Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 14 : Terluka bersamaan

Jilid 14.

Han Ping loncat menghindar. Demikian pun Ih Seng dan Kim Loji. Sambil kerahkan tenaga-dalam, Han Ping siap menghantam, Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata hanya seekor anjing hitam yang besar, mulutnya menggondol sehelai kertas putih.

Seekor anjing yang luar biasa besar dan tegapnya. Sepintas pandang menyerupai seekor harimau.

“Ah, Pengemis-sakti Cong To suruh anjingnya menyampaikan surat,” Kim Loji tersenyum.

Anjing itu tiba-tiba ngangakan mulutnya dan kertas itupun jatuh ke tanah. Han Ping memungutnya.

“Lekas datang kemari, lihat keramaian!” tertanda Pengemis tua.

Demikian bunyi surat itu.

Ih Seng berpaling, tertawa, “Pengemis sakti Cong To angkuh sekali. Kaum persilatan yang dipandang mata olehnya, hanya beberapa gelintir orang saja, Sungguh tak kira kalau ia bersahabat dengan saudara!”

Han Ping tertegun, serunya, “Apa katamu?”

“Eh, bukankah saudara sudah meluluskan aku mengikuti saudara sebagai pelayan…..”

“Kapan aku mengatakan begitu?” Han Ping terbeliak.

Tiba-tiba wajah Ih Seng berobah seketika, serunya, “Ih Seng sudah berulang kali menerima budi pertolongan saudara. Agar dalam hidupku dapat membalas budi maka aku rela menjadi pelayan saudara. Jika saudara menolak, Ih Seng benar-benar tak ada muka lagi hidup dalam dunia persilatan. Saudara Ji, saudara Kim, harap menjaga diri baik-baik, Ih Seng mohon diri……” mencabut kipas besi dan pedang peraknya, ia buang ke tanah lalu ngeloyor pergi.

Han Ping buru-buru memungut senjata itu lalu berseru nyaring-nyaring, “Saudara Ih, mengapa tak engkau bawa senjatamu ini?”

Ih Seng berpaling, tertawa gelak2. Sikapnya amat jantan. Setelah puas tertawa, baru ia berseru dingin, “Sejak saat ini aku hendak membuang pedang dan tinggalkan dunia persilatan. Aku akan melewatkan sisa hari tuaku di sebuah tempat yang sunyi. Perlu apa kubawa senjata lagi?”

“Ping-ji, janganlah terlalu kukuh,” tiba-tiba Kim Loji menyelutuk, “saudara Ih seorang yang keras hati. Apa yang diucapkan tentu dilakukan. Kalau berniat hendak ikut, tentu akan melayanimu dengan sungguh. Jika engkau masih terikat dengan pandangan2 umum, berarti engkau mengecewakan kesungguhan hati saudara Ih!”

Terharu Han Ping mendengar nasihat itu. Dengan berlinang-linang airmata, ia membawa kipas dan pedang ke tempat Ih Seng. Katanya dengan nada serius, “Ji Han-Ping baru pertama kali keluar dari kandang dengan membawa dendam kesumat. Dan musuhku adalah tokoh Sin-ciu-it-kun yang termasyhur. Dendam itu entah dapat atau tidak kubalas, tetapi, betapapun halnya, aku tetap berusaha untuk menunaikan kewajibanku, Jika saudara Ih ikut aku, tentu lebih banyak bahayanya daripada selamat.”

Ih Seng tertawa nyaring, “Seumur hidup, belum pernah aku menaruh rasa hormat kepada orang. Tetapi sekali aku kagum, biarpun mati aku ikhlas ikut padanya. Jika tiada saudara yang menolong, Ih Seng tentu sudah jadi mayat dalam makam tua itu.”

“Ping-ji,” seru Kim Loji dengan bersungguh, “kcsungguhan hati saudara Ih, jika engkau tetap menampik, tentu akan mengecewakan hatinya. Lekaslah engkau terima saja!”

Sambil menyerahkan pedang dan kipas, berkatalah Han Ping, “Atas budi kecintaan saudara, kuhaturken terima kasih sekali. Tetapi kita harus bersahabat saja dengan sebutan saudara barulah aku meluluskan!”

“Ini……” baru Ih Seng hendak membantah, Kim Loji sudah menyelutuk, “Ah, bagi kaum persilatan, sebutan itu tidaklah menjadi soal. Saudara Ih pun jangan terlalu kukuh!”

Sambil menyambuti kipas dan pedang, berkatalah Ih Seng dengan serius, “Begini sajalah! Aku tetap memanggil Kongcu, untuk membedakan kedudukan kita. Dan kongcu hendak memanggil apa kepadaku, terserah saja.”

Kim Loji tertawa gelak2, “Ya, ya, begitupun baik. Hal itu tergantung dari keinginan masing2. Tetapi aku tetap berbahasa saudara dengan engkau!”

Tiba-tiba anjing besar itu menyalak lalu berputar diri dan lari. Beberapa tombak jauhnya, binatang itu berhenti.

Kim Loji kerutkan alis, memandang Han Ping, ujarnya: Dalam dunia persilatan, yang berani memusuhi Sin-ciu-it-kun, hanyalah pengemis sakti Cong To seorang. Dia seorang yang angkuh sekali. Sungguh mengherankan dia mau bersahabat dengan engkau. Kalau dia khusus mengirim surat panggilan, tentulah terjadi suatu urusan penting. Hayo kita ke sana!”

Demikianlah ketiga orang itu segera mengikuti anjing besar itu. Setelah melintasi tiga buah puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah yang sunyi. Di bawah penerangan api, tampak si Pengemis-sakti Cong To tengah duduk menghadapi tembok. Tangannya mencekal sekerat paha ayam. Sedang anjing hitam yang besar itu tengah mengibas-kibaskan ekor dan memutarinya. Mulutnya menganga, ludahnya nyerocos keluar.

Walau Han Ping bertiga tiba di belakangnya, tetap pengemis itu seperti tak mengetahui. Terpaksa Han Ping melangkah ke muka pengemis itu. Ternyata pengemis itu sedang masak gulai ayam dalam wajan yang ditaruh di atas sebuah api tungku. Bau gulai ayam yang harum bertebaran menyambar hidung.

Seketika Han Ping terasa lapar. Tetapi dia sungkan untuk meminta. Sambil menelan air liur, ia memberi hormat kepada pengemis sakti itu, “Lo-cianpwe mengirim surat memanggil aku, entah hendak memberi petunjuk apa kepadaku?”

Sambil menggerogoti paha ayam dan mengunyahnya dengan lahap, Cong To menyahut, “Bukankah telah kutulis jelas supaya engkau kemari menyaksikan keramaian?”

Karena mulutnya penuh dengan daging ayam, maka bicaranyapun tak lampias dan lucu sekali.

Han Ping tersenyum, “Entah keramaian apakah yang lo-cianpwe hendak suruh aku melihatnya?”

Sambil nyamuk2 mengunyah daging, Cong To menyahut, “Panjang sekali kalau diceritakan. Tetapi pendeknya tentu menariklah!”

Han Ping berputar tubuh dan memanggil kedua kawannya yang duduk di bawah karang. Kemudian setelah Cong To selesai makan dan memadamkan api tungku, barulah Han Ping menghampiri lagi, tanyanya, “Harap lo-cianpwe suka memberitahukan pertunjukan apakah yang lo-cianpwe suruh aku menyaksikan itu…..”

Cong To memandang langit, sahutnya, “Sekarang sudah waktunya, mari kita berangkat!”

Ia berbangkit dan menuju ke arah utara. Han Ping masih hendak bertanya tetapi dicegah Kim Loji.

Setelah melintasi sebuah puncak gunung, Cong To mempercepat langkahnya. Yang dilaluinya adalah hutan belantara yang jarang dijelajahi orang, Mereka gunakan ilmu lari cepat.

Cong To yang berjalan paling depan, makin pesat larinya dan akhirnya seperti terbang saja ia lari. Karena kepandaiannya sudah bertambah maju pesat, Han Ping tak menemui kesukaran untuk mengimbangi pengemis itu. Tetapi Kim Loji yang belum sembuh lukanya, tampak mandi keringat dan terengah-engah napasnya.

Sambil berpaling ke arah kedua kawannya itu, Han Ping kasihan dan minta supaya Cong To suka kendorkan larinya.

Cong To tiba-tiba berhenti memandang ke langit, sahutnya, “Sekarang masih ada waktu, kita dapat beristirahat di sini dulu.”

Ia terus duduk bersila di tanah dan pejamkan mata bersemedhi.

Kim Loji dan Ih Seng yang tiba beberapa saat kemudian, sibuk mengeringkan keringat yang membasahi sekujur tubuh mereka. Kemudiau duduk beristirahat.

Sambil duduk berhadapan dengan Cong To, Han Ping bertanya pula, “Keramaian apakah yang sesunggubnya lo-cianpwe hendak suruh aku menyaksikan itu?”

Cong To membuka mata dan tersenyum. “Pertunjukan itu hanya kita berdua saja yang dapat menyaksikan. Kedua orang itu lebih baik jangan ikut.”

Mendadak Kim Loji membuka mata dan memandang ke sekeliling, lain menghela napas, “Apakah Cong lo-cianpwe hendak melihat Sin-ciu-itkun?”

Mendengar nama itu seketika mendeburlah darah Han Ping, “Apa?” serunya tanpa dapat menguasai diri lagi.

Melihat pemuda itu tegang, heranlah Cong To dibuatnya, serunya, “Eh, bagaimana budak ini? Apakah engkau kenal dengan Sin-ciu- it-kun?”

Dengan menggigit gigi, Han Ping menyahut tandas, “Dia adalah musuh besarku!”

Wajah Cong To berobah serius. Ia mengambil buli2 arak yang tergantung di punggungnya dan meneguknya tiga kali. Katanya perlahan, “Seumur hidup, pengemis tua ini tak suka bertanya tentang urusan orang. Tetapi melihat keadaanmu begitu tegang, hatiku tertarik. Bukan hendak membesarkan keunggulan orang. Tetapi dengan kepandaianmu sekarang ini, sukar kiranya menghadapi dia. Apalagi dia amat cerdik dan pandai sekali. Dengan licin ia dapat mengelabuhi mata seluruh dunia persilatan…….”

Menutur sampai di sini, pengemis termasyhur itu berhenti menghela napas. Kemudian dengan rawan berkata, “Sungguh menggelikan sekali kaum persilatan itu. Mereka menyanjung- nyanjungnya setinggi langit dan menghaturkan gelar Sin-ciu Itkun kepadanya. Baik partai2 persilatan besar maupun kecil, golongan Putih maupun Hitam, semua mengindahkan kepadanya. Perselisihan apapun juga, apabila Sin-ciu It–kun mengatakan sepatah kata tentu beres. Pengemis-tua ini walaupun tahu bahwa dia seorang yang licin, tetapi belum dapat menemukan jejaknya dan belum dapat bukti untuk kusiarkan kepada dunia persilatan. Ah, mungkin dalam dunia ini hanya pengemis tua ini yang menentangnya! Oleh karena hanya seorang diri, maka terpaksa membiarkan dia bersimarajalela di dunia persilatan. Tigapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, dia sudah dapat membentuk kaki tangan di dunia persilatan.”

Tiba-tiba ia mengangkat buli2 merah dan meneguknya pula, “Sayang beribu-ribu kaum persilatan, tiada seorangpun yang tahu urusan ini!”

“Dengan kewibawaan lo-cianpwe dalam dunia persilatan, jika lo-cianpwe mau mencanangkan bantuan untuk menyingkap keburukan Ih Thian-heng…..”

Pengemis-sakti Cong To tertawa panjang dan memotong kata-kata Han Ping, “Seumur hidup pengemis tua ini tak pernah merugikan orang. Tak pernah mau membunuh orang baik. Tetapi karena menentang Sin-ciu It-kun, maka sampai putus hubungan dengan beberapa orang sahabat. Pengemis tua ini pun memikirkan kepentingan orang lain. Tak ku hiraukan soal itu. Tetapi ah, rupanya alam telah membekali watak kepadaku untuk mengurus orang. Dan watak itu tak dapat kurobah lagi. Oleh karena hal itu, maka ikatan permusuhanku dengan Ih Thian-heng makin mendalam sehingga sampai memuncak pada tarap ‘tidak dapat hidup bersama’. Menurut peribadinya, seharusnya dia tentu sudah melenyapkan diriku, Tetapi rupanya dia memang sengaja memperlambat hal itu sehingga mencelakai diri pengemis tua ini.”

Han Ping memang amat mengindahkan kepada pengemis sakti itu. Mendengar ucapannya yang begitu perwira, ia menatap pengemis itu, ujarnya, “Walaupun dunia persilatan penuh dengan bahaya, tetapi Kebenaran tetap abadi. Salah atau Benar, pada suatu saat tentu akan tersingkap. Lo-cianpwe menjadi pelopor dari Kebenaran, adalah suatu tindakan yang perwira. Adalah para sahabat dapat mengerti atau tidak, tetapi untuk mengindahkan ucapan lo-cianpwe, bukanlah suatu hal yang hina!”

Kembali pengemis sakti itu meneguk buli2 araknya dan menghela napas pelahan. Pada saat hendak membuka mulut, Kim Loji sudah mendahului, “Kiranya tak perlu Cong lo-cianpwo menyesal dan penasaran. Tigapulah tahun lamanya Sin-ciu-It-kun telah mengelabuhi mata sekalian kaum persilatan dengan perbuatan yang perwira, sudah tentu dalam waktu yang singkat sukar untuk merobah pandangan dunia persilatan. Tetapi….”

Kim Loji tertawa mengekeh lalu memandang ke arah Han Ping, ujarnya, “Jika tak ingin diketahui orang, selain tidak berbuat apa-apa dan membiarkan Ih Thian-heng bertindak merajai dunia persilatan, rasanya tak ada lain jalan. Tetapi aku Kim Loji, selama masih mempunyai napas, tentu akan mempersembahkan tulang2 tua ini untuk berusaha mengungkap kejahatannya dan menyiarkan ke seluruh dunia. Pada saat itu, ingin kuketahui bagaimana reaksi kaum persilatan. Percayalah, bahwa semua apa tak mungkin lari dari Kebenaran dan Keadilan!”

Pengemis-sakti Cong To mengusapkan jarinya ke mulut yang basah dengan arak, kemudian berseru, “Baik, tak kusangka engkau Kim Loji juga manusia yang punya hati. Dengan begitu pengemis tua ini tak seorang diri!”

Ia tertawa gelak2.

Kim Loji menghela napas pelahan, “Sekalipun mempunyai kemauan untuk membongkar kejahatan ini, tetapi tenagaku amat terbatas. Bertahun-tahun, kutelan hinaan dan kuderita segala derita batin, adalah karena hendak mengintai segala sepak terjang Ih Tnian-hang yang busuk. Pada saatnya, hendak kubongkar segala kejahatannya kepada dunia persilatan. Kalau dapat membuka kedoknya, biarpun hancur lebur aku rela menerima kematian!”

Oleh karena berhadapan dengan beberapa cianpwe, Ih Seng terpaksa menguasai diri. Setelah mendengar ucapan Kim Loji yang jantan, timbullah semangatnya. Setelah berbatuk-batuk, ia berkata, “Tempo hari ketika saudara Kim menceritakan tentang kepalsuan tingkah laku Ih Thian-heng, kuanggap saudara Kim memfitnah. Aku tak percaya dan masih membela Ih Thian-heng. Tetapi setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya, aku pun penasaran. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Cong lo-cianpwe, makin teguhlah hatiku. Walaupun kepandaianku masih rendah, tetapi aku bersedia mati apabila tenagaku diperlukan!”

Pengemis-sakti Cong To meneguk araknya lagi lalu tunjukkan jempolnya, “Bagus, engkau hebat saudara Ih. Sahabat semacam engkau, kuterima dengan sepuluh jari ……”

Tiba-tiba anjing hitam menggonggong pelahan dan pengemis saktipun segera berbangkit, “Ah, sudah waktunya, jangan sampai terlambat menyaksikan pertunjukan itu!”

Dia terus mengajak berangkat lagi. Tetapi kali ini ia berjalan lambat, seolah-olah takut jejaknya diketahui orang.

Setelah melintasi beberapa gerumbul hutan kecil, dalam keremangan malam mereka melihat sebuah gedung besar yang menjulang tinggi.

Han Ping tertegun. Ia pernah datang ke rumah itu bersama kedua nona Ting. Waktu ia hendak mengatakan, pengemis sakti buru-buru mencegahnya. Kemudian berpaling kepada Kim Loji dan Ih Seng, “Walaupun malam ini kita akan menyaksikan pertunjukan, tetapi acara yang utama akan dihidangkan nanti tengah malam. Engkau dan saudara Ih sebaiknya mencari tempat bersembunyi dulu. Aku bersama budak ini akan masuk melihat-lihat!”

Rupanya Kim Loji dan Ih Seng menyadari kepandaiannya kalah dengan kedua orang itu. Mereka mengangguk dan bersembunyi dalam semak.

Tiba-tiba Cong To berpaling ke arah semak dan menghampiri. “Apa saja yang terjadi dalam gedung itu, harapan kalian jangan masuk. Jika sampai tengah malam aku belum kembali, pergilah kalian 10 li jauhnya ke sebelah utara dan tunggu di sebuah kuil di situ.”

Tanpa menunggu jawaban, tiba-tiba Pengemis-sakti melenting 3 tombak tingginya dan melayang ke arah gedung besar itu. Baru beberapa loncatan, dia sudah berada 5 tombak jauhnya. Sedikitpun gerakannya tak mengeluarkan angin suara apa-apa.

Ih Seng menghela napas, “Hari ini baru kusaksikan kesaktian pengemis yang termasyhur itu. Cukup dengan ilmu meringankan tubuh itu saja, sudah menggetarkan dunia persilatan….”

Kata-kata itu terputus ketika ia melihat Han Ping beraksi. Dengan sebuah loncatan ke udara, pemuda itu beberapa kali berjungkir balik dan melayang meluncur turun 4-5 tombak jauhnya. Beberapa kejapan mata, keduanya sudah lenyap dalam kegelapan malam.

Kim Loji membisiki Ih Seng, “Ih Thian-heng luar biasa cermatnya. Siapa tahu di sekitar tempat ini sudah dijaga ketat.”

Baru ia berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suara angin mendesing. Dari sebatang pohon yang terpisah tiga empat meter di samping mereka, meluncur sebatang anakpanah dan menjurus ke arah gedung besar.

Ih Seng memandang tajam ke pohon itu. Tampak di atas dahan pohon itu, teraling oleh gerumbul daun yang lebat, samar2 seperti bersembunyi seseorang.

“Sin-ciu It-kun benar-benar licin sekali. Sungguh tak terduga bahwa di atas pohon tua itu, dia memasang orang!” bisik Ih Seng kepada Kim Loji.

“Kita gempur dulu pos yang telah mengetahui tempat persembunyian kita,” sahut Kim Loji.

“Tetapi pohon itu empat tombak tingginya. Jika memanjat, musuh tentu mengetahui. Sukar kita laksanakan. Hanya dengan gunakan senjata gelap kita dapat merubuhkannya!” kata Ih Seng.

Pada saat keduanya sedang berunding, tiba-tiba dari atas pohon itu meluncar sesosok tubuh. Sabelum orang itu jatuh ke tanah, muncullah seseorang yang cepat menyanggapi tubuh orang itu. Setelah diletakkan ke tanah, Orang itu terus loncat menyerbu ke dalam gedung.

Orang itu mengenakan jubah panjang, punggung menyanggul sebatang senjata bengkok, gerakannya tak kalah gesit dengan Pengemis-sakti Cong To.

Ih Seng kerutkan dahi dan menanyakan kepada Kim Loji apakah tahu orang itu. Kim Loji gelengkan kepala, “Dia luar biasa cepatnya. Dalam malam yang gelap begini, sukar melihat wajahnya yang jelas.”

Sejenak berhenti, ia berkata pula, “Tokoh yang memiliki kepandaian sakti serupa itu, dewasa ini hanya terbatas jumlahnya Kemungkinan tak lepas dari…..”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu terdengar suara angin mendesir. Ah, ternyata dua orang lelaki berpakaian ringkas dan bersenjata golok tawto, lari ke bawah pohon besar itu, lalu berseru, “Hai mengapa lepaskan panah pertandaan? Apakah terjadi sesuatu?”

Sudah tentu tiada jawaban karena penjaga di atas pohon itu sudah ditembak mati dengan senjata gelap oleh orang yang berkepandaian tinggi tadi.

Kawannya segera menarik orang yang berseru itu diajak menuju ke gedung besar.

Serentak Ih Seng mencabut kipas besinya dan membisiki Kim Loji, “Jika kedua orang itu sampai melapor ke dalam gedung, tentu berbahaya. Mari kita totok jalan darah mereka!”

Tetapi Kim Loji menolak, “Jangan buru-buru. Tak perlu kita turun taagan, mereka tak mungkin dapat melintasi tiga tombak jauhnya.”

Ih Seng tahu bahwa Kim Loji itu memang luas sekali pengalamannya. Walaupun agak bersangsi tetapi dia tak mau mendesak dan hanya ingin melihat apakah dugaan Kim Loji itu benar.

Baru ia merenung demikian, tiba-tiba kedua orang itu rubuh ke tanah! Ih Seng terkesiap dan memuji Kim Loji, “Ah, perhitungan saudara Kim benar-benar tepat sekali!”

Kim Loji hanya tersenyum tak menyahut.

Mendadak sesosok bayangan melesat datang. Samar2 Ih Seng melihat pendatang itu bertubuh pendek kecil. Tetapi karena gerakannya secepat kilat, ia tak dapat melihat jelas. Ih Seng hanya bersungut, “Sungguh senjata rahasia yang ganas sekali. Tiada mengeluarkan suara apa-apa, tahu-tahu korbannya mati. Sudah belasan tahun berkecimpung di dunia persilatan tetapi belum pernah kusaksikan senjata seganas itu….”

Berhenti sejenak, tiba-tiba ia berseru lagi, “Ah benar, tentulah jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca…..”

Tetapi Kim Loji gelengkan kepala, “Jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca itu, walaupun amat beracun sekali, tetapi tak dapat membuat mati dengan seketika. Dan lagi kecuali ketua marga Ca, yakni Ca-Cu-jing itu, tiada seorangpun yang memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang hebat.

“Apakah pendatang tadi seorang wanita?” tanya Ih Seng.

“Benar, orang lelaki tak mungkin sekecil itu tubuhnya,” sahut Kim Loji.

Demikianlah pada saat Kim Loji dan Ih Seng sedang mempercakapkan orang aneh yang muncul dan membunuh keempat anak buah dari gedung besar itu, adalah Han Ping dan Pengemis saktipun sudah menghampiri ke dekat rumah gedung itu. Mereka berhenti di luar gedung dan sembunyi di tempat yang gelap.

“Kepandaian Ih Thian-heng itu memang sukar diukur tingginya,” kata Pengemis-Sakti, “dan juga merupunyai anak buah yang banyak sekali. jika menyadari bahwa jejak kita telah diketahui mereka, lebih baik kita muncul secara terang-terangan saja, Sin-ciu It-kun suka berpura-pura. Asal bukan dia yang turun tangan, tentulah tak membahayakan.”

Diam-diam Han Ping heran, “Mengapa Pengemis-sakti yang biasanya angkuh ini begitu berhati2 sekali memuji kepandaian Sin-ciu It-kun. 1a duga Sin-ciu It kun itu memang luar biasa saktinya.

Melihat Han Ping diam saja, Cong To berkata pula, “Jika tak terpaksa, lebih baik menghindarkan pertempuran dengan Sin-ciu It-kun…..”

Dalam pada berkata itu Cong To dekatkan punggung ke tembok dan membubung naik lalu meluncur turun ke halaman dalam.

Han Ping empos semangat, loncat melampui pagar tembok itu. Tetapi Cong To pun sudah lenyap. Setelah sejenak mengawasi ke sekeliling penjuru, Han Ping terus loncat ke dalam halaman. Pada halaman gedung yang luas itu, kecuali beberapa bangunan rumah dan gedung bertingkat, hanya ditumbuhi dengan pohon2 jambu dan lain2 pohon yang besar dan rindang daunnya.

Han Ping tak berpengalaman memnsuki rumah orang pada waktu malam. Maka ia agak gelisah. Ia bersembunyi di bawah pohon besar dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Angin di malam musim rontok, menghambur berguguran daun kering. Menambah keseraman suasana gedung.

Beberapa waktu kemudian tiba-tiba Han Ping teringat ketika Ting hong membawanya masuk ke sebuah halaman gedung. Di situ penuh dengan pot bunga. Begitu pula kamarnya amat indah sekali. Kesan itu tak mudah dilupakan Han Ping, hingga saat itu ia pun terbayang lagi.

Setelah pejamkan mata dan diam-diam kerahkan hawa murni, ia meraba tubuh pedang Pemutus-Asmara. Setelah mengamati keempat penjuru lagi serta menentukan jalan-jalannya, ia se:era gunakan ilmu Pat-poh-teng-gong atau Delapan-langkah-mendaki-udara, melesat masuk. Setelah melalui sebuah halaman yang luas. tibalah ia di atas sebuah rumah. Dilihatnya tiap2 pintu kamarnya terkunci. Diam-diam ia heran, pikirnya, “Menilik keadaannya, gedung ini kosong. Lalu hendak melihat keramaian apakah pengemis sakti itu?”

Tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa tokoh semacam Pengemis-sakti Cong To tak mungkin sembarangan berkata. Dengan kesimpulan itu, ia meninjau letak setiap jalan dan arah di sekeliling penjuru. Setelah itu ia loncat ke arah timur.

Kembali ia melintasi sebuah halaman dan ah kini ia menemukan halaman kecil yang penuh dengan pot bunga. Keadaan di situ, masih seindah dahulu. Bunga beraneka warna menyiarkan bau yang harum, Tetapi pintu kamar, tetap tertutup rapat.

Diam-diam Han Ping menimang, “Kalau tiada didiami orang, tak mungkin keadaan tempat ini sedemikian bersih dan rapi. Tentulah tempat ini sering didatangi orang.”

Cepat ia ayunkan tubuh melayang terus ke muka pintu itu. Sakali dorong, pintu itu terbuka. Seketika hidungnya terbaur oleh serangkum bedak yang harum baunya.

“Ah, kamar ini tentu milik seorang gadis. Tempo hari bersama Kedua nona Ting itu, tetapi sekarang ia hanya seorang diri memasukinya. Ah, tak boleh sembarangan masuk ….” ia berdiri tegak di muka pintu dan termenung-menung.

Tiba-tiba terdengar suara napas yang halus dan bunyi selimut tersingkap.

“Siapa itu?” karena terkejut, tanpa tersadar Han Ping menegur.

Tiada jawaban kecuali suara napas halus, macam orang yang tidur nyenyak. Han Ping sadar kelepasan bicara, buru-buru ia bersembunyi lagi.

Ia merasa, dalam suasana yang begitu sunyi senyap, sedikit suara saja tentu terdengar. Jika dalam gedung itu terdapat barisan penjagaan rahasia tentu akan keluar menyerbunya. Ia siap2.

Tetapi sampai beberapa waktu, tak tampak suatu perobahan apapun. Hanya suara napas orang yang tidur itu masih tetap terdengar pelahan.

Saat itu Han Ping dapat memperhatikan bahwa suara napas itu berasal dari orang perempuan. Tetapi ia tak berani memastikan apakah orang itu benar-benar tidur nyenyak.

Tiba-tiba terdengar suara orang itu mengeluh. Seperti seorang yang sedang bermimpi buruk. Kini Han Ping makin yakin kalau orang itu tentu seorang wanita. Pikirnya, “Ah, kalau kamar ini milik wanita, aku tak boleh tinggal disini!”

Waktu ia hendak melangkah pergi, dari tengah ruangan terdengar suara batuk-batuk dan derap langkah orang. Terpaksa Han Ping menyurut ke dalam kamar lagi. Dalam kegelapan, ia memandang ke muka dan melihat sesosok tubuh rebah di atas sebuah ranjang yang terletak di ujung kamar. Ah ia masih ingat ranjang itu sebuah ranjang kayu yang dihias dengan ukir-ukiran bunga.

Pendatang itu ternyata menghampiri ke muka kamar. Han Ping gugup. Cepat ia empos semangat dan melambung ke atas, bersembunyi di atas tiang penglari.

Tepat pada saat ia bersembunyi, pintu pun terbuka dan dua lelaki muncul. Seorang berpakaian serba ringkas dan yang seorang berjubah panjang. “Apakah budak perempuan itu ditaruh di kamar ini?” kata orang berjubah panjang.

Orang berpakaian ringkas dan menyanggul pedang itu rupanya takut kepada orang berjubah panjang. Sambil mengacungkan api, ia menyahut hormat, “Benar, benar. dan parasnya amat cantik sekali ….”

Orang berjubah itu mendengus: Perlu apa banyak bicara. Lekas antar aku kesana!”

Orang berpedang itu segera melangkah masuk dan berhenti di muka ranjang. Sambil menyuluhi dengan korek ia menyingkap kelambu.

Di atas penglari itu, asal mau berpaling saja Han Ping tentu dapat melihat wajah wanita di dalam ranjang itu. Tetapi ia tak mau.

Terdengar orang berjubah itu menghela papas dan memuji, “Ah, benar-benar sekuntum bunga yang cantik jelita bagai bidadari turun ke bumi …..”

Orang berpedang itupun juga menghela napas, sahutnya, “Menghadapi seorang bidadari begini, sekalipun lelaki yang berhati bajapun tentu akan luluh imannya…”

“Siapa suruh angkau banyak mulut? Apakah engkau sudah bosan hidup!” bentak orang berjubah itu dengan marah.

Mendengar kedua orang itu memuji-muji, tergeraklah hati Han Ping. Ah, benarkah di dunia ini terdapat seorang wanita yang sedemikian cantiknya? Tanpa disadari ia memalingkan muka dib awah sinar penerangan korek api, tampak seorang dara berbaja ungu tengah rebah di dalam ranjang. Rambutnya terurai, wajahnya seperti bunga tho-hun, alis melengkung seperti bulan tanggal muda. Hidung mancung menaungi mulut yang mungil berlapis sepasang bibir merekah delima. Ah benar-benar seorang dara yang luar biasa cantiknya.

Han Ping terlongong-longong.

Tetapi pada lain kilas ia terkejut. Rasanya ia pernah melihat dara itu. Tetapi ia tak berani memastikan.

‘Dara ini tentu akan membuat Thung-cu kesengsam,” kata orang berjubah panjang, “jika dapat memperoleh kitab pusaka Lam-hay-bun darinya, Cungcu tentu akan memberi hadiah besar. Engkau harus menjaganya baik-baik.”

“Ah, benar dia,” diam-diam Han Ping mendesuh dalam hati, “sungguh tak nyana, di dunia ini terdapat seorang manusia yang menyerupai bidadari!”

Memang walaupun sudah kenal, tetapi Han Ping tak pernah mengamati wajah dara itu dengan seksama. Maka ia tak mampunyai kesan mendalam tentang kecantikan dara itu. Kecantikannya jauh melebihi kedua nona Ting.

Saat itu korekpun padam. Orang yang memegang korek itu menjerit kesakitan. Karena kesengsem melihat kecantikan dara itu, api sampai membakar jarinya.

Tak berapa lama, kedua orang itu keluar.

Setelah kedua orang itu pergi, barulah Han Ping melayang turun ke muka ranjang. Ia hendak mengangkat dara baju ungu itu tetapi pada lain kilas ia teringat tata kesopanan antara lelaki dan wanita. Ia belum kenal dengan gadis itu, walaupun tujuannya hendak menolong tetapi tak boleh ia melanggar kesopanan.

Sesaat Han Ping tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terdengar gadis itu mendamprat, “Hmm, pria dan wanita tak boleh bergaul bebas. Seorang ksatrya takkan masuk ke dalam kamar gelap. Tengah malam menyelundup ke kamar yang dihuni seorang gadis, berdiri di samping ranjang dengan mata mendelik memandang diriku uh … tak tahu malu…..”

Meluaplah seketika darah Han Ping mendengar makian itu. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur dua langkah, serunya “Harap nona jangan salah paham. Setitikpun aku tak mengandung hati yang hina!”

Kembali gadis itu berseru, “Menemukan semangka di bawah pohon, sekalipun bukan jahat tetapi juga telah melanggar hak yang bukan haknya. Menilik tindakanmu, jelas engkau ini bukan orang terpelajar yang kenal aturan.”

Tajam sekali lidah dara itu. Han Ping merasa seperti disayat dengan puluhan golok. Gemetarlah tubuhnya, Darahnya bergolak-golak namun orangnya tetap tegak membisu. Pikirnya, “Aku seorang jantan, masakah mandah dihina begitu rupa.”

Tetapi pada lain kilas ia mengakui bahwa makian dara itu memang tepat sekali. Setelah termenung beberapa lama, barulah ia dapat menyahut dengan rendah hati, “Peristiwa ini, memang sukar dijelaskan. Apa yang terkandung dalam hatiku. hanya Allah yang tahu. Tetapi nonapun tak salah kalau menduga begitu. Atas ketidak sopanku, harap nona suka memberi maaf.”

Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu terdengar derap langkah kaki orang mendatangi.

Dan kembali dara itu berseru, “Melihat kesulitan harus mengulurkan bantuan. Engkau membanggakan diri sebagai seorang jantan tetapi begitu melihat bahaya terus hendak melarikan diri.. Apakah engkau tak malu bertemu dengan kaum pendekar dalam dunia?”

Han Ping terbeliak.

“Aneh,” pikirnya, “bukankah dia telah memaki aku habis-habisan sehingga aku tak dapat membantah sama sekali? Mengapa sekarang berkata begini?”

Sebenarnya saat itu ia sudah melangkah sampai ambang pintu. Mendengar kata-kata dara itu, ia berhenti. Berpaling ke belakang. tampak dara itu duduk di atas ranjang. Han Ping bingung untuk mencari kata-kata. Akhirnya ia dapat juga memperoleh kata-kata itu, “Nona telah terjeblus dalam sarang harimau. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Nona mau percaya omongan ini atau tidak, terserah pada nona!”

Ia berputar diri terus melangkah keluar.

“Berhenti!” gadis itu tertawa dingin dan berseru.

Saat itu Han Ping sudah di luar pintu. Mendengar seruan si dara, ia terpaksa berhenti lagi. Sambil berdiri di ambang pintu ia berseru, “Jika nona masih ada lain perintah, silahkan bilang. Aku masih mempunyai lain urusan yang penting…”

Dara itu marah. Ia mendengus lalu berpaling muka. Berkat kepandaiannya yang telah maju pesat, dapatlah Han Ping melihat keadaan dalam kamar yang gelap itu. Melihat dara itu palingkan muka tak mengacuhkan dirinya, Han Ping menyengir kuda. Pergi salah, tinggalpun tak benar. Karena tak tahu apa yang hendak dilakukan, ia tegak terlongonglongong.

“Jika nona tak perlu memberi pesan, aku hendak pergi,” akhirnya ia dapat berseru juga.

Bukan menyahut, kebalikannya dara itu malah rebahkan diri di atas ranjang lagi.

Walaupun merasa bahwa dara itu bukan kepalang angkuhnya, tetapi Han Ping menyadari babwa keadaan dara itu amat berbahaya sekali. Harus lekas2 dibawa pergi dari tempat situ.

Tanpa berpaling memandang Han Ping, dara itu melengking, “Matipun aku tak sudi mengurus urusanmu, manusia usil!”

Han Ping menghela napas, katanya seorang diri, “Hm, anak perempuan memang sukar….”

Serentak ia apungkan tubuh loncat ke atas rumah. Sementara si dara yang masih rebah di atas ranjang, cepat-cepat berpaling muka. Demi melihat Han Ping lenyap, dara yang rupanya tengah menderita luka berat itu, bercucuran airmata. Tetapi ia berusaha sekuat tenaga menahan isaknya.

Selekas di atas wuwungan rumah, Han Ping longgarkan kesesakan dadanya dengan menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi gedung itu sunyi senyap. Diam-diam ia merasa heran. Jelas gedung itu terdapat penghuninya tetapi mangapa tak tampak barang seorang pun yang keluar?

Hampir sepeminuman teh lamanya Han Ping tegak di atas atap rumab tetapi tak terjadi suatu peristiwa apa-apa. Dia masih hijau dan tak punya pengalaman dalam dunia persilatan. Menghadapi keadaan seperti saat itu, ia kehilangan faham.

Angin malam berembus mengantar bau bunga yang harum semerbak. Han Ping menampar kepalanya sendiri sampai dua kali. Ia menyadati bahwa suasana gedung itu penuh dengan ketegangan. Namun tak tahu ia bagaimana harus menghadapi. Ia anggap berdiri terus di atas rumah, juga kurang tepat.

Tengah ia berada dalam kebingungan, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan lenyap. Melihat itu, segera ia mengejarnya. Sejak berbulan-bulan meyakinkan ilmu bersemedhi, hampir separoh dari penyaluran tenaga-murni dari mendiang Hui Gong tay-su, dapat digunakan. Dengan demikian tenaga-dalamnya memperoleh kamajuan pesat. Sekali loncat ke udara ia gunakan ilmu Delapan-langkah-naik-ke-udara. Setelah melintasi dua buah rumah, tibalah ia di atas sebuah pohon jambu. Setelah meraih dahan, ia ayunkan tubuh melayang ke muka sampai dua tombak dan tiba lagi di atas wuwungan rumah.

Tetapi ah, orang itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Tiba-tiba terdengar suara menggedebuk seperti benda berat jatuh ke tanah, Begitu berpaling ke belakang, ia melihat di bawah pohon jambu tadi, sesosok bayangan hitam. Han Ping terus menyerbunya.

Ia memang agak bingung menghadapi suasana gedung besar yang sunyi senyap itu. Pikirnya, begitu ia dapat membekuk seorang penghuni dapatlah ia mengorek keterangan dari orang itu. Maka cepat ia mencengkeram tubuh orang itu dan melayang turun. Ketika mengamati, ah… ternyata orang itu sudah tak bernyawa lagi. Orang itu bukan lain adalah lelaki berpakaian ringkas yang menyanggul pedang tadi. Menilik tubuhnya masih hangat, jelas dia belum berapa lama yang mati. Tetapi Han Ping tak menemukan barang sebuah luka pun pada tubuh orang itu. Aneh, apakah yang menyebabkan kematian orang itu?

Tiba-tiba ia tersadat. Pikirnya, “Ah, segala sepak terjang Sin-ciu-It-kun dalam gedung ini tentu telah diketahui Pengemis-sakti Cong To. Dan jelas pula bahwa selain dirinya, masih terdapat orang lain juga dapat menyelidiki gedung itu. Bayangan yang luar biasa cepatnya tadi, kalau salah seorang penjaga gedung itu tentulah dapat mengetahui jejaknya. Tetapi jelas orang itu tak menghiraukan dirinya dan terus melesat pergi. Jelas tentu orang lain. Ah, ternyata malam itu tak sedikit jumlahnya orang luar yang menyelidiki gedung besar itu. Demikian pikir Han Ping.

Tiba-tiba Han Ping terkejut ketika merasa belakangnya disambar angin lembut. Buru-buru ia berputar tubuh dan memandang ke muka. Ah, seorang dara berpakaian hitam yang tubuhnya kecil dan pada punggungnya menyanggul dua batang pedang, tampak berdiri pada jarak dua tiga meter. Matanya berkilat-kilat memandang ke arahnya.

Keduanya saling beradu pandang. Sampai beberapa saat, mereka tak berkata apa-apa.

Han Ping meletakkan mayat yang masih dipegangnya lalu pelahan-lahan mundur. Sejak didamprat si dara baju ungu, ia agak jeri terhadap orang perempuan. Tetapi karana kuatir diserang, maka iapun hanya mundur tanpa berputar tubuh.

“Berhenti!” bentak dara baju hitam itu dengan nada dingin.

Han Ping hampir melonjak kaget tetapi iapun berhenti juga. Dara haju hitam itu pelahan-lahan maju menghampiri. Pada jarak satu dua meter di hadapan Han Ping, ia berhenti dan berseru dingin, “Apakah engkau orang gedung ini?”

“Bukau!” sahut Han Ping.

Tiba-tiba dara itu tersenyum, “Bagaimana engkau dapat membuktikan keteranganmu itu?”

“Mangapa harus membuktikan?” Han Ping berseru heran, “kita tak saling kenal dan tak dendam mendendam. Tak ada hubungan apa-apa ….”

“Hm, jika engkau tak dapat membuktikan ucapanmu tadi….” dara baju hitam itu melirik ke arah mayat, “engkau tentu akan mengalami kesudahan seperti dia…”

Diam-diam Han Ping menimang, “Malam ini yang datang ke gedung sini, kemungkinan tentu orang yang memusuhi Sin-ciu It-kun. Ah, lebih baik aku mengalah saja.”

Ia segera menjawab, “Harus bagaimana caraku membuktikan?”

Gadis itu tertegun. Rupanya ia tak mengira kalau menerima pertanyaan begitu. Sahutnya, “Mudah saja. Jika engkau memang bukan gedung ini, lekas keluar dari sini dan jangan mengurusi apa pun yang terjadi dalam gedung ini!”

Han Ping tersenyum, “Memang amat mudah sekali. Tetapi ijinkanlah aku bertanya kepada nona. Apakah maksud nona menyuruh aku keluar dari gedung ini? Tengah malam nona berkunjung kemari tentu bukan tak ada sebabnya. Karena aku sendiri, jika tak ada urusan tentu tak mungkin tengah malam buta begini datang kemari. Sekali lagi kukatakan kepada nona, bahwa aku bukan penghuni gedung ini. Jika nona tak percaya, memang amat sukar!”

Dara baju hitam itu tertawa dingin. “Sepanjang hidupku, tak pernah aku bicara sebanyak saat ini. Biarlah malam ini kuberi pengecualian kepadamu. Hm, jika engkau tak mau keluar dari gedung ini, bagimu tiada gunanya malah membahayakan. Apa yang akan terjadi malam ini sangat berbahaya sekali. Menilik umurmu masih begini muda dan rupanya bukan orang persilatan, maka kunasehati….”

Han Ping tersenyum, “Terima kasih atas nasehat nona. Tetapi mati hidup seseorang itu tiada yang dapat mengetahui. Ia berputar diri lalu loncat ke atas rumah.

“Berhenti!” tiba-tiba dara baju hitam itu membentaknya,”apakah engkau bisa lari?”

Sekali tangan mengayun, selarik sinar putih meluncur ke arah pemuda itu.

Setelah berada di atas rumah, Han Ping loncat pula ke bawah, di tempat yang gelap. Kalau loncat ke atas, ia kuatir nona itu tentu tetap tak mau melepaskannya.

Tindakan Han Ping itu, membuat geram si dara baju hitam. Cepat ia susuli lagi dengan dua lontaran senjata rahasia. Tetapi Han Ping sudah loncat turun ke bawah. Dara itu memandang kian kemari tetapi tak dapat melihat bayangan Han Ping yang sudah melenyapkan diri.

Dara itu mendengus “Huh, manusia licin!” ia lantas melayang ke atas rumah. Tetapi di empat penjuru, ia tak dapat melihat Han Ping. Diam-diam ia terkejut atas kegesitan Han Ping.

Di tempat persembunyiannya, Han Ping tak berani melongok keluar. Ia tahu kepandaian dara itu hebat sekali. Setelah dara itu pergi barulah ia berani keluar. Memandang ke langit, ia menghela papas panjang. Ia terus hendak loncat ke atas rumah untuk mencari Cong To. Tetapi tiba-tiba ia teringat untuk memungut senjata rahasia yang dilontarkan si dara baju hitam tadi untuk ditunjukkan Cong To. Pengemis-sakti itu tentu dapat mengenal nama si dara.

Segera ia melangkah ke bawah pohon jambu. Pada batang pohon itu menancap sebatang jarum perak dengan panjang 3 dim. Tetapi ketika mencabut dan memeriksa, ternyata jarum itu tidak sama dengan jarum biasa. Ujungnya pecah dua, merupakan bentuk daun yang amat kecil sekali.

Karena pengalamannya amat terbatas, Han Ping tak tahu nama jarum rahasia itu. Setelah menyimpannya. ia terus hendak melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba dari belakang terdengar dengus tertawa dingin, “Kukira engkau memiliki ilmu naik ke langit, kiranya hanya bersembunyi di tempat gelap saja. Hm, sungguh memalukan engkau mengaku dirimu sebagai seorang anak laki-laki!”

Dampratan itu benar-benar telah menyinggung perasaan Han Ping. Seketika meluaplah darah panasnya. Serentak ia berputar tubuh. Si dara baju hitam berada pada jarak tiga empat meter.

“Janganlah nona berkata seenak hati sendiri. Aku tak kenal padamu maka akupun mengalah saja. Tetapi jangan mengira kalau aku sungguh-sungguh takut kepadamu! “ serunya.

Dara itu tertegun. Rupanya ia tak menyangka kalau mendapat penyahutan demikian. Katanya, “Apakah engkau berkata kepadaku? “

“Di sini selain engkau dan aku, tiada orang lain lagi. Sudah barang tentu berkata kepadamu!”

Bukan kepalang marah dara itu. Tiba-tiba ia menggeliat, “Engkau berani memaki aku….”

Han Ping juga masih berdarah panas. Melihat sikap dara itu makin sombong, ia cepat menukas, “Mengapa tak berani?”

Dara itu memandang lekat2 kepada Han Ping.

Beberapa saat kemudian ia tersenyum, “Engkau berani memaki karena engkau tak tahu aku ini siapa. Jika sudah tahu, tentu engkau takkan berani memaki aku!”

“Sikapmu terhadap orang yang begitu memandang rendah, sudah pantas kalau didamprat. Hai, Jika tak ingat engkau ini seorang perempuan tentu dari tadi sudah kuberi hajaran! “

Dara itu gelengkan kepala menghela napas, “Seingatku, belum pernah aku berhadanan dengan orang yang sekurang ajar engkau. Boleh dikata engkaulah manusia di dunia yang pertama berani memaki aku ….. “

Han Ping tertawa dingin, “Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya aku malu untuk bertengkar dengan anak perempuan. Tetapi karena engkau terus menerus menghina, terpaksa aku tak tahan…….”

Tiba-tiba ia sadar bahwa kalau terus menerus ribut mulut dengan dara itu, entah kapan nanti baru selesai. Maka ia tak mau melanjutkan pembicaraan lagi. Berputar tubuh terus loncat ke atas rumah dan lari.

Dara itu masih ter-longong2. Ia Lantas tertegun mendengar makian Han Ping. Seumur hidup baru pertama kali itu ia didamprat tajam oleh orang. Ketika sadar, ia hendak mengejar Han Ping. Tetapi pemuda itu sudah tak tampak lagi bayanganaya. Ia banting2 kaki dan memaki seorang diri, “Jangan harap engkau ketemu aku lagi. Sekali bertemu tentu akan kuhajar sampai rontok gigimu!”

Makian itu bernada cukup keras sehingga Han Ping masih dapat mendengarnya. Tetapi ia anggap tak perlu melayani. Setelah melintasi beberapa bangunan rumah, tibalah ia di sebuah halaman yang indah. Penuh dengan tanaman bunga seruni dan Dahlia yang tengah mekar.

Walaupun saat itu dalam pertengahan musim rontok tetapi bunga2 itu tetap segar. Diam-diam ia merasa heran juga.

“Halaman ini sunyi senyap, jarang dikunjungi orang. Tetapi mengapa dihias dengan aneka bunga yang begitu indah….” pikirnya.

Tiba-tiba gerumbul bunga yang di tengah halaman itu bergoyang2 dan menyusul terdengar suara teriakan perlahan, “Budak, lekas engkau beristirahat. Malam ini kita sia2 saja kemari!”

Itulah suara si Pengemis-sakti Cang To. Han Ping cepat loncat turun. Tampak pengemis tua itu sedang duduk bersandar pada gerumbul pohon bunga. Hawa arak menyelubungi bau bunga yang harum.

Banyak sekali pertanyaan yang Han Ping hendak ajukan. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, si Pengemis-sakti sudah mendahului, “Pengemis tua mengira kalau dia sendiri memperoleh berita rahasia itu. Siapa tahu ternyata telah tersiar di luar. Budak,jika engkau berayal lagi beberapa saat engkau tentu akan menjumpai banyak kesulitan! “

Habis berkata pengemis itu segera mengambil buli2 arak dari punggungnya lalu meneguknya.

“Rupanya banyak sekali jago2 sakti yang datang ke tempat ini,” kata Han Ping.

Pengemis sakti itu tersenyum, “Bukankah engkau telah kesomplokan dengan seorang dara baju hitam yang tingkahnya berandalan? Jika tak salah, engkau pasti menerima dampratannya! “

“Hai, lo-cianpwe tahu semua? “ Han Ping kaget.

“Jika tahu dan mengatakan hal itu, bukanlah suatu kepandaian namanya,” sahut Cong To.

Han Ping menghela napas pelahan, serunya, “Malam ini aku dimaki-maki dua orang. Yang Satu membuatku diam tak mampu menjawab. Yang satu, membuat aku naik darah! “

Cong To tertawa, “Dara baju hitam itu memang terkanal berandalan di daerah Se-pak. Tidak mengherankan kalau dia memakimu.”

Melihat pengemis itu tenang2 saja mendengar diri Han Ping dimaki orang dan bahkan mengatakan memang sudah selayaknya, Han Ping mendongkol juga, “Jika tak mengingat dia itu seorang anak perempuan, tentu sudah kuhajarnya!”

“Uh, budak perempuan itu tak boleh dibuat main2. Lebih baik engkau jangan cari perkara dengan dia,” kata si Pengemis-sakti seraya meneguk araknya lagi.

“Kalau begitu lo-cianpwe tentu kenal padanya? “

Sahut Pengemis-sakti, “Pengemis tua ini tak takut setan belang tetapi terhadap budak perempuan itu agak gentar juga. Aku tak mampu menghajarnya, apalagi engkau ….” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena teringat waktu di biara tempo hari, Han Ping pernah menyaksikan bagaimana ia telah dihina oleh seorang jelita baju hijau.

Han Ping seorang pemuda yang berwatak keras. Meluaplah darah panasnya mendengar kata-kata pengemis sakti itu, serunya, “Kalau begitu, apabila bartemu dengan dia lagi, aku tentu hendak minta pelajaran kepadanya!”

Pengemis-sakti tartawa gelak2, “Ho, darahmu mudah panas, budak!”

Han Ping heran mengapa pengemis itu malah tertawa begitu bebas, “Mengapa lo-cianpwe tertawa begitu lepas? Apakah tak takut didengar penghuni gedung ini? “

Sin ciu It kun memang licin sekali. Sebenarnya malam ini dia hendak mengadakan rapat dengan semua anakbuahnya. Tetapi mendadak dibatalkan, sehingga kita mendapat hidung panjang….”

Tiba-tiba Han Ping teringat ketika keliru masuk ke dalam kamar tawanan sidara baju ungu. Lelaki berjubah panjang itu mengatakan bahwa Chungcu (majikan), akan datang, Ia duga yang dimaksud dengan sebutan Chungcu itu, tentulah Sin-ciu It-kun sendiri. Tetapi mengapa mendadak dia tak jadi datang?

Karena tak mempunyai pengalaman, apa yang terkandung dalam hati tentu serentak ditanyakan. “Apakah kedatangan kita ke gedung ini, sudah diketahuinya? Tetapi gedung ini penuh dijaga dengan penjaga2 yang bersembunyi!”

“Sekalipun belum tentu dia tahu tentang kedatangan kita tetapi ternyata yang datang kesini, bukanlah hanya kita berdua saja,” tiba-tiba Pengemis-sakti itu teringat sesuatu maka ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia serentak berbangkit.

Melihat pengemis itu bersikap tegang, Han Pingpun ikut berdiri dan bertanya, “Kenapa?”

Sambil gelengkan kepala Cong To menyahut pelahan, “Ih Thian-heng memang luar biasa lihainya. Kalau dia sampai tak datang, tentulah sudah memasang jerat. Mungkin juga dia sebenarnya sudab berada dalam gedung ini tetapi bersembunyi.”

Han Ping tertegun. Sejanak ia memandang sekeliling penjuru. katanya “Ah, tak mungkin. Para penjaga banyak yang kulukai. Jika Ih Thian-heng sudah berada disini, tak mungkin ia hanya berpeluk tangan saja.”

Cong To menghela napas. “Dia seorang manusia yang berhati dingin. Jangan cepat-cepat menilai dia dengan ukuran orang biasa!”

Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Dara baju hitam itu, apabila turun tangan tentu amat ganas sekali. Olah karena itu setiap tokoh di kalangan Rimba Hijau (penyamun) daerah Sepak, jeri kepadanya. Untung dia jarang keluar sehingga sulit untuk orang hendak menemuinya. Kalau dia sering keluar ke dunia persilatan, mungkin sudah terjadi geger. Sebagian besar penjaga2 gedung ini tentu rubuh di tangannya.”

Han Ping hendak mencela dara baja hitam yang ganas itu tetapi teringat bahwa yang dihajar itu anakbuah Sin-ciu It-kun, diam-diam ia tak jadi mencela.

Tampak Pengemis-sakti memandang ke langit. Rupanya dia tengah menghadapi suatu persoalan sulit. Han Ping pun tak mau menggangunya. Ia melontarkan pandangan menyelidik ke arah gedung di sebelah depan. Luasnya hampir setengah bahu. Kecuali dihias dengan aneka bunga, pun terdapat juga sebuah gunung-gunungan palsu yang dibuat orang. Di bawah gunung-gunungan itu, terdapat sebuah empang air seluas satu tombak. Empat buah rumah berderet-deret jadi satu. Setiap rumah menghadap ke kebun bunga, Kedua jendelanya besar yang tertutup, asal terbuka tentu dapat melihat keluar.

Setelah meninjau keadaan di sekeliling halaman itu, kembali ia berpaling kepada Pengemis-sakti. Tampak pengemis itu tengah memandang sebatang pohon bunga dengan tak berkedip, Han Ping tahu pengemis tua itu cerdas dan banyak pengalaman. la tak berani mengganggunya. Dalam pada itu diam-diam perhatiannya tertumpah kepada si dara baju hitam. Mengapa seorang dara yang begitu muda belia, mempunyai kewibawaan yang sedemikian hebat. Bahkan seorang tokoh macam Pengemis-sakti pun juga jeri kepadanya.

Darah muda Han Ping kembali meluap. Makin keras keinginannya untuk mengadu kepandaian dengan dara itu apabila kelak bertemu lagi.

Karena memikirkan hal itu, hatinya terasa gelisah, ia segera berjalan menurutkan jalan kecil yang terbuat daripada batu2 kecil yang bundar, menuju ke rumah di sebelah kanan.

Naik ke atas titian, terdapat serambi yang mangalingi kebun bunga itu. Titian dipagari oleh pagar merah yang membatas kolam dengan kebun.

Juga jendela rumah itu indah sekali buatannya. Berbentuk bundar dan dihiasi dengan huruf2 doa puji Kebahagiaan dan Keselamatan.

Makin heran Han Ping dibuatnya. Masakan di dalam sebuah pedesaan yang terpencil sunyi, terdapat sebuah gedung yang begitu indah. Seketika timbullah rasa ingin tahu dari pemuda itu. Ia tak peduli segala apa, pokoknya hendak mengetahui apakah yang berada dalam ruangan rumah. itu Segera ia melangkah maju dan hendak mendorong daun jendela.

Tepat pada saat itu dari belakang terdengar suara gelak tertawa dari Pengemis-sakti Cong To. Buru-buru Han Ping tarik pulang tangannya dan berpaling ke belakang, menghampiri ke tempat Cong To.

heran mengapa pengemis tua itu tertawa seorang diri.

Begitu melihat wajah pengemis itu berseri gembira meneguk buli-buli araknya, Han Ping tak berani mengganggu dan hanya berdiri di sampingnya.

Setelah dua kali meneguk, pengemis itu letakkan buli-bulinya, mengusap mulut lalu melirik ke arah pemuda itu, menyengir seperti kucing tertawa. Sudah tentu Han Ping geli melihatnya.

Han Ping hendak bertanya tetapi kembali didahului Pengemis-sakti lagi, “Budak, engkau tentu makin heran melihat keadaan gedung ini. bukan..??”

Mendengar pertanyaan yang tak diinginkan itu Han Ping menyahut enggan, “Memang istimewa sekali pembuatan rumah ini.”

Pengemus tua inimasih menganggap dunia kosong belaaka. Selamanya tak perduli rumah orang bagus atau tidak. Bagiku hanya merasa gedung ini memang luar biasa dari biasanya. Turut pendapat pengemis tua, gedung ini tentu mempunyai keistimewaan yang hebat!”

Mendengar pernyataan itu, kembali Han Ping keliarkan matanya ke sekeliling penjuru. Dalam hati ingin menjawab pernyataan si pengemis tetapi mulutnya tak tahu bagaimana harus mengucap.

Sekali lagi Pengemis-sakti melirik Han Ping. Melihat pemuda itu diam saja, ia berkata pula, “Tak kira mereka begitu cermat dan hati2 sekali. Setiap langkah direncanakan dengan teliti. Budak, mungkin engkau masih hijau sehingga tak mampu melihat rahasia dari perangkap mereka!”

Anak muda memang mudah tersinggung. Demikian pula dengan Han Ping. Ia merasa tersinggung mendengar kata-kata Pengemis sakti itu. Sambil mendenguskan hidung, ia menyahut, “Kedatanganku kemari, pun juga atas perintah lo cianpwe. Tetapi mengapa lo-cianpwe mengatakan hal2 yang tak kumengerti? Adakah lo cianpwe merasa takut?”

Pengemis-sakti tertawa gelak2, “Seumur hidup pengemis-tua berkelana di dunia persilatan, pernah basah kuyup dalam air. Pernah terbakar dalam api, pernah menerjang gunung golok hutan pedang. Tetapi selama itu belum pernah pengemis tua ini merasa gentar. Masakan setelah menjelang liang kubur, pengemis tua masih temaha hidup takut mati?”

Kalau biasanya, Han Ping tentu tak dapat menjawab. Tetapi entah bagaimana pada saat itu setelah mengetahui bahwa gedung itu milik Ih Thian-heng, ia benar tak mau melepaskan kesempatan itu. Segera ia berseru dingin, “Jika lo-cianpwe memang sudah niat datang kemari dan tak takut apa-apa, maka sekalipun gedung ini penuh dengan keanehan apa saja, kita harus tetap menerjangnya!”

Diam-diam Pengemis-sakti Cong To menganggap watak Han Ping itu lebih tak sabaran dari dirinya. Diam-diam ia hendak menghajar adat pada anak muda itu.

“Bagi pengemis tua ini, bukan soal takut atau tidak takut. Melainkan aku tengah berpikir apakah yang tersembunyi dalam ruang kamar itu.”

Ia melihat ke arah gunung2an palsu katanya pula, “Menilik gelagatnya, bukan hanya kamar itu yang ada apa-apanya, pun gunung2an palsu itu juga tidak sewajarnya. Didirikannya di tempat ini tentu bukan tak ada sebabnya!”

Habis berkata kembali Pengemis-sakti itu memandang Han Ping untuk menunggu reaksinya.

Benar seperti yang diduga Pengemis-sakti, seketika menggeloralah hati Han Ping. Ia anggap pernyataan pengemis itu memang benar. Berpaling ke arah Pengemis sakti, segera ia berseru dengan bersemangat, “Menurut pandangan lo-cian-pwe, tempat ini tentu ada apa-apa yang patut dicurigai. Mumpung Ih Thian-heng tak muncul, bukankah kita dapat menyelidikinya.?”

Han Ping duga, Pengemis-sakti itu tentu akan menyetujui sarannya. Tetapi di luar dugaan, malah berkata dengan wajah serius, “Jangan, jangan! Sekalipun dia tak muncul tetapi menurut pernitungan pengemis tua, hal itu memang mencurigakan sekali. Jika tak salah, sesungguhnya Ih Thian-heng sudah datang tepat pada waktunya. Dan yang datang kesini tak sedikit jumlahnya. Semisal dengan dara baju hitam yang engkau jumpai tadi, juga datang kemari. Dengan begitu, nanti malam tentu akan terjadi keramaian yang hebat. Jangan engkau terburu nafsu dulu. Jika kita bertindak secara gagabah, siapa tahu kitalah yang akan terbentur dengan kesulitan. Tak perlu mengatakan yang lain2, cukup dara haju hitam itu saja sudah cukup untuk menyulitkan kita. Bukan karena pengemis tua takut urusan, tetapi sesungguhnya budak perempuan itu memang bisa membikin kepala orang pusing….”

Baru Pengemis-sakti berkata sampai disitu, tiba-tiba dari balik gustung-gunungan palsu terdengar suara melengking, “Hai, sebagai seorang cianpwe, ternyata engkau tak segan merangkai cerita panjang lebar tentang ketidak benarnya kedatanganku. Sungguh tidak tepat sekali!”

Pengemis sakti memandang Han Ping, kerutkan dahi. Dan Han Pingpun juga memandangnya. Keduanya bertukar pandang beberapa jenak lalu sama-sama berpaling ke arah gunung2-an palsu itu.

Dari balik gunung-guuungan muncul si dara baju hitam yang punggungnya menyanggul sepasang pedang. Memandang si pengemis tua, berkatalah dara itu seolah-olah kepada dirinya sendiri, “Orang yang sudah berumur begitu tua tetapi di belakang mash suka mengomongkan seorang muda. Hm, benar-benar orang bisa geli.”

Enak sekali ia mengucap tetapi bagi telinga orang, seperti ditusuki jarum. Han Ping berpaling ke arah Cong To tetapi pengemis tua itu malah memandang ke lain jurusan. Seakan-akan tak mendengarkan kata-kata si dara tadi. Melihat itu tahulah Han Ping bahwa Cong To tak mau bentrok dengan dara itu.

Jelas kata-kata dara itu ditujukan pada Pengemis-sakti Cong To, tetapi mengapa pangemis itu diam saja? Diam-diam Han Ping penasaran sendiri. Masakan seorang cianpwe yang ternama, mandate saja didamprat seorang dara?

Kali ini Han Ping tak mau mengalah lagi. Ia tersenyum tawar, serunya, “Seoraag anak perempuan tetapi bicara begitu tak mengindahkan terhadap seorang cianpwe!”

Di luar dugaan dara baju hitam itu tak ma rah didamprat Han Ping. Ia hanya memandang pemuda itu dengan dingin, “Bukan urusanmu, Lebih baik jangan ikut campur! Jika tak mengingat engkau pendatang baru dalam dunia persilatan, tak mungkin kubiarkan angkau bersikap begitu kepadaku ……”

Jawab Han Ping, “Engkau bilang urusan ini tak menyangkut diriku? Tetapi Cong lo-cianpwe sedang bicara padaku. Dan lagi mataku tak dapat membiarkan engkau bersikap begitu….. “

Belum Han Ping selesai bicara, dara itu sudah menukas, “Sudah beberapa kali aku telah melanggar pantangan memberi kelonggaran kepadamu. Tetapi rupanya engkau tak kenal gelagat, semakin dapat hati semakin melonjak. Apakah karena engkau merasa punya sandaran muka berani menghina aku?”

Han Ping tertawa nyaring, “Terima kasih atas kebaikan nona memberi kelonggaran kepadaku. Tetapi segala tindakanku ini, sama sekali bukan karena mengandalkan bantuan orang. Aku yang berbuat, aku sendiri yang tanggung akibatnya. Ah. untung engkau seorang anak perempuan, coba seorang lelaki, hm, hm. tentu lainlah tindakanku.”

Dara baju hitam itu tertawa menyeringai. “Lalu apa tindakanmu kepadaku? Ingin benar kudengar pernyataanmu!”

Setelah beberapa saat bicara dengan dara itu, kemarahan Han Pingpun agak reda. Apalagi dara itu tidak marah dan marah selalu tersenyum, Han Ping merasa sungkan juga. Ia menghela napas panjang, ujarnya, “Engkau datang kemari karena Ih thian-hang, begitupun aku. Karena Ih Thian-heng tak ada, mengapa aku harus bertengkar dengan nona? Aku takkan mencampuri urusanmu, engkau pun jangan peduli urusanku!’

Tiba-tiba dara itu mengerutkan kening dan berseru dengan dingin, “Engkau tak mau marah kepadaku. tetapi akulah yang akan marah kepadamu!”

Han Ping maju dua langkah. katanya, “Jika nona menghendaki begitu. terpaksa akupun akan melayani!”

Data itu menggeliat maju ke muka seraya tertawa, “Ih, engkau mau mengajak berkelahi?”

Marahlah Han Ping. Ia anggap dara itu keliwat congkak dan perlu dihajar. Serunya, “Aku seorang anak laki, jika nona hendak berkelahi, aku bersedia mengalah tiga jurus.”

Kata-kata itu bagai minyak yang menyiram api kemarahan si dara. Seketika wajahnya memancarkan hawa pembunuhan. Tanpa banyak bicara, ia maju mendekat dan lepaskan tiga buah pukulan ke udara, “Aku malas banyak bicara dengan engkau. Seperti yang engkau kehendaki, aku sudah memukul tiga kali, nah, sekarang giliranmu yang turun tangan!”

Han Ping pasang kuda-kuda seraya mempersilahkan orang, “Silahkan nona menyerang!”

“Huh, segala tata cara brengsek!” ujar dara itu seraya melangkah kanan Han Ping. Tangannya kiri menghantam dada orang. Han Ping menyurut ke belakang tiga langkah tetapi dara itu mendesak maju sambari ayunkan kedua tangannya. Dalam sekejab mata saja, duabelas pukulan teloh mencurah dari tangan dara itu.

Serangan itu benar-benar mirip dengan hujan mencurah. Duabelas pukulan susul menyusul tak memberi kesempatan pada lawan. Han Ping terpaksa harus mundur sampai 6 langkah. Diam-diam ia terkejut heran melihat serangan berantai yang menabur laksana kilat menyambar cepatnya itu.

Setelah keduabelas pukulan dara itu selesai, barulah Han Ping dapat berdiri tegak. Mengempos semangat, ia balas menghantam seraya menerjang.

Dara itu tertawa dingin. Tangan kanan menarik ke belakang sehingga tenaga pukulan Han Ping terseret ke samping. Kemudian tangan kiri dara itu bergerak dengan jurus Menutup-pintu-mendorongrembulan untuk merangsek bahu Han Ping.

Han Ping terkejut karena gerakan tangan dara itu mempunyai daya sedot yang hebat. Han Pingpun tak mau kalah hati. Ia kokohkan kedua kakinya, sambil bertegak dada dan menarik kembali tangannya serta tangan kiri mencengkeram pergelangan si dara dengan jurus Kin-liong chiu!

Tangan kiri dara itu bergerak cepat sekali. Pada saat ujung jarinya menyentuh bahu Han Ping, tangan kiri pemuda itupun sudah menyentuh pergelangan tangan si dara juga.

Huh …. keduanya menyurut mundur untuk menghindari serangan masing-masing. Sejak beradu pandang, keduanya maju saling menyerang lagi.

Kali ini Han Pirg tak berani memandang rendah Mereka bertempur cepat dan saling dahulu-mendahului untuk merebut kesempatan. Yang tampak hanya dua sosok bayangan yang bergamburan macam orang menari cepat. Sepuluh jurus kemudian, sukar dibedakan mana si dara mana Han Ping.

Pengemis-sakti Cong To enak2 saja melihat pertempuran seru itu. Ia mengambil buli – buli araknya. Sambil minum sambil menikmati pertempuran.

Ia pernah berkelahi dengan Han Ping dan tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian sakti. Ia percaya dara baju hitam itu tentu tak mampu melayani sampai limapuluh jurus.

Tetapi di luar dugaan, makin lama pertempuran itu makin berjalan seru. Limapuluh jurus cepat berlalu dan ternyata si dara bukannya kalah, malah makin hebat serangannya. Jurus yang digunakan makin aneh dan jarang tampak di dunia persilatan. Selain luar biasa cepatnya, pun setiap seranganya selalu tepat mengarah pada bagian yang berbahaya.

Tetapi gerakan Han Pingpun makin lama makin dahsyat. Pukulannya sekeras palu besi yang mampu menghancurkan batu karang. Gerak perubahannya sukar diduga.

Tanpa disadari, pengemis tua itu makin tertarik perhatiannya. Diam-diam ia menimang, “Kedua anak muda itu saling mengeluarkan ilmu kepandaian yang luar biasa. Yang satu pukulannya keras. Gerakannya terang-terangan tetapi mengandung perobahan yang sukar diduga. Yang lain, gerakannya cepat sekali dan ganas. Jika dapat menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu, rasanya di dunia ini tentu tak ada yang dapat menandinginya!.”

Han Ping memang beradat tinggi. Mendengar gerutu si pengemis tua dalam menilai pertempuran itu, seketika meluaplah kemarahannya. Dengan menggembor keras, ia lontarkan dua buah pukulan. Tampaknya tiada bertenaga, tetapi waktunya tepat sekali. Seketika dara baju hitam itu dipaksa mundur tiga langkah.

Dara itu tampaknya menderita luka-dalam yang parah. Tubuhnya menggigil dan tiba-tiba ia muntah darah lalu pejamkan mata. Pada saat itu jika Han Ping mau menghantam lagi, dara itu pasti binasa. Tetapi pemuda itu tak mau menyerang lagi. Ia tegak sambil menengadah ke langit, seperti merenungkan sesuatu.

Berselang beberapa jenak setelah tegak berdiam diri, dara baju hitam itu tiba-tiba melengking dan menyerang lagi dengan kedua tangannya. Han Ping terpaksa menangkis. Tetapi tiba-tiba ia mendengus tertahan dan mundur sampai lima langkah lalu rubuh.

Pada saat ia rubuh, tiba-tiba ia menggembor keras da menghantam. Tidak keras tampaknya gerak pukulan itu. Tetapi tiba-tiba dara baju hitam itu melengking kaget ketika dirinya terdorong oleh suatu tenaga dahsyat sehingga terlempar ke udara dan jatuh terkapar di tanah….

Seketika suasana hening lelap. Di bawah sinar bintang di langit kelam tampak dua sosok tubuh anak muda, menggeletak di tanah. Keduanya samasama menderita luka-dalam yang parah sekali sehingga tak mampu duduk.

Seorang tokoh persilatan termasyhur macam Cong To, tetap tak mengerti apa sebab kedua anak muda itu terluka. Matanya si pengemis yang jeli dapat melihat ketidak-wajaran wajah Han Ping. Diam-diam ia terkejut. Ia tahu pemuda itu terkena pukulan yang amat beracun. Meraba dahi pemuda itu, ia makin percaya bahwa pemuda itu terluka-dalam yang parah.

Cong To tertegun. Ia tundukkan kepala merenung. Tetapi tetap tak dapat mengetahui ilmu pukulan yang digunakan dara baju hitam itu.

Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang mendatangi. Ketika berpaling, is melihat seorang tua berjubah biru dan berjenggot panjang, tengah muncul dengan langkah pelahan. Wajahnya keren sekali, langkahnya sarat. Tanah yang dilalui, meninggalkan bekas telapak kaki yang cukup dalam. Matanya memandang ke arah si dara baju hitam yang masih menggeletak di tanah.

Pengemis-sakti Cong To cepat dapat mengenal orangtua itu dan secepat itu ia pun segera siap2.

Setelah dekat, orangtua jubah biru tiba-tiba berhenti lalu tertawa dingin, “kukira siapa, kiranya engkau pengemis tua ……”

Sejenak berhenti tiba-tiba ia berseru pula degan nada keras, “Siapakah yang telah melukai anak perempuanku ini? Lekas bilang!”

Cong To menengadahkan muka dan tertawa panjang, “Apakah kata-kata saudara Siangkwan yang keras itu ditujukan kepadaku si pengemis tua ini?”

“Di sini hanya engkau dan aku. Jika tidak kepadamu, apakah aku bertanya pada diriku sendiri?”

“Tetapi telinga si pengemis tua ini masih belum tuli, harap saudara Siangkwan jangan berteriak begitu keras!”

“Pengemis busuk!” bentak orangtua jubah biru itu, “lain orang memang takut kepadamu, tetapi aku Siangkwan Ko tak takut!”

Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, “Kalau engkau tak takut kepada pengemis tua, masakan pengemis tua takut kepadamu?”

Dengan menggembor keras, Siangkwan Ko terus menghantam. Angin keras mendesir ke arah sipengemis sakti. Tetapi dengan tertawa dingin Cong To gerakkan tangan kanan menangkis.

Desss . .. dua tenaga sakti saling berbentur. Dan tubuh kedua jago tua sama-sama berguncang.

Siangkwan Ko tarik pulang tangannya lalu berseru, “Ahh, nama Pengemis-sakti benar-benar tak kosong. Silahkan terima lagi sebuah pukulanku!”

Pengemis-sakti Cong To bersiap dan menjawab, “Silahkan, pengemis tua siap melayani.”

Pada saat Siangkwan Ko hendak dorongkan kedua tangannya, tiba-tiba ia teringat sesuatu dan batalkan gerakannya, “Dalam adu tenaga ini, salah satu tentu akan menderita luka….”

Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak2, “Hmm. kau benar tetapi entah siapa yang akan menderita luka itu. Jiwa pengemis tua ini sih tak berguna, tetapi saudara Siangkwan sebagai pemimpin kaum persilatan daerah Utara, seharusnya meninggalkan pesan.”

Sahut Siangkwan Ko, “Ah. saudara Cong terlalu membikin kecil hati orang. Sebelum bertempur, aku ingin meminta penjelasan pada saudara!”

Cong To tertawa, “Dalam hati pengemis tua, juga mempunyai sebuah hal yang hendak mohon petunjuk saudara. Tetapi karena saudara telah mendahului, silahkan mengatakan lebih dulu!”

Siangkwan Ko mendengus dingin. “Dengan kepandaian yang engkau miliki, tak mungkin engkau mampu melukai anakku. Ingin kutahu, siapakah yang telah melukai anakku itu?”

Melihat jago tua itu menggigil, Cong To dapat menduga tentu hatinya sedih sekali. Diam-diam pengemis tua itu menimang dalam hati, “Hm, dia sedang sedih dan marah sekali. Jika jadi bertempur dia tentu akan bertempur sampai mati. Orang-orang dari kedua Lembah dan ketiga Marga, menyohorkan orang tua ini sakti sekali dan peribadinya termasuk golongan Putih. Jika kulayani dia bertempur, yang untung tentulah Ih Thian-heng….”

Karena sampai beberapa saat pengemis tua itu diam saja. Siangkwan Ko tak sabar lagi. Berserulah ia dengan keras, “Pengemis tua, orang persilatan mengatakan namamu sebagai pendekar perwira. Tetapi ternyata hanya seorang manusia yang berani unjuk ekor tak berani memperlihatkan kepalanya!”

Rupanya jago tua Siangkwan itu marah sekali sehingga ia tak mau menggunakan panggilan ’saudara’ lagi.

Berpaling memandang ke arah Han Ping yang masih rebah. Cong To berseru tawar, “Singkwan Ko, agaknya jiwa dari anakmu itu amat berharga sekali. Tetapi masakan jiwa orang lain juga tak berharga?”

Menurutkan arah pandang Cong To yang menumpah kepada Han Ping, Singkwan Ko tertawa nyaring serunya, “Sekalipun seribu jiwa tokoh-tokoh persilatan yang Sakti, bagiku tetap tak lebih berharga dari selembar jiwa puteriku .”

Dua butir airmata menitik turun dari pelapuk jago tua itu.

Cong To tergetar hatinya.Ia tahu bahwa kesadaran pikiran orang she Siangkwan itu sudah kacau, Lebih baik ia mengalah.

“Wan-ji, kata Siangkwan Ko seorang diri,” matilah engkau dengan tenteram, Ayahmu hendak membunuh seribu tokoh persilatan untuk menjadi hambamu di alam baka .. .”

Makin terkejutlah Cong To mendengar ocehan Siangkwan Ko yang sudah kacau pikirannya itu. Cepat-cepat ia mencari akal. Tiba-tiba ia berjongkok dan meraba dada Han Ping. Jantung pemuda itu masih berdetak dan napasnyaoun masih berhembus sekalipun lemah. Serentak is berseru keras2, “Saudara Siangkwan, lekas periksa apakah puterimu benar-benar sudah meninggarl”

oooo0000oooooooo

Antara Putih dan Hitam.

Siangkwan Ko tertegun. Sampai sekian lama baru saat itu ia tersadar. Buru-buru iapun berjongkok dan lekatkan telinganya ke dada puterinya. Tiba-tiba is mengangkat kepala dan menghela napas longgar. Segala kesedihan, kedukaan, keputus-asaan telah lenyap keluar. Sikapnya tenang kembali.

Ia berpating ke arah pengemis-Sakti dan bertanya, “Saudara Cong, bagaimanakah persoalan ini. Siapakah yang rebah di hadapanmu itu?”

“Kedua budak itu, sama-sama saling ngotot. Dari berbantah mulut sampai adu pukulan. Sampai lebih dari 100 jurus, tak ada yang kalah dan menang. Akhirnya masing2 mengeluarkan ilmu tenaga-dalam yang hebat dengan akibat keduanya sama-sama menderita luka!”

“Apa? Hanya dua orang yang bertempur?” seru Siangkwan Ko sambil melongok ke arah Han Ping.

“Apa? Masakan pengemis tua ini sudi ikut campur dalam pertempuran mereka?” balas Cong To.

Siangkwan Ko gelengkan kepala tertawa dingin. “Bagaimana pendapat saudara Cong tentang tenaga pukulanku?”

Cong To mengambil buli-buli araknya dan meneguk kemudian menyahut seenaknya, “Tak lebih keras dari kepunyaan pengemis tua!”

“Hm, mungkin tak lebih lemah dari engkau!” dengas Siangkwan Ko.

Cong To tertawa gelak2, “Jika saudara Siang-kwan tak percaya, nanti setelah kite tolong kedua budak ini, kita cari tempat yang sepi untuk adu jotosan!”

“Kalau saudara Cong mempunyai selera sudah tentu akupun senang melayani,” sahut Siangkwan Ko.

“Yang penting kita tolong dulu kedua budak ini. Soal adu kepalan itu kelak kita rundingkan lagi,” kata Cong To.

Siangkwan Ko mengangguk. Setelah kerahkan tenaga-dalam ia segera mengurut tubuh si dara baju hitam.

Sebenarnya Cong To agak bingung bagaimana harus meuolong Han Ping. Ia benar-benar tak mengerti ilmu kepandaian apa yang digunakan dalam pertempuran tadi. Tetapi serta melihat Siangkwan Ko mengurut2 tubuh puterinya, timbullah pikirannya untuk meniru. Segera ia mengurut-urut jalan darah penting pada tubuh Han Ping. Namun sampai sekian lama belum tampak hasilnya. Melirik ke arah Siangkwan Ko, juga jago tua itu belum dapat menolong puterinya.

Terdengar Siangkwan Ko menghela napas dan hentikan peng-urutannya Kemudian berkata, “Saudara Cong, ilmu apakah yang digunakan budak itu sehingga menyebabkan anakku tak dapat sadarken diri?”

Balas Cong To, “Ilmu apakah yang digunakan anakmu sehingga budak laki ini tak dapat kutolong .. …”

Belum selesai mengucap, tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa pelahan lalu suara yang penuh keramahan. “Tak perlu kalian berdua gelisah dan sibuk2. Kedua anak muda itu telah menderita luka-dalam yang berat. Harus beristirahat cukup lama baru mereka dapat sadarkan diri.”

Siangkwan Ko dan Pengemis-sakti Cong To cepat berpaling ke belakang. Tampak seorang lelaki pertengahan umur yang sikapnya seperti seorang terpelajar, berdiri pada jarak setombak jauhnya sambil memandang ke arah kedua jago tua itu.

Cong To serentak berbangkit: Ih Thian-heng.”

Sekali tubuh menggeliat sasterawan pertengah dan umur itu sudah meluncur ke hadapan pengemis-sakti, ujarnya, “Benar, memang aku Ih Thian-heng. Adakah saudara Cong selama ini tak kurang suatu apa?”

Ia segera memberi hormat.

Sesungguhnya walaupun sudah mendengarnya. tetapi Siangkwan Ko belum pernah melihat Ih Thian-heng. Kini, dengan sedikit gerak meluncur itu, cukup mengejutkan perasaan hati Siangkwan Ko, “Pengemis tua memang telah menduga engkau ten

Tetapi Ih Thian-heng tak mengunjuk reaksi apa-apa, kecuali tersenyum. “Ah, memang aku amat mengagumi perhitungan saudara yang selalu tepat!”

“Jangan menyanjung-nyanjung, pengemis tua tak senang dipuji-puji!” seru Cong To.

Ternyata Ih Thian-heng memang mempunyai peribadi yang kuat. Dia tak ambil pusing ucapan Cong To, Kemudian ia berpaling ke arah Siangkwan Ko: Saudara tentulah Siangkwan pohcu yang termasyhur dalam dunia persilatan di daerah Sepak!”

Dengan sungkan, Siangkwan Ko mengiakan.

Kembali Ih Thian-heng memberi hormat, katanya, “Ah, sudah lama mendengar kemasyhuran namanya, tetapi baru saat ini aku beruntung dapat bertemu.”

“Tetapi kebesaran nama saudara, menggema di seluruh dunia. Atu lah yang merasa beruntung sekali bertemu.”

Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Siangkwan dan saudara Cong, harap membawa kedua anak yang terluka itu ke dalam kamar. Hendak kuperiksa dengan ilmu pukulan apa meraka sampai terluka itu. Mudah-mudahan aku dapat memberi obat!”

Sejenak Siangkwan Ko memandang ke arah Cong To lalu mengangkat tubuh puterinya, “jika saudara benar-benar dapat menolong anakku ini, aku tentu akan membalas budi yang setimpal.”

“Dapat atau tidak aku membari pertolongan, sekarang ini belam dapat dipastikan,” kata Ih Thian-heng. “Harus parlu kuperiksa dulu baru dapat kupastikan. Jangan bicarakan soal budi!”

Dalam pada bicara itu. diam-diam Pengemis-sakti sudah mengambil keputusan. Bahwa ia sudah tak mampu menyembuhkan Han Ping. Daripada membiarkan anak itu mati, biarlah ia meluluskan Sinciu It-kun untuk mengobati.

Cepat ia mengangkat tubuh Han Ping. Tanpa bicara apa-apa, ia melangkah ke belakang Siangkwan Ko. Dengan segala keramahan budi, Sin-ciu Itkun mempersilahkan kedua orang itu mengkutinya menuju ke sebuah kamar di sebelah kiri.

Begitu tiba di muka kamar, pintu segera terbuka sendiri. Dalam kamar diterangi beberapa batang lilin besar. Ih Thian-heng mempersilahkan Siangkwan Ko dan Cong To masuk. Tepat bocah lelaki berumur tiga empatbelas tahun, siap menunggu di empat sudut. Di sampingnya masing2 terdapat meja dengan sebatang lilin merah.

Cong To sejenak memandang ke sekeliling lalu berpaling kebelakang. Tampak dua anak lelaki berdiri di belakang pintu. Selain keenam budak lelaki itu, tiada lain orang lagi. Di tengah kamar diberi sebuah ranjang kayu.

Ih Thian-heng minta Cong To menunggu. Ia hendak memeriksa puteri dari Siangkwan Ko lebih dahulu: ‘Setelah itu Baru nanti kuperiksa murid saudara….!”

Cong To membiarkan saja orang menganggap Han Ping itu muridnya. Ia duduk di kursi dekat dinding.

Setelah membaringkan si dara di atas ranjang. Siangkwan Ko berpaling ke arah Cong To, “O, kiranya dia murid saudara Cong …..”

Pengemis-sakti hanya tertawa dingin. “Sayang pergemis tua tak punya rejeki mengambilnya sebagai murid, hanya dapat menerima si pengemis kecil.

“Kalau bukan murid saudara Cong, lalu dari perguruan manakah dia?” tanya Siangkwan Ko.

“Bagaimana aku tahu?” Cong To marah.

Karena mengingat anaknya yang sedang rebah di atas ranjang, Siangkwan Ko tahankan kemarahannya.

Ih Thian-heng mulai memeriksa denyut nadi si dara. Beberapa waktu lamanya, baru ia lepaskan tangan dan berbangkit. Dengan wajah serius ia berkata kepada Cong To, “Saudara Cong. aku hendak minta tanya kepadamu apakah boleh?”

“Pengemis tua tidak buta tidak tuli, silahkan bertanya kalau ada persoalan!” sahut Cong To.

“Apakah pemuda itu benar-benar bukan murid pewaris saudara?” tanya Ih Thian-heng.

“Pengemis tua tak mungkin mampu menghasilkan seorang murid seperti ini. Jika tak percaya, terserah sajalah!” sahut Cong To.

“Ai, ai, dunia persilatan siapakah yang tak tahu kebesaran nama saudara Cong?” kata Ih Thian-heng

“saudara Ih, bagaimana dengan luka anak itu? Apakah masih ada harapan ditolong?” seru Siangkwan Ko agak gugup.

“Turut pemeriksaan tadi. puterimu telah terkena pukulan Lwekang tinggi,” kata Ih Thianheng, “untuk sementara ini belum dapat kuketahui jenis lwekang itu, Jika saudara Cong dapat memberi tahu tentu segera dapat kucari daya pengobatannya.”

Cong To tertawa dingin “Jika saudara Ih dapat memberitahu tentang pukulan lwekang yang diderita puteri saudara Siangkwan itu, mungkin pengemis tua ini juga dapat menolongnya!”

Sepasang mata Ih Thian-heng agak merentang, ujarnya, “Sekalipun tidak tahu lwekang itu, akupun tetap dapat menolongnya.

“Kalau begitu harap saudara Ih segera berusaha menolong jiwa puteriku itu. Seumur hidup Siang-kwan Ko pasti takkan melupakan budi saudara! eepat2 jago tua itu berseru.

Ih Thian-heng tersenyum simpul, “Ah, jangan lah saudara Siangkwan mengucap begitu. Sekalipun aku harus kehilangan sedikit tenaga-dalam, tetapi karena sudah meluluskan, tentu tak nanti akan membuat saudara bersedih kehilangan anak!”

Ia segera memegang tubuh dan baju hitam itu lalu berkata, “Dalam waktu memberi pertolongan kepada puterimu, janganlah aku sampai diganggu orang. Oleh karena itu kuharap saudara Siangkwan suka menjaga.”

Tanpa menunggu jawaban, Ih Thian-heng terus loncat ke dalam ranjang dan duduk bersila. Dia lekatkan kedua tangannya kepunggung dan pinggang si dara. Ia hendak menyalurkan tenaga-murni untuk mengobati luka si dara.

Melihat itu diam-diam Pengemis-sakti menimang2, “Jelas Siangkwan Ko itu amat mencintai puterinya. Jika Thian-heng sampai berhasil menyembuhkan dara itu ia tentu dapat menguasai Siangkwan Ko. Dengan demikian aku tentu terpencil seorang diri.”

Tiba-tiba terdongar derap langkah orang yang berjalan cepat. Ketika berpaling, ia melihat seorang lelaki gagah berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan pakalan Kim-ih (sutera warna kuning emas), jenggotnya memanjang sampai ke dada.

Di belakangnya tampak dua orang lelaki. Yang satu bungkuk dan yang satu bertubuh pendek.

“Ah, mengapa mereka juga kemari? Malam ini benar-benar akan terjadi pertunjukan yang ramai sekali,” diam-diam Cong To membatin.

Kiranya ketiga pendatang itu adalah ketua gunung Bik-lo-san dan kedua pengawalnya si Bungkuk dan si Pendek.

Karena sedãng menumpahkan perhatiannya mengobati sidara, Ih Thian-heng tak mengetahui kedatangan ketiga tetamu itu. Tetapi keempat bocah laki baju putih yang berdiri di samping meja, segera loncat ke pintu dan berjajar-jajar menghadang jalan. Juga kedua bocah baju putih yang semula menjaga di ambang pintu, pun berputar tubuh.

Keenam bocah laki itu serentak mencabut badik yang terselip di pinggang masing2.

Pengemis-sakti yang luas pengalaman, terkejut melihat keenam batang badik atau pedang pandak yang dihunus keenam bocah itu. Karena jelaslah bahwa enam batang badik itu adalah Thiansan-liok-kiam atau Enam-pedang dari gunung Thiansan yang termasyhur di dunia persilatan.

“Ah, memang hehat benar Ih Thian-heng itu,” kata Cong To dalam hati, “dia telah berhasil mendapatkan keenam pedang pusaka dari Thian-san yang termasyhur!”

Seratus tahun berselang, seorang sakti yang bergelar Thian-san Kiam-soh telah menerima enam orang murid. Menurut bakat pembawaan keenam muridnya masing2, Thian-san Kiam-soh telah membuat enam batang pedang dan diberikan kepada mereka. Dengan mengandalkan kepandaian ilmu-pedang itu, keenam murid Thian-san Kiam-soh masuk ke daerah Tiong goan untuk mengadu kepandaian dengan tokoh-tokoh persilatan daerah Tiong-goan.

Keenam murid itu bukan saja tinggi kepandaiannya, pun mereka telah herhasil membentuk sebuah Liok hap-kiam-tin atau barisan Gabungan–enam-pedang. Pedang mereka amat tajam sekali. Dapat memapas kutung logam seperti memapas tanah liat saja. Dengan senjata yang ampuh dan barisan yang tangguh, nama Thian-san-liok-kiam segera menggegerkan dunia persilatan Tiong-goan. Tiga tahun lamanya Thian-san-liok-kiam malang melintang di dunia persilatan Tiong-goan.

Melihat sepak terjang mereka yang sombong, marahlah keempat partai Kiam-pay (partai yang termashur ilmu pedangnya) Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Cengsia-pay dan Kun lun-pay. Mereka bersatu, untuk mengusir keenam jago pedang dari Thian-san itu. Demikian telah disetujui untuk mengadakan pertandingan ilmu pedang. Dalam pertempuran yang berlangsung sengit sekali, akhirnya Thian-san-liokkiam berenam tadi menderita luka parah. Tetapi mereka masih berhasil lolos dari kepungan keempat partai Kiam-pay itu.

Sejak menderita kekalahan itu, Thian-san-liokkiam tak pernah muncul di daerah Tiong-goan lagi. Demikianpun dengan keenam pedang pandak yang ampuh itu. Tak pernah lagi orang mengetahui tentang senjata itu.

Maka benar-benar mengejutkan bahwa pada malam itu keenam pedang pusaka Thian-san telah muncul kembali. Dan yang lebih mengherankan, keenam pedang pusaka itu berada di tangan keenam bocah lelaki.

Rupanya Siangkwan Ko tahu juga akan keenam pedang pandak itu. Diam-diam timbullah kecurigaannya. Tetapi karena perhatian terikat akan diri puterinya, ia kuatir akan membuat tak senang hati Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng, Maka ia diam saja.

Tampaknya ketua Bik-lo-san dan kedua pengawalnya sedang menunggu sesuatu. Mereka tak mau segera menerobos ke dalam kamar. Sampai beberapa waktu tiada seorangpun yang berkata-kata.

Tiba-tiba si dara baju hitam mengerang pelahan dan menggeliatkan tubuhnya. Melihat itu bukan kepalang girang Siangkwan Ko, serunya pelahan, “Ah, anakku, engkau sudah sadar?”

Tetapi setelah bergeliatan, si dara tak bergerak lagi. Sin-ciu It kun Ih Thian-heng membuka mata dan melirik ke arah pintu. Setelah melihat lelaki baju sutera mas dan kedua Bungkuk dan Pendek, ia mengangguk pelahan lalu pejamkan mata lagi untuk melanjutkan penyaluran tenaga-murninya kepada si dara.

Suasana dalam kamar itu sunyi senyap tetapi penuh dengan ketegangan. Wajah setiap orang berobah tegang. Keenam bocah baju putih itupun merentang mata, siap sedia. Hanya Ih Thian-seng yang masih melanjutkan pengobatannya kepada si dara, tampak menyungging senyum.

Siangkwan Ko yang berdiri di samping, memandang lekat2 ke wajah Ih Thian-heng. Demi melihat It-kun bersenyum, diapun berdebar-debar diamuk luapan rasa girang.

Sepeminum teh lamanya, kepada Ih Thianseng mulai basah dengan keringat. Dan tak berapa lama ujung hidungnyapun menitikkan keringat.

Siangkwan Ko tahu bahwa It-kun saat itu sedang menggunakan tenaga murni yang hebat mengobati luka puterinya. Walaupun ia tak mempunyai hubungan suatu apa dengan Sin-ciu Itkun, tetapi melihat kesungguhan orang memberi pertolongan, mau tak mau jago tua Siangkwan itu merasa berterima kasih sekali.

“Ah, saudara Ih terlalu banyak menghabiskan tenaga. Menurut pendapatku, baiklah kiranya saudara berhenti dan beristirahat dulu,” serunya.

Namun Sin-ciu It-kun yang tengah mengerahkan penyaluran tenaga-murni kepada si dara, tak mengacuhkan permintaan Siangkwan Ko itu. Siang-kwan tidak marah, kebalikannya ia makin merasa berhutang budi kepada Ih Thian-heng.

Tak berapa lama, dara baju hitam itu menggeliat lagi sambil julurkan kedua tangannya. Napasnyapun makin mengangsur berat.

Mata Ih Thian-heng yang berkilat tajam, memandang ke arah wajah si dara yang sudah mulai memerah lalu meraba pernapasan hidung dara itu.

Kemudian ia mempesut keringat di dahi sidara. Setelah itu ia kembali pejamkan mata lalu menghela napas longgar dan mengangguk kepala, “Saudara Siangkwan, kuhaturkan selamat kepadamu. Luka puterimu ini sudah tak berbahaya lagi. Asal beristirahat dan minum pil buatanku, dia tentu….”

Karena amat berterima kasih sekali atas pertolongan orang, maka cepat-cepat Siangkwan Ko berseru, “Saudara telah merelakan pertolongan besar kepada puteriku. Budi saudara Ih itu, Siangkwan Ku kelak akan membalasnya.”

“Janganlah saudara Siangkwan mengucap begini,” cegah Thian-heng, “jangankan nona itu adalah puteri kesayangan saudara, sekalipun aku belum kenal aku juga akan menolongnya. Sudah menjadi kewajiban kita kaum persilatan untuk memberi pertolongan kepada orang yang sedang menderita.

Ia beristirahat sejenak lalu melanjutkan berkata lagi, “Aku Ih Thian-heng, selama berkecimpung dalam dunia persilatan, setiap saat dan tempat tentu bersedia menolong orang. Dan sama sekali aku tak mengharap balas apa-apa….”

Ia menutup kata-katanya dengan tertawa nyaring.

Mendengar itu Pengamis-sakti Cong To deliki mata, menyeringai dan mendengus dingin.

Sin ciu It-kun rupanya tahu juga tanggapan sinis dari si pengemis. Ia berbangkit dan turun dari ranjang lalu berjalan mondar mandir di dalam kamar sambil memanggul kedua tangannya.

Sikapnya bebas sekali. Seolah-olah tak mengacuhkan si Pengemis-sakti dan suasana di luar pintu yang penuh dengan ketegangan itu.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar