menghapus kesalahan yang lampau, siaumoay bersedia kembali ke dalam partai Kim-pay-bun. Ah sejak bertemu di biara tua itu, aku segera teringat akan petuah mendiang suhu kita. Anak tiang Kim-pay-bun, hanya suheng dan aku berdua. Jika kita berdua saling bermusuhan, bukan saja akan ditertawakan kaum persilatan, pun kita berdosa kepada arwah suhu . . . ."

Pengemis sakti Cong To menghela napas : "Apakah ucapan siaumoay itu keluar dari hati siaumoay yang sungguh-sungguh ?"

"Setiap patah kata, adalah suara hatiku. Jika suheng tak percaya, apakah perlu aku harus mengangkat sumpah ?"

Cong To menengadahkan kepala, merenung.

Tiba-tiba Ca Cu Jing tampil selangkah ke muka dan berkata kepada si dara baju ungu : "Aku benar-benar ingin lekas bertemu dengan putraku. Sukalah nona memberi petunjuk. Ca Cu Jing tentu takkan melupakan budi nona !"

Dara baju ungu itu berpaling kepada lelaki pincang : "Ji suheng, harap bawa Ca lopohcu ke belakang dan kasih tahulah tentang diri Ca Giok itu . . . ."

Setelah itu ia berkata pula kepada Ca Cu Jing : "Karena di sini banyak orang, di antaranya ada yang benci kepada putramu, maka aku tak leluasa mengatakannya."

Pikiran Ca Cu Jing hanya tertuju kepada putranya. Sejenak merenung. Ia bertanya : "Entah siapakah kiranya yang benci kepada putraku itu ? Aku ingin sekali berkenalan !"

Dara baju ungu itu keiiarkan biyi matanya. sejenak tiba pada Han Ping, ia tersenyum tapi tak mengatakan apa-apa.

"Hm," Ca Cu Jing mendengus, "tahukah nona mengapa dia membenci putraku ?"

Dara itu agak mengangkat alis dan berkata perlahan-lahan : "Soal itu, sukar dijelaskan. Jika lo pohcu bertemu dengan putramu, tentu akan tahu sendiri."

Bluk lelaki pincang itu menggentakkan tongkat besi penyanggah tubuhnya lalu berseru : "Lo pohcu, silahkan ikut aku !" - ia terus melangkah keluar.

Sekalipun masih setengah percaya, tetapi Ca Cu Jing mau juga mengikuti. Ia percaya pada kekuatan dirinya untuk mengatasi kemungkinan yang tak diduga.

Setelah itu si dara baju ungu melambai Ih Seng : "Kemarilah, biar kuperiksa lukamu itu terkena racun apa ?"

Ih Seng menurut. Ia maju menghampiri ke tempat si dara.

Dengan penuh kelembutan, si dara memeriksa luka Ih Seng lalu berkata : "Ih Thian Heng benar-benar bukan manusia sembarangan. Bukan saja racun itu amat ganas, pun sekali meresap ke kulit terus bercampur darah dan masuk ke dalam jantung. Apabila sudah sampai disitu, tak mungkin diobati lagi . . . ."

"Apakah tiada daya untuk menolongnya ?" di luar kesadarannya, Han Ping menyelutuk.

Tiba-tiba wajah dara itu berubah dingin. Tanpa mengacuhkan. Ia menggeram : "Siapa bilang tak dapat ditolong ? Huh, mulut iseng !"

Han Ping terkesiap lalu tundukkan kepala.

Wajah si dara ramah pula, katanya pada Ih Seng : "Jika tidak bertemu aku, mungkin di dunia ini tiada orang yang sanggup menolongmu ! Tetapi cara pengobatannyapun berlainan. Selain minum obat, juga harus diobati dengan tusuk jarum ! Pun pengobatan itu tidak sehari dua hari selesai. Paling sedikit harus makan waktu sampai tujuh hari. Engkau harus tinggal di sini. Setelah tujuh hari, barulah racun itu dapat disembuhkan sama sekali."

Ih Seng berpaling ke arah Han Ping. Tetapi sebelum ia buka suara, Han Ping sudah mendahului : "Baiklah saudara Ih tinggal saja di sini selama tujuh hari !"

Tanpa memandang Han Ping, dara itu mendengus : "Huh, siapa yang mengajakmu bicara ? Mengapa engkau suka usil mulut saja ?"

Karena selalu disentil si dara, marahlah Han Ping. Tetapi pada lain saat ia menyadari bahwa dara itu memang sedang bicara dengan Ih Seng dan ia campur mulut. Ah, lebih baik ia tahan lagi kemarahannya itu.

Setelah berdiam beberapa saat, Cong To bertanya kepada wanita cantik baju Hijau : "Adakah engkau yang menawan pengemis kecil itu ?"

Belum wanita baju hijau menyahut, si dara baju ungu sudah mendahului : "Jika muridmu tak kami tawan lebih dulu, begitu kalian masuk kemari tentu akan terjadi pertempuran hebat. Sekarang hatimu sudah agak tenang, sudah tentu tak perlu memperlakukan dia begitu lagi !"

Habis berkata ia segera berseru memberi perintah supaya pengemis kecil itu dibebaskan.

Setelah dibebaskan, pengemis kecil itu menghela napas dan berjalan menghampiri Cong To lalu berlutut : "Murid wajib menerima hukuman karena telah menghilang muka suhu !"

Tetapi Cong To menyuruhnya bangun : "Tak apa, memang tak dapat mempersalahkan engkau !"

Dara baju ungu berkata pula : "Setelah kalian berdua suheng dan siaumoay tiada bermusuhan, urusan selanjutnya tentu mudah dibereskan. Telah kusuruh siapkan hidangan untuk kalian, sekedar untuk merayakan bersatunya kembali kalian berdua !"

Terhadap siapapun, dara baju ungu itu tentu bersikap dan berkata dengan lemah lembut.

Hanya terhadap Han Ping seorang dia tentu selalu bersikap dingin dan ketus.

Terdengar pula wanita baju hijau itu tertawa melengking : "Sedikit kesalahan siaumoay itu, apakah suheng sungguh-sungguh takkan melupakan seumur hidup . . . . ?"

"Ah, mana aku berani bersikap begitu," jawab Cong To, "Jika siaumoay memang bersungguh hati hendak kembali ke dalam perguruan kita, harap tiga hari kemudian suka berkunjung ke biara tua tempo hari. Aku akan menunggu disitu. Aku hendak membantu orang untuk menyelesaikan urusan di Bik-lo-san . . . ."

"Ho, bagus, pengemis tua !" teriak si dara, "aku membantu mendamaikan kalian berdua, tetapi engkau masih hendak memusuhi aku !"

"Selama hidup pengemis tua tentu akan melaksanakan apa yang telah kujanjikan ! Tak pernah ingkar. Memang kedatanganku kemari adalah demi membantu orang menyelesaikan urusan disini. Harap nona jangan mencampur baurkan soal pendamaian kami berdua dengan siaumoay untuk memaksa pengemis tua melanggar janjinya kepada orang !"

Tiba-tiba wanita tua bertongkat tadi tertawa dingin sehingga rambutnya yang putih bergetaran, serunya : "Kalau begitu kalian memang hendak cari perkara di sini !"

Sambil gentakkan tongkat, ia melangkah maju. Tetapi si dara cepat berseru memanggilnya kembali.

Wanita baju hijau berpaling ke arah dara baju ungu lalu mengeluarkan sebuah Kim-pay atau lencana emas dari dalam bajunya. Lencana itu diacungkan ke atas kepala dan berserulah ia tertawa : "Suheng, harap memberi hormat kepada Kim-pay perguruan kita !"

Serta merta Pengemis sakti Cong To berlutut dan memberi hormat kepada Kim-pay itu.

"Atas nama pemegang Kim-pay dari Kim-pay-bun, kuperintahkan suheng supaya meninggalkan desa Bik-lo-san dan jangan menanyakan sebabnya !"

Dara baju ungu itu serentak berbangkit lalu menghampiri Ih Seng dan berkata dengan nada ramah : "Sudah engkau pikirkan matang atau belum ? Jika engkau percaya padaku, aku segera akan mulai mengobatimu !"

Setelah merenung beberapa saat, Ih Seng berkata tergugu : "Ini, ini . . . ."

Dara itu menukas tertawa : "Jangan ini itu ! Di seluruh Tionggoan, mungkin tiada seorang pun yang mampu mengobati lukamu itu !"

Ih Seng berpaling memandang Han Ping. Tak tahu ia bagaimana harus mengambil keputusan.

"Silahkan saudara Ih berobat," kata Han Ping.

Dara baju ungu melambai Ih Seng lalu berjalan perlahan-lahan menuju ke balik layar. Ih Seng segera mengikutinya.

Memandang ke arah paman Kim Loji yang masih terikat, tiba-tiba Han Ping berseru : "Nona, harap berhenti dulu ! Aku hendak bicara."

Dari belakang layar terdengar dara baju ungu itu berkata kepada Bwe Nio : "Bwe Nio, kalian, masuklah semua ! Jika dia hendak turun tangan bunuhlah Kim Loji lebih dulu !"

Nenek Bwe Nio memandang Han Ping, katanya "Anak muda, jika engkau tak ingin Kim Loji mati, silahkan duduk yang baik !"

Habis berkata nenek itu terus melangkah ke dalam layar. Lelaki berpakaian baguspun mengikuti di belakang nenek itu.

Berpaling ke samping, Han Ping melihat ruangan itu kosong melompong. Cong To dan wanita baju hijau entah kemana perginya. Sedang Ih Seng telah dibawa masuk oleh si dara baju ungu. Nenek berambut putih dan lelaki berpakaian indah, pun ikut masuk. Layar kembali menurun, begitu pula pintu ruangpun menutup.

Dari balik layar itu masih terdengar suara orang bernada dingin memberi ancaman : "Jika engkau berani bergerak sembarangan, Kim Loji tentu akan terpanggang tombak !"

Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : "Apakah maksud kalian mengurung aku di sini . . ."

Diulanginya sampai beberapa kali pertanyaan itu, namun tiada penyahutan.

Giok-ting atau bejana kumala yang terletak di atas meja delapan persegi itu, tetap mengepulkan asap harum. Karena jendela dan pintu tertutup semua, asap itu tak dapat keluar sehingga berkepul-kepul memenuhi ruangan.

Dalam beberapa bulan sejak mengalami beberapa peristiwa, hatinya sudah lebih tenang. Menghadapi keadaan seperti saat itu, dia tak lekas gugup. Tenang-tenang saja ia duduk pejamkan mata bersemedhi memusatkan pikiran.

Rupanya dara baju ungu itu memang sengaja memusuhi dirinya. Karena terhadap lain orang, tetap bersikap ramah hanya kepada dirinya tentu ketus dan dingin. Mengingat nasib paman Kim Loji, Han Ping tak berani bertindak sembarangan.

Dalam diam merenung itu, ia putar otak untuk mencari akal. Tetapi sampai sekian lama belum juga ia berhasil mendapat akal. Ia mulai gelisah, menghela napas lalu berdiri dan berjalan mondar mandir dalam ruangan.

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang halus. Datangnya dari belakang dinding. Layar perlahan-lahan terbuka dun muncullah seorang gadis pelayan berpakaian merah darah. Dia membawa penampan kumala dan menghampiri sambil tertawa.

Gadis pelayan itu baru berumur 14-15 tahun, berwajah bersih. Walaupun tidak amat cantik tetapi cukup sedap dipandang.

Han Ping hentikan langkah, memandang bujang itu.

"Apakah engkau sudah lapar ?" tanya gadis pelayan itu ketika menghampiri Han Ping.

Han Ping gelengkan kepala : "Tidak !"

Sambil memandang ke penampan kumala yang dibawanya itu, gadis pelayan berkata : "Kalau tak lapar, silahkan minum saja !" - Ia menuang teh ke sebuah cawan kumala lalu diberikan kepada Han Ping.

Melihat teh berwarna biru kental, diam-diam timbullah kesangsian hati Han Ping. Tetapi hidungnya segera mencium bau teh yang harum sekali.

"Ini !ah daun Bwe-cu-lo yang sengaja dibawa nona dari Lamhay. Enak sekali rasanya. Tetapi kalau engkau curiga, biarlah kuminum dulu . . ." gadis pelayan itu terus meneguk teh dalam cawan tersebut.

"Enak ?" Han Ping tersenyum.

"Terlalu enak sekali, kalau tak percaya cobalah cicipi sendiri," sahut pelayan.

"Kalau begitu, minumlah sendiri semua !"

"Tidak !" gadis pelayan itu terkesiap. "kalau nona tahu aku tentu digebuk !"

"Bukankah dalam ruangan ini hanya terdapat kita berdua. Asal engkau tak mengatakan, akupun takkan bilang. Mana orang lain akan tahu ?" kata Han Ping.

Gadis itu mengangguk dan mengiakan. Ia meneguk habis cawan itu semua. Sambil pejamkan mata ia menghela napas panjang : "Ah, enak sekali ! Sayang engkau tak mau mencicipi . . ."

Diam-diam Han Ping memperhatikan. Gadis itu masih seperti kekanak-kanakan, jujur dan menyenangkan.

"Engkau tak lapar dan tak haus, lalu bagaimana maumu ?" tanya gadis pelayan itu.

"Apanya yang bagaimana itu ?" tanya Han Ping.

"Minuman yang kubawa untukmu, engkau tak mau minum. Apakah harus kubawa kembali ?"

Diam-diam Han Ping menimang. Dara bujang itu seperti kanak-kanak yang jujur. Mungkin ia dapat menggali sedikit keterangan dari mulutnya.

"Bagaimana kalau engkau tinggal dulu main-main sebentar saja disini ?" tanyanya.

"Main apa ?" tanya si dara bujang. Tiba-tiba ia tertawa lalu mengambil 5 biji batu kerikil sebesar biji buah tho, serunya : "Ya, ya, adalah. Kita bermain menangkap kerikil !"

Han Ping terkesiap, tegurnya : "Bagaimana caranya bermain ? Ah, aku tak bisa !"

Memang sejak kecil ia tinggal di tempat yang terasing dan jarang mempunyai kawan bermain. Lebih-lebih dengan permainan anak perempuan, tak pernah ia tahu.

Dara bujang itu cibirkan bibir tertawa : "Begitu besar tetapi bermain menangkap kerikil saja engkau tak bisa ! Ai, benar-benar tolol . . . ."

Kemudian ia duduk bersila dan meletakkan kelima batu itu di lantai. Menjemput sebuah dilemparkan ke atas lalu menjemput lagi sebuah dan dilemparkan ke atas. Setelah berturut turut melempar dan menyambuti batu itu sampai empat kali, barulah ia berhenti.

"Sudah bisa atau belum ?" tanyanya.

Han Ping hanya ganda tersenyum, sahutnya : "Ah, gampang sekali !" - ia lalu meminta kerikil dan mulai melempar - menyambuti seperti yang dilakukan bujang itu.

"Ih, ternyata engkau pintar sekali. Begitu melihat terus bisa," si dara memuji.

Walaupun dalam hati ingin lekas-lekas bertanya keterangan tetapi Han Ping masih belum mendapat kesempatan untuk memulai. Setelah berpikir beberapa saat, barulah dia berkata : "Apakah nonamu juga suka main lempar kerikil ?"

Seumur hidup baru pertama kali ia menyelidiki keadaan pribadi seseorang. Diam-diam ia tak enak dalam hati sehingga nada ucapannya agak kemalu-maluan.

Dara bujang itu rentangkan kedua matanya lebar-lebar : "Siapakah yang engkau tanyakan itu ?"

Han Ping terbeliak, serunya "Engkau mempunyai berapa orang nona majikan ?"

"Dua !"

"Yang kumaksud ialah dara baju ungu itu."

Bujang dara itu gelengkan kepala : "Kalau yang itu, aku tak tahu."

Han Ping terbeliak kaget : "Lalu siapakah yang suruh engkau mengantar hidangan ini ?"

"Cobalah engkau terka sendiri ?"

"Tuan majikanmu !"

"Bukan !" sahut dara bujang itu : "tetapi nona baju ungu itu !"

Han Ping curiga jangan-jangan teh itu diberi obat bius atau racun.

"Tahukah engkau, siapa yang paling lihay dalam gedung sini ?" tanya si dara bujang.

Han Ping gelengkan kepala.

"Sebenarnya majikan tua yang paling lihai. Tetapi sejak nona baju ungu itu datang, majikan tua kalah lihai. Semua urusan harus menurut perintah nona itu !"

Han Ping mendesah. Belum ia menjawab, tiba-tiba bujang itu melonjak dan berteriak : "Aya, aku harus kembali. Nona pesan kepadaku, setelah engkau makan hidangan itu, aku harus lekas kembali tak boleh lama-lama tinggal di sini !"

Sambil membawa penampan kumala, dara itu bergegas-gegas tinggalkan ruangan. Han Ping kecewa karena tak dapat mengorek keterangan apa-apa dari bujang itu. Ia memutuskan untuk berhadapan muka dengan si dara baju ungu sendiri saja - "Tunggu dulu, aku hendak bicara !" cepat ia meneriaki bujang dara itu.

"Mau bicara apa ? Lekas katakanlah ! Aku betul-betul terburu-buru sekali !" sahut si bujang.

Han Ping menghampirinya : "Kalau engkau kembali, sampaikanlah kepada nona baju ungu, bahwa aku perlu ketemu padanya hendak bicara !"

Bujang dara itu tertegun, kejapkan mata lalu ayunkan langkah seraya berkata perlahan : "Baik, tetapi jika dia tak mau menemuimu, akupun tak dapat berbuat apa-apa !"

Han Ping tertawa : "Tak apa, asal engkau sudah menyampaikan kepada nonamu itu, aku sudah berterima kasih !"

"Jika nona tak mau menemuimu, nanti diam-diam aku tentu akan datang kemari lagi memberitahukan. Kalau tidak engkau tentu gelisah menunggu sia-sia !"

"Ah, tak usah engkau repot begitu !"

Dara bujang itu tertawa : "Kulihat engkau seorang yang baik hati. Entah mengapa nona amat benci kepadamu ?"

"Mengapa dia membenci diriku ?" Han Ping terkesiap heran.

Dara itu gelengkan kepala dan mengatakan ia sendiri juga tak tahu sebabnya. Setelah itu ia berputar tubuh dan melangkah masuk ke dalam layar.

Kini yang tinggal dalam ruang besar itu hanya Han Ping seorang. Empat penjuru dinding tertutup layar sukar melihat keadaan luar. Tetapi karena dalam ruang sudah gelap, tentulah hari sudah petang.

Ia menghampiri ke pintu dan merabanya. Ah, tangannya terasa dingin seperti es. Terang kalau pintu itu terbuat daripada besi. Seketika timbullah dugaan Han Ping. Kalau pintunya terbuat dari besi, tentulah dinding dan jendelanya juga terbuat daripada besi . . . .

Ia hendak menyelidiki hal itu tetapi takut kalau dianggap bertindak sembarangan sehingga akan mengakibatkan hilangnya jiwa Kim Loji.

"Ah, di dunia ternyata banyak sekali hal-hal yang aneh. Bukan melainkan ilmu silat, pun nasib orang memang sukar diketahui. Jika tak mengingat nasib paman Kim Loji, ia tentu sudah lolos dari tempat situ.

Mengingat keadaan dirinya yang terkurung dalam ruang berdinding baja, meluaplah seketika amarah Han Ping. Ia menggemertakkan geraham, mengepal tinju dan mengucurkan air mata. Sejak kecil ia memang sudah banyak menerima hinaan sehingga menggembleng dirinya menjadi seorang pemuda yang keras hati dan mudah naik darah. Hampir saja ia tak kuat menahan nafsunya untuk mengobrak-abrik tempat itu.

Tiba-tiba di atas meja segi delapan muncul sebatang lilin yang menyala. Si nenek rambut putih Bwe-nio, berdiri dengan tongkatnya di sisi meja.

Biasanya nenek itu selalu berwajah bengis tetapi entah bagaimana saat itu tampak sikapnya ramah. Sambil gentakkan tongkat, ia berkata lembut : "Nak, kamariiah. Aku hendak bertanya kepadamu !"

Nadanya ramah dan lembut seperti seorang ibu terhadap putranya.

Han Ping berbangkit dan perlahan-lahan menghampiri. Sambil mengusap airmata, ia menjura di hadapan nenek itu : "Apakah locianpwe hendak memberi sesuatu pelajaran kepadaku ?"

Sesungguhnya ia amat geram sekali. Tetapi karena nenek itu bicara dengan lemah lembut, terpaksa iapun bicara sopan.

Nenek itu menghela napas perlahan, ujarnya : "Ah, anak-anak, perlu apa harus menderita ?"

Han Ping terbeliak kaget, serunya : "Apakah yang locianpwe maksudkan ?"

Nenek itu rupanya menyadari bahwa ucapannya tadi memang sukar dimengerti. Yang tidak bersangkutan tentulah tak dapat menangkap artinya. Ia tersenyum dan balas bertanya : "Nak, mengapa engkau tadi kesal hatimu hingga menangis ?"

"Ini . . . ini . . . ." Han Ping tersekat tenggorokan tak dapat bicara lampias.

Nenek itu tertawa : "Ah, tak usah mengatakan, masakan aku si nenek tua ini tak mengerti isi hati kalian !"

Han Ping menghela napas : "Mohon locianpwe suka membantu . . . ."

"Jika tak bermaksud membantumu, perlu apa aku muncul di sini ?" tukas nenek Bwe-nio.

Han Ping kembali memberi hormat : "Budi locianpwe tentu akan kubalas. Kelak jika locianpwe hendak memerlukan tenagaku, aku tentu akan membantu dengan sepenuh tenagaku !"

"Tetapi dalam soal itu, aku sendiripun tak dapat mengambil keputusan. Nak, tunggulah sebentar, aku hendak memberitahu kepadanya. Nanti bicara sendirilah kepadanya !" kata Bwe-nio terus melangkah masuk ke dalam layar.

Han Ping terlongong-longong memandang bayangan nenek itu. Pikirnya : "Yang dimaksudkan nenek itu, tentulah dara baju ungu. Entah mengapa sebabnya, dia begitu membenci diriku mati-matian. Kalau kuajukan permintaan kepadanya, entah dia mau atau tidak meluluskan. Jika menolak, bagaimana aku harus bertindak . . . . dan jika berhadapan muka nanti, bagaimana aku harus mulai merangkai kata-kata agar dapat mengambil hatinya . . . ."

la memeras otak sampai beberapa saat namun tetap buntu. Tetap tak dapat menemukan kata-kata apa yang akan dikatakan kepada si dara nanti.

Lebih kurang sepenanak nasi lamanya, muncullah nenek Bwe-nio bersama si dara bujang baju merah lagi.

"Nak, ikutlah pada budak ini !" seru nenek Bwe sambil tertawa.

Han Ping mengiakan. Tetapi tatkala ia hendak berjalan, nenek Bwe mencegahnya : "Tunggu sebentar !"

Atas pertanyaan Han Ping, Bwe-nio tertawa : "Sejak kecil ia selalu dimanjakan. Kalau berhadapan nanti, sebaiknya engkau suka mengalah sajalah !"

Han Ping menghela napas panjang dan mengiakan. Kemudian ia mengikuti berjalan di belakang dara bujang itu masuk ke dalam.

Ternyata dinding di balik layar itu mempunyai sebuah pintu berbentuk pesegi panjang. Begitu melangkah ke dalam pintu, tiba-tiba bujang itu berpaling dan berkata kepada Han Ping : "Jalannya gelap, ikut aku saja, jangan salah jalan !"

"Jangan kuatir, mataku cukup tajam untuk melihat dalam kegelapan," sahut Han Ping.

Bujang itu tertawa. Ia hendak berkata tetapi tak jadi dan terus lanjutkan langkahnya. Kira-kira tiga empat tombak jauhnya dan membelok beberapa kali, akhirnya mereka tiba di ujung gang. Melintasi sebuah pintu kecil, haripun sudah terang tanah.

Sambil menunyuk ke arah sebuah bangunan bertingkat, dara itu berkata : "Kami tinggal di tingkat itulah !"

Pikiran Han Ping masih terpancang pada rencana kata-kata yang hendak ia ucapkan apabila berhadapan dengan si dara nanti. Maka ia tak memperhatikan apa yang dikatakan bujang itu dan hanya mengiakan saja.

Untunglah bujang itu masih murni hatinya. Ia tak menyadari penyambutan acuh tak acuh dari Han Ping. Sambil tersenyum ia berkata pula. Kamar dari nona kami itu, tak pakai lampu . . ."

"Eh, malam hari tanpa lampu apakah leluasa ?" tanya Han Ping.

"Mengapa engkau terburu-buru menukas ? Omonganku kan belum selesai . . . ."

"Ya, ya, silahkan melanjutkan !" kata Han Ping, Pikirannya tertuju pada usaha menolong paman Kim Loji. Terhadap siapa saja yang dipandang dapat memberi bantuan ke arah usaha itu, ia tentu berlaku sungkan dan mengindahkan.

Bagian 36

Benci-benci cinta.

"Engkau seorang baik. Terhadap siapa saja engkau selalu ramah," dara bujang itu tertawa.

Han Ping menghela napas : "Benarkah begitu ?"

"Hm. benar," seru si dara bujang, "ah, sayang engkau jarang berada di Bik-lo-san sini. Jika menetap lama di sini, tentu akah kulayani sebaik-baiknya."

Han Ping gelengkan kepala : "Tidak, seumur hidup aku tak pernah dilayani anak perempuan !"

Seketika bujang itu menyadari bahwa ucapannya tadi terlalu kelepasan. Merahlah mukanya lalu menunduk dan menutupi mukanya.

Melihat bujang itu diam saja, Han Ping menegur : "Eh, apa lagi yang hendak engkau katakan ?"

Dalam hati, Han Ping hendak menanyakan apa sebab dara baju ungu itu tak mau pasang lampu. Tetapi karena merasa pertanyaan itu terlalu tak sopan, maka ia terpaksa memutar.

Dara bujang itu berpaling. Mukanya masih kemerah-merahan. Memandang Han Ping ia hendak berkata, tetapi tak jadi dan berpaling muka lagi.

Han Ping tertegun. Ia merasa salah omong maka tak berani membuka mulut lagi.

Setelah berjalan tiga tombak jauhnya lagi, dara bujang itu tak kuat berdiam diri lalu berkata perlahan : "Tahukah engkau apa sebab kamar nona itu tak dipasangi lampu ?"

"Entahlah !"

Bujang itu gelengkan kepala : "Ah, lebih baik tak kuberitahukan sajalah ! Nanti engkau kan tahu sendiri."

"Ha, engkau masih sekecil itu bisa juga mempermainkan orang !"

Dalam pada bicara itu mereka sudah masuk ke gerumbul pohon bunga. Dua buah lentera, bersinar terang dari gerumbul bunga dan serentak terdengar orang membentak : "Berhenti ! Lepaskan dulu senjatamu baru boleh jalan lagi !"

Han Ping terkesiap. Ia membawa pedang Pemutus Asmara. Jika pedang itu diberikan, mungkin mereka tak mau mengembalikannya lagi.

Tetapi ia tak bisa berbohong mengatakan tak membawa senjata. Maka ia tegak terpaku tak dapat menyahut.

Untunglah si dara bujang berseru : "Ah, dia tak membekal senjata apa-apa !"

"Senjata rahasia ?" seru orang itu pula.

"Selamanya aku tak pernah membawa senjata rahasia !" serentak Han Ping menyahut.

Kedua lentera yang berkilau terang itupun lenyap. Dan terdengar pulalah orang tadi berseru dingin : "Silahkan kalian berjalan !"

Dara bujang itu berpaling dan berbisik menerangkan kepada Han Ping bahwa tempat itu sebenarnya ditempati majikannya. Tetapi sejak nona baju ungu datang, majikannya mengalah pindah ke ruang lain.

Setelah melintasi beberapa gunduk pohon bunga, tibalah mereka di bawah gedung bertingkat itu. Pintu yang bermula tertutup, tlba-tibapun terbuka. Di dalam ruangan diterangi lilin. Si Bungkuk dan si Pendek menjaga di ambang pintu. Wajah kedua orang itu sedingin es. Setelah sejenak memandang Han Ping, mereka berputar tubuh memberi jalan.

Dara bujang itu menuju ke tangga kayu di sebelah kiri. Sejenak berpaling ke arah si Bungkuk dan si Pendek. Han Ping lalu mengikuti bujang itu naik ke atas tangga.

Di sebelah tingkat atas, merupakan sebuah ruangan besar yang luas. Empat buah lentera Kiong-teng (lentera yang lazim dipasang di istana raja) , tergantung di empat sudut. Di tengah ruangan, dipasang sebuah meja bundar dengan diberi alas kain warna kuning. Di tengah meja bundar itu, ditaruh sebuah Giok-ting atau bejana kumala. Entah apa isinya. Memang ruangan itu semerbak berbau harum, tetapi tak tampak suatu asap apapun.

Dura bujang itu menyeringai seperti mengejek Han Ping, katanya : "Nona tinggal di tingkat ketiga !" - Habis berkata, ia terus menuju ke sudut ruangan.

Tiba-tiba Han Ping rasakan dadanya sesak dan ingin keluar dari ruangan itu. Tetapi karena mengingat nasib paman Kim Loji, terpaksa ia menahan kemarahannya. Diam-diam ia menghela napas lalu bergegas menyusul bujang tadi.

Bujang tadi ulurkan tangan menjamah bagian bawah dari sebuah lukisan yang tergantung di ujung dinding. Tiba-tiba dinding merekah sebuah pintu. Ternyata di balik pintu rahasia itu terdapat tangga penyambung ke tingkat ketiga.

Setelah mendaki 15 titian tangga, tibalah mereka di sebuah ruangan yang keempat dindingnya tertutup sutra putih. Si dara baju ungu duduk bersandar pada jendela. Meskipun dia tengah membelakangi tubuh, namun dari warna pakaian dan potongan tubuhnya yang cantik, Han Ping cepat dapat mengenalinya.

Bujang baju merah tadi tiba-tiba menggamit lengan baju Han Ping seraya menunjuk pada sebutir mutiara yang tergantung di tengah ruangan. Walaupun tak memakai lilin dan penerangan apa-apa, tetapi mutiara yang sebesar buah kelengkeng itu cukup memancarkan sinar yang terang.

"Mungkin itu yang dinamakan mutiara Ya-beng-cu . . . ." pikir Han Ping.

Tiba-tiba terdengar bujang itu berseru dengan suara bergemerincing : " Nona, nona . . . . dia sudah datang . . . ."

Karena tak tahu nama Han Ping, dara bujang itu hanya melaporkan 'dia sudah datang' saja.

Tanpa berpaling muka, dara baju ungu itu menyahut dingin : "Sudah tahu ? Turunlah engkau ke bawah !"

Rupanya bujang itu masih hijau sehingga tak mengerti tentang hubungan pria-wanita. Sejenak ia bersangsi, serunya : "Apakah nona tak memerlukan pelayan ?"

"Tak perlu !"

Mendengar jawaban itu barulah si dara bujang turun ke bawah. Setelah bujang itu lenyap, Han Ping hendak mulai membuka mulut. Tetapi ia tak tahu bagaimana harus memulai. Setiap kali bibir bergetar hendak berkata, selalu ditelannya kembali.

Dan sampai beberapa saatpun, dara baju ungu itu tak mau berpaling ke belakang.

Akhirnya Han Ping menimang. Jika terus menerus bersikap main-main, tentu kurang baik - ia batuk-batuk lalu paksakan mulutnya berseru : "Apakah nona hendak mempunyai keperluan ?"

Sahut data baju ungu itu dengan dingin : "Engkau sendiri yang hendak menjumpai aku. Masakan aku yang mempunyai keperluan."

Kembali Han Ping batuk-batuk lalu berkata lagi : "Benar, benar, memang akulah yang hendak menjumpai nona."

"Engkau hendak menjumpai aku, apakah ada keperluan ?" si dara balas bertanya dengan meminjam kata-kata Han Ping tadi.

"Aku hendak mohon sesuatu kepada nona, entah apakah nona suka meluluskannya ?"

Tiba-tiba nada si dara berubah ramah juga, ujarnya : "Silahkan engkau bilang saja ! Di ruang tingkat atas ini, hanya kita berdua. Sekalipun engkau salah omong, juga tak mengapa !"

Han Ping menghela napas panjang, katanya : "Pertama, Han Ping menghaturkan terima kasih atas penyambutan nona yang begini hebat . . . ."

"Ah, tak perlu sungkan . . . ." tukas si dara.

Sambil menyeka peluh di mukanya, Han Ping berkata lagi : "Aku hendak mohon nona . . . ." - entah bagaimana, berkata sampai disitu, Han Ping merasa kikuk sekali sehingga tak dapat melanjutkan.

Tiba-tiba terdengar dara itu tertawa : "Ah, mengapa engkau tak berkata lagi. Malu ? Bukankah telah kukatakan bahwa di ruang tingkat ini hanya kita berdua saja ? Apapun yang hendak engkau katakan, lain orang pasti tak dapat mendengar."

Han Ping menghela napas panjang, kemudian membuka mulut pula : "Sejak kecil aku sudah ditinggal mati kedua orang tua . . . ."

"Ah, sungguh kasihan," tukas dara itu, "aku pun senasib juga. Sejak kecil sudah kehilangan ibu. Walaupun ayah amat mencintai aku tetapi tetap tak dapat menghibur kerinduanku akan kasih ibu."

"Semasa hidupnya, ayah mempunyai dua orang sahabat baik. Salah seorang sahabat ayah itulah yang memelihara aku sampai besar. Dia menganggap aku sebagai putranya sendiri dan bahkan memberi pelajaran silat. Beliau adalah ayah angkat dan guruku . . . ."

Si dara saat itu masih tetap membelakangi tubuh. Tanpa menunggu Han Ping bicara lebih lanjut, dara itu cepat menukas : "Sungguh baik sekali budi orang itu. Engkau harus berbakti dan menghormatnya. Apakah dia mempunyai anak perempuan ?"

"Tidak punya," kata Han Ping, "hanya punya seorang putra tunggal"

"Anak itu tentu sudah seperti saudaramu sendiri. Entah dimanakah dia sekarang ?" tanya dara baju ungu.

Ucapan dara itu amat menyinggung perasaan Han Ping. Seketika berderai-derailah airmata pemuda itu : "Adik itu . . . telah meninggal . . . ."

Rupanya si dara tergerak hatinya dan ikut pilu. Ia segera menghibur dengan lembut : "Sudahlah, jangan berduka. Orang yang sudah mati takkan hidup lagi. Berdukapun lagi tiada berguna."

Han Ping menggigit gigi untuk mengeraskan hatinya : "Guru dan putranya itu telah mati demi aku. Selama hayat masih dikandung badan, aku tentu akan membalaskan sakti hati itu . . . ."

"Apakah engkau hendak minta bantuanku membalaskan sakit hati itu ?" tanya si dara.

"Tidak . . ."

Tiba-tiba dara jelita itu berputar tubuh menghadap ke arah Han Ping. Matanya yang bening tampak berlinang-linang namun sepasang bibirnya tetap merekah senyum. Sepasang pipinya merah jambu dan dengan mimik yang tegang-tegang sedap, berserulah ia kepada Han Ping : "Asal engkau yang minta, apa saja tentu kululuskan . . . ."

Han Ping menghela napas, ujarnya : "Meminta pada orang, sungguh malu untuk mengucapkan. Tetapi . . . tetapi . . . ."

Karena sampai beberapa jenak Han Ping hanya berkata 'tetapi . . . tetapi . . .' tanpa ada kelanjutannya, dara jelita itu tak sabar lagi lalu berseru : "Bicaralah dengan perlahan ! Aku tetap bersabar menunggumu . . ."

"Guruku, adikku, semua mati karena aku. Ayah kandungku, mati sejak aku masih kecil. Sedang ibuku entah mati entah masih hidup, belum jelas. Tetapi rasanya kemungkinan besar tentu sudah meninggal dunia. Dalam dunia yang begini luas, aku hanya mempunyai seoarang sanak . . ."

"Ah . . ." si jelita mendesis pilu, "nasibmu sungguh tak beruntung sekali. Orang tentu akan ikut bersedih dan iba !"

Tiba-tiba sepasang alis Han Ping mengerut ke atas, serunya : "0leh karena itu dengan melenyapkan segala rasa malu, aku hendak mohon kepada nona . . . ." sampai disitu, merahlah mukanya dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.

Dengan wajah berseri cerah laksana bunga menunggu kumbang, berkatalah si jelita dengan mesra : "Mengapa engkau tak melanjutkan kata katamu ? Sejak ibuku meninggal, ayah amat memanjakan aku sekali. Asal aku setuju . . . ."

Berkata sampai disitu si jelita memejamkan mata. Dua butir airmata menitik dari pelapuk matanya. Dan dengan suara yang lemah lembut, ia berkata pula : "Ayah takkan menentang kehendakku. Ya . . . katakanlah lekas, apa yang hendak engkau minta . . . ."

Sejenak Han Ping mengatur napas. Setelah memusatkan nyali, barulah ia berkata : "Yang hendak kumohon kepada nona hanyalah tentang seorang tua yang menjadi saudara angkat ayahku atau orang satu-satunya yang menjadi sanakku itu"

Seketika si jelita membuka mata dan menatap Han Ping lekat-lekat. Kemudian bertanya tenang : "Apakah yang engkau maksudkan Kim Loji itu ?"

Han Ping mengiakan : "Benar, dengan memandang mukaku, harap nona suka melepasnya !"

Si dara jelita mengusap airmatanya lalu mengangguk perlahan : "baiklah . . . ."

Serta merta Han Ping menjura di hadapan si jelita : "Budi nona sedalam lautan, seumur hidup Han Ping takkan melupakan."

Kembali jelita itu berputar tubuh seraya bertanya : "Apakah engkau masih ada lain pertanyaan lagi ?"

"Tidak ada."

Tiba-tiba dara jelita itu berbangkit dan menegas lagi : "Benar tidak ada lagi ?"

Setelah merenung sejenak Han Ping mengatakan bahwa ia sudah tak punya permintaan apa-apa lagi.

"Kalau begitu silahkan pergi !" kata si jelita.

Han Ping mengiakan lalu ayunkan langkah. Tiba di tangga, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Cepat ia berputar tubuh. Hai . . . . entah kapan ternyata dara jelita itupun sudah menghadap ke arah Han Ping dan seketika beradulah pandang . . . . mata mereka !

Dua pasang mata saling beradu dan tergetarlah hati kedua insan remaja itu . . . .

Han Ping cepat-cepat tundukkan kepala sedang si jelitapun buru-buru berpaling muka seraya berkata : "Mengapa engkau tak pergi ?"

"Ada sebuah hai lagi yang hendak kumohonkan keterangan kepada nona," kata Han Ping.

"Untuk diri Kim Loji itu lagi ?"

"Nona dapat menduga seperti seoraan dewa !"

Dara jelita itu tertawa dingin : "Sekali sudah kululuskan untuk melepaskannya, masakan aku hendak menipumu, hm . . . ."

"Tetapi nona belum menyebutkan waktunya akan melepaskan dia . . . ."

Tiba-tiba dara itu berdiri dan gerakkan tangan : "Malam ini juga akan kulepas. Tunggulah di luar desa . . . ."

Kembali Han Ping menjura menghaturkan terima kasih : "Terima kasih atas budi nona. Kelak apabila ada jodoh tentu akan kubalas budi nona !"

"Mengapa engkau tak lekas pergi dan masih ini itu lagi ? Hatiku membencimu setengah mati !" seru dara itu.

Han Ping tercengang. Kemudian ia berputar tubuh dan turun dari tangga. Di ruang tingkat kedua, si dara bujang sudah menantinya. Begitu melihat Han Ping dara bujang yang masih kekanak-kanakan itu segera menyongsong dengan tertawa : "Apa yang nona katakan kepadamu ?"

"Tak apa-apa," Han Ping gelengkan kepala.

"Apakah sebelumnya engkau sudah kenal pada nona ?" tanya bujang itu tanpa mau memperhatikan kerut wajah Han Ping.

"Tidak kenal !" sahut pemuda itu seraya terus turun ke tangga bawah.

"Aneh," kata si bujang sembari mengikuti berjalan di sampingnya.

"Apanya yang aneh ?"

"Selain aku dan Bwe-nio, tak pernah lain orang diperbolehkan masuk ke kamar nona." kata bujang itu, "sekalipun dengan tuan majikanku, nonapun akan menemuinya di tingkat kedua. Tetapi mengapa dia mau menerima engkau di kamar pribadinya ?"

Tiba-tiba Han Ping berhenti. Ia tengadahkan kepala merenung, seperti menyadari sesuatu Sesaat kemudian ia melanjutkan turun ke bawah lagi.

Saat itu hari sudah makin malam. Rembulan tanggal satu, tampil di angkasa. Setelah keluar dari halaman pohon bunga, Han Ping minta supaya bujang itu kembali, tak usah mengantarkan lebih lanjut.

Buyang itu agak terkejut dan bertanya : "Hendak kemana ? Apakah tak kembali ke ruang besar ?"

"Tidak !" Aku hendak tinggalkan desa ini !"

"Tetapi di sekitar tempat ini, setiap tempat dijaga orang. Bagaimana engkau dapat keluar ?" tanya bujang itu.

Diam-diam Han Ping membenarkan. Sekalipun ia dapat mengatasi perkakas rahasia di sekitar tempat itu, tetapi tentu akan timbul pertempuran. Suatu hal yang akan membahayakan jiwa Kim Loji apabila dara baju ungu itu marah dan menarik pulang janjinya.

Melihat Han Ping diam saja, dara itu tertawa : "Beginilah ! Biar kuantarkan engkau keluar dari halaman gedung. Semua penjaga tahu bahwa aku ini pelayannya nona. Mereka tentu takkan merintangi.

Setelah berpikir sejenak Han Ping menyetujui : "Baiklah, tetapi apakah engkau leluasa ?"

"Apanya yang tidak leluasa ?" bujang itu heran, "selekas kuantar sampai diluar desa, aku terus kembali lagi. Hayolah !"

Demikianlah Han Ping segera mengikuti bujang dara itu. Rupanya dia paham jalanan disitu sehingga dapat mengambil jalan singkat. Tak berapa lama mereka sudah tiba di tepi hutan.

"Sekeluar dari hutan ini, sudah berada di luar desa. Tetapi dalam hutan penuh dengan rintangan-rintangan yang tersembunyi. Mari kugandeng tanganmu !" Tanpa menunggu persetujuan Han Ping, bujang itu terus mencekal tangan Han Ping dan diajak masuk ke dalam hutan. Han Ping terpaksa menurut saja.

Sekeluarnya dari hutan, mereka tiba di sebuah lapangan rumput yang luas. Si dara bujang lepaskan cekalan : "Pada waktu hendak mengantar engkau, aku tak takut. Tetapi sekarang mendadak aku takut. Lekas saja engkau pergi, akupun hendak kembali . . . ."

Tanpa menunggu jawaban Han Ping, bujang itu terus lari masuk ke dalam hutan lagi.

Diam-diam Han Ping merasa cemas. Jika karena mengantar itu si dara bujang sampai menerima hukuman, bukankah berarti dia yang mencelakai bujang itu ?

Tengah dia termenung tiba-tiba serangkum angin melanda dari arah belakang. Han Ping cepat berpaling ke belakang dan ah . . . . ternyata nenek Bwe-nio tegak berdiri dengan tongkatnya. Dengan wajah berseri nenek berambut putih itu menegur : "Nak, bagaimana dengan pembicaraan kalian ?"

"Lancar sekali, dia mau meluluskan . . . ."

Sepasang mata nenek itu memancar sinar kegembiraan : "Ah, begitu mudahnya ! Engkau benar-benar manusia yang paling beruntung di dunia. Aku harus memberi selamat kepadamu . . . ."

Han Ping terkesiap. Pada saat ia hendak membuka mulut, Nenek Bwe-nio sudah mendahului : "Rupanya sepasang mataku ini belum kabur" ia bicara sendiri dengan gembira. Kemudian memandang rembulan, ia berkata pula : "Persoalan itulah yang paling makan hatiku. Namun sekarang bebaslah beban hatiku . . . ."

Han Ping menghela napas, serunya : "Locianpwe . . . ."

Nenek Bwe-nio memandang lekat-lekat pada Han Ping. Tiba-tiba ia berseru marah : "Mengapa engkau menghela napas ? Engkau telah dapat mempersunting seorang bidadari, apakah hatimu masih belum puas ?"

"Ah, locianpwe salah paham . . ."

Bwe-nio gentakkan tongkatnya dan berseru gusar : "Lam-hay Sin-soh hanya mempunyai seorang putri tunggal. Jika engkau tak memperlakukannya baik-baik, sedikit saja ia menderita, jangan harap engkau hidup lagi !"

Han Ping bingung sekali. Cepat ia berseru lantang : "Locianpwe, maukah locianpwe mendengarkan keteranganku ?"

Tiba-tiba dari arah hutan terdengar derap langkah orang dan muncullah si Bungkuk memanggul sesosok tubuh orang. Begitu berbadapan dengan Han Ping, si Bungkuk terus meletakkan orang itu : "Terimalah orang ini !"

Melihat orang yang diletakkan di tanah itu bukan lain Kim Loji, Han Ping cepat lari menghampiri. Ia tak menghiraukan pembicaraannya dengan Bwe-nio lagi.

"Paman . . ." katanya sambil mengangkat tubuh Kim Loji.

Kim Loji mengucurkan beberapa titik air mata serunya : "Anak Ping, aku menyebabkan engkau menderita . . . ."

"Tak apa," kata Han Ping sambil mengusap airmatanya, "Jika sampai tak dapat menolong paman, matipun aku tak dapat meram !"

Nenek Bwe-nio menghampiri tanyanya : "Nak engkau mengatakan bahwa dia mau meluluskan. Apakah yang diluluskannya itu ?"

"Dia meluluskan permintaanku untuk melepaskan paman Kim ini. Dan ternyata dia memang pegang janji. Tolong locianpwe sampaikan terima kasihku kepadanya. Dan akupun minta diri kepada locianpwe," kata Han Ping seraya memberi hormat lalu memanggul Kim Loji dan terus hendak pergi.

"Tunggu !" bentak Bwe-nio.

Han Ping berhenti. Ia menanyakan nenek itu hendak memberi pesan apa.

Bwe-nio menghela napas panjang. Lebih dulu ia suruh si Bungkuk kembali ke gedung. Kemudian ia maju menghampiri Han Ping : "Nak apakah dalam pertemuan tadi kalian tak membicarakan soal-soal lain ?"

"Tidak," sahut Han Ping, "aku hanya minta kepadanya supaya suka melepas pamanku ini. Karena dia sudah meluluskan, akupun tak berani meminta lain-lain lagi !"

Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.

Memandang bayangan anak muda itu, timbullah perasaan rawan dalam hati Bwe-nio. Tiba-tiba terlintas dalam pikiannya. Dara jelita itu amat manja sekali. Menerima sikap Han Ping yang tolol dan keras kepala itu, si jelita tentu menderita siksaan batin.

Seketika meluaplah amarah nenek itu. Tiba-tiba ia gentakkan tongkatnya dan berteriak sekeras-kerasnya : "Hai, berhenti dulu"

Tetapi ketika memandang ke muka ternyata Han Pmg sudah tak kelihatan bayangannya.

Bwe-nio tegak terlongong-longong. Mendadak ia ingat akan diri si dara. Cepat-cepat ia lari kembali ke dalam gedung lagi.

Cepat sekali ia sudah tiba di gedung bawah lalu bergegas-gegas naik ke tingkat tiga.

Tampak si jelita baju ungu tengah berdiri di muka jendela, memandang rembulan dengan terlongong-longong . . . ."

Sekalipun Bwe-nio sudah tiba setengah meter di belakangnya, tetap si jelita itu tak merasa. Rupanya seluruh pikiran dan semangatnya sedang melayang jauh ke angkasa . . .

Bwe-nio mengelus-elus rambut dara ayu itu seraya menghiburnya dengan suara mesra : "Nak, apakah yang sedang engkau pikirkan ?"

Dara jelita itu berpaling. Wajahnya penuh diliputi perasaan yang sedih dan berkatalah ia dengan nada lemah : "Bwe-nio, berapakah umurku sekarang ?"

Bwe-nio terkejut. Diam-diam ia mengeluh bahwa dara itu kelewat bermanja diri. Sahutnya : "Eh, mengapa umurmu sendiri engkau tak dapat ingat ? Bukankah tahun ini engkau berumur 18 tahun ?"

Sambil lekatkan tangannya ke daun jendela, dara itu berkata : "Ah, sudah 18 tahun, sudah seharusnya menikah !"

"Apa ?" nenek Bwe-nio terbeliak.

Jelita itu tersenyum simpul : "Mengapa engkau terkejut ? Bukankah kelak aku pasti akan menjadi menantu orang ?"

Nenek Bwe-nio menghela napas. Dua butir airmata menitik dari pelapuk matanya. Ia geleng-geleng kepala : "Nak, engkau ini mengapa . . . ."

"Aku tak kurang suatu apa, Bwe-nio. Jangan kuatir !"

"Di dunia yang begini luas, siapakah yang sepadan menjadi pasangan seorang bidadari seperti dirimu ?" ujar nenek itu.

Dara itu gelengkan kepala tertawa : "Tetapi aku sendiri sudah mendapatkannya. Tak perlu engkau susah payah memikirkan."

"Siapa ? Mengapa aku tak tahu ?" nenek itu makin terkejut.

"Bukankah ayah sudah mengatakan," kata dara jelita itu, "aku boleh menikah menurut pilihan hatiku. Ayah tak mau mempedulikan masakan engkau berani mengurus aku !"

"Ah, nak, aku bukan hendak mengurus melainkan ingin tahu siapa yang mempunyai rezeki besar itu ?"

Si dara tertawa mengikik : "Ah, rezeki apa ? Siapa yang memperistrikan aku, dialah manusia yang paling tak berbahagia. Karena setiap hari paling tidak dua kali tentu aku mengajaknya setori !"

Diam-diam nenek Bwe-nio terkejut. Ia duga pikiran dara itu tentu sudah kacau. Lebih baik lekas-lekas membawanya pulang ke Lamhay.

"Ah, nak, tampaknya engkau sudah lelah. Lebih baik tidurlah," katanya.

Tetapi dara itu menoiak : "Aku masih ingin menggadangi rembulan. Engkau tidurlah sendiri !"

"Tidak, aku akan menemanimu !"

"Perlu apa ?" dara itu tertawa.

"Pada saat dan tempat seperti ini, bagaimana aku dapat membiarkan engkau pergi seorang diri ? Segenap tokoh-tokoh persilatan dari wilayah Tionggoan sudah sama berkumpul di Lok yang. Setiap saat mereka menunggu kesempatan untuk mendapat kitab pusaka Lam-hay. Siapa tahu diluar desa ini, mereka sudah bersembunyi menunggu saat. Jika sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan bagaimana engkau dapat mengatasi ?" kata nenek Bwe.

"Empat penjuru keliling desa Bik-lo-san, sudah dijaga ketat. Setiap ada orang yang berani menyelundup, tentu akan kepergok. Dan lagi akupun takkan keluar dari lingkungan gedung ini, mengapa takut ?" bantah si dara.

Nenek Bwe gelengkan kepala : "Nak, engkau tak tahu bagaimana ketika engkau lenyap tempo hari, aku dan suhengmu kelabakan setengah mati ! Jika sampai terulang peristiwa semacam itu lagi, tentu celakalah . . . ."

Nenek Bwe menghela napas, melanjutkan pula : "Ayahmu telah mengutus Ji suhengmu mengejar kemari, bukan lain karena takut kami tak mampu melindungi dirimu. Ah, sekalipun lahirnya ayahmu itu tak memperhatikan dirimu tetapi sesungguhnya dalam batin ia menyintaimu sekali. Nak, jika terjadi apa-apa pada dirimu, sukar dilukiskan betapa derita hati ayahmu nanti !"

"Ayah sedang terbenam dalam ilmu kesaktian dan kebatinan. Dia sudah memandang tawar terhadap urusan dunia, masakan dia masih mengingat diriku lagi ? Jika aku tertimpa bahaya, mungkin hanya beberapa waktu saja ayah akan menderita batin, tetapi lewat beberapa hari, tentu sudah melupakannya !"

Bwe-nio menghela napas. Pada saat ia hendak berkata, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki mendatangi dan muncullah si dara bujang baju merah memberi hormat di hadapan si dara jelita : "Nona, tuan majikan mempunyai urusan penting hendak bertemu dengan nona. Tetapi lebih dulu dia mengutus aku, jika nona sedang tidur, tak boleh diganggu."

"Dimana dia sekarang ?" tanya si jelita.

"Menunggu di tingkat bawah."

"Suruh dia naik ke tingkat kedua !"

Setelah si bujang pergi, dara jelita itu tertawa kepada Bwe-nio : "Apakah engkau masih ingin ikut aku ?"

Nenek Bwe menghela napas : "Ai, anak nakal, makin besar engkau makin menjadi pikiranku"

Hati nenek itu tiba-tiba pilu, airmatanya meluap. Tetapi cepat-cepat ia katupkan pelapuknya untuk mencegah turunnya airmata.

Walaupun Bwe-nio itu hanya sebagai inang pengasuh, tetapi hubungannya dengan dara jelita itu tak ubah seperti ibu dan putrinya. Sejak kecil dara itu selalu menurut kata. Maka kalau pada saat itu, Bwe-nio mendapat tantangan dari si dara, hatinya benar-benar tersinggung . . . .

Perlahan-lahan dara jelita itu berpaling lalu lari memeluk dada inang pengasuhnya itu : "Bwe-nio, apa engkau marah ?"

Nenek itu gelengkan kepala : "Ah, babu tua mana berani memarahi nonanya . . ." - nadanya rawan disusul dengan titikan airmata.

Jelita itu segera mengusap airmata Bwe-nio seraya menghiburnya : "Ah, dalam beberapa hari ini, hatiku selalu murung-murung saja. Kata-kata kuucapkan sekenanya saja sehingga menyinggung perasaanmu . . . ."

Dara itu makin menyusupkan kepalanya ke dada Bwe-nio dan menangis tersedu-sedu. Kedudukan segera berubah. Kini nenek Bwe yang sibuk menghibur si jelita.

Setelah menangis beberapa saat, longgarlah perasaan si jelita. Ia menghapus airmatanya dan rebahkan kepala pada babu nenek Bwe, ujarnya : "Mari kita turun ke bawah. Mungkin toa suheng sudah menunggu lama !"

Di ruang bawah yang luas, tegak seorang lelaki berpakaian Kim-ih. Rupanya cukup lama sudah menunggu di situ tetapi tetap bersikap sabar.

"Ah, maafkan, suheng tentu sudah lama menunggu," seru si dara jelita sambil tersenyum.

Dengan sikap menghormat, lelaki berpakaian indah itu menyahut : "Ah, akulah yang seharusnya minta maaf karena masih mengganggu sumoay yang sudah lelah . . . ."

"Tidak, aku tidak lelah," kata si dara, "silahkan toa suheng mengatakan maksud toa suheng . . . ."

Lelaki yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas : "Kunjungan sumoay ke daerah Tionggoan ini, bertujuan hendak melihat alam pemandangan daerah ini. Sudah selayaknya kalau menghindarkan diri dari pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Berdasarkan hal itu, maka aku memberanikan diri mewakili sumoay untuk menghapus janji pertemuan dengan Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng . . . ."

"Apakah Ih Thian Heng sudah datang ?" dara itu kerutkan dahi.

"Sudah," kata orang itu, "tetapi dengan halus sudah kutolak."

Dara itu tak bicara apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia putar tubuh lalu menghampiri ke muka jendela dan memandang rembulan.

Sejenak memandang Bwe-nio, lelaki itu segera menyusul si dara, ujarnya : "Pribadi Ih Thian Heng Itu, sikapnya memang ramah manis budi bahasa. Tetapi sesungguhnya hatinya amat ganas. Sepintas kesan, dia seolah-olah menempatkan diri sebagai pemimpin dunia persilatan Tionggoan, namun sebenarnya dia seorang manusia yang julig licin, hatinya amat temaha sekali.

Dalam beberapa hari terakhir ini terbetik berita bahwa seorang murid sebuah partai yang telah menjadi anak buah Ih Thian Heng dan ditugaskan untuk memata-matai partai itu, telah diketahui oleh partai-partai yang bersangkutan. Peristiwa itu telah menimbulkan para pimpinan partai-partai persilatan. Segera mereka mengadakan pembersihan ke dalam partai masing-masing. Mengusut asal usul dan riwayat muridnya. Jika desas desus itu benar, maka nyatalah Ih Thian Heng benar telah menanam orang pada setiap partai persilatan dengan tugas untuk memata-matai partai tersebut.

Dengan tindakan para pimpinan partai untuk mengadakan penyaringan ke dalam partai nya masing-masing itu, mungkin akan bermunculanlah bukti-bukti tentang kelicikan Ih Thian Heng menggunakan mata-mata itu. Dengan demikian tentu akan menimbulkan peristiwa yang menggemparkan. Sekalipun Ih Thian Heng mempunyai kesaktian untuk menembus ke langit, tetap tak mungkin dapat menghadapi kekuatan dari persatuan para tokoh-tokoh partai-partai itu . . . .

Berpuluh tahun sepintas pandang Ih Thian Heng seolah-olah menyekap diri tak sering berhubungan dengan orang luar. Dia berkelana di dunia persilatan untuk melakukan amal perbuatan yang baik dan luhur. Tetapi ternyata hal itu hanya untuk mengelabui anggapan golongan Putih maupun Hitam agar mereka menaruh perindahan dan kepercayaan kepadanya. Tetapi karena jarang bergaul dengan orang dan sedikit sekali mempunyai sahabat karib, sekali kedoknya terbuka, tentu akan dikecam dan ditentang oleh segenap lapisan persilatan.

Dia bersikap begitu ramah dan rendah hati terhadap sumoay, kukuatir tentu mempunyai maksud tersembunyi. Rupanya dia mempunyai rencana untuk melibatkan perguruan Lam-hay-bun kita ke dalam pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Hendak digunakan sebagai perisai untuk menghadapi ancaman partai-partai itu . . . ."

Demikian panjang lebar suheng dari si dara itu memberi penjelasan.

Tenang-tenang si dara jelita berpaling, ujarnya : "Orang itu memang lahirnya baik dan berbudi tetapi hatinya licik dan kejam. Sekali lihat, aku sudah tahu. Masakan dia mampu mengelabui kita ?"

Lelaki itu memuji : "Ah, sumoay memang amat cerdas sekali. Aku merasa tak mampu menandingi . . . ."

Tiba-tiba dara ayu itu menghela napas : "Ah, setiap orang yang berjumpa denganku tentu tak ada yang tak memuji aku cerdik, cantik. Tetapi apakah sebenarnya kegunaan kepintaran dan kecantikan itu ?"

Pertanyaan itu membuat lelaki tmggi besar itu tertegun. Sampai beberapa saat ia belum dapat mengungkap maksud apa yang tersembunyi dalam ucapan dara itu. Tetapi karena sungkan kalau tak menjawab, terpaksa ia mengulur waktu sambil batuk-batuk.

Si dara tertawa mengikik : "Toa suheng, cobalah engkau lihat sungguh-sungguh, apakah aku ini benar-benar cantik atau tidak ?"

Lelaki tinggi besar itu menghela napas, ujarnya : "Kecantikan sumoay membuat bunga dan rembulan menyurut malu. Keagungan wajah sumoay memaksa burung dan ikan menunduk. Sumoay laksana bidadari menjelma di dunia !"

Tiba-tiba dara itu menutup muka dengan lengan bajunya, berputar tubuh dan berkata dengan perlahan : "Ah, sudah menjadi takdir, bahwa wanita cantik itu tentu pendek umur ! Mengapa bunga dan rembulan harus malu karena kalah cantik ? Akan kubikin jadi rusak wajahku yang cantik ini, mungkin terhindarlah aku dari segala kesulitan . . . ."

Lelaki baju Kim-ih itu menyurut mundur karena terkejut sekali : "Sumoay, apakah yang membuat sumoay menderita ?"

Dara itu turunkan lengan baju dan berputar menghadap suhengnya lagi : "Aku tak kurang suatu apa !"

Lelaki baju Kim-ih itu merenung. Beberapa saat barulah ia mulai berkata : "Jika sumoay merasa ada sesuatu yang tak menyenangkan hati sumoay, harap katakan kepadaku. Demi membalas budi suhu yang sebesar lautan, siang malam aku berusaha untuk mencari jalan agar dapat membalas budi perguruan. Tetapi selama ini belum terdapat kesempatan."

Dara itu tersenyum : "Ayah telah mengusirmu dari perguruan, cukuplah sudah asal engkau tak mendendam. Mengapa barus susah payah memikirkan membalas budi ?"

Dengan wajah serius, lelaki tinggi besar berkata : "Budi suhu laksana laut dalamnya. Bagaimana aku dapat melupakannya ! Jangankan hanya diusir, sekalipun dibunuh atau dihukum supaya mencebur ke dalam lautan api, akupun tetap akan melakukan !"

Dara itu tertawa : "Ah, ayah tak pernah merusak nama orang. Apa yang dilakukan, tentu ditanggung sendiri. Di dunia tiada hal yang dapat membuatnya takut. Suheng adalah murid pertama dari ayah. Mengapa tindakan suheng lain sekali dengan ayah ?"

Lelaki itu kerurkan dahi, sahutnya : "Adalah karena kekhilafan, aku telah melanggar pantangan suhu, sehingga diusir. Tetapi kuyakin, selama ini aku belum pernah berbuat sesuatu yang merugikan nama perguruan kita."

"Lalu mengapa engkau begitu ketakutan tak mau membantu Ih Thian Heng untuk menggempur partai-partai persilatan Tionggoan ?"

"Ini . . . ."

Dara itu menghela napas, menukasnya : "Sudahlah jangan mengatakan ! Jika kalian tak mau membantuku, aku tetap akan mencari Ih Thian Heng sendiri !"

Lelaki tinggi besar itu alihkan mata memandang nenek Bwe, ujarnya : "Selama ini Ih Thian Heng tiada mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan Lam-hay-bun. Mengapa sumoay hendak membantunya ?"

Waktu si dara hendak menjawab, tiba-tiba di udara tampak meluncur sebuah bunga api dan meledak berhamburan memancarkan bunga api.

Lelaki itu kerutkan sepasang alisnya : "Hm, ada orang yang menyelundup ke dalam desa kita."

Bunga api itu merupakan pertandaan apabila ada orang yang menyelundup masuk ke daerah terlarang dari desa Bik-lo-san.

Rupanya si dara tak mengerti apa artinya bunga api itu. Ia meminta keterangan.

Lelaki tinggi besar itu sesungguhnya hendak cepat-cepat keluar tetapi ia sungkan kalau tak memberi keterangan. Maka sambil melongok keluar jendela, ia menerangkan : "Orang itu telah menyelundup ke tempat yang terlarang. Harap sumoay tunggu dulu, aku hendak memeriksa keluar."

Dara cantik itu tertawa : "Ih, tak usah sibuk-sibuk menyelidiki, Sin-ciu-it-kun datang !"

Dari luar jendela serentak terdengar suara orang tertawa nyaring : "Ah, nona benar-benar hebat, dapat menduga tepat seperti dewa !"

Serangkum angin berhembus dan muncullah seorang sastrawan setengah umur dalam pakaian jubah panjang, mengenakan ikat kepala. Jenggotnya yang hitam memanjang menutupi dada.

Lelaki tinggi besar atau suheng dari si dara segera menyambut dengan tertawa dingin : "Hm, saudara Ih, benar-benar dapat muncul dan hanya seperti hantu . . . ."

Ih Thian Heng buru-buru memberi hormat, katanya dengan tertawa : "Harap saudara Ong suka maafkan kelancanganku masuk ke gedung saudara. Tetapi apa boleh buat. Kalau tak bertindak begitu tentu sukar berjumpa dengan nona ini."

Ternyata lelaki tinggi besar itu bernama Ong Koan. Pada saat ia hendak menjawab, si dara sudah mendahului : "Harap toa suheng jangan marah dulu. Memang aku yang menjanjikan kedatangannya."

Dengan wajah berseri ramah, Ih Thian Heng pun memberi penjelasan : "Adalah sumoay saudara yang mengirim surat mengundang aku supaya mengirimkan orang yang kutawan kemari untuk diberi hukuman. Dan perintah itupun telah kulaksanakan . . . ."

"Suruh mengirim orang memang benar, tetapi masakan juga mengundang engkau untuk bicara ?"

"Jikalau sumoay saudara tak mengundang, masakan tengah malam buta begini aku berani masuk kemari . . . ."

Ong Kuan mendengus : "Hm, ditinjau dari peraturan dunia persilatan, cara saudara masuk ke daerah kami ini, jelas tak memandang mata kepadaku."

Ih Thian Heng tak mau menyahut melainkan berpaling ke arah si dara jelita dan tersenyum.

"Jika suheng hendak meminta pertanggungan jawab, harap kepadaku saja. Jika aku tak mengirimkan undangan, masakan dia berani melanggar peraturan begitu !"

Ong Kuan kerutkan sepasang alisnya : "Sumoay memegang Panji Burung Hong putih, ibarat suhu yang datang sendiri. Bagaimana aku berani menyesali ?"

"Kalau begitu, harap suheng jangan mengganggu dulu. Aku hendak bicara beberapa patah kata dengan saudara Ih ini," kata si dara.

Ong Kuan tertegun. Tetapi terpaksa mengiakan lalu tinggalkan ruangan.

Nenek Bwe hanya geleng kepala. Diam-diam ia heran dan ingin tahu apa yang hendak dipercakapkan dara itu dengan Ih Thian Heng.

Setelah Ong Kuan lenyap, barulah si dara berpaling dan menyuruh bujang baju merah supaya keluar juga.

Bujang dara itupun mengiakan dan pergi.

Yang terakhir, si dara berpaling ke arah nenek Bwe. Tetapi belum membuka mulut, nenek itu sudah mendahului : "Pembicaraan apakah itu sehingga akupun juga tak boleh hadir juga !"

"Kiranya locianpwe ini tak perlu pergi," Ih Thian Heng menyelutuk.

Si dara menghampiri ke tempat nenek Bwe, sandarkan tubuh ke bahu nenek itu, ia tertawa : "Bolehlah engkau hadir mendengarkan pembicaraanku. Tetapi jangan memberitahu kepada suheng, maukah ?"

"Pembicaraan apakah sehingga tak boleh diberitahukan kepada toa suhengmu."

"Bukan sama sekali tak boleh melainkan nanti setelah beberapa hari barulah boleh memberitahu kepadanya."

"Baiklah," akhirnya nenek Bwe mengiakan.

Si dara tersenyum lalu berpaling kepada Ih Thian Heng : "Engkau mengatakan bahwa makam tua itu berisi harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Sungguhkah itu ?"

"Hal itu merupakan rahasia besar di kalangan persilatan Tionggoan. Sekalipun yang tahu hanya sedikit, tetapi memang hal itu sungguh-sungguh nyata !" kata Ih Thian Heng.

"Lalu bagaimana kau mengetahui ?" tanya si dara.

"Jika diceritakan amat panjang. Pendek kata, kutanggung hal itu memang sungguh-sungguh ada !"

"Kalau makam itu mengandung harta karun dan terdapat Kupu-kupu Emas serta Tenggoret Kumala, dua buah pusaka yang jarang terdapat di dunia, mengapa tak engkau ambil sendiri tetapi perlu mencari aku ?"

"Alat-alat rahasia dalam makam itu kelewat hebat. Hanya seorang yang memiliki kecerdasan luar biasa seperti nona, baru dapat memecahkan kesulitan itu !"

Si dara tersenyum : "Bagaimana engkau tahu aku tentu dapat memecahkan rahasia alat-alat itu ?"

Berkata Ih Thian Heng dengan nada bersungguh : "Ih Thian Heng sudah menjelajah seluruh pelosok dunia. Walaupun tak mempunyai ilmu kepandaian meramal, tetapi sepasang mata tua dari Ih Thian Heng ini, belumlah kabur. Sejak bertemu nona, segera kutahu bahwa nona memiliki kecerdasan yang luar biasa. Apalagi nonapun berasal dari keluarga yang menjadi sumber ilmu kepandaian. Maka kuyakin, hanya nonalah satu-satunya orang yang mampu memecahkan rahasia alat-alat itu . . . ."

Si dara merenung beberapa jenak. Kemudian berkata : "Kedatanganmu kemari tentulah hendak merundingkan soal itu dengan sungguh hati. Aku mempunyai sebuah pertanyaan tapi entah layak atau tidak kuajukan kepadamu ?"

Ih Thian Heng tertawa : "Kalau nona hendak bertanya, silahkanlah. Asal tahu saja, tentulah akan kuberitahukan !"

Dara itu mengangguk, ujarnya : "Tadi engkau mengatakan bahwa dalam makam tua itu terdapat berbagai alat-alat rahasia. Hal itu engkau mendengar cerita orang atau engkau sendiri pernah menyelidiki ?"

Rupanya Ih Thian Heng tak pernah menduga kalau ia bakal menerima pertanyaan semacam itu. Ia alihkan pandang matanya kepada nenek Bwe dan batuk-batuk.

Melihat itu si dara cepat menerangkan : "Dia adalah pengasuhku sejak kecil. Segala hal tentu kuberitahukan kepadanya. Katakanlah, tak jadi apa."

Ih Thian Heng tertawa menyeringai : "Alat-alat rahasia dalam makam itu, sekalipun aku tak menyelidiki sendiri, tapi menurut pendapatku, tidaklah jauh bedanya dengan kalau aku menyelidiki sendiri . . . ." - habis berkata ia terus mengeluarkan kotak pedang Pemutus Asmara, diserahkan kepada si dara : "Lukisan pada kotak ini, merupakan peta dari makam itu. Silahkan nona memeriksa, tentulah keteranganku tadi benar . . . ."

Dara itu segera mengamati peta pada kotak pedang, dengan teliti. Beberapa saat ruangan hening lelap.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, barulah dara itu menganggukkan kepala : "Perlengkapan dalam makam itu, diatur dengan tepat sekali dan disusun dengan sempurna. Benar-benar sebuah karya yang hebat. Patut mendapat penghargaan . . . ."

Dalam pada berkata-kata itu, tetap si dara masih mengamati peta itu. Kemudian berkata pula : "Konon kabarnya alat-alat dalam gedung marga Nyo di Kimleng merupakan suatu ciptaan yang luar biasa hebatnya. Tetapi menurut hematku, masih kalah jauh dengan perlengkapan di Lam-hay. Dan menilik ciptaan perlengkapan makam tua itu, rasanya tak kalah dengan Lam-hay-bun. Bahkan ada beberapa bagian yang benar-benar memusingkan.

Melihat si dara tertarik, Ih Thian Heng segera menukas : "Tokoh sakti dari Lamhay, memang memiliki ilmu pengetahuan yang amat luas. Bahwa nona berasal dari turunan keluarga yang berilmu, memang dapat diketahui . . . ."

Saat itu seluruh perhatian si dara tertumpah pada gurat-gurat kotak pedang. Ia tak mengacuhkan kata-kata pujian Ih Thian Heng. Tiba-tiba dara jelita itu kerutkan sepasang alis dan mendesis perlahan. Ia membawa kotak pedang ke dekat lentera dan mengamati dengan teliti. Jarinya menyusur dan meraba-raba kotak lalu berkata seorang diri.

"Aneh, guratan peta pada kotak ini walaupun halus dan lembut sekali. tetapi garis2 jalannya cukup jelas. Tetapi mengapa pada bagian di sini menjadi kacau balau ?"

Mendengar pernyataan si dara, Ih Thian Heng terkejut. Matanya membelalak memandang kotak itu.

Dara itu pejamkan mata. setelah merenung beberapa jenak ia letakkan kotak itu di atas meja lalu berkata : "Telah kuperiksanya. Karena garis-garis jalannya ada satu dua yang tak jelas, untuk sementara masih belum ketemu lingkarannya. Jika engkau percaya, tinggalkan kotak ini barang tiga hari kepadaku. Akan kuperiksa dengan teliti. Tetapi jika engkau kuatir, silahkan membawa pulang . . . ." - habis berkata si dara tertawa.

"Ah, mengapa nona mengucap begitu ?" buru-buru Ih Thian Heng menanggapi, "Jangankan hanya tiga hari, sekalipun 10 hari sampai setengah bulan, pun tiada halangan !"

"Apakah engkau tak kuatir kotak itu akan kukangkangi sendiri ?" tanya si dara.

"Jika aku kuatir, masakan kukeluarkan kotak itu," sahut Ih Thian Heng.

"Menilik gambaran peta itu, jelas bahwa makam tua itu memang penuh dengan alat-alat perlengkapan yang hebat sekali. Adakah alat-alat rahasia itu masih lancar, saat ini belum dapat kuketemukan pada kotak itu. Pun adakah aku dapat berhasil menyelidiki peta itu, juga sukar dikatakan. Tetapi tiada jeleknya jika sebelumnya kita rundingkan dulu tentang cara pembagian dari hasil dalam makam tua itu. Ini untuk menyaga agar jangan sampai timbul pertikaian mengenai pembagiannya !"

Serentak Ih Thian Heng menyahut : "Harta pusaka dalam makam itu, tak terhitung nilainya. Maksudku, kita bagi sama rata, masing-masing mendapat separuh bagian . . . ."

"Nak !" tiba-tiba nenek Bwe menyeletuk kepada si dara, "tempat kediaman kita di Lam-hay, harta permata dan benda-benda berharga, sudah tak kekurangan. Mengapa engkau hendak menempuh bahaya ke dalam makam itu hanya karena memburu harta benda saja ?"

Si dara tertawa : "Tetapi Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu, di dunia tak ada keduanya lagi ! Baru kedua benda pusaka itu saja kiranya sudah berharga untuk kita masuki makam."

"Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala, kita masing-masing mendapat satu. Dan nona yang memilih lebih dulu !"

"Tetapi kedua-duanya aku menghendaki semua !" sahut si dara.

Ih Thian Heng tertawa : "Ikan mau, telapak beruangpun menghendaki juga. Ah, apakah nona tak merasa temaha ?"

Telapak beruang merupakan hidangan yang lezat. demikianpun ikan. Jika ikan dan telapak beruang dua-duanya mau, menunjukkan tamsil seorang yang angkara murka alias tamak.

Enak saja si dara menjawab : "Jika tak mempunyai hati temaha, masakan aku mau menyelidiki ke dalam makam itu. Beginilah, kedua benda Kupu kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu menjadi bagianku. Sedang harta karun semuanya boleh engkau ambil."

Di luar dugaan Ih Thian Heng menyetujui : "Kupu-Kupu Emas merupakan benda yang memancarkan racun yang amat ganas. Sedang Tenggoret Kumala itu khusus untuk membasmi segala jenis racun ganas. Jika dibagi pada dua orang, memang tak leluasa menggunakannya. Karena nona menghasratkan, biarlah kedua benda itu nona ambil . . . ."

Berhenti sejenak, ia berkata pula : "Tetapi harta lain-lainnya, semua harus diserahkan kepadaku."

Sebentar merenung, dara itu tertawa : "Apakah maksudmu mengenai alat mainan dari batu pualam yang aneh serta mutiara yang memancarkan sinar emas dan perak itu . . ."

Sambil mengurut jenggot, Ih Thian Heng tertawa : "Dalam makam tua itu tersimpan banyak sekali harta permata. Tetapi kedua pusaka Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itulah yang paling terkenal sendiri. Kedua benda itu sudah nona kehendaki, adakah nona masih kurang puas ?"

Si dara tertawa melengking : "Turut hematku dalam makam tua itu tentu masih tersimpan banyak sekali benda pusaka yang tak kalah dengan Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala."

Ih Thian Heng tertawa : "Soal itu tak dapat kuketahui lebih dulu. Tetapi karena nona mengatakan tentulah sudah mengetahui benda-benda itu."

"Mengapa makam tua itu disebut sebagai makam terpencil ?" tidak menyahut pertanyaan, si dara malah mengalihkan pembicaraan.

"Karena orang yang dikubur dalam makam itu menyebut dirinya sebagai Ko Tok Lojin. Sesuai nama Ko Tok (sendirian) maka makam itu disebut makam Tunggal."

"Itulah !" seru si dara, jika Ko Tok Lojin menumpahkan seluruh kepandaiannya dalam makam iiu, bukankah berarti lebih berharga dari segala harta permata termasuk Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu ?"

Diam-diam Ih Thian Heng terkejut. Tetapi ia tetap berlaku tenang. Dengan tersenyum tawar, ia mengelus-elus jenggot : "Nona benar-benar amat cerdik sekali. Aku merasa tak dapat menyamai !"

"Yang kusebutkan baru satu hal itu, lain-lainnya masih banyak lagi !"

"Silahkan nona mengatakan agar dapat menambah luas pengetahuanku !"

Si dara tertawa : "Sesuai dengan namanya Ko Tok, dalam hidupnya dia tentu kesepian seorang diri. Ia tentu menganggap dalam dunia yang begini luas, tiada terdapat seorang yang layak menjadi sahabatnya . . . ?"

"Walaupun nama Ko Tok itu tentu sesuai dengan wataknya, tetapi hal itu tiada sangkutnya dengan alat-alat rahasia yang diciptakan dalam makam itu !"

"Karena dapat menciptakan suatu ciptaan alat-alat rahasia, dia tentu seorang yang luar biasa cerdasnya. Dengan kepandaiannya itu amat mudahlah jika ia hendak menghancurkan makam itu. Tetapi dengan berbuat begitu, segala rahasia dalam makam tentu ikut lenyap. Oleh karenanya, dia telah membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk melengkapi makam tua itu. Jangankan alat-alat rahasia yang berada dalam makam, bahkan cukup melihat bangunan makam itu saja, sudah dapat dibayangkan tentu tak selesai 10 tahun pembuatannya.

Membuat makam lebih dulu sebelum meninggal memang dilakukan oleh orang-orang berada. Tetapi anehnya walaupun semasa hidupnya dia suka menyendiri mengasingkan diri dari pergaulan, tetapi mengapa setelah meninggal dia masih penasaran dan menciptakan bangunan makam yang sehebat itu. Mengapa dia hendak meninggalkan teka teki bagi angkatan kemudian hari ?

Karena sikapnya yang dingin, maka dia tak punya barang seorang sahabatpun jua. Namanya saja Ko Tok, tetapi sesungguhnya tingkah lakunya mempunyai maksud untuk mengejek orang di dunia. Sudah tentu tidak seorangpun dapat sesuai sebagai sahabatnya. Ah, seharusnya kalian jago-jago persilatan Tionggoan malu karena ejekan Ko Tok Lojin itu. Tetapi kalian malah gembira hati dan berlomba-lomba hendak mengambili harta peninggalannya dalam makam itu . . . ."

Ih Thian Heng terbeliak, ujarnya : "Penjelasan nona itu benar-benar suatu hal baru yang membuka mataku !"

Si dara tertawa hambar : "Dengan membangun makam itu Ko Tok Lojin hendak menonjolkan kepandaiannya yang hebat. Ia hendak mempermainkan orang-orang di dunia. Kalau hanya terbatas begitu saja, sih tak mengapa. Tetapi rupanya ia sengaja membuat peta pada kotak pedang Pemutus Asmara. Pedang Pemutus Asmara, sebuah pedang pusaka yang tajamnya luar biasa. Dapat memangkas kutung semua jenis logam seperti mengiris tanah liat. Sudah tentu setiap orang persilatan mengiler akan pedang itu. Dan itu justru termakan siasat Ko Tok Lojin yang hendak mengejek orang-orang Tionggoan. Ah, tetapi sayang, ternyata memang orang Tionggoan itu hanya terpikat oleh pedang tetapi tak mengerti maknanya . . . ."

"Ucapan nona, setiap patah bagaikan emas, setiap rangkaian kata laksana untaian mutiara yang tak ternilai harganya . . . ."

Tanpa mempedulikan pujian orang, dara itu melanjutkan lagi : "Walaupun aku tak mengerti mengapa Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala dapat tersiar di dunia persilatan, tetapi hal itu tentulah sengaja diatur oleh Ko Tok Lojin untuk menambah keangkeran dan kekeramatan makam itu. Padahal sesungguhnya hal itu hanya suatu pancingan untuk memikat perhatian orang-orang di belakang hari. Sampai dimanakah kecerdasan otak orang-orang itu !"

"Bercakap-cakap dengan nona satu malam saja, sudah melebihi membaca buku 10 tahun !"

"Walaupun sudah meninggal, tetapi Ko Tok Lojin tetap hendak mengadu kepandaian dengan orang-orang angkatan kemudian hari. Dia tak rela kalau kecerdasannya sampai terpendam dalam makam itu. Dengan kesimpulan itu, jelas bahwa makam itu berisikan buah karya dari kecerdasan otaknya yang gilang gemilang . . . ."

"Apakah nona maksudkan dia tentu meninggalkan sebuah kitab yang berisi seluruh kepandaiannya ?" tanya Ih Thian Heng.

Dara jelita itu tersenyum.

"Aku tak mengatakan begitu. Dia meninggalkan kitab, atau . . ."

Dara itu berhenti dan merenung . . . 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar