Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 12 : Keluar dari makam Ko Tok Lojin

Jilid 12.

Karena Nyo Bun-giau diam saja, Kim Loji melanjutkan kata-katanya, “Yang mencekal pedang Perak itu adalah kepala dari golongan Rimba Hijau (penyamun) dari empat propinsi, ialah Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng. Tetapi anakmuda yang sedang mainkan pedang itu, aku tak kenal hanya pernah bertemu. Dan pedang panjang yang dibawanya itu adalah pedang Pemutus-asmara yang termasyhur didunia persilatan.”

“O pedang Pemutus Asmara ….” dengus Nyo Bun-giau.

“Benar, dan sarung pedang ini memang kurampas dari tangan pemuda itu,” kata Kim Loji.

Melihat Han Ping mainkan pedang pusakanya dengan perkasa, legalah hati Ih Seng. Ia mengusap keringat di kepalanya. Setelah batinnya tenang kembali, pendengarannya tajam lagi. Segera ia merasa bahwa dalam ruangan situ terdapat orang lain. Dengan tebarkan kipas untuk melindungi dadanya, ia berputar tubuh dengan mendadak. Cepat ia dapat mengenali kedua pendatang itu, Tertawalah ia gelak2, “O, kukira siapa, ternyata saudara Kim…”

Kemudian is menatap Nyo Bun-giau, tegurnya, “Kalau tak salah bukankah saudara ini saudara Nyo, kepala marga Nyo dari Kim-leng?”

“Ah, saudara terlalu sungkan….” buru-buru Nyo Bun-giau menyahut.

Tiba-tiba Han Ping menarik pulang pedangnya. Sambil memandang kepada kedua pendatang itu, ia bertanya dengan bisik2 kepada Ih Seng, “Yang manakah orang she Kim itu?”

“Yang lengannya terbungkus kain biru itu,” Ih Seng menerangkan.

“Bukankah dia yang disebut sebagai Kim Loji? tanya Han Ping pula.

Ih Seng mengiakan.

Seketika panaslah darah Han Ping. Sekali loncat ia menerjang Kim Loji. Tetapi Nyo Bun-giau cepat menyongsongnya dengan hantaman “Di luar langit-muncul-awan” seraya membentak, “Anak masih muda mengapa tak tahu aturan!”

Melibat pukulan orang she Nyo itu amat dahsyat, Han Ping segera empos semangat dan melambung ke udara, melayang ke samping beberapa meter jauhnya.

Nyo Bun-giau diam-diam terkejut. Yang dilakukan anak muda itu tergolong ilmu ginkang tataran tinggi.

Ih Seng pun cepat loncat ke samping Han Ping lalu menudingkan pedangnya ke arah Nyo Bun-giau, “Saudara ini adalah salah satu dari ketiga marga yang termasyhur, yakni saudara Nyo Bun-giau kepala Nyo-ke-poh. Orang menggelarinya sebagai Perancang-sakti karena mahir sekali dalam ilmu bangunan dan alat2 rahasia!”

Dengan mata ber-kilat2 Han Ping mengawasi Nyo Bun-giau lalu bertanya dengan nada dingin, “Aku merasa belum pernah kenal dengan Nyo pohcu. Tetapi mengapa tuan menghantam aku?”

Nyo Bun-giau tersenyum, “Tadi engkau menyerang keras sekali. Sebelum bicara, sukar untuk terhindar dari salah sangka. Hantamanku tadi hanya sekedar untuk menjaga diri saja!”

Licin benar orang she Nyo itu. Tetapi Han Ping yang jujur menganggap keterangan itu benar, karena Nyo Bun-giau berdiri dekat dengan Kim Loji. Serangannya tadi tentu disangka hendak menyerang Nyo Bun-giau.

“Nyo poh-cu benar, karena salah faham, aku pun takkan menarik panjang urusan ini,” kata Han Ping lalu berpaling menghadap Kim Loji, tegurnya nyaring, “Bukankah saudara ini yang dipanggil Kim Loji?”

Diam-diam Kim Loji memaki Nyo Bun-giau yang dianggapnya manusia licik. Setelah mengetahui pemuda itu tak dapat dibuat main2, Nyo Bun-giau berganti nada seolah-olah tak mau ikut campur dalam urusan itu.

Saat itu lengan Kim Loji yang kutung satu itu belum sembuh lukanya. Jika bertempur dengan Han Ping, jelas tentu ia akan menderita kekalahan. Maka ia memutuskan untuk mencari akal untuk meloloskan diri.

“Sikap membisu seperti kura2 menyembunyikan kepala itu, bukanlah laku seorang lelaki….” seru Han Ping yang tak sabar menunggu.

Seumur hidup belum pernah Kim Loji menerima dampratan setajam itu. Merah padamlah mukanya. Tetapi dia seorang rubah tua yang licin. Dalam keadaan dan saat seperti itu, terpaksa ia harus tebalkan kulit menelan hinaan.

“Benar, apa maksud saudara hendak mengetahui namaku?” sahutnya balas bertanya.

Han Ping tertawa dingin “Kalau begitu, engkau tak kenal padaku lagi?”

“Ini… ahh…. aku benar-benar tak ingat!”

Mengacungkan pedang pandak, Han Ping berteriak geram, “Kalau tak ingat aku, seharusnya engkau tentu masih ingat akan pedang ini!”

“Pedang Pemutus Asmara, merupakan pusaka yang jarang terdapat didunia persilatan. Dapat membelah logam seperti memotong tanah liat. Setiap orang persilatan tentu ngiler akan pusaka itu. Sudah setengah umur aku berkecimpung dalam dunia persilatan, masakan tak kenal pedang itu?”

Mendengar ocehan orang yang begitu berbelitbelit memanjang, Han Ping melangkah maju dan acungkan ujung pedang ke dada Kim Loji, bentaknya, “Dimanakah kotak tempat pedang ini? Lekas bilang! Jika berani bohong, jangan sesalkan aku bertindak kejam.”

Kim Loji rasakan pedang di muka dadanya itu menguarkan hawa dingin, Diam-diam ia menimang, “Anak ini masih berdarah panas. Berbahaya sekali kali kalau kubiarkan dia melekatkan pedang di muka dadaku. Sekali dia marah, habislah riwayatku…..”

Dengan tenang Kim Loji menjawab, “Memang aku yang mengambil kotak pedang Pemutus Asmara itu. Tetapi pengambilan itu bukanlah berasal dari maksudku. Aku hanya melakukan permintaan orang, Yang penting supaya merampas kotak pedang, bukan orangnya!”

“Tak banyak yang tahu bahwa pedang ini berada padaku. Siapakah yang memberitahukan kepadamu?”

“Dari mana engkau peroleh pedang itu?” Kim Loji balas bertanya,

“Perlu apa engkau tanyakan hal itu? Jadi engkau hendak mengulur waktu?” tiba-tiba Han Ping tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mendadak Nyo Bun-giau lepaskan sebuah hantaman

Biat-gong-ciang atau Pukulan-membelah-angkasa.

Han Ping terkejut berpaling. Tampak seekor binatang aneh bersisik mirip ular, merayap keluar dari pintu batu. Pukulan dahsyat dari Nyo Bun-giau tak diacuhkan binatang itu. Sejenak kibaskan kepalanya, tiba-tiba binatang itu melengking keras dan merayap makin cepat.

Ih Seng menggembor keras seraya loncat ke samping. Ia tak berani menyerang dari muka tetapi dari samping. Dengan tangan kiri mencekal kipas besi untuk melindungi muka, pedang perak di tangan kanan segera menusuk dengan jurus menyolok-naga kuning.

Bum…….. pedang perak tepat menusuk kepala binatang. Binatang aneh itu meringkik, berputar kepala terus ngangakan mulut hendak menggigit Ih Seng. Ih Seng buru-buru menyurut mundur.

Dalam kesempatan itu, Kim Loji segera membisiki Han Ping, “Jika binatang sampai masuk ke-mari, kita tentu ce1aka. Yang penting enyahkan dulu binatang itu, baru nanti kita bicarakan soal kotak pedang itu!”

Sebenarnya saat itu ia dapat menghantam punggung Han Ping yang tengah menghadap ke belakang. Tetapi walaupun sakti, Han Ping rnasih hijau. Baginya, Nyo Bun-giau itu jauh lebih berbahaya. Ia memperoleh pikiran untuk mengadu domba Han Ping dengan Nyo Bun-giau. Apabila kedua orang itu sama-sama remuk, mudahlah untuk membereskan mereka.

Han Ping berpaling, sahutnya, “Baik, akan kuusir binatang itu dulu, baru nanti membuat perhitungan lagi dengan engkau!”

Habis berkata, Han Ping terus melesat ke muka, menyerbu mahluk aneh itu. Rupanya mahluk itu takut akan pedang pusaka di tangan Han Ping. Cepat-cepat ia menyurut mundur ke dalam pintu batu lagi. Waktu merayap keluar, binatang itu bergerak pelahan sekali tetapi waktu menyurut mundur, gesitnya bukan alang kepalang.

Han Ping menghampiri ke pintu. Dia menyadari bahwa setiap waktu binatang itu tentu keluar lagi. Tetapi kalau terus menerus menunggu di situ, juga berabe.

Tiba-tiba Nyo Bun-giau loncat menghampiri. Ia menampar tembok dan terdengarlah bunyi berderak-derak. Tiba-tiba dari tembok itu meluncur keluar sebilah papas batu yang tepat melintang di pintu.

“Jangan kuatir, binatang itu telah kututup dalam ruangan ini,” katanya.

Nyo Bun-giau seorang rubah yang licin. Setelah mengetahui Kim Loji lepaskan kesempatan membunuh Han Ping, tahulah ketua marga Nyo ke-poh itu akan maksud Kim Loji. Diam-diam ia memutuskan untuk membasmi orang-orang itu semua. Harta karun dan pedang pusaka dapat dimiliki, orangpun tak kan tahu mayat orang-orang yang dibunuhnya itu.

Tetapi ia menyadari bahwa tenaganya tak mungkin dapat melaksanakan hal itu. Betapapun sakti-nya, tak mungkin ia dapat menghadapi ketiga la wan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan siasat mengadu domba mereka. Setelah ada kesempatan baru ia akan turun tangan.

Han Ping berotak cerdas tetapi ia tak punya pengalaman di dunia persilatan. Sudah tentu ia tak menyadari bahwa dirinya menjadi ‘barang hidangan’ Nyo Bun-giau dan Kim Loji. Terutama terhadap Nyo Bun-giau yang sikapnya seperti seorang sasterawan itu, ia benar-benar tak dapat meraba. Ia heran mengapa orang she Nyo itu, tanpa diminta, terus saja mengulurkan bantuan.

Han Ping segera menuding Kim Loji pula, “Kini ular naga itu sudah tertutup di dalam ruangan. Sekarang kita selesaikan soal kotak pedang itu!”

Kim Loji terbeliak. Diam-diam ia memaki Nyo Bun-giau. “Bangsat she Nyo itu benar-benar licin seperti belut. Hendak kugunakan tenaga pemuda itu untuk menghadapinya, ternyata dia telah mendahului memanfaatkan kesempatan itu. Ah, kalau tidak nekad mengadu jiwa, tentu sukar menghadapi pemuda ini!”

Setelah menetapkan keputusan, Kim Loji tersenyum, “Aku tak kenal padamu. Tetapi mengapa pedang pusaka Pemutus-asmara yang tersohor di dunia persilatan itu bisa berada di tanganmu?”

Han Ping diam-diam menganggap kata-kata Kim Loji itu memang benar. Tanpa disadari ia mengangguk.

Kim Loji tertawa gelak2, serunya pula,, “Pedang Pemutus- asmara itu tentu hanya beberapa hari berada di tanganmu. Tetapi entah sudah berapa banyak orang persilatan yang mengetahui peristiwa itu. Maksudku, tentulah engkau dapat mengira-ngira siapakah yang telah menyuruh aku mengambil pedang itu dari tanganmu…”

Sejenak merenung, Han Ping menyahut, “Apakah yang menyuruh engkau itu bukan Hui Koh taysu?”

Mendengar itu pucatlah wajah Nyo Bun-giau seketika. Cepat ia berpaling ke arah Kim Loji untuk melihat bagaimana reaksi orang itu. Tampak orang she Kim itu kebingungan.

“Dalam hal ini maaf kalau aku tak dapat mengatakan nama orang itu. Sekali sudah berjanji kepadanya, tak nanti aku mau memberitahukan kepada orang lain,” sahut Kim Loji sesaat kemudian.

“Hmm, Hui In taysu seorang paderi yang sahid dan luhur. Yang mengetahui tentang pedang itu berada padaku hanyalah kedua paderi dari Siaulim-si itu. Karena Hui In taysu tak mungkin mau menyiarkan peristiwa itu, kiranya hanya Hui Koh taysulah yang berbuat itu!”

Dengan nada tidak membenarkan dan tidak menyangkal, Kim Loji menyahut, “Dengan membawa pedang pusaka Pemutus-asmara itu, tentulah engkau juga diberitahu tentang rahasia penyimpanan harta pusaka disini, bukan?”

Han Ping mendapat kesan bahwa orang yang mencuri pedang dari tangannya itu tentulah bukan manusia baik-baik. Jika memberitahukan peristiwa itu dengan terus terang, tentulah Kim Loji akan menipunya. Maka ia memutuskan untuk menjawab secara samar saja. Setelah mengetahui bagaimana tanggapan Kim Loji nanti, baru ia akan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.

“Kalau ilmu pedang saja dia mau memberikan kepadaku, masakan tidak mau memberitahu rahasia kotak pedang itu?” sahutnya seraya tertawa dingin.

Kim Loji dan Nyo Bun-giau percaya apa yang dikatakan anak muda itu. Kalau tidak, masakan pemuda itu dapat masuk ke guha situ.

Kim Loji merancang siasat. Ia hendak membocorkan tentang harta pusaka yang berada dalam guha di situ. Untuk mengadu domba dengan Nyo Bun-giau.

“Walaupun kehilangan kotak pedang tetapi engkau masih dapat masuk ke makam yang penuh dengan alat rahasia ini, sungguh kuat sekali daya ingatmu!” serunya memuji.

“Ah, itu bukan suatu hal yang luar biasa. Asal mau berhati-hati saja, tentu takkan mengalami bahaya,” sahut Han Ping.

Kim Loji lanjutkan kata-katanya, ia mulai menyindir, “Walaupun dengan saudara Nyo Bun-giau yang termasyhur sebagai ahli bangunan dan perkakas rahasia, namun aku tetap kehilangan sebuah lengan tangan. Tetapi hanya mengandalkan daya ingatan saja, engkau mampu masuk kemari dengan selamat!”

Mendengar sindiran itu Nyo Bun-giau melengking dingin, “Itu kan salahmu sendiri mengapa kepandaianmu masih rendah tetapi tak mau menurut petunjukku. Masih untung hanya hilang sebuah lengan, bukan nyawamu!”

Kim Loji tertawa gelak2, “Jika setiap patah aku menurut saudara Nyo, saat ini aku tentu sudah menjadi bangkai!”

“Eh, apakah saudara Kim masih mempunyai harapan untuk keluar dari sini dengan selamat?” Nyo Bun-giau tersenyum menyeringai.

Diam-diam Kim Loji memaki orang she Nyo itu. Ia memutuskan untuk membuka rahasia makam itu kepada Han Ping agar kedua orang itu dapat diadu domba.

“Dari dulu sampai sekarang, hanya sedikit sekali orang yang tahu rahasia makam ini,” katanya menatap Han Ping. “Beruntunglah pada 30 tahun yang lalu, aku telah mengetahui rahasia itu. Peristiwa itu mengandung suatu peristiwa pembunuhan ngeri dalam dunia persilatan. Menyangkut kalangan luas dan berliku-liku sehingga melibatkan juga tokoh-tokoh paderi,” tiba-tiba ia merasa telah kelepasan omong maka buru-buru hentikan kata-katanya.

Tergeraklah hati Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya selama tinggal tiga hari bersama Hui Gong taysu. Tiga hari yang menjadikan dia seorang pemuda biasa menjadi pemuda sakti tetapi pun kebalikannya telah merenggut pengorbanan jiwa paderi sakti itu.

Terbayang kembali segala ingatannya selama dalam ruang batu dengan Hui Gong taysu. Walaupun paderi itu tak mengatakan apa-apa tetapi ia dapat juga menangkap beberapa pembicaraan yang bernada pertentangan antara Hui Gong taysu dengan kedua sutenya Hui In dan Hui Koh.

Han Ping benar-benar terbenam dalam kenangan lama sehingga ia lalai akan keadaan berbahaya yang berada di sekelilingnya.

Se-konyong2 serangan angin pukulan melandanya dari samping. Kejut Han Ping bukan kepalang. serempak ia ayunkan tangan menampar ke samping.

Des… ketika kedua pukulan itu saling beradu, timbullah angin kisaran yang keras dan tubuh Han Ping tersurut mundur selangkah.

Cepat pemuda itu berpaling. Tampak wajah Nyo Bun-giau memancarkan sinar pembunuhan yang menyala-nyala. Diam-diam Han Ping terkejut atas kesaktian pukulan orang she Nyo itu.

Kiranya begitu mendengar Kim Loji hendak membocorkan rahasia makam itu, timbullah kekuatiran hati Nyo Bun-giau. Jika ketiga orang itu sam-pai bersatu-padu untuk menghadapinya, tentulah sukar ia mengatasi. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam. Dan tanpa berkata apa-apa, segera ia lepaskan sebuah pukulan dari jauh kepada Kim Loji. Ia hendak melenyapkan mulut Kim Loji maka ia telah gunakan tenaga penuh. Tak terduga-duga, Han Ping ikut campur menghalanginya,

Memang pada pertama kali melihat Han Ping menerjang Kim Loji, Nyo Bun-giau sudah mengetahui bahwa pemuda itu memang hebat kepandaiannya. Tetapi sama sekali ia tak mengira bahwa se-orang pemuda yang baru berumur 19-20 tahun ternyata memiliki tenaga-dalam yang begitu hebat.

Namun dia seorang rubah yang licin, Walaupun dalam hati terkejut tetapi sikapnya tetap tenang2 saja.

Kebalikannya Kim Loji diam-diam gembira sekali melihat kesaktian pemuda itu. Ia makin mempunyai harapan untuk menghadapi Nyo Bun-giau. Serentak ia tertawa gelak2 dan berseru, “Saudara Nyo sungguh kejam sekali. Apakah saudara hendak membu-nuh aku lebih dulu baru kemudian membasmi saudara Ih dan jago muda ini? Apakah benar-benar saudara Nyo hendak mengangkangi sendiri semua harta pusaka dalam makam ini? Ah, tetapi harta pusaka di sini luar biasa banyaknya, mungkin dapat di-pergunakan untuk membeli sebuah negara. Apakah saudara Nyo merasa tidak terlalu banyak….”

Tergetarlah hati Ih Seng mendengar kata-kata siasat dari Kim Loji itu. Sambil kebutkan kipasnya ia berseru, “Menurut peraturan dunia persilatan, barangsiapa tahu, tentu mendapat bagian. Entah berapa banyaknya harta pusaka dalam makam ini tetapi harus dibagi empat. Siapa yang rnempunyai pikiran untuk mengangkangi sendiri, akan kita gempur bersama-sama!”

Han Ping tertawa hambar, “Sedikitpun aku tak mempunyai pikiran untuk menerima bagian dari harta pusaka makam ini….”

Kuatir pemuda itu akan lepas tangan, buru-buru Kim Loji menyelutuk, “Kedatangan saudara kemari tentulah hendak menginginkan pusaka Tonggeret-Kumala dan Kupu2-Emas itu!”

“Apakah Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu? Aku sama sekali …..”

“Hai, apakah pusaka Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu juga berada dalam makam ini?” tiba-tiba Ih Seng melengking kaget.

Han Ping heran mengapa suara Ih Seng begitu bergetar. Segera is berpaling dan bertanya tentang kedua benda ini.

Tetapi sebelum Ih Seng menyahut, Kim lo-ji sudah mendahului, “Memang benar-benar pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu berada di makam ini!

Rupanya Ih Seng menginsyafi kalau dirinya tak dapat mengendalikan perasaan. Ia menghela napas panjang, ujarnya, “saudara Ji tak tahu. Kedua pusaka Tenggoret-Kumala dan Kupu2 Emas itu memang disohorkan sebagai pusaka yang tiada tandingannya dalam dunia persilatan. Tenggoret Kumala itu dapat digunakan untuk mengobati segala macam racun. Dan Kupu2 Emas itu. , „ ..”

Rupanya ia hanya mendengar saja kata orang tentang kedua wasiat itu. Tetapi bagaimana khasiat yang sesungguhnya dari kedua pusaka itu, sesungguhnya ia kurang jelas. Maka tak dapatlah ia melanjutkan keterangannya lagi.

“Bukan aku hendak membanggakan diri tetapi rasanya aku tahu juga tentang kemujijadan kedua benda pusaka itu….” tiba-tiba Kim Loji menghela napas dan berseru.

Tetapi secepat itu Nyo Bun-giaupun sudah menyeletuk, “Ah, bukan hendak memandang rendah saudara Kim. Tetapi kukuatir pengetahuanmu tentang kedua pusaka itu hanya terbatas saja!”

Celetuk Nyo Bun-giau. “Bukan aku hendak memandang rendah saudara Kim. Tetapi kukuatir pengetahuan saudara Kim tentang kedua pusaka itu tentu terbatas!”

“Kalau begitu saudara Nyo tentu tahu khasiat kedua pusaka itu?” Kim Loji tertawa dingin.

Nyo Bun-giau memandang ke atas wuwungan ruang, katanya pe-lahan2. “Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu hanyalah benda mati, buatan dari ahli2 yang pandai. Tetapi apabila orang tahu sifat2- nya yang istimewa, tentu dapat menggunakan khasiat pusaka itu. Yang tidak tahu, benda itu tetap merupakan benda mati. Ha… ha.. tetapi siapakah orang di dunia yang sekarang mengetahui sifat2 istimewa dari kedua benda pusaka itu!”

“Janganlah saudara Nyo terlalu keras menepuk dada. Memang dalam soal bangunan2, aku kalah. Tetapi kalau mengenai benda2 pusaka dalam dunia persilatan, kemungkinan saudara tak dapat mengalahkan aku…. . “ kata Kim Loji.

“Soal itu aku tak mempunyai selera mendengarkan,” tiba-tiba Han Ping menukas, “yang penting sekarang ini harap saudara Kim lekas menyerahkan kembali kotak pedang pusaka yang engkau curi itu!”

Kim Loji sapukan mata ke arah Nyo Bun-giau, sahutnya, “Kotak pedang itu sekarang berada pada saudara Nyo Bun-giau ini…..”

Cepat Han Ping berputar tubuh ke arah Nyo Bun-giau. “Harap Nyo pohcu suka segera menyerahkan kembali kotak pedang itu. Pedang Pemutus Asmara itu luar biasa tajamnya. Tanpa sarung, sukar dibawa kemana-mana.”

Nyo Bun-giau tersenyum. “Pada kotak pedang itu terdapat peta bangunan makam ini. Karena saat ini kita berada dalam makam ini dan belum mengetahui bagaimana nasib kita nanti, biarlah kotak itu untuk sementara kusimpan. Nanti setelah keluar dari makam ini tentu akan kukembalikan padamu.”

Teringat bagaimana tadi dengan menekan pintu batu, orang she Nyo itu dapat menutup palang batu pada ular besar itu, diam-diam Han Ping meragu. Adakah ia harus memaksa orang itu untuk mengembalikan kotak atau biarkan dulu.

Tiba-tiba Kim Loji tertawa dingin, “Dengan memegang kotak pedang yang berisi gambar bangunan makam ini, jika saudara Nyo hendak menutup aku dan saudara lh di dalam makam ini, tentulah semudah orang membalikkan telapak tangannya!”

Mendengar Kim Loji telah menelanjangi rencananya, sekonyong-konyong Nyo Bun-giau loncat ke dinding tembok di samping.

Wuutt…. secepat itu Kim Loji lepaskan pukulan seraya berseru, “Hai, apakah saudara benar-benar hendak menutup kami bertiga disini…?”

Nyo Bun-giau menangkis dengan tangan kiri sehingga Kim Loji tersurut mundur dua langkah, Selekas Kim Loji tersurut mundur dua langkah. Selekas tiba di bawah dinding tembok itu, Nyo Bungiau terus ayunkan tangannya kanan menampar dinding itu.

Pada saat ia dan Kim Loji masuk ke dalam ruang, dinding tembok itu segera mengatup rapat. Kini setelah dihantam Nyo Bun-giau, dinding itu merekah terbuka lagi.

Kipas-besi Ih Seng menggembor keras dan memburu. Saat itu separoh tubuh Nyo Bun-giau sudah menyusup ke dalam pintu batu. Ketika mendengar teriakan Ih Seng, ia tertawa dingin, “Harap kalian bertiga tunggu saja dalam makam ini untuk menemani Ko Tok lojin. Setahun lagi, aku tentu akan datang kemari untuk menyambangi hari setahun dari kematianmu!”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan Pembelah-angkasa, Tenaga-dalam dari kepala rnarga Nyo itu memang bukan olah-olah hebatnya. Tubuh Ih Seng mencelat kendara dan terkapar di tanah.

Tetapi secepat kilat, Han Ping sudah melesat ke tepi pintu dan mencengkeram siku kiri Nyo Bungiau.

Melihat gerakan pemuda itu, diam-diam Nyo Bungiau kagum. Cepat iapun ulurkan tangan kanan untuk balas mencengkeram siku kiri pemuda itu, Sebagai tokoh kawakan, ia menyadari bahwa apabila siku lengannya tercengkeram musuh, pasti ia akan dikuasai orang. Maka sebelumnya ia hendak mendahului untuk mencengkeram dan menguasai Han Ping.

Tetapi setitikpun is tak menduga bahwa Han Ping terlampau cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu siku lengan kirinya dapat dicengkeram pemuda itu. Untuk menggerakkan alat rahasia menutup pintu itu, sudah tak keburu lagi. Mungkin jika meronta ia mampu menghempaskan pemuda itu. Tetapi resikonyapun besar juga. Pemuda itu memegang pedang Pemutus Asmara yang luar biasa tajamnya. Jika ia gagal meronta, pemuda itu tentu akan menusukkan pedang pusakanya.

Satu-satunya jalan, ia harus cepat balas mencengkeram siku lengan pemuda itu. Dan hal itu dilakukannya serempak dengan gerakan yang cepat sekali.

Walaupun menang mencengkeram dulu, tetapi Han Ping kalah pengalaman dengan Nyo Bun-giaau Begitu mencengkerarn, Nyo Bun-giau terus kerahkan tenaganya untuk meremas siku pemuda itu. Seketika itu Han Ping rasakan lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang luar biasa kerasnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga-dalam untuk melawan cengkeraman orang dan untuk memperkeras cengkeramannya pada siku lengan Nyo Bun-giau.

Saat itu keduanya saling mencengkeram sekeras-kerasnya..

Setelah merangkak bangun, Ih Seng terus tusukkan pedangnya ke dada Nyo Bun-giau. Di pintu yang sempit dan hanya cukup dimasuki dua orang itu, sukarlah bagi Nyo Bun-giau untuk menghindar. Tetapi dia bukan Nyo Bun-giau ketua marga Nyo yang termasyhur sebagai Perancang-sakti apabila ia tak mampu mengatasi bahaya itu.

Melinat tusukan pedang Ih Seng dahsyat sekali, tiba-tiba orang she Nyo itu menggembor sekeras-kerasnya dan serempak mengangkat lengan kiri Han Ping terus disongsongkan ke ujung pedang!

Han Ping terkejut sekali. Tak mungkin ia hendak meronta lagi. Untunglah Ih Seng ahli pedang yang jempol. Serangan dahsyat itu dapat dibentikan secara mendadak, lalu diganti dengan tutukan kipas besinya ke arah Nyo Bun-giau.

Nyo Bun-giau mendengus. Cepat ia menghantam kipas lawan lalu menutuk dengan sebuah jari.

Nyo Bun-giau dan lh Seng saling serang menyerang dengan Han Ping sebagai perisai di tengah. Ih Seng tiga kali menyerang dengan kipas besi dan Nyo Bun-giau juga balas menutuk dua kali.

Saat itu Kim Lojipun maju mendekati. Tetapi karena pintu telah dipenuhi Han Ping dan Ih Seng, ia tak dapat berbuat apa-apa. Terpaksa ia tegak beberapa langkah dekat ambang pintu seraya berteriak nyaring: “Dinding tembok sebelah, merupakan tempat penyimpanan harta pusaka. Jika dia dapat mengancing kita disini, harta pusaka itu tentu dikangkangi sendiri dan kita tak dapat keluar dari sini.”

Seruan itu membawa pengaruh pada ketiga orang yang sedang bertempur itu. Nyo Bun-giau gentar akan kesaktian Han Ping dan takut akan tipu muslihat Kim Loji. Apabila ia sampai terluka oleh Han Ping, jerih payahnya selama ini tentu sia2 saja. Maka begitu mendengar teriakan Kim Loji ia segera menyerang gencar. Ia harus dapat merebut kemenangan dengan cepat.

Sedang Ih Seng karena sayang akan harta pusaka dan takut tertutup dalam ruang situ, pun terus menyerang hebat.

Sedangkan Han Ping tak memikirkan soal harta pusaka melainkan tentang tindakan Nyo Bun-giau yang hendak menutup hidup2 mereka bertiga. Dia tak mau terus-menerus terkurung dalam makam itu. Pemuda itu memang berwatak ksatrya. Jika Nyo Bun-giau masih dicengkeram dan diserang Ih Seng, tentu kurang leluasa. Maka ia pikir hendak mele-paskan cengkeramannya agar pertempuran itu berlangsung bebas. Ia percaya pada kekuatannya sendiri. Dengan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tataran tinggi, ia tentu dapat mencegah orang she Nyo itu meloloskan diri.

Pada saat ia hendak melaksanakan pikirannya itu, tiba-tiba Ih Seng melancarkan serangan yang hebat. Pedang di tangan kanan menyusup dari celah Han Ping dan Nyo Bun-giau, menusuk lambung orang she Nyo. Sedang kipas-besipun ditusukkan ke bahu Nyo Bun-giau yang sebelah kiri.

Karena siku kirinya dicengkeram Han Ping, Nyo Bun-giau tak leluasa geraknya. Ia harus memilih di antara lambung tertusuk pedang atau bahunya yang tertutuk kipas. Akhirnya ia memilih berkorban bahu daripada lambung.

Orang she Nyo itu mengempos semangat. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia melonjak ke samping untuk menghindari tusukan pedang.

Pedang Ih Seng tak mengenai sasarannya dan kipas-besinyapun mengendap ke bawah. Tetapi karena Nyo Bun-giau menarik lengan Han Ping ke atas, maka kedudukan tubuh pemuda itupun berkisar sedikit. Dan terkejutlah lh Seng karena kipas besinya akan mengenai Han Ping. Terpaksa ia menarik kipasnya cepat-cepat.

Han Ping tak ingin melanjutkan saling mencengkeram dengan Nyo Bun-giau. Pada saat Nyo Bun-giau melonjak ke atas tadi, Han Ping kibaskan lengan kirinya. Saat itu Nyo Bun-giau tengah kerahkan seluruh tenaga-dalam ke tubuh bagian bawah. Begitu Han Ping kibaskan bahu, orang she Nyo itu rasakan jari tangan kirinya seperti patah. Buru-buru ia hendak kerahkan tenaga dalam tetapi sudah tak keburu lagi. Tangan kirinya mengulai, lengannya kesemutan dan orangnyapun terlempar membentur tembok ruang sebelah dan jatuh terkapar.

“Celaka!” tiba-tiba Kim Loji memekik dan terus ayunkan tubuh terus memburu Nyo Bun-giau.

Han Ping berpaling. Dilihatnya Nyo Bun-giau menggeliat bangun dan terus menampar dinding ruang, plak….. pintu batu tiba-tiba bergerak menutup.

“Ha, ha, ha, silahkan kalian bertiga menemani Ko Tok lojin selama-lamanya! “ Nyo Bun-giau tertawa gelak2.

Han Ping sadar seketika. Cepat ia menahan pintu batu itu dengan kedua tangannya. Kim Loji dan Ih Seng cepat-cepat menyusup masuk keluar pintu seraya berteriak, “Hai, hendak lari kemanakah engkau orang she Nyo?”

Nyo Bun-giau tanpa berpaling kepala kebutkan lengan bajunya ke belakang. Kim Loji yang kenal akan kesaktian tenaga-dalam orang she Nyo itu buru-buru loncat menghindar ke samping. Juga Ih Seng tak berani gegabah mengadu kekerasan. Ia menghindar ke sebelah kanan.

Karena keduanya menghindar ke kanan dan ke kiri, angin pukulan Nyo Bun-giau itu terus meluncur ke arah Han Ping. Saat itu Han Ping sedang kerahkan tenaga untuk mencegah pintu batu menutup. Ketika merasa angin pukulan Nyo Bun-giau menyambar, ia mengeluh, “Celaka! Aku pasti mati sekarang!”

Tetapi manusia tentu akan berdaya sekuat tenaga apabila menghadapi bahaya maut, Demikian pun Han Ping. Ia tak mau mati konyol. Sekali mengempos semangat, ia mendorong pintu batu itu. Seteiah pintu batu menyurut mundur beberapa inci, ia berkisar ke samping untuk menyongsong pukulan Nyo Bun-giau.

Dess….terjadilah benturan dahsyat. Tubuh Han Ping agak gemetar sedikit tetapi tetap tegak di tempat. Saat itu terdengar bunyi menggerodak keras. Pintu batu telah menutup.

Memandang ke muka, Han Ping melihat Nyo Bun-giau terdorong mundur beberapa langkah.

Saat keduanya saling berpandangan dengan wajah mengerut keheranan.

Ih Seng dan Kim Loji yang hendak menyerang, pun ikut tertegun melihat peristiwa itu. Mereka heran mengapa Han Ping dan Nyo Bun-giau saling berpandangan Kemudian Han ping mamandang ke wuwungan ruang dan kerutkau alis, seperti orang yang sedang merenung.

“Saudara Ji tentu sedang memikirkan sesuatu hal yang penting. Jangan mengganggunya. Lebih baik kita beresi orang she Nyo itu dulu….” seru Kim Loji.

Kim Loji memang seorang persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Ia percaya bahwa saat itu bukanlah karena mengagumi kesaktian lawan maka Han Ping tegak termenung seperti itu. Melainkan tentu sedang mencari-cari alat rahasia dari makam itu. Ia kuatir mengganggu ketenangan pemuda itu maka ia segera mengajak Ih Seng melakukan serbuan kepada Nyo bun-giau agar orang she Nyo itu jangan mengacau pikiran Han Ping juga.

Ih Seng juga seorang tokoh yang kenyang pengalaman. Cepat ia dapat menanggapi maksud Kim Loji. Tanpa menyahut, ia segera loncat menusuk dada Nyo Bun-giau.

Sesungguhnya Nyo Bun-giau memang sedang memikirkan sebuah soal yang rumit. Tampaknya ia tak mengacuhkan serangan Ih Seng itu. Tetapi pada saat ujung pedang hampir mengenai dadanya, barulah ia menampar dengan tangan kiri dan menendang perut Ih Seng.

Karena pedangnya tertampar ke sisi, Ih Seng segera menutuk dengan kipas-besi tetapi terpaksa menarik diri mundur untuk menghindari tendangan Nyo Bun-giau.

Tetapi begitu mengundurkan Ih Seng, Nyo Bun-giau merasa terlanda oleh angin keras. In tahu tentulah Kim Loji yang memukulnya. Marahlah ia. Serentak ia balikkan tangan menyongsong pukulan orang.

Kim Loji terkejut. Ia tahu bagaimana kesaktian Nyo Bun-giau. Melihat orang memukul ke belakang, tahulah ia kalau pakulan itu tentu hebat sekali. Cepat-cepat ia mengendapkan tubuh lalu loncat ke samping.

Melihat Nyo Bun-giau tengah menghantam Kim Loji, Ih Seng gunakan kesempatan itu untuk secepat kilat menutuk lagi. Tetapi dengan tertawa dingin, Nyo Bun-giau segera tamparkan tangan kiri untuk menindih pedang Ih Seng.

Serangan Ih Seng itu dilakukan secara mendadak. Ia kira karena musuh tak menerka tentulah serangan itu akan berhasil. Tetapi alangkah kejutnya ketika tanpa menghindar Nyo Bun-giau malah menampar pedang dan menindihkan tangannya. Seketika ia rasakan tubuhnya tergetar, pedang mengendap ke bawah dan hampir terlepas jatuh ….. .

Sudah berpuluh tahun Ih Seng mengangkat nama dalam dunia persilatan dengan gelar Pedangperak Kipas besi. Jika pedangnya sampai dijatuhkan orang hanya dengan tangan kosong, ia merasa malu sekali. Kelak tentu tak mungkin ia dapat berdiri di dunia persilatan lagi. Memikir sampai di situ, ia nekad. Dengan mengempos semangat, ia tak mau menarik pedangnya tetapi malah melangkah maju terus menutuk pelipis Nyo Bun-giau.

Pelipis memang bukan jalan darah maut, tetapi merupakan salah satu jalan darah yang membawa kepingsanan. Sudah tentu Nyo Bun-giau tak mau menghadapi resiko itu. Tetapi baru ia hendak berkisar menghindar, tiba-tiba Kim Loji menyerangnya dari samping.

Dalam keadaan begitu tak mungkin lagi Nyo Bun giau hendak menghindar. Karena terdesak begitu rupa, marahlah Nyo Bun- giau. Dengan tertawa sinis, sekonyong-konyong ia mengendap ke bawah. Dengan tangan kanan ia menahan pukulan Kim Loji. Kemudian tangan kirinya menebar terus menjepit batang pedang lalu menggentakkan ke atas. Terdengar dengus tertahan dari mulut Ih Seng ketika pedangnya berpindah ke tangan Nyo Bun giau.

Setelah merebut pedang, secepat kilat Nyo Bun-giau terus menyerang Kim Loji dan Ih seng.

Bukan kepalang malu dan marah Ih Seng.

ketika pedangnya direbut musuh itu Kipas dipindah ke tangan kanan, lalu ia menampar Nyo Bun-giau dengan kipas dan pukulan tangan kiri. Kim Lojipun juga menyerang dari samping.

Tetapi Nyo Bun giau tak gentar. Sambil melayani serangan dari muka dan samping itu ia masib dapat mencuri kesempatan untuk melirik ke arah Han Ping. Ia heran mengapa pemuda itu masih tampak termangu-mangu. Melihat itu timbullah pikirannya. Kalau tidak menggunakan kesempatan selagi pemuda itu masih termenung-menung, tentu sukar untuk membasmi Kim Loji dam Ih Seng.

Dengan tertawa dingin ia taburkan pedang dan seketika itu juga lengan baju Ih Seng segera terpapas kutung. Buru-buru Ih Seng menyurut mundur. Tetapi belum ia berdiri tegak, pedang Nyo Bungiau sudah mengejarnya, menusuk ke dada.

Ih Seng hendak menangkis dengan kipasnya tetapi se-konyong2 pedang, Nyo Bun-giau tergetar oleh serangan angin yang bertenaga dabsyat. Orang she Nyo itu berpaling. Ah…. ternyata Han Ping sudah loncat ke sampingnya.

Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang Nyo Bun-giau hadapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan. Walaupun ia menyadari bahwa pemuda memang sakti, tetapi sedikit pun ia tak menduga kalau gerakan pemuda itu sedemikian cepat sekali sehingga ia tak mampu mengetahui lebih dahulu.

Buru-buru orang she Nyo itu loncat ke samping tiga langkah lalu tegak berdiri sambil melintangkan pedang ke dada dan menatap dingin ke arah Han Ping.

Tetapi setetah dapat menampar pedang Nyo Bun-giau, Han Ping tak mau mengejar. Ia berdiri di tempat dan berseru hamhar, “Nyo lo-pohcu, engkau sudah tua tetapi mengapa hatimu begitu ganas hendak membunuh orang?”

Nyo Bun-giau mendengus dingin. “Bukan aku seorang ganas tetapi karena saudara jarang keluar di dunia persilatan maka tak tahu bahwa kedua orang itu…..”

Kim Lojipun kuatir rencananya terbongkar, buru-buru ia menyelutuk, “Walaupun kami berdua bukan tokoh yang hebat, tetapi tidaklah seganas dan selicin saudara Nyo. Masakan hendak menutup kami berdua dan saudara Ji di dalam makam ini. Bukankah itu suatu tindakan yang sangat kejam sekali…..!”

Kemudian Kim Loji berpaling ke arah Han Ping dan berkata lagi, “Jika tidak karena takut akan pedang Pemutus Asmara di tangan saudara, kemungkinan dia tentu tak memandang mata padamu lagi…..”

Han Ping seorang muda yang masih mudah terangsang darahnya. Mendengar ucapan Kim Loji, segera ia tertawa nyaring dan menantang.

“Kalau Nyo pohcu memang menginginkan, aku sebagai angkatan muda takkan mengandalkan senjata pusaka untuk menekan orang.”

Tetapi secepat itu Nyo Bun-giau sudah mendamprat Kim Loji. “Tak usah saudara Kim bermain lidah tajam. Karena bagaimanapun juga jangan harap engkau dapat keluar dari makam ini!”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tusukan kepada Kim Loji. Ia menyadari bahwa kedudukannya saat itu memang kurang menguntungkan. Lebih baik ia mendahului turun tangan lebih dulu….

Kim Loji terkejut tetapi sudah tak keburu menghindar lagi. Untunglah pada saat berbahaya itu Han Ping loncat dan menghantam pedang Nyo Bun-giau sehingga menyisih ke samping.

Duakali serangannya digagalkan pemuda itu, marahlah Nyo Bun-giau. Cepat ia berputar tubuh dan lintangkan pedang. Ditatapnya pemuda itu dengan murka tetapi ia tak segera menyerangnya.

Han Ping pindahkan pedang pusakanya ke tangan kiri lalu tertawa. “Harap jangan kuatir, tak nanti aku mencari kemenangan dengan mengandalkan pedang pusaka ini.”

Betapapun sabarnya tetapi kali ini Nyo Bun-giau benar-benar tersinggung mendengar tantangan itu. Sekali gerak, pedang-perak bertabur menjadi lingkaran sinar perak dan pada lain saat terus menusuk kepada Han Ping. “Ahh… saudara benar-benar seorang pemuda gagah. Ingin aku mendapat pelajaranmu!”

Ia memang seorang jago tua yang licin. Dengan kata-kata merendah itu, ia menjunjung tinggi Han Ping. Tetapi sesungguhnya suatu kata-kata untuk menghadang agar Han Ping benar-benar tak menggunakan pedang pusakanya.

Han Ping sedikit miringkan tubuh ke samping lalu balas menghantam pedang. Karena tahu pukulan pemuda itu hebat sekali, Nyo Bun giau tak berani mengadu kekuatan. Ia mengendap terus menyelinap ke samping.

“Saudara Ji, jangan kena diselomoti omongan……” tiba-tiba Kim Loji berteriak tetapi seketika itu juga ia menjerit ngeri dan tubuhnya muncratkan darah segar.

Kiranya saat itu Nyo Bun-giau sudah kemasukan iblis pembunuh. Menggunakan kesempatan Kim Loji sedang berseru, tanpa berkisar langkah ia miringkan tubuh dan menusuk, Kim Loji terkejut dan hendak menghindar ke samping tetapi bahunya terkena pedang. Padang menyusup sampai tembus. Maka begitu Nyo Bun-giau menarik kembali pedangnya, bahu Kim Loji memancurkan darah sejauh beberapa meter…

“saudara Nyo sungguh ganas sekali!” Han Ping mendengus dingin lalu maju menyerang.

Dengan napas ter-engah2, Kim Loji paksakan diri berseru, “Saudara Ji, desak dia…. menyerahkan kotak.. pedang.”

Dia seorang julig dan ganas. “Kotak pedang itu merupakan peta bangunan makam tua ini. Jika berada padanya, sungguh tak menguntungkan pada kalian berdua …..” habis berkata orang she Kim itu terus terkulai rubuh.

Pada saat itu Han Ping sedang menyerang maju.

Mendengar kata-kata Kim Loji, ia mundur lagi. Saat itu digunakan oleh Nyo Bun-giau untuk menyurut mundur juga. Dan pada saat Kim Loji rubuh, Nyo Bun-giaupun sudah berada di samping dinding tembok terus hendak gerakkan alat rahasia. Tetapi Han Ping yang menyadari tindakan orang she Nyo itu, dengan menggembor keras lompat menyerbu lagi seraya lepaskan sebuah hantaman.

Pukulan itu memancarkan gulombang tenaga yang dahsyat sekali sehingga Nyo Bun-giau terpaksa loncat menghindar ke samping. Tetapi sambil menghindar, tangannya kiri sempat mengebut pada alat rahasia, Seketika terdengar bunyi barderak2 dari dinding yang merekah. Sebuah pintu terpentang.

Cepat Han Ping melangkah ke samping pintu baru itu dan memandang Nyo Bun-giau dengan dingin. “Jika engkau tak mau mengembalikan kotak pedang itu, jangan harap kita bisa keluar dari makam ini!”

Berpaling ke belakang, Nyo Bun-giau dapatkan Ih Seng membalut luka Kim Loji lalu memapahnya ke sudut ruangan. Mereka agak jauh jaraknya. Diam-diam orang she Nyo itu menimang dalam hati, “Pemuda ini sakti sekali kepandaiannya. Dibantu oleh Kim Loji yang luas pengalaman serta Ih Seng. Baik adu kecerdikan maupun kesaktian, belum tentu aku dapat menang. Baiklah kugunakan siasat untuk mengadu domba mereka saja, agar kekuatan mereka terpecah telah. Asal kedua orang orang itu kuhancurkan dulu, tentu mudah untuk menutup mereka dalam makam ini. Kalau aku kembali kemari lagi dan mengambil pedang Pemutus Asmara dari mayat mereka ……”

Setelah menetapkan rencana, ia lintangkan pedang den tersenyum, “Kata-kat Kim Loji memang benar. Kotak pedang itu memang merupakan peta dari bangunan ini. Tetapi lukisan peta itu tidak semua sama dengan kenyataannya. Demikianpun tentang ukurannya. Ahli bangunan siapapun tentu sukar untuk memperhitungkan peta dengan ber-macam2 alat rahasia dalam makam ini. Hampir separuh hidup, kuabdikan dalam ilmu bangunan. Walaupun tak termasuk ahli, tetapi aku mempunyai pengetahuan juga tentang ilmu lain. Tetapi jika tak membuktikan sandiri keadaan makam ini dan hanya menurut lukisan peta pada kotak pedang itu, tentu sukar untuk menemukan alat2 rahasia makam ini!”

Han Ping tertawa dingin, “Kalau begitu, hanya Nyo lo- pohcu sendiri saja yang mampu mengetahui rahasia peta pada kotak pedang itu? “

Nyo Bun-giau tertawa, “Ini sukar dikata. Jika aku tak mampu, mungkin di dunia sukar dicari ahli yang dapat menerangkan rahasia peta itu!”

Sejenak bethenti, ia melanjutkan pula, “Walau pun sukar memperhitungkan keadaan peta itu, tetapi kalau bisa membuktikan dengan penyelidikan sendiri, tentu akhirnya dapat juga menemukan letak alat rahasia di makam ini….” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.

Tertegun sesaat, Han Ping berkata, “Betapa pun halnya, tetapi kotak pedang itu adalah milikku. Sekalipun tak dapat keluar dari makam ini, kotak itu tetap kuminta!”

Nyo Bun-giau tersenyum, “Makam ini penuh dengan alat’ dan pekakas rahasia yang berbahaya. Sekali kita tak hati-hati, alat rahasia itu tentu akan mencelakai kita. Pikirku, begitu keluar dari makam ini baru akan kukembalikan kotak pedang itu kepadamu!”

“Apa bedanya kalau menyarahkan kembali kotak pedang itu lebih dulu??? “ seru Pedang-perak Ih Seng dengan tertawa sinis.

“Benar, harap Nyo lo-pohcu suka mengembalikan kotak itu dulu,” seru Han Ping.

Nyo Bun-giau memang seorang rubah yang licin. Melihat galagat, ia tak mau ngotot. Diambilnya kotak pedang. Diam-diam ia kerahkan tenaga- dalam untuk melekatkan permukaan kotak yang berlukiskan peta itu ke kulitnya. Kemudian ia menekan kotak itu untuk merusakkan sebagian lukisannya, lalu berkata dengan ramah, “Kalau saudara menghendaki kotak peang ini, akupun dengan senang akan menyerahkan!”

Setelah menerima kotak, Han Ping segera menyarungkan pedang pusakanya. Lalu ia menyisih ke pinggir pintu, ujarnya, “Aku bertindak menurut garis yang terang. Karena tak mengetahui pertikaian antara Nyo lo-pohcu dengan saudara Kim, maka aku tak suka ikut campur….”

Ia berpaling kepada Kim Loji, “Tindakanmu mencuri kotak pedangku ini, untuk sementara hanya kucatat saja. Kelak kita perhitungkan lagi. Saudara Ih, mari kita pergi!”

“Tunggu!” tiba-tiba Kim Loji menggeliat duduk. “Apa maksudmu?”

“Makam ini penuh dengan alat-alat rahasia. Kecuali Nyo Bun-giau yang menunjuk jalan, tak mungkin kita bisa keluar dari sini….” seru Kim Loji seraya memandang ke arah 4 buah peti yang terisi harta karun itu.

Kuatir Kim Loji membocorkan isi peti itu, buru-buru Nyo Bun-giau berseru, “Bertemu berarti berjodoh. Kalau masih percaya padaku, aku tentu senang sekali untuk menunjukkan jalan. Tetapi tampaknya makam ini penuh dengan alat rahasia, terpaksa akan mohon pinjam kotak pedang saudara Ji lagi!”

Han Ping menyadari memang makam itu penuh dengan rintangan yang berbahaya. Kecuali alat-alat rahasia yang membawa maut, pun terdapat ular dan binatang yang beracun lainnya.

“Kalau begitu kotak pedangku ini harus kuserahkan kembali kepada saudara Nyo?” kata Han ping.

“Ahhh, tak perlu,” Nyo Bun-giau tertawa, “Nanti saja apabila menghadapi kesulitan baru aku pinjam sebentar…. “ habis berkata ia terus melangkah dulu. Dia kuatir Kim Loji akan membuka rahasia peti harta itu maka cepat-cepat ia melangkah keluar.

Han Ping segera mengikuti, lalu Ih Seng sambil memapah Kim Loji.

Diam-diam Nyo Bun-giau telah mencatat dalam hati keadaan jalan2 di makam itu. Tetapi ia pura-pura seperti menghadapi kesulitan. Setiap kali berjalan beberapa saat, ia tentu meminjam kotak pedang dari Han Ping. Setelah memeriksa sebentar baru dia mencari alat rahasia dan berhasil membuka pintunya. Hingga sepertanak nasi lamanya, baru mereka dapat melintasi 5 buah ruang batu dan tiba di terowongan.

Saat itu teganglah hati Nyo Bun-giau. Karena setelah menyusuri terowongan itu, lenyaplah harapannya untuk menutup ketiga orang itu dalam makam.

Ia menghadapi dua kemungkinan yang penuh resiko. Jika sampai salah memperhitungkan alat rahasia dalam terowongan itu, atau kalau alat rahasia macet, ia tentu akan dikeroyok ketiga orang itu. Walaupun belum tentu kalah tetapi sekurang-kurangnya tentu menghambat waktunya untuk menerobos keluar dari makam. Dan kalau perhitungannya benar, maka rahasia dalam terowongan itu pasti akan bekerja. Ah, ia dan ketiga orang yang handak disingkirkan itu, tentu akan tertutup dalam makam itu untuk selama-lamanya.

Tetapi dia seorang jago tua yang masak perhitungannya. Sebelum yakin berhasil, ia tak mau sembarangan bertindak. Maka sampai hampir men-dekati ujung terowongan, belum juga ia turun tangan.

Setelah melalui dua buah tikungan, mereka menghadapi tiga buah ruang batu. Han Ping kerutkan alis, katanya, “Ujung terowongan sudah habis, mengapa belum tampak….”

Nyo Ban-giau batuk-batuk, sahutnya, “Setelah keluar dari pintu terowongan ini, di atas tiga buah ruang batu. Ah, tetapi di sebelah mana, perlu kuperiksa lagi baru dapat menentukan!”

“Tak perlu memeriksa lagi. Jika pada ketiga ruang batu itu benar ada pintunya, tentu di tembok sebelah muka!” kara Ih Seng.

“Belum tentu itu,” jawab Nyo Bun-giau yang se-konyong-konyong meluncur ke tembok sebelah kiri dan menampar. Karena lengan bajunya agak gerombyongan dan dilakukan dengan cepat, tamparan itu tak diketahui orang. Apalagi setelah menampar ia cepat mundur lagi beberapa langkah. Dan cepat mengalingi pandangan mata Han Ping.

Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan tempat yang mereka tempati itu mulai bergerak. Buru-buru Kim Loji membisiki Han Ping, “Harap saudara Ji memperhatikan dia…. “

Tiba-tiba Han Ping maju selangkah dan secepat kilat melekatkan pedang Pemutus Asmara di leher Nyo Bun-giau. Nyo Bun-giau menggigil tetapi ia tetap bersikap tenang. Tampa berpaling ia menegur, “Apakah maksud saudara?”

“Harap Nyo lo-pohcu jangan mengandung pikiran yang jahat. Kalau ada seorangpun yang tak dapat keluar dari sini, jangan harap Nyo lopohcu dapat keluar dari sini juga!”

Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil, sahutnya, “Kalau aku mempunyai pikiran untuk mencelakai kalian, masakah kalian dapat mancapai terowongan ini? “

“Kalau saudara Nyo tiada kotak pedang itu, mungkin saudara tak dapat menemukan terowongan itu,” seru Ih Seng.

Nyo Bun-giau tersenyum, “Benar…. “ tetapi diam-diam ia memaki orang she Ih itu, “Huh, bangsat, engkau menganggap aku ini orang apa? Hm, gambar peta pada kotak pedang itu telah kurusakkan, jangan harap kalian dapat menggunakan peta itu lagi!”

Bunyi derak berhenti dan terbukalah sebuah pintu yang lebarnya hampir satu meter.

“Kalau masuk ke pintu itu, harap cepat-cepat saja. Terowongan di belakang pintu itu mempunyai batas waktu tertentu. Kalau terlambat, terowongan itu akan menutup lagi!”

Habis berkata ia terus mendahului masuk.

Dengan menghunus pedang Pemutus Asmara, Han Ping tetap mengikati di belakang Nyo Bun-giau. Sedang Ih Seng dan Kim Loji berada dua meter di belakang Han Ping.

Teroworgan gelap sekali tetapi datar dan rata. Dinding terowongan terbuat dari batu hitam yang lembab dan mengeluarkan hawa memuakkan. Suatu pertanda bahwa lorong terowongan itu tak pernah dijelajahi manusia.

Kira-kira belasan tombak jauhnya, mereka mulai mendaki sebuah titian tingkat tujuh. Ketika tiba di ujung terakhir, Nyo Bun-giau mendorongkan tangannya. Terdengar suara berderak dan sebuah papan batu terangkat naik. Dengan cepat Nyo Bun-giau terus menerobos masuk Han Ping pun cepat-cepat mengikuti.

Ternyata mereka berada di sebuah peti mati batu yang istimewa buatannya. Tingginya seperti orang, lebar kira-kira setengah meter. Dindingnya mengkilap halus, penuh dengan ukiran setan.

Diam-diam Han Ping menghela napas. Ia merasa, kalau sebelumnya dapat menemukan tempat sepelik itu, tentulah ia sudah dapat menyelesaikan beberapa pelajaran dari kitab Tat-mo ih kin-keng.

Ketika Nyo Bun-giau mendorong peti batu itu, dinding peti berputar dan merekah sebuah pintu miring.

Ketika memasuki pintu itu kembali mereka menyusur terowongan. Bebarapa tombak jauhnya, terowongan itu naik kaatas, kira-kira menanjak lagi sampai dua tiga meter. Di sebelah alas tampak sebuah peti baru lagi. Dan sekali mendorong, Nyo Bun-giau dapat membuka peti itu. Kini mereka merasa silau oleh sinar matahari.

Dengan menghubungkan peti-mati kayu pada batu nisan, diperolehlah sebuah pintu rahasia yang sukar diketahui orang. Sungguh hebat sekali Ko Tok lojin itu.” Nyo Bun-giau memuji.

Han Ping loncat ke atas lalu membuka peti-mati kayu dan berseru kepada kawan2nya, “Lekas keluar!”

Nyo Bun-giau loncat keluar. Ih Seng dengan mendukung Kim Lojipun segera mengakuti. Brak, begitu dilepaskan, peti-mati itu menutup pula. Sedikitpun orang tak mengira bahwa peti mati dan batu nisan itu merupakan sebuah pintu rahasia yang istimewa.

Angin musim gugur berhembus. Daun kuning berhamburan memasuki kuburan. Kini mereka berada baberapa puluh tombak jauhnya dari makam Ko Tok Lojin.

Tiba-tiba Kim Loji mendengus. lalu memaki-maki, “Paderi bisa melarikan diri tetapi gerejanya tetap dapat lari. Kim Loji jika tak dapat mengobrak-abrik sarang Nyo ke poh, bersumpah tak mau jadi manusia lagi.”

Kiranya setelah keluar dari makam seram itu, selagi sekalian orang tengah memandang dengan penuh rasa seram pada sekeliling tanah kuburan itu, diam-diam Nyo Bun-giau telah menyelinap. Ketika Kim Loji berpaling, ternyata orang she Nyo itu sudah jauh berpuluh-puluh tombak.

“Hm, di antara Sam koh dan Sam poh, memang tiada manusia yang baik,” Ih Seng memberi tanggapan.

Kim Loji masih menyumpahi panjang pendek. Sejak apa yang disebut It-kiong (sebuah istana), Ji-koh (Dua Lembah) dan Sam-poh (Tiga marga) muncul, rusaklah kepercayaan dunia persilatan. Padahal orang persilatan paling memegang teguh Kepercayaan.

Kemudian sambil memandang lengannya yang kutung sebelah, Kim Loji menyatakan, “Jika tiada mendapat bantuan kalian, saat ini aku tentu sudah menjadi setan penunggu makam ini. Bukannya aku takut mati tetapi yang penting, rahasia makam itu tentu akan terpendam selama-lamanya…..”

“Saudara Kim luas pengalaman dan luas pergaulan. Tetapi mengapa saudara memilih mengajak Nyo Bun-giau?” tanya Ih Seng.

“Dalam kalangan Sam-poh dia terkenal sebagai seorang ahli bangunan yang jempol. Pula biasanya jujur dan setia. Siapa tahu ternyata dia seekor harimau berselimut domba . …. .” tiba-tiba ia teringat akan semua pengalaman getir yang dialaminya selama masuk ke dalam makam. Karena malu ia hentikan kata-katanya.

Mengingat hari masih pagi sekali maka Ih Seng mengajak beristirahat di daerah kuburan situ. Karena lukanya masih nyeri sekali, Kim Loji setuju. Ia mendahului menuju ke bawah sebatang pohon Pek-yang. Di situ ia duduk bersemedhi menjalankan pernapasan dan tenaga-dalam.

Sesungguhnya Han Ping tak senang terhadap Kim Loji. Tetapi karena Ih Seng tampaknya cocok dengan orang itu, terpaksa ia ikut duduk di belakang mereka.

Selama berada dalam makam tadi, ia telah kerahkan seluruh tenaga-murni untuk menahan lukanya, Tetapi kini setelah beristirahat, hawa-murni yang menyalur ke seluruh uratnadinya tenang kembali. Seketika segumpal darah panas meluap keluar dari mulut. Huak…. ia muntah darah lalu rubuh tak ingat diri lagi.

Buru-buru Ih Seng menolongnya, “Saudara Kim, engkau…..”

Kim Loji tertawa getir, sahutnya, “Pukulan maut dari Nyo Bun-giau telah menghancurkan urat2 jantungku. Dikuatirkan aku tak dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat…….”

Ia memandang sekeliling penjuru kuburan, katanya pula, “Jika kalian mempunyai urusan, silahkan. Aku mungkin tak kuat bertahan lagi!”

Karena tergerak mendengar kata-kata Kim Loji yang merawankan itu, Han Ping segera menghampiri, katanya, “Harap saudara Kim duduk yang baik biarlah kusalurkan hawa murniku ke dalam tubuhmu. Asal engkau mampu mengumpul hawamurni yang terpencar itu, engkau tentu selamat!”

Tiba-tiba Kim Loji menengadahkan kepala memandang cakrawala lalu tertawa nyaring. Tetapi karena napasnya tak cukup, setengah jalan ia berhenti tertawa.

Han Ping segera duduk di belakang Kim Loji dan membisiki Ih Seng, “Orang itu menderita luka dalam yang parah sekali. Hanya berkat tenaga-dalamnya yang kokoh ia masih kuat bertahan. Tetapi ia telah melanggar peraturan sehingga hawa-nurninya terpencar. Jika tak lekas diusahakan untuk mengumpulkan hawa-murni itu lagi, jiwanya pasti terancam. ..” habis berkata ia terus menyanggah tubuh Kim Loji.

Kedengaran Kim Loji mengigau seorang diri, “Arwah saudara Ing di alam baka…… tentu mengetahui…. maafkan aku tak mampu membalaskan sakit hatimu…

Han Ping tertegun dan tak jadi menyalurkan tenaga-murninya. Tetapi setelah berkata itu, napas Kim Loji terengah-engah dan tak sanggup melanjutkan kata-katanya dengan jelas, Han Ping tersadar. Cepat ia lekatkan tangannya ke punggung Kim Loji dan mulai menyalurkan tenaga-dalamnya.

Berkat bantuan pemuda itu, dapatlah hawa-murni dalam tubuh Kim Loji yang terpencar itu mulai berpusat jadi satu lagi. Segera ia dapat sadarkan diri dan terus duduk menyalurkan napas. Setelah muntahkan darah lagi, ia menghela napas longgar dan membuka mata lalu menghaturkan terima kasih kepada Han Ping.

“Adakala yang engkau sebut sebagai saudara tadi orang she Ji?” serentak Han Ping bertanya.

“Kapankah aku mengatakan begitu……” tiba-tiba wajah Kim Loji berobah.

“Benar, memang tadi saudara Kim telah mengatakan begitu. Aku juga mendengar sendiri!” seru Ih Seng.

Han Ping suruh Kim Loji beristirahat dulu dan jangan banyak bicara, Kim Loji menurut. Diam-diam ia menimang. Baik memberitahukan kandungan hatinya selama ini atau tidak. Tak berapa lama mataharipun muncul dan menyinari ketiga orang itu. Sikap ketiga orang itu berbeda-beda. Han Ping tampak gelisah seperti menunggu sesuatu.

Kim Loji kerutkan dahi seperti merenungkan sesuatu hal yang sulit. Sedang Kipas-besi-pedang-perak Ih Sang keliarkan pandang matanya ke sekeliling penjuru.

Kira-kira sepertanak nasi lamanya, barulah Kim Loji membuka mata dan memandang Han Ping, ujarnya. “Walaupun saudara telah melepaskan budi besar kepadaku, tetapi soal itu adalah suatu rahasia besar dalam hidupku. Sungguh sukar untuk memberitahukan pada lain orang.”

Ia berhenti sejenak lalu, “Namun demi membalas budi saudara ini, hendak kuceritakan tentang sebuah peristiwa besar yang menggetarkan dunia persilatan.”

Han Ping gelengkan kepala, “Samasekali aku takkan mendasarkan pembalasan budi untuk mendesak lo-cianpwe. Hanya karena tadi lo-cianpwe omong sendiri…..” tiba-tiba pemuda itu menghela napas dan berkata lagi, “Kalau lo-cianpwe tak suka mengatakan, tak perlulah. Pertemuan kita kali ini juga termasuk jodoh. Berdasarkan atas hal-hal ini, aku tak mau menarik panjang lagi soal kotak pedang itu!”

Kim Loji tertawa lepas, “Tigapuluh tahun yang lalu, watakkupun serupa dengan siau-enghiong sekarang ini. Penuh dengan sifat gagah perwira, selalu memegang kata-kata. Tetapi duapuluk tahun belakangan ini, aku telah berobah. Kulihat Prilaku jujur dalam dunia persilatan sudah lenyap, Kepercayaan rusak. Masing2 orang main siasat. Selain mengadu kesaktian juga menggunakan tipu mauslihat. Tanpa terasa akupun telah terhinggap penyakit itu dan perangaiku menjadi buruk. Tetapi saat ini setelah berhadapan dengan saudara, hatiku malu sendiri ….”

“Ah, janganlah lo-cianpwe keliwat menyanjung sedemikian rupa. Aku sungguh tak berani menerima pujian semacam itu. Maaf, aku hendak mobon diri,” habis berkata Han Ping memberi hormat terus berputar diri melangkah pergi.

Cepat-cepat Ih Seng loncat seraya berteriak, “Hai, hendak kemana saudara Ji ini? Aku yang telah menerima budimu, belum….”

Han Ping berpaling tertawa, “Dalam dunia persilatan sudah jamak apabila saling tolong menolong. Tak perlu menganggap hal itu suatu budi.”

“Aku kagum sekali akan pribadimu. Aku bersedia menjadi pelayanmu……..”

oooo000oooooo

Tiga pendekar Lam-gak.

“Ah, mana bisa,” Han Ping tertawa nyaring, “saudara Ih adalah pemimpin dari dunia Rimba Hijau empat propinsi. Masakan Han Ping pemuda yang tak ternama berani berlaku kurang ajar kepadanamu….”

“Jika engkau mau menerima aku sebagai pengikutmu, sekalipun diangkat menjadi pemimpin Rimba Hijau dunia, aku tak mau menerima!”

“Aku seorang kelana sebatang kara. Tiada mempunyai tempat meneduh tertentu. Maksud saudara Ih yang mulia, kuhaturkan terima kasih.”

Ih Seng tertawa gelak2, “Hampir separo hidupku berkecimpung dalam dunia persilatan, aku tak mendapat hasil apa-apa. Tetapi aku faham tentang keadaan setiap tempat dan gunung. Jika tak menolak, aku bersedia menjadi penunjuk jalan saudara. Akan kuantar saudara untuk pesiar ke seluruh tempat yang indah alamnya.”

Han Ping menghela napas hambar, ujarnya, “Terima kasih atas budi kecintaan saudara Ih. Tetapi sesungguhnya aku mempunyai kesulitan untuk menceritakan. Kelak apabila soal budi dan dendam itu sudah selesai, aku tentu akan menerima ajakan saudara untuk pesiar ke seluruh penjuru negeri .. . Habis berkata ia terus berputar diri dan ayunkan langkah.

“Saudara Ji, harap suka berhenti dulu,” tiba-tiba Kim Loji berseru, “Aku hendak mohon tanya sebuah hal…..!”

Ia terus lari memburu. Han Ping terpaksa berpaling den menanyakan maksud orang she Kim itu.

“Bukankah saudara orang the Ji?” sepasang mata Kim Loji melekat pada wajah pemuda itu. Han Ping mengiakan.

Setelah beberapa saat meneliti wajah Han Ping, Kim Loji berkata, “Apakah ayah dan ibumu masih hidup?”

Pertanyaan itu bagaikan sembilu menyayat ulu hati Han Ping. Seketika bercucuranlah airmatanya, “Terus terang, ayahku sudah meninggal sedang ibu belum ketahuan nasibnya.”

Kim Loji termenung sejenak, lalu bertanya pula, “Apakah ayahmu bernama Ji Ing?”

“Benar,” sahut Han Ping, “ketika tak sadar tadi, Lo-cianpwe memang mengingau nama ayahku.”

“Di dunia banyak orang yang bernama Ji Ing. Mengapa engkau berani menentukan bahwa yang kuigaukan tadi ayahmu?”

Han Ping tertegun tak dapat menjawab. Beberapa saat kemudian baru ia berkata, “Memang aku tak berani menetapkan. Tetapi pernah kudengar guruku menuturkan sedikit tentang diri ayah. Walaupun ketika itu aku masih kecil dan tak mengerti jelas, tetapi sebagian besar aku masih dapat mengingat ……”

“Siapakah gurumu?”

“Guruku bernama Nio Siu, bersahabat baik dengan ayah. Jika tiada ditolong guru, mungkin aku sudah mati dulu2. Ah, tetapi karena menolong diriku itu, guruku telah dibunuh prang. Yang paling menyakitkan hatiku, putera satu2nya dari gurukupun dibunuh karena dikira diriku.”

Mendengar sampai disitu, bercucuranlah air-mata Kim Loji. Katanya dengan nada rawan, “Ka.. lau begitu engkau bernar-benar tetesan darah Ih-heng…. Ah, nak…. ketahuilah bahwa di dunia ini masih terdapat seorang manusia yang berusaha hendak membalas sakit hati orangtuamu. Tak peduli dihina orang dan segala penderitaan, dia telah mengembara di dunia persilatan. Demi melaksanakan tugas itu, dia telah melakukan hal-hal yang sesungguhnya bertentangan dengan hati nuraninya. Oleh karena itu dia dicemooh dan dihina oleh tokoh-tokoh partai persilatan …….”

Walaupun sudah berusia setengah abad, tetapi di kala bercerita peristiwa yang sedih, suara Kim Lojipun terisak-isak.

Han Ping tak tahu bagaimana harus berkata. la hanya tertegun diam.

Setelah menangis beberapa saat, tampaknya perasaan Kim Loji sudah longgar. Sikapnyapun tenang kembali. Dipandangnya wajah Han Ping lekat-lekat dan berkata seorang diri, “Belasan tahun tak berjumpa dengan Ih-heng suami isteri, hari ini aku se-olah2 melihat bayangan mereka di wajahmu….”

Kim Loji mengangkat kepala memandang ke langit dan komat kamit berdoa, “Oh, Allah, terima kasih. Ih-heng mempunyai seorang putera yang begini gagah. Percayalah, sakithati toako tentu dapat terhimpas. Harap Ih-heng mengaso di alam baka dengan tenang.

Melihat sikap Kim Loji yang begitu mesra kepadanya, tergeraklah hati Han Ping. Ia melangkah maju dua tindak dan memeluk Kim Loji, “Bagaimana lo-cianpwe dengan ayahku itu?”

Kim Loji ulurkan tangannya yang tinggal sebelah itu untuk membelai kepala Han Ping, ujarnya, “Aku dengan suhumu Nio Siu itu pada waktu itu telah mengangkat saudara dengan ayah mu di gunung Lam-gak. Duapuluh tahun berselang, durna persilatan menggelari kami bertiga sebagai Tiga Pendekar Lam-gak. Ayahmu yang paling tua, lalu aku dan terakhir Nio Siu….”

Tanpa ragu2 lagi Han Ping segera berlutut memberi hormat kepada Kim Loji, “Harap paman maafkau kekurang-ajaranku yang telah menghina paman dalam taman tadi.”

Airmata Kim Loji bercucuran pula. Diangkatnya Han Ping bangun, katanya, “Nak, apakah pamanmu ketiga Nio Siu itu pernah memberi tahu padamu tentang kematian orangtuamu?”

Han Ping menghela napas, sahutnya, “Belum pernah. Beliau hanya mengatakan bahwa kedua orangtuaku sudah meninggal. Dia berjanji hendak mengasuhku dengan segenap tenaga. Dan mengatakan, kelak apabila aku sudah menyelesaikan ilmu pelajaran silat, suhu akan mengantarkan aku kepada seorang sakti untuk menuntut ilmu kesaktian yang lebih tinggi ….”

“Kasihan Sam-te. Walaupun telah mencurahkan segenap tenaganya tetapi akhirnya tak dapat membalas budi kebaikan toako. Entah apakah gurumu pernah membicarakan tentang diriku juga.”

Han Ping mengatakan belum pernah.

“Sam-te memang seorang yang berhati emas. Walaupun membenci aku tetapi dia tak mau mencemarkan namaku di hadapan orang ….”

“Sekalipun guru belum pernah menceritakan tentang kematian ayahbundaku tetapi dari ucapannya setiap hari, dapatlah kuraba sedikit jejaknya,” kata Han Ping, “sudah beberapa kali kuberusaha untuk mendesak suhu tetapi setiap kali dia tentu menasehati aku supaya tak memikir hal itu dulu dan melarang aku bertanya lebih lanjut ……….”

“Apakah yang membunuh orangtuaku itu Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng?” tanya Han Ping.

Mendengar itu menggigillah Ih Seng. Buru-buru ia menyelutuk, “Apa? Ih Thian-heng pendekar dari bumi Sin-ciu itu seorang yang terhormat, masakan dia akan melakukan perbuatan sehina itu?”

Tetapi serentak ia hentikan kata-katanya karena menganggap persoalan itu amat gawat.

Han Ping berpaling ke arah Ih Seng, katanya, “Ih Thian-seng seorang durjana yang berkedok ksatrya. Dengan mata kepala sendiri kulihat dia membunuh guru dan suhengku. Masakan dia bukan Ih Thian-seng yang aseli!”

Sekalipun Ih Seng tak ingin berdebat dengan Han Ping tetapi karena ia merasa bahwa Ih Thianheng itu memang seorang tokoh yang sangat diindahkan oleh kaum persilatan, tanpa disadari Ih Seng gelengkan kepala, “Sudah tigapuluh tahun lebih Ih tayhiap telah termasyhur di seluruh Kanglam-Kangpak, Kwan-gwa (luar perbatasan) dan Pian-hong (daerah negeri tetangga). Baik golongan Putih maupun Hitam semua mengindahkan padanya. Berpuluh-puluh tahun ini, tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu yang cemar….”

“Tetapi saudara Ih hanya mengukur dari lahiriyah dan tak mengetahui batinnya yang sebenarnya . .. “ sahut Kim Loji.

“Sekalipun aku kena dikelabuhi oleh perilaku Ih Thian-heng yang pura2 baik, tetapi masakan seluruh kaum persilatan juga tak punya telinga dan mata?”

Mendengar Ih Seng ngotot membela Ih Thian-seng, marahlah Han Ping, bentaknya, “Karena saudara begitu mati-matian menjunjung tinggi Ih Thian-seng, akupun tak berani menerima persahahatan saudara. Silakan saja!”

Sesungguhnya Ih Seng tak mau berbantah dengan anak muda itu. Tetapi dalam hati ia memang tak puas karena Ih Thian-seng dihina. Setelah merenung beberapa saat, berkatalah ia, “Budi pertolongan saudara Ji, walaupun mati belum himpas kubalas. Aku rela mengorbanka jiwa raga dan kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau dari empat propinsi agar dapat mengikuti saudara. Itu sudah menjadi tekadku. Tetapi terhadap diri Ih Thian-seng, betapapun aku tak berani mengatakan apa-apa. Karena dengan mata kepala sendiri kutahu watak dan pribadinya yang lurus dan jujur. Jika hal itu bukan suatu fitnah tentulah karena kesalah fahaman yang sengaja ditimbulkan orang!”

Dengan agak gentar Kim Loji berkata, “Thian-seng seorang yang luar biasa cerdiknya. Dalam melakukan segala tindakan tentu dipikir dan direncanakan semasak-masakaya. Atau meminjam tangan orang atau bertindak sendiri, selalu dilakukan dengan cermat sekali. Tak mungkin meninggalkan bekas yang dapat menimbulkan kecurigaan orang. Jangankan saudara Ih, sekalipun dalam dunia persilatan, sukar mencari orang yang dapat mengetahui rahasianya. Sudah bertahun-tahun aku sebagai anak buahnya. Banyak hal yang telah kulakukan untuknya. Jika tidak mengalami dan mengetahui sendiri, memang tak mungkin mempercayai hal itu.”

“Bicara tiada buktinya, Apakah saudara Kim mempunyai cara agar aku dapat mempercayai?” selutuk Ih Seng.

“Kita sedang bicara sendiri, siapa suruh engkau banyak mulut?” tegur Han Ping, “silahkan pergi sebelum aku kehilangan kesabaran!”

“Saudara Ji telah menolong jiwaku, jika saudara hendak membunuh lagi, itu memang sudah selayaknya,” sahut Ih Seng.

Han Ping loncat dengan marah. Sambil mengangkat tinju ia membentak, “Hmmm, engkau kira aku takut membunuhmu?”

Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng tertawa, “Aku tetap mengagumi dan mengindahkan saudara Ji. Matipun aku tak menyesal. Tetapi kuharap hendaknya saudara jangan mengikat permusuhan dengan Ih tayhiap…..”

Heran Han Ping dibuatnya melihat sikap Ih Seng yang walaupun mati tetap membela Sin-ciuit-kun, Ih Thian-heng.

“Apakah saudara Ih pernah menerima budi dari Ih Thian-heng?” seru Kim Loji.

Ih Seng gelengkan kepala, “Walaupun hanya satu kali saja bertemu dengan Ih tayhiap, tetapi tak pernah menerima budi apa-apa, namun….”

“Namun bagaimana, silahkan bilang,” desak Kim Loji.

Ih Seng tertawa, “Namun dengan mata kepala sendiri aku pernah menyaksikan bagaimana telah melerai sebuah perselisihan. Bukan saja lapang dan ramah tamah tetapipun juga berpijak di atas Kebenaran dan Keadilan. Tidak condong kesana, tidak cenderung kesini. Selurult hadirin sama tunduk dengan puas dan patuh mendengar perintahnya….” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Walaupun memiliki kepandaian sakti tetapi dia tak menggunakan kekerasan untuk menundukkan orang. Melainkan dengan kebijaksanaan dan kata-kata yang tegas sehingga menimbulkan rasa kagum sekalian orang. Jika kelak saudara Ji dapat berternu dengannya tentu mengakui bahwa kata-kataku ini bukanlah omong kosong!”

Kim Loji tiba-tiba menghela napas pelahan, serunya, “Nak, jangan memukulnya. Omongannya memang bukan bualan kosong….”

Han Ping agak tertegun Ia menurunkan kembali tinjunya. “Dengan kepala sendiri kulihat Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng telah membunuh guruku. Apakah hal itu terdapat pemalsuan…??”

Kim Loji gelengkan kepala tertawa, “Kepandaian Sam-te tidak rendah. Tidak mudah bagi seorang tokoh persilatan untuk membunuhnya.”

Ia berhenti lalu melanjutkan, “Yang dilihat saudara Ih hanya lahirnya saja maka tak dapat disesalkan kalau dia begitu mati2an membelanya. Memang aku, Ing-heng dan Sam-te pada pertama kali bertemu dengannya juga mempunyai perasaan kagum sehingga bersedia diperalat. Kemudian setelah bergaul beberapa tahun, barulah menyadari bahwa dia seorang julig yang amat berbahaya. Ah, di dunia memang banyak sekali manusia2 durjana, tetapi tak mungkin dapat menyamai kelihayan Ih Thian-heng. Dia cerdas dan cermat sekali. Setiap bertindak tentu berhasil karena sebelumnya tentu dirancang secermat-cermatnya dan sama sekali tak meninggalkan jejak….”

Ih Seng kerutkan dahi, ujarnya, “Ah, ucapan saudara Kim, benar-benar sukar meyakinkan orang. Maaf, aku terpaksa mohon diri saja.”

Karena tak suka mendengar pembicaraan semacam itu lagi, ia terus berputar diri hendak pergi.

“Nanti dulu, saudara Ih. Aku masih hendak bicara sedikit,” seru Kim Loji.

“Watakku lebih baik mati daripada menyerah. Kalau saudara Kim hendak membunuh aku, aku tetap tak mau mendukung saudara,” sahut Ih Seng.

Kim Loji menghela napas lagi, “Kalau menuruti perbuatanku selama beberapa tahun terakhir ini, memang hal itu pasti kulakukan. Tetapi ini aku sudah menjadi seorang manusia baru maka aku hanya akan membeberkan perbuatan2 jahat dari Ih Thian-heng saja agar saudara Ih suka mendengarkan…..”

Kemudian Kim Loji memandang sejenak ke arah Han Ping lalu beralih memandang ke langit baru melanjutkan kata-katanya, “Hari ini berantung dapat bertemu dengan anak Ping. Tugas untuk membalas dendam itu, seluruhnya terletak di bahu anak Ping. Sekalipun kelak apabila mendengar, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng akan mencincang tubuhku, aku tetap puas!”

Kata-kata itu seperti ditujukan kepada Han Ping pun kepada Ih Seng dan seperti juga ia sedang berkata seorang diri. Sikap Kim Loji memancarkan rasa rawan dan ketakutan. Se-olah2 setelah membocorkan rahasia itu, Sin-ciu-it-kun pasti akan mencarinya.

Melihat sikap Kim Loji yang gelisah itu, Ih Seng merasa heran. Pikirnya, “Orang menyohorkan Kim Loji itu pandai bersilat lidah dan luas pergaulannya. Maka pada setiap tempat dan saat, banyak orang yang suka mengalah kepadanya. Tetapi mengapa saat ini dia tampak begitu ketakutan sekali?”

“Saudara Ih dan anak Ping, mari kita cari tempat yang sepi untuk bicara. Akan kuceritakan dengan jelas semua peristiwa yang menyangkut pembunuhan Ih-heng kepadamu!” ia terus berputar diri dan mendahului berjalan ke muka.

Han Ping dan Ih Seng segera mengikutinya. Tetapi diam-diam Ih Seng memaki orang she Kim yang dianggapnya banyak petingkah karena bukankah tanah pekuburan itu sudah cukup sunyi?

Setelah mencapai puncak, buru-buru Kim Loji duduk bersemedhi memulangkan tenaga. Ia baru saja sembuh, berjalan tak berapa lama ia sudah merasa letih sekali.

Han Ping dan Ih Seng pun duduk di samping Kim Loji. Memandang ke sekeliling penjuru, dapatlah ia menikmati pemandangan alam sampai beberapa li jauhnya. Ternyata puncak di situ. merupakan puncak tunggal yang tidak berhuhungan dengan puncak pegunungan lain.

Diam-diam Han Ping heran, “Gunung ini jarang pepohonan sehingga dapat melihat keadaan empat-penjuru. Mengapa paman mengatakan tempat ini sunyi.”

Beberapa saat kemudian Kim Loji membuka mata, ujarnya, “Saudara Ih dan anak Ping. Kalian tentu heran mengapa aku memilih tempat ini. Dari empat penjuru orang mudah mengetahui kehadiran kita di sini.”

“Maaf, paman, pandanganku picik hingga tak mengerti maksud paman. Harap paman suka memberi keterangan,” kata Han Ping.

Kim Loji menghela napas, katanya, “Lahiriyah Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng memang berlapang dada. Tetapi diam-diam ia mempersiapkan anakbuahnya untuk mendengar-dengar berita. Maka walaupun jarang keluar ke dunia persilatan, ia tetap dapat mengetahui tentang gerak gerik dunia persilatan. Diam-diam ia mengirim anakbuahnya kemana-mana. Dan anakhuah itu dipilihnya dengan cermat sekali serta secara rahasia. Kecuali dia sendiri, tak mungkin terdapat orang kedua yang tahu. Memang yang tak kenal tentu menganggap Ih Thian-heng itu seorang ramah tamah dan berbudi luhur. Tetapi orang yang tahu, menganggap dia seorang durjana yang ganas sekali sehingga orang tentu ketakutan ….”

Kembali Ih Seng kerutkan alis menyahut, “Saudara Kim hendaknya jangan memfitnah orang . . tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat wajah Han Ping membengis marah.

“Karena sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, saudara Ih tentu tahu siapa pendekar dari gunung Lam-gak itu,” tanya Kim Loji.

Sejenak merenung, menyahutlah Ih Seng, “Mengenai ketiga tokoh dari gunung Lam-gak itu, aku hanya mendengar dari orang. Sayang belum beruntung untuk menemui mereka bertiga!”

“Dikuatirkan saudara tak mungkin berjumpa lagi. Ketiga pendekar Lam-gak itu sudah dua orang yang meninggal. Hanya aku seorang yang masih hidup…. “ kata Kim Loji dengan mengucurkan beberapa tetes airmata.

Melihat sikap yang ber-sungguh-sungguh dari Kim Loji itu, diam-diam mulailah Ih Seng menaruh kepercayaan.

“Harap saudara Kim suka menuturkan apa sebabnya ketiga Pendekar gunung Lam-gak itu sampai dibunuh Ih Thian-heng. Jika benar dengan kenyataannya, akan kusiarkan perbuatannya jahat itu ke dunia persilatan ….”

Kim Loji gelengkan kepala, “Bukan hendak merendahkan saudara. Tetapi orang-orang sebagai kita ini, jika hendak menyiarkan kebusukan Ih Thian-heng, tentu takkan dipercaya oleh orang. Karena Ih Thian-heng sudah berakar dalam hati orang persilatan sebagai seorang tokoh yang bersih….”

“Bukan begitu,” bantah Ih Seng, “memang kalau diukur kepandaian, walaupun tambah lagi beberapa orang, tetap kita bukan tandingan Sin-ciu it kun. Tetapi dengan menyiarkan tentang perbuatannya di dunia persilatan, sekurang-kurangnya kaum persilatan…..”

“Ih Thian-heng boleh dikata menguasai dunia persilatan. Setiap gerak-gerik dalam dunia persilatan tentu tak lepas dari pendengarannya. Bukan membesar2kan kemampuan orang. Sekalipun fihak It kiong, Ji-koh dan Sam-poh mengirim jago2 simpanannya, tentu diketahuinya juga. Adanya kupilih puncak gunung ini, tujuanku untuk menghindari pendengarannya. Dengan berada di tempat yang bebas melibat empat penjuru ini, dapatlah kita melihat kedatangan seseorang!” tukas Kim Loji.

Ih Seng memuji kecerdikan Kim Loji.

Karena sampai begitu lama belum juga menuturkan tentang kematian orangtuanya, Han Ping segera mendesak.

Kim Loji menengadah memandang ke langit dan menghela napas panjang. Rupanya ia tengah mengenangkan peristiwa yang lampau. Beberapa saat kemudian, baru ia mulai berkata dengan rawan, “Peristiwa itu terjadi pada 20 tahun yang lalu. Pada masa itu kiong, Ji-koh dan Sam-poh, baru saja muncul di dunia persilatan. Aku dan toako sudah mengangkat nama di daerah Kang-lam. Kita sudah mendengar nama, tetapi sampai sejauh itu belum bertemu muka…..”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Peristiwa puluhan tahun itu, meskipun sadah lewat tetapi kalau hendak diceritakan, memang sukar. Harap anak Ping jangan menyesali.”

“Silahkan paman menutur, aku tentu akan mendengarkan dengan khidmat,” kata Han Ping.

“Kira-kira dua puluh tahun berselang, di Heng-yang muncul seorang busu (ahli) yang mengangkat dirinya dengan gelar Golok-menggetarkan tiga-propinsi Pek Ih-thian. Dia telah mengundang seluruh kaum persilatan untuk ikut serta dalam sayembara mencari menantu untuk puterinya Pek Bang-cu. Seorang gadis yang cantik jelita sekali. Bermula yang datang memang tidak banyak. Namun sebulan kemudian, mulai membanjirlah pendatang2 yang hendak ikut dalam sayembara itu. Dalam sayembara pilih-menantu acaranya ialah bertanding kepandaian siapa yang dapat memenangkan jelita itu akan dijadikan suaminya. Dua bulan lamanya, tiada seorangpun mampu mengalahkan jelita itu. Kala itu akupun kebetulan berkelana. Mendengar berita itu, timbullah kegairahanku. Buru-buru aku menuju ke Heng-yang. Ketika tiba di panggung sayembara, hari sudah menjelang sore. Saat itu Ing-heng tampil ke panggung berhadapan dengan Pek Bang-cu. Mereka telah bertempur sampai 300 jurus tetapi belum ada yang kalah dan menang. Sorenya pertandingan itu akan dilanjutkan lagi….”

Kim Loji berbenti sejenak untuk memandang wajah Han Ping. Tetapi anakmuda itu tenang2 saja. Kim Loji melanjutkan ceritanya pula, “Ketika pertandingan dibuka kembali, entah bagaimana Ing-heng datang terlambat. Aku segera tampil ke atas panggung. Tetapi Pek Bang-cu menolak karena sudah terikat janji dengan Ing-heng. Aku tak puas. Kubakar hatinya dengan kata-kata yang membuatnya marah dan akhirnya mau juga bertempur. Tetapi sampai petang hari, tiada yang kalah dan menang ….”

Saat itu. Han Ping bendak bertanya tetapi entah bagaimana ia batalkan maksudnya dan hanya batuk-batuk saja.

Dengan bersemangat, Kim Loji melanjutkan, “Kutantang Pek Beng-cu untuk melanjutkan pertandingan itu besok pagi hingga sampai ada yang kalah. Tetapi tanpa menyahut, ia terus turun panggung. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah datang ke gelanggang untuk menantangnya. Tetapi begitu dia muncul, belum sempat aku naik ke atas panggung, seseorang sudah mendahului naik….”

“Bukankah orang itu guruku?” tanya Han Ping.

“Kala itu kami bertiga belum kenal mengenal. Orang yang naik ke panggung itu meniru siasatku. Dia menggunakan kata-kata yang membangkitkan amarah si jelita. Dan akhirnya mereka pun bertempur. Ah, memang aneh sekali peristiwa itu. Merekapun bertempur dengan berimbang …..”

“Akupun mendengar tentang sayembara pilih menantu di Heng-yang itu,” tiba-tiba Ih Seng menyeletuk, “tetapi karena ada urusan maka tak dapat mengunjungi …..”

Kim Loji keliarkan pandang matanya ke empat penjuru lalu menyambung lagi, “Sore harinya, aku sudah menunggu di bawah panggung. Tetapi begitu Pek Bang-cu muncul, tiga sosok bayangan segera serempak loncat ke atas panggung ……”

“Di antara ketiga orang itu salah seorang tentulah saudara Kim sendiri, bukan?” Ih Seng tertawa.

Wajah Kim Loji tampak serius. Ia tak memghiraukan omongan Ih Seng dan melanjutkan. “Selain aku, kedua orang itu adalah toako Ji Ing dan sam-te Nio Siu. Itulah pertama kali Tiga Pendekar gunung Lam-gak bertemu muka!”

“Bagaimana sikap Pek Bang-cu menghadapi ketiga penantang itu?” tanya Ih Seng.

“Kami bertiga tidak saling kenal tetapi serempak loncat ke atas dan serempak pula tiba di atas panggung. Akhirnya kita berhantam sendiri.”

Melihat Han Ping tartarik hati, Ih Seng cepat menyelutuk, “Kalian bertiga belum saling kenal, tantu tak mau mengalah. Lalu bagaimana cara kalian bertempur?”

Jawab Kim Loji, “Kami berkelahi menurut kepentingan masing2 sendiri. Engkau menjotos aku, aku menendang dia, dia menghantam engkau. Pendek kata kami bertiga berkelahi secara acak2an!”

“Ho, benar-benar suatu peristiwa yang jarang terjadi,” seru Ih Seng, “sayang saat itu aku tak dapat hadir.”

“Melihat cara berkelahi acak2an tanpa aturan itu, sekalian hadirin marah. Entah siapa yang segera memaki di bawah panggung, “Kalau kalian hendak bertempur sampai mati, mengapa tak mencari tempat yang sepi saja tetapi mengacau di pangung sayembara sini?”

Walaupun mendengar dan mengakui makian itu memang tepat, tetapi karena sedang terlibat dalam pertempuran sengit, kami tak dapat berhenti lagi. Toako Ji Ing tiba-tiba lepaskan dua buah pukulan hebat untuk mendesak mundur aku dan Sam-te. Kemudian ia pun menyurut mundur seraya berkata, “Kalau mau bertempur baiklah kite cari tempat agar dapat bertempur mati2an. Siapa menang nanti berhak untuk naik ke panggung sini lagi!”

“Aku dan Sam-te menerima tantangannya itu. Kami bertiga segera turun panggung dan menuju ke sebuah tempat sunyi di luar kota. Di situ kami tetapkan acara. Akan diadakan undian. Undian ini akan menghasilkan dua orang yang akan bertempur dulu sampai 300 jurus. Kalau ada yang menang, pemenangnya akan diadu dengan orang ketiga. Tetapi kalau dalam 300 jurus tiada yang kalah dam menang, pertandingan dihentikan dan diadakan undian lagi. Hasilnya, dua orang akan bertempur tagi. Siapa menang akan diadu dengan orang ketiga……….”

“Ah, tidakadil,” seru Ih Seng, “kalau dalam babak pertama tak ada yang menang lalu diundi lagi dan kebetulan jatuh pada kedua orang itu lagi, bukankah mereka akan tele-tele kehabisan tenaga? Bukankah enak saja orang ketiga itu nanti akan menempurnya?”

“Sekalipun kurang adil, tetapi rasanya tiada lain cara yang lebih baik,” jawab Kim Loji, “harus diketahui bahwa kepandaian kita bertiga hampir berimbang. Jika mencari cara yang adil, kemungkinanan takkan ada penyelesaiannya. Entah sampai kapan pertandingan itu akan habis. Dengan cara undian ini kecuali mengadu kesaktian juga mengadu peruntungan nasib. Siapa yang menarik undian harus bertempur dulu, memang harus menerima nasib.”

“Lalu siapapakah yang beruntung menarik undian kosong itu? “ tanya Ih Seng.

Kim Loji termenung beberapa saat seolah-olah mengenangkan peristiwa itu. Kemudian baru ia berkata pula, “Pertama adalah toako dan sam-te yang kena undian itu. Mereka segera bertempur. Bermula mereka melancarkan serangan secepat mungkin untuk merebut kemenangan. Tetapi lewat 200 jurus kemudian, Sam-te terdesak. Hanya dapat membela diri tak mampu balas menyerang. Kebalikannya serangannya toako makin gencar dan seru. Setelah 300 jurus, Sam-te sudah kehabisan tenaga. Jika harus berkelahi lagi dalam 30 jurus saja, tentu sudah rubuh di tangan toako.”

Ih Seng tersenyum, “Benar, ketika toako-mu bertempur dengan Pek Bang-cu…. “

Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa toako itu memang sengaja mengalah pada Pek Bang-cu. Tetapi karena teringat bahwa toako itu adalah ayah Han Ping, Ih Seng tak mau melanjutkan kata-katanya.

Kim Loji memandang Ih Seng, serunya, “Bukankah engkau bendak mengatakan bahwa toakoku itu menang sengaja tak mau mengeluarkan kepandaian sesungguhnya di atas panggung sayembara?”

“Benar, aku .. . “

Di luar dugaan Kim Loji gelengkan kepala, katanya, “Toako seorang yang lapang dada, tak mungkin dia mau menggunakan siasat semacam itu. Sesungguhnya kepandaian nona Pek itu lebih unggul dari aku dan Sam- te. Hanya dengan toako, Baru dia bertanding berimbang. Adalah karena kurang pengalaman bertempur dan kuatir akan melukai aku dan sam-te, maka nona Pek tak mau menyerang secara gegabah. Dia hanya mendesak supaya kami berdua mengaku kalah sendiri dan mundur.”

“Benar juga,” kata Ih Seng, “lalu bagaimana hasilnya undian yang kedua itu?”

“Dalam undian kedua itu ternyata jatuh pada aku dan toako yang harus bertempur. Kami berduapun menetapi perjanjian. Setelah 300 jurus baru berhenti. Dalam pertempuran itu toako tetap unggul. Walaupun sudah diperas tenaganya dalam babak pertama tadi, tetapi dia tetap mampu menghadapi aku dengan berimbang. Dengan begitu jelas kepandaian toako itu lebih unggul dari aku dan sam-te.”

“Pertandingan kedua itu, berkesan dalam hatiku dan sam-te. Walaupun sam-te tak mangatakan apa-apa kepadaku, tetapi kami diam-diam mengakui bahwa toakolah yang lebih unggul. Sekalipun begitu, pertandingan tetap dilanjutkan. Karena diam-diam timbul kesatuan pendapat padaku dan sam-te, bahwa kita berdua harus bersatu untuk mengerubut toako. Caranya dengan bergilir menempurnya. Pertempuran berlangsung mulai sore hingga sampai keesokan harinya. Toako terus menerus berkelahi sedang aku dan sam-te dapat bergiliran mengaso. Dengan begitu toako menderita kerugian sekali.”

“Rupanya toakomu itu memang lebih unggul berlipat ganda dari kalian. Kalau tidak tentu sudah jatuh,” kata Ih Seng.

“Persekutuan secara diam-diam di antara aku dan Sam-te itu telah diketahui toako,” kata Kim Loji, “tetapi dia diam saja. Baru pada keesokan hari menjelang fajar, maka ia berkata kepada kami berdua, “Kepandaian nona Pek itu lebih hebat dari kita. Adalah karena kurang pengalaman dan hatinya baik, nona Pek tak mau melukai kita dan memberi kesempatan sampai 300 jurus. Kemarin cara kita bertempur acak-acakan di atas panggung itu, sesungguhnya telah menimbulkan kemarahan nona Pek. Jika sekarang kita tak tahu diri dan masih nekad hendak maju dalam sayembara itu, tentulah akan rubuh di tangan nona itu…. “

“Hai, ada yang mendatangi kemari,” tiba-tiba Han Ping berseru.

Kim Loji dan Ih Seng berpaling. Ah, benar, memang dari jauh tampak dua sosok bayangan tengah berlari-lari menuju ke puncak situ. Rupanya kedua orang itu tahu tentang hadirnya Kim Loji bertiga di puncak gunung.

Tiba-tiba Kim Loji mempercepat ceritanya, “Se-telah memberi peringatan itu, toako segera berputar diri dan pergi. Tetapi aku dan Sam-te tak mau mendengarkan nasehat toako. Kami berdua balik ke panggung. Sam-te terus loncat ke atas panggung. Tanpa banyak bicara, nona Pek segera menyambut dengan serangan. Kira-kira 70-an jurus kemudian, nona Pek gunakan ilmu tutukan jari Pi-peh-ci, melukai Sam-te. Sejak mendirikan panggung pertandingan pilih jodoh, baru pertama kali itu nona Pek melukai orang dengan sungguh-sungguh. Samte terluka parah. Ia muntah darah dan terkapar di papan panggung. Karena sudah mempunyai ikatan batin dalam persekutuan menghadapi toako tadi, entah bagaimana, aku merasa wajib menolong sam-te…. “

“Cepat aku loncat ke atas panggung untuk menolong sam-te. Tetapi secepat itu nona Pek sudah menyongsong dengan serangan yang ganas. Tampaknya ia marah sekali kepadaku. Aku tak sempat bertanya lagi kepadanya. Terpaksa akupun mengeluarkan seluruh tenaga untuk menghadapinya. Aku dan nona Pek segera terlibat dalam pertempuran maut. Duaratus jurus kemudian, aku pun rubuh terkena jari sakti Pi-peh-ci…. “
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar