Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 17 : Ilmu silat Lam Hay Bun

Jilid 17
“Silahkan nyonya mulai!” sahut Ih Thian-heng.

Setelah menggeram pelahan, nenek Bwe berseru, “Awas, hati-hatilah!”

Pelahan saja ia menghunjamkan tongkatnya dan ujung tongkat itu menyusup beberapa dim ke dalam lantai. Dan kemudian orangnyapun sudah melesat maju.

Gerakan nenek itu jauh berlainan dengan yang tadi. Terjangannya luar biasa cepat dan gesit. Seluruh mata hadirin menumpah pada kedua tokoh itu. Hanya dalam berapa kejab mata saja, keduanya serang menyerang dalam satu jurus dan pada lain kejab mereka sudah sama lompat mundur lagi.

Pertempuran yang luar biasa cepatnya itu hampir tak danat diikuti oleh Pandang mata sekalian yang terada di tempat itu.

Ih Thian-heng mengangkat kedua tangannya memberi selamat seraya tertawa. “Ah, ilmusilat Lam-hay-bun benar-benar luar biasa!”

Nenek Bwe mencabut tongkatnya yang tertancap di lantai seraya menggerutu, “Sayang pertandingan malam ini tak boleh dilanjutkan.”

Kalau Ih Thian-heng diam saja adalah Pengemis-sakti Cong To yang penasaran mendengar ucapan si nenek yang begitu angkuh.

“Itu kan mudah saja! Kalau memang hendak diselesaikan, boleh dilanjutkan!” serunya menantang.

Nenek Bwe kerutkan sepasang alis. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, si dara baju ungu sudah mendahului, “Hai, pengemis tua, Apakah engkau belum puas?”

“Hm, seumur hidup pengemis tua ini tak pernah tunduk kepada siapa pun juga!” sahut Cong To.

Dara itu melangkah pelahan-lahan, serunya seraya mengulum senyum, “Jika belum terima, marilah kita main-main beberapa jurus!”

Pengemis tua itu tertegun, katanya sesaat ke-mudian, “Pengemis tua ini sudah hampir masuk liang kubur, bagaimana disuruh berkelahi dengan seorarg anak perempuan? Kalau menang, tetap akan ditertawai orang. Lebih baik suruh salah seorang dan kedua suhengmu itu nanti melayani pengemis tua!”

Sahut si dara baju ungu. “Tumpukan jerami dan rumput setinggi gunung, tetap tak mampu menindih mati seekor tikus. Apakah yang hendak engkau banggakan dengan umurnya yang tua itu?”

Pengemis sakti Cong To marah sekali. Cepat ia loncat keluar dan membentaknya, “Pengemis tua akan mengalah 3 pukulan dulu, baru nanti kita berhantam lagi!”

Tepat pada saat pengemis sakti itu loncat, lelaki tinggi besar dan nenek Bwepun serempak loncat ke samping si dara. Tetapi data itu membentaknya, “Huh, siapakah yang suruh engkau kemari!”

Lelaki tinggi besar itu gugup, “Tetapi mana boleh sumoay sembarangan bertempur dengan orang. Apabila terjadi sesuatu….”

“Huh, sedang ayahpun tak dapat mengurus diriku, masakan engkau hendak mengatur aku?” tukas dara itu.

“Ini…..” belum si tinggi besar selesai mengucap, dara itu sudah mengerat, “Apa ini itu! Apakah kepandaianku tak sehebat engkau!”

Lelaki tinggi itu memandang ke arah Nenek Bwe lalu menyurut mundur pelahan-lahan.

Kemudian si dara berpaling kepada Nenek Bwe, “Bwe-nio yang baik, kuminta engkau jangan mengurus diriku!”

Nenek Bwe menghela napas pelahan, “Nak, bertempur adu pukulan itu, setiap saat diintai maut, jangan dianggap seperti permainan kanak-kanak….”

Kata si dara, “Bukankah engkau pernah berkata kepadaku, bahwa dalam hal apa saja. engkau mau menurut aku, bukan?

Bwe-nio tertegun lalu mundur tiga langkah.

Setelah dapat mengundurkan kedua orang itu, si dara menghampiri Cong To, ujarnya, “Engkau suruh aku memukulmu tiga kali lebih itu, apakah sungguh-sungguh keluar dari hatimu yang ikhlas?”

Sambil memandang ke puncak wuwungan, pengemis itu menyahut tawar, “Selama hidup pengemis tua selalu tak pernah menarik ucapannya!”

Dara itu tersenyum, “Kalau kupukul, apakah engkau akan menghindar?”

“Pengemis tua ini sudah berpuluh-puluh tahun umurnya, masakan sudi adu mulut dengan engkau. Lekas mulailah!”

Dara itu menyeringai, “Siapa akan sudi bergurau dengan engkau? Baik, hendak kutampar pipimu tiga kali!”

“Apa?” pengemis Cong To terbeliak.

“Baumu busuk bukan main. Kalau kupukul tentu membikin kotor tanganku. Hanya bagian mukamu yang agak bersih itu. Kalau memang engkau mau mengalah, apa bedanya tiga pukulan dengan tiga tamparan itu?”

Cong To merenung diam. Akhirnya terpaksa ia menjawab, “Baiklah, pokoknya asal pengemis mengalah sampai tiga kali saja!”

Pelahan-lahan sekali dara itu ulurkan tangannya. Rupanya ia sengaja memaksa perhatian orang untuk ikut memperhatikan, berapa kalikah ia nanti akan menampar si pengemis tua itu.

Cong To batuk-batuk pelahan. Tetapi jelas bahwa kepalanya telah bersimbah peluh yang bercucuran menetes ke bawah. Ia tetap menengadah memandang ke puncak wuwungan rumah. Wajahnya menampilkan kemurungan yang hebat.

Dia adalah seorang tokoh ternama yang amat diindahkan kaum persilatan. Dalam kedudukan setinggi itulah ia harus membiarkan dirinya ditampar oleh seorang dara di bawah kesaksian berapa tokoh ternama. Karena tak dapat menarik pulang ucapannya, terpaksa ia menunggu dengan tenang.

“Plak!” tiba-tiba tangan dara itu berayun ke pipi Cong To. Pengemis tua itu sedikit pun tak berguncang. Kebalikannya, si dara kerutkan sepasang alisnya, menunduk memandang tangan kanannya lalu diangkatnya pelahan-lahan lagi.

Menurut perhitungan Cong To, meskipun tamparan dara itu tak mungkin membuatnya rubuh terluka berat, tetapi juga tak boleh dipandang ringan. Maka diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam untuk berjaga-jaga.

Cong To adalah seorang tokoh utama. Sekali mengatakan akan mengalah untuk tiga jurus, tetap ia akan melaksanakannya.

Tetapi sungguh di luar dugaannya sama sekali bahwa tamparan dara itu sama sekali tak terasa sakit. Diam-diam ia malah curiga.

Berpaling ke samping, dilihatnya dara itu pelahan-lahan mulai mengangkat tangan lagi untuk menampar. Diam-diam tergetarlah hati Cong To, keringat pun membasahi tubuhnya lagi.

Pada saat dara itu hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba ia melihat kerut wajah si pengemis yang menderita. Buru-buru ia menarik pulang tangannya. Kemudian tangan kanan dan kiri susul menyusul ditamparkan ke udara kosong, serunya, “Selesai! Sekarang engkau harus memukul aku!” katanya seraya mundur tiga langkah.

Perangai dara itu memang aneh dan sukar diduga. Setempo bengis dan mempermainkan orang. Tetapi setempo tiba-tiba berobah baik dan ramah.

Karena disaksikan oleh beberapa tokoh persilatan, Cong To menerima tamparan dari si dara, ia amat murka. Ia berpaling dan berseru, “Engkau sendirilah yang tak memenuhi tiga kali pukulan itu. Sekarang jangan persalahkan pengemis tua!”

“Ih, aku kan sudah memukul tiga kali penuh! Sekarang akupun hendak membiarkan engkau menampar mukaku sampai tiga kali. Asal engkau hanya memukul satu kali, berarti engkau kalah!”

Sahut Cong To dengan dingin, “Pengemis tua selamanya tak kenal kasihan terhadap wanita. Aku tak percaya kalau tak dapat memukulmu sampai selesai!”

Dara itu menyeringai tawa, “Jika engkau tak dapat melanjutkan, kelak jika ketemu aku, engkau harus menurut perintahku!”

“Jika sampai binasa, engkau sendirilah yang mencari penyakit itu. Jangan salahkan si pengemis tua ini seorang ganas!”

Tiba-tiba dara itu jungkatkan sepasang alisnya.

Wajahnya yang segar berseri laksana bunga mekar itu, tiba-tiba mengerut rawan, sedih. Dan entah bagaimana, suasana dalam ruang itu seolah-olah ikut tercekam kabut kesedihan. Seketika sekalian orang yang berada di situ merasa bahwa dunia ini penuh dengan kedukaan, kesedihan dan kehampaan….

Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah mengangkat tangannya, siap dihunjamkan. Tetapi ketika pandang matanya beradu dengan sinar mata si dara, seketika hatinya berguncang. Tangannya lemas lunglai dan tanpa disadari, tangannya itupun diturunkan kembali.

Susana dalam ruang itu hening lelap. Keenam bocah berpakaian putih yang bersenjata pedang itu pun turunkan senjatanya masing-masing. Wajah mereka tampak berduka, mata berlinang-linang.

Tiba-tiba terdengar suara isak pelahan, makin lama makin terdengar jelas. Dalam keadaan seperti suasana saat itu, suara isak tangis makin menghancurkan sanubari orang. Setiap orang sukar untuk menahan turunnya air mata.

Yang pertama-tama adalah keenam bocah baju putih tadi. Airmata mereka membanjir membasahi kedua belah pipi.

Mendengar suara isak tangis, Pengemis-sakti Cong To segera berpaling. Tampak si dara baju ungu tengah memandang kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Ketika beradu pandang, Cong To merasakan hatinya seperti dihunjam benda keras. Hawa penasaran, meluap ke atas dada. Matanya terasa panas, airmata hampir meluncur keluar.

Tetapi dia adalah seorang tokoh yang sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu lwekang. Cepat-cepat ia dapat menyadari sesuatu yang tak wajar. Buru-buru ia palingkan muka dan menekan airmatanya yang hendak turun itu. Kemudian menghela napas panjang dan terus melangkah ke luar ruangan.

Karena keenam bocah baju putih itu sedang dirundung kesedihan maka mereka membiarkan saja pengemis tua itu keluar.

Tepat pada saat Cong To hendak melangkah ke luar pintu, tiba-tiba dara baju ungu itu melengking, “Tunggu! Apakah engkau hendak melarikan diri?”

Cong To tertegun dan berpaling. Dilihatnya dara baju ungu itu sudah kembali bersikap seperti sediakala. Seketika pulihlah kesadaran Cong To. Sekalian orangpun sama menghela napas. Mereka seperti tersadar dari mimpi yang sedih.

“Apakah engkau hendak ingkar janji?” seru si dara.

Cong To melangkah masuk ke dalam ruangan lagi, sahutnya, “Tak mungkin pengemis tua akan ingkar!”

“Tadi sudah kukatakan, jika engkau mampu memukul aku satu kali saja, engkau menang. Bukankah aku pernah mengatakan begitu?” tanya si dara.

“Ya,” Pengemis-sakti Cong To mengiakan.

“Jika engkau tak mampu memukul, sudah tentu engkaulah yang kalah!”

“Benar!”

“Kukatakan apabila engkau kalah, kelak apabila bertemu aku lagi, engkau harus menurut perintahku. Benar atau tidak?”

Pengemis-sakti Cong To mengangkat kepala memandang wuwungan rumah, sahutnya, “Hal itu pengemis tua belum pernah menyetujui!”

Dara itu tersenyum, “Engkau tak setuju tetapi tidak menentang. Benar atau tidak?”

Pengemis-sakti Cong To mendengus tetapi tak menyahut.

“Nama Pengemis-sakti Cong To, termasyhur sekali dalam dunia persilatan. Apa yang sudah diluluskan, kemudian merasa menyesal dan tak mengakui. Jika hal ini tersiar keluar, bukankah akan merugikan namamu?” seru si dara pula.

Cong To menghela napas, serunya, “Bilanglah, apa maksudmu?”

Si dara tersenyum, “Kalau engkau tak mau menurut, bukankah sia2 saja aku mengatakan?”

“Bilanglah,” seru Cong To penasaran, “pengemis tua tak menarik kembali ucapannya. Kalau memang pernah meluluskan, tentu akan melaksanakannya!”

“Sesungguhnya bukan hal yang sukar. Asal kelak kalau berjumpa lagi engkau mau menurut perintahku, itulah sudah cukup!”

“Huh, orang apakah pengemis tua ini? Masa sudi menerima perintahmu?” Cong To berkata murka.

Tiba-tiba wajah data itu berobah serius. “Engkau kalah bertaruh, siapa yang hendak engkau persalahkan? Jika pada saat itu engkau memukul aku sampai mati, bukankah aku mengantar jiwa dengan sia-sia?”

Diam-diam pengemis itu mengakui. Memang benar dia tak melanjutkan memukul. Jadi bukan salah si dara itu.

“Jangan kuatir berhubungan dengan aku, tak nanti engkau menderita kerugian!” seru si dara.

“Masakan pengemis tua ini hendak meminta kemurahan dari engkau!” seru Cong To.

Melihat ucapan pengemis itu tak sekeras yang tadi, si dara tertawa hambar. “Begini sajalah. Jika engkau mau mengerjakan sesuatu untukku, setelah selesai, akupun bersedia melakukan sesuatu menurut yang engkau kehendaki. Cara begitu, tentu takkan merugikan engkau, bukan?”

Cong To seorang tokoh yang keras perangainya. Karena merasa kalah bertaruh, sekalipun belum pernah berjanji tetapi menurut kepantasan, ia harus bersedia melakukan perintah dara itu. Tetapi dara itu pun tak mau terlalu menghilangkan mukanya dan sedia juga melakukan perintahnya juga.

“Ah, jika kutolak, tentu orang akan mencap aku sebagai tokoh yang mau menang sendiri!” diam-diam Cong To menimang.

Setelah mengambil keputusan, ia menghela napas, ujarnya, “Sekalipun belum berjanji, tetapi karena sudah kalah bertaruh, maka baiklah kita atur begini saja. Lima tahun sebagai batas waktu. Selama dalam 5 tahun itu kalau engkau berjumpa dengan pengemis tun ini, aku tentu akan mengerjakan sebuah perintahmu!”

“Kalau kusuruh engkau mati, apakah engkau juga mau?” si dara tersenyum.

Wajah Pengemis-sakti Cong To mengerut serius, “Apa yang pengemis tua telah menyanggupi, adalah ibarat kuda lepas dari kendali. Soal mati hidup, tak kuhiraukan. Hanya sayang dunia begini luas, dikuatirkan dalam waktu 5 tahun engkau tak sempat ketemu dengan pengemis tua lagi!”

Si dara tertawa, “Soal yang akan datang siapakah yang dapat meramalkan. Kalau memang benar tak dapat bertemu dengan engkau, itu berarti aku menaruh bertaruh secara sia-sia.”

Kemudian Cong To menyatakan hendak tinggalkan tempat itu. Sebelumnya ia menanyakan kalau dara itu masih hendak mempunyai sesuatu keperluan lagi dengannya.

Tetapi rupanya dara itu tak menghiraukan pengemis itu karena sudah berpaling menatap Ih Thian-heng dengan dingin, “Engkau memiliki gelar sebagai Ksatrya-utama-Sin ciu. Kabarnya kaum persilatan golongan Putih maupun Hitam daerah Tionggoan, semua menghormat kepadamu. Itu memang bukan salahmu tetapi salah mereka yang punya mata tetapi tak bisa melihat sehingga tak dapat membedakan yang baik dengan yang jahat!”

Ih Thian-heng tertawa menyeringai, “Batas antara Kejahatan dan Kebaikan itu sukar ditafsirkan dengan sepatah dua patah perkataan. Ah, soal yang nona kemukakan itu terlalu berat!”

“Kalau begitu, kuganti saja dengan acara yang kecil. Di antara kalian bertiga, kecuali Pengemis tua Cong To, siapakah yang paling sakti kepandaiannya?” seru si dara.

Siangkwan Ko amat berterima kasih kepada Ih Thian-heng yang telah menolong puterinya. Maka sebelum tuan rumah membuka mulut, cepat ia menyelutuk, “Dalam soal kewibawaan nama dan kepandaian silat, sudah tentu saudara Ih lebih tinggi dari diriku!”

Demi untuk menyatakan rasa terima kasihnya, ia rela mengakui kepandaiannya lebih rendah. Habis berkata, jago tua itu tundukkan kepala. Sikapnya agak berduka.

Ih Thian-heng mengurut janggotnya pelahan-lahan dan tertawa, “Jika membicarakan soal tokoh sakti dalam dunia persilatan Tiong-goan, sungguh tiada habis-habisnya. Setiap angkatan tentu melahirkan orang-orang yang cemerlang. Tetapi pada umumnya orang yang berilmu sakti itu tentu angkuh dan aneh perangainya. Kebanyakan mereka mengasingkan diri tak mau berkeliaran di dunia persilatan! Kami bertiga ini, walaupun mempunyai nama di dunia persilatan, tetapi belumlah memadai apabila disebut sebagai tokoh cemerlang dunia persilatan!”

Dara baju ungu tersenyum, “Benar, memang dalam dunia persilatan Tiong-goan dewasa ini, kecuali beberapa partai persilatan golongan Ceng-pay, masih terdapat It-kiong, Ji-koh dan ketiga Marga. Karena It-kiong itu termasuk dalam urutan pertama, tentulah para imam yang mengepalai It-kiong itu memiliki kepandaian yang hebat!”

Ih Thian-heng gelengkan kepala, “It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, sama-sama sejajar namanya. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Ada yang dahsyat ilmusilatnya, ada yang mengandalkan ilmu Racun, ada yang termasyhur kepandaiannya merancang dan ada pula yang mahir dalam ilmu barisan. Belum terhitung tokoh-sakti yang tak sering muncul. Merekapun memiliki kepandaian tersendiri. Tetapi kesemuanya itu belumlah dapat digolongkan sebagai tokoh yang paling menonjol sendiri. Tentang diriku dan saudara Cong, sekalipun mempunyai nama yang tak berarti tetapi hanya beginilah, tiada mempunyai pangkalan perguruan suatu apa…..”

Cong To tertawa dingin, “Akh… Jangan sungkan dan merendah diri. Memang kalau pengemis tua bergelandangan kemana-mana seperti kelinci liar itu, suatu kenyataan. Tetapi kalau saudara Ih, mana dapat dipersamakan dengan pengemis tua?”

Ih Thian-heng tetap ganda tertawa, “Ah, hanya desus desus yang tak nyata, mengapa saudara Cong mau percaya!”

ooo000ooo

Dendam dan Asmara.

Pada saat si dara hendak membuka mulut, Ih Thian-heng sudah mendahului, “Jika berbicara tentang tokoh sakti yang tinggi ilmunya, kiranya paderi Hui Gong dari gereja Siau-lim-si itu dapat dikemukakan. Di seluruh jagad, sukar mencari orang yang mampu menandinginya….”

Sekonyong-konyong nenek Bwe gentakkan tongkatnya ke lantai pe-lahan2. “Entah sampai dimanakah tingginya kepandaian paderi itu? Apakah aku dapat berhadapan dengannya?”

“Ilmu silat sukar diukur tingginya. Sampai, mencapai batas yang bagaimana tingginya, sukar dikatakan,” seru Ih Thian-heng.

“Kalau ada yang digolongkan ilmu silat golongan Ceng-pay, tentulah ada ilmu silat yang termasuk Pian-kek (ganas)……” seru si dara.

“Nona pintar sekali. Jika mempunyai kepandaian meramal sesuatu yang belum terjadi….” baru Ih Thian-heng berkata sampai di situ, si dara sudah berseru, “Tak perlu jual pameran kosong, lekas lanjutkan keteranganmu!”

Ih Thian-heng benar-benar seorang yang penuh toleransi. Siapapun yang merangsangnya dengan ucapan maupun sikap menantang, dia selalu dapat menghadapi dengan sabar. Sedikit pun tak mengunjuk perubahan air muka, tetap tertawa-tawa.

Sambil mengurut jenggot, ia melanjutkan, “Pada umumnya orang mengambil jalan samping sehingga sukar berhasil. Tetapi sesungguhnya di dunia persilatan Tiong-goan dewasa ini terdapat seorang yang mengkhususkan diri dalam ilm usilat aliran Pian-kek dan telah berhasil. Dia adalah seorang wanita …….”

Belum habis Ih Thian-heng berkata, Siangkwan Wan-ceng cepat menyelutuk, “Apakah yang engkau maksudkan itu suhuku?”

“Benar, memang suhu nona Hen-thian It-ki!” sahut Ih Thian-heng.

Dara baju ungu itu kerutkan alis dan berkata, “Jika orang mampu mengalahkan Hui Gong taysu dan Hen-thian It-ki, barulah orang itu dapat dianggap sebagai tokoh nomor satu di dunia?”

Sambut Ih Thian-heng, “Hui Gong taysu dan Hen-thian It-ki, memang dapat dianggap sebagai tokoh luar biasa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan sejak ratusan tahun ini. Keduaya mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, dua datuk golongan Ceng-pay dan Sia-pay!”

Seru si dara baju ungu, “Kalau begitu, kalian beberapa orang ini hanya tergolong orang-orang persilatan yang tak berarti?”

Sahut Ih Thian-heng, “Pada umumnya kaum persilatan Tiong-goan mengangkat nama karena memiliki kepandaian bersilat dengan tangan kosong, menggunakan senjata dan ilmu meringankan tubuh. Sekalipun tergolong pada aliran Pian-kek, paling2 orang hanya memiliki kelebihan dalam gerakan tubuh dan kegesitan. Yang benar-benar tergolong ajaib semisal ilmu Meraga-sukma dan lain-lain, selama ini belum pernah kudengar di Tiong-goan terdapat tokoh yang mahir ilmu itu.”

Siangkwan Ko menyambuti, “Saudara Ih memang benar. Dalam pertandingan adu kesaktian, hanya adu pukulan dan adu tenaga yang diutamakan untuk merebut kemenangan. Ilmu sihir yang tergolong aliran Sia-pay (Hitam), sekalipun menang tetapi tak dapat digolongkan sebagai ilmu silat.”

Dara baju ungu itu amat cerdas. Sudah tentu ia dapat menangkap tujuan kata-kata kedua orang itu. Dengan tertawa tawar ia berseru, “Benarkah kalian menganggap caraku memenangkan pengemis Cong To tadi sebagai ilmu sihir Aliran hitam, bukankah begitu?”

“Ah, pengalamanku sempit,” kata Ih Thian-heng.

“Apa yang nona gunakan tadi benar-benar aku tak mengerti. Hanya para orang yang hadir di ruangan ini menganggap bahwa ilmu nona tadi hampir mirip dengan ilmu sihir Ih-hun-tay-hwat (ilmu memindah nyawa) yang pernah terdengar dalam cerita.”

Dara baju ungu itu tertawa melengking, “Walaupun memang banyak kemiripan antara Ih hun-tay-hwat dengan ilmu yang kugunakan tadi. Tetapi ilmuku itu sama sekali bukan Ih-hun-tay-hwat. Menilik engkau berpengalaman luas, tentulah sedikit2 dapat mengetahui Jenis alirannya.”

“Ah, nona keliwat memuji,” seru Ih Thian-heng.

Tiba-tiba wajah dara itu mengerut serius, ujarnya, “Kalian selalu mengatakan bahwa aku telah gunakan ilmu sihir dan tidak tergolong ilmusilat. Apakah kalian berniat hendak adu kepandaian silat dengan aku?”

Diam-diam Siangkwan Ko menimang. Menilik umur dara itu lebih muda dari anaknya (Siang-kwan Wan-ceng) sekalipun luar biasa cerdas dan taruh kata begitu lahir sudah berlatih silat, pun hanya selama 17 tahun belajar silat. Betapapun cerdas dan berbakatnya, tentu tak dapat mengalahkan dia dalam tiga jurus. Dan jika menilik kepandaian kedua suhengnya tadi, kiranya kepandaian dara itu tentu takkan jauh terpautnya.

“Jika ingin mengadu ilmu pukulan, akulah yang pertama ingin menerima pelajaran nona, “serunya sesaat kemudian.

Dara baju ungu itu tertawa dingin, “Apakah engkau yakin ilmu silatmu lebih tinggi dari Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng?”

Siangkwan Ko tertegun, serunya, “Ini….”

“Jangan ini itu!” tukas si dara, “jika engkau merasa tak dapat melebihi Ih Thian-heng, lebih baik engkau undurkan diri saja agar jangan membuang waktuku!”

Karena merasa berterima kasih atas pertolongan Ih Thian-heng kepada puterinya, maka relalah jago tua Siangkwan itu mengalah. Ia diam saja.

Ih Thian-heng tersenyum, serunya Jika nona tetap menghendaki memberi pelajaran kepadaku, terpaksa aku akan menurut. Tetapi apakah harus bertempur sampai ada yang kalah dan menang atau hanya sekedar beberapa jurus saja?”

“Sudah tentu sampai ada yang kalah dan menang.

Ih Thian-heng terkesiap. Ia tak duga kalau nona itu menghendaki cara lain dari yang tadi.

Memandang ke muka, dilihatnya wajah nona itu bersemu merah, sepasang alisnya yang melengkung bagai dalam lukisan. Setitik pun tak mengunjuk tanda-tanda bahwa nona itu memiliki ilmu tenaga-sakti. Diam-diam Ih Thian-heng curiga apakah nona itu telah mencapai tataran ilmu tenaga-dalam yang sedemikian rupa sehingga dapat menyembunyikan ciri-ciri seorang yang memiliki tenaga-dalam tinggi?

Dia adalah seorang yang selalu bersikap hati-hati sekali. Jika merasa tak sanggup menang, tentu tak mau sembarangan turun tangan. Setelah merenung sekian lama, ia tertawa, “Baik, silahkan nona mulai!”

Tiba-tiba nona itu berseru dengan wajah tak senang, “Kalau aku sungguh-sungguh bertempur dengan engkau, bukankah akan mengotorkan tanganku?”

Kembali Ih Thian-heng terkesiap, serunya, “Kalau tidak dengan adu pukulan lalu dengan cara bagaimana?”

Dara itu kicupkan biji matanya sejenak lalu tertawa mengikik, “Mundurlah dua langkah!”

Walaupun heran tetapi Ih Thian-heng menurut.

“Sekarang hati-hatilah. Aku hendak melancarkan jurus Bintang-mengejar-bulan. Melangkah maju dan gunakan dua buah jari kananku untuk menutuk jalan darah di dadamu!” seru si dara.

Ih Thian-heng terdiam sejenak lalu tertawa, “ Oh, apakah nona hendak mengadu kepandaian secara lisan?”

“Engkau akan menghindar atau akan menangkis? Jariku sudah hampir mengenai jalan darahmu!” tanpa menghiraukan si dara tetap berseru.

Terpaksa Ih Thian-heng menyahut, “Akan kugunakan jurus Merentang-busur-memanah-alap2. Setelah menghindarkan jalandarah yang hendak engkau tutuk itu, tangan kiriku balas memukul dada. Kemudian tangan kananku menyambar pergelangan tangan nona!”

Seru si dara, “Kugunakan gerak-langkah Berbalik-menginjak-tujuh-bintang untuk menghindari:alik-ruenginjak-tujuh-bintang untuk menghindari tangan kirimu dan dengan cepat kuturunkan kedua jariku menutuk jalandarah di perutmu. Tangan kiriku menampar jalandarah pada bahumu! “

Ih Thian-heng tertawa, “Jurus kuganti dengan Bulan-berkisar-bunga-membayang!”

“Kugunakan jurus Kuda-melintas-pesat, sekaligus kuserang dua buah jalandarah pada perut dan dadamu!” seru si dara.

Sejenak merenung Ih Thian-heng bertanya, “Apakah nona tak terlambat?”

Sahut si dara, “Jurus Awan-menutup-lima-gunung yang engkau hendak tutukkan ke kepalaku itu memakai tangan kiri atau tanganmu yang kanan?”

Kembali Ih Thian-heng merenung. Sejenak kemudian baru ia menjawab, “Kugunakan tangan kanan.”

“Itu benar,” seru si dara, “jalandarah Thian-coan merupakan uratnadi saluran jantung. Dengan jurus Kuda-melintas-pesat, tangan kiriku dari bawah menyerang ke atas. Jika engkau tak menyurut tentu jalandarahmu itu dapat kulukai dulu. Jika tangan kananmu terluka, apakah dapat digunakan?”

“Benar,” sahut Ih Thian-heng, “tangan kiri dengan jurus Kuda-besi-muncul-keluar, menyerang samping punggungmu. Cobalah saja, siapa yang lebih dulu terluka.”

“Tangan kananku sudah menutuk ke arah jalandarah Hian-ki dan lenganmu yang kanan sudah terluka. Meskipun tanganmu kiri dapat memukul punggungku tetapi engkau tak mampu menolong lengan kananmu yang kututuk jalandarahnya itu!”

Kata Ih Thian-heng, “Jika kugunakan jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan, kedua tanganku kujulurkan ke muka untuk menyiak kedua tanganmu, apakah gerakan itu tak dapat melukaimu?”

Si dara menjawab, “Bertempur dengan musuh, siapa yang menyerang lebih dulu tentu dapat menguasai kesempatan. Jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan walaupun agak terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan untuk merebut kemenangan dalam kekalahan. Dan jika pada saat itu aku segera menggunakan gerak Jembatan-gunung, menengadah dan menekuk tubuh sampai menyentuh tanah, untuk menghindari seranganmu Menyiak-awan-mengambil-bulan.”

Ih Thian-heng tertawa, “Saat itu nona sudah kehilangan kesempatan. Seluruh jalandarah tubuh nona berada dalam ancaman jariku. Mungkin tokoh sakti yang manapun, sukar menghindarkan diri.”

“Belum tentu,” si dara menyelutuk, “dengan meminjam tenaga pada saat punggungku melekat di tanah, kuayunkan kedua kakiku untuk menendang jalandarah Yang-kwan pada betis kananmu dan mendupak jalandarah Te-ki pada betismu kiri, engkau akan menghindar atau tidak?”

Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Nona cerdik luar biasa dan dapat berpikir dengan tangkas. Memang gerakanmu itu tepat sekali. Tetapi dengan jurus apakah engkau gerakkan kakimu itu?”

Si dara tersenyum, “Tendangan kakiku yang kiri menggunakan jurus Ksatrya-sakti-melempar-pena. Dan gerakan kaki yang kanan dengan jurus Pengemis-menggebuk-anjing.”

“Jurus Ksatrya-sakti-melempar-pena itu, masih diterima,” kata Ih Thian-heng, “tetapi nama jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu, mengingatkan aku akan sebuah jurus yang mirip dengan jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu!”

“Jurusmu itu mungkin jurus Dewi rase-menghadap-dewa.”

“Gerakan, diciptakan oleh angan2 dan nama ditetapkan orang. Kurasa tendangan kaki kanan nona itu seharusnya disebut jurus Siluman-rase-menyembur-bunga. Kiranya lebih sedap didengar dari pada nama yang nona gunakan Pengemis-menggebuk-anjing.”

Kata si dara, “Delapan jurus ilmu tendangan Menjelajah-dunia dari perguruan Lam-hay-bun, khusus menggunakan kedua belah kaki untuk menundukkan lawan. Yang kugunakan tadi baru dua jurus saja, masih ada enambelas jurus. Setiap jurus selalu mengarah pada jalandarah berbahaya. Untuk kedua buah jurus tendanganku tadi, engkau merasa kalah atau tidak?”

Diam-diam Ih Thian-heng menimang, “Dara itu tangkas sekali bicara, kepandaiannyapun amat luas. Apakah nama jurus2 itu memang sengaja diganti untuk memaki diriku tetapi memang gerakan kedua kakinya itu, memaksa aku menyurut mundur.”

Sampai lama Ih Thian-heng tak dapat menemukan cara untuk memecahkan serangan dara itu. Akhirnya terpaksa ia berkata, “Aku menggunakan gerakau Ikan-lehi-melenting-membalik, untuk menghindari tendangan nona dan siap menunggu serangan berikutnya.”

“Terima kasih….. begitu engkau mundur, tak ku-sia2kan kesempatan mengejar. Tahukah akan jurus Bayangan-naga-mendatar-lurus?”

Wajah Ih Thian-heng berobah makin serius, serunya, “Akan kugunakan jurus Ayam-emas-menebar-sayap yang terus kuganti dengan jurus Awan-musim semi-bertebaran untuk mengurangi kesibukan!”

“Aku akan menggunakan jurus Memotong bunga bwe, yang kuganti dengan jurus Burung hong-naik-naga-menjulang!” seru si dara.

Adu ilmu silat secara lisan itu ternyata meliputi ilmusilat dari berbagai partai persilatan. Tampak wajah Ih Thian-heng makin lama makin gelap dan kepalanya mulai mengucur keringat. Semisal orang yang bertempur sungguh-sungguh.

Tetapi si dara tetap bersenyum simpul. Mulutnya nyericis menyebutkan berbagai jurus ilmusilat seperti air bah yang melanda sungai bengawan.

Sekalian yang hadir disitu adalah orang-orang persilatan ternama. Mereka mengerti jurus2 yang diucapkan oleh kedua orang itu. Diam-diam mereka tegang mendengar si dara makin lama makin gencar mengucapkan jurus2 untuk menyerang Ih Thian-heng. Rasa kagum dan terkejut meliputi hati sekalian yang hadir.

Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko, lelaki tinggi besar atau suheng dari dara baju ungu itu, si Kaki-satu, si Bungkuk, si Pendek dan lain-lain, semua ikut terpikat mengikuti pertandingan secara lisan yang dahsyat itu. Di luar kesadaran, mereka pun ikut memikir untuk memecahkan setiap jurus-lisan yang dilancarkan si dara.

Adu silat secara lisan itu makin lama makin hebat. Setiap kali menjawab, Ih Thian-heng harus berpikir sampai beberapa jenak. Kebalikannya, si dara enak2 dan cepat sekali mengucapkan jurusnya, Seolah-olah tanpa berpikir lagi.

Saat itu bukan Ih Thian-heng saja yang kepalanya basah kuyup dengan keringat dan wajah makin mengerut gelap, Pun Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko dan beberapa tokoh lain yang menyaksikan di pinggir, juga tampak tegang sekali seperti menghadapi seorang lawan yang berat.

Tampak Ih Thian-heng mengusap peluh di kepalanya dan menghela napas, ujarnya, “Nona benar-benar hebat sekali. Dapat mengetahui segala ilruu simpanan dari setiap partai persilatan. Dapat pula menggunakannya secara cepat. Aku benar-benar merasa kagum….”

Si dara agak kisarkan kepala dan bertanya, “Kalau begitu, apakah engkau sudah mengaku kalah?”

Ih Thian-heng agak tertegun, sahutnya. “Walaupun nona lebih unggul dalam pertempuran lisan tetapi hal itu karena nona dapat memahami pelajaran2 di luar kepala. Sudah tentu berbeda dengan pertempuran secara sungguh-sungguh!”

Si dara hanya tersenyum simpul tak menyahut. Tetapi senyumnya itu mengandung rahasia yang menyebabkan Ih Thian-heng dan sekalian tokoh-tokoh saling menduga-duga.

Kemudian Ih Thian-heng tertawa menyeringai, serunya, “Memang pelajaran ilmusilat itu mengandalkan kecerdasan otak. Tetapi yang penting adalah kesempurnaannya berlatih. Karena sama-sama menggunakan sebuah jurus, belum tentu serupa dahsyat dan hebatnya ..”

“Huh, kiranya karena menggandalkan tenagamu yang hebat, engkau masih belum puas kalau belum bertempur sungguh-sungguh dengan aku. Jika aku mau melakukan pertempuran itu, perlu apa aku membuang waktu untuk adu mulut begitu lama?” ia menghela napas.

Sejenak kemudian ia mengisar tubuh dan berkata, “Sudahlah, Bwe-nio mari kita pergi!”

Dengan penuh kasih sayang, nenek berambut putih itu memandangnya sejenak. Tiba-tiba ia hunjamkan tongkatnya ke lantai, lalu berpaling deliki mata ke arah Ih Thian-heng.

“Tidak!” serunya dengan suara sarat, “engkau telah ditawannya. Kalau hari ini tiada penyelesaian, bukankah perguruan Lam-hay-bun kita akan ditertawakan orang?”

Saat itu wajah Ih Thian-heng tampak tenang kembali. Ia menyahut dengan tersenyum, “Harap, nenek jangan salah mengerti. Walaupun orang sebawahanku membawa nona itu kemari, tetapi mereka tak tahu sama sekali. Apalagi mereka membawanya dengan sopan dan sekali-kali tak menggunakan kekerasan. Kalau tak percaya, boleh tanya pada nona….”

Cepat si dara menyambar lengan baju si nenek serunya, “Urusan yang lalu, sudahlah! perlu apa diungkat lagi?”

Sambil berkata mata si dara melekat pada Pengemis-sakti, merenung sejenak lalu berkata dengan berbisik, “Tadi engkau sudah meluluskan melakukan sebuah hal bagiku. Sekarang aku hendak menagih janjimu!”

Pengemis-sakti Cong To merenung, serunya, “Pengemis tua sudah berjanji. Lima tahun kemudian maupun hari ini, sama saja. Silahkan engkau mengatakan!”

Dara baju ungu itu berkata pelahan, “Kurasa….” berkata sampai di situ ia tundukkan kepala, matanya tampak berkaca-kaca dan wajahnyapun bersemu merah.

Lewat beberapa saat kemudian baru ia melanjutkan lagi, “Soal, kelak kita bicara lagilah!”

Pengemis-sakti tertegun, serunya, “Sekali pengemis tua sudah berjanji, tetap takkan menyesal. Betapapun sulitnya, harap nona mengatakan. Ke lautan maupun ke dalam api, tetap kupergi!”

Dara baju ungu itu palingkan kepala. Dengan mata berkilat-kilat ia menghela napas pelahan, “Sudahlah, aku tak peduli lagi kepadanya! Kita sudah berjanji bertaruh!”

“Nak, siapakah yang engkau maksudkan?” tanya si nenek dengan heran.

Dara itu gelengkan kepala. “Maukah engkau jangan bertanya kepadaku?”

Lelaki tinggi besar cepat menyelutuk, “Kalau sumoay tak ingin mengungkat lagi peristiwa yang lampau, lebih baik kita lekas pulang!”

Sedang si Kaki-buntung deliki mata kepada Ih Thian-heng dan Siangkwan Ko lalu berseru dingin, “Hm, terlalu murah bagi mereka itu!” dengusnya.

“Apa? Apa engkau kira kami takut kepadamu? “ teriak Siangkwan Ko marah.

Sekali tekankan tongkatnya ke tanah, si Buntung terus loncat maju. Tetapi pada saat ia hendak menyerang, si tinggi besar cepat meneriakinya, “Kembali!”

Juga Ih Thian-heng cepat melangkah mencegah Siangkwan Ko, “Harap saudara Siangkwan memandang mukaku dan bersabar diri! “

Si Buntung patuh. Terpaksa ia kembali ke tempatnya semula.

Sedangkan saat itu tanpa berpaling lagi, si dara terus melangkah keluar dari pintu. Si nenek berrambut putih tetap mengikutinya di belakang.

Keenam bocah bersenjata pedang yang menjaga di pintu tadi, bingung. Mereka belum mendapat perintah Ih Thian-heng tetapi tahu kalau Ih Thian heng tak mau bertempur dengan rombongan orang Lam-hay-bun. Keenam bocah itu tak mau menghadang orang Lam-hay-bun tetapi pun tak berani melepaskan mereka.

Begitu pula si Bungkuk dan si Pendek yang menjaga di ambang pintu marah karena melihat keenam bocah itu tak mau menyingkir. Segera ia melangkah masuk dan membentak mereka, “Hai, apakah kalian buta dan tak mau menyisih?”

Sambil lintangkan pedang di muka dada untut melindungi diri, keenam bocah itu tak mau menyambut perintah si Bungkuk dan si Pendek, tetap mereka tak mau menyingkir.

Melihat si Bungkuk dan si Pendek, Ih Thian-heng menegur dengan tertawa, “Saudara Au dan saudara Oh, kapankah kalian menggabungkan diri dengan Lam-hay-bun?”

Kedua tokoh itu memandang Ih Thian-heng dengan dingin tetapi tak mau menyahut apa-apa.

Kembali Ih Thian-heng tertawa tawar lalu memberi perintah kepada keenam bocah itu supaya menyingkir.

Karena Ih Thian-heng yang memberi perintah, barulah keenam bocah itu tunduk dan menyisih.

Si Bungkuk dan si Pendek pun mundur lagi untuk memberi jalan. Dengan memandang lurus ke muka, si dara baju ungu pelahan2 melangkah keluar.

Memandang bayangan dara itu, timbullah rasa rawan dalam hati Ih Thian-heng. Diam-diam ia menimang, “Dalam pertempuran malam ini, dia tampak berwibawa sekali. Seharusnya dia merasa gembira. Tetapi aneh, mengapa dia malah tampak bersedih hati….?”

Tak berapa lama rombongan dara baju ungu yang dikawal dari muka dan belakang oleh si nenek berambut putih dan kedua tokoh Bungkuk dan Pendek, lenyap dalam kegelapan malam.

Lelaki tinggi besar yang berpakaian indah dan si Kaki-buntung, masih berdiri di luar pintu. Lelaki tinggi besar mengangkat tangan memberi hormat, “Peristiwa malam ini, sudah lewat. Kuharap saudara apabila kelak bertemu dengan sumoayku, suka mengalah.”

Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya. “Malam ini kami sekalian barulah terbuka mata dan amat mengagumi sumoay saudara yang begitu tangkas dan faham tentang ilmusilat dari setiap partai persilatan. Suatu hal yang benar-benar jarang terdapat mengingat usianya yang masih begitu muda belia. Aku sendiri, secara peribadi, merasa kagum sekali. Kelak apabila mempunyai rejeki bertemu lagi sudah tentu akan memperlakukannya dengan hormat!”

Lelaki tinggi besar itu tertawa nyaring, “Saudara Ih seorang tokoh yang termasyhttr, sudah tentu akan menepati ucapan. Lebih dulu kuhaturkan terima kasih,” katanya memberi hormat lalu berputar tubuh dan melangkah pergi.

Cepat Ih Thian-heng meluncur ke ambang pintu dan balas memberi hormat!

“Harap saudara suka berhenti sebentar. Sukalah saudara memberitahukan nama saudara yang mulia.”

Lelaki tinggi besar itu berpaling muka dan tertawa, “Aku yang rendah ini bernama Ong Kwan-ting.”

Habis berkata ia terus Iari dan menghilang dalam kegelapan malam. Si Kaki-buntung pun segera menyusulnya.

Setelah itu barulah Ih Thian-heng berputar tubuh dan memberi hormat kepada Cong To serta Siangkwan Ko, “Saudara Siangkwan yang menelap dan mengepalai kaum persilatan daerah Se-pak, tentu jarang sekali datang ke Tiong-goan. Begitu pula saudara Cong To yang selalu mengembara di dunia persilatan, juga suatu peristiwa yang suka terjadi dapat bertemu di sini. Ijinkan aku sebagai tuan rumah hendak mengundang kedua saudara untuk minum arak.”

Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, “Pengemis tua ini sudah biasa makan sisa makanan dan arak. Sungguh tak pantas menerima undangan saudara. Maaf, aku terpaksa hendak minta diri,” habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.

Saat itu Ih Thian-heng sedang berdiri di ambang pintu. Terpaksa ia menyisih ke samping untuk memberi jalan kepada pengemis tua.

Kebalikannya Siangkwan Ko marah karena melihat sikap Cong To yang begitu dingin dan angkuh. Segera ia berseru memaki, “Hm, pengemis hina! Tak tahu diri! “

Cong To berpaling dan tertawa nyaring, sahutnya, “Sejak dahulu hingga kini, tiada perjamuan yang baik dan tiada pertemuan yang bagus. Pengemis tua hendak menasehatimu sepatah dua patah kata. Lebih baik jangan engkau rakus makan….”

Tanpa menunggu reaksi dari Siangkwan Ko dan Ih Thian-heng, pengemis sakti itu terus loncat lari.

Ih Thian-heng kerutkan alis. Kerutan itu menampilkan nafsu membunuh yang menyala. Tetapi pada lain saat wajahnya tampak tenang kembali. Kemudian berpaling pada Siangkwan Ko ia berkata, “Saudara Cong itu memang gemar ber-olok2. Terhadap siapa pun juga dia tak pernah berlaku sungkan dan menghormat. Tetapi dia seorang ksatria yang berhati polos dan suka berterus terang.”

“Memang pernah kudengar bahwa Cong To itu seorang yang berwatak aneh dan angkuh. Ternyata apa yang kulihat malam ini, memang benar. Jika kelak dia datang ke Se-pak, tentu akan kuberi sedikit ajaran!”

“Ah, tak perlu begitu,” sahut Ih Thian-heng “ menurut yang kudengar walaupun dia memang agak ugal-ugalan tetapi dia selalu bersungguh-sungguh dam setia pada janjinya. Gemar mencampuri urusan orang dan mendamaikan sehingga dia mendapat nama yang harum.”

Sejenak merenung, Siangkwan Ko menghela napas, “ Ah, saudara Ih. Sungguh berlapang dada. Aku kagum kepada saudara. Cong To begitu congkak dan angkuh memperlakukan engkau tetapi saudara tetap membelanya. Ah, tak heran kalau kedua golongan Hitam dan Putih dalam dunia persilatan, selalu amat mengindahkan kepada saudara. Nama Sin-ciu-it-kun benar-benar bukan suatu gelar yang kosong. Karena malam ini tak berani lagi mengganggu, maka terpaksa aku tak berani menerima undangan saudara dan hendak minta diri!”

Ia menutup kata-katanya dengan menjura memberi hormat kepada Ih Thian-heng. Ih Thian-heng tersipu2 membalas hormat, “ Ah, kalau saudara memang sudah memutuskan hendak pergi, akupun tak berani menahan lebih lama. Maaf, aku tak dapat mengantar…. “

Ketika melangkah sampai ke ambang pintu, terlihat Siangkwan Ko berpaling lagi, serunya, “Atas budi kebaikan saudara Ih, aku merasa berterima kasih tak terhingga ……”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Ada sedikit perkataan yang kalau tak kunyatakan tentu menyesakkan dada.”

“Ah, silahkan saudara Siangkwan mengatakan,” seru Ih Thian-heng.

“Adakah saudara Ih tahu maksud kedatanganku malam ini?” seru Siangkwan Ko.

“Apakah saudara Siangkwan tidak tertarik karena kitab pusaka Lam-hay-bun yang termasyhur itu? “ kata Ih Thian-heng.

Siangkwan Ko menghela napas, sahutnya, “Dugaan saudara tepat sekali. Saat ini di sekeliling penjuru kota Lok-yang, penuh dengan tokoh-tokoh persilatan. Bukan saja dari fihak It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh masing-masing telah mengutus wakilnya, pun juga tokoh-tokoh dari Siau-lim-si, Bu-tong dan lain-lain partai juga telah mengirim jago2nya. Oleh karena itu mudah didengar bahwa peristiwa penawanan si dara baju ungu oleh anakbuah saudara Ih itu tentu cepat akan tersiar diluar….”

“Terima kasih atas petunjuk saudara. Sungguh aku belum sempat mendengar hal itu,” sahut Ih Thian-heng.

Siangkwan Ko terdiam sejenak lalu berkata pula, “Selain peristiwa penawanan dara Lam-hay-bun itu, dalam dunia persilatan terbetik pula sebuah peristiwa besar ….” tiba-tiba ia diam.

“Adakala peristiwa itu mempunyai hubungan dengan diriku?” tanya Ih Thian-heng.

Wajah Siangkwan Ko berobah serius. Ia melangkah mundur lagi pelahan2 kemudian berkata dengan nada yang sarat, “Sebelum berjumpa dengan saudara Ih, memang agak terpengaruh perasaanku mendengar berita itu. Tetapi setelah malam ini berkenalan dengan saudara, barulah kutahu bahwa ada orang yang sengaja memfitnah. Tetapi hal itu merupakan persoalan besar. baik saudara Ih bersiap-siap sebelumnya!”

“Soal apakah sampai sedemikian gawatnya?” Ih Thian- heng heran.

“Hai? Apakah sama sekali saudara tak pernah mendengar?” Siangkwan Ko juga heran.

Ih Thian-heng menandaskan bahwa ia benar-benar tak tahu. ia minta Siangkwan Ko segera menjelaskan.

Berkata Siangkwan Ko, “Pada waktu akhir ini, dunia persilatan memang mendesas-desuskan tentang diri saudara Ih. Oleh karena semua partai persilatan sama mempunyai mata2 maka mereka dapat mangetahui segala sepak terjang yang terjadi dalam dunia persilatan. Adakah soal itu benar atau palsu, aku tak berani menarik kesimpulan. Yang nyata soal itu telah menarik perhatian It-kong, ji-koh dan Sam-poh. Akupun datang kemari karena ada hubungan dengan soal ini.”

Ih Thian-heng kerutkan dahi, menghela napas, “Ah, bahaya yang timbul dalam dunia persilatan itu memang sukar dijaga. Entah bagaimanakah pendapat saudara?”

Sejenak Siangkwan berpaling memandang ke arah puterinya, lalu berkata, “Telah kukatakan tadi bahwa sebelum bertemu dengan saudara, pikiranku memang goyah. Setengah percaya setengah tidak terhadap berita itu. Karena anak buah it-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, telah melakukan penyelidikan dengan seksama. Walaupun hal itu belum terbukti kenyataannya, tetapi karena berita itu tersiar luas sekali sehingga orang sukar untuk tak percaya.”

Wajah Ih Thian-heng tenang kembali, kemudian tersenyum simpul, “Perguruan dan partai2 persilatan itu seharusnya menyelidiki kebenaran laporan para anak muridnya. Tetapi mengapa mereka berbondong2 datang ke daerah Tiong-goan?”

Siangkwan Ko batuk-batuk kecil, ujarnya, “Entah mengapa sampai tersiar berita tentang tindakan saudara Ih, mengundang para mata2 utusan partai2 itu ke gedung sini dan meminta keterangan mereka. Karena hal itulah maka partai2 persilatra segera mengirim tokoh-tokoh yang sakti untuk menyelidiki benar tidaknya hal itu…. “

“Terlepas dari benar tidaknya hal itu, tetapi karena mendapat perhatian begitu besar dari sekalian partai persilatan, aku merasa terkejut kali!” kata Ih Thian-heng.

“Akan kututurkan apa yang didesas-desuskan itu. Tetapi lebih dulu kuminta maaf sekiranya ada hal2 yang menyinggung perasaan saudara,” kata Siangkwan Ko.

Ih Thian-heng tertawa dan menghaturkan terima kasih atas perhatian Siangkwan Ko kepadanya. Ia minta jago itu menuturkan dengan terus tenang.

Siangkwan Ko mundur tiga langkah baru berkata, “Pertolongan saudara Ih kepada puteriku itu seumur hidup takkan kulupakan Jika saudara membutuhkan tenagaku, cukup saudara mengirim surat, aku pasti akan melakukan dengan sepenuh tenagaku.”

Ih Thian-heng memberi hormat dan mengucapkan beberapa kata merendah. Ia menyatakan bahwa kelak apabila memang perlu, ia pasti akan datang sendiri ke Kanglam untuk mengundang jago tua itu.

Katanya lebih lanjut, “Watakku selalu berterus terang. Selama ini tak mempunyai perselisihan suatu apa dengan lain orang. Oleh karena merasa tak mempunyai dendam permusuhan dengan siapapun juga, tetapi pun juga tak pernah mempunyai sahabat yang amat karib. Oleh karena nyata gedung kediamanku ini menjadi sasaran desas-desus maka akupun tak berani menahan saudara Ih lebih lama lagi. Kuberjanji, kelak apabila peristiwa itu sudah lewat aku pasti akan sering pergi ke Kanglam untuk mengundang saudara Siangkwan minum arak.”

Siangkwan Ko tertawa, ujarnya, “Desas-desus yang mongandung fitnah itu, kelak pada suatu hari pasti akan dapat tercuci bersih. Sekali lagi ku-tandaskan bahwa setelah berkenalan dengan saudara pada malam ini, aku tak ragu2 lagi terhadap diri saudara. Kuharap, tak lama lagi saudara benar-benar akan berkunjung ke daerah Kanglam. Akan kukerahkan seluruh jago2 kuat dalam wilayah itu untuk membantu usaha saudara memulihkan nama baik. Nah, kiranya sudah cukup dan ijinkan aku mohon diri.” Habis berkata ia terus melangkah keluar.

Ih Thian-heng memberi isyarat dan keempat bocah bersenjata pedang itu segera mengantar jago tua itu dengan sikap menghormat.

Sesungguhnya karena belum sembuh benar, Siangkwan Wan-ceng tak dapat menggunakan ilmu berlari cepat pada malam hari. tetapi ia memang seorang gadis yang keras kepala. Di bawah antaran pandangan mata dari Ih Thian-heng dan keenam bocah itu, ia tak mau unjuk kelemahan. Dengan mengatupkan gigi, ia lari mengikuti ayahnya.

Bibir Ih Thian-heng bar-gerak2. Tetapi sebelum terlanjur mangeluarkan kata-kata, tiba-tiba ia menelannya kembali tak jadi bicara.

Demikianlah setelah rombongan tokoh-tokoh itu pergi, yang masih berada dalam ruangan gedung itu hanya Ih Thianaheng dan keenam bocah baju putih.

Ih Thian-heng mondar-mandir beberapa jenak. Bibirnya yang selalu merekah senyum pun tak tampak lagi. Sekali ia gerakkan tangan memberi isyarat keenam bocah itu segera loncat keluar ke halaman. Mereka berpencaran ke empat penjuru. Masing-masing menjaga sebuah tempat, lalu tiga kali menamparkan tangan.

Mendengar itu, Ih Thian-heng segera menuju ke sudut ruang sebelah kiri, mengisar sebuah meja lalu berseru dengan ber-bisik2, “Matikan lampu!”

Dua bocah baju putih yang tertinggal dalam ruangan, segera memencarkan diri dan memadamkan lampu. Ruangan menjadi gelap gulita sampai orang tak dapat melihat jari jemarinya sendiri.

Pada lain saat terdengar suara ber-derak2 pelahan dan pada sudut ruangan itu terbuka sebuah pintu rahasia. Ih Thian-heng segera melangkah masuk.

ooo000ooo

Sekarang marilah kita ikuti lagi Han Ping.

Setelah muntah darah, ia merasa dadanya agak longgar. Ia terus berjalan tinggalkan desa itu. Karena merasa tak dapat menggunakan ilmu lari cepat, terpaksa ia berjalan menyusur jalan.

Sekalipun di sekitar pedesaan itu penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti, tetapi mereka sudah dikuasai dan di bawah perintah Ih Thian-heng. Oleh karena itu merekapun tak menghalangi Han Ping.

Padahal dalam bayangan Han Ping, di sepanjang jalan keluar dari desa itu, ia tentu bakal menghadapi pertempuran lagi. Oleh karena itu ia ber-siap2 menjaga setiap kemungkinan. Tetapi ternyata, ia tak menemui suatu halangan.

Sesungguhnya ia harus beristirahat untuk menyembuhkan lukanya. Tetapi karena terus menerus tegang bersiap menghadapi musuh, lukanya makin parah. Sekeluarnya dari desa, kakinya terasa sakit lentuk hingga sukar dibawa berjalan. Tetapi ia memaksakan diri untuk berjalan. Lima tombak jauhnya, rubuhlah ia di tanah.

Ia rasakan tulang belulangnya seperti terlepas. Dicobanya berusaha duduk, namun dua kali berusaha, dua kali itu juga ia rubuh lagi.

Angin malam berhembus keras sehingga rumput2 kering berhamburan ke-mana2. Apabila ia tak menyaksikan sendiri tentu ia takkan percaya bahwa desa yang sunyi dan gedung yang misterius itu ternyata penuh dikepung dengan tokoh-tokoh persilatan yang menyembunyikan dari di sekelilingnya. Dan tokoh-tokoh persilatan itu, berasal dari tempat yang ribuan li jauhnya.

Tiba-tiba teringatlah ia akan si dara baju hitam yang berkelahi dengannya kemarin. Sungguh tak pernah dinyananya bahwa seorang gadis yang lemah ternyata memiliki ilmu kepandaian begitu sakti. Memang ia sendiripun termasuk seorang yang mendapat rejeki luar biasa. Karena dari seorang pemuda yang tak bisa silat, dalam wakau hanya beberapa bukan saja ia sudah berobah menjadi seorang tokoh yang dapat digolongkan sebagai jago kelas satu. Tetapi ah . . ternyata seorang gadis pun memiliki kesaktian yang setaraf dengan dia juga. Rupanya ilmu silat itu memang benar-benar tiada batasnya.

Demikian pikirannya merana tak keruan dan ia makin letih. Tetapi pikirannya masih sadar. Tiba-tiba ia teringat bahwa saat itu pamannya, Kim Lo-ji dan Ih Seng, tentu masih berada di sekitar tempat situ mencarinya. Segera timbul pikirannya untuk berseru memanggil mereka.

Setelah kerahkan tenaga maka mulailah ia berteriak. Tetapi ah….suaranya seperti hilang. Saat itu barulah ia menyadari bahwa keadaannya tak ubah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tetap akan memaksa, bukan saja luka-dalamnya tentu akan semakin parah, pun ia akan terancam cacat seumur hidup.

Untunglah ia segera teringat akan ajaran kitab Tat mo-ih-kin keng ajaran mendiang Hui Gong taysu yang mengatakan ‘memelihara napas adalah dasar penggerak urat’.

Seketika pikirannya terbuka. Segera ia tenangkan pikiran memulangkan napas. Beberapa saat kemudian Mulailah ia gerakan kaki tangan untuk melemaskan tubuh dan melakukan pernapasan. Setelah tiga kali bernapas panjang, ia meramkan mata dan beristirahat.

Kira-kira sepeminuman teh lamanya, ia rasakan semangatnya bertambah baik. Lalu ia gerakkan kaki tangan menurut ajaran Hui Gong taysu. Ah, tulang belulangnya sakit bukan kepalang. Serasa sendi tulang terlepas dari ruasnya. Tetapi ia sudah dapat memahami isi ajaran Hui Gong taysu. Dan wataknya yang keras, menyebabken ia pantang mundur. Walaupun sakit, tetap ia melakukan gerakan. Auh…. menjerit keras ketika rasa sakit itu menyerang sampai ke ulu hati sehingga hampir ia pingsan.

Sesungguhnya puncak kesakitan itu memang sesuai dengan ajaran Hui Gong Taysu. Setelah menderita kesakitan, tertidurlah dia.

Sekarang kita tinggalkan dulu Han Ping yang terlena tidur. Kita jenguk Kim Loji dan kipas-besi-pedang-perak, Ih Seng.

ooo000ooo

Pada saat menuju ke desa tempat kediaman Ih Thian-heng, pernah pengemis sakti Cong To berkata kepada Kim Loji, “Walaupun malam ini akan terjadi keramaian, tetapi pertunjukan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Lebih baik engkau dan saudara Ih Seng bersembunyi dahulu. Aku dan anak muda ini akan masuk melihat-lihat keadaan dulu.”

Kemudian Pengemis-sakti itu pun meninggalkan pesan kalau sampai lewat tengah malam belum kembali, Kim Loji dan Ih Seng supaya menuju ke sebuah kuil kecil yang terletak kira-kira sepuluh li di sebelah utara dan menunggu di situ.

Kim Loji dan Ih Seng menyadari bahwa penyelidikan malam itu amat penting sekali. Mereka pun tak berani semabrangan bergerak masuk gedung. Setelah Pengemis-sakti dan Han Ping memasuki gedung, mereka pun segera mencari tempat sembunyi.

Tetapi menunggu sampai langit penuh bertabur bintang, tetap kedua orang orang itu belum muncul kembali. Mulailah mereka gelisah memikirkan keselamatan Han Ping.

Malam semakin larut dan tubuh kedua orang itupun mulai dingin lembab. Ketika memandang ke langit, ternyata sudah lewat tengah malam.

Ih Seng tak sabar lagi. Bisiknya kepada Kim loji, “Ji siangkong dan Cong lo-cianpwe, tentu mendapat kesulitan. Lebih baik kita menyusul masuk!”

“Jangan,” kata Kim loji, “bukankah Cong lo-cianpwe sudah memesan kita tak boleh ikut masuk? Dan memang kalau kita ikut, belum tentu ada manfaatnya Lebih baik kita tunggu lagi beberapa waktu. Jika mereka tetap tak muncul, baru kita pergi ke kuil sebelah utara untuk menunggu mereka.”

Ih Seng menurut. Malam merayap makin dingin dan akhirnya tabir malam mulai menyingkap. Haripun mulai terang. Dalam keremangan kabut pagi, mulai bayang2 pepohonan tampak.

Kim Loji mengajak maju mendekati gedung besar. Kira-kira duabelas tombak jauhnya, mereka mendengar derap langkah orang dalam gedung itu. Buru-buru Kim loji menarik Ih Seng untuk bersembunyi dalam gerumbul pohon.

Saat itu dari ufuk timur mulai tampak sinar putih. Berkat indera penglihatan yang tajam, dapatlah kedua tokoh itu melihat keadaan di sekelilingnya.

Mereka tak berani sembarangan bergerak karena tahu bahwa di sekeliling gedung itu penuh dijaga secara sembunyi oleh tokoh-tokoh lihai. Bahkan untuk menjaga keselamatan, keduanya menahan napas. Ketika memandang ke muka, mereka melihat empat orang melangkah ke luar dari gedung.

Yang paling depan adalah si Bungkuk dan si Pendek. Dan yang ketiga adalah si dara baju ungu. Di sampingnya, adalah si nenek rambut putih yang berjalan dengan tongkat. Ke empat orang itu justeru berjalan menuju ke arah tetapat Kim-loji dan Ih Seng bersembunyi.

Setelah berjalan beberapa puluh langkah, si dara tampak mengemasi rambutnya dan menghela napas rawan, “Ah, aku lelah sekali. Tak dapat berjalan selangkanpun….”

“Nak, berjalan sebentar lagi, kereta sudah menunggu kita,” kata si nenek berambut putih.

Dara itu gelengkan kepala, “Tidak bisa, kakiku tak dapat berjalan lagi. Bwe-nio yang baik, jangan memaksa akulah!”

Nenek berambut putih itu menghela napas, ujarnya, “Nak, di tempat yang begini seram tak mungkin tersedia ranjang dan kasur yang empuk. Dan lagi sekitar sini lembab dengan embun. Bagaimana engkau hendak beristirahat di sini?”

Dara baju ungu tengadahkan kepala memandang cakrawala yang mulai cerah lalu tertawa, “Berselimut langit biru, barkasur rumput hijau dan bersantap embun pagi, kepada siapakah akan meratap belas kasihan?”

Kata yang setengahnya bernada senandung itu diucapkan dengan suara halus. Senyum tawa di wajah si dara pun ikut lenyap. Dua titik airmata mengucur dari sudut matanya.

Tampak wajah si Bungkuk dan si Pendek juga ikut bersedih. Buru-buru kedua tokoh itu berpaling muka, membelakangi dara itu. Mereka tak berani memandangnya lagi.

Kiranya perasaan hati kedua tokoh itu tersentuh oleh suara si dara yang amat mengharukan.

Nenek berambut putih gelengkan kepala lalu bertanya, “Nak, apakah engkau bersedih?”

Si dara mengusap airmatanya dengan ujung lengan baju, sahutnya, “Ah, kini baru aku mengetahui. Bahwa betapa pun gembiranya seseorang, tetapi tentu mempunyai kesusahan juga….”

Ia duduk di tanah lalu berbaring di atas rumput.

Angin pagi berhembus meniup baju si dara dan rambut si nenek. Nenek itu tancapkan tongkatnya ke tanah hingga ujung tongkat menyusup sampai setengah depa dalamnya. Kemudian ia berlutut dan berkata dengan lembut, “Nak, kudukungmu supaya tidur, maukah engkau?”

Sambil sedikit picingkan mata, dara itu menolak, “Ah, tidak. Aku hendak tidur di atas rumput sini sajalah!”

“Nak, tubuhmu lemah, mana engkau tahan hawa sedingin ini?”

Dara itu tertawa rawan, “Biarlah aki menderita sakit dengan enak.”

Bwe Nio terbeliak, “Anak tolol, perlu apa begitu? Kalau sakit tentu harus minum obat. Bukankah engkau paling benci minum obat?”

“Aku mau tidur, jangan mengajak bicara,” kata dara itu. Tetapi wajahnya mengerut kesedihan. Airmatanya berderai-derai turun membasahi kedua belah pipi. Barang siapa yang menyaksikan keadaannya, tentu akan turut bersedih.

Demikianpun dengan si nenek Bwe Nio. Dua butir airmata menitik. Dari pelupuk matanya. Kemudian ia berteriak, “Nak, apakah yang menyebabkan engkau bersedih hati? Akulah yang merawatmu sejak kecil sampai dewasa. Walaupun namanya sebagai majikan dan budak, tetapi rasa kesetiaanku kepadamu melebihi seorang ibu. Asal engkau dapat menyelami perasaan induk semangmu ini, aku tentu tak mau menyimpan rahasia lagi. Dengan selambar jiwaku yang sudah tua ini, aku tentu dapat mengerjakan apa yang engkau perintahmu. Nak, maukah engkau memberitahu kepadaku?”

Tiba-tiba dara itu membuka mata dan tertawa rawan, “Bwe-nio, kalau aku sampai mati, apakah ayah dapat hidup seorang diri?”

Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga si nenek berambut putih terpesona tak dapat menyahut. Beberapa saat kemudian baru ia berkata, “Ini, ini….”

“Sejak kecil engkau sudah tinggal bersama ayah. Sudah tentu engkau harus tahu apakah ayah dapat hidup seorang diri tanpa aku? Bwe-nio, jangan membohongi aku. Kasih tahulah dengan sejujurnya!”

Kata si nenek Bwe-nio, “Ayahmu mencintai engkau sepenuh hatinya. Tetapi karena wataknya memang aneh dan dingin, dia tak mau mengunjukkan perasaan cinta itu kepadamu. Tampaknya dia memang seperti tak mengacuhkan dirimu. Tetapi sebenarnya dia selalu menanyai aku tentang keadaanmu sehari-harinya. Entah sudah berapa puluh kali ia meminta keterangan itu kepadaku….”

Bwe-nio menghela napas perlahan, lalu berkata pula, “Sejak ibumu meninggalkan dunia, selintas pandang tampak dia memang tak berduka…. “

Tiba-tiba nenek itu berobah wajahnya dan tak lanjutkan kata-katanya lebih lanjut.

Serentak dara itu berbangkit duduk. Dipandangaya si nenek lekat2. Sejenak kemudian ia bertanya, “Bwe-nio, mengapa engkau?”

“Tak apa-apa, tak apa-apa,” sahut Nenek itu sambil memulihkan semangat agar tampak setenang mungkin.

Si dara tertawa hambar, “Apakah engkau merasa telah kelepasan omong dan takut ayah menghukummu? Sebenarnya walaupun engkau tak bilang, akupun sudah tahu sejak dulu. Ayah sendiri memberitahu kepadaku bahwa ibuku sudah mati. Dan untuk mengenang ibu, ayah telah membangun sebuah makam palsu. Tetapi kesemuanya itu hanyalah untuk mengelabuhi aku. Cobalah engkau tebak, hal apa lagi yang dapat mengelabuhi aku itu?”

Bwe-nio menghela napas. Ia diam tak dapat menyahut.

Kembali dara itu rebahkan diri di atas rumput, ujarnya pula, “Sesungguhnya aku pun tahu bahwa ibuku itu masih hidup di dunia tetapi tak mau bertemu muka dengan ayah.”

Sambil memandang dara itu, Bwe-nio bertanya dengan penuh kasih sayang, “Nak, mengapa engkau tahu hal itu?”

Si dara memejamkan kedua matanya, lalu menyahut, “Menilik peyakinan ayah dalam ilmu tenaga-dalam yang begitu tinggi, sekalipun umurnya tambah 10 tahun lagi, tak mungkin dia menjadi begitu tua. Kecuali batinnya menderita suatu luka atau pukulan hebat, tak mungkin rambutnya menjadi putih dan dahinya penuh keriput!”

“Tetapi ketika ibumu masih berkumpul dengan ayahmu, ayahmu sudah berumnr 50 tahun,” kata Bwe-nio.

“Sungguhpun begitu tetapi wajah ayah tetap masih berseri segar, tampaknya seperti seorang pemuda umur 30-an tahun.”

Bwe-nio tak menyahut.

“Sejak ibu bertengkar dengan ayah, ayah amat menderita batinnya. Walaupun dia tak mau mencari ibu, tetapi penderitaan batin itu telah menyebabkan ayah menjadi begitu tua tampaknya. Ah, ayah sesungguhnya kasihan sekali. Entah apakah ibuku juga demikian…. “ kata si dara pula.

Bwe-nio mendesah, serunya, “Nak, ketika peristiwa itu terjadi engkau masih bayi. Aneh bagaimana engkau dapat mengetahuinya? Jika tak ada orang yang memberitahukan, mustahil engkau tahu!”

“Tiada orang yang memberitahu aku,” sahut si dara, “aku sendiri juga begitu. Dan lagi, kecuali ayah tiada lain orang yang berani memberitahu kepadaku. Tetapi ayah tak mungkin akan memberitahuku!”

“Ah, engkau dapat menduga begitu menandakan amat cerdas sekali….”

Si dara cepat menyeletuk, “Ayah sangat mencintai ibu. tetapi setelah ibu pergi, ayah tetap masih mau hidup. Dan rasanya akupun akan mati, ayah juga tetap hidup. Hm, sungguh kubenci sekali, lebih baik mati saja!”

“Siapa yang engkau benci?” tanya Bwe-nio heran.

“Semua orang lelaki!”

“Engkau benci mereka lalu apa gunanya engkau harus mati? “ tanya Bwe-nio.

Si dara tertawa hambar, “Ah, kalau aku mati, ayah tentu sedih dan marah. Karena aku mati di daerah Tiong-goan, dia tentu, akan menumpahkan kemarahannya pada orang Tiong-goan. Entah berapa banyak korban nanti yang akan dibunuh…”

“Sekalipun membunuh seribu sampai sepuluh ribu orang. tetapi tak dapat mengganti selembar jiwamu. Nak, apakah engkau tak pernah merasa gembira?” kata Bwe-nio, “entah berapa banyak lelaki yang jatuh di bawah kakimu. Perguruan kita telah mengerahkan segenap orangnya yang berilmu tinggi untuk melindungi keselamatanmu. Bahkan toa-suhengmu yang sebenarnya sudah diusir oleh ayahmu untuk selama-lamanya, demi menjaga keselamatanmu yang hendak pesiar ke Tiong-goan, khusus diberi kelonggaran lagi dengan syarat: harus menebus dosa dengan jasa. Jika sampai terjadi sesuatu pada dirimu, toa-suhengmu akan dianggap berbuat dua kali dosa dan tentu akan dibunuh ayahmu. Ah….dikuatirkan bukan hanya dia seorang tetapi segenap anak murid Lam-hay-bun tentu akan diamuk ayahmu!”

“Begitu akan lebih baik,” kata si dara, “kita mati semua dan semua menjadi setan di Neraka jadi tetap ada yang menemani aku bermain-main.”

Bwe-Nio menghela napas, ujarnya, “Nak, umurmu masih begitu muda, mengapa engkau memikirkan soal2 begitu .. .”

Dibelainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang.

Si dara mengangkat muka memandang wajah inang pengasuhnya. Melihat wajah Bwe-nio yang penuh kasih sayang, si dara pun menghela napas dan berkata rawan, “Ah, bukan aku memikirkan soal2 tadi, tetapi…. “

Ia berhenti, geleng-geleng kepala dan tertawa hambar, “Baiklah, takkan kukatakan hal itu. Tetapi aku benar-benar kepingin tidur. Bwe-nio, duduklah di sini menemani aku sebentar.”

Habis berkata ia terus julurkan lengan dan pejamkan mata. Tak berapa lama, ia sudah tidur pulas.

Si Bungkuk dan si Pendek melihat si dara tidur dan Bwe-nio menjaga di sampingnya, terpaksa menjaga di dekat mereka.

Rupanya dara itu lelah seka!i sehingga tertidur sampai lama. Saat itu mentari pagi mulai muncul dan menyingkap kabut pagi.

Sementara itu, Kim loji dan Ih Seng yang bersembunyi dalam gerumbul rumput, merasa gelisah saat itu. Jika terang tanah, persembunyian mereka pasti diketahui orang. Dan celakanya, sejak tadi mereka terpaksa menahan pernapasan saja karena kuatir dicium bau mereka oleh si Bungkuk atau si Pendek. Betapapun tinggi ilmu kepandaiannya namun keadaan semacam itu, tak mungkin dapat bertahan. Dan karena tak kuat lagi akhirnya Ih Seng menghamburkan napas perlahan2. Tetapi hal itu sudah cukup didengar telinga si Bungkuk dan si Pendek yang amat tajam. Tiba-tiba si Bungkuk loncat menerjang gerumbul pohon.

Selagi melayang di udara, si Bungkuk berseru, “Sahabat siapakah itu? Mengapa tak mau unjuk diri secara terang2an? Cara main bersembunyi begini sungguh tak pantas!”

Walaupun tak ingin bentrok tetapi karena sudah terlanjur kepergok, terpaksa mereka berpencar menghindari sergapan si Bungkuk.

Rupanya si Bungkuk marah karena menyergap angin. Belum kaki menginjak bumi, ia sudah hantamkan tangan kanannya ke arah Ih Seng.

Sambil menghindar lagi, Ih Seng berseru, “Bagus, aku orang she Ih, ingin mencoba juga.”

Tetapi Kim-loji cepat mencegah, “Tunggu, lebih baik kita memberi keterangan apa adanya….”

“Ah, apa yang harus diterangkan? Berkelahi dulu baru nanti bicara lagi!” kata Ih Seng seraya tebarkan kipas besinya dan menutuk si Bungkuk.

Dengan tenang, si Bungkuk menghindar ke samping lalu mendengus, “ Hm, bagus! Engkau seorang pemimpin persilatan, tetapi tingkanmu tidak sesuai dengan kedudukanmu, suka main sembunyi mencuri lihat lain orang. Kudengar engkau termasyhur dengan senjata pedang perak kipas-besimu, hari ini aku hendak berkenalan!”

Ih Seng deliki mata, “Jangan mengoceh tak berguna….”

Ih Seng tebarkan kipas besi, ia maju lagi untuk menutuk jalandarah di pelipis orang. Jalan darah itu merupakan tempat yang membuat orang pingsan.

Si Bungkuk tak berani lengah. Sambil mengendap tubuh, ia loncat menghindar ke samping. Sebelum menginjak tanah, ia bersuit pelahan dan menerjang lagi. Menghindar dan balas menyerang lagi. Menghindar dan balas menyerang itu dilakukan dengan gerak yang luar biasa cepatnya. Dan serangan itu diantar dengan jurus Matahari-bulan-saling-berebut.

Tahu bahwa pukulan si Bungkuk itu amat dahsyat, Ih Seng tak berani menangkis. Ia berputar tubuh seperti angin. Sebelum serangan si Bungkuk tiba, ia sudah berada di belakangnya dan secepat kilat menutuk belakang kepala orang bungkuk itu.

Si Bungkuk terkejut. Baru saja ia dapat berdiri tegak atau tiba-tiba belakangnya sudah diserang. Buru-buru ia gunakan jurus Terjun-kedalam-laut. Condongkan tubuh ke muka dan secepat kilat berbalik lagi untuk menghantam dan menutuk dada Ih Seng.

Melihat pertempuran itu makin lama makin dahsyat, si Pendek kuatir orang-orang itu membangunkan si dara baju ungu. Ia harus membantu menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin.

Pada saat si Bungkuk lancarkan serangan, cepat si Pendekpun loncat ke tengah gelanggang untuk menunggu Ih Seng.

Sesungguhnya Kim loji masih belum sembuh benar lukanya. Tetapi karena melihat si Pendek ikut campur, terpaksa ia pun loncat menerjang orang pendek itu.

Sedang Ih Seng ternyata tak menduga akan gerakan si Bungkuk yang dalam menghindar dapat melancarkan serangan yang sedemikian berbahaya. Terpaksa pada saat dadanya terancam tutukan jari, Ih Seng hendak menyambutnya dengan tamparan kipas besinya.

Tetapi di luar dugaan karena melihat si Pendek membantu, si Bungkuk tak senang hati. Ia tarik pulang serangannya dan mundur dua langkah ke belakang lalu menegur si Pendek, “Menyingkirlah, biar aku yang menghadapinya….”

“Bungkuk! Jangan temaha menang,” sabot si Pendek, “harus cepat-cepat diselesaikan agar jangan sampai menjagakan nona.”

Habis berkata, tanpa menghiraukan si Bungkuk lagi, ia terus maju ke muka.

Karena tak dipedulikan, marahlah si Bungkuk. Dengan mata mendelik ia berputar tubuh dan terus menghantam si Pendek!

Melihat si Bungkuk marah, terpaksa si Pendek mendengus dan mundur kembali.

Sedangkan di sana, Ih Seng pun sudah siap kembali. Ia mainkan kipasnya dan maju menyerang si Bungkuk lagi. Kim Lojipun membantunya dari samping.

Apa yang dikuatirkan si Pendek ternyata benar. Karena ketiga orang yang bertempur itu amat berisik, si nona baju ungu terbangun. Ia mengisar tubuhnya. Me!ihat itu si nenek Bwe-nio marah. Ia gentakkan tongkatnya terus hendak maju. Tetapi dicegah si dara, “Bwe-nio, jangan. Kita saksikan saja mereka berkelahi!”

Si Bungkuk tak gentar dikeroyok dua orang. Kira-kira limapuluh jurus lamanya, pertempuran itu masih seimbang. Diam-diam si tokoh Bungkuk itu marah.

Setelah menyaksikan beberapa saat, si dara berseru, “ Ah, ,akanya engkau tak dapat menang karena salah mengeluarkan jurus!”

Kemudian dara itu berseru memberi perintah, “Bungkuk, lekas keluarkan jurus Naga-hijau-pulang ke laut….”

Si Bungkuk tergetar hatinya. Buru-buru ia gunakan jurus itu untuk mencengkeram Ih Seng. Ih Seng cepat menyurut mundur tetapi kipasnya dapat direbut si Bungkuk.

Ih Seng cepat mengeluarkan pedangnya. Ketika hendak maju menyerang, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras, “Tahan!”

Tahu-tahu Han Ping muncul dan loncat ke tengah gelanggang.

Melihat pemuda itu, Kim Loji berseru girang, “Anak Ping, apakah engkau tak kurang suatu apa ….?”

Han Ping memberi hormat kepada paman gurunya itu dan menghaturkan terima kasih.

“Harap Ji siangkong mengaso dulu. Biar kubereskan si Bungkuk ini!”

Tetapi Han Ping gelengkan kepala. “Dia bertenaga hebat, bukan lawanmu!”

Jika lain orang yang mengucap, Ih Seng tentu marah. Tetapi karena yang berkata itu Han Ping, ia menurut saja. Pedang disarungkan dan mundurlah ia.

Sejenak memandang ke sekeliling, Han Ping berkata kepada si Bungkuk, “Kita selama ini tak bermusuhan. Akupun tak mau berkelahi dengan kalian. Kembalikanlah!” katanya seraya ulurkan tangan.

“Apa?” si Bungkuk, terbeliak.

Tiba-tiba Han Ping melesat maju. Sekali tangsannya bergerak tahu-tahu kipas-besi yang dicekal si Bungkuk itu sudah berpindah ke tangan Han Ping. Gerakan pemuda itu amat cepat dan luar biasa anehnya. Si Bungkuk rasakan pergelangan tangannya kesemutan. Sebelum tahu apa yang terjadi, dilihatnya kipas sudah direbut Han Ping.

“Keparat!” teriak si Bungkuk dengan murka seraya melontarkan pukulan dalam jurus ikut-angin-memecah-ombak.

Tetapi dengan mengisar ke samping, Han Ping menghindari pukulan itu. Ia tertawa dingin. Kemudian berpaling kepada Ih Seng.

“Mari kita pergi….”

Ia memberikan kipas dan terus melangkah pergi.

“Berhenti!” sekonyong-konyong terdengar lengking teriakan.

Han Ping yang sudah berjalan baberapa langkah terpaksa berhenti. Ketika berpaling tampak si dara baju ungu berdiri menggandeng tangan si nenek. Ditingkah mentari pagi, wajahnya yang cantik amat menonjol.

Entah karena hatinya berguncang atau karena tak tahan hawa, dara itu tampak gemetar.

Sejenak memandang dara itu, Han Ping menengadah memandang awan putih di langit sambil berseru dengan nada dingin, “Apa maksud nona suruh aku berhenti?”

“Bagaimana engkau merasa kalau yang kusuruh berhenti itu engkau?” si dara balas bertanya.

Han Ping tertegun, serunya, “Kalau tak suruh aku, ya sudahlah! “

Han Ping berputar tubuh ia terus lanjutkan langkahnya.

“Hm, sudah bagaimana, engkau masih mau apa lagi? “ si dara mendengus.

Han Ping berhenti dan berpaling memandang dara itu. Rupanya ia hendak marah tetapi ditahannya lagi dan terus pergi.

Dara itu berteriak dengan penasaran, “Perlu apa memandang aku? Huh, tak tahu malu!”

Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia berpaling dan membentak, “Siapa yang engkau maki?”

Tiba-tiba dara itu tersenyum, “Siapa yang kumaki, apa pedulimu?”

Diam-diam dara itu heran. Jelas semalam pemuda itu terluka berat, mengapa dalam waktu beberapa jam saja sudah sembuh kembali.

Rupanya Han Ping tak mau bentrok dengan dara itu. Sejenak merenung, ia berkata, “Sudah berapa kali aku selalu mengalah. Janganlah engkau keliwat menghina…”

Habis berkata ia berputar diri dan melangkah lagi.

Tiba-tiba dara itu lepaskan tangannya yang memegang bahu si nenek lalu lari mengejar Han Ping, serunya, “Eh, apakah engkau terburu-buru hendak mengantar jenazah….?”

Sekonyong-konyong Han Ping berpaling dan loncat ke depan si dara. “Engkau selalu menyakiti hati orang, apakah engkau kira aku tak berani….”

Sebenarnya ia ingin mengatakan, “apakah aku tak berani memukulmu?”

Tetapi tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena merasa tak pantas berkata begitu di hadapan seorang gadis.

Wut…. tiba-tiba si nenek loncat membolang-balingkan tongkatnya untuk menutuk tiga buah jalandarah di tubuh Han Ping sehingga pemuda itu terpaksa mundur tiga langkah.

Si dara hadangkan tangan mencegah, “Bwe-nio, mundurlah. Dia tentu tak berani memukul aku!”

Serangan si nenek itu membuat Han Ping terkejut gentar dan marah. Pikirnya, “Nenek ini dapat menyalurkan tenaga-dalamnya ke ujung tongkat. Lukaku baru sembuh, entah aku dapat atau tidak menghadapinya…”

Tetapi ia anggap data itu lancang mulut. Setiap kali tentu menyakiti hati orang. Jika tak diberi sedikit hajaran tentu tak kapok. Sambil mengangkat tangan kanannya, ia berseru, “Bagaimana engkau tahu kalau aku tak berani memukulmu?”

Rambut putih si nenek Bwe-nio menjulur tegang. Diam-diam ia salurkan tenaga-dalam untuk bersiap. Asal Han Ping turun tangan, ia segera akan menyerangnya.

Sambil memandang tangan Han Ping, dara itu tertawa, “Tanganmu sudah engkau acungkan. Jika tak berani memukul aku, bagaimana hendak engkau turunkan?”

Sambil tertawa cerah, dara itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Han Ping. Wajahnya yang cantik makin berseri gemilang karena bersenyum itu. Seketika tangan Han Ping serasa lentuk tak bertenaga sehingga tak jadi memukul.

“Mengapa engkau tak memukul?” tiba-tiba dara itu berseru dingin.

Han Ping termangu-mangu.

“Mengapa engkau melamun? Takut aku mati?”

ooo000ooo

Masuk sarang harimau.

Hati Han Ping tergetar, pikirnya, “Sewaktu bergaul dengan kedua nona Ting, aku tak mempunyai perasaan apa-apa. Aneh, mengapa aku terpesona melihat gadis ini tertawa?”

Cepat-cepat ia mengempos memangat. Setelah pikirannya terang, ia berkata dengan tawar, “Mengingat budi pertolonganmu kepada nona Ting Ling, biarlah kali ini aku mengalah lagi.”

Dalam berkata-kata itu, kepala Han Ping masih menengadah memandang ke langit.

Tiba-tiba hidungnya terbau serangkum hawa yang harum dan tahu-tahu. plakk, plakk….! kedua belah pipinya yang halus sudah ditampar si dara. Tetapi sedikitpun tak terasa sakit.

Dan saat itu terdengarlah si dara tertawa melengking, “Karena engkau tak memukul aku, akulah yang memukulmu!”

Han Ping terbeliak dan mundur dua langkah lalu mengangkat tangan kanannya hendak balas menampar. Tetapi hatinya serentak tergetar ketika melihat sepasang mata si dara tampak ber-linang2 airmata. Diam-diam ia menimang, “Jika kutampar, dikuatirkan dia akan mati …..”

Ah, di luar kesadarannya ia turunkan lagi tangannya itu, serunya, “Aku Ji Han Ping adalah seorang anak lelaki, masakan mau bertengkar dengan seorang anak perempuan seperti engkau!”

“Setiap membuka mulut tentu membanggakan dirimu seorang lelaki seorang jantan, hm, apa sih yang engkau banggakan sebagai seorang lelaki? Bagaimana kalau dirimu dibanding dengan Sin-ciu-it-kun?” tukas si dara.

“Sekalipun sekarang aku belum tentu dapat mengalahkannya tetapi pada suatu hari aku pasti akan menghancurkannya?”

Dara itu tertawa, “Benar, soal besok, besok bicara lagi. Kalau sekarang, bukankah engkau tak mampu mengalahkannya?”

“Aku terluka ketika berkelahi dengau gadis baju hitam sehingga tak dapat menempur Thian-heng. Jadi, belum pernah mencobanya. Bagaimana dapat dipastikan aku tak dapat mengalahkannya?” sahut Han Ping.

Mendengar nada ucapan Han Ping amat membenci Ih Thian-heng, dara itu tertawa, “Kulihat kecuali berilmu tinggi, Ih Thian-heng itu seorang yang amat baik budi, sesuai sekali dengan gelarnya sebagai Ksatrya-nomor-satu dari Sin-ciu.”

“Dia seorang manusia palsu. Lahirnya baik tetapi batinnya jahat sekali!” teriak Han Ping.

Dara itu tertawa, “Bagaimana engkau tahu dia seorang jahat? Kurasa ia masih lebih baik dari pada dirimu!”

“Aku jemu bicara dengan engkau, hm, pikiran orang perempuan!” Han Ping marah terus berputar tubuh dan sekali loncat sudah beberapa tombak jauh lalu lari sepesat-pesatnya.

Kim loji dan Ih Seng segera menyusul.

Memandang bayangan Han Ping yang lenyap dari pandangan mata, dara itu menghela-napas lalu berpaling si nenek seraya mendamprat gemas, “Si tolol yang berotak udang….”

Bwe-nio tertawa, “Engkau menamparnya, memakinya. Sudah tentu dia lari ketakutan…”

Dara itu tengadahkan kepala memandang ke langit. Tiba-tiba ia berpaling ke arah si Bungkuk dan si Pendek, serunya, “Hai, lekaslah kalian kembali ke gedung tempat Ih Thian-heng. Suruh dia dalam tiga hari, selambat-lambatnya lima hari, datang menemui aku di gunung Bik-san-cung!”

Kedua tokoh itu tertegun. Pada lain saat mereka tersipu-sipu mengiakan lalu lari balik.

Tampak sepasang alis dara itu menjungkat ke atas. Pada seri wajahnya yang cantik, memancar hawa pembunuhan yang menyala-nyala.

Bwe-nio tercengang lalu berkata dengan ramah, “Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng adalah manusia yang paling ganas di dunia persilatan Tiong-goan. Perlu apa engkau suruh dia datang ke Bik-lo-san?”

Sudut bibir dara itu merekah senyuman, ujarnya, “Aku hendak membantunya untuk mengacau balaukan dunia persilatan Tiong-goan!”

Bwe-nio kerutkan alis, serunya, “Kita pesiar ke Tiong-goan ini, takkan campur urusan orang lain. Perlu apa kita harus mengundang kesulitan?”

Sinar mata si dara yang cantik itu penuh dengan pancaran penasaran. Sahutnya dingin, “Kuingin dunia persilatan Tiong-goan, saling bunuh membunuh sendiri sehingga mayat malang melintang dan darah bergenangan membasahi bumi!”

Bwe-nio terkejut dan berpaling memandangnya. Tampak dara itu memandang ke langit biru. Menggigit bibir dan mengerut wajah dendam penasaran. Suatu sikap yang berbeda dengan keadaannya semula. Bwe-nio tak pernah melihatnya dalam sikap seperti saat itu.

Buru-buru ia memegang tangan dara itu dan dielus2nya seraya bertanya dengan lemah lembut, “Nak, mengapa engkau hari ini? Kita tak punya dendam permusuhan suatu apa dengan kaum persilatan Tiong-goan. Mengapa engkau hendak begitu?”

Sambil memandang jauh ke muka, dara itu menyahut dengan nada dalam, “Hm, aku memang hendak bertindak begitu. Hendak mengaduk-aduk mereka supaya kacau balau….”

Melihat sikap dara itu terpaksa Bwe-nio tak dapat berbuat suatu apa. Sampai beberapa saat ia tertegun memandangnya. Dilihatnya kedua belah pipi dara itu merah muda. Tiba-tiba ia menyadari. Tentulah dara itu letih, maklum karena tak pernah bekerja berat.

“Nak, jangan lama-lama berhenti di sini. Mari kita kembali ke gunung Bik-lo-san dulu!” kata nenek itu.

Si dara mengangguk dan sambil memegang bahu si nenek, ia segera ikut berjalan pelahan-lahan.

Tak berapa lama mereka tiba di sebuah hutan yang lebat dengan pohon siong. Di bawah gerumbul pohon yang rindang, tampak sebuah kereta kuda. Begitu melihat si dara dan Bwe-nio muncul, dua orang lelaki segera siap berdiri di samping kereta. Bwe-nio memanggil mereka lalu mendukung dara itu ke atas kereta. Setelah menutup tenda maka meluncurtah kereta di sepanjang jalan.

Sementara itu, setelah menerima dua buah tamparan dari si nona, hati Han Ping tak keruan rasanya. Dengan marah ia lari. Kim loji dan Ih Seng buru-buru mengikutinya. Setelah lari beberapa saat, kemarahan Han Ping agak reda. Dalam kesempatan itu bertanyalah Kim lo-ji, “Anak Ping, apakah semalam di dalam gedung itu engkau bentrok dengan mereka?”

“Tidak,” sahut Han Ping.

“Lalu mengapa engkau begitu lama dalam gedung itu?”

“Aku terluka.”

“Oh, siangkong terluka? Apakah bertempur dengan mereka?” tanya Ih Seng yang selalu membahasakan Han Ping dengan Panggilan `siangkong` atau tuan yang baik budi.

“Memang banyak hal yang sukar diduga,” kata Han Ping, “aku telah berjumpa dengan anak perempuan Siangkwan Ko!”

“Dia terkenal paling sukar dihadapi. Apakah siangkong berkelahi dengannya?”

Han Ping hanya mengangguk tersenyum.

“Kalau engkau terluka bagaimana engkau hendak melanjutkan perjalanan. Apakah tak membahayakan lukamu?” tanya Kim loji cemas.

Han Ping mengatakan bahwa saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Sebenarnya ia hendak menuturkan tentang cara ia menyembuhkan lukanya itu. Tetapi mengingat hal itu akan menyangkut nama Hui Gong taysu, suatu hal yang tak boleh disiarkan kepada orang lain. terpaksa Han Ping tak mau melanjutkan keterangannya dan hanya menerangkan, “Setelah beristirahat menyalurkan darah, lukaku itupun sembuh.”

“Anak Ping, apakah engkau kenal kepada dara baju ungu itu?!” tanya Kim-loji pula.

“Tak kenal….,” Han Ping menggeleng. Tiba-tiba ia merasa salah jawab dan cepat berkata lagi, “Sesungguhnya aku sudah beberapa kali bertemu. Semalam dalam gedung itupun berjumpa lagi.”

Kim Loji kerutkan alis. Jika pemuda itu tak mengatakan sejujurnya, Kim loji dapat menduganya. Tetapi karena pemuda itu, menerangkan se-jujurnya, Kim loji malah bingung. Paling2 ia hanya menduga kemungkinan Han Ping tak senang membicarakan dara itu. Maka iapun tak mau menanyakan lebih lanjut.

Sambil memandang langit, Ih Seng bertanya, “Apakah semalam dalam gedung itu anda bertemu dengan Ih Thian-heng?”

“Ya,” sahut Han Ping, “ketika aku terluka setelah bertempur dengan anak perempuan Siangkwan Ko, Ih Thian-heng menolong aku.”

Ih Seng melongo sampai lama baru ia menghela napas, ujarnya, “Jika Ih Thian-heng itu benar-benar seperti yang dikatakan Kim lo-cianpwe, tak mungkin dia mau memberi pertolongan kepada anda.”

Dengan ucapan itu jelas bahwa Ih Seng masih tetap menaruh kepercayaan kepada Ih Thian-heng.

Mendengar itu timbullah keraguan Han Ping.

Menilik sikap dan tingkah laku Ih Thian-heng yang begitu baik dan ksatrya, mungkinkah ia sampai melakukan perbuatan yang seganas itu?

Sebagai seorang tua yang berpengalaman luas tahulah Kim Loji akan isi hati Han Ping saat itu. Ia menghela napas, “ Anak Ping, semalam apakah ada orang lain yang menyaksikan Ih Thian-heng menolong engkau?”

“Pengemis sakti Cong lo-cianpwe dan pemilik benteng marga Siangkwan yakni Siangkwan Ko!”

“Bukankah lebih dulu dia menolong anak perempuan Siangkwan Ko baru kemudian menolong engkau?”

Han Ping terkejut, serunya, “Benar! Bagaimana paman dapat mengetahui hal ini?”

Tiba-tiba wajah Kim loji berobah tegang, serunya, “Ping-ji, apakah dalam menolong kalian itu, dia memberikan pil supaya kalian meminumnya?”

Han Ping merenung beberapa jenak lalu menngiakan, “Rasanya memang ada ….”

“Anak Ping! Apakah engkau meminumnya?” Kim loji makin tegang.

“Tidak! Lebih dulu ia memberi pil kepada anak perempuan Siangkwan Ko tetapi direbut Cong lo-cianpwe!”

Kim loji menghela napas longgar, “Ah, Pengemis-sakti Cong To itu benar-benar hebat. Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa.”

Han Ping heran dan hendak meminta keterangan tetapi Ih Seng sudah mendahuluinya:.”Sungguh aku tak mengerti maksud ucapan Kim lo-cianpwe. Apakah dalam memberi pertolongan itu, Ih Thian-heng juga bermain sandiwara?”

“Di sinilah letak perbedaan ksatrya dengan manusia rendah,” kata Kim loji, “tampaknya dengan memberi pil itu, dia telah melakukan perbuatan yang terpuji. Tetapi sesungguhnya pil itu mengandung racun yang luar biasa ganasnya. Beberapa bulan kemudian barulah obat itu menghancurkan alat2 dalam tubuh orang. Sekalipun tabib sakti Hoa To hidup lagi, tak mungkin mampu menyembuhkan….”

“Hai, benarkah itu?” Ih Seng terkejut.

Kim loji tertawa nyaring, “Anak Ping, bukankah setelah pil itu direbut Cong To, Ih Thian-heng berusaha merebutnya kembali?”

“Benar,” sahut Han Ping, Ih Thian-heng cepat menerjang hendak merebut pil itu dari Cong lo-cianpwe.”

“Itulah,” kata Kim loji, “kalau pil itu berada di tangan Pengemis-sakti, perbuatan palsu dari Ih Thian-heng pasti akan diketahui seluruh dunia persilatan, oleh karena itu ….”

Tiba-tiba wajah Kim loji berobah ….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar